Pada akhir Februari saya menghadiri kumpul Kreavi dengan tema Managing IP. Tulisan ini adalah rangkuman presentasi Sweta Kartika pada saat itu, rangkuman diskusi lanjutan lewat e-mail, serta penjabaran buah pikiran saya sendiri yang dipicu dari paparan Sweta Kartika. Tentu saja tulisan ini bukan lah sesuatu yang sudah rampung. Jadi, komentar dan diskusi dari Anda sekalian masih saya nantikan. Intellectual property (IP) is a legal term that refers to creations of the mind. Examples ofintellectual property include music, literature, and other artistic works; discoveries and inventions; and words, phrases, symbols, and designs. (Wikipedia) Sweta Kartika membuka presentasi dengan siluet beberapa IP Jepang terkenal seperti Sailor Moon, Tetsuwan Atom, Doraemon, One Piece, Naruto. Di sini seakan ingin menyampaikan pesan bahwa IP yang baik dapat mudah dikenali oleh orang yang bahkan tidak pernah mengonsumsi karya aslinya (sebagian karena desain yang baik, sebagian karena marketing yang baik). Conventional Marketing Kreator -> Produk -> Pasar Pada conventional marketing, seorang creator membuat sebuah karya dan berhenti hanya sampai situ. Jika Anda membuat IP, maka bersama dengan penciptaan karya tersebut Anda harus memikirkan produk turunan lainnya. Asalnya dari novel, kemudian berkembang ke game, animasi, komik, dll. Jepang dan negara lain dapat melakukan ini dengan mudah karena industrinya sudah mapan. Di sini belum mapan, tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya, skalanya jauh lebih kecil. IP sendiri tidak harus selalu dimulai dari cerita. Black Rock Shooter awalnya adalah video klip music dengan design seadanya. Kemudian belakangan dikembangkan, dibikin ada universenya dengan cerita dan karakter-karakternya. Sonic the Hedgehog awalnya game simple, kemudian dibuat sekuel dan spin-off dan ceritanya baru diada-adain belakangan. Sebuah IP harus memiliki identitas yang jelas agar konsumen dapat bersinergi dengan identitas tersebut. Misalnya, seseorang memakai pernak-pernik Hello Kitty karena brand tersebut sudah dikenal memiliki image “imut”, sehingga orang tersebut berpikir dengan memakai pernak-pernik Hello Kitty maka itu akan membantunya untuk terlihat imut. Sebelum membuat IP, tanyakan What, Why, How pada diri Anda sendiri. What do you want to create, why you want to do that (value apa yang ingin disampaikan), and how to do that (step by step). IP, menurut Sweta Kartika, terdiri dari 2 elemen utama: Building dan Marketing. Building
Branding (untuk awareness) 1. Icon
2. Logo 3. Judul
Content (untuk acknowledgement) 1. Konsep 2. Universe 3. Story 4. Design
Planning (untuk reminding) 1. Blueprint 2. Scheduling 3. Product 4. Routes
(Modern) Marketing
Dalam menyediakan akses pada potential buyer, ada 3 hal yang harus dipenuhi: Mudah, murah, dan dikenali. Akses pada modern marketing unik dan baru bisa dilakukan di jaman ini, yaitu melalui internet. Internet membuat Anda terhubung dengan seluruh dunia dan memenuhi 3 kriteria di atas. Salah satu langkah Modern Marketing adalah memberi akses konten pada konsumen lewat media social, alias gratis. Ini penting untuk membuka akses selebar-lebarnya. Lalu dari mana untungnya? Barang nyata; buku cetak dan merchandise. Barang nyata lebih sulit dibajak dan ada kesan eksklusif, sesuatu yang bernilai untuk dikoleksi. Metode media social di atas adalah publikasi/ marketing. Marketing dan cari untung adalah 2 hal yang berbeda, jangan dicampur. Jika merchandise Anda tidak laku, berarti IP Anda masih lemah. Lalu, kenapa mesti riset? Karena ini membantu Anda memberikan lebih banyak value pada IP Anda. Ini kejadian nyata. Ada seorang ibu pembaca Nusantaranger baru tahu elang jawa berjambul dari Nusantaranger. Dalam membuat IP, penting untuk menentukan value dari IP tersebut. Value tersebut yang membuat Anda betah mengerjakannya dan konsumen betah menggemarinya. Value termasuk: pendidikan, kebudayaan, alam, social, ajaran agama, nasionalisme, agama, moral, dll. Jangan kerjakan IP Anda setengah-setengah. IP adalah investasi untuk 10 tahun dan lebih. Sesuatu yang dikerjakan maksimal akan memberi hasil maksimal, tapi sesuatu yang dikerjakan setengah-setengah hasilnya belum tentu setengah. Bisa 1/3, ¼, atau bahkan nol. Bikin judul yang enak di kuping sampai 50 tahun lagi dan mudah diingat. Membuat IP sangat lah rumit dengan banyak sekali factor yang harus dipikirkan dan dikerjakan. Tapi tak ada yang menyuruh Anda bekerja sendiri. Ini jamannya kerja tim! Justru klien sulit percaya dengan one-man team. Kemudian, ada teknik yang disebut pre-launch conditioning, di mana seorang pengkarya men-share artikel-artikel atau membuka diskusi tentang tema IP yang sedang ia kerjakan. Ini untuk membuat momentum (istilah Sweta untuk Hype). Bisa juga dengan teaser judul, logo, atau karakter. Kalau konten jadinya spoiler. Contohnya, saya ingin mengeluarkan komik silat. Maka saya bisa saja tidak membocorkan konten dan konsep judul komik yang sedang saya garap, melainkan saya melempar hype yang berkaitan dengan pencak silat. Misalnya dengan menshare berita-berita silat, link-link video pencak silat, dll. Dengan kita mengangkat isu tersebut ke market, secara pelan-pelan kita seperti warming up pasar untuk kemudian masuk ke promo karya kita. Sekali lagi, riset pasar lebih diutamakan. Misalnya kendatipun saya menshare berita-berita tentang silat tetapi tidak ada pasar yang merespon, boleh jadi bukan konsep silat yang kurang menarik, mungkin karena apa yang mau kita kerjakan samasekali belum terbayang oleh calon pasar. pada saat itulah kita melempar konsep secara pelan-pelan. Coba cek link FBpage Kshatriya berikut:https://www.facebook.com/pages/Kshatriya/788880754541393 Poin-poin lain:
Desainlah karakter Anda dengan unik sehingga merchandisenya memiliki nilai jual.
