Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
CORPORATE GOVERNANCE, KARAKTERISTIK PERUSAHAAN DAN ENVIRONMENTAL DISCLOSURE Oleh : Djoko Suhardjanto Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Abstract The purpose of this study is to examine relationship between corporate governance, company characteristics and its environmental disclosures. Corporate governance are identified as the proportion of independent commissioner, the ethnic of commissioner president, the educational background of commissioner president, the number of commissary board meeting, the proportion of independent audit committee, and the number of audit committee meeting. Company characteristics are indentified as size, leverage, profitability, and company’s operation territory. Companies’ environmental disclosures are measured by using the Indonesian Environmental Reporting index that developed by Suhardjanto, Tower and Brown (2007). Under proportional random sampling method, 90 Indonesian listed companies’ annual reports are selected. From the sample, there is fourthy seven point seventy eight percent (47.78%) disclosed environmental information with level of five point thirty five percent (5.35%). This study employed logistic regression and multiple regression. Analysis of statistical results cultural background of president commissioner, Size, leverage as powerful variables to predict the level of environmental disclosure. In addition, cultural background of president commissioner, leverage and Profitability are as determinants to predict environmental disclosure. Keywords:
Corporate governance, company characteristics, independent commissioners, independent audit committee, environmental disclosure, Indonesian Environmental Reporting (IER) index.
39
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian yang berkaitan dengan pelaporan lingkungan hidup (environmental disclosure) telah mengalami peningkatan sejak empat dekade terakhir (Bates, 2002; Welford, 1998). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap tingkat environmental disclosure. Pada beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami permasalahan pencemaran lingkungan hidup (Kompas, 28 Agustus 2009; Suratno, Darsono, dan Mutmainah, 2006). Degradasi lingkungan hidup ini dapat dilihat dari berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir bandang di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tanah longsor di Desa Sijeruk Jawa Tengah dan daerah-daerah lainnya di Jawa dan Sumatera, serta kebakaran hutan di beberapa hutan lindung Kalimantan. Bahkan munculnya banjir lumpur bercampur gas sulfur akhir-akhir ini di daerah Sidoarjo Jawa Timur merupakan bukti rendahnya perhatian pelaku bisnis terhadap pelestarian lingkungan (Ja`far, 2006). Hasil survei KLH yang dilakukan bulan September 2004 di daerah Tongo Sejorong, Benete dan Lahar, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan lebih 76% responden nelayan menyatakan bahwa pendapatan mereka menurun setelah Newmont membuang tailingnya ke Teluk Senunu, yang besarnya mencapai 120.000 ton tailing per hari, atau 60 kali besarnya tailing Newmont di Teluk Buyat (WALHI, 2005). Itulah sebabnya mengapa perusahaan perlu melakukan pengungkapan informasi lingkungan. Perusahaan yang mengutamakan maksimalisasi laba dengan berorientasi pada kepentingan pemilik modal menyebabkan perusahaan melakukan eksploitasi sumber daya alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia (Anggraini, 2006). Permasalahan lingkungan menjadi perhatian yang serius, baik oleh konsumen, investor, maupun pemerintah. Investor lebih tertarik pada perusahaan yang menerapkan manajemen lingkungan yang baik dan tidak mengabaikan pelestarian lingkungan. Eipstein dan Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual lebih tertarik pada perusahaan yang mengungkapkan informasi lingkungan hidup (biasanya dilaporkan dalam annual report) dibandingkan perusahaan yang mengabaikan informasi lingkungan hidupnya. Reputasi, kredibilitas, dan value added bagi perusahaan menjadi dorongan perusahaan untuk mengungkapkan informasi lingkungan hidup di dalam annual report mereka. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan lingkungan lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kinerja manajemen jangka panjang kepada stakeholder. Praktik pengungkapan lingkungan hidup memberikan beberapa keuntungan antara lain adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholder 40
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
(Pflieger, Fischer, Kupfer, dan Eyerer, 2005). Dengan memberikan informasi mengenai sejauh mana perusahaan memberikan konstribusi positif maupun negatif terhadap kualitas hidup manusia dan lingkungannya (Belkoui, 2000). Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi lingkungan hidup (Suhardjanto, 2008), akibatnya banyak perusahaan yang tidak mengungkapkan aktivitas lingkungan hidupnya (Anggraini, 2006). Berbagai faktor yang menjadi penyebab perusahaan melakukan pengungkapan informasi lingkungan dalam annual report seperti corporate governance dan karakteristik perusahaan. Corporate governance merupakan kunci atau alat untuk mengawasi kinerja perusahaan oleh stakeholder termasuk investor. Adanya corporate governance yang baik akan meningkatkan transparasi dan akuntabilitas perusahaan, sehingga tanggung jawab lingkungan hidup akan diungkapkan dalam annual report. Menurut Mirfazil dan Nurdiono (2007) besarnya dampak lingkungan hidup tergantung pada karakteristik perusahaan. Dengan kata lain, karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan misalnya semakin besar perusahaan semakin besar pula dampaknya terhadap kualitas lingkungan hidup. Beberapa penelitian terdahulu dilakukan untuk menguji keterkaitan antara mekanisme corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sukarela seperti informasi sosial dan lingkungan hidup, yaitu Eipstein dan Freedman (1994), Belkoui (2000), Komar (2004), Simon dan Wong (2001), Eng dan Mak (2003), Haniffa dan Cooke (2005), Cooke (1992), Darough dan Stougton (1990), serta Suhardjanto (2008). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan (Suhardjanto, Tower and Brown, 2008) dengan menerapkan index IER pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas maka permasalahan penelitian ini adalah apakah corporate governance dan karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap environment disclosure. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap tingkat environmental disclosure. II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. Environmental Disclosure Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Zhegal dan Ahmed (1990) mengidentifikasi 41
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Environmental disclosure meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam dan pengungkapan lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Melalui environmental disclosure masyarakat dapat memantau aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian, perusahaan memperoleh perhatian, kepercayaan dan dukungan dari masyarakat sehingga perusahaan dapat tetap eksis (Parsons, 1996). Menurut Al-Tuwaijri (2003) teknik pengukuran lingkungan dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, menggunakan content analysis, yaitu pengukuran beberapa tingkatan dengan mengkuantifikasi pengungkapan lingkungan yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan yang dibagi menjadi beberapa halaman (Gray et al, 2005; Patten, 1995; Guthrie dan Parker, 1989; Patten, 1992), kalimat (Wiseman, 1982; Ingram dan Krazer, 1980), dan kata (Deegan dan Gordon, 1996; Zeghal dan Ahmed, 1990). Teknik pengukuran yang kedua menggunakan disclosure index, peneliti mengidentifikasi isu lingkungan, kemudian membobot setiap item sesuai dengan demand stakeholder. Suhardjanto (2007) membuat indeks pengungkapan lingkungan hidup yang terdiri dari 35 item berdasarkan bobot isu yang ditulis media di Indonesia. Pengungkapan informasi lingkungan hidup perusahaan masih bersifat voluntary, unaudited dan unregulated (Mathews, 1984). Namun demikian, beberapa institusi telah menawarkan model yang bisa dijadikan pedoman seperti Global Reporting Initiatives (GRI). GRI merekomendasikan beberapa aspek lingkungan yang selayaknya diungkapkan. Ada sembilan aspek yang direkomendasikan oleh GRI. Kesembilan aspek tersebut adalah Material, Energi, Air, Keanekaragaman hayati, Emisi dan limbah, Produk dan jasa, Ketaatan pada peraturan, Transportasi, Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga lingkungan. 2. Corporate Governance Corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks, 2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder (Kaihatu, 2006). Prinsip-prinsip corporate governance menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah: (1) perlindungan terhadap hakhak pemegang saham, (2) persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham, (3) peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan, (4) keterbukaan dan transparansi, dan (5) akuntabilitas dewan komisaris. 42
