ISSN : 2338-0357 Volume III, NOMOR III, April 2014
Syahadah
Jurnal Keislaman dan peradaban
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum. Corak Teologis-Filosofis dalam Penafsiran Al-Qur’an Ridhoul Wahidi, M.A. dan Amaruddin Asra, M.A. Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’ Fadhli Lukman Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im) Muhammad Makmun-Abha Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir Abd. Halim, M.Hum Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444 Email :
[email protected]
SYAHADAH Jurnal al-Qur’an & Keislaman Penerbit: Program Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir Universitas Islam Indragiri Tembilahan Pembina: Rektor Universitas Islam Indragiri Penanggung Jawab/Pengarah: Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Tim Ahli: Amaruddin, S. Ag, MA H. Muhammad Yusuf, Lc,M.S.I Pimpinan Redaksi: Ridhoul Wahidi, MA Tim Redaksi: Nasrullah, M.S.I Gianti, S.Th.I Mitra Bestari Dr. Mikdar Rusdi (Universitas Tun Husein Onn Malaysa) Dr. Risman Bustamam (IAIN Imam Bonjol Padang) Dr. Muhammad al-Fatih Suryadilaga (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) Distribusi & Sirkulasi: Ali Murtopo, S. Sos. I Nurhayati. S. E Barry Gunawan Editor/Lay-out Ridhoul Wahidi, S.Th.I., MA Alamat Redaksi: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444 Email :
[email protected] Jurnal Syahadah merupakan jurnal Ilmu al-Qur’an dan keislaman dengan kajian multidisipliner, terbit dua kali dalam satu tahun (April dan oktober), dikelola oleh program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Redaksi menerima tulisan yang relevan selama mengikuti petunjuk penulisan yang ditetapkan.
SAJIAN Volume III, No. III, April 2014
ISSN : 2338-0357
SAJIAN (iv) EDITORIAL (v)
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik (Hal. 7) Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum. Corak Teologis-Filosofis dalam Penafsiran Al-Qur’an (Hal. 29) Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, M.A. Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’ (Hal. 40) Fadhli Lukman Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im) (Hal. 53) Muhammad Makmun-Abha Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir (Hal. 69) Abd. Halim, M.Hum.
EDITORIAL Bismillahi Al-Rahman Al-Rahim Puji dan syukur kepada Allah SWT, jurnal Syahadah Ilmu alQur’an dan Keislaman Volume III Nomor III Edisi III April 2014 hadir untuk menyapa kembali para pembaca, peminat Ilmu alQur’an dan keislaman. Jurnal dihadapan anda adalah edisi III dari Jurnal Syahadah yang diharapkan mampu memenuhi salah satu standar dalam penelitian akreditasi Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Lebih jauh jurnal ini diproyeksikan mampu menjawab segala tantangan dari permasalahan yang ada di masyarakat dan dunia Islam, tentu dengan terbitnya Jurnal Syahadahini secara kontinyu dapat memberikan konstribusi bagi penyebaran dan pengembangan karya ilmiah intelektual di bidang Ilmu al-Qur’an dan keislaman. Jurnal Syahadah Volume III Nomor III April 2014 edisi III ini ditulis oleh beberapa akademika pecinta ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Oleh Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum. 2. Corak Teologis-Filosofis dalam Penafsiran Al-Qur’an Oleh Ridhoul Wahidi, M.A. dan Amaruddin Asra, M.A. 3. Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’ Oleh Fadhli Lukman 4. Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im) Oleh Muhammad Makmun-Abha 5. Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir Oleh Abd. Halim, M.Hum. Dewan redaksi sepenuhnya menyadari, bahwa terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan pada penerbitan edisi ini. Maka masukan dan kritikan dari semua pihak akan kami terima dengan terbuka dan rasa terima kasih. Tim Redaksi
PEDOMAN PENULISAN 1. Naskah ditulis dalam bentuk essay, berisi gagasan atau analisis konseptual yang orisinil, hasil penelitian, atau book review, dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, yang mencakup: Ilmu Ekonomi Syariah, serta pemikiran ke-Islaman. 2. Panjang naskah adalah antara 10-20 halaman kertas kwarto/A.4, diketik dengan 1,5 spasi atau yang setara, dengan margin: kiri dan atas 4 cm, margin kanan dan bawah 3 cm. 3. Naskah diketik dengan menggunakan huruf/font Times New Roman untuk Latin, ukuran 12, dan Tradisional Arabic ukuran l8 untuk tulisan berbahasa Arab, atau ukuran 16 untuk teks Arab kutipan, seperti kutipan pendapat, dan kutipan ayat dan hadis, sedangkan dalam catatan kaki huruf Latin dengan font 10 dan Bahasa Arab dengan font 15. 4. Komponen naskah yang harus ditulis secara jelas secara berurutan adalah a) Judul tulisan, b) Nama penulis, tanpa gelar, dan di sebelah kanan atas nama penulis diberi footnote dengan tanda (*), di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan terakhir penulis, tempat tugas, dan bidang studi yang digeluti penulis, serta informasi yang relevan lainnya, c) Abstrak berbahasa asing (Arab-Inggris) atau berbahasa Indonesia (maksimal 100 kata), d) Kata kunci atau key words dari tulisan, e) pendahuluan atau prolog, f) isi (deskripsi dan analisis), dapat dibagi kepada beberapa sub bahasan, g) Kesimpulan, dan h) Daftar rujukan. Jika tulisan yang dikirim adalah hasil penelitian (riset), maka harus ditambah dengan memuat; latar belakang, tinjauan pustaka, tujuan, metode penelitian, dan hasil penelitian. 5. Kutipan harus dijelaskan sumbernya dalam bentuk foot note, yang memuat; nama pengarang (sesuai dengan nama di daftar rujukan), (misalnya; Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 301.) 6. Tulisan harus dilengkapi dengan Daftar Rujukan, yaitu sumber tertulis yang benar-benar digunakan dalam penulisan naskah. Cara penulisan daftar rujukan adalah; nama penulis secara lengkap, bagian akhir dari nama penulis ditulis paling awal, dan antara nama akhir dengan nama selanjutnya diberi batas dengan koma (,); lalu judul buku ditulis italic/ miring, kota tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, cetakan ke. Baris kedua dari buku sumber harus dimasukkan ke kanan, sejauh 7 spasi. Misalnya:
Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum AlQur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke email;
[email protected]
EPISTEMOLOGI CORAK TAFSIR SUFISTIK Lenni Lestari, S.Th.I, M. Hum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Abstract Many ideology interpretations of al-Qur’an have developed until today. One of them is mystical (sufistik) interpretation. This article will explore about epstemology aspects of mystical interpretation and a little bit of it history in grand mapping of al-Qur’an interpretation. In the last of this article will explain about how mysticism interpretation to be faced with verses (ayat) related to Fiqih, Science, Culture, and etc.
Key words: Mysticism (tasawuf), mystical interpretation, epistemology, alQur’an
A. Pendahuluan Fenomena munculnya tafsir sufistik merupakan bukti bahwa umat Islam terus melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengetahuan) dalam merespon relasi antara kalam Tuhan dan konteks masyarakat di zamannya. Imam Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustari, seorang tafsir sufi, pernah mengatakan bahwa Allah itu tak terbatas (unlimited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian penggalan pernyataan yang dikutip oleh Syaikh Badruddin al-Zarkasyi dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Mungkin karena hal inilah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir menggunakan berbagai pendekatan dan perangkat penafsiran.1 Tulisan ini akan memaparkan tentang aspek epistemologi tafsir sufistik, ulasan singkat mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang bagaimana ketika tafsir sufistik dihadapkan pada ayat-ayat di luar tataran tasawuf seperti fiqih, ayat-ayat kauniyah, kebudayaan, dan lain 1 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press. 2012), hlm. 10
8
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
sebagainya, sementara wacana yang berkembang mengatakan bahwa tafsir sufistik lebih mementingkan makna batin daripada aspek lainnya.
B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Tasawuf a. Pengertian Tasawuf Hampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam bidang tasawuf tentang sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf. Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap agama, aliran filsafat, dan peradaban.2 Selain itu, istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.3 التصوف Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata al-tasawwuf ( ) التصوفadalah bahasa Arab dari kata suf ( ) صوف, atau bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian domba صوف sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah dise butkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak adalah seorang َ zahid ْ ْ 4 اب ذ ع ل ا ه ل ب ق ن م ه ر ه الرحْ َمةُ َو َظا اطنُهُ فِي ِه اب َب س َف ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ tasawuf َب ب ُ َ ٌ َور لَهُ ب ُ ْينَ ُه ْم ِبsikap َ ض ُِرmeُ َّ makna ٍsebagai (w. 150H). Al-Zahabiُ memberi nyerahkan diri kepada Allah (dan berserah diri) sesuai yang Alَ الرحْ َم س ِ اب َب اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َربِ ِه ٌ ور َلهُ َب ُ ب َب ْي َن ُه ْم ِب َ ض ُِر ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت َّ اطنُهُ ِفي ِه 5 ف lahٍ kehendaki. ْن يُعَ ِظ ْمal-Wafa’ َاَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْند ذَ ِلكَ َو َمal-Taftazani mencoba mengajukan definisi ِ ُح ُر َماAbu َّ ت
(Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 43.
2 Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di I ndonesia.
ا ْلبَحْ َري ِْن
3 Lihat Harun Nasution, “Tasawuf” dalam Budhi Munawar Rachman (Ed.), Kon ْلبَحْ َري ِْنIslam ا ان يَ ْل tekstualisasi Doktrin dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina. 1995), ِ ت َ ِق َيhlm. 161. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah يَ ْلتَ ِق َي Atas Metodologiان al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu الحيوانية النفسAlِ Penafsiran Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, Vol. 3, No. 2, Januari 2003. Hlm. 148-149. النفس الحيوانية ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي 4 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan َالَّ يَ ْب ِغي29. ِ hlm. Kalijaga. 2005),ان
5 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th),
hlm. 301.
أ َ ْندَادًا أ َ ْندَادًا
9
yang hampir mencakup seluruh unsur substansi tasawuf, yakni “Sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia, yang dapat direalisasikan melalui latihanlatihan praktis tertentu yang membuahkan larutnya perasaan dalam hakikat transedental”. Pendekatan yang digunakan adalah zauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman seperti ini tak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan personal.6 b. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah puasa dan haji. Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali mencontohkan praktik kehidupan sederhana,7 banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah lainnya, tetapi mereka belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun abad kedua Hijriah.8 Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiah. Pada masa ini pulalah
6 Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, cet. II. (Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976), hlm. 24-25. Dikutip oleh Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. (Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 46-47. 7 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak/Tasawuf, hlm. 41. 8 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. Sebagaimana dikutip Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 149.
10
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
istilah tasawuf mulai dikenal.9 Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.10 Dari hal tersebut diatas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis, dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilahistilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lainnya. c. Tasawuf Sebagai Salah Satu Corak Tafsir Al-Quran Berdasarkan pemetaan Abdul Mustaqim, tafsir corak tafsir termasuk dalam tafsir yang muncul pada abad pertengahan (terhitung sekitar abad III H sampai dengan abad VII/VIII H atau ketika peradaban Islam memimpin dunia). Hal ini ditandai dengan bergesernya tafsir bi al-Ma’sur menjadi tafsir bi al-ra’yi. Penggu9 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. 10 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 149.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
11
naan rasio semakin kuat, meskipun sering terjadi bias ideologi. Sebagai implikasinya, muncullah berbagai kitab tafsir yang diwarnai dengan corak dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab ideologi para mufassirnya dan bahkan penguasa saat itu.11 Dilihat dari pemetaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran,12 metode penafsiran,13 dan corak penafsirannya.14 Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk penafsiran sufistik adalah tafsir bi al-ra’yi. Metode yang mayoritas digunakan dalam menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan coraknya adalah corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam tafsirnya. Corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, telah mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakannya dengan tafsir lain.15 Bagi para sufi, beberapa ayat dalam al-Quran–tanpa menggunakan kecerdasan yang terlampau tinggi- tampak jelas dan pada saat yang sama dapat dipahami sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang spesifik.16 11 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…, hlm. 90. 12 Bentuk penafsiran adalah pendekatan dalam proses penafsiran. Lihat Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 386. 13 Metode penafsiran adalah sarana yang diterapkan untuk mencapai tujuan. Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Hlm. 386. 14 Corak Penafsiran adalah tujuan instruksional dari suatu penafsiran. Tiga istilah pembedaan di atas (bentuk, metode, dan corak penafsira) ditawarkan oleh Nashiruddin Baidan yang bertujuan untuk mempermudah para peminat tafsir dalam melakukan kajian tafsir. Lihat Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 368-386. 15 Abdul Mustaqim. Pembuatan Buku Daras Madzahibu al-Tafsir (Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 63. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 150. 16 D. B. Mac Donald. Aspect of Islam. (New York: 1911), hlm. 75, 186. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher dalam Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga
12
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Sebagian ulama membagi tasawuf ini menjadi dua bagian, yaitu tasawwuf nazari (teoritis) dan tasawuf ‘amali (praktis). Tasawwuf nazari adalah tasawuf yang berdasarkan pada wacana analisis dan studi (kajian). Sedangkan tasawwuf ‘amali adalah tasawuf yang bersandar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi (taqasysyuf) dan zuhud dan mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah swt.17 Tafsir corak ini dapat ditemukan untuk melegitimasi poinpoin ajaran sufi yang plural dan juga dalam kitab-kitab metodologis tafsir yang menafsirkan al-Quran dari bagian awal hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat berjalan sistematis. Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat diajukan produknya dari tafsir al-Quran adalah Tafsir al-Quran al-‘Azim karya Sahal al-Tustari (wafat 276 atau 286 H/886 atau 896 M) yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip).18 Selain itu ada juga buku yang paling menonjol dalam disiplin tafsir sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas di dunia Islam, yaitu kitab tafsir sarjana sufi Andalusia, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (lahir 562 H/ 165 M, wafat 638 H/ 1124 M). Kitab tafsir ini al-Futuhat, beberapa kali telah mengalami cetak ulang di Timur. Ibnu ‘Arabi19 dikenal sebagai sosok paling populer dalam
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
13
ranah tasawuf.20 Selain itu juga ada kitab Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi,21 kitab ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya Abi Muhammad al-Syairazi22 dan kitab al-Ta’wilat al-Najmiyah karya Najm al-Din Dayah dan ‘Ula’ al-Daulah al-Samanani.23 Ada satu karya lainnya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi.24 Namun, al-Zahabi dikutip juga oleh Abdul Mustaqim mengatakan bahwa tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bi al-ra’yi al-mahmud dengan metode tahlili, meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak sufi.25 Abdul Mustaqim mengatakan bahwa ada satu kitab tafsir sufistik yang relatif banyak diterima oleh para ulama, yaitu Lataif al-Isyarat karya Abdul Karim Ibn Hawazan Ibn Abd al-Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang, selalu berusaha mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab tertentu.26 2. Kategorisasi Tafsir Sufistik Adapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam makhluknya) dan al-tafsir al-sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawwuf 20 Ibid,. hlm. 259-260.
Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010), hlm. 221. 17 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 297. 18 Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 259. 19 Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh besar tasawuf falsafi teoritis. Ia menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawufnya, baik di dalam kitab tasawufnya yang populer maupun kitab-kitab lain yang dinisbatkan kepadanya, seperti al-Fusus. Dia adalah penganut paham wihdatul wujud. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007), hlm. 494. Ibnu ‘Arabi konon lebih mementingkan dan mendahulukan makna batin daripada makna zahir suatu perkataan atau ayat apabila menafsirkan al-Quran. Lihat Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani. 2008), hlm. 225, yang dikutip dari Muhammad Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa alMufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961), hlm. 407.
21 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 150. 22 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 341. 23 Ibid., hlm. 344. 24 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayiyn. 1988). Hlm. 296. 25 Dilihat dari perspektif “al-taghlib” –meminjam istilah al-Zahabi- maka anggapan bahwa tafsir al-Alusi sebagai tafsir bercorak sufi jelas terlalu berlebihan, sebab porsi sufistiknya ternyata lebih sedikit. Lihat Abdul Mustaqim, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. (Yogyakarta: TERAS. 2004), hlm. 159. 26 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 130.
14
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
15
التصوف ‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah, bahkan ingin menyatu).27 Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut: a. Al-Tafsir al-Sufi al-Nazari Di antara kaum sufi ada yang membangun tasawufnya di atas teori dan doktrin filsafat, maka rasional kalau kaum sufi mengkaji al-Quran dengan kajian yang sejalan dengan teori mereka dan sesuai dengan doktrin mereka, hingga dalam menjelaskan al-Quran keluar dari makna dzahir yang dikuatkan syara’ secara bahasa. Sebenarnya suatu hal yang tidak mudah untuk menemukan konsep sufi dalam al-Quran sesuai dengan kajian tasawwuf. Karena al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia bukan untuk mengokohkan suatu teori tertentu yang terkadang baru dan jauh dari ruh (esensi) al-Quran dan kepastian akal. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Ulama yang dianggap ahli dalam bidang ini adalah Muhyiddin bin ‘Arabi, karena beliau dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sufi Ibn ‘Arabi ini banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti alFutuhat al-Makkiyah dan al-Fusus. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan berlandaskan teori sufi filosofis.28 Dalam penafsirannya, Ibnu ‘Arabi terpengaruh dengan teori wahdatul wujud (pantheisme) atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawulo gusti, yaitu teori tasawwuf tentang persatuan antara Tuhan dan manusia. Menurut al-Zahabi, penafsiran Ibnu ‘Arabi telah keluar dari madlul yang dikehendaki Allah. Dari pernyataan ini, terlihat bahwa al-Zahabi tidak sependapat dengan Ibnu ‘Arabi. 27 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 297. 28 Ibid., hlm. 297-298.
Adapun contoh penafsiran Ibnu ‘Arabi yang terpengaruh صوف dengan teori wahdatul wujud ialah dalam QS. al-Fajr: 29-30,
Maka masuklah dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklahَ ke dalam َ ِل ِه ا ْلعَذke اب اطنُهُ فِي ِه َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِب ِ اب َب ٌ َور لَهُ ب ُ ِب بَ ْين ُه ْم ب َ فَض ُِر ُ َّ ٍ س syurga-Ku. Ayat ini ditafsirkan: “…masuklahْ ke ُ dalam dimana ia adalah peو َخي ٌْر َله ِعندَ َر ِب ِهsurgaku ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت َ اَّللِ َف ُه lindungku, surgaku tidak ada selain Engkau, Engkau yang melindungiku dengan Zat manusia-Mu, saya tidak tahu apapun kecuali Engkau sebagaimana ada kecuali denganku, maka barangsiapa Engkau Engkau tidak akan tahu pasti ia tahu aku, sedang aku tidak diketahui maka Engkau tidak diketahui التصوف juga. Jika aku masuk surga, maka aku masuk jiwa-Mu…”29 ْ
البَحْ َري ِْن صوف Tafsir dengan corak semacam ini banyak mendapat kritik ان ي َ َي ْلت َ ِق dari para ulama, seperti al-Zahabi yang mengkritik Ibnuِ ‘Arabi yang dianggapnya terlalu batiniyyah (hanya melihat aspek الحيوانية النفس batin)30 dari teks-teks lahiriyah al-Quran dan bahkan melenceng dari syariat Islam.31 Terkadang Ibnu‘يهArabi juga menundukkan اب ِ 32اب َب َفضالَّ ُِر َي َْب ٌ َور لَهُ ب ُ ان ُه ْم ِب ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ ِ ِاطنُهُ ف ٍ س ِ َب ِغيبَ ْين kaidah nahwu di bawah teori tasawufnya. Adapun contoh penafsiran ُ‘ َخي ٌْر لَهArabi اَّللِ فَ ُه َو ت ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم ُح ِع ْندَ َربِ ِهIbnu ِ ُر َماterpengaruh َّ yang dengan filsafat adalah pada QS. Al-Rahman: 19-20, َ أ ْندَادًا
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu.
ا ْلبَحْ ريْن
ِ َ التصوف
29 Ibnu ‘Arabi. Al-Fusus. Jilid I. Hlm. 191-193. Dikutip oleh al-Zahabi. Al-Tafsir waَ ْ ان صوف ِ يَلت ِق َي al-Mufassirun. Hlm. 299.
فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت
30 Ada satu ayat yang sering dijadikan kebatinan, yaitu dalil adanya tafsir الحيوانية QS. النفس Al Hadid:13, َ وَ ُة َمْحالر ٌ بُهَ لور ُ بالتصوفنَ ُه ْم َالَّ يَ َف ْب ِغي اب ب بَ ْي ِ ض ُِر َ ان ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٍ س ِ َخي ٌْر ل “Lalu diadakan di antara mereka dinding dalamnya َ اَّللِ فَه َُو ْ صوف ت حُ ُرsebelah ن يُعَ ِظ ْم دَ َر ِب ِهyang هُ عِ ْنmempunyai ذَ ِلكَ َو َم ِ َماdi َّ pintu. ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ siksa.” ada Lihat Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm.297.
