Hasil Diskusi e-Class Teori Politik Internasional Emmerich de Vattel Kelompok Kantil Inisiator : Gusti Hening Pusthikaputra 10/297029/SP/23916 Peserta Diskusi:
Kishino Bawono 09/282487/SP/23481 Franz A 09/282178/SP/23395 Felix Prayogo 10/296826/SP/23880 Okvan Dwi Pramudya 10/305135/SP/24367 Nindya Anis Arumsari 10/299851/SP/24232 Ciptahadi Nugraha 10/296341/SP/23828 Dania Wijayanti 09/282514/SP/23491
PERTANYAAN: 1. Vattel mengatakan bahwa negara tidak perlu mengkonstitusikan diri mereka ke dalam civil society. Menurut persepsi anda, bagaimana pernyataan Vattel tersebut? Kishino Bawono: Dari saya, dengan pertanyaan demikian, yang kata mengonstitusikan itu. Itu membuat bingung, dia tidak menemukan translasi yang pas, untuk membantu, since di situ tulisannya diminta membantu. Ini :Definition of constitute: verb[with object] 1be (a part) of a whole:lone parents constitute a great proportion of the poor Itu dari Oxford. Nah, dari saya, ketika dengan arti demikian, maka saya akan menjawab mengapa negara tidak perlu menjadi bagian dari civil society, karena negara itu adalah negara. Bukan masyarakat. Masyarakat yang masuk dalam negara. Negara itu yang superior. Kan kurang oke, jika yang bergantung malah yang nggak mau ngikut. Ini sih, aku kurang dapet poin dari tulisannya si Gusti Nindya Anis: Menurut saya pernyataan Vattel ini mengarah pada adanya anggapan bahwa negara dan individu merupakan subyek yang berbeda dimana negara lebih bisa mandiri dapat melakukan segalanya karena memiliki legitimatimasi secara hukum sedangkan individu dalam
civil society tidak memiliki hak untuk melakukan segalanya karena tidak memiliki legitimasi secara hukum. Sehingga Vattel percaya bahwa masyarakat yang bergantung pada keadilan hukum tidak akan dapat diimplementasikan dengan baik. Namun negara yang basisnya memiliki legitimasi dalam membentuk hukum yang legal tersebut ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu Vattel percaya pada negara tidak perlu mengkonstitusikan diri mereka ke dalam civil society, karena negara memang telah independen. Franz Adityatama: menurutku memang negara itu bukan bagian atau menjadi suatu 'masyarakat' karena yang mengatur kegiatan negara itu cuma sebagian kecil dari masyarakat, jadi tidak bisa disamakan atau menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Cuma kalau boleh ditambahkan, kalau arti 'society' disini dibawa ke ranah internasional bisa repot, karena berarti negara tidak bisa bekerja sama dengan negara lainnya dalam suatu society Felix Prayogo: Kalo menurutku, Vattel menganggap bahwa negara merupakan kekuatan superior yang memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan individu (yang nanti membentuk civil society), oleh sebab itu, negara tidak bisa menjadi bagian dari civil society, karena negara secara tidak langsung mengatur civil society yang memang berada dalam lingkupnya Okvan Dwi:
menurut saya, negara terdiri dari individu – individu yang bermoral. Jadi
sebenarnya akan tercipta kedamaian di dalam negara dan antar negara. Namun menurut saya, negara tetap perlu mengkonstitusikan ke dalam civil society. Karena meskipun telah bermoral, mereka tetap memerlukan pertauran dan hukum agar tercipta kehiduoan yang lebih tertata Dania: Vattel menganggap bahwa setiap negara di dunia adalah sederajat, sehingga mereka bebas melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Negar merupakan entitas bebas yang merdeka yang juga mandiri, oleh karena itu, berhak memutuskan tindakan yang perlu mereka lakukan bagi negara lainnya. Ini yang kemudian membuat negara tidak perlu mengkonstitusikan diri di dalam civil society dalam hubungan antar bangsa. Ciptahadi: Menurut saya negara tidak boleh mengkonstitusikan dirinya kedalam civil society. Hal ini disebabkan karena negara itu adalah sekumpulan civil society yang menjadi satu dalam bentuk negara. Hal itu jika civil society nya berada pada level domestic, namun civil society dalam dunia internasional, tidaklah bisa saloing dikonstitusikan satu sama lain karena hal itu berarti akan terbentuk satu Leviathan yang mengatur jalannya civil society level internasioanl yang terdiri dari negara, MNC maupun NGO di seluruh dunia.