Sisi baik dari pembajakan adalah bisa untuk mengukur demand. Jika IP Anda dibajak berarti IP Anda dinilai sudah punya nilai jual.
Jika produk Anda tidak populer (tidak menimbulkan momentum), jangan menyalahkan pasar. Anda harus melakukan instropeksi pada karya Anda sendiri, temukan apa yang salah dari situ.
Market ada 2, potential buyer dan loyal market (fans).
Orang Indonesia itu menyukai barang collectible karena mudah dipinjami
Buat lah groundwork. Dengan begini akan jelas terlihat apa saja yang ada di IP Anda dan yang tidak ada, serta ke arah mana bisa dikembangkan.
Kendalikan ego Anda. Ego terlalu besar (sombong) dan terlalu kecil (minder) akan memberi pengaruh buruk terhadap perkembangan IP Anda.
Orang indo demen gossip dan punya budaya latah. Manfaatkan itu!
Interval keluar harus jelas dan dekat untuk menjaga momentum. Konsumen harus tahu kapan konten berikutnya keluar sehingga bisa melahirkan penantian yang berujung pada momentum. Di sinilah peran scheduling menjadi vital.
Bikin momentum dan pertahankan. Sekali momentum hilang, akan sangat sulit untuk menyalakannya kembali. Tiap padam, akan semakin sulit. Umumnya IP yang tidak bisa menjaga momentum pertamanya akan punah.
Riset Pasar Metode Deduktif: Tentukan konsep karya, baru tentukan target market. Metode Induktif: Tentukan target market lewat riset pasar, baru tentukan konsep karya. Keduanya sah-sah saja. Namun dengan meriset pasar terlebih dahulu, kita akan mendapatkan kemungkinan konsep yang beragam, kreator tinggal memutuskan mau menggarap konsep apa. Maka dari itu, metode induktif bisa disebut sebagai 'pengembangan konsep karya berbasis market'. Tapi, sebelum kita benar-benar memutuskan mau membuat konsep apa, memang ada baiknya kita meriset pasar dulu. Fungsinya, kita jadi lebih paham potensi yang ada di pasar untuk kemudian bisa kita pertimbangkan dalam membuat karya ke depan. Contoh lagi, misal saya membuat komik Grey&Jingga untuk pasar remaja, saya tidak lantas membatasi target pembaca saya. Ketika nanti ternyata pembacanya ada anak-anak (dengan cara melihat komen dan share), maka saya harus bermanuver menyesuaikan konten agar aman dibaca anak-anak. Fungsi lain dari riset pasar adalah kita jadi bisa mendata genre apa yang sedang hype di sana. Sebelum saya benar-benar meriset genre komik, saya nyaris tidak tahu jika: 1. Cerita bergenre fantasi marketnya cenderung stabil (kecuali pada era novel Harry Potter).
2. Novel atau komik bergenre opini adalah genre paling favorit di Indonesia karena habitual societynya yang suka bergosip. 3. Genre cerita cinta-cintaan (romance) dan komedi menduduki peringkat kedua. 4. Genre action relatif stabil pada pasar laki-laki. 5. Dan genre horror pasarnya relatif kecil tapi loyal. Lebih spesifik dari itu, datanya bersifat situasional, artinya setiap waktu bisa berubah. Saya tidak mengatakan kalau kita harus "ngikut" sama maunya pembaca. Kita ini pengkarya, artinya kitalah yang menawarkan konsep karya kita kepada mereka. Adapun tujuan merangkum informasi dari pembaca ditujukan untuk memahami potensi di pasar yang bisa kita kembangkan melalui karya kita. Memang akan ada interaksi, tapi hal tersebut sebaiknya tidak terlalu saling memakan. Harus seimbang. Metode Riset Pasar
Diskusi dengan pengkarya lainnya, editor, penerbit, para pembaca via internet atau tatap muka langsung.
Melihat respon pembaca.
Menyebar questionnaire.
Mendata pembeli.
Perbedaan antara Conventional dan Modern Marketing Dalam conventional marketing, kreator sibuk mengerjakan karya yang ingin dia buat dengan sedikit atau tanpa menghiraukan feedback dari pembaca. Karya dilempar ke pembaca per buku, sehingga intervalnya menjadi panjang dan lebih jarang memicu feedback. Tersedia hanya secara fisik di toko buku dan event komik. Sedangkan dalam prinsip marketing yang digalakkan mas Sweta adalah karya jadi setelah melewati proses riset pasar, dibuat dalam porsi yang lebih kecil demi interval yang lebih pendek untuk menjaga keintiman dengan pembaca, tersedia dalam internet terutama media sosial untuk memudahkan feedback. Kemudian feedback itu digunakan untuk mematangkan karya/ IP.