Comparing myopic progression in urban and rural junior high school in Yogyakarta
86
ORIGINAL ARTICLE
Comparing Myopic Progression in Urban and Rural Junior High School in Yogyakarta Widya Prafitri Rasmiyati, Suhardjo, Angela Nurini Agni Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada Sardjito Hospital, Yogyakarta
ABSTRACT Background: To compare myopic progression rates in junior high school in Yogyakarta between urban and rural areas. Methods: A school-based survey was initially conducted. Five junior high schools were selected in both urban and rural areas. A longitudinal follow up study was conducted 1 year later. Age range from 12 to 15 years old. The refractive state of each student was measured with autorefractometer. Results: A total of 195 junior high school children participated in the study. One hundred and ninteen children were from urban area and 76 children came from rural area. A follow up study after 1 year, mean myopic progression in junior high school in urban area was around 0.5 D/year faster than in rural, which was 0.37 D/year. There were statistically significant difference in nearwork activities between children in urban and rural areas, with p=<0.001. Risk factor such as gender and myop status of parents did not relate with myop progression, only age and sosioeconomic had significant effect into the myop progression. Mean myopic progression in junior high school children (age 12-15) in the urban area was around -0.50 D/year. The average progression rate was fastest in 14 years old. Conclusion: There is significant difference in increasing of myop progression between junior high school children in urban and rural areas. This difference may be related to difference of nearwork activities between children in urban and rural areas. Keywords: myopia, urban, rural, myop progression, junior high school
M
iopia adalah refraksi yang disebabkan sumbu optik bola mata lebih panjang sehingga fokus akan terletak di depan retina.1 Miopia dapat terjadi akibat panjang bola mata anteroposterior terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.2 Miopia merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada penurunan ketajaman visual dan dapat menyebabkan kebutaan.3,4 Penyebab dari miopia sangat banyak, meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan.5
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miopia antara lain umur, jenis kelamin, dan lingkungannya. Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia dan 135 juta dengan low vision. Di Amerika, kurang lebih 3% usia 5-7 tahun, 8% usia 8-10 tahun, 14% usia 11-12 tahun, dan 25% pada usia 12-17 tahun.2 Kelainan refraksi di Indonesia sekitar 0,14% dan
Ophthalmol Ina 2016;42(1):86-90
menurut survei tersebut, kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 100 anak.6 Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1%, menjadi masalah yang harus segera ditangani. Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun), sekitar 10% menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini, angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat rendah, sekitar 12,5% dari prevalensi tersebut. Apabila kondisi ini tidak ditangani secara menyeluruh, maka akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran yang akan mempengaruhi produktivitas dan mutu angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan 95 juta orang sesuai BPS tahun 2000.6 Beberapa faktor risiko penyebabnya adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Miopia bisa terjadi pada saat sia anak-anak (5-7 tahun), usia muda (7-16 tahun), dan dewasa (>16 tahun).7 Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi progresivitas miopia adalah aktivitas dekat seperti membaca, menulis, melihat TV, komputer, game dan aktivitas dekat lainnya. Riwayat keluarga, orang tua, ataupun saudara kandung dengan miopia juga merupakan faktor predisposisi terjadinya miopia. Pada beberapa literatur didapatkan bahwa progresivitas miopia terjadi pada usia 6-15 tahun. Pada usia ini merupakan rentang usia pubertas, dimana terjadi laju pertumbuhan fisik secara cepat. Pada percobaan dengan hewan coba (tikus), didapatkan adanya perbedaan panjang aksial bola mata tikus yang diinjeksi dengan hormon pertumbuhan dibandingkan dengan yang diinjeksi dengan larutan salin.8 Usia pubertas pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupajan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa, yang ditandai dengan munculnya tandatanda seksual sekunder dan bereproduksi. Usianya bervariasi, pada perempuan sekitar 8-13 tahun dan laki-laki sekitar 9-14 tahun. Usia pubertas ini sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi, dan lingkungan. Di negara berkembang, perbedaan status sosioekonomi, gaya hidup dan tempat tinggal (perdesaan dan perkotaan) masih menonjol,
87
sehingga dapat menyebabkan terjadinya perbedaan usia pubertas tersebut.9,10 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan progresivitas derajat miopia pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah perdesaan dan perkotaan.
METODE Desain pada penelitian ini menggunakan kohort perspektif. Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah anak siswa SMP usia 12-15 tahun, dari siswa kelas 1 dan kelas 2 dari kelompok SMP di perdesaan dan perkotaan. Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: a) miopia dengan spherical equivalent dalam dioptri minimal -0,50 D; b) visus minimal dengan optotype Snellen dan koreksi terbaik 6/6; c) tidak ada kekeruhan pada media refraksi (leukoma, katarak, kelainan pada retina); dan d) bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi meliputi: a) terdapat infeksi pada mata saat pemeriksaan; b) media refraksi keruh; dan c) tidak kooperatif pada saat pemeriksaan. Kriteria drop out pada penelitian ini adalah tidak datang pada saat dilakukan follow up pada pemeriksaan yang kedua. Sampel diambil dengan cara konsekutif, yaitu semua subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek terpenuhi. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis terhadap rerata dua populasi menurut rumus. Pada penelitian ini, tingkat kemaknaan (α) yang digunakan sebesar 5%, seingga Zα untuk uji hipotesis dua arah adalah 1,96. Kekuatan penelitian ini adalah 90%, sehingga nilai β sebesar 10% dan Zβ adalah 1,44. Dari perhitungan, didapatkan besar sampel penelitian ini sebanyak 84 sampel pada masing-masing kelompok, sehingga total sampel yang diambil minimal adalah 168 sampel. Pada penelitian ini ditambahkan 10% dari besar sampel untuk mengantisipasi
Comparing myopic progression in urban and rural junior high school in Yogyakarta
88
kemungkinan drop out, sehingga total menjadi 186 sampel.
HASIL Penelitian dilakukan di 5 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan di 2 SMP yang masuk wilayah perkotaan dan 3 SMP yang masuk wilayah perdesaan. Penelitian dilakukan pengamatan kurang lebih selama 1 tahun mulai Desember 2012 sampai Februari 2014. Sebanyak 239 siswa memenuhi kriteria inklusi. Untuk menilai keadaan miopia, digunakan nilai sferis ekuivalen (SE) yang merupakan nilai sferis minus ditambah ½ nilai silinder minus. Data sferis ekuivalen pada mata kanan dan kiri secara statistik (Person Corelation Coeficient) sama (r=0,88), maka data yang ditampilkan hanya berasal dari mata kanan. Tabel 1 menunjukkan rerata umur subyek penelitian di wilayah perkotaan sedikit lebih tua dibanding dengan yang tinggal di perdesaan, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna. Penggolongan umur menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna (p=0,3) antara subyek penelitian yang tinggal di perdesaan dan perkotaan, subyek penelitian sebagian besar adalah usia 14 tahun, sedangkan subyek penelitian paling sedikit di perdesaan usia 12 tahun (2,6%) hampir sama dengan di perkotaan (2,7%). Tabel 1. Karakteristik perdesaan dan perkotaan Karakteristik Umur 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun
subyek
penelitian
di
Perdesaan Perkotaan p Rerata Rerata n (%) n (%) ±SB ±SB 13,8±0,7 14,2±0,7 0,2 2 2 (2,6%) (2,7%) 17 17 (22,4%) (14,3%) 44 51 (57,9%) (42,9%) 13 49 0,3 (17,1%) (41,2%)
Tabel 2 menunjukkan karakteristik jenis kelamin di wilayah perdesaan dan
perkotaan secara statistik perbedaan yang tidak bermakna (p=0,4). Pada subyek penelitian di wilayah perdesaan dan perkotaan jumlah siswa dengan miopia lebih banyak siswa perempuan (70%) daripada laki-laki (30%). Tabel 2. Karakteristik jenis kelamin subyek penelitian di wilayah perdesaan dan perkotaan Perdesaan Perkotaan Karaktep ristik n (%) n (%) Jenis 0,4 kelamin Laki-laki 22 (13,4%) 37 (31,1%) Perempuan 54 (71,1%) 82 (68,9%) Tabel 3. Karakteristik status ekonomi (penghasilan orang tua) Perdesaan Perkotaan Karaktep ristik n (%) n (%) Penghasilan <0,01 orang tua <750.000 20 (26,31%) 10 (8,4%) 750.00043 (56,6%) 45 (37,8%) 1.500.000 >1.500.000 13 (17,1%) 64 (53,8%)
Tabel 3 menunjukkan karakteristik penghasilan orang tua di wilayah perdesaan dan perkotaan dan secara statistik ada perbedaan yang bermakna (p=<0,01). Pada subyek penelitian di wilayah perkotaan, penghasilan orang tua reratanya lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Tabel 4. Karakteristik riwayat siswa Perdesaan Karakteristik n (%) Riwayat orang tua miopia Ya 20 (26,3%) Tidak 56 (73,7%)
miopia pada orang tua Perkotaan n (%)
p <0,01
47 (39,5%) 72 (60,5%)
Tabel 4 menunjukkan karakteristik riwayat miopia pada orang tua di wilayah perdesaan dan perkotaan dan secara statistik ada perbedaan yang bermakna (p=<0,01). Pada subyek penelitian di wilayah perkotaan dan perdesaan, sebagian besar dari siswa tidak ada riwayat miopia pada kedua orang tuanya.
Ophthalmol Ina 2016;42(1):86-90
Progresivitas miopia di daerah perdesaan -0,37 D setelah 1 tahun pemeriksaan dan pada daerah perkotaan -0,5 D. Karakteristik kegiatan aktivitas dekat yang meliputi kegiatan menonton TV, belajar, main game/HP dapat mempengaruhi progresivitas miopia di perdesaan dan perkotaan. Pada kegiatan menonton TV dan main game/HP di daerah perkotaan dan perdesaan secara statistik terdapat perbedaan (p=<0,01), tetapi tidak ada perbedaan bermakna antara aktivitas belajar atau membaca buku baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Karakteristik kegiatan aktivitas jauh di luar ruangan secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara wilayah perdesaan dan perkotaan (p=0,01). Di perkotaan paling banyak beraktivitas di luar tidak lebih dari 1 jam (52,9%).
DISKUSI Jumlah total sampel pada penelitian ini adalah 239 siswa dan yang dapat di-follow up setelah 1 tahun adalah 195 siswa. Dari siswa perkotaan sebanyak 119 orang dan siswa perdesaan sebanyak 76 orang. Pada kedua sampel tersebut terdapat perbedaan bermakna dalam progresivitas miopia. Faktor risiko umur dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap progresivitas miopia dengan nilai p>0,05. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian di beberapa wilayah Asia seperti di Cina, Jepang, Singapura, dan India.10,11,12 Untuk faktor risiko yang berhubungan dengan sosioekonomi, yaitu penghasilan dalam keluarga, secara statistik tidak berpengaruh terhadap progresivitas miopia dengan nilai p=0,242. Hal ini hampir sama dengan penelitian di Singapura.2,3 Hasil penelitian ini menunjukkan masih terdapat perbedaan tingkat penghasilan orang tua di daerah perdesaan dan perkotaan. Penduduk di perkotaan umumnya mempunyai tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Pada Tabel 5 didapatkan perbedaan bermakna antara penghasilan ayah subyek penelitian di
89
daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perkotaan dampak kemajuan teknologi lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Di daerah perkotaan aktivitas dekat cenderung lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Penelitian yang dilakukan oleh Bei Liu et al di Cina dan Yung Feng Shih di Taiwan menunjukkan bahwa progresivitas miopia dipengaruhi oleh kegiatan aktivitas dekat dan lebih banyak dilakukan di perkotaan dibandingkan di daerah perdesaan.10,13,14 Tidak ada hubungan bermakna antara penghasilan orang tua dengan progresivitas miopia. Imam Triharyo mendapatkan hubungan bermakna antara penghasilan orang tua dengan progresivitas miopia. Sedangkan Saw et al mendapatkan tidak ada hubungan antara status ekonomi orang tua dengan progresivitas miopia.12,15 Terdapat perbedaan antara progresivitas miopia di daerah perdesaan dan perkotaan. Hampir semua studi menggambarkan hasil yang sama bahwa rerata progresivitas miopia di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.5,11,16 Beberapa aktivitas dekat yang tercatat dalam quesioner adalah belajar, menonton TV, bermain game/HP, menggunakan komputer, atau mengaji. Pada penelitian di atas didapatkan hasil yang bermakna pada lama belajar anak di daerah perdesaan dan perkotaan mempengaruhi progresivitas miopia (p<0,01). Rerata anak-anak belajar di daerah perdesaan dan perkotaan 1-2 jam per hari. Untuk aktivitas jauh yang tercatat dalam quesioner seperti olah raga, bermain, dan aktivitas lain di luar ruangan juga ditanyakan. Hubungannya dengan progresivitas miopia berhubungan secara bermakna. Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna antara lama aktivitas di luar ruangan dengan progresivitas miopia (p<0,01). Di daerah perkotaan cenderung melakukan aktivitas di luar ruangan kurang dari 1 jam per hari. Terdapat korelasi positif yang bermakna antara aktivitas jauh dengan progresivitas miopia di daerah perkotaan dan perdesaan.
90
Comparing myopic progression in urban and rural junior high school in Yogyakarta
Perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi progresivitas miopia. Kebijakan untuk memasukkan pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui siswa siswi yang mengalami gangguan visus sehingga dapat tertolong.
Referensi 1. Saw SM, Katz J, Schein OD, Chew, & Chan. Epidemiology of myopia. Epidemiol Rev 1996;18:17587 2. American Academy of Ophthalmology. In: B Veen (ed.), Basic Clinical Science, Clinical Optic. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology, 2012 3. Saw SM, Nieto JF, Katz J, Schein OD, & Levy. Factor related to the progression of myopia in Singapore children. Optom Vis Sci 2000;77:332-9 4. Saw SM, Nieto JF, Schein OD, LRS & SJ C. Factors related to the progression of myopia in Singaporean children. Ophthometry and Vision 2000;77(10):549-54 5. Saw SM, R, L & Munoz. Incidence and progression myopia on Singaporean school children. EDT 2005;46:51-6 6. Suhardjo & Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM, 2007 7. American Academy of Ophthalmology. Section 3: clinical optics. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology, 2010
8. Donald, Mutti, Mitchel, A Jones, L & Zadnik, K. Parental myopia, near work, school achievement, and children refractive error. Investigate Ophthalmology and Visual Science, 2002;43(12): 3633-8 9. Wedner, SH, Ross, DA, J. Todd, Balira & Foster. Myopia in secondary school students in Mwanza City, Tanzania: the need for a national screening programme. Br J Ophthalmol 2002;86:1200-6 10. B Lu, A Congdon, K Choi, D Lam, M Zhang & Y Song. Association between near work, outdoor activity and myopia among adolescent student in rural China 11. Murthy, Sanjeev, Leon, Ellwein & Damodar. Prevalence in children in urban and rural population in New Delhi. Invest Ophthalmol Vis Sci 2002;43:662331 12. SM Saw, L Tong, WH Chua, D Koh, & D Tan. Incidence and progression of myopia in Singaporean school chlidren. Invest Ophthalmol Vis Sci 2004;46:51-57 13. Mingguang & FX Yingfeng Zheng. Prevalence of myopia in urban and rural children in mainland China. Ophthometry and Vision Science 2009;86:40-4 14. Y Feng, T Hsuan, K Hsiao, Jen K, Luke C, & Lin. Comparing myopic progression of urban and rural Taiwanese school children. Jpn J Ophthalmol 2010;54:226-51 15. I Triharyo & Suhardjo. Pertambahan miopia pada anak sekolah dasar di perkotaan dan perdesaan di Yogyakarta. Yogkarata, 2007 16. Suhardjo. Studi miopi anak usia sekolah dasar di DIY. Yogyakarta, 2006