Ciri Penulisan dan Pengaruh Syiah dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184 Selly Rizki Yanita, Dewaki Kramadibrata Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini menyajikan penelitian terhadap naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah berkode Ml. 184 yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode edisi kritis. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa naskah yang digunakan mendapat pengaruh bahasa Betawi. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan bahasa Betawi dan apostrof di beberapa kata. Penelitian ini juga menjelaskan pengaruh Syiah yang ada di dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah.
Abstract This article presents a research of the manuscript Hikayat Muhammad Hanafiyah coded Ml. 184 which stored in National Library of Indonesia. This research used critical edition. This result explains that the text of Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184 has influenced Betawi language. It indicated by the use of Betawi words and apostrophe in some words. In addition, this study also explains the influence of Shiite Syiah in Hikayat Muhammad Hanafiyah. Keywords: Hikayat Muhammad Hanafiyah, Shiite Syiah
Pendahuluan Indonesia memiliki banyak peninggalan sejarah dari masa silam. Peninggalan yang paling mudah ditemui saat ini adalah peninggalan dalam bentuk material, seperti istana, patung, prasasti, candi, dan lain-lain. Peninggalan sejarah dari masa silam tidak hanya berbentuk material saja, tetapi juga ada yang berbentuk tulisan. Tulisan-tulisan yang berasal dari masa lampau ini disebut dengan naskah. Naskah yang paling banyak jumlahnya di Indonesia adalah naskah dalam bentuk karya sastra. Naskah-naskah tersebut sebagian besar ditulis menggunakan aksara jawi dan berbahasa Melayu. Braginsky (1998: 1) menjelaskan bahwa pada umumnya, sastra Melayu yang sampai kepada kita berasal dari sejak periode datangnya Islam, yaitu abad ke-13—16. 1 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Salah satu naskah Melayu yang populer adalah Hikayat Muhammad Hanafiyah. Liaw Yock Fang (2011: 285) mengkategorikan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai kesusastraan zaman Islam. Banyak versi naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah yang beredar di masyarakat. Hikayat ini disebarkan dalam berbagai versi dan berjumlah kurang lebih sebanyak tiga puluh naskah (Brakel, 1988: 8). Berdasarkan penulusuran dari berbagai katalog, naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah berjumlah 32 naskah dan tersebar di enam negara, yaitu sembilan naskah di Indonesia, 11 naskah di Belanda, delapan naskah di Inggris, satu naskah di Malaysia, satu naskah di Prancis, dan satu naskah di Amerika Serikat. Menurut Braginsky (1998: 128), Hikayat Muhammad Hanafiyah merupakan karya sastra Melayu awal Islam yang paling tua karena muncul di Pasai dalam tahun 80-an abad ke-14. Hikayat Muhammad Hanafiyah juga disebut dalam Sejarah Melayu. Dalam Sejarah Melayu, orang-orang Malaka membaca Hikayat Muhammad Hanafiyah sebelum berperang melawan Portugis pada tahun 1511 agar para prajurit menjadi berani seperti Muhammad Hanafiyyah (Brakel, 1988: 11). Brakel juga berpendapat bahwa roman Arab karya Abu Mikhnaf merupakan teks induk bagi Hikayat Muhammad Hanafiyah Parsi dan juga bagi teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Melayu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata-kata berbahasa Parsi dalam teks Hikayat Muhammad Hanafiyah, seperti paighambar (nabi) dan keruh (satuan jarak sekitar 2 mil). Hikayat Muhammad Hanafiyah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, cerita tentang Nabi Muhammad atau Hikayat Nur Muhammad. Bagian pertama ini berkisah tentang kehidupan Nabi Muhammad dan cahaya kenabiannya. Kedua, cerita tentang Hasan dan Husain atau lebih dikenal dengan sebutan Hikayat Maktal Husain yang berkisah tentang kehidupan Hasan dan Husain sejak lahir hingga meninggal. Ketiga, cerita mengenai Muhammad Hanafiyyah yang menuntut balas atas kematian Hasan dan Husain kepada Yazid (Brakel: 1988: 19). Beberapa peneliti telah melakuan penelitian terhadap naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah. Peneliti tersebut, yaitu L.F.Brakel (1975), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1998), Dien Rovita (2007), dan Rindias Helenamartha Fatmasari (2010). Berdasarkan penelusuran mengenai penelitian sebelumnya, penelitian yang membuat edisi teks terhadap Hikayat Muhammad Hanafiyah dilakukan oleh Brakel dan peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Brakel meneliti Hikayat Muhammad Hanafiyah untuk memperoleh gelar Doktor di 2 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Universitas Leiden dan dibuat menjadi buku pada tahun 1975. Dalam disertasinya, Brakel membuat edisi teks Hikayat Muhammad Hanafiyah dengan menggunakan delapan naskah yang berada di Inggris dan Belanda. Brakel juga menginventarisasi naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah dan menemukan ada kurang lebih 30 naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah di dunia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pernah