Cintaku di Kampus Pencerahan Devi Purwo Khoirul Bakhri Leny Idris Lyna Idris Putri Nur Jannah Vivi Silvia
i
Cintaku di Kampus Pencerahan Klub Tullabul Hikmah Penyunting: Tim Tullabul Hikmah Tata Letak: Abu Rahma Desain Sampul: Andry Rachmadany Ilustrasi Sampul Depan: http://elephantjournal.com Foto Sampul Belakang: Klub Tullabul Hikmah ISBN: 978-602-99896-6-3 Cetakan pertama, 2014 Diterbitkan oleh:
UruAnna Books Jl. Rajawali 27 Punggul IV/05 Gedangan Sidoarjo, Jawa Timur 61254 Email:
[email protected] Copyright @ Klub Tullabul Hikmah All rights reserved Sitasi: Klub Tullabul Hikmah. Cintaku di Kampus Pencerahan. Sidoarjo: UruAnna Books, 2014.
ii
Daftar Isi Pengantar
[hal. iv]
Nyong ETIS Raja Kampus
[hal. 1-22]
Leny Idris Cinta KEPO
[hal. 23-36]
Vivi Silvia Instalan Cinta Anak Teknik
[hal. 37-52]
Lyna Idris Sweet Ocean
[hal. 53-58]
Khoirul Bakhri Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
[hal. 59-70]
Devi Purwo Akhir Penantian Cinta
[hal. 71-90]
Putri Nur Jannah Tentang Cerpenis
[hal. 91-92]
iii
Desain Kebudayaan Nyong ETIS Enam pegiat sastra di Klub Tullabul Hikmah (KTH) mengajak pembaca untuk kembali menyapa rasa. Satu dimensi kodrati manusia yang senantiasa menghausi cinta. Melalui kata yang bertali-temali membentuk cerita, keindahan dan kelembutan mereka lukiskan tanpa keangkuhan. Di pena enam mahasiswa Kampus Pencerahan ini, sastra menjadi sebuah jendela. Untuk melihat lebih luas dunia dengan penuh keinsyafan. Untuk menyelami lebih dalam makna dan hikmah di semesta pengalaman. Bahwa dalam keterbatasan, manusia selalu merindu kebahagiaan. Bahwa di kefanaan, manusia juga mendamba keabadian. Dan cinta adalah kuncinya. Kumpulan cerpen karya Khoirul Bakhri, Vivi Silvia, Putri Nur Jannah, Devi Purwo, dan duo kembar Lyna Idris dan Leny Idris, menjadi salah satu penanda bahwa pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA), tempat mereka belajar, memiliki desain kebudayaan yang tidak timpang. Cipta, rasa, dan karsa memiliki ruang tumbuh dan menubuh. Tanpa ketiganya menyatu, manusia tak akan pernah utuh. ‘Cintaku di Kampus Pencerahan’ kiranya patut dibaca sebagai awal langkah KTH menyapa estetika cinta. Selamat menikmati! Sidoarjo, 17/02/2014
iv
1
Leny Idris
Raja Kampus Leny Idris Kuawali cerita ini dengan sebuah pertanyaan. Apa yang ada di benak kalian tentang dunia kampus? Ada senang ada susahnya, ada ketawa juga banyak sedihnya. Apalagi yang nge-kost, hehe. Kalo SMA dulu masa-masanya juga bahagia seakan nggak ada habisnya. Ngaku deh! Sob, ini nukilan cerita dari seorang cewek yang baru ngerasain dunia kampus. Dunia yang diimpikannya sejak dulu, yang kini hariharinya diisi dengan cerita macam rupa. Rasanya juga nggak afdhol kalo nggak pake kata-kata pada suatu hari. So … Suatu hari di mana hasil tes ujian kelulusan SMA keluar. Eny dan teman sekelasnya mengadakan camping. Malam itu malam perpisahan dengan membuka tenda dan bermalam di bukit Ken Arok tepatnya di lereng Gunung Arjuna. Hawanya yang dingin menusuk tulang, ditambah gemerlap lampu yang dipancarkan dari jalan-jalan menuju Tretes Raya menambah suasana romantis. Wow! Dengan mendekat ke api unggun satu persatu bergiliran menyebutkan tujuan mereka setelah SMA. Begitu pula dengan gadis desa ini. Dia memimpikan dunia kampus, maklum saja, tak pernah menginjakkan kaki ke kampus sebelumnya. Dunia penuh cerita setelah cerita di SMA. Ada yang bilang kisah paling indah adalah kisah-kisah masa SMA. Tapi kampus nggak kalah kok dengan cerianya SMA. Jadi tetap baca ya. *
2
Raja Kampus
Apalagi yang ditunggu oleh anak baru lulus SMA di sebuah universitas kalo bukan masa-masa MABA alias orientasi mahasiswa baru. Kenalan baru, ilmu baru, tempat baru dan kakak senior yang biasanya agak berlagak, huahaa. Sayang saja, di hari yang ditunggu-tunggu para mahasiswa baru itu Eny terlambat untuk memasuki forum MABA yang kebetulan berada di belakang gedung A kampus 1. Maklum saja, ketika dia memilih untuk pindah ke Kota Udang dan menjadikan Kampus Pencerahan sebagai tempat belajar yang diimpikannya dia belum mempunyai tempat tinggal meski sekedar kost sepetak. Pagi-pagi buta dia berangkat dari Prigen. Kota wisata di mana hawa dingin dan kabut yang agak sedikit tebal menyelimuti pemandangan eksotisnya, mendekapnya dalam udara pagi. Berbekal peralatan MABA, dan nebeng pada paman yang kebetulan sopir tangki air yang biasanya mengirim ke daerah-daerah seperti Surabaya dan Madura. Yang tentunya melewati Kota Udang. Semangatnya menggebu dalam mengajak paman yang sangat dia sayangi untuk segera berangkat. Setelah semuanya siap, perjalanan calon mahasiswi dari Prigen itu terlaksana. “Nggak nyangka ya Nduk kamu bisa kuliah?” paman mengawali percakapannya. “Nggeh, berkat bantuan Paman,” hehe. Obrolan berlanjut dan tibalah di Kota ‘Lumpur Lapindo’, ban truk tangki paman Eny minta diganti. Bermodal dongkrak kecil berwarna merah rasanya agak lama untuk menggantinya. Wajah paman mulai terlihat panik, beliau memberi uang saku pada Eny agar naik Elf, bus mini yang sering beroperasi SurabayaMalang. Memberi arahan agar Eny tak kesasar. Santai saja pikirnya. Kampus ke-dua yang terletak di Kecamatan Candi sudah dilewati dan menuju kampus pertama yang tepat berada di depan RSUD Sidoarjo. Ternyata sang kenek bilang bahwa Elf tak bisa lewat depan kampus 1, ditambah macet panjang di jalan sebelumnya, Eny berpikir akan terlambat.
3
Leny Idris
Setelah diarahkan pak kenek dan naik becak ala tuan putri dengan pakaian hitam putih yang lewat masa pakainya, tibalah dia di kampus. Baju lawas bekas SMA itu tak membuatnya minder. Dan sesuai prediksinya, terlambat. Oh God. Meminta maaf pada kakak senior, wajib pikirnya, tapi kakak perempuan berwajah ayu itu tak kasih ampun dan malah mengantarnya pada pemimpin tertinggi ospek. Hadew. “Kenapa Nov?” kata sang ketua. “Ini Bang, ada yang terlambat. Juga tak membawa bekal nasi jagung, ikan tempe setebal 2 cm dan panjang 5 cm, plus sayur bening, sambal terasi. Dan nggak mau ngakuin kesalahannya. Juga banyak alasan,” timpal Novi dengan bibirnya yang super tipis itu. Eny tahu nama Novi dari name text yang dipakainya. “Bener?” tanya ketua pada Eny. “Tapi Kak, itu macet dan ...” “Kak Dimas, ke sini sebentar!” seorang cewek semampai dengan almamater merah memanggilnya dari kejauhan. “Sebentar!” celetuknya, “oh iya Vi, suruh Eny minta tanda tangan ketua di setiap fakultas,” kata Dimas sambil melirik name text Eny tanpa harus tertangkap basah. Setelah diantar Novi dengan gaya imutnya, Eny merasa hukuman sudah selesai. Hm, ternyata kurang satu tanda tangan lagi dari ketua Fakultas Sastra Inggris. Dan dia malah menyuruh Eny menyanyikan sebuah lagu di depan para MABA agar bisa mendapat tanda tanggan darinya. Eny sadar bahwa suaranya nggak semerdu burung Camar. So, jurus terakhir, dia hanya bisa menyanyikan lagu ‘Burung Kakak Tua’. Kalau biasanya anak muda menyanyikan lagu kasmaran, dia malah menyanyikan lagu bersejarah baginya semasa dulu di TK. Setelah semua tanda tangan terkumpul, Eny kembali dengan Novi ke hadapan si ketua. “Waduh, siap-siap mental nih,” pikir Eny.
4
Raja Kampus
“Bang, ini sudah selesai,” kata Novi. Sambil memberi tatapan mesra pada sang ketua yang hanya bisa dilihat dan dirasakan di mana orang-orang berada dalam ranah Roman Picisan. ”Tatapan lebay,” gumam Eny dalam hati. “Sudah ya?” senyum simpul Dimas dengan gigi seri bagian atas terlihat dan sedikit terjadi kontak mata dengan Eny. “Nov, minta tolong antar Eny kembali ke fakultasnya,” Dimas menutup kalimatnya. Waktu menunjukkan pukul 11.30. Matahari hampir mendekat ke ubun-ubun. Saatnya istirahat dan tentunya ada makan siang dari kakak senior. “Lama banget ngasihnya mbak Novi, keburu laper,” kata Tiyas, teman baru Eny yang masih dalam satu fakultas. “Iya, fakultas lain udah, kalian ditelantarkan. Hehe,” tambah Gita. Eny hanya bisa menyeletuk dalam hati. Waktu itu dia melihat Novi dan Dimas bersama kerumunan cewek-cewek berada di lobi. Mereka bagai hape yang baru di-cas dan banyak tenaga untuk ketawa-ketiwi. Nggak ngerasain kelaparan sepertinya. Eny udah males ngomong apapun karena kehabisan tenaga. Dan udah gak gereget terhadap mereka berdua, Dimas dan Novi. Tiba-tiba keluar suara dari bibir mungilnya, “Siapa sih cowok itu? Kayaknya semua wanita pengen dekat dengannya.” Sambil mengunyah satu-satunya permen karet yang sudah hilang rasa manisnya. Gita, anak Fakultas Sastra Inggris asal Kediri itu membenarkannya. Karena teman-temannya juga sedang menjadikan Dimas topik yang lagi hot di MABA fakultasnya. Tiga bulan berjalan, Gita dan Tiyas menjadi sahabat baru sekaligus saudara Eny. Mendesain tempat kost yang sederhana tapi nyaman adalah kerjaan ketiganya. Dan di tengah matahari mulai menggelincir ke langit Barat dan menampakkan rona merahnya, Gita mencoba menggelitik Eny dengan ucapannya.
5
Leny Idris
“En, inget nggak dulu waktu ospek kamu penasaran sama siapa?” kata Gita. “Nggak ada.” “Inget Dimas?” “Nggak,” dengan singkatnya. “Dia Sang Raja Kampus. Semua orang hampir menggenalnya. Mahasiswa aktif Jurusan Sastra Inggris. Hampir semua kegiatan dilakoninya. Dia bukan hanya sekedar keren dengan brewok tipisnya dan gaya rambut yang rapi. Dia sang motivator bagi temantemannya. Pebisnis muda rada A.G.A.M.I.S. Teman-temanku bilang dia cowok metropolitan. Gayanya yang so cool ditambah keintelektualannya, plus gaya komunikasi yang charming membuat mahasiswa yang beken sampe yang nggak beken kenal dia. Anak BEM bangetzz! Aku yang agaknya tidak tahu dipaksa tahu oleh teman-teman, JOKER pula.” “Apa itu?” “JOMBLO KEREN. Dia anak kesayangan dosen, tapi dia punya masa lalu kelam dengan mantan kekasihnya.” “Terserahlah,” kata Eny. Dengan meminum wedang susu plus jahe buatannya sendiri. Sementara itu Gita bagai seorang penyiar radio yang membaca naskah. Lidahnya bagai samurai yang diasah dan dimainkan dengan lincahnya. Di lain waktu Eny punya acara untuk menyebar pamflet di gedung sebelah sendirian. Fajar pagi mulai menyingsing, menantang angkuhnya dunia. Ternyata si doi duduk di balkon kampus lantai 2 jam 7 hari Kamis. Kamis berikutnya Eny melihatnya lagi tepat jam 7, karena waktu itu Eny ada janji dan mampir di gedung sebelah. Harihari Kamis selanjutnya bisa dipastikan si doi berada di balkon kampus lantai 2. Setiap hari Kamis jam 7 menghadap ke Timur. Padahal jadwal kuliahnya jam 8 baru dimulai. Loh kok tahu? Iya, info dari jasus alias mata-mata.
6
Raja Kampus
* Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik Eny untuk mengetahui siapa Dimas. Ya, awalnya biasa-biasa saja, hanya untuk membuat cemburu para bidadari yang ingin menggapai Raja Kampus dan sayapnya patah di tengah jalan. Especially Novi kakak kelas bertampang ayu yang menghukumnya pada hari MABA. Karena Eny tahu bahwa Novi dan beberapa teman mengincarnya. Terbukti Gita sempat curhat, dia menjadi salah satu peserta “Jika kamu audisi dalam mendapatkan tak dapat meraih sesuatu si Raja Kampus. Hadew! dengan berlari, maka Cinta memang tidak eksak, tapi soal rasa. berjalanlah. Dan jika kamu
tak mampu berjalan, maka merangkaklah. Tapi jangan pernah kamu diam atau justru berjalan mundur.”
Dimas ini kalau dari jauh orangnya mengumbar senyum alias tebar pesona, tapi kalau didekati bawaannya serius. Faktanya pada saat sosialisasi kegiatan jurnalistik yang dia gawangi. Tapi apa selamanya dia begini? Tunggu lanjutan kisahnya. Hehe. Waktu masuk kampus, Eny diminta mengisi kolom beberapa kegiatan ekstra yang akan diikutinya dan dia memilih Jurnalistik. Cewek penggila baca dan nonton film aksi spesial Jackie Chan itu ternyata suka nulis. Dan pernah dikirim mengikuti lomba KIR alias karya ilmiah remaja di sekolah lawasnya, tapi nggak menang. Meski begitu, pantang baginya mundur. Sebagaimana nukilan kalimat indah yang dibacakan kakek tercintanya. “Jika kamu tak dapat meraih sesuatu dengan berlari maka berjalanlah. Dan jika kamu tak mampu berjalan, maka merangkaklah. Tapi jangan pernah kamu diam atau justru berjalan mundur.”
7
Leny Idris
Kukunya yang berwarna merah muda tanpa dicat menandakan dia seorang yang ambisius. Sudah beberapa minggu ekstrakurikuler Jurnalistik berjalan. Hari itu, usai kelar kegiatan Eny menunggu Ira dan Mina di luar ruangan. Tepatnya di PUSKOM, Pusat Komunikasi, tempat yang biasa didatangi Raja Kampus. “Mereka nggak keluar juga,” gumamnya. Sambil menyandarkan kepala di tembok luar kelas, Eny melihat si doi alias Dimas keluar ruangan dengan jaket putih dan senyum simpulnya menyapa Eny. Tumben bangetzzz, tak ayal Eny memanfaatkan momen tersebut dan mengajaknya berjalan di koridor ruanggan dengan menunggu Ira. Bagai tak pedulikan yang lain, dan memang kampus sedang sepi. Dimas dan Eny bercakap-cakap. “Kak, saya mau pinjam buku sama Kakak. Boleh ya? Hm, bukannya seseorang itu dilihat dari buku apa yang dia baca dan siapa temannya kan?” menggunakan cara tahun 70-an yang masih eksis untuk dekat dengan seseorang. Kalau kata anak jaman sekarang: MODUS! Hehe. “Ya bener banget!” timpal Dimas. “Saya boleh minta nomor hape-nya?” Malunya nggak ketulungan karena itu pertama kalinya meminta nomor laki-laki, dengan menyodorkan buku dan pulpen. Karena kebetulan Eny tak membawa hape bututnya yang berlayar bagai minuman bersoda kuning tanpa gelembung. Tiba-tiba seseorang lewat dari belakang mereka dan memecah suasana. “Bang, mau mengembalikan buku.” Siapa lagi kalau bukan Novi. Tatapan sinisnya pada Eny masih dirasakan hingga kini. Tentulah Novi mengikuti Jurnalistik karena ada Dimas sang penyemangat semunya. Cowok koleris setengah sanguinis penggila Ippo Santosa dan Kahlil Gibran itu meminjami Eny sebuah buku yang tak didapatkan
8
Raja Kampus
sebelumnya. ‘Sayap-Sayap Patah’ yang ditulis oleh Kahlil Gibran. Seorang penyair, filsuf dan pelukis yang berasal dari Lebanon. Di hari lain, klub jurnalistik ada acara di taman kota. Terdengar ringtone Woody Wood Packer, dilihatlah hape Eny yang mendapat sms dari orang yang di tunggu-tunggunya. “En, kamu datang hari ini?” “Iya, apa Mas datang? saya sudah menunggu cukup lama,” dengan mendekap buku yang dipinjamnya dari Dimas dan teman-teman di sekelilingnya. Ada sebuah pesan di hape-nya, ternyata Dimas menjawab. “Maaf saya agak sibuk.”
Tanpa jawaban apapun dari Dimas, sedih menyelimuti hati Eny. Awan yang tadinya cerah kini mengikuti hatinya yang ingin menangis.
“Iya saya mengerti, sampai ketemu,” agak kecewa dengannya. Tanpa jawaban apapun dari Dimas, sedih menyelimuti hati Eny. Awan yang tadinya cerah kini mengikuti hatinya yang ingin menangis. Ternyata setengah jam sebelum acara ditutup Raja Kampus datang. Dan iapun berubah menjadi sosok melankolis yang romantis, that’s a surprise for her. Dia datang bersama mas-mas yang meminta Eny menyanyi waktu MABA, sebut saja Priyo. Senyum yang melayang dari bibir Dimas masih terlihat jelas di pelupuk mata Eny. Dengan jaket coklat menyelimutinya, dia duduk di sebelah pojok dekat dengan Priyo. So surprised, pikir Eny. Dia tahu Dimas sangat sibuk, masih mengurusi surat-suratnya. Menjepit yang satu ke bibirnya, mengutak-atiknya. Tapi dia tetap datang. Hehe. Novi dengan gayanya yang manja menyapa Dimas, menanyakan pada priyo kenapa mereka terlambat. Dan Eny hanya mampu diam membisu setelah menerima surprise berupa kedatangan Dimas. Eny tak menyangka sebelumnya dia akan datang.
