COVER DEPAN Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum yang berupa hasil peneli an; kajian teori; studi kepustakaan; dan analisa / njauan putusan pengadilan. Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala ga nomor dalam setahun pada bulan April, Agustus dan Desember.
Pembina Adviser
:
Dr. Wicipto Se adi, S.H., M.H. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Pemimpin Umum Chief Execu ve Officer
:
Yunan Hilmy, S.H., M.H. Kepala Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN
Wakil Pemimpin Umum Vice Chief Execu ve Officer
:
Widya Oesman, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Editor in Chief
:
Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara)
Anggota Dewan Redaksi Editorial Board
:
Marulak Pardede, S.H., M.H. (Hukum Bisnis) Mosgan Situmorang, S.H., M.H.(Hukum Acara) Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H. (Hukum Perdata Islam)
Mitra Bestari Peer Reviewer
:
Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., LL.M. (Hukum Perdata Internasional) Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. (Hukum Perdata) Prof. Dr. Rianto Adi, S.H., M.A. (Sosiologi Hukum) Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara) Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. (Hukum Perdata)
Redaktur Pelaksana Managing Editor
:
Ade Irawan Taufik, S.H.
Sekretaris Secretaries
:
Tyas Dian Anggraeni, S.H., M.H. Apri Lis yanto, S.H.
Tata Usaha Administra on
:
Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H. Endang Wahyuni Setyawa , S.E. Eko Noer Kris yanto, S.H. Ema Elviyani Br. Sembiring, S.H.
Desain Layout Layout and cover
:
Teguh Imansyah, S.IP., M.Si.
Alamat: Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8002265 e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Isi Jurnal RechtsVinding dapat diku p dengan menyebutkan sumbernya (Cita on is permi ed with acknowledgement of the source)
Vo lu me 2 No mo r 1, A p r il 2 0 1 3
Volume 2 Nomor 1, April 2013
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang atas perkenan-Nya, Jurnal Rechtsvinding (JRV) Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013 ini bisa diterbitkan dengan menyajikan ar kel-ar kel bertema “bantuan hukum”. Tema ini dipilih agar isu bantuan hukum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mendapatkan pengkayaan gagasan sehingga implementasinya lebih terjaga. Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum saat ini telah dimulai dengan proses verifikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum (OBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI. Bantuan hukum yang diberikan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ini memberikan pengaruh posi f bagi semakin terbukanya akses keadilan bagi masyarakat miskin. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Ihdi Karim Makinara, yang membuka jurnal ini dengan membahas pengaruh bantuan hukum terhadap masyarakat miskin. Pengaruh posi f ini juga dibuk kan oleh Thalis Noor Cahyadi yang membahas mengenai efek fitas pos bantuan hukum di Pengadilan Agama Sleman tahun 2011-2012. Selain itu, pengaruh posi f juga terlihat pada bertambahnya aktor yang berperan dalam pelaksanaan bantuan hukum. Jika sebelum lahirnya undang-undang bantuan hukum hanya advokat yang diberikan peran dalam memberikan bantuan hukum, maka sejak adanya undang-undang bantuan hukum, peran serta dosen, mahasiswa dan paralegal dapat dapat lebih diakomodir dalam memberikan bantuan hukum. Hal ini dijelaskan secara lugas oleh Fachrizal Afandi dan Ade Irawan Taufik di dalam tulisannya. Bertambahnya aktor dalam pelaksanaan bantuan hukum juga terlihat dalam tulisan Arfan Faiz Muhlizi yang membahas mekanisme nonli gasi dalam rangka mendapatkan keadilan. Dengan dibukanya saluran nonli gasi ini maka forum-forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk peradilan adat juga diakui keberadaannya. Hal ini bahkan akan mendorong peradilan adat membenahi sisi administrasi maupun substansi hukumnya. Pemberian bantuan hukum ini akan berjalan lebih baik jika dana untuk memberikan bantuan hukum dak saja bergantung pada pemerintah pusat, tetapi juga dibantu oleh pemerintah daerah. Perha an Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaran bantuan hukum dapat lebih dipertegas dengan adanya Peraturan daerah tentang dana bantuan hukum ini. Hal ini dijelaskan oleh Eka N A M Sihombing dalam tulisannya yang berjudul mendorong pembentukan Peraturan Daerah tentang bantuan hukum di Provinsi Sumatera Utara. Upaya mendorong dana alokasi untuk bantuan hukum ini perlu diimbangi dengan membangun akuntabiltas organisasi bantuan hukum dan mekanisme pengawasan yang baik. Pengelolaan dana bantuan hukum bagi masyarakat miskin perlu mendapatkan pengawalan yang ketat agar dana yang dikeluarkan oleh negara dak menyimpang dari tujuan awalnya. Hal ini menjadi perha an dalam tulisan Muhammad Rustamaji dan Mosgan Situmorang. Jurnal edisi ini ditutup oleh tulisan Marulak Pardede yang membahas peran peneli an hukum yang dilaksanakan oleh organisasi bantuan hukum dalam mendukung pembangunan hukum. Tulisan ini memberikan gambaran bagaimana organisasi bantuan hukum yang oleh Undang-Undang Bantuan Hukum dapat berkontribusi dalam pembangunan hukum nasional. Semoga gagasan-gagasan yang dituangkan melalui berbagai judul ar kel di Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013 ini berkontribusi bagi pemberian bantuan hukum secara lebih baik kepada masyarakat miskin, dan sekaligus bermanfaat bagi pengembangan hukum nasional.
Redaksi
i
Volume 2 Nomor 1, April 2013
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………………………………………………...........
i
DaŌar Abstrak Pengaruh Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin (Meninjau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum) Ihdi Karim Makinara ……………………………………………………………………………………….………………............ Efek fitas Pos Bantuan Hukum Di Pengadilan (Studi Pada Posbakum Pengadilan Agama Sleman Tahun 2011-2012) Thalis Noor Cahyadi ………………………………………………………………………..……………………………..….......... Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access To Jus ce Pada Lembaga Bantuan Hukum Kampus Negeri Pasca Pemberlakuan UU Bantuan Hukum Fachrizal Afandi …………………………………………………………………………………….…………………....................
1-15
17-30
31-45
Sinergisitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Ade Irawan Taufik ….…..………………………………………………………………………………..………………….............
47-63
Bantuan Hukum Melalui Mekanisme Nonli gasi Sebagai Saluran Penguatan Peradilan Informal Bagi Masyarakat Adat Arfan Faiz Muhlizi ….…………………………………………………………………………………….………………….............
65-79
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Bantuan Hukum Di Provinsi Sumatera Utara Eka N A M Sihombing ………………………………………………………………………………………………………............
81-93
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum Dalam Pandangan Richard A Posner Muhammad Rustamaji …………………………………………………………………………………………………...............
95-106
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum Mosgan Situmorang ………………………..………………………………………………………………………………............
107-119
Peran Peneli an Hukum Yang Dilaksanakan Oleh Organisasi Bantuan Hukum Dalam Mendukung Pembangunan Hukum Marulak Pardede ………………………..……………………………………………………………………………….................
121-139
Biodata Penulis Indeks Pedoman Penulisan Jurnal RechtsVinding
iii
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 347.921.8 Ihdi Karim Makinara Pengaruh Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin (Meninjau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum) Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15 Bantuan hukum adalah salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan masyarakat termiskin rakyat Indonesia. Bantuan hukum harus dimaknai dan dilaksanakan sebagai upaya perjuangan menegakkan HAM bagi si miskin. Tujuan bantuan hukum perlu diperluas, dak saja terbatas pada bantuan hukum individual, tetapi juga struktural dan juga jangan terbelenggu dengan jalur-jalur formal semata. Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memunculkan permasalahan bagaimana pengaruh bantuan hukum terhadap masyarakat? Dengan menggunakan metode peneli an norma f dan dengan pendekatan data secara kualita f yang dianalisis deskrip f, didapatkan kesimpulan bahwa keberadaan Undang-Undang Bantuan Hukum belum maksimal memberikan pengaruh terhadap bantuan hukum bagi masyarakat miskin, karena bantuan hukum masih dalam jalur formalis k dan masih bersifat pasif. Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum yang digeser dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian kepada Menteri Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan agar dapat menyentuh orang atau kelompok orang miskin, tetapi besar anggaran perlu memper mbangkan proses peradilan yang berjalan, karena dikhawa rkan dapat menghambat orang miskin dan kelompok orang miskin untuk mengakses keadilan guna mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Kata kunci: Bantuan Hukum, Masyarakat Miskin, Undang-Undang
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 347.921.8 Ihdi Karim Makinara The Influence of Legal Aid on the Poor (Reviewing the Law Number 16 Year 2011 on Legal Aid) RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 1-15 Legal aid is an effort to fulfill human rights, especially for Indonesian poorest society. Legal aid should be interpreted and implemented as an effort of human rights enforcement for the poor. The purpose of legal aid should be expanded, not just limited to individual legal assistance, but also structural and not fe ered by mere formal channels. By enacted the Law Number 16 Year 2011 on Legal Aid, raises the ques on of how the influence of legal assistance to the society? By using norma ve research methods and approaches qualita ve data were descrip vely analyzed, was concluded that existence of legal aid has not been maximized effect to legal assistance for the poor, and because of it is s ll on formalis c track and passive. Funding of legal assistance shi ed from the Supreme Court, A orney General and Police to the Ministry of Jus ce and implemented by a Legal Aid Ins tu on or civil society organiza on in order to reach people or the poor community, but the magnitude of budget needs to consider the judicial process, because it feared could hinder the poor to access of jus ce to realize their cons tu onal rights. Keywords: Legal Aid, The Poor Community, The Law
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 347.965.4 Thalis Noor Cahyadi Efek fitas Pos Bantuan Hukum Di Pengadilan (Studi Pada Posbakum Pengadilan Agama Sleman Tahun 2011-2012) Jurnal RechtsVinding Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30 Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2010 mengamanahkan tentang pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di se ap pengadilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Pengadilan Agama (PA) Sleman menjadi salah satu pilot project dalam pembentukan Posbakum, yang dimulai sejak 2011 dan berakhir 2012. Penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman dirasakan sangat membantu masyarakat miskin dan bagi mereka yang dak dapat memahami birokrasi pengadilan dan bagaimana memecahkan persoalan hukum. Namun, keberadaan Posbakum perlu diteli mengenai bagaimana penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman dan sejauhmana efek fitasnya dalam membantu masyarakat miskin untuk mengakses keadilan? Hasil peneli an menunjukkan bahwa penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman selama 2011 hingga 2012 dapat berjalan dengan baik dan efek f. Data dari DPW APSI DIY dan LSBH UIN Yogyakarta menunjukkan bahwa lebih dari 1000 orang (1.272 orang) yang datang ke Posbakum PA Sleman mendapatkan layanan jasa bantuan hukum yang mereka butuhkan. Peneli an ini merekomendasikan untuk penyediaan anggaran bantuan yang lebih besar yang digunakan dak hanya sebatas pemberian advis dan pembuatan berkas gugatan/permohonan saja, tetapi juga pada pendampingan perkara terutama perkara-perkara tertentu yang urgen seper Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perlindungan Anak. Selain itu penyelenggaraan bantuan hukum harus ditunjang oleh aturan main yang jelas yang dak membuka tafsir liar sehingga membuat potensi adanya pemberian bantuan hukum yang salah sasaran. Kata Kunci: Posbakum, Efek fitas, Akses keadilan
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 347.965.4 Thalis Noor Cahyadi The Effec veness of Legal Aid Centre in Court (Study in Posbakum Sleman Religious Court Year 2011-2012) RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 17-30 The mandate Seth forth in SEMA No. 10 Year 2010 is establishing legal aid centre (Posbakum) in any court which under the Supreme Court authority. Religious Court (PA) of Sleman becomes one of the pilot projects in the establishment POSBAKUM, which started since Year 2011 and ended in Year 2012. Implementa on POSBAKUM in Religious Court Sleman is extremely helpful for poor society and those who could not understand how bureaucracy of court and how to resolve legal issues. Nevertheless, the existence of Posbakum needs to be researched as to how the implementa on of Posbakum in PA Sleman and how far its effec veness in helping the poor to access jus ce. The result of research showing that implementa on of POSBAKUM at religious court Sleman during year 2011-2012 runs properly and effec vely. Data from DPW APSI DIY and LSBH UIN Jogjakarta showing that more than 1000 people (1272 people) comes into POSBAKUM Religious court Sleman and obtain legal assistance services which they needed. This research recommends providing a larger aid budgets are used not only limited to giving advice and making the lawsuit/pe on but also on mentoring cases, especially in certain ma ers such as domes c violence which urgent and child protec on. Besides, implementa ons of legal aid have to support by clear rules that do not open to mul interpreta on so that make a poten al misdirected for legal assistance. Keywords: Posbakum, effec veness, access to jus ce
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.734 Fachrizal Afandi Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access To Jus ce Pada Lembaga Bantuan Hukum Kampus Negeri Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Bantuan Hukum Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45 Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri (LBH PTN) selama beberapa dekade turut mewarnai proses penegakan hukum di Indonesia. Sejak diundangkannya Undang-Undang (UU) Advokat, mewajibkan pemberi bantuan hukum memiliki lisensi kepengacaraan, sehingga LBH PTN dak bisa lagi leluasa bergerak, meski kemudian terdapat putusan Mahkamah Kons tusi (MK) yang membatalkan pasal pemidanaan dalam UU Advokat tersebut. Secara prak s, posisi LBH PTN harus dipahami sebagai bagian upaya dari para civitas akademika dalam melakukan pengabdian masyarakat dan pengembangan keilmuan hukum. Lahirnya UU No. 16 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum, memberikan angin segar dalam mereposisi LBH PTN dalam melakukan pemberian bantuan hukum yang menjamin akses keadilan. Dengan menggunakan pendekatan sosio legal ditemukan bahwa UU Bantuan Hukum mereposisi peran pengabdian masyarakat LBH PTN setelah vacuum akibat dak adanya aturan yang jelas dan tegas yang mengakomodir peran mereka selama puluhan tahun bergerak di bidang bantuan hukum pro masyarakat miskin. UU Bantuan Hukum memperluas definisi Pemberi Bantuan Hukum, sehingga memberikan peluang bagi para dosen PTN, paralegal dan mahasiswa hukum yang tergabung dalam LBH untuk melakukan pengabdian masyarakat sekaligus pengembangan keilmuan hukum. Implementasi jaminan access to jus ce yang dilakukan LBH PTN dapat dilakukan secara lebih op mal pasca diberlakukannya UU Bantuan Hukum. Proses pemberian pelayanan bantuan hukum dapat dilakukan dengan cara melakukan pendampingan secara li gasi maupun non li gasi, dengan bantuan pendanaan dari negara. Kata kunci: Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi Negeri, Pengabdian Masyarakat, Access to Jus ce
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.734 Fachrizal Afandi Community Service Implementa on Based on Access to Jus ce on Legal Aid Ins tu on of State Universi es Post-Enactment the Law of Legal Aid RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 31-45 Legal Aid Ins tu on of State Universi es (LBH PTN) influence process of law enforcement in Indonesia for several decade. Since the enactment of law on advocate which requires advocate license for legal aid provider, so that LBH PTN could not more move freely, even then there is the Cons tu onal Court (MK) decision who cancel ar cle punishment in the Advocates ActIn prac cally, posi on of LBH PTN should be understood as part of academic community effort to perform community service and legal science development. The enactment of law number 16 year 2012 on legal assistance has given a fresh breeze in reposi oning LBH-PTN to do some legal assistance that guaranteed access to jus ce. By using socio legal approach founded that law on legal assistance has been reposi oning the role of community service in LBHPTN a er vacuum caused by the lack of obvious and asser ve rules that accommodates their roles for decades to legal assistance which is pro poor society. The expansion of defini on legal aid provider in the law on legal aid have been giving an opportunity for state university, paralegals and students who are members of legal aid ins tu on to perform community service together with development of legal science. Implementa on of guaranteed access to jus ce is doing by LBH-PTN could be made op mally post enactment the law on legal aid.Awarding process of legal assistance could be done by accompaniment li ga on and non-li ga on, dissemina on, legal consulta on, and other program which related to the implementa on of legal assistance with the help of state funds. Keywords: Legal Aid, Legal Aid Ins tu on, State Universi es, Access to Jus ce, Community Service
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 347.965.6 Ade Irawan Taufik Sinergisitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara Dalam Pemberian Bantuan Hukum CumaCuma Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63 Dalam mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, advokat diwajibkan memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin, namun pada kenyataanya kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma terdapat banyak kendala dalam prakteknya, oleh karena itu diperlukan campur tangan negara. Permasalahannya adalah bagaimana konsepsi bantuan hukum yang selama ini terjadi dan bagaimana sinergisitas arah bantuan hukum yang berpihak pada masyarakat miskin dan bagaimana sinergisitas peran negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi orang atau kelompok miskin. Dengan menggunakan metode peneli an yuridis norma f dapat disimpulkan bahwa konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini yang bersifat individual dan konvensional dengan pengaturan yang bersifat parsial dan dak tersistem sehingga membawa pada suatu kondisi belum terwujudnya suatu perubahan sosial yang berkeadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta mudahnya akses untuk mendapatkan keadilan tersebut. Peran negara hadir dalam membentuk regulasi dalam bentuk UU Bantuan Hukum 2011, yang memberikan suatu konsep baru bantuan hukum. Keberadaan UU Bantuan Hukum semakin menguatkan peran advokat dalam memberikan bantuan cuma-cuma, sehingga peran dan kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat 2003 dapat bersinergi dengan peran negara dalam menyelenggarakan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum 2011. Kata kunci: advokat, bantuan hukum, akses keadilan, sinergi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 347.965.6 Ade Irawan Taufik
Synergy of Roles and Responsibili es of Advocates and State in Giving Legal Aid for Free RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 47-63 In realizing the principles of the rule of law, advocates were oblige to provide legal assistance to people or the poor, however the liability of advocates in giving free legal aid encounter many obstacles in prac ces, therefore, the interven on of state were required. The problem is the concep on of legal aid that occurs and how is the synergy between advocates and states in giving a free legal aid and pro-poor legal aid. By using the norma ve research method, it can be concluded that legal aid concep on occurred during this me is individualized and conven onal with par al and unsystemized se ng lead to a condi on of unestablished just social change and public awareness as well as easy access to jus ce. The Role of states presents by establishing the regula on in form of Legal Aid Act 2011, which provides a new concept of legal aid. The existence of Legal Aid Act strengthens the role of advocates in providing free assistance, so that the roles and responsibili es set out in the Advocate Act 2003 can be synergized with the role of the state in legal aid as set out in the Legal Aid Act 2011. Keywords: advocate, legal aid, access to fairness, sinergy
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.341.06 Arfan Faiz Muhlizi Bantuan Hukum Melalui Mekanisme Nonli gasi Sebagai Saluran Penguatan Peradilan Informal Bagi Masyarakat Adat Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79 Kemampuan negara dalam menyediakan akses atas keadilan secara cepat dan murah bagi masyarakat masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari terbatasnya jangkauan aparat negara, hingga terjadinya judicial corrup on. Oleh karena itu perlu mencari alterna f lain dalam rangka mendapatkan akses keadilan. Salah satu alterna f tersebut adalah penguatan mekanisme non formal melalui peradilan informal dengan berbagai variannya seper mediasi dan peradilan adat. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme non formal ini selaras dengan keberadaan Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang memberikan ruang bagi kemungkinan bantuan hukum melalui mekanisme nonli gasi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dan mengacu pada model collabora ve approach atau hybrid jus ce sistem agar dapat memberikan jaminan kepas an hukum maka terlihat bahwa UU Bantuan Hukum juga mendorong pembenahan dan pembaharuan administrasi dan manajemen peradilan adat agar mekanisme koordinasi dengan lembaga formal dalam rangka memberikan bantuan hukum ini dapat berjalan lebih lancar. Pemerintah masih perlu mendorong agar organisasi bantuan hukum (OBH) memberikan prioritas bantuan hukum terhadap kasus-kasus yang diselesaikan melalui peradilan informal, khususnya peradilan adat agar dak terjadi penumpukan perkara di peradilan formal. Kata Kunci: peradilan adat, bantuan hukum, koordinasi, nonli gasi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.341.06 Arfan Faiz Muhlizi The Legal Aid Through Non Li ga on Mechanism As Access on Strengthening Informal Jus ce for Adat Community RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 65-79 State capabili es in providing access to jus ce rapidly and cheaply to peoples s ll faces various obstacles, begin from limited reach of civil servant un l judicial corrup on happened. Therefore it is necessary to find other alterna ves in order to obtain access of jus ce. The one of it is strengthening mechanism through informal jus ce with variety of variant such as media on and adat court. Dispute resolu on through non formal mechanism in line with existence the law number 16 year 2011 on legal aid which provides space for the possibility of legal aid through non li ga on mechanism. By using empirical and juridical approach refers to the collabora ve approach or a hybrid jus ce system in order to provide legal certainty then it looks that the law on legal assistance encouraging improvement and renewal of adat court in order to provide legal aid runs smoothly. The government s ll necessary to encourage legal aid ins tu on gives priority to legal aid of cases resolved by informal jus ce, especially of adat jus ce in order to avoid the buildup of cases in formal jus ce. Keywords : adat judiciary, legal aid, coordina on, nonli ga on
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.25 Eka N.A.M. Sihombing Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Bantuan Hukum Di Provinsi Sumatera Utara Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93 Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum memberi ruang bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. Apabila daerah berkehendak mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD, maka pemerintah daerah dan DPRD harus mengaturnya dalam Peraturan Daerah (perda). Sampai saat ini, di Provinsi Sumatera Utara belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak kons tusional warga negara tersebut, khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin. Metode peneli an yang digunakan pada penulisan ini menggunakan metode peneli an hukum norma f, dengan pendekatan yuridis norma f (legal research). Sifat peneli an ini adalah deskripsi anali s yaitu suatu peneli an yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) tentang fakta dan kondisi atau gejala yang menjadi objek peneli an, setelah itu dilakukan telaah secara kri s. Hasil Peneli an menunjukkan bahwa sampai saat tulisan ini dibuat, ranperda tentang bantuan hukum belum dilakukan penyusunan, masih sekedar dicantumkan dalam Prolegda 2013. Mengingat pen ngnya perda tentang bantuan hukum sebagai landasan hukum bagi daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibutuhkan komitmen kuat dari DPRD maupun Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara beserta stakeholder untuk segera mengimplementasikan pembentukan perda Bantuan hukum serta mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD sebagaimana amanat pasal 19 UU Bantuan Hukum. Kata kunci: Pembentukan, Perda, Bantuan Hukum
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.25 Eka N.A.M. Sihombing Encourage of Establishing Regional Regula on Concerning Legal Aid at Province of North Sumatera
RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 81-93 The law on legal aid gave space for the region to allocate costs of legal aid in the APBD. When the region has an inten on to allocate funds in the APBD, local government and the parliaments should be arrange it in regional regula on (Perda). Un l now, the province of North Sumatra has not been having regional regula on which specifically guarantees implementa on of cons tu onal rights ci zens, especially for people or poor society. Research method used on this paper is norma ve legal research with norma ve juridical approach. The nature of research is analy cal descrip ve that aims to describe about facts and condi on or indica on which became the object of research, a er was done cri cal studies. The result of research shows that up to the me of wri ng, Ranperda on legal aid has not been dra ing, just simply listed in Prolegda 2013. considering the importance of Perda on legal aid as a legal founda on for the region to fulfill the rights poor society in accessing jus ce and equal treatment before the law, it takes high commitment from the council and local government of the Province of North Sumatra and its stakeholders to implemen ng immediately the forma on of Perda on legal aid and allocated in the budget as mandated by ar cle 19 the law on legal aid. Keywords: establishment, regional regula on, legal aid
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.97 Muhammad Rustamaji Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum Dalam Pandangan Richard A Posner Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106 Kajian hukum yang dilakukan bertujuan menakar pengawasan pemberian bantuan hukum dalam pandangan teori hukum Richard A Posner. Pendekatan economy analysis of law yang dikemukakan Posner, dijadikan pisau analisis guna membedah pola pengawasan pemberian bantuan hukum yang dimanatkan undang-undang. Metode peneli an yang digunakan menggombinasikan ilmu hukum sebagai ilmu atau disiplin yang hermeneu k, argumenta f, dan disiplin empiris. Hasil peneli an mengenai pembedahan pengawasan pemberian bantuan hukum dengan pisau analisis teori hukum Richard A. Posner menunjukkan bahwa efisiensi aturan hukum yang ditujukan mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan, memerlukan prinsip ekonomi yang kemudian masuk dalam ranah hukum. Konsep hukum yang mensejahterakan coba dibuk kan pada perwujudan pengawasan atas bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin. Lima aspek yang menyusun teori hukum Posner menunjukkan bahwa kelindan hukum dan ekonomi merupakan keniscayaan yang nyata. Kata kunci : Posner, bantuan hukum, pengawasan
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.97 Muhammad Rustamaji Control Measure Gran ng Legal Aid Views of Richard A Posner RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 95-106 Research purposes to measure the oversight of legal assistance in view of the legal theory Richard A. Posner. Economy analysis of law approach proposed Posner, used a knife to dissect the analysis of pa erns of supervision duty legal aid legisla on. The method used combine jurisprudence as a science or a hermeneu c discipline, argumenta ve, and empirical discipline. The results of the surgical control of legal assistance with legal theory analysis knife Richard A. Posner suggests that the efficiency of legal rules aimed at social welfare and jus ce, requires economic principles which later entered the realm of law. The concept of welfare laws trying to prove to the realiza on of control over legal aid given to the poor. Five aspects that make up the legal theory linked by Posner suggests that law and economics is a real necessity. Keywords: Posner, legal aid, supervision
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.97 Mosgan Situmorang Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119 Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dikatakan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Jasa hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum adalah cuma-cuma, dalam ar mereka dak mendapat upah dari pihak yang dibantunya, namun pemerintah akan memberikan dana bantuan untuk se ap kasus yang ditangani yang besarnya disesuaikan dengan jenis kasusnya. Dana bantuan tersebut memang dak akan diberikan kepada semua organisasi bantuan hukum, tetapi hanya kepada organisasi bantuan hukum yang sudah memenuhi syarat sesuai dengan UndangUndang Bantuan Hukum. Karena dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka tentu saja akuntabilitas organisasi bantuan hukum yang menerima dana tersebut harus dapat dipertanggung jawaban kepada masyarakat. Tulisan ini adalah berupa kajian norma f, dengan demikian data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan primer yakni peraturan perundang undangan, utamanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 dan undang- undang lain yang terkait serta bahan sekunder berupa bahan kepustakaan dan data dari internet. Dalam peneli an ini disimpulkan bahwa Undang-Undang Bantuan Hukum sudah dapat mengan sipasi perlunya akuntabilitas organisasi bantuan hukum tapi masih perlu di ngkatkan dengan cara membuat aturan-aturan yang mendukung terciptanya akuntabilitas tersebut terutama peraturan mengenai standar bantuan hukum. Kata kunci: Organisasi Bantuan Hukum, Akuntabilitas, Dana
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.97 Mosgan Situmorang Development of Legal Aid Organiza on’s Accountability RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 107-119 In Law No. 16 Year 2011 regarding Legal Aid, stated that legal aid provider is a legal aid organiza on or community organiza ons that provide legal aid services. Legal services provided by the legal aid organiza on is free in the sense that they do not get paid from those who helped. However, the government will provide financial assistance for each case handled that amount is in accordance with the type of case. The grant is not given to all legal aid organiza ons but only to a legal aid organiza on that has been qualified in accordance with the Legal Aid Act. Because these funds come from the state budget of course accountability of legal aid organiza ons receiving funds must be able to be an answer to the public. This paper is a norma ve review, thus the data used are secondary data from the primary material i.e laws and regula ons, especially Law No. 16 of 2011 and other laws related and secondary materials in the form of the literature and data from the internet.This study concluded that the Legal Aid Act was able to an cipate the need for accountability of legal aid organiza ons but it is need to be improved by making rules that favor the crea on of accountability mainly standard rules regarding legal aid. Keywords: Legal Aid Organiza on, Accountability, Fund.
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Kata Kunci Bersumber dari arƟkel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.728 Marulak Pardede Peran Peneli an Hukum Yang Dilaksanakan Oleh Organisasi Bantuan Hukum Dalam Mendukung Pembangunan Hukum Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-139 Salah satu program kegiatan lain yang merupakan hak dari Organisasi Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 9C UndangUndang No. 16 Tahun 2011 adalah kegiatan peneli an hukum sehubungan dengan pelaksanaan bantuan hukum. Tulisan ini membahas bagaimanakah peran peneli an hukum yang dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum dalam mendukung pembangunan hukum. Dengan menggunakan pendekatan bersifat yuridis norma f serta metode analisis data kualita f (deskrip f-anali s) terlihat bahwa peranan peneli an hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum, sangat pen ng dalam mendukung pembangunan sistem hukum nasional, untuk mengungkapkan data ilmiah yang menyangkut aspek-aspek filosofis, yuridis, sosiologi, ekonomi, maupun poli k yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum sebagai bahan kebijaksanaan pembangunan hukum, karena banyak hasil-hasil peneli an hukum yang dilakukan oleh berbagai lembaga peneli an hukum di daerah, dak sepenuhnya terakumulasi dalam penentuan kebijakan hukum di pusat sesuai dengan semangat otonomi daerah. Untuk itu, dalam pelaksanaan bantuan hukum perlu dikembangkan peneli an terapan yang norma f dan interdisipliner dalam mendukung penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam rangka pelaksanaan bantuan hukum dan pembangunan hukum nasional, serta penyempurnaan dan pemantapan kerja sama peneli an dan pengembangan hukum dengan berbagai instansi termasuk Organisasi Bantuan Hukum dan perguruan nggi serta lembaga peneli an nasional, maupun internasional. Kata kunci: peneli an hukum, organisasi bantuan hukum, pembangunan hukum
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wriƟng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342. 728 Marulak Pardede The Role of Legal Research Implemented by Legal Aid Organiza on to Support Law Development RechtsVinding Journal, Vol. 2 No. 1, April 2013, page 121-139 One of other ac vi es program which is rights of legal aid organiza on based on Ar cle 9C, Law Number 16 Year 2011 is law research in concerning with law aid implementa on. this paper discusses about how the role of legal research which implemented by legal aid organiza on in support of law development. by using juridical norma ve approach well as qualita ve data analysis shows that the role of legal research which conducted by legal aid organiza on, important in support the na onal law system development, to reveal scien fic data concerning philosophical aspects, juridical, sociology, economics and poli cs could be influencing law development as law policies, as many result of legal research which implemented by legal research ins tu on in region, not en rely accumulated in law policies making center in according to regional autonomy spirit. for it, the implementa on of legal aid needs to be of applied norma ve research and interdisciplinary in suppor ng policy se ng and decision making in the implementa on of legal aid and na onal law development, as well as improving and strengthening of research coopera on and law development with others ins tu on, including organiza on on law aid, university, na onal research ins tu on and interna onal. Keywords: legal research, legal aid organiza on, legal development.
Vo lu me 2 No mo r 1, A p r il 2 0 1 3
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
PENGARUH BANTUAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT MISKIN
(Meninjau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum) The Influence of Legal Aid on the Poor (Reviewing the Law Number 16 Year 2011 on Legal Aid) Ihdi Karim Makinara Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Jl. Nurudin Ar-Raniry Kopilima Darussalam Banda Aceh, Aceh Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 23 April 2013; revisi: 25 April 2013; disetujui: 26 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Bantuan hukum adalah salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan masyarakat termiskin rakyat Indonesia. Bantuan hukum harus dimaknai dan dilaksanakan sebagai upaya perjuangan menegakkan HAM bagi si miskin. Tujuan bantuan hukum perlu diperluas, dak saja terbatas pada bantuan hukum individual, tetapi juga struktural dan juga jangan terbelenggu dengan jalur-jalur formal semata. Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memunculkan permasalahan bagaimana pengaruh bantuan hukum terhadap masyarakat? Dengan menggunakan metode peneli an norma f dan dengan pendekatan data secara kualita f yang dianalisis deskrip f, didapatkan kesimpulan bahwa keberadaan Undang-Undang Bantuan Hukum belum maksimal memberikan pengaruh terhadap bantuan hukum bagi masyarakat miskin, karena bantuan hukum masih dalam jalur formalis k dan masih bersifat pasif. Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum yang digeser dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian kepada Menteri Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan agar dapat menyentuh orang atau kelompok orang miskin, tetapi besar anggaran perlu memper mbangkan proses peradilan yang berjalan, karena dikhawa rkan dapat menghambat orang miskin dan kelompok orang miskin untuk mengakses keadilan guna mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Kata Kunci: Bantuan Hukum, Masyarakat Miskin, Undang-Undang
Jur
na
Abstract Legal aid is an effort to fulfill human rights, especially for Indonesian poorest society. Legal aid should be interpreted and implemented as an effort of human rights enforcement for the poor. The purpose of legal aid should be expanded, not just limited to individual legal assistance, but also structural and not fe ered by mere formal channels. By enacted the Law Number 16 Year 2011 on Legal Aid, raises the ques on of how the influence of legal assistance to the society? By using norma ve research methods and approaches qualita ve data were descrip vely analyzed, was concluded that existence of legal aid has not been maximized effect to legal assistance for the poor, and because of it is s ll on formalis c track and passive. Funding of legal assistance shi ed from the Supreme Court, A orney General and Police to the Ministry of Jus ce and implemented by a Legal Aid Ins tu on or civil society organiza on in order to reach people or the poor community, but the magnitude of budget needs to consider the judicial process, because it feared could hinder the poor to access of jus ce to realize their cons tu onal rights. Keywords: Legal Aid, The Poor Community, The Law
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
1
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
C.J.M. Schuyt, Keadilan dan Effektivitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – penerbitan tidak bertanggal. Dalam awal tulisannya Schuyt bercerita mengenai tragedi Kapal TITANIC yang tenggelam di laut. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang kelas II dan kelas III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Kelebihan uang atau kekayaan ternyata memberikan jaminan keselamatan yang baik. T. Mulya Lubis, ”Pembangunan dan Hak-has asasi Manusia”, Prisma No. 12, (Desember 1979): 11-20. Mahbub ul Haq, The Poverty Curtain: Choice for the Third World, (New York, Columbia: University Press, 1976).
Jur
1
na
lR ec hts V
ind
Bantuan hukum adalah salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan masyarakat termiskin rakyat Indonesia. Orang kaya sering dak membutuhkan bantuan hukum karena sebetulnya hukum itu dekat dengan orang kaya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ke dakadilan hukum antara si kaya dan si miskin.1 Seseorang yang mampu membayar advokat kelas satu akan mendapatkan harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya mampu membayar seorang pokrol bambu. Seseorang yang mampu membayar dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar dari seorang yang hanya mampu membayar seorang mantri, dan seorang lulusan universitas negeri akan mempunyai harapan lebih besar jika dibandingkan dengan seorang lulusan universitas swasta. Pengotak-kotakan memang telah menjadi sifat kehidupan. Rasa hormat atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah omong kosong kaum intelektual. Ini semua adalah contoh dari ke dakjujuran kita terhadap diri kita.2 Dengan alasan pikir yang demikian, bantuan hukum harus dimaknai dan dilaksanakan sebagai upaya perjuangan menegakkan HAM bagi si miskin. Karena hak rakyat miskin telah cukup lama ‘ditawan’ oleh orang-orang kaya, dan HAM itu dak diberikan begitu saja. Ini menunjukkan ke dakadilan, maka melalui bantuan hukum dengan pola hubungan yang lebih adil HAM dapat diberikan.
Oleh sebab itu, tujuan bantuan hukum perlu diperluas, dak saja terbatas pada bantuan hukum individual dan bersifat kota, tetapi juga struktural. Karena masalah pelanggaran HAM seringkali menindas masyarakat miskin pedesaan. Sudah waktunya gerakan bantuan hukum secara ak f datang ke pedesaan dan mengerjakan pekerjaan bantuan hukum dalam ar seluas-luasnya. Hendaknya jangan terbelenggu dengan jalur-jalur formal semata, sebab banyak jalur-jalur informal yang sudah waktunya ditangani. Karena itu, bantuan hukum harus diar kan sebagai upaya membebaskan masyarakat miskin dari struktur yang menindas mereka. Kalau ini masalahnya, maka bantuan hukum harus mampu membuka mata dan perasaan orang miskin bahwa mereka adalah korban dari sistem sosial yang dak adil. Kesadaran bahwa mereka miskin dan ter ndas mes dipompakan kepada mereka. Kultur nrimo yang sudah mendarah daging pada mayoritas masyarakat kita harus diubah. Mereka miskin karena mereka dibuat miskin, bukan karena dilahirkan miskin. Kesempatan yang seimbang dak pernah ada.3 Sumbersumber daya ekonomi dan poli k sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang kaya, dan ini memungkinkan orang-orang kaya tersebut jadi penentu kehidupan orang-orang miskin. Equality of opportunity adalah perlu, tetapi ini dak akan berar banyak jika tempat ancangancang dak sama. Dari sinilah kita bertolak bahwa tujuan bantuan hukum adalah mengubah pola
ing
A. Pendahuluan
2 3
2
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dengan cara meneli bahan pustaka atau data sekunder.4 Data Sekunder dalam peneli an ini melipu : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat,5 seper : 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang; 3) Peraturan perundang-undangan lainnya di bawah Undang-Undang. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain: 1) Hasil karya ilmiah (buku, makalah, tulisan di majalah hukum); 2) Hasil-hasil peneli an yang telah dipublikasikan.
lR ec hts V
ind
struktur yang menindas, paling dak meratakan jalan menuju suatu perubahan struktur yang menindas ke struktur yang lebih berkeadilan. Dalam kaitan itu, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dalam konsiderannya menyatakan a) bahwa negara menjamin hak kons tusional se ap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia; b) bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan; c) bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan; dan d) bahwa berdasarkan per mbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf, b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang Bantuan Hukum.
B. Permasalahan
Dari uraian di atas, maka dalam tulisan ini penulis akan mengkaji bagaimana pengaruh bantuan hukum terhadap masyarakat miskin di njau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011?
C. Metode PeneliƟan
na
1. Pengumpulan Data
Analisis data adalah tahap yang paling pen ng dalam kegiatan peneli an, karena pada tahap ini berfungsi memberi interpretasi serta ar terhadap data yang telah diperoleh. Dalam peneli an ini, data yang diperoleh disajikan secara kualita f, dengan menggunakan analisis deskrip f, yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh ke dalam bentuk penjelasanpenjelasan.6 Ar nya problem yang ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan teori dan peraturan yang ada, serta dilengkapi analisis.
Jur
Peneli an ini merupakan peneli an norma f, yaitu peneli an hukum yang dilakukan
2. Analisis Data
4
5
6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, Jakarta, 1985), hlm. 5. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Op.Cit.
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
3
Volume 2 Nomor 1, April 2013
lR ec hts V
ind
Is lah bantuan hukum sebagai terjemahan dari dua is lah yang berbeda yaitu ”legal aid” dan ”legal Assistance”. ”Legal Aid” digunakan untuk menunjukkan penger an bantuan hukum bagi orang miskin yang dak mampu membayar advokat. Sedangkan ”Legal Assistance” digunakan untuk menunjukkan penger an bantuan hukum bagi masyarakat mampu dan dak mampu oleh para Advokat yang mempergunakan honorarium.7 Dengan kata lain, ”legal aid” adalah bantuan hukum dalam ar sempit, sebaliknya ”legal assistance”adalah bantuan hukum dalam ar luas. Bantuan hukum secara yuridis didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum, sebagai berikut:
BP HN
1. PengerƟan Bantuan Hukum
Dari penger an tersebut dapat dipahami bahwa bantuan hukum dilakukan oleh Lembaga Bantuan atau Organisasi Kemasyarakatan terhadap orang miskin (perseorangan) maupun kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha Negara, baik li gasi maupun nonli gasi.11 Dalam pada itu, terkait makna ”jasa hukum”, sebagaimana telah ditentukan oleh UU Bantuan Hukum, sebagai ‘bentuk’-nya melipu : menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan hukum orang miskin maupun kelompok orang miskin.12 Selanjutnya, eligibility (ukuran) kemiskinan, baik orang miskin atau kelompok orang miskin, adalah yang dak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, seper hak atas sandang, pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.13 Sebagai perbandingan, di dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dinyatakan:
ing
D. Pembahasan
”Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.”8
Di mana yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang.9 Sedangkan yang dimaksud Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.10
8
9
Jur
10 11 12 13 14
4
Dengan demikian, bantuan hukum dalam ar ”legal aid” diberikan dan dilakukan secara
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 3. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248. Pasal 1 angka 2, Ibid. Pasal 1 angka 3, Ibid. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Ibid. Pasal 4 ayat (3), Ibid. Pasal 5, Ibid. Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4288.
na
7
”Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang dak mampu.”14
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
lR ec hts V
ind
Bantuan hukum bukan terminologi baru dalam dunia hukum Indonesia. Bahkan, ”bantuan hukum” diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Lahirnya UU Bantuan Hukum menambah da ar peraturan perundang-undangan yang memuat tentang bantuan hukum. Meskipun memang peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis baru ada setelah hadirnya undang-undang ini. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan.15 Dalam membentuk sebuah Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yakni:16 a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan g. Keterbukaan
BP HN
2. Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Dalam Beragam Aturan
Selain mencerminkan asas-asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum adalah Undang-Undang Bantuan Hukum. Ketentuan lain mengenai bantuan hukum terdapat pula dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang dak mampu. Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode E k Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang dak mampu. PERADI sendiri membentuk satu unit layanan bernama PBH Peradi, yang menerapkan kewajiban 50 jam per tahun untuk se ap advokat memberikan bantuan hukum pro bono. Terkait dengan bantuan hukum pro bono, negara melalui undang-undang peradilan umum, peradilan agama dan TUN menjadikan Posbakum17 sebagai wadah untuk bantuan hukum bagi orang dak mampu. Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Bantuan hukum cuma-cuma adalah jasa hukum yang
ing
cuma-cuma, khusus kepada masyarakat miskin atau dak mampu secara ekonomi yang dak mampu membayar jasa hukum.
15
16 17
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ibid. Posbakum merupakan akronim dari Pos Bantuan Hukum.
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
5
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Negeri agar dibentuk Pos Bantuan Hukum kepada para pencari keadilan yang dak mampu dalam memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma kepada semua ngkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari proses peradilan yang adil dan inherent di dalam prinsip negara hukum dan merupakan salah satu prinsip HAM yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum dan dijabarkan dalam Interna onal Covenant on Civil dan Poli cal Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Poli k. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin bahwa semua orang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan apapun termasuk status kekayaan. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) menjamin hak atas bantuan hukum dan memerintahkan negara untuk menyediakan Advokat/Pemberi Bantuan Hukum (PBH) yang memberikan bantuan hukum secara efek f untuk masyarakat miskin dan ke ka kepen ngan keadilan mensyarakatkannya. Selain DUHAM dan ICCPR, hak atas bantuan hukum terdapat dalam UN Standard Minimum Rules for the Administra on of Juvenile Jus ce, terkait pen ngnya hak atas bantuan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, UN Declara on on the Rights of Disabled Persons terkait pen ngnya bantuan hukum yang berkualitas pada orang-orang difable (different ability). Hak Bantuan hukum dikategorikan sebagai non-derogable rights (tak dapat dikurangi).
Jur
na
lR ec hts V
ind
diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium melipu pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan pencari keadilan yang dak mampu.18 Definisi pencari keadilan yang dak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis dak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukumnya. Bantuan hukum bisa ditemukan dalam Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-UM.06.02 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa yang termasuk orang kurang mampu adalah orang-orang yang mempunyai penghasilan yang sangat kecil, sehingga penghasilannya dak cukup untuk membiayai perkaranya di pengadilan, keadaan ke dakmampuan ini ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan keterangan Kepala Desa atau Lurah. Aturan-aturan hukum yang mengamanatkan untuk pemberian bantuan hukum kepada para pencari keadilan yang dak mampu dapat dilihat juga dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, serta pada Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum yang dibahas di Pasal 68B dan Pasal 68C, yang isinya adalah se ap orang yang berperkara mendapatkan bantuan hukum, Negara yang menanggung biaya perkara tersebut, pihak yang dak mampu harus melampirkan surat keterangan dak mampu harus melampirkan surat keterangan dak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan, serta se ap Pengadilan
18
6
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
secara khusus mengatur ketentuan tentang hak untuk memperoleh pelayanan hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang miskin yang terlibat dalam perkara pidana. Dalam perkembangannya, maka pengaturan bantuan hukum juga telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan mulai dari undang-undang sampai dengan Surat Keputusan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berikut dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 menegaskan bahwa se ap orang yang terlibat dalam perkara berhak untuk memperoleh bantuan hukum baik dalam perkara pidana ataupun perdata. Terdapat ga dasar pemikiran utama untuk mengkonsolidasikan kebijakan pemerintah dan peraturan hukum dalam sebuah strategi nasional untuk keadilan yang jelas dan koheren19 yaitu: 1. Reformasi Kelembagaan. Reformasi kelembagaan seharusnya responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sebuah strategi nasional akan menghubungkan permintaan masyarakat akan pelayanan hukum yang lebih baik guna menjawab kebutuhan segenap masyarakat Indonesia, mencakup lembaga keadilan formal dan informal. 2. Keadilan dan Kemiskinan. Meningkatkan akses hukum dan keadilan akan melengkapi upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. 3. Jus ce dan Security. Meningkatkan efek fitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum yang pada giliranya dapat mengurangi konflik dan memperbaiki jaminan keamanan masyarakat.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Secara khusus hak bantuan hukum dijamin dalam Pasal 17, 18, 19 dan 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, khususnya Pasal 35 yang menyatakan se ap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Hak ini melekat pada perumusan hak tersangka/terdakwa, saksi dan korban dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, seper dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak Sipil dan Poli k, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ra fikasi CEDAW, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK dan Undang-Undang tentang Perdagangan Orang. Pada awalnya, perihal bantuan hukum telah diatur dalam beberapa pasal dalam Herziene Indische Reglement (HIR). Pengaturan bantuan hukum tersebut merupakan bagian dari kegiatan pelayanan hukum. Secara khusus, pengaturan tentang pelayanan hukum bagi golongan masyarakat yang dak mampu, dalam ar dak mampu untuk membayar ongkos perkara dan honorarium bagi advokat diatur dalam Pasal 237 HIR sampai dengan Pasal 242 HIR dan Pasal 250 HIR. Pasal 237 HIR sampai dengan Pasal 242 HIR mengatur tentang permohonan untuk berperkara di pengadilan tanpa membayar ongkos perkara. Sedangkan Pasal 250 HIR
19
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/07/mengurai-uu-bantuan-hukum-2-483159.html
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
7
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
nilai-nilai baru yang berguna dak saja secara hukum, tetapi menyangkut banyak segi lain, lebih-lebih aspek ekonomis, terutama kalau kita hubungkan dengan kenyataan-kenyataan sosial, bahwa kita memang sedang menuju ke arah pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pembagian pendapatan yang merata sesuai dengan sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.21 Dalam ketentuan peralihan UU Bantuan Hukum dijabarkan bahwa pada tahun 2013 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) akan secara penuh melaksanakan tugas dan fungsi sekaligus penganggarannya pada tahun 2013. Dalam ketentuan penutup Pasal 24 disebutkan bahwa: ”Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang dak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini”.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Menurut Adnan Buyung Nasu on,20 upaya yang dimaksud memiliki ga aspek yang saling berkaitan: 1. Aspek perumusan aturan-aturan hukum. 2. Aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga aturan-aturan tersebut untuk ditaa dan dipatuhi. 3. Aspek pendidikan masyarakat agar aturanaturan tersebut dipahami. Karenanya bantuan hukum dimaknai secara meluas, dengan dak hanya terbatas pada pemberian pelayanan dan pendampingan bagi masyarakat miskin dalam sistem hukum baik di dalam maupun di luar peradilan, namun juga diharapkan, (1) Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin tentang kepen ngan-kepen ngan bersama mereka. (2) Adanya penger an bersama di kalangan masyarakat miskin tentang perlunya kepen ngankepen ngan mereka dilindungi oleh hukum. (3) Adanya pengetahuan dan pemahaman di kalangan masyarakat miskin tentang hakhak mereka yang telah diakui oleh hukum. (4) Adanya kecakapan dan kemandirian di kalangan masyarakat miskin untuk mewujudkan hak-hak dan kepen ngan-kepen ngan mereka di dalam masyarakat. Dengan kata lain, seharusnya bantuan hukum dak saja dalam proses peradilan, tetapi justru suatu proses pendidikan hukum (legal educa on): bagaimana menumbuhkan suatu kesadaran hukum (legal conciousness) agar masyarakat menger akan hak-hak dan kewajibannya dalam pergaulan hukum di masyarakat. Proses pendidikan hukum ini bisa diar kan sebagai usaha untuk mengintrodusir
20 21 22
8
3. Konsep Bantuan Hukum
Ada dua konsep pokok dalam bantuan hukum, yaitu konsep bantuan hukum individual dan konsep bantuan hukum struktural.22 Konsep bantuan hukum individual (tradisional) pada dasarnya suatu konsep lama yang sejalan dengan sistem hukum yang ada: bantuan hukum pada se ap kasus yang menurut hukum beralasan untuk dibela. Penekannya pada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral, sama rasa sama rata. Permasalahannya, cukup sering hukum itu dak memberikan keadilan. Hukum dalam posisi netral cukup sering justru
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm 45. Todung Mulya Lubis, ”Bantuan Hukum: Arti Dan Peranannya”, Prisma No. 6 Tahun II, (Desember 1973): 1. Ibid, hlm. 84-86.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Dalam sengketa-sengketa yang bersifat permukaan, bantuan hukum berikut dana tersedia untuk mencari jalan keluar. Bantuan hukum hanya menjadi semacam pelayanan medis bagi orang sakit. Karena itu, bantuan hukum individual saja dak cukup. Orang miskin atau kelompok orang miskin harus dikembalikan hak-hak dasar mereka akan sumber-sumber daya poli k, ekonomi, teknologi, informasi dan sebagainya, agar mereka bisa menentukan masyarakat bagaimana yang mereka kehendaki. Beberapa alasan mengapa bantuan hukum tradisional (individual) dak cukup, sebagaimana dikemukakan Todung Mulya Lubis,26 antara lain: 1. Sifat bantuan hukum tradisional adalah individual. Asal seseorang itu bisa membuk kan dirinya dak sehat atau buta hukum dan miskin, maka orang tersebut punya hak untuk dioba atau diberi bantuan hukum; 2. Sistem hukum kita menunjang sistem bantuan hukum tradisional dan individual; 3. Bantuan hukum masih sangat bersifat kekotaan, dan karena itu masih diragukan apakah bantuan hukum kita berhubungan dengan masyarakat-masyarakat pinggiran; 4. Sifat hukum kita pasif, atau menunggu, menyadari kemiskinan dan keterasingan rakyat pinggiran atas sumber-sumber daya poli k, ekonomi, teknologi dan informasi. Sifat hukum yang pasif ini sebetulnya lebih berperan sebagai legi masi status quo yang mempertahankan pola hubungan yang menindas;
Jur
na
lR ec hts V
ind
menguntungkan mereka yang berkuasa dan berpunya23, dan merugikan mayoritas rakyat miskin. Berlawanan dengan itu, konsep bantuan hukum struktural mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum seper itu dengan upaya merombak tatanan sosial yang dak adil. Jadi sasarannya dak lagi sekedar membantu individual dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang punya dampak struktural. Karena itu, bantuan hukum harus dijadikan kekuatan pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial, sehingga akan memiliki pola hubungan yang adil. Hukum sering dak menjawab tantangan yang dihadapi, malah turut mengukuhkan status quo, karena hukum diandaikan netral. Kri k terhadap tatanan sosial sebagai dak adil, dak seimbang, maka kenetralan sama ar nya keberpihakan pada tatanan yang ada.24 Si miskin dan si lemah dak akan berdaya menghadapi si kaya dan si kuat. Di sini tempat bantuan hukum struktural harus berpihak pada si miskin dan si lemah yang merupakan mayoritas. Karena itu, ar ”keadilan”, ”keadilan sosial” dan ”keadilan struktural” harus dilihat dari segi appearance dan essence. Todung melanjutkan, pagar-pagar (perangkap) yang melingkari bantuan hukum. Pertama, masin dominannya konsep bantuan hukum individual. Kedua, keterperangkapan kita kepada keadilan formal (appearance). Dan ke ga, keterikatan kita terhadap upaya hukum (legal means).25
23 24 25 26
Lihat C.J.M. Schuyt, ”Keadilan dan Efekti itas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup”, Op.Cit. Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural, Op.Cit., hlm. 85. Ibid. hlm. 86. Ibid, hlm. 52-55.