التصوف صوف
دًادَاأ َ ْن 31 Al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299. َ الرحْ َمةُ َو اب ٌ ور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ ُر ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ْن ا ْلبفََحْضر ِي ٍ س 32 Hal ini dapat dicermati dalam penafsirannya tentang QS. Al-Hajj: 30 ِ َ ُ َ الرحْ َمة و اب ظ َاه ُِرهُ ْ مِ ْن َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٌ سور لَهُ ب ُ ِب بَ ْينَ ُه ْم ب َ فَض ُِر ُ َربقِهبَ ِل ِه ا ْلعَذ ََّ ِاَّلل خي َ ٌْر لهُ عِ ن َانو ٍ َم ْن يُ َع ِظ ْم حُ ُر ِ اَم َّ ت َ ِ َ) يَ ْلتذََل ِقيك ( ِ ِ َ َد َ َُوه ف َاَّللِ ف Ia mengatakan bahwa ‘amil dalam zaraf ( لَ )هُ عِ ْندَ َر ِب ِهadalah َ ه َُوjalan خي ٌْر ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم حُ ُر َما ِtasawufnya. َّ ت النفس الحيوانية Lihat al-Zahabi. Al-Tafsir 301-302. wa al-Mufassirun, hlm.
بالموت السورة فيوسلم صلى فنعى هذه عليه هللا هللا رسول َان يِبْغَي َّال ِ ْن ِ ا ْلبَحْ َري
َان ِ يَ ْلت َ ِقي النفس الحيوانية أ َ ْندَادًا
ْن ِ ا ْلبَحْ َري َان ِ يَ ْلت َ ِقي
اب ِ اب َب ٌ ور لَهُ َب ُ ب َب ْينَ ُه ْم ِب َ فَض ُِر ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُر ُه ِم ْن ِق َب ِل ِه ا ْل َعذ َّ اطنُهُ ِفي ِه ٍ س َ فَضُرب بَ ْينَ ُهم ب ْ ابهُ ِم ْن َقِبَ ِله ا ابلعَبذَاب ب ِلةُ ِهب َ ْيوانَ ْل َظهاعَمذَ ِهر الر ْحْ م اب ُه َب ْم ِب ِ ُابم َبة َوري لَِههُ ب ٌ ْالرح ُ ُاطن َ ُض ُِرلَه َّ اطَونُ َظهُا فِ ِهي ُر ِههُفَ ِم ور ِسهُ ٍف ٌَب بَبَ ْين ُ ِ َْ َ ِ ٍ سف ُور له الرحْ َمةُ َوظ ِ َ ٌ ِ َبJurnal ُ ُ ِ ُبSyahadah َّ اط ُنُهُ فِي ِه ْ ُ َ ََضنبُِِر ِهقَِب ٍ س 16 ْ اَّللِ فَ َّ ُه َو َ َخي ٌْر لَهُ ِع ْ َذ ِلك ر َ د ن ت ا م ر ح م ظ ع ي ن م و ِ َّ ُ ِ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ Vol. 2, No. 1, April 2014 َ تهُ ِع َّ ْن ْ ُ َ َ ِ َاَّللِيُعَفَ ِظُه ْمَو ُح َخ ُير ٌَمْرال ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُحذَ ِل ُركَ َما َو َّ ت َم ْن اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َر ِبه ِ اَّللِدَف َرُه ِب َو ِه خي ٌْر لهذَ ِل ِكَعندََو َ َمربِْن ِهيُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت Antara ada batas yang keduanya tidak masing-masing.” dilampaui Ibnu ‘Arabi menafsirkan dua lautan ( ) ا ْلبَحْ َريْنdengan ِ lautan pertama sebagai lautan materi fisik seakan air garam yang ْن ي ر َْح ِ َ ا ْلب ا ْلبَحْ َري ِْن ْ ْن ي ر ب ل ا َْح َ ِ asin, sedangkan lautan kedua sebagai lautan abstrak, ان ِ يَ ْلت َ ِق َيseakan air tawar yang segar. Kata keduanya bertemu ( ان ِ ) يَ ْلت َ ِق َيmaksudnya ان ِ َي ْلت َ ِق َي ان يَ ْلتَ ِق َي ِ الحيوانية adalah bertemu dalam wujud manusia. diantaraالنفس keduanya ada الحيوانية ) النفس الحيوانية (النفس pembatas yangالنفس memisahkan yaitu jiwa hewani الحيوانية ان الَّ يَ ْبmelamِ َ ِغيsaling yaitu jiwa yang tidak jernih. Keduanya juga tidak َّ ال يَ ْب ِغيَان َّال ان paui batas ( ان ِ َي ْب ِغ َيsalِ َ ) الَّ يَ ْب ِغيyaitu antara jasad danِ ruh tidak akan ing mengalahkan. Padahal secara umum, ayat dengan ini ditafsirkan perkem bangan ilmu pengetahuan. Bahwa maksud dari lautan َأ ْندَادًاdua adalah di Selat Gibraltar itu terdapat pertemuan أ َ ْندَادًاdua jenisدًاlaut أ َ ْندَا َأ ْ ًا د َا د ن yang berbeda warna. Seperti ada garis pembatas yang memisah bagian berwarna biru agak gelap dan pada kan keduanya.Satu lebih terang. 33 bagian laintampak بالموت السورةmemberikan عليه وسلم في هذه صلى هللاkriteria رسول هللاdalam فنعىpenafsirAl-Zahabi beberapa 34 السورة هذه السورة في عليه وسلم رسول فنعى رسول هللا فنعى anبالموت nazari, yaitu: هللاهذه صلىفي عليههللاوسلم صلى هللا هللا عليه وسلم في هذه الس صلى هللا بالموترسول فنعى 1) Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran. 2) Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada sesuatu yang syahid (tampak/jelas). Menurut al-Zahabi, perumpamaan seperti ini terkesan menerka-nerka, padahal masih menurut al-Zahabi - perumpamaan seperti itu tidak boleh dilakukan kecuali ada informasi dari Rasulullah saw sendiri. 3) Terkadang tidak memperhatikan kaidah Nahwu atau Balaghah. Kaidah ini akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah ini diabaikan. Dengan kata lain, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan 33 Menurut penjelasan para ahli kelautan seperti William W Hay, guru besar Ilmu Bumi di Universitas Colorado, Boulder, AS dan mantan dekan Sekolah Kelautan Rosentiel dan Sains Atmosfer di Universitas Miami, Florida AS, serta Prof Dorja Rao, seorang spesialis di Geologi Kelautan dan dosen di Universitas King Abdul-Aziz, Jeddah, air laut yang terletak di selat Gibraltar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari kadar garamnya, suhu maupun kerapatan air laut. 34 Ibid., hlm. 306.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
17
bila membenarkan atau menguatkan teori tasawwufnya. b. Al-Tafsir al-Sufi al-Isyari Al-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.35 Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt kepada hambanya berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat al-Quran.36 Dengan kata lain, tafsir isyari ini merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-Quran berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-Quran. Lahir batin merupakan konsep yang dipergunakan kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan alQuran khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin. Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedangkan dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna: zahir, batin, had, dan matla’. Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Quran memiliki makna batin. Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arabi memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah ba35 Ibid., hlm. 308. Lihat juga dalam kitab Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa pengarang). Jilid I. (T.Tp. T. Th), hlm. 1634. 36 Definisi ini diperketat lagi dengan beberapa kata oleh Khalid Abdurrahman al-‘Ak yaitu: penakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan zahirnya yang tampak dari teks itu dengan panduan isyarat-isyarat tersembunyi (rahasia) yang dihasilkan oleh orang-orang yang berilmu dan sufi/salik (menuju Allah) dan memungkinkan untuk dikompromikan antara makna isyarat dengan makna lahir (tekstual) dengan salah satu cara dari beberapa cara yang dibenarkan syariat. Al-‘Ak. Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu. (Damaskus: Dar al-Nafais. 1986), hlm. 205. Sebagaimana dikutip Abbas Arfan Baraja. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi….hlm. 57-58.
18
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
caan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah bacaannya, sementara yang batin adalah pemahamannya.37 Baik makna zahir ataupun makna batin pada al-Quran, adalah dari Allah. Zahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para Nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah pemahaman di hati sebagian orang mukmin yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, dualism lahir-batin dalam wacana al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Yang zahir adalah yang bisa diindra (al-Surah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.38 Khalid Abdurrahman al-‘Ak membagi tafsir isyari berdasarkan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana yang memperolehnya hanyalah ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Quran, kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran yang mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern.39 Dalam fenomena tafsir isyari terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama membolehkan karena itu sebagai tanda keteguhan iman dan sebagai pengetahuan yang murni serta kontrobusi yang positif, sementara sebagian lainnya mengharamkan karena dianggap menyimpang dari ajaran Allah swt. Al-Zahabi menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu: 1) Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-lebihkan makna lahir. 2) Harus ada bukti syar’i yang bisa menguatkan. 37 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. (Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wah{dat al‘Arabiyah. 1990), hlm. 277. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 154.
اب ِ اب َب ٌ َور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ فَض ُِر ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ اطنُهُ فِي ِه ٍ س َ اب ِ اب َب ٌ وردَ لَ َرهُببَ ِه ُ ُب َوبَ ْي َخنَي ُه ٌْر ْم َل ِبه َ ض ُِرَف ُه ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ اطنُهُ فِي ِه س ِع ٍْن ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت ف ِاَّلل ِ Corak التصوف Epistemologi Tafsir Sufistik 19 َ َ َ ْ َ ف ُه َو خي ٌْر لهُ ِعندَ َربِ ِهLenni ِلكَ َو َم ْنM.Hum ذ ِ ماLestari, َّ ت ِاَّلل َ يُعَ ِظ ْم ُح ُرS.Th.I, صوف syar’i ْن ِ َريَْح ْلب ا 3) Tidak menimbulkan kontradiksi, baiksecara maupun ‘aqli. ا ْلبَحْ َري ِْن يَ ْلت َ ِق َيان 4) Harus mengakuiاب ُالرحْ َمة َن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذlahirnya ْ َو َظا ِه ُرهُ ِمayat ُاط ُنه فِي ِهtidak ِ اب َب َور َلهُ ب ٌ menjadiُ ب بَ ْي َن ُه ْم ِ ِب َ َفض ُِر ُ makna َّ dan ٍ س kan makna batin sebagai satu-satunya makna yang berlaku ْ ان ِ يَلت َ ِق َي ْالنفس الحيوانية sehingga menafikan makna lahir.40اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َربِ ِه ِ ذَ ِلكَ َو َمن يُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت Adapun contoh tafsir isyari yang dapatالنفس diterima adalah الحيوانية ان ِ الَّ َي ْب ِغ َي penafsiran al-Tustari terhadap QS. A-Baqarah: 22, ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي ا ْلبَحْ َري ِْن kamu mengadakan sekutu-sekutu “…Karena itu janganlah bagi Allah, padaأَ ْندَادًا hal kamu Mengetahui.” ان ِ يَ ْلت َ ِق َي Al-Tustari mengatakan bahwa makna ( ) أَ ْندَادًاadalah laالنفس الحيوانية Jadi, maksud “andaadan” wan. Maksudnya adalah nafsuamarah. adalah bukan hanya patung-patung, setan, tetapi nafsu amarah ِ َالَّ يَ ْب ِغي yang sering dijadikanبالموت manusia Tuhannya, ia انفنعى السورةsebagai وسلم في هذه هللا عليهsehingga رسول هللا صلى terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibandهذه السورة وسلم في عليه صلى هللا هللارسول jangan sampai فنعى diper ingبالموت Tuhannya. Dengan kata lain, manusia 41 budak oleh nafsu amarahnya. Tafsir isyari telah ada sejak masa sahabat. Salah satu conأَ ْندَادًا tohnya adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap QS. Al-Nasr: 1, “Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn ‘Abbas bahwa suatu hari Umar mengajak Ibn ‘Abbas bertemu dengan para sahabat Umar bertanya kepada para sa senior perang Badar, kemudian habat, “Apa penafsiran kalian tentang ayat di atas?”. Kemudian sahabat menjawab, “Kita diwajibkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya jika kita mendapat pertolongan dan kemenangan”. Lalu Umar bertanya kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah seperti itu penafsiranmu?”. Ia menjawab, “Tidak, itu ajal Rasulullah yang disampaikan Allah kepadanya.” Umar ber-
38 Ibid., hlm. 298.
40 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 330.
39 Ibid., hlm. 58.
41 Al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T.Th), hlm. 8.
ا ْلبَحْ َري ِْن ان ِ يَ ْلت َ ِق َي 20
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
kata, “Saya tidak tahu tentang ini kecuali dari anda.”42 Sahabat lainnya tidak paham tentang makna batin ayat tersebut, tetapi Umar dan Ibn ‘Abbas sudah paham melalui metode isyarah.43 Melalui penjelasan dan beberapa contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber penafsiran Al-tafsir al-sufi al-Isyari adalah intuisi. Adapun metode dalam mensajikan komentar tafsirnya menggunakan metode tahlili. c. Perbedaan Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari Menurut al-Zahabi, ada dua aspek perbedaan antara Altafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: التصوف 1) Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di صوف dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak ilmiah terlebih dahulu, berlandaskan premis-premis akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilakuَ الرحْ َمةُ َو اب ٌ ور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ َفض ُِر ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٍ س kan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai َ ( َُوpetunjuk) ُخي ٌْر لَه اَّللِ فَه ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم عِ ْندَ َر ِبisyarat ِ حُ ُر َماkesucian. َّ ت tingkatan terungkapnya ِهtabir 2) Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayatmempunyai makna tertentu dan penafsirnya ayat al-Quran sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari ْن ْا ْلبَح ِ َريartisebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, nya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna َان ِ يَ ْلت َ ِقي 44 batin. النفس الحيوانية 3. Kekurangan Tafsir Sufistik َان Tafsir sufistik termasuk dalam periode abad pertengahan, ِ الَّ يَبْغِ ي maka dari itu karakteristiknya juga mengikuti penafsiran pada lebih oleh kepentingan-ke abad pertengahan yang didominasi pentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuan tertentu. Seأ َ ْندَادًا belum menafsirkan al-Quran, seorang mufassir sudah diselimuti 42 Pada bagian akhir tafsir ayat di atas, Ibn ‘Abbas berkomentar: فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت
Maksudnya adalah bahwa Rasulullah hendak menyampaikan tentang wafatnya al-Miqbas Tafsir Ibn ‘Abbas. Jilid II. (T. beliau. Lihat Ibn ‘Abbas. Tanwir min Tp, T. Th), hlm. 162.
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
الحيوانية النفس 21 ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي
“jaket ideologi” tertentu. Akibatnya terjadi pemaksaan dalam penafsirannya. Kekurangan penafsiran periode pertengahan adalah: أَ ْندَادًا a. Pemaksaan gagasan eksternal (al-takalluf fi al-idkhal al-anashir kharijal al-Quran fi al-tafsir) yaitu terjebak dalam arus menon penafsiran Ibn ‘Arabi jolkan kepentingan, sebagai contoh yang menafsirkan di bawah bayang-bayang teori wahdatu alwujud.45 Sebagai contoh ketika Ibnهذه ‘Arabi menafsirkan بالموت السورة وسلم في صلى هللا عليهQS. فنعى رسول هللا Al-Muzammil:8,
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh
ketekunan.”
Ibnu ‘Arabi menafsirkan dengan komentar “Ingatlah nama Tuhanmu, yang dia adalah kamu sendiri”. b. Berbasis ideologis, yaitu ada kecenderungan cara berfikir yang berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan atau keilmuan tertentu. Penyebab terjadinya hal ini, diantaranya karena tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu riwayat, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi atau sahabat untuk melegitimasi tendensi buruk mereka, terlalu berpegang pada pengertian atau makna lughawi tanpa memperhatikan wacana dan konteks kalimat, dan juga -atau- adanya relasi kuasa yang mengintervensi penafsiran dan mem-back up legitimasi kekuasaan. c. Bersifat repetitif. Sekarang penafsiran mengikuti metode mushafi, sehingga adanya penjelasan berulang bagi ayat-ayat yang memiliki semangat yang sama. d. Bersifat parsial, yaitu uraiannya sepotong-potong, tidak komplit, sehingga informasinya ada yang minim ketika hendak mengkaji tema-tema tertentu.46 e. Penulis menambahkan satu kekurangan lain yang sering ditujukan bagi tafsir sufistik. Di sini penulis mengutip pendapat yang diungkapkan oleh Subhi al-Salih dalam karyanya Mabahis fi ‘Ulum al-Quran. Ia mengatakan bahwa tafsir seperti ini
43 Ibid,. hlm. 310-311
45 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 351.
44 Ibid,. hlm. 308.
46 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 99-112.
22
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
biasanya menghasilkan tafsir yang rancu dan bertentangan dengan ushul syari’ah dan kaidah bahasa.47 Pada dasarnya, empat kekurangan pertama di atas merupakan kekurangan yang juga didapatkan pada corak tafsir lainnya, seperti tafsir ‘ilmi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, dan lain sebagai nya. Hal ini karena tafsir yang memiliki corak-corak tertentu mulai muncul pada periode abad pertengahan dan kekurangan di atas merupakan hal-hal yang umum terjadi dalam kitab-kitab tafsir pada masa itu. 4. Tafsir Sufistik: Tinjauan Epistemologi Setelah membahas ketegorisasi tafsir tasawuf, maka dapat dilakukan pemetaan berdasarkan tinjauan epistemologinya. Sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi48 dan teori filsafat. Intuisi diperoleh dari kasyf (penyingkapan) dan mujahadah yang telah mencapai ahwal (pengalaman spiritual karena kesungguhan dalam beribadah). Sumber ini digunakan oleh aliran tafsir al-sufi al-Isyari. Sedangkan sumber pengetahuan tafsir sufistik lainnya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari metode ta’wil nazari49 yang dipadukan dengan dasar keilmuan ahli sufi yang mencari teori-teori mistik untuk mempromosikan kelompok atau mazhab tertentu. Sumber pengetahuan 47 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm. 297. 48 Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui penalaran tertentu. Asumsinya adalah bahwa dalam benak kita terdapt kekuatan bawah sadar yang menyerap banyak sekali informasi dan data dari indra kita dan dengan tepat membentuk situasi, memecahkan masalah, dan seterusnya tanpa memerlukan pemikiran yang kaku dan formal. Lihat Nuroni Soyomukti. Pengantar Filsafat Umum. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011), hlm. 160. 49 Penulis sepakat dengan pembagian ta’wil yang ditawarkan Syahrur, yaitu ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) dan ta’wil nazari (ta’wil teoritis). Ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) adalah menakwilkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan realitas kebenaran objektif. Sedangkan ta’wil nazari (ta’wil teoritis) adalah ta’wil yang dilakukan dengan melakukan penelitian (istiqra’) dan penyimpulan (istintaj) dengan cara merumuskan teori-teori filsafat dan teori ilmiah dari ayat-ayat alQuran. Model kedua bersifat deduktif, dalam arti berangkat dari teks menuju realitas. Muhammad Syahrur. Al-Kitab wa al-Quran, hlm. 60. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LKiS. 2010), hlm. 213-214.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
23
ini digunakan dalam Al-tafsir sufi nazari. Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk dalam metode tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushaf. Akan tetapi dalam tafsir al-Tustari, ada banyak ayat yang tidak ditafsirkan, baik secara lughawi maupun aspek lainnya. Begitu juga halnya dalam tafsir al-Qusyairi. Maka dari itu, menurut penulis, tafsir corak sufi tidak memenuhi syarat metode tahlili secara utuh. Atau, dapat dikatakan tafsir corak sufi menggunakan metode semi-tahlili. Kuatnya pengaruh idelogi mufassir dalam corak tafsir sufi ini, berimplikasi pada validitas kebenarannya yang berdasarkan siapa penguasa pada zaman itu. Hal ini seperti dikatakan oleh Hassan Hanafi, “The validity of an interpretation lies in its power.”50 Selain itu juga berdasarkan keilmuan dan mazhab mufassirnya. 5. Bagaimana Ahli Sufi Menafsirkan Ayat-ayat di Luar Tataran Tasawuf ? Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penafsiran ayat-ayat di luar tataran tasawuf, kiranya perlu diketengahkan terlebih dahulu tentang apakah tafsir sufistik menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Quran dalam kerangka berfikir tasawuf?. Mengenai hal ini, penulis melakukan pembacaan sekilas pada tafsir al-Tustari dan al-Qusyairi. Dari pembacaan ini, penulis menemukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya. Ada beberapa ayat yang diloncati dan tanpa alasan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tafsir al-Qusyairi yang tidak memberikan penafsirannya sebanyak 9 ayat dalam surat al-Zariyat, yaitu dari ayat 39-47.51 Pada tafsir al-Tustari penulis menemukan sebanyak 16 ayat dalam surat al-Baqarah, yaitu dari ayat 6-21.52 50 Hassan Hanafi. Method of Thematic Interpretation. Hlm. 197. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 50. 51 ‘Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abd al-Mulk al-Qusyairi. Lataif al-Isyarat. Jilid VII. (T. Tp, T. Th), hlm. 310. 52 Abu Muhammad Sahl bin ‘Abd Allah bin Yunus bin Rafi’ al-Tustari. Tafsir alTustari. Jilid I. (T. Tp, T. Th), hlm. 7.