9
Leny Idris
Malampun menjelang. * Detik berlalu begitu cepat, menembus batas ruang dan waktu Impian indah mulai terukir dalam kalbu Menggeliat dengan manja Agungkan dia sang pujangga Seketika hati berbisik ... Pagi yang cerah, kabarkan padannya Raga ini selalu merindunya Angin, tebarkan serbuk cinta yang telah kami rangkai Senja di ufuk barat yang memerah, katakan padanya Engkau yang terindah di antara yang indah Tak mampu ku bohongi hati ini Yang selalu menanti mentari Aku berharap yang terbaik untukmu dan untukku, selamanya. Kusadari ataupun tidak, dirimu bukanlah seperti narasi yang mudah kupahami.Tapi seperti bongkahan-bongkahan bagan yang perlu penjelasan. Dan dirikupun takkan pernah tahu kapan bagan itu akan dibedah sehingga kutahu isinya. Engkau mempersulitnya dan menjadikanku tertuduh atasnya. Bak pujangga yang akan menuturkan lisan manisnya. Kudengar gaunganmu di setiap sudut kerajaan mahasiswi-mahasiswi beken di kampusku. Mereka menjadikanmu air di tengah sahara, menjadikan syairmu hangat di kutub Utara, menjadikanmu purnama yang takkan pernah padam. Selalu kutanyakan siapa dirimu wahai Bintang Fajar? Kamu akan menjadi Bintang Fajar di hadapanku, dan akan menjadi lebih terang lagi seperti matahari ketika kudengar tentangmu di hadapan mahasiswi-mahasiswi itu. Yang menuturkan terangnya dirimu dan manisnya tutur katamu. Bak angin pagi yang membelai kalbu, semua mata tertuju padamu ketika
10
Raja Kampus
engkau mulai melantunkan barisan kata yang ada dalam benakmu. Siapa dirimu Bintang Fajar? Hingga kutunggu jawabanjawaban itu datang kepadaku tanpa kuminta. Merekalah yang akan mengumpulkan serpihan-serpihan puzzel akan dirimu di hadapanku. Merekalah yang akan menarasikan siapa dirimu. Dan aku hanya mampu diam membisu, merekam kata-kata mereka dan meletakkannya pada bingkaian-bingkaian puzzel. Akankah dirimu sesuai dengan yang mereka narasikan? Mungkin kuhanya bisa melihatmu dari ketinggian gedung ini. Mendengar sapaanmu di satu sudut kampus yang hanya bisa kubalas dengan senyum renyah, seakan kita tak pernah mengukir kata dengan hitamnya tinta. Kubiarkan ini mekar dan menguncup dengan sendirinya. Kutunggu sampai waktunya. * MUNGKIN itulah beberapa bait goresan diary Eny yang hanya bisa melihat orang yang dia kagumi melalui ketinggian gedung di mana tempatnya belajar. Yang dibatasi dengan sepotong kaca sedikit tebal. Siang itu memang jadwal Dimas dan Priyo untuk pulang kuliah.
Kusadari ataupun tidak, dirimu bukanlah seperti narasi yang mudah kupahami. Tapi seperti bongkahanbongkahan bagan yang perlu penjelasan.
Tak sengaja Eny mendongakkan kepala keluar jendela karena udara dingin dan mendung yang berliku menghampiri. Dia hanya bisa tersenyum melihat Raja Kampus yang kebetulan sedang berada dalam kantin berbalut jaket kulit coklat dan membaca lembaran-lembaran seperti surat .
Eny ingin mendapat semua informasi mengenai Dimas. Wajarlah ketika mengagumi seseorang, sang pengagum ingin
11
Leny Idris
mengetahui semua aktivitas TO-nya, mengetahui buku-buku yang dibacanya, ingin dekat dengannya dan semua tetek-bengeknya. Dia mendekat pada Priyo, teman seangkatan Dimas yang menyuruh Eny menyanyi di depan MABA. Dia sang melankolis yang romantis, pendiam, namun ketika beretorika semua orang terpana. Priyo dan Dimas mereka bagai saudara kembar, di mana ada Dimas ada Priyo. Cowok pecinta alam yang memiliki wajah eksotis nan karismatik. Si hitam manis yang mengidolakan Van Diesel dan Will Smith itu menaruh simpati besar pada Eny. Dan mereka sering bertemu di Perpus. Momen dimana informasi gratis tentang Raja Kampus bisa diraupnya. Priyo yang kalau sudah baca nggak tahu waktu dan telat makan itu, mempunyai impian untuk membuat sebuah buku dengan Eny. Sayang saja belum terwujud hingga kini.
Dia sang melankolis yang romantis, pendiam, namun ketika beretorika semua orang terpana. Priyo dan Dimas mereka bagai saudara kembar, di mana ada Dimas ada Priyo.
Sudah beberapa pertemuan Dimas tak pernah datang. Raja Kampus yang punya impian menjadi motivator itu sibuk dengan pelatihannya. Waktu itu Eny duduk bersandar di lantai 2. Terlihat Dimas keluar dengan teman-temannya. Hm, parfum khasnya itu! Sekejap melihat Eny, teleponnya berdering. Menuruni tangga adalah tanda kalau dia akan pulang dan tak ikut jurnalistik hari itu. “Oh jangan berharap En,“ katanya dalam hati. Setelah Eny, Priyo dan kawan-kawan memasuki ruang jurnalistik dan duduk manis. Dimas membuka pintu. Eny terkejut sekaligus bahagia akannya. Kegembiraan terbit dalam senyuman dan Gita bilang, “Seneng banget kamu sis lihat Dimas?”
12
Raja Kampus
“Enggak kok, cuma seneng banyak yang ikut,” hoho, ngeles rupanya. Yang membuat amazing lagi, ternyata Dimas satu kelompok dengan Eny. Oh, kakak kelas ini memang menjadi idolanya, an amazing trainer, katanya. Dan Novi hanya bisa merengek kecil bagai jangkrik. Di malam yang lain, ketika penat menghampiri, Eny mendengar suara handphone dengan ringtone Woody Wood Packer, hape baru dari paman tercintanya. Dia dapati sebuah message dari Priyo. Dia mengajaknya untuk mengikuti seminar Bahasa Inggris yang diadakan fakultasnya. Kebetulan dia mencantumkan contact person atas nomornya sendiri karena memang dia ketuanya. Setelah hampir setengah jam, Eny mendapat sms yang sama dari Dimas dengan isi yang sama. Cuman bedanya dia mengganti contact person atas namanya. Yang pertama mungkin contact person Priyo dan ketika Dimas yang mengirim dia mencantumkan contact person miliknya sendiri. Hm. Tanpa pikir panjang Eny mendaftarkan namanya langsung di keduanya, Dimas juga Priyo. Hadew. “Biar saja mereka mendaftarkan satu nama dalam satu waktu,” pikirnya. Jahat banget. Keesokan harinya, tepat hari Sabtu. Eny rela memangkas jadwalnya dengan orang lain hanya untuk mengikuti seminar yang mereka berdua tawarkan. Sesampainya di kampus bersama temannya, Tiyas, ternyata Tiyas harus menyelesaikan ulangan dadakan dengan dosen killer. “Oh God, ada ulangan dadakan,” pikir Eny. Dengan segala upaya Tiyas nggak akan bisa keluar kelas tanpa menyelesaikan ulangan tersebut. Dengan putus asa Eny menaiki anak tangga lantai 3 kampusnya untuk registrasinya dan Tiyas. Tepat di depan mata Eny. Sesosok laki-laki yang ingin dia temui waktu itu. Dia tak melihat kearahnya karena kebetulan dia sedang
13
Leny Idris
berbincang-bincang dengan teman-teman si cowok. Siapa dia? Wait! Priyo duduk manis di depan meja registrasi bersama beberapa teman. Ketika Eny menghampirinya dia tersenyum manis dan mencoba mencari nama Eny dalam daftar hadir yang terletak di depan meja tamu. Dan sesosok laki-laki tadi menghampirinya. Yap, itulah Raja Kampus. Keduanya terlihat begitu mempesona dengan balutan hem hitam dan celana hitam ditambah asesoris dasi berwarna merah, serta sebuah jam tangan yang menempel di tangan kirinya. Tapi Eny tak bisa memungkiri, dia sedih hari itu karena Tiyas terjebak ulangan dadakan. Eny menuju lantai 2 untuk melihat Tiyas. Keduanya heran kenapa Eny turun ke lantai 2 dan tak memasuki ruangan seminar setelah registrasi. Setelah lebih dari setengah jam Tiyas tak keluar bahkan satu jam kemudian, pipi Eny basah oleh butiran-butiran hangat airmata. Kita tahu airmata hangat disebut tangisan kesedihan, sementara airmata dingin dinamakan tangis kebahagiaan, hoho. Eny melihat lagi ke dalam kelas, berharap Tiyas akan keluar. Ya, Tiyas beranjak dari tempat duduknya. “Syukurlah Tuhan,” gumam Eny. Tapi apa yang terjadi, Tiyas beranjak hanya untuk mengambil pulpen yang jatuh. ”Oh tidak, harus berapa jam lagi?” kata Eny. Waktu itu kampus ada pertunjukan pentas seni yang diadakan anak-anak PGSD. Kebetulan Eny sedih dan ada salah satu dosen menyanyikan lagu ‘Someone Like You’. Lagu yang sangat digandrungi Dimas, yang biasa diputarnya di sela-sela aktivitas jurnalistik. Mungkin untuk mengenang kekasih lawasnya. Hm, tambah nangislah Eny. Tepat di atas jendela kelas dan untungnya jendela itu ditutupi pepohonan rindang yang tak begitu terlihat. Menengok kembali Tiyas yang masih di kelas dan kali ini dia memang sudah selesai.
14
Raja Kampus
“Lho kenapa nggak masuk?” kata Tiyas. “Nggak, kita pulang ajah, ini sudah jam 10.30 dan nggak mungkin kita ikut seminar mereka.” “Nggak, pokoknya kita harus ikut. Aku janji kalau ada seminar yang mereka adakan aku nggak akan telat lagi.” Mungkin karena merasa bersalah Tiyas tetep keukeuh untuk mengikuti seminar yang diadakan Priyo dan Dimas. Horee! Setelah Tiyas dan Eny naik ke lantai atas mereka melihat Priyo yang masih duduk di tempat registrasi. “Mas masih boleh masuk,” tanya Eny pada Priyo. Itulah mereka, seperti orang yang nggak pernah kenal kalau ketemu, kecuali di Perpus. “Ya masih boleh, silahkan,” timpalnya. Eny rasa Dimas bagian dokumentasi. Waktu itu dia membawa sebongkah kamera dan tentunya memfoto mereka para peserta seminar. “Kalo kamu sadar, Dimas dari tadi lihat kamu ajah,” kata Tiyas pada Eny. “Ah kamu,” gumamnya. “Serius!” kata Tiyas berbisik. Mungkin ini yang paling mengesankan setelah tadi menangis ria karena sempat ada trouble. Hadew. Waktu Eny menunggu Tiyas di depan tangga lantai 2. Dia bertemu Wulan. Teman satu jurusan Eny sekaligus teman Dimas di Pecinta Alam. Mereka sempat berbincang-bincang dan berkenalan dengan beberapa teman Wulan dari Pecinta Alam. Ternyata Dimas memfoto mereka dari kejauhan. Setelah Tiyas datang dan berbincang sedikit, tiba-tiba Raja Kampus berdiri di samping Eny tanpa Eny sadari. “En, bisa ngomong sebentar?”
15
Leny Idris
Wuss, semua mata terperanjat melihat Dimas menghampiri Eny. Ya, mungkin kalian pikir Sang Raja Kampus sedang menghampiri Si Upik Abu. Wulan yang satu organisasi dengan Raja Kampus juga kaget melihat Eny yang dihampiri Dimas. Kok mau-maunya anak keren di kampus bertemu Upik Abu. But, that’s real, Beibeh! “Kemarin Pak Teguh dari Turki,” ia mengawali kalimatnya. Terpaksa Eny meninggalkan perbincangan dengan Wulan dan kawan-kawan. “Oh ya?” kata Eny dengan malu-malu. Dan Tiyas sangat geram melihatnya. Bukan karena dia cemburu, tapi Tiyas sudah mengingatkan Eny jauh-jauh hari untuk meninggalkan 2 makhluk: Dimas dan Priyo. Meski hari ini dia terpaksa menghadiri seminar Pernahkah engkau keduanya karena Eny merayunya. “En aku pulang duluan ya?” kata-kata itu keluar dari mulut Wulan sambil melambaikan tangan tanda perpisahan pada Eny. Disusul kata-kata serupa dari Tiyas. Eny langsung panik, “Tunggu bentar Yas!” Karena kegeramannya dia menuruni anak tangga perlahan menjauh dari Eny.
merasa waktu seakan berhenti, namun setelah itu tiba-tiba berputar secepat kilat dan engkau mencoba menghalanginya? Itulah yang Eny rasa.
“Tangisan dan tawa, serta riang canda. Berjuta mimpi dan harapan. Tak pantas kamu berikan padanya, En. Kamu juga harus siap ditikam pisau belati yang beracun, yang menyayat hati dan meremukkan jantungmu,” batin Tiyas. Tiyas teman curhat Eny. Mengetahui kalau Eny mengagumi Dimas dan Priyo. Seketika itu dia mengobrolkan pada Ari tentang keduanya. Cowok penuh sastra dan humoris itu melantunkan beberapa baris kata,
16
Raja Kampus
“Agungkan saja pujangga gedung sebelah. Dan jangan pernah mengatakan SHOCK, jika kamu mengetahui siapa dua pujangga Sastra Inggris itu.” Sementara itu Dimas masih di hadapannya. Pernahkah engkau merasa waktu seakan berhenti, namun setelah itu tiba-tiba berputar secepat kilat dan engkau mencoba menghalanginya? Itulah yang Eny rasa. Orang sekeren Dimas menghampirinya di tengah hiruk pikuk banyaknya mahasisiwi-mahasiswi beken nan elok. Hal ini memang agak tak biasa menurutnya. Dan hari itu tepat di sudut kampus Dimas memulai perbincangan dengan renyah setelah lama tak berjumpa. Eny memang sempat tak masuk jurnalistik hampir 3 bulan. “Kamu masih menulis En?” “Udah nda’ Mas.” “Kenapa? Kamu berbakat lho,” dan bla bla bla. Wajah panik Eny mulai terlihat. “Aku harus meng-cut perbincangan ini,” bisik hatinya sambil memegang tali tasnya kuat-kuat tanda kalau dia sedang gugup. Yup, karena banyaknya mata yang tertuju pada Eny dan Dimas. Meski seandainya tak demikian, tentu Tuhan sedang melihatnya. “Mas, pamit dulu ya?” “Iya,” Dimas menyadari wajah panik Eny. “Oh ya En, tadi udah kucoba untuk memisah tempat duduk cewek dan cowok.“ Sebuah kalimat untuk menahan kepergiannya. “Sip!” sambil mengacungkan jempol Eny mencoba menatap Dimas, “memang itu tugas panitia.” Anak tangga pertama mulai Eny turuni, ternyata Dimas masih menatapnya. “Bagaimana dengan persiapan haji bapak ibu?” dengan menoleh ke Dimas.
17
Leny Idris
“Insya Allah lancar,” Eny pun mempercepat langkah menjauhinya. Apalagi dilihatnya, Novi sedang menatapnya dari kejauhan. Eny sadar ketika dia datang ke acara-acara Dimas dan Priyo dia merasa bisa mengendalikan diri dan pandangan. Tapi apakah bisa dia mengendalikan hatinya? * Tak terasa, perkenalan Dimas, Priyo dan Eny sudah agak lama. Siang itu Eny googling bahan presentasinya, membuka jejaring sosial adalah agenda ke-dua. Tiba-tiba di obrolan muncul sapaan salam dari sebuah akun yang bernama Dimas Prasetya dan baliklah Eny menjawab salamnya. Sampai tibalah Dimas mengirim sebuah pesan. “En, aku ingin sharing dengan kamu.” “Tentang apa? Cinta, ekonomi, politik apa yang lain?” jawabnya dengan penuh canda. “Aku pengen mendalami Islam dengan kamu.” Weitzz, modus apa modus? Hehe, mengunakan kata modus kan nggak harus di kantor polisi saja. Setuju! “Sungguh Mas?” “Iya Dik.” manggilnya adik.
Waduh,
“Soalnya saya sedang belajar juga,” imbuh Eny.
Eny mulai mengkaji Islam dengan intens dan menyadari bahwa dia butuh itu. Islam mampu menjawabi semua pertanyaan yang ada dalam hidupnya.
Tanpa pikir panjang Eny membalas, “Bagaimana kalau ketemu ustadz saya?” tanya Eny pada Dimas. Apa yang terjadi, Dimas nggak membalasnya. TANDA NGGAK SERIUS. Akhir-akhir ini Eny jarang untuk ikut klub jurnalistik. Perubahannya makin terlihat di mata Raja Kampus.
18
Raja Kampus
Eny mulai mengkaji Islam dengan intens dan menyadari bahwa dia butuh itu. Islam mampu menjawabi semua pertanyaan yang ada dalam hidupnya. Memakai kerudung dan jilbab, misalnya. Di tengah salah arti khalayak umum akan keduanya yang menyamakan makna kerudung dan jilbab. Mau belajar bareng Dimas tentang Islam? Ingat nggak ada istilah ikhtilat alias campur bawur apalagi khalwat yang ber-duadua-an saja. Mau berdakwah langsung ke Dimas? BUMBATA alias buka mata buka telinga, girl! Dia bukan wilayahmu, karena cowok dengan cowok. Cewek ya dengan cewek-lah. Meski beban dakwah nggak akan tergantikan ke pundak siapapun. Ada rasa senang ketika Eny bisa dekat dengan Dimas dan Priyo. Tapi di sisi lain, ada perasaan carut-marut dalam hatinya. Rasa nggak tenang, resah bin gelisah. Apakah ini imbas dari kemauan atau keinginan untuk melakukan hal-hal yang menyelisihi syariat Tuhan? Oh, God! Ya maklum, kadang rasa ketar-ketir menghampirinya pas lagi lihat Priyo dan Dimas. Hoho, nggak bisa ngeles deh. Apa calonnya di masa mendatang juga sedang curi pandang dengan wanita lain? Gawat! Setan sedang menggoda Eny untuk melihat jejaring sosial Dimas. Setiap bingkaian foto yang ada di jejaring sosialnya selalu dengan gayanya yang cool, calm, and nice. Teduh melihatnya. Selalu meletakkan tangan di sakunya, bukan karena takut duitnya hilang, tapi gayanya mbak benk. Eny awalnya memang biasa-biasa saja dengan Dimas dan dia mengira Dimas nggak akan mau pacaran. “Buanglah jauh-jauh kekaguman sebelum sakit berlebih atasnya. Karena kakak kelas yang SP alias super perfect itu masih mau pacaran,” gumamnya dalam hati setelah melihat foto Dimas bersama teman kampusnya. Ya, tinggal menunggu booming-nya Raja Kampus dan cewek misterius itu.