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
9
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
di luar hukum atau bukan hukum (extralegal approach); 6. Bantuan hukum haruslah membuka diri terhadap organisasi sosial bukan hukum. Karena suatu koordinasi kegaitan adalah jawaban yang harus ditempuh. 7. Bantuan hukum harus menjadi gerakan sosial yang bertujuan dak saja pada konsien sasi sosial, poli k, ekonomi, dan budaya, tetapi justru harus menciptakan power resources untuk menghadapi yang menindas. Dengan kata lain, jaminan terhadap bantuan hukum dak berkaitan dengan adanya undangundang bantuan hukum. Ke ka yang dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga diperha kan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu menyelesaikan sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan yang memungkinkan diterapkannya Alterna ve Dispute Resolu on (ADR). Perlu juga diperha kan jaminan terhadap hak masyarakat untuk mengembangkan pengetahuannya dan sikap kri s terhadap se ap produk hukum negara maupun yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan mengenai kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang akan memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual maupun struktural. Bantuan hukum individual seper yang dikatakan sebelumnya, lebih tertuju pada kegiatan pendampingan terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan sebagaimana mes nya tanpa ada diskriminasi hukum terhadap mereka. Hal ini mengakibatkan perlunya kualifikasi tertentu, yaitu sarjana
Jur
na
lR ec hts V
ind
5. Bantuan hukum masih terlalu terikat dengan pendekatan-pendekatan hukum semata, maka kurang diperha kan pendekatan yang bukan hukum yang justru bisa membantu percepatan penyelesaian sengketa atau malah konflik sosial; 6. Bantuan hukum masih berjalan sendiri, atau baru pada tahapan bekerjasama dengan sesama organisasi bantuan hukum. 7. Bantuan hukum belum mengarah pada terciptanya gerakan sosial. Seharusnya dalam gerakan bantuan hukum arah akan konsien sasi sosial, poli k, ekonomi dan hukum dikaitkan juga dengan upaya penciptaan suatu power resources. Ketujuh alasan di atas, menjadi dasar untuk merombak dari konsep bantuan hukum individual menuju konsep bantuan hukum struktural. Beberapa ciri yang dimiliki konsep bantuan hukum struktrural,27 antara lain: 1. Sifat bantuan hukum harus struktural. Ar nya bantuan hukum harus mengutamakan bantuan kepada kelompok bukan, bukan lagi perorangan; 2. Sistem hukum kita harus diubah dalam ar aksi-aksi kelompok atau aksi hukum struktural harus mulai dimungkinkan; 3. Sifat bantuan hukum harus menjadi pedesaan disamping tetap berurusan dengan kota. Karena lapisan masyarakat yang justeru sering ter ndas lebih banyak di pedesaan. 4. Sifat bantuan hukum haruslah ak f. Karena bantuan hukum bukan lagi rumah sakit yang menunggu, tetapi haruslah bantuan hukum berjalan dari satu tempat ke tempat di kota dan di desa. 5. Bantuan hukum harus mulai mendayagunakan pendekatan-pendekatan
27
10
Ibid, hlm. 55-57.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Sementara pelaksanaan bantuan hukum struktural dapat dilakukan melalui 3 ( ga) cara, yaitu: 1. Jalur non-li gasi, dimana lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada dan se ap komponen masyarakat yang berkepen ngan membantu memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat guna menyadarkan mereka akan hak-haknya. Misalnya dengan menempelkan poster-poster di tempat-tempat umum, di ins tusi-ins tusi penegakan hukum yang berisi hak dan kewajiban mereka, membuat buklet-buklet yang berisikan informasi mengenai hak masyarakat dan kemudian disebarkan secara umum kepada masyarakat, atau dapat pula secara langsung mengadakan kontak dengan masyarakat melalui diskusi-diskusi yang bertujuan memberikan penyuluhan hukum kepada mereka. Yang in nya adalah meyadarkan masyarakat akan pen ngnya hukum yang selama ini masih menjadi milik pemilik modal dan penguasa. 2. Jalur li gasi, di sini para ak fis bantuan hukum yang secara formal menyandang hak berpraktek sebagai advokat menggunakan jalur hukum untuk mengkri si peraturan perundang-undangan posi f yang ada. Misalnya dalam penanganan kasus-kasus poli k, forum pengadilan dijadikan sebagai corong dengan persetujuan kliennya untuk menyampaikan pesan ke dak adilan bahwa suatu produk hukum tertentu dak benar. 3. Policy reform, yaitu mengar kulasikan berbagai cacat yang terdapat dalam hukum posi f dan kebijakan yang ada, untuk dikri si serta kemudian memberikan alterna falterna f yang mungkin.
Jur
na
lR ec hts V
ind
hukum yang menjadi advokat, bagi pelaksana bantuan hukum individual. Sementara bantuan hukum struktural kegiatannya lebih mengarah kepada proses pemberdayaan dan penyadaran masyarakat hukum supaya mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar pada cara tertentu. Bantuan hukum struktural selama dak bersentuhan langsung dengan proses peradilan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus memenuhi kualifikasi sarjana hukum sebagai advokat. Perbedaan lainnya terlihat pada target sasaran yang dituju, kalau pada bantuan hukum individual targetnya yaitu masyarakat secara individu sedangkan dalam bantuan hukum struktural targetnya adalah masyarakat dalam ar kolek f. Pada bantuan hukum individual, ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan supaya pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasarannya yaitu: 1. Memberdayakan organisasi-organisasi masyarakat/swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seper Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, dan lain-lain. Di sini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi masyarakat/swasta tersebut. 2. Memberdayakan organisasi advokat. Pada model ini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi advokat dimana nan nya organisasi advokat akan menunjuk anggotanya untuk membela anggota masyarakat yang dak mampu.
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
11
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Langkah
yang
Tabel 1: Keterbatasan Bantuan Hukum 1. 2. 3. 4.
Interen Wawasan Organisasi Tenaga Dana
1. 2. 3. 4.
Eksteren Wawasan Kondisi Sosial Kondisi Poli k Kebutaan
Sumber: diolah Penulis
Semua keterbatasan ini membuat bantuan hukum belum berhak disebut sebagai gerakan. Bantuan hukum baru mengarah ke gerakan, belum lagi menjadi gerakan. Dengan kata lain, baru bisa disebut ”organisasi” atau ”badan” atau ”pos bantuan hukum” sebagai kelompok kekuatan (power resources) yang mengusik-usik kemapanan. Faktor keterbatasan bantuan yang menarik untuk dicerma adalah dana. Sebab UndangUndang Bantuan Hukum juga mengatur anggaran untuk penyelenggaraan bantuan hukum. Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, bahwa penyelenggaraan dan anggaran bantuan hukum diselenggarakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Instansi lainnya. Dengan berlakunya UU Bantuan, maka penyelenggaraan bantuan hukum ‘diambil alih’ oleh Menteri dan dilaksanakan oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan. Ar nya, UU Bantuan Hukum telah menggeser penyelenggaran dan anggaran bantuan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM yang dilaksanakan oleh LBH atau Ormas yang terverifikasi dan terakreditasi.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Secara konseptual Undang-Undang Bantuan Hukum telah mengadopsi konsep bantuan hukum dan konsep bantuan hukum struktural secara terbatas. Pertama, bantuan hukum diberikan untuk perseorangan ”orang miskin” dan kolek f ”kelompok orang miskin” yang memohon secara tertulis mapun lisan disertai surat keterangan miskin dari pejabat yang berwenang. Kedua, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin dilakukan oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang terverifikasi dan terakreditasi.28 Ke ga, bantuan hukum yang diberikan bagi masyarakat miskin yang menghadapi dengan menggunakan jalur li gasi (dilakukan oleh sarjana hukum yang telah memiliki izin beracara di pengadilan) dan non-li gasi (dilakukan oleh paralegal, dosen, dan mahasiswa dari fakultas hukum, fakultas syari’ah, perguruan nggi militer serta perguruan nggi kepolisian). Namun begitu, dak seorang pun yang bisa mengatakan kebutuhan akan bantuan hukum itu sudah bersifat mendasar. Menurut Todung Mulya Lubis29, hal ini disebabkan oleh beberapa masalah. Pertama, belum banyak orang yang tahu tentang lembaga-lembaga bantuan hukum. Kedua, dan ini sangat prinsipil yaitu pada urutan ke berapa bantuan hukum atau hukum ini berada di dalam benak rakyat. Ke ga, secara obyek f kita melihat banyak pintu tertutup bagi bantuan hukum. Keempat, kalaupun bantuan hukum memiliki pintu-pintu terbuka bagi rakyat, maka masih perlu dipertanyakan berapa banyak tenaga bantuan hukum yang tersedia, dan berapa besar anggaran yang tersedia.
Jadi, terdapat banyak keterbatasan dalam bantuan hukum itu sendiri baik secara interen maupun eksteren. Hal ini bisa digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
BP HN
Hukum:
ing
4. Bantuan Terbatas
28 29
12
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, Ibid. Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 80-82.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b. mewujudkan hak kons tusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. menjamin kepas an penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d. mewujudkan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini perlu disadari penyelenggaraan bantuan hukum sebenarnya mempunyai tujuan ganda, yaitu: 1. Tujuan Kemanusiaan. Bantuan hukum diberikan dalam rangka meringankan beban hidup golongan masyarakat yang kurang mampu, sehingga mereka juga dapat menikma kesempatan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum. 2. Tujuan Peningkatan Kesadaran Hukum. Bantuan hukum diharapkan dapat mendidik masyarakat untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum, sehingga se ap anggota masyarakat menyadari dan menghaya hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Di negara berkembang seper Indonesia, adanya lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk membantu masyarakat miskin dalam menghadapi masalah-masalah hukum, karena dapat mengurangi kemungkinan masyarakat miskin dak memperoleh bantuan hukum untuk membela kepen ngan hukumnya baik di dalam maupun di luar pengadilan dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Permasalahannya, berapa besar dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan bantuan hukum, mulai dari menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/ atau melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan masyarakat miskin. Sebab lembaga bantuan atau organisasi kemasyarakatan berkewajiban dalam memberikan bantuan hukum untuk menangani sampai perkara sampai selesai. Ar nya sampai perkara tersebut in kracht (berkekuatan hukum tetap), bisa di pengadilan ngkat pertama, bisa di pengadilan ngkat kedua, bisa di pengadilan ngkat kasasi atau peninjauan kembali. Apakah cukup dengan anggaran sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) per kasus? Berapa jumlah LBH atau Ormas berhak menerima anggaran penyelenggaraan bantuan hukum? Pengalokasian anggaran bantuan hukum yang rasional dan proporsional menjadi pen ng, sebab ini berkaitan dengan hak penerima bantuan hukum, yaitu mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/ atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan dak mencabut surat kuasa.30 Karena hal ini berkaitan dengan asas efisiensi adalah memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada dan asas efek vitas adalah menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.31 Apalagi penyelenggaraan bantuan hukum ditujukan untuk:32
30 31 32
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011. Pasal 2 huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, Ibid. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011.
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
13
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
hukum dari individual dan beberapa ciri konsep bantuan struktural. Dan bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum masih bersifat pasif. Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum digeser dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian kepada Menteri Hukum dan HAM yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan agar dapat menyentuh orang atau kelompok orang miskin, tetapi besar anggaran perlu memper mbangakan proses peradilan yang berjalan. Ini dikhawa rkan dapat menghambat orang miskin dan kelompok orang miskin untuk mengakses keadilan guna mewujudkan hak-hak kons tusional mereka.
ind
dapat membantu masyarakat miskin untuk dapat memperoleh pengetahuan tentang hukum33, hak asasi manusia, hak sipil dan poli k, hak sosial, hak budaya, dan hak ekonomi. Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin atau kelompok orang miskin yang dapat diperoleh gra s atau tanpa bayar (pro deo/pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Karena orang miskin atau kelompok orang miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi, prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum. Selain itu, Pasal 28D menyatakan ”Se ap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" dan Pasal 28 ayat (2) ”Se ap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Jur
na
Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 belum maksimal memberikan pengaruh terhadap bantuan hukum bagi masyarakat miskin karena masih dalam tatanan formalis k. Sekalipun Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Tetapi secara konseptual UU Bantuan Hukum baru mengkombinasi beberapa ciri konsep bantuan
33
14
Buku
Haq, Mahbub ul The Poverty Curtain: Choice for the Third World, (New York, Columbia: University Press, 1976) Lubis, Todung Mulya, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986). Lubis, Todung Mulya ”Gerakan Bantuan Hukum Di Indonesia: Sebuah Studi Awal” dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara Dan Mulyana W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Alumni, 1990). Lubis, Todung Mulya, ”Bantuan Hukum: Ar Dan Peranannya”, Prisma No. 6 Tahun II (Desember 1973). Lubis, Todung Mulya ”Pembangunan dan Hakhas asasi Manusia”, Prisma, No. 12 (Desember 1979). Nasu on, Adnan Buyung, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981). Schuyt, C.J.M., Keadilan dan Effek vitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – penerbitan dak bertanggal. Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, Peneli an Hukum Norma f, (Jakarta: Rajawali Press, Jakarta, 1985).
lR ec hts V
E. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 1-15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/07/ mengurai-uu-bantuan-hukum-2-483159.html
Peraturan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248.
BP HN
Internet
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2003, Tentang Advokat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4288 Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
ing
Soemitro, Ronny Hani jo, Metodologi Peneli an Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990).
Pengaruh Bantuan Hukum terhadap .... (Ihdi Karim Makinara)
15
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
EFEKTIFITAS POS BANTUAN HUKUM DI PENGADILAN (Studi Pada Posbakum Pengadilan Agama Sleman Tahun 2011-2012) (The Effec veness of Legal Aid Centre in Court (Study in Posbakum Sleman Religious Court Year 2011-2012)) Thalis Noor Cahyadi Lembaga Bantuan Hukum Ansor Yogyakarta Jl. HOS Cokroaminoto GG. Ngadimulyo,Yogyakarta Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 7 April 2013; revisi: 10 April 2013; disetujui: 12 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2010 mengamanahkan tentang pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di se ap pengadilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Pengadilan Agama (PA) Sleman menjadi salah satu pilot project dalam pembentukan Posbakum, yang dimulai sejak 2011 dan berakhir 2012. Penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman dirasakan sangat membantu masyarakat miskin dan bagi mereka yang dak dapat memahami birokrasi pengadilan dan bagaimana memecahkan persoalan hukum. Namun, keberadaan Posbakum perlu diteli mengenai bagaimana penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman dan sejauhmana efek fitasnya dalam membantu masyarakat miskin untuk mengakses keadilan? Hasil peneli an menunjukkan bahwa penyelenggaraan Posbakum di PA Sleman selama 2011 hingga 2012 dapat berjalan dengan baik dan efek f. Data dari DPW APSI DIY dan LSBH UIN Yogyakarta menunjukkan bahwa lebih dari 1000 orang (1.272 orang) yang datang ke Posbakum PA Sleman mendapatkan layanan jasa bantuan hukum yang mereka butuhkan. Peneli an ini merekomendasikan untuk penyediaan anggaran bantuan yang lebih besar yang digunakan dak hanya sebatas pemberian advis dan pembuatan berkas gugatan/permohonan saja, tetapi juga pada pendampingan perkara terutama perkara-perkara tertentu yang urgen seper Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perlindungan Anak. Selain itu penyelenggaraan bantuan hukum harus ditunjang oleh aturan main yang jelas yang dak membuka tafsir liar sehingga membuat potensi adanya pemberian bantuan hukum yang salah sasaran. Kata kunci: Posbakum, efek fitas, akses keadilan
Jur
na
Abstract The mandate Seth forth in SEMA No. 10 Year 2010 is establishing legal aid centre (Posbakum) in any court which under the Supreme Court authority. Religious Court (PA) of Sleman becomes one of the pilot projects in the establishment POSBAKUM, which started since Year 2011 and ended in Year 2012. Implementa on POSBAKUM in Religious Court Sleman is extremely helpful for poor society and those who could not understand how bureaucracy of court and how to resolve legal issues. Nevertheless, the existence of Posbakum needs to be researched as to how the implementa on of Posbakum in PA Sleman and how far its effec veness in helping the poor to access jus ce. The result of research showing that implementa on of POSBAKUM at religious court Sleman during year 2011-2012 runs properly and effec vely. Data from DPW APSI DIY and LSBH UIN Jogjakarta showing that more than 1000 people (1272 people) comes into POSBAKUM Religious court Sleman and obtain legal assistance services which they needed. This research recommends providing a larger aid budgets are used not only limited to giving advice and making the lawsuit/pe on but also on mentoring cases, especially in certain ma ers such as domes c violence which urgent and child protec on. Besides, implementa ons of legal aid have to support by clear rules that do not open to mul interpreta on so that make a poten al misdirected for legal assistance. Keywords: Posbakum, effec veness, access to jus ce
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
17
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Pembangunan suatu negara seringkali disertai dengan berbagai masalah yang melingkupinya, seper kesenjangan akibat dak meratanya pembangunan yang diiku oleh minimnya akses keadilan karena persoalan ekonomi dan rendahnya ngkat pendidikan masyarakat. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan minimnya kepedulian sesama masyarakat untuk bersikap saling membantu, karena telah tergerus oleh prak k-prak k individualime dan pragma sme. Sementara pemerintah selaku penanggungjawab pengelola negara, nampak kerepotan mengurusi persoalan tersebut dan lebih tertarik pada program-program investasi pembangunan fisik.1 Persoalan yang banyak terlewatkan oleh pemerintah di tengah kesusahan masyarakat adalah minimnya akses mendapatkan keadilan hukum berupa bantuan hukum cuma-cuma atau gra s. Berbagai regulasi telah menuangkan kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat, antara lain Pasal 237 HIR yang mengatur tentang perkara prodeo, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 54-60 juga diatur dalam BAB VII tentang Bantuan Hukum Pasal 69-74, Bab IV Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum. Selain itu kewajiban memberikan bantuan hukum juga diatur dalam Bab VII Pasal 37-40 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian digan dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang memuat ketentuan bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56-57. Undang-undang Nomor 49 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum juga mengatur tentang bantuan hukum sebagaimana tertera dalam Pasal 68 B dan 68 C, demikian pula dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga disebutkan tentang pelayanan bantuan hukum oleh negara sebagaimana tersebut dalam Pasal 60 B dan 60 C serta Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni Pasal 144 C dan 144 D. Berbagai regulasi tersebut, pada prak knya kurang bisa berjalan dengan baik. Bantuan hukum yang diberikan oleh negara melalui pengadilan lebih banyak menyangkut perkaraperkara pidana prodeo di mana terdakwa yang dikenai ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih namun dak mampu menyewa penasehat hukum maka Pengadilan menunjuk penasehat hukum untuk memberi bantuan secara cumacuma, sebagaimana amanah Pasal 56 KUHAP, sementara untuk perkara-perkara di luar pidana sangatlah terbatas. Padahal persoalan hukum terkait dengan akses keadilan hukum, dak saja menyangkut persoalan-persoalan ndak pidana, melainkan juga permasalahan-permasalahan keperdataan yang justru banyak menghimpit masyarakat miskin. Penyelesaian permasalahan hukum dak selalu diselesaikan melalui jalur peradilan. Masyarakat awam pada dasarnya lebih
ing
A. Pendahuluan
1
18
T. Mulya Lubis, ”Bantuan Hukum: Arti dan Peranannya,” Prisma No. 6 Tahun II, Desember (1973).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Implementasi ketentuan bantuan hukum ini bukanlah perkara mudah, karena hal ini terkait dengan pendanaan, terlebih terkait dengan perkara-perkara perdata yang mengandung aspek-aspek finansial yang dak sedikit, karena pada prinsipnya proses beracara perdata membutuhkan dana, mulai dari biaya penda aran, panjar panggilan-panggilan para pihak, leges dalam pembuk an, dan pengambilan putusan, terlebih manakala perkara tersebut membutuhkan penyitaan (beslag) dan eksekusi putusan terhadap suatu obyek sengketa yang dak bisa diselesaikan secara sukarela, tentu begitu banyak dana yang harus dikeluarkan. Berbagai masalah di atas nampaknya dak mungkin dipenuhi oleh negara sejauh dalam konteks perundangan di atas. Mendasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung memberikan batasan-batasan bantuan hukum terutama dalam hubungannya dengan pembentukan Pos Bantuan Hukum sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tertanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Selain memuat penger an dan tujuan bantuan hukum, dalam SEMA tersebut memuat ketentuan tentang penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di masing-masing pengadilan yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pembentukan Posbakum berdasarkan SEMA tersebut dak serta merta dapat dilakukan di pengadilan-pengadilan di ga lingkungan di atas (PN, PA, dan PTUN). Oleh karenanya Mahkamah Agung menerapkan sistem uji coba pelaksanaan pembentukan Posbakum dengan
Jur
na
lR ec hts V
ind
menginginkan penyelesaian di luar pengadilan dengan harapan hal tersebut dapat lebih cepat terselesaikan. Demikian pula dengan ke dakfahaman masyarakat tentang prosedur pengurusan berbagai dokumen hukum baik berupa dokumen kepemilikan, perijinan, dan lain sebagainya yang tentunya membutuhkan pencerahan berupa konsultasi atau nasehatnasehat hukum yang dapat membantu mereka. Akan tetapi pada faktanya, kebutuhankebutuhan tersebut belum tersentuh secara merata. Lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang Nomor 49 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjadi angin segar bagi masyarakat miskin, karena di dalam undang-undang tersebut secara tegas disebutkan bahwa se ap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang dak mampu. Pihak yang dak mampu harus melampirkan surat keterangan dak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan. Selanjutnya undang-undang di atas juga memerintahkan pada se ap pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara untuk dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang dak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma kepada semua ngkat peradilan sampai putusan terhadap
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
19
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
B. Permasalahan
ing
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Agama Sleman? 2. Sejauhmana efek fitas penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Agama Sleman dalam membantu masyarakat yang dak mampu untuk mengakses keadilan? Untuk mengukur sejauhmana efe fitas di sini dibatasi pada indikator jumlah (quan ty) dari masyarakat pengguna jasa bantuan hukum yang datang di Posbakum PA Sleman.
ind
pilot project dilaksanakan oleh Badan Peradilan Agama (Badilag MA) melalui PA-PA yang telah ditentukan di Indonesia. Salah satu Pengadilan Agama yang dijadikan pilot project penyelenggaraan Posbakum adalah Pengadilan Agama Sleman, Daerah Is mewa Yogyakarta. Posbakum di Pengadilan Agama Sleman pertama kali dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan Desember 2011, yang dilanjutkan pada tahun kedua yakni tahun 2012 yang dimulai pada bulan April 2012 hingga Desember 2012. Posbakum di Pengadilan Agama Sleman diselenggarakan bekerjasama dengan Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (DPW APSI) Daerah Is mewa Yogyakarta dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman selama 2011 hingga 2012 dirasakan sangat membantu masyarakat yang dak mampu dan dak memahami birokrasi peradilan dan teknik penyelesaian masalah. Namun demikian, evaluasi penyelenggaran Posbakum di Pengadilan Agama Sleman perlu juga dilakukan dengan mengukur ngkat efek fitasnya dalam mengimplementasikan tujuan-tujuan yang telah diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama terkait dengan SEMA Nomor 10 tahun 2010. Peneli an ini akan melihat bagaimana sesungguhnya efek fitas pos bantuan hukum dalam membantu masyarakat yang dak mampu untuk mengakses keadilan dengan biaya ringan di Pengadilan Agama Sleman Daerah Is mewa Yogyakarta.
C. Metode PeneliƟan
Jur
na
lR ec hts V
Peneli an ini merupakan suatu peneli an empiris yang meni k beratkan pada studi lapangan (field study) guna mendapatkan data primer. Dan untuk menunjangnya dilakukan studi kepustakaan (literature study) untuk mendapatkan data skunder. Laporan hasil peneli an ini bersifat deskrip f anali s (descrip ve analy cs), ar nya laporannya mendiskripsikan fakta-fakta empiris di lapangan dengan menggunakan analisa norma f (norma ve analy cs) sehingga fakta-fakta tersebut memiliki makna dan kaitan dengan permasalahan yang diteli . Dari peneli an ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara rinci dan sistema s tentang permasalahan empiris di lapangan dan akhirnya menemukan solusi berdasarkan data yang diperoleh. 1. Lokasi peneli an Peneli an ini dilakukan di Posbakum Pengadilan Agama Sleman, yang beralamat di Jalan Parasamya, Beran, Tridadi, Sleman, Daerah Is mewa Yogyakarta.
20
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
D. Pembahasan 1. Bantuan Hukum Perdata Agama
dalam
Perkara
ing
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Sementara Lampiran B Pasal 1 Ketentuan Umum dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2010 disebutkan bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Bantuan hukum dalam perkara perdata melipu pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama secara cuma-cuma bagi masyarakat yang dak mampu. Bantuan hukum dalam perkara jinayat melalui penyediaan Pos Bantuan Hukum dan Advokat Pendamping di Mahkamah Syar’iyah secara cuma-cuma bagi masyarakat yang dak mampu. Bantuan hukum bertujuan: Pertama, membantu masyarakat pencari keadilan yang dak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di pengadilan. Kedua, meningkatkan akses terhadap keadilan. Ke ga, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya, dan keempat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Bantuan hukum dalam perkara perdata agama berwujud pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan pos bantuan hukum. Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma dengan dibiayai negara melalui DIPA pengadilan. Sementara
Jur
na
lR ec hts V
ind
2. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan data dalam peneli an studi lapangan ini adalah dengan melakukan wawancara yang dak terstruktur (nonstructured interview) kepada narasumber, yakni wawancara yang hanya memuat garis besar tentang hal yang akan ditanyakan, seper berapa jumlah dan jenis perkara yang dilayani dan berapa masyarakat yang dilayani berdasarkan jenis kelamin. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya dikembangkan sendiri oleh peneli dengan teknik wawancara bebas guna mendapatkan data yang dibutuhkan. Adapun narasumber yang diwawancarai adalah Pengurus DPW APSI DIY, Direktur LSBH UIN Yogyakarta, Wakil Ketua Pengadilan Agama Sleman dan beberapa konsultan hukum di Posbakum PA Sleman. 3. Analisis Data Seluruh data primer dan sekunder yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustakaan diklasifikasikan dan disusun secara sistema s, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Langkah selanjutnya, dari data primer dan data sekunder yang telah disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan peneli an ini kemudian dianalisa secara kualita f dengan menggunakan metode diskrip f (descrip ve method). Analisa kualita f yakni metode analisis data yang mengelompokkan data yang diperoleh dari studi lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dikorelasikan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga akan didapatkan jawaban atas permasalahan. Sementara metode deskrip f yakni metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan.
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
21
Volume 2 Nomor 1, April 2013
a. Teknis Penyelenggaran Posbakum di Pengadilan Agama Sleman
Jur
na
lR ec hts V
ind
Sebelum diselenggarakan Posbakum dengan bekerjasama dengan pihak lain, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Yogyakarta melakukan sosialisasi tentang SEMA Nomor 10 tahun 2010 pada tanggal 22 Maret 2011 dengan mengundang sejumlah lembaga bantuan hukum kampus, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi advokat, di antaranya PKBH UMY, LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga, LBH Ansor, Ri a Annisa dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah sosialisasi, Pengadilan Agama Sleman kemudian mengumumkan kepada publik, tentang kesempatan bekerjasama dalam penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman, dengan menempel di papan pengumuman di kantor Pengadilan Agama Sleman serta dengan memasukkan pada website Pengadilan Agama Sleman yakni www. pa-slemankab.go.id. Dari hasil pengumuman yang dilakukan kurang lebih satu bulan, hanya dua lembaga yang mengajukan permohonan kerjasama penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman, yakni Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pengcara Syariah Indonesia (DPW APSI) D.I. Yogyakarta dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
BP HN
2. Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Agama Sleman.
Berdasarkan penilaian terhadap persyaratan yang diajukan kedua lembaga tersebut, maka keduanya dinyatakan lolos seleksi untuk kemudian membuat Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) berupa Perjanjian Kerjasama antara Pengadilan Agama Sleman dengan DPW APSI DIY dan LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Perjanjian kerjasama tersebut ditanda tangani tanggal 24 Maret 2011 oleh Ketua Pengadilan Agama Sleman dan Ketua DPW APSI DIY serta Direktur LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyelenggaraan Posbakum Pengadilan Agama Sleman kemudian mulai dilaksanakan pada 4 April 2011, dan secara formil berlangsung hingga tanggal 19 Desember 2011, meskipun pada prak knya para Konsultan Hukum di Posbakum Pengadilan Agama Sleman menggenapkan waktunya hingga tanggal 29 Desember 2011. Demikian pula penyelenggaraan Posbakum pada tahun kedua berlangsung secara formil mulai 3 April 2012 hingga 27 Desember 2012. Pihak Pengadilan Agama Sleman menyediakan dua ruang khusus untuk penyelenggaraan Posbakum serta memasang spanduk sosiasiliasi penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman. DPW APSI DIY dan LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai pelaksana Posbakum masing-masing menerjunkan dua orang konsultannya se ap hari Senin hingga Kamis mulai jam 09.00 WIB – 13.00 WIB untuk melayani masyarakat pencari keadilan di Pengadilan Agama Sleman. Secara norma f jenis pelayanan Posbakum Pengadilan Agama Sleman mengacu pada SEMA Nomor 10 tahun 2010, di mana Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Posbakum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan. Jenis
ing
sidang keliling adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktu-waktu oleh pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar tempat kedudukan pengadilan.
22
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Sehingga pada prak knya semua masyarakat yang datang ke Posbakum Pengadilan Agama Sleman selama mengisi formulir permohonan dan membuat pernyataan dak mampu membayar jasa advokat akan tetap dilayani, dengan demikian prak k Posbakum di Pengadilan Agama Sleman dak terbatas pada orang miskin tetapi semua lapisan masyarakat yang membutuhkan jasa hukum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan. Secara norma f hal ini bertentangan dengan persyaratan yang tercantum dalam SEMA Nomor 10 tahun 2010 maupun tujuan pemberian bantuan hukum itu sendiri. b. Jumlah Jasa Hukum yang telah diberikan di Posbakum Pengadilan Agama Sleman tahun 2011-2012
Penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman pada faktanya banyak mendapat respon dari masyarakat pencari keadilan di wilayah Kabupaten Sleman. Hal ini ditunjukkan data yang dimiliki oleh Pelaksana teknis Posbakum yakni DPW APSI DIY dan LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, baik pada tahun pertama yakni 2011 maupun tahun kedua 2012. Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua lembaga tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2011 Posbakum Pengadilan Agama Sleman telah memberikan layanan jasa hukum kepada masyarakat sebanyak 699 orang, dengan rincian berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 186 orang dan perempuan sebanyak 513 orang.
Jur
na
lR ec hts V
ind
jasa hukum tersebut dapat diberikan kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon. Pemberian jasa hukum kepada penggugat/ pemohon dan tergugat/termohon dak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama. Sementara yang berhak menerima jasa dari Posbakum adalah orang yang dak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon. Berdasarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2010, masyarakat yang akan meminta jasa hukum di Posbakum harus memenuhi persyaratan yakni dengan mengajukan permohonan pemberian jasa dari Posbakum dengan melampirkan: 1) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/ Nagari/Gampong; atau 2) Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seper Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau 3) Surat Pernyataan dak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama. Namun demikian pada prak knya di Posbakum Pengadilan Agama Sleman, syarat sebagaimana poin 2) dan 3) sulit untuk diimplementasikan. Berdasarkan hasil evaluasi yang ada, Pengadilan Agama Sleman lebih menafsirkan syarat ke dakmampun tersebut dak saja dalam ar dak mampu secara ekonomi, tetapi lebih luas dari itu, dak mampu harus dimaknai ke dakmampuan membuat permohonan/gugatan dalam perkara yang
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
23
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Laki-laki Perempuan TOTAL
Jumlah
No
186 513
1
Konsultasi
2
Membuat Permohonan Cerai Talak Membuat Permohonan Cerai Talak dan Hadhanah Membuat Surat Gugatan Cerai (Cerai Gugat) Membuat Surat Gugatan Cerai (Cerai Gugat) dan Hadhanah Membuat Permohonan izin Poligami
159
Membuat Permohonan Dispensasi Nikah TOTAL
2 699
699
3
Sumber: diolah dari Laporan Posbakum DPW APSI DIY dan LSBH tahun 2011
4
Tabel.2 Jumlah Penerima Jasa Hukum di Posbakum PA. SLeman berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2012 Jenis Kelamin
320 553
TOTAL
873
Sumber: diolah dari Laporan Posbakum DPW APSI DIY dan LSBH tahun 2012
Jur
na
Adapun jenis dan jumlah jasa hukum yang telah dilayani oleh Posbakum Pengadilan Agama Sleman pada tahun 2011 adalah konsultasi sebanyak 51 orang, serta pembuatan permohonan dan surat gugatan, berupa: permohonan cerai talak sebanyak 159 orang, gugatan perceraian (cerai gugat) sebanyak 479 orang, permohonan ijin poligami sebanyak 1 orang, surat gugatan cerai gugat dan hadhanah sebanyak 5 orang, permohonan cerai talak dan hadhanah sebanyak 2 orang dan permohonan dispensasi nikah sebanyak 2 orang.
24
6 7
51
2
479 5
1
Sumber: diolah dari Laporan Posbakum DPW APSI DIY dan LSBH tahun 2011
Pada tahun 2012, jenis dan jumlah jasa hukum yang telah dilayani oleh Posbakum Pengadilan Agama Sleman adalah konsultasi sejumlah 74 orang, pembuatan permohonan cerai talak sebanyak 225 orang, cerai gugat sebanyak 542 orang, cerai gugat dan hadhanah sebanyak 1 orang, permohonan ijin poligami 5 orang, permohonan pembatalan nikah 4 orang, permohonan dispensasi nikah 1 orang, permohonan wali adhol 3 orang, permohonan pengangkatan anak 1 orang dan permohonan penetapan ahli waris 1 orang.
lR ec hts V
Laki-laki Perempuan
Jumlah
5
Jumlah
ind
Sementara pada tahun 2012 jumlah masyarakat yang dilayani oleh Posbakum Pengadilan Agama Sleman sebanyak 873 orang, dengan rincian laki-laki sejumlah 320 orang dan perempuan sejumlah 553 orang.
Jenis Jasa Hukum
ing
Jenis Kelamin
Tabel.3 Jenis dan Jumlah Jasa Hukum di Posbakum P.A. Sleman tahun 2011
BP HN
Tabel.1 Jumlah Penerima Jasa Hukum di Posbakum PA. SLeman berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2011
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Tabel.4 Jenis dan Jumlah Jasa Hukum di Posbakum P.A. Sleman tahun 2012 No
Jenis Jasa Hukum
Jumlah
1
Konsultasi
74
2
Membuat Permohonan Cerai Talak Membuat Surat Gugatan Cerai (Cerai Gugat) Membuat Surat Gugatan Cerai (Cerai Gugat)dan Hadhanah Membuat Permohonan Ijin Poligami
225
3 4 5 6
542 1 5
Membuat Permohonan Pembatalan Nikah Membuat Permohonan Dispensasi Nikah
4
7 8
Membuat Permohonan Wali Adhol
3
1
Volume 2 Nomor 1, April 2013
1 1 873
Sumber: diolah dari Laporan Posbakum DPW APSI DIY dan LSBH tahun 2012
Jur
na
lR ec hts V
ind
Mencerma data di atas menunjukkan bahwa masyarakat cukup antusias dengan keberadaan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman terutama bagi mereka yang memang dak memahami bagaimana prosedur pembuatan berkas persidangan dalam perkara perdata agama, maupun bagi mereka yang memang ‘buta’ terhadap hukum. Namun demikian, jika dikaitkan kembali dengan tujuan bantuan hukum, data-data tersebut juga dapat menunjukkan bahwa ada hal-hal yang nampaknya bertentangan dengan hakikat bantuan hukum sebagaimana tercantum dalam SEMA Nomor 10 tahun 2010. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan bantuan hukum dalam SEMA tersebut adalah: 1) membantu masyarakat pencari keadilan yang dak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di pengadilan. 2) meningkatkan akses terhadap keadilan. 3) meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya, dan 4) memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Merujuk data di atas, di mana ada perkara pengajuan permohonan ijin poligami, perkara tersebut dikaitkan dengan tujuan bantuan
hukum dalam rangka membantu masyarakat pencari keadilan yang dak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di pengadilan, patut dipertanyakan, karena dalam perkara poligami, disyaratkan mampu berbuat adil baik secara ba niah maupun lahiriah termasuk syarat kemampuan ekonomi yang lebih dari pemohon, sehingga menjadi wajar jika ada pertanyaan bukankah lelaki yang mengajukan poligami itu orang yang mampu secara ekonomi?. Lalu bagaimana bisa perkara permohonan poligami dibantu oleh Posbakum? Pertanyaan tersebut cukup beralasan mengingat Posbakum dibentuk pada dasarnya untuk membantu masyarakat yang dak mampu secara ekonomi dalam menjalani proses hukum. Fakta ini tentu harus menjadi masukan bagi keberlanjutan program bantuan hukum di masa akan datang, sehingga program bantuan hukum yang dibiayai oleh pajak masyarakat dak menjadi salah sasaran.
BP HN
10
Membuat Permohonan Pengangkatan Anak Membuat Permohonan Penetapan Ahli Waris TOTAL
ing
9
2
3. EfekƟfitas Posbakum di Pengadilan Agama Sleman
Secara e mologi kata efek vitas berasal dari kata efek f dalam bahasa Inggris ”effec ve”, yang telah mengintervensi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna ”berhasil”, dalam bahasa Belanda ”effec ef” memiliki makna ”berhasil guna”. Sedangkan efek vitas aturan secara tata bahasa dapat diar kan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan aturan itu sendiri. Efek fitas merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum,
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 176.
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
25
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
ing
lR ec hts V
Skema 1 Indikator Efek itas Program
Dalam konteks program Posbakum, kebijakan yang ada secara teknis mengacu pada aturan yang tertera dalam SEMA Nomor 10 tahun 2010, yang secara aplika f dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama antara instansi penyelenggara Posbakum dengan organisasi atau lembaga yang menangani secara teknis, meskipun perjanjian tersebut juga harus mengacu pada SEMA Nomor 10 tahun 2010, terutama pada Lampiran B yang ditujukan untuk Pengadilan Agama. Secara substansi, SEMA Nomor 10 tahun 2010 Lampiran B, secara detail telah mengatur prosedur dan proses pemberian bantuan hukum, siapa yang bisa menjadi pemberi dan penerima bantuan hukum dan lain sebagainya, sehingga dapat dikatakan bahwa SEMA Nomor 10 Tahun 2010 secara substansi cukup memadai. Sementara dalam tataran aplikasinya terkait dengan petugas pelaksananya, Posbakum Pengadilan Agama Sleman telah berupaya dengan baik memilih organisasi atau lembaga yang memang memiliki sumber daya manusia yang mencukupi, baik dari kuan tas maupun kualitas kapasitas untuk menjadi pemberi bantuan hukum yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat yang memerlukannya. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) merupakan salah satu organisasi advokat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, yang mayoritas pengurus dan anggotanya adalah alumni Fakultas Syariah PTAI yang secara keilmuan memahami persoalan-persoalan seputar hukum Islam terutama terkait perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum
ind
yaitu perbandingan realitas hukum dan ideal hukum2. Secara khusus terlihat jenjang antara aturan dalam ndakan (rule in ac on) dengan aturan dalam teori (rule in theory). Menurut Soekanto, efek fitas aturan adalah pengaruh aturan terhadap masyarakat, in dari pengaruh aturan terhadap masyarakat adalah prilaku warga masyarakat yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Kalau masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikendaki oleh aturan, maka dapat dikatakan bahwa aturan yang bersangkutan adalah efek f.3 Untuk menggambarkan efek fitas suatu program dapat dilihat skema berikut ini:
Jur
na
Skema ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan program paling dak memuat empat elemen, yakni subtansi aturan itu sendiri (policy substance), petugas yang melaksanakan, fasilitas yang ada dan kesadaran yang terjadi. Suatu kebijakan akan dikatakan efek f manakala dalam kebijakan tersebut memuat subtansi atau kaidah aturan yang jelas dan sistema s, petugasnya disiplin dan berwibawa dalam menjelankan kebijakan, fasilitas yang dimiliki memadai dan menunjang, serta adanya kesadaran yang baik dari stakeholder yang ada.4
3 4
26
Ibid., hlm. 62. Thalis Noor Cahyadi, Siginiϔikansi Ombudsman dalam Penegakan Bisnis Beretika dan Berkelanjutan (Studi pada Lembaga Ombudsman Swasta DIY), (Yogyakarta: Riset Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2010), hlm. 152.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dengan baik. Masyarakat yang membutuhkan layanan Posbakum Pengadilan Agama bersedia mengantri dengan ter b. Para konsultan pun juga secara suka rela bersedia memanjangkan waktu layanan, dalam ar dak kaku sesuai aturan main yakni dimulai pukul 09.00 – 12.00 WIB tetapi pada prak knya para konsultan bersedia memberikan layanan hingga pukul 13.00 WIB atau 13.30 WIB. Mencerma uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Posbakum di Pengadilan Agama Sleman dapat berjalan secara efek f, dalam ar bahwa tujuan-tujuan bantuan hukum sebagaimana diamanahkan oleh SEMA Nomor 10 tahun 2010 terutama dalam hal meningkatkan akses terhadap keadilan, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya, dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Dengan demikian pada faktanya keberadaan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman dak saja dirasakan sangat membantu masyarakat pencari keadilan, tetapi juga memperingan tugas administra f Pengadilan Agama Sleman, karena dengan adanya Posbakum tugas Meja Satu yang selama ini dibebani selain menerima penda aran gugatan/permohonan juga dibebani untuk mendengarkan dan menge kkan gugatan/permohonan bagi penggugat/pemohon yang dak bisa menge k karena buta huruf atau mereka yang dak menger bagaimana membuat gugatan/permohonan. Adanya Posbakum dirasa juga membantu mengurangi beban mereka, karena tugas pembuatan gugatan/permohonan diserahkan sepenuhnya kepada Posbakum. Adanya kebijakan untuk menghen kan sementara kegiatan Posbakum karena telah
Jur
na
lR ec hts V
ind
(LSBH) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan lembaga bantuan hukum kampus yang sebagian besar pengurusnya adalah para dosen dan tenaga pengajar kampus yang secara teori s dan prak s menguasai materi keperdataan agama. LSBH dibentuk dalam rangka menjalankan fungsi pengabdian masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mendasarkan hal demikian, maka secara aplika f petugas yang diamanahi menjalankan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman cukup memiliki kapasitas yang baik. Kondisi ini juga ditunjukkan bahwa sampai Posbakum berakhir dak ada keluhan dari masyarakat yang meminta pelayanan di Posbakum, baik dari sisi pelayanan maupun advis yang disampaikan. Hal ini menjadi indikator bahwa pelayanan oleh para konsultan hukum di Posbakum Pengadilan Agama Sleman cukup maksimal dan memuaskan. Melihat dari aspek fasilitas yang ada dalam program Posbakum di Pengadilan Agama Sleman juga cukup memadai. Pihak Pengadilan Agama Sleman menyediakan 2 (dua) ruang khusus bagi Posbakum yakni ruang untuk DPW APSI DIY dan ruang untuk LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di se ap ruangan juga telah disediakan 2 (dua) buah meja dan kursi serta (1) satu kipas angin dan satu (1) almari untuk menyimpan berkas. Sementara pihak DPW APSI DIY dan LSBH LSBH FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyediakan alat tulis berupa Lap Top, printer dan kertas. Ketersediaan fasilitas ini membuat masyarakat pencari keadilan merasa cukup nyaman. Hingga Posbakum berakhirpun dak ada ditemukan masyarakat yang mengeluh tentang fasilitas yang disediakan. Kondisi tersebut ternyata juga didukung oleh kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan Posbakum Pengadilan Agama Sleman
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
27
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
bantuan hukum yang bersifat advokasi di luar pengadilan (non li gasi) dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi bantuan hukum. Adanya program verifikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) merupakan langkah tepat meskipun secara faktual belum dapat diukur efek fitasnya, sehingga diperlukan kesiapan yang matang bagi BPHN untuk dapat melakukan verifikasi dan akreditasi kepada organisasi bantuan hukum secara tepat, terukur dan terorganisir, yang pada hasilnya nan dak menimbulkan persoalan baru berupa kecemburuan bagi organisasi bantuan hukum yang dak lolos verifikasi, dan membuka peluang bagi mereka untuk mempersoalkan secara hukum, baik dari aspek tata usaha negara maupun aspek hukum lainnya.
Jur
na
lR ec hts V
ind
berlakunya Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang kemudian mengambil alih kegiatan Posbakum yang dahulunya di bawah Mahkamah Agung beralih kepada Kementerian Hukum dan HAM, justru menjadi hambatan bagi keberlangsungan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman yang telah berjalan dengan baik dan efek f. Sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan di adakannya Posbakum, karena bagi mereka Posbakum sangat membantu mereka dalam memecahkan persoalan hukum terkait dengan perkara-perkara perdata agama. Lahirnya Undang-undang Bantuan Hukum seyogyanya dak secara serta merta meniadakan peranan lembaga-lembaga di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kegiatan bantuan hukum seper Posbakum di Pengadilan Agama Sleman. Kementerian Hukum dan HAM seharusnya memper mbangkan kegiatan Posbakum yang telah berjalan di beberapa Pengadilan di bawah MA dengan tetap mempertahankan keberadaan mereka. Peralihan anggaran dari Mahkamah Agung ke Kementerian Hukum dan HAM seharusnya dak otoma s menghapus Posbakum yang telah berjalan. Kementerian Hukum dan HAM meskipun memegang anggaran tetapi tetap dapat menyerahkan teknis penyelenggaraan pemberian bantuan hukum yang bersifat li gasi kepada Pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung, karena bagaimanapun pengadilan-pengadilan itulah yang mengetahui bagaimana dan sejauhmana kebutuhan bantuan hukum bagi masyarakat pencari keadilan, terlebih mereka telah lama bekerjasama dengan organisasi-organisasi bantuan hukum, baik LSM, LBH maupun Organisasi Advokat.Kementerian Hukum dan HAM dapat mengambil peranan ak f secara penuh di bidang penyelenggaraan
28
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
E. Penutup 1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman dapat berjalan dengan baik, terbuk dengan banyaknya masyarakat yang memanfaatkan layanan jasa hukum dari Posbakum Pengadilan Agama Sleman, melalui para konsultan hukum yang berasal dari DPW APSI DIY dan LSBH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selama 2 (dua) periode yakni tahun 2011 dan 2012 Posbakum Pengadilan Agama Sleman telah melayani 1.572 orang dengan rincian tahun 2011 sebanyak 699 orang dan tahun 2012 sebanyak 873 orang, dengan penerima bantuan hukum didominasi oleh perempuan sebanyak 1.066 orang sedangkan laki-laki sebanyak 506 orang. Penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman secara faktual dapat dikatakan
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
ing
lR ec hts V
2. Saran
anggaran yang telah tersedia di Kementerian Hukum dan HAM. Efek fitas Posbakum di bawah Mahkamah Agung khususnya di Pengadilan Agama, harus menjadi gambaran betapa masyarakat sangat mendambakan kegiatan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, beberapa hal yang harus diperbaiki hanyalah pada masalah regulasi teknisnya yang terkadang masih membuka peluang bagi munculnya penafsiran. Diperlukan kepas an penafsiran terhadap makna ‘masyarakat dak mampu’, apakah hanya dak mampu secara ekonomi saja dengan dibuk kan adanya surat keterangan dak mampu (SKTM) atau sejenisnya, atau lebih luas itu, dak mampu memahami hukum alias ‘buta hukum’ atau dak mampu membuat berkas perkara persidangan. Kementerian Hukum dan HAM harus mampu melihat celah-celah yang telah pada penyelenggaraan Posbakum untuk dapat ditutup menjadi suatu kebijakan yang dapat dilaksanakan secara tepat.
ind
berjalan efek f. Mayoritas tujuan pemberian bantuan hukum sebagaimana SEMA Nomor 10 tahun 2010 terutama dalam Lampiran B, dapat terpenuhi dengan baik. Hal yang menjadi kelemahan Posbakum Pengadilan Agama Sleman adalah adanya penafsiran yang terlalu luas dalam memaknai ‘ke dakmampuan’ masyarakat pencari keadilan, di mana pihak Pengadilan Agama Sleman lebih memaknai ‘ dak mampu’ sebagai dak mampu ‘memahami’ prosedur proses peradilan ataupun dak mampu ‘membuat’ berkas-berkas pengajuan perkara. Meskipun demikian mengacu indikator efek fitas baik dari sisi substansi kebijakan program, pelaksana program, fasilitas program, dan kesadaran masyarakat pemanfaat program, penyelenggaraan Posbakum di Pengadilan Agama Sleman dapat berjalan efek f.
Jur
na
Posbakum akan berjalan dengan lebih efek f, manakala didukung oleh penyediaan anggaran yang dapat digunakan dalam pelaksanaan Posbakum di masa depan, dak saja terbatas pada pemberi advis atau pembuat berkas tetapi juga turut mendampingi perkara, terutama terkait dengan perkara-perkara yang sangat membutuhkan pendampingan, seper perceraian karena adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perkara urgen lainnya. Beralihnya kewenangan penyelenggaraan bantuan hukum dari Mahkamah Agung kepada Kementerian Hukum dan HAM seharusnya dak serta merta meniadakan Posbakum yang telah berjalan. Kementerian Hukum dan HAM dapat meminta Mahkamah Agung melalui badan peradilan di bawahnya untuk secara teknis dapat menyelenggarakan kegiatan bantuan hukum melalui Posbakum dengan menggunakan
DAFTAR PUSTAKA Buku Soekanto, Soerjono, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, (Bandung: Alumni, 1982).