24
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Dari pembacaan –sekilas- ini, penulis menemukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf. Fenomena ini memberikan dua kemungkinan, pertama, ayat-ayat yang diloncati tampaknya sulit bila ditafsirkan dalam kerangka tasawuf, dan kedua, ada sebagian naskah atau teks yang hilang dan belum ditemukan oleh muhaqqiq. Selanjutnya adalah tentang isu yang menyatakan bahwa para sufi menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal ini karena mereka lebih menekankan pada aspek hakikat bukan syariat. Oleh karena itu, perlu diketengahkan bagaimana sejarah tasawuf menanggapi isu ini. Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad ke-14 telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali dengan menulis berbagai kitab, terutama kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya seorang filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa hanya mengambil salah satu dari keduanya.53 Ulama sufi –dalam hal ini terutama Ibn ‘Arabi- selalu mengambil makna lebih dari sebuah perintah hukum atau syariat. Ayat-ayat tentang perintah shalat, zakat, dan lainnya tetap diterima sebagaimana ahli fuqaha. Yang berbeda adalah ahli sufi tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak, tetapi menelusuri apa hikmah-hikmahnya. Kelebihan inilah yang jarang dilakukan oleh ahli fuqaha. Ada beberapa contoh penafsiran ahli sufi terhadap ayatayat hukum, diantaranya: a. Ayat-ayat tentang kewajiban menutup aurat. Ibn ‘Arabi dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah -sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher- mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah kewajiban, tetapi tidak lepas dari makna batin yaitu kewajiban bagi orang berakal untuk menutup rahasia Tuhan. Hukum yang mengatur tidak bolehnya seorang wanita tanpa tutup 53 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah.., hlm. 184. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 157.
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
25
kepala dalam melaksanakan shalat ditafsirkan sebagai berikut; “seorang wanita i’tibar-nya54 adalah jiwa dan kepala adalah lambang dari kepemimpinan. Maka wajib bagi jiwa untuk menutup kepalanya atau menutup kepemimpinannya di hadapan Tuhan sebagai tanda kepatuhannya kepada Allah, serta membuang setiap pemikiran congkak dan takabbur, kemudian menggantinya dengan kerendahan dan ketundukan”.55 b. Zakat dari aspek bahasa dan asal katanya mempunyai makna kesucian, maka Ibnu ‘Arabi menafsirkan melalui jalan simbolik dan isyarat penentuan syara’ pada delapan golongan yang wajib diberi zakat (mustahiq al-zakah). Berikutnya dia memahami zakat dengan makna penyucian akhlak pada delapan anggota tubuh. Adapun shadaqah sunnah ditafsirkan dengan meratakan penyucian pada seluruh badan.56 c. Sebelum Ibnu ‘Arabi, filosof Ibnu Sina telah menjelaskan konsep yang serupa dalam kajiannya tentang esensi shalat, yang ia sebut sebagai “ibadah ruhani”. Pada saat shalat fisik –yang dikerjakan dengan anggota tubuh dalam bentuk formalistic sekaligus waktu yang telah ditentukan- berbanding lurus dengan tingkatantingkatan jiwa yang rendah, yang membedakan manusia dengan hewan. Hal ini karena shalat merupakan media pembersihan jiwa manusia dari godaan syeitan dan syahwat serta melepaskan diri dari tujuan-tujuan duniawi.57 54 I’tibar (mengambil pelajaran) maksudnya adalah mengambil ruh maknawi yang bersemayam dalam bentuk dzahir. Ibnu ‘Arabi menerapkan metode ini dalam memaknai bentuk-bentuk legislasi dalam Islam. Sebenarnya Ibnu ‘Arabi mempunyai keinginan untuk menghimpun pandangan-pandangan ini dalam sebuah kitab khusus yang memuat kajian ilmu Fiqh ala Ibnu ‘Arabi, tetapi cita-citanya ini tidak terealisasi. Namun ia telah mengajukan beberapa contoh yang representatif tentang hal itu dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah. Dikutip dari Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 293. 55 Ibn ‘Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyah. Jilid I. hlm. 407. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 294-295. 56 Al-Ghazali juga tidak merasa puas dengan apa yang dicapai oleh para ulam fiqh yang memahami legislasi dengan pemahaman zahir. Menurutnya ahli fiqh lupa dan hanya menghadap ke dunia. Al-Ghazali. Ihya’, Jilid I, hlm. 226. Dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir, hlm. 298.
57
Traites Mystiques D’ Avicene. Ed. Mehern. (Leiden.
26
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua ayat-ayat yang berada di luar tataran tasawuf ditinggalkan oleh mufassir corak sufistik. Melainkan ada beberapa ayat yang memang sengaja “dibawa” ke arah tasawuf, meski terkesan agak dipaksakan. Akan tetapi, menurut penulis, selama hal itu tidak menyimpang, maka sah-sah saja bila ayat nuansa apapun ditafsirkan dalam corak sufistik.
C. Kesimpulan dan Penutup Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait tafsir sufistik, diantaranya: 1. Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari dan al-tafsir al-sufi al-Isyari. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi. 2. Sumber penafsiran corak tafsir sufi adalah intuisi dan filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah takwil. Metode yang digunakan adalah tahlili. Sedangkan validitas penafsiran cenderung pada penguasa yang ada saat itu dan teori keilmuan mufassir. 3. Ada dua aspek perbedaan antara Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: a. Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir isyarat (petunjuk) kesucian. b. Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayatayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari 1894), hlm. 28-43. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir..., hlm. 302-303.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
27
sebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, artinya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna batin. 4. Tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf. Demikianlah pemaparan mengenai tafsir sufistik. Meskipun banyak kekurangan di sana-sini, namun penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat. Kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Daftar Pustaka Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. 2008. Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa pengarang). Jilid I. T.Tp. T. Th. Baraja, Abbas Arfan. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Quran. Malang: UIN-Malang Press. 2009. Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. Mustaqim, Abdul. Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: TERAS. 2004. __________. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press. 2012. _________. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS. 2010. Nurdin, Asep. Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003. Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007. Al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilmi alMalayiyn. 1988. Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman. 2009. Soyomukti, Nuroni. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz
28
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Media. 2011. Al-Taftazani, Abu Al-Wafa’. Al-Madkhal ila al-Tas}awwuf al-Islami, cet. II. Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976. UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005. Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961.
CORAK TEOLOGIS-FILOSOFIS DALAM PENAFSIRAN ALQUR’AN Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA Abstrak This paper examines one mode of interpretation of the theologicalphilosophical style. Where the position of the interpreter in the theological-philosophical or later serve as the subject and the Qoran it self serve as the object of discussion, so that a trend/loaded with interests. The style of the theological-philosophical focus to discuss the themes of the theological-philosophical than forward messages that brought fundamental Qur’an.
Key Words: corak, teologis-falsafi, tafsir
A. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral tidak hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke islaman, namun juga sebagai inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan umat Islam disepanjang abad kehidupan manusia. Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad lengkap lafal dan maknanya, dirirwayatkan secara mutawatir yang member faedah untuk kepasstian dan keyakinan. Ayat-ayat al-Qur’an masih bersifat universal. Universalisme merupakan cirri yang paling menonjol dan khas dari al-Qur’an.1 olehkarenya ia menuntun umat Islam melakukan kajian dan studi atas kandungan isisnya atau yang sering disebut dengan tafsir. Visi utamanya dalah untuk berpegang erat pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.2 Mengkaji al-Qur’an sesungguhnya dapat dilakukan dengan melihat obyeknya, mulai aspek kesejarahannya, kodifikasinya, qira’at, asbab nuzulnya sampai pada ranah penafsirannya. Kajian terhadap aspek penafsirannya nampaknya justru yang lebih mengalami perkembangan cukup siginifikan sejak 1 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta: Pustaka, 2007), h. 54 2 Manna Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir As (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), h. 462
30
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Corak Teologis-Filosofis dalam ... Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA
31
diturunkannya al-Qur’an hingga kini. Munculya berbagai karya tafsir yang sarat dengan ragam metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memaang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah yang tidak terelakkan, sebab umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan peradaban. Tafsir merupakan sebuah usaha untuk menjadikan al-Qur’an lebih mudah untuk dipahami. Tidak semua orang memahami bahasa Arab, karena itu diperlukan terjemah. Kemudian terjemah membutuhkan takwil. Penafsiran dan penerjemahan seringkali tidak memuaskan, baik karena sulit mengompromikan beberapa ayat kontradiktif atau adanya kontroversi dikalangan ahli tafsir baik dalam materi maupun metode yang digunakan. Pemahaman terhadap teks al-Qur’an membwa konsekuensi tentang bagaimana memahami setiap ayat dalam al-Qur’an. Dalam realitasnya, ini menimbulkan suatu perdebatan para mufassirnya. Perdebatan selanjutnya tentang tafsir berkisar pada persoalan tekstual dan kontekstual. Kelompok tekstual menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an harus dipahami secara literal (tafsir bil ma’sur). Sementara kelompok kontekstual menyatakan bahwa situasi dan kondisi ketika al-Qur’an itu diturunkan haruslah digunakan untuk memakai apa yang dimaksud oleh nash atau teks al-Qur’an (tafsir bil ra’yi). Perdebatan kedua kelompok ini ternyata sangat keras dan melibatkan kecaman yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap al-Qur’an. Pada era pertengahan dimana keilmuan semakin meluas sehingga menimbulkan perbedaan model dan corak-corak penafsiran. Hal ini disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki masing-masing mufassir. Keahlian itu selanjutnya dibuat standarisasi dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena itu para ulama dalam ilmu tafsir ditemukan berbagai macam corak tafsir (al-laun tafsir), seperti corak fiqih, corak tasawuf, corak ilmi, corak falsafi, corak teologis, corak adabi ijtima’i, corak lughawi, corak tarikhi, dan corak siyasi.
teologis menurut Abdul Mustaqim adalah bentuk produk penafsiran yang tidak hanya ditulis oleh para simpatisan kelompok teologis tertentu. Namun juga merupakan produk tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Menurutnya, tafsir model ini akan lebih banyak berbicara tentang tema-tema teologis disbanding menguak pesan-pesan pokok al-Qur’an.3 Sedangkan tafsir Falsafi adalah teori-teori (wacana) Filsafat atau tafsir yang menempatkan teori-teori ini sebagai paradigmanya.4 Menurut Bernard Russel filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan system ilmu pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan oleh pemikiran filsafat yang bersifat mengakar (radikal) yang coba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z mencari sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.5
B. Pembahasan
5 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), cet XXXI h. 67
1. Pengertian Corak Tafsir Teologis-Filosofis Tafsir I’tiqadi atau yang akrab disebut dengan sebutan tafsir
2. Background Corak Teologis-Filosofis Tafsir yang bercorak teologi dan atau filsafat lahir akibat penerjemahan buku-buku filsafat, terutama pada masa pemerintahan Abasiah dimana pada saat itu banyak buku-buku filsafat dari berbagai bahasa (Yunani, India, Persia dan lain-lain) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Aktivitas itu dimulai pada masa kekhalifahan al-Mansur, kemudian dilanjutkan generasi setelahnya sampai pada masa al-Ma’mun (813-830 M). pada masa pemerintahan al-Ma’mun filsafat mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sehingga Baghdad mampu menjadi pusat ilmu pengetahuan yang diincar oleh berbagai kalangan dari berbagai Negara.6 Buku-buku terjemahan tersebut mempengaruhi sementara pihak sampai-sampai dikomsumsi oleh kaum muslimin kalangan tertentu. Disamping itu, munculnya corak tafsir ini dikarenakan ma3 Abdul Mustaqim, aliran-aliran tafsir dari Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2005), h. 71 4 Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir… h. 74
6 Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun (Beirut: Daar al Kutub al Ilmiah,1976), h. 417
32
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
suknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam, yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Semua itu menimbulkan pendapat setuju atau tidak sutuju yang tercermin dalam penefsiran mereka.7 Untuk mengkomromikan adanya pro kontra dua kubu ini, setidaknya dapat ditempuh dua metode. Pertama, dengan cara mentakawilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya dengan cara memadukan teks-teks al-Qur’an sesuai dengan pandangan-pandangan mereka sehingga sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat.8 3. Karakteristik Tafsir Teologis-Falsafi Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir dapat dilihat paling tidak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecendrungan aliran yang diikuti dan objektifitas penafsirannya.9 Dengan melihat beberapa aspek di atas, maka akan ditemukan karakteristik tafsir abad pertengahan, khususnya yang bercorak teologis-filosofis. a. Syarat dengan kepentingan subjektif (ediologis) mufassirnya. Tafsir –tafsir ini umunya ditulis oleh orang-orang yang sebelumnya sudah mengambil spesialisasi bidang ilmu dan ideology tertentu, sehingga mereka cenderung hanya mencari justifikasi (mencocok-cocokkan teori mereka dengan ayat-ayat al-Qur’an). Seringkali mufassir terjebak dalam arus menonjolkan kepentingannya sebagai penafsiran atas teks al-Qur’an. b. Banyak membicarakan tema-tema teologis-filosofis disbanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an. c. Tafsir ini sarat dengan muatan fanatisme sectarian dan pembelaan terhadap paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi muafssirnya. Sedemikian tingginya tingkat
Corak Teologis-Filosofis dalam ... Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA
33
fanatisme terhadap kelompoknya sendiri, yang kemudian mengarah kepada sikap taklid buta, sehingga mereka nyaris tidak memiliki sikap toleransi terhadap yang lain dan kurang kritis terhadap kelompoknya sendiri. d. Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-yat al-Qur’an tertentu yang Nampak memiliki konotasi berbeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkana oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya. Masing-masing golongan dari berbagai mazhab mengaku bahwa ayat-ayat yang sesuai dengan mazhabnyan dikatakan muhakammat, sedangkan ayat-ayat laina yang sesuai dengan pendirian musuhnya dikatakan mutasyabihat. Dengan demikian haruslah dilakukan penakwilan sesuai dengan keyakinannya. e. Ada kecenderungan truth claim. Mereka berusaha untuk meraih dukungan masyarakat maupun pemerintah melalui klaim kebenaran dan menunjukkan kebenaran pihaknya dengan menjustifikasi dari al-Qur’an.
8 Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir… h. 73
4. Tokoh-tokoh dan Contoh tafir Teologis-Filosofis a. al-Zamakhsari (467-538) Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abdul Qoaim mahmud ibn Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari. Ada juga yang menulis Muhammad ibn Umar ibn Muhamma alKhawarizmi al-Zamaksyari. Ia lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizmi pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, pada masa pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Malikisyah dengan Wazir Nizam al-Mulk.10 Sejak usia remaja, al-Zamaksyari sudah pergi merantau, yaitu menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara yangmana pada saat itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-Zamaksyari masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulam terkenal di Khawarizm, yaitu Abu Mudar al-Nahwi (w. 508 H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi murid
9 Muhammad Yusuf, Jami’ Al Bayan fi Tafsir Al Qur’an dalam Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu
10 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijagai, 2004)., 44
7 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an… h. 72
34
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
yang terbaik, menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.11 Al-Zamakasyari dikenal sebagai yang berambisi memeperoleh kebutuhan dipemerintahan. Setelah merasa tidak berkhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlaq lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abu Mudar. Keadaan itu memakasanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari kalangan pejabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani dan kemudian menjadi sekertaris (katib), tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan daulah Bani Saljuk yakni kota Isfahan.12 Ada dua kemungkinan mengapa al-Zamaksyari selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Pertama, karena ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra arab saja akan tetapi juga seorang Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebar luaskan fahamnya dan ini akan memabawa damapak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua, karena kurang didukung jasmaninya, yaitu memiliki cacat fisik, kehilangan satu kakinya.13 Al-Zamaksyari melanjutkan perjalannnya ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis oleh Abu al-Khattab al-Batr Abi saidah al-Syafani, Abi Mansur al-Harisi dan mengikuti pengajian fiqih oleh ahli fiqih Hanafi, al-damagani al-Syarif Ibn al-Syajary dan banyak karya beliau.14 11 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta…h. 44 12 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta…h. 44
Corak Teologis-Filosofis dalam ... Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA
35
Tokoh yang lahir pada masa pemerintahan Sulthan Jalaluddin Abi al-Fath ini merupakan seorang teolog sekaligus seorang tokoh mu’tazilah yang sangat kuat membela mazhabnya. Hal ini dibuktikan dengan dengan jika ia menemukan dalam al-Qur’an, suatu lafal yang kata lahirnya nampaknya tidak sesuai dengan pendapat mu’tazilah, ia akan berusaha segenap tenaga untuk membatalkan makna lahir (yang tampak) dan menetapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya.
Artinya: ”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang 15 kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah:23)
Menurut Zamakhsary kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mislihi, adalah pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu kembali pada kata manazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan nabi 16 Muhammad Saw.
Bidang Fiqh: Ar-Ra’id fi Al-Faraid. Bidang Ilmu Bumi: Al-Jibal waAl-Amkinah. Bidang Akhlaq: Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib الصغرBidang ألفت منذSastra: , دينDiwan علم وRasa’il, في بيتDiwan نشأتيAl-Tamasil, ألني بحكمTaliyat ذالك Al-Imam Abi Hanifah. Al-Darir. Bidang تاثير Ilmu في Nahwu: Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, وان أتلو آياته, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw. Bidang Bahasa: Asas Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, تخصصي في الوعي إال بيانهTafsir لم أعHadis وخشوع لكني Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi بعد Al-Lughah. Bacaحق Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta…h. 44 … دراسة النصوص
13 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta…h. 44
15 Ayat Ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidakوكل dapatالتفسير ditiru walaupun dengan mengerahkan semuaوبعد ahli تفسير الكبري في هذي فإن القضية,وقبل sastera dan bahasa Karena ia merupakan mukjizat nabi Muhammad Saw.
14 Diantara karangannya yaitu. Dibidang tafsir: Tafsir Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil. Bidang Hadits: Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
16 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف Ta’wil, (T.kt: Dar al-Fikr, t.th)., jilid I., h. 241
هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة
ان يأتي بآية من مثل هذا القرآن
36
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Zamakhsary juga berpendapat dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhakkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, beliau akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat muhakkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuaidengan paham Mu’tazilah dikelompokkan kemudian ditakwilkan agar ses ke dalam ayat mutasyabihat, uai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. al-An’am ayat 103 dan al-Qiyamah ayat 22-23.
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segalayang yang Maha kelihatan; dan dialah Maha halus lagi Mengetahui.”
