Nama Kelompok: Awalia Rachmawati
20120730121
Kartika Nugraha
20120730128
Asmarani Immamuda
20120730134
Kiki Riyanila
20120730154
Suti Rakhmaningsih
20120730155
Contoh Penghitungan Murabahah (Hipotesis) Piutang Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut kepada pembeli. Dalam transaksi murabahah yang dilakukan oleh bank syariah, bank sebagai penjual harus menyediakan barang untuk dilakukan jual beli dengan nasabah, yang diterima oleh nasabah adalah barang (aset) dari jual-beli yang dilakukan. Berbeda dengan kredit investasi di bank konvensional, dimana bank menyediakan uang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkan.
Contoh kasus: CV. Mustika, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri air mineral, membutuhkan 2 unit truk tangki karena permintaan yang meningkat. Kemudian CV. Mustika mengajukan pembiayaan ke Bank XYZSyariah dan ditawarkan produk Murabahah Investasi. Harga 1 unit truk tangki adalah Rp 200.000.000,- dan CV Mustika membutuhkan 2 unit. Maka dari pengajuan pembiayaan tersebut diperoleh data sebagai berikut:
Dalam akad murabahah bank harus membeli terlebih dahulu secara resmi barang yang dipesan. Kemudian bank menawarkan kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya). Oleh karena itu bank diperkenankan meminta nasabah membayar uang muka sebagai tanda jadi. Namun dalam prakteknya bank tidak secara langsung membeli aset, melainkan memberi kuasa (wakalah) kepada nasabah. Uang muka menjadi bagian pelunasan Piutang Murabahah, jika akad murabahah disepakati. Di sini, uang muka diakui sebagai angsuran pokok pertama, sehingga hutang murabahah CV Mustika yang digunakan oleh bank dalam menghitung angsuran adalah sejumlah Harga Jual dikurangi dengan uang muka. Dari data-data tersebut di atas, maka dapat diperoleh perhitungan angsuran per bulan sebagai berikut:
= (Harga Jual – Uang Muka) / Jangka waktu = (429.750.000 – 50.000.000) / 12 = 31.645.833 Angsuran yang dibayarkan oleh CV Mustika setiap bulannya terdiri dari dua komponen, yaitu Pokok dan Margin.
Jadwal Pembayaran Angsuran Dalam metode anuitas, porsi pokok dan margin mengalami perubahan pada setiap angsuran yang dibayarkan. Porsi pokok mulai dari kecil dan selanjutnya membesar, kebalikannya, porsi margin mulai dari besar dan selanjutnya mengecil. Dengan perhitungan eq. rate secara effektif anuitas, maka jadwal angsuran CV Mustika menjadi sebagai berikut:
Akad Murabahah A. Idealitas Akad Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira. Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapat memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan. Landasan Syariah Murabahah
Al-Quran
َّ َا َِّ َوَ َّ َم اَْْ َ اّ َ ُ َوَأ “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275). Al-Hadist Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).
Operasional Murabahah Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama. Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll), bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen. Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah diperjanjikan/diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.
Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen, nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian. Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga. Apabila kita sebagai nasabah suatu bank syariah ingin mengajukan pembiayaan murabahah untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : •
Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank syariah.
•
Jika bank syariah menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Dalam hal ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Dimungkinkan bagi bank memberikan kuasa pembelian barang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkannya. Jika demikian, akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
•
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual sebesar harga beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat. Kemudian, kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
•
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad/perjanjian tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
•
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Dalam jual beli tersebut bank dibolehkan meminta nasabah untuk menyediakan
jaminan dan atau membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini untuk menghindari cedera janji dari nasabah. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. Nasabah dapat menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pembelian dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan bank syariah. Rukun murabahah: 1. Pihak yang berakad: a. Penjual b. Pembeli 2. Objek yang diakadkan: a. Barang yang diperjualbelikan b. Harga 3. Akad/sighat: a. Serah (ijab)
b. Terima (qabul) Syarat-syarat murabahah: 1. Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah. 2. Kontrak pertama harus sah. 3. Kontrak harus bebas dari riba. 4. Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat. 5. Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan: a. melanjutkan pembelian seperti apa adanya. b. kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan. c. membatalkan kontrak.
Fatwa DSN tentang Murabahah Fatwa 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah Fatwa 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah Fatwa 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah Fatwa 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda
Pembayaran Fatwa 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah Fatwa 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah Fatwa 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak
Mampu Bayar Fatwa 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah Fatwa 49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah
B. Realitas Akad Murabahah Realita Murabahah yang Terjadi Realita yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai dengan murabahah yang dijelaskan dalam fikih Islam. Praktik murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang mengatasnamakan syari’ah jauh dari yang semestinya. Lihatlah contoh yang dijelaskan oleh para ulama di atas, seperti dalam contoh terakhir, si B benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun realita yang terjadi di bank tidaklah demikian. Ilustrasi murabahah yang dipraktekkan pihak bank: 1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank, “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 100 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, “Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata, “Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.” Realita yang terjadi ini bukanlah murabahah. Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon mencicil hingga 120 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada pihak lain. Simak hadist berikut. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ َََِْْ ََّ ُ َِْ َ َ ًََ ع َ َْ" ا ِ َ “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525) Ibnu ‘Umar berkata,
ن ِ َ.َ/ْ" ا َ ِ ِ َِ0ِْ1ِ َ1ُ ُْ2َ ْ"َ َ(َْ َ+ 3 ُ َََْ ََ َم4 ّ ع ا ُ ََْ1 -* $ و+ , ا-- ِ َ ّل ا ِ ُ$ن َر ِ َآُ(َّ ِ َز .ُ ََِ1 ْ َأن َ َْ9 6ُ َِا$ ن ٍ َ.َ َ ِ ِ ِإ6ُ َ(َِْْى ا8َّا “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527) Mobil tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki atau belum diserahterimakan secara sempurna. Dan realitanya maksud bank adalah meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120 juta. Kenyataan ini adalah riba karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.” 2. Sama dengan ilustrasi pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.” Ilustrasi kedua pun sama, bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas. 3. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank. Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci: - bila akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.
- bila akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam ini dibolehkan karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada bank.
Alasan Bank Syariah Memlilih Pembiayaan Murabahah sebagai Produk yang Paling Banyak Dipraktikkan
Skema pembiayaan murabahah yang ditawarkan bank syariah mendapat sambutan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat (nasabah), sehingga skema murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati dan dipraktikkan dalam operasional perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, 1. Faktor tabiat sosiokultur pertumbuhan ekonomi yang menuntut keberhasilan yang cepat dan menghasilkan keuntungan yang banyak 2. skema murabahah dengan margin keuntungan merupakan praktik alternatif dari transaksi kredit dengan menggunakan bunga yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, sehingga banyak nasabah yang melakukan transaksi dengan bank konvensional beralih ke bank syariah untuk melakukan transaksi dengan menggunakan skema murabahah 3. Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah 4. Sistem murabahah sangat sederhana sehingga memudahkan penanganan administrasi di bank
Ide agar Praktik Pembiayaan Murabahah dilakukan secara Syar’i
Pada praktiknya sekarang ini, yang dilakukan oleh sebagian industri keuangan syariah dengan menggunakan murabahah sebagai produk yang ditawarkan, ada yang masih belum sesuai dengan konsep dasar awal dari murabahah. Hal tersebut bisa jadi karena faktor SDM yang masih belum memahami benar bentuk teori dan konsep dari murabahah. Sehingga, praktik di lapangan mengindikasikan kemiripan antara praktik murabahah dengan praktik kredit investasi. Kelemahan praktik murabahah yang lain pada saat ini adalah belum berjalannya daya tawar menawar yang dimiliki oleh para nasabah. Sehingga posisi nasabah seringkali “agak terpaksa” untuk menerima harga yang ditawarkan oleh pihak bank syariah. Padahal, dalam praktik murabahah harga yang ada adalah satu harga yang telah disepakati oleh pihak bank dan nasabah itu sendiri. Selain itu, adanya jaminan pada pembiayaan murabahah menjadi masalah tersendiri, karena sebagian nasabah memahami operasional bank syariah menafikan adanya jaminan atau agunan, dan pernyataan seperti ini perlu diluruskan.
Solusi :
1. Meningkatkan kualitas SDI dengan cara :
-
merekrut karyawan yang memang berasal dari lulusan perbankan syariah
-
melakukan pelatihan dan pengembangan jika karyawan tidak berasal dari lulusan perbankan syariah
2. Adanya proses tawar-menawar sebelum menetapkan keuntungan yang akan diberikan kepada bank 3. Barang yang akan ditawarkan kepada nasabah, harus sudah menjadi milik bank yang bersangkutan sebelum dipindahtangankan ke nasabah 4. Bank harus memberikan pembiayaan murabahah berupa barang yang diinginkan nasabah bukan merupakan sejumlah uang
Perbedaan Antara Murabahah dan Kredit Konvensional •
Prinsip dasar yang dipakai murabahah adalah akad jual beli sedangkan prinsip dasar yang dipakai oleh kredit konvesional adalah pinjam meminjam.
•
Dalam praktik pembiayaan murabahah, hubungan antara bank syariah dan nasabahnya adalah penjual dan pembeli, sedangkan pada praktik kredit konvensional, hubungan antara pihak bank konvensional dan nasabahnya adalah hubungan kreditur dan debitur.
•
Dalam murabahah hanya menghendaki satu harga dan tidak tergantung dengan jangka waktu pembayaran, sedangkan kredit konvensional mengharuskan adanya perbedaan pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Semakin lama waktu pembayaran semakin besar jumlah tanggungan yang harus dibayar.
•
Keuntungan dalam praktik murabahah berbentuk margin penjualan yang didalamnya sudah termasuk harga jual. Sedangkan keuntungan pada kredit konvensional didasarkan pada tingkat suku bunga. Nasabah yang mendapatkan kredit dari bank konvensional dibebani kewajiban membayar cicilan beserta bunga pinjaman sekaligus.
KESIMPULAN
Dalam praktik perbankan syariah jual beli murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan dibandingkan dengan skim pembiayaan lain. Ada 3 model penerapan jual beli murabahah dalam perbankan, yaitu: 1. Tipe Konsisten terhadap Fiqh Muamalah Dalam tipe ini, bank membeli dulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya dengan nasabah. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan bank dengan nasabah. 2. Mirip dengan Tipe Pertama Perpindahan kepemilikan barang langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan di bank syariah yang bersangkutan. Dan kemudian bank membayarkan kepada supplier. 3. Gabungan Tipe Pertama dan Tipe Kedua Bank melakukan perjanjian murabahah kepada nasabah dan pada saat yang sama bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari ketiga tipe tersebut, tipe kedua dan ketiga lah yang paling sering dipakai oleh perbankan syariah karena motivasi efektifitas prosedur dan juga pertimbangan efisiensi terutama dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara tipe satu justru dihindari, padahal tipe inilah yang paling idelal dalam konteks muamalah.