2. Menurut anda, dimana saja letak idealisme humaniter dari pemikiran De Vattel? Kishino Bawono: Letak dari idealism de Vattel, paling mendasar, bagi saya adalah meletakkan natural laws sebagai dasar dari Laws of Nations. Mengapa? Ini sangat idealis dalam artian begitu “abstrak” dengan mendasarkan pada hukum given dari Tuhan, yang anggapannya baik. Dengan mendasarkan pada bentukan given dari Tuhan, kesannya generalisasi ini jadi “abstrak” dan tidak “mengigit”. Konsepsi Tuhan saja tidak semua orang sama definisinya, Tuhan tidak selalu monoteistik, itu saja sudah banyak orang yang ribut tentang hal itu. Lalu eksistensinya? Dalam artian saya, kita butuh sesuatu yang lebih universal dari “Tuhan” ini. Lalu letak idealisme selanjutnya, adalah asumsi orang-orang ini baik dan dapat diatur sehingga menciptakan hukum sebagai bentukkan yang mampu menjamin order dalam interaksi. Selain itu, lainnya dapat di lihat dalam persepsi “kebaikan” negara yang harus humaniter dan memakai nurani dalam perpolitikan. Nindya Anis: Idealisme Vattel terletak pada Vatel percaya bahwa adanya konsepsi perang itu tidak dilarang dan negara memiliki hak untuk berperang (jus ad bellum) namun tidak seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam perang tersebut. Poin nya ialah pemikiran Vattel dapat mengakomodasi konsepsi moral yang mengarah ke sekuler dimana negara berhak melindungi haknya dari ancaman keamanan untuk menjaga stabilitas kedaulatan negara melalui perang (just war) dengan basis melindungi humanitarian. Berbeda dengan Pufendorf yang membolehkan perang dengan basis agama, namun Vattel lebih mengedepankan moralitas dengan basis jus ad bellum dan jus ad bello. Ide baru yang dikembangkan oleh Vattel ialah justifikasi mengenai adanya idealisme perang diimplementasikan dalam bentuk hukum-hukum yang lebih humaniter. Perang dibolehkan namun tetap dalam basis menjaga dan melindungi moralitas dimana cara-cara perang tidak keluar dari koridor humanitarian. Sehingga pengembangan dari ide Vattel ialah bentuk regulasi hukum humaniter internasional yang saat ini digunakan oleh negara-negara. Hal itulah yang menjadikan poin urgensitas idealisme humaniter dari pemikiran Vattel. Franz Adityatama: Menurutku idealismenya terlihat dari konsep Vattel tentang Just War, intervensi dan kriterianya, kewajiban moral dari suatu negara dan individu, serta pemikiran Vattel tentang kesetaraan dari negara terlepas dari kekuatan militer atau faktor-faktor lainnya. Felix Prayogo: untuk pertanyaan kedua: idealisme humaniter muncul dalam: alasan perang (jika masalah keamanan muncul, dsb), wajib memberikan bantuan kepada yang membutuhkan
(dengan syarat yang dibantu menerima bantuan), dan bagaimana Vattel menjelaskan kesetaraan negara dan adanya moralitas di dunia internasional yang memiliki 'hukum' Okvan Dwi: ide idealis humaniter Vattel terletak di just war, bahwa negara mempunyai kewajiban humaniter untuk negara yang membutuhkan. Karena pada dasarnya negara tidak boleh mengintervensi negara lain. Perang juga terjadi jika haknya merasa dirampas. Karena haknya telah dirampas, maka negara berhak untuk menghukum negara lain Dania: Terkait dengan pertanyaan pertama, menurut saya idealism humaniter de Vattel terlihat pada asumsinya bahwa sebenarnya masing-masing negara adalah entitas yang bebas, merdeka dan mandiri, sehingga menjadikansetiap negara menjadi equal. Hal ini kemudianberimplikasi bahwa masing-masing negarea memiliki kedaulatan yang tidak boleh dilanggar oleh negara lain. Sehingga kemudian de Vattel melarang tindakan humanitarian intervention yang tanpa izin bagi negara yang diintervensi. Dania: menurut saya, letak idealisme de Vattel dalam humaniter adalah pandangannya bahwa setiap negara secara moral harus melakukan intervensi humaniter kepada negara / entitas lain jika negara tersebut mengalami krisis. Intervensi ini diperlukan untuk mengatasi masalahmasalah kemanusiaan yang hal ini sangat mencerminkan moralitas dan idealisme.
3. Bagaimana pendapat anda mengenai intervensi humaniter dalam perang sipil / perang saudara, terkait dengan pemikiran de Vattel tentang just war? Kishino Bawono: Dalam de Vattel, aturannya jika negara yang akan diintervensi itu mau diintervensi. Hanya sesimpel itu, jadi kalau mau diintervensi atau mau dibantu, baru yang luar boleh membantu. Tapi, dalam real world yang saya lihat, tidak selamanya seperti itu. Negara kuat, asal punya legitimasi internasional (DK-PBB), bisa mengintervensi dengan atas nama berbagai hal, paling mudah ya soal menghentikan tindakan kekerasan, namanya juga humanitarian intervention. Dan apa yang saya pandang soal humanitarian intervention memang tidak jauh berbeda dengan hal yang terjadi di dunia nyata. Kita bisa bicara banyak kasus yang menunjukkan humanitarian intervention itu sangat politis. Mau disebutkan? Kosovo 1999, itu cara AS untuk mengukuhkan posisi hegemonic-nya di Eropa dan dunia. Dia saat itu membutuhkan "isu" baru untuk menyatukan dia dan Eropa setelah "isu" perang dingin usai dan Eropa seakan semakin mandiri dari AS dengan membentuk EU.
Nah, dari eksplanasi di atas, eksplanasi selanjutnya yang saya tarik masihlah realis, terkait dengan humanitarian intervention. HumInt (Humanitarian Intervention) ini, politis, seperti yang saya bilang. Ini hanya kedok bagi greater goals yang dikejar pihak-pihak yang terlibat. Expense yang dikeluarkan dalam humanitarian intervention adalah "upaya" yang dilakukan dalam mengejar goals (atau lebih jelas lagi, vested interest). Legitimasi internasional, aliansi, menaikkan isu kemanusiaan, kebebasan, demokrasi, bagi saya itu adalah kedok bagi kepentingan yang lebih besar. Ibaratnya teroris, kita tidak bisa dengan bodoh memberikan bom tanpa dikado, bungkus kado ini agar tidak mencurigakan dan terkesan "telanjang". Mau ada aturan bla-bla-bla soal intervensi internasional, itu ujung-ujungnya juga hanya "buatan" negara-negara yang semua punya interest. Dan sayangnya, power itu kadang mampu mengalahkan aturan-aturan itu. Aturan dengan mudah dilanggar, dicari celah, supaya bisa mengejar kepentingan. Jadi, bagi saya intervensi kemanusiaan itu politis. Soal just war pun, ya, apa sih yang tidak bisa dicari celahnya. Nindya Anis: Menurut saya adanya intervensi humaniter dalam perang sipil / perang saudara, terkait dengan pemikiran de Vattel tentang just war ialah Vattel percaya bahwa jika terdapat humanitarian yang telah dilanggar atau dirampas baik oleh individu atau negara melalui caracara immoralitas seperti perang maka perlu adanya intervensi perang untuk mengkondisikan adanya berbagai pelanggaran humanitarian tersebut. Konsepsi just war ditekankan pada adanya legitimasi yang sah untuk intervensi perang jika terjadi pelanggaran humanitarian dan tindakan immoralitas lainnya serta sasaran yang ditujukan tidak dapat membedakan combatan maupun non combatan. Sehingga intervensi tersebut menjadi sangat diperlukan demi melindungi pihakpihak sipil. Franz Adityatama: Pemikiran Vattel terkait dengan intervensi yaitu bahwa harus ada alasan yang 'just' bagi suatu negara untuk melakukan intervensi. Pendapatku menurut pemikiran Vattel dalam hal ini adalah pemikiran tentang intervensi ini tetap relevan, namun seperti yang dikatakan Vattel dalam pemikiran lainnya ialah bahwa kemungkinan besar peraturan yang ada tidak dapat dijalankan secara sempurna tanpa pelanggaran, meskipun mungkin dalam tulisannya hal ini bukan ditujukan bagi hubungan antar negara, tetapi faktanya adalah bahwa intervensi yang dilakukan oleh negara tidak selalu dilakukan dengan tujuan yang 'just' sesuai dengan pemikiran Vattel tersebut.
Felix Prayogo: untuk pertanyaan ketiga: menurut Vattel, negara itu independen (memiliki otonomi dan merupakan entitas yang merdeka) dan berhak menentukan nasibnya sendiri, sehingga intervensi dalam perang sipil/perang saudara hanya terjadi ketika negara yang terlibat perang sipil meminta bantuan untuk melakukan humanitarian intervention, jika tidak, maka intervensi tidak akan terjadi Okvan Dwi: Intervensi negara dalam perang ini hanya boleh dilakukan apabila negara tersebut membutuhkan dan mengijinkan untuk memberikan bantuan. Dari ide ini terletak sebuah humanitarian yang sangat mendasari hukum humaniter internasional. Negara tidak memiliki hak untuk tiba – tiba mengintervensi negara yang sedang berperang sipil. Karena negara tersebut meiliki kedaulatan yang tidak boleh diganggu oleh negara lain. Dania: Seperti yang telah disebutkan diatas, de Vattel sangat menghargai equalitas sekaligus kedaulatan negara. Sehingga saya berfikir bahwa de Vattel kurang menyetujui adanya humanitarian intervention. Namun jika negara yang akan diintervensi membutuhkan dan setuju dengan adanya intervensi terhadap negaranya, maka hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan. Ciptahadi: Saya menyatakan persetujuan dan saya mengikuti pernyataan de Vattel bahwa intervensi humaniter perlu, bahkan dalam kondisi perang sipil. namun, tetap saja, diperlukan suaatu izin dari negara yang akan diintervensi terhadap calon negara pengintervensi.
KESIMPULAN Diskusi berjalan cukup lancar walaupun pada awalnya agak sedikit terhambat karena inisiator baru memasuki grup diskusi setengah jam sesudah diskusi mulai, dan inisiator dadakan belum mampu mengangkat suasana diskusi karena memang penunjukannya sangat mendadak. Namun secara umum, peserta diskusi yang hanya berjumlah 6 orang mampu menghidupkan suasana diskusi dengan cara menjawab pertanyaan yang diberikan oleh inisiator. Walaupun, Ciptahadi Nugraha menjawab pertanyaan dari inisiator secara offline karena sedang sama-sama dengan inisiator, terjebak kesibukan menjadi panitia PNMHII, dan Dania yang terlambat hingga jam 10 dalam mengikuti diskusi. Selain itu, materi yang diberikan oleh inisiator tidaklah terlalu jelas dan mendetail sehingga bisa memancing pertanyaan –pertanyaan kritis dari para peserta diskusi.
Pertanyaan pertama sedikit membuat bingung para peserta. Hal ini dikarenakan peserta masih berusaha mendeskripsikan konstitusi dan scope dari civil society. DI pertanyaan pertama ini, semua peserta setuju untuk menyatakan bahwa negara mmemang tidak bisa mengkonstitusikan diri ke dalam civil society karena negara, menurut de Vattel mempunyai perbedaan dari individu atau masyarakat. Di pertanyaan kedua, semua mengungkapkan idealism-idealisme Vattel. Kebanyakan peserta menyebutkan bahwa Vattel sangat idealis jika dilihat dari humaniternya. Vattel menyatakan bahwa intervensi humaniter itu penting karena menyangkut kemanusiaan dan kebenaran. Namun, intervensi itu harus memperoleh persetujuan dari negara yang akan diintervensi, sehingga tidak serta merta mengganggu kedaulatan negara yang akan diintevensi. Di pertanyaan ketiga, semua peserta mengungkapkan bahwa intervensi humaniter diperlukan atas nama humaniter dan harus mendapatkan persetujuan baik dari negara yang akan diintervensi maupun dari entitas yang berwenang seperti DK PBB. Namun sekarang, kebanyakan intervensi humaniter cenderung bukan dilakukan atas nama moralitas lagi, namun sebagai “bungkus” dari sebuah kepentingan politik yang lebih besar, seperti ingin menguasai sumberdaya alam. Kesimpulannya, de Vattel menerapkan dasar bagi hukum humaniter internasional saat ini. Terlepas dari apakah intervensi humaniter hanya dijadikan “bungkus” dari kepentingan politik ataupun tidak, konsep intervensi humaniter yang harus mendapatkan izin dari negara yang akan diintervensi, memberikkan patokan dan pedoman bagi hukum humaniter modern saat ini.