Artinya:”Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah Melihat.” mereka
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muh الصغر منذ , وعلم في بحكم ألفت دين ذالك kamat,karena maknanya sesuai dengan بيت paham نشأتي Mu’tazilah, ألني تاثيرsurat آياته فيal-Qiyamah وان أتلو, القرآن بكل وجداني هذاdalam أن أصغي sedang ayat 22-23 dikelompokkan tidak sesuai ayat mutasyabihat, karena ayat tersebut تخصصي في بعد بيانهفيحق بحكملم أع ألنيلكني وخشوع الصغر ألفت منذmakna , الوعيوإالدين بيت علم نشأتي ذالك dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nazirah dicarikan … النصوص دراسة أتلو آياته فيpaham وان, وجداني هذا القرآن أصغي بكل أن maknanya yangتاثير sesuia dengan 17 Mu’tazilah, yaitu al-raja’ تخصصي في هذي بعد الوعي إال بيانه حق فإنلم أع لكني وخشوع (menunggu, mengharapkan) تفسير التفسير وكل الكبري في القضية ,وقبل وبعد
دراسة … ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة النصوصبحال أنه ال يعني هي لبشر فهيهات .والترادف علي وجه سياقها القرآنية تفسير التفسير وكل المماثلةهذي الكبري في القضية فإن,في وقبل وبعد مثل البآيةيأتي ان القرآن هذا بحال من يعني هي أنه يمكن ان تقوم مقام الكلمة كلمة تقديم ما فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف ألفت منذ الصغر, في بيت علم و دين نشأتي بآيةألني ذالك القرآن بحكمهذا من مثل ان يأتي 17 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil….h. 241 وان أتلو آياته في تاثير, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في … دراسة النصوص
Corak Teologis-Filosofis dalam ... Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA
37
Artinya: ”Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Baqarah:283)
Ayat di atas dijadikan sebagai tameng bagi Mu’tazilah yang secara prinsip mereka tidak ingin menyerahkan adanya pemberian syafa’at, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Karena hal itu secara dimetrial bertentangan dengan keyakinan mereka tentang keadilan mutlak Tuhan, yang tidak mungkin menerjang batas-batas syara’ yang rinci. Demikian itu tidaklah menjadi tolak ukur yang berdasar kasih sayang. Sebagaimana seyogianya terdapat ganjaran Tuhan dalam bingkai keadilan bagi sekedar amal shaleh, maka secara logis menurut mereka tidak mungkin terdapat perantara yang dapat mengankat siksa bagi orang yang patut mendapatkanya sebab kesalahan yang telah dialakukannay. Mereka menyodorkan sekian banyak ayat al-Qur’an yang dapat membantu untuk membuat landasan untuk mengingkari syafa’at.18 b. Fakruddin al-Razi (543-606) Seorang teolog sekaligus filosof terkemuka ini dengan kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib disebut-sebut sebagai karya terakhir dalam literature tafsir yang sebagian besar pembahasan tafsirnya ini lebih kental muatan ilmu kalam dan filsafat. Dalam menafsirkan al-Qur’an ia memakai cara ulama-ulama mutakllimin, dalilnya ia susun dalam pembahasan ke Tuhanan. Penafsirannya yang panjang lebar mengenai masalah kalam ini memiliki misi untuk menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dan sekte-sekte yang sesat dengan hujjah dan argument yang mematikan serta mengajukan sanggahan atas tuduhan-tuduhan orang yang ingkar dan keras hati, yang ujung-ujungnya adalah pembelaan dan memperkuat posisi Asy’ariyah.19 Tafsir ini selalu memperhatikan hal-hal yang telah dis18 Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir al Islami, Terj. Maika Salamullah dkk (Yogyakarta, Elsaq Press, 2006), h. 205-206 19 Muhammad Ali Asyabuni, al Tibyan Fi Ulumil Qur’an, Terj Moch Chudori Umar dan Moh. Matsna HS (Bandung:Ma’arif, 1996), h. 263
38
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
impulkan oleh aliran Mu’tazilah dalam metode penafsirannya dan disetiap waktu menolaknya dengan modelnya sendiri yang sempurna.20 Menanggapi penafsiran Mu’tazilah terkait ayat di atas, Fahkrudin al Razi perwakilan dari kelompok Sunni (Asy’ariyyah) menangkis pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa hari perhitungan (hisab) tidak selesai dalam satu hari saja, tapi berlanjut untuk beberapa hari lamanya, dimana setiap harinya seperti lima puluh ribu tahun menurut perhitungan bumi. Dengan demikian, memang terdapat sejumlah hari yang tidak ada ruang bagi syafa’at. Namun di lain hari Nabi Muhammad datang dengan member syafa’at kepada umatnya yang berbuat dosa dengan syafa’at yang diterima Allah. dikatakan ayat di atas memang terdapat peringatan terhadap hari itu sebagaimana yang disebutkan, yakni hari-hari dimana tidak aka nada syafa’at. Sebaliknya, pada saat itu terdapat waktu-waktu tertentu berlakunya syafa’at. c. Pengaruh Perbedaan Teologis dalam Penafsiran Setipa corak penafsiran akan selalu mempengaruhi hasil produk penafsiran para mufassir. Oleh karena itu, tafsir yang bercorak teologis ini akan mengakibatkan keluarnya maknamakna yang dikandung oleh al-Qur’an. spirit ayat-ayatnya menggiring ayat-ayat kepada kepentingan mazhab teologis tertentu. Namun bagaimanapun juga, tafsir semacam ini akan sangat membantu para pengkaji tafsir sebagai rujukan untuk mendapatkan informasi terkait ilmu teologi. Bahkan mufassir ternama seperti Al-Alusi, Abu Sa’ad al-Nasafi dan para mufassir lainnya banyak mengutip dari tafsir tersebut (khususnya tafsir Zamakhsari) meskipun tidak menyebutkan sumber rujukannya.
C. Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni, posisi penafsir corak teologis-falsafi sebagai subyek dan al-Qur’an sebagai obyek, sehingga cenderung/sarat dengan kepentingan- 20
Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir al Islami…, h. 154
Corak Teologis-Filosofis dalam ... Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA
39
kepentingan dan membicarakan tema-tema teologis-falsafi dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an.
Daftar Pustaka Abdul Mustaqim, aliran-aliran tafsir dari Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kreasi wacana, 2005 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, T.kt: Dar al-Fikr, t.th. Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yog yakarta, Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijagai, 2004 Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir al Islami, Terj. Maika Salamullah dkk. Yogyakarta, Elsaq Press, 2006. Manna Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir As. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004. Muhammad Ali Asyabuni, al Tibyan Fi Ulumil Qur’an, Terj Moch Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Bandung:Ma’arif, 1996. Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun. Beirut: Daar al Kutub al Ilmiah,1976 Muhammad Yusuf, Jami’ Al Bayan fi Tafsir Al Qur’an dalam Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2007 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. Yogyakarta: Pustaka, 2007.
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer: Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’ Fadhli Lukman Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi Abstrak Tulisan ini membahas tentang Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an alKarim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’. Diantara karakteristi tafsir ini adalah Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.
A. Pendahuluan Tafsir memiliki umur setua Alquran. Karena manusia diberi otoritas untuk menafsir Alquran, maka ia terus berkembang sepanjang zaman. Saat ini bisa diidentifikasi sejumlah aliran tafsir, yang informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam diskursus sejarah tafsir. Abdul Mustaqim memberikan klasifikasi periodik untuk mengidentifikasi keragaman tafsir tersebut, mulai dari era formatif dengan nalar quasi-kritis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis. Dengan klasifikasi ini, Mustaqim mengidentifikasi karakteristik paling menonjol pada masing-masing periode.1 Perkembangan tafsir dalam dialektikanya dengan perkembangan situasi empiris berperan besar dalam pergeseran dan keragaman tafsir. Jika pada periode awal para sahabat enggan menafsirkan Alquran menggunakan ra’y, secara perlahan-lahan tafsir bi al-ra’y hid1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hal. 31.
41
up dan berkembang luas yang dibuktikan dengan kategorisasi lanjutan dari para mufassir, yaitu kategori mazmum (tafsir yang tercela) dan mahmud (tafsir yang terpuji). Pada era afirmatif, keragaman tafsir dibentuk oleh perbedaan mazhab yang menajam, sementara era reformatif bergerak berlawanan, menghindari bias-bias mazhab ini.2 ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint al-Syati’ (selanjutnya: Bint Syati’) telah muncul menjadi tokoh penting dalam sejarah tafsir kontemporer, atau era reformatif jika menggunakan klasifikasi Abdul Mustaqim. Dengan dua jilid al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim maka nama Bint Syati’ adalah nama yang tidak boleh diabaikan. Kitab ini berawal dari kegelisahannya tentang sedikitnya upaya para ulama untuk melakukan karya komprehensif terhadap Alquran yang menekankan kearabannya, dalam artian penggunaan pendekatan sastra yang lebih mumpuni. Tafsir-tafsir terdahulu ia klaim tidak begitu berhasil mengungkap bayan dari Alquran. Ketika para pakar sastra disibukkan dengan mengkaji sya’ir-sya’ir klasik Arab, mereka justru meninggalkan Alquran yang notabene kitab sastra Arab terbesar. Dari pengakuan tersebut, maka tafsir Bint Syati’ dapat digolongkan kepada tafsir kontemporer dengan kecenderungan sastra.3 Artikel ini akan membahas pemikiran Bint Syati’ terkait konsep-konsep inti seputar Alquran dan tafsir. Untuk itu, artikel ini akan difokuskan pada pemikiran Bint Syati’ pada empat hal: Alquran, Tafsir, Takwil, dan posisi akal terhadap wahyu. Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Deskriptif digunakan untuk memaparkan apa yang dikatakan oleh Bint Syati’ seputar tema terkait, dan analitis untuk mengungkap hal-hal terdalam dari hal tersebut. Pada beberapa hal, Bint Syati’ tidak mendeklarasikan secara eksplisit apa bagaimana pandangannya seputar tema-tema yang diinginkan. Untuk itu, penulis akan menganalisis pernyataan-pernyataan Bint Syati’ untuk kemudian dikaitkan dengan tema yang diinginkan. Menimbang minimnya data biografi dibutuhkan dalam tema dan metode yang digunakan artikel ini, maka riview biografi Bint Syati’ 2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hal. 65. 3 Kolega Bint Syati’ sesama didikan Amin Khulli bahkan menilai bahwa metode sastra adalah satu-satunya metode yang paling relevan untuk menafsirkan Alquran. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas (Beirut: Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 2000), hal. 24.
42
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
tidak akan dilakukan.
B. Alquran menurut Bint Syati’
Bagaimanakah pandangan Bint Syati’ mengenai Alquran? Untuk menjelaskan hal ini, klasifikasi bisa dimanfaatkan antara Bint akademisi. Dalam pengantar Syati’ sebagai Muslim dan dia sebagai 4 al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, ia menyebut :
ألفت منذ الصغر, ذالك ألني بحكم نشأتي في بيت علم و دين وان أتلو آياته في تاثير, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في … دراسة النصوص Pernyataan Bint Syati’ di atas memperlihatkan bagaimana ia فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Ia terbiasa membaca Alquran dengan penuh danتقديم kekhusyu’an. Itu berarti, sebالكلمة تقوم مقام انperasaan كلمة يمكن يعني بحال ما هي أنه ال agai seorang Muslim Bint Syati’ memandang Alquran sebagai kitab فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف liturgis, kitab ibadah dalam Agama. Oleh sebab itu, Alquran menالقرآنposisi مثل هذا بآيةbagi يأتيumat ان jadi sebuah kitab suci yang menempati yangمن khas Muslim, dan diperlakukan secara khas pula. Ia berbeda dari kitabkitab lainnya. Para ulama telah mengonsep adab dan tata tertib untuk mendekati Alquran. Ia harus ditempatkan di tempat yang layak, dihormati, dijaga, dan dibaca dalam kondisi fisik yang bersih. Sejumlah hadis melaporkan fadilah membaca Alquran, motivasi membaca atau menghafal Alquran, dan sebagainya. Tema ini ditemukan dalam sejumlah literatur, seperti tulisan al-Nawawi yang berjudul al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. Dalam buku ini, al-Nawawi menuliskan sejumlah hadis yang bersandar kepada Rasulullah, dan beberapa diantaranya kepada Sahabat atau Ulama kenamaan, yang menjelaskan cara terbaik untuk berinteraksi dengan Alquran.5 Bint Syati’ dalam hal ini meyakini bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Perilaku khas yang ditunjukkan oleh Muslim terhadap Alquran, sebagaimana Bint Syati’ juga mengakuinya, dilatar-
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman
43
belakangi oleh keyakinan bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Ia adalah kalam Tuhan, dan karena itu ia harus dihormati sebagaimana manusia menghormati Tuhan. Sebagai wahyu dan kalam Tuhan, Alquran adalah kitab yang dibaca ketika shalat dan doa. Ia sendiri juga menekankan dirinya sebagai kitab yang dibaca pada ayat yang pertama diturunkan. Dengan demikian, Bint Syati’ sangat meninggikan makna dari Alquran. Pandangannya mengenai makna Alquran sejalan dengan teori noumena dan phenoumena dalam ranah filsafat, bahwasanya makna Alquran adalah noumena dan tafsir adalah phenoumena. Itu berarti bahwa tafsir tidak akan pernah menyamai Alquran. Bagi Bint Syati’, penjelasan dari tafsir hanya menempati syarh dan taqrib, bukan mumasalah atau taraduf terhadap Alquran.6 Hal ini sejalan dengan pandangan fenomenologi tentang Alquran yang menyatakan Alquran sebagai scripture, kitab suci. Wilfred Cantwel Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi scripture dengan memandang hubungan antara kitab terkait dengan manusia yang meyakininya, yang dalam hal ini hubungan Alquran dengan Muslim umumnya atau Bint Syati’ khususnya. Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi suci tergantung kepada bagaimana umatnya bertindak terhadapnya.7 Pandangan ini menilai kitab suci dari dua arah, dari kitab terkait dan dari manusia penganutnya. Maka, dalam konsepsi itu, Bint Syati’ telah memperlihatkan bahwa ia meyakini Alquran sebagai sebuah scripture, kitab suci. Namun begitu, Bint Syati’ dalam kutipan di atas juga menyebut bahwa ia belum memahami bayan Alquran hingga dia terlibat dalam kajian tentang nusus. Bagian ini adalah bagaimana Bint Syati’ memandang Alquran dalam kompetensinya sebagai akademisi. Sebagai akademikis, dalam pengantar tafsirnya, Tafsir al-Bayan, Bint Syati’ menyebut Alquran adalah kitab bahasa Arab terbesar (al-kitab al-‘arabiyah al-akbar).8 Frasa tersebut sepertinya berasal dari Amin alKhulli, guru sekaligus suaminya, yang oleh M. Nurchalis Setiawan 6 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9.
4 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1990), hal. 1: 14.
7 Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta: Teraju, 2005), p. 12-23
5 Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an (Jeddah: Haramayn, t.t)
8 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal 13.
44
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
diterjemahkan dengan ‘kitab sastra Arab terbesar’.9 Cara pandang Bint Syati’ terhadap Alquran sebagai akademisi, dari kutipan di atas, terlihat melengkapi cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Sebagai seorang Muslim, hal yang terpenting dalam kitab untuk ibadah, untuk diresapi dalam Alquranadalah sebagai rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, sebagai akademisi orientasi pengungkapan bayan lah yang menjadi cirikhasnya. Itu berarti cara akademik ini berkaitan dengan bagaimana cara Bint Syati’ mengungkap bayan tersebut. Pembicaraan ini kemudian akan berkaitan dengan aktifitas menafsirkan ayat Alquran. Sebagaimana disampaikan di awal pendahuluan al-Tafsir alBayani li al-Qur’an, metode yang digunakan oleh Bint Syati’ adalah studi sastra metode sastra. Pada satu sisi ia melihat perkembangan Arab pada ranah sya’ir-sya’ir klasik, akan tetapi pada sisi lain metode yang sama cenderung mengabaikan Alquran sebagai kitab berbahasa Arab terbesar.
C. Tafsir dan Takwil
Syati’ terkesan acak tafsir dan ta’wil Bint menggunakan istilah dalam tafsirnya. Mengenai metode penafsiran yang ia tempuh dalam al-Tafsir al-Bayani, ia menggunakan istilah tafsir, sementara untuk menjelaskan makna ayat dalam penjelasan demi penjelasan ia terkadang menggunakan istilah ta’wil. Oleh sebab itu, dalam hal ini penulis bergerak bahwaبحكم bagi Bint الصغر منذlebih ألفت,lanjut و دينdari علمpandangan نشأتي في بيت ألنيSyati’, ذالك tafsir dan ta’wil adalah dua hal yang sama, dan oleh sebab itu untuk في تاثيرpenulisan, وان أتلو آياته , القرآن وجداني هذاhanya أصغي بكل أن kesederhanaan penulis menggunakan kata tafsir saja dalam فيmakalah تخصصيini.وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد Dalam pandangannya mengenai tafsir, Bint Syati’ mengemu… دراسة النصوص kakan10:
فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف (مثل هذاYogyakarta: يأتي بآية من ان 9 Nur Khalis Setiawan, Al-Qur’an Kitabالقرآن Sastra Terbesar eLSAQ, 2006), hal. 3. 10 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9. 2: 9.
وان أتلو آياته في تاثير, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في … دراسة النصوص Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Fadhli Lukman
45
فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف ان يأتي بآية من مثل هذا القرآن
Sahiron Syamsuddin, dalam tesisnya menyebutkan bahwa pernyataan di atas adalah definisi Bint Syati’ terhadap tafsir. Ia menyebutkan bahwa “Bint Syati’ defines tafsir as an attempt to understand the Qur’an that consist in explaining and claryfing the text by using interpretive as opposed to synonymous language.”11 Namun begitu, penulis lebih menilai hal itu adalah penjelasan Bint Syati’ mengenai ontologi tafsir. Sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa Bint Syati’ begitu meninggikan makna Alquran, dan manusia hanya bisa mencapai makna tafsir. Dalam pandangannya, tafsir tidak akan menempati makna Alquran ‘ala wajh al-mumusalah wa al-taraduf, melainkan hanya sebagai penjelas dan pengungkapan makan terdekat. Dengan pernyataan tersebut, Bint Syati’ telah membuka relativitas kebenaran tafsir. Ia seakan menyatakan bahwa kebenaran utama ada pada Alquran, sementara tafsir tidak akan mencapai makna hakikat dari Alquran. Dalam konteks relativitas tersebutlah kiranya Bint Syati’ mengapresiasi sekaligus mengkritisi setumpuk tafsir yang telah diwarisi oleh generasi pendahulu.
وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا آثارهم زادا لما بعدهم Demikianlah Bint Syati’ menghargai peninggalan dari para
12 أستاذي—هو تلقيتهhalكماitu– dibuktikan هذا التفسيرdengan في منهج و األصلia pendahulu. Lebihعن lanjut, banyaknya merujuk pendapat para mufassir tersebut al-Tafsir al-Bayani-nya. , الواحد فيه الموضوع الدراسة يفرغdalam الموضوعي الذي التناول Namun begitu, ia mengkritisi tafsir-tafsir tersebut. Ia secara tegas meاستعماله لأللفاظ بمألوفia ويهتدي , القرآن منه ما فيdari كلmufassir فيجمع nyebutkan bahwa sesekali harus menolak pandangan klasik tersebut. Dalam of Bintتحديد Syati’’s of Interوهو منهج .ذاكAnلكلExamination الداللة اللغوية بعدMethod , واألساليب preting the Qur’an, Sahiron Syamsuddin merinci poin-poin kritik Bint , سورة سورة القرآنklasik, تفسيرyang فيsecara المعروفة والطريقة يختلف Syati’ terhadap kitab tafsir umum bisa dijelaskan , يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله 11 Sahiron Syamsuddin, An Examination Syati’’sإلي Method Interpreting , أللفاظه القرآنية إلي الداللةof Bint اإلهتداء معهof السبيل مماthe Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hal. 8. أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية 12 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 16.
46
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
dengan istilah penggunakan materi extra Qur’an dalam tafsir.13 Bint Syati’ terlihat sangat menekankan peran tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Lebih lanjut, Syamsuddin membagi kritik Bint Syati’ terhadap tafsir klasik kepada dua kelompok besar, yaitu tendentious interpretation (penafsiran tendensius) pada satu kelompok dan tafsir al-mutakallaf serta i’jaz-misoriented interpretation pada kelompok lain. Untuk kelompok pertama, terdapat beberapa poin turunan yaitu penggunaan isra’iliyat, orientasi teologis, mistik, filosofis, dan tafsir saintis.14 Meskipun penyebaran Isra’iliyat15 telah dilarang pertengahan abad kedua hijriah oleh sejumlah tabi’in seperti A’masy dan Sufyan al-Tawri, penggunaannya alih-alih berkembang justru semakin populer. Sejumlah tafsir bi al-riwayat tidak bersih dari pengaruh isra’iliyat. Bint Syati’ termasuk sarjana kontemporer yang mengkritisi penggunaan riwayat isra’iliyat. Ia menegaskan bahwa tidaklah tepat untuk menafsirkan Alquran dengan basis isra’iliyat. Ia, menurut catatan Sahiron Syamsuddin, memperluas cakupan makna dari isra’iliyat, bukan terbatas kepada informasi dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang masuk kepada tafsir, melainkan setiap informasi detail tafsir yang tidak ada di dalam Alquran. Sebagai contoh, detail informasi mengenai ‘Ad dan Samud tidak ditemukan dalan Bible dan Taurat, namun Bint Syati’ masih menyebutnya sebagai isra’iliyat. Bagi Syamsuddin, tanggapan Bint Syati’ ini merupakan upayanya untuk menjaga konsistensi terhadap penggunaan metode sastra (literary analysis) untuk menafsirkan Alquran.16 Mengenai orientasi teologis, Bint Syati’ menyayangkan masuknya perdebatan teologis dalam penafsiran Alquran. Mazhab teologis yang ia kritisi diantaranya qadariyah dan jabariyah yang bertolakbelakang dalam menafsirkan Alquran. Mereka mengutip argumen-argumen, baik yang rasional maupun skriptural, yang sesuai dengan pandangan sekte teologis mereka. Pada sisi lain, jika men13 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal 8. 14 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 13.