melakukan penelitian mengenai Hikayat Muhammad Hanafiyah. Naskah yang digunakan merupakan naskah yang sudah dicetak. Akan tetapi, tidak ada penjelasan mengenai kode naskah yang digunakan. Dalam bukunya yang berjudul Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Ali Hanafiah, peneliti hanya menerangkan bahwa naskah tersebut merupakan koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang dan yang menerbitkannya adalah Muhammad Mabbak. Penelitian ini melakukan transliterasi naskah dan mengkaji nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa masih banyak naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah yang belum dibuat menjadi edisi teks, termasuk naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah yang disimpan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian terhadap naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah yang belum diteliti dan disajikan dalam sebuah edisi teks oleh Brakel. Naskah yang digunakan berasal dari Perpustakan Nasional Republik Indonesia berkode Ml. 184. Menurut Brakel (1988: 103), naskah berkode Ml. 184 merupakan naskah tidak lengkap karena penceritaannya dimulai dari kematian Hasan dan Husain, kemudian dilanjutkan peperangan antara Muhammad Hanafiyyah dan Yazid. Meskipun bagian awal naskah ini tidak lengkap, naskah ini dimulai dari kisah yang menyebabkan Muhammad Hanafiyah berperang melawan Yazid. Hal ini membuat penulis tertarik meneliti naskah ini karena inti kisah dari Hikayat Muhammad Hanafiyah tetap ada di dalam teks. Selain itu, dibandingkan dengan naskah lainnya, penyalinan naskah ini lebih tua, yaitu pada tahun 1777 atau abad ke-18. Dalam tulisan ini, penulis juga membahas pengaruh Syiah dalam teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184. Dalam penelitiannya, Brakel (1988: 67) menjelaskan bahwa Hikayat Muhammad Hanafiyah mendapat pengaruh dari Syiah. Hal ini juga disebabkan karena paham Syiah sangat menonjol dalam kesusastraan Parsi. Syiah merupakan sebutan untuk orangorang yang mendukung Ali. Beberapa tokoh yang muncul dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, seperti Muhammad Hanafiyah, Husain, Hasan, Zainal Abidin, dan Ali merupakan 3 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
orang-orang yang diakui sebagai imam dalam Syiah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh Syiah dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian edisi kritis. Penulis menggunakan edisi kritis karena hanya naskah Ml. 184 yang penulis teliti. Naskah yang penulis gunakan, masih menggunakan bahasa Melayu Klasik. Penulisannya pun tidak menggunakan tanda baca sehingga menyulitkan pemahaman pembaca. Oleh karena itu, penulis menggunakan edisi teks kritis agar pembaca dapat lebih mudah memahami isi teks Hikayat Muhammad Hanafiyah. Deskripsi Naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184 Naskah ini terdiri atas 170 halaman: 164 halaman berisi teks cerita, satu halaman berisi catatan tambahan dari penyalin, dan empat halaman kosong. Naskah ini berbahasa Melayu, beraksara Jawi, dan menggunakan tinta hitam. Ada rubrikasi dengan tinta merah pada naskah. Keadaan naskah masih bagus meskipun di bagian pinggir halaman 1—3 sobek. Beberapa halaman telah dilaminasi, tetapi tulisan masih dapat dibaca. Beberapa kertas telah berlubang karena kutu buku. Saat ini, kertasnya sudah berwarna kecokelat-cokelatan dan kotor. Bekas air dapat ditemukan di beberapa halaman. Ada iluminasi pada halaman pertama, 164, dan 165. Selain itu, ada ilustrasi bergambar naga di halaman 139 dan 144. Tidak ada penomoran yang diberikan oleh penyalin. Akan tetapi, ada kata alihan di setiap bagian verso dan nomor latin yang diberikan oleh orang lain. Setiap teks berjumlah 15 baris. Naskah ini ditulis menggunakan kertas berukuran 25, 2 x 20 cm dengan sampul karton keras berukuran 25,3 x 20,5 cm. Ukuran pias yang digunakan berbeda antara recto dan verso. Tabel 1. Ukuran pias Bagian
Recto
Verso
Atas
2 cm
2 cm
Bawah
2 cm
2 cm
Kanan
1 cm
4,6 cm
Kiri
4,6 cm
1 cm
4 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Naskah ini dijilid menggunakan kuras dan jilidan naskah masih bagus. Pada kertas ditemukan watermark dan countermark. Watermark tersebut bergambar perempuan memegang tongkat dan
singa
memegang
pedang
yang
di
atasnya terdapat tulisan PRO PATRIA.
Countermark yang ditemukan bertuliskan VG. Kolofon dapat ditemukan di akhir teks. Kolofon tersebut berbunyi “Adapun hikayat ini yang menyurat dia anak piatu dan lagi perkara wa biaya lagi tersilapi di negeri orang di dalam bindara dusun Kampung Marunda disurat dengan doifnya lagi dengan bebalnya dan miskinnya pun. Jangan dikata lagi siang dan malam menangis juga di dalam hatinya serta meminta doa kepada Allah swt. Adalah seperti kata orang Melayu-Melayu pun perkara menulis tindak menangis hatinya rusak bagi dirasa. Adapun daripada itu, sudahnya tersurat hikayat ini kepada sehari bulan Rajab. Kepada malam Isnin dan kepada jam pukul empat pada ketika buram dan tersurat itulah adanya. Adapun kepada hijrah Nabi Muhammad Rasulullah saw seribu seratus Sembilan puluh satu kepada tahun nas.”