19
Leny Idris
Dyiengg! Kasak-kusuk itu berselang 2 minggu dan setelah itu surut. Gosip terbarunya, ternyata Raja Kampus nggak menjalin kasih dengan siapapun. Hadew-hadew-wae, penting nggak sih? Tapi Eny akui, Raja Kampus memang nggak mau pacaran. Bukan karena Tuhan, tapi takut fans-fansnya pada lari. Salah satu alasan selain dia orang yang nggak bisa Move On. Sungguh? Keinginan Dimas untuk belajar Islam tumbuh kembali itu modus atau …? Nggak tahulah! Di setiap diskusi jurnalistik dialah yang “we must be bla bla bla.” Wuih, Islami banget. Dia ingin tim jurnalistiknya lebih Islami. Karena dia bukan wilayah Eny, saat malam menjelang dia mengirim sms pada Dimas. “Saya melihat Mas sangat ingin dan tertarik mendalami Islam. Dan jika mungkin, Mas bisa diskusi lebih intens dengan menghubungi Ustadz Asrul.” Eny menawari Dimas kembali. Kebetulan istri Ustadz Asrul adalah guru mengaji Eny dan biasanya ada diskusi terbatas di rumah beliau. Eny yang dari orang awam pemikirannya agak berubah ketika mengenal Islam. Ringtone berbunyi tanda balasan darinya. “Dimana dik, mulai kapan?“ “Di daerah el-putra dekat MoL, no hape beliau 081xxxxxxxxx. Bismillah, semoga setiap langkah bernilai pahala.” Dan Eny tak ingin membalas smsnya lagi, karena baginya sudah memberitahu Dimas orang yang tepat. Dengan agak malu Eny menanyakan Dimas pada Bu Asrul. Ternyata dia tak datang di hari yang ditentukan untuk diskusi. TANDA NGGAK SERIUS. Ya sudahlah, “Kamu nggak salah En,” gumamnya dalam hati. Awalnya Eny menduga Dimas serius bukan karena siapa pun, tapi murni ingin belajar. Begitulah di setiap kehidupan terkandung pilihan dan itulah pilihan Dimas. Seperti biasa, Eny selalu menyempatkan diri untuk ke perpustakaan kampus. Entah itu cari buku, mencari suasana untuk
20
Raja Kampus
membaca atau merangkai kata untuk presentasi. Sambil membuka notebook kecilnya dia mencoba mengatur irama jari jemari di atas keyboard dan mencurahkan sedikit pemikiran untuk tugas kuliahnya. Tiba-tiba dia mendengar suara yang sangat dikenalnya dari belakang tempat duduk. Dia tak berani untuk memalingkan wajah ke arah suara yang sangat familiar itu dan mungkin tak akan pernah. Tapi rasa penasaran mengoyak pikiran, apakah benar sosok suara laki-laki itu adalah seseorang yang ada di benaknya? Perlahan Eny beranjak dari tempat duduk, maju mengarahkan kaki yang lembut pada rak-rak buku yang ada di depannya, tanpa melihat ke belakang sedikitpun. Perlahan tapi pasti. Hehe. Dia ingin memastikan suara itu. Dan mulailah memilih buku-buku dalam rak serta melihat dari bilik tumpukan buku-buku sosok mempesona yang selalu menginspirasi. Dimas, ternyata benar apa yang ada dalam benaknya. Karakternya yang tenang, suaranya yang rendah, bicaranya yang lambat dan kehalusan senyumnya yang penuh cinta menipu diri. Melihatnya dari tumpukan buku-buku itu mungkin membuat Eny senang sekaligus sedih. Dia sudah berusaha membuang jauh-jauh perasaan kagum, tak mendatangi acara-acara yang diadakannya, tak melihatnya dari gedung tempatnya belajar, hingga dia keluar dari tim jurnalistik. Eny mungkin bisa menjaga sikap di depan Dimas, tapi apa bisa dia menjaga hatinya dari Dimas ataupun Priyo dan dari koridor-Nya ketika dia selalu bersamanya. Eny memutuskan untuk cepat-cepat keluar dari Perpus. Menoleh sedikit pada Dimas dan mereka tak mengucapkan sepatah katapun, hanya anggukan dan senyum renyah dari Dimas yang dibalasnya dengan anggukan dan senyum perpisahan. Ketika Eny mengambil tas, Dimas beranjak dari tempat duduknya. Dia akan keluar perpus rupanya. Seketika itu Eny cepatcepat mengambil tas dan botol minum di tempat penitipan barang. Dia takut sekali ada kontak dengan Dimas. 21
Leny Idris
Terdengar kembali suara Woody Wood Packer itu, tanda deh kalo hape Eny menerima sms. Ternyata dari Murli, teman kampus yang baru-baru ini menikah. Dibaca perlahan sms itu. Untukmu saudaraku, sudah saatnya engkau malu pada Tuhanmu tentang rasa cinta yang tak halal untuk dirasa. Tentang angan yang tak pantas dibayangkan. Karena semua itu sebuah pengkhianatan pada-Nya dan juga pada seseorang yang kini sedang menjaga hatinya untukmu. Ketahuilah, di sana ada insan yang setia menundukkan pandangannya untukmu, yang menghijab hatinya, yang menunggu dengan mengisi harinya penuh doa terbaik untukmu. Ia yang tak pernah ingin mengenalmu sebelum halal atasmu. Karena dengan itu ia menjagamu. Maka dengarkanlah saudaraku, tak inginkah engkau menghargainya dengan berbuat seperti apa yang ia perbuat untukmu? Menundukkan hati dan pandanganmu untuknya sampai datang waktunya? Sms itu menampar hati dan pikirannya. Betapa malunya dia pada Allah, Tuhan langit dan bumi. Menjadikan pikirannya berargumen beberapa waktu. Seakan terjadi perdebatan sengit dalam kalbu. Dan semuanya luluh karena kebenaran itu memang benar sesuai fitrah manusia, memuaskan akal serta menenangkan hati. Manusia dengan segala potensinya, berupa naluri eksistensi, cinta dan ke-Tuhan-an, diatur dalam Islam yang sempurna. Islam tak melarang adanya rasa kagum dan cinta, karena Allah memang menganugerahkannya pada kita. Tapi Islam yang sempurna mengatur bagaimana memenuhi rasa cinta dan kekaguman itu. Terucap darinya, “My Lord, The Owner of my Soul, guide me.”
22
23
Vivi Silvia
Cinta KEPO Vivi Silvia Jarum jam panjang menunjuk angka sembilan, sementara yang pendek menunjuk angka satu. Seorang anak perempuan berumur sembilan belas tahunan tergesa-gesa bagaikan tengah berlomba memperebutkan Piala Dunia. Kedua tangannya dengan cekatan mempersiapkan segala keperluan ospek bak penjual rujak yang kebanjiran pesanan. Sorot kedua bola matanya menyapu satu per satu daftar keperluan ospek. Satu per satu dia contreng. Setelah semua bertanda cheklist, dia bersiap siaga dengan tas ransel berbahan kardus menghiasi punggungnya. Baju putih, rok hitam, dan kerudung hitam melekat pada tubuhnya bagaikan siswa SMK yang akan menjalani masa PSG. Kedua kakinya berjalan mendekati sang ibu yang sedang memainkan kaki dan tangannya pada sebuah mesin jahit membuat lembaran kain menjadi sebuah baju. Perempuan itu mengulurkan tangan pada sang ibu. Dengan mencium tangan ibunya dia berharap doa ibu selalu menyertainya. Suara sepatu pantofel terdengar menjauhi ambang pintu kediaman Azia Anaya. Azia Anaya, itulah nama mahasiswi baru Fakultas Agama Islam di salah satu universitas terkemuka kota Sidoarjo. Naya, itu nama yang biasa dilontarkan oleh teman-temannya. Naya bukanlah seorang cewek feminim yang harus pakai ini pakai itu. Dia bukanlah sesosok cewek yang tampak seperti seorang putri yang lengkap dengan segala atributnya seperti lipstik, eye shadow, parfum, sepatu yang cihuy, tas kecil yang unyu-unyu tempat barang-barang keperluan pribadi, pakaian yang blink-blink dan warna warni. Dia sangat jauh dari itu semua. Dia seorang cewek yang tak pandai 24
Cinta KEPO
berdandan. Sekilas cuek, tapi jika sudah mengenalnya, maka sangat asyik untuk diajak ngobrol. Suaranya bagaikan puluhan kaleng kosong diikat dan ditarik oleh sepeda. Ya, begitulah suaranya yang cempreng dan selalu menimbulkan keramaian. Gaya berjalannya seperti cowok, ngomongnya pun keras. Mungkin itu bawaan karena dia mengikuti organisasi beladiri pencak silat. Otomatis temannya kebanyakan laki-laki. Namun dia belum pernah mengenal apa itu jatuh cinta. Di umurnya yang menginjak sembilan belas tahun pun belum ada satu orang lelaki yang mengisi relung hatinya. Selama ini dia anti dengan yang namanya cinta. Cinta baginya seperti ulat bulu yang membuat kulitnya gatal-gatal jika menyentuhnya. Namun, mendaftarkan diri di sebuah universitas merupakan awal langkahnya mengenal cinta. MAKASA, sebutan ospek di kampus itu, menjadi penanda kisah cintanya dimulai. * Suara mesin motor terdengar melintasi kediaman Naya hingga lapangan Batalyon Infanteri 516/CY, Kompi Senapan-B. Di situlah tempat maba, mahasiswa baru, memarkir motornya. Jarum jam menunjukkan pukul satu lebih sepuluh siang. Naya berlari menuju lapangan parkir universitas tempat upacara pembukaan MAKASA. Dia berlari seperti mengikuti lomba lari maraton melawan puluhan peserta. Sebuah insiden memalukan terjadi. Ketika dia sampai di pintu gerbang Batalyon, tingkahnya yang tak bisa lemah lembut membuat alas sepatu pantofel yang dikenakannya mengelupas separuh. Padahal, pantofel itu dia pinjam
Cinta baginya seperti ulat bulu yang membuat kulitnya gatal-gatal jika menyentuhnya. Namun, mendaftarkan diri di sebuah universitas merupakan awal langkahnya mengenal cinta. MAKASA, sebutan ospek di kampus itu, menjadi penanda kisah cintanya dimulai.
25
Vivi Silvia
dari kakak sepupunya, karena dia hanya memiliki satu sepatu. Itupun kets. Pantofel yang terpasang di kedua kakinya itupun terpaksa dia pakai sebab tuntutan wajib kegiatan MAKASA. Setelah insiden itu, Naya melepas pantofel yang terpasang di kaki sebelah kirinya. Tanpa pikir panjang, dia melepas alas pantofel itu seperti mengupas kulit pisang dan memasukkannya ke dalam tas kardusnya. Walaupun tanpa alas, dia tetap memakai kembali pantofel itu.Urat malunya mulai bekerja ketika dia berjalan terseokseok. Dia melakukannya karena jika kaki kirinya diangkat, pantofel itu seakan seperti mulut seekor buaya yang siap menerkam mangsanya. Bisa-bisa alas bagian dalam pantofel itu juga lepas. Barisan pasukan maba tertata rapi ketika Naya memasuki lapangan. Seorang kakak senior menghentikan langkahnya bagaikan polisi lalu lintas yang menghentikan langkah pengendara yang melanggar tata tertib. Uang sebesar seribu rupiah keluar dari dompet akibat Naya melanggar ketentuan jam masuk yang telah ditetapkan. Urat malunya semakin menggelitik ketika dia harus berjalan dari ujung selatan menuju barisannya yang berada di ujung paling utara. Beberapa pasang mata menyoroti kakinya yang berjalan terseokseok seakan mereka berkata, “Anak ini aneh sekali, memakai sepatu kok gak sama antara kiri dan kanan.” Naya benar-benar merasa seperti orang aneh yang menjadi pusat perhatian. Mungkin sejak pertama kali diadakan acara MAKASA, dia adalah satu-satunya peserta yang memakai sepatu jebol. Dia berdiri di barisan paling belakang. Panasnya matahari membuat semua peserta MAKASA mengucurkan keringat membasahi tubuh para maba, tak terkecuali Naya. Panasnya tungku berapi seakan tengah membakar telapak kakinya. Tentu saja, tanpa alas sepatu panas dari paving menembus kulit kakinya. Dia beberapa kali mengangkat, menurunkan, mengangkat, menurunkan, mengangkat lagi dan menurunkan lagi kaki kirinya untuk mengurangi rasa panas itu. Tingkahnya itu seolah-olah mengikuti senam pagi. Tiba-tiba tepukan tangan terasa bagai
26
Cinta KEPO
tongkat mendarat di bahu mengagetkannya. Dia berbalik seraya memasang ekspresi sedikit kesal sambil berucap, “Apalagi sih ini?” Dia menangkap sesosok wajah laki-laki di hadapannya. Kini, di atas kepalanya laksana penuh tanda tanya. Sebuah kalimat meluncur menggambarkan tanda tanya itu, “Heh, kakimu itu kenapa, kok ya diangkat, diturunin, diangkat lagi diturunin lagi?” Naya pun melepas pantofel tanpa alas itu dan memperlihatkannya pada lelaki beralmamater merah dengan mengajukan pertanyaan, “Coba lihat, kalau seumpamanya pakai sepatu seperti ini di atas paving panas membara seperti apa rasanya?” “Yaelah, gitu aja sewot, alasnya mana?” Lelaki itu menjawab sambil mengambil pantofel yang masih berada di tangan Naya. “Emang buat apaan, mentang-mentang ini sepatu jebol mau kamu rombengin?” “Widih, judes banget! Enggak to Neng, mau aku perbaiki, kalau gak boleh ya sudah. Ini aku kembalikan.” Lelaki itu berucap sambil mengulurkan kembali pantofel itu. “Weits, sabar dulu Om!” Naya berucap sambil mengangkat kedua tangannya seperti menghentikan seseorang yang sedang berlari. Tangannya masuk merogoh tas kardus dan keluar dengan memegang alas pantofel, kemudian memberikannya pada lelaki itu. “Tolong ya Om.” “Emang aku ini om-mu apa, panggil am om am om!” “Sabar sabar, iya kakak yang baik hati dan tidak sombooong …” “Ooooooooo, dasar!”
27
Vivi Silvia
Lelaki dengan almamater merah itu membawa pantofel beserta alasnya masuk ke dalam ruang Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum. Tak lama kemudian, dia keluar dengan membawa pantofel Naya yang telah utuh kembali. “Nih cepetan pakai, entar kakimu keburu lecet, udah aku lem ini,” ujar lelaki itu sambil sedikit meledek. “Eeeehh sembarangan, kakiku ini tahan banting,” jawab Naya sambil bersungut. “Ya sudah kalau gitu. Ini sepatu aku taruh aja dalam ruangan HMJ. Udah, kamu gitu aja kagak usah pake sepatu, kan tahan banting.” “Yyeeee, sini-in sepatuku, ya udah makasih ya Om.”
Itulah awal pertemuan tanpa perkenalan Naya dengan seorang lelaki yang akan menumbuhkan pelangi pada relung hatinya.
Naya mengucapkannya sambil mengambil sepatunya dari tangan lelaki itu dan langsung berbalik arah. Lelaki itu hendak membalas ucapan Naya, namun Naya sudah kembali pada barisannya. Lelaki itu sejenak heran kemudian tersenyum ringan. Itulah awal pertemuan tanpa perkenalan Naya dengan seorang lelaki yang akan menumbuhkan pelangi pada relung hatinya. * Hari terakhir MAKASA, puluhan maba dengan baju putih dan rok hitam duduk berjajar di kantin saling bercerita satu sama lain. Beberapa pasang mata menyoroti Naya yang datang mendekat dan kemudian bergabung dengan tongkrongan maba lainnya. Naya dengan cepat membaur dengan percakapan pasukan putih dan rok hitam itu. Kedatangan seorang perempuan dengan almamater merah membuyarkan obrolan. Perempuan itu bagai seorang sales dengan kata-kata rayuan dan jurus mautnya membagikan brosur kepada semua anak yang ditangkap oleh kedua matanya. Brosur itu berisi ajakan untuk mengikuti kajian HMJ Hukum. Rangkaian kata
28
Cinta KEPO
yang dilontarkan sang pembagi brosur membuat Naya tertarik dan penasaran untuk mengikutinya. Keesokan harinya, di hari pertama kuliah, Naya mendatangi HMJ Hukum dan mendaftarkan diri sebagai peserta. * Tanggal menunjukkan angka yang sama dengan tanggal yang tertera pada brosur yang diterima Naya dari mahasiswi Jurusan Hukum tempo hari. Udara pagi itu masih terasa sejuk. Terdengar kicauan burung peliharaan Naya memasuki gendang telinga setiap orang yang lewat di depan kediamannya. Naya tengah bersiap dengan kemeja milik kakak laki-lakinya dengan celana jins miliknya sendiri. Dia memang sering memakai kemeja milik kakaknya, jadi tak heran jika teman-temannya menjuluki Naya Si Tomboy. Sesampainya di kampus, Naya disambut senyum lebar panitia pelaksana kajian. Dia membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas yang berjudul daftar hadir. Setelah menerima sekotak kue dan air mineral, dia masuk dalam ruangan yang ber-AC dan duduk pada sebuah kursi yang lumayan empuk. Sepanjang acara, Naya merasa bagai dua hari tidak tidur. Ketika pemateri telah selesai dan melontarkan kata penutup, seorang perempuan beralmamater merah mengambil alih. Dia memainkan kedua bibir dan lidahnya dengan kata-kata penyemangat. Suara musik membuat kedua bola mata Naya yang tadinya menyipit menjadi kelopak mata yang menyempit. Dua orang lelaki dengan pakaian keren ala boy band memainkan alat musik. Seorang laki-laki berdiri dari kursi peserta lalu maju ke depan mengambil mic bergaya seperti Ariel Noah yang flamboyan. Seorang laki-laki yang tidak asing oleh penglihatan Naya. Berdiri di depan para peserta, dengan mengeluarkan suara merdu yang membuat keriuhan. Naya serasa bagai di tengah konser seorang penyanyi yang sangat populer. Dia memperhatikan laki-laki yang sedang menjadi pusat perhatian itu. Dan memang benar, laki-laki itu adalah orang yang membantu memperbaiki pantofelnya di hari pertama MAKASA. Teriakan-teriakan menyebut nama sang penyanyi
29
Vivi Silvia
membuat mulut Naya mengeluarkan kata-kata yang hanya bisa didengar olehnya, “Lebay banget orang-orang ini, teriak-teriak gak jelas, emangnya itu cowok artis papan atas?” Sampai di tengah-tengah lagu, tiba-tiba timbul sesuatu dalam hati Naya yang membuat kedua bola matanya terus memandang lelaki yang bernama Diaz itu. Tapi, setiap kali pandangan mata Diaz bertemu dengan pandangannya, seakan ada seseorang yang memanggil sehingga dia langsung memalingkan muka. Mulailah timbul rasa ketertarikan pada diri Naya akan sosok Diaz. Sepanjang Diaz menyanyikan lagu, semua para peserta berdiri mengikuti alunan lagu dan ikut bernyanyi. Sementara Naya hanya duduk diam tanpa ekspresi. Terdengar pula teriakan-teriakan panjang menyebut nama sang penyanyi. “Diaaaazz ... Diaazzz ... Diaaz...!!!” Suara teriakan itu terdengar saat Diaz berdiri dari tempat duduknya hingga ia menyelesaikan bait terakhir lagunya. * Menjelang hari Raya Idul Adha, salah satu Organisasi Intra Kampus akan melaksanakan salah satu agendanya mengadakan acara penyembelihan hewan kurban di desa Biting. Satu hari sebelum Idul Adha, satu pesan singkat dari Shinta teman seangkatan Naya, membunyikan handphone miliknya. Sehabis sholat Dhuhur dia membuka satu pesan singkat itu. “Nay, aku pinjam almamatermu untuk acara Idul Adha boleh? Punyaku tertinggal di rumah, nah sekarang aku lagi di kost.” Naya mulai memainkan jari jemarinya untuk membalas pesan Shinta . “Ya, boleh-boleh saja, kamu ke sini saja.” Sepuluh menit kemudian jari-jemari Shinta mengetuk pintu kediaman Naya. Naya keluar dengan membawa almamaternya. “Kamu beneran ga ikut Nay?”