Fadhli Lukman
47
emukan ayat yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka, dianggap mutasyabih dan oleh sebab itu dita’wil supaya menghasilkan kesimpulan yang kembali mendukung pandangan masing-masing mazhab. Bint Syati’ menyebut bahwa tidak layak untuk menerima beberapa ayat dan menolak ayat lainnya, karena sesungguhnya kesatuan Alquran berasal dari Allah.17 Kritik lainnya juga disampaikan Bint Syati’ terhadap tafsir isyari yang termanifestasi pada tafsir sufi dan tafsir falsafi. Tafsir simbolik (al-tasir al-isyari), yaitu upaya hermeneutis yang bergantung kepada upaya untuk memahami isyarat yang tersembunyi dari ekspresi Alquran, adalah topik yang diperdebatkan. Tafsir model ini dikembangkan oleh mufassir yang memiliki kepakaran dalam pengetahuan dan pengalaman mistik maupun dalam pemikiran filsafat. Pendekatan ini berasal dari luar Islam, dan oleh sebab itu ia juga bersifat extra-Qur’ani. Dalam bentuk yang lebih modern, pendekatan extraQur’ani lainnya juga digunakan oleh tafsir saintifik (tafsr al-‘ilmi) seperti yang diperkenalkan oleh Tantawi Jawhari, Hanafi Ahmad, dan Mustafa Mahmud. Bint Syati’ dalam hal ini percaya bahwa Alquran adalah buku keagamaan, bukan buku filsafat atau sains. Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa setiap ayat Alquran hanya memiliki satu makna, dan harus ditafsirkan sesuai dengan bagaimana bangsa Arab pada masa Rasulullah memahaminya. Dengan itu, ia lantas menolak penafsiran simbolik terhadap Alquran.18 Mengkritisi tafsir-tafsir terdahulu dalam beberapa aspek, Bint Syati’ menawarkan metode penafsiran sekaligus produk tafsirnya, yaitu al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Sebagaimana disampaikan di muka, tafsir Bint Syati’ adalah tafsir sastra (literary analysis) dengan bertumpu pada keyakinan bahwa setiap ayat Alquran saling menafsirkan dan oleh sebab itu memasukkan hal ekstra-Qur’ani adalah terlarang. Pendekatan ini dilatarbelakangi pandangannya bahwa sejauh ini para ahli sastra Arab disibukkan mempelajari sya’ir-sya’ir klasik, namun melupakan kitab sastra Arab terbesar, yaitu Alquran.19
15 Isra’iliat secara massif mempengaruhi kitab-kitab tafsir klasik seperti tafsir alTabari dan tafsir Muqatil bin Sulayman. Lihat Fadhli Lukman, “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQur’an dan Hadis edisi Juli 2010.
17 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 19.
16 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 17.
19 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 13-14.
18 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 25.
48
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
Fadhli Lukman
D. Posisi Akal terhadap Wahyu Berkaitan dengan posisi akal dari wahyu, Bint Syati’ sendiri tidak menjelaskan bagaimanakah konsepsinya mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal ini digunakan bagaimana cara dia melakukan penafsiran sebagai alat ukur. Untuk itu, bagian ini pertama sekali akan meriview metode penafsiran yang ia lakukan dan menganalisis bagaimana dia menempatkan akal terhadap wahyu. Dalam tesisnya, Sahiron Syamsuddin menggunakan dua kata kunci untuk menjelaskan metode penafsiran Alquran. Kedua kata kunci tersebut adalah tafsir al-mawdu’i (cross-referential interpretation)20 dan irtibat al-ayat wa al-suwar (interconnection between verses and chapters).21 Terkait irtibat, pandangan Bint Syati’ sejalan dengan panوما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم dangan Mustansir Mir dengan ide bahwa satu surat memiliki satu آثارهم جهودا جليلة القرآن بذلوا في ide زادا (the sura as aتركوا unity). وSebagai contoh, suratخدمة al-‘Adiyat bagiالذين Bint Syati’ membicarakan satu tema dan setiap ayat membicarakan tema لما بعدهم tersebut.22 Terkait tafsir mawdu’i, ia menyatakan23:
و األصل في منهج هذا التفسير –كما تلقيته عن أستاذي—هو , التناول الموضوعي الذي يفرغ الدراسة الموضوع الواحد فيه ويهتدي بمألوف استعماله لأللفاظ, فيجمع كل ما في القرآن منه وهو منهج. بعد تحديد الداللة اللغوية لكل ذاك, واألساليب , يختلف والطريقة المعروفة في تفسير القرآن سورة سورة , يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله , مما السبيل معه إلي اإلهتداء إلي الداللة القرآنية أللفاظه أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية Pernyataan Bint Syati’ di atas secara jelas memperlihatkan bahwa metode yangia gunakan al-mawdu’i. adalah tafsir Tema tersebut membicarakan satu tema tema dengan mekanisme mengumpulkan semua ayat yang terkait. Hanya saja, metode ini tidak sama dengan 20 Sahiron An Examination 40. Syamsuddin, ofBint Syati’’s, hal. 21 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 68.
22 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 74. 23 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 17.
49
prinsip al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’da yang lebih identik dengan tafsir tahlili yang memperlakukan surat demi surat secara atomistik dan terpisah-pisah. Pada sisi lain, Tafsir Bint Syati’ berusaha mengungkap setiap ayat yang dikumpulkan menjadi satu pada siyaq yang tepat—untuk itu ia menggunakan pola tartib nuzuli sebagai kerangka analisis—untuk mengungkap original meaning teks, sebagaimana para pendengar pertama Alquran ketika ia diwahyukan. Oleh sebab itulah Sahiron Syamsuddin menerjemahkan tanawul al-mawdu’i pada pernyataan Bint Syati’ di atas dengan objective comprehension dan membandingkannya dengan pandangan beberapa hermeneut terkait upaya untuk mengungkap makna original atau makna historis. Berkaitan dengan itu Nur Kholis Setiawan menyebut bahwa metode yang digunakan oleh Bint Syati’ bisa dijelaskan dalam dua langkah penting yang merupakan modifikasi dan pengembangan model yang di gagas oleh al-Khuli. Kedua hal tersebut adalah penelitian terhadap makna leksikal kosa kata al-Qur’an yang kemudian di jadikan sebagai sarana untuk mengetahui makna yang di kehendaki dalam konteks pembicaraan ayat pada satu sisi dan pelibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama pada sisi lain. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “kesempatan” agar al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri.24 Oleh sebab itu, dalam tafsirnya, unsur ma hawla al-nas, digunakan mekanisme tartib nuzuli dengan memperhatikan asbab al-nuzul. Berkaitan dengan sabab al-nuzul, ia berpeganan pada kaidah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, la bi khusus al-sabab, illa an yata’ayyana bi al-khusus didalilin sarihin aw qarinatin bayyinatin.”25 Sebab turunnya ayat, bagi Bint Syati’, bukanlah sesuatu yang menyebabkan suatu ayat turun (bukan tujuan utama diturunkannya ayat), atau bukan merupakan sebab turunnya sebuah surat dalam pengertian sebab-akibat.26 Sementara dilalat al-alfaz dilandasi dengan kesadaran tinggi bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab. Karenanya, unsur sense of arabicity (zauq) dalam menentukan makna hakiki dan 24 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 37-39 25 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal. 9 26 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Mansyurah al‘Asr al-Hadis: 1973), hal. 77; al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Dar al-Fikr: 1979), hal. 104.
50
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
majazi adalah hal yang penting. Kemudian, ayat-ayat yang terkumpul disimpulkan secara induktif. Tahap terakhir adalah upaya untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam objek kajian. Dengan mengikuti makna implisit dan eksplisit dari sebuah ayat, ditentukan signifikansi ayat tersebut. Metodenya adalah dengan meneliti kembali pendapat para mufassir, mengadakan seleksi terhadap pemikiran mereka, menerima yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan mengabaikan yang menjurus kepada israilliyyat, fanatisme madzhab, dan kerancauan penafsiran (bida’ al-ta’wil).27 Selain itu, Bint Syati’ menekankan, sebagaimana penolakannya terhadap tafsir isyari, bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa kalimat ataupun frasa dalam Alquran yang secara sepintas telihat sama sebenarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup berarti sesuai konteksnya. Sebagai contoh kata aqsama dan halafa, keduanya samasama berarti sumpah, akan tetapi ternyata keduanya memiliki implikasi berbeda. Kata aqsama selalu di gunakan untuk sumpah yang konsisten, sedangkan halafa di gunakan untuk menunjuk sumpah yang masih di langgar.28 Dalam metode tafsirnya, terlihat Bint Syati’ terobsesi untuk mengungkap makna objektif dari wahyu. Hal ini terungkap dari beberapa hal yaitu kritik tajamnya terhadap unsur-unsur ekstra-Qur’an yang masuk kepada tafsir, klaim bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna sehingga ia menolak sinonimitas dalam Alquran, penggunaan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, dan penekanan munasabah untuk memahami makna terdalam dari ayat sesuai dengan yang dipahami oleh audien pertamanya. Beberapa alasan di atas memperlihatkan bahwa Bint Syati’ benar-benar berusaha memahami wahyu sebagaimana ‘Tuhan menghendakinya.’ Pada sisi lain, semua itu ia lakukan bukan dengan mengikuti bunyi literal ayat. Ia melakukan penalaran yang mendalam terhadap ayat. Konsep ‘surah-as-a-unity’, misalnya, memperlihatkan bahwa Bint Syati’ melakukan interpretasi bi al-ra’y untuk mengungkapnya, melalui mekanisme pengumpulan ayat-ayat, menyeleksi riwayat-riwayat untuk menyusunnya secara tartib nuzuli, dan menemukan bayan terdalam 27 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 11. 28 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra ... hlm. 40
Fadhli Lukman
51
dari masing-masing ayat. Hal ini berarti bahwa meskipun Bint Syati’ terobsesi mengungkap makna original dari wahyu, ia sama sekali tidak meninggalkan akal. Pada sisi lain, ia juga tidak menempatkan penalarannya mengalahkan makna wahyu, karena ia berpandangan al-’ibrah bi ‘umum al-lafz. Itu berarti, Bint Syati’ menempatkan akal dan wahyu secara sejajar.
E. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan sederhana di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Kedua, Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Ketiga, dalam metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.
Daftar Pustaka Lukman, Fadhli. “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis edisi Juli 2010. Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010 Al-Nawawi. al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. (Jeddah: Haramayn, t.t al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Mansyurah al-‘Asr al-Hadis: 1973. Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ. 2006. al-Shati’, Bint. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar alMa’arif. 1990. Smith, Wilfred Cantwell. Kitab Suci Agama-agama, terj. Dede Iswadi.
52
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Jakarta: Teraju, 2005. al-Suyuti. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Dar al-Fikr: 1979. Syamsuddin, Sahiron. An Examination of Bint Syati’’s Method of Interpreting the Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1999. Yusran, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006. Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nas. Beirut: Markaz al-Saqafi al‘Arabi. 2000
POLA BARU DALAM CORAK TAFSIR FIKIH (Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im) Muhammad Makmun-Abha Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A. Pendahuluan Kajian kritis yang dilakukan oleh para pemikir-pemikir Islam kontemporer terhadap Islam dan sumber-sumbernya mendapatkan sambutan yang beragam dari beberapa akademisi baik muslim maupun non-muslim. Sebenarnya penerimaan atau penolakan terhadap pemikiran yang baru tidaklahterlalu signifikan jikalau ummat Islam atau sedikitnya diantara mereka mau membuka mata dan berpikir lebih dewasa melihat realitas dan problem-problem yang dihadapi umat islam yang sebagian besar tidak sama dengan masa lalu. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh semakin kompleksnya kasus-kasus (waqi’ah) dalam masyarakat modern yang membutuhkan jawaban yang komprehensif. Jika metode pemahaman akan sumber hukum Islam yang dalam hal ini adalah al Qur’an dan Hadits tidak lagi mampu dan memiliki relevansi dengan zaman sekarang maka secara otomatis dibutuhkan ijithad dan pemikiran-pemikiran terobosan yang mampu mencerahkan kembali kondisi ummat Islam. Dalam kondisi kemandegan inilah muncul sosok pembaharu dalam corak penfasiran yang bercorak fikih yaitu Prof. Dr. Abdullah Ahmad an Na’im. Beliau lahir dengan sejumlah pemikirannya yang ingin melakukan perombakan terhadap metode dan rumusan para ulama’ fikih klasik. Salah satu konsepnya yang terkenal liberal yakni konsep nasikh mansukh dimana ia berpendapat bahwa ayat al Qur’an yang awal me-nasakh ayat yang turun kemudian (dalam hal ini hukum ayat Makkah mengganti Hukum ayat yang turun di Madinah). Ayat Makkiyah dipandang sebagai ayat universal yang kekal dan ayat Madaniyah merupakan ayat bersifat diskriminatif dan temporal. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengupas pola pembaharuan dalam corak tafsir fikih yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Abdullah Ahmad an Na’im.
54
Jurnal Syahadah
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
B. Biografi Abdullah Ahmad An Na’im Seorang tokoh tidaklah muncul dari ruang hampa, namun dia tumbuh dengan tidak terlepas dari dinamika perjalanan hidup tokoh itu sendiri. Sehingga Karl Mannheim melalui teori relasionalnya sangat menekankan pentingnya hubungan antara pemikiran dengan konteks sosialnya. Teori tersebut mengatakan bahwa setiap pemikiran selalu berkaitan dengan keseluruhan struktur sosial yang melingkupinya.1 Karena itu, bahwa kebenaran pemikiran sesungguhnya hanyalah kebenaran kontekstual, bukan kebenaran universal (al-ibrah bi khusus as-sabab la bi ‘umum al-lafadz). Untuk itu juga, memahami butir pemikiran seseorang tidak lepas dari konteks dan struktur kemasuk-akalan (plausibility structure) yang dimiliki orang tersebut,2 termasuk dalam hal ini adalah bagaimana sosok Abdullah Ahmad An-Na’im dikaji terlebih dahulu dari aspek kesejarahannya. Abdullah Ahmad An-Na’im dibesarkan di Sudan dan menyelesaikan studi hukum di universitas Khartum, Sudan3 memperoleh gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Dia dilahirkan di Sudan pada tahun 1946. Setelah memperoleh gelar tersebut, tiga tahu kemudian (1973), dia mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma denga bidang kriminologi) dari Universitas Cambridge, Inggris. Pada tahun 1976, dia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang hukum dari Universitas of Edinburgh,4 dengan disertasi tentang perbandingan prosedur pra-percobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, Sudan).5 Meski berasal dari negara miskin dan terbelakang, Na’im mampu menjadi akademisi bertaraf internasional yang sukses. Kariernya sebagai akademisi dimulai sebagai setaf pengajar di bidang hukum 1 Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta:kanisius, 1991), hlm. 7 dan 306 2 Peter L. Berger dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esei tentang Metode dan Bidang Kerja, terj. Herry Joediono (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 67.