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Salah satu aspek penting dalam corporate governance adalah Dewan Pengurus Perseroan atau Board of Directors. Indonesia menganut two board system yang berarti bahwa komposisi dewan pengurus perseroan terdiri dari fungsi eksekutif yaitu dewan direksi, dan fungsi pengawasan yaitu dewan komisaris (Herwidayatmo, 2000). Berdasarkan kerangka hukum yang ada, fungsi independent director pada single-board system dapat direpresentasikan dengan fungsi dewan komisaris pada two-board system. Oleh karena itu sistem pengawasan yang ada pada perusahaan di Indonesia terletak pada dewan komisaris. Keefektifan peran pengawasan dewan komisaris ini didukung dengan keberadaan komisaris independen dalam komposisi dewan komisarisnya. Barry (1999) menyatakan bahwa komisaris independen dapat membantu memberikan kontinuitas dan objektivitas yang diperlukan bagi suatu perusahaan untuk berkembang dan makmur. Selanjutnya, komisaris independen membantu merencanakan strategi jangka panjang perusahaan dan secara berkala melakukan review atas implementasi strategi tersebut. Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000. Perusahaan yang tercatat di BEI wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Keberadaan komisaris independen dalam dewan komisaris meningkatkan keefektifan dewan komisaris (John dan Senbet, 1998). Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan pertemuan rutin baik itu internal maupun eksternal dengan pihak lain. Hal ini tentu saja agar kelangsungan perusahaan dapat terjaga (corporate governance guidelines, 2007) Karakteristik personal seorang komisaris utama mempengaruhi praktik disclosure (Alhabsi, 1994). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chuah (1995), pemikiran seorang komisaris utama dipengaruhi oleh latar belakang ras dan culture, serta latar belakang pendidikan dan tipe organisasi dimana dia bekerja. Peran pengawasan yang dilakukan dewan komisaris perusahaan di Indonesia belum memadai (Herwidayatmo, 2000). Untuk itu diperlukan suatu komite untuk membantu tugas dan fungsi dewan komisaris. Komite ini disebut Komite Audit. Pada bulan Mei tahun 2000 telah diterbitkan surat edaran oleh Bapepam kepada para emiten/perusahaan untuk memiliki komite audit. Tugas dan fungsi komite audit adalah membantu dewan komisaris dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi perusahaan. Berdasarkan strukturnya, komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga anggota dan salah satu diantaranya adalah komisaris independen sekaligus merangkap sebagai ketua, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak independen. Dalam tugasnya membantu dewan komisaris untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi perusahaan, maka komite audit dituntut harus independen. McMullen (1996), keberadaan anggota 43
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
komite audit independen dalam komite audit akan meningkatkan transparansi komite audit dalam menjalankan tugasnya. Agar tugas dan tanggung jawabnya berjalan dengan baik, komite audit harus rutin mengadakan pertemuan atau rapat internal. 3. Karakteristik Perusahaan Karakteristik perusahaan dapat berupa ukuran perusahaan (size), profitabilitas, jumlah pemegang saham, status pendaftaran perusahaan di pasar modal, leverage, rasio likuiditas, basis perusahaan, jenis industri, serta profil dan karakteristik lainnya (Marwata, 2001). Menurut Mirfazil dan Nurdiono (2007) dampak lingkungan perusahaan tergantung pada jenis atau karakteristik perusahaan. Karakteristik perusahaan yang menghasilkan dampak lingkungan yang tinggi menuntut pemenuhan tangung jawab lingkungan yang tinggi pula. PENGEMBANGAN HIPOTESIS Variabel corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini ada 6, yaitu proporsi komisaris independen, latar belakang culture atau etnic dan latar belakang pendidikan komisaris utama, jumlah rapat dewan komisaris, proporsi anggota komite audit independen, dan jumlah rapat komite audit. Sedangkan karakteristik perusahaan adalah ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas dan cakupan operasional perusahaan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan tipe industri sebagai variabel kontrol. 1. Proporsi Komisaris Independen dan environmental disclosure Peran utama dewan komisaris adalah terkait dengan fungsi kontrol (Pound, 1995). Komisaris independen merupakan alat untuk mengawasi perilaku manajemen untuk meningkatkan pengungkapan informasi sukarela dalam laporan tahunan perusahaan (Rosenstein dan Wyatt, 1990). Dalam penelitian Chen dan Jaggi (1998), menyatakan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap environmental disclosure. Hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Leftwich, Watt dan Zimmerman (1981), Fama dan Jansen (1983), Forker (1992). Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis: H1 :
Terdapat pengaruh positif proporsi komisaris independen terhadap environmental disclosure.
2. Latar belakang culture atau etnic komisaris utama dan environmental disclosure Latar belakang etnis (culture) komisaris utama direpresentasikan dengan loyalitas kelompok etnik yang berada pada kelompok yang terdiri dari kumpulan orang yang mempunyai pola tingkah laku normatif (Cohen, 1974). Indonesia merupakan negara dengan banyak ras dan salah satu yang mempunyai kontribusi besar dalam dunia bisnis di Indonesia adalah etnis Tionghoa (Kusumastuti dkk, 2006). Etnis Tionghoa dinilai memiliki etos kerja tinggi, memiliki filosofi bisnis 44
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
yang menjadi ciri khasnya, yaitu hemat dan disiplin bila dibandingkan dengan orang pribumi sendiri (Sugiyono, 2007). Dengan adanya budaya dan etos kerja yang tinggi dapat meningkatkan kinerja dalam hal ini adalah kinerja komisaris utama (Setyawan, 2005). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H2 :
Terdapat pengaruh latar belakang etnis komisaris utama terhadap environmental disclosure.
3. Latar belakang pendidikan komisaris utama dan environmental disclosure Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh komisaris utama berpengaruh terhadap kinerja perusahaan (Ahmed and Nicholls, 1994). Seorang komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan bisnis diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan dibanding yang tidak berlatar belakang bisnis (Bray, Howard, dan Golan, 1995). Dari uraian di atas, maka dapat dikembangan hipotesis sebagai berikut: H3 :
Terdapat pengaruh latar belakang pendidikan komisaris utama terhadap environmental disclosure
4. Jumlah rapat dewan komisaris dan environmental disclosure Sesuai dengan corporate governance guidelines yang ditetapkan 12 September 2007, dewan komisaris harus memiliki jadwal rapat tetap dan dapat dilakukan rapat tambahan sesuai dengan kebutuhan serta dilakukan pada saat yang tepat. Hal ini untuk mengetahui apakah operasi perusahaan telah sesuai dengan kebijakan dan strategi perusahaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Brick dan Chidambaran (2007), menunjukkan bahwa semakin banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris akan meningkatkan kinerjanya. Dari argumen tersebut di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis: H4 :
Terdapat pengaruh positif antara jumlah rapat dewan komisaris terhadap environmental disclosure.
5. Proporsi auditor independen dan environmental disclosure Komite Audit mempunyai fungsi untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan dan sebagai sistem pengendalian (Collier, 1993). Auditor indepeden tidak terafiliasi dengan perusahaan atau komite lainnya, sehingga kinerjanya dapat dipercaya (McMullen, 1996). Penelitian Forker (1992) menyatakan bahwa keberadaan komite audit independen meningkatkan kualitas kontrol perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Simon (2001) bahwa komite audit independen berpengaruh positif terhadap luasnya disclosure. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5 :
Terdapat pengaruh positif proporsi auditor independen terhadap environmental disclosure. 45
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
6. Jumlah rapat komite audit dan environmental disclosure Dalam menjalankan tugasnya, komite audit minimal mengadakan rapat 4 kali dalam satu tahun (corporate governance guidelines, 2007). Hal ini dilakukan untuk dapat meningkatkan kinerjanya agar sesuai dengan tugas dan fungsinya. Selain tercantum dalam corporate governance guidelines, dalam audit committee charter tahun 2005 dinyatakan bahwa semakin banyak rapat komite audit yang dilakukan akan meningkatkan kinerja komite audit. Dari uraian tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis seperti berikut: H6 :
Terdapat pengaruh positif jumlah rapat komite audit terhadap environmental disclosure.