30
Cinta KEPO
“Enggak deh.” ”Beneran? Ya sudah, aku berangkat ke kampus loh ya.” ”Ya, hati-hati.” Naya kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Terlintas dalam pikirannya, “Waduw, daripada tidak ada kegiatan, ikut acara sajalah.” Dia bangun dari kasurnya dan mengirim satu pesan untuk Shinta. “Shin, aku jadi ikut deh, tunggu ya.” Dua menit kemudian handphone Naya berdering bertuliskan Shinta memanggil. “Ya, ada apa Shin?” “Kamu jangan ke sini dulu, aku mau ke rumahmu. Bantu aku cari pinjaman almamater dong, punyamu kan kamu pakai sendiri nanti.” “Ooo iya, aku punya tetangga kakak kelas kita, tapi dia cowok.” “Yaaa, tak apalah yang penting bawa almamater.” Lima belas menit telah berlalu, Naya telah siap dengan berbagai keperluan yang terkumpul rapi dalam ransel bersamaan ketika Shinta datang menjemput. Mereka berdua melangkahkan kakinya ke rumah salah satu mahasiswa bernama Zainul yang berjarak lima meter dari rumah Naya. Suara ketukan telunjuk Naya di pintu rumah Zainul membuat mahasiswa Fakultas Ekonomi semester tujuh itu keluar dari kamarnya. “Kak, aku boleh pinjam almamaternya? Milik temanku ini tertinggal di rumahnya.” “Buat apa Nay, siang-siang gini?” “Biasalah ada acara.” “Acara apa?” “Acara Idul Adha.” “Oalah, ya, tunggu sebentar ya.”
31
Vivi Silvia
Zainul masuk ke dalam rumahnya dan kemudian muncul dengan membawa almamater. “Ini, nanti kembalikan ya, jangan sampai hilang. Kalau hilang bisa-bisa aku dilarang ikut ujian skripsi.” Zainul memberikan almamaternya sambil bergurau. “Tenang saja, almamaternya pasti kembali dalam keadaan utuh, rapi, bersih, licin dan wangi, ya kan Shin?”celoteh Naya. “Pastilah.” “Ya sudah kami permisi dulu ya Kak Zainul, makasih atas pinjamannya.” “Ya, hati-hati.” Setelah mendapat pinjaman almamater, Naya dan Shinta melangkah menuju kampus. * Sesampainya di loby kampus, Shinta tertegun sejenak setelah melihat banyak mahasiswa yang berkumpul di deretan sekretariat HMJ. “Nay, lihat deh, semuanya senior-senior, kita doang orang baru.” “Ya sudahlah Shin, PD ajalah.” Semua peserta merupakan mahasiswa di atas semester dua. Kedatangan Naya dan Shinta disambut ramah seakan mereka telah kenal bertahun-tahun. Kedua bola mata Naya tertuju pada seorang lelaki yang duduk di pelataran HMJ Hukum. Dalam hatinya terbesit kata-kata, “Orang ini lagi. Aku bingung harus bagaimana. Dulu pernah bantuin aku, tapi kalau aku menyapa nanti dibilang sok akrab, cari perhatian, ngefans sama orang itu. Ya sudahlah pura-pura tak terjadi apa-apa saja.” Menjelang Ashar, peserta acara penyembelihan hewan kurban belum juga berangkat menuju desa Biting. Naya dan Shinta menuju masjid menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dalam 32
Cinta KEPO
perjalanan menuju masjid, Naya berpapasan dengan Diaz. Pandangan mata Diaz terarah pada Naya, namun Naya cuek seolah tidak pernah bertemu sebelumnya. Naya melewati Diaz begitu saja bagaikan makhluk yang tak terlihat. Diaz sejenak menunjukkan raut wajah keheranan. * Sesampainya di Desa Biting, pandangan Naya menyapu semua peserta laki-laki mencari-cari sosok Diaz. Entah mengapa dia ingin selalu memandang laki-laki itu. Dalam hatinya seakan muncul pelangi ketika memori otaknya melukiskan raut wajah Diaz. Alunan gema takbir yang dikumandangkan Diaz membuat hati dan pikirannya menjadi semakin sejuk. Sikap Diaz yang tak terlalu banyak tingkah, tidak neko-neko, walaupun memiliki pesona bagai bunga terindah yang tumbuh di taman, membuat Sikap Diaz yang tak terlalu hati Naya bagai dipanah banyak tingkah, tidak neko- oleh ribuan bunga neko, walaupun memiliki berwarna-warni. Berkilo-kilo daging sapi terkumpul di tengah tanah lapang beralaskan terpal, terpisah dengan daging kambing yang terkumpul di samping kiri daging sapi. Naya dan beberapa perempuan lainnya membawa pisau yang digoreskan pada daging-daging sapi. Membentuk ukuran daging yang besar menjadi potongan kecil-kecil. Kedatangan Diaz tepat di belakang Naya membuat konsentrasinya buyar. Sambil membawa ember yang berisi kiloan daging kambing, Diaz bertanya,
pesona bagai bunga terindah yang tumbuh di taman, membuat hati Naya bagai dipanah oleh ribuan bunga berwarna-warni.
“Daging kambing tempatnya di mana?” Naya berusaha menutupi perasaannya dengan terus mengayunkan pisau ke daging sapi tanpa memperdulikan
33
Vivi Silvia
kedatangan Diaz. Seorang cewek menjawab pertanyaan Diaz, dan di saat itulah konsentrasi Naya buyar. Sehingga pisau di tangan kanan Naya menggores telunjuk tangan kirinya. Seketika darahnya bercampur dengan darah daging sapi. Diaz dan teman-teman di sekitar Naya sesaat terkejut. Bagaikan berada di tengah keheningan, tiba-tiba terdengar suara petasan yang biasa dipakai untuk memeriahkan acara nikah orang Betawi. Namun, Naya segera membalut telunjuknya itu dengan rok dan mencoba menenangkan teman-temannya. “Sudah, nggak papa. Lanjutkan saja motongnya! Aku ke kamar mandi dulu ya, sebentar.” Naya beranjak pergi melewati Diaz yang masih berada di belakangnya tanpa memandang Diaz. Di dalam kamar mandi dia berkata pada dirinya sendiri, “Haduh, geblek banget sih aku, gitu aja pakek salting segala, ditaruh mana ini muka kalau ketahuan suka dengan Diaz itu, huh.” * Sepulang dari acara Idul Adha, adzan Maghrib berkumandang ketika Naya sampai di rumahnya. Naya seakan ingin terus memandang raut wajah Diaz. Sehingga, dia mencari foto Diaz melalui situs jejaring sosial Facebook. Rasa suka pada Diaz membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pujaan hatinya. Rangkaian huruf D, I, A dan Z telah terangkai rapi di kolom pencarian. Dari ratusan nama Diaz, tak satupun ada gambar wajah Diaz yang dikenalnya. Sampai larut malampun, dia tak juga menemukan facebook milik Diaz. Naya berusaha mengingat nama lengkap Diaz, namun tak kunjung menemukan jawabannya. Dia pun menutup laptopnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. * Selama dua hari, di saat ada waktu senggang, Naya selalu membuka facebook dan mencari sosok Diaz. Perasaannya berubah bagaikan hujan selama dua hari yang berhenti dan menampakkan sinar pelangi. Ketika menemukan facebook yang bertuliskan
34
Cinta KEPO
Pramadiaz. Tanda “tambahkan sebagai teman”, namun hirau saja telunjuk Naya. Bukannya tanpa agenda, melainkan ada rencana lanjutan. Dia men-download beberapa foto Diaz yang terpampang di album koleksi foto. Seketika handphone milik Naya menyimpan beberapa foto Diaz. Kemudian dia menghadap ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri, “Nay, kamu kok jadi seperti ini sih, gak jelas banget deh. Nyimpen foto-foto siapa tuh? Kamu kok jadi suka sama orang itu sih, Om Diaz? Kamu nggak gengsi-kah kalo ada yang tahu kamu suka seorang cowok, populer pula, lebay kamu Nay!” “Yaelah, coba kalau Diaz orangnya tidak sepopuler itu, pasti kuenjoy-enjoy saja menyapa dia. Halah, sudahlah Nay.” Naya pun lebih memilih menghindar dan tak menampakkan diri seperti cewek-cewek lain jika bertemu dengan Diaz. Naya takut terlihat salah tingkah. * Naya berjalan menuju perpustakaan, hendak mengerjakan tugas yang menggudang dalam silabusnya. Dalam perjalanan, kedua matanya fokus tehadap layar handphone yang menampakkan sosok Diaz. Hingga tak memperhatikan kanan kiri bahkan depan. Sesampainya di depan pintu perpustakaan, tiba-tiba dia menabrak seseorang dan terjatuh. Handphone pun terpental dari tangannya. Orang yang menabrak itu mencoba membantunya berdiri. Tanpa melihat sosok yang menabraknya, Naya berkata sambil membersihkan celananya. “Haduh, maaf ya, aku yang salah nggak memperhatikan jalan.” Naya pun kaget bagai melihat letusan gunung berapi. Hingga membuat kedua matanya melotot dan mulutnya menganga ketika mendapati orang yang berada di hadapannya Pramadiaz. Sejenak dia terpaku dan kemudian menutup matanya. Diaz mengambil handphone milik Naya yang berada di belakang kakinya. Dalam hati Naya berkata,
35
Vivi Silvia
“Mati aku, mau ditaruh mana ini muka, itu handphone menampakkan foto-foto Diaz.” “Ini handphone-nya.” Diaz memberikan handphone itu pada Naya. Tanpa berkata apapun Naya mengambil hendphonenya dan beranjak pergi masuk ke dalam perpustakaan. Naya langsung menduduki salah satu kursi dan menepuk-nepuk jidatnya. “Haduh, geblek! Malu banget aku, ketahuan kalo aku juga ikutikutan ngefans sama itu orang.” Tiba-tiba Diaz duduk di samping Naya dan menepuk pundaknya. “Hei, kamu kenapa?” Naya kembali menegapkan tubuhnya dan entah apa yang mau dia katakan, bibir dan lidahnya kelu tak dapat bicara. “Aku senang sekali melihat fotoku berada di handphone-mu, lihat aku juga memiliki fotomu di handphone-ku.” Diaz menunjukkan handphone-nya pada Naya. ”Aku cari-cari facebookmu tapi gak ketemu-ketemu. Aku ingin ngobrol denganmu tapi kamunya selalu menghindar. Ya aku foto kamu diam-diam jadinya. Aku suka cewek kaya’ kamu, unik. Gaya cuekmu malah bikin aku penasaran. Penampilanmu simpel gak neko-neko. Aku ingin dekat denganmu tapi aku gak berani, karena kamu cuek banget.” Diaz menjelaskan dengan panjang lebar namun Naya tetap saja diam. “Nay, kok diam saja sih, apa ada yang salah dari perkataanku? Nama panjangmu apa sih, Naya siapa?” Diaz membuka buku saku perpustakaan milik Naya yang berada di atas meja dan membacanya. “Azia Anaya, indah banget ya namanya.” “Helooo, ngomong dong.” Diaz melambai-lambaikan tangannya di depan muka Naya. Naya sejenak terkejut, kemudian melukiskan senyuman pada wajahnya. Naya hanya tersipu dengan segala bait perkataannya.
36
37
Lyna Idris
Instalan Cinta Anak Teknik Lyna Idris Seperti malam-malam biasanya, kupandangi bintang yang berkelap-kelip di lantai dua kost-ku. Ditemani secangkir teh hangat dan setoples keripik menambah kehangatan malam itu. Tiba-tiba Via datang dengan wajah yang berseri-seri. Aku tahu kebiasaannya kalo sudah cengar-cengir. Setelah duduk mulailah dia curhat berbagai hal mengenai Yovan. Siapa lagi kalau bukan pasangan barunya yang 3 bulan ini mulai dekat dengannya. Yovan adalah salah satu anak beken Fakultas Teknik di kampusku. Dia dikenal pintar dan suka jurnalistik. Ditambah perawakan yang tinggi dan keeksotisan wajahnya yang mungkin membuat teman sekaligus sahabatku ini tertarik dengannya. Via, sahabat yang kukenal sejak SMA itu memang selalu menceritakan berbagai hal mengenai Yovan. Tak ayal aku tahu banyak tentangnya. Akupun mengenal Yovan setelah dikenalkan Via di loby gedung A. Waktu itu aku ingin minta tolong kepada Yovan untuk menginstal beberapa software ke notebook-ku. Meja bundar sebelah selatan itu menjadi saksi pertemuan resmi pertamaku dengan Yovan. Sebenarnya aku sering ketemu Yovan di perpus, tapi berhubung tak mengenalnya aku hanya melihat tanpa sebuah sapaan. Sore hari setelah ketemu dengan Yovan aku menceritakan hal itu pada kakak kelasku, sebut saja Mas Ridi. Ternyata dia kenal baik 38
Instalan Cinta Anak Teknik
dengan si Yovan. Mas Ridi mengenal Yovan sejak pertama kali masuk kuliah, kebetulan mereka satu fakultas. Hm, ternyata banyak juga yang kenal Yovan, pikirku. Aku dengan Mas Ridi kadang ketemu di PUSKOM, Pusat Komunikasi. Meski Fakultas Teknik terletak di kampus dua Candi, tapi Mas Ridi dan Yovan sering ke kampus satu yang berada di depan RSUD sidoarjo. Mas Ridi sering menceritakan kisah asmaranya kepadaku, meski tak mau menyebutkan inisial wanita itu. “Mas, kalo gak diungkapin mana mungkin dia akan memahamimu,” celetukku.
Ibarat sebuah flashdisk otakku sudah penuh dengan file-file mengenai Yovan karena curhatan Via. Berbagai hal mengenai Yovan kudapatkan dengan cuma-cuma. Ternyata dia sosok yang perhatian dan romantis, pantas saja Via sayang banget.
“Ya Rin, tapi gak sekarang. Aku rasa belum saatnya.” “Oh gitu, ya semoga dia juga suka dengan Mas Ridi,” imbuhku. Hm, kakak kelasku yang satu ini memang penuh dengan teka-teki. Tak jarang aku dibuat bingung dengan sikap dan kata-katanya.
“Ya sudahlah kalo gak mau ngasih tahu inisialnya siapa,” gumamku dalam hati. Ibarat sebuah flashdisk otakku sudah penuh dengan file-file mengenai Yovan karena curhatan Via. Berbagai hal mengenai Yovan kudapatkan dengan cuma-cuma. Ternyata dia sosok yang perhatian dan romantis, pantas saja Via sayang banget. * Seperti biasanya aku selalu ke perpus dan membaca buku di bangku deret nomor dua. Hari itu aku ketemu Yovan, kali ini dia 39
Lyna Idris
menghampiriku. Namanya sudah kenal ya nyapa donk biar gak dikira sombong, hehe. “Hai Rin, udah lama?” sapanya. “Udah setengah jam yang lalu Mas.” “Sering ke sini ya?” “Ya Mas.” “Kamu suka baca buku apa?” “Sejarah. Ya biar wawasannya luas.” “Eh Rin, aku boleh nanya sesuatu tentang Via gak? Kamu kan sahabatnya, jadi pasti tahu banyak kan?“ “Boleh Mas, mau nanya tentang apa?” Hari itu Yovan menanyakan beberapa hal mengenai Via. Sebagai teman baik aku menceritakan apa adanya, tak ada yang kututup-tutupi. Saat kuarahkan wajahku ke jam dinding yang menempel di sebelah kanan, kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Akupun keluar. Ternyata Yovan juga mau ke kost-ku untuk ketemuan dengan si Via. “Gimana kalo bareng aku aja Rin? Sekalian aku mau ketemu sama Via,”celetuknya. “Gak Mas, aku udah ditunggu Mbak Indri di parkiran, mau ke apotik dulu beli obat.” Setengah jam kemudian saat aku sampai di kost kulihat sepeda motor Yovan sudah bertengger di depan beranda. “Assalamu’alaikum …” “Wa’alaikumussalam …,” kudengar suara Yovan dan Via. Aku hanya melayangkan senyum dan melenggang masuk untuk membersihkan diri yang seharian sudah lelah karena akitivitas yang padat. Setelah sholat Isya’, Via ke kamarku. Seperti biasanya dia menceritakan berbagai hal mengenai Yovan. Dan akupun mendengarkan dengan cermat setiap kata yang diucapkan Via, hingga ada sebuah celetukan yang membuat diriku kaget.
40
Instalan Cinta Anak Teknik
“Kok dia tahu ya kalo aku lagi pengen jalan-jalan ke Taman Dayu?” “Huft! Ngomong apa aja tuh anak?” batinku dalam hati. “Terus dia bilang apa?” “Ya banyak deh, pokoknya hari ini aku dapat banyak kejutan dari dia. Hm, seneng banget!” Beruntunglah, Yovan tak menceritakan pada Via kalau kita baru saja bertemu di perpus. Huh, lega deh! Kumenghela nafas panjang. Hari berikutnya Via mengajak makan di Taman Dayu dan akupun menyetujui tawarannya. “Ya gak papa sih, kita kan udah lama gak ke sana,” celetukku. “Oke, nanti kamu sama Mas Ridi, aku dengan Yovan.” “Ya, bolehlah.” Hari itu kita makan bersama, senang-senang bareng. Sepanjang perjalanan kulihat senyum Via terus mengembang di bibir manisnya. Terlihat sangat bahagia, begitu pula dengan aku dan Mas Ridi. *
… kurasa diriku mulai menghadirkan sosok Yovan di sebuah relung kecil di hatiku. Tapi aku cukup sadar dengan semuanya, dia kekasih sahabatku.