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan Laporan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) DPW APSI DIY tahun 2011. Laporan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) DPW APSI DIY tahun 2012. Laporan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) LSBH Fakultas Syariah dan Hukum UIN Yogyakarta tahun 2011. Laporan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) LSBH Fakultas Syariah dan Hukum UIN Yogyakarta tahun 2012. Prisma No. 6 Tahun II, Desember (1973). Thalis Noor Cahyadi, Sigiifikansi Ombudsman dalam Penegakan Bisnis Bere ka dan Berkelanjutan
EfekƟfitas Pos Bantuan Hukum di Pengadilan (Thalis Noor Cahyadi)
29
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
lR ec hts V
ind
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
BP HN
Peraturan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
ing
(Studi pada Lembaga Ombudsman Swasta DIY), Riset Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2010.
30
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 17-30
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
IMPLEMENTASI PENGABDIAN MASYARAKAT BERBASIS ACCESS TO JUSTICE PADA LEMBAGA BANTUAN HUKUM KAMPUS NEGERI PASCA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM (Community Service Implementa on Based on Access to Jus ce on Legal Aid Ins tu on of State Universi es Post-Enactment the Law of Legal Aid)
ing
Fachrizal Afandi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya / Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Email:
[email protected] Naskah diterima: 5 April 2013; revisi: 8 April 2013; disetujui: 10 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri (LBH PTN) selama beberapa dekade turut mewarnai proses penegakan hukum di Indonesia. Sejak diundangkannya Undang-Undang (UU) Advokat, mewajibkan pemberi bantuan hukum memiliki lisensi kepengacaraan, sehingga LBH PTN dak bisa lagi leluasa bergerak, meski kemudian terdapat putusan Mahkamah Kons tusi (MK) yang membatalkan pasal pemidanaan dalam UU Advokat tersebut. Secara prak s, posisi LBH PTN harus dipahami sebagai bagian upaya dari para civitas akademika dalam melakukan pengabdian masyarakat dan pengembangan keilmuan hukum. Lahirnya UU No. 16 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum, memberikan angin segar dalam mereposisi LBH PTN dalam melakukan pemberian bantuan hukum yang menjamin akses keadilan. Dengan menggunakan pendekatan sosio legal ditemukan bahwa UU Bantuan Hukum mereposisi peran pengabdian masyarakat LBH PTN setelah vacuum akibat dak adanya aturan yang jelas dan tegas yang mengakomodir peran mereka selama puluhan tahun bergerak di bidang bantuan hukum pro masyarakat miskin. UU Bantuan Hukum memperluas definisi Pemberi Bantuan Hukum, sehingga memberikan peluang bagi para dosen PTN, paralegal dan mahasiswa hukum yang tergabung dalam LBH untuk melakukan pengabdian masyarakat sekaligus pengembangan keilmuan hukum. Implementasi jaminan access to jus ce yang dilakukan LBH PTN dapat dilakukan secara lebih op mal pasca diberlakukannya UU Bantuan Hukum. Proses pemberian pelayanan bantuan hukum dapat dilakukan dengan cara melakukan pendampingan secara li gasi maupun non li gasi, dengan bantuan pendanaan dari negara. Kata Kunci: Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi Negeri, Pengabdian Masyarakat, Access to Jus ce
Jur
na
Abstract Legal Aid Ins tu on of State Universi es (LBH PTN) influence process of law enforcement in Indonesia for several decade. Since the enactment of law on advocate which requires advocate license for legal aid provider, so that LBH PTN could not more move freely, even then there is the Cons tu onal Court (MK) decision who cancel ar cle punishment in the Advocates ActIn prac cally, posi on of LBH PTN should be understood as part of academic community effort to perform community service and legal science development. The enactment of law number 16 year 2012 on legal assistance has given a fresh breeze in reposi oning LBH-PTN to do some legal assistance that guaranteed access to jus ce. By using socio legal approach founded that law on legal assistance has been reposi oning the role of community service in LBH-PTN a er vacuum caused by the lack of obvious and asser ve rules that accommodates their roles for decades to legal assistance which is pro poor society. The expansion of defini on legal aid provider in the law on legal aid have been giving an opportunity for state university, paralegals and students who are members of legal aid ins tu on to perform community service together with development of legal science. Implementa on of guaranteed access to jus ce is doing by LBH-PTN could be made op mally post enactment the law on legal aid.Awarding process of legal assistance could be done by accompaniment li ga on and non-li ga on, dissemina on, legal consulta on, and other program which related to the implementa on of legal assistance with the help of state funds. Keywords: Legal Aid, Legal Aid Ins tu on, State University, Advocate, Access to Jus ce, Community Service
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
31
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan mandat pada negara untuk memberikan bantuan bagi se ap warga negara yang mengalami kesulitan mendapatkan akses hukum dan keadilan.1 Se ap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang merupakan bagian dari hak kons tusional.2 Indonesia sebagai negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara terhadap akses pada keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) bertanggung jawab menyelenggarakan pemberian bantuan hukum kepada semua masyarakat. Jaminan atas hak kons tusional tersebut belum mendapatkan perha an secara memadai, sampai lahirnya Undang-undang (UU) No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok rentan untuk mendapatkan akses pada keadilan. Secara konseptual, terdapat dua penger an Bantuan hukum yakni bantuan hukum dalam ar probono dan bantuan hukum dalam penger an legal aid. Stakeholders utama pemberian layanan hukum probono adalah advokat, dimana probono menjadi salah satu strategi bagi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobille) untuk membela kepen ngan umum. Sedangkan
konsep legal aid merujuk pada penger an ”state subsidized”, pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (publicly funded legal aid) pertama kali ditemukan di Inggris dan Amerika Serikat.3 UU Bantuan Hukum yang berlaku di Indonesia menganut konsep Legal Aid dimana pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memberikan subsidi biaya kepada penerima bantuan hukum dalam berperkara secara li gasi di peradilan. UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memiliki tujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan, mewujudkan hak kons tusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum, menjamin kepas an penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan mewujudkan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan UU Bantuan hukum mereposisi peran lembaga bantuan hukum kampus sebagai bagian dari civitas akademik untuk dapat melakukan pengabdian masyarakat di bidang hukum berdasarkan keilmuan dan keahlian yang dimiliki. Apalagi lembaga bantuan hukum kampus yang berdiri di Perguruan Tinggi Negeri sebagai bagian dari aparatur Negara memiliki peran pen ng bagi warga negara yang mencari keadilan, utamanya bagi masyarakat yang dak mampu untuk memanfaatkan jasa advokat profesional. Keberadaan lembaga bantuan
ing
A. Pendahuluan
1
2 3
32
Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28 D UUD NRI 1945. Siti Aminah, Hak Bantuan Hukum Dalam Berbagai Konteks Analisa Terhadap UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (makalah).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
2. Bagaimana implementasi pengabdian masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri yang menjamin access to jus ce?
C. Metode PeneliƟan
ing
Peneli an ini menggunakan pendekatan sosio legal yaitu pendekatan dengan menggunakan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial.6 Pendekatan ilmu hukum dilakukan dengan memecahkan problema ka hukum secara norma f yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kri s dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan dokumen-dokumen hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang dikaji, dalam penulisan ini digunakan pendekatan peraturan perundangundangan (statute approach). Fokus sekaligus tema sentral penulisan hukum norma f adalah peraturan perundang-undangan, karena yang akan diteli adalah berbagai aturan hukum.7 Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.8 Dalam hal ini dilakukan dengan menganalisis ketentuan hukum dalam KUHAP, UU Bantuan Hukum, UU Advokat, dan UU Perguruan Tinggi yang berkaitan posisi Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri dalam Sistem Peradilan Pidana. Mengingat aturan hukum juga mengandung unsur-unsur e k-moral, ndakan serta nilai-nilai, maka dalam melakukan pemaknaan akan suatu
lR ec hts V
ind
hukum perguruan nggi dapat dimaknai sebagai implementasi Tri Dharma perguruan nggi berupa pengabdian kepada masyarakat. Undang-undang ini juga seolah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemberi bantuan hukum dak terbatas pada Advokat,4 namun juga pemberi bantuan hukum lain yaitu dosen dan paralegal yang bernaung di dalam lembaga bantuan hukum kampus, dimana mereka juga diberikan peluang untuk mendampingi perkara hukum yang melibatkan masyarakat dak mampu. Posisi lembaga bantuan hukum kampus menjadi cukup jelas dalam Undang-undang ini, namun khusus lembaga bantuan hukum kampus negeri terjadi perdebatan mengenai kebolehan pelibatan dosen yang berstatus PNS dalam menangani perkara di peradilan, mengingat adanya larangan bagi PNS untuk menjadi Advokat.5 Atas berbagai latar belakang di atas, penulis berkeinginan membahas implementasi pengabdian masyarakat berbasis access to jus ce pada lembaga bantuan hukum kampus negeri pasca pemberlakuan UU Bantuan Hukum.
B. Permasalahan
Bandingkan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.06/PUU-II/2004 tanggal 31 Desember 2004, yang membatalkan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Lihat Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya (Jakarta: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 2. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 302. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93.
Jur
4
na
Ada 2 (dua) permasalahan yang menjadi fokus perha an penulis berkaitan dengan latar belakang yang telah dikemukakan, yaitu : 1. Bagaimana kedudukan Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri pasca berlakunya Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum?
5 6
7 8
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
33
Volume 2 Nomor 1, April 2013
1. Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri
”Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marjinal terhadap Keadilan” http://www.bantuanhukum.or.id/index. php/id/dokumentasi/penerbitan/231-bantuan-hukum-akses-masyarakat-marjinal-terhadap-keadilan, (diakses tanggal 13 Maret 2013). Lihat Pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) dan pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945. Lihat Pasal 7 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan pasal 14 ayat (3), pasal 16, pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal Position Paper Ruu Bantuan Hukum Dan Peran Lkbh Kampus (Jakarta: Delapan Cahaya Indonesia Printing, 2010), hlm. 11.
Jur
9
na
lR ec hts V
ind
Sejarah bantuan hukum dapat kita runut mulai dari jaman Romawi, dimana pemberian bantuan hukum didasari sifat kedermawanan (Charity) yang diberikan kepada masyarakat miskin dalam penyelesaian masalah hukum tanpa harus membayar. Dasar pemberian bantuan hukum kemudian menjadi berkembang, bukan hanya karena persoalan belas kasihan namun menjadi hak mendasar bagi se ap warga Negara yang harus dipenuhi agar dak terjadi diskriminasi. Pemikiran ini berkembang sejak revolusi Perancis dan Amerika yang meyakini ada hubungan antara bantuan hukum dengan kesejahteraan suatu negara.9 Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dijamin dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan di level nasional.10 maupun internasional.11 Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan Undangundang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan se ap orang yang
BP HN
D. Pembahasan
tersangkut perkara hukum berhak memperoleh bantuan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hak atas bantuan hukum diatur dalam pasal 54 KUHAP dimana guna kepen ngan pembelaan diri, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang penasihat hukum pada se ap ngkat pemeriksaan, dan dalam se ap waktu yang diperlukan. Secara lebih spesifik, hak bantuan hukum dinyatakan dalam Pasal 14 (3) d ICCPR yaitu dalam menentukan se ap tuduhan pidana yang ditujukan pada seseorang, se ap orang harus diberi hak untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepen ngan keadilan, dimana orang tersebut dak dapat membiayai jasa advokat. Sejak tahun 1960 an, Perguruan Tinggi khususnya kampus negeri telah memberikan bantuan hukum, dengan mendirikan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum. Pada tahun 1963, Fakultas Hukum Universitas Indonesia mendirikan LKBH sebagai pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi. Selanjutnya pada tahun 1969, Prof Mochtar Kusumaatmaja, SH menyelenggarakan program bantuan hukum dalam rangka pendidikan hukum adalah melalui pendidikan hukum klinis di biro hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. LKBH FH Unpad dak hanya memberikan nasehat hukum, melainkan juga mewakili dan mengadakan pembelaan hukum di muka pengadilan.12 Menyusul kemudian pada tahun
ing
aturan selalu terjadi pluralitas dalam konteks sosialnya. Pendekatan ilmu sosial digunakan untuk mengkaji fenomena implementasi bantuan hukum dengan menggunakan metode semio ka hukum, tujuan akhirnya adalah agar fenomena hukum dak terisolasi dari konteks sosial, budaya dimana hukum itu berada.
10 11
12
34
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
di seluruh Indonesia diperintahkan untuk mencegah pembentukan LBH Daerah kecuali untuk DKI Jakarta. Hal ini berpengaruh pada merosot dan terbatasnya bantuan hukum di Indonesia.15 Hal ini kemudian berubah ke ka Direktur Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan Departemen Kehakiman pada tanggal 12 Oktober 1974 melalui Surat Edaran No.0466/SekDP/74 menegaskan bahwa larangan Komkab b tersebut dak berlaku untuk LKBH Kampus.16 Surat Edaran Nomor : 0466/Sek-DP/74 mengatur tentang pemberian bantuan hukum oleh Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Negeri yang isinya termasuk persyaratan pendirian Biro Bantuan Hukum yang dapat memperoleh bantuan/perha an pihak Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri, yaitu antara lain : a. Biro Bantuan Hukum diberikan dalam rangka satu program pendidikan hukum yang dipersiapkan dengan baik. b. Bantuan Hukum yang diberikan oleh Mahasiswa Hukum ngkat IV dan V yang turut dalam program bantuan hukum harus diselenggarakan di bawah pengawasan dan bimbingan dosen/tenaga pengajar yang telah berpengalaman dalam soal pembelaan perkara/pengadilan. c. Biro hanya diperbolehkan membela orang yang kurang mampu tanpa memungut bayaran dan dak bermaksud menyaingi pengacara yang profesinya membela perkara. d. Dianjurkan agar ada kerja sama yang baik antara Biro Bantuan Hukum Fakultas dengan para Pengacara/Advokat.
Jur
na
lR ec hts V
ind
1972 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya melalui Prof. M. Kafrawi, SH selaku Dekan mendirikan Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum diilhami oleh model LKBH di FH Unpad dengan struktur organisasi yang dipimpin oleh Dekan secara langsung.13 Organisasi Advokatpun dak mau ke nggalan dalam melakukan pemberian bantuan hukum untuk masyarakat miskin, berdasarkan surat keputusan pimpinan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADIN) tanggal 26 Oktober 1970 No.001/Kep/DPP/10/1970 dibentuklah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang berimbas pada lahirnya berbagai macam LBH di berbagai daerah seper Yogyakarta, Solo dan menyusul Palembang. Lahirnya LBH-LBH di berbagai kota dan Biro Konsultasi Hukum di Fakultas Hukum mendorong diselenggarakan Konferensi Lembaga Bantuan Hukum dan Biro Konsultasi Hukum se-Indonesia, pada 10-12 Desember 1971. Konferensi tersebut menghasilkan berbagai keputusan pen ng diantaranya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Tingkat Nasional (Na onal Legal Aid Associa on) yang merupakan kerjasama antara LBH dan Biro Konsultasi Hukum, menyarankan fakultas hukum di Indonesia menyelenggarakan Biro Konsultasi Hukum untuk masyarakat yang dak mampu dengan mengikutsertakan para mahasiswa.14 Namun pada tahun 1972, dengan alasan keamanan dan keter ban, pemerintah Orde Baru melalui Instruksi KOMKAMTIB No.TR-173/ KOPKAM/IV/1972 yang ditujukan kepada semua LAKSUS KOPKAMTIBDA, Jepalas Staf Angkatan, Kepala Kepolisian dan Gubernur Kepala Daerah
13 14 15 16
Imam Ismanu, dkk, Proϔil Pengabdian Masyarakat BKBH FH UB 2012 (Malang: FH UB, 2013), hlm. 3. Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas, Op.Cit., hlm. 12. Ibid. Ibid., hlm. 13.
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
35
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Pengadilan nggi (Pengacara Praktek); Berar hanya mereka-mereka yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan seper tersebut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 25 November 1988 No. 8 Tahun 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Kehakiman RI tanggal 6 Juli 1987 saja yang dibenarkan menjalankan kegiatan profesi sebagai Penasehat Hukum. 4) Sedang apabila didirikannya Biro Bantuan Hukum semacam itu dimaksudkan untuk membimbing Mahasiswa Hukum ngkat akhir untuk berpraktek hukum di muka Pengadilan maka hal itu dapat terjadi setelah pihak Universitas mengadakan kerja sama dengan Pengadilan Tinggi. Sesuai dengan Surat Mahkamah Agung tanggal 20 Oktober 1987 No. 39/TUN/X/1987 Perihal Persetujuan Kerja sama mengenai Bantuan Hukum maka sebagai pelaksanaan dari kerja sama antara Ketua Pengadilan Tinggi dan fihak Universitas, jumlah dosen pembimbing Mahasiswa Hukum tersebut paling banyak 3 ( ga) orang, kepada mereka itu dapat Saudara beri ijin praktek khusus yang hanya berlaku untuk mendampingi Mahasiswa berpraktek hukum. Menurut Surat Ketua Mahkamah Agung ini, Lembaga Bantuan Hukum Kampus dapat menda arkan lembaganya kepada Pengadilan Tinggi untuk diberikan ijin prak k khusus dengan syarat Universitas tempat lembaga bantuan hukum tersebut bernaung harus memiliki kerja sama dengan Pengadilan Tinggi setempat, dengan tujuan melakukan pengembangan keilmuan hukum.Selama kurun waktu tersebut terlihat LBH Kampus secara sosiologis memiliki peran dalam membangun gerakan bantuan hukum di Indonesia.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Penerbitan Surat Edaran ini didasarkan pada alasan yaitu pelaksanaan bantuan hukum oleh fakultas hukum mengandung fungsi ganda yaitu pada satu pihak merupakan kegiatan pendidikan dalam ar an mela h keterampilan para mahasiswa hukum dalam menghadapi penerapan hukum secara konkret, sedangkan di lain pihak merupakan kegiatan pengabdian masyarakat dalam ar an memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi. Imbas dari Surat Edaran ini adalah Lembaga bantuan hukum perguruan nggi negeri dapat berprak k kembali di pengadilan negeri dalam melakukan pembelaan kepada masyarakat yang kurang mampu dengan tujuan untuk menyelenggarakan pendidikan hukum. Pengaturan prosedur pendirian Biro Bantuan Hukum ini pun disempurnakan dengan adanya Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 084/ TUN/VIII/1989 Perihal Mohon petunjuk adanya perbedaan pendapat Pengadilan Jambi dengan Fakultas Hukum Universitas Jambi dalam masalah struktur organisasi dan operasional Biro Bantuan Hukum di Universitas tanggal 14 Agustus 1989 yang pada pokoknya memberikan petunjuk : 1) Pembentukan dan susunan Pengurus Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi adalah urusan intern dan terserah kepada Fakultas Hukum itu sendiri; 2) Sedangkan adanya keinginan Fakultas Hukum tersebut untuk menda arkan Biro Bantuan Hukumnya pada Pengadilan Tinggi Jambi hendaknya Saudara sambut dengan baik. 3) Tetapi yang boleh berpraktek di muka Pengadilan hanyalah mereka-mereka yang diangkat oleh Menteri Kehakiman (Advokat) dan yang diberi ijin berpraktek oleh Ketua
36
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Kons tusi dalam per mbangannya menyatakan bahwa UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berar ,bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia,harus dianggap sebagai hak kons tusional warga negara, keda pun undang-undang dasar dak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya. Selain itu, dalam per mbangannya, MK juga menyatakan bahwa keberadaan pasal tersebut telah membatasi kebebasan seseorang untuk memperoleh sumber informasi hanya pada seorang advokat. Padahal hak atas informasi dijamin dalam pasal 28F UUD 1945, yaitu se ap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak mencari dan memperoleh informasi dari segala saluran yang ada. MK menilai pula materi UU Advokat terlalu jauh mengatur hukum acara. Pemikiran bahwa kelak hanya advokat yang boleh beracara di muka pengadilan dinilai MK sebagai materi yang harusnya diatur dalam hukum acara. Sehingga melalui putusan ini, MK menegaskan bahwa Advokat bukan satu-satunya pihak yang boleh beracara di muka pengadilan. Namun berdasarkan hasil peneli an Indonesian Legal Resource Center (ILRC) pasca putusan MK, masih menemukan LKBH Kampus yang dilarang menjalankan fungsinya untuk memberikan bantuan hukum. Hal ini karena aparat penegak hukum khususnya polisi dak mengetahui putusan MK bahwa pasal 31 UU Advokat dak mengikat secara hukum. Mahkamah Agung mencoba mengatasi permasalahan ini melalui surat Sekretaris Mahkamah Agung No 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007 yang menyatakan LBH Kampus
Jur
na
lR ec hts V
ind
Pada tahun 2003 disaat Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan dan diberlakukan secara perlahan namun pas LBH Kampus mulai ma suri. Hal ini dikarenakan pengaturan penger an Advokat yang termuat dalam pasal 1 angka 1 dan 2 UU Advokat memberikan batasan pemberian jasa hukum harus dilakukan oleh Advokat, jasa hukum yang dimaksud melipu konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan hukum klien. Di bagian lain terdapat ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000.-dalam Pasal 31 UU Advokat bagi se ap orang yang bukan advokat namun menjalankan pekerjaan profesi advokat berupa pemberian jasa hukum seper konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan ndakan hukum lain, untuk kepen ngan hukum klien, di dalam maupun diluar pengadilan. Ketentuan kriminalisasi ini menimbulkan keresahan di kalangan pegiat LBH Kampus, karena dengan adanya pasal ini sejumlah dosen yang bekerja atas nama LBH Kampus dikenakan tuduhan melanggar UU Advokat, yang berakibat LBH Kampus di PTN menjadi ma suri. Pada tahun 2004, Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mengajukan Permohonan Judicial Review (JR) Pasal 31 UU Advokat ke Mahkamah Kons tusi, dimana dalam putusannya dengan nomor Perkara No.006/PUUII/2004 tentang Pengujian Pasal 31 UU Advokat memutuskan bahwa Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan Pasal 31 UU Advokat dak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
37
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dengan kebutuhan pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Pendirian lembaga bantuan hukum di kampus negeri dapat dimaknai sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita negara hukum. Se daknya dengan diundangkannya Undang-Undang No 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, tujuan pemenuhan hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan, penjaminan hak kons tusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum, penjaminan kepas an penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan perwujudan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dapat dilaksanakan secara efek f oleh lembaga bantuan hukum.19 UU Bantuan hukum seakan juga menegaskan putusan MK dengan nomor Perkara No.006/ PUU-II/2004 tentang definisi Bantuan Hukum dan memberikan definisi yang lebih jelas tentang siapa yang disebut sebagai Pemberi Bantuan Hukum. Bantuan Hukum dalam Pasal 1 jo pasal 2 UU Bantuan Hukum didefinisikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yaitu orang atau kelompok orang miskin, sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) mendefinisikan Pemberi Bantuan Hukum sebagai Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2) dimana Pemberi Bantuan Hukum harus berbadan hukum, terakreditasi berdasarkan
Jur
na
lR ec hts V
ind
baik PTN/PTS dapat mewakili masyarakat miskin dalam beracara di pengadilan.17 Sebenarnya jika ditelusuri dalam peraturan perundang-undang, advokat melalui organisasi advokat pun memiliki kewajiban untuk melakukan bantuan hukum. Hal ini dapat ditelusuri dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, Peraturan Pemerintah 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara CumaCuma dan Peraturan Peradi No 1 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma Cuma. Meski demikian sifat pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh Advokat adalah Pro Bono ar nya dak ada kewajiban bagi mereka untuk melakukan pemberian bantuan hukum. Hal ini menyebabkan dari belasan ribu advokat yang terda ar di Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dak lebih dari lima puluh Advokat yang teregister di Pusat Bantuan Hukum Peradi yang melaksanakan bantuan hukum secara cuma-cuma. Hal ini disebabkan karena beberapa advokat merasa sudah pernah dulu melakukan, beberapa advokat lain menganggap lebih baik memberikan dananya ke LBH yang fokus pada upaya bantuan hukum cuma-cuma, selain adanya upaya paksa dari organisasi advokat yang turut menyebabkan kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma dak bisa ditegakkan.18 Peran Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi dalam melakukan pengabdian masyarakat berupa bantuan hukum menjadi sangat pen ng mengingat fakta di atas, apalagi jika dikaitkan
17 18
19
38
Ibid., hlm. 9. ”Dipertanyakan, Dedikasi Pengacara Sukses untuk Probono” http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4fa399b190322/dipertanyakan--dedikasi-pengacara-sukses-untuk-probono, (diakses tanggal 27 Maret 2013). Pasal 3 UU Bantuan Hukum.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Tinggi melakukan kegiatan tri darma berupa pengajaran, peneli an dan pengabdian kepada masyarakat. Pasal 47 ayat 1 dan 2 UU Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa: (1) Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (2) Pengabdian kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat. Sedangkan dalam Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mendefinisikan Dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, peneli an, dan pengabdian kepada masyarakat.21 Pasal 60 huruf a UU Guru dan Dosen ditegaskan lagi bahwa dosen memiliki kewajiban profesional berupa melaksanakan pendidikan, peneli an, dan pengabdian kepada masyarakat. Dosen memiliki beban kerja sebagaimana diatur dalam pasal 72 UU Guru dan Dosen yang mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan mela h, melakukan peneli an, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
lR ec hts V
ind
Undang-Undang Bantuan Hukum, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program Bantuan Hukum.20 Persyaratan yang dikemukakan dalam UU Bantuan Hukum tersebut, tentunya dak sulit untuk dipenuhi oleh Lembaga Bantuan Hukum Kampus baik swasta maupun negeri, hal ini dikarenakan secara teknis status badan hukum LBH mengiku badan hukum Universitas induknya, sudah pas memiliki pengurus yang terdiri dari civitas akademika, program bantuan hukum yang sudah tertata dan kesekretariatan yang sudah tersedia. Khusus Lembaga bantuan hukum Perguruan Tinggi Negeri, dengan adanya UU Bantuan Hukum ini dapat mereposisi peran pengabdian masyarakat mereka dalam bentuk bantuan hukum yang pro masyarakat miskin dalam menjamin access to jus ce. Hal ini disebabkan adanya perluasan definisi Pemberi Bantuan Hukum dalam UU Bantuan Hukum. Tidak hanya Advokat satu-satunya profesi yang boleh memberikan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Advokat, namun lembaga bantuan hukum dan organisasi kemasyarakatan juga mendapatkan legalitas untuk turut memberikan bantuan hukum khusus masyarakat dak mampu.
na
2. Implementasi Pengabdian Masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri yang Menjamin Access To JusƟce
Jur
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan civitas akademika di lingkungkan Perguruan
20
21
Bandingkan dengan pasal 1 angka 10 RUU KUHAP yang menyatakan bahwa yang dimaksud penasehat hukum adalah advokat atau orang lain yang memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Pasal 1 angka 2 UU Guru dan Dosen.
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
39
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
wilayah terpencil. LBH Fakultas Hukum menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mendiskusikan serta menelaah antara teori dan hukum yang hidup di masyarakat, sekaligus juga untuk meningkatkan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat; Kehadiran LBH Fakultas Hukum ber k tolak dari kesadaran serta dedikasi dalam pengabdiannya terhadap masyarakat dalam rangka pelaksanaan suatu Community Oriented Legal Educa on yaitu realisasi terhadap dharma ke ga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi di bidang hukum dan kemanusiaan.27 Pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH PTN selain berfungsi sebagai bentuk tridharma perguruan nggi berupa pengabdian masyarakat, juga memiliki empat fungsi utama sebagaimana dinyatakan oleh Akil Muchtar, Pertama, Proses hukum yang fair dan impar al yang terjadi jika para pihak memiliki posisi dan kekuatan yang seimbang dari sisi pengetahuan dan ketrampilan hukum. Kedua, memperkuat upaya menegakkan keadilan substansial melalui proses hukum yang fair dan impar al. Ke ga, bantuan hukum memberikan ruang interaksi antara para ahli dan profesi hukum dengan masyarakat umum. Keempat, kepatuhan terhadap hukum hanya akan berkembang pada saat masyarakat memahami kedudukan dan materi aturan hukum, sehingga mereka dapat menjalani prosedur hukum dengan baik, atau bahkan mengkri si materi serta prak k penegakan hukum.28 Keempat fungsi inilah yang
22 23
Pasal 3 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999. Pasal 4 angka 3 PP No. 53 Tahun 2010. Pasal 4 angka 4 PP No. 53 Tahun 2010. Pasal 3 ayat 1 UU Advokat. Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas LKBH Kampus, Op.Cit., hlm. 5. M. Akil Mochtar, ”Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara” (makalah disampaikan pada ”Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU)”, diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 30 Maret 2009).
Jur
24
na
lR ec hts V
ind
Khusus Dosen pegawai negeri sipil yang bernaung di Perguruan Tinggi Negeri selain kedua UU diatas, mereka juga tunduk pada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian serta PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dimana ada larangan bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi anggota dan/atau pengurus partai poli k,22 dilarang tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/ atau lembaga atau organisasi internasional23 PNS dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.24 Dosen PNS juga dilarang memberikan jasa hukum dengan berprofesi sebagai Advokat25 dan Notaris.26 Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh sivitas akademika Fakultas Hukum di Perguruan Tinggi Negeri memiliki banyak bentuk, salah satu yang paling menonjol dan membedakan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Fakultas Hukum dengan fakultas lainnya adalah dalam bentuk pendirian Lembaga/ Biro Bantuan Hukum. Sebagaimana dilansir oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) LBH Fakultas Hukum memiliki kontribusi pen ng terhadap gerakan bantuan hukum di Indonesia, beberapa alasan yang mendukung argumentasi ini antara lain : terdapat LBH hampir di se ap Fakultas Hukum di seluruh Indonesia termasuk di
25 26 27 28
40
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
kebijakan yang berkaitan dengan akses keadilan; 3. Tujuannya dak hanya keadilan prosedural, tetapi juga keadilan substan f; 4. Se ap warga negara membutuhkan bantuan hukum untuk kasus perdata maupun pidana; 5. Akses menuju keadilan mensyaratkan untuk melakukan se ap ndakan untuk mencapai pemenuhan tujuannya termasuk reformasi hukum formil dan materil, pembaruan pendidikan, informasi dan pelayanan hukum; 6. Kebijakan atas pelayanan hukum dengan memperkenalkan bantuan hukum yang dibiayai oleh negara (publicly funded) atau yang disediakan oleh advokat; 7. Keterbatasan sumber daya (resource) atas bantuan hukum bukan merupakan hal yang mengakhiri akses menuju keadilan, tetapi merupakan pembatasan cara pemberian bantuan hukum; 8. Bantuan hukum harus efek f, terlalu banyak persyaratan untuk mendapatkan bantuan hukum hal yang dak effek f;. 9. Penggunaan teknologi yang potensial membantu bantuan hukum seper teknologi informasi dll; Dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan akses keadilan berupa bantuan hukum bagi se ap orang, keberadaan dan peran LBH PTN sebagai pemberi bantuan hukum menjadi sangat pen ng bagi pencari keadilan, terutama bagi mereka yang tergolong
Jur
na
lR ec hts V
ind
kemudian turut berpengaruh pada jaminan access to jus ce bagi masyarakat miskin. Jaminan Access to jus ce atau akses pada keadilan memiliki makna persamaan dengan hak untuk memperoleh, menggunakan dan mendapatkan manfaat dari proses keadilan yang diperoleh melalui pengadilan maupun melalui mekanisme nonformal. Akses disini semes nya memungkinkan masyarakat miskin mendapat jaminan dan pengakuan dalam menggunakan hukum acara dan sarana dalam sistem peradilan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil. Sebagai tambahan, kata akses dapat diar kan sebagai sebuah metode dan prosedur. Upaya memperluas akses masyarakat miskin atas keadilan, tanpa membahas metode dan prosedur pelayanan, pencapaian dan pemenuhannya, bisa berakibat keadilan dak akan pernah dinikma oleh masyarakat miskin.29 Akses pada keadilan ini semes nya memungkinkan masyarakat miskin mendapat jaminan dan pengakuan dalam menggunakan hukum acara dan sarana dalam sistem peradilan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil.30 Sebagai bagian dari hak atas keadilan, Roger Smith sebagaimana diku p oleh Uli Parulian Sihombing mengiden fikasi sembilan prinsip access to jus ce, yaitu:31 1. Akses keadilan merupakan hak konsitusional se ap warga negara; 2. Kepen ngan warga negara harus lebih besar dibandingkan dengan kepen ngan penyedia jasa bantuan hukum, dalam menentukan
29
30 31
Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, (Jakarta: Bappenas, 2009), hlm. 52. Ibid. Uli Parulian Sihombing (ed.) et. al., Mengelola Legal Clinic, Panduan Membentuk dan Mengembangkan Kampus Untuk Memperkuat Akses Keadilan (Jakarta: ILRC, 2009).
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
41
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepen ngan pembelaan perkara; dan g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Ketentuan pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa LBH PTN dapat memperkerjakan advokat, paralegal,33 dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Advokat yang memilki ijin prak k direkrut bersamasama dengan dosen, paralegal dan mahasiswa fakultas hukum untuk memberikan pelayanan bantuan hukum berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum dengan bantuan pendanaan dari negara. Selain itu dalam melaksanakan fungsinya LBH PTN memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan, mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepen ngan pembelaan perkara; dan mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Termasuk jaminan perlindungan hukum yang diperoleh oleh LBH PTN adalah dak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan ik kad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan
Berdasarkan RUU KUHAP yang diterima penulis pada tanggal 14 Maret 2012 dalam acara public hearing RUU KUHAP oleh Komisi III DPR RI di Universitas Airlangga Surabaya. Andik Hardijanto mende inisikan paralegal sebagai seorang yang bukan sarjana hukum tetapi mempunyai pengetahuan dan pemahaman dasar tentang hukum dan hak asasi manusia, memiliki keterampilan yang memadai, serta mempunyai kemampuan dan kemauan mendayagunakan pengetahuan dan pengetahuannya itu untuk memfasilitasi ikhtiar perwujudan hak-hak asasi masyarakat miskin/komunitasnya. Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas LKBH Kampus, Op.Cit., hlm. 28.
Jur
32
na
lR ec hts V
ind
kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. LBH PTN sebagai pemberi Bantuan Hukum memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada kelompok orang miskin sesuai dengan ketentuan UU Bantuan Hukum, apalagi di dalam pasal 1 angka 10 Rancangan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana memperluas definisi penasehat hukum dak hanya terbatas pada advokat namun juga orang lain yang memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang.32 Dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum berbasis access to jus ce, LBH PTN memiliki beberapa hak untuk menunjang kinerjanya, hal dapat kita lihat dalam Pasal 9 UU Bantuan Hukum, dimana LBH dapat: a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum; b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum; c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum; d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini; e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
33
42
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
yang hanya melakukan pengabdian masyarakat dan pengembangan keilmuan sebagai pemberi bantuan hukum, terbatas pada perkara yang melibatkan orang dak mampu dan mereka dilarang menerima atau meminta pembayaran dalam bentuk apapun dari penerima bantuan hukum. Implementasi jaminan access to jus ce dalam pemberian bantuan hukum, selain dilakukan dengan cara-cara yang disebutkan di atas dapat juga dilakukan penguatan dalam bentuk pengembangan keparalegalan dan pengembangan pendidikan hukum yang menopang implementasi bantuan hukum. Dua hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh LBH yang tergabung di Perguruan Tinggi karena memiliki sumber daya yang cukup baik. Pengembangan keparalegalan menjadi pen ng disaat situasi keterbatasan atas akses geografis, pengetahuan dan keterampilan hukum di masyarakat. Harapannya dengan melakukan pengembangan keparalegalan, produk paralegal yang dihasilkan dapat memainkan peranan pen ng berupa melakukan pendidikan hukum di masyarakat, pendampingan penanganan kasus–baik lewat mekanisme formal maupun nonformal, fasilitator advokasi, mediasi serta fungsi lain yang pada prinsipnya menjembatani warga masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan jaringan bantuan hukum dan advokasi di ngkat lokal bahkan ngkat nasional. Pengembangan pendidikan hukum yang menopang implementasi bantuan hukum juga menjadi pen ng untuk menyediakan sumber daya para sarjana dibidang hukum yang juga mempunyai paradigma pengetahuan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Hukum berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau Kode E k.34 Secara semio k, pengaturan teks dalam pasal UU Bantuan Hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat dimaknai bahwa secara kontekstual pemberian pelayanan bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH PTN berbeda dengan pelayanan jasa hukum yang dilaksanakan oleh Advokat. Advokat dalam memberikan pelayanan jasa hukum memiliki hak untuk menerima honorarium, sedangkan LBH PTN sebagai pemberi bantuan hukum dilarang menerima pembayaran dari dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum.35 Bahkan terdapat ancaman pidana bagi pemberi bantuan hukum yang terbuk menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).36 Ketentuan pemidanaan dalam pasal ini dapat dimaknai sebagai sarana kontrol untuk mengembalikan arah bantuan hukum yang pro masyarakat miskin dan bukan dijadikan sarana untuk menenggak keuntungan profit dengan dalih pemberian bantuan hukum bagi masyarakat. Perdebatan mengenai kebolehan dosen PNS yang tergabung dalam LBH PTN dalam proses peradilan sebagai pemberi bantuan hukum menjadi jelas dengan ketentuan ini. Dosen PNS dapat beracara di proses peradilan sepanjang posisi dosen PNS sebagai bagian dari LBH PTN
34 35 36
Pasal 11 UU Bantuan Hukum. Pasal 20 UU Bantuan Hukum. Pasal 21 UU Bantuan Hukum.
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
43
Volume 2 Nomor 1, April 2013
E. Penutup
BP HN
ing
2. Saran
Pengaturan peraturan pelaksanaan dan teknis terkait UU Bantuan Hukum pen ng untuk segera dirancang dan disahkan, mengingat masih mul interpreta fnya banyak ketentuan pasal yang mengatur pemberian bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum. Hal ini perlu menjadi perha an agar dak terjadi miss konsepsi dalam pelaksanaan teknis di lapangan yang berimbas dak tercapainya menjamin access to jus ce yang menjadi substansi tujuan dibentuknya UU Bantuan Hukum. Pemahaman yang sama di antara para penegak hukum dalam memposisikan LBH Kampus sebagai Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum menjadi pen ng agar implementasi jaminan access to jus ce yang dilakukan LBH baik PTN maupun PTS dapat lebih op mal. Hal ini dapat dilakukan melalui forum MAHKEJAPOL yang terdiri dari unsur Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mendorong arah pengabdian masyarakat yang berbasis access to jus ce.
lR ec hts V
1. Kesimpulan
hukum dapat dilakukan dengan cara melakukan pendampingan secara li gasi maupun non li gasi, penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum dengan bantuan pendanaan dari negara. Selain pengembangan keparalegalan dan pengembangan pendidikan hukum dapat dilakukan dengan tujuan akhir penguatan jaminan acces to jus ce kepada seluruh masyarakat dengan tanpa memandang strata sosial tertentu.
ind
yang berperspek f hak asasi manusia dan menggunakan keahliannya itu untuk bersamasama terlibat dalam gerakan bantuan hukum. LBH PTN dapat mengembangkan isu ini sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan di perguruan nggi mereka.37 Dengan demikian, Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri dapat kembali berperan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi berupa pengabdian kepada masyarakat yang menjamin access to jus ce secara lebih op mal pasca diberlakukannya UU Bantuan hukum dalam bentuk pendampingan masyarakat miskin dalam proses peradilan dan penguatan kelompok masyarakat melalui program-program penyuluhan hukum.
Jur
na
UU Bantuan Hukum mereposisi peran pengabdian masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri setelah vacuum akibat dak adanya aturan yang jelas dan tegas yang mengakomodir peran mereka selama puluhan tahun bergerak di bidang bantuan hukum pro masyarakat miskin. Perluasan definisi Pemberi Bantuan Hukum dalam UU Bantuan Hukum dalam Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (2) UU Bantuan Hukum meberikan peluang bagi para dosen PTN, paralegal dana mahasiswa hukum yang tergabung dalam LBH untuk melakukan pengabdian masyarakat sekaligus pengembangan keilmuan hukum. Implementasi jaminan access to jus ce yang dilakukan LBH PTN dapat dilakukan secara lebih op mal pasca diberlakukannya UU Bantuan Hukum. Proses pemberian pelayanan bantuan
37
44
Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Op.Cit., hlm. 57.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 31-45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Internet
Buku
”Dipertanyakan, Dedikasi Pengacara Sukses untuk Probono”, h p://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt4fa399b190322/dipertanyakan-dedikasi-pengacara-sukses-untuk-probono. ”Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marjinal terhadap Keadilan”, h p://www.bantuanhukum. o r. i d / i n d e x . p h p / i d / d o k u m e n t a s i / p e n e r b i ta n / 2 3 1 - b a nt u a n - h u ku m - a ks e s masyarakat-marjinal-terhadap-keadilan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Putusan Mahkamah Kons tusi No.06/PUU-II/2004 tanggal 31 Desember 2004. Universal Declara on of Human Rights (UDHR). International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
ind
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan
Peraturan
ing
Ismanu, Imam, et. all., Profil Pengabdian Masyarakat BKBH FH UB 2012 (Malang: BKBH FH UB, 2013). Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Peneli an Hukum Norma f, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005). Marzuki, Peter Mahmud, Peneli an Hukum (Jakarta: Kencana, 2007). Irianto, Sulistyowa , Memperkenalkan kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya (Jakarta: Pustaka Larasan, 2012). Sihombing, Uli Parulian (ed.), et all, Mengelola Legal Clinic, Panduan Membentuk dan Mengembangkan Kampus Untuk Memperkuat Akses Keadilan (Jakarta: ILRC, 2009).
BP HN
DAFTAR PUSTAKA
Jur
na
lR ec hts V
Aminah, Si , Hak Bantuan Hukum Dalam Berbagai Konteks Analisa Terhadap UU No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (makalah). Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, (Jakarta: Bappenas, Mei 2009). Mochtar, M. Akil, ”Bantuan Hukum Sebagai Hak Kons tusional Warga Negara” (makalah disampaikan pada Karya La han Bantuan Hukum (KALABAHU), diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 30 Maret 2009). Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal Posi on Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, (Jakarta: Delapan Cahaya Indonesia Prin ng, 2010).
Implementasi Pengabdian Masyarakat Berbasis Access to JusƟce.... (Fachrizal Afandi)
45
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
SINERGISITAS PERAN DAN TANGGUNG JAWAB ADVOKAT DAN NEGARA DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (Synergy of Roles and Responsibili es of Advocates and State in Giving Legal Aid for Free) Ade Irawan Taufik Badan Pembinaan Hukum Nasional – Kementerian Hukum dan HAM Jl. Mayjen. Sutoyo No. 9, Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected] /
[email protected]
ing
Naskah diterima: 25 April 2013; revisi: 26 April 2013; disetujui: 27 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Dalam mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, advokat diwajibkan memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin, namun pada kenyataanya kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma terdapat banyak kendala dalam prakteknya, oleh karena itu diperlukan campur tangan negara. Permasalahannya adalah bagaimana konsepsi bantuan hukum yang selama ini terjadi dan bagaimana sinergisitas arah bantuan hukum yang berpihak pada masyarakat miskin dan bagaimana sinergisitas peran negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi orang atau kelompok miskin. Dengan menggunakan metode peneli an yuridis norma f dapat disimpulkan bahwa konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini yang bersifat individual dan konvensional dengan pengaturan yang bersifat parsial dan dak tersistem sehingga membawa pada suatu kondisi belum terwujudnya suatu perubahan sosial yang berkeadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta mudahnya akses untuk mendapatkan keadilan tersebut. Peran negara hadir dalam membentuk regulasi dalam bentuk UU Bantuan Hukum 2011, yang memberikan suatu konsep baru bantuan hukum. Keberadaan UU Bantuan Hukum semakin menguatkan peran advokat dalam memberikan bantuan cumacuma, sehingga peran dan kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat 2003 dapat bersinergi dengan peran negara dalam menyelenggarakan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum 2011. Kata kunci: advokat, bantuan hukum, akses keadilan, sinergi
Jur
na
Abstract In realizing the principles of the rule of law, advocates were oblige to provide legal assistance to people or the poor, however the liability of advocates in giving free legal aid encounter many obstacles in prac ces, therefore, the interven on of state were required. The problem is the concep on of legal aid that occurs and how is the synergy between advocates and states in giving a free legal aid and pro-poor legal aid. By using the norma ve research method, it can be concluded that legal aid concep on occurred during this me is individualized and conven onal with par al and unsystemized se ng lead to a condi on of unestablished just social change and public awareness as well as easy access to jus ce. The Role of states presents by establishing the regula on in form of Legal Aid Act 2011, which provides a new concept of legal aid. The existence of Legal Aid Act strengthens the role of advocates in providing free assistance, so that the roles and responsibili es set out in the Advocate Act 2003 can be synergized with the role of the state in legal aid as set out in the Legal Aid Act 2011. Keywords: advocate, legal aid, access to fairness, sinergy
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
47
Volume 2 Nomor 1, April 2013
1
2
3
4
BP HN
Frans Hendra Winarta, ”Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Banting Setir,” www.hukumonline.com (diakses tanggal 09 Februari 2009). Di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), ditegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, kemudian di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ditegaskan pula bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Lihat juga Penjelasan Umum dari UU Advokat 2003 dan UU Bantuan Hukum 2011. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288). Selanjutnya dalam tulisan ini disebut ”UU Advokat 2003”. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248). Selanjutnya dalam tulisan ini disebut ”UU Bantuan Hukum 2011”. UU Advokat 2003 mende inisikan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Dalam Black’s Law Dictionary, advokat (advocate) dide inisikan sebagai ”a person who assists, defends, pleads, or prosecutes for another” (Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Abridged 9th Edition (St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2010), hlm. 49). Advokat merupakan padanan kata dari kata ‘advocaat’ (Belanda), yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr.). Akar kata advokat berasal dari kata latin yang berarti membela. Dalam perkembangannya ditemui inkonsistensi penyebutan, misal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menggunakan istilah ‘Penasihat Hukum’, namun dalam praktiknya digunakan istilah ‘Pengacara’. Lebih lanjut lihat Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi (Jakarta: Djambatan: 2002), hlm. 6, lihat juga Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: PSHK, 2001), hlm. 55-75.
Jur
na
5
lR ec hts V
ind
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi se ap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diar kan secara dinamis dan dak diar kan secara sta s, ar nya, apabila ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi pula dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem). Persamaan di hadapan hukum yang diar kan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to jus ce) bagi semua orang tanpa membedakan latar belakangnya.
Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.1 Hal tersebutlah yang menjadi landasan kons tusional2 pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat3 dan juga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.4 Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat5 sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang pen ng, disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seper kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi
ing
A. Pendahuluan
48
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Sangat pen ngnya prinsip due process law dan equality before the law dalam mewujudkan prinsip jus ce for all tersebut di atas, maka bantuan hukum merupakan hak mutlak atau hak asasi yang melekat pada se ap individu manusia, sehingga advokatlah yang sangat berperan, baik dari kompetensi maupun kewenangan dalam menjalankan fungsi bantuan hukum tersebut. Oleh karena perannya tersebut, maka negara mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin atau dak mampu secara ekonomi. Kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin tersebut secara cuma-cuma ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU Advokat 2003, yang menyatakan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang dak mampu.10 Oleh karena jenis sanksi yang kurang kuat dan penegakan sanksi yang dak tegas oleh organisasi advokat, maka dalam perkembangannya ketentuan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut masih dianggap pekerjaan selingan yang dak mempunyai makna dan bahkan memandang bantuan hukum sebagai sebuah ”amal profesi”. Frans Hendra Winata mengatakan bahwa pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai penegakan HAM dan bukan belas kasihan,
7
Jur
8
Lihat Penjelasan Umum UU Advokat 2003. Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum Todung Mulya Lubis, Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini? (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 102. Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 94. Di dalam Pasal 18 UU Advokat 2003 ditegaskan pula bahwa Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Ibid., hlm. 97. Peraturan pelaksana ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Advokat 2003 baru terwujud setelah lima tahun berlakunya UU Advokat 2003, yaitu diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut ”PP Bantuan Hukum 2008”).
na
6
lR ec hts V
ind
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepen ngan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.6 Demikian mulianya profesi advokat tersebut, sehingga advokat dijuluki sebagai ”officium nobile” atau ”nobel profession”, ar nya profesi yang mulia dan terhormat.7 Hal ini karena advokat diwajibkan melakukan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosio-ekonomi, kaya/ miskin, keyakinan poli k, gender dan ideologi.8 Kewajiban membela dan memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin oleh profesi advokat sejalan dengan prinsip jus ce for all dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk didampingi oleh advokat tanpa kecuali. Pembelaan bagi orang atau kelompok miskin diperlukan dalam suasana sistem hukum pidana yang belum mencapai k keterpaduan (integrated criminal jus ce system). Seringkali tersangka atau terdakwa yang miskin, karena dak tahu hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan dak adil, atau dihambat haknya untuk didampingi advokat. Penegak hukum belum bekerja menerapkan due process law (proses hukum yang adil) yang memperha kan hak-hak tersangka atau terdakwa.9
9
10
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
49
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dalam perkembangannya pun memperlihatkan kendala dan kemunduran, terutama biro bantuan hukum yang didirikan di perguruan nggi, yaitu, konsentrasi advokat yang terpecah (antara tugas mengajar sebagai dosen dan tugas sebagai advokat); biro bantuan hukum di perguruan nggi bersifat ”non profit oriented”, sedangkan ngkat penghasilan dosen tergolong rendah; keterbatasan pendanaan; profesionalitas tenaga advokat di biro bantuan hukum di perguruan nggi negeri; dan kurangnya kepercayaan masyarakat.13 Selain hal tersebut di atas, pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat dalam perkembangannya pun semakin tergerus karena etos perjuangan advokat Indonesia sudah lama hilang dengan komersialisme dan konsumerisme. Kue keadilan diberi ”tarif”, tergantung besarannya sehingga keadilan menjadi komoditas yang harganya tergantung permintaan dan penawaran.14 Keadaan tersebut pun sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa perkembangan bantuan hukum sudah mendeka sebuah ”industri hukum”, ar nya para profesional (advokat) lebih menjalankan bisnis daripada bantuan terhadap mereka yang di mpa kesusahan. Bantuan hukum sudah berkembang menjadi sebuah korporasi besar yang melibatkan prak k dalam bentuk unit-unit yang besar dan jasa pelayanan hukum dilihat sebagai produk yang dijual, sehingga sudah seper bisnis.15 Harapan ke depan adalah adanya kondisi dan dorongan yang kuat terhadap peran dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
sehingga cara pandang yang keliru tersebut menjadi alasan mengapa proses pelembagaan bantuan hukum berjalan sedemikian tersendat dan dak kunjung mendatangkan harapan untuk bisa menjadikannya sebagai gerakan kolek f. Jika cara pandang tersebut terus digunakan, tanpa diiringi upaya mentransformasikannya sebagai komitmen perjuangan dan iden tas bersama, akan berimplikasi langsung pada: (i) senjangnya distribusi kesempatan; (ii) miskinnya kualitas bantuan hukum karena dilakukan tanpa landasan idealisme yang memadai; (iii) dan semakin menjauhnya posisi advokat dari penerimaan serta dukungan publik.11 Pada umumnya program bantuan hukum yang dijalankan oleh organisasi advokat masih mendasarkan pada sifat kerelaan dari para pengurus program bantuan hukum dari organisasi advokat tersebut, dan belum menjadi suatu gerakan masif dari bergeraknya organisasi advokat dengan melibatkan para anggota dari organisasi advokat tersebut. Meski pada saat yang sama Kode E k Advokat telah mewajibkan seorang advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok apabila diminta. Masalah tersebut berdampak bagi orang atau kelompok masyarakat miskin yang membutuhkan akses terhadap keadilan, karena begitu banyaknya perkara-perkara hukum yang menyangkut orang atau kelompok masyarakat miskin, namun organisasi advokat sebagai penyedia layanan bantuan hukum ternyata masih memiliki kapasitas yang minimal untuk menyediakan layanan bantuan hukum bagi orang atau kelompok masyarakat miskin.12 11 12
13 14 15
50
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op.Cit., hlm. 63. Anggara, ”Organisasi Advokat dan Program Bantuan Hukum di Indonesia”, http://anggara.org/2011/04/12/ organisasi-advokat-dan-program-bantuan-hukum-di-indonesia/ (diakses tanggal 14 Maret 2013). Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op.Cit., hlm. 51. Todung Mulya Lubis, Op.Cit., hlm. 103. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 181.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
untuk mempromosikan hukum, keadilan dan hak asasi manusia bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan terfokus pada delapan area permasalahan di Indonesia, diantaranya yaitu Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan; Bidang Bantuan Hukum; dan Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan. Sehingga dalam rangka pemberian akses hukum, pemerintah mempunyai peranan pen ng terutama dalam pemenuhan hak se ap orang atas bantuan hukum. Namun, upaya pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan belum op mal dan tepat sasaran.16 Penyatuan dua kekuatan dan tanggung jawab, negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma adalah suatu keniscayaan dalam mewujudkan prinsip jus ce for all, sehingga dalam peneli an ini akan sangat menarik untuk mencari bentuk suatu konsep yang ideal dari bantuan hukum sebagai upaya dapat memetakan bentuk kekuatan yang dihasilkan oleh negara dan advokat sehingga dapat disinergikan dalam upaya pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada orang atau kelompok miskin.