7. Ukuran perusahaan dan environmental disclosure Ukuran (size) perusahaan bisa diukur dengan menggunakan total aktiva. Hubungan antara ukuran perusahaan dan environmental disclosure telah dilakukan oleh beberapa peneliti (lihat, seperti misalnya, Belkaoui dan Karpik, 1989; Cowen et al., 1987; Kelly, 1981; Patten, 1991, 1992; Trotman dan Bradley, 1981). Perusahaan besar merupakan emiten yang paling banyak disoroti oleh publik sehingga pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis, sebagai wujud tanggung jawab perusahaan (Sembiring, 2005). Menurut Cowen et. al. (1987), perusahaan besar berada dalam tekanan untuk mengungkapkan aktivitas mereka untuk melegitimasi bisnis mereka karena perusahaan besar melakukan aktivitas yang lebih banyak, memiliki pengaruh yang lebih besar kepada masyarakat, memiliki pemegang saham yang mungkin peduli dengan program lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan, dan laporan tahunannya lebih efisien dalam mengkomunikasikan informasi tersebut kepada stakeholder. Sehingga perusahaan besar senantiasa terdorong untuk melakukan pengungkapan informasi lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H7 :
terdapat pengaruh positif size perusahaan terhadap environmental disclosure.
8. Leverage dan environmental disclosure Perjanjian terbatas seperti perjanjian utang yang tergambar dalam tingkat leverage dimaksudkan membatasi kemampuan manajemen untuk menciptakan transfer kekayaan antar pemegang saham dan pemegang obligasi (Jensen and Meckling, 1976; Smith and Warner, 1979 dalam Belkaoui and Karpik, 1989). Keputusan untuk mengungkapkan informasi lingkungan akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab lingkungan yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders.
46
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Hasil penelitian Belkoui dan Karpik (1989) menunjukkan leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap pengungkapan informasi lingkungan perusahaan. Penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) menemukan bahwa: (1) (2) (3)
pengungkapan lingkungan mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Smith dan Warner, 1979). Berdasarkan penelitian terdahulu, maka hipotesisnya adalah: H8: Terdapat pengaruh negatif leverage terhadap environmental disclosure. 9. Profitabilitas dan environmental disclosure Profitabilitas merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Hubungan antara profitabilitas dan pengungkapan merupakan refleksi yang menunjukkan bahwa diperlukan respon sosial untuk membuat perusahaan memperoleh keuntungan. Dengan begitu pengungkapan tanggung jawab lingkungan dipercaya sebagai pendekatan manajemen untuk mengurangi tekanan sosial dan merespon kebutuhan sosial (Hackston dan Milne, 1996). Studi empiris mengenai hubungan antara profitabilitas dan pengungkapan lingkungan memberikan hasil yang beragam. Penelitian Bowman dan Haire (1976) serta Preston (1978) dan Robert (1992) menemukan hasil yang mendukung pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan. Dari uraian diatas, maka dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H9 :
terdapat pengaruh positif antara profitabilitas terhadap environmental disclosure
10. Cakupan Operasional Perusahaan dan environmental disclosure Stakeholder asing memiliki keinginan dan kekuatan sehingga memiliki tekanan berbeda pada perusahaan, seperti misalnya pada negara berkembang, hanya terdapat beberapa konsumen dan kelompok berkepentingan yang memiliki kekuatan dan tekanan untuk mengungkapkan informasi sosialnya cenderung lebih kecil (Andrew, et. al., 1989; dalam Haniffa dan Cooke, 2005). Tekanan untuk melegitimasi perusahaan di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang (Haniffa dan Cooke, 2005). Berdasarkan uraian tadi maka dikembangkan hipotesis: H10 :
cakupan operasional perusahaan environmental disclosure. 47
berpengaruh
terhadap
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Tujuan penelitian yang menguji pengaruh karakteristik perusahaan dan corporate governance terhadap environmental disclosure ini melandaskan pada metodologi positivism. Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk periode 2007, yaitu sebesar 380 perusahaan. Penggunaan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai populasi karena perusahaan tersebut mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan kepada stakeholders, sehingga memungkinkan data laporan tahunan tersebut diperoleh. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara random berbasis alokasi proporsional untuk meyakinkan sampel representatif dari semua sektor industri (Haniffa dan Cooke, 2005), yaitu service, finance, dan manufacture termasuk mining. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebesar 90 perusahaan. Rosche (1975) dalam Sekaran (2003) menyatakan bahwa dalam analisis regresi berganda ukuran sampel hendaknya minimal sepuluh kali variabel dalam penelitian. Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan tahunan tahun 2007. Laporan tahunan dipilih karena memiliki kredibilitas yang tinggi, selain itu laporan tahunan digunakan oleh sejumlah stakeholder sebagai sumber utama informasi yang pasti (Deegan dan Rankin, 1997), memiliki potensial yang besar untuk mempengaruhi penyebaran distribusi secara luas (Adams dan Harte, 1998), menawarkan deskripsi menajemen pada suatu periode tertentu (Neimark, 1992) dan dapat diakses untuk tujuan penelitian (Woodward, 1998). Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari Indonesia Capital Market Directory (ICMD), IDX dan dari situs perusahaan sampel. Variabel Penelitian dan Pengukurannya Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi variable-variabel penelitian dan pengukurannya. a. Variabel Independen Variabel independen terdiri dari proporsi komisaris independen, latar belakang culture atau etnis komisaris utama, latar belakang pendidikan komisaris utama, jumlah rapat dewan komisaris, proporsi komite audit independen, jumlah rapat komite audit, ukuran perusahaan (size), leverage, profitabilitas dan cakupan operasional perusahaan.
48
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
1. Proporsi Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuanya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Herwidayatmo, 2000). Indikator yang digunakan adalah indikator yang digunakan dalam penelitian Eng dan Mak (2005), yaitu persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. 2. Latar belakang etnic komisaris utama Latar belakang etnic/culture komisaris utama diukur dengan menggunakan dummy variable. Indikator yang digunakan adalah dengan mengadopsi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2006), yaitu untuk presiden komisaris yang berasal dari pribumi dikode 1, etnis Tionghoa dikode 2, dan berasal dari negara lainnya dikode 3. 3. Latar belakang pendidikan komisaris utama Indikator yang digunakan untuk latar belakang pendidikan komisaris utama adalah apabila komisaris utama mempunyai latar belakang pendidikan keuangan atau bisnis dikode 1, sedangkan yang lain dikode 0. Indikator tersebut sesuai dengan penelitian Haniffa dan Cooke (2005). 4. Jumlah rapat dewan komisaris Jumlah rapat dewan komisaris merupakan rapat yang dilakukan antara dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Indikator yang digunakan adalah jumlah rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam waktu satu tahun. Hal ini sesuai dengan corporate governance guidelines (2007) dan penelitian Brick dan Chidambaran (2007). 5. Proporsi auditor independen Anggota komite audit yang independen merupakan anggota komite audit yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Indikator yang digunakan adalah persentase anggota komite audit yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran komite audit perusahaan, yaitu sesuai dengan penelitian Forker (1992), dan Simon (2001). 6. Jumlah rapat komite audit Jumlah rapat komite audit merupakan rapat yang dilakukan oleh komite audit dalam perusahaan. Indikator yang digunakan adalah jumlah rapat komite audit yang diselenggarakan dalam jangka satu tahun, dan sesuai dengan audit committee charter (2005) dan corporate governance guidelines (2007). 49
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
7. Ukuran perusahaan Size perusahaan dapat diproksikan dalam bentuk total aset, penjualan, total tenaga kerja, nilai kapitalisasi pasar dan sebagainya. Mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Freedman dan Jaggi (2005), Haniffa dan Cooke (2005), Suhardjanto (2008), serta Trotman dan Bradley (1981) maka di penelitian ini size perusahaan dihitung menggunakan logaritma total aset. 8. Leverage Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan utang. Penelitian terdahulu terhadap leverage mengunakan rasio utang terhadap modal sendiri (Haniffa dan Cooke, 2005). Penelitian ini konsisten dengan pengukuran yang digunakan oleh Freedman dan Jaggi (2005) yaitu membandingkan total utang dengan total ekuitas. Rumus yang digunakan untuk menghitung leverage adalah:
Leverage
Total Utang Total Ekuitas
9. Profitabilitas Profitabilitas merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Profitabilitas dapat dihitung dengan membandingkan antara pengembalian atas aset (ROA) (Freedman dan Jaggi, 2005) atau pengembalian atas ekuitas (ROE) (Haniffa dan Cooke, 2005). Penelitian ini menggunakan ROE sebagai proksi profitabilitas, yang dihitung dengan membandingkan antara pendapatan setelah pajak dengan total ekuitas (Haniffa dan Cooke, 2005).
ROE
Pendapatan Setelah Pajak Total Ekuitas
10. Cakupan operasional perusahaan Cakupan wilayah operasional dalam penelitian ini merupakan variabel dummy, yaitu dengan memberikan kode 1 untuk perusahaan yang berstatus multinasional dan kode 0 untuk perusahaan dengan cakupan operasi nasional (Haniffa dan Cooke, 2005). b. Variabel Dependen Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah environmental disclosure. Environmental disclosure diproksikan dengan menggunakan skor pengungkapan environmental disclosure pada annual report perusahaan sampel. Skor diberikan pada setiap item pengungkapan aktivitas lingkungan hidup yang terdapat dalam annual report. Bobot skor yang digunakan adalah menggunakan Indonesian Environmental Reporting Index (IER) yang merupakan hasil penelitian dari Suhardjanto, Tower dan Brown (2007) (lihat Tabel 1). Penggunaan skor ini dipilih karena bobot yang diberikan sesuai dengan 50
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
pengungkapan informasi lingkungan hidup pada perusahaan di Indonesia sehingga hasilnya akan lebih tepat dan akurat. Tabel 1. Indonesian Environmental Reporting Indeks (IER)
IER
No
IER Items
Index (weighted)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Impact of Using Water Incidents and Fines Programs for Protection Waste by Type Impacts of Activities Materials by Type Environmental Expense Discharges Water Other Air Emissions Withdrawals of Ground Water Land Information Volume of Water Use Energy Consumption Performance of Supplier Impact of Discharges Water Impacts of Transportation Impacts of Products Land for Extraction Spills of Chemicals Indirect Energy Renewable Initiatives Habitat Changes Other Indirect Energy Recycling Water Hazardous Waste Impermeable Surface Affected Red List Species Impact of Activities on Protected Areas Wastes of Material Direct Energy Greenhouse Gas Emissions (GGEs) Recycling Materials Emissions of Ozone Depleting Substances Other Indirect GGEs Operations in Protected Areas Mean
3.25 3.05 2.27 1.99 1.91 1.84 1.63 1.58 1.54 1.44 1.43 1.41 1.29 1.25 1.05 1.05 0.95 0.84 0.76 0.67 0.59 0.42 0.41 0.37 0.36 0.30 0.30 0.28 0.20 0.19 0.14 0.10 0.08 0.02 0.02 1.00
51
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
c. Variabel kontrol Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe industri. Tipe Industri Perusahaan memberikan informasi sesuai dengan tipe industri yang menjadi usahanya (Dye dan Sridhar, 1995). Klasifikasi industri yang digunakan didalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Suhardjanto (2008), yaitu: 1. Service dikode 1. 2. Finance dikode 2. 3. Manufacture (termasuk Mining) dikode 3. A. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan statistik deskriptif, dan pengujian hipotesis. 1. Statistik Deskriptif Pengujian ini terdiri dari penghitungan mean, median, standar deviasi, maksimum, dan minimum dari masing-masing data sampel. Pengujian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai distribusi dan perilaku data sampel tersebut. 2. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan logistic regression dan analisis regresi berganda. a. Logistic Regression Logistic regression merupakan analisis untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel dependen dapat diprediksi dengan variabel independennya (Ghozali, 2003). b. Analisis Regresi Berganda Untuk pengujian hipotesis, penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Sebagai prasyarat pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Persamaan regresi berganda dalam penelitian ini adalah: Y = b0 + b1X1 + b2X2 + .... + b11X11+ e Keterangan: Simbol Y X1 X2
Keterangan
IER (Indonesian Environmental Reporting/disclosure) Proporsi komisaris independen Latar belakang etnic komisaris utama, 1 = Pribumi, 2 = Tionghoa, 3 =
52
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010 Simbol X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 b0 b1 – b11 e
ISSN 1411 – 1497 Keterangan
Lainnya Latar belakang pendidikan komisaris utama, 1 = bisnis / keuangan, 0 = lainnya Jumlah rapat dewan komisaris Proporsi komite audit independen Jumlah rapat komite audit Ukuran perusahaan Leverage Profitabilitas Cakupan operasional perusahaan Tipe Industri, 1= Service, 2= Finance, 3= Manufacture Konstan Koefisien regresi Error
ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Deskriptif Berdasarkan teknik pengambilan sampel maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 perusahaan. Jumlah sampel dan klasifikasi industri, dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut: Tabel 2 Sampel dan Klasifikasi Industri
No 1 2 3
Perusahaan Jumlah Persentase (%)
Klasifikasi Industri Industri Jasa Industri Keuangan Industri Manufaktur dan lainnya Total
15 17 58 90
16,67 18,89 64,44 100,00
Berdasarkan 90 perusahaan sampel tersebut, terdapat 43 perusahaan yang mengungkap environmental disclosure dalam laporan tahunannya (47,78%). Tabel 3 menyajikan jumlah perusahaan sampel yang mengungkap environmental disclosure.
Tabel 3 Perusahaan dengan Environmental Disclosure No 1 2 3
Perusahaan Jumlah Persentase (%)
Klasifikasi Industri Industri Jasa Industri Keuangan Industri Manufaktur dan lainnya Total
53
7 2 33 43
7,78 2,22 36,67 47,78
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Dari 43 perusahaan dengan environmental disclosure, sektor keuangan merupakan sektor terkecil yang mengungkapan informasi lingkungan hidup dibanding dengan 2 sektor lainnya. Namun demikian, Bank Permata dalam annual reportnya telah mengungkapkan kegiatan lingkungannya dengan baik. Untuk mengundang partisipasi karyawan, setiap departemen saling bersaing memperebutkan Green and Clean Award yang didasarkan pada prinsip 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) dan penghargaan diberikan kepada yang terbaik dan terburuk di setiap lokasi utama Permata Bank. Selama tahun 2007, Permata Bank juga melaksanakan berbagai acara termasuk bekerjasama dengan WWF dalam seminar interaktif `Permata Bank peduli Global Warming`, `Tips Gaya Hidup Hijau Ala Permata Bankers`, EcoBussiness Tourism yaitu kegiatan benchmarking ke perusahaan yang ramah lingkungan, in-house training OHSAS 18001:2007 dan SO 14001:2004 (Integrated EHS Management System) untuk mensosialisasikan penerapan OHSAS 18001:2007 di Permata Bank tahun 2008 dan Awareness Vendor dengan tema Green Building (AR Bank Permata, 2007). Berdasarkan statistik deskriptif (lihat Tabel 4 dibawah) diketahui bahwa rerata perusahaan di Indonesia yang mengungkapkan informasi lingkungan hidup sebesar 5,35%. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku bisnis di Indonesia berkesadaran lingkungan hidup rendah. Nilai minimum environmental disclosure pada penelitian ini adalah 0,59% diperoleh PT Tira Austenite dan PT Adira Dinamika Muti Finance, yaitu berkenaan dengan aspek keanekaragaman hayati. PT Tira Austenite (perusahaan sektor industri jasa) menyatakan dalam annual reportnya mengenai pengungkapan program penghijauan seperti berikut ini: Planting of trees in the areas arround the company offices, is to reflect the company`s concern for global warming and to conserve the environmental arround the company (AR PT Tira Austenite, 2007). Nilai maksimum environmental disclosure sebesar 11,20% diperoleh PT Inco. PT Inco merupakan perusahaan pertambangan yang aktivitas operasi utamanya bersinggungan langsung dengan alam sehingga tuntutan stakeholder terhadap kelestarian lingkungan hidup lebih besar. Tabel 4 Statistik Deskriptif Variabel ED Prop_KI Rapat_DK Prop_KAI Rapat_KA Leverage
Min 0,59 25,00 2 25,00 1 -1,98
Max 11,20 100,00 69 100,00 104 16,86 54
Mean 5,35 43,09 8,63 55,89 10,21 2,75
Std.deviasi 2,64 15,25 9,85 22,79 13,19 3,57
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010 Profit Total_Asset
-0,73 314
ISSN 1411 – 1497 0,85 21.800.500
0,11 13.768.795
0,20 33.718.164
Ada sekitar 43% dewan komisaris berasal dari anggota komisaris independen. Proporsi ini sudah baik karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam pada tanggal 1 Juli tahun 2000, bahwa proporsi komisaris independen adalah 30% dari total anggota dewan komisaris. Agar proses pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris berjalan efektif, corporate governance guidelines (2007) menyatakan bahwa minimal dewan komisaris harus mengadakan rapat intern sebanyak 4 kali dalam 1 tahun. Tabel 4 menunjukkan bahwa secara rerata terdapat 9 kali rapat dewan komisaris. Atau dengan kata lain, hampir 1,5 bulan sekali ada rapat dewan komisaris. Pada umumnya perusahaan di Indonesia sudah memenuhi peraturan Bapepam terkait dengan proporsi komite audit independen minimal sebesar 33%. Hal ini terbukti dengan rerata proporsi komite audit independen sebesar 56%. Masih terkait dengan peraturan Bapepam, tersebut di dalamnya bahwa komite audit independen harus menyelenggarakan rapat intern minimal 4 kali dalam 1 tahun (corporate governance guidelines, 2007). Rerata rapat komite audit sebesar 10 kali dalam setahun. Namun dari data statistik pada tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa perusahaan yang menyelenggarakan rapat intern komite audit hanya sebanyak satu kali dalam setahun. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata ukuran perusahaan sebesar Rp 13.768.795 juta. Leverage perusahaan secara rerata perusahaan sebesar 275%. Tingkat leverage terendah sebesar negatif 198% yang dimiliki oleh PT Steady Safe, sementara tingkat leverage tertinggi dimiliki oleh Bank Artha Graha Internasional dengan besar 1.686%. Karakteristik perusahaan yang lain yaitu profitabilitas memiliki rata-rata sebesar 11%. Profitabilitas tertinggi sebesar 85% diperoleh PT Wahana Phonix Mandiri dan profitabilitas terendah sebesar negatif 0,73% didapat PT Centris Multipersada Pratama. B. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan alat statistik logistic regression dan regresi berganda1. 1. Logistic Regression Tujuan pengujian logistic regression adalah mengetahui variabel independen mana yang dapat memprediksi ada dan tidaknya environmental disclosure. Variabel dependen yang digunakan dalam pengujian ini adalah 1
Penelitian ini telah melakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji multikolineritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.
55
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
variabel dummy untuk environmental disclosure. Tabel 5 menunjukkan hasil logistic regression dengan menggunakan metode backward.
56
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Tabel 5 Hasil Logistic Regression No Variabel 1 Nagelkerke R Square 2 Hosmer and Lemeshow test 3 Cak_Op 4 Prop_KI 5 LBC_KU 6 LBP_KU 7 Rapat_DK 8 Prop_KAI 9 Rapat_KA 10 TI 11 Size 12 Leverage 13 Profitabilitas * Secara statistik signifikan pada tingkat 0.05 ** Secara statistik signifikan pada tingkat 0.10
p-value 0,278 0,610 0,622 0,236 0,089** 0,786 0,387 0,331 0,326 0,797 0,859 0,010* 0,018*
Tabel 5 menunjukkan bahwa predictive value model ini adalah sebesar 27,80% (Nagelkerke R Square = 0,278) dan bentuk model ini kuat karena hasil uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan nilai 0,610. Hasil uji Hosmer dan Lemeshow dikatakan kuat apabila p-value > 0,05 (Ghozali, 2003). Uji ini menunjukkan bahwa variabel leverage, profitabilitas dan latar belakang culture komisaris utama dapat menentukan diungkapkannya environmental disclosure. 2. Analisis Regresi Berganda Pengujian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen environmental disclosure. A. Regresi Berganda Hasil analisa regresi dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini: Tabel 6 Hasil Analisis Regresi Berganda No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Variabel Constant Prop_KI LBC_KU LBP_KU Rapat_DK Prop_AI Rapat_KA TI Size Leverage
β -11,878 0,050 1,256 0,000 0,164 -0,119 -0,014 0,042 1,296 -0,360 57
p-value 0,010 0,414 0,036** 0,629 0,189 0,516 0,513 0,525 0,001* 0,072***
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
No 11 12
Variabel β p-value Profitabilitas 0,178 0,225 Cak_Op 0,675 0,512 R Square 0,343 Adjusted R Square 0,293 F 6,789 Sig (p-value) 0,001* * ** Secara statistik signifikan pada tingkat 1%; Secara statistik signifikan pada tingkat 5%; *** Secara statistik signifikan pada tingkat 10% Pengujian regresi berganda ini dilakukan dengan metode backward. Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa nilai R2 dan Adjusted (R2) adalah 0,343 dan 0,292. Menurut Ghozali (2003) bila dalam model terdapat variabel independen lebih dari dua maka angka adjusted R square lebih baik dalam menilai kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Berdasarkan nilai Adjusted (R2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 29,2% variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variabel kontrol. Sisanya sebanyak 70,8% dijelaskan oleh faktor lain. Nilai F hitung sebesar 6,789 dengan probabilitas 0,001 (<0,05) berarti bahwa model ini secara baik dapat digunakan untuk memprediksi environmental disclosure. Tabel 6 menunjukkan bahwa prediktor yang baik terhadap environmental disclosure adalah latar belakang etnis komisaris utama (ρ-value sebesar 0,036) artinya bahwa latar belakang etnis komisaris utama berpengaruh positif signifikan terhadap level pengungkapan environmental disclosure (tingkat 5%). Begitu pula variabel Size (ρ-value sebesar 0,001) yang artinya bahwa ukuran perusahaan (asset) berpengaruh positif terhadap level pengungkapan environmental disclosure (tingkat 5%) dan leverage (ρ-value = 0,072) berpengaruh negatif signifikan pada level 10%. Dengan demikian, berdasarkan bukti empiris yang ada H2, H7 dan H8 dapat diterima. Variabel-variabel lain yang secara statistik tidak signifikan adalah latar belakang pendidikan komisaris utama (ρ-value = 0,629), jumlah rapat dewan komisaris (ρ-value = 0,189), proporsi auditor independen (ρ-value = 0,353), jumlah rapat komite audit (ρ-value = 0,513), profitabilitas (ρ-value = 0,225), tipe industri (ρ-value = 0,525), dan cakupan operasional perusahaan (ρ-value = 0,512) Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan dikarenakan ρ-value yang diperoleh dari hasil pengujian > 0,05. C. Pembahasan Hasil Analisis 1.
Environmental Disclosure
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, latar belakang culture komisaris utama, ukuran perusahaan, dan leverage berpengaruh secara signifikan. Latar belakang culture komisaris utama berpengaruh positif terhadap environmental disclosure. Hal ini konsisten dengan penelitian Haniffa dan Cooke 58
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
(2005). Hal ini dimungkinkan karena sifat karakteristik setiap etnis berbeda. Misalnya sifat karakeristik yang dimiliki seperti etnis China, Korea maupun Jepang adalah etos kerja (semangat kerja) tinggi, rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan, menabung dan investasi (Sugiyono, 2007). Selain itu, dalam hasil logistik regresi juga menunjukkan bahwa latar belakang culture komisaris utama merupakan faktor yang dapat menentukan diungkap atau tidaknya environmental disclosure dalam annual report. Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap environmental disclosure. Size perusahan berpengaruh positif terhadap environmental disclosure dibuktikan oleh hasil penelitian Kelly (1981), Belkaoui dan Karpik (1989), Patten (1992), serta Haniffa dan Cooke (2005). Alasan yang mendasari ukuran perusahaan menjadi variabel yang berpengaruh terhadap environmental disclosure yaitu:
bahwa perusahaan besar melakukan aktivitas yang banyak pula sehingga memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan, sehingga banyak shareholder maupun stakeholder yang peduli terhadap program lingkungan yang dijalankan oleh perusahaan (Hackston dan Milne, 1996; Trotman dan Bradley, 1981) Teori agensi dan teori legitimasi pun mendukung hubungan firms’ size ini (Ahmad dan Sulaiman, 2005; Haniffa dan Cooke, 2005; Brown dan Deegan, 1998). Perusahaan yang besar mempunyai biaya produksi informasi yang lebih besar daripada perusahaan kecil. Annual report yang mengungkapkan tanggung jawab lingkungan perusahaan merupakan bentuk efisiensi dalam mengkomunikasikan informasi lingkungan ini (Cowen, 1987). Disclosure yang lebih baik memudahkan perdagangan surat berharga dan memudahkan perusahaan mendapatkan dana (Singvi dan Desai, 1971). Lebih banyak pemegang saham memerlukan lebih banyak disclosure karena tuntutan pemegang saham dan analisis pasar modal.
Leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap environmental disclosure. Perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan mengurangi disclosure yang dibuatnya untuk mengurangi sorotan dari bondholder (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Warner (1979); Belkaoui dan Karpik (1989). Semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapannya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biayabiaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi). Itulah alasan leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan lingkungan atau environmental disclosure.
59
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap environmental disclosure. Seharusnya, keberadaan komisaris independen mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan Corporate Governance bagi perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik sebagai wujud pertanggungjawaban kepada stakeholders. Namun hasil penelitian ini menunjukkan penomena lain mengingat lemahnya praktik Corporate Governance di Indonesia (Yunita, 2008). Selain itu, meskipun Jakarta Stock Exchange telah mengatur jumlah keberadaan komisaris independen namun dalam praktiknya belum ada mekanisme tentang bagaimana pemegang saham memilih komisaris independen ini, sehingga walaupun dewan komisaris ini telah ada namun tidak diketahui bagaimana penunjukkannya (www.usu.ac.id). Latar belakang pendidikan komisaris utama ternyata tidak mempengaruhi luas pengungkapan informasi lingkungan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Hasil ini sesuai dengan penelitian Haniffa dan Cooke (2005); Kusumastuti dkk (2007). Tidak adanya pengaruh ini disebabkan dalam penelitian ini hanya mendefinisikan latar belakang pendidikan secara spesifik pada bisnis dan keuangan, padahal ada kemungkinan latar belakang pendidikan presiden komisaris sesuai dengan jenis usaha perusahaan yang dapat menunjang kelangsungan bisnis perusahaan lebih diperlukan. Selain itu adanya kebutuhan soft skill dalam menjalankan bisnis, sedangkan pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah merupakan pendidikan hard skill. Penelitian dari Harvard University di Amerika Serikat mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% dengan hard skill dan sisanya 80% dengan soft skill (Nurudin, 2004). Jumlah rapat dewan komisaris tidak mempengaruhi environmental disclosure. Hal ini dapat diindikasikan bahwa peraturan yang ditetapkan corporate governance guidelines (2007) belum berjalan baik di Indonesia. Peraturan yang ada hanya dijalankan sebagai formalitas demi menjaga image perusahaan itu sendiri. Proporsi komite audit independen tidak berpengaruh pada pengungkapan tambahan tentang informasi lingkungan perusahaan. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suhardjanto (2008). Seharusnya keberadaan komite audit independen mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan corporate governance, yang menekan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik terutama keterbukaan dan penyajian yang jujur dalam laporan keuangan (www.cicfcgi.org). Proses penunjukkan anggota komite audit independen masih belum jelas dan terbuka, sehingga keindependensiannya masih patut diragukan (Yunita, 2008). Pemilihan anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan marak terjadi. Variabel independen jumlah rapat komite audit secara statistik tidak signifikan. Sama halnya dengan rapat dewan komisaris, rapat komite audit belum berfungsi secara maksimal dikarenakan ada kecenderungan bahwa hal tersebut hanya merupakan wujud kepatuhan terhadap aturan saja. Selain itu, jumlah rapat 60
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
komite audit bukan merupakan ukuran dalam menilai keefektifan komite audit dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Menon dan Williams, 1994). Profitabilitas tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan lingkungan perusahaan. Hal ini tidak konsisten dengan penelitian terdahulu oleh Haniffa dan Cooke (2005) yang mengungkapkan bahwa profitabilitas dan disclosure perusahaan memiliki hubungan yang positif artinya semakin baik profitabilitas perusahaan. Variabel cakupan operasional perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab lingkungan perusahaan. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Haniffa dan Cooke (2005), serta Machmud dan Djakman (2008). Menurut Haniffa dan Cooke (2005) perusahaan yang terdaftar di pasar modal domestik negara berkembang, belum akan mengungkapkan corporate disclosure dengan baik karena tidak adanya aturan yang pasti dan kurangnya kesadaran publik. Tabel 7 dibawah ini merangkum hasil analisa statistik regresi logistik dan regresi berganda. Tabel 7 Ringkasan Hasil Analisis
Proporsi Komisaris Independen Latar Belakang culture Komisaris Utama Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama Jumlah Rapat Dewan Komisaris Proporsi Komite Audit Independen Jumlah Rapat Komite Audit Firm Size Leverage Profitabilitas Cakupan Operasional Perusahaan Tipe Industri
Logistik Regresi
Regresi Berganda
√ √
√ √ √ -
√ -
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dibuat kesimpulan: 1. 2.
3.
Dari jumlah sampel sebesar 90 perusahaan hanya terdapat 43 perusahaan (47,78%) dengan environmental disclosure yang berarti bahwa pengungkapan environmental disclosure masih rendah. Hasil pengujian logistic regression menunjukkan bahwa variabel latar belakang etnis komisaris utama, leverage, dan profitabilitas merupakan faktor yang menentukan diungkap atau tidak diungkapnya environmental disclosure pada annual reports. Faktor yang dapat mempengaruhi besarnya tingkat pengungkapan adalah: 61
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
a.
Latar belakang etnis komisaris utama berpengaruh positif terhadap environmental disclosure. Hal ini dikarenakan pemikiran dan tindakan seorang komisaris utama dipengaruhi oleh culture atau budaya etnis. b. Ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan pada tingkat 5%. Perusahaan besar mendapat perhatian besar dari media, pembuat keputusan dan stakeholder lainnya sehingga perusahaan besar berupaya mengungkapkan lebih banyak informasi lingkungan kepada para pemangku kepentingan perusahaan. c. Leverage berpengaruh negatif terhadap environmental disclosure. Hal ini dikarenakan perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan mengurangi disclosure perusahan dengan tujuan untuk mengurangi sorotan dari bondholder (Jensen dan Meckling, 1976; Smith dan Warner, 1979; Belkaoui dan Karpik, 1989). A. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Pengungkapan informasi lingkungan pada annual report perlu terus ditingkatkan mengingat kerusakan alam Indonesia yang parah. Pelaku usaha perlu terus didorong dan ditingkatkan kesadarannya terhadap kelestarian lingkungan hidup. Sebaiknya dalam penunjukkan atau pengangkatan komisaris utama perlu diperhatikan latar belakang budaya komisaris utama. Budaya cinta lingkungan pada etnis tertentu berpengaruh terhadap perilaku bisnis, hal ini disebabkan latar belakang etnis seorang presiden komisaris mempengaruhi perilakunya termasuk dalam hal praktik pengungkapan pada laporan tahunan. Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan informasi lingkungan, oleh karena itu sebaiknya perusahaan besar lebih dapat meningkatkan pengungkapan informasi lingkungan pada annual report. Berdasarkan hasil penelitian, profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap environmental disclosure yang dilakukan perusahaan. Oleh karena itu semakin besar profitabilitas suatu perusahaan maka semakin meningkat kontribusinya terhadap lingkungan, sehingga environmental disclosurenya pun meningkat.
B. Keterbatasan Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengungkapan informasi lingkungan hidup bukan merupakan cerminan kinerja lingkungan hidup. Sehingga dalam penelitian ini diasumsikan bahwa perusahaan yang telah melakukan aktivitas yang mendukung pelestarian lingkungan hidup secara rasional mengungkapkan informasi lingkungan hidup yang telah dilakukan.
62
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
2. IER index yang digunakan dalam penelitian hanya cerminan dari tuntutan media khususnya surat kabar dan bukan aggregate dari semua stakeholder. C. Rekomendasi Beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Karena rendahnya kesadaran pengungkapan informasi lingkungan hidup maka bila dipandang perlu regulator mengeluarkan kebijakan mandatory disclosure lingkungan hidup mengingat parahnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. 2. Penelitian selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan aspek kinerja aktivitas lingkungan hidup. 3. Penelitian tentang index yang merupakan cerminan tuntutan seluruh stakeholder terhadap environmental disclosure mendesak untuk dilakukan. 4. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya membandingkan praktik environmental disclosure di Indonesia dengan negara lain (studi komparatif). DAFTAR PUSTAKA Adams, C.A., dan Harte, G. (1998). The changing portrayal of the employment of women in British banks and retail companies’ annual reports. Accounting, Organizations and Society. Vol. 23: 781–812 Ahmed, K dan Nichols, D. 1994. The Impact of non-financial company characteristic on Mandatory disclosure Compliance in Developing Countries: The Case of Bangladesh. International Journal of Accounting, Vol. 29 (1): 62-77 Alhabshi, S.O. 1994. Corporate Ethics in the Management of Corporations. The Malaysian Accountant. April: 22-24 Al-Tuwaijri, S.A., Christensen, T.E. dan Hughes II, K.E. (2004). The Relations among environmental disclosure, environmental performance, and economic performance: a simultaneous equations approach. Accounting, Organizations and Society. Vol. 29: 447-471 Anggraini, R.R. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi IX (Padang) Atkinson, G. 1999. Measuring Corporate Sustainability. Journal Environmental Planning and Management. Vol. 42 (2): 235-252 Bates, G.M. 2002. Environmental Law in Australia. Sydney: Butterworths
63
of
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Belal, A.R. 2000. Environmental Reporting in Developing Countries: Empirical evidence from Bangladesh. Eco-Management and Auditing. Vol. 7 (3): 114 Barry J.R. 1999. Independent Directors. Ivey Business Journal Belkaoui, A., dan Karpik, P. G. (1989). “Determinants of The Corporate Decision To Disclose Social Information.” Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 2: 36-51 Brick E, Ivan, dan Chidambaran N.K. 2007. Board Meetings, Committee Structure, and Firm Performance. http://papers.ssrn.com. 23 Agustus 2008 Chen, C.J.P., dan Jaggi, B. 2000. Association between independent non-executive directors, family control and financial disclosures in Hong Kong. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 19: 285–310 Chinn, R. 2000. Corporate Governance Handbook. Gee Publising Ltd. London Chuah, B.H. 1995. The unique breed of Malaysian managers. Management Times. New Straits Times Press: Malaysia. March 7-6 Cohen, A. 1974. Two-Dimensional Man. Routledge and Kegan Paul: London Collier, P. 1993. Factors affecting the formation of audit committees in major UK listed companies. Accounting and Business Research. Vol. 23 (91): 421–430 Cooke, T.E. (1992). The impact of size, stock market listing and industry type on disclosure in the annual reports of Japanese listed companies. Accounting and Business Research. Vol. 22: 229–237 Cowen, S.S., Ferreri, L.B., dan Parker, L.D. (1987). The impact of corporate characteristics on social responsibility disclosure: A typology and frequency-based analysis. Accounting, Organizations and Society. Vol. 12: 111–122 Cunnigham, S., dan D. Gaddene. 2003. Do corporation perceive mandatory publication of pollution information for key stakeholders as a legitimacy treath?. Journal of Environmental Assessment Policy and Management. Vol. 5 (4): 523-549 Deegan, C., dan Brown, N. (1998). The public disclosure of environmental performance information-a dual test of media agenda setting theory and legitimacy theory. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 9: 52–69 Deegan, C., dan Rankin, M. (1997). The materiality of environmental information to users of annual reports. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 10: 562-583
64
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Dye, R.A., dan Sridhar, S. S. (1995). Industry-wide disclosure dynamics. Journal of Accounting Research. Vol. 33: 157-174 Eng, L. L., dan Mak, Y. T. (2003). Corporate Governance and Voluntary Disclosure. Jurnal Of Accounting And Public Policy. Vol. 22: 325-345 Epstein, M. J., dan Freedman, M. (1994). Social disclosure and the individual investor. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 7: 94109 Fama, E.F., dan Jensen, M.C. 1983. Separation of ownership and control. Journal of Law and Economics. Vol. 26 (2): 301–325 Forker, J.J. 1992. Corporate Governance and Disclosure Quality. Accounting and Business Research. Vol. 22 (86): 111-124 Freedman, M., dan Jaggi, B. (2005). Global Warming, Commitment to The Kyoto Protocol, and Accounting Disclosures by The Largest Global Public Firms from Polluting Industries. The International Journal of Accounting. Vol. 40: 215– 232 Ghozali. I. (2005). Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Global Reporting Initiatives. (2006). „Sustainability reporting guidelines‟, GRI, Boston. Retrieved: 13 Oktober 2006, from www.global-reporting.org Gray, R., Kouhy R., dan Lavers, S. (1995b) ”Methodological Themes : Constructing A Research Database of Social and Environmental Reporting By UK Companies.” Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 8: 78-101 Gujarati, Damondar N. (2003). Basic Econometrics. Forth Edition. New York: Mc.Graw-Hill Guthrie, J. dan Parker, L.D. (1990), “Corporate Social Disclosure Practice: A Comparative International Analysis”. Advances in Public Interest Accounting. Vol. 3: 159-175 Hackston, D., dan Milne, M.J. (1996). Some Determinant Of Social And Environment Disclosures In New Zealand Companies. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 9: 77-108 Hadi, A.S. 2006. Regression Analysis by Example. Forth Edition. A John Willey and Sons, Inc Haniffa, R. M., dan Cooke, T. E. (2005). The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 24: 391–430 Hayuningtyas, Putri. (2007). Karakteristik Perusahaan, dan Pengungkapan Tanggung jawab Sosial Perusahaan. Skripsi FE UNS 65
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Herwidayatmo. 2000. Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik Indonesia. Usahawan. Edisi 10/Tahun XXIX: 25-32 IAI. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat Ja`far, M. 2006. Pengaruh Dorongan Manajemen Lingkungan, Manajemen Lingkungan Proaktif dan Kinerja Lingkungan terhadap Public Environmental Reporting. Simposium Nasional Akuntansi IX (Padang) Jensen, M.C., dan Meckling, W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial Economic. Vol. 3: 305-360 John, K., dan L.W. Senbet. 1998. Corporate Governance and Board Effectiveness. Journal of Banking and Finance. Vol. 22: 371-403 Kaihatu, T.S. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Ekonomi Manajemen Universitas Kristen Petra Surabaya. www.petra.ac.id. 06-09-2008 Komar, S. 2004. Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial (Social Responsibility Accounting) dan Korelasinya dengan Akuntansi Islam. Media Akuntansi. Edisi 42/Tahun XI: 54-58 Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra. 2007. Pengaruh Board Diversity terhadap Nilai Perusahaan dalam Perspektif Corporate Governance. Jurnal Ekonomi Manajemen Universitas Kristen Petra Surabaya. www.petra.ac.id. 06-09-2008 Marwata. (2001). Hubungan Antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela Dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia. SNA IV: 155-172 Mathews, M.R. 1985. Social and Environmental Accounting : A practical demonstration of ethical concern. Journal of Business Ethics. Vol. 14: 663-671 McMullen, D.A. 1996. Audit committee performance: an investigation of the consequences associated with audit committee. Auditing: A Journal of Theory and Practice. Vol. 15 (1): 87–103 Menon dan Williams. 1994. The Use of Audit Committees for Monitoring. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 13: 121-139 Mirfazli, E., dan Nurdiono. (2007). Evaluasi Pengungkapan Informasi Pertanggungjawaban Sosial Pada Laporan Tahunan Perusahaan Dalam Kelompok Aneka Industri Yang Go Publik di BEJ. Jurnal Akuntansi dan keuangan. Vol. 12: 1-45 Monks, R.A.G., dan Minow, N. 2003. Corporate Governance 3rd edition. Blackwell Publishing 66
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Nyquist, S. 2003. The Legislation of environmental disclosure in three Nordic Countries – a comparisons. Bussiness Strategy and The Environment. Vol. 12 (1): 12 Parson, E.A. 1996. Reflections on air capture: the political economy of active intervention in the global environment. Climatic Change: 1-11 Pflieger, Juli., Matthias Fischer., Thilo Kupfer., dan Peter Eyerer. (2005). The contribution of life cycle assessment to global sustainability reporting of Organization. Management of Environmental. Vol. 16 Patten, D.M. (1991). Exposure, legitimacy and social disclosure. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 10: 297-308 Patten, D.M. (1992). Intra-industry environmental disclosures in response to the Alaskan oil spill: A note on legitimacy theory. Accounting, Organizations and Society. Vol. 17: 471-475 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2006). KBBI: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Reliant Energy Inc. 2007. Corporate Governance Guidelines. www.ssrn.com. 06-09-2008 Roberts, C. (1992). Environmental disclosures: A note on reporting practices in mainland Europe. Accounting, Auditing and Accountability. Vol. 4: 62– 7 Santrock, J.W. 1995. Life Span Development:Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5 jilid II. Penerbit Erlangga: Jakarta Sekaran, Uma (2000). Research Methodss for Busines. Third Edition. John Wiley and Sons Inc Sendut, H. 1991. Managing in a Multicultural Society: The Malaysian Experience. Malaysian Management Review. Vol. 26 (1): 61-69 Setyawan, S. 2005. “Konteks Budaya Etnis Tionghoa dalam Manajemen Sumber Daya Manusia“. Jurnal Manajemen dan Bisnis BENEFIT. Vol. 9 (2): 164 – 170. BPPE FE UMS Singhvi, S. S., dan Desai, H. B. (1971). An Empirical Analysis of The Quality of Corporate Financial Disclosure. The Accounting Review. Vol.46: 129138 Solomon, Aris, dan Linda Lewis. 2002. Incentives and disincentives corporate environmental disclosure. Busines Strategy and The Environment. Vol. 11 (3): 154 Specter, C.N dan Solomon, J.S. 1990. The human resource factor in Chinese management and reform: Comparing the attitudes and motivations of future managers in Shanghai, China; Baltimore, Maryland; and Miami, 67
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Florida. International Studies of Management and Organisations. Vol. 20: 69–83 Sugiyono. 2007. Menjawab Stigma, Mewariskan Tradisi. http://www.kabarejogja.com/new/canthing2.html. 14 Juni 2008 Suhardjanto, D., Tower G., dan Brown., A.M. (2007). Generating A Uniquely Indonesian Environmental Reporting Disclosure Index Using Press Coverage as An Important Proxy of Stakeholder Demand. Paper Submission to Asian Academic Accounting Association Annual Conference Yogyakarta, Indonesia Suhardjanto, D. (2008). Environmental Reporting Practices: An Evidence From Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Bisnis. Vol. 8: 33-46 Suhardjanto, D., Tower, G., dan Brown, A.M. 2008a. The Fallacy of Assuming Equality: Evidence Showing Vastly Different Weighting of the Global Reporting Intiative’s Key Items. International Business & Economics Research Journal. Vol. 7. No. 8: 21-32 Suhardjanto, D., Tower, G., dan Brown, A.M. 2008b. Indonesian Stakeholders’ Perceptions on Environmental Information, Journal of the Asia-Pacific Centre for Environmental Accountability, vol.14, no.4, pp.2-11. Suhardjanto, D.,dan Miranti, L. 2009. Praktik Penerapan Indonesian Environmental Reporting Index dan Kaitannya Dengan Karakteristik Perusahaan. JAAI. Vol. 13. No. 1: 63-67 Sularso, R.A. 2003. Pengaruh Pengumuman Dividen Terhadap Perubahan Harga Saham (Return) Sebelum dan Sesudah Ex-Dividend Date di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Jurnal Akuntansi & Keuangan. Vol. 5 Suratno, I.B., Darsono, dan Mutmainah. 2006. Pengaruh Environmental Performance terhadap Environmental Disclosure dan Economic Performance (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Periode 2001-2004). Simposium Nasional Akuntansi IX (Padang) Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta Trotman, K., dan Bradley. G.W. (1981). Association Between Social Responsibility Disclosure And Characteristic Of Companies. Accounting, Organisations and Society. Vol. 6: 355-362 Watts, R. L., dan Zimmerman, J. L. (1986). Positive accounting theory: A ten year perspective. The Accounting Review. Vol. 65: 131-156 WALHI. 2005. Laporan Indorayon Tidak Sesuai Fakta. http://www.walhi.or.id/ Wiseman, J. (1982). An evaluation of environmental disclosures made in annual reports. Accounting, Organizations and Society. Vol. 7: 553–563 68
Prestasi Vol. 6 No. 1 - Juni 2010
ISSN 1411 – 1497
Woodward, D.G. 1998. Specification of a content-based approach for use in corporate social reporting analysis. Southampton Institute working paper Zeghal, D., dan Ahmed, S.A. (1990). Comparison of social responsibility information disclosure media used by Canadian firms. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 3: 38-53 www.idx.co.id
69