Muhammad Makmun-Abha
55
di Universitas Khartoum, Sudan (November 1976 hingga Juni 1985), Ketua Jurusan Hukum dan Publik di almamater yang sama (19791985), profesor tamu di Fakultas Hukum UCLA, USA (Agustus 1985 sampai juli 1987).6 Pada Agustus 1988 sampai Januari 1991 ia menjadi profesor tamu Ariel F. Sallows dalam bidang HAM di Fakultas Hukum, Universitas Saakatchewan, Kanada; antara Agustus 1991 sampai Juni 1992 menjadi profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum , Universitas Uphsala, Swedia; Juli 1992 sampai Juni 1993 menjadi sarjana-tinggal di Kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir; Juli 1993 hingga April 1995 Direktur Eksekutif Pengawas HAM Afrika di Washington D.C; dan sejak Juni 1995 samapi sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory, Atalanta, GA, Amerika Serikat.7 Na’im aktif dalam dunia HAM. Kesungguhannya memperjuangkan HAM di dunia internatonal tampak dalam keterlibatannya di berbagai lembaga HAM international, seperti The international Council on Human Rights Policy di Genewa, Swiss 91997-sekarang) dan International Advisory Council of the International Center for the Legal Protection of Human Rihts (Interrights), London.8 Na’im temasuk penulis yang produktif. Antara 1974-1999 Ia telah menulis sekitar empat puluh artikel panjang, tujuh belas artikel pendek, book review dan dua buku. Buku pertamanya adalah Sudanese Criminal Law: The General Principle of Criminal Responsibility (bahasa Arab), (Omdurman [Sudan]: Huriya Press, 1985). Sedangkan buku keduanya berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law Civil (Syracuse, NY: Syracuse university Press, 1990). Bukuini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (1994) dan bahasa Indonesia (1995). Selain itu, ia jug menyunting buku. Ada empat buku yang disuntingnya sendiri dan dua buku yang disuntingnya bersama orang lain. Ia juga menerjemahkan buku gurunya, Mahmoud Muhammad Taha yang berjudul The Second
3 www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal 15 mei 2009 4 Tore Lindholm dan Karl Vogt (ed.),Dekonstruksi Hukum Islam (II), terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, 1996), hlm. 311 5 Muhyar Fanani, “Abdullah Ahmad Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam” dalam A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jandela, 2003), hlm. 4
6 Mahmoud Muhammed Taha, The Second Massage of Islam, terj. Al-Na’im (Syracuse, NY: Syracuse University Press, 19887), hlm. v 7 Muhyar Fanani “Abdullah…, hlm. 4 8 Muhyar Fanani “Abdullah…, hlm. 4
56
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Massage of Islam (Syracusse, Ny: Syracuse University Press, 1987).9 Jadi yang dapat diambil lewat karyanya, bahwa hampir kesemuanya membahas tentang HAM, islam dan Hukum. Dan dari buku-buku yang ia karang di atas, ia termasuk seorang yang komitmen terhadap Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi dalam persoalan HAM. Tersirat dalam bukunya juga (seperti, Dekonstruksi Syari’ah, diterjemahkan menjadi Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law Civil), ia menawarkan metodologi baru yang di dalamnya menguak pandangan Islam terhadap HAM. Perahtian utama Na’im adalah hukum Islam dalam kaitannya dengan isu-isu international, konstitualisme modern dan hukum pidana modern. Menurutnya hukum Islam saat ini membutuhkan refornasi total atau rekonstruksi menyeluruh.10 Sedikit banyaknya seorang guru pasti berpengaruh atau bahkan mempengaruhi arah pemikiran muridnya. Sama halnya dengan Mahmoud Muhammad Taha (baca: Taha)11, beliau adalah guru dari 9 Muhyar Fanani “ Abdullah…, hlm. 5 10 Muhyar Fanani “ Abdullah…, hlm. 5. 11 Mahmoud Muhammad Taha adalah salah seorang reformer Sudan yang dieksekusi oleh Presidan Numeiri pada 18 Januair 1985. Taha lahir sekitar 1909 atau 1911 di Rufa’ah, kota kecil disebelah utara Blue Nile, Sudan Tengah. Yatim piatu yang harus bekerja keras sejak kecil itu, akhirnya dapat menyelesaikan studinya di Gordon Memorial College (sekarang Universitas khartoum) pada 1936, jurusan teknik. Sejak tahun 1930-an, ia telah aktif dalam gerakan nasionalis untuk kemerdekaan Sudan. Pada Oktober 1945, ia mendirikan Partai Republik yang berorientasi Islam Modern. Partai ini bergerak melawan penguasa kolonial (Inggris). Ketika penguasa kolonial melarang keras praktek penyunatan organ genitak luar para gadis (dikenal denga Pharaonic Circumcision) dengan UU Hukum Pidana Sudan pasal 284A, Taha denga Partai Republik-nya menetang keras UU itu. Alasannya, penyunatan itu merupaka adat Suadan. Pelarangan terhadapnya denga memberi hukuman akan menjadi tidak efektif, justru kontraduktif. Menurut Partai Republik, perbaikan kondisi perempuan Sudan seharusnya tidak ditempuh denan cara seperti itu namun dena meningkatkan pendidikan perempuan sehingga praktik-praktik yang tidak sehat dapat ditinggalkan sendiri secara sukarela. Akibat protes itu Taha diganjar hukuman dua tahu penjara (ini adalah penjara kedua bagi Taha). Selama di penjara inilah ia mulai merenungkan Islam, kemudian berkhalwat dirumahnya antara 19441951. Dengan pendekatan mistik sufi itu akhirnya lahirlah ide The Second Massage of Islam, yang menurutnya bukan hasil pemikiran rasional semata, tapi lebih merupakan God Given. Ide The Second Massage itu diadopsi Ahmad Na’im
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ... Muhammad Makmun-Abha
57
Ahmad Na’im, ketika dia masih menjadi mahasiswa Universitas Khartoum. Dari itu pula, sedikit banyak dari apa yang diajarkan Taha mempengaruhi pemikiran Na’im mengenai hukum Islamnya. Berawal dari dasar pijakan awal terhadap pemikiran hukum Islam yang diberikan oleh Taha, Na’im praktis hanya menerjemahkan pemikiran sang guru ke dalam materi-materi hukum yang lebih konkret.12
C. Pemikiran Abdullah Ahmad An Na’im 1. Pandangan Na’im mengenai Al Qur’an Sudah menjadi consensus ummat Islam bahwasanya al Qur’an dan Sunnah merupakan sumber hukum13 yang mutlak dijalankan karena keduanya -seiring dan sejalan bersama- merupakan petunjuk bagi ummat manusia (hudan li al nas) terutama al Qur’an yang telah memproklamirkan dirinya bahwa tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fih) sehingga keduanya memiliki posisi paling sentral. Keduaduanya merupakan tempat kembali ummat islam dalam menyelesaikan permasalah-permasalahan yang ada. untuk mereformasi total hukum Islam dena prioritas utama hukum publik. Muhyar Fanani “ Abdullah Ahmad Na’im: Pradigma Baru Hukum Publik Islam” dalam A. Khudori Soleh (ed.) Pemikiran Islam Kontemporer, hlm. 29. 12 Muhyar Fanani “ Abdullah Ahmad Na’im: Pradigma Baru Hukum Publik Islam” dalam A. Khudori Soleh (ed.) Pemikiran Islam Kontemporer, hlm. 6. 13 Meskipun pernyataan seperti ini merupakan kesepakatan umum yang diungkapkan oleh sebagian besar ulama’ dan ummat islam namun pada dasarnya al Qur’an merupakan tuntunan moral bagi seluruh insan. Hal ini dapat dilihat bagaimana al Qur’an memberikan contoh-contoh dan membentuk moral masyarakat pada masa awal turunnya. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam bahwa al Qur’an terutama adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bukannya sebuah dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan-pernyataan hukum yang penting,yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat Negara Madinah. Lihat: Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. V (Pustaka: Bandung, 2003), hlm. 43. Sedangkan Abdullah an Na’im juga berpendapat demikian bahwa al Qur’an terutama lebih berupaya membangun standar dasar perilaku ummat Islam ketimbang mengekspresi standar-standar itu sebagai hak dan kewajiban. Lihat: Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internsional dalma Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, cet. I (LKiS, Yogyakarta, 1994), hlm. 39-40
58
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Al Qur’an sebagai kalam Ilahi yang merupakan sumber hukum, kemudian menjadi sebuah kitab yang tidak dapat diganggu-gugat (karena atas dasar proklamasinya tadi). Teks al Qur’an dianggap sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi oleh seluruh ummat Islam14. Hanya saja yang perlu diperdebatkan menurut Na’im adalah penggunaan al Qur’an sebagai dasar hukum positif.15 Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa al Qur’an menurut an Na’im pada mulanya merupakan pembentuk perilaku-moral16 manusia. Oleh karena itu, kunci untuk memahami peranan al Qur’an dalam perumusan Syari’ah adalah dengan mengapresiasi bahwa al Qur’an terutama lebih berupaya membangun standar dasar perilaku ummat Islam ketimbang mengekspresikan standar-standar itu sebagai hak dan kewajiban.17 Dari perilaku-moral yang ditunjukkan oleh setiap manusia inilah kemudian sebagian al Qur’an “memformulasikan” standar hukum yang sesuai dengan perilaku manusia tersebut dan sebagian formulasi hukum yang lainnya diambil dari hasil interaksi antara manusia (‘ulama) dengan nash.18 14 Ini merupakan keyakinan an Na’im sebagai seorang Muslim. Lihat: Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 39. Sedangkan Farid Esack, di dalam bukunya al Qur’an: a Short Introducton yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Samudera al Qur’an, memberikan satu judul sub bab yang berjudul “al Qur’an sebuah kitab suci yang dipertentangkan”. Hal ini disandarkan pada kenyataan yang terjadi di beberapa Negara –khususnya di Afrika Selatanyang terkait dengan situasi kontemporer dimana telah lama terjadi perselisihan antara tradisionalisme dan modernisme yakni perbedaan mereka dalam pendekatan yang digunakan dalam memahami al Qur’an. Lihat: Farid Esack, Samudera al Qur’an, terj. Nuril Hidayah (Diva Press: Yogyakarta, 2007), hlm. 4849
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ... Muhammad Makmun-Abha
Salah satu contoh, seperti yang dicatat Coulson, peranan Nabi dalam membangun standar perilaku “ditunjukkan (dari segi waktu dan tekanan) pada perannya sebagai pengambil keputusan politik”, dengan menyebutkan berbagai konsekwensi hukum atas pelanggaran standar-standar itu19. Pernyataan ini ditambahi oleh Na’im dalam catatan kakinya bahwa ini tentu saja tidak untuk mengatakan bahwa Nabi tidak memiliki peranan sebagai legislator politik. Peranan tersebut dikandung oleh al Qur’an dan ditunjukkan dalam praktek Nabi sendiri. Lihat misalnya ayat 7:157 al Qur’an, yang memberikan keabsahan Nabi sebagi legislator dan ayat 3:32 dan 132, 4:59, 65 dan 80 serta 59:7 yang menekankan kewajiban umat Islam untuk menaati Nabi. Tetapi, yang perlu ditekankan disini peranan utama Nabi bukan sebagai legislator politik20. Jadi, sebagai kesimpulan beliau, bahwa al Qur’an bukanlah dokumen hukum namun, ia lebih kepada penuntun moral ummat manusia, sebuah pernyataan yang dikutip di dalam bukunya, “The Qur’an is not and does not profess to be a code of law even a law book…. Rather, it is an eloquent appeal to mankind to obey the law of God which, it is (in the main) implied, has already been revealed or is capable of being discovered. Nevertheless, it would be a grave mistake to overlook the influence of the Qur’an in the creation of the Islamic legal system”.21 2. Konsep Nasikh Mansukh Secara umum istilah nasikh22 dan mansukh yang dipegang oleh para ulama’ ortodoks adalah penghapusan, penggantian, ataupun pemindahan ayat lalu yang dihapus atau diganti dengan ayat yang akan datang. Di dalam ushul fiqh sendiri naskh adalah mengganti
15 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 40
19 Sebagaimana dikutip oleh Na’im dalam, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 40
16 Pemakalah menulis istilah “perilaku” dan “moral” dalam tulisan ini untuk menggabungkan pendapat antara Rahman dan an Na’im.
20 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 40
17 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 40 18 Kalimat “perumusan Syari’ah” yang ditekankan oleh an Na’im agaknya secara umum ditujukan bagi ulama’ legislator hukum yang merumuskan hukum dari al Qur’an, dan seakan-akan tidak melihat pada beberapa ayat-ayat al Qur’an yang telah memberikan hukum sendiri dari perilaku manusia meskipun secara bertahap seperti larangan meminum khamr yang disebutkan oleh Coulson di dalam bukunya History of Islamic Law.
59
21 Sebagaimana dikutip oleh Na’im dalam, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse University Press: New York, 1996), hlm. 20 22 Orang yang pertama kali membahas masalah ini secara mendalam ialagh Imam Syafi’i dalam kitabnya Risalah al Ushul. Dia membahasnya dari segi penjelasan hukum, bukan dari segi pembatalan nash-nash syara’. Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum dkk, cet IX (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2005), hlm. 283
60هم
Jurnal Syahadah
جميعا أحد2014 وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل Vol. 2, هؤالء No. 1, من April الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا آثارهم زادا لما بعدهم 23 atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian . Menurut Imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu —أستاذي تلقيته عن –كماhukum التفسيرyang منهج هذا األصل في و nash,هو akan tetapi masa berlakunya terkandung dalam 24 nash tersebut habis . الدراسة Pendapatيفرغ ini kemudian diikuti oleh Ibnu , فيه الواحدtelah الموضوع الموضوعي الذي التناول Hazm. لأللفاظ استعمالهAhmad بمألوفanويهتدي القرآن منه فيmengikut فيجمع كل ما Bagi Abdullah Na’im ,sendiri –dengan dan mengutip kepada diberikan oleh gurunya Mahmud نهج وهو مpengertian . لكل ذاكyang اللغوية تحديد الداللة بعد, واألساليب Mohammad Thaha- naskh diartikan sebagai “penghapusan untuk se, سورة سورةsaat القرآن المعروفة والطريقة25يختلف mentara, menunggu yangتفسير tepat في (untuk dilaksanakan)”. Naskh bukanlah berarti “penghapusan total dan permanen”, namun, , اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كلهhanya يؤخذ merupakan penundaan atau penangguhan pelaksanaan hukum den, أللفاظه الداللة اإلهتداء إلي إليdatang. مما السبيل معه gan melihat kondisiالقرآنية yang tepat di masa yang akan Definisi nasakh البيانية yang diberikan olehاألسلوبية Na’im dan gurunya ini وخصائصه ظواهره أولمح 26 dapat dilihat dari tafsiran pada ayat :
Ayat di atas mesti ditafsirkan: “Ayat yang Kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda pelaksanaan huk Kami gantikan dengan yang lebih dekat umnya,maka ayat dengan pemahaman manusia, atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat.”27 Na’im dan gurunya Ketika melihat definisi nasakhmenurut yang berbeda dengan ulama’ pada umumnya, maka yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang mendasari pemikiran kedua tokoh tersebut? Dalam hal ini, Mahmod Thaha sebagai pencetus definisi tersebut memulainya dengan argumen bahwa ketika tingkat tertinggi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak pada umumnya masyarakat dan secara praktis ditunjukkan bahwa belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realis-
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ... Muhammad Makmun-Abha
61
tic pada masa Madinah diberikan dan dilaksanakan.28 Dengan jalan ini aspek-aspek pesan periode Mekkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik dalam konteks sejarah abad VII, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan selama masa Madinah. Namun, aspek-aspek pesan Makkah yang ditunda itu tidak akan pernah hilang sebagai sumber hukum, ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat di masa depan.29 Tesis inti dari Ustadz Mahmoud adalah bahwa pergantian adalah dalam pengertian pergantian waktu. Dengan definisi nasikh mansukh yang dipaparkan Na’im ini mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al Qur’an seluruhnya tidak ada yang bertentangan (kontradiktif) dan tetap berjalan hanya saja, menunggu yang waktu tepat dalam melaksanakan hukum tersebut sehingga ayat-ayatnya tidak terlihat vacum dan sia-sia. Karena dengan demikian esensialnya, nasakh marupakan proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks lainnya hingga waktu yang memungkinkan penerapan teks itu tiba. Adapun mengenai substansi ayat-ayat Makkah dan Madinah, pada dasarnya Na’im menganggap bahwa ayat-ayat Makkah merupakan ayat universal-toleran-egaliterian-inklusif-demokratis yang bersifat abadi. Sedangkan ayat Madinah dianggap ayat sebagai ayat diskriminatif-sektarian-inklusif. Hal tersebut dapat diketahui melalui ayat-ayat Makkah yang memperlakukan manusia dalam posisi yang sama, memberikan hak bagi setiap insan dan berlaku menyeluruh. Ini ditandai dengan seruan ayat dengan menggunakan kalimat “Ya ayyuhannas….” atau “Ya bani adam…”. Substansi dari pesan Makkah menekankan pada nilai-nilai ke-
26 Artinya: ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Q.S. al Baqarah: 106, Muhammad Taufik, Qur’an in Word, ver. 1.3
28 Mahmod Thaha membagi isi al Qur’an dan Sunnah ke dalam dua tingkat atau tahap risalah Islam,, satu periode awal Makkah dan berikutnya tahap Madinah. Ayat Makkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh ummat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagaamaan, ras, dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan persamaan dan kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama dan keimanan. Baik substansi pesan Islam maupun perilaku pengembangannya selama periode Mekkah didasarkan pada ‘ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman ataupun bayangan kekerasan dan paksaan apapun. Lihat: Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 103
27 Sebagaimana dikutip oleh Na’im dalam, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 104
29 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 103-104
23 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 283 24 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 283 25 Sebagaimana dikutip oleh Na’im dalam, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 104
وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم Jurnal Syahadah زادا آثارهم الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا 62 الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا آثارهم زادا Vol. 2, No. 1, April 2014 لما بعدهم لما بعدهم هوdan —أستاذي عنyang تلقيتهfundamental التفسير –كما في منهج األصل و adilan persamaan danهذا martabat yang melekat أستاذي—هو تلقيته عن كما – التفسير هذا منهج في األصل و 30 pada Namun yang bernilai , فيهseluruh الواحدmanusia. الموضوع الدراسةsayangnya الذي يفرغseruan الموضوعي التناول , الواحد فيه الموضوع يفرغ الدراسة الموضوعي الذي التناول bersahabat tersebut justru ditentang dan diabaikan oleh masyarakat لأللفاظ استعماله بمألوف ويهتدي , منه القرآن في ما كل فيجمع Arab yangاستعماله pada akhirnya Nabi saw memutuskan لأللفاظ بمألوف ويهتدي , القرآن منهhijrah ما فيkeكلMadinah فيجمع dan hukum tersebut menjadi منهجayat وهوMakkah .لكل ذاك اللغوية الداللةtertunda. بعد تحديد, واألساليب منهجNabi وهوsaw .ذاك اللغوية الداللة بعد تحديد , واألساليب Ketika danلكل sahabat hidup di Madinah pesan al Qur’an , سورة سورة القرآن تفسير في المعروفة والطريقة يختلف berubah menjadi lebihالقرآن spesifik. Ayat-ayat Madinahوالطريقة hanya diserukan , سورة سورة تفسير المعروفة في يختلف kepada yangسياقه beriman saja. Dan lagi orang, كلهorang-orang العام في القرآن مقتطعا من فيهparahnya اللفظ أو اآلية يؤخذ , كله القرآن في العام سياقه من مقتطعا فيه اآلية أو اللفظ يؤخذ orang beriman diberi wewenang oleh al Qur’an untuk menggunakan , أللفاظه القرآنية الداللة إلي اإلهتداء إلي معه السبيل مما kekerasan, pertama dalam الداللة mempertahankan , أللفاظه القرآنية اإلهتداء إليdiri إليdan معهberhubungan مما السبيل وخصائصه األسلوبية ظواهره dengan ketidak-adilanالبيانية yang dilakukan oleh orang-orang kafirأولمح terhaالبيانية وخصائصه األسلوبية ظواهره أولمح dap mereka, dan selanjutnya dalam mendakwahkan Islam dan mem-
perluas wilayah Negara muslim.31 Contoh lainnya adalah ayat-ayat 32 maupun sunnah di Madinah mulai melakukan diskriminasi antara kaum Adam dan kaum Hawa. Sekilas diketahui adanya ayat yang menyatakan kepemimpinan ada di tangan laki-laki yang berbunyi33:
Jadi, perubahan seruan al Qur’an yang ada di Makkah dan Madinah sebenarnya bukan terletak pada waktu dan tempat ditu melainkan sasaran maupun runkan ayat dari sebuah individu kelompok yang berbeda. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Mahmoud: “the Meccan and the Medinese texts [of the Qur’an] differ, not but because the because of the time and place of revelation, essentially of au 30 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 106 31 Abdullah Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah:…, hlm. 106-107 32 Di sisi lain hadits nabi sendiri telah menjadi pendukung dari ayat-ayat yang dinilai diskriminatif oleh Na’im. Beberapa hadits seringkali diebut dengan istilah hadits misoginis, yakni hadits yang mendiskreditkan wanita. Namun sayangnya Na’im tidak mencantumkan contoh hadits misoginis tersebut. 33 Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” Q.S. an Nisa:34. Muhammad Taufik, Qur’an in Word, ver. 1.3
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ... Muhammad Makmun-Abha
63
dience which they are addressed. The phrase “O Believers [frequently used in the Qur’an of Medina] addresses a particular nation, while “O humankind” [characteristic of the Qur’an of Mecca] speaks to all people”34 3. Islam dan Negara Sekuler; Penerapan Konsep Syari’ah35 Sekularisme yang biasa kita pahami, yaitu pemisahan term agama dan negara, sehingga agama berjalan sendiri dan negara pun seperti itu. Hal ini juga memberikan artian bahwasanya adanya dikotomi antara agama dan negara yang keduanya tidak bisa dipertemukan. Agama yang diaplikasikan hanya sebatas personal dan privat. Namun berbeda halnya dengan Ahmad Na’im sekularisme yang diangkatnya dia mengatakan “Sekularisme tidak berarti peminggiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Menurutnya keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsipprinsip syariah sebagai kebijakan publik dan menetapkannya menjadi undang-undang atau peraturan melalui Public Reason (pemikiran umum). Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsipprinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.”36 Selanjutnya Na’im juga memberikan pandangannya terhadap apa yang disebut syari’ah. Semua yang dilakukan untuk membela HAM rupa-rupanya memberikan implikasi terhadap pandangannya terhadap syari’ah. Na’im melihat syari’ah sebagai produk manusia yang relatif Tetapi melihat HAM dia berkata lain, yakni sebagai sesuatu yang absolut, yang harus dipatuhi. Hukum Islam, Syari’ah, memiliki reputasi yang buruk – terutama di Barat, dan juga dibeberapa negara Muslim sekuler. Ia dianggap sebagai sebuah konsep yang merepresi perempuan, melanggar hak asasi manusia, dan ter34 Sebagaimana dikutip oleh Na’im dalam, Toward an Islamic Reformation:…, hlm. 55 35 Term ini terinspirasi dari buku yang akan Na’im terbitkan mengenai The Future of Sharia (Masa Depan Syari’ah), Yang di dalamnya menyerukan bahwa negara sekuler adalah Masa depan Syari’ah. 36 www.hidayatullah.com, diakses tanggal 17 Mei 2009.
64
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
belakang. Namun Abdullah An-Naim, professor ilmu hukum pada Emory University di Atlanta, Amerika Serikat mengatakan bahwa para fundamentalis memang memahami konsep Syari’ah secara lain. Menurutnya syari’ah justru memiliki segi positif dan masa depan.37 Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa syari’ah adalah produk pemikiran manusia, sebagai hasil pemahaman dan interaksi antara manusia dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai sebuah pemahaman tentu ia tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu, konteks sosial-budaya dan politik penafsirnya. Dengan demikian syari’ah tidak bersifat suci, apalagi kekal (eternal) yang berlaku untuk semua waktu dan tempat. Dan yang terpenting syaria’ah bisa saja dinegosiasikan.38 Mengenai hal ini ada yang berpendapat bahwa ini sangat fatal sekali dan menimbulkan implikasi keagamaan yang cukup besar. Bila yang dimaksudkan Na’im dengan syariah di sini termasuk hukum-hukum yang sarih (jelas) disebutkan dalam Al-Quran seperti soal shalat, puasa, zakat, zina, dan seterusnya, bukan pada detail pelaksanaannya, maka sesungguhnya telah merendahkan Islam sebagai Agama rekayasa manusia. Karena bagaimana mungkin kita memaknai wajibnya shalat, zakat, puasa, qisas, dan lainnya sedang hal tersebut tercantum dengan jelas dalam firman-firman Allah seperti aqimus shalat wa atuzzakah, kutiba `alaykum al-siyam, kutiba `alaykum al-qisas.39 Dan menurut penulis sendiri bahwa pengertian seperti itu (syari’ah bersifat relatif) hanya akan menimbulkan anggapan bahwa Na’im membuat atau menjadikan syari’ah sefleksibel mungkin. Apalagi yang berkaitan dengan sekularisme, Memisahkan antara agama dan negara yang nanti bertujuan untuk terciptanya negara yang konstitusional.40 Juga bertujuan untuk mengatur peran politik 37 DEUTSCHE WELLE/Qantara.de 2006 38 www.hidayatullah.com dikutib pad tanggal 17 Mei 2009
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ... Muhammad Makmun-Abha
65
Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara untuk mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan dan menetapkannya menjadi undang-undang melalui public reason. Lantas yang menjadi pertanyaan penulis sendiri adalah di mana letak HAM, kalau toh ujung-ujungnya semua bersifat Islami, dalam artian hukum perundang-undangan diambil dari prinsip-prinsip syari’ah yang ditujukan untuk masyarakat Islam, padahal dalam suatu negara tidak hanya dihuni oleh masyarakat Islam saja, bahkan jangan-jangan itu nantinya berakibat sebagai pemaksaan juga terhadap kaum non-Muslim untuk mengikuti perundang-undangan? Na’im menawarkan jalan kompromi untuk penerapan syari’ah, yaitu melalui jalur demokrasi. Ia mengatakan bahwa untuk menjadikan hukum Islam sebagai peraturan dan hukum publik, ia hendaklah mendapatkan persetujuan dari apa yang disebutnya “public reason”. Bila sesuatu hukum tersebut didukung oleh public reason, maka hukum tersebut berhak untuk dijadikan peraturan umum ataupun hukum publik. Pendapat ini sejalan dengan ungkapannya bahwa “setiap perundangan dan peraturan publik haruslah merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai masyarakatnya.”41 Namun dengan tetap tunduk terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
D. Respon Ummat Muslim terhadap Pemikiran An-Na’im Ketenaran Na’im dalam menggagas konsep Negara sekuler vis a vis syari’ah serta konsep nasikh mansukh-nya menjadikan ia dipuja dan dipuji oleh sebagian intelektual muslim (berlabelkan “liberal”). Namanya –tak ketinggalan konsepnya- muncul di Koran-koran baik berskala nasional maupun internasional. Beberapa tokoh yang menyanjungnya antara lain Ulil Absar Abdalla dan Azyumardi Azra. Azyumardi menulis di salah satu cover buku Na’im: “Buku ini, tidak ragu lagi, merupakan kontribusi penting bagi diskusi dan perdebatan
39 www.hidayatullah.com dikutip pada tanggal 17 Mei 2009 40 Mengenai pengertian konstitusional, penulis mendapati kata ini digabungkan dengan kata lain, sebut saja konstitusi negara. Yaitu kumpulan aturan-aturanyang digunakan dan diterapkan dalam konteks negara. Dalam pengertian formal istilah tersebut, konstitusi negara adalah kumpulan aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang menciptakan berbagai alat pemerintahan dan menentukan hubungan satu dengan yang lainnya, serta hubungan antara alat-alat itu
dengan subyek pribadi manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu ataupun kolektif. Dalam Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 135. 41 www.hidayatullah.com, diakses tanggal 17 Mei 2009.