Selain itu, terdapat catatan tambahan di halaman 165. Catatan tambahan tersebut berisi tentang anjuran kepada pembaca untuk mendoakan Nabi Muhammad setelah selesai membaca naskah ini. jika mendoakan Nabi Muhammad, orang tersebut akan mendapat pahala dan safaat dari Nabi Muhammad. Kemudian, pembaca juga dianjurkan mendoakan pemilik naskah ini. Kekhasan penulisan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah Setiap naskah memiliki kekhasan tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari cara penyalin menulis. Bentuk huruf dan ciri khas tulisan dapat menentukan siapa penyalinnya, apakah penyalinan dilakukan sekaligus atau dengan selang waktu dan seorang diri atau berganti-ganti (Sudjiman, 1995: 54). Dalam teks Hikayat Muhammad Hanafiyah, penulis menemukan beberapa ciri khas penulisan. Berikut ini merupakan ciri khas penulisan teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184. 1. Penggunaan hamzah ( )ءmengikuti huruf
( )ﺍاdi awal, tengah dan akhir kata, huruf k ( )ﻕقdi akhir kata dan huruf ( )ﻭوdi tengah dan akhir kata. Sebagai contoh, kata kerajaan ditulis keraja’an ()ﻛﺭرﺟﺄﻥن, pula ditulis pulak (ٔﻕقٴ ) ﻓ ﻭوﻟ, dan bawa ditulis bawa’ ()ﺑﺎﻭوﺃأ. 2. Pada beberapa kata tertentu, terdapat penambahan huruf di akhir kata yang menggunakan huruf ﺕت, ﺏب, ﻙك, ﺩد, ﺭر, ﻥنdan ݢ. Sebagai contoh, kata ribu ditulis ribuh ()ﺭرﻳﯾﺑﻪﮫ, kata cucunda ditulis cucundah ()ﭼﻧﭼﻧﺩدﻩه, dan muda ditulis mudah (ﻭوﺩدﺍاﻩه/ )ﻣﺩدﻩه. 3. Pada beberapa kata tertentu, terdapat penambahan huruf di awal dan di tengah kata dan sisipan di tengah kata. Sebagai contoh, kata dadanya ditulis dadahnya 5 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
()ﺩدﺍاﺩدﻫﮬﮪھﺙث, kata dianugerahkan ditulis dianugerahhakan ()ﺩدﺍاﻧ'ﺭرﻩه ﻫﮬﮪھﺎﻛﻥن, dan otak ditulis hotak ()ﻫﮬﮪھﻭوﺗﻕق. 4. Pada beberapa kata, huruf yang seharusnya ada dihilangkan. Sebagai contoh, kata sudah ditulis suda ()ﺳﻭوﺩدﺍا, kata menghadang ditulis mengadang ()ﻣﭭﺎﺩدݞ, dan kata kasih ditulis kasi (ﻛﺱس/ )ﻛﺳﻲ. 5. Terdapat variasi penulisan beberapa kata, misalnya lalu, pula dan serta. Variasi penulisan tersebut menunjukkan ada ketidakkonsistenan penyalin saat menyalin naskah. Sebagai contoh, kata lalu ditulis ﻻﻻdan ﻻﻟﻭو, kata cucu ditulis ﭼﭼﻭوdan ﭼﻭوﭺچ, dan kata itu ditulis ﻳﯾﺗﻪﮫdan ﻳﯾﺕت. Berdasarkan ciri penulisan yang ditemukan dalam teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184, dapat dilihat bahwa teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184 mendapat pengaruh Betawi. Ciri penulisan yang penulis temukan tersebut sama dengan ciri naskah Betawi yang dijelaskan oleh Muhadjir dalam penelitiannya yang berjudul Kedudukan Bahasa Melayu Naskah Betawi di Antara Bahasa-bahasa Melayu Lokal Lainnya. Penggunaan apostrof dan huruf pada ciri (1), penambahan huruf dan pada ciri (2) dan
(3), dan
penghilangan huruf pada ciri (4) dapat ditemukan di naskah-naskah Betawi. Hal yang mendukung teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184 merupakan naskah Betawi adalah tempat penyalinan naskah tersebut. Naskah ini disalin di Kampung Marunda yang terletak di Jakarta Utara. Selain itu, dalam teks tersebut juga ditemukan kata mampus yang merupakan kata Betawi. Pengaruh Syiah dalam Teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Pada pendahuluan telah disinggung bahwa ada pengaruh Syiah dalam teks Hikayat Muhammad Hanafiyah. Pengaruh Syiah yang banyak ditemukan di dalam teks adalah konsep imam. Syiah meyakini imam mereka berasal dari keturun Ali. Hal ini menyebabkan ada perlakuan istimewa terhadap anak-anak Ali, terutama Husain. Besarnya kepercayaan orangorang Syiah terhadap imam mereka membuat mereka mengagungkan imam. Beberapa tokoh yang muncul dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, yaitu Ali, Hasan, Husain, Muhammad Hanafiyah, dan Zainal Abidin merupakan orang yang dipercaya sebagai imam Syiah. Sebagai seorang imam, Husain merupakan imam yang diistimewakan. Kematiannya diperingati setiap tanggal 10 Muharram. Pengistimewaan Husain dapat 6 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