Jur
na
lR ec hts V
ind
tanggung jawab advokat dalam memenuhi kewajibannya dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma, namun dak semua advokat mengabaikan kewajibannya tersebut. Masih banyak terdapat advokat baik secara individual maupun secara kolek f dalam suatu lembaga hukum yang tetap gigih dalam menjalankan fungsi bantuan hukum cuma-cuma, namun dengan kondisi keterbatasan pendanaan yang kurang atau keterbatasan sumber daya manusia (advokat) yang dak tersebar merata di seluruh pelosok Indonesia, memaksa bahwa kondisi ini dak semata-mata harus ditanggung oleh advokat itu sendiri. Dengan melihat kondisi perkembangan tersebut, maka beban tanggung jawab pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dak dapat ditanggung sendiri oleh advokat, sehingga peran negara sangat dibutuhkan dalam mewujudkan bantuan hukum. Negara secara kons tusional menjamin hak kons tusional se ap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia, sehingga negara bertanggung jawab dalam pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Selain hal tersebut, pemerintah Indonesia sat ini telah meluncurkan Strategi Nasional Akses terhadap keadilan dalam rangka pemberian akses hukum kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan yang menekankan desakan untuk melakukan reformasi keadilan pada semua bidang kehidupan yang mendorong perubahan posisi Indonesia yang lebih baik
16
B. Permasalahan Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsepsi bantuan hukum yang selama ini terjadi dan bagaimana sinergitas arah bantuan hukum yang berpihak pada masyarakat miskin?
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014: Lampiran Buku II Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan, Bab VIII Hukum dan Aparatur.
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
51
Volume 2 Nomor 1, April 2013
1. Tipe PeneliƟan
2. Teknik Pengumpulan Data PeneliƟan
Teknik pengumpulan data peneli an dilakukan melalui peneli an kepustakaan (library research). Peneli an kepustakaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yang melipu : bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain UUD NRI 1945; undang-undang; Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Mahkamah Agung dan peraturan perundangundangan lain yang terkait dengan judul peneli an; bahan hukum sekunder, yakni bahanbahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari bahan hukum primer, antara lain doktrin-doktrin, hasil karya ilmiah atau hasil peneli an yang terdapat dalam buku dan jurnal ilmiah, dan berita-berita yang diperoleh dari majalah, surat kabar dan internet; dan bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seper kamus hukum, ensiklopedia dan lainlain.
18
19 20
21
52
3. Pengolahan dan Analisa Data
Peneli an ini menggunakan analisis data deskrip f kualita f. Teknik analisis data kualita f adalah cara untuk menganalisis data dengan
Bagir Manan, ”Penelitian Terapan di Bidang Hukum” (makalah disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9-11 November 1993), hlm.7. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Gra indo Persada, 2001), hlm. 13-14. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 132. Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-ragam Penelitian Hukum, dalam Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (Ed.). Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Reϔleksi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011), hlm. 121. J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 2.
Jur
17
na
lR ec hts V
ind
Untuk menjawab rumusan permasalahan, metode peneli an yang digunakan dalam peneli an ini adalah yuridis norma f. Metode peneli an hukum yuridis norma f pada dasarnya meneli kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum.17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji18 menyatakan bahwa peneli an hukum norma f atau peneli an hukum kepustakaan merupakan peneli an hukum yang dilakukan dengan cara meneli bahan pustaka atau data sekunder, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Peneli an yuridis norma f juga dimaksudkan sebagai peneli an hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.19 Peneli an norma f dapat juga disebut peneli an hukum doktrinal, yang bertujuan untuk menemukan jawaban yang benar dengan mendasarkan pada preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis dan juga ajaran atau doktrin,20 dan lebih cenderung
BP HN
C. Metode PeneliƟan
bersifat kualita f ( dak berbentuk angka) berdasarkan data sekunder.21
ing
2. Bagaimana sinergitas peran negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi orang atau kelompok miskin?
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
1. Konsepsi Bantuan Hukum Yang Selama Ini Terjadi dan Arah Bantuan Hukum Yang Berpihak Pada Masyarakat Miskin
23 24
Jur
25
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 8 -12. Ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut ”UU HAM 1999”. Pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), Majelis Umum PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558). Untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut ”UU ICCPR”.
na
22
lR ec hts V
ind
Di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan dak ada kecualinya, kemudian di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 ditegaskan pula bahwa se ap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Penegasan dalam kons tusi tersebut memberikan makna bahwa di dalam se ap orang melekat hak asasi berupa kedudukan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena sifatnya sebagai suatu hak asasi dan karenanya bersifat universal, maka di dalam Pasal 6-7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)23 menyatakan se ap
BP HN
D. Pembahasan
orang berhak atas pengakuan sebagai pribadi di depan hukum di mana saja ia berada dan juga semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Sejalan dengan UUD NRI 1945 dan deklarasi tersebut, di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,24 ditegaskan bahwa se ap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan dak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyek f oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Prinsip mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan ini pun telah ditegaskan di dalam Pasal 14 (ICCPR),25 yang telah dira fikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Interna onal Covenant on Civil and Poli cal Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Poli k).26 Berdasarkan penegasan dari UUD NRI 1945, DUHAM, ICCPR serta UU HAM 1999 tersebut di atas, terlihat bahwa Indonesia memberikan
ing
mengacu pada norma-norma, asas-asas serta hukum posi f yang ada.22 Data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dianalisa untuk mendapatkan gambaran dan permasalahan berbagai kebijakan dan regulasi dalam bantuan hukum.
26
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
53
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
menerima jasa hukum dari advokat, sedangkan ‘jasa hukum’ yang dimaksud adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan hukum klien.29 Namun, merujuk Pasal 22 UU Advokat 2003, telah terjadi pereduksian makna, yaitu frase ‘klien’ diubah menjadi frase ‘pencari keadilan’. Pereduksian makna ini kembali dipertegas di dalam PP Bantuan Hukum 2008, yaitu dengan mendefinisikan makna ‘pencari keadilan’ sebagai orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis dak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Pengubahan frase ‘klien’ menjadi ‘pencari keadilan’ telah menjadikan makna penerima bantuan hukum tereduksi, ar nya bila merujuk pada ar frase ‘klien’ sebagaimana tersebut di atas, maka seharusnya hubungan yang terjadi antara penerima bantuan hukum dan advokat (pemberi bantuan hukum) adalah hubungan kerja yang profesional dan dalam kedudukan yang sejajar meskipun pemberi bantuan hukum dak menerima honorarium dan penerima bantuan hukum adalah orang yang dak mampu. Frase ‘pencari keadilan’ memberikan konotasi hubungan yang subordinat dan pencari keadilan dalam posisi yang meminta-minta dan memerlukan bantuan hukum kepada advokat. Pembedaan perlakuan pelayanan oleh advokat
27
Garis bawah oleh Penulis. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, klien diartikan sebagai orang yang minta bantuan atau nasihat pada pengacara, konsultan dan sebagainya (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 513, sedangkan di dalam Black’s Law Dictionary, klien atau client dide inisikan sebagai a person or entity that employs a professional for advice or help in that professional’s line of work (Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Op.Cit., hlm. 232). Pengertian di dalam Black’s Law memberikan makna pada hubungan kerja yang profesional antara pemberi dan penerima bantuan. Lihat Pasal 1 angka (2) UU Advokat 2003.
Jur
28
na
lR ec hts V
ind
hak atas jaminan perlakuan yang sama di muka hukum bagi se ap individu, dan bentuk jaminan tersebut salah satunya dikonsepsikan dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang atau kelompok masyarakat yang kurang mampu atau miskin. Konkre sasi pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut dalam tataran pengaturan dalam sejarah perkembangannya mengalami derivasi di berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga berpengaruh terhadap konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini. Di dalam UU Advokat 2003, bantuan hukum dikonsepsikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang dak mampu, kemudian di dalam PP Bantuan Hukum 2008 sebagai peraturan pelaksana undang-undang tersebut, mendefinisikan bantuan hukum secara cumacuma, yaitu jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium melipu pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan pencari keadilan yang dak mampu.27 Berdasarkan UU Advokat 2003 tersebut, ‘pemberi bantuan hukum’ dimaknai hanya pada diri advokat semata, dan ‘penerima bantuan hukum’, dimaknai hanya pada ‘klien’nya dak mampu. Klien28 dikonsepsikan oleh Pasal 1 angka (3) UU Advokat 2003 sebagai orang, badan hukum, atau lembaga lain yang
29
54
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
ditawarkan adalah pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang dak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat, yang semata-mata hanya dalam proses penyelesaian sengketa saja, yang dihadapi dalam proses peradilan.32 Pemaknaan konsepsi bantuan hukum sebagaimana tersebut di atas, diakibatkan perbedaan pendekatan dalam melayani pencari keadilan. Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa pendekatan advokat bercirikan: 1) individual; 2) urban (perkotaan); 3) pasif; 4) legalis k; 5) gerakan hukum (legal movemnet); dan 6) persamaan distribusi pelayanan (equal distribu on of services), sedangkan pendekatan seorang pembela umum (ak vis legal aid) adalah: 1) struktural (kolek f); 2) urban-rural; 3) ak f; 4) orientasi legal dan non legal; 5) gerakan sosial (social movement); dan 6) perubahan sosial.33 Pendekatan yang dianut oleh advokat ini berakibat pada miskinnya kualitas bantuan hukum karena dilakukan tanpa landasan idealisme yang memadai dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.34 Pemaknaan konsepsi bantuan hukum secara sempit tersebut dipengaruhi oleh sejarah peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan dak langsung terkait dengan pemberian bantuan hukum. Pada masa sebelum berlakunya hukum acara pidana tahun 1981,
Jur
31
Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002 oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI) Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). A.A. Oka Mahendra, ”Revitalisasi Bantuan Hukum Dalam Hukum Nasional” http://okamahendra.wordpress. com/ (diakses tanggal 11 Februari 2013). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Op.Cit., hlm. 209. Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Cetakan I (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 60, sebagaimana dikutip dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Op.Cit., hlm. 212. Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op.Cit., hlm. 63.
na
30
lR ec hts V
ind
antara klien yang mampu dan dak mampu secara ekonomi semakin tegas diperlihatkan dalam dalam UU Advokat 2003 maupun Kode E k Advokat Indonesia,30 yaitu dengan adanya frase ”jasa hukum” dan ”batuan hukum”. ”Jasa hukum” dimaksudkan untuk klien yang mampu membayar dan ‘bantuan hukum” dimaksudkan untuk klien yang dak mampu secara ekonomi. Padahal jelas sekali disebutkan di dalam UU Advokat 2003, bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi ”jasa hukum” dan jasa hukum itu adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan hukum klien. Ke dakkonsistenan tersebut secara dak langsung membawa pengaruh pada perbedaan perlakukan yang diberikan oleh advokat kepada klien yang mampu dan dak mampu. Apabila merujuk pada konsepsi bantuan hukum yang ditawarkan oleh UU Advokat 2003 tersebut di atas, maka bantuan hukum yang diberikan dapat dikatakan sebagai bantuan hukum indvidual, atau apabila merujuk pendapat M. Cappella dan B. Garth seper diku p Abdul Rachman Saleh, dapat dikategorikan pada access to jus ce gelombang pertama atau dikenal dengan is lah bantuan hukum konvensional,31 dimana dasar konsepsi bantuan hukum yang
32
33
34
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
55
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
terciptanya suatu kesinkronan dalam pemberian bantuan hukum. Pengaturan pemberian bantuan hukum antara lain di atur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman;36 Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;37 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;38 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.39 Keempat undang-undang tersebut memiliki konsepsi yang sama tentang bantuan hukum, yaitu bahwa se ap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dengan membentuk Pos Bantuan Hukum (Posbakum) dise ap peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.40 Konsepsi bantuan hukum yang diberikan oleh keempat undangundang tersebut dapat dikatakan masih sebagai bantuan hukum indvidual atau konvesional yaitu pemberian bantuan hukum kepada masyarakat dak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat, yang semata-mata hanya dalam proses
36
37
Jur
38
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Op.Cit., hlm. 223. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). Untuk selanjutnya di dalam tulisan ini disebut ”UU Kehakiman 2009”). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079). Pelaksanaan keempat undang-undang tersebut diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
na
35
lR ec hts V
ind
hukum acara yang berlaku adalah hukum acara yang terdapat di dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement) baik untuk perkara pidana maupun perdata. Dalam perkara perdata HIR dak mengenal adanya konsep bantuan hukum secara cuma-cuma, namun masih sebatas pembebasan biaya perkara, sedangkan untuk perkara pidana, HIR di dalam Pasal 83-h ayat (6) dan Pasal 250 ayat (5), mengenalkan konsep bantuan hukum hanya terbatas pada mereka yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman ma . Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan konsep bantuan hukum yang terdapat di HIR diubah total dan lebih menghorma hak tersangka/terdakwa. Pasal 56 KUHAP mewajibkan pejabat yang berwenang pada se ap ngkat pemeriksaan untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana ma atau pidana penjara 15 tahun atau lebih; dan bagi mereka yang dak mampu yang diancam penjara pidana 5 tahun atau lebih.35 Pengaturan bantuan hukum lainnya diatur secara parsial dan dak merupakan suatu sistem yang saling kait-mengkait antara satu peraturan dengan peraturan yang lain sehingga dak
39
40
56
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), maka peran negara hadir dalam membentuk regulasi dalam bentuk UU Bantuan Hukum 2011. UU Bantuan Hukum 2011 memberikan suatu konsep baru bantuan hukum, yaitu bahwa bantuan hukum selain bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi orang atau kelompok miskin untuk mendapatkan akses keadilan juga untuk mewujudkan kepas an penyelenggaraan bantuan hukum dapat dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan mewujudkan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Konkre sasi konsep tersebut diimplementasikan dalam berbagai bentuk antara lain memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok miskin yang menghadapi masalah hukum baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, baik li gasi maupun nonli gasi; dan juga menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum, yaitu inves gasi kasus, pendokumentasian hukum, peneli an hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Melihat konsepsi bantuan hukum yang diintroduksi oleh UU Bantuan Hukum 2011, maka bantuan hukum yang dimaksud bukan sematamata proses penyelesaian sengketa saja, yang dihadapi dalam proses peradilan, namun juga ada suatu upaya untuk menciptakan kemudahan dan pemerataan akses bantuan hukum dan juga ada bentuk penyuluhan hukum, konsultasi hukum, peneli an hukum dan pemberdayaan masyarakat.
Jur
na
lR ec hts V
ind
penyelesaian sengketa saja, yang dihadapi dalam proses peradilan. Bentuk bantuan hukum yang juga diatur secara parsial dan masih dalam bentuk konsep bantuan hukum individual dan konvensional dapat dilihat dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu se ap anak yang dirampas kebebasannya dan se ap anak yang menjadi korban atau pelaku ndak pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efek f dalam se ap tahapan upaya hukum yang berlaku. Kemudian di Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah berhak mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada se ap ngkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yaitu dengan pemberian bantuan hukum kepada tenaga kerja Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional selama masa penempatan di luar negeri. Konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini masih bersifat individual dan konvesional dengan pengaturan yang bersifat parsial dan dak tersistem membawa pada suatu kondisi belum terwujudnya suatu perubahan sosial yang berkeadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta mudahnya akses untuk mendapatkan keadilan tersebut. Berkaca pada kondisi tersebut dan juga dalam rangka untuk mewujudkan negara hukum
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
57
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Model bantuan hukum dalam bentuk penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan peneli an hukum sejalan pula dengan apa yang dikatakan oleh Groenendijk dan Sloot, yaitu bahwa penyuluhan hukum merupakan bentuk ‘bantuan hukum preven f’, yang bertujuan agar masyarakat menger hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Konsultasi hukum merupakan bentuk ‘bantuan hukum diagnos k’, yaitu berupa pemberian nasehat hukum, sedangkan peneli an hukum merupakan bentuk ‘bantuan hukum pembentukan dan pembaruan hukum’, yaitu bantuan hukum yang usaha-usahanya lebih ditujukan mengadakan pembaruan hukum melalui pembentukan undang-undang dalam ar materiil.42 Arah bantuan hukum di Indonesia ke depannya diharapkan mempunyai tujuan dan ruang lingkup yang lebih luas dari yang telah di tawarkan oleh UU Bantuan Hukum 2011, yaitu dak hanya sekedar proses penyelesaian sengketa dalam proses peradilan, namun juga meningkatkan kesadaran hukum dan membangun masyarakat yang cerdas hukum yang menger akan pen ngnya hukum. Adnan Buyung Nasu on mengungkapkan, diperlukan bantuan hukum melalui pendidikan masyarakat untuk menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai subjek hukum.43
Jur
na l
Re c
hts V
ind
Konsep bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum 2011 dan turut sertanya negara dalam penyelenggaraan bantuan hukum, sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Cappelle dan Gordley dalam ar kel yang berjudul ”Legal aid: modern themes and varia ons”, yaitu pada dasarnya terdapat dua model (sistem) bantuan hukum, yaitu ‘model yuridis-individual’ dan ‘model kesejahteraan’, ar nya bantuan hukum dapat dilihat sebagai suatu hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepen ngan-kepen ngan individual, dan di lain pihak sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan suatu negara kesejahteraan. Model yuridis-individual adalah ciri pola klasik dari bantuan hukum, ar nya permintaan akan bantuan hukum tergantung pada masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan model kesejahteraan, memandang bantuan hukum sebagai bagian dari haluan sosial, misalnya untuk menetralisasikan ke dakpas an atau kemiskinan. Peran negara untuk ikut campur diperlukan dalam model kesejahteraan, untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat dan bantuan hukum sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan itu. Sehingga ruang lingkup dalam model kesejahteraan ini lebih luas, hal ini karena bantuan hukum menjadi bagian dari program pengembangan sosial atau perbaikan sosial.41 Dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011, maka negara dalam hal ini telah ikut campur dengan program-program yang bukan hanya penyelesaian masalah hukum namun juga program pemberdayaan masyarakat.
41 42
43
58
2. Sinergitas Peran Negara dan Advokat Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 11-13. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Op.Cit., hlm. 208. Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Op.Cit., hlm. 16.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
poli k atau ekonomi, dan sering masuk menjadi pimpinan gerakan reformasi. Bukan hanya advokat tentunya, tapi profesi itu menonjol dalam sejarah negara modern sebagai sumber ide dan perjuangan modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, kons tusionalisme dan sejenisnya.45 Sejarah di Indonesia menunjukkan kontribusi signifikan dari kalangan advokat terhadap pelaksanaan bantuan hukum cumacuma. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang kini tumbuh di Indonesia dak lepas dari peran advokat, bahkan organisasi advokat pun secara terbatas menjadikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai tolak ukur keberhasilan program pengabdiannya pada masyarakat. Namun latar belakang bantuan hukum cumacuma yang mereka berikan, sebagian besar dilatarbelakangi oleh sikap kedermawanan (charity), yaitu atas dasar tanggung jawab moral dan kemanusiaan, sehingga hanya sedikit advokat yang mendasar kegiatannya tersebut pada tujuan yang lebih besar, yaitu fair trial. Hal ini yang menyebabkan proses pelembagaan bantuan hukum berjalan sedemikian tersendat dan dak kunjung mendatangkan harapan untuk bisa menjadikannya sebagai gerakan kolek f serta rendahnya kualitas jasa hukum yang diberikan.46 Permasalahan klasik lainnya adalah masalah pendanaan. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada pada umumnya mencari dana sendiri guna membiayai operasionalnya, sehingga hal ini berpengaruh langsung terhadap
Jur
na l
Re c
hts V
ind
maupun di luar pengadilan,44 dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara li gasi maupun nonli gasi, dan sejak dulu keberadaan advokat selalu ada semacam ambivalensi. Dalam bahasanya Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hak asasi manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, dak terikat pada perintah (order) klien dan dak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun. Salah satu hal lain yang menarik perha an adalah peran advokat bukan hanya sebagai spesialisasi dalam penyelesaian pertentangan antara warga, tapi juga sebagai spesialisasi dalam hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, yaitu antara masyarakat dan negara. Dalam negara modern, tanpa ada orang yang mengisi fungsi itu secara profesional, masyarakat akan lebih mudah di ndas dan dipermainkan oleh penguasa. Fungsi advokat bukan hanya berperkara di pengadilan, namun sangat pen ng, mewakili kepen ngan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Justru karena profesi advokat menger akan bentuk, lembaga dan aturan negara dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara atau warga negara yang lainnya. Dalam kondisi yang demikian banyak advokat dengan sendirinya muncul dalam poli k, urusan sosial, pendidikan, perjuangan perubahan
44 45
46
Lihat Pasal 1 angka (1) UU Advokat 2003. Teguh Adminto, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum Mengenai Implementasi Penanganan Kasus Pro-Bono (Prodeo), http://tittoarema.blogspot.com/2005/12/peran-advokat-dalam-penegakan-hukum.html, (diakses tanggal 8 Februari 2013). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Op.Cit., hlm. 234-242.
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
59
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Diakuinya paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum oleh UU Bantuan Hukum 2011 memberi peluang untuk dapat beracara dalam proses peradilan, sehingga sejalan dengan tujuan Pasal 3 huruf c UU Bantuan Hukum 2011, yaitu penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk menjamin kepas an penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan advokat yang masih bersifat individual dan bukan suatu gerakan kolek f menjadikan rendahnya kualitas bantuan hukum yang dihasilkan, oleh karena itu di dalam UU Bantuan Hukum 2011, objek yang diatur sebagai pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan, sehingga bersifat kelembagaan dan kolek f dan bukan gerakan individual advokat sehingga perannya dalam memberikan bantuan dan mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan hukum dapat lebih maksimal. Namun dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011 bukan berar kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum terhapuskan. Di dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Bantuan Hukum 2011 ditegaskan bahwa pelaksanaan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum ini dak mengurangi kewajiban profesi Advokat untuk menyelenggarakan bantuan hukum berdasarkan UU Advokat 2003. Peran negara dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011 justru menguatkan peran advokat dalam memberikan bantuan
Jur
na
lR ec hts V
ind
keberlangsungan bantuan hukum yang diberikan. Pesebaran jumlah advokat yang dak merata di seluruh pelosok dan hanya banyak terdapat di kota-kota besar, menjadi permasalahan tersendiri dalam terdapatnya akses bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Upaya campur tangan negara dalam mengatasi permasalahan yang melanda advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma seja nya telah diakomodir dengan dikeluarkannya PP Bantuan Hukum 2008 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, namun upaya ini merupakan suatu upaya injeksi sesaat dan hanya mampu mengatasi model bantuan hukum secara individual dan konvensional, sehingga dalam mewujudkan bantuan hukum dengan model kesejahteraan akan berjalan tersendat. Dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011, peran negara dalam mewujudkan model bantuan hukum kesejahteraan akan rela f mudah tercapai. Secara filosofis, menurut Wicipto Se adi, UU Bantuan Hukum dapat dimaknai dalam konteks memperluas akses masyarakat terhadap keadilan dan hal ini memudahkan orang miskin mengakses hukum dan keadilan.47 Permasalahan pesebaran jumlah advokat yang dak merata di seluruh pelosok tanah air, sehingga akses masyarakat untuk mencari keadilan terhambat se daknya dapat diatasi dengan diakuinya peran paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum dalam melakukan pelayanan hukum secara cuma-cuma.48
47
48
60
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506ba85e68bd1/ylbhi-akan-intervensi-pengujian-uu-bantuanhukum (diakses tanggal 13Maret 2013). Lihat Pasal 9 UU Bantuan Hukum 2011.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
lR ec hts V
ind
Konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini yang bersifat individual dan konvesional dengan pengaturan yang bersifat parsial dan dak tersistem membawa pada suatu kondisi belum terwujudnya suatu perubahan sosial yang berkeadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta mudahnya akses untuk mendapatkan keadilan tersebut. Berkaca pada kondisi tersebut dan juga dalam rangka mewujudkan negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), maka peran negara hadir dalam membentuk regulasi dalam bentuk UU Bantuan Hukum 2011, yang memberikan suatu konsep baru bantuan hukum, yaitu bahwa bantuan hukum selain bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi orang atau kelompok miskin untuk mendapatkan akses keadilan juga untuk mewujudkan kepas an penyelenggaraan bantuan hukum dapat dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan mewujudkan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsep bantuan hukum tersebut sejalan model (sistem) bantuan hukum kesejahteraan’, ar nya bantuan hukum dapat dilihat sebagai suatu hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepen ngan-kepen ngan individual, dan di lain pihak sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang
BP HN
E. Penutup
menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan suatu negara kesejahteraan. Kewajiban advokat dalam memberikan bantuan yang dilatarbelakangi oleh sikap kedermawanan (charity) dan sebagai suatu gerakan individual menjadikan rendahnya kualitas jasa hukum yang diberikan. Selain itu masalah pendanaan; pesebaran jumlah advokat yang dak merata di seluruh pelosok menjadi penghambat dalam jaminan akses masyarakat dalam mencari keadilan, sehingga dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011, peran negara dalam mewujudkan model bantuan hukum kesejahteraan akan rela f mudah tercapai. Permasalahan gerakan advokat yang masih bersifat individual terakomodir di dalam UU Bantuan Hukum 2011, karena objek yang diatur sebagai pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan, sehingga bersifat kelembagaan dan kolek f. Berlakunya UU Bantuan Hukum 2011 bukan berar kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum terhapuskan, melainkan dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum 2011 justru menguatkan peran advokat dalam memberikan bantuan cuma-cuma, sehingga peran dan kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat 2003 dapat bersinergi dengan peran negara dalam menyelenggarakan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum 2011.
ing
cuma-cuma, sehingga peran dan kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat 2003 dapat bersinergi dengan peran negara dalam menyelenggarakan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum 2011.
DAFTAR PUSTAKA Buku Ardhiwisastra, Yudha Bhak , Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2000). Garner, Bryan A., Black’s Law Dic onary, Abridged 9th Edi on (St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2010).
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
61
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
org /2011/04/12/organisasi-advokat-danprogram-bantuan-hukum-di-indonesia/. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt506ba85e68bd1/ylbhi-akan-intervensipengujian-uu-bantuan-hukum. Mahendra, A.A. Oka, ”Revitalisasi Bantuan Hukum Dalam Hukum Nasional” h p://okamahendra. wordpress.com/. Winarta, Frans Hendra, ”Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Ban ng Se r,” www. hukumonline.com.
ing
Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Interna onal Covenant on Civil and Poli cal Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Poli k), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan
lR ec hts V
ind
Lubis, Todung Mulya, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Cetakan I (Jakarta: LP3S, 1996). Lubis, Todung Mulya, Catatan Hukum Todung Mulya Lubis, Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008). Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Peneli an Hukum (Bandung: Citra Aditya Bak , 2004). Pangaribuan, Luhut M.P., Advokat dan Contempt of Court, Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi (Jakarta: Djambatan: 2002). Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legi masi, Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: PSHK, 2001). Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peneli an Hukum Norma f: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001). Soekanto, Soerjono, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). Supranto, J., Metode Peneli an Hukum dan Sta s k (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). Wignjosoebroto, Soetandyo, Ragam-ragam Peneli an Hukum, dalam Irianto, Sulistyowa dan Shidarta (Ed.). Metode Peneli an Hukum Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011). Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta: Elex Media Kompu ndo, 2000).
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan
na
Manan, Bagir, ”Peneli an Terapan di Bidang Hukum”, (makalah, disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993).
Internet
Jur
Adminto, Teguh, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum Mengenai Implementasi Penanganan Kasus Pro-Bono (Prodeo), h p:// oarema. blogspot.com/2005/12/peran-advokat-dalampenegakan-hukum.html. Anggara, ”Organisasi Advokat dan Program Bantuan Hukum di Indonesia”, h p://anggara.
62
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47-63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079). Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Kode E k Advokat Indonesia.
Jur
na
lR ec hts V
ind
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160,
Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara ... (Ade Irawan Taufik)
63
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
BANTUAN HUKUM MELALUI MEKANISME NONLITIGASI SEBAGAI SALURAN PENGUATAN PERADILAN INFORMAL BAGI MASYARAKAT ADAT (The Legal Aid Through Non Li ga on Mechanism As Access on Strengthening Informal Jus ce for Adat Community)
ing
Arfan Faiz Muhlizi Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No.10 Cililitan Jakarta Email:
[email protected],
[email protected]
Naskah diterima: 22 April 2013; revisi: 24 April 2013; disetujui: 26 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Kemampuan negara dalam menyediakan akses atas keadilan secara cepat dan murah bagi masyarakat masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari terbatasnya jangkauan aparat negara, hingga terjadinya judicial corrup on. Oleh karena itu perlu mencari alterna f lain dalam rangka mendapatkan akses keadilan. Salah satu alterna f tersebut adalah penguatan mekanisme non formal melalui peradilan informal dengan berbagai variannya seper mediasi dan peradilan adat. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme non formal ini selaras dengan keberadaan Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang memberikan ruang bagi kemungkinan bantuan hukum melalui mekanisme nonli gasi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dan mengacu pada model collabora ve approach atau hybrid jus ce sistem agar dapat memberikan jaminan kepas an hukum maka terlihat bahwa UU Bantuan Hukum juga mendorong pembenahan dan pembaharuan administrasi dan manajemen peradilan adat agar mekanisme koordinasi dengan lembaga formal dalam rangka memberikan bantuan hukum ini dapat berjalan lebih lancar. Pemerintah masih perlu mendorong agar organisasi bantuan hukum (OBH) memberikan prioritas bantuan hukum terhadap kasus-kasus yang diselesaikan melalui peradilan informal, khususnya peradilan adat agar dak terjadi penumpukan perkara di peradilan formal. Kata kunci: peradilan adat, bantuan hukum, koordinasi, nonli gasi
Jur
na
Abstract State capabili es in providing access to jus ce rapidly and cheaply to peoples s ll faces various obstacles, begin from limited reach of civil servant un l judicial corrup on happened. Therefore it is necessary to find other alterna ves in order to obtain access of jus ce. The one of it is strengthening mechanism through informal jus ce with variety of variant such as media on and adat court. Dispute resolu on through non formal mechanism in line with existence the law number 16 year 2011 on legal aid which provides space for the possibility of legal aid through non li ga on mechanism. By using empirical and juridical approach refers to the collabora ve approach or a hybrid jus ce system in order to provide legal certainty then it looks that the law on legal assistance encouraging improvement and renewal of adat court in order to provide legal aid runs smoothly. The government s ll necessary to encourage legal aid ins tu on gives priority to legal aid of cases resolved by informal jus ce, especially of adat jus ce in order to avoid the buildup of cases in formal jus ce. Keywords: adat judiciary, legal aid, coordina on, nonli ga on
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
65
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Sebagai sebuah negara hukum (Rechtstate) kons tusi Indonesia menjamin persamaan se ap warga negara di hadapan hukum (equality before the law), sebagai salah satu prinsip dasar yang menjadi tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, se ap warga negara berhak memperoleh pemulihan (remedy) atas pelanggaran hak yang mereka derita dan negara memiliki kewajiban untuk memas kan pemenuhan hak-hak tersebut. Dengan demikian, akses atas keadilan adalah suatu hak asasi manusia yang wajib dihorma dan dijamin pemenuhannya. Namun harus diakui bahwa pencapain ke arah cita ideal tersebut memerlukan dukungan dan kerja nyata oleh semua pihak. Hal ini dikarenakan Indonesia baru saja terlepas dari masa dimana prinsip sebagai negara hukum diingkari dengan berbagai praktek penyelewengan kekuasaan (abuse of power) di masa orde baru. Akses terhadap keadilan dalam konteks Indonesia mengacu pada keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi se ap warga negara (claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal, didukung oleh keberadaan mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang mudah diakses masyarakat dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang op mal untuk memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri.
Kenyataan akan keterbatasan kemampuan ins tusi negara (Kepolisian dan Pengadilan) dalam menyediakan akses atas keadilan secara cepat bagi masyarakat, juga masih menghadapi berbagai kendala. Jauhnya akses ke peradilan formal, biaya yang nggi dan kurangnya pemahaman tentang peradilan formal serta terbatasnya jangkaun layanan Kepolisian, seringkali menjadi hambatan bagi masyarakat miskin dan marginal untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi melalui ins tusi formal. Terdapat beberapa hasil peneli an yang menunjukkan terjadinya judicial corrup on telah menggurita pada se ap tahap proses peradilan.1 Peneli an yang dilakukan oleh Bappenas dan World Bank (Cyberconsult tahun 1999) menunjukkan adanya prak k korupsi di lingkungan peradilan. Secara khusus, laporan ini menyoro praktek korupsi yang dilakukan oleh panitera pada saat penda aran perkara. Responden peneli an tersebut menyatakan bahwa biaya penda aran yang harus dibayar oleh pencari keadilan menjadi cukup mahal melebihi dari apa yang seharusnya dibayar menurut ketentuan yang berlaku. Bertolak dari peneli an tersebut juga diungkap pula prak k korupsi bagi para pihak ke ka mendapatkan salinan putusan. Salinan putusan yang semes nya menjadi hak dari para pihak, namun ternyata hanya bisa didapatkan oleh para pihak setelah diharuskan untuk memberikan sejumlah uang lebih kepada petugas di pengadilan. Tanpa uang lebih, maka salinan putusan dak akan segera diserahkan.2 Peneli an lain yang dilakukan oleh Mardjono Reksodiputro juga mengungkapkan adanya
ing
A. Pendahuluan
1 2
66
Basuki Rekso Wibowo, Pembenahan Administrasi Peradilan (Jakarta: BPHN, 2012), hlm. 7-10. Wasingatu Zakiya dkk, Panduan Eksaminasi Publik (Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW), 2003), hlm. 4. Lihat juga Basuki Rekso Wibowo, Pembenahan Administrasi Peradilan (Jakarta: BPHN, 2013), hlm. 7-10.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
terdakwa akan dinyatakan terbuk bersalah dan dikenakan pemidanaan, serta menentukan nggi rendahnya pidana yang dijatuhkan; menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum dak terbuk dengan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan (vrijspraak); atau menyatakan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging), serta berbagai modus yang lainnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh demikian longgar dan elas snya penggunaan diskresi oleh hakim, dengan berlindung di balik asas bahwa hakim memiliki kebebasan untuk memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, berdasarkan keyakinan yang dimilikinya serta penilaiannya terhadap fakta persidangan. Penggunaan dan penerapan kewenangan yang dimilikinya tersebut, sangat terbuka adanya kemungkinan untuk disalahgunakan sedemikian rupka sehingga menimbulkan terjadinya judicial corrup on. Semuanya itu sudah barang tentu akan sangat bergantung pada seberapa kuatnya e ka, integritas dan komitmen aparat penegak hukum itu sendiri. ` Selain dua peneli an di atas, terdapat satu makalah yang menyangkut bagaimana prak k judicial corrup on selalu mengiku dalam se ap tahapan proses beracara. Berdasarkan pengalamannya sebagai pengacara, Kamal Firdaus memetakan prak k korupsi di pengadilan ngkat pertama dan pengadilan ngkat banding dalam persidangan perdata.4 Dalam penda aran perkara, Kamal mencatat bahwa para pihak, konon, bisa memilih siapa anggota majelis hakim yang akan mengadili
Jur
na
lR ec hts V
ind
prak k mafia peradilan. Bahkan dari peneli an tersebut dipetakan mengenai modus-modus korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan hakim di Pengadilan. Di kepolisian, Mardjono mengu p is lah yang berkembang di masyarakat ”lapor ayam hilang, kambingpun turut hilang”. Maksudnya apabila korban kejahatan melapor ke polisi akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk ikut ”menanggung” biaya operasional dari polisi. Selain itu, pemberian fasilitas lebih kepada tahanan, terutama yang kaya, disertai sejumlah imbalan tertentu, juga telah lama menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Sedangkan di kejaksaan, Mardjono Reskodiputro mengungkapkan bahwa, selain melakukan pemerasan terhadap tersangka, jaksa juga bisa melepaskan tersangka dengan alasan kurang buk . Mempermainkan pasal dakwaan, mempermainkan nggi rendahnya tuntutan pidana merupakan modus yang cukup sering djiumpai dalam praktek. Mempermainkan perlu daknya menggunakan kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa juga merupakan penyalahgunaan wewenang, baik ke ka tahap penyidikan di kepolisian maupun penuntutan di kejaksaan. Alasan tersebut yang seharusnya didukung oleh fakta obyek f namun telah bergeser menjadi per mbangan subyek f belaka. Selain itu, prak k di pengadilan juga turut diungkap oleh Mardjono.3 Terutama yang menyangkut putusan yang akan dijatuhkan, apabila dalam perkara perdata apakah suatu gugatan akan dikabulkan, gugatan ditolak, atau gugatan dinyatakan dak dapat diterima; dalam perkara pidana apakah
3
4
Basyaib et.al., Korupsi Dalam Sistem Hukum (Jakarta: Partnership for Governance Reforfm in Indonesia, 2002). Lihat juga Wasingatu Zakiya dkk, Panduan Eksaminasi Publik (Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW), 2003), hlm.4-5, serta Basuki Rekso Wibowo, Pembenahan Administrasi Peradilan (Jakarta: BPHN, 2013), hlm. 7-10. Basuki Rekso Wibowo, Pembenahan Administrasi Peradilan (Jakarta: BPHN, 2013), hlm. 7-10.
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
67
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dalam rangka mendapatkan akses keadilan di luar pengadilan formal.6 Salah satu gagasan tersebut adalah penguatan peradilan informal (informal jus ce) dengan berbagai variannya seper mediasi dan peradilan adat. Salah satu perundang-undangan yang mendukung keberadaan peradilan adat adalah UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut juga UU Bantuan Hukum) yang memungkinkan diberikannya bantuan hukum nonli gasi.7
B. Permasalahan
Dari uraian di atas, masih terdapat beberapa permasalahan teori k maupun sosiologis yang perlu mendapatkan kejelasan sebagaimana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat dapat masuk dalam kategori bantuan hukum nonli gasi yang diatur dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum? 2. Jika bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat dapat masuk dalam kategori bantuan hukum nonli gasi yang diatur dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, apakah hal ini memberikan pengaruh posi f bagi penguatan peradilan adat dalam komunitas adat yang masih hidup?
Jur
na
lR ec hts V
ind
perkaranya, tentunya dengan berkolusi dengan Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan, untuk mengatur komposisi majelis hakim serta panitera penggan nya. Berikutnya, dalam proses persidangan, konon, kemenangan dalam vonis juga bisa diatur. Atau sebaliknya, diatur bagaimana agar hakim menolak gugatan pihak lawan. Kemudian dalam eksekusi, Kamal juga melihat adanya surat sak atau telepon sak kepada Ketua Pengadilan ngkat pertama agar eksekusi terhadap sesuatu putusan segera dilakukan, ditangguhkan atau bahkan dibatalkan. Lalu dalam tahap beracara di Pengadilan Tinggi (PT), apakah suatu putusan banding akan menguatkan atau membatalkan vonis hakim di pengadilan ngkat pertama bisa diatur. Dipetakan pula siapa saja pelaku yang terlibat dalam se ap prak k korupsi dalam tahap beracara di peradilan perdata.5 Dengan demikian, dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kri k yang cukup tajam, baik dari prak si maupun teori si hukum. Selain terjadinya judicial corrup on, peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of me), biaya mahal (very expensif) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepen ngan umum, atau dianggap terlalu formalis s (formalis c) dan terlampau teknis (technically). Dari berbagai data yang diuraikan di atas, menjadi sangat beralasan ke ka lahir berbagai pemikiran untuk mencari alterna ve lain
5 6
7
68
Ibid. Pengadilan formal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah yang diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 4 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa Bantuan Hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
lR ec hts V
ind
Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas, peneli an ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris8, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan hukum di tengah masyarakat. Pendekatan yuridis empiris mengkaji bagaimana ketentuan norma f diwujudkan senyatanya di masyarakat. Peneli an ini juga menggunakan pendekatan yuridis norma f9 karena menggunakan data sekunder sebagai sumber tambahan, berupa berbagai peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan bantuan hukum dan peradilan adat. Sedangkan dilihat dari sifatnya, peneli an ini termasuk peneli an yang bersifat deskrip f anali s yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteli secara sistema s dengan menganalisis data yang diperoleh.
dulu bagaimana konsep bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum. Dalam Pasal 1 UU Bantuan Hukum disebutkan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi10 Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima11 Bantuan Hukum. Selanjutnya di dalam Pasal 4 UU Bantuan Hukum disebutkan bahwa bantuan Hukum melipu masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik li gasi maupun nonli gasi. Penyelesaian perkara nonli gasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara li gasi di Pengadilan Negeri. Dalam pasal (1) angka (10) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterna f Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alterna f lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alterna f tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli dan juga dengan penafsiran terbuka bisa ditambahkan pula mekanisme peradilan adat. Ada beberapa alasan perlunya didorong proses penyelesaian sengketa nonligitasi melalui peradilan adat dalam penyelesaian sengketa. Pertama, di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai
ing
C. Metode PeneliƟan
D. Pembahasan
1. Peradilan Adat Sebagai Mekanisme NonLiƟgasi Untuk mengetahui apakah bantuan hukum non li gasi dapat diberikan kepada masyarakat yang menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat maka perlu dipahami terlebih
Jur
9
Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1)asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4)perbandingan hukum, (5)sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. v, (Jakarta: PT Raja Gra indo Persada, 2001), hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979). hlm. 15. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.
na
8
10
11
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
69
Volume 2 Nomor 1, April 2013
15 16
17
18
ing
Jur
19
ind
14
lR ec hts V
13
Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007. Lihat juga Muhammad Koesno, Musyawarah dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Masalah Kenegaraan, (Jakarta: tanpa penerbit, 1971), hlm. 551. Misalnya di Minangkabau yang bertindak sebagai mediator yang juga mempunyai wewenang untuk memberikan putusan atas perkara yang dibawa kehadapannya adalah sebagai berikut: 1). Tungganai atau mamak kepala waris ada tingkatan rumah gadang, 2). Mamak kepala kaum pada tingkat kaum, 3). Penghulu suku pada tingkat suku, dan 4). Penghulu-penghulu fungsional pada tingkatan nagari. Fungsionmarisntersebut berperan penting dalam menyelesaikan sengketasengketa, baik sebagai penengah dengan (sepadan dengan arbiter atau hakim) atau tanpa kewenangan mamutus (sebagai mediator), Takdir Rahmadi dan Achmad Romsan, Teknik Mediasi Tradisional Dalam Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat dan Masayarakat Adat di Dataran Tinggi, Sumatera Selatan, (Jakarta: Indonesia Center For Environmental Law (ICEL), The Ford Foundation 1997-1998). Dalam wawancara penulis tanggal 20 Juli 2011 dengan Kepala Desa Ngadisari di Lereng Gunung Bromo Jawa Timur yang bernama Supoyo menyebutkan bahwa lembaga adat berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial dan kelompok masyarakat, serta menjaganya pada suatu harmoni. Dalam wawancara tersebut disebutkan juga bahwa orang Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam ”sesanti pancasetia” (lima petunjuk kesetiaan). Sesanti itu adalah: ”setya budaya” (taat dan hormat kepada adat), ”setya wacana” (kata harus sesuai dengan perbuatan), ”setya semaya” (selalu menepati janji), ”setya laksana” (bertanggung jawab terhadap tugas) dan ”setya mitra” (selalu membangun kesetiakawanan). Orang Tengger juga memiliki empat falsafah ketaatan: taat kepada Tuhan, taat kepada orang tua (termasuk para leluhur), taat kepada guru (orang yang memberikan pengetahuan atau ilmu kepada mereka), serta taat kepada pemerintah. Lebih jauh lihat juga Laporan Pemantauan dan Inventarisasi Perkembangan Hukum Adat yang dilaksanakan tim BPHN tahun 2011. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 158. H.M.G. Ohorela dan H. Aminuddin Salle, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed.), Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm. 105-119. Dalam dialog dengan Andreas Lagimpu, tokoh adat Sigi dan beberapa workshop di Palu bersama para tokoh adat Sulawesi Tengah sebagai rangkaian kegiatan Strengthening Access to justice in Indonesia (SAJI) Project, pada 12-13 November 2012, 19-20 Desember 2012 dan 12-13 April 2013, terlihat bahwa Masyarakat Sulawesi mempunyai lembaga adat yang beragam karena terdapat banyak suku. Meski demikian lembaga adat mempunyai peran besar dalam mendamaikan dan bahkan menyembuhkan perselisihan antar warga. Dalam wawancara dengan beberapa tokoh adat Dayak seperti Sabran Ahmad, Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Dr. Siun Janias, Sekretaris Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, sekaligus Sekretaris Daerah rovinsi Kalimantan Tengah, Basal A Bangkana Damang Wilayah Kadamangan Sabangau Palangkaraya dan Prof. H.KMA. M.Usop, M.A, Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDD-KT) sebagai rangkaian kegiatan Strengthening Access to justice in Indonesia (SAJI) Project di 2012 dan 2013, terlihat bahwa lembaga adat mempunyai peran besar dalam mendamaikan dan bahkan menyembuhkan perselisihan antar warga. Mereka menyebut bahwa tujuan utama peradilan adat adalah perdamaian. Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropology Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 177-205. T.O. Ihromi (ed.), Antropology dan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 17. Sinclair Dinnen, ”Interfaces Between Formal and Informal Justice Sistem To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged Sistem” (Makalah disampaikan dalam Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasiϔic Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Lanka, 19-21 November 2003 sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulfa, ”Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia,” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus (2010): 182-203.
na
12
20 21
70
Selatan,16 Sulawesi Tengah,17 Sumatera Barat, Dayak18, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Irian Jaya,19 dan masyarakat Toraja.20 Menurut Sinclair Dinnen mekanisme ini masih berlaku didaerah-daerah pedalaman dibanyak negara didunia. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain:21
BP HN
oleh masyarakat Indonesia.12 Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga.13 Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian sengketa secara damai, misalnya masyarakat Jawa14, Bali,15 Sulawesi
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
lesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efek f dalam menyelesaikan per kaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam22, serta berperan menciptakan keamanan keter ban dan perdamaian. Berdasarkan peneli an beberapa pakar, pada dasarnya budaya untuk konsiliasi atau musyawarah23 merupakan nilai masyarakat yang meluas di Indonesia. Kenyataan ini juga diperkuat laporan survey The Asia Founda on mengenai persepsi masyarakat Indonesia terhadap sektor hukum dan keadilan di Indonesia dimana eksistensi pengadilan adat masih sangat kuat. Laporan tersebut menyatakan bahwa:24 86 percent of respondents believe that musyawarah is preferable to court or other formal procedures as a means of se ling legal disputes. At the same me, 49 percent feel that the absence of a legally binding outcome under musyawarah is a problem. 62 percent would avoid going to court at all costs.
22
Ke ga, keberadaan peradilan adat menjadi semakin pen ng ditengah situasi negara yang belum sepenuhnya mampu menyediakan layanan penyelesaian perkara melalui jalur formal sampai ke desa-desa terpencil. Selain itu, kapasitas peradilan formal yang juga berat karena terjadi penumpukan perkara yang yang
Ahmadi Hasan, ”Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non Ligitasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Al-Banjari Vol. 5, No. 9, Januari-Juni (2007). Dalam bahasa Arab, perkataan musyawarah berasal dari kata dasar syawarayasyuru-musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat, pertimbangan. Dengan demikian, berdasarkan asal-muasalnya, kata musyawarah merupakan kata kerja yang dibendakan dan mengandung makna ”saling memberi isyarat, petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”. Kata ”musyawarah” dalam terminologi ketatanegaraan Indonesia biasanya disandingkan dengan kata ”mufakat” yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini bersal dari asal kata itifaq-muwafawah yang berarti ”memberikan persetujuan atau kesepakatan”. Persetujuan di sini dapat berupa suara yang terbanyak dan secara teknis dilakukan lewat pemungutan suara atau consensus bulat. Akan tetapi, dalam pengertian teknis di Indonesia dewasa ini, istilah ”musyawarah mufakat” mengandung pengertian ”consensus bulat.” Lihat Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 194. dan M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 361. Dan lihat Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non-Ligitasi di Indonesia, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006), hlm. 31. The Asia Foundation, Survey Report on Citizens’ Perceptions of The Indonesian Justice Sector (Preliminary Findings and Recommendations). The Asia Foundation, 2001.
Jur
na
23
lR ec hts V
ind
(a) Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada; (b) Masyarakat tradisional didaerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau ”custom” masih berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih ”steril” keberlakukan sistem hukum formal). (c) Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka sendiri; (d) Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat. Kedua, pada sebagian besar masyarakat Indonesia terdapat kecenderungan menye-
24
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
71
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
berdasarkan aturan-aturan ngkah laku dalam menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Di sini peradilan dipandang sebagai komponen sistem kemasyarakat yang kompleks dan dak sebagai sumber tunggal dalam distribusi keadilan, seper dalam pemikiran hukum legalis sposi vis k. Dengan demikian permasalahan distribusi keadilan dak hanya dikaitkan dengan upaya pemerataan kesempatan memperoleh keadilan melalui pembentukan peradilan formal dan perangkat-perangkatnya26, tetapi juga dengan pasangan yang tepat antara forum dan sengketa, dan dengan postulat-postulat penataan sosial berdasarkan hukum adat.27 Alur pikir demikian membawa pada kesimpulan bahwa bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat dapat masuk dalam kategori bantuan hukum nonli gasi yang diatur dalam pasal 4 UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Proses penyelesaian sengketa nonligitasi yang dibuka dalam UU Bantuan Hukum secara pragma s juga dapat lebih mencegah poli sasi perkara oleh pengacara yang pragma s dengan tujuan sekedar mendapatkan dana bantuan hukum dari Negara dan membawanya ke ranah peradilan formal. Hal ini tentu akan berbeda pengaruhnya jika bantuan hukum itu hanya diberikan dalam proses li gasi. Terdapat
25
http:// news.detik.com/ read/2012/02/06/190613/1835694/10/tunggakan- 8-ribu-perkara- tiap-tahunjadi- tantangan-ketua-ma-baru?nd992203605 (diakses tanggal 1 Maret 2013). Lihat juga SAJI Project, Pedoman Peradilan Adat Di Sulawesi Tengah, 2013. Ahmad Ubbe, ”Perbandingan Antara Jumlah Hakim dengan Perkara, Penduduk dalam Pemerataan Memperoleh Keadilan,” Majalah Hukum Nasional. No 2 (1989): 117. Marc Galanter, ”Keadilan Di Berbagai Ruang: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat Serta Hukum Rakyat”, Dalam T. O. Ihromi, Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 95. Sebagaimana dikutip Ahmad Ubbe, ”Peradilan Adat dan Keadilan Restoratif” (makalah disampaikan pada Workshop Penyempurnaan dan Strategi Impelementasi Pedoman Peradilan Adat Sulawesi Tengah, Palu, 12-13 April 2013).