66
Jurnal Syahadah
Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
tentang tarik tambang syariah, sekularisme dan negara.”42 Sedangkan di kover belakang buya Syafii yang dikenal sebagai tokoh santun dan sederhana ini justru menulis, “An Na’im punya otoritas berbicara tentang syariah dalam kaitannya dengan keperluan mendesak umat Islam untuk merekonstruksi seluruh hasil ijtihad para fuqaha dan ulama selama tiga abad pertama hijriah. Melalui rekonstruksi ini diharapkan Islam akan mendorong dan sekaligus mengawal arus perubahan sosial yang tak terelakkan, dan syariah dalam maknanya yang autentik akan dijadikan acuan utama dalam merumuskan kebijakan publik secara cerdas dan berkualitas tinggi”. Namun, di pihak lain Na’im tak luput mendapat cercaan dari intelektual Muslim (khususnya Indonesia). Pada tahun 2007, ketika beliau diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan “Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah” tepatnya di UIN Syarif Hidayatullah, beliau dihujat karena tidak mencerminkan diri sebagai seorang muslim. Ia terbiasa minum bir. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis guru besar bidang sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: “teman saya, panitia acara itu, kecewa dengan sikap al-Na’im. Ketika jamuan malam di hotel tempat dia menginap, rupanya dia biasa minum bir. Teman saya itu betul-betul kaget dan kecewa.” Lanjut beliau, ”Saat datang ke UIN, Bu Huzaemah (Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, ahli fiqh dan anggota MUI, red) bilang kepada al-Naim, Anda tidak perlu mengajari kami tentang bernegara dan bersyari’at. Kami punya cara sendiri, dan itu tidak mengganggu negara. Anda sendiri tidak punya Negara.” Selain itu Dr. Fahmy Hamid Zarkasyi, peneliti Institute for The Study of Thought and Civilization (INSIST) menyatakan, al-Na’im tidak saja mengejek kita tentang bernegara dan bersyari’at Islam. Tapi, katanya, ia juga tidak mengakui adanya institusi ulama dan syari’ah dalam Islam. ”Ia betul-betul liberal kaffah. Ini tantangan yang harus kita hadapi, ” ujar Hamid.
42 Henri Shalahuddin,” Menegosiasi Masa Depan Syariah Dan Negara [2]”, dalam www.khilafah1924.org, diakses tanggal 16 Mei 2009
Muhammad Makmun-Abha
67
E. Penutup Dengan mengacu kepada apa yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang Na’im adalah cendekiawan muslim yang dilahirkan di Sudan, yang pada saat ini merupakan aktifis Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai seorang yang memperjuangkan HAM. Tentunya semua pemikirannya dibayang-bayangi oleh penyamarataan hak. Sehingga dia memandang Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang absolut. Namun berbeda halnya dengan Syari’ah, dia menganggapnya sebagai sesuatu yang relatif, dan dapat dinegosiasikan. Adapun konsepnya mengenai naskh-mansukh, Na’im yang pemikirannya juga dipengaruhi oleh gurunya Mahmoud Muhammad Taha, memberikan pengertian bahwa naskh bukan “penghapusan total dan permanen”. namun hanya merupakan penundaan atau penangguhan pelaksanaan hukum dengan melihat kondisi yang tepat di masa yang akan datang. Tentunya penilaian terhadap Na’im juga harus ada. Namun juga tak lepas dari baik ataupun buruk tanggapan terhadapnya. Yang beranggapan positif menerima, namun memberikan catatan bahwa pemikiran Na’im ini harus dilihat dari segi kemasuk-akalan (plausibility structure). Sedangkan yang mengkritik beranggapan bahwa adanya inkonsistensi dalam pemikirannya, karena menganggap HAM bersifat absolut yang wajib untuk diikuti.
Daftar Pustaka An Na’im, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internsional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. cet. I. Yogyakarta: LKiS. 1994 ______________. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New York: Syracuse University Press. 1996 Berger, Peter L. dan Hansfried Kellner. Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esei tentang Metode dan Bidang Kerja. terj. Herry Joediono. LP3ES: Jakarta. 1985 Esack, Farid. Samudera al Qur’an. terj. Nuril Hidayah. Yogyakarta:
68
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Diva Press. 2007 Ghazali, Abd. Moqsith. “Metode dan Kaidah Penafsiran Quran” dalam Adnan Mahmud. dkk (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005 Lindholm, Tore dan Karl Vogt (ed.). Dekonstruksi Hukum Islam (II). terj. Farid Wajidi. LKiS: Yogyakarta. 1996 Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia; Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. terj. F. Budi Hardiman. Kanisius: Yogyakarta. 1991 Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Mohammad. cet. V. Bandung: Pustaka. 2003 Shalahuddin, Henri. ”Menegosiasi Masa Depan Syariah Dan Negara [2]”, dalam www.khilafah1924.org, diakses tanggal 16 Mei 2009 Taufik, Muhammad. Qur’an in Word, ver. 1.3 Taha, Mahmoud Muhammed. The Second Massage of Islam. terj. AlNa’im. Syracuse University Press: Syracuse, NY. 1987 Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. terj. Saefullah Ma’sum dkk. cet IX. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2005 www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal 15 mei 2009 http://allserv.rug.ac.be/~hdeley/CIE/an-Na’imcv.htm. dalam Muhyar Fanani. “Abdullah Ahmad Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam” dalam A. Khudori Soleh (ed.). Pemikiran Islam Kontemporer. Jandela: Yogyakarta. 2003
SEBAB-SEBAB KESALAHAN DALAM TAFSIR Abd. Halim, M.Hum. Peneliti pada Pusat Studi al-Qur’an dan Hadis (PSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstract In some works of quranic interpretation, it was found so many mistakes in understanding the Qur’an. This paper tries to describe the cause of mistakes in interpreting the Quran which has been initiated by some Quranic thinkers in their works. Some causes of misunderstanding in interpreting al-Qur’an sometimes come from the interpreter its self like carelesness, uncomprehensive understanding of arabic language, ideological and political interest and another causes. In the other hand, it come from outside of the interpreter such as unvalid sources and the pressure of authoritarian government where the interpereter live. After expalaining the causes of misunderstanding in interpretation, the writer tries to analise it and strive to draw its implication for the possibility of quranic interpretation.
A. Pendahuluan Para penafsir al-Qur’an telah menawarkan berbagai macam metode tafsir untuk memahami al-Quran. Metode-metode tersebut sangat bergantung pada kecenderungan dan minat kelimuan sang penafsir. Dari perbedaan kecenderungan keilmuan tersebut lahirnya bermacam-macam madzhab tafsir seperti tafsir fiqhi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima’i, tafsir hermeneutis dan lain sebagainya. Dari sekian metode yang ditawarkan oleh berbagai mufassir dari zaman klasik hingga modern-kontemporer, sangat sulit untuk menentukakn metode yang mana yang paling pas dan benar. Namun yang pasti semua penafsir al-Qur’an semuanya menginginkan agar karya tafsirnya dapat mengungkap makna al-Qur’an dengan sebenarbenarnya. Penulis yakin bahwa tidak ada seorang mufassirpun yang menafsirkan al-Qur’an dengan tujuan memaknai al-Quran secara salah. Namun, kemungkinan kesalahan dalam penafsiran tentu akan banyak ditemukan karena mengungkap makna al-Qur’an tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dalam paper ini, penulis merangkum beberapa catatan para pemikir al-Qur’an tentang beberapa penyebab umum yang menye-
مما السبيل معه إلي اإلهتداء إلي الداللة, يختلف والطريقة المعروفة في تفسير القرآن سورة سورة , يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه الب , مما السبيل معه إلي اإلهتداء إلي الداللة القرآنية أللفاظه Jurnal Syahadah 70 Vol. 2, No. 1,April 2014 أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية
seorang babkan mufassir melakukan kesalahan atau kekurangtepatan dalam mengungkap makna al-Qur’an.
Masa ke Masa Ke Masa Problematika B. Tafsir Dari
Sebagaimana diungkapkan dalam berbagai literatur kajian tentang al-Qur’an, bahwa aktivitas penafsiran terhadap al-Quran sudah al-Quran 1 Hal ini ditegaskan oleh Muhammad. dilakukan oleh Nabi dalam (QS al-Nahl [16]:44),
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan.
Bedasarkan ayat inilah para pememerhati tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa Rasulullah adalah satu-satunya sosok penafsir alQur’an yang paling otoritatif. Salah satu kelebihan tafsir Nabi adalah bahwa penafsiran beliau terhadap al-Quran senantiasa dibantu oleh wahyu. Jikapun ada kekeliruan dalam ijtihad Nabi yang terkait dengan persoalan hukum Islam atau perilaku Nabi, maka wahyu lain akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi. Dan inilah salah satu makna ke-ma’shum-an Nabi. Para sahabat apabila tidak mengetahui makna atau maksud suatu ayat, mereka segera merujuk dan bertanya kepada Nabi. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak semua ayat dalam al-Qur’an dijelaskan secara mendetail oleh Nabi. Sehingga banyak ayat-ayat yang belum diketahui maknanya secara mendalam. Di sinilah tugas para mufassir generasi berikutnya menjelaskan makna-makna al-Qur’an yang belum diketahui.2 Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir (hadis-hadis tafsir) sebagaimana mereka tidak menulis dan mendewankan hadis pada umumnya. Jelasnya, sebagaimana mereka tidak menulis hadis-hadis tasyri’ (hadis hukum), hadis-hadis targhib dan tarhib, hadis 1 Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir ( Jakarta: Litera Antar Nusa, ), hlm. 467 lihat juga Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qura’an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 67-68. 2 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: Dari Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 30.
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir Abd. Halim, M.Hum.
71
tadzkir, begitu juga mereka tidak menulis hadis-hadis tafsir. Sebab dan illat-nyapun sama, yakni mereka tidak suka menulisnya karena takut bercampur baur al-Quran dengan tafsir yang ditulisnya itu.3 Meskipun begitu, ada sebagian kecil sahabat yang melakukannya dengan susunan yang sangat pendek dan ringkas sekali.4 Pada masa berikutnya, tafsir juga dikembangkan oleh para tabi’in. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho’ bin Abi Robah. Kedua, madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ’Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Ketiga, madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara muridmuridnya yang terkenal adalah al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Bashry dan Qota>dah bin Di’a>mah As-Sadusy. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa dari keempat perguruan tafsir tersebut yang paling mengetahui tentang tafsir adalah penduduk Mekkah. Karena mereka adalah murid-murid dari Ibnu Abbas yang terkenal dengan Turjuman alQuran.5 Golongan atba’ tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima dari generasi para sahabat dan tabi’in. Pada saat itu, tafsir belum mempunyai bentuk tertentu dan belum juga berbentuk tertib mushaf. Hadis-hadis tafsir itu diriwayatkan secara berserakan untuk tafsiran ayat-ayat yang masih terpisah dan masih bercampur dengan hadis-hadis yang lain, seperti hadis mu’amalah, hadis munakahah, dan sebagainya.6 Sekitar permulaan abad kedua, barulah ulama-ulama mengum3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir ( Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. 14, 1992), hlm. 208. 4 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 69. 5 Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 479. 6 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran Tafsir ( Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. 14, 1992), hlm. 238.
72
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
pulkan hadis-hadis tafsir yang ada di kota mereka masing-masing, kemudian melawat ke kota-kota lain untuk mengumpulkan hadishadis tafsir, setelah itu, mereka tuangkan ke dalam kitab-kitab tafsir. Dalam menyusun tafsir mereka menyebut suatu ayat, lalu menyebut nukilan-nukilan yang berkenaan dengan tafsir ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in.7 Seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Abd bin Hamid dan lain-lain. Namun sayangnya, tafsir golongan ini tidak ada yang sampai pada generasi sekarang. Yang ada sekarang hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur.8 Ketika Nabi masih hidup, tafsir belum menghadapi masalah yang cukup signifikan. Sebab, apabila sahabat mengalami kesulitan, mereka bisa langsung mengkonfirmasikannya kepada Nabi yang dipandang sebagai penafsir yang paling otoritatif. Pada zaman sahabatpun persoalan-persoalan tafsir masih relatif tidak dijumpai karena para sahabat masih mengenyam pendidikan langsung dari Nabi saat beliau hidup sehingga pengetahuan mereka tentang tafsir masih relatif murni dari berbagai kepentingan (interest). Hal ini terbukti misalnya ketika para pakar tafsir sepakat bahwa tafsir bil ma’tsur itu adalah tafsir yang berasal dari Nabi atau perkataan para sahabat dan para pembesar tabi’in yang juga berasal dari Nabi.9 Permasalahan mengenai tafsir muncul saat manusia semakin menjauh dari zaman Nabi dan sahabat. Apalagi setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dengan sangat pesat. Berbagai ahli ilmu mencoba menjelaskan al-Qur’an dengan perspektif bidang ilmu yang mereka tekuni. Keadaan tafsir al-Qur’an mengalami titik kulminasi terendahnya ketika seorang penafsir terlalu fanatik terhadap madzhab tertentu serta menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai macam kepentingan pribadi dan kelompok. Hal inilah yang sangat me7 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, hlm. 237 8 Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 476-477. 9 Para ulama berbeda pendapat tentang penafsiran tabi’in apakah ia juga dianggap sebagai tafsir bi al-ma’tsur atau tidak. Namun, para pakar ilmu tafsir sepakat bahwa penafsiran mereka juga termasuk tafsir bi al-ma’tsur apabila tafsir tersebut diakui oleh beberapa tab’in yang lainnya. Lihat Manna Khalil Qattan, hlm. 482-483dan hlm. 475.
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir Abd. Halim, M.Hum.
73
mungkinkan terjadi penyimpangan-penyimpangan (al-inkhiraf) dalam tafsir. Contoh konkret misalnya dapat dilihat dalam pemetaan Abdul Mustaqim ketika melakukan periodisasai tafsir. Abdul Mustaqim memetakan perkembangan epistemologi tafsir ke dalam tiga periode mulai dari era pertama kali al-Qur’an diturunkan hingga era kontemporer yakni era formatif dengan nalar mitis, era afirmatif dengan nalar ideologis, era reformatif dengan nalar kritis.10 Pertama, tafsir era formatif dengan nalar mitis.11 Tafsir ini bermula sejak zaman Rasulullah dan berlangsung hingga kira-kira abad kedua hijriyah. Tafsir bentuk ini memiliki ciri-ciri kuatnya penokohan terhadap seseorang seperti Nabi, sahabat, para tabi’in, dan lain sebagainya dan cenderung tidak kritis dan menerima produk penafsiran karena telah yakin akan kebenarannya. Kedua, era afirmatif dengan nalar ideologis. Era afirmatif ini terjadi pada abad pertengahan ketika penafsiran banyak didominasi oleh kepentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuan tertentu sehingga terkadang al-Qur’an hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingan-kepentingan tersebut.12 Dalam era ini, banyak bermunculan karya tafsir yang memiliki kecenderungan terhadap masingmasing aliran, mazhab, ideologi, atau keilmuan dari masing-masing penafsir. Salah satu contohnya antara lain: al-Kasysyaf ’an Haqaiq alQur’an karya al-Zamakhsyari (w. 538 H.); juga terdapat karya-karya yang bermuatan ideologi Syi’ah seperti Tafsir al-Qur’an karya Ali Ibrahim al-Qummi (w. 939M), al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Ibn al-Hasan at-Tusî (w. 1067M) dan lain sebagainya; Ketiga, era reformatif dengan nalar kritis. Pada era ini, para penafsir al-Qur’an mulai mengembangkan budaya kritisnya terhadap produk-produk penafsiran para ulama-ulama klasik yang dianggap kurang relevan di zaman sekarang. Era ini dimulai dengan munculnya para mufassir yang kritis seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhim al-Quran dan Muhammad Abduh dengan karyannya al-Manar. Usaha dari kedua mufassir ini dilanjutkan oleh be10 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 34. Lihat juga Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir (Riyad: Dar Ibn al-Jauzi, 1425 H.), hlm. 50. 11 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta, hlm. 34. 12 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 45-46.
74
Jurnal Syahadah
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
Vol. 2, No. 1, April 2014
Abd. Halim, M.Hum.
berapa mufassir berikutnya seperti Rasyid Rida, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi dan yang lainnya.13 Dari pemaparan Abdul Mustaqim ini, penyimpangan dalam penafsiran dalam al-Qur’an banyak ditemui pada abad pertengahan karena tafsir pada masa itu dilakuakan dengan metode bi al-ra’y dan cenderung bercampurbaur dengan kepentingan ideologi atau politik (ideological and political interest). Namun tidak menutup kemungkinan bahwa di zaman kontemporerpun juga akan ditemukan banyak kesalahan penafsiran karena ada sebab-sebab khusus yang memicu kesalahan dalam sebuah tafsir. Oleh karena itu, sangat penting sekali memahami dan mengkaji apa saja penyebab-penyebab kesalahan dalam tafsir.
C. Sekilas tentang Tafsir bi Al-Ra’y Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tafsir bi al-ra’y. Manna’ al-Qattan misalnya menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah tafsir yang mendasarkan penjelasannya pada pemahamana sendiri dan penyimpulan (istibat) yang bedasarkan pada ra’yu semata. Ra’yu semata yang tidak disertai dengan bukti-bukti akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan terhadap kitabullah.14 Dengan definisi ini, al-Qattan mengharamkan status tafsir bi al-ra’y. Berbeda dengan al-Qattan, al-Zahabi menjelaskan lebih rinci bahwa keabsahan tafsir bi al-ra’y memang menjadi perdebatan para ulama’ sejak dahulu. Al-Zahabi menjelaskan bahwa ada dua kelompok yang saling bertentangan tentang tafsir bi al-ra’y. Kelompok pertama mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’y itu adalah pendapat tentang kalam Allah tanpa dasar ilmu, oleh karenanya kelompok ini melarang keras tafsir bi alra’y dengan berdasarkan Q.S al-Isra [17]:36
13 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 51-52.
14 Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 488.
إن هللا أنزل جبريل على محمد بالقرآن
75
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sedangkan kelompok yang kedua mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’y ini boleh dilakukan jika tidak ditemukan dalil-dalil nas yang menjelaskan tentang suatu surat atau ayat tertentu, mereka berdasar pada Q.S al-Baqarah [02]: 286
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Selain itu, kelompok kedua ini mengajukan argument tentang بالقرآن محمد جبريلNabi هللا أنزل إن kisah Nabi ketika mengutus Muadz bin Jabal ke على Yaman. bersabda, “Dengan apakah kamu akan menghukumi (suatu perkara)?” Muadz menjawab, “Dengan Kitab Allah”, “Apabilah kamu tidak mendapatinya?”, “Dengan sunnah Rasulullah”, “Apabila kamu tidak mandapatinya juga?”. “saya berijtihad dengan pendapat saya”, kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz seraya berkata, waffaqa Rasulullah lima yarda Rasulullah”. 15 “Alhamdulillahillazi Al-Zahabi lebih lanjut menjelaskan bahwa kedua kelompok tersebut sebetulnya sama-sama benar hanya saja keduanya berbeda persepsi tentang tafsir bi al-ra’y. Ia mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’y ada dua macam. Pertama, tafsir yang sesuai dengan kaedah-kaedah bahasa Arab serta sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsir yang lainnya. Tafsir bi al-ra’y seperti inilah yang diabsahkan oleh umumnya para ulama’. Sedangkan yang kedua tafsir yang tidak memperhatikan kaedah-kaedah kebahasaan dalam bahasa Arab dan tidak didasarkan pada dalil-dalil syariat serta tidak mengindahkan syarat-syarat tafsir, maka tafsir seperti inilah yang tidak di ini dikuatkan oleh al-Syatibi, perbolehkan atau tercela.16 Pendapat sebagaimana dikutip oleh Ahmad asy-Syirbasyi, yang mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa makna yang terkandung dalam bahasa Arab, sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulnya
15 Perdebatan mengenai ulama’ yang menerima dan menolak tafsir bi al-ra’y ini bisa dibaca secara lengkap dalam Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa alMufassirun, juz.1, (tt: tp, 1076), hlm. 256-263 16 Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz.1, hlm. 264.