ditemukan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Kematian Husain yang dikenal sebagai tragedi Karbala membuat orang-orang Syiah membenci Yazid. Dalam literatur Syiah yang berjudul Islam Syiah: Asal-usul dan Perrkembangan, Yazid digambarkan sebagai orang yang bodoh dan berkelakuan buruk. Tokoh Yazid dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah juga mendapat citra buruk. Gambaran tokoh Yazid tersebut dapat dikatakan telah mendapat pengaruh dari Syiah. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai pengaruh Syiah dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah yang telah disebutkan di atas. 1. Perihal Imam Syiah memiliki lima prinsip agama, salah satunya adalah imamah atau keimaman. Dalam Ensiklopedia Peradaban Islam Persia, kata imam juga setara dengan khalifah (2012: 157). Menurut Thabathaba’i (1993: 199), imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan kepada seorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Menurut pandangan Syiah, imam tidak hanya mengurusi masalah duniawi saja, tetapi juga mempunyai tugas untuk menjaga dan memelihara risalah ilahi dan menyampaikannya kepada umatnya. Imam dipilih oleh Tuhan. (Thabathaba’i, 1993: 213). Akan tetapi, menurut ulama ahlusunah, khalifah merupakan jabatan biasa yang fungsinya untuk melindungi urusan duniawi (Subhani, 2009:667). Oleh karena itu, semua orang dapat menjadi khalifah asalkan memenuhi syarat untuk menjadi seorang khalifah. Akan tetapi, posisi khalifah (imam) menurut Syiah tidak bisa ditempati oleh sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih saja yang bisa menjadi khalifah. Syiah berkeyakinan bahwa Ali dan keturunannyalah yang pantas menduduki jabatan khalifah setelah Nabi Muhammad. Konsep imam dapat ditemukan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi Muhammad), Hasan dan Husain (anak Ali dan Fathimah), serta Zainal Abidin (anak Husain) merupakan beberapa imam Syiah yang muncul dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Selain mereka, tokoh Muhammad Hanafiyah (anak Ali dari istri lain) juga ditampilkan sebagai sosok imam. Tokoh Ali muncul dalam Hikayat Muhammad Hanfiyah, meskipun kemunculannya tidak banyak. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, Ali dipanggil dengan sebutan Baginda Ali. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Baginda merupakan gelar atau sebutan raja yang berarti yang berbahagia dan mulia (2002: 86). Panggilan baginda dalam Hikayat 7 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Muhammad Hanafiyah hanya diberikan kepada Ali dan Muhammad Hanafiyah, sang tokoh utama. “Maka Ali pun turun kepada hamparan itu. Maka dilihat oleh Ali hal yang demikian ituh. Maka Bagindah Ali/ pun berkatah, ‘Ya, illahi rabbil ‘ālamīn’, dan segala sidang nabi sekalian pun menangis.” (HMH, hlm. 39)
Ali juga disebut sebagai raja segala laki-laki. Penyebutan tersebut menunjukkan bahwa Ali merupakan pemimpin di dunia. Hal ini sesuai dengan pemikiran Syiah yang menanggap Ali adalah orang yang paling utama di dunia. “Maka Ali Akbar pun naiklah ke atas/ kudanya. Lalu dipacu’nya ke tengah medan dan dipermainnya senjatanya, serta meminta do’a kepada Allah/ Ta’ala, dan memberi selawat akan Nabi Muhammad, Rasulullah saw., dan memuji Ali, raja segala laki-laki.” (HMH, hlm. 25)
Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, tokoh Ali, Hasan, Husain, Muhammad Hanafiyah, dan Zainal Abidin bergelar Amirulmukminin. Menurut Ensiklopedi Islam (1993: 139), Amirulmukminin (pemimpin kaum beriman) merupakan gelar untuk pemegang kekuasaan yang mengatur dan menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan Islam. Dengan kata lain, gelar Amirulmukminin diberikan kepada para khalifah. Berikut ini adalah contoh kutipan yang menyatakan gelar Amirulmukminin untuk Ali dan Zainal Abidin. “Maka tatkala ada hayat/ Rasulullah saw. ketika itu Hasan dan Husen lagi kecil, maka Rasulullah pergi ke rumah [Amir]/ Amirulmukminin Ali Karamallahu wajhah.” (HMH, hlm. 46) “Adapun tatkala Zain al Abdin naik kerajaan itu pada hari Jum’at. Maka segala/ sidang Jum’at pun berhimpun akan sembahyang. Maka disuruh oleh Muhammad Hanafiyah bacakan kotbah dengan/ nama Amirulmukminin Zain al Abdin dan menyatakan ketujuh sahabat Nabi Muhammad s-/aw. di dalam benua Damsyik itu.” (HMH, 158)
Selain itu, tokoh Muhammad Hanafiyah merupakan imam yang dipercaya sebagai imam Mahdi oleh golongan Syiah Kaisaniyyah. Dalam Ensiklopedia Islam (1993: 6), Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua kelompok. Salah satu kelompok percaya bahwa Muhammad Hanafiyah tidak meninggal, tetapi sampai saat ini ia masih hidup dan menghilang, serta akan kembali lagi ke dunia pada kahir zaman. Menurut Thabathaba’i (1993: 80), golongan Kaisaniyah meyakini bahwa Muhammad Hanafiyah menghilang ke dalam persembunyian di Pegunungan Radwa dan akan muncul kembali pada saatnya. Brakel (1975: 6) juga menjelaskan selama persembunyiannya, Muhammad Hanafiyah ditemani oleh singa dan harimau kumbang yang bertugas memberinya makan selama bersembunyi.