Belakangan aku sering ketemu Yovan di perpus. Banyak hal yang dia ceritakan mengenai Via hingga hal-hal pribadi bahkan impianimpiannya di masa mendatang. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku, kenapa harus sejauh ini ngomongnya?
Kuperhatikan akhir-akhir ini Yovan juga suka mengomentari aku, hingga hal kecil yang kadang kulupakan. Wanita mana sih yang tak terbuai dengan perhatian, kepedulian, kasih sayang? Wanita itu mudah luluh, dikasih
41
Lyna Idris
perhatian sedikit sudah menganggap lebih. Ya itulah, kurasa diriku mulai menghadirkan sosok Yovan di sebuah relung kecil di hatiku. Tapi aku cukup sadar dengan semuanya, dia kekasih sahabatku. Hingga suatu hari Yovan mengajakku untuk ketemuan, tapi aku menolaknya karena ada janji dengan Fenny di taman kota. Kami berencana mengerjakan tugas kuliah bersama. Dua hari berikutnya Yovan sms aku mengajak ketemuan di perpus, aku mengiyakan. Saat di lantai dua aku tak melihatnya, hanya ada satu mahasiswi dan penjaga perpus. “Oh, mungkin belum datang,” pikirku. Sesaat setelah itu aku memutuskan untuk naik ke lantai tiga. Dari kejauhan kulihat Yovan sedang sibuk memilih buku. Ya, mungkin untuk bahan skripsinya mengingat sebentar lagi dia akan lulus. “Mas udah lama ya?” “Gak ko Rin.” “Katanya ada perlu? Mau curhat tentang Via lagi?” “Ya tunggu sebentar, ini aku masih cari buku dulu.” Aku menunggunya beberapa saat dengan membaca buku yang baru saja kuambil dari rak. Saat aku menyandarkan punggungku ke kursi, kulihat Yovan menatap ke arahku. Tak kusangka ternyata dia memperhatikan gerak gerikku. Huft! Aku langsung menutupi wajahku dengan buku. “Kenapa dia melihatku seperti itu?” pikirku. “Udah selesai nih?” “Kok banyak banget sih Mas?” “Ya namanya juga referensi Rin.” “Maaf ya, dah nunggu.“ “Nyantai aja Mas.” “Udah siap ta?” “Hah? Siap untuk apa?” 42
Instalan Cinta Anak Teknik
“Ya dengerin curhatanku-lah.” “Hehe, mau curhat apa sih?” “Rin, sebenarnya aku lebih nyaman dekat denganmu. Kamu ngerti aku. Selalu memberi motivasi dan menjadi pendengar terbaik semua curhatanku. Aku juga gak ngerti kenapa rasa ini tiba-tiba ada. Aku pengen lebih dekat dengan kamu, bukan hanya sekedar teman.” “Ah, jangan bercanda.” “Aku serius.” Dia mengatakannya dengan tegas. “Tapi Mas?” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku dia memotongnya. “Aku serius, mau bukti apa?” Aku hanya tersenyum dan Oh, pusing! Aku tak keluar dari perpus. Kupaksa diriku pulang meski hujan sedang bisa membohongi mengguyur wilayah kampus dan perasaanku, aku suka sekitarnya. Deraian airmata yang kuteteskan seolah kabur dengan dengan Yovan. Tapi, rintikan hujan. Aku mencoba berdialog dengan diriku. Apakah aku aku lebih memilih akan dijadikan yang kedua? Apa dia persahabatanku hanya mem-PHP-ku, memberi dengan Via. harapan palsu? Dan apakah aku akan menjalani sebuah hubungan tanpa status? Oh, pusing! Aku tak bisa membohongi perasaanku, aku suka dengan Yovan. Tapi, aku lebih memilih persahabatanku dengan Via. Sesampai di kost, Via bercerita mengenai Yovan. Senyum di bibir manisnya membuatku tak tega menceritakan semuanya. Aku adalah orang yang pintar dalam menyembunyikan perasaan. Seperti apapun rasa yang meledak-ledak di hatiku, aku tetap menahannya. Kudengarkan curhatan Via hingga selesai dan dia menutupnya dengan kalimat yang membuatku sedikit perih. 43
Lyna Idris
“Yovan besok mau ngajak aku jalan, kamu mau ikut gak Rin?” “Gak deh, takut ganggu,” jawabku. Dua hingga tiga hari berikutnya Yovan masih menghubungi Via. Sedikit kubergumam, “Ah, aku tahu dia gak serius dengan ucapannya yang kemarin.” Di tengah kegalauan itu aku mengasingkan diri di tempat kost temanku. Tiga hari kemudian aku kembali ke kost. Belum sempat kumelepas kerudung terdengar isak tangis dari kamar Via. Segeralah aku mendatanginya. Saat kubuka pintu kamarnya, terlihat ruangan itu seperti kapal pecah. Semua berantakan. “Kenapa kamu Vi?” sambutku. “Aku putus dengan Yovan dua hari yang lalu.” PLAKKK! Seolah kata-kata itu menamparku. Yovan benar-benar memutuskan hubungannya dengan Via. “Kok bisa?” kataku dengan tenang. “Ternyata dia menyukai orang lain.” “Kamu tahu orang itu siapa?” Lama dia tak menjawab dan isak tangisnya mulai terdengar lagi. “Jawab Vi?” kataku dengan agak membentak. “Aku gak tahu orang itu siapa.” Kutarik nafas panjang. Kucoba menenangkannya. Beruntunglah dia tak mengetahui jika Yovan pernah menyatakan perasaannya padaku. Setelah kejadian itu Yovan tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Mas Ridi pun menanyakan kepada Via kemana si Yovan, tapi dia sudah tidak mau tahu lagi bagaimana kabarnya Yovan. Aku pun jadi gelisah, bingung, dan tak tahu apa yang harus kulakukan dengan keadaan ini. Sesaat sebelum kupejamkan mata, tiba-tiba terdengar ringtone sms dari hapeku.
44
Instalan Cinta Anak Teknik
Suatu hari nanti jika aku pergi tanpa kabar dan hatimu merasa nyaman, maka aku pasti berada di tempat yang nyaman. Namun jika hatimu gelisah, tolong yakinkan dirimu bahwa aku harus segera ditemukan. Entah sms dari siapa, aku tak ingin menanggapinya. Pikiranku sudah kacau-balau dengan semua kejadian beberapa hari ini. * Tiga bulan kemudian aku bertemu dengan Yovan di mall. Aku bertemu dengannya di toko buku. Waktu itu aku memang ke mall bersama teman-temanku, tapi aku memisahkan diri memilih untuk jalan sendiri. “Hai Rin, gimana kabarnya?” kudengar seseorang menyapaku. “Mas Yovan.” Entah kenapa tiba-tiba aku meneteskan airmata. “Kenapa nangis?” sahutnya. “Kemana aja? Semua pada bingung nyariin Mas.” “Ya ini, lagi nyelesaiin tugas skripsi.” “Wah, sibuk terus ya sekarang?” imbuhku. Beberapa saat kemudian kudengar hapeku berbunyi tanda sms masuk. “Rin kita pulang duluan.” Dari Fenny. “Lho balasku.
kok
aku
ditinggal?”
“Sorry, buruan pulang, dah malam.” “Kenapa Rin?” celetuk Yovan. “Gak Mas, nih temen-temenku ternyata udah balik, aku duluan ya?”
Aku mencoba menjelaskan apa adanya. Tapi, mereka tak percaya dan Via pun marah besar kepadaku. Seolah aku menjadi yang tertuduh.
“Oke, hati-hati.”
45
Lyna Idris
Sesampai di kost kulihat Via, Fenny, Rahma dan Sasya sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka menuggu kedatanganku. Setelah aku duduk dan meletakkan buku yang baru saja kubeli, tibatiba Rahma bertanya bagaimana aku bisa bertemu dengan Yovan. Ternyata mereka melihatku ketika bertemu dengan Yovan di toko buku. Aku mencoba menjelaskan apa adanya. Tapi, mereka tak percaya dan Via pun marah besar kepadaku. Seolah aku menjadi yang tertuduh. Kali ini aku tak ingin menyimpan semuanya sendirian. Ku-sms Mas Ridi kukatakan padanya aku ingin bertemu. Keesokan harinya tepat pukul 16.00 aku sampai di taman kota. Kulihat Mas Ridi sudah menungguku. “Ada apa Rin? Kok kamu sedih?” Hari itu kukatakan semua hal yang terjadi padaku. Kukira dialah orang yang tepat untuk mendengarkan semua ceritaku. “Hah? Kamu suka Yovan?” katanya dengan kaget. “Ya Mas, aku suka dia.” Tiba-tiba kulihat wajah Mas Ridi menjadi masam. Seolah ada kata yang tertahan di lisannya. Sejenak setelah itu, Mas Ridi mengatakan apa yang ada di pikirannya. “Rin, kamu tahu orang yang kuceritakan beberapa waktu yang lalu?”
Ingin kumenyelesaikan masalah, tapi aku mendapatkannya satu lagi. Aku mencoba tenang dan perlahan menanggapi pernyataan Mas Ridi.
“Tidak Mas.” “Itu kamu! Tapi kamu gak pernah menyadarinya.” What? Semakin bingunglah aku dengan keadaan ini. Ingin kumenyelesaikan masalah, tapi aku mendapatkannya satu lagi. Aku mencoba tenang dan perlahan menanggapi pernyataan Mas Ridi.
46
Instalan Cinta Anak Teknik
“Maaf Mas kalo aku gak peka, tapi Mas Ridi tahu kan aku sekarang suka dengan mas Yovan?” “Ya Rin aku ngerti, kamu gak usah khawatir. Aku akan menghilangkan perasan ini dengan perlahan.” “Makasih Mas, udah mau ngerti aku.” * Dua minggu setelah itu Sasya melihat Yovan sedang berduaan dengan seseorang di ruang kelas lantai dua. Usut punya usut ternyata cewek itu bernama Della. Kabar itupun sampai ke dosen dan meledak seantero kampus. Sungguh aku jadi bingung, kenapa Yovan tega melakukan semua ini? Apa dia hanya mempermainkan aku? Entahlah. Aku sempat memergokinya bersama Della di perpus, meski begitu aku tak berani untuk menegurnya. “Siapa kamu mau ngomelin dia?” gumamku dalam hati. Ya begitulah, diriku hanya bisa melihat orang yang kusuka dari kejauhan dan menyapanya lewat batin. Aku mencoba memahami Yovan meski kutak sehati dengannya. Entah hal apa yang kuharapkan, aku juga tak mengerti. Sepulang dari kampus semua teman-teman meminta maaf kepadaku atas kesalahpahaman yang terjadi. Saat itu Via bercerita bahwa dia sudah tak mencintai … wajahku memerah Yovan dan sedang menjalin karena diselimuti hubungan dengan Jefri. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengatakan bahwa aku menyukai Yovan. Perlahan kuungkapkan sesuatu yang kupendam selama ini kepada teman-teman satu kostku. Ternyata mereka bisa menerima apa yang kukatakan.
kemarahan. Yovan hanya senyum-senyum dengan muka tanpa dosa dan semakin menunjukkan perhatiannya dengan Della. 47
Lyna Idris
Huh! Beruntunglah diriku. Berminggu-minggu kabar hubungan Yovan dan Della terus booming hingga ke pelosok kampus. Kudengar selentingan dari teman-teman fakultas lain yang membicarakan hubungan mereka. Yang cocoklah, yang serasilah, huhhhh, aku hanya bisa menggerutu saat mendengar kata-kata mereka, dan mengatakan pada diriku, “Orang seperti itukah yang kauharapkan?” Bulan berikutnya Yovan ke rumahku. Sekalian mau ke Taman Dayu katanya. Dia tak datang sendirian, tapi dengan Della kekasihnya. Tentu diri ini miris dan amarah menjadi berkecamuk dalam hati. Muka tak sedap-pun kutunjukkan padanya, hingga wajahku memerah karena diselimuti kemarahan. Yovan hanya senyum-senyum dengan muka tanpa dosa dan semakin menunjukkan perhatiannya dengan Della. ”Ih, gak ngerti banget sih nih orang,” pikirku. * Tak terasa waktu kelulusanpun semakin dekat. Beberapa minggu kemudian Yovan wisuda dan dia menjadi salah satu lulusan Teknik terbaik seangkatannya. Saat itu pula terdengar kasak-kusuk bahwa dia akan melamar Della. Aku terpukul dengan keputusannya. Berminggu-minggu aku mencoba tak memikirkan perasaanku kepada Yovan dan berusaha menyingkirkannya dari pikiranku. Tapi aku tak bisa, bayangannya tetap bertengger di otakku, bahkan tetap mengusik dalam tidurku. Di tengah keterpurukan itu, Isma teman curhatku yang baru mengajak untuk mengaji di rumah ustadzah-nya. Selang beberapa hari aku memutuskan untuk ikut mengaji rutin. Berbagai benturanpun kualami hingga sebuah penjelasan menyentak otak warasku. “Aku gak boleh begini terus, aku harus berubah,” pikirku. Alhamdulillah, semakin aku mengkaji Islam, semakin damai hati dan bisa menyikapi berbagai permasalahanku.
48
Instalan Cinta Anak Teknik
* Suatu hari sepulang dari kampus, temanku Rahma mengatakan Yovan mencariku. Beberapa hari itu aku memang gak ada di kost, jadi tak betemu dengannya. Yovan ternyata masih mengingat tempat yang suka kukunjungi. Tiga hari berikutnya dia datang ke perpus. Dengan pakaiaannya yang rapi dan nada suaranya yang khas menyapaku. “Hai Rin?” “Kenapa Mas Yovan di sini?” sahutku. “Nungguin kamu, aku kan gak bisa masuk perpus seperti dulu lagi.” “Memangnya ada perlu apa?” “Ridi sudah bercerita banyak tentangmu. Sejujurnya semua kemangkelan yang kubuat selama ini hanya untuk mengetahui lebih dalam yang sesungguhnya. Aku tahu sebenarnya kamu pengin marah saat aku ke rumahmu dengan Della. Tapi aku mendiamkannya.” “What? Dia hanya MENGUJIKU! melakukan hal itu?” gerutu batinku.
Apa untungnya coba
“Sudahlah Mas, jangan main-main, bukannya kamu sudah bertunangan dengan Della?”
“Maaf Mas, aku gak mau main-main lagi dan terjerembab ke dosa yang bertubitubi seperti dulu yang pernah kulakukan.”
“Siapa yang bilang? Serem banget beritanya. Aku dan Della memang sempat jalan bareng tapi aku gak serius. Semua itu kulakukan karena ingin tahu tanggapanmu saja.” Entah apa yang ada di pikiran Yovan. “Apa seperti itu cara untuk menginstal cintanya padaku?” “Terus kenapa kamu mencariku
49
Lyna Idris
beberapa hari ini?” “Ya pengin jalan sama kamu, dan memulai babak awal.” “Maaf Mas, aku gak mau main-main lagi dan terjerembab ke dosa yang bertubi-tubi seperti dulu yang pernah kulakukan.” Aku meninggalkannya dan menuruni anak tangga satu demi satu. Mungkin dia bingung kenapa aku bisa ngomong seperti itu. Malam hari aku mendapat sms dari Yovan. Dia sms menanyakan beberapa hal kenapa aku bisa berubah seperti itu. Kukatakan padanya. “Aku bisa seperti ini karena mengkaji Islam lebih dalam dan mencoba menerapkannya dalam kehidupan.” Hari itupun aku menawarinya untuk ikut mengaji tapi dia tak membalasnya. Tanda dia Seiring berjalannya waktu gak berminat.
Yovan intens untuk ikut mengaji. Cara berfikirnya pun terarah. Keintelektualannya semakin terasah dengan pemikiran Islam. Ditambah hobinya yang suka jurnalistik semakin membuat wawasannya luas.
Seminggu setelah itu, Yovan membalas smsku, dia mengatakan tertarik dan ingin mengaji. Sebelumnya kusampaikan padanya. Kalau mengaji hanya sekedar pengin dekat denganku mending jangan. “Lho orang mau belajar kok gak boleh?” balasnya.
“Ya daripada gak serius.” “Aku beneran pengen belajar dan mencoba menseriusi kehidupan ini.” Segeralah kuberi nomor pak Supri. Aku yakin beliaulah orang yang tepat untuk membimbing Yovan. Seiring berjalannya waktu
50
Instalan Cinta Anak Teknik
Yovan intens untuk ikut mengaji. Cara berfikirnya pun terarah. Keintelektualannya semakin terasah dengan pemikiran Islam. Ditambah hobinya yang suka jurnalistik semakin membuat wawasannya luas. Aku tahu hal itu dari Bu Ifah, istri Pak Supri sekaligus guru mengajiku. * Di lain kesempatan bu Ifah mengundangku ke rumahnya. Setelah kuucapkan salam aku masuk. Betapa terkejutnya saat kuarahkan mata sipitku pada seseorang yang ada di sebelah kanan Pak Supri. Yovan! Ternyata dia sudah di sana. “Dik, maksud saya mengundang Anti ke sini, karena Mas Yovan ingin menyampaikan niat baiknya kepada Anti,” Bu Ifah memulai percakapan. “Maaf mengerti.”
Bu,
saya
tidak
“Mungkin Mas Yovan akan menjelaskan.” “Begini Rin, aku ingin melamar kamu dan menseriusi hubungan kita,” sahut Yovan.
Tepat hari Senin pukul 16.00 Yovan sampai di rumahku dengan ayahnya. Orang tuaku menyambutnya dengan hangat dan penuh keterbukaan. Perasaan dag dig dug mulai terasa di hatiku saat mahasiswa S2 asal Sidoarjo itu memulai percakapan dengan ayahku. Sungguh luar biasa rencana Allah. Orang sehebat dia dengan gagah beraninya melamarku.
Ya Allah, kali ini aku tak meragukannya. Aku yakin pemahaman Islam telah membentuk pribadi berkualitas dalam dirinya, hingga dia mampu mengatakan hal itu dengan tegas.
“Alhamdulillah kalo Mas Yovan punya niatan seperti itu, kapan Mas akan ke rumah dan menemui orangtua saya?”
51
Lyna Idris
“Insya Allah, Senin depan Rin.” * Tepat hari Senin pukul 16.00 Yovan sampai di rumahku dengan ayahnya. Orang tuaku menyambutnya dengan hangat dan penuh keterbukaan. Perasaan dag dig dug mulai terasa di hatiku saat mahasiswa S2 asal Sidoarjo itu memulai percakapan dengan ayahku. Sungguh luar biasa rencana Allah. Orang sehebat dia dengan gagah beraninya melamarku. Kini aku menjaga hatiku, seperti dirinya yang menjaga perasaan dan mengisi harinya penuh doa terbaik untuku. Insya Allah, tak lama lagi aku akan bersanding dengannya dalam ikatan suci pernikahan. Amin.