Jur
26
na
lR ec hts V
ind
sangat serius. Sebagai catatan, bila dilihat pada ins tusi ter nggi peradilan negara, data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan bahwa ”se ap tahun ada 13 ribu perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Jumlah sebanyak itu harus diselesaikan oleh 54 Hakim Agung yang selalu menyisakan 8 ribu kasus ap akhir tahun”.25 Banyaknya jumlah perkara itu telah memberikan beban nyata bagi ins tusi peradilan formal dalam menghadirkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat. Belum lagi biaya yang rela f besar dikeluarkan oleh masyarakat untuk menjalani proses peradilan formal karena membutuhkan biaya untuk transportasi ke lokasi pengadilan serta membayar jasa penasehat hukum yang mendampingi pihak berperkara. Beban yang sedemikian berat ini tentu akan dapat dikurangi dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada peradilan adat agar dapat mengambil peran dalam upaya membuka akses keadilan yang lebih lebar bagi masyarakat. Dengan disahkannya UU Bantuan Hukum, yang memberikan ruang bantuan hukum bagi penyelesaian perkara melalui jalur non li gasi diharapkan beban peradilan formal akan berkurang, sekaligus membuka akses lebih besar pada masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Konsep yang dibangun oleh UU Bantuan Hukum menurujuk pada kenyataan bahwa di luar peradilan negara juga terdapat peradilan non formal yang terpasang dan bekerja
27
72
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dan manajemen peradilan adat agar dapat lebih akuntabel. Kondisi peradilan adat yang masih memerlukan pembenahan ini juga sejalan dengan Sinclair Dinnen yang memahami bahwa posisi peradilan adat dalam sistem hukum formal kerap dipertanyakan, bukan hanya terkait dengan pola hubungannya bila keduanya akan diterapkan, akan tetapi juga mencakup sejumlah keraguan berkaitan dengan keberadaan ins tusi peradilan adat ini antara lain:28 (a) Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana kerangka berfikir dari mereka kerap kali dak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang mereka buat seper bahwa putusannya mendiskriminasi perempuan dan anak-anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal); (b) Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya nepo sme dan korupsi rentan terjadi; (c) Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan; (d) Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis dak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak posi f atau pun nega f); (e) Bahwa ins tusi peradilan adat hanya akan effek f dan mengikat dalam masyarakat tradisional yang homogen akan tetapi akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area;
ind
kekhawa ran bahwa jika hanya kasus li gasi yang mendapatkan dana bantuan hukum dari Negara maka justru para pengacara atau paralegal akan beramai-ramai membawa kasuskasus ”kecil” atau kasus adat yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau adat justru dibawa ke peradilan formal demi mendapatkan dana bantuan hukum. Di samping itu, dengan beragam syarat administra f yang diatur oleh UU Bantuan hukum bagi pemberi dan penerima bantuan hukum akan berpengaruh kepada peradilan adat untuk membenahi pengelolaan administrasi dan manajemen peradilan adat yang selama ini masih kurang tertata. Dengan demikian secara dak langsung bantuan hukum melalui proses non li gasi membantu menguatkan peradilan adat di Indonesia.
lR ec hts V
2. Pengaruh PosiƟf Bantuan Hukum Non LiƟgasi Bagi Penguatan Peradilan Adat
Jur
na
Dalam Pasal 2 UU Bantuan Hukum dikatakan bahwa bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas; keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efek vitas, dan akuntabilitas. Asas ini akan mendorong peradilan adat untuk melakukan beberapa pembenahan sebagai berikut: Pertama, harmonisasi nilai adat agar selaras dengan asas keadilan termasuk harmonisasi nilai adat agar dak bertentangan dengan nilai keadilan universal seper hak asasi manusia; kedua, pembaharuan nilai adat agar selaras dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) termasuk nilai-nilai adat yang bias gender; dan ke ga, pembaharuan dan pembenahan administrasi
28
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit.
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
73
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
waktu melalui interaksi spontan dari banyak individu dalam masyarakat.31 Menurut Baudouin Dupret, kekuatan tersebut sesungguhnya jauh lebih mengikat dibandingkan tekanan yang bisa diberikan oleh hukum negara sebagaimana yang dikatakan: There are many socie es who lack any centralised ins tu on enforcing the law, but there is no society which is deprived from these rules which ”are felt and regarded as the obliga ons of one person and the righ ul claims of another.32 Maka wajar jika persepsi masyarakat terhadap keputusan-keputusan pengadilan adat dianggap dapat membawa keadilan sekaligus kepas an terhadap penyelesaian sengketa. Sebagai sebuah lembaga yang paling dekat dengan kesatuan terkecil dari Indonesia, penyelesaian konflik-konflik domes k adalah kekuatan utama pengadilan adat. Meski demikian, harus diakui pula bahwa masih terdapat nilai-nilai dalam hukum adat yang masih bias gender. Di beberapa komunitas adat masih pula terlihat nilai dan sanksi yang menempatkan perempuan dak setara hakhaknya dengan laki-laki (bias gender). Sebagai contoh, dalam pelaksanaan pembagian warisan yang terjadi di NTB acapkali ditemukan adanya pelanggaran terhadap hak perempuan untuk memperoleh bagian warisan, hal ini bukan semata-mata karena faktor hukum adat yang dak mengakomodir hak perempuan, melainkan juga karena perlakuan ahli waris laki-laki yang
lR ec hts V
ind
Terkait dengan hal-hal tersebut, maka Sinclair menawarkan model collabora ve approach atau hybrid jus ce system antara peradilan adat dan sistem hukum formal. Namun demikian dalam implementasinya juga harus melihat kepada:29 (a) Bahwa perlakuan diskrimina f dak lagi diterapkan; (b) Bahwa hukuman yang dijatuhkan harus melihat kepada perkembangan pemidanaan yang mengacu pada penghormatan hak asasi manusia; (c) Harus pula diper mbangkan apakah mekanisme ini dapat berlaku bagi pelaku ndak pidana yang serius seper perkosaan atau pembunuhan;30 (d) Adanya jaminan kepas an hukum yang dijamin oleh undang-undang atas se ap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini. Untuk itulah maka harmonisasi nilai adat agar selaras dengan hak asasi manusia, prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) dan pemikiran kekinian serta pembenahan administrasi dan manajemen peradilan adat agar dapat lebih akuntabel menjadi sebuah keniscayaan. a. Harmonisasi Nilai Adat Dengan HAM
29
Ibid. Penulis memandang bahwa pelaku kasus-kasus perkosaan dan pembunuhan tetap ditangani oleh penegak hukum formal, tetapi memberikan peran kepada peradilan adat untuk dapat menangani kasus ini dalam rangka mendamaikan kedua keluarga para pihak agar persoalan yang terjadi tidak makin meluas. Fungsi perdamaian ini sangat penting dan merupakan tujuan utama peradilan adat. Bruce L Benson, ”Customary Law with Private Means of Resolving Disputes and Dispensing Justice: A Description of a Modern System of Law and Order without State Coercion,” The Journal of Libertarian Studies Vol. IX, No. 2 (1990): 27. Dupret, Baudouin, ”Legal Pluralism, Plurality of Laws, and Legal Practices: Theories, Critiques, and Praxiological Re-speci ication,” European Journal of Legal Studies: Issue 1. (tanpa tahun): 2.
Jur
30
na
Sebagaimana bahasa, pengadilan adat berkembang bukan karena peran negara. Hukum dan pengadilan adat berkembang dari waktu ke
31
32
74
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
maaf di depan umum, gan rugi, diusir dari gampong, pencabutan gelar adat, dikucilkan dalam pergaulan, dan diboikot.36 Dengan adanya UU Bantuan Hukum yang menganut asas keadilan dan equality before the law ini maka langkah yang sama dalam rangka penyelarasan nilai dan sanksi adat dengan HAM ini bisa dilaksanakan juga oleh daerah-daerah lainnya.
ing
b. Pembaharuan Dan Pembenahan Administrasi Dan Manajemen Peradilan Adat Dengan masih mengacu pada gagasan Sinclair yang menawarkan model collabora ve approach atau hybrid jus ce system yang masih memberikan catatan agar mekanisme penyelesaian perkara melalui peradilan masih memerlukan adanya jaminan kepas an hukum yang dijamin oleh undang-undang atas se ap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini, maka perlu juga pembenahan dan pembaharuan administrasi dan manajemen peradilan adat agar mekanisme koordinasi dengan lembaga formal dalam rangka memberikan jaminan kepas an hukum ini dapat berjalan lebih lancar. Pembaharuan administrasi peradilan perlu dilakukan karena jika tetap pada kondisi tradisional maka potensi penyimpangan seper yang terjadi di peradilan formal akan terulang terjadi pada peradilan informal. Salah satu faktor yang menjadi penyebab lemahnya upaya reformasi peradilan di peradilan formal adalah
Jur
na
lR ec hts V
ind
kurang memperha kan hak Perempuan, baik pada masyarakat Suku Samawa (Sumbawa), Mbojo (Bima) maupun Sasak.33 Praktek adat yang bias gender ini juga terjadi dalam pelaksanaan musyawarah adat. Kaum laki-laki selalu berperan sebagai pemimpin, sedangkan kaum perempuan hanya sebagai peserta. Kaum perempuan dak berhak sebagai pemimpin dalam memimpin rapat maupun jabatan struktural dan fungsional dalam masyarakat. Besarnya peran kaum laki-laki sebagi kepala rumah tangga membawa dampak terhadap lebih besarnya perolehan hak laki-laki dalam pewarisan dibandingkan dengan kaum perempuan.34 Kondisi yang masih memerlukan penyelarasan dan pembaharuan ini direspons oleh beberapa komunitas adat di beberapa daerah sehingga kemudian telah ada pula upayaupaya untuk menyelaraskan nilai-nilai adat agar selaras dengan HAM. Di Aceh misalnya, karena dianggap bertentangan dengan hak azasi manusia (HAM), hukum Islam, dan hukum Nasional serta merendahkan harga diri manusia maka telah ditentukan beberapa sanksi atau hukuman yang dak lagi berlaku dan dituangkan melalui penyusunan sebuah pedoman peradilan adat (guidelines). Sanksi dan hukuman tersebut diantaranya adalah:35 dimandikan dengan air kotor, ditenggelamkan ke sungai, dikeroyok/ dianiaya, dan dipukuli. Sedangkan sanksi atau hukuman yang masih berlaku dalam hukum adat aceh adalah: nasihat, peringatan, minta
33
34 35
36
BPHN, Hukum Adat Yang Melanggar Hak Asasi Perempuan Pada Masyarakat Adat Di Nusa Tenggara Barat (NTB) Dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Jakarta: BPHN 2006), hlm. 51. Ibid., hlm. 44. MAA, ”Pedoman Peradilan Adat Di Aceh: Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Proyek Bappenas-UNDP, hlm. 27, i http://ind.adatjustice.org/wp-content/ uploads/ publikasi/ Buku% 20Pedoman% 20Peradilan. Pdf. Ibid.
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
75
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
b. Pendokumentasian nilai-nilai adat sekaligus menyelaraskan dengan nilai-nilai HAM dan keadilan universal; c. Regenerasi pemangku peradilan adat; d. Pendidikan dan pela han masyarakat adat yang ditugaskan membantu pelaksanaan peradilan adat. Semakin kuatnya peradilan adat akan semakin memudahkan mekanisme koordinasi antara peradilan adat dengan aparat penegak hukum formal seper Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri. Hal ini dapat bergayung sambut dengan kebijakan yang dikeluarkan lembaga penegak hukum formal. Sebagai contoh, Polda Sulawesi tengah juga saat ini tengah mengembangkan program Bantuan Keamanan Desa (BANKAMDES) yang pada level tertentu sejalan dengan semangat untuk penguatan peradilan informal. Sebab, BANKAMDES akan diberikan kewenangan kepolisian terbatas, dimana salah satu tugas pokoknya adalah ”melaksanakan restora ve jus ce: dengan menyelesaikan konflik, piring dan sengketa lainnya sesuai dengan batas kewenangannya”. Hal ini sejalan juga dengan Panduan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) Dalam Penyelesaian Perkara Ringan/ Per kaian Antar Warga yang dikeluarkan oleh MABES POLRI dan juga telah diterapkan dengan baik di wilayah Kalimantan Tengah.39 Pemerintah Daerah juga memiliki peran besar bagi upaya pembenahan administrasi dan
Bandingkan dengan Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. v. Bandingkan dengan Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung: Re ika Aditama, 2007), hlm. 209. Data diperoleh dari assessment penulis dalam kegiatan Strengthening Access to Justice di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah sepanjang 2012-2013).
Jur
37
na l
Re c
hts V
ind
kurang efek fnya court management peradilan37 atau administrasi peradilan. Pembenahan administrasi peradilan adat dapat digunakan sebagai sarana atau metode untuk menata-ulang administrasi peradilan yang agar lebih efek f, efisien, transparan, aksesibel serta serta bertanggungjawab dengan tujuan untuk mereduksi serta preven f terhadap berbagai kemungkinan terjadinya prak kprak k judicial corrup on. Namun selain itu pembenahan administrasi peradilan adat juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk memberi pijakan bagi munculnya hakim-hakim adat yang memiliki dedikasi, integritas, serta prestasi yang baik sehingga mampu melahirkan putusanputusan yang jujur, adil, dak memihak dan berkualitas.38 Tidak kalah pen ngnya dalam proses peradilan perlu ditetapkan adanya me sheet maupun me frame yang jelas, disertai dengan mekanisme reward and punishment yang jelas dan tegas sehingga jalannya proses peradilan dari awal hingga akhir menjadi transparan dan terukur. Hal tersebut sekaligus sebagai bentuk komitmen peradilan adat terhadap masyarakat, terutama pencari keadilan, terkait implementasi asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Beberapa hal teknis yang perlu dilakukan peradilan adat dalam rangka membenahi administrasi dan manajemennya adalah: a. Pendokumentasian putusan peradilan adat;
38
39
76
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
peradilan negara juga terdapat peradilan non formal yang terpasang dan bekerja berdasarkan aturan-aturan ngkah laku dalam menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Peradilan dipandang sebagai komponen sistem kemasyarakat yang kompleks dan dak sebagai sumber tunggal dalam distribusi keadilan, seper dalam pemikiran hukum legalis s-posi vis k. Distribusi keadilan dak hanya dikaitkan dengan upaya pemerataan kesempatan memperoleh keadilan melalui pembentukan peradilan formal dan perangkatperangkatnya, tetapi juga dengan pasangan yang tepat antara forum dan sengketa, dan dengan postulat-postulat penataan sosial berdasarkan hukum adat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat dapat masuk dalam kategori bantuan hukum nonli gasi yang diatur dalam pasal 4 UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan adanya UU Bantuan Hukum yang menganut asas; keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efek vitas, dan akuntabilitas, maka akan mendorong peradilan adat untuk melakukan beberapa pembenahan sebagai berikut: Pertama, harmonisasi nilai adat agar selaras dengan asas keadilan termasuk harmonisasi nilai adat agar dak bertentangan dengan nilai keadilan universal seper hak asasi manusia; kedua, pembaharuan nilai adat agar selaras dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) termasuk nilai-nilai adat yang bias gender; dan ke ga,
na l
Re c
hts V
ind
koordinasi dengan ins tusi formal. Di Kalimantan Tengah misalnya, terdapat Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.1 Tahun 2010. Selain itu ada juga Peraturan Gubernur No.13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.4 Tahun 2012. Dengan adanya regulasi lokal ini maka akan memudahkan koordinasi antara peradilan adat dengan lembaga penegak hukum formal. Beberapa peradilan adat di Kalimantan Tengah bahkan sudah mulai untuk mendokumentasikan putusan-putusan peradilan adat, membuat surat keterangan dengan dilengkapi stempel peradilan adat, dan bahkan merin s adanya berita acara dalam proses peradilan adat.40 Upaya pembenahan administrasi dan manajemen peradilan adat ini sekaligus juga bisa menjadi langkah an sipa f lahirnya Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang RUU-nya sedang dibahas di DPR. Dalam RUU ini terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai peradilan adat dan kewenangannya. Kemudian, dengan diakuinya mekanisme informal oleh penegak hukum formal maka jalan bagi peradilan adat untuk mendapatkan pengakuan atas putusanputusan yang dibuat juga semakin terbuka.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Jur
Konsep yang dibangun oleh UU Bantuan Hukum merujuk pada kenyataan bahwa di luar
40
Data diperoleh dari wawancara penulis dengan Sabran Ahmad, Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah dalam kegiatan assessment Strengthening Access to Justice di Kalimantan Tengah pada 19-21 Maret 2013).
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
77
Volume 2 Nomor 1, April 2013
DAFTAR PUSTAKA
ing
Buku
BPHN, Hukum Adat Yang Melanggar Hak Asasi Perempuan Pada Masyarakat Adat Di Nusa Tenggara Barat (NTB) Dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Jakarta: BPHN 2006). Basyaib, et.al., Korupsi dalam Sistem Hukum, (Jakarta: Partnership for Governance Reforfm in Indonesia, 2002) Hadikusuma, Hilman, Pengantar Antropology Hukum (Bandung: Citra Aditya Bak , 1992). Ihromi, T.O. (ed.), Antropology dan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984),, hlm. 17. Ihromi, T.O. (ed.), Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). Koesno, Muhammad, Musyawarah dalam Miriam Budiardjo (Ed.) Masalah Kenegaraan (Jakarta: tanpa penerbit, 1971). Lev, Daniel S., Hukum dan Poli k di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1990). Madjid, Nurchalish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995). Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2007). Ohorela, H.M.G. dan H. Aminuddin Salle, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed.), Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995). Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung dalam Prak k Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001). Rahmadi, Takdir dan Achmad Romsan, Teknik Mediasi Tradisional Dalam Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat dan Masayarakat Adat di Dataran Tinggi, Sumatera Selatan
lR ec hts V
2. Saran
Jur
na
Dari uraian di atas dapat disarankan beberapa hal berikut: Pertama, pemerintah perlu mendorong agar organisasi bantuan hukum (OBH) memberikan prioritas bantuan hukum terhadap kasus-kasus yang diselesaikan melalui peradilan informal, khususnya peradilan adat agar dak terjadi penumpukan perkara di peradilan formal. Kedua, pemerintah perlu mensosialisasikan bahwa perkara yang sudah ditangani oleh peradilan adat dak lagi ditangani oleh aparat penegak hukum formal, kecuali perkara pembunuhan atau yang mengakibatkan kema an. Ke ga, pemerintah dapat membantu memberikan dukungan anggaran dan
78
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 65-79
BP HN
pendampingan kepada masyarakat adat dalam rangka membenahi sistem peradilan adat. Keempat, Organisasi Bantuan Hukum perlu menjalin koordinasi dan membangun hubungan lebih intens dengan lembaga peradilan adat, serta lebih memahami mekanisme peradilan dan perdamaian yang terdapat di dalamnya.
ind
pembaharuan dan pembenahan administrasi dan manajemen peradilan adat agar dapat lebih akuntabel. Penyelarasan dan pembaharuan nilai-nilai adat yang belum selaras dengan prinsip HAM dan bersifat bias gender ini telah mulai dilakukan oleh beberapa komunitas adat di beberapa daerah seper di Aceh dan Sulawesi Tengah dengan penyusunan sebuah pedoman peradilan adat (guidelines), yang salah satunya berisi prinsip bahwa hukuman atau sanksi yang merendahkan harga diri manusia dak lagi berlaku. Selanjutnya, dengan mengacu pada model collabora ve approach atau hybrid jus ce sistem agar mekanisme penyelesaian perkara melalui peradilan memerlukan adanya jaminan kepas an hukum atas se ap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini, maka hal ini akan mendorong pembenahan dan pembaharuan administrasi dan manajemen peradilan adat seper pendokumentasian putusan dengan standar yang jelas agar mekanisme koordinasi dengan lembaga formal dalam rangka memberikan jaminan kepas an hukum ini dapat berjalan lebih lancar.
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Hasan, Ahmadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non Ligitasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007. Ubbe, Ahmad, Peradilan Adat Dan Keadilan Restora f, makalah disampaikan pada Workshop Penyempurnaan dan Strategi Impelementasi Pedoman Peradilan Adat Sulawesi Tengah, Palu, 12-13 April 2013. Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restora f Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010.
Internet
http://ind.adatjustice.org/wp-content/uploads/ publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf h p://news.de k.com/read/2012/02/06/190613/ 1835694/10/tunggakan-8-ribu-perkara-tiaptahun-jadi-tantangan-ketua-ma-baru?nd992203 605 pada 1 Maret 2013.
ind
(Jakarta: Indonesia Center For Environmental Law (ICEL), The Ford Founda on 1997-1998). SAJI, Pedoman Peradilan Adat Di Sulawesi Tengah, (Palu: SAJI Project, 2013). Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996). Sulistyono, Adi, Mengembangkan Paradigma NonLigitasi di Indonesia (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peneli an Hukum Norma f: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV. Rajawali, 1990). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peneli an Hukum Norma f: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Peneli an Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) . The Asia Founda on, Survey Report on Ci zens' Percep ons of The Indonesian Jus ce Sector (Preliminary Findings and Recommenda ons). The Asia Founda on, 2001. Ubbe, Ahmad, Perbandingan Antara Jumlah Hakim dengan Perkara, Penduduk dalam Pemerataan Memperoleh Keadilan, Majalah Hukum Nasional. No 2/1989 (Jakarta: BPHN, 1989). Wibowo, Basuki Rekso, Pembenahan Administrasi Peradilan (Jakarta: BPHN, 2012). Zakiya, Wasingatu dkk, Panduan Eksaminasi Publik (Jakarta: Indonesia Corrup on Watch (ICW), 2003).
Peraturan
lR ec hts V
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterna f Penyelesaian Sengketa. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur No.13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah. Peraturan Gubernur No.13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah.
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan
Jur
na
BPHN, Laporan Pemantauan dan Inventarisasi Perkembangan Hukum Adat (Jakarta: BPHN, 2011). Hasan, Ahmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007.
Bantuan Hukum melalui Mekanisme NonliƟgasi…. (Arfan Faiz Muhlizi)
79
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
MENDORONG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG BANTUAN HUKUM DI PROVINSI SUMATERA UTARA
(Encourage of Establishing Regional Regula on Concerning Legal Aid at Province of North Sumatera) Eka N.A.M. Sihombing Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara Jl. Putri Hijau No.4, Medan, Sumatera Utara 20112 Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 15 April 2013; revisi: 17 April 2013; disetujui: 20 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum memberi ruang bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. Apabila daerah berkehendak mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD, maka pemerintah daerah dan DPRD harus mengaturnya dalam Peraturan Daerah (perda). Sampai saat ini, di Provinsi Sumatera Utara belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak kons tusional warga negara tersebut, khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin. Metode peneli an yang digunakan pada penulisan ini menggunakan metode peneli an hukum norma f, dengan pendekatan yuridis norma f (legal research). Sifat peneli an ini adalah deskripsi anali s yaitu suatu peneli an yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) tentang fakta dan kondisi atau gejala yang menjadi objek peneli an, setelah itu dilakukan telaah secara kri s. Hasil Peneli an menunjukkan bahwa sampai saat tulisan ini dibuat, ranperda tentang bantuan hukum belum dilakukan penyusunan, masih sekedar dicantumkan dalam Prolegda 2013. Mengingat pen ngnya perda tentang bantuan hukum sebagai landasan hukum bagi daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibutuhkan komitmen kuat dari DPRD maupun Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara beserta stakeholder untuk segera mengimplementasikan pembentukan perda Bantuan hukum serta mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD sebagaimana amanat pasal 19 UU Bantuan Hukum. Kata kunci: Pembentukan, Perda, Bantuan Hukum
Jur
na
Abstract The law on legal aid gave space for the region to allocate costs of legal aid in the APBD. When the region has an inten on to allocate funds in the APBD, local government and the parliaments should be arrange it in regional regula on (Perda). Un l now, the province of North Sumatra has not been having regional regula on which specifically guarantees implementa on of cons tu onal rights ci zens, especially for people or poor society. Research method used on this paper is norma ve legal research with norma ve juridical approach. The nature of research is analy cal descrip ve that aims to describe about facts and condi on or indica on which became the object of research, a er was done cri cal studies. The result of research shows that up to the me of wri ng, Ranperda on legal aid has not been dra ing, just simply listed in Prolegda 2013. considering the importance of Perda on legal aid as a legal founda on for the region to fulfill the rights poor society in accessing jus ce and equal treatment before the law, it takes high commitment from the council and local government of the Province of North Sumatra and its stakeholders to implemen ng immediately the forma on of Perda on legal aid and allocated in the budget as mandated by ar cle 19 the law on legal aid. Keywords: establishment, regional regula on, legal aid
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
81
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Dalam rangka menjamin hak kons tusional bagi se ap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepas an hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, Pada tanggal 04 Oktober 2011 Pemerintah dan DPR telah menyetujui bersama undang-undang yang mengatur bantuan hukum (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum). Kehadiran UU Bantuan Hukum ini paling dak menjawab ekspektasi yang nggi dari masyarakat akan penyelesaian persoalan bantuan hukum di Indonesia, dimana sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang tak mendapatkan akses terhadap bantuan hukum. Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. UU Bantuan Hukum membebankan kewajiban kepada Pemerintah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN. Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI. Secara eksplisit disebutkan bahwa penyelenggara bantuan hukum adalah Pemerintah melalui Kemenkumham RI yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) maupun Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Namun Pembentuk UU bantuan hukum menyadari bahwa dana yang dialokasikan dalam APBN dak akan mampu untuk memenuhi semua permohonan bantuan hukum yang ada di seluruh daerah. Untuk itu UU bantuan hukum mendelegasikan kepada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Bantuan Hukum. Sampai saat ini, di Provinsi Sumatera Utara belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak kons tusional warga negara tersebut, khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin. Padahal menurut data BPS 2012 Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu Provinsi yang penduduk miskinnya berjumlah diatas 1 juta.1 Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ke dakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin dalam Peraturan Daerah merupakan jaminan terhadap hak-hak kons tusional orang atau kelompok orang miskin di Sumatera Utara.
ing
A. Pendahuluan
1
82
”Jawa Timur Terbanyak Dihuni Penduduk Miskin,” http://www.rmol.co/news.php?id=90145 (diakses tanggal 22 April 2012). Data Lebih lanjut dapat dilihat pada laman: http://sumut.bps.go.id/?qw=brs&no=344.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
C. Metode PeneliƟan
ind
Peneli an yang dilakukan adalah peneli an hukum norma f, yakni peneli an yang dilakukan dengan menganalisis permasalahan dengan menggunakan azas-azas hukum dan prinsip-prinsip hukum. Peneli ingin melihat sejauh mana ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi dasar dan landasan bagi permasalahan yang sedang dibahas dengan menggunakan metode peneli an Studi Kepustakaan (Library Research). Sifat peneli an ini adalah deksri if anali s yaitu suatu peneli an yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) tentang fakta dan kondisi atau gejala yang menjadi objek peneli an, setelah itu dilakukan telaah secara kri s, dalam ar memberikan penjelasanpenjelasan atas fakta atau gejala tersebut, baik dalam kerangka sistema sasi atau sinkrosnisasi, dengan berdasarkan pada aspek yuridis dengan demikian akan menjawab permasalahan yang menjadi objek peneli an. Didalam peneli an ini digunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneli akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicari jawabannya. Peneli an ini sendiri
BP HN
Berdasarkan hal tersebut diatas untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut perlu dilakukan peneli an hukum yang khusus ditekankan pada permasalahan mengapa diperlukan Peraturan Dareah Tentang Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Utara?
akan menggunakan metode pendekatan norma f atau pendekatan peraturan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundangundangan dan regulasi yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi objek peneli an ini. Pendekatan norma f dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan yang merupakan objek permasalahan dalam peneli an yaitu untuk meninjau dasar dan prinsip hukum mengenai pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum. Pengumpulan data ditempuh dengan melakukan studi dokumen dan sebagai data pendukung dilakukan dialog dengan pihak yang terkait, dalam hal ini peneli melakukan dialog dengan Staf Ahli Badan Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara.
ing
B. Permasalahan
Jur
na
lR ec hts V
D. Pembahasan
2
1. Teori Keadilan dan Persamaan di depan hukum
Keadilan adalah hak dasar manusia yang yang patut dihorma dan dijamin pemenuhannya. Akses terhadap keadilan pada in nya berfokus pada dua tujuan dasar dari keberadaan suatu sistem hukum, yaitu sistem hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan dan seharusnya dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok.2 Gagasan dasar yang hendak diutamakan dalam konsep ini adalah untuk mencapai keadilan sosial (social jus ce) bagi seluruh warga negara. Keadilan sosial sendiri didefinisikan sebagai ”Distribusi yang adil atas kesehatan, perumahan,
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pokja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Strategi Nasional dan Akses terhadap Keadilan, (Jakarta: BAPPENAS, 2009), hlm. ix.
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
83
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Persamaan dihadapan hukum itu sendiri juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh kons tusi. Oleh karena itu, se ap warga negara selalu mendapat tempat yang sama dihadapan hukum, ar nya, siapapun warga negara yang nggal dalam suatu negara diperlakukan sama satu sama lain baik dalam memperoleh hak sebagai warga negara maupun diperlakukan dihadapan hukum. Secara teori s, persamaan merupakan prinsip atau asas yang melekat pada hakikat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.5 Is lah persamaan dalam Bahasa Inggris disebut ”Equality”. Menurut Interna onal Encyclopedia of The Social Sciences sebagaimana diku p Ramly Hutabarat6, apabila dikatakan manusia adalah sama namun dalam kenyataannya terdapat ke daksamaannya karena karakteris k manusia yang memiliki perbedaan. Karakteris k itu didasarkan pada perbedaan seks, warna, karakter watak dan sebagainya juga didasarkan pada berbagai ins tusi manusia yang berbeda seper perbedaan kewarganegaraan agama, ngkat sosial dan sebagainya. David L. Sill yang mengedit Encyclopedia tersebut mengemukakan antara lain:7
4 5
6 7
84
That men are equal means thet men share some quali es: this must be specified men are evidently unequal in many characteris cs. There are natural differences. (Sex, colour, character traits, natural endowment, etc). Other proper es are common amounts (age, strength, intelligence, power, etc)
Muhammad Zaidun, dkk, Mengajarkan Hukum Yang Berkeadilan; Cetak Biru Pembaharuan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial (Jakarta: ILRC, 2009). Rusma Dwiyana, Equality Before The Law VS Impunity: Suatu Dilema, (Makalah tanpa tahun), hlm. 2-3. Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum sebagai Antithese terhadap Diskriminasi Hukum, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari yang diadakan oleh staf ahli Kementerian Hukum dan HAM RI pada tanggal 1 Desember 2011 di Aula Pengayoman Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara), hlm. 3. Ibid. Ibid.
Jur
3
na
lR ec hts V
ind
kesejahteraan, pendidikan dan sumber daya hukum di masyarakat, termasuk jika perlu adanya ndakan afirmasi untuk distribusi sumber daya hukum tersebut terhadap disadvantages groups”.3 Dalam definisi ini, secara langsung dikatakan bahwa akses terhadap keadilan mengandung tujuan untuk mendistribusikan sumberdaya hukum kepada kelompok yang secara ekonomi kekurangan. Pemenuhan hak atas bantuan hukum mempunyai ar negara harus menggunakan seluruh sumberdayanya termasuk di dalam bidang ekseku f, legisla f dan administra f untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum secara progresif. Salah satu ciri pada suatu negara hukum yang demokra s adalah adanya pengakuan dan jaminan terhadap Persamaan dihadapan hukum (Equality Before The Law). Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal" terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan dak ada kecualinya, ar nya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam kons tusi, suatu pengakuan ter nggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air.4
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
kelas satu. Inilah yang disebut oleh David L. Sill sebagai ”impar ally” ar nya dak berat sebelah. Itulah sebabnya Teori Equality Before The Law merupakan an tesis terhadap diskriminasi hukum.10 Dari penger an mengenai persamaan dihadapan hukum yang disampaikan oleh beberapa ahli secara substansi terdapat persamaan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, yaitu bahwa persamaan dihadapan hukum pada prinsipnya merupakan hak se ap orang diperlakukan sama oleh hukum, sekalipun mereka berasal dari status sosial yang berbeda.
2. Hak Atas Bantuan Hukum
ind
Substansi yang mengemuka dalam Interna onal Encyclopedia of the Social Science ini bahwa manusia itu adalah sama, hanya berdasarkan karakteris knya manusia memiliki perbedaan.8 Teori Equality, jika dibedah, paling dak dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu:9 1. Natural Equality (Persamaan Alamiah) Natural Equality adalah persamaan yang dibawa dari lahir yang dimiliki oleh manusia. Manusia adalah sama karena semua manusia sebagai ciptaan Tuhan sama-sama memiliki rasio yang membedakannya dari binatang. 2. Civil Equality (Persamaan Hak Sipil) Civil Equality adalah hak sipil yang sama bagi se ap warga negara. Umpamanya se ap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum tanpa diskriminasi. 3. Poli cal Equality (Persamaan Poli k) Poli cal Equality adalah hak yang sama dalam poli k. Ar nya se ap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memberikan suara dalam pemilihan umum, memiliki hak yang sama memasuki partai poli k dan sebagainya. 4. Economic Equality (Persamaan Ekonomi) Economic Equality adalah persamaan kesempatan dalam meningkatkan taraf ekonomi. Hak-hak ekonomi warga negara adalah sama dan dilindungi oleh kons tusi yang berlaku.
lR ec hts V
Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal. Hak bantuan hukum dijamin dalam Interna onal Covenant on Civil dan Poli cal Rights (ICCPR), UN Standard Minimum Rules for the Administra on of Juvenile Jus ce, dan UN Declara on on the Rights of Disabled Persons. Hak ini dikategorikan sebagai non-derogable rights, hak yang tak dapat dikurangi dan tak dapat ditangguhkan dalam kondisi apapun. Hak ini merupakan bagian dari keadilan prosedural, sama dengan hak-hak yang berkaitan dengan independensi peradilan dan imparsialitas hakim. Pemenuhan keadilan prosedural ini dak dapat dilepaskan dari keadilan substan f, yaitu hak-hak yang dijamin dalam berbagai konvensi internasional. Di Indonesia, meskipun Bantuan Hukum dak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
Jur
na
Teori ”Equality Before The Law” berdasarkan empat klasifikasi itu dimasukkan ke dalam Teori Civil Equality yaitu hak-hak sipil. Hak seper ini dijamin dan dilindungi oleh kons tusi sehingga dihadapan hukum semua orang wajib diperlakukan sama. Tidak dikenal adanya tebang pilih atau berat sebelah atau menempatkan orang-orang tertentu sebagai warga negara
8 9
10
Ibid. Ibid. Ibid.
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
85
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, adalah hak bagi se ap tersangka sebagai warga negara. Untuk dapat menuju terwujudnya suatu peradilan yang adil, maka kepada Tersangka/ Terdakwa berhak untuk mendapatkan Bantuan Hukum, yang bertujuan untuk melindungi tersangka dari ndakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses hukum, berupa pelanggaran hak-hak tersangka, pemaksaan, dan kesewenangwenangan. Bantuan Hukum merupakan suatu kewajiban yang wajib diberikan kepada se ap warga khususnya tersangka dalam perkara pidana pada se ap proses pemeriksaan, yang bertujuan untuk mewujudkan adanya suatu sistem peradilan pidana yang dijalankan dengan menghorma hak-hak kons tusional dan asasi se ap warga negara dengan menjunjung nggi asas praduga tak bersalah. Dengan adanya pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan oleh Penasihat Hukum/ Advokat, maka suatu proses persidangan akan berjalan dengan seimbang (audi et alteram partem), oleh karena para pihak dapat memberikan pendapatnya secara bebas dan proporsional, sehingga suatu peradilan yang adil dapat terwujud. Hak untuk memperoleh keadilan (access to jus ce) merupakan hak asasi yang dimiliki se ap warga negara. Negara sebagai pelindung dan pemerintah, wajib untuk memberikan perlindungan dan pembelaan kepada se ap warga negara atas adanya perlakuan yang dak adil yang dialami warga negara. Bahwa berdasarkan amanah dalam UUD 1945, se ap warga memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum, dan berhak atas perlindungan hukum yang adil, serta persamaan perlakuan hukum, sehingga hak-hak warga negara berdasarkan kons tusi wajib dijamin dan dilindungi oleh negara dalam suatu peraturan perundang-
Jur
na
lR ec hts V
ind
”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi se ap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ke ga Undang-Undang (UUD) 1945, Pasal 27 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Kons tusi No. 006/PUU-II/2004. Dalam negara hukum (rechtstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia se ap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaaan di hadapan hukum harus diar kan secara dinamis dan dak sta s. Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi oleh persamaan perlakuan (equal treatment). Hal ini didasarkan pula pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam hal ini negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan poli k dari fakir miskin. Maka atas dasar per mbangan tersebut, tahanan yang masuk dalam kategori fakir miskin/ dak mampu memiliki hak untuk diwakili dan dibela oleh advokat/pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan (legal aid) sama seper orang mampu yang mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service). Penegasan ini memberikan implikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin atau yang dak mampu merupakan tugas dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya.
86
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representa on before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources”.11 Selain itu, menurut Adnan Buyung Nasu on, bantuan hukum adalah sebuah program yang dak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang dak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas.12 Oleh karenanya bantuan hukum bukanlah masalah sederhana, melainkan sebuah rangkaian ndakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur poli k, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan penindasan. Lebih lanjut Frans Hendra Winarta menyimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata, dan tata usaha negara, dari seseorang yang menger seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.13 Menurut pendapat Mauro Cappelle , bantuan hukum bagi si miskin umumnya diar kan sebagai pemberian jasa-jasa hukum, kepada orang-orang yang tak mampu untuk menggunakan jasa-jasa advokat atau professional lawyers. Meskipun mo vasi ataupun alasan dari pada pemberian bantuan hukum kepada si miskin ini berbeda-beda dari jaman ke jaman,
Jur
na
lR ec hts V
ind
undangan. Dalam Amandemen kedua UUD 1945 di dalam Pasal 28 I ayat (4) menyatakan bahwa: Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah. Hal ini semakin jelas, bahwa Negara berperan dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak kons tusional dan pemenuhan hak asasi warga negaranya secara penuh. Se ap warga negara berhak untuk mendapatkan hak-haknya dalam suatu proses peradilan, yang bertujuan untuk melindungi individu warga negara atas adanya kesewenangwenangan dan perampasan hak-hak dasar manusia. Untuk terciptanya suatu tujuan tersebut, maka adanya suatu pengaturan yang konkret mengenai pemberian Bantuan Hukum merupakan suatu hal yang dak dapat ditawar lagi, aturan tersebut dapat dijadikan satu bab khusus secara lengkap dalam KUHAP. Bantuan Hukum yang konkret bukanlah Bantuan Hukum yang sifatnya limita f atau terbatas, namun merupakan suatu bantuan hukum yang tanpa batas dan secara lengkap (ad infinitum), yang dapat diakses dan diberikan kepada se ap warga negara khususnya masyarakat miskin yang sedang menjalankan proses pemeriksaan dalam suatu perkara pidana maupun perdata. Black’s Law Dic onary mendefinisikan bahwa bantuan hukum adalah ”Country wide systemadministered locally by legal services is rendered to those in financial need and who can not afford private counsel.” Menurut The Interna onal Legal Aid, bantuan hukum didefinisikan sebagai ”The legal aid work is an accepted plan under which the services
11 12
13
Frans H. Winarta, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Elex Media, 2009), hlm. 21. Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 22. Ibid., hlm. 23.
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
87
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
d. bantuan hukum diberikan secara cumacuma.
3. Pengaturan Indonesia
Bantuan
Hukum
di
ing
Pengaturan mengenai bantuan hukum di Indonesia pada dasarnya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Bantuan Hukum adalah Undang-Undang Bantuan Hukum, sementara ketentuan mengenai bantuan hukum terdapat pula dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang dak mampu. Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode E k Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pasal 7 point (h) bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang dak mampu. Selain itu Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 1 mendefinisikan bantuan hukum cumacuma adalah jasa hukum yang diberikan advokad tanpa menerima pembayaran honorarium melipu pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan pencari keadilan yang dak mampu. Definisi pencari keadilan yang dak mampu adalah orang perseorangan
Jur
na
lR ec hts V
ind
namun ada satu hal yang kiranya dak berubah, sehingga merupakan satu benang merah, yaitu dasar kemanusiaan.14 Menurut pendapat Barry Metzger, bahwa program bantuan hukum di negara-negara berkembang, pada umumnya mengambil ar dan tujuan yang sama seper di barat, yang pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu, pertama, bahwa bantuan hukum yang efek f adalah merupakan syarat yang esensial untuk berjalannya fungsi maupun integritas peradilan dengan baik; dan kedua, bahwa bantuan hukum merupakan tuntutan dari rasa kemanusiaan.15 Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium melipu pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan ndakan hukum lain untuk kepen ngan pencari keadilan yang dak mampu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan hukum terdapat beberapa unsur, yaitu: a. penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang dak mampu secara ekonomi; b. bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses peradilan; c. bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata maupun tata usaha negara;
14
15
88
Mauro Cappelletti, Toward Equal justice : A Comparative Study of Legal Aid in Modern Societies, (New York: Dobbs Ferry, 1975 ), hlm. 25. Barry Metzger, Legal Services to the Poor and National Development Objectives, dalam buku Legal Aid and World Poverty, (Preger Publishers, 1974), hlm. 5.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
(3) menjamin hak atas bantuan hukum dan memerintahkan negara untuk menyediakan Advokat/Pemberi Bantuan Hukum (PBH) yang memberikan bantuan hukum secara efek f untuk masyarakat miskin dan ke ka kepen ngan keadilan mensyarakatkannya. Selain DUHAM dan ICCPR, hak atas bantuan hukum terdapat dalam UN Standard Minimum Rules for the Administra on of Juvenile Jus ce, terkait pen ngnya hak atas bantuan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, UN Declara on on the Rights of Disabled Persons terkait pen ngnya bantuan hokum yang berkualitas pada orang-orang difable (different ability). Hak Bantuan hukum dikategorikan sebagai non-derogable rights (tak dapat dikurangi). Secara khusus hak bantuan hukum dijamin dalam Pasal 17, 18, 19 dan 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, khususnya Pasal 35 yang menyatakan se ap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Hak inipun melekat pada perumusan hak tersangka/terdakwa, saksi dan korban dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, seper dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak Sipil dan Poli k, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ra fikasi CEDAW, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK dan UU tentang Perdagangan Orang.
Jur
na
lR ec hts V
ind
atau sekelompok orang yang secara ekonomis dak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukumnya. Peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan untuk pemberian bantuan hukum kepada para pencari keadilan yang dak mampu yang lain dapat dilihat juga dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, serta pada UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum yang dibahas di Pasal 68B dan Pasal 68C, yang isinya adalah se ap orang yang berperkara mendapatkan bantuan hukum, Negara yang menanggung biaya perkara tersebut, pihak yang dak mampu harus melampirkan surat keterangan dak mampu harus melampirkan surat keterangan dak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan, serta se ap Pengadilan Negeri agar dibentuk Pos Bantuan Hukum kepada para pencari keadilan yang dak mampu dalam memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma kepada semua ngkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari proses peradilan yang adil dan inherent di dalam prinsip negara hukum dan merupakan salah satu prinsip HAM yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum dan dijabarkan dalam Interna onal Covenant on Civil dan Poli cal Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Poli k. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin bahwa semua orang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan apapun termasuk status kekayaan. Sedangkan Pasal 14 ayat
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
89
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ind
Dengan demikian segala peraturan perundang-undangan yang mengatur bantuan hukum sebagaimana telah diuraikan diatas, masih tetap berlaku sepanjang dak bertentangan dengan Undang-Undang Bantuan Hukum.
BP HN
”pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang dak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”
melalui ketentuan Pasal 19 memberi ruang bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. Undang-Undang Bantuan Hukum memang dak membebankan kewajiban bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum, karena dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) menggunakan frasa ‘dapat’, sehingga tersedia pilihan bagi daerah apakah akan mengaturnya atau dak. Akan tetapi apabila daerah berkehendak mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD, maka pemerintah daerah dan DPRD harus mengaturnya dalam Peraturan Daerah (Perda). Sampai saat ini, di Provinsi Sumatera Utara belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak kons tusional warga negara tersebut, padahal menurut data yang dilansir Badan Pusat Sta s k pada akhir Tahun 2012 ada 6 provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk miskin di atas 1 juta jiwa, yaitu Jawa Tengah dengan penduduk miskin sebanyak 4,9 juta, Jawa Barat dengan penduduk miskin sebanyak 4,5 juta, kemudian Sumatera Utara dengan penduduk miskin 1,4 juta. Lampung dengan penduduk miskin sebanyak 1,25 juta, Sumatera Selatan mempunyai penduduk miskin 1,06 juta, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1,01 juta, dan DKI Jakarta mencapai 363,2 ribu.16 Sebaran penduduk miskin di Sumatera Utara terbilang cukup merata antara pedesaan dan perkotaan. Tercatat dari sekira 1.378.400 penduduk miskin yang ada, sekira 669.300 orang berada di perkotaan. Namun data jumlah penduduk miskin ini masih akan sangat bias jika dibandingkan dengan ngkat Kebutuhan Hidup
ing
Dalam Ketentuan Peralihan UU Bantuan Hukum ditegaskan bahwa pada Tahun 2013 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia akan secara penuh melaksanakan tugas dan fungsi sekaligus penganggarannya pada tahun 2013. Lebih lanjut Dalam ketentuan Pasal 24 UU Bantuan Hukum disebutkan bahwa:
lR ec hts V
4. Pembentukan Perda Tentang Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Utara
Jur
na
Kehadiran Undang-Undang Bantuan Hukum menimbulkan konsekuensi pembebanan kewajiban kepada Pemerintah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN. Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI. Namun Pembentuk UndangUndang Bantuan Hukum menyadari bahwa dana yang dialokasikan dalam APBN dak akan mampu untuk memenuhi semua permohonan bantuan hukum yang ada di seluruh daerah. Untuk itu Undang-Undang Bantuan Hukum
16
90
Jawa Timur Terbanyak Dihuni Penduduk Miskin, http://www.rmol.co/news.php?id=90145 (diakses tanggal 22 April 2012).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
tentang Bantuan Hukum bagi Masyarakat miskin, walaupun daerah yang telah menerbitkan perda bantuan hukum jumlahnya masih belum signifikan dibandingkan dengan yang belum menerbitkan Perda Bantuan Hukum. Provinsi Sumatera Utara sendiri pada tanggal 14 Desember 2012 DPRD telah menetapkan Program Legislasi Daerah Tahun 2013 melalui Keputusan Nomor 16/K/2012, dalam keputusan tersebut DPRD menetapkan 37 ( ga puluh tujuh) usulan Rancangan Peraturan Daeraha (ranperda) dalam Prolegda, dengan rincian 15 (lima belas) ranperda usul inisia f DPRD Provinsi Sumatera dan 22 (dua puluh dua) ranperda usul prakarsa Pemerintan Provinsi Sumatera Utara. Salah satu ranperda usul inisia f DPRD Provinsi Sumatera Utara adalah Ranperda Tentang Bantuan Hukum. Sampai tulisan ini dibuat, proses pembentukan perda bantuan hukum masih belum dilakukan penyusunan, masih sekedar dicantumkan dalam Prolegda 2013. Bahkan Naskah Akademik, Penjelasan dan/ atau keterangan belum tersusun. Padahal, ke ka Ranperda telah dicantumkan dalam Prolegda, seharusnya Naskah Akademik, Penjelasan dan/ atau keterangan telah tersusun pula. Belum tersentuhnya penyusunan ranperda tentang Bantuan Hukum disebabkan DPRD Sumatera Utara maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara masih memiliki beban ranperda Luncuran
18
Jur
19
Jumlah Penduduk Miskin Sumut Diklaim Tinggal 10%, http://economy.okezone.com/ read/2013/01/03/20/740611/jumlah-penduduk-miskin-sumut-diklaim-tinggal-10 (diakses pada tanggal 22 April 2013). Ibid. Pada awal Januari sampai dengan akhir Oktober 2010 peneliti pernah menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan pada Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, dalam kurun waktu tersebut peneliti sering melakukan dialog kepada tahanan maupun narapidana yang termasuk dalam kategori miskin, dan sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum. Selain itu, pada Tahun 2011, Peneliti juga merupakan salah satu anggota Tim Penelitian Hukum Kanwil kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara dengan judul: ”Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara di Provinsi Sumatera Utara”. Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masih banyak tahanan (dalam kategori miskin) yang belum tersentuh oleh bantuan hukum.
na
17
lR ec hts V
ind
Layak (KHL) di Sumatera Utara yang diperkirakan mencapai Rp1,5 juta.17 Penduduk miskin yakni penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara untuk September 2012, garis kemiskinan dari 1,378 juta jiwa tersebut berkisar Rp271.738 per kapita per bulan, naik 3,68 persen jika dibandingkan Maret 2012 yang hanya dari Rp262.102 per kapita per bulan.18 Berdasarkan pengamatan peneli ,19 Pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan selama ini di Provinsi Sumatera Utara belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ke dakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Padahal pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin dalam Peraturan Daerah merupakan jaminan terhadap hak-hak kons tusional orang atau kelompok orang miskin di Sumatera Utara. Beberapa daerah yang ada di Indonesia telah merespons ketentuan Pasal 19 UU Bantuan Hukum dengan menerbitkan Perda tentang Bantuan Hukum diantaranya Provinsi Jawa Timur, dan beberapa daerah kabupaten/ kota. Bahkan Provinsi Sumatera Selatan yang notabene penduduk miskinnya menurut data BPS lebih sedikit dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara telah mengundangkan Perda
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
91
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
maka pemerintah daerah dan DPRD harus mengaturnya dalam Peraturan Daerah (Perda). Walaupun Rancangan Perda Bantuan Hukum Provinsi Sumatera Utara saat ini telah tercantum dalam Prolegda 2013, namun Rancangan Perda tersebut sampai tulisan ini dibuat belum juga tersusun. Mengingat pen ngnya perda tentang bantuan hukum sebagai landasan hukum bagi daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, diibutuhkan komitmen kuat dari DPRD maupun Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara beserta stakeholder untuk segera mengimplementasikan pembentukan perda Bantuan hukum serta mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD sebagaimana amanat pasal 19 UU Bantuan Hukum. Tanpa komitmen yang kuat sulit mengharapkan kelahiran Perda Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Perda Bantuan diharapkan dak akan ada lagi marginalisasi dan ke mpangan keadilan yang terjadi kepada masyarakat miskin khususnya masayarakat di Provinsi Sumatera Utara dalam melindungi hak-haknya.
ind
Tahun 2012 sebanyak 22 (dua puluh dua) ranperda, selain itu Ranperda tentang Bantuan Hukum belum ditempatkan dalam urutan Prioritas.20 Apalagi pada Tahun 2013 merupakan tahun poli k, dimana kader-kader partai poli k yang ada di DPRD Provinsi Sumatera Utara disibukkan dengan agenda tahapan Pemilu Legisla f, sehingga apabila dak didorong sulit diharapkan akan lahirnya Perda tentang Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Utara. Padahal pembentukan Perda Bantuan Hukum sangat pen ng sebagai landasan hukum bagi daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
E. Penutup
Jur
na
lR ec hts V
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. UU Bantuan Hukum juga memberi ruang bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. Apabila daerah berkehendak mengalokasikan dana bantuan hukum dalam APBD,
20
92
DAFTAR PUSTAKA Buku: Cappelle , Mauro, Toward Equal jus ce : A Compara ve Study of Legal Aid in Modern Socie es, New York: Dobbs Ferry, 1975 ) Metzger, Barry, Legal Services to the Poor and Na onal Development Objec ves dalam buku Legal Aid and World Poverty, ( Preger Publishers, 1974) Winarta, Frans H., Bantuan Hukum di Indonesia, Elex Media-Jakarta, 2009 Winarta, Frans H., PRO BONO PUBLICO : Hak Kons tusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh
Hasil Wawancara dengan Gunadi, SH, M.Hum. (Staf Ahli Badan Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara) pada tanggal 23 April 2013.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 81-93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Internet:
Jawa Timur Terbanyak Dihuni Penduduk Miskin, http://www.rmol.co/news.php?id=90145 (diakses tanggal 22 April 2012). Jumlah Penduduk Miskin Sumut Diklaim Tinggal 10%, h p://economy.okezone. com/ read/2013/01/03/20/740611/jumlahpenduduk-miskin-sumut-diklaim-tinggal-10 (diakses pada tanggal 22 April 2013)
Jur
na
lR ec hts V
ind
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pokja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Strategi Nasional dan Akses terhadap Keadilan, (Jakarta: BAPPENAS, 2009). Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum sebagai An these terhadap Diskriminasi Hukum, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari
BP HN
Makalah/ArƟkel/Prosiding/Hasil PeneliƟan
yang diadakan oleh staf ahli Kementerian Hukum dan HAM RI pada tanggal 1 Desember 2011 di Aula Pengayoman Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara). Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum Sebagai An these Terhadap Diskriminasi Hukum, (Makalah-2011). Rusma Dwiyana, Equality Before The Law VS Impunity: Suatu Dilema (Makalah Tanpa Tahun).
ing
Bantuan Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009. Zaidun, Muhammad, dkk, Mengajarkan Hukum Yang Berkeadilan; Cetak Biru Pembaharuan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, Jakarta: ILRC, 2009.
Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ... (Eka N.A.M. Sihombing)
93
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
MENAKAR PENGAWASAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PANDANGAN RICHARD A POSNER (Control Measure Gran ng Legal Aid Views of Richard A Posner) Muhammad Rustamaji Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jalan Ir. Sutami 36A Ken ngan Jebres Surakarta Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 22 April 2013; revisi: 24 April 2013; disetujui: 26 April 2013
hts V
ind
Abstrak Kajian hukum yang dilakukan bertujuan menakar pengawasan pemberian bantuan hukum dalam pandangan teori hukum Richard A Posner. Pendekatan economy analysis of law yang dikemukakan Posner, dijadikan pisau analisis guna membedah pola pengawasan pemberian bantuan hukum yang dimanatkan undang-undang. Metode peneli an yang digunakan menggombinasikan ilmu hukum sebagai ilmu atau disiplin yang hermeneu k, argumenta f, dan disiplin empiris. Hasil peneli an mengenai pembedahan pengawasan pemberian bantuan hukum dengan pisau analisis teori hukum Richard A. Posner menunjukkan bahwa efisiensi aturan hukum yang ditujukan mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan, memerlukan prinsip ekonomi yang kemudian masuk dalam ranah hukum. Konsep hukum yang mensejahterakan coba dibuk kan pada perwujudan pengawasan atas bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin. Lima aspek yang menyusun teori hukum Posner menunjukkan bahwa kelindan hukum dan ekonomi merupakan keniscayaan yang nyata. Kata kunci: Posner, Bantuan Hukum, Pengawasan
Jur
na l
Re c
Abstract Research purposes to measure the oversight of legal assistance in view of the legal theory Richard A. Posner. Economy analysis of law approach proposed Posner, used a knife to dissect the analysis of pa erns of supervision duty legal aid legisla on. The method used combine jurisprudence as a science or a hermeneu c discipline, argumenta ve, and empirical discipline. The results of the surgical control of legal assistance with legal theory analysis knife Richard A. Posner suggests that the efficiency of legal rules aimed at social welfare and jus ce, requires economic principles which later entered the realm of law. The concept of welfare laws trying to prove to the realiza on of control over legal aid given to the poor. Five aspects that make up the legal theory linked by Posner suggests that law and economics is a real necessity. Keywords: Posner, legal aid, supervision
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
95
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
Satjipto Rahardjo, ”Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder)” (makalah disampaikan pada Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Desember 2000). Penjelasan Pasal 2 huruf d dan f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, hlm. 14. Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm. 19. Ahmad Erani Yustika, Ekonomi kelembagaan, Deϔinisi, Teori, & Strategi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006). Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, hlm. 12.
Jur
1
na
lR ec hts V
ind
Sebagai negara yang dipersepsikan memedomani civil law, kajian terhadap produk hukum yang telah diatur dalam kodeks menjadi pen ng dilakukan untuk memberikan penilaian kri s. Sehingga, telaah atas produk perundangan demikian dak hanya dilihat sebagai hasil kerja profesional, tetapi sebagaimana pandangan Satjipto Rahardjo, sebagai objek ilmu1 untuk menjelaskan bahwa produk hukum yang terkodivikasi dalam undang-undang sekalipun, bukan merupakan sesuatu yang sakral untuk diuji persistensi ataupun kadarnya. Mengerucut pada keterlibatan negara dalam percepatan aksesibilitas hukum sesuai amanat undang-undang, isu hukum demikian menemukan momentumnya ke ka UndangUndang Bantuan Hukum hadir sebagai jaminan terhadap keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Dengan berasaskan efisiensi yang memaksimalkan pemberian bantuan hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada, pada saat bersamaan memunculkan asas akuntabilitas2, yaitu bahwa se ap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan bantuan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Pada k inilah tesis Richard A Posner mengenai biaya transaksi3 (transac on costs)4 yang kemudian diadopsi ke dalam aturan-aturan legal, menemukan kelindannya. Biaya transaksi yang semula merupakan prinsipprinsip ekonomi, pada tataran kekinian ternyata justru dijadikan aturan-aturan hukum.
Meskipun pemberian Bantuan Hukum dak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara, namun sebagai negara hukum yang mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peran dan tanggungjawab aksesibilitas demikian diambil oleh negara. Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi se ap individu termasuk hak atas bantuan hukum. Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law)5. Untuk itu ke ka anggaran negara dialokasikan guna menjamin warga negara, khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum, pengawasan menjadi kata kunci untuk menjamin keberhasilannya. Berkaitan dengan pola hubungan pengawasan dengan tujuan pemberian bantuan hukum dimaksud, penekanan pandangan Posner dalam teori hukumnya adalah mengenai efisiensi yang terarah pada social welfare dan good law. Prinsip efisiensi ini terutama berada dalam lingkup prinsip-prinsip ekonomi yang senan asa dialami manusia sebagai subjek hukum se ap harinya. Sehingga, sesuai dengan prinsip awal
ing
A. Pendahuluan
2 3
4 5
96
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Mark Van Hoecke, mengemukakan ada beberapa konsep doktrin hukum atau ilmu hukum, antara lain:7 a. Disiplin hermeneu k (hermenue c discipline), b. Disiplin argumenta f (argumenta ve discipline), c. Disiplin empiris (empirical discipline), d. Disiplin eksplanatoris (explanatory discipline), e. Disiplin aksioma k (axioma c discipline), f. Disiplin logis (logical discipline), dan g. Disiplin norma f (norma ve discipline). Berbagai disiplin doktrin hukum itu memiliki implikasi metodologis yang sangat berbeda. Sehubungan dengan pembedaan itu, maka peneli an dimaksud menggombinasikan ilmu hukum sebagai ilmu atau disiplin yang hermeneu k, argumenta f, dan disiplin empiris.8 Dengan memilih ke ga displin dalam doktrin ilmu hukum, maka peneli an ini mempunyai lebih dari satu dimensi.9 Ar nya, peneli an ini mengkombinasikan pendekatan doktrinal dan nondoktrinal. Hal tersebut seper diungkapkan Mike McConville dan Wing Hong Chui, yaitu ”to generate empirical evidence to answer research ques ons”.10 Pendekatan doktrinal didasarkan pada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seper dalam pandangan Peter Mahmud Marzuki11.
7
Jur
8
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Ed. 4 (USA: Harvar University Press, 1994), hlm. 4. Mark van Hoecke, ”Legal Doctrine: Which Method(s) for What Kind of Discipline? In Mark Van Hoecke (ed.), Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for What Kind of Discipline” (Oxford: Hart Publishing, 2011), hlm. 1-18 dan hlm. 4-10. Menurut Hoecke, disiplin ilmu hukum yang bersifat hermeneutik, teks dan dokumen hukum merupakan sumber utama dari objek penelitian. Kegiatan utama yang dilakukan oleh peneliti adalah menginterpretasi teks dan dokumen menurut metode standar interpretasi. Sedangkan disiplin yang bersifat argumentatif digunakan untuk mendukung interpretasi hukum atau mendukung penyelesaian masalah yang telah ditekankan oleh peneliti. Sebagai disiplin empirikal menekankan bahwa dalam penelitian doktrinal itu juga harus disebut sebagai ”empirical social science”. Sehingga, veri ikasi empiris dilakukan juga untuk membuktikan (checking) pernyataan dalam doktrin hukum jika dihadapkan dengan praktek judisial. (Ibid.) Ibid. Mike McConville dan Wing Hong Chui, (Ed.), Research Method for Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), hlm. 80. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 141.
na
6
lR ec hts V
ind
Permasalahan yang diangkat sebagai fokus isu hukum dalam ar kel dimaksud, hanya dikerucutkan pada bagaimana teori hukum Richard A Posner menakar pengawasan bantuan hukum dalam pendekatan economy analysis of law. Hal ini kemudian dirumuskan dengan beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimana aspek heuris c dan descrip ve dalam bangunan teori hukum Richard A Posner? 2. Bagaimana aspek sejarah u litarianisme dalam bangunan teori hukum Richard A Posner? 3. Bagaimana aspek wealth maximiza on dalam bangunan teori hukum Richard A Posner? 4. Bagaimana aspek per mbangan masa depan dalam bangunan teori hukum Richard A Posner? 5. Bagaimana aspek behaviorial law and economy dalam bangunan teori hukum Richard A Posner?
BP HN
B. Permasalahan
C. Metode PeneliƟan
ing
berkembanganya economy analysis of law6 atas gagasan Posner demikian, kajian lebih dalam patut dilakukan.
9
10
11
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
97
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Guna melisik simulakrum teori hukum Richard A Posner ke ka dijadikan instrumen gu-
economy analysis of law. Guna memberikan gambaran yang komperhensif dalam pembahasan, berikut disampaikan skema k bahasan.
BP HN
D. Pembahasan
Gambar 1. Skema k Pembedahan Pengawasan Bantuan Hukum Berdasar Teori Hukum Posner
Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin
Kajian Aspek Utilitarianisme Terhadap Posner
Kajian Aspek Wealth Maximization Posner
Kajian Aspek Future Consideration Posner
ind
ing
Kajian Aspek Heuristic dan Descriptive Posner
Kajian Aspek Behaviorial Law and Economy Posner
lR ec hts V
Perintah UndangUndang Bantuan Hukum Melibatkan APBN Pemenuhan Aksesibilitas Hukum Bagi Masyarakat Miskin Konsep pemenuhan HAM
Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum yang diberikan Organisasi Bantuan Hukum (OBH)
Sumber: Diolah sendiri berdasar teori Posner
Jur
na
na menakar pengawasan bantuan hukum dalam pendekatan economy analysis of law, langkah pembahasan perlu dilakukan dalam beberapa tahap. Pada bagian awal bahasan diarahkan pada rangkaian akar teori yang melandasi pemikiran hukum Richard A Posner. Kajian teori k Posner berkait latar belakang seorang hakim serta rangkaian proses persidangan yang menimbang pihak-pihak yang berhadapan di muka hukum demikian, dak terlepas dari prak k bantuan hukum yang diberikan seorang advokat. Kajian bantuan hukum dalam interaksi proses persidangan demikian merupakan bahan baku yang berharga untuk membedah efisiensi hukum yang acapkali dikumandangkan Posner. Berdasarkan teori hukum Posner demikian, kajian selanjutnya difokuskan pada indikator pemenuhan takaran terhadap pola pengawasan bantuan hukum yang diukur melalui pendekatan
98
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
1. Kajian Aspek HeurisƟc dan DescripƟve dalam Bangunan Teori Hukum Richard A Posner
Richard A. Posner menegaskan terdapat banyak teori posi f (yaitu deskrip f, yang berbeda dengan norma f) mengenai perilaku pengadilan (judicial behavior). Posner mengemukakan teori-teori yang lebih kompleks, melipu : (1) a tudinal, (2) strategis, (3) sosiologis, (4) psikologis, (5) ekonomi, (6) organisasional, (7) pragma s, (8) fenomenologis, dan (9) legalis. Semua teori memiliki manfaat dan memberi nutrisi pada teori putusan pengadilan yang dibangun oleh Posner. Namun, semuanya berlebihan atau dak lengkap. Posner sendiri membangun teori yang disebutnya dengan ”a posi ve decision theory of judging” (teori penilaian putusan
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Mencerma hubungan doktrin hukum terhadap ins tusi hukum berkait bantuan hukum dan pengawasannya, pola demikian dapat dijelaskan melalui aspek heuris c Posner. Dalam perspek f hukum pidana misalnya, ke ka doktrin hukum menasbihkan equality before the law15 secara impera f berlaku bagi se ap orang yang berhadapan dengan hukum, muncul pertanyaan bagaimana kedudukan tersangka/ terdakwa terhadap ins tusi penegak hukum?. Jika benar selama ini tersangka/terdakwa kedudukannya setara dengan penyidik maupun penuntut umum karena berlakunya asas akusatur, lalu mengapa advokat masih diperlukan guna memberikan bantuan hukum? Disinilah terlihat bahwa doktrin hukum saja daklah cukup tanpa ins tusi hukum bentukan yang difungsikan untuk menopangnya. Doktrin hukum yang menempatkan kesetaraan kedudukan tersangka/ terdakwa ke ka berhadapan dengan hukum ternyata masih menyisakan ke mpangan yang lebih bersifat empiris. Pengetahuan hukum, aksesibilitas terhadap dunia hukum, persamaan hak di hadapan hukum, menjadi beberapa indikator ke mpangan dimaksud. Lalu ke ka ke mpangan doktrin demikian coba diseimbangkan dengan ins tusional bantuan hukum utamanya bagi kaum papa melalui perundangan, pola relasi doktrin dan ins tusi demikian semakin menunjukkan keseja annya. Dengan beragam format bantuan hukum mulai dari konsultasi, pendampingan hukum nonli gasi, advokasi, hingga penguasaan hukum diranah li gasi posisi berimbang subyek hukum tersangka/terdakwa semakin terlihat. Pada k ini, pewujudan hukum dengan pola
Jur
na
lR ec hts V
ind
yang posi f).12 Konstruksi Posner itu hendak memulai ulang dan memurnikan teori-teori yang ada– yaitu sesuatu yang meyakinkan (cogent), menyatukan (unifed), realis k dan tepatnya beragam (eclec c) mengenai bagaimana hakim sampai pada putusannya dalam kasus-kasus yang dak ru n. Posner menganggap perilaku pengadilan sebagai ”open area”– suatu area yang menjadikan hakim sebagai legislator (judge is a legislator).13 Teorisasi Posner ini dilatarbelakangi karakter penghakiman di Amerika. Meski demikian, secara teori s tetap memiliki signifikansi untuk dipergunakan, sekaligus diuji kebenarannya dalam ”laboratorium” hukum, seper Indonesia. Urgensi pengujian demikian semakin lengkap terlebih ke ka ditumbukkan dengan per mbangan hakim atas bantuan hukum yang tentu membentuk alur maupun konstruksi tersendiri dalam dinamisasi diskursus proses peradilan. Pada sekup ekonomi yang lebih sempit, sebagai penganut norma ve direc ve, Posner mengemukakan bahwa hukum seharusnya mempromosikan efisiensi dan menggunakan analisis social wealth maximiza on untuk mencari sintesis theoremanya. Melalui kajian dalam bukunya yang bertajuk ”Fron ers of Legal Theory”, Posner meneli aspek heuris c dan descrip ve dari analisis ekonomi dalam hukum. Aspek heuris c ingin mengkaji kesatuan antara doktrin hukum dengan ins tusi hukum. Sementara aspek descrip ve berusaha mencari logika ekonomi yang memengaruhi doktrin dan ins tusi hukum hingga mengakibatkan perubahan hukum.14
12 13 14 15
Richard A. Posner, How Judges Think (Cambridge: Harvard University Press, 2008), hlm. 19. Ibid., hlm. 15. Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory (USA: Harvard University Press, 1994). Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
99
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
kebutuhan bantuan hukum bagi warga miskin dimaksud. Untuk itulah dilakukan supervisi, visitasi, dan bahkan akreditasi organisasi bantuan hukum (OBH) yang memiliki kualifikasi nggi dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Langkah demikian tentu merupakan strategi yang dak hanya memenuhi logika ekonomi, namun dalam waktu bersamaan diharapkan menjamin kualitas bantuan hukum yang diberikan kepada yang membutuhkan. Pola pengawasan dan kontrol demikian selanjutnya bergulir sesuai dengan tata aturan pemanfaatan keuangan negara, bagi siapapun penggunanya. Ar nya pengawasan pasca akreditasi berkait pemanfaatan uang negara juga dilakukan sebagai wujud akuntabilitas atas efisiensi dan efek fitas permodelan bantuan hukum yang dijalankan. Pada perspek f inilah Pasner menginkan suatu kebijaksanaan dalam memutuskan suatu perkara yang didalamnya terjadi dialek ka yang masif antara aparat penegak hukum dengan para pakar hukum lain (hakim dan advokat) dalam suasana persidangan yang mencerahkan. Oleh karena itu, suatu kasus harus dilakukan anotasi atau bahkan eksaminasi yang dak hanya diambil dari sudut hukum tradisional prak s atau pun teori legal an sich, akan tetapi lebih dari itu, segala aspek di luar hukum harus diper mbangkan16.
Jur
na
lR ec hts V
ind
kese mbangan kedudukan yang equal antara tersangka/terdakwa yang dilengkapi bantuan hukum dari advokat, terhadap posisi aparat penegak hukum, sudah memunculkan nilai ekonomi yang harus terbayar. Oleh karenanya, ke ka nilai ekonomi demikian muncul sebagai sesuatu yang dak terhindarkan, payung hukum harus meresponnya dengan doktrin hukum yang lain. Inilah yang kemudian membawa negara dengan perencanaan keuangannya harus mengcover kebutuhan bantuan hukum secara efek f dan akuntabel. Di sisi inilah pengawasan berperan pen ng untuk menjaga kese mbangan relasi bantuan hukum tetap berjalan sesuai peruntukannya. Pengawasan yang longgar, membuka celah baru dak hanya terjadinya penyelewengan pemanfaatan uang negara, namun mengorbankan pula harapan aksesibilitas hukum yang setara bagi sang jelata. Adapun mengenai aspek descrip ve yang berusaha mencari logika ekonomi yang memengaruhi doktrin dan ins tusi hukum hingga mengakibatkan perubahan hukum, ternyata juga dapat diketemukan muaranya pada pandangan Posner. Harga untuk menjaga konsistensi sebagai negara hukum yang melindungi seluruh rakyatnya sebagaimana tertuang dalam kons tusi, tentu rela f murah jika diperbandingkan dengan pengalokasian sejumlah dana kepada kementerian terkait dalam upayanya menutup kebutuhan bantuan hukum yang diperlukan. Tetapi dengan spektrum yang luas dengan sebaran masyarakat yang kurang beruntung di bidang ekonomi, tentu permasalahan anggaran mengkondisikan untuk dilakukannya penyiasatan untuk memenuhi
16
100
2. Kajian Aspek Sejarah UƟlitarianisme dalam Bangunan Teori Hukum Richard A Posner
Membuka kembali beragam kajian teori k atas hukum, dapatlah diketahui bahwa Posner bukanlah pionir yang menelurkan
Richard A. Posner, ”A Conversation With Judge Richard A. Posner (interview),” Duke Law Journal Vol. 58, hlm. 1809–1810.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
hukum privat, hubungan antara sang klien dengan advokat menjadi target pengawasan. Ke ka advokat bekerja secara profesional membela hak sang klien, maka ia berhak atas pembayaran berwujud legal service fee yang sepadan. Masalah muncul ke ka sang klien ternyata orang yang terkategorisasi miskin. Tantangan pengawasan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana di satu sisi sang advokat tetap bekerja profesional membela hak sang klien, melaporkan pengeluaran yang wajar tanpa rekayasa, untuk selanjutnya ter b dalam mekanisme penggan an dana bantuan hukum berdasarkan perintah undangundang oleh negara. Sementara di sisi yang lain bagaimana menjamin sang advokat btetap berlaku dan ber ndak santun dan profesional memperlakukan klien yang notabene miskin, ke ka seluruh waktu, upaya dan pemikiran yang dicurahkan ia tanggung sendiri karena memang belum mendapatkan penggan an?. Pada cek poin inilah pengawasan memiliki peran pen ng mengungkap judicial behavior yang mencakup legal (legal), a tudinal (a tudinal), dan strategis (strategic).19 Adapun mengenai economy ins tu on yang berkaitan dengan ndakan manusia termasuk peraturan hukum formal, kebiasaan informal, tradisi dan aturan sosial, peran pengawasan dak kalah menariknya. Pemilihan organisasi bantuan hukum yang kredibel seja nya memangkas keraguan atas potensi penyimpangan atas ndakan pemberi bantuan hukum terhadap peraturan hukum formal, kebiasaan informal, tradisi dan aturan sosial. Organisasi bantuan
Jur
na
lR ec hts V
ind
buah gagasan mengenai economy analysis of law. Teori dimaksud seja nya telah terlebih dahulu muncul dan dieksplorasi oleh kalangan u litarianisme dengan tokohnya Jeremy Bentham dan John Stuarth Mill. Teori u litas ini mengutamakan asas kebergunaan sesuatu. Jadi sesuatu (esse) harus memberikan manfaat (nilai u li es) bagi esse yang lain (social welfare)17. Dalam perkembangannya, setelah dianalisis kembali oleh Ronald Coasei (1960) dan Posner, ide analisis ekonomi dalam hukum berkembang mencakup transac on cost of economy, economy ins tu on, dan public choice. Transac on cost of economy berkaitan dengan efisiensi peraturan hukum yang sebagian besar berkenaan dengan hukum privat. Economy Ins tu on berkaitan dengan ndakan manusia termasuk peraturan hukum formal, kebiasaan informal, tradisi dan aturan sosial. Serta Public Choice berkaitan dengan proses memutuskan secara demokra s dengan memer mbangkan metode microeconomy dan perdagangannya18. Melalui prinsip ekonomi, Posner berharap dapat meningkatkan efisiensi hukum, termasuk efesiensi dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Pada konsteks implementasi pengawasan pemberian bantuan hukum, langkah paling ekonomis dengan menseleksi terlebih dahulu kredibilitas organisasi bantuan hukum merupakan perwujudan cakup transac on cost of economy, economy ins tu on, dan public choice. Berkenaan dengan kaitan efisiensi peraturan hukum yang berkelindan dengan
17 18 19
Erman Radjagukguk, FilsafatHukum (Modul Kuliah) (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011). Ibid., hlm. 146. Lawrence Baum, Judges and Their Audiences, A Perspective on Judicial Behavior (Princeton and Oxford, Princeton University Press, 2006), hlm. 5.
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
101
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum, memberikan sebuah pengalaman empiris serta pemberdayaan yang meningkatkan efesiensi proses hukum dan peningkatan kesejahteraan sosial yang bersangkutan.
3. Kajian Aspek Wealth MaximizaƟon dalam Bangunan Teori Hukum Richard A Posner
ing
Wealth Maximiza on sebagai sebuah pengejawantahan teori analisis ekonomi dalam hukum Posner, sebenarnya menfokuskan diri pada penerapan prinsip efisien. Dalam hal ini Posner menterjemahkan efisien sebagai suatu keadaan yang sumber dayanya dialokasikan sehingga nilainya (value) maksimal. Dalam analisis ekonomi, efisiensi dalam hal ini difokuskan kepada kriteria e s dalam rangka pembuatan keputusan-keputusan sosial (social decision making) yang menyangkut pengaturan kesejahteraan masyarakat20. Pada pembicaraan pemberian bantuan hukum dimaksud, welalth maximiza on terletak pada tepatnya ide serta gagasan yang muncul dari pembentuk undangundang untuk memikirkan perlunya mengcover kebutuhan akan aksesibilitas terhadap hukum yang berkesetaraan. Namun akibat perbandingan kebutuhan bantuan hukum yang sangat besar dak dapat dipenuhi dengan sumber daya yang saat ini ada, maka pilihan efisiensi harus diberlakukan. Pengawasan pemberian bantuan hukum inilah yang kemudian menjadi key words demi tercapainya kese mbangan kebutuhan dan sumber daya yang ada. Tanpa pilihan efisiensi berupa pengawasan, maka tujuan menyeimbangkan posisi masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum,
Jur
na
lR ec hts V
ind
hukum yang terakreditasi memang dak serta merta kehilangan ijin beracaranya ke ka mengabaikan profesionalisme pemenuhan di bidang peraturan hukum formal, kesantunan tradisi, aturan sosial maupun kebiasaan informal. Namun organisasi bantuan hukum yang kredibel tentu akan menimbang dan membanding untuk dak taat atas tuntutan profesi yang dihadapkan kepadanya. Pencitraan dan pertaruhan nama besar organisasi bantuan hukum menjadi ‘perjudian’ yang terlalu mahal untuk ‘dipertaruhkan secara murah’ dengan ber ndak dak profesional. Pada cek poin inilah nilai keekonomian sebuah ins tusi berkait erat dengan predikat officium nobile yang disandangkan pada profesi advokat pemberi bantuan hukum. Pada sisi public choice yang berkaitan dengan proses memutuskan secara demokra s dengan memper mbangkan metode microeconomy dan perdagangannya, tantangan pengawasan dihadapkan pada proses bantuan hukum di dalam peradilan. Pada proses demikian hukum diarahkan menjadi efisien karena dialek ka hukum dalam proses peradilan dak tersendat akibat ke daktahuan aturan formal maupun material yang belum tentu dikuasai oleh sang klien. Keseluruhan pembahasaan hukum dalam hal ini dijembatani oleh penasihat hukum demi membela hak klien. Adapun putusan hakim meskipun tetap independen dan imparsial, diharapkan tetap memer mbangkan kajian hukum yang meringankan diri klien, pasca diperjelas dengan eksistensi bantuan hukum bagi klien dimaksud. Pada saat bersamaan, pendampingan hukum maupun bantuan hukum yang dirasakan
20
102
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Ed. 4, (USA: Harvar University Press, 1994), hlm. 4.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
melalui sistem-sistem ekonomi, per mbangan mengenai suatu masa depan kesejahteraan sosial akan sangat besar. Dengan begitu, aturanaturan hukum termasuk teori-teori hukum harus mampu dimenger oleh hakim demi terselenggaranya suatu sistem hukum yang baik.23 Hakim dalam porsinya yang besar sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan berdasarkan per mbangan dan diskursus per kasus yang ditanganinya. Aspek kesejahteraan sosial yang dituju dengan beragam sistem ekonomi yang menunjangnya secara langsung maupun dak memerlukan kerumpilan aturanaturan hukum dan teori hukum yang saling berkelindan bahkan bersilang sengkarut, dan menuntut hakim untuk dapat membaca dan memahaminya secara komperhensif. Langkah bantuan hukum inilah yang berperan pula dalam pembentukan legal standing hukum hakim yang diperlukan sebelum menjatuhkan putusan dengan ketukan palu keadilan. Keruwetan dan rumpilnya beragam aturan yang dihadapi hakim di masa-masa yang akan datang memunculkan sebuah pertanyaan kri s dalam dialog di Duke Law Class. Posner menegaskan bahwa seorang hakim harus rajin membaca dan mengupdate informasi seputar hukum. Menjawab pertanyaan seorang mahasiswa tentang hakim yang kurang profesional, dalam wawancara itu ia mengatakan: ”I don’t think that judges do much reading—at least, not much secondary reading. The ordinary judicial job itself requires a great
lR ec hts V
ind
pada akhirnya akan tumbang. Dengan lain perkataan, penyeimbangan yang yang direalisasi dengan bantuan hukum, harus disenan asa dikontrol dengan pengawasan yang efisien. Oleh karenanya, efisiensi dalam kaca mata Posner sangat berkaitan dengan peningkatan kekayaan seseorang (sang klien miskin) tanpa mengakibatkan kerugian bagi pihak lain (sang advokat pemberi bantuan hukum). Berkaitan dengan paparan sebelumnya, analisis ekonomi dalam hukum seper yang dikenal dengan ide wealth maximiza on21 yang mengkondisikan perubahan aturan hukum dapat meningkatkan efisiensi jika keuntungan pihak yang menang melebihi kerugian pihak yang kalah. Pada tahapan selanjutnya, pihak yang menang dapat memberikan kompesasi kerugian bagi pihak yang kalah sehingga pihak yang kalah tersebut tetap menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, Posner menilik salah satu segi keadilan yang mencakup bukan sekadar keadilan distribu f dan korek f. Posner menekankan ”pareto improvement” yang dalam hal ini tujuan dari pengaturan hukum dapat memberi masukan berharga bagi keadilan dan kesejahteraan sosial22.
4. Kajian Aspek PerƟmbangan Masa Depan dalam Bangunan Teori Hukum Richard A Posner
Jur
na
Selain aspek keadilan, Posner juga memberikan perha an yang besar berkait aspek masa depan (future considera on) dalam teorinya mengenai hukum. Posner yakin bahwa
21 22
23
Posner menyebutnya dengan ”Kaldor-Hics”. Nicholas Mercuro dan Steven G Medumo, Economic and The Law: From Posner to Post-modernism (New Jersey: Princenton University Press, 1999), hlm. 58-59. Todd J. Zywicki dan Anthony B. Sanders, ”Posner, Hayek, and the Economic Analysis of Law”, Tanpa Tahun, hlm. 561-562.
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
103
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
ind
5. Kajian Aspek Behaviorial Law and Economy dalam Bangunan Teori Hukum Richard A Posner
kebijakan yang baik (to make good policy), namun mereka membatasi kebijakan yang baik dalam penger an luaran-luaran di pengadilan dan di pemerintahan secara keseluruhan. Hakim yang tunduk pada pe ideal legal (legal ideal type) berusaha hanya untuk membuat hukum yang baik (to make good law). Dengan ungkapan lain, hakim bertujuan menginterpretasi hukum secara akurat, tanpa memedulikan keinginan atas kebijakan yang dihasilkan. Berbeda sedikit dengan Lawrence Baum, Richard A. Posner menegaskan bahwa peneropongan sudut pandang ekonomi terhadap hukum dalam kaca mata Posner melahirkan behaviorial law atau pun behaviorial economy. Dua kebiasaan itu kemudian tersintesis hingga melebur menjadi behaviorial of law and economy. Berkaitan dengan ini, Posner memaparkan bahwa ”This (judges as future-looking rule makers) includes assessing what would be the most efficient outcome in circumstances where, because of transac on costs, a transac on would not occur without judicial interven on26. Sebagaimana konsepsi ekonomi, keberadaan biaya transaksi, bahkan dalam transaksi pemberian bantuan hukum, komponen demikian haruslah diakomodir serta diadopsi ke dalam aturan-aturan hukum posi f. Biaya transaksi yang semula merupakan prinsip-prinsip ekonomi kemudian dijadikan aturan-aturan hukum dalam pengaturan pasal demi pasal agar dak merugikan salah satu pihak dalam pelaksanaan produk perundangundangan.
ing
amount of reading. Most judges probably figure that is enough.”24 Sehingga ke ka ditarik suatu benang merah, Posner pada dasarnya melihat suatu masa depan yang op mis dan percaya bahwa para hakim dapat menciptakan hukum yang baik (good law) atau pun liberal law, jika ia rajin mengabsorbsi social change dan perubahanperubahan eksternal. Tujuan pandangan posner demikian sangat jelas, yaitu terciptanya sebuah efisiensi putusan hakim yang holis k menakar seluruh aturan hukum yang menopang sistem ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Jur
na
lR ec hts V
Menyimak pandangan Lawrence Baum yang menegaskan ada 3 ( ga) pe ideal perilaku pengadilan (ideal type of judicial behavior), yaitu : legal (legal), a tudinal (a tudinal), dan strategis (strategic).25 Dalam model hukum murni (pure legal model), hakim hanya menginginkan menginterpretasi hukum sebaik mungkin. Untuk alasan ini, mereka memilih antara luaran-luaran kasus alterna f dan posisi doktrinal berdasar kegunaan hukum bagi mereka. Dalam model a tudinal murni (pure a tudinal model), hakim hanya menginginkan untuk membentuk kebijakan publik yang baik (good public policy), sehingga mereka memilih antara alterna falterna f yang berdasarkan pada kegunaankegunaannya sebagai kebijakan. Dalam model strategis paling murni (most pure strategic models), hakim berusaha untuk membuat
24 25
26
104
Richard A. Posner, A Conversation With Judge (interview), Op.Cit., hlm. 1808. Lawrence Baum, Judges and Their Audiences, A Perspective on Judicial Behavior (Princeton and Oxford, Princeton University Press, 2006), hlm. 5. Todd J. Zywicki dan Anthony B. Sanders, Loc.Cit., hlm. 563.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
bahwa hukum yang mensejahterakan bukan hanya isapan jempol belaka. Pada akhirnya garda terdepan disiplin ilmu hukum yang menyapa prinsip ekonomi, yang akhirnya justru terintegrasi dan terinternalisasi dalam aturan hukum merupakan keniscayaan yang menggembirakan. Oleh karenanya daklah mengherankan ke ka pada kajian yang dikerucutkan pada pengawasan pemberian bantuan hukum dimaksud, sisi aturan hukum yang diefisienkan dengan supervisi, visitasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum, memberi harapan besar pemenuhan kebutuhan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dengan kulitas profesional yang menjanjikan kesejahteraan sosial.
ind
Prinsip behaviorial ini tampak jelas diaplikasikan dalam masyarakat yang plural, yang dak mungkin terhindar dari biaya transaksi dalam interaksi kesehariannya. Konsekuensi selanjutnya adalah aturan hukum merupakan salah satu keharusan yang mampu memberikan kepas an hukum serta menjaga rasa keadilan sosial dalam masyarakat. Aturan-aturan hukum demikian memberikan aturan main (rule of the game) yang dapat berwujud apa saja, baik yang berbasis bahan hukum primer yang mempunyai otoritas, hingga aturan hukum yang berupa kontrak yang berlaku layaknya undang-undang bagi para pihak yang memedomaninya (pacta sunt servanda). Ti k simpul dari keseluruhan pengaturan ini, tentu diarahkan demi tercapainya kesejahteraan sosial (social welfare) bagi seluas-luasnya kepen ngan rakyat.
Tulisan ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut: pertama, Konstruksi teori hukum Posner yang menyasar kesejahteraan sosial perlu diseminasi dan disebarluaskan sebagai ‘virus’ yang siap mengkooptasi kejumudan pola pemikiran hakim yang hanya melulu menjadi corong undang-undang; kedua, hakim sebagai personal mulia perlu memper mbangkan segala kelindan diskursus hukum, baik yang diutarakan penegak hukum maupun masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum, sudah saatnya memer mbangkan kajian teori hukum Posner berkait aspek-aspek penyusunnya; ke ga, langkah efisiensi akreditasi organisasi bantuan hukum dapat dijadikan permodelan terhadap bentuk efisiensi aturan hukum yang lain guna diarahkan bagi seluas-luas kesejahteraan social; keempat, kajian teori k pada ar kel demikian masih memerlukan pengkajian yang lebih komperhensif di tataran empirik sosiologis mengenai pandangan masyarakat atas aturan hukum yang bergerak ke arah efisiensi hukum.
lR ec hts V
E. Penutup
2. Saran
1. Kesimpulan
Jur
na
Pengkajian mengenai pengawasan pemberian bantuan hukum yang dibedah menggunakan teori hukum Posner menunjukkan bahwa se ap aspek bangunan hukum Posner dapat dibuk kan keberlakuannya dalam pola pengawasan organisasi bantuan hukum di Indonesia. Penelaahan pola efisiensi pengawasan pemberian bantuan hukum, baik dari aspek heuris c, descrip ve, sejarah u litarian, wealth maximiza on, future considera on, maupun behaviorial law and economy, dapat diimplementasikan dalam pengawasannya. Sehingga efisiensi yang disusun, sedemikian sehingga menuju kesejahteraan sosial, menjadi k sasaran Posner. Pandangan ke arah masa depan mengenai hakim-hakim yang memutus dengan referensi bacaan yang nggi tanpa mengesampingkan perubahan sosial yang dinamis menumbuhkan op misme
Menakar Pengawasan Pemberian Bantuan Hukum ... (Muhammad Rustamaji)
105
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan Rahardjo, Satjipto, ”Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ke dakteraturan (Teaching Order Finding Disorder)” (Makalah disampaikan pada Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Desember 2000). A. Posner, Richard, ”A Conversa on With Judge Richard A. Posner (interview)”, Duke Law Journal Vol. 58.
ind
A. Posner, Richard, Economic Analysis of Law, Ed. 4 (USA: Harvar University Press, 1994). A. Posner, Richard, Fron ers of Legal Theory (USA: Harvard University Press, 1994). A. Posner, Richard, How Judges Think (Cambridge: Harvard University Press, 2008). Hoecke, Mark van, ”Legal Doctrine: Which Method(s) for What Kind of Discipline? In Mark Van Hoecke (ed.), Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for What Kind of Discipline” (Oxford: Hart Publishing, 2011). Marzuki, Peter Mahmud, Peneli an Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005). Mercuro, Nicholas and Steven G Medumo, Economic and The Law: From Posner to Post-modernism (New Jersey: Princenton University Press, 1999). McConville, Mike and Wing Hong Chui, Ed., Research Method for Law (Edinburgh: Edinburgh University Press. 2007). Lawrence Baum, Judges and Their Audiences, A Perspec ve on Judicial Behavior (Princeton and Oxford, Princeton University Press, 2006). Radjagukguk, Erman, Filsafat Hukum (Modul Kuliah) (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011).
BP HN
Buku
Sulis yono, Adi, dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009). Yus ka, Ahmad Erani, Ekonomi kelembagaan, Definisi, Teori, & Strategi (Malang: Bayumedia Publishing, 2006). Zywicki, Todd J. and Anthony B. Sanders, ”Posner, Hayek, and the Economic Analysis of Law”, Tanpa Tahun ( ).
ing
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Jur
na
lR ec hts V
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
106
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 95-106
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
MEMBANGUN AKUNTABILITAS ORGANISASI BANTUAN HUKUM (Development of Legal Aid OrganizaƟon’s Accountability)
Mosgan Situmorang Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemeterian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Jl. Mayjen Soetoyo Cililitan Jakarta Timur 13640 Email:
[email protected] Naskah diterima: 23 April 2013; revisi: 25 April 2013; disetujui: 26 April 2013
lR ec hts V
ind
ing
Abstrak Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dikatakan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Jasa hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum adalah cuma-cuma, dalam ar mereka dak mendapat upah dari pihak yang dibantunya, namun pemerintah akan memberikan dana bantuan untuk se ap kasus yang ditangani yang besarnya disesuaikan dengan jenis kasusnya. Dana bantuan tersebut memang dak akan diberikan kepada semua organisasi bantuan hukum, tetapi hanya kepada organisasi bantuan hukum yang sudah memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Hukum. Karena dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka tentu saja akuntabilitas organisasi bantuan hukum yang menerima dana tersebut harus dapat dipertanggung jawaban kepada masyarakat. Tulisan ini adalah berupa kajian norma f, dengan demikian data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan primer yakni peraturan perundang undangan, utamanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 dan undang- undang lain yang terkait serta bahan sekunder berupa bahan kepustakaan dan data dari internet. Dalam peneli an ini disimpulkan bahwa UndangUndang Bantuan Hukum sudah dapat mengan sipasi perlunya akuntabilitas organisasi bantuan hukum tapi masih perlu di ngkatkan dengan cara membuat aturan-aturan yang mendukung terciptanya akuntabilitas tersebut terutama peraturan mengenai standar bantuan hukum. Kata Kunci: Organisasi Bantuan Hukum, Akuntabilitas, Dana
Jur
na
Abstract In Law No. 16 Year 2011 regarding Legal Aid, stated that legal aid provider is a legal aid organiza on or community organiza ons that provide legal aid services. Legal services provided by the legal aid organiza on is free in the sense that they do not get paid from those who helped. However, the government will provide financial assistance for each case handled that amount is in accordance with the type of case. The grant is not given to all legal aid organiza ons but only to a legal aid organiza on that has been qualified in accordance with the Legal Aid Act. Because these funds come from the state budget of course accountability of legal aid organiza ons receiving funds must be able to be an answer to the public. This paper is a norma ve review, thus the data used are secondary data from the primary material i.e laws and regula ons, especially Law No. 16 of 2011 and other laws related and secondary materials in the form of the literature and data from the internet.This study concluded that the Legal Aid Act was able to an cipate the need for accountability of legal aid organiza ons but it is need to be improved by making rules that favor the crea on of accountability mainly standard rules regarding legal aid. Keywords: Legal Aid Organiza on, Accountability, Fund
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
107
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Lihat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). John Rawls, Teori keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006), hlm. 3. http://www.m2sconsulting.com/webs/index.php?option=com_content&view=article&id=27:kew ajiban-pemberian-bantuan-hukum-oleh-advokat-dalam-kedudukannya-sebagai-of icium-nobile&catid=38:law&Itemid=25 (diakses tanggal 22 April 2013).
Jur
1
na
lR ec hts V
ind
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Poli k (Interna onal Covenant on Civil and Poli cal Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepen ngankepen ngan keadilan, dan 2) dak mampu membayar Advokat.1 Meskipun Bantuan Hukum dak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara, namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”, sedangkan pada pasal 28D ayat (1) tercantum bahwa, ”Se ap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.2 Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi se ap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access
to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Menurut John Rawls, Keadilan adalah kebajikan utama dalam in tusi sosial, sebagai mana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau revisi jika ia dak benar; demikian juga hukum dan ins tusi, dak peduli betapapun efisien dan rapinya harus direformasi atau dihapuskan jika dak adil.3 Ketentuan dalam pasal tersebut di atas telah memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepas an hukum yang adil bagi se ap orang tanpa membedakan suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Dalam hal ini juga termasuk orang yang dak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas jaminan perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga terdapat beberapa pasal yang memiliki keterkaitan dengan konsep bantuan hukum.4 Adapun pasalpasal tersebut antara lain pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa se ap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, dan pada ayat (2) dikatakan bahwa se ap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan
ing
A. Pendahuluan
2 3
4
108
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Pemberian bantuan hukum di Indonesia selama ini didominasi oleh kalangan masyarakat sipil atau LSM dengan segala macam keterbatasannya. Sementara peran negara dan badan-badan peradilan belum memberikan perha an penuh ini dapat dilihat dari kurangnya dana bantuan hukum cuma-cuma ini untuk masyarakat dak mampu. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, dana bantuan hukum tersebar di beberapa instansi pemerintah dan tentu saja dana yang paling besar berada di lingkungan Mahkamah Agung yang disalurkan melalui POSBAKUM di Pengadilan Negeri yang ada di seluruh Indonesia. Dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ada dua peran yang sangat pen ng dalam hubungannya dengan pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin yang mempunyai masalah hukum, yakni peran Pemerintah sebagai regulator dan sebagai penyedia dana bantuan hukum dan Organisasi Bantuan Hukum sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum. Bila dibandingkan dengan praktek penyaluran dana bantuan hukum selama ini melalui POSBAKUM oleh Pengadilan Negeri peran organisasi bantuan hukum jauh lebih besar. Kalau dengan pola yang lama bantuan hukum diberikan oleh pemberi bantuan hukum adalah berdasarkan penunjukan dari pengadilan, ar nya pengadilanlah yang menentukan apakah seseorang tersebut layak untuk menerima bantuan hukum atau dak. Sedangkan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum yang menentukan adalah organisasi bantuan hukum, walaupun tentunya sesuai
Jur
na
lR ec hts V
ind
yang obyek f dan dak berpihak. Sedangkan dalam pasal 18 dikatakana bahwa se ap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu ndak pidana berhak dianggap dak bersalah, sampai dibuk kan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam ayat (2) dikatakan bahwa Se ap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5 Jaminan atas hak kons tusional tersebut belum mendapatkan perha an secara memadai, sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Batuan Hukum. Undang-Undang ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ke dakmampuan untuk mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak kons tusional orang atau kelompok orang miskin.
5
Lihat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
109
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan melihat pen ngnya peran Organisasi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan program bantuan hukum yang harus diimbangi dengan akuntabilitas yang baik, maka dipandang perlu melakukan suatu peneli an norma f mengenai bagaimana membangun akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum. Dalam tulisan ini ada beberapa hal yang dibahas, antara lain mengenai peran organisasi bantuan hukum, penge an akuntabilitas secara umum maupun dalam konteks pelaksanaan bantuan hukum.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam peneli an ini adalah: 1. Bagaimanakah peran organisasi bantuan hukum dalam pemberian bantuan Hukum? 2. Bagaimanakah penerapan dan pengaturan Akuntabilitas Organisasi bantuan Hukum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum?
Jur
na
lR ec hts V
ind
dengan syarat-syarat yang ada dalam UndangUndang. Demikian juga dengan cakupan jenis perkara atau kasus yang dapat dipenuhi oleh dana bantuan hukum yang melipu semua jenis perkara baik pidana, perdata dan tata usaha negara baik li gasi maupun non li gasi. Dalam pasal 2 Undang-Undang Bantuan Hukum dikatakan bahwa bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efek fitas dan akuntabilitas. Dengan semakin luasnya cakupan dana bantuan Hukum dan semakin besarnya peran dan wewenang yang diberikan kepada Organisasi Bantuan Hukum, maka semakin besar juga tanggung jawab Organisasi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Progran Bantuan Hukum tersebut. Itulah sebabnya didalam Undang-Undang Bantuan Hukum diatur syaratsyarat Organisasi Bantuan Hukum yang dapat mengiku program Bantuan Hukum, antara lain bahwa Organisasi Bantuan Hukum tersebut harus berbadan hukum mempunyai kantor, memiliki pengurus yang lengkap dan sudah berpengalaman dalam melaksanakan bantuan hukum. Peran dan wewenang yang lebih besar tentu saja harus diimbangi dengan akuntabilitas yang lebih baik pula. Hal ini disebabkan karena dana bantuan hukum sebenarnya adalah dana masyarakat yang disalurkan pemerintah melalui APBN untuk membantu masyarakat miskin. Dengan demikian organisasi bantuan hukum yang mengiku program ini haruslah akuntabel, ar nya dalam melaksanakan fungsi membantu orang miskin yang menghadapi masalah hukum, Organisasi Bantuan Hukum tersebut harus dapat mempertangung jawabkan kinerjanya kepada orang miskin yang dibantunya dan kepada pemerintah selaku penyedia dana.
110
C. Metode PeneliƟan Tipe peneli an ini adalah norma f, dengan demikian data yang digunakan adalah data sekunder yang akan didapat dari peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka. Peneli an ini bersifat deskrip f analisis, dengan demikian dalam peneli an akan digambarkan serta dianalisis masalah pemberian bantuan hukum Organisasi Bantuan Hukum serta akuntabilitasnya dalam melaksanakan program bantuan Hukum. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berisi aturan mengenai pemberian bantuan hukum kepada masyarakat, antara lain UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku dan bahan pustaka lain yang relevan dengan masalah peneli an.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
D. Pembahasan
BP HN
ind
1. Peran Organisasi Bantuan Hukum Dalam Pemberian Bantuan Hukum
maupun pusat. Dengan perkembangan ini maka organisasi bantuan hukum dak lagi sematamata mengandalkan dana mereka sendiri dalam melaksanakan misinya akan tetapi sudah mendapat bantuan dari pihak lain. Sebagai konsekuensinya tentu saja mereka harus dapat mempertangungjawabkan kinerjanya kepada pihak-pihak yang membantunya demikian juga kepada masyarakat. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dikatakan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum.6 Jasa hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum adalah cuma-cuma dalam ar mereka dak mendapat upah dari pihak yang dibantunya. Akan tetapi pemerintah akan memberikan bantuan dana untuk se ap kasus yang ditangani yang besarnya disesuaikan dengan jenis kasusnya. Dana bantuan tersebut memang dak akan diberikan kepada semua organisasi bantuan hukum akan tetapi hanya kepada organisasi bantuan hukum yang sudah memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Hukum. Karena dana tersebut berasal dari APBN maka tentu saja akuntabilitas organisasi bantuan hukum yang menerima dana tersebut harus dapat dipertanggung jawaban kepada masyarakat. Dalam program bantuan hukum se daknya ada ga pihak yang saling terkait, yakni masyarakat miskin yang menghadapi masalah hukum sebagai penerima bantuan hukum, Organisasi Bantuan Hukum dan Pemerintah. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Bantuan Hukum dikatakan bahwa penyelengaraan
ing
Bahan hukum tersier, berupa bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seper kamus dan ensiklopedia. Karena peneli an ini bersifat deskrip f analisis, maka analisis dalam peneli an ini dilakukan secara kualita f. Analisis dilakukan dengan cara menggambarkan pasal pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis.
Jur
na
lR ec hts V
Organisasi Bantuan Hukum atau lebih sering disebut lembaga bantuan hukum, lahir dengan dilandasi keinginan untuk dapat berperan serta menciptakan keadilan dan persamaan di muka hukum bagi semua warga negara. Pada awalnya organisasi bantuan hukum didirikan dengan swadaya para pendirinya, dengan demikian semua biaya yang dibututuhkan diusahakan sendiri oleh para pendirinya. Organisasi bantuan hukum tersebut berupaya membantu orang-orang yang dak mampu dalam mempertahankan hak-haknya secara hukum baik dalam proses hukum di pengadilan atau li gasi maupun dalam advokasi atau pendampingan di luar pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, ada pihak-pihak yang bersimpa dan mendukung tujuan yang mulia tersebut, sehingga mereka bersedia sebagai penyumbang dana untuk berlangsungnya kegiatan kegiatan organisasi bantuan hukum. Penyumbang dana ini bisa saja dari pihak perorangan, perusahaan bahkan dari pihak pemerintah baik pemerintah daerah
6
Lihat Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
111
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepen ngan pembelaan perkara; dan mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Di samping mempunyai hak-hak, diatur juga mengenai kewajiban (Pasal 10) yakni: melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum; melaporkan se ap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian Bantuan Hukum; menyelenggarakan pendidikan dan pela han Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut; menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Apabila diperha kan pasal-pasal tersebut di atas, maka peranan organisasi bantun hukum adalah sangat pen ng dalam menciptakan persamaan hak di muka hukum, terutama karena perannya untuk membantu orang atau kelompok orang miskin. Jauh sebelum UndangUndang Bantuan Hukum ini ada organisasi bantuan hukum telah banyak berkiprah dalam membantu masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum. Baik dengan biaya sendiri maupun dengan bantuan pihak lain.
Jur
na
lR ec hts V
ind
bantuan hukum bertujuan untuk: menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak kons tusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; menjamin kepas an penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efek f, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan dalam Pasal 4 dikatakan: Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. Yang melipu melipu masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik li gasi maupun nonli gasi. Sedangkan yang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah se ap orang atau kelompok orang miskin yang dak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri (pasal 5). Tidak semua organisasi bantuan hukum yang ada dapat mengiku program bantuan hukum. Agar dapat melaksanakan program bantuan hukum ini maka Organisasi Bantuan Hukum harus memenuhi syarat seper diatur dalam Pasal 8 yakni: berbadan hukum; terakreditasi; memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; memiliki pengurus; dan memiliki program Bantuan Hukum. Agar dapat melakukan perannya dengan baik maka dalam Pasal 9 diatur hak Pemberi Bantuan Hukum yakni: melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum; melakukan pelayanan Bantuan Hukum; menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum; menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum; mengeluarkan pendapat
112
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
(accountability), yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya organisasi, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Akuntabilitas dapat diar kan sebagai kewajibankewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumbersumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.7 Prinsip akuntabilitas terutama berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efek vitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah ditetapkan itu. Aspek yang terkandung dalam penger an akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakankebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas dak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun dak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pen ng dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
lR ec hts V
ind
Tentu saja peran itu dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011, maka peran tersebut semakin dipertegas dan semakin disokong oleh pemerintah, yaitu dengan cara memberikan dana bantuan hukum untuk se ap organisasi bantuan hukum yang memenuhi syarat. Cakupan kasus dan kegiatan yang dibiayai pemerintah pun semakin diperluas yakni semua kasus pidana, perdata dan tata usaha negara baik li gasi dan non li gasi. Dalam non li gasi umpamanya, sesuai dengan Pasal 9 dan penjelasannya akan mecakup konsultasi, penyuluhan hukum, inves gasi kasus, pendokumentasian hukum, peneli an hukum, mediasi, negosiasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini berbeda dengan program bantuan hukum yang ada sebelumya terutama yang disalurkan melalui pengadilan yang terbatas hanya untuk kasus pidana. Dengan semakin besarnya peran ini maka perlu dibangun suatu akuntabilitas bagi para stake holder yang terlibat, terutama orgnisasi bantuan hukum. Karena disamping organisasi bantuan hukum sesungguhya masih terdapat pemangku kepen ngan yang lain umpamanya pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI.
2 . Akuntabilitas Hukum
Organisasi
Bantuan
Jur
na
Is lah akuntabilitas berasal dari is lah dalam bahasa Inggris accountability, yang berar pertanggunganjawab atau keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawaban. Akuntabilitas
7
Syarudin Rasul seperti di kutip oleh Muchlisin Riadi di http://www.kajianpustaka.com/2012/12/teoriakuntabilitas.html (diakses tanggal 23 April 2012).
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
113
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Organisasi Bantuan Hukum diharapkan jujur dalam melakukan bantuan hukum baik li gasi maupun non li gasi, dengan cara melakukannya dengan sungguh-sungguh dan professional. Dengan luasnya cakupan bantuan hukum jangan sampai digunakan untuk mendapatkan dana bantuan hukum tanpa memperha kan tujuan pemberian bantuan hukum tersebut secara serius. Jangan ada keinginan untuk merekayasa suatu perkara atau kegiatan hanya sekedar agar dapat menarik dana bantuan hukum sesuai dengan plafond dana yang sudah ditetapkan sebelumnya atau hanya sekedar mencapai target tapi dak tepat sasaran.
ind
Bantuan Hukum dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”asas akuntabilitas” adalah bahwa se ap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.8 Menurut Syahrudin Rasul, ada 5 (lima) dimensi akuntabilitas,9 kelima dimensi akuntabilitas ini dipandang cocok untuk digunakan kepada lembaga-lembaga publik atau lembaga yang mempergunakan dana publik. Khusus untuk organisasi bantuan hukum yang memenuhi syarat untuk mengiku program dana bantuan hukum, maka kelima dimensi akuntabilitas ini patut menjadi perha an. Adapun kelima dimensi akuntabilitas tersebut adalah sebagai berikut:
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diar kan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability), adalah pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efek f dan efisien. Dalam hubungan ini Organisasi Bantuan Hukum harus dapat mempertangungjawabkan kinerjanya, terutama dalam hubungannya dengan pengelolaan kasus maupun kegiatan bantuan hukum yang sudah diprogramkan sebelumnya. Hal ini juga berkaitan dengan ketersedian sumber daya manusia yang ada dalam Organisasi Bantuan Hukum yakni advokat, para legal, dosen atau pun mahasiwa fakultas hukum yang akan melaksanakan program bantuan hukum tersebut secara langsung maupun sumber daya manusia lainnya yang menjadi suppor ng dalam organisasi bantuan hukum, seper pegawai administrasi, keuangan dan lain-lain.
lR ec hts V
1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality)
2. Akuntabilitas manajerial
Jur
na
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan, korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin ditegakkannya supremasi hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin adanya prak k organisasi yang sehat. Dengan demikian Organisasi Bantuan Hukum harus mematuhi semua aturan yang berlaku yang menjadi dasar pemberian bantuan hukum tersebut, baik yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maupun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang menjadi aturan pelaksanaannya.
8 9
114
Lihat penjelasan Pasal 2 butir (f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Syarudin Rasul seperti di kutip oleh Muchlisin Riadi di http://www.kajianpustaka.com/2012/12/teoriakuntabilitas.html (diakses tanggal 23 April 2012).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
lR ec hts V
ind
Akuntabilitas program juga berar bahwa program-program organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Organisasi Bantuan Hukum harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program tersebut. Sebagai organisasi yang mendapatkan dana dari pemerintah yang nota bene adalah dana masyarakat/publik, maka Organisasi Bantuan Hukum harus membuat program yang baik. Program adalah salah satu tolok ukur penilaian dalam menetukan plafond dana bantuan hukum yang akan diperoleh oleh Organisasi Bantuan Hukum untuk selama satu tahun. Program ini sudah harus diajukan sebelum tahun anggaran yang akan datang kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM. Tentunya program ini harus didasarkan atas evaluasi pelaksanaan progran sebelumnya, serta disesuaikan dengan sumber daya manusia dan jumlah kasus yang sudah ditangani sebelumnya.
BP HN
3. Akuntabilitas program
Bantuan Hukum harus dapat mempertanggung jwabkan kebijakan yang diambil oleh organisasi bantuan hukum mengenai kebijakan dalam menentukan pilihan kasus atau kegiatan dalam rangka pelaksanaan Bantuan Hukum. Dalam pelaksanaan bantuan hukum bisa saja organisasi bantuan hukum berbeda Visi dan Misinya sesuai dengan anggaran dasar masing-masing. Umpamanya ada organisasi bantuan hukum yang hanya bergerak dalam advokasi perempuan dan anak, ada yang lebih fokus pada advokasi kepada kelompok masyakat lemah/rentan, ada yang menolak untuk membela orang yang melakukan kekerasan terhadap wanita dan anak, ada yang dak bersedia membela orang yang terlibat korupsi atau narkoba. Kebijakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Karena dapat saja kebijakan tersebut bertentangan dengan asas-asas bantuan hukum yang lainnya umpamanya mengenai asas keadilan dan persamaan kedudukan di dalam hukum. Organisasi bantuan hukum harus dapat menjelaskan ke ka mereka menetapkan menerima atau menolak mendampingi atau membela seseorang atau sekelompok orang pemohon bantuan hukum.
ing
Karena dana bantuan hukum bersumber dari APBN maka sudah barang tentu harus dikelola dengan pembukuan yang baik. Untuk itu se ap organisasi bantuan hukum diwajibkan untuk membuat pembukuan dengan standar akuntasi yang baik.
na
4. Akuntabilitas kebijakan
Jur
Lembaga-lembaga Bantuan Hukum hendaknya dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan memper mbangkan dampaknya. Dalam membuat kebijakan harus diper mbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu dilakukan. Dalam kaitan ini Organisasi
5. Akuntabilitas financial
Akuntabilitas ini merupakan pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik atau lembaga yang menggunakan dana publik untuk menggunakan dana publik (public money) secara ekonomis, efisien dan efek f, dak ada pemborosan dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas financial ini sangat pen ng karena menyangkut dana publik yang dipercayakan kepada organisasi bantuan hukum untuk membantu orang miskin yang menghadapi masalah hukum. Adalah sangat dak terpuji apabila dana yang seharusnya untuk orang
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
115
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Hukum bukan organisasi yang langsung memberikan bantuan kemanusiaan dalam ar kepada masyarakat yang mengalami bencana alam akan tetapi hakekat dan tujuannya adalah sama yakni untuk membantu orang yang dak mampu dalam menghadapi suatu masalah. Oleh karena itu prinsip-prinsip akuntabilitas dibawah ini menurut penulis dapat dijadikan acuan dalam rangka membangun akuntabilitas organisasi bantuan hukum: 1. Independensi, bahwa Organisasi Bantuan Hukum adalah otonom dan bebas dari pengaruh dan kepen ngan-kepen ngan pemerintah, partai poli k, donor/lembaga penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun yang dapat menghilangkan independensi organisasi dalam ber ndak bagi kepen ngan masyarakat atau orang miskin yang dibelanya. Hal ini hendaknya diterapkan oleh Organisasi Bantuan Hukum yang mendapat dana dari program bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah. Dapat saja suatu organisasi bantuan hukum berafilisasi dengan organisasi atau partai poli k tertentu, akan tetapi apabila dia mengiku program bantuam hukum sesuai dengan undang-undang bantuan hukum hendaknya organisasi bantuan hukum tersebut tetap independen. 2. Komitmen Organisasi, bahwa Organisasi Bantuan Hukum memiliki perangkat kebijakan yang jelas dan tegas terkait kualitas dan akuntabilitas untuk dapat diterapkan dalam pelaksanaan Bantuan Hukum. 3. Kompetensi, bahwa Organisasi Bantuan Hukum memiliki dan mengembangkan
lR ec hts V
ind
miskin ini diselewengkan, umpamanya dengan cara membuat kasus-kasus fik f yang bisa saja dibuat pertanggungjawabannya secara formal tapi secara materil kasus tersebut adalah adalah rekayasa. Dalam sistem pendanaan bantuan hukum yang akan segera dilaksanakan, bantuan untuk se ap kasus atau kegiatan bantuan hukum akan ditentukan besarnya oleh Menteri Hukum dan HAM dengan persetujuan Menteri Keuangan. Dengan demikian penarikan dana oleh organisasi bantuan hukum akan dilakukan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan menteri. Dalam penarikan dana tersebut harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, yaitu adanya buk buk pelaksanan bantuan hukum yang telah dilakukan oleh organisasi bantuan hukum. Dengan syarat-syarat administra f yang akan ditetapkan sebelumnya dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM, maka se ap penarikan dana atau reimbursment akan dibayarkan oleh pemerintah. Tentu saja penggunaan dana tersebut akan dilaporkan secara berkala kepada kementerian Hukum dan HAM selaku penyelenggara bantuan hukum. Selanjutnya Menteri akan melaporkan secara keseluruhan se ap akhir tahun anggaran kepada DPR sebagai buk pertanggungjawaban sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) e Undang-Undang Bantuan Hukum.10
Jur
na
Disamping kelima dimensi tersebut di atas menurut Humanitarian Forum, Indonesia ada 13 prinsip akuntabilitas yang cocok untuk lembaga yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan.11 Walaupun Organisasi Bantuan
10 11
116
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011. http://accountability.humanitarianforumindonesia.org (diakses tanggal 23 April 2013).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
dan perbaikan pelaksanana bantuan hukum. 12. Kemandirian, bahwa Organisasi Bantuan Hukum mampu melakukan upaya-upaya mobilisasi sumber daya dan dana yang dak menimbulkan ketergantungan. Ar nya organisasi bantuan hukum dak semata mata hanya menggantungkan ak vitasnya dari dana bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah. 13. Keberpihakan Terhadap Kelompok Rentan, bahwa Organisasi memiliki keberpihakan yang jelas kepada kelompok rentan (masyrakat miskin yang berhadapan dengan penguasa atau pun pihak yang berkuasa).
ind
kapasitas yang relevan dalam pengelolaan bantuan Hukum sesuai standar bantuan hukum. 4. Non-Diskriminasi, bahwa Organisasi Bantuan Hukum hendaknya selalu menerapkan asas dak membedakan orang menurut jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran poli k. 5. Par sipasi, bahwa Organisasi melibatkan pemangku kepen ngan terkait dan penerima manfaat dalam semua tahapan pengelolaan bantuan hukum. 6. Transparansi, bahwa Organisasi menyediakan informasi yang jelas dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan keberadaan organisasi bantuan hukum dan pengelolaan bantuan hukum. 7. Koordinasi, bahwa Organisasi bantuan hukum berkomunikasi dengan pemangku kepen ngan dan organisasi bantuan hukum lainnya melalui wadah koordinasi yang ada dalam pengelolaan bantuan hukum. 8. Pembelajaran dan Perbaikan, bahwa se ap pengalaman yang pernah dialami dalam pengelolaan bantuan hukum menjadi bahan pembelajaran untuk perbaikan. 9. Kemitraan, bahwa Kerjasama dalam pelaksanaan bantuan hukum dilakukan dengan asas kesetaraan. 10. Non-Proseli s, bahwa Organisasi bantuan hukum dak melakukan upaya penyebarluasan agama, keyakinan, paham, dan ideologi poli k melalui bantuan hukum. 11. Mekanisme Umpan Balik, bahwa Organisasi bantuan hukum memiliki mekanisme untuk menerima saran, kri k dan tanggapan dari pemangku kepen ngan untuk peningkatan
3. Akuntabilitas dan Konsekuensinya
Jur
na
lR ec hts V
Kata kunci yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan kewajiban dan kewajiban datang bersama konsekuensi.12 Akuntabilitas itu adalah pertangungjawaban terhadap apa yang sudah dilaksanakan sesuai dengan dana yang disediakan oleh pemerintah. Apabila pertanggung jawaban itu dapat diterima karena sesuai dengan program yang telah diajukan maka organisasi bantuan hukum akan mendapat nilai yang baik. Hal ini akan mempengaruhi besaran dana yang akan diterima oleh organisasi bantuan hukum tersebut untuk selanjutnya. Akan tetapi apabila akuntabilitasnya dianggap rendah maka sebagai konsekuensinya adalah kemungkinan pengurangan dana yang disediakan untuk membiayai program bantuan hukum pada waktu yang akan datang bahkan kemungkinan dak
12
Syarudin Rasul seperti di kutip oleh Muchlisin Riadi di http://www.kajianpustaka.com/2012/12/teoriakuntabilitas.html (di akses tanggal 23 April 2012).
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
117
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
E. Penutup 1. Kesimpulan
ing
Peran organisasi bantuan hukum dalam turut serta menciptakan keadilan dan persamaan di muka hukum sangatlah pen ng. Hal ini diakui oleh pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Melalui undang-undang ini Pemerintah memberikan peran yang lebih besar kepada Organisasi Bantuan Hukum untuk turut dalam pencapaian cita cita bangsa di bidang hukum yakni equality befote the law. Is lah akuntabilitas berasal dari is lah dalam bahasa Inggris accountability yang berar pertanggunganjawab atau keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawaban. Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya organisasi, sesuai tugas dan kewenangannya masingmasing. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 sudah mengan sipasi akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum yang memperoleh dana bantuan hukum. Dengan cara menetapkan syarat-syarat yang ketat untuk organisasi bantuan hukum yang akan berpar sipasi dalam program bantuan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah. Hal itu dimulai sejak penda aran peserta dan adanya verifikasi faktual. Kemudian penilaian atas berkas permohonan yang diajukan dan penetapan kategori untuk se ap organisasi bantuan hukum. Di samping itu juga adanya mekanisme pelaporan dari organisasi bantuan hukum dan adanya pengawasan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Jur
na
lR ec hts V
ind
diikutsertakannya organisasi bantuan hukum yang bersangkutan pada program bantuan hukum selanjutnya. Acuan akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum yang mengiku program bantuan hukum tentu saja adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan semua peraturan pelakasanaannya. Kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan bantuan hukum tersebut diberikan kepada Menteri Hukum dan HAM, berdasarkan Pasal 7 yang menyatakan bahwa Menteri berwenang mengawasi dan memas kan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang; dan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum.13 Sedangkan pada Pasal 20 diatur mengenai larangan untuk menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. Pada Pasal 21 dikatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum yang terbuk menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ancaman pidana seper ini adalah salah satu upaya yang dilakukan utuk membangun akuntabilitas organisasi bantuan hukum.
13
118
Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 107-119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Buku:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Panduan Verifikasi/Akreditasi Organisasi Bantuan Hukum, Implementasi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pani a Verifikasi/ Akreditasi Organisasi Bantuan Hukum (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2013). Rawls, John, Teori keadilan, Dasar-dasar Filsafat Poli k Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Soekanto, Soerjono, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum di Indonesia, Hak Untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara (Jakarta: Penerbit Elex Media Kompu ndo, 2011).
ind
Akuntabilitas organisasi bantuan hukum harus dibangun dengan membuat peraturan yang lebih rinci dalam hal sistem pelaporan keuangan, laporan kinerja mengenai penyelesaian suatu kasus dan pelaksanaan program yang diajukan sebelumnya. Mengingat luasnya cakupan kasus dan kegiatan yang dilingkup dana bantuan hukum dan banyaknya organisasi bantuan hukum yang tersebar di seluruh Indonesia, maka mekanisme pengawasan harus melibatkan pihak-pihak yang ada di daerah seper Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI maupun Pemerintah Daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas organisasi bantuan hukum, maka perlu segera diundangkan Peraturan mengenai standar bantuan hukum. Sesuai dengan pasal 4 ayat (3) bu r c UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menyatakan menteri (Menteri Hukum dan HAM) menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asasasas pemberian Bantuan Hukum. Standar Bantuan Hukum tersebut akan menjadi acuan dalam menilai akuntabilitas organisasi bantuan hukum.
BP HN
DAFTAR PUSTAKA
ing
2. Saran
Internet:
lR ec hts V
http://www.kajianpustaka.com/2012/12/teoriakuntabilitas.html h p://accountability.humanitarianforumindonesia. org/PedomanAkuntabilitas/PrinsipPrinsipAkun tabilitas.aspx
Peraturan:
Jur
na
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan.
Membangun Akuntabilitas Organisasi Bantuan Hukum (Mosgan Situmorang)
119
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
PERAN PENELITIAN HUKUM YANG DILAKSANAKAN OLEH ORGANISASI BANTUAN HUKUM DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUKUM
(The Role of Legal Research Implemented by Legal Aid Organiza on to Support Law Development) Marulak Pardede Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta Timur Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 11 April 2013; revisi: 13 April 2013; disetujui: 15 April 2013
lR ec hts V
ind
Abstrak Salah satu program kegiatan lain yang merupakan hak dari Organisasi Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 9C UndangUndang No. 16 Tahun 2011 adalah kegiatan peneli an hukum sehubungan dengan pelaksanaan bantuan hukum. Tulisan ini membahas bagaimanakah peran peneli an hukum yang dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum dalam mendukung pembangunan hukum. Dengan menggunakan pendekatan bersifat yuridis norma f serta metode analisis data kualita f (deskrip f-anali s) terlihat bahwa peranan peneli an hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum, sangat pen ng dalam mendukung pembangunan sistem hukum nasional, untuk mengungkapkan data ilmiah yang menyangkut aspek-aspek filosofis, yuridis, sosiologi, ekonomi, maupun poli k yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum sebagai bahan kebijaksanaan pembangunan hukum, karena banyak hasil-hasil peneli an hukum yang dilakukan oleh berbagai lembaga peneli an hukum di daerah, dak sepenuhnya terakumulasi dalam penentuan kebijakan hukum di pusat sesuai dengan semangat otonomi daerah. Untuk itu, dalam pelaksanaan bantuan hukum perlu dikembangkan peneli an terapan yang norma f dan interdisipliner dalam mendukung penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam rangka pelaksanaan bantuan hukum dan pembangunan hukum nasional, serta penyempurnaan dan pemantapan kerja sama peneli an dan pengembangan hukum dengan berbagai instansi termasuk Organisasi Bantuan Hukum dan perguruan nggi serta lembaga peneli an nasional, maupun internasional. Kata kunci: peneli an hukum, organisasi bantuan hukum, pembangunan hukum
Jur
na
Abstract One of other ac vi es program which is rights of legal aid organiza on based on Ar cle 9C, Law Number 16 Year 2011 is law research in concerning with law aid implementa on. this paper discusses about how the role of legal research which implemented by legal aid organiza on in support of law development. by using juridical norma ve approach well as qualita ve data analysis shows that the role of legal research which conducted by legal aid organiza on, important in support the na onal law system development, to reveal scien fic data concerning philosophical aspects, juridical, sociology, economics and poli cs could be influencing law development as law policies, as many result of legal research which implemented by legal research ins tu on in region, not en rely accumulated in law policies making center in according to regional autonomy spirit. for it, the implementa on of legal aid needs to be of applied norma ve research and interdisciplinary in suppor ng policy se ng and decision making in the implementa on of legal aid and na onal law development, as well as improving and strengthening of research coopera on and law development with others ins tu on, including organiza on on law aid, university, na onal research ins tu on and interna onal. Keywords: legal research, legal aid organiza on, legal development
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
121
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Pembentukan suatu peraturan perundangundangan yang dak dilandasi dengan suatu perencanaan dan peneli an yang matang, diyakini dak akan mampu bertahan lama dan dak mampu menjawab perubahan zaman. Pembangunan hukum akhir-akhir ini dirasakan semakin dak lagi di kberatkan pada langkah strategis dalam meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup materi atau substansi hukum baik yang tertulis maupun dak tertulis (legal substance), struktur atau kelembagaan hukum yang juga mencakup aparatur hukum (legal structure) dan budaya hukum, legal culture. Dalam perkembangannya saat ini pembangunan hukum dirasakan semakin berorientasi kepada kepen ngan sesaat (jangka pendek) masingmasing kelompok, golongan, partai poli k, dan berbagai kepen ngan lainnya. Sejalan dengan kebijakan pembangunan hukum ini ada hal yang patut diperha kan, yaitu apa yang dikatakan oleh Gunther Teubner,1 "Substan ve and Reflexive Elements in Modern Law”, Law and Society Review, bahwa: "Legal development is not iden fied exclusively with the unfolding of norms, principles, and basic concepts of law. Rather, it is determined by the dynamic interplay of social forces, ins tu onal constraints, organiza onal structures, and last but not least–conceptual poten als”. Pembangunan hukum bukan sekedar pembangunan atau pembaruan materi atau substansi hukumnya semata-mata, melainkan merupakan pembaharuan orientasi dan nilai yang melandasi aturan hukum termasuk juga elemen terkait lainnya, yakni struktur hukum
dan budaya hokum, karena aturan tersebut perlu dilaksanakan dan ditegakkan sebaik-baiknya oleh segenap aparat hukum, didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai dan juga ditaa oleh masyarakat yang memiliki kesadaran hukum yang nggi. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diharapkan akan mengakhiri maraknya gugatan perundangundangan yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat kepada Mahkamah Kons tusi. Pengajuan gugatan ke Makhamah konsitusi, merupakan pertanda bahwa terdapat ke dakberesan dalam penyusunan suatu Undang-Undang yang dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah. Gugatan tersebut mengemuka sehubungan dengan telah terjadinya ke dak sinkronan, ke dakselarasan antara undang-undang dengan UUD 1945. Menjadi persoalan, mengapa masalah tersebut sampai terjadi? Apakah yang dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah telah memenuhi asas-asas hukum mengenai pembentukan suatu peraturan perundang-undangan? Berbagai perundangundangan baru saja dilahirkan, akan tetapi sudah harus disempurnakan kembali? Apakah proses penyusunan perundang-undangan tersebut telah didahului dengan suatu peneli an hukum? Bagaimanakah tanggungjawab pembuat Undang-Undang, apabila hasil pekerjaannya dianulir oleh Makhamah Kons tusi? Per mbangan dan latar belakang pembuatan suatu undang-undang, sangat kental dipengaruhi oleh muatan poli s pada saat dibuatnya, yaitu hukum dipakai sebagai alat untuk mengabsahkan
ing
A. Pendahuluan
1
2
122
Gunther Teubner, Substantive and Reϔlexive Elements in Modern Law, Law and Society Review (London Press, 1983), hlm. 156-158. John Henry Marryman, The Civil Law Tradition (Standford: California Press, 1969), hlm. 1-8.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ini, pemberi bantuan hukum, dalam hal ini Organisasi Bantuan Hukum, diberikan hak untuk melakukan kegiatan peneli an hukum, yang tentunya dalam kaitannya dengan penyelenggaraan bantuan hukum itu sendiri, dalam ar sempit dan pembangunan hukum nasional dalam ar luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, tentang peran peneli an hukum yang dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum dalam mendukung pembangunan hukum sebagai implementasi Pasal 9c Undang-Undang dimaksud.
B. Permasalahan
ind
ndakan. John Henry Marryaman mengemukakan bahwa strategi pembangunan hukum yang ortodoks berciri adanya peranan yang sangat dominan dari pemerintah dan parlemen, dalam menentukan arah perkembangan hukum. Hukum yang dihasilkan seper ini bersifat posi visinstrumentalis.2 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka Negara Republik Indonesia dengan tegas menjamin hak kons tusional se ap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepas an hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Negara juga bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Disamping itu, pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.3 Menyoro salah satu program kegiatan lain yang merupakan hak dari Organisasi Bantuan hukum, adalah masalah kegiatan peneli an hukum. Masalah ini dipandang cukup menarik, mengingat fungsi dan tugas Organisasi Bantuan Hukum selama ini sebagaimana dituangkan di dalam berbagai peraturan perundangundangan, adalah memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan jasa pengacara maupun advokat. Namun dengan
lR ec hts V
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang diteli dalam peneli an ini, dapat dikemukakan sebagai berikut, yaitu: 1. Mengapa peneli an hukum sangat berperan pen ng didalam pembentukan peraturan perundang-undangan, serta pembangunan hukum pada umumnya? 2. Bagaimanakah peran peneli an hukum yang dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum dalam mendukung pelaksanaan pembangunan hukum?
na
Metode peneli an yang dipergunakan dalam pelaksanaan peneli an ini, dikemukakan sebagai berikut :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Pasal 25 menegaskan, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada tanggal 31 Oktober 2011. Diundangkan Di Jakarta, Pada tanggal 2 November 2011. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 15.
Jur
3
C. Metode PeneliƟan
4
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
123
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
5. Metode Analisis Data. Metode analisis data yang dipergunakan dalam peneli an ini adalah kualita f. Data yang berupa angka sedapat mungkin disajikan dalam bentuk kualita f. Sifat dan Bentuk Laporan peneli an ini, adalah deskrip f-anali s.
D. Pembahasan
ind
2. Spesifikasi Peneli an Sejalan dengan maksud dan tujuan peneli an yang ingin dicapai, maka pe peneli an ini adalah deskrip f, yaitu memberikan gambaran (deskripsi) secermat mungkin mengenai obyek peneli an dengan pemilihan bahan yang representa f. Tipe perencanaan peneli an adalah peneli an hukum norma f, dalam penger an sebagaimana dimasudkan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, yaitu peneli an yang melipu asas-asas hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum.4
literatur yang berhubungan dengan objek peneli an, termasuk peneli an norma f mengenai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan peneli an. b. Studi Dokumen (Documentary Studies) dari bahan primer dan sekunder.
ing
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam pelaksanaan peneli an ini adalah bersifat yuridis norma f.
Peneli an hukum merupakan penilaian, penelaahan terhadap ngkah laku yang disebut hukum, yaitu mengenai penger an-penger an yang benar, mengenai keterpaduannya secara logis sebagai suatu sistem yang bebas dari pertentangan-pertentangan di dalam dirinya. Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Apabila berbicara tentang nilai, maka disitu telah masuk kegiatan menilai dan memilih. Keadaan yang demikian inilah yang memberikan arah tertentu kepada jalannya hukum disuatu negara. Sejak kedudukan negara dalam ar an modern semakin kokoh, maka peranan hukum semakin pen ng, yaitu sebagai sarana untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan negara. Proses penegakan hukum pada suatu masa dapat berbeda karena perkembangan masyarakatnya. Dalam masa reformasi poli k mengalami perubahan yang berakibat hukum pun perlu diubah, karena hukum dibentuk sesuai dengan kemauan poli k hukum suatu negara. Apabila tatanan poli k suatu negara
Jur
na
lR ec hts V
3. Bahan Peneli an Adapun bahan-bahan peneli an yang dipergunakan dalam peneli an ini adalah: a. Bahan Primer, yang mencakup peraturan perundang-undangan yang berlaku, yurisprudensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan peneli an; b. Bahan Sekunder, terdiri dari hasil-hasil peneli an yang telah ada sebelumnya yang terkait dengan permasalahan peneli an; kepustakaan, termasuk bahan dan hasil seminar dan konferensi-konferensi serta ulasan mass-media, termasuk ulasan dalam majalah hukum, majalah populer dan surat kabar yang berkaitan dengan objek peneli an; c. Bahan Tersier, yang terdiri dari Kamus Hukum, Ensiklopedi dan Kamus Pendukung lainnya.
1. Peran PeneliƟan Hukum Dalam Strategi Pembangunan Hukum
4. Alat Peneli an yang dipergunakan dalam peneli an ini adalah: a. Studi kepustakaan/norma f (Library Studies), yaitu mempelajari berbagai
124
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
ke dak jelasan isi peraturan itu sendiri. Keadaan ini tentu menimbulkan kecemasan bagi masa depan pembangunan hukum, sehingga poli calwill pemerintah dipandang sangat perlu untuk menegakkan kembali supremasi hukum seiring dengan bergulirnya era reformasi hukum; era globalisasi serta keinginan yang cukup kuat dari berbagai daerah untuk mewujudkan otonomi daerah. Menilik pelaksanaan pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia yang telah terlaksana selama lebih dari kurun waktu setengah abad, tampaknya makin amburadul. Alih-alih mengharapkan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, kenyataannya justru menghasilkan sebaliknya, profil masyarakat makin bringas, koruptor semakin merajalela, mafia hukum dimana-mana, penyalahgunaan wewenang semakin semenamena, serta ndakan main hakim sendiri semakin meruyak. Pembangunan hukum dak berjalan sesuai dengan harapan akan fungsi dan peranan hukum dalam membawa perubahan sikap masyarakat secara menyeluruh. Kondisi ini boleh dikatakan terjadi pada keseluruhan aspek pembangunan hukum, mulai dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan sampai kepada penegakan hukum. Hukum menjadi alat untuk melaksanakan ideologi dan program negara. Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri sistem civil Law/tradisi hukum kon nental), dan socialist law (hukum sosialis), dimana peranan pengusaha/pemerintah dan parlemen sangat berpengaruh. Pada abad ke-12, di Inggris, pembangunan hukum responsif dimana pada
Jur
na
lR ec hts V
ind
mantap akan berakibat hukum bersifat otonom.5 Hukum di negara berkembang menurut Nonet dan Selznick, bahwa pada waktu suatu negara mengalami kemerdekaan, maka hal yang harus dibenahi adalah penyusunan tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan poli k secara baik. Selama aspek tersebut masih perlu ditata, maka hukum pun akan sering mengalami perubahan, sesuai keinginan penguasa.6 Kondisi tersebut diatas mengakibatkan pemahaman masyarakat terhadap penegakan hukum dalam era reformasi ini, semakin menimbulkan kebingungan karena beraneka ragamnya pendapat yang dilontarkan oleh berbagai kalangan yang mengaku dirinya pakar (ahli) di bidang hukum terhadap masalah hukum yang sedang berkembang. Disatu sisi ada yang mengemukakan pendapat, namun di sisi lain ada yang menyangkal. Hal ini sangat tentu membingungkan masyarakat awam, untuk mengetahui pendapat mana yang benar dan harus diturut, terutama karena secara gamblang disebarluaskan oleh media massa surat kabar maupun elektronika. Misalnya, acara-acara aneka dialog, diskusi terbatas, derap hukum, dan berbagai acara lainnya mengenai persoalan hukum. Kondisi ini telah melahirkan kesimpangsiuran penger an hukum di kalangan masyarakat. Akhir-akhir ini berbagai perundang-undangan dirasakan masih dihadapkan kepada berbagai kendala, antara lain: terjadi perbedaan penafsiran diantara sesama aparatur penegak hukum, Organisasi Bantuan Hukum (prak si/ pengacara), teori si; perbenturan kepen ngan; dis-sinkronisasi antar perundang-undangan; dan
5 6
Myrda, Penelitian Terhadap Hukum Negara Berkembang (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hlm. 219-220. Nonet & Selznick, Law and Society in Trantition (New York: Harper Colophon Books, 1978), hlm. 25.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
125
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
tekanan, seper krisis di Indonesia akibat perubahan poli k tuntutan reformasi. Di dalam sejarah penyusunan kons tusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa dan mengatur jalannya pemerintahan, dalam perkembangannya dak lagi hanya memuat aturan hukum, melainkan juga merumuskan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan yang kesemuanya mengikat penguasa. Sir Ivor Jennings dalam bukunya The Cabinet Government,10 menerangkan prinsip-prinsip kons tusi: ”Prac ces turn into conven ons and precedents create rules because they are consistent with and are implied in the principles of the cons tu ons. Of these, there are four of major improtance. The Bri sh Cons tuions is democra c; it is parliamentary; it it monarchical; and it is a cabinet system”. Disamping itu, menurut Lord Bryce sebagaimana diku p oleh C.F.Strong dalam bukunya Modern Poli cal Cons tu ons,11 merumuskan kons tusi sebagai: ”A frame of poli cal society, organised through and by law, that is to say, one in which law has established permanent ins tu ons with recognised func ons definite rights”. Kons tusi dibuat dan diubah untuk menjamin hak-hak rakyat untuk mengendalikan ngkah laku penguasa, mencegah perbuatan sewenang-wenang. Pemerintah dalam ar luas harus mempunyai kekuasaan perundang-undangan (Legisla ve power), kekuasaan pelaksanaan (Execu ve
Jur
na
lR ec hts V
ind
akhirnya hukum adat mempunyai posisi yang kuat.7 Timbulnya keraguan terhadap keberadaan hukum, karena keadilan yang merupakan salah satu prinsip utama dari hukum, dak terpenuhi. Prinsip keadilan dak pernah berubah, keadilan yang dirumuskan para filsuf secara berbedabeda, namun tujuannya adalah agar tercapai keseimbangan dalam penerapannya, yaitu keseimbangan antara nilai-nilai secara ideal dan kenyataan dimana hukum dioperasikan. Aristoteles memberikan pendapat tentang keadilan, bahwa keadilan ada dimana-mana, dan dak lahir karena pemikiran, dan bersifat in-different, tetapi apabila keadilan ditetapkan, maka akan berakibat adanya tanggung jawab, seper sanksi dalam suatu pelanggaran norma.8 Pada abad pertengahan, Thomas Aquino mengemukakan, bahwa keadilan adalah pertentangan antara hukum sorgawi dan duniawi, yang dinyatakan dalam pertentangan antara akal pikiran dan tatanan dan keter ban yang dipaksakan sesuai dengan pikiran Hugo Gro us dan Rousseau. Abad keduapuluhan bangkit kembali pemikiran hukum alam sebagai akibat pada abad kesembilanbelas orang mengandalkan pemikiran secara empiris.9 Timbulnya pemikiran empiris terlihat dalam kehidupan hukum di negara modern, seper Eropa, USA sebagai negara industri maju, karena dinamika kehidupannya rela f stabil dan terkendali. Nilainilai yang mendasari pemikiran tentang keadilan akan mbul kembali apabila manusia mengalami
7
8 9
10 11
126
Narrington Moore, The Social Origins of Divtatorschip and Democracy. Lord and Peasant in the Making of Modern World (Boston: Beacon, 1966), hlm. 1-30. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1966), hlm 170-173. Lawrennt M. Friedmann, Rivival of Natural Law Theories (New York: Publishers, 1953), hlm. 29-69. Sir Ivor Jennings, The Cabinet Government (New York: West Publishing Company, 1990), hlm. 69. C.F.Strong, Modern Political Constitutions (London: Mac Millan And Company Limited, 1961), hlm. 215.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
sendiri. Hal ini tercermin dari cukup banyaknya kasus sengketa perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Kons tusi karena bertentangan dengan kons tusi. Disamping itu juga, disinyalir Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan cukup banyak Peraturan Daerah (Perda), dan akan menyusul Perda-Perda lainnya.13 Pembangunan Hukum merupakan suatu proses yang mencakup komponen-komponen, yakni: materi hukum, aparatur hukum, budaya dan kesadaran hukum masyarakat, sarana dan prasarana hukum. Maka upaya pembinaan terus menerus di sektor aparatur hukum, termasuk dalam hal ini Organisasi Bantuan Hukum yang melakukan peneli an hukum, adalah merupakan salah satu tugas pembangunan Bidang Hukum itu sendiri. Organisasi Bantuan Hukum yang melakukan peneli an hukum, dapat berperan sebagai aparatur pelaksana pembangunan hukum, mempunyai kebutuhan khusus yang pada dasarnya belum dapat tertangani sepenuhnya oleh lembaga formal yang ada. Untuk mewujudkan aparatur peneli hukum yang baik diperlukan sistem pembinaan yang memadai, antara lain perlu adanya suatu wahana untuk mengembangkan krea vitas para peneli itu sendiri. Sebab, Organisasi Bantuan Hukum sebagai peneli dituntut untuk terus berkarya sebagai prasyarat eksistensi dan peningkatan karirnya. Oleh karena itu, wahana penunjang yang dapat membantu pembinaan para peneli hukum seper forum-forum ilmiah secara periodik untuk mempresentasikan hasilhasil kajian dan peneli an, penerbitan, jurnal hukum, bule n kegiatan perlu tersedia.
Jur
na
lR ec hts V
ind
power), dan kekuasaan peradilan (Judicial power). Salah satu pasal undang-undang dimaksud yang berkaitan dengan pembinaan dan pembangunan hukum, sangat perlu disimak dan dikaji lebih mendalam adalah ketentuan Pasal 9, yang antara lain menegaskan, bahwa Pemberi Bantuan Hukum berhak: (c) menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum. Di dalam penjelasan Pasal 9 huruf (c), dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum” adalah program: inves gasi kasus, pendokumentasian hukum, peneli an hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Era reformasi yang dewasa ini sedang dijalani oleh bangsa dan Negara Republik Indonesia, telah memberikan peluang bagi proses transformasi atau perubahan struktural disegala bidang. Hal tersebut ditandai dengan bergulirnya proses demokra sasi yang semakin tumbuh dan berkembang, pemberdayaan dan par sipasi masyarakat dalam berbagai bidang, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepo sme serta penghormatan hak-hak asasi manusia.12 Namun demikian, sampai saat ini, berbagai peraturan perundangundangan, dirasakan masih dihadapkan kepada berbagai kendala, antara lain: terjadi perbedaan penafsiran diantara sesama aparatur penegak hukum, prak si, teori si; perbenturan kepen ngan; dis-sinkronisasi antar perundangundangan; dan ke dak jelasan isi peraturan itu
12
13
Idup Suhady dan Desi Fernanda, Dasar-Dasar Good Governance (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia, 2005), hlm. 1. http://www.depdagri.go.id.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
127
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
lembaga aparat penegak hukum yang ada saat ini untuk menyelesaikan sengketa yang mbul di dalam masyarakat. Di lain negara pada saat ini dikenal beberapa bentuk lembaga hukum penyelesaian sengketa, yaitu: badan-badan pengadilan, badan-badan arbitrase, badanbadan mediasi dan konsiliasi, mini-trial, dan lain-lain. Lembaga-lembaga pengadilan dan pemutusan perkara (conflict resolu on) ini tumbuh, oleh karena asas negara hukum yang terpen ng menyatakan bahwa " ada seorang pun boleh menghakimi perkaranya sendiri". Disamping itu, untuk mendapatkan gambaran yang obyek f dan yang mendeka kebenaran, hakim atau wasit atau mediator, konsiliator, dan lain-lain harus memegang teguh asas audi at alteram partem atau kewajiban untuk juga mendengar pendapat pihak lawan. Itulah sebabnya baik peradilan, badan arbitrase, mediasi atau konsultasi itu menghadirkan "orang
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pasal 19 Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan, menegaskan bahwa: (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan UndangUndang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Selanjutnya di dalam Bab V Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang, Pasal 43, menegaskan bahwa: (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Selanjutnya, Dalam Lampiran I Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan tentang Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undangundang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, antara lain disebutkan, bahwa: Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Abdurrahman dkk, Beberapa Pemikiran Teuku Mohammad Radhie Tentang Pembaruan Hukum di Indonesia, dalam buku Kumpulan Tulisan Mengenang Teuku Mohammad Radhie (Jakarta: Penerbit Universitas Tarumanagara UPT Penerbitan, 1993), hlm. 58.
Jur
na
14
lR ec hts V
ind
Antara hukum dan pembangunan terdapat suatu inter-relasi yang erat, dan oleh karenanya se ap proses pembangunan hukum akan mensyaratkan pula terjadinya proses pembangunan hukum.14 Proses pembaruan hukum ini hanya akan terselenggara dengan baik apabila dibantu dengan pengkajian dan peneli an permasalahan hukum, yaitu berupa keseluruhan ak vitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasi, menganalisis dan menginterpretasikan faktafakta serta hubungan-hubungan di lapangan hukum, yang berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dapatlah dikembangkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi fakta dan hubungan tersebut.15 Pembentukan lembaga-lembaga hukum baru, antara lain: Dewan Komisi Hukum Nasional, Ombudsman, dan lembaga lainnya adalah sebagai pertanda dak berfungsinya
15
128
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ke dakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak kons tusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak kons tusional orang atau kelompok orang miskin. Beberapa pokok materi yang diatur dalam UndangUndang ini antara lain mengenai: penger an Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana. Pada Konfrensi pers nya FOKUS (Forum Akses Keadilan untuk Semua (FOKUS) yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH APIK, PBHI, ILRC, LBH Pers, Perkumpulan Huma, LBH ASPEK, LKBH FH UNKRIS, LKBH FH UPH, LKBH FH UNPAD, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Arus Pelangi, dan Rumah Singgah Master Depok),16 memandang terdapat beberapa permasalahan yang krusial dalam implementasi bantuan hukum paska disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Jur
na
lR ec hts V
ind
atau fihak ke ga" untuk mendengar keluhan dari kedua pihak, agar dapat memutuskan atau mendamaikan dengan cara sebaik-baiknya. Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Poli k (Interna onal Covenant on Civil and Poli cal Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepen ngankepen ngan keadilan, dan 2) dak mampu membayar Advokat. Meskipun Bantuan Hukum dak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi se ap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara miskin, merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jus ce) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak kons tusional tersebut belum mendapatkan perha an secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara
16
Forum Akses Keadilan untuk Semua (FOKUS) yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH APIK, PBHI, ILRC, LBH Pers, Perkumpulan Huma, LBH ASPEK, LKBH FH UNKRIS, LKBH FH UPH, LKBH FH UNPAD, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Arus Pelangi, dan Rumah Singgah Master Depok : ”Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum”, Jakarta, 2013.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
129
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
itu, perlu komitmen yang sama dari para aparat peradilan bahwa mereka adalah benar-benar mencari keadilan melalui proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga di sini dituntut adanya Supreme of Moral, di samping Supreme of Law. Menurut Satjipto Rahardjo,17 hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, sehingga hukum dak bisa lagi dikatakan sebagai hukum, manakala ia dak pernah dilaksanakan. Apa yang dijanjikan oleh hukum, pada akhirnya akan menjadi kenyataan melalui manusia-manusia sebagai penegak hukum yang benar-benar menempa kedudukan yang pen ng dalam proses pelaksanaannya. Akan tetapi kita dak bisa menutup mata terhadap kenyataan, bahwa para penegak hukum sebagai kategori manusia dan bukan sebagai jabatan, akan cenderung untuk memberikan penafsirannya sendiri terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakannya sesuai dengan ngkat dan jenis pendidikannya, kepribadiannya dan masih banyak faktor lainnya yang berpengaruh. Suatu pandangan yang hidup dikalangan masyarakat, bahwa hukum itu dijalankan persis sama dengan apa yang tercantum dalam peraturannya; padahal dalam kenyataannya, antara ketentuan hukum yang tercantum dengan pelaksanaannya,terlaluseringterdapatperbedaan dan pada akhirnya selalu mendatangkan masalah. Kata ”masalah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,18 diar kan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Dalam kaitan inilah ar pen ng suatu pengkajian dan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Faktor birokrasi administrasi juga dak dapat dipandang enteng sebagai salah satu faktor yang ikut andil menghambat terciptanya proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Oleh karena itu di samping sebagai penghambat, birokrasi administrasi juga dapat berperan sebagai sumber komersialisasi dan pada akhirnya kembali menjadi komodi bisnis. Di samping faktor tersebut di atas, proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan juga akan sulit dicapai apabila dak ada komitmen moral untuk menjadikan pengadilan sebgai rumah keadilan. Kecenderungan untuk mencari "menang" dan "kalah" dalam proses peradilan dapat sebagai petunjuk komitmen terhadap keadilan sudah semakin memudar, dan ini tentunya juga akan berdampak nega f terhadap lajunya proses peradilan. Begitu rumitnya permasalahan dalam proses peradilan dewasa ini, perlu diupayakan cara yang sekiranya dapat mengatasi faktorfaktor dan kendala penghalang proses peradilan termaksud. Melihat adanya beberapa kelemahan dalam KUHAP dan justru sebagai kunci terhambatnya proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, maka sudah saatnya diambil ndakan untuk meninjau kembali/merubah ketentuan yang menghambat tersebut. Agar diadakan pembatasan atau seleksi yang ketat terhadap perkara, agar dak se ap perkara dapat dimintakan banding, kasasi dan peninjauan kembali.Perlu difikirkan agar dalam kasus-kasus tertentu pemeriksaannya langsung ditangani oleh Pengadilan Tinggi tanpa melalui Pengadilan Negeri. Disamping
17
18
130
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1983), hlm. 5. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1991), hlm. 661.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan, bahwa memang perlu memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dalam kajian hukum. Hukum merupakan fenomena yang kompleks dan kompleksitas itu menjadi semakin nyata seirama dengan meningkatnya kompleksitas masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya dak ada satu metodologi saja yang dipakai untuk mempelajari hukum, atau dengan perkataan lain berbagai macam cara untuk mempelajarinya. Salah satu cara yang bisa diterapkan terhadap peneli an hukum oleh Organisasi Bantuan Hukum, adalah cara dan pendekatan sosiologis, disamping peneli an norma f atau doktriner. Berbeda dengan cara pendekatan yang norma fdogma s yang melihat hukum sebagai suatu keharusan untuk diterima dan diterapkan, maka pengkajian sosiologis lebih melihat hukum sebagai suatu obyek kajian ilmiah yang merupakan kebutuhan masyarakat. Pengkajian secara sosiologis terhadap hukum, merupakan suatu kebutuhan dalam suatu masa dalam masyarakat yang tengah mengalami perubahanperubahan sosial. Adapun ar pen ng peneli an permasalahan hukum bagi pembangunan hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum, bahwa dengan melalui kajian ilmiah dibidang hukum, akan dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang inheren dalam proses pembangunan hukum, dapat membuat suatu moment opname dari keadaan hukum yang sesungguhnya hidup dalam masyarakat, atau dapat menunjukkan arah kemana sebaiknya hukum dibina berhubung dengan terjadinya perubahan masyarakat sesuai dengan zaman.
Jur
na
lR ec hts V
ind
peneli an hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum dalam rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin, sangat diperlukan. Pengkajian dan peneli an yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum terhadap fenomena hukum yang melampaui batas-batas pengaturannya disebut sebagai Counter-norma ve, yang bertolak dari suatu sikap kecurigaan intelektual terhadap hukum. Secara populer, hal ini diutarakan untuk membedakan antara law in the books dan law in ac on.19 Roscoe Pound dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence20 mengatakan bahwa studi ilmu hukum dak hanya berhen pada mempelajari sistem peraturan perundangundangan, tetapi juga melipu the actual social effects of legal ins tu ons and legal doctrines; the sociological study in connec on with the legal study in prepara ons for legisla on; of making legal rules effec ve. Peneli an hukum yang dilakukan Organisasi Bantuan Hukum terhadap efek vitas hukum dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat miskin yang dibiayai oleh negara, adalah suatu contoh yang baik tentang bagaimana hukum itu diama dalam prak k di tengah-tengah masyarakat, yang pada gilirannya mengundang masuknya aspek-aspek ilmu lain kedalam kajian hukum. Dewasa ini, kajian-kajian ilmu-ilmu sosial semakin banyak memanfaatkan peranan dari ilmu-ilmu sosial dalam mempelajari hukum, antara lain sosiologi, antropologi, psikologi sosial, ekonomi dan lain-lainnya, memiliki akses kedalam studi hukum. Ar nya, dak tertutup kemungkinan bahwa ilmu-ilmu tersebut juga menjadikan hukum sebagai objek kajiannya.