8 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Kepercayaan golongan Syiah Kaisaniyah mengenai Muhammad Hanafiyah bersembunyi di pegunungan Radwa juga terdapat dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, tidak ada penjelasan mengenai kematian Muhammad Hanafiyah. Akhir cerita Muhammad Hanafiyah hanya dijelaskan bahwa Muhammad Hanafiyah pingsan di dalam gua dan pintu gua itu tertutup sampai sekarang. “Maka Muhammad Ali Hanafiyah pun dengan takdir Allah swt., maka ia pun terkejut lalu pingsan/ rebah di atas kudanya. Tiada kabarkan dirinya. Maka pintu guwah, itu pun/ tertutuplah. Datang sampai sekarang juga dengan takdir Allah subhana/ wa ta’ala. Amin yā rabbal ālamīn” (HMH, hlm. 163)
Dari kutipan di atas, dapat dilihat persamaan antara kepercayaan golongan Syiah Kaisaniyah mengenai Muhammad Hanafiyah yang menghilang dan bersembunyi di pegunungan Radwa dan akhir cerita Hikayat Muhammad Hanafiyah. Di akhir cerita, Muhammad Hanafiyah berada di gua dan tidak diketahui kematiannya. Bahkan sampai sekarang, gua tersebut masih tertutup. Akan tetapi, pengaruh golongan Syiah Kaisaniyah tidak begitu kuat dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Hal ini disebabkan pengganti Muhammad Hanafiyah adalah Zainal Abidin, bukan Abu Hasyim. Selain kemunculan tokoh-tokoh yang menjadi imam Syiah, dalam Hikayat Muhamad Hanafiyah juga ditemukan adanya pengkultusan terhadap tokoh-tokoh tersebut. Menurut akidah Syiah, imam berasal-usul lebih tinggi daripada asal manusia. Anggapan bahwa imam berasal-usul lebih tinggi daripada manusia menandakan adanya pengultusan terhadap imam. Hal ini berkaitan dengan keyakinan orang-orang Persia. Rasjidi (1984: 7) menjelaskan bahwa orang-orang Persia memandang Nabi Muhammad seperti mereka memandang Kisra (raja Persia) dan memandang keluarga Nabi Muhammad seperti mereka memandang dinasti Persia. Hal ini membuat mereka mendewakan keluarga Nabi Muhammad. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, pengultusan terjadi pada Husain dan Muhammad Hanafiyah. Para pengikut mereka menyembah kaki mereka jika bertemu dengan Husain atau Muhammad Hanafiyah. “Maka Ibrahim Asytr pun bertemulah dengan Muhammad Hanafiyah di dalam api itu. Maka/ Ibrahim Asytr pun datang dengan anaknya, Haris, menyembah kaki Muhammad Hanafiyah itu. Lalu diusapnya/ oleh segala lasykarnya Ibrahim Asytr. Maka dibawa’nya kembali kepada saudaranya. Maka segala saudaranya/ Muhammad Hanafiyah pun menyapukan kepalanya kepada kaki Muhammad Hanafiyah.” (HMH, hlm. 152)
9 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
2. Kemuliaan Husain Husain sangat dimuliakan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Husain dijanjikan meninggal dalam keadaan syahid oleh Nabi Muhammad. Kedatangannya di surga pun telah dinantikan oleh Ali, Fatimah, dan Nabi Muhammad. Sikap memuliakan Husain dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah juga terlihat ketika Husain berperang. Ketika Husain terluka, darah Husain tidak jatuh ke bumi, tetapi terbang ke udara. Ketika Husain meninggal, langit digambarkan menjadi kelam selama tujuh hari tujuh malam. “Dengan takdir Allah Ta’ala, maka dipandangnya kelilingnya. Maka katah Amirulmukminin Husain,// “Bismillahi wabillahi wa ali millati Rasulullah shailallah alaihi wasalām.” Maka darah itu pun terbanglah ke udarah./ Maka tiadalah ia gugur ke bumi lagi. Maka berhubunglah darahnya ituh dengan awan-awan itu pun, serta darah warnanya/ itulah darah Amirulmukminin Husain yang syahid pada tanah Padang Karbalah. (HMH, hlm. 31—32) Pada ketika Amirulmukminin Husain syahid ituh, arsy dan karsyi/ pun gemetarlah dan matahari dan bulan pun tiadalah kelihatan. Maka alam pun menjadi kelam/ tujuh hari tujuh malam lamanya karenah sepeninggal Nabi Allah Muhammad saw. (HMH, hlm. 34)
Penggambaran keadaan alam ketika Husain meninggal menunjukkan bahwa Husain tidak hanya dicintai oleh manusia, tetapi juga ciptaan Allah lainnya. Dalam hadis-hadis dan bukubuku sejarah yang ditulis oleh orang Syiah, kematian Husain di Padang Karbala juga digambarkan demikian. Ibnu Katsir dalam ash-Shalabi (894) menjelaskan orang-orang Syiah menggambarkan kematian Husain secara berlebihan. Menurut orang-orang Syiah, ketika Husain meninggal, langit menjadi merah, sinar matahari berwarna darah, bintang bertabrakan, setiap batu yang diangkat memancarkan darah, dan langit menghujani bumi dengan darah. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, gambaran kematian Husain berbeda dengan kematian Hasan. Tidak ada deskripsi mengenai reaksi alam di sekitarnya saat Hasan meninggal. Hal ini berbeda dengan kematian Husain. Perbedaan ini terkesan menunjukkan Husain lebih istimewa. Jenazah Husain pun didatangi oleh para malaikat, para nabi, Ali, Fatimah, dan para istri Nabi Muhammad. “Demikianlah kemuliaan Amirulmukminin Husain di anugerahhakan Allah swt. dulapan/ ribu malaikat yang menghu[a]ni Arasy dan Karsyi dan beberapa peighambar yang mahabesar, seperti/ Muhammaf Mustafa saw., dan Adam a.s, dan Nuh a.s, dan/ Ibrahim a.s dan Ismail a.s. dan seperti Hawa dan Asar dan Maryam/ pertapa, dan Habibah, dan Aisyah, dan Fathimah Sekaliannya itu datang mengunjungi Amirulmukminin// Husain yang syahid pada tanah Padang Karbalah itu.” (HMH, hlm. 42)
Hari kematian Husain dan tentaranya di Padang Karbala pada 10 Muharram juga diperingati sebagai hari Asyura atau lebih dikenal sebagai tradisi Karbala. Dalam Hikayat Muhammad 10 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Hanafiyah, tradisi Karbala pernah disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ketika malaikat Jibril memberitahu kematian Hasan dan Husain. “Maka sabdah Rasulullah, ‘Hai saudaraku Jibrail. Siapakah mengunjungi anakku dagang/ ituh?’ Maka katah Jibrail, ‘Ya rasulullah. Segala burung di udara dan segala binatang dalam hutan dan/ segala malaikat isi arsy dan segala arwah, sidang nabi sekalian datang mengunjungi anak/ dagang ituh dan segala umat yang teguh setianya dan segala yang kasih akan isi rumah Rasulullah// saw pada setahun sekali pada sepuluh hari bulan Muharam mufakat puasa dengan dukacitanya/ akan segala yang syahid pada tanah Padang Karbalah memberi makan bubur asywarah.” (HMH, hlm. 13—14)
Orang-orang Syiah meyakini bahwa dengan memperingati hari Asyura, mereka akan memperoleh syafaat dari Allah. Keyakinan memperoleh syafaat bagi orang-orang yang memperingati hari Asyura juga ada dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. “Setelah demikian itu, pada sepuluh hari bulan Muharam itu bernama Asyura dan yang teguh/ setianya akan isi rumah Rasulullah saw. pada ketikah sepuluh hari bulan Muharam itulah/ memberi makan bubur Asyura akan arwah, segala orang syahid pada tanah Padang Karbalah supaya/ beroleh safa’at daripada Nabi Allah Muhammad Rasulullah saw. pagi Jumah pada hari kiamat.” (HMH, hlm. 44)
3. Citra Yazid dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah Yazid merupakan tokoh antagonis dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Yazid adalah anak Muawiyah bin Abu Syufan. Ia menjadi khalifah kedua di masa Bani Umayyah. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Yazid digambarkan sebagai orang yang licik dan pendendam. “Setelah Mu’awiyah sudah mati, maka kerajaan ituh kepada/ Yazidlah, tetapi pada hatinya Yazid ituh berdemdam juga akan Amir Hasan dan Amir Husen sebab/ tiada sampai beroleh istri yang seperti kehendak hatinya.” (HMH, hlm. 4)
Penggambaran Yazid sebagai tokoh yang licik dan pendendam merupakan pengaruh dari Syiah. Thabathaba’i (1993: 61) mendeskripsikan Yazid sebagai orang yang tidak mempunyai watak keagamaan. Ia suka berbuat tidak senonoh dan rendah. Hal ini berbeda dengan AsySyaibani dalam ash-Shalabi (2012: 808) yang mendeskripsikan Yazid sebagai orang yang sederhana. Sjalabi (1971: 10) menjelaskan bahwa citra buruk mengenai Yazid dan Bani Umayyah disebabkan pembukuan sejarah baru dimulai pada masa Bani Abbasiyah yang membenci Bani Umayyah. Gambaran buruk mengenai Yazid juga disebabkan kebencian orang-orang Syiah terhadap Yazid karena mereka menganggap Yazidlah yang membunuh Husain. Perlakuan Yazid terhadap isi rumah Rasulullah setelah peristiwa Karbala dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah juga dipengaruhi oleh Syiah. dalam teks, Yazid memperlakukan 11 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
orang-orang yang ada di rumah Rasulullah secara kejam. Ia memperlakukan mereka seperti tawanan penjara dan memenjarakan mereka. Perlakuan Yazid tersebut sama dengan perlakuan Yazid yang dideskripsikan oleh orang-orang Syiah. Ibnu Taimiyah dalam ash-Shalabi (2012: 868) menyatakan bahwa menurut orang-orang Syiah, istri dan anak-anak Husain diperlakukan seperti tawanan perang dan mereka diarak berkeliling negeri di atas punggung unta tanpa pelana. Yazid dan pengikutnya juga dipanggil dengan sebutan kafir dan munafik. Ia juga dikatakan sebagai pemimpin orang-orang zalim. Ratapan Terhadap Kematian Hasan, Husain, dan Pengikutnya Ash-Shalabi (2012: 897) menjelaskan bahwa Syiah bersikap berlebihan atas kematian Husain, salah