71
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PELUANG KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA ISLAM
A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Peluang Keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Dibalik pembatalan suatu produk legislasi baik secara sebagian atau keseluruhan tentu dapat menimbulkan berbagai implikasi. Setidaknya terdapat tiga implikasi jika hal tersebut dilakukan, yakni implikasi yuridis, implikasi politis, dan implikasi sosiocultural. Pembatalan pasal 214 UU 10/2008 selain menyebabkan berubahnya mekanisme pemilihan umum anggota legislatif, juga berimplikasi tehadap tiga aspek tersebut. Pada dasarnya setelah pembatalan secara sebagian atau keseluruhan dari suatu ketentuan yang dianggap bermasalah atas suatu undang-undang, maka akan timbul peluang baru yang terjadi pada tahap berikutnya, yakni tahap
corrective revision atau upaya revisi atas suatu ketentuan yang telah mendapat koreksi .102 Revisi yang dilakukan terhadap UU 10/2008 setelah pembatalan pasal 214 beberapa saat menjelang pemilu legislatif lalu ternyata menyisakan
102
Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi: suatu studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai mekanisme penyelesaian sengketa normatif, h.305
72
masalah yuridis terkait implementasi kebijakan affirmative action yang terkandung di dalamya. Implementasi kebijakan affirmative action yang diatur secara koheren dalam pasal 53, 55, dan 214 UU 10/2008 harus terpatahkan karena pasal 214 yang berperan sebagai faktor penentu regulasi tersebut dianggap inkonstitusional dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah. Walaupun di dalam putusanya Mahkamah tidak secara langsung membatalkan pasal 55, namun secara substansial ruh pasal 55 ini tidak berlaku lagi. Meskipun demikian secara yuridis keberadaan pasal 55 ini juga tidak dapat dinyatakan batal dengan sendirinya. Hans Kelsen menyatakan bahwa suatu norma hukum tidak dapat dinyatakan batal dengan sendirinya kecuali jika norma tersebut dibatalkan oleh lembaga yang berwenang (Mahkamah Konstitusi), lebih lengkap pernyataan Hans Kelsen tersebut adalah sebagai berikut: Norma hukum selalu valid, norma hukum ini tidak bisa batal(null), tetapi dapat dibatalkan (annulabble). Tatanan hukum dapat memberi wewenang kepada organ tertentu untuk menyatakan batalnya (tidak berlakunya) suatu norma, itu berarti untuk membatalkan norma tersebut dengan kekuatan berlaku surut, sehingga akibat-akibat hukum yang sebelumnya telah ditimbulkan oleh norma tersebut dapat dihapuskan karenanya. Ini biasanya dicirikan dengan pernyataan bahwa norma itu tidak berlaku secara ab initio atau telah dinyatakan batal dan tidak berlaku. Namun demikian penyataan yang dimaksud tidak mempunyai karakter deklaratif, tetapi karakter konstitutif. Tanpa pernyataan dari organ yang kompeten ini norma tersebut tidak dapat dianggap tidak berlaku.103
103
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, penerjemah: Raisul Muttaqien, h.229
73
Dengan demikian walaupun secara yuridis pasal 55 UU 10/2008 masih berlaku, namun secara esensial keberadaan pasal tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, terlebih berkaitan dengan implementasi kebijakan affirmative action yang terkandung di dalamnya. Tentu saja apa yang terjadi pada kebijakan affirmative action ini secara signifikan juga berpengaruh terhadap upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Indonesia. Sebab sejak awal regulasi kebijakan affirmative action memang dimaksudkan untuk memperbesar akses perempuan masuk kedalam lembaga legislatif. Jika pada saat ini akses tersebut tereliminir akibat adanya putusan mahkamah Konstitusi, maka pada hakikatnya secara otomatis peluang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif juga semakin kecil. Hal ini secara politis tentu berakibat buruk bagi laju perempuan untuk turut berpartisipasi di dalam memenangkan persaingan memperebutkan suara pada pemilihan umum. Model pemilihan langsung dengan mekanisme penetapan anggota DPR dan DPRD melalui suara terbanyak membuat perempuan menemui hambatan-hambatan yang cukip berat. Nilai dan budaya patriarkhi yang masih mengakar di Indonesia jelas akan mempersulit laju perempuan untuk bertarung memperebutkan kursi di lembaga legislatif. Karena pandangan masyarakat yang masih under estimate terhadap perempuan akan menyulitkan perempuan untuk menaikkan nilai jual mereka sebagai wakil yang dipercaya oleh masyarakat.104
104
Budiatri, Tindak Afirmasi , http://wri.or.id
74
Kualitas ekonomi perempuan yang relatif lebih rendah dibanding lakilaki juga dipastikan akan menjadi masalah yang serius ketika mereka harus sama-sama bertarung di dalam kompetisi terbuka dalam sistem suara terbanyak. Sebab lemahnya sumber dana celeg permpuan akan berimplikasi pada rendahnya kemampuan untuk memperkuat infrastruktur mereka pada saat pencalonan. Sedangkan model pemilihan dengan suara terbanyak jelas memakan banyak biaya, misalnya biaya konsolidasi tim sukses mereka, biaya transport untuk mengunjungi konstituen mereka secara langsung di daerah-daerah, biaya media promosi diri mereka seperti cetak stiker, baliho, souvenir-souvenir untuk menarik minat masyarakat dan lain sebagainya.105 Selain itu harus diakui bahwa akses perempuan untuk memperoleh pendidikan politik masih sangat terbatas. Sehingga perempuan harus bekerja ekstra keras untuk menghadapi saingan-saingan politiknya yang lebih berpengalaman dalam berbagai hal menyangkut persiapan pemilu. Misalnya tentang stategi berkampanye, tentang bagaimana membangun argumentasi politik, melakukan lobi-lobi politik dan sebagainya.106 Berbagai realitas diatas menunjukkan bahwa proses pemilihan anggota legislatif dengan mekanisme penetapan melalui suara tebanyak sangat tidak menguntungkan perempuan. Pada pemilu legislatif 2009 lalu mereka harus bekerja ektra keras untuk memperoleh kedudukan di lembaga legislatif. Data 105 106
ibid Ibid
75
yang diperoleh dari KPU menunjukkan bahwa jumlah caleg perempuan ynag lolos ke senayan adalah 110 orang, atau sekitar 18,03 persen dari total 560 orang.107 Jumlah tersebut meningkat tipis dari hasil pemilu legislatif tahun 2004, namun masih relatif kecil dan jauh dari target 30% yang diinginkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterwkilan perempuan di lembaga legislatif merupakan hal yang sangat penting. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan diharapkan lebih mampu mengakomodir kepentingan perempuan jika proporsi keterwakilan permpuan di lembaga legislatif berada di level yang seimbang dengan jumlah perempuan yang lebih dari separuh penduduk Indonesia. Nyatanya angka critical mass (30%) hingga saat ini belum dapat dicapai, bahkan semakin diperparah dengan hilangnya regulasi affirmative action akibat pembatalan pasal 214 UU 10/2008 melalui putusan mahkamah konstitusi. Hal serius dari kenyataan ini yang perlu juga diperhatikan adalah implikasinya terhadap perkembangan sosiocultural masyarakat. Jika pada beberapa saat lalu perjuangan pengarustamaan gender dianggap mendapatkan angin segar dengan diterapkanya kebijakan affirmative action pada undangundang pemilu untuk pertama kalinya di tahun 2003.108 Maka kini kedaan menjadi berbalik dan kembali mengalami kemunduran sebab langkah strategis
107
KPU Umumkan 101 Caleg Yang Lolos Ke Senayan, http://www.itcwomen.com, Diakses 15 juli 2009,14.52 Wib 108
Soetjipto,Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana, h.169
76
yang terkandung dalam undang-undang pemilu secara dramatis harus tereliminir akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Tentu saja realitas ini dengan mudah mematahkan perjuangan kaum perempuan untuk melawan budaya patriarkhi yang masih sangat kental di Indonesia. Terlebih, pandangan masyarakat yang masih negatif terhadap kemampuan politik perempuan akan makin sulit untuk dibantah jika kenyataan partisipasi politik perempuan tetap barada di level kecil. Maka, tentu saja masyarakat akan tetap beranggapan bahwa
kehidupan politik merupakan
wilayah laki-laki dan perempuan tidak akan bisa bertahan di dalamnya. Jika tidak segara dilakukan tindakan untuk menyelamatkan kebijakan affirmative action, maka di masa-masa mendatang peluang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif terancam semakin kecil. Keseluruhan implikasi baik yuridis, politis, maupun sosiocultural dari adanya putusan ini mengarah kepada semakin kecilnya peluang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
B. Analisis Hukum Tata Negara Islam Atas Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Peluang Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Pada hakikatnya di dalam lembaga legislatif terkandung dua prinsip dasar yang melandasi keberadaanya. Kedua prinsip tersebut adalah
prinsip
musyawarah dan amar ma’ru>f nahiy munkar. Prinsip musyawarah dalam lembaga legislatif tercermin pada saat lembaga ini menjalankan fungsinya sebagai
77
penentu kebijakan publik (pembuat undang-undang). Seluruh elemen masyarakat dilibatkan dalam proses ini melalui perwakilan-perwakilan yang dipercaya dengan standar dan persyaratan tertentu. Jika menilik asal didirikanya lembaga ini kita juga akan menemukan bahwa latar belakang sejarah pembantukanya dilandaskan pada praktek musyawarah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, khususnya pada proses pemilihan Abu Bakr sebagai khalifah.109 Sedangkan prinsip amar ma’ru>f nahiy munkar termanifestasi ketika lembaga ini menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Fungsi pengawasan
yang
dimaksud
mencakup
kewenangan
untuk
melakukan
pengawasan atas kewenangan legislatif (Khalifah) sebagai bentuk pengawasan yang di lakukan oleh rakyat kepada pemerintah110 Kewenangan tersebut jika dianalisis dengan seksama maka akan mengacu pada terminology amar ma’ru>f
nahi munkar. Pada hakikatnya mengawasi apa yang dijalankan oleh pemerintah bertujuan untuk mencegah hal-hal buruk yang mungkin bisa terjadi. Pengawasan juga bisa berperan sebagai penyeimbang sehingga tidak terjadi otoritas pemerintah yang berlebihan. Allah SWT telah menyerukan musyawarah kepada hambaNya untuk menyelesaikan segala urusan dan permasalahan yang dihadapi. Firman Allah tersebut tertuang dalam surat as-Syu>ra ayat 38 yang berbunyi:111
109
Mawardi,al, Al- Ahkam Al-Shultthoniyah, h.5 Khaliq, Fikih Politik Islam, h.80 111 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, h.789 110
78
öΝßγ≈uΖø%y—u‘ $£ϑÏΒuρ öΝæηuΖ÷t/ 3“u‘θä© öΝèδãøΒr&uρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r&uρ öΝÍκÍh5tÏ9 (#θç/$yftGó™$# tÏ%©!$#uρ ∩⊂∇∪ tβθà)ÏΖムArtinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” Sedangkan amar ma’ru>f nahiy munkar dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat at-Tawbah ayat 71 yang berbunyi:112
Çtã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâß∆ù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ y7Íׯ≈s9'ρé& 4 ÿ…ã&s!θß™u‘uρ ©!$# šχθãèŠÏÜãƒuρ nο4θx.¨“9$# šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ Ìs3Ζßϑø9$# ∩∠⊇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã ©!$# ¨βÎ) 3 ª!$# ãΝßγçΗxq÷zy™ Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
112
Ibid, h.291
79
Hal menarik dari kedua prinsip tersebut adalah keduanya sama-sama diserukan kepada hambanya secara umum. Allah SWT tidak membedakan sasaran seruan-Nya apakah ia laki-laki atau perempuan. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kedua prinsip tersebut merupakan kewajiban bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan.113 Perempuan sebagai bagian dari elemen masyarakat tentu memiliki kewajiban untuk turut serta memberikan kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat. Kontribusi yang dapat ia berikan tentu bervariasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu yang dapat ia lakukan sebagai warga negara adalah dengan turut serta di dalam proses pemilihan umum untuk menentukan perwakilan yang akan duduk di lembaga legislatif. Partisipasi yang dimaksud baik sebagai pihak yang memilih maupun pihak yang dipilih. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa prinsip musyawarah dan
amar ma’ru>f nahiy munkar yang diserukan oleh Allah terkandung di dalam lembaga legislatif, maka perempuan pun memiliki hak untuk turut serta di dalam lembaga tersebut. Keadaan kaum perempuan yang semakin maju dan responsif terhadap realitas politik semakin memperbesar kompetensi mereka untuk turut serta mengambil bagian di dalamnya. 114 Keanggotaan perempuan di dalam lembaga legislatif erat kaitanya dengan berbagai kepentingan dan permasalahan khusus yang dihadapinya. Tentu 113 114
Syuqqah, Kebebasan Wanita, h.541 Ibid, h.525-526
80
saja kepentingan dan pemasalahan tersebut tidak dapat diserahkan begitu saja kepada pihak lain tanpa melibatkan perempuan secara langsung di dalamnya. Sebab walau bagaimanapun yang paling memahami masalah perempuan adalah perempuan itu sendiri. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
yang
menyebabkan
peluang
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif semakin kecil secara otomatis akan mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan pada lembaga tersebut. Jika keadaan di masa mendatang tidak diperbaiki dengan kembali membuka peluang bagi keterwakilan perempuan melalui pengaturan yang tepat, maka kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah kepentingan perempuan terancam tidak terakomodir. Selain itu partisipasi perempuan pada lembaga tersebut juga terancam mengecil. Sehingga andil perempuan sebagai warga Negara untuk turut serta melaksanakan amar ma’ru>f nahiy munkar dan musyawarah yang diserukan oleh Allah juga semakin kecil. Hal ini jelas tidak mencerminkan konsep persamaan hak dalam Islam. Karena sesungguhnya Islam telah membut dasardasar sistem musyawarah yang menerapkan prinsip persamaan.115 Oleh karena itu seyogyanya pada masa-masa mendatang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif diapresiasi dengan baik. Hal ini dilandaskan pada asas kemaslahatan bagi perempuan yang dipandang cukup jika keterlibatanya di dalam lembaga legislatif berada dalam kapasitas yang
115
Khaliq, Fikih Politik Islam,h.231
81
mencukupi sesuai kebutuhanya. Dan di Negara Indonesia kuota yang dianggap mencukup bagi keterwakilan perempuan adalan minimal 30%.