19 20
Ibid, hlm. 6. Rosco Pound, Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence, 1912; juga dapat dibaca dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum dan Masyarakat (Bandung, Angkasa, 1980), hlm. 21-22.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
131
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
jenis peneli an, antara lain:23 Peneli an Murni (pure research) adalah peneli an yang terutama bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Biasanya peneli an ini dilakukan semata-mata untuk menguji konsep atau teori yang sudah ada, apakah masih valid atau sudah usang karena berbagai kenyataan atau penemuan baru; Peneli an terapan (appleid reseach) adalah peneli an yang hasil-hasilnya dapat secara langsung diterapkan untuk kebutuhan konkrit tertentu, misalnya untuk penyusunan rencana atau program; Peneli an hukum secara murni dapat dilakukan untuk menguji kembali berbagai konsep, dan teori-teori hukum yang ada; Peneli an hukum norma f adalah peneli an terhadap kaidah hukumnya itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum dak tertulis lainnya) dan asasasas hukum; dan Peneli an hukum sosiologis adalah peneli an yang mengkaji korelasi antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku. Korelasi ini dapat dilihat dalam kaitan pembuatan atau penerapan hukum. Dalam pembuatan hukum, peneli an sosiologis mencoba melihat sajauh mana kaidah hukum yang dibuat tersebut mencerminkan atau dak mencerminkan kenyataan sosial sebagai sumber material kaidah hukum tersebut. Munculnya ke daksepahaman penafsiran perundang-undangan tersebut, menimbulkan permasalahan apakah dalam penyusunan perundang-undangan tersebut telah didukung oleh suatu naskah akademis, argumentasi teori s, faktual bahkan filosofis, sosiologis dan juridis dalam perumusan konsep-konsep ke ka masih dalam RUU. Dukungan Naskah Akademis dalam
Jur
na
lR ec hts V
ind
Dalam peneli an permasalahan hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum, harus dapat diinden fikasi berbagai dimensi masalah yang melipu aspek, antara lain teknologi, sosial, manajerial, poli k, ekonomi, agama, hankam dan lain-lain. Dari peneli an tersebut dapat tersimpulkan cara bagaimana, mekanisme apa yang perlu di ngkatkan, atau sarana dan prasarana apa yang diperlukan, dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat miskin. Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum, maka jika hasil pengkajian menyimpulkan, diperlukan hukum yang baru, maka dilakukan peneli an yang lebih menekankan pada peneli an norma f, yang digabung dengan pendekatan sosio-legal dan perbandingan hukum. Peneli an ini ditujukan untuk merumuskan norma-norma hukum baru yang telah disarankan oleh pengkajian, dan sekaligus merumuskan alterna f lain. Bahan-bahan yang diperoleh dari peneli an tersebut dapat dijadikan bahan masukan dalam penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan (first dra ) dari RUU yang hendak disusun.21 Badan Pembinaan Hukum Nasional cq Pusat Pembinaan Sistem Hukum Nasional, mempunyai tugas diantaranya melakukan Pengkajian Hukum, Peneli an Hukum dan Menyusun Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan. Menurut pendapat Andi Hakim Nasu on,22 mengatakan bahwa peneli an ialah semua usaha untuk menentukan jawaban terhadap suatu permasalahan. Jadi tanpa permasalahan dak ada atau dak perlu dilakukan peneli an. Secara singkat dapat dikemukakan beberapa
21 22 23
132
Tim BPHN, Pola Pikir Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: BPHN, 1996), hlm. 101. Andi Hakim Nasution, Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah Bagi Remaja (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 5. Bagir Manan, Penelitian Terapan Di Bidang Hukum (disampaikan pada Lokakarya di Jakarta, November 1993).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BP HN
ing
Jur
26
lR ec hts V
25
Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan adalah hasil penelitian yang memuat gagasan-gagasan pengaturan suatu materi perundang-undangan (materi hukum) bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik-holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-normanya secara alternatif yang disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis. Jadi unsur-unsur suatu Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan yaitu urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi hukum dengan menggambarkan: Hasil inventarisasi hukum positif; dan Hasil identi ikasi permasalahan hukum yang dihadapi; Gagasan-gagasan tentang materi hukum yang akan dituangkan kedalam RUU/RPP; Konsepsi landasan dan prinsip yang akan digunakan; Pemikiran tentang norma-normanya, yang dikemukakan secara alternatif; Isi Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan yang sistematis dan disusun Bab demi Bab, untuk memudahkan penggarapan selanjutnya menjadi RUU/RPP. Keabsahan dari suatu undang-undang (Validity of Law), harus memenuhi paling tidak tiga unsur iloso is, sosiologis dan yuridis. Harus memuat penalaran (reasoning) yang menjadi dasar pemikiran mengenai perlunya disusun Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tersebut. Dasar-dasar pemikiran dapat ditinjau dari landasan, antara lain Filoso is, yaitu pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kewajiban serta watak dari bangsa Indonesia yang didapatkan dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Yuridis, yaitu sinkronisasi dan harmonisasi, suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan peraturan-peraturan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Karena untuk dapat menentukan urgensi peraturan yang perlu dibuat terlebih dahulu mengetahui dan memahami: Peraturan mana yang perlu dipertahankan; Peraturan mana yang perlu dicabut; Peraturan mana yang perlu diperbaiki, ditambah atau dikurangi; Aspek-aspek hukum mana yang perlu segera diadakan pengaturan yang baru. Sosiologis, yaitu suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya undang-undang; serta memuat analisa kecenderungan sosiologisfuturistik sejauh mana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional. Sampai saat ini, berdasarkan pengalaman praktek yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dalam menyiapkan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, belum ada keseragaman Naskah Akademik yang dihasilkan. Ketidakseragaman ini berpengaruh pula pada standar hasil suatu Naskah Akademik. Untuk mengantisipasi kebutuhan dan mengatasi persoalan tersebut, perlu disusun suatu Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang. Pedoman ini merupakan hasil akhir dari suatu rangkai diskusi lokakarya dengan mengundang beberapa pakar dan praktisi yang berpengalaman dalam penyusunan Naskah Akademik. Standarisasi penyusunan naskah akademis peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk sebagai pola baku naskah akademis yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan suatu naskah akademis peraturan perundang-undangan.
na
24
baru itu; Kemungkinan adanya penyimpangan; Aturan khusus bagi keadaan hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan baru; pemikiran tentang penunjukan organ atau alat perlengkapan negara yang diikutsertakan dalam pelaksanaan peraturan; pemberian nama singkat kepada RUU/RPP; ketentuan tentang saat mulai berlaku; ketentuan tentang pengaruh Undang-undang yang baru terhadap Undangundang yang lain.26 Menurut Irawan Soeyitno, bahwa membentuk peraturan perundang-undangan, diperlukan bakat seni tersendiri. Demikian juga pendapat Reed Dickerson seorang Guru Besar Perundang-undangan dari Universitas California,
ind
perancangan RUU dan pembahasan RUU sangat pen ng.24 Setelah semua data diinventarisir dan diiden fikasi kemudian dianalisa lebih lanjut. Tugas analisa ini sangat berat. Data dikaji satu persatu permasalahannya baik dari segi filosofis, historis, sosiologis, dan segi yuridis.25 Dalam ketentuan peralihan ini dicantumkan apabila materi hukum tersebut telah pernah diatur sebelumnya dan diatur kembali. Ketentuan peralihan memuat pemikiran yang menyangkut: Penerapan peraturan perundang-undangan baru terhadap keadaan yang terdapat pada waktu peraturan perundang-undangan mulai berlaku; Bagaimana seharusnya pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
133
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and to enforce jus ce). Suatu mitos yang berkembang dikalangan masyarakat, bahwa penegakan hukum terkait dengan kasus poli k yang dipengaruhi oleh kekuatan ekstra yudisional. Sementara proses dan perkara non-poli k, dipengaruhi oleh godaan materi. Terlepas dari benar- daknya anggapan itu, akan mempengaruhi citra, wibawa dan kredibilitas hukum. Dewasa ini, keraguan, skep sme, serta merosotnya ngkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang hampir mencapai k nadir, baik terhadap aparatur, materi maupun lembaga penegakan hukum. Hal ini disebabkan perundang-undangan sering telah menjadi alat kekuasaan yang pelaksanaannya diselewengkan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan, persamaan hak warga negara di mata hukum. Pembuatan suatu undang-undang sangat kental dipengaruhi oleh muatan poli s, hukum dipakai sebagai alat untuk mengabsahkan ndakan penguasa.28
lR ec hts V
ind
mengatakan bahwa ”Legisla f dra ing is both a science an art”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh P.M. Bakhsi Guru Besar PerundangUndangan dari India, bahwa ”Knowledge of law is inteligence, memory, and judgement, while dra ing is skill and art”.27 Dalam Hyle Morphe, yaitu mengenai bentuk dan materi, ditegaskan bahwa hukum itu terdiri dari peraturan dan keadilan. Bentuk dapat berubah-ubah, namun materi dak dapat berubah. Begitu juga dengan hukum, bentuknya dapat berubah-ubah, namun keadilan yang merupakan materi hukum dak dapat diubah. Hukum yang dak memuat keadilan, adalah dak bermakna, karena kata kunci dalam hukum bukanlah kepas an, akan tetapi adalah keadilan. Fenomena sosial menunjukkan bahwa penyelesaian silang sengketa permasalahan hukum dewasa ini, banyak dikeluhkan masyarakat yang kadang-kadang mengkristal menjadi suatu sikap dan perilaku reaksional yang sangat merugikan wibawa hukum. Atensitas masyarakat terhadap hukum, bermuara kepada peradilan sebagai katup penekan atau pressure valve atas segala pelanggaran kons tusi. Peradilan diharapkan dapat berperan sebagai the last resort yakni sebagai tempat terakhir mencari kebenaran kons tusi dalam kaitannya dengan berbangsa dan bernegara, sehingga dapat diandalkan sebagai lembaga penegakkan
Sri Hariningsih, Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Khususnya Peraturan Daerah (Jakarta: BPHN, 2003), hlm. 16. Mr.Inge C. Vander Vlies dalam bukunya Hand Boek Wetgeving (1987), menyebutkan beberapa asas yang baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu : Het beginsel van deduidelijk doelstelling (kejelasan tujuan pembentukan); Het beginsel van het jiuste organ (penentuan kewenangan lembaga/organ yang berhak membentuk dan menerima delegasi pembentukan); Het nood zakelijk heids beginsel (keperluan mendesak); Het beginsel van devoerbaarheid (kemungkinan pelaksanaan peraturan yang dibentuk); Het beginsel van de consensus (konsensus atau kesepakatan antara pemerintah dan rakyat); Het beginsel van de duidelijk terminologie en duidelijk systematiek (peristilahan dan sistematika yang jelas); Het beginsel van de kenbaarjeid (asas dapat diketahui dan dikenali oleh setiap orang); Het rechtgelijk heids beginsel (perlakuan yang sama terhadap hukum); Het beginsel van de individuale rechts bedeling (perlakuan khusus terhadap keadaan tertentu).
Jur
28
Organisasi Bantuan Hukum sebagai peneli hukum juga sangat berperan dalam pengumpulan dan analisis tentang kesadaran masyarakat
na
27
134
2. Peran PeneliƟan Hukum Yang Dilaksanakan Oleh Organisasi Bantuan Hukum
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
Materi hukum (UU pada khususnya) dipandang dak lagi sebagai instrumen penjaga keamanan, keter ban, dan keadilan belaka, tapi sekaligus sebagai instrumen perubahan masyarakat, alat transformasi nilai dari bentuk tertentu ke dalam wujud dan bentuk nilai lain yang lebih baik. Visi pembangunan hukum nasional yang demikian menuntut terjadinya perubahan penanganan pembinaan hasil-hasil peneli an hukum. Perubahan ini hendaknya diarahkan pada pengadaan peneli hukum yang dak saja memiliki kemampuan, perha an yang cukup, terdidik dan terla h dengan baik, tapi juga diangkat dan diberi tunjangan dan fasilitas serta penghargaan yang memadai sebagai aparat peneli hukum sebagaimana mes nya. Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai kualitas pemberian keadilan (the dispension of jus ce) yang lebih cocok dengan sistem hukum Pancasila. Menata dan membangun kesadaran serta perilaku hukum adalah membangun kehidupan moral bangsa secara keseluruhan, yang dak bisa menunggu sampai kesejahteraan hidup meningkat secara substansial. Rendahnya kesadaran hukum di Indonesia dak hanya dimiliki oleh rakyat saja, akan tetapi juga oleh penguasa. Lemahnya kesadaran hukum di Indonesia antara lain disebabkan; kurangnya kepas an yang diberikan oleh hukum yang berlaku; adanya perlakuan yang berbeda terhadap warga masyarakat; masih lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Perbedaan perilaku hukum yang mbul dalam masyarakat dak hanya dipengaruhi oleh hukum saja, akan tetapi juga oleh faktor-faktor lain, seper pendidikan dan agama. Untuk berlakunya hukum dalam masyarakat dak saja diperlukan landasan yang bersifat yuridis dan filosofis tetapi juga suatu landasan yang bersifat
Jur
na
lR ec hts V
ind
terhadap hukum, sebab kesadaran hukum yang makin meningkat dapat menyebabkan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap perangkat hukum yang dapat memberikan kepas an dan pengayoman hukum yang berin kan keadilan dan kebenaran. Bahkan ngginya kesadaran hukum dapat pula menyebabkan masyarakat menjadi semakin kri s dalam menanggapi permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Akibatnya tuntutan akan keadilan makin meluas. Apabila tuntutan tersebut dak terpenuhi baik secara formal maupun materil kadang kala dapat mengakibatkan sikap sebagian masyarakat menjadi kurang menghargai hukum. Hal demikian merupakan fenomena yang dak sederhana yang memerlukan peneli an secara mendalam. Oleh karena itu diperlukan pengembangan metoda-metoda peneli an hukum yang dapat menjaring data yang sangat mendasar. Misalnya mbulnya gejala-gejala konflik sosial mungkin saja diakibatkan oleh kurangnya kesadaran hukum masyarakat atau mungkin juga diakibatkan oleh adanya ndakan aparatur negara yang mencerminkan kurangnya penghayatan terhadap hukum. Hukum sesungguhnya daklah semata-mata ditujukan kepada masyarakat, namun ditujukan pula kepada se ap penyelenggara negara, khususnya dalam melaksanakan fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini peranan peneli an juga sangat pen ng dalam upaya mengembangkan kesadaran dan ketaatan hukum serta disiplin nasional yang merupakan perwujudan kepatuhan dan ketaatan kepada hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Paradigma pembangunan hukum nasional yang dilakukan pada saat ini dan masa yang akan datang, memandang hukum dak hanya sebagai obyek, tapi juga menjadi subyek pembangunan.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
135
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
terhadap segala penyimpangan. Manajemen Hukum melipu hal-hal di bidang peneli an, pembentukan, peradilan, penerapan dan penegakan hukum, penyuluhan hukum, pelayanan dan bantuan hukum, pendidikan dan la han aparat hukum. Dalam pembinaan peradilan yang masih perlu penyempurnaan adalah dalam bidang organisasi, landasan acara, kebebasan hakim, pelaksanaan putusan, hubungan dan koordinasi antar lembaga penegak hukum, dayaguna pemeriksaan perkara dan pemantapan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. Dalam bidang penerapan dan penegakan hukum yang masih perlu di ngkatkan adalah peran lembaga-lembaga penegakan hukum non pemerintah, antara lain lembaga arbitrase, Organisasi bantuan hukum, lembaga konsiliasi. Dalam rangka pelaksanaan reformasi, program pembangunan bidang hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang ter b teratur dan berkeadilan, disamping melindungi berbagai aspek hak asasi manusia. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu ditempuh untuk meningkatkan akselerasi reformasi hukum, yang mencakup 4
Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan, karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial dan pengayoman. Diperlukan langkah yang sistematis untuk meningkatkan yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional. Asas kebebasan hakim jangan dipertentangkan dengan yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional. Asas kebebasan hakim menunjuk pada kebebasan hakim terhadap pengaruh eksekutif. Penataan dan pengembangan lembaga hukum hendaknya diorientasikan, pada: pemantapan lembaga hukum yang berfungsi penuh, mandiri dan berwibawa; pemantapan perundang-undangan di bidang organisasi/profesi hukum dan pelayanan hukum (antara lain bidang bantuan hukum, konsultan hukum dan notaris); kemampuan menunjang perkembangan masyarakat, pembangunan nasional dan kerjasama internasional. Dalam rangka menunjang kerjasama internasional perlu diadakan lembaga khusus yang mampu memberikan pelayanan informasi hukum, misalnya di bidang ekonomi mengenai ”legal opinion”, dan lain-lain. Untuk lebih memantapkan tugas dan fungsi lembagalembaga hukum perlu dikembangkan forum komunikasi antar lembaga penegak hukum, pelayanan hukum, dan profesi hukum dalam suasana kebersamaan dengan prinsip saling mempercayai dan menghormati kedudukan masing-masing; dikembangkan pendidikan dan latihan bersama untuk semua lembaga penegak hukum agar ada kesamaan persepsi di bidang peradilan dan penegakan hukum. Perlu ditingkatkan kemampuan lembagalembaga hukum untuk dapat berhubungan dengan berpartisipasi dalam dan memanfaatkan Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
Jur
na
29
lR ec hts V
ind
sosiologis, sehingga hukum itu mempunyai wibawa berlaku dalam masyarakat. Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi pelbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum, karena dalam sistem hukum nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dapat mengalami kemandulan dan stagnasi.29 Aparat hukum (dalam ar luas) adalah pelaksana tugas peneli an, pembentukan, pelayanan hukum yang menghasilkan ndakanndakan maupun penegakan hukum yang menimbulkan akibat hukum baik secara faktual maupun dalam bentuk keputusankeputusan hukum dan pelayanan/bantuan hukum lainnya. Aparat hukum terdiri dari aparat hukum dalam lingkup penyelenggaraan tugas administrasi negara dan di luar lingkup tersebut. Sistem pendidikan bagi aparat hukum perlu diorientasikan pada kematangan dan kemampuan profesionalisme. Disamping itu, perlu di ngkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum dan ndakan tegas
136
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
masing harus ditunjang oleh segala sarana dan prasarana fisik dan nonfisik yang memadai.32 Pengembangan koordinasi dan kerjasama ini didasarkan pada kenyataan adanya tuntutan kapasitas dan kapabilitas sebagai aparat peneli di satu sisi dan kendala pembinaan hukum yang belum tertangani secara efek f dan efisien di sisi lainnya.Dalam kaitan tersebut, perlu dibangun, dibentuk suatu wadah, organisasi untuk berhimpun para peneli hukum di Indonesia didalam suatu Ikatan Peneli Hukum Indonesia (IPHI). Pembentukan organisasi ini, dimulai dari daerah-daerah di ngkat propinsi (IPHD), yang kemudian akan berpuncak pada pelaksanaan Musyawarah Nasional Peneli Hukum di Jakarta, yang diiku oleh para ketua dan sekretaris Ikatan Peneli Hukum Propinsi.
ind
(empat) aspek, yaitu: (a) aspek legislasi, (b) aspek sumberdaya manusia, (c) aspek kelembagaan dan infrastruktur, dan (d) aspek budaya hukum.30 Aspek-aspek pembangunan hukum nasional tersebut merupakan faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan pemerintah dalam menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. Ke empat aspek tersebut juga merupakan hal pen ng dalam memecahkan persoalan-persoalan mendasar dalam bidang hukum yang mencakup perencanaan hukum (legisla on planning), proses pembuatan hukum (law making process), penegakan hukum (law enforcement) dan pembinaan kesadaran hukum (law awareness).31 Untuk lebih memantapkan tugas dan fungsi lembaga-lembaga peneli hukum, dimasa mendatang perlu : dikembangkan forum komunikasi antara Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM-RI dengan Organisasi Bantuan Hukum, lembaga penegak hukum, pelayanan hukum, dan profesi hukum dalam suasana kebersamaan dengan prinsip saling mempercayai dan menghorma kedudukan masing-masing; mengembangkan pendidikan dan la han bersama untuk semua lembaga penegak hukum agar ada kesamaan persepsi di bidang peradilan dan penegakan hukum. BPHN sebagai suatu badan/lembaga yang bertugas melakukan pembinaan hukum nasional, berar dak saja hanya melakukan pembinaan terhadap hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan), akan tetapi juga melipu pembinaan terhadap budaya hukum, lembaga, serta aparatur hukum (SDM) yang masing-
1. Kesimpulan
Ber k tolak dari uraian tersebut diatas, maka pada bagian akhir dari penel an ini, dikemukakan disimpulkan bahwa Peranan Peneli an Hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum sebagai implementasi Pasal 9c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, sangat pen ng dalam mendukung pembangunan Sistem Hukum Nasional, untuk mengungkapkan datailmiahyangmenyangkutaspek-aspekfilosofis, yuridis, sosiologi, ekonomi, maupun poli k yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum sebagai bahan kebijaksanaan pembangunan hukum. Sebab banyak hasil-hasil peneli an hukum yang dilakukan oleh berbagai lembaga
Jur
na
lR ec hts V
E. Penutup
30
31 32
Biro Hubungan Masyarakat dan Luar Negeri, Implementasi Tugas Pembangunan, Penerapan Hukum dan HAM (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003), hlm. 184-186. Majalah Hukum Nasional, No. 2, (2001): 2. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman-RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional (Jakarta: BPHN, 1995/1996), hlm. 39-49.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
137
Volume 2 Nomor 1, April 2013
ing
BP HN
seakan-akan dimonopoli Advokat; Prosedur Mendapatkan Bantuan Hukum. Perlu mengembangkan forum pertemuan ilmiah secara periodik diantara para peneli hukum antara pusat dan daerah dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil peneli an hukum baik di ngkat pusat maupun di daerah. Seper , membina koordinasi dan kerja sama dengan wadah Ikatan Peneli Hukum Indonesia (IPHI), untuk pengembangan dan pemanfaatan hasil peneli an hukum antar berbagai instansi baik di pusat maupun di daerah, kalangan akademis, lembaga pengkajian dan peneli an hukum, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Mengupayakan kondisi profesi fungsional peneli hukum menjadi lebih menarik, agar minat para professional pengacara, advokat, juga bergairah menjadi peneli hukum.
ind
peneli an hukum didaerah, dak sepenuhnya terakumulasi dalam penentuan kebijakan hukum di pusat sesuai dengan semangat otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan peneli an hukum dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum, beberapa hal yang dapat menimbulkan permasalahan, adalah: Limitasi Penerima Bantuan Hukum yang hanya terbatas pada masyarakat dak mampu; Kewenangan tanpa Batas Penyelenggara Bantuan Hukum; Permasalahan Verifikasi dan Akreditasi; Permasalahan Pemberi Bantuan Hukum yang seakan-akan dimonopoli Advokat; Prosedur Mendapatkan Bantuan Hukum.
2. Saran
Jur
na
lR ec hts V
Ber k tolak dari uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan beberapa saran/ rekomendasi, antara lain bahwa dalam pelaksanaan kegiatan peneli an hukum yang dilakukan oleh organisasi bantuan hukum untuk kepen ngan pemberian bantuan hukum, maka perlu dikembangkan peneli an terapan yang norma f dan interdisipliner dalam mendukung penetapan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan dalam rangka pelaksanaan bantuan hukum dan pembangunan hukum nasional, serta penyempurnaan dan pemantapankerja sama peneli an dan pengembangan hukum dengan berbagai instansi termasuk Organisasi Bantuan Hukum dan perguruan nggi serta lembaga peneli an nasional, maupun internasional. Perlu dilakukan Peneli an tentang permasalahan-permasalahan: Limitasi Penerima Bantuan Hukum yang hanya terbatas pada masyarakat dak mampu; Kewenangan tanpa Batas Penyelenggara Bantuan Hukum; Permasalahan Verifikasi dan Akreditasi; Permasalahan Pemberi Bantuan Hukum yang
138
DAFTAR PUSTAKA Buku
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman-RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional (Jakarta: BPHN, 1995/1996). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rencana dan strategi Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2005 - 2009, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2005). Biro Hubungan Masyarakat dan Luar Negeri, Implementasi Tugas Pembangunan, Penerapan Hukum dan HAM (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003). Hariningsih, Sri, Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Khususnya Peraturan Daerah (Jakarta: BPHN, 2003). Jennings, Sir Ivor, The Cabinet Government (New York, USA: West Publishing Company, 1990). M. Friedmann, Lawrennt, Rivival of Natural Law Theories (New York: NY Publishers, 1953). Marryman, John Henry, The Civil Law Tradi on (Standford: California Press, 1969). Moore, Narrington, The Social Origins of Divtatorschip and Democracy. Lord and Peasant in the Making of Modern World (Boston: Beacon, 1966).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 121-141
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Balai Pustaka, 1991). VanderVlies, Inge C, Hand Boek Wetgeving, (California: USA Press, 1987).
BP HN
Tim
Makalah / ArƟkel / Prosiding / Hasil PeneliƟan
ing
Forum Akses Keadilan untuk Semua (FOKUS) yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH APIK, PBHI, ILRC, LBH Pers, Perkumpulan Huma, LBH ASPEK, LKBH FH UNKRIS, LKBH FH UPH, LKBH FH UNPAD, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Arus Pelangi, dan Rumah Singgah Master Depok : ”Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum”, Jakarta, 2013. Haramain ,Malik & Hakam Naja, ”Gabung Lembaga Serupa”, Kompas, Jumat, 18 Nopember 2011. Majalah Hukum Nasional, No. 2, (2001). Manan, Bagir, ”Peneli an terapan Di Bidang Hukum” (makalah disampaikan pada Lokakarya, di Jakarta, November 1993).
ind
Myrdal, Peneli an Terhadap Hukum Negara Berkembang (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971). Nasu on, Andi Hakim, Panduan Berpikir dan Meneli Secara Ilmiah Bagi Remaja, (Jakarta: Gramedia, 1992). Nonet & Selznick, Law and Society in Tran on, (New York: Harper Colophon Books,1978). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum dan Masyarakat (Bandung, Angkasa, 1980). Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1983). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum dan Masyarakat (Bandung, Angkasa, 1980). Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Peneli an Hukum Norma f Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV.Rajawali, 1985) Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneli an Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986). Strong, C.F., Modern Poli cal Cons tu ons, (Li le Essex Street London WC2: Mac Millan And Company Limited, 1961). Suhady, Idup dan Desi Fernanda, Dasar-Dasar Good Governance (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia, 2005). Teubner, Gunther, Substan ve and Reflexive Elements in Modern Law, Law and Society Review, (London: London Press, 1983).
lR ec hts V
Internet
Jur
na
h p://www.depdagri.go.id.
Peran PeneliƟan Hukum yang Dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum ... (Marulak Pardede)
139
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.H. Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., LL.M. Prof. Dr. Rianto Adi, S.H., M.A. sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 2 Nomor 1, April 2013.
Volume 2 Nomor 1, April 2013
”Halaman ini dikosongkan”
Volume 2 Nomor 1, April 2013
BIODATA PENULIS Ihdi Karim Makinara, lahir di Tangerang, 5 Desember 1980, Pendidikan terakhir Strata 2 Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saat ini bekerja sebagai dosen di Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saat ini berdomisili di Darussalam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Thalis Noor Cahyadi, lahir di Binuang Kalimantan Selatan pada tahun 1980, menempuh pendidikan Strata-1 di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Menempuh S-2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (20082010) dan Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (20102012). Sejumlah karya tulisnya cukup banyak menghiasi media masa diantaranya di Harian Bernas, Jawa Pos Radar Jogja, Solo Pos, Harian Sindo dan Majalah Suluh. Ia beberapa kali terlibat dalam kegiatan riset diantaranya: ”Kebebasan Berekspresi di Indonesia, Monitoring atas Implementasi Undang-undang Kebebasan Berekspresi” riset yang diselenggarakan oleh PBHI dan Uni Eropa (2005), hasil peneli an ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul ”Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan”. Riset di SPS UGM (2009) yang berjudul ”Signifikansi Ombudsman dalam Penegakan Bisnis Bere ka dan Berkelanjutan (Studi pada Lembaga Ombudsman Swasta D.I.Yogyakarta)”. ”Peran FKUB dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia (Studi pada FKUB Yogyakarta, Sleman dan Bantul” Riset ini merupakan hasil lomba Peneli an Kompe f yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (2010). Saat ini penulis ak f sebagai staf pembela umum (public lawyer) di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Ansor, serta menjadi dosen luar biasa di beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, selain juga ak f sebagai pembicara dalam seminar, workshop dan training. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau handphone: 081807052116. Fachrizal Afandi, menyelesaikan gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya dan juga menerima gelar sarjana dari Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Malang. Kemudian menyelesaikan Master Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Saat ini bekerja sebagai dosen dan peneli dalam bidang hukum acara pidana, hukum pidana dan antropologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dan banyak terlibat dalam berbagai kegiatan akademik dalam hukum pidana dan sosio-legal. Selain itu, menjabat sebagai Koordinator Peneli an di Pusat Studi Sosio-Hukum dan juga Sekretaris Kantor Bantuan Hukum, Universitas Brawijaya. Ade Irawan Taufik, lahir di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1980. Lulus S1 Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat ini bekerja sebagai fungsional peneli hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional – Kementerian Hukum dan HAM RI, sebelumnya pernah bekerja sebagai Legal Officer di salah satu kontraktor BUMN dan juga kontraktor PMA. Dapat dihubungi melalui:
[email protected]. Arfan Faiz Muhlizi, lahir di Tuban, 17 Desember 1974. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya pada tahun 1999, kemudian menyelesaikan S2 pada bidang yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 2005. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Fasilitasi Jabatan Peneli Hukum dan Peneli an, Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dapat dihubungi melalui :
[email protected].
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Eka N A M Sihombing, lahir di Medan, pada tanggal 11 Nopember 1979. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2003, dan S2 Ilmu Hukum SPS di universitas yang sama. Saat ini bekerja sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, dan juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. Muhammad Rustamaji, lahir di Surakarta, 8 Oktober 1982. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Sebelas Maret, Surakarta dan Magister Hukum di universitas yang sama. Saat ini menjabat sebagai lektor di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, dengan bidang keahlian Hukum Acara Pidana, selain itu juga menjabat sebagai Ketua Badan Mediasi dan Bantuan Hukum (BMBH) FH UNS. Dapat dihubungi melalui:
[email protected]. Mosgan Situmorang, lahir di Tapanuli, Sumatera Utara, pada tanggal 6 April 1961. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta (tahun 1987) dan S2 Ilmu Hukum STIH IBLAM Jakarta (tahun 2003). Saat ini bekerja sebagai Peneli Utama di Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN – Kementerian Hukum dan HAM RI, selain itu, saat ini masih ak f sebagai dosen mata kuliah ADR dan Legisla ve Dra ing pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta dan dosen pada Akademi Li gasi Pengayoman (ALTRI). Kursus-kursus dan peneli an yang pernah diiku antara lain: Work at UNCITRAL on Reforming the 1958 New York Conven on In Par cular Regarding Refusal of Enforcement of Arbitral Awards, In the Light Recent Prac ce in Indonesia, Europe and America,a Research Program Conduct in Max-Planck Ins tute for Interna onal and Private Law, di Hamburg, Germany, tanggal 3 Maret-31 Mei 2003 (Beasiswa dari MaxPlanck Jerman); Cross-Border Insolvency-Compara ve & Interna onal Law Aspect, a research program conduct in UNIDROIT Rome Italy, tanggal 1 April -31 Mei 2001 (Beasiswa dari Pemerintah Korea Selatan dan UNIDROIT); Insolvency and Commercial law in a Global Economy at the Faculty of Law, University of Melbourne Australia, a five weeks Course November 1998-December 1998 (Beasiswad ari AUSAID Australia); The Protec on Against Indonesian Migrant Worker a Research Project held in Singapore and Malaysia, January 1996 (kerjasama BPHN dan PT (persero) ASTEK); dan Media on Course held by Bond University Australia in Jakarta 1999 (kerja sama Departemen Kehakiman RI dan AUSAID). Marulak Pardede, lahir di Tapanuli Utara, 24 Juli 1961. Saat ini bekerja sebagai Pejabat Fungsional Peneli di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM-RI di Jakarta. Sejak tanggal 01 Agustus 2001, diangkat menjadi Ahli Peneli Utama (APU) Bidang Hukum. Saat ini manjadi Anggota Tim Penilai Jabatan Peneli Instansi Kementerian Hukum dan HAM dan sejak tahun 2011 sampai sekarang menjadi Ketua Umum Ikatan Peneli Hukum Indonesia (IPHI). Sejak tahun 1986 sampai saat ini, menjadi penulis opini, ar kel, ulasan ilmiah bidang hukum dalam berbagai surat kabar harian umum dan majalah ilmiah bidang hukum. Tahun 1996, menulis buku: ”Hukum Pidana Bank”, diterbitkan oleh : PT. Pustaka Sinar Harapan, dan tahun 1997 menulis buku: ”Likuidasi Dan Perlindungan Nasabah”, diterbitkan oleh : PT. Pustaka Sinar Harapan.
Volume 2 Nomor 1, April 2013
INDEKS A A.A. Oka Mahendra 55 Abdulkadir Muhammad 52 Abuse of Power 66 Access to Jus ce 31 Access to Legal Counsel 14 Accuntability for Probity and Legality 114 Aceh 1, 75, 78 Achmad Romsan 70, 78 Ade Irawan Taufik 47 Adnan Buyung Nasu on 8, 58, 87 Advocates 31, 47 Advokat 2, 18, 31, 47, 86, 99, 108, 123 Ahmad Mujahidin 76 Ahmad Ubbe 72 Ahmadi Hasan 70, 71 Akreditasi 28, 100, 105, 118, 119, 138 Akses keadilan 13, 18, 32, 57, 82, 96, 109, 129 Aksesibilitas 96, 98, 99, 100, 102 Aksioma k 97 Akuntabilitas 73, 77, 96, 100, 110, 111, 119 Akusatur 99 Aliran Poli k 117 Alterna f Penyelesaian Sengketa 69, 79 Alterna ve Dispute Resolu on 10 Ambivalensi 59 Aminuddin Salle 70, 78 Analisa norma f 20 Ancaman 18, 37, 43, 57, 118 Andreas Lagimpu 70 APBN 82 ,90, 98, 110, 111, 115 APSI 22 ,26 Arbitrase 69, 70, 78, 79, 128, 136 Arfan Faiz Muhlizi 65 Aristoteles 48, 126 Asas Kesetaraan 117 Asas Praduga Tak Bersalah 86 A tudinal 98, 101, 104 Audi et Alteram Partem 48, 86
Bagir Manan 52, 132 Bali 70 Banjar 23, 70, 79 Bantuan Hukum 2, 18, 32, 48, 68, 82, 96, 108, 123 Bantuan Hukum Tradisional 9 Bantuan Keamanan Desa 76 Bantuan Kemanusiaan 116 BAPPENAS 41 ,44, 45, 66, 75, 83, 93 Barry Metzger 88 Basal A Bangkana 70 Basuki Rekso Wibowo 66, 67 Baudouin Dupret 74 Behaviorial Law 97, 98, 104, 105 Behaviorial Economy 104 Berhasil Guna 25 Beslag 19 Bias Gender 73, 74, 75, 77, 78 Bima 75 Biro 34, 35, 137, 138 Biro Bantuan Hukum 11, 35, 36, 40, 50 Bisnis 26, 29, 50, 116, 130 BPHN 28, 52, 62, 66, 67, 70, 75, 78, 79, 132, 134 Bruce L Benson 74 Bryan A. Garner 48, 54 Budaya 10, 34, 39, 49, 53, 70, 73, 86, 127, 137
C C.J.M. Schuyt 2, 9 Cappelle 58, 92 CEDAW 7, 89 Charity 34, 59, 61 Civil Equality 85 Civil Law 96, 122, 125, 138 Claim Holder 66 Collabora ve Approach 74, 75, 78 Corong 11, 105 Court Management 76 Criminal 49 Cuma-Cuma 4, 18, 29, 38, 42, 58, 69, 87, 109
B
D
Badan Legislasi 83, 92 Badan Pusat Sta s k 90 Badilag MA 20
Damang 70 Daniel S. Lev 70, 78 Data Sekunder 3, 21, 52, 53, 69, 110
Volume 2 Nomor 1, April 2013
David L. Sill 84, 85 Dayak 70, 77, 79 Dedikasi 38, 40, 45, 76 Derivasi 54 Desa Ngadisari 70 Descrip ve Analy cs 20 Descrip ve Method 21 Deskrip f Analisis 110, 111 Different Ability 6, 89 Diskriminasi 6, 10, 34, 53, 84, 89, 93, 108, 129 Diskrimina f 74 Diskursus 99, 103, 105 Dispensasi Nikah 24 Distribusi 50, 55, 72, 77, 83, 84 Doktrin 52, 97, 99, 100 Dosen 12, 27, 33, 60, 112, 114 DPR 42, 77, 82, 116, 122, 128, 133 DPRD 83, 90, 91, 92 DPW APSI 20, 21, 22, 23, 24, 27, 28,29 Due Process Law 49 DUHAM 6, 53, 89
Fair Trial 59 Fakir Miskin 32, 38, 48, 86, 92 Faktual 28, 118, 132, 136 Fakultas Hukum 12, 34, 40, 60, 106, 112 Fakultas Syari’ah 12 Fenomenologis 98 Field Study 20 Filosofi 133 Frans Hendra Winarta 48, 55, 59, 62, 87, 119 Fron ers of Legal Theory 99, 106 Fundamental 49, 136
G Gampong 23, 75 Gender 49, 73, 74, 75, 77, 78 Gerakan Hukum 55 Gerakan Sosial 10, 55 Good Law 96, 104 Gordley 58 Groenendijk 58 Gunadi 92 Gunung Bromo 70
E Economic Equality 85 Economy Analysis of Law 97, 98, 101 Efek f 6, 13, 25, 41, 57, 61, 71, 76, 88, 100, 137 Efek fitas 7, 20, 25, 100, 110 Effec ef 25 Effec ve 25, 131 Efisien 13, 32, 38, 57, 61, 76,102, 112, 115, 137 Efisiensi 13, 73, 77, 96, 110 Eksplanatoris 97 Eligibility 4 Empiris 20, 69, 97, 99, 102, 126 Ensiklopedia 52, 111 Equal Distribu on of Services 55 Equal Treatment 48, 86 Equality Before the Law 14, 32, 48, 57,61, 73, 82,
H H.M.G. Ohorela 70 Hadhanah 24 Hak Asasi Manusia 2, 37, 49, 66, 82, 96, 108, 123 Hak Kons tusional 3, 13, 32, 45, 82, 90, 109, 129 Hak Mutlak 49 Hak Sipil 85, 89, 108, 129 Hakim 14, 48, 53, 67, 79, 85, 98, 100, 105, 125, 132 Henry P. Panggabean 76 Herziene Indische Reglement 7 Herziene Indonesisch Reglement 56 Heuris c 97, 99, 105 Hilman Hadikusuma 70 Honorarium 4, 6, 7, 43, 54, 88 Hukum Acara Pidana 7, 18, 30, 52, 45, 55, 89, 99,
92, 108, 129
Equality of Opportunity 2 Erman Radjagukguk 101 Etos 50 Eva Achjani Zulfa 70, 73 Evaluasi 20, 23, 39, 115
106
Hukum Primer 3, 57, 97, 105, 110, 111 Hukum Tersier 52, 111 Humanitarian Forum Indonesia 116, 119 Hybrid Jus ce Sistem 74, 75, 78
I F Fachrizal Afandi 31
ICCPR 6, 34, 45, 53, 85, 89, 108, 129 Ideologi Poli k 117
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Ihdi Karima Makirana 1 Implementasi 19 ,31, 59, 62, 76, 82, 108, 123 Implikasi 33, 45, 86, 97 In Kracht 13 Independensi 85, 116 individual freedom 84 Informal Jus ce 68 Integrated 49 Integritas 67, 76, 88 Irian Jaya 70
J J. Supranto 52 Jaksa Penuntut Umum 67 Jamkesmas 23 Jasa Hukum 4, 21, 37, 48, 69, 86,121 Jawa Timur 70, 82, 90, 91, 93 John Rawls 108 Judicial Behavior 98, 101, 104, 106 Judicial Corrup on 66, 67, 68, 76
K Kadamangan Sabangau 70 Kafrawi 25 Kaidah 26, 52, 87, 132 Kalimantan Tengah 70, 76, 77, 79 Karya Ilmiah 3, 52 Keadilan Sosial 9, 83, 84, 93, 105, 136 Kejaksaan Agung 14 Kekuasaan Kehakiman 6, 18, 34, 56, 6 , 89, 136 Kekuatan Hukum Tetap 6, 13, 19, 89, 109 Kelindan 96, 101, 103, 105 Kelompok Rentan 32, 117 Kementerian Hukum dan Ham 28, 44, 82, 113, 137
Kepolisian 12, 14, 35, 44, 48, 66, 67, 76 Kesinkronan 56 Klien 4, 37, 49, 54, 101, 102, 103 Kode E k 5, 43, 50, 55, 63, 88 Komersialisme 50 Komoditas 50 Kompetensi 49, 116 Konsepsi 44, 51, 61, 104, 128, 133 Konsiliasi 69, 71, 128, 136 Kons tusional 48, 51 Konsultasi 19, 22, 23, 24, 69, 113, 128 Konsultasi Hukum 6, 35, 42, 54, 88, 112, 127
Konsumerisme 50 Konvesional 56, 57, 61 Koordinasi 10, 75, 117, 136 Korporasi 50 Korupsi 66 ,73, 114, 127 Kualitas 21, 50, 60, 100, 116, 135 Kualita f 3, 21, 52, 111, 124 KUHAP 7, 18, 30, 33, 56, 87, 99, 130
L Laksana 70 Lampung 70,90 Law Enforcement 137 Lawrence Baum 101, 104, 106 LBH Ansor 22 Legal Aid 4, 17, 32, 58, 86, 87, 88, 92 Legal Assistance 4, 81 Legal Educa on 8, 40 Legal Movement 55 Legal Service 86, 87, 88, 92 Legal Service Fee 101 Legal Standing 103 Legalis 98 Legalis k 55 Legalis s-Posi vis k 72, 77 Leges 19 Legislator 99 Lembaga Bantuan Hukum 4, 11, 22, 31, 59, 111 Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum 11, 34 Lex Specialis 5 Liberal Law 104 Library Research 52, 83 Literature Study 20 Li gasi 4,11, 28, 32, 44, 57, 69, 72, 99, 110 Lombok 70 LPSK 7, 89
M M. Quraish Shihab 71 M.Usop 70 MABES POLRI 76 Mahbub ul Haq 2 Mahkamah Agung 12, 14, 28, 36, 52, 60, 72, 109 Mahkamah Kons tusi 37, 45, 86, 122, 127 Mahkamah Syar’iyah 21 MAHKEJAPOL 44 Manajemen 73, 74, 75, 78, 136
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Manajerial 114, 132 Marc Galanter 72 Mardjono Reksodiputro 66 Mark Van Hoecke 97, 106 Masif 50, 100 Mauro Cappelle 87, 88 Mbojo 75 Mediasi 43, 57, 68, 69, 113, 128 Mekanisme Umpan Balik 117 Microeconomy 101, 102 Mike Mc Conville 97, 106 Miriam Budiardjo 70, 78 Misi 111, 115 Miskin 2, 35, 53, 69 , 87, 91, 105, 110, 123,129 Mobilisasi 117 Mochtar Kusumaatmadja 34 Model 11, 25, 58, 60, 61, 65, 104 Modus 67 Muchlisin Riadi 113, 114, 117 Muhammad Koesno 70, 78 Muhammad Rustamaji 95, 96 Muhammad Zaidun 84, 93
N Nagari 23, 70 Naskah Akademik 91, 128, 133 Natural Equality 85 Negosiasi 57, 69, 113, 127 Nepo sme 73, 127 Nicholas Mercuro 103, 106 Nobel Profession 49 Non Doktrinal 97 Non li gasi 28, 44, 69, 72, 73, 110, 113, 114 Non Profit Oriented 50 Non-Derogable Rights 6, 85, 89 Non-Diskriminasi 117 Nonformal 41, 43 Non-Proseli s 117 Non-Structured Interview 21 Norma ve analy cs 20 Norma ve direc ve 99 Nurchalish Madjid 71 Nusa Tenggara Barat (NTB) 75, 78 Nutrisi 98
O Officium Nobile 49, 102
Ontslag Van Alle Rechtsvervolging 67 Orde Baru 35, 66 Organisasi Advokat 11, 22, 26, 35, 38, 49, 59, 62 Organisasi Bantuan Hukum 10, 28, 78, 98, 107, 121
Organisasi Kemasyarakatan 4, 12, 39, 60, 82, 111, 118, 138
Otonom 116, 125 Overloaded 68
P Pacta Sunt Servanda 105 Palangkaraya 70 Palu 70, 72 Panitera 66, 68 Panjar 19 Paralegal 12, 31, 42, 60, 73, 112 Pareto Improvement 103 Parsial 56, 57 Patrilineal 73 Pembela Umum 55, 86 Pemberdayaan Masyarakat 7, 57, 113, 127 Pemberi Bantuan Hukum 4, 21, 33, 54, 118, 123, 129, 138
Penasihat Hukum 34, 48, 86, 102 Peneli an Hukum 121 Peneli an Hukum Norma f 3, 33, 52, 69, 123 Penerima Bantuan Hukum 4, 21, 32, 54, 68, 111, 129 Penerima Manfaat 117 Pengadilan Negeri 35, 69, 76, 89, 109, 130 Penjara 37, 43, 56, 118 Penyandang Dana 116 Penyebarluasan Agama 117 Penyuluhan Hukum 11, 42, 57, 113, 136 PERADI 5, 38
Peradilan Adat 68 Peradilan Agama 5, 18, 56 Peradilan Umum 5, 18, 48, 89 Perangkat Kebijakan 116 Peraturan Daerah 77, 81, 127, 134 Performance Accountability 114 Perguruan Tinggi Kepolisian 12 Perguruan Tinggi Militer 12 Perkara Prodeo 18, 21 Perlindungan Anak 7, 57, 89 Perpolisian Masyarakat (Polmas) 76 Persistensi 96 Perubahan Sosial 3, 55, 61, 105, 123, 131
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Peter Mahmud Marzuki 33, 97 PKH 23 PNS 33, 40 Pokrol Bambu 2 Policy Reform 11 Policy Substance 26 Poligami 24, 25, 26 Pos Bantuan Hukum 5, 17, 56, 89 Posbakum 5, 17, 56, 109 Preskripsi 52 Pro Bono 5, 38, 87 Pro Bono Publico 14, 87, 92 Pro Deo 5, 88 Professional Lawyers 87 Prolegda 91 PTN 31 PTS 38, 44 PTUN 19 Public Choice 101, 102 Public Complaint Mechanism 66 Public Money 115 Putusan Pengadilan 74, 98, 109
R Ramly Hutabarat 84 Ranperda 81, 91 Rechtstate 66 Reformasi Kelembagaan 7 Regulasi 18, 29, 53, 77 Regulator 109 Reimbursment 116 Rekayasa 101, 114, 116 Rekrutmen 42, 112 Remedy 66 Resource 10, 87 Restora ve Jus ce 76 Reward and Punishment 76 Richard A Posner 95 Ri a Annisa 22 Roger Smith 41 Ronald Coasei 101 Ronny Hani jo Soemitro 3 Rule In Ac on 26 Rule In Theory 26
S Sabran Ahmad 70, 77
Sakral 96 Sasak 75 Satjipto Rahardjo 50, 96, 126, 130, 131 Sengketa 48, 55, 68, 127, 134 Sesan Pancase a 70 Setya Mitra 70 Setya Semaya 70 Setya Udaya 70 Setya Wacana 70 Sigi 70 Simulakrum 98 Sinclair Dinnen 70, 73, 74, 75 Sinergisitas 47, 48 Siun Janias 70 Sloot 58 Social Jus ce 83 Social Movement 55 Social Wealth Maximiza on 99 Social Welfare 96, 101, 105 Soerjono Soekanto 3, 25, 52, 58, 69, 123 Soetandyo Wignjosoebroto 52 Sosio Legal 33 Sri Mamudji 3, 52, 69, 123 Stake Holder 113 State University 31 Status Quo 9 Statute Approach 33, 83 Steven G Medumo 103 Strengthening Access To Jus ce In Indonesia (SAJI) 70,76 Suku Samawa 75 Sulawesi Selatan 70 Sulawesi Tengah 70 Sumatera Barat 70 Sumatera Selatan 70 Sumatera Utara 81 Sumbawa 75 Supoyo 70 Supremasi Hukum 114, 125 Surat Sak 68 Syarudin Rasul 113 Synergy 47
T T.O. Ihromi 70 Takdir Rahmadi 70 Teguh Adminto 59
Volume 2 Nomor 1, April 2013
Tengger 70 Teori Civil Equality 85 Teori Equality 85 Terakreditasi 12, 38, 102, 112 Terdakwa 18, 34, 49, 56, 67, 86 Tersangka 7, 34, 49, 56, 67, 86, 99 The Asia Founda on 71 The Interna onal Legal Aid 87 Thomas Jefferson 84 Time Frame 76 Time Sheet 76 Todung Mulya Lubis 4, 8, 12, 49 Toraja 70 Transac on Cost of Economy 101 Transparan 76, 113, 117 Tri Dharma Perguruan Tinggi 27, 33, 40, 44
Wali Adhol 24 Wasingatu Zakiya 66, 67 Wealth Maximiza on 97, 102 Wicipto Se adi 60 Wing Hong Chui 97 World Bank 66
U
Y
Urban 55 Urban-area 73
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 3, 32, 48, 85, 96, 108, 129 Universal 6, 34, 53, 66, 73, 89, 129
V Verifikasi 12, 28, 118, 138, Visi 71, 115, 135
W
Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) 72 Yudha Bhak Ardhiwisastra 53
Volume 2 Nomor 1, April 2013
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RECHTSVINDING Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 ( ga) nomor dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, prak si serta pemerha dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap dak memenuhi ketentuan. 3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa: a. Hasil Peneli an; b. Kajian Teori; c. Studi Kepustakaan; dan d. Analisa / njauan putusan lembaga peradilan. 4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta dak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung. 5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode peneli an, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis dengan huruf cetak miring (italic) dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / jus fy. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 ( ga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci, ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Abstract dalam Bahasa Inggris maka diiku kata kunci (Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maka diiku kata kunci dalam Bahasa Indonesia. 6. Sistema ka Penulisan: Sistema ka penulisan harus memenuhi dan secara berurutan mencakup: - Judul; - Nama Penulis (dike k di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’); - Nama Instansi Penulis; - Abstrak; - Kata Kunci; - Pendahuluan (berisi latar belakang); - Permasalahan; - Metode Peneli an (berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan); - Pembahasan; - Penutup (berisi kesimpulan dan saran).
Volume 2 Nomor 1, April 2013
7. Aturan Teknis Penulisan: a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk file elektronik (so copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out). b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan da ar pustaka. Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyun ng ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis. c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi kiri dan tepi kanan 3 cm. d. Penyebutan is lah di luar Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic). e. Penyajian Tabel dan Gambar: - Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri ukuran 12; - Judul gambar ditampilkan di bagian bawah tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri ukuran 12; - Tulisan ‘Tabel’ / ‘Gambar’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal; - Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar; - Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center); - Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal); - Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan font Calibri ukuran 10. f. Penulisan ku pan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan kaki menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai berikut: - Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Spli ng the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hlm. 65. - Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conserva on Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7. - Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organiza on of Sexuality: Sexual Prac ces in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262. - Ar kel dalam Jurnal: John Maynard Smith, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639. - Ar kel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., "Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women a er Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/ Proges n Replacement Study (HERS) Trial," Journal of the American Medical Associa on 287, no. 5 (2002), h p://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004). - Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the Annual Interna onal Mee ng for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002). - Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, h p://www.epl.org/library/ strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005). g. Penulisan Da ar Pustaka: - Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir; - Penulisan da ar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal Buku; Makalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli an; Internet dan Peraturan;
Volume 2 Nomor 1, April 2013
-
Penulisan da ar pustaka disusun berdasarkan alphabet; Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Penulisan model Da ar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut: • Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Spli ng the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999). • Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conserva on Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000). • Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organiza on of Sexuality: Sexual Prac ces in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994). • Ar kel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998). • Ar kel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., "Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women a er Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Proges n Replacement Study (HERS) Trial," Journal of the American Medical Associa on 287, no. 5 (2002), h p://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004). • Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual interna onal mee ng for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002). • Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, h p://www.epl.org/library/ strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).
8. Naskah dikirimkan dalam bentuk file elektronik (so copy) dan cetakan (hardcopy) yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, alamat e-mail, nomor telepon, naskah dapat dikirim melalui: jurnal_
[email protected];
[email protected] dan
[email protected]. 9. Naskah dapat dikirimkan atau diserahkan secara langsung kepada: Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105; Fax.: 021-8002265. 10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas dak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit ar kel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepas an atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan ar kel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.
COVER BELAKANG Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013