satunya melakukan perkabungan dan meratap secara berlebihan karena dengan berkabung dan meratap, mereka akan mendapat pahala besar. Dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, para penghuni rumah Rasulullah dan para pengikut Hasan dan Husain meratapi kematian mereka. Mereka juga meratapi kematian orang-orang meninggal di pertempuran. “Kemudian maka segala isi rumah Rasulullah Shaliallah Alaihi Wasalām pun menangislah demikian bunyinya tangisnya, “Lā ilaha ilallahu. Muhammad rasulullah shaliallah alaihi wasalām. Wah, Fathimahku. Wah, Aliku. Wah, Hasanku. Wah, Husainku./ Wah, Kasimku. Wah, Ali Akbarku.” Demikianlah tangisnya. Segala isi rumah Rasulullah saw./ pun tiadalah nyadarkan dirinya. Pada ketika Amirulmukminin Husen syahid ituh, arsy dan karsyi/ pun gemetarlah dan matahari dan bulan pun tiadalah kelihatan.” (HMH, hlm. 34)
Ratapan-ratapan seperti pada kutipan di atas dilakukan ketika mereka mengingat kematian Hasan, Husain, dan orang-orang yang membela mereka. Kutipan di atas menunjukkan ada kesamaan cara menyikapi kematian Hasan, Husain, dan pengikutnya antara tokoh-tokoh dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah dan orang-orang Syiah. mereka sama-sama meratapi kematian Hasan, Husain, dan pengikutnya. Orang-orang yang mengetahui kematian Hasan dan Husain juga bersikap berlebihan. Mereka melakukan perkabungan dan memberi makan arwah yang meninggal di Padang Karbala untuk mengingat kematian mereka. “Apabila didengar oleh Umar Ali perihal Amirulmukminin Hasan dan Husain itu, maka/ ketiganya mereka itu membuangkan dirinya dari atas kedudukkannya. Lalu jatuh ke bumi dan [mengem-]/ mengempaskan dirinya. Maka segala hulubalangnya pun berkabung-kabung. Maka keesok harinya memberi (makan) arwah,/ akan segala yang syahid pada tanah Padang Karbalah” (HMH, hlm. 59)
Bentuk perkabungan seperti itu dilakukan oleh orang-orang Syiah, sedangkan dalam ajaran Islam, perkabungan seperti pada kutipan di atas tidak dibenarkan. 12 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
4. Tujuh Khalifah Menurut Zainal Abidin Dalam kutbah yang dibaca oleh Zainal Abidin saat pengesahan Yazid sebagai raja, Zainal Abidin menyebutkan nama tujuh khalifah, yaitu Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman, Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain. Dalam sejarah, khalifah setelah Hasan adalah Muawiyah, sedangkan Husain bukanlah khalifah. Syiahlah yang menganggap Husain sebagai penerus Hasan. Beberapa golongan Syiah menganggap kekhalifahan selain Ali tidak sah, sedangkan golongan lainnya menganggap Ali lebih utama, tetapi kekhalifahan selain Ali sah, jika memenuhi persyaratan sebagai khalifah. Oleh karena itu, ketiadaan nama Muawiyah dalam tujuh khalifah yang dimaksud oleh Zainal Abidin merupakan pengaruh dari Syiah karena kebencian Syiah terhadap Bani Umayyah. Kesimpulan Hikayat Muhammad Hanafiyah merupakan salah satu kesusastraan Melayu zaman Islam. Hikayat Muhammad Hanafiyah merupakan cerita yang populer pada masa itu. Hal ini ditunjukkan dengan tiga puluh dua naskah yang ditemukan di berbagai tempat, yaitu sembilan naskah di Indonesia, 12 naskah di Belanda, satu naskah di Malaysia, satu naskah di Prancis, dan satu naskah di Amerika Serikat. Hikayat Muhammad Hanafiyah sudah pernah diteliti oleh Brakel. Brakel membuat edisi teks menggunakan delapan naskah. Naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah yang penulis gunakan dalam penelitian ini berbeda dengan yang digunakan Brakel. Permulaan cerita dalam naskah ML. 184 tidak sama dengan edisi teks yang dibuat Brakel. Pada Ml. 184, cerita dimulai dari kematian Muawiyah dan dendam Yazid terhadap Hasan dan Husain. Penulis menggunakan metode edisi kritis dalam penelitian tersebut. Dari hasil penelitian, penulis menemukan kekhasan penulisan teks Hikayat Muhammad Hanafiyah Ml. 184. Ada beberapa kata yang menggunakan apostrof di tengah kata dan di akhir kata, seperti kata keraja’an, pulak, dan bawa’. Selain itu, ada beberapa kata yang menambahkan huruf di akhir kata, seperti ribuh, cucundah, dan mudah. Kemudian ada beberapa kata yang menambahkan huruf di awal kata dan di akhir kata, serta ha di tengah kata, seperti dadahnya, dianugerahhakan, dan hotak. Penulis juga menemukan beberapa kata yang menghilangkan huruf , seperti suda, mengadang, dan kasi. Penambahan huruf dan ha, 13 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
serta peniadaan huruf di beberapa kata merupakan kekhasan bahasa pada masa lampau. Selain itu, ciri penulisan yang penulis temukan tersebut sama dengan ciri-ciri naskah Betawi. Dalam teks tersebut juga ditemukan kata mampus yang merupakan kata Betawi. Hikayat Muhammad Hanafiyah merupakan salah satu naskah mendapat pengaruh Syiah. pengaruh Syiah yang ditemukan dalam naskah tersebut, yaitu mengenai keimaman, kemuliaan Husain, citra buruk Yazid dan pengikutnya, ratapan terhadap kematian Hasan, Husain, dan pengikutnya, dan tujuh khalifah yang diakui oleh Zainal Abidin. Mengenai keimaman, pengaruh Syiah dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah dapat dari kemunculan Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husain, Muhammad Hanafiyah, dan Zainal Abidin. Kelima orang tersebut dipanggil dengan sebutan amirulmukninin panggilan amirulmukminin Amirulmukminin merupakan gelar yang diberikan kepada khalifah. Selain itu, Hikayat Muhammad Hanafiyah juga dipengaruhi oleh golongan Syiah Kaisaniyah. Hal ini ditunjukkan dengan menghilangnya Muhammad Hanafiyah—yang diyakini sebagai imam Mahdi oleh golongan Syiah Kaisaniyah—di gua. Pengkultusan terhadap Husain dan Muhammad Hanafiyah juga menjadi bukti pengaruh Syiah di dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Selain mengenai keimaman, bukti pengaruh Syiah dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah adalah sikap orang-orang yang memuliakan Husain dan kematiannya. Ratapan yang berlebihan terhadap kematian Hasan, Husain, dan para pengikutnya juga menjadi bukti adanya pengaruh Syiah di dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Selain itu, pengakuan Zainal Abidin mengenai tujuh khalifah termasuk Husain juga merupakan ciri Syiah. Dalam sejarah Islam, khalifah setelah Hasan adalah Muawiyah, bukan Husain. Akan tetapi, Muawiyah tidak dimasukkan ke dalam tujuh khalifah oleh Zainal Abidin. Anggapan bahwa Husain pengganti Hasan hanya diyakini oleh orang-orang Syiah. Akan tetapi, pengaruh Syiah dalam hal ini tidak begitu kuat. Memudarnya pengaruh Syiah tersebut ditunjukkan dari pengakuan terhadap kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman.
14 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Kepustakaan Ash-Shalabi, Dr.Ali Muhammad. 2012. Episode Krusial Sejarah Islam: Mu’awiyah bin Abu Sufyan. (Terj. Izzurdin Karimi, Lc.). Jakarta: Darul Haq. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jogjakarta: Badan Penelitian dam Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi. Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). Brakel, L.F. 1975. The Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. ______. 1988. Hikayat Muhammad Hanafiyyah. (Terj. Junaidah Saleh, Mokhtar Ahmad, dan Nor Azmah Shehidan). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Fatmasari, Rindias Helenamartha. 2010. ”Nomina Berafiks Pe-, Per-, Pe-,-an, dan Per--an dalam Naskah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Muhammad Hanafiyah, dan Hikayat Raja Pasai”. Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan. Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. Liaw Yock Fang, Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.). 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Muhadjir. 1992. Kedudukan Bahasa Melayu Naskah Betawi di Antara Bahasa-bahasa Melayu Lokal Lainnya. Laporan penelitian. Tidak diterbitkan. Rasjidi, Prof.Dr.H.M. 1984. Apa Itu Syi’ah?. Jakarta: Penerbit Media Da’wah.Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. (Terj. Kentjanawati Gunawan). Jakarta: RUL. Rovita, Dien. 2007. “Konstruksi Frase Nomina Milik dalam Naskah Hikayat Sri Rama, Hikayat Muhammad Hanafiyah, dan Sejarah Melayu”. Tesis Magister Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan. Subhani, Ja’far. 2009. Sejarah Nabi Muhammad saw. (Terj. Muhammad Hasyim, Meth Kieraha). Jakarta: Lentera. Sjalabi, Prof.Dr.Ahmad. 1971. Sedjarah dan Kebudajaan Islam. (Terj. Prof.Muchtar Yahya, Drs.M.Sanusi Latief). Jakarta: PT Djajamurni. Thabathaba’I, Allamah M.H. 1993. Islam Syiah: Asal-usul dan Perkembangannya. (Terj. Djohan Effendi). Jakarta: PT Pustaka Utama Graviti. Tim Penulis. 1998. Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Ali Hanafiah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penulis. 2012. Ensiklopedia Peradaban Islam Persia. Jakarta: Tazkia Publishing. 15 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014
Tim Penyusun. 1993. Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Data Naskah Naskah Ml. 184, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, tersimpan di PNRI
16 Ciri penulisan dan..., Selly Rizki Yanita, FIB UI,2 2014