76
Jurnal Syahadah
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
Vol. 2, No. 1, April 2014
Abd. Halim, M.Hum.
tidak boleh diremehkan begitu saja. Ini disebabkan oleh kenyataan, pertama: al-Qur’an haruslah dibicarakan, dijelaskan maknanya dan disimpulkan hukum-hukumnya yang belum digarap oleh ulama- ulama terdahulu. Jika kita mandeg, maka hukum syariat akan menjadi beku. Kedua, Rasulullah sendiri tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an. Apa yang ditafsirkan oleh Rasulullah kita pegang teguh sedangkan apa yang belum ditafsirkan, maka masih terbuka kesempatan untuk menafsirkannya berdasarkan pendapat yang sah menurut dalil-dalil syara’. Ketiga: meskipun para sahabat Nabi bersikap sangat hati-hati sebetulnya mereka juga berbicara tentang al-Qur’an dengan pendapat mereka.17 dalam Ibnu ‘Asyur tafsirnya, al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, secara lebih detail membuat gradasi tafsir bi al-ra’y. Menurutnya, tafsir bi al-ra’y itu ada lima tingkatan. Pertama, penafsiran yang hanya ter tidak disandarkan lintas di benak seseorang dan pada dalil-dalil bahasa Arab dan maqasid al-syari’ah serta aplikasinya. Penafsiran semacam ini menurut Ibnu ’Asyur merupakan penafsiran bi al-ra’y yang dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur’an tanpa meng gunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini—menurut Ibnu ’Asyur— dianggap salah meskipun ia benar karena tidak berdasarkan ilmu. Misalnya ketika seorang penafsir menafsirkan alif lam mim dengan tafsiran ( ) إن هللا أنزل جبريل على محمد بالقرآنArtinya: Sesungguhnya Allah menurunkan Jibril kepada Nabi Muhammad dengan membawa alQur’an.18 Kedua, penafsiran yang tidak mendalam karena tidak mere nungkan al-Qur’an dengan sesungguhnya (al-la yatadabbar al-Qur’an haqqa tadabburih). Penafsiran yang parsial seperti ini menurut Ibnu ‘Asyur tergolong tafsir yang mazmum (tercela) karena tafsir yang septafsir Tafsir yang cenderung erti ini merupakan yang rusak. 19Ketiga, memihak pada mazhab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk ini, seorang penafsir memalingkan makna al-Qur’an dari makna yang sebenarnya. Keempat, penafsiran dengan ra’y yang didasarkan pada apa yang terkandung dalam kata-kata dalam al-Qur’an. Dalam hal yang terdapat ini, penafsir beranggapan bahwa dalam kata di dalam 17 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Pustaka Firdaus, hlm. 108.
18 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1,
hlm. 30.
19 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, hlm. 30.
77
al-Qur’an adalah satu-satunya makna dan menghindari mena’wilkan al-Qur’an yang terlalu jauh. Kelima, menafsirkan al-Qur’an dengan sangat hati-hati dan merenungkannya secara mendalam.20 Dari kelima gradasi tafsir bi al-ra’yi yang digagas oleh Ibnu ‘Asyur ini ini dapat dipahami bahwa Ibnu ‘Asyur juga menegaskan tentang keabsahan tafsir bi al-ra’yi dengan catatan bahwa tafsir tersebut dilakukan dengan ekstra hati-hati serta berdasar pada al-Qur’an dan sunnah dan kaedah-kaedah kebahasaan di dalam bahasa Arab. Gradasi tafsir yang digagas Ibnu ‘Asyur di atas sebetulnya merupakan kritik tajam bagi para mufassir yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode bi al-Ra’y agar tidak terjerembab ke dalam kesalahan yang fatal dalam menafsirkan al-Qur’an.
D. Beberapa Penyebab Kesalahan dalam Penafsiran Berbicara tentang salah dan benarnya sebuah tafsir merupakan hal yang tidak mudah. Sebab sejak meninggalnya Nabi, tidak ada lagi seseorang yang dipandang memiliki otoritas untuk menentukan yang mana sebuah tafsir itu dikatakan benar atau salah. Pertanyaan yang muncul adalah siapakah yang berhak menilai bahwa sesuatu tafsir dikatakan benar benar atau salah? Namun, bukan berarti tidak ada jalan untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam tafsir. Langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah dengan melihat ijma’ ulama-ulama tafsir ketika berbicara tentang sebab-sebab kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Zahabi misalnya mengatakan bahwa agar seorang mufassir agar tidak terjatuh dalam kesalahan, maka ia harus meninggalkan hal-hal berikut: 1. Terburu-buru menafsirkan al-Qur’an tanpa mengetahui aturan-aturan kebahasaan dan ushul al-syari’ah. 2. Terlalu mendalami sesuatu yang dirahasiakan oleh Allah seperti ayat-ayat mutasyabihat. 3. Menafsirkan al-Qur’an dengan hawa nafsu dan dugaan-dugaan semata. 4. Penafsiran yang ditundukkan pada mazhab yang rusak (mazhab al-fasid). 5. Tafsir yang dipotong-potong (parsial) tanpa adanya dasar 20 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, hlm. 31-32.
78
Jurnal Syahadah
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
Vol. 2, No. 1, April 2014
argumen yang jelas.21 Yusuf al-Qardawi juga menyinggung tentang penyebab ketergelinciran (al-mazalik wa al-mahazir) seseorang dalam menafsirkan alQur’an. Setidaknya ada delapan poin diantaranya adalah: 1. Mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih dan meninggalkan ayatayat yang muhkam. 2. Ta’wil yang rusak (ta’wil al-Fasid). 3. Meletakkan nash al-Qur’an secara tidak proporsional. 4. Menentukan ayat-ayat nasikh-mansukh tanpa adanya argumen yang jelas. 5. Tidak memahami hadis dan asar. 6. Berpegang teguh pada riwayat-riwayat israiliyyat. 7. Meninggalkan kesepakatan umat (ijma’). 8. Lemah ilmunya baik dalam bahasa Arab maupun ilmu syari’at.22 Sedangkan Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub menulis karya disertasinya yang berjudul Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir. Karya ini menjelaskan dengan sangat rinci bahwa sebab-sebab kesalahan dalam tafsir sangat banyak sekali. Ia mengelompokkan kesalahankesalahan dalam penafsiran dalam empat kategori. Pertama, kesalahan yang disebabkan mengabaikan sumber primer dari pada sumber sumber sekunder. Salah satu contohnya antara lain.23 1. Melakukan ijtihad dalam menafsirkan al-Qur’an padahal ada nash baik al-Qur’an maupun hadis yang menjelaskannya. Salah satu contoh misalnya penafsiran Nabi tentang kata alzulm dalam Q.S al-An’am [06]: 82 dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Nabi menjelaskan bahwa kata al-zulm dalam kata tersebut dengan mengutip Q.S. Lukman [31]:13 yakni sirik kepada Allah.24 Thahir Mahmud
Abd. Halim, M.Hum.
Muhammad Shaleh mengatakan bahwa seorang mufassir ti25 dak boleh membedai penafsiran yang berasal dari Nabi. 2. Merujuk pada hadis dha’if dan maudu’. Metode yang paling baik dalam menafsirkan al-Qur’an yang ditempuh oleh para ulama salaf adalah dengan mengabaikan hadis-hadis dhaif. Hal ini ditegaskan al-Qur’an al بالقرآنdalam على محمد أنزل جبريلQ.S إن هللا Nisa’ [04]: 87,
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah? Thahir Mahmud Muhammad Shaleh juga merujuk beberapa pendapat para ulama seperti Abu Bakar Ibnu Arabi, Imam al-Qurtubi, Syaikh al-Islam, dan Ibnu ’Allan al-Shiddiqi yang mengatakan bahwa al-Qura’an haruslah ditafsirkan berdasarkan sumber hadis yang shahih bukan dhaif apalagi maudu’.26 3. Mengambil riwayat israiliyyat. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan riwayat israiliyyat yang digunakan sebagai penjelas tafsir. Namun, kebanyakan ulama seperti Ibnu Kasir, Abu Bakar Ibnu Arabi, Imam al-Alusi, al-Sinqiti, al-Zahabi, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida serta beberapa ulama kontemporer lainnya menolak atau setidaknya sangat berhati-hati dalam 27 mengambil riwayat israili yyat ketika menafsirkan al-Qur’an. 4. Merujuk pada praduga dan hikayat-hikayat. Yang dimaksud dengan praduga dan hikayat ini adalah berita (akhbar), kisah-kisah (al-Qasas), serta dongeng-dongeng berita (asatir) yang tidak dirujuk dari sunnah yang shahih atau kesepakatan ummat dan tidak ada sanad yang shahih yang menceritakannya.28 Merujuk kepada praduga semata menurut Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan kesalahan penafsiran sebagaimana diung-
21 Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz.1, hlm. 275. 22 Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an al-‘Azim (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006), hlm. 265.
79
25 Ibid, hlm. 94. 26 Ibid , hlm. 124-127.
23 Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir , hlm. 83.
27 Ibid , hlm. 166-171.
24 Ibid , hlm. 100.
28 Ibid , hlm. 194.
Jurnal Syahadah
80
إن هللا أنزل جبريل على محمد بالقرآن
Vol. 2, No. 1, April 2014
kapkan dalam Q.S Yunus [10]:36,
على محمدmereka أنزل جبريل إن هللاmengikuti kecuali persangkaan saja. Danبالقرآن kebanyakan tidak Sesungguhnya persangkaan بالقرآن محمد جبريل أنزلهللا untuk men على إنberguna itu tidak sedikitpun capai kebenaran. bahasa semata leb 5. Mengutamakan aspek ketimbang asar yang ih kuat. Salah satu contoh misalnya ketika sebagian mufassir dan ahli bahasa mengingkari asar yang shahih dalam membaca dan menafsirkan kata ( ) dalam Q.S al-Nisa’ [04]:1 den
gan membaca kasrah huruf mim ( ), padahal menurut qiraat yang kuat, huruf mim dibaca fathah. 29 tidak al-Qur’an محمد جبريل هللا أنزلdan إن Kedua, teliti dalam memahami بالقرآن nash-nash على semantiknya.
1. Tidak paham ayat-ayat yang nasikh dan mansukh. tentang dalam 2. Berpegang pada kitab tafsir tanpaberijtihad memilih tafsir yang mana yang shahih atau yang tidak shahih. 3. Kurang faham tentang tata aturan-aturan dan uslub bahasa dalam bahasa Arab. Ketiga, menundukkan teks al-Qur’an pada kepentingan mazhab dan politik atau yang lainnya. 1. Fanatisme mazhab. Terlalu fanatik terhadap suatu mazhab juga seringkali menye babkan kesalahan dalam tafsir. Salah satu contohnya adalah ketika al-Jassas menafsirkan Q.S al-Baqarah [02]:232 dan 230
Abd. Halim, M.Hum. 81 Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Abu Bakar al-Jassas penulis kitab Ahkam al-Qur’an liljassas seorang ahli fiqih mazhab Hanafi mengutip kedua ayat ini untuk membenarkan pendapat Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa seorang wanita boleh nikah tanpa seorang wali. Alasan yang diajukan adalah karena dalam ayat tersebut, aqad nikah disandarkan kepada seorang perempuan tanpa menyebut wali.30 Pendapat ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa wali itu tidak sah.31 2. Fanatisme politik. Contohnya adalah ketika perang Shiffin, umat Islam pecah menjadi tiga, yakni golongan yakni golongan Khawarij (golongan yang membangkang kepada Ali kerena menerima proses tahkim), Syi’ah (pendukung Ali), dan Golongan Mu’awiyah. Sebagian golongan Syi’ah mengatakan bahwa Q.S al-Ra’du [13]: 25 turun berkenaan dengan kaum Khawarij.32
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
29 Ibid , hlm. 196
30 Ibid , hlm. 659 penjelasan ini oleh Thahir Mahmud dikutipdari kitab Ahkam al-Qur’an liljassas, Juz 1 hlm. 400. 31 Ibid , hlm. 660.
32 Ibid , hlm. 678.
82
Jurnal Syahadah
Vol. 2, No. 1, April 2014
merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan Orang-orang yang
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya di kerusakan di bumi, orang-orang Itulah hubungkan dan Mengadakan yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). Khawarij yang benci terhadap Ali men Sedangkan kaum gatakan bahwa Q.S al-Baqarah [02]:204 turun berkenaan den ganAli bin Abi 33 Thalib. طيرا ابابيل
Dan di antaramanusia yang ucapannya tentang kehidu ada orang pan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada ابابيلAllah طيرا (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras. 3. Pemaksaan makna tafsir ilmi, tafsir sufi, tafsir isyari dan lain sebagainya dalam menafsirkan al-Qur’an. Kesalahan dalam tafsir terkadang disebabkan oleh mufassir al-Qur’an dengan bi yang terlalu bersemangat menafsirkan dang keilmuan yang ditekuni misalnya tafsir ilmi, sufi, isyari, dan lain sebagainya.34 Misalnya ketika Muhammad Abduh menafsirkan kata ( ) طيرا ابابيلdalam Q.S al-Fil [105]: 03 dengan sejenis lalat atau nyamuk atau mikroba.35 Keempat, mengabaikan sebagian syarat-syarat yang sudah pasti dalam menafsirkan al-Qur’an. 1. Mengurangi kaedah-kaedah tarjih yang sudah disepakati oleh para mufassir. 2. Bertentangan dengan metode ulama salaf al-shalih. 33 Ibid , hlm. 678. 34 Ibid, hlm. 736, 751,. 35 Ibid, hlm. 875.
Abd. Halim, M.Hum.
83
3. Tidak faham tentang kaedah bahasa Arab. . Keluar dari memahami tujuan diturunkannya al-Qur’an serta tujuan-tujuan asalnya (al-ahdaf al-asliyyah).
E. Catatan Penulis Munculnya teori asbab al-Khata fi al-tafsir ini menurut hemat penulis setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, disebabkan oleh keprihatinan para pemikir al-Qur’an terhadap produk-produk tafsir yang di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan dalam memahami al-Qur’an.36 Kedua, teori ini muncul karena adanya keinginan para ulama untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini misalnya terlihat dari usaha sebahagian ulama yang mencoba menentukan syarat-syarat untuk menafsirkan al-Qur’an sebelum proses menafsirkan dilakukan.37 Selain itu, usaha al-Zahabi ketika menguraikan poin-poin tertentu agar seorang mufassir tidak terjatuh kepada kesalahan-kesalahan dalam penafsiran juga mengindikasikan bahwa para ulama tafsir sebetulnya sudah menyadari bahwa memang ada penyebab-penyebab khusus yang bisa mengantarkan seseorang menjadi salah dalam menafsirkan alQur’an.38 Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari penjelasan di muka. Sebagian besar penulis sepakat bahwa penyebab kesalahan tafsir adalah seperti yang dijelaskan secara gamblang di atas. Teori asbab al-khata’ fi al-tafsir ini sebetulnya akan membuat seorang mufassir menjadi lebih hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, dari sederet penyebab-penyebab kesalahan yang disebutkan di atas, 36 Thahir Mahmud merupakan salah satu ulama yang menulis disertasi yang berjudul asbab al-Khata’ fi al-Tafsir. pada awal karyanya tersebut, Thahir Mahmud menyebutkan bahwa ia banyak menemukan tasir yang banyak mengandung kesalahan. Lihat Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir hlm. 15-19. 37 Manna’ul Khattan menyebutkan bahwa para ulama telah menyebutkan syaratsyarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir seperti: aqidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dan lain sebagainya. Lihat Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 462-465. 38 Lihat kembali uraian al-Zahabi tentang hal-hal yang harus dihindari seorang mufassir agar tidak terjatuh kepada kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz.1, hlm. 275.
84
Jurnal Syahadah
Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir
Vol. 2, No. 1, April 2014
terdapat beberapa point yang menurut hemat penulis tidak selalu menjadi penyebab kesalahan penafsiran. Dalam lain pengertian, penulis ingin menyampaikan bahwa dari sebagian penyebab kesalahan dalam penafsiran terdapat beberapa poin penyebab yang bersifat kasuistik. Salah satu contoh misalnya adalah tentang metode tafsir yang harus sesuai dengan metode salaf al-shalih. Salaf al-Shalih menurut pengertian Thahir Muhammad Ya’qub adalah para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka yang berpegang teguh kepada agamanya.39 Ia bahkan mengenalkan konsep salafi, yakni orang-orang yang mengikuti metode mereka dalam memahami agama maka orang tersebut adalah orang salafi.40 Persoalannya adalah ketika metode atau manhaj al-salaf al-shalih tidak cukup memadai untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dan rumit, apakah mufassir harus senantiasa mengikuti cara atau metode yang mereka tempuh? Penulis sangat sepakat bahwa metode mereka dalam memahami al-Qur’an adalah metode yang baik tetapi bukan berarti tidak ada metode lain yang barangkali juga baik untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan konteks yang dihadapinya. Selain berpegang teguh kepada manhaj al-salaf al-shalih barangkali kita juga perlu mempertimbangkan secara proporsional metode tawaran yang digagas oleh ulama-ulama kontemporer sekaliber Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, dan lain sebagainya. Kasus lain, misalnya tentang tafsir bi al-ilmi yang juga disebut-sebut sebagai penyebab kesalahan dalam tafsir. Bahwa ada sebahagian tafsir ilmi yang keliru itu memang benar adanya seperti yang disebut di atas akan tetapi tidak bijak rasanya menyalahkan semua bentuk penafsiran bi al-ilm, karena menurut hemat penulis semua bentuk pendekatan tafsir memiliki sisi kebenarannya masing-masing. Semua produk tafsir haruslah dihargai secara proporsional karena tafsir sebenarnya adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Tuhan sesuai kemampuan manusia.41 Tulisan ini penulis akhiri dengan 39 Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir, hlm. 946. 40 Ibid, hlm. 947. 41 M. Qurash Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an. (Tangerang: Lentera Hati) vol. 1, hlm. xvii.
Abd. Halim, M.Hum.
85
perkataan Abdullah Darraz, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan, ”Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.”42
F. Penutup Dari penjelasan di atas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, di antaranya adalah: Pertama, problem penafsiran al-Qur’an semakin bertambah semenjak manusia semakin jauh dari kehidupan Nabi. Misalnya pada masa tabi’in dan seterusnya. Kedua, kesalahan-kesalahan tafsir banyak ditemukan dalam tafsir yang ditulis dengan berbagai kepentingan politik, pribadi atau kelompok madzhab tertentu. Ketiga, Ada beberapa penyebab kesalahan tafsir yang disepakati para ulama. Misalnya tafsir ideologis, tafsir yang kurang komprehensif dalam memahami al-Qur’an, serta ketidaktahuan tentang bahasa Arab dan lain sebagainya. Keempat, dari berbagai macam kategori penyebab kesalahan tafsir di atas, seseorang sebenarnya bisa melakukan penilaian tentang keabsahan sebuah tafsir apakah ia tafsir yang bisa dijadikan pegangan atau tidak. Keenam, teori asbab al-khata’ fi al-tafsir ini sangat berguna bagi mufassir agar lebih berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an.
42 M. Qurash Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, vol. 1, hlm. xvii-xviii.
86
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
DAFTAR PUSTAKA Al-Khattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir , Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006. Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985 Muhammad Ya’qub, Thahir Mahmud, Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir , Riyad: Dar Ibn al-Jauzi, 1425 H. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer , Yogyakarta: LKIS, 2010 Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir: Dari Periode Klasik Hingga Kontemporer , Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir , Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. 14, 1992 Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, lentera hati, Volume 1, Tangerang: Lentera hati., 2002 Al-Qardawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an al-‘Azim, Kairo: Dar al-Syuruq, 2006 Al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz.1, tt: tp, 1076