52
53
Khoirul Bakhri
Sweet Ocean Khoirul Bakhri Suatu hari di akhir kalender masehi, saat orang-orang lebih banyak mempersiapkan diri untuk merajut pesta kembang api menyambut pergantian dan pertambahan umur. Aku pergi menenangkan diri di pantai, menunggu jawaban atas dambaan putri pembawa mimpi. Saat aku mencapai bibir pantai, kunikmati pergerakan konstan ombak yang silih berganti, saling susulmenyusul. Tiada bait yang kusampaikan terkecuali bergumam, ini kuasa Ilahi. Berteduh dan bersandar di bawah kaki pohon kelapa, menyejukkan pandangku melelapkan mataku. Dalam setengah jam aku melihat putri pembawa mimpi. Berjalan melewati semak belukar yang menghalangi jejak telapak kaki, membawa senyuman perwakilan dari semua orang yang sedang kasmaran. Berbingar riang dengan warna lipstik muda lambangkan usianya, mendekatlah dan duduklah di sampingku. Ceritakan siapa yang melahirkan senyum manis kecil itu? bergeraklah bibirnya, tidakkah kau merasakan apa yang melambangkan kebahagiaan ini, Sweet Ocean. Ini kesadaranku yang menjemput dan menuntunku pada ungkapan kata rindu, melewati gerak durjana perlakuan keji penggantimu. Apa yang kau sesalkan dari perpisahan itu? Terjawab, tiada aku menyesalinya. Garis Tuhan menyertakan pijakanku, mendewasakan pikirku pada ujian peningkatan kelas agar pantas bersanding denganmu. Kunikmati cara pandangmu yang selama ini kukatakan tiada kesinambungan. Kurasakan manisnya penghidupan tiada ketergantungan. Kurasakan pahitnya pengorbanan tanda kesetiaan.
54
Sweet Ocean
Ada apa dengan perselingkuhan itu? Gumamnya, tiada kuasa derai airmata ini mengingatnya. Hina sekali tabiat perlakuan wanita yang dilanda kedurhakaan cinta. Kumerasa tiada disuka, disanjung, perhatian tiada disuguhkan, acuh dikedepankan. Timbangmenimbang kupertaruhkan demi kelangsungan ikatan. Ia datang menawarkan kenyamanan sampai merobohkan tiang kepercayaan yang kaubangun dengan pondasi kejujuran di atas mimbar tetesan air hujan. Apa lagi yang dapat aku sajikan untuk kebutuhan rasa ini? menyeruak, memberontak, apalagi? Setan-setan kecil itu merasuki telinga kanan dan kiriku berseru pada pelukan terlarang dan ciuman terharam.
Ada apa dengan perselingkuhan itu? Gumamnya, tiada kuasa derai airmata ini mengingatnya. Hina sekali tabiat perlakuan wanita yang dilanda kedurhakaan cinta. Kumerasa tiada disuka, disanjung, perhatian tiada disuguhkan, acuh dikedepankan.
Lantas aku bertanya, apa arti permintaan jumpa ini? Sahut ia menjawab, tabir mimpi memprovokasi kenyaman istirahatku. Membawakan kereta lukisan lambangkan kemegahan, dengan ketiga kuda putih kecil yang menari di atas rumput nan hijau teduh. Benakku mengungkap inikah isyarat tanpa syarat namun tersirat dari Sang Pemangku Akhirat. Kini siapa pemilik hatimu? Ia menjawab, terlalu banyak yang menjadi pengisi hati ini. Silih berganti laksana rotasi hidup dan mati, bahkan aku sendiri tiada mengetahui kenyataan pasti termiliki, semua itu ilusi tanpa kontribusi. Andai ada pilihan terdapati akan kuulangi romansa kesucian putih, takkan pernah ada birahi terwakili, ciuman bayang sunyi, terlena mencumbui, hardik kuasa
55
Khoirul Bakhri
terbebani, goyah dalam menjalani, layangkan kasih pintamu untuk jadi pemimpin dan imam diri. Terkubur dalam goa yang hitam, senyapkan segala bayangan suram atas pernyataan, ingin sekali membencimu bahkan menguburmu dengan doa pengangkatan teraniayaku. Tercoret seluruh potret inisialmu, tekuni segala cacian membodohkan seolah kau makhluk Tuhan satu-satunya di jagad hampa ini. Namun pernahkah kaumenakar apa arti sebuah penantian? Suaranya berkata, kumenunggu hadirnya wahyu pembawamu. Cahayamu kunanti pada setiap terbitan mentari pagi. Senja tetap kutunggui demi menghirup hembusan ilalang wangi. Bingung kumencari posisi, radarmu hilang termakan kesibukan dengki, duduk menyamun eloknya pelangi dengan berjuta warna dan warni.
Di atas pasir ini kutumpahkan segala jenis tanda tanya mengatasnamakanmu. Tidak hanya itu, dalam hati yang penuh dengan pahala dan dosa ini selalu ada tentangmu, tentang kita dan masa depan kita. Berpegangan pada ranting, mereka takkan berontak ketika selembar daun melepaskan dan menjatuhkan diri.
Cerita asmara tiada pernah dan takkan pernah dapat dilupa, tersimpan selalu dalam jiwa, itulah yang selama ini kuagungkan. Warna kemerahan terpancar bersama gulungan awan, kian tergeser secara perlahan, di sini aku berdiri melepas segala bayang dan anggunmu. Segera tangan ini melambai tanda perpisahan, ombak semakin keras meremukkan karang. Di atas pasir ini kutumpahkan segala jenis tanda tanya mengatas-namakanmu. Tidak hanya itu, dalam hati yang penuh dengan pahala dan dosa ini selalu ada tentangmu, tentang kita dan masa depan kita. Berpegangan pada
56
Sweet Ocean
ranting, mereka takkan berontak ketika selembar daun melepaskan dan menjatuhkan diri. Sweet Ocean kekasihku yang tak termiliki, peluk relung ini, hangatkan setiap kedinginanku. Biarkan saja gerimis sunyi menyertai tangisan, aku tak mampu lagi melafalkan Sweet Ocean kekasihku gugatan prahara kepedihan, yang tak termiliki, peluk bibirku bungkam menerka sebuah kenyataan. Detik ini relung ini, hangatkan aku milikmu dan kau masa setiap kedinginanku. depanku. Usai detik ini juga kau akan menjadi masa lalu Biarkan saja gerimis sunyi manisku, meski selepas ini menyertai tangisan, aku aku kembali pada gubuk tak mampu lagi melafalkan derita, terpenjara oleh barisan besi yang terjejer gugatan prahara rapi.
kepedihan, bibirku bungkam menerka sebuah kenyataan.
Dengarlah permintaan hatiku Sweet Ocean, cium bibir ini hingga lelap dan dalam, nikmati setiap cumbuan, inilah pahit manis getaran cinta. Cintaku padamu adalah debu-debu kematian yang akan ditaburkan pada arus tenang sungai Gangga, akan terus mengalir merasuk dan meresap ke palungnya. Tiada keabadian namun yang ada hanyalah puji-pujian kenangan yang takkan kunjung padam terkecuali pada kemustahilan seperti mustahil terbakarnya raga dalam hujan dan banjirnya kota dalam kemarau. Apa impian akhir ceritamu? Dengan suara terbata-bata ia menjawab, pantaskah kau menanyakan itu padaku? Jika memang itu yang kauinginkan maka biarkan nafas ini terus mentasbihkan namamu sendiri, bangunan tua tempat memadu kasih. Masih mengingat dan berharap agar kita kelak pergi ke sana berdua, dengan senyum bahagia tempo dulu. Lereng kaki gunungpun
57
Khoirul Bakhri
memanggil, tempat kau membisikkan puisi di atas daun menguning. Pelangi yang melingkari tempat duduk kita, masih sanggup memberi teduhan peristirahatan. Akhir ceritaku adalah kuingin kau menginginkanku, menjadikan istri dan ibu dari anak-anakmu kelak, akhir cinta abadi bersamamu. Setelah mengatakan hal itu, lepaskan pelukan dan ciuman. Berlari menjemput ombak, diterjanglah sampai terseret bersamaan dengan pecahan karang. Berdarahlah jiwa dan raga, perih bukan bualan, pedih bukan siksaan, karena inilah kesakitan dalam kelembutan. Semakin terasa kencangnya semilir bayu sore, dihiasi redupnya sinar surya, semakin samar bayangan itu. Lukisan namapun terhapus guyuran percikan batu-batu kecil, semakin tak terlihat, pergeseran dimensi waktu menenggelamkan raup rupa. Selamat jalan dan selamat atas segala kehidupan. Dedaunan hijau sungguh indah ketika embun menetesinya, begitupun liontin dua sejoli yang melingkar di dua jemari. Ada yang perlu diungkap, ada pula yang tampak dengan sendirinya. Kisah cinta pertama takkan pernah usai meski banyak rayuan-rayuan yang menjelma, godaan-godaan yang lebih eksotis. Cinta pertama akan tetap manjadi indah, menyisakan semua yang dirasa. Kini kau bukanlah putri pembawa mimpi lagi, melainkan ratu dari setiap mimpiku. Ku kan menghormati setiap kehadiranmu, kan kutunggu kedatanganmu pada dimensi manapun. Kan kuterima kau dengan busana apapun, tak peduli lagi tentang cahaya elok kecantikanmu, tak peduli lagi apa warna rambut dan lipstikmu. Namun ijinkan aku mengagungkan pintaku, tetaplah menjaga hati dan perasaan akhlak muliamu.
58
59
Devi Purwo
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan Devi Purwo “Tuhan, bila masih ku-diberi kesempatan, izinkan aku untuk mencintainya.“ Siang itu, ketika aku duduk di teras masjid kampus menunggu sahabatku shalat. Tiba-tiba tanpa aku sadari ada tatapan mata yang melihatku. Aku tidak menghiraukan hal itu. Namun, lama-kelamaan aku mulai tidak nyaman. Hingga akupun mengambil buku bacaan yang aku dapat dari salah satu acara BEM Psikologi. Aku sengaja menyibukkan diriku dengan membaca, agar tidak melihat dia yang sedang melihatku. Caraku cuek dengan membaca tidak membuat dia berhenti melihatku. Tetapi dia menyuruh temannya untuk mengodaku. “Rajin sekali yang baca buku?“ goda temannya. Aku mendengar suara itu. Namun tidak mengganggap itu untukku. Sebab, aku mengira untuk orang lain. Sekali dua kali hingga berkali-kali kata itu selalu diucapnya. Tanpa sengaja, ketika aku melihat sekeliling hanya aku yang sedang membaca. Membuatku menyadari, bahwa kata itu ditujukan untukku. Aku sempat melihat dia tidak berhenti melihatku. Ketika aku hendak ke kampus untuk mengikuti sosialisasi IMM.
60
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
Seiring berjalannya langkah kakiku bersama sahabatku. Aku menceritakan hal yang terjadi padaku ketika aku menunggu ia shalat. Seperti biasa aku dan sahabatku selalu menceritakan apa yang terjadi pada kita. Hanya sebatas cerita. Dan melupakan apa yang terjadi. Sehingga akupun mulai konsen dengan salah satu acara ekstra kampus. Kajian Islam. Aku tidak menyadari bahwa acara Kajian Islam yang aku ikuti merupakan salah satu agenda rutin. Yang diadakan setiap satu bulan sekali. Tatapan mata mulai kudapatkan kembali. Ketika ia sedang sibuk mempersiapkan segala perlengkapan bersama temantemannya. Aku mulai risau dengan apa yang selama ini terjadi. Aku mencoba untuk cuek namun pikiran tentang dia mulai menghantuiku. Pertemuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya membuat aku akhirnya mengetahui bahwa ia memiliki rasa padaku. * Ketika liburan kampus tiba. Setelah ujian aku mulai dikejutkan dengan sebuah sms yang tidak aku kenal nomornya. Ia meminta izin kepadaku untuk ta’aruf. Aku mencoba untuk menerima permintaannya. Sekali dua kali dia berkomunikasi selayaknya teman-temanku yang berkomunikasi denganku. Namun, ketika hendak masuk waktu kuliah dia memintaku untuk memberikan waktu berbicara satu hal serius kepadaku. “Ya Ukhti?“ Panggilan itu yang ia sebutkan untukku. “Ya Akhi?“ Ini yang aku sebutkan untuk dia. Malam hari, ketika aku sedang santai tiba-tiba ada panggilan masuk di hape-ku. Kubaca ternyata itu nomor dia. Aku bimbang antara menjawab atau tidak. Lama aku biarkan berdering, hingga akupun tidak tega membiarkan ia menunggu jawabanku. Aku menggangkatnya. “Ya Ukhti, kaifa haluki?“ tanyanya. “Alhamdulillah bi khoir, ya Akhi!“ jawabku.
61
Devi Purwo
Sepatah dua patah, perbincangan kami mulai mendekati serius. Aku dengan perasaan berdebar mencoba untuk menjawab semua pertanyaannya untukku. Entah apa yang sedang aku “Aku mencintaimu ya alami. Pembicaraan Ukhti, bolehkah aku pertama kaliku dengannya. memilikimu?“ Di mana aku tidak pernah berbicara dengannya Aku terdiam, bimbang, sebelumnya, membuatku terkejut sekaligus bingung. harus berusaha untuk Tidak ada satu katapun yang menjawab sebaik mungkin. Agar tidak terlihat keluar dari mulutku. Dia kesalahanku dalam mengetahui bahwa aku menjawab. Karena, perasaan dag-dig-dug-ku.
tidak pernah pacaran.
“Ya Ukhti, bolehkan aku mengungkapkan satu kejujuran kepada Antum?” Pintanya. “Boleh Akhi, silahkan,” jawabku dengan penuh tanda tanya. “Aku mencintaimu ya Ukhti, bolehkah aku memilikimu?“ Aku terdiam, bimbang, terkejut sekaligus bingung. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Dia mengetahui bahwa aku tidak pernah pacaran. Dia akhirnya meminta maaf padaku karena merasa bersalah telah berbicara itu padaku. Aku akhirnya berbicara padanya, “Tidak perlu minta maaf karena antum tidak bersalah. Terima kasih banyak atas semuanya,“ jawabku padanya. Ia meminta aku untuk menjawab kejujurannya. Namun, aku tidak menjawabnya dan meminta kepadanya memberi waktu untuk berpikir. Ia pun menerima permintaanku. Pikiran tentangnya mulai menghantui setiap hari-hariku. Terkadang pikiran itu membuatku harus mencari kesibukkan, agar bisa menghilangkan pikiran itu. Namun terkadang masih terselip satu pikiran tentangnya.
62
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
Bimbang itu yang aku rasakan. Setelah kejadian malam itu. * Aku hanya dapat tertunduk ketika bertemu dengannya di kampus. Juga ketika acara Kajian Islam yang selalu aku ikuti. Tidak banyak perbincangan yang aku lakukan dengannya ketika bertemu langsung di kampus. Karena kami selalu berbincang via telepon atau sms. Kebiasaan di ma’had atau pesantren kami masih membekas dalam diri kami. Untuk tidak bertatap selain sebuah acara. Sehingga hanya lewat kejauhan kami bertatap. Kecuali jika ada acara yang menuntut kami untuk berbicara secara langsung, itupun dengan jarak yang lumayan jauh. Terkadang, salah satu sahabatnya yang mengetahui perasaannya padaku sesekali menjahiliku dengan menggoda kami. Membuatku tertunduk malu. Ia pun sama. * Diklat. Aku mengikuti satu acara UKM, “Unit Kegiatan Mahasiswa” kampus yang kebetulan diikutinya. Sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa dia mengikuti UKM itu. Aku mengetahui ketika satu agenda dia yang membimbing. Sahabatnya kembali menggodaku dengannya ketika dia membimbingku. Layaknya guru dan murid. Suatu ketika, aku dibuat Aku mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan. Aku terpana. Saat aku menghormatinya. Terkadang, ia diam-diam memperhatikanku. mendengar suara Dan terkadang, menegurku lantunan ayat al-Qur’an ketika aku terlalu santai yang ia bacakan dengan menjalankan salah satu agenda kegiatannya. Dia mulai berani indah. berbicara denganku langsung namun tidak di keramaian teman-temannya. Ia berbicara ketika kegiatan berlangsung dengan men-support-ku dan menegurku.
63
Devi Purwo
Kebiasaan di ma’had yang membuat kami selalu berjarak ketika berbicara, duduk maupun lainnya. Meskipun kami berbeda ma’had, kebiasaan itu sama. Aku mulai sedikit demi sedikit mengenali kepribadiaannya. Baik itu lewat dirinya sendiri maupun sahabatnya. Rasa kagum mulai tumbuh dalam diriku ketika aku telah mengenali kepribadiaannya. Suatu ketika, aku dibuat terpana. Saat aku mendengar suara lantunan ayat al-Qur’an yang ia bacakan dengan indah. “Cinta? Apa aku sedang jatuh cinta? Tuhan, mengapa diri ini seperti ini? Tuntun aku, Tuhan.“ * Malam Takbir. Dia menelfonku. Meminta izin kepadaku untuk berbicara serius. Aku menyadari bahwa ia pasti akan berbicara hal yang telah ia ungkapkan, beberapa bulan yang lalu. “ Ya Ukhti, bolehkah saya bertanya sesuatu?“ pintanya. “Iya boleh, silahkan Akhi.“ “Ukhti, bagaimana jawaban untuk perasaan yang pernah saya ungkapkan ke Ukhti?“ Aku terdiam, bingung harus menjawab bagaimana. Dalam hati kecilku berkata, bahwa akupun memiliki rasa sama denganya. Namun di sisi lain aku teringat dengan satu prinsip yang pernah aku buat bersama sahabatku saat di ma’had untuk tidak berpacaran. Prinsip itu kebetulan masih belum disepakati, jadi hanya sebatas angan. “Ya Akhi, aku bingung.“ “Ukhti, aku hanya ingin mengajak Antum berpikir.” ”Andai Ukhti ada di posisiku, Ukhti siapkah menunggu lama? Tidak perlu Ukhti jawab dengan ucapan. Cukup Ukhti jawab dalam hati Ukhti.“ Aku menyadari bahwa menunggu adalah hal yang menyakitkan. Aku sadar, aku telah membuat sakit dalam hatinya 64
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
karena membiarkannya menunggu jawaban dariku selama beberapa bulan, di mana jawaban itu hanya sebatas ya atau tidak. Akhirnya akupun menjawab perasaannya, “Ya Akhi, bismillah ana jawab perasaan Antum sekarang. Saya sama seperti Akhi, rasa ini sama seperti Antum.“ Linangan airmata jatuh dari mataku. Entah karena apa aku menangis. “Ya Ukhti, cabut jawaban Ukhti jika Ukhti melakukan ini hanya karena kasihan denganku, karena aku telah menunggu lama.“ Airmataku semakin banyak jatuh setelah kudengar ia berkata seperti itu. “Akhi tidak perlu berkata seperti itu, saya mengatakan apa adanya Akhi, kalaupun terpaksa pasti saat ini saya cabut perkataan saya.” “Akhi rasa ini tidak harus berujung pacaran kan?“ tanyaku padanya. Ia terdiam ketika aku berkata seperti ini. Terdengar nada sedih dari suara lembutnya. Namun ia mencoba untuk menyembunyikan kesedihannya.
Namun, aku tetap dalam kebimbangan. Apakah aku ini memang jatuh cinta atau hanya sebatas kagum?
* Hari-hariku mulai terasa indah. Kata orang aku sedang jatuh cinta. Namun, aku tetap dalam kebimbangan. Apakah aku ini memang jatuh cinta atau hanya sebatas kagum? Dia mulai semakin perhatian, meluangkan waktunya untuk menemaniku sms atau telepon daripada sekedar bermain dengan teman-temannya. Membelajariku banyak hal meskipun hanya via telepon. Menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Menjadi motivasi untukku agar dapat menjadi pribadi seperti dia yang ibadahnya baik dan hafidz.
65
Devi Purwo
Suatu ketika ia pernah mengetesku dengan mengajakku jalan berdua. Aku dengan beberapa alasan menolak tawarannya. Ia setelah mendengar alasanku mengatakan bahwa, “Aku semakin mantap denganmu Ukhti.“ Bingung yang aku rasakan ketika ia tidak marah aku menolak tawarannya. Semua aku lalui dengan apa adanya. Sesekali ia mengatakan bahwa ia ingin bersamaku seterusnya. Aku hanya tersenyum ketika ia mengatakan keinginannya. Dia mengganggap ukhuwah yang terjalin antara aku dan dia adalah pacaran. Namun, ketika ia mengetahui bahwa aku tidak menganggap ukuwah ini pacaran, ia akhirnya mengajakku untuk berta’aruf. Layaknya sebagian orang yang melakukan ta’aruf dengan perantara mahram kita masingmasing. Aku yang mengetahui niat baiknya itu mengatakan padanya. “Jika memang ini yang terbaik dan atas ridho Allah saya serahkan semua pada-Nya. * Yaman. Ibarat petir, aku tidak kuasa menahan tangisku. Tepatnya di hari ulang tahunku. Aku mendengar kabar darinya bahwa ia akan berangkat ke Yaman untuk melanjutkan belajarnya. “Ya Ukhti, maafkan saya, baru sekarang saya memberitahu Ukhti. Alhamdulillah saya diterima di Universitas Yaman. Dan bulan ini saya akan berangkat. Sekarang saya sedang menunggu paspor dan visa saya. Insya Allah selama saya belajar saya tidak membawa hape karena saya ingin konsen belajar.“ Tidak nafsu makan, tidak nafsu beraktifitas. Airmata semakin deras keluar dari mataku. Sahabat-sahabatku yang mengucapkan selamat ulang tahun tidak ada yang aku jawab. Aku larut dalam kesedihan hingga salah satu sahabatku mengetahui hal ini. Ia pun menghiburku namun nihil. Aku tetap menangis. “Tuhan, apakah aku benar mencintainya?”
66
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
Tangisan itu jatuh lagi ketika aku membaca inbox facebook-ku. “Ya Ukhti, ana berangkat sekarang. Maaf saya pamit lewat facebook karena nomor Ukhti tidak dapat dihubungi. Doakan ana di sana Ukhti, dan ana akan berusaha jaga hati ana untuk Ukhti. Uhibbukum fillah, Ukhti.“ Aku sedikit tidak percaya dengan itu semua. Bergegas aku menelpon nomernya ternyata memang benar dia telah berangkat. Sepupunya berpesan kepadaku bahwa ia diamanahi untuk memberitahuku bahwa dia telah berangkat. Tangisan yang tidak dapat aku tahan akhirnya membasahi kerudungku. Hari-hariku mulai hampa. Rasa capekku dengan keadaan seperti ini membuatku mulai mencari beberapa kesibukan agar aku dapat melupakannya. Memang caraku berhasil, namun tidak secara menyeluruh. Karena aku tidak dapat melupakan rasa yang telah ada dalam diriku. * Tidak ada harapan. Aku mulai belajar melupakan semua yang pernah aku lalui bersamanya. Mengubur semua yang pernah terjadi. Karena aku berpikir dia di sanapun pasti lupa. “Ya Ukhti, ana datang.“ Rasa yang telah terkubur mulai ada kembali ketika ia datang dalam harihariku kembali. Sakit yang kurasakan sekian lama. Aku mencoba untuk melupakan rasa itu namun akhirnya muncul kembali. Tidak dapat
Rasa yang telah terkubur mulai ada kembali ketika ia datang dalam hari-hariku kembali. Sakit yang kurasakan sekian lama. Aku mencoba untuk melupakan rasa itu namun akhirnya muncul kembali. Tidak dapat kupungkiri bahwa aku tidak dapat melupakannya.
67
Devi Purwo
kupungkiri bahwa aku tidak dapat melupakannya. Ia mencoba untuk meminta maaf padaku atas apa yang telah ia perbuat hingga aku merasakan sakit. Aku memaafkannya. Ia mengungkapkan semua sakit dalam hatinya ketika ia harus menahan rasa rindu padaku ketika ia di sana. Ia menyampaikan padaku bahwa ia masih seperti dulu. Ia pun mengatakan bahwa ia takut aku punya orang lain. Apa yang dirasakannya ternyata sama dengan apa yang aku rasakan. “Ya Ukhti, tunggu aku. Pada waktunya nanti aku akan datang kepadamu untuk melakukan ta’aruf. Niat yang telah aku ungkapkan ke Ukhti.“ Tidak dapat berkata apa-apa. Aku hanya terdiam. Tidak manjawab satu katapun untuk pembicaraannya karena ia tidak memungkinkan untuk ”... sekarang yang terpenting pulang. Pertikaian kecil antara aku dan dia bukan mengkhayal sempat terjadi ketika mendapatkan rojul yang baik itu. Dan karena keegoisan kami akhirnya seperti yang kita harapkan, aku dan dia tidak namun bagaimana kita dapat berkomunikasi sampai dia datang dalam inbox berubah untuk berusaha facebook-ku. Ia menjadi diri yang baik memberi kabar akan pulang. layaknya pasangan baik yang “Ukhti, aku akan pulang ke Jawa insya Allah. Ukhti di sana baikbaik saja kan? Dan rasa itu masih ada kan?“ Pesan singkat yang penuh dengan ketidakpastian kapan ia benar-benar pulang.
68
kita harapkan. Baik itu dalam segala hal, terutama ibadahnya. Karena percuma kita berkhayal namun diri kita tidak seperti apa yang kita khayalkan.”
Izinkan Aku Mencintainya, Tuhan
Seakan tidak terjadi pertikaian antara kami. Ia berani mengirim pesan singkat di inbox-ku. Beberapa pesan singkat itu membuatku harus merasakan sakit kembali karena aku akan mengalami kerinduan. Menjadikanku harus berusaha untuk mencari kesibukkan kembali untuk dapat melupakannya. Walaupun tidak sepenuhnya aku dapat melupakannya. Move on. Hanya ini yang selalu aku pegang sebagai modal untukku bangun dari semua keterpurukanku. Hingga akupun bisa mengubur sedikit demi sedikit setelah aku mendapat nasehat dari salah satu ustadzah yang mengisi Kajian Islam. “Tidak perlu bersedih hati, yakinlah Allah telah menyiapkan pasangan untukmu. Mungkin memang bukan sekarang waktunya. Tapi suatu saat jika telah tiba waktu itu dia akan menghampirimu. Ingatlah selalu bahwa nisa’, perempuan yang baik pasti akan mendapat rojul, lelaki yang baik, begitupun sebaliknya. Maka dari itu sekarang yang terpenting bukan mengkhayal mendapatkan rojul yang baik seperti yang kita harapkan, namun bagaimana kita dapat berubah untuk berusaha menjadi diri yang baik layaknya pasangan baik yang kita harapkan. Baik itu dalam segala hal, terutama ibadahnya. Karena percuma kita berkhayal namun diri kita tidak seperti apa yang kita khayalkan.” Ibarat bunga yang mekar setelah tersiram air. Aku mulai menjalankan semua hari-hariku dengan penuh optimisme bahwa akan indah esok hari ketika waktu telah tiba. Aku yakin jika memang dia milikku suatu hari nanti dia akan dipertemukan denganku. Namun, jika dia bukan milikku pasti aku akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari dia sesuai pilihanNya. Sabar itu indah meski pahit dirasa. Karena manisnya terasa saat akhir.
69
Devi Purwo
Dan jika aku masih diberi kesempatan satu kali lagi untuk bisa merasakan manisnya ukhuwah itu, aku ingin. “Engkau izinkan aku mencintainya karena-Mu, Tuhan. Dan merasakan manisnya separuh iman bersamanya.“ CINTA, CINTA, Kata Ungu, “Cinta adalah misteri dalam hidupku, yang tak pernah kutahu akhirnya.“
70
71
Putri Nur Jannah
Akhir Penantian Cinta Putri Nur Jannah Cinta itu menghampiriku dengan tiba-tiba dan tak terencana. Aku mulai merasakan hal yang aneh saat bersamanya. Ya, rasa yang tak pernah ada sebelumnya. Aku mulai mengenalnya ketika menginjakkan kaki pertama kalinya di kampus. Hari pertama yang penuh dengan kejutan dan keistimewaan. Waktu yang mungkin selama ini ditunggu-tunggu oleh setiap manusia selulus SMA. Aku merasa kagum dengannya saat dia menjadi pendamping ospek. Laki-laki yang sangat di idam-idamkan oleh semua wanita. Tapi aku tak pernah menyangka jika dia memberiku posisi yang spesial di hidupnya. Aku tak pernah menginginkan itu semua karena bagiku perkenalan singkat itu sudah cukup. Tapi jika Allah berkata lain, aku tak akan pernah bisa menolaknya. Perkenalanku dengannya dimulai ketika hari telah larut malam dan aku harus segera pulang ke rumah. Tapi keadaan berkata lain, aku harus mengalami kecelakaan terlebih dahulu sebelum sempat berkenalan dengannya. Malam itu aku mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda motor akibat terserempet sepeda lain. Aku mencoba mencari pertolongan tapi itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang menyempatkan diri menolongku. “Apa tidak ada satu orang pun yang menolongku? Apa mereka malas atau pura-pura tak melihatku yang sedang mengalami kesusahan? Apa mereka semua tak berpikir jika hal ini menimpa mereka?” Aku terus menggerutu dalam hati sampai ada seorang laki-laki menghampiriku dan rela menyempatkan diri menolongku.
72
Akhir Penantian Cinta
Aku merasa tersentak mengetahui laki-laki itu adalah Ardi. Aku langsung merasa salah tingkah dan terbengong-bengong melihatnya. Ardi membantu membenarkan sepeda motorku yang terguling. Aku segera berdiri dan berkata, “Terima kasih Mas,” dengan tersenyum kepada Ardi. “Sama-sama, sepeda kamu harus dibetulkan dahulu karena tidak mungkin kamu pulang dengan keadaan seperti ini.” “Tapi, ini sudah terlalu larut malam Mas. Aku harus segera pulang karena ibu pasti sedang menungguku dengan cemas.” Aku mencoba menjelaskan bahwa hari sudah sangat malam. Dan tak mungkin aku menunggu sepeda motorku dibenahi di bengkel karena pasti sangat lama. “Oke, begini saja. Aku akan membawa sepedamu ke bengkel dan setelah itu kamu akan kuantarkan pulang. Karena tidak mungkin kamu harus naik angkot sedangkan hari sudah sangat malam.” Ardi membujukku. “Gak mungkin Mas, kalau sepedaku harus dibawa ke bengkel dahulu pasti lama. Harus nyari bengkel yang masih buka sedangkan ini sudah malam.” Aku tetap ingin segera pulang karena jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Aku merasa nyaman saat berbicara kepadanya dan entah mengapa aku merasa seperti cocok dan akrab dengannya.
“Ya sudah, kamu akan aku antarkan pulang dan setelah itu aku akan kembali lagi ke sini mengambil sepeda motormu dan membawanya ke bengkel. Tapi sebelum itu aku titipkan sepeda motormu di warung itu ya?” Ardi memberi pengertian kepadaku. Aku hanya bisa mengangguk.
73
Putri Nur Jannah
Ardi segera menitipkan sepeda motorku ke warung yang masih buka dan berkata kepada pemilik warung bahwa nanti akan mengambil sepeda itu lagi. Setelah selesai menitipkan sepeda motorku, Ardi segera mengantarku pulang. Di perjalanan kami mengobrol panjang lebar mulai dari mengapa masuk kuliah di sini dan banyak lagi yang lainnya. Aku merasa nyaman saat berbicara kepadanya dan entah Tidak ada satu orang pun yang mengapa aku merasa seperti cocok dan akrab tahu jika aku dan Ardi sudah dengannya.
berteman dekat. Ini disebabkan
Sejak pertemuan karena Ardi adalah laki-laki yang tak terduga dan tidak terencanakan itu. yang populer dan menjadi Aku dan Ardi berteman idaman mahasiswi lainnya. dekat dan kami sering jalan, mengobrol dan Sahabatku Liana saja tak bercanda bersama. mengetahui jika aku sudah Tidak ada satu orang pun yang tahu jika aku dekat dengan Ardi. dan Ardi sudah berteman dekat. Ini disebabkan karena Ardi adalah laki-laki yang populer dan menjadi idaman mahasiswi lainnya. Sahabatku Liana saja tak mengetahui jika aku sudah dekat dengan Ardi. Liana tetap menganggapku masih mengagumi Ardi dari jauh. Dan masih mengharapkan agar Ardi bisa dekat denganku. Pertemananku dengannya sungguh suci. Tak ada kata-kata ingin saling berpisah dan menjauh serta saling melupakan. Tapi itu semua hanya khayalan dan pada akhirnya kami harus saling menjauh dan melupakan. Dan akhirnya saat itupun tiba. * Sepi. Ya, itulah suasana ruang perkuliahan yang saat ini kutempati. Hanya ada suara kipas angin yang membisingkan ruangan. Pantas karena hari sudah mulai malam dan hanya ada aku di gedung lantai dua ini. Aku memang berniat untuk pulang malam
74
Akhir Penantian Cinta
karena masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Kalau sudah di rumah maka malas untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk.
Rasa gelisah itu semakin kuat mengahantui pikiranku. Aku sudah tidak bisa berfikir secara jernih lagi. Sudah banyak hal yang aneh kufikirkan. Aku merasa ada orang lain yang menuju ruangan ini. Langkah kaki itu semakin dekat dan semakin dekat ...
Hening malam makin terasa dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat. Dalam hati, “Benar nih, sudah gak ada orang di sini?” Bulu kudukku mulai berdiri merasakan dinginnya udara. Hati juga sudah mulai berdebar-debar membayangkan hal-hal yang aneh. Tapi, aku tetap mencoba untuk mengatur rasa khawatir bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Rasa gelisah itu semakin kuat mengahantui pikiranku. Aku sudah tidak bisa berfikir secara jernih lagi. Sudah banyak hal yang aneh kufikirkan. Aku merasa ada orang lain yang menuju ruangan ini. Langkah kaki itu semakin dekat dan semakin dekat seiring dengan suara tatapan sepatu dan lantai yang semakin keras. Pintu ruangan bergerak dan berbunyi. Ngiik ngiik. Aku sontak menolehkan kepalaku ke arah pintu dan ternyata tak ada siapapun. Aku kembali memusatkan pandanganku ke arah laptop dan mulai melanjutkan pekerjaan. ”Mungkin ini hanya pikiranku saja, karena hari sudah malam dan semakin sepi. Mana ada orang yang ke sini. Tapi, langkah kaki itu ...” Aku berbicara sendiri. ”Tidak. Tidak ada apa-apa. Hanna, kamu kenapa sih berfikiran yang aneh-aneh?” Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
75
Putri Nur Jannah
Suara jama’ah selesai pengajian di masjid sebelah kampus terdengar begitu jelas di telingaku. Aku tidak merasa gelisah dan takut lagi. Karena suara itu telah menguatkan hati dan fikiranku. ”Hanna!” suara perempuan mengagetkan dan memukulku dari belakang. Aku kaget dan langsung berdiri dari tempat duduk dengan wajah ingin marah. ”Stop! Jangan marah dulu.” Liana mencegahku ketika aku mau memarahinya. Mungkin dia tahu, bahwa aku akan marah habis-habisan. Sebelum aku marah, dia mencegahku terlebih dahulu. ”Ye, siapa yang mau marah? Aku cuma mau tanya. Kok kamu belum pulang, kan sudah malam?” Aku memang gak mau marah dulu sama dia. Aku gak mau dia menganggapku pemarah. Kemudian dia berbalik tanya,
“Oke-oke, gini Han. Tadi, aku gak sengaja ketemu sama...,” dia berhenti dan mengambil nafas kemudian melanjutkan ceritanya, ”...sama Mas Ardi di lobi kampus. Dia gak sendiri, tapi sama cewek. Kayaknya mereka mesra banget dan seperti orang sedang pacaran.” Liana menjelaskan dan langsung mengelus pundakku seraya berkata, ”Sabar ya?”
”Kamu sendiri juga belum pulang?” Dalam hatiku berkata, dasar nih anak malah balik tanya. ”Aku kan jelas lagi ngerjain tugas. Lah, kamu lagi ngapain coba?” tanyaku kepadanya. ”Aku cuma mau ngomong ke kamu.” Dia mau menjelaskan maksudnya, tapi aku langsung memotongnya. ”Apa? Apa? Apa sih Lin? Ayo lanjutin ngomongnya!”
76
Akhir Penantian Cinta
”Ih, kepo banget! Bener mau tahu?” dia membuatku menjadi lebih penasaran. Lalu aku menganggukkan kepala tanda benar ingin tahu. Aku memegang tangannya dan menggoyang-goyangkan tangannya dengan memohon. “Oke-oke, gini Han. Tadi, aku gak sengaja ketemu sama...,” dia berhenti dan mengambil nafas kemudian melanjutkan ceritanya, ”...sama Mas Ardi di lobi kampus. Dia gak sendiri, tapi sama cewek. Kayaknya mereka mesra banget dan seperti orang sedang pacaran.” Liana menjelaskan dan langsung mengelus pundakku seraya berkata, ”Sabar ya?” ”Apaan sih, sabar-sabar! Emang aku habis kenapa?” Aku mencoba untuk tegar. Dan pura-pura tidak merasa sakit hati dengan cerita Liana. ”Kamu kan habis sakit hati, kok bilang gak papa? Emang kamu gak sakit hati kalau Mas Ardi dekat sama cewek lain? Kamu kan suka sama dia. Apa kamu gak ingin, kalau dia deket sama kamu, Han?” Liana berbicara panjang lebar. Dia menggoyanggoyangkan lenganku mencoba mengembalikan aku ke dunia nyata. Padahal aku lagi asyik membayangkan berbicara bersama Ardi. Seperti saat-saat sebelumnya. Bukannya mendengar bahwa dia sedang bersama wanita lain. Liana tak pernah tahu bahwa aku dan Ardi sudah berteman sejak 6 bulan yang lalu.
Dia menggoyanggoyangkan lenganku mencoba mengembalikan aku ke dunia nyata. Padahal aku lagi asyik membayangkan berbicara bersama Ardi. Seperti saat-saat sebelumnya.
”Udah ah. Aku mau pulang dulu,” ucapku dengan nada agak kesal. “Kok pulang? Memangnya sudah selesai ngerjain tugas?“
77
Putri Nur Jannah
“Sudah kok, nih mau tak bereskan.” Sambil mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas. ”Yaaah.” ”Ya sudah kamu pulang juga dong, nanti dicari-in loh.” ”Kamu tak apa-apa kan Han? Jangan sedih ya!” Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku berjalan ke luar ruangan dengan pasti. Satu demi satu anak tangga kuturuni. Aku segera menuju ke tempat parkir dan mulai celingukan mencari sepeda motorku. Setelah kutemukan, aku langsung menuju sepeda motor, sambil menengok ke ruang BEM Mas Ardi. Aku mencoba memastikan apakah dia sudah pulang atau belum. Aku khawatir dengannya seperti ibu yang menghawatirkan anaknya. Tapi sayang, ruangan itu Aku berganti baju dan segera tertutup tanda bahwa tidak ada orang. Aku menunaikan sholat Isya’. segera menuju sepeda dan pulang ke rumah. Sebab di kampus, aku belum Waktu mengikuti putaran sempat melakukannya. Aku roda yang membawaku menuju istana yang berharap dengan sholat bisa nyaman dan tenteram. menjernihkan pikiranku yang Istana yang bisa membuatku lupa dengan dari tadi hanya memikirkan banyaknya masalah yang Mas Ardi. menghampiri kehidupan. * Sesampai di rumah aku segera memasukkan sepeda motorku dengan sambutan senyum hangat dari ibuku. Saat aku kuliah, ibu sendirian di rumah. Sejak dua tahun ayah meninggalkan kami. Selama itu, aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Tapi, ibu selalu menjadi ayah bagiku. Aku berganti baju dan segera menunaikan sholat Isya’. Sebab di kampus, aku belum sempat melakukannya. Aku berharap dengan
78
Akhir Penantian Cinta
sholat bisa menjernihkan pikiranku yang dari tadi hanya memikirkan Mas Ardi. Sebab, sholat merupakan obat yang paling mujarab untuk menghilangkan sakit. Baik itu sakit jasmani maupun sakit rohani. Seperti saat ini, aku tengah mengalami rasa sakit hati. Selesai sholat aku langsung memutuskan untuk tidur. Aku tak tahu apakah bisa tidur sedangkan otakku terus memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang cerita Liana. Aku mencoba memejamkan mata dan berharap semoga segera terlelap. Tapi semua usaha itu sia-sia. Aku masih tetap saja memikirkannya. ”Ini tak baik Han. Apakah kamu terus memikirkannya sedangkan dia telah bersama yang lain? Plis Han, kamu memang sahabatnya, tapi kamu bukan pemilik hatinya. Lupakan dia Han, lupakan!” benakku terus mengucapkan kata-kata itu. Dear Dairy,,,,, Mas, aku mengenalmu tanpa suatu alasan. Aku mengenalmu dengan ikatan pertemanan. Aku tak meminta jika kamu yang akan mengajarkanku tentang kata singkat. Kata yang hanya terdiri dari 5 huruf, yakni kata CINTA. Tapi, kamu pula yang telah mengenalkanku kata yang amat sangat dibenci orang. Bahkan semua orangpun tak mau mengenalnya, tak mau menerimanya. Tapi, mengapa kamu mengenalkan itu semua kepadaku. Dua kata yang singkat, yakni SAKIT HATI. Aku tak tahu inikah rasa sakit hati itu, karena aku tak pernah tahu tentang itu. Mas, aku tak tahu apakah pertemanan yang telah kita jalin akan berubah menjadi sebuah cinta. Cinta yang tak mau jika kamu pergi dari kehidupan ini. Apakah mungkin itu semua akan terjadi? Aku hanya bisa meluapkan semua itu di dalam goresan pena. Pena yang menjadi saksi bagaimana keadaan hati dan pikiranku. * Keesokan harinya aku melangkahkan kaki dengan pasti menuju ruang perkuliahan. Dengan mencuri pandang aku melihat ruangan
79
Putri Nur Jannah
yang berada dekat dengan kantin masih menutup rapat dirinya agar tak ada satu orang yang memasukinya. Pertanda bahwa dia belum datang dan hanya ada segelintir mahasiswa di depan kantin. Kumencoba mencari sosok laki-laki itu dengan menelusuri semua sudut lapangan. Tapi hasil yang kudapatkan NIHIL. Dengan sedikit kecewa, aku menuju ruang perkuliahan. Siang harinya Ardi sedang asyik mengobrol bersama temantemannya. Semua membicarakan tentang sosok wanita idamannya. Tak ketinggalan juga Ardi. Sebagai laki-laki normal pasti juga mempunyai wanita idaman hati. Ardi adalah laki-laki yang baik, berwibawa dan sangat menyayangi orang lain. Ini terbukti ketika aku terjatuh dari sepeda motor di Jalan Sudirman. Ardi rela berhenti dan menyempatkan diri untuk menolong dan mengantarkanku pulang ke rumah. Sedangkan dia juga harus kembali ke tempat itu untuk mengambil sepedaku dan membawanya ke bengkel. Ardi juga tak ingin ketinggalan temantemannya yang asyik membicarakan tipe wanita idaman. Ardi berbicara bagaimana ciri-ciri wanita idamannya. Ardi ingin memiliki wanita yang shalihah, baik dan penyayang. Ardi tidak pernah memperdulikan status wanita. Ia tak peduli apakah wanita itu kaya atau miskin. Yang terpenting dia cantik dari luar dan dalam. Karena tak semua wanita cantik luar dan dalamnya. Ada yang cantik di luar tapi hatinya tak secantik penampilan. Ada juga yang luarnya tak menarik tetapi hatinya sangat cantik tanpa ada cacat.
... tak semua wanita cantik luar dan dalamnya. Ada yang cantik di luar tapi hatinya tak secantik penampilan. Ada juga yang luarnya tak menarik tetapi hatinya sangat cantik tanpa ada cacat.
Saat asyik mengobrol bersama teman-temannya di depan ruang BEM, aku melintas menuju kantin untuk membeli minum.
80
Akhir Penantian Cinta
Ardi menghampiri dan memintaku untuk mengobrol berdua bersamanya di Taman Kampus. Aku merasa gugup walaupun ini bukan yang pertama kalinya. Aku berbicara dengannya tapi tetap saja rasa deg-degan itu selalu menghantui. Setelah aku selesai membeli minuman, aku mencoba mengikuti Ardi dari belakang dan segera duduk di sebelahnya. Di taman terdapat beberapa bangku yang terletak berjauhan. Aku duduk di bangku yang terletak di bawah pohon yang rindang. Lima menit lamanya aku dan Ardi belum mengucapkan satu katapun. Kami sama-sama membisu karena tidak tahu mau berbicara tentang apa. Ardi mengambil inisiatif untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. ”Han, kamu pasti sudah mendengar cerita dari Liana ya?” Aku sempat berpikir pasti soal dia sama seorang cewek yang diceritakan sama Liana kepadaku. Aku mencoba pura-pura tidak tahu tentang maksud Ardi. ”Maksudnya?” Aku mencoba berbalik tanya kepadanya. Karena aku ingin dia yang bercerita sendiri tentang cewek itu. Aku ingin tahu apakah dia akan berbicara sejujurnya kepadaku jika menganggapku sebagai teman yang baik. ”Beneran kamu gak tahu, apa yang aku maksud Han?” Ardi bertanya kepadaku untuk lebih meyakinkan bahwa aku memang benar-benar tidak tahu. Aku menggelengkan kepala tanda benarbenar tidak mengerti maksud Ardi. ”Kalau kamu tidak tahu aku akan bercerita tentang sesuatu ke kamu. Kemarin, Liana melihatku di lobi bersama seorang cewek dan aku kira dia bercerita ke kamu, tapi tahunya gak.” Ardi mencoba mengatur nafasnya dan membenarkan posisi duduknya. Dan sekarang yang semakin membuatku deg-degan karena posisi duduknya yang tadi menghadap ke depan sekarang menjadi menghadap kepadaku dengan salah satu tangan bersandar bangku. Aku mencoba mengatur nafas, aku tidak mau dia tahu bahwa jantungku bagaikan dipukul-pukul dan pasti sekarang wajahku
81
Putri Nur Jannah
merah bagaikan udang rebus yang salah tingkah. Ardi mencoba meneruskan ceritanya, ”Cewek itu adalah anak teman orang tuaku dan kami berdua dijodohkan...” Yah! saat kata dijodohkan disebut aku merasa detak jantungku berhenti. Aku tak menyangka jika orang yang kusayangi adalah milik orang lain. ”.... tapi Han, aku tidak mau dijodohkan dengannya, karena aku telah memilih orang lain. Aku baik kepadanya karena dia adalah anak dari sahabat orang tuaku. Kedua orang tuanya sangat berjasa bagi keluargaku. Orang tuanya pernah menolong orang tuaku ketika mengalami keterpurukan ”Orang tuanya pernah ekonomi. Oleh sebab itu, orang menolong orang tuaku tuaku mendesakku untuk bisa menjalin kasih dengan anak ketika mengalami sahabatnya, Saira.” Aku hampir keterpurukan ekonomi. saja menetaskan airmata mendengar ungkapan Ardi. Oleh sebab itu, orang Tapi, aku mencoba menahan tuaku mendesakku untuk dan Ardi melanjutkan ceritanya. bisa menjalin kasih ”Aku tidak bisa menolak keinginan orang tuaku karena aku tahu bahwa Saira mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Aku tidak mau membuat Saira di sisa hidupnya menderita karena menolak untuk menikahinya.”
dengan anak sahabatnya, Saira.” Aku hampir saja menetaskan airmata mendengar ungkapan Ardi.
Aku terus melamun memikirkan apa yang akan terjadi antara aku dan Ardi. Ardi sosok laki-laki yang selalu ada untukku, sosok yang kuanggap sebagai pahlawan. Sosok yang telah mengisi relung hati dan pikiranku. Apa mungkin aku bisa hidup tanpanya walaupun sampai saat ini kami hanya sebatas sahabat? Tapi Ardi seorang yang amat spesial di hatiku dan mampu mencuri semua pandanganku.
82
Akhir Penantian Cinta
Ardi mencoba membuyarkan lamunanku dengan bertanya, ”Han, kamu sadar kan?” Aku menganggukkan kepala. ”Han, kamu mau tahu siapa wanita yang telah mengisi hatiku yang selama ini kosong?” Ardi bertanya kepadaku dan aku hanya bisa menggelengkan kepala. ”Dia ada di sini Han, dia adalah kamu.” Ardi meneruskan pembicaraannya. Aku kaget dengan apa yang diucapkan Ardi. Dan di benakku, ”Apa? Aku? Aku wanita yang selama ini mengisi hatinya? Apa aku? Tidak-tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak mau bahagia di atas derita orang lain. Tidak-tidak. Masih ada orang yang jauh lebih membutuhkan Ardi daripada aku, yaitu Saira. Ya, Saira yang lebih membutuhkan Ardi, bukan aku. Bukan aku.” Aku langsung berdiri dari tempat duduk dan berkata, ”Tidak!” Ardi heran dengan sikapku yang langsung berdiri dan seperti orang kaget. Ardi juga ikut berdiri dan bertanya kepadaku, “Tidak kenapa Han?” Aku mencoba mengatur nafas dan duduk kembali. Ardi juga duduk kembali seperti semula. Kemudian aku berkata kepadanya, “Aku kaget saja ketika kamu bilang bahwa wanita yang mengisi hatimu itu aku, mas. Tapi aku tidak bisa menerima itu semua karena di sana ada wanita yang lebih membutuhkanmu yaitu Saira. Aku tidak mau jika hubungan ini akan menyakitkan buat orang lain. Aku tidak mau jika aku bahagia tapi orang itu menderita. Aku gak mau mas, aku gak mau itu terjadi.” Tidak terasa aku menetaskan airmata. Ardi sebenarnya tidak mau menerima ungkapanku yang merelakannya untuk orang lain. Aku menjelaskan semua kepadanya bahwa aku juga sangat mencintainya. Tapi aku tidak mau rasa cintaku kepadanya membuat orang lain terluka. Aku memutuskan untuk pergi jauh darinya dengan pindah ke universitas lain. Aku
83
Putri Nur Jannah
tidak akan mengganggu hidupnya dan tidak akan muncul di depannya lagi. Aku berharap dia akan hidup bahagia dengan Saira. Sebelum aku pergi dari kehidupannya. Aku mengirimkan sepucuk surat untuknya yang kutitipkan melalui Liana. Aku berpesan kepada Liana agar tidak memberitahukan ke mana aku pergi. Untuk Mas Ardi. Mas, saat kamu membaca surat ini mungkin aku sudah tidak ada di kota ini lagi. Aku telah memutuskan untuk pergi dari kota ini dan tak tahu kapan akan kembali lagi ke tempat ini. Mas, bukannya aku ingin meninggalkanmu. Tapi aku tak bisa bersamamu jika itu harus membuat orang lain terluka. Terima kasih kamu telah mengisi semua hari-hariku. Aku bahagia dan berterima kasih kepada Allah sehingga bisa mengenalmu. Dan aku berterima kasih kamu telah mencintaiku. Tapi aku tak bisa menerimanya karena ada wanita lain yang jauh lebih membutuhkanmu. Tapi satu yang harus engkau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku tak mau egois dan hanya memikirkan diriku sendiri. Mas, semoga Mas Ardi dan Saira bisa hidup bahagia sampai akhir hayat. Dan sampaikan salamku kepada Saira semoga hidup bahagia bersamamu. Aku tak akan pernah lagi muncul di hadapanmu, Mas. Semoga cintamu bisa membuatku tegar dan selalu tabah untuk menjalani semua ini. Jangan pernah mencariku lagi, Mas. Menolehlah ke belakang bahwa di sana ada Saira yang membutuhkanmu. Salam manis, Hanna. * Tiga tahun kemudian. Ya Allah mengapa Kau mengenalkan dirinya di kehidupanku? Mengapa aku harus tahu tentangnya? Selama tiga tahun ini apakah kurang cukup untuk aku melupakannya? Mengapa Engkau tak mengambil rasa cintaku untuknya dan membiarkan hatiku terbuka untuk orang lain? Apa maksud semua ini, ya 84
Akhir Penantian Cinta
Allah? Apa maksud Engkau tak menghilangkan rasa ini? Mengapa Engkau biarkan rasa ini tetap ada padahal dia telah menjadi milik orang lain? Kata-kata itu yang selalu menghiasi setiap sujudku. Kata-kata itu yang hanya bisa kucurhatkan kepada-Nya. Selama tiga tahun lamanya kuterus melantunkan semua itu berharap bahwa dia akan pergi dariku. Karena aku tak mungkin mengharapkan orang yang menjadi milik orang lain. Sebab aku sangat berdosa jika itu semua terjadi. Tapi, aku tak pernah menyangka jika hati ini selalu memanggil namanya walaupun dengan berbagai cara aku mencoba untuk melupakannya. Ya, di taman itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Dan mengapa sampai saat ini aku sangat susah menghilangkan bayangannya. Seperti saat ini, aku sedang berada di kereta menuju Surabaya tetap saja masih memikirkan Ardi. Aku sempat berfikir apakah aku bisa bertemu dengannya kembali setelah sekian lama kita berpisah. Untuk menjadi teman, bukan kekasih. Mungkin, sekarang Ardi sudah menikah dengan Saira dan sudah hidup bahagia.
Aku sempat berfikir apakah aku bisa bertemu dengannya kembali setelah sekian lama kita berpisah. Untuk menjadi teman, bukan kekasih.
Turun dari kereta aku masih memikirkan Ardi. Aku segera mencari bus kota untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Sebab, aku telah rindu dengan pelukan dan masakan ibunda tercinta. Menuju tempat bus kota tersebut berhenti, aku masih tetap saja melamun dan akhirnya semua lamunanku buyar ketika aku ditabrak oleh seorang laki-laki. Aku terjatuh dan semua bawaanku berantakan di lantai stasiun. Laki-laki itu menolongku dan membantu membereskan semua bawaanku yang berantakan. Dia langsung meminta maaf sambil mengulurkan tangannya mengajak
85
Putri Nur Jannah
untuk bersalaman. Aku menoleh kepadanya. Aku merasa jantungku berhenti dan tidak menyangka jika laki-laki di hadapanku adalah Ardi. Aku terus menelusuri wajahnya dan meyakinkan diri apa benar laki-laki di hadapanku adalah Ardi. Ardi yang aneh melihat tingkahku yang tak lepas memandangi wajahnya dengan mata tak berkedip. Kemudian untuk menyadarkanku Ardi menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Aku langsung tersadar dan tersenyum kepadanya. Ardi mengajakku untuk duduk di bangku dan mengobrol sejenak. Sore itu menjadi saksi pertemuanku dan Ardi setelah sekian lama berpisah. Ardi bertanya tentang kabarku, “Han, bagaimana kabarmu sekarang? Sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” “Alhamdulillah Mas, aku baik-baik saja dan ini baru pulang dari Malang setelah menyelesaikan S1 di sana. Oh ya, bagaimana kabar Mas dengan Saira?” Aku berbalik tanya tentang kabarnya dengan Saira. Aku telah menyelesaikan S1 di Malang dengan program studi yang sama seperti di kampusku sebelumnya. Ardi hanya tersenyum tanpa berkata satu kata pun. Aku yang semakin penasaran bertanya kembali kepadanya, “Mas, bagaimana kabarmu dengan Saira, baik-baik saja bukan?” Ardi mulai berbicara, “Aku sama Saira tidak jadi menikah Han. Saira meninggal tiga tahun yang lalu, tepat satu bulan kamu meninggalkanku. Saira tidak bisa ditolong lagi karena kangkernya sudah menyebar ke seluruh jaringan otaknya. Sejak saat itu aku mencarimu kemana pun dan tidak ada hasilnya. Hingga sampai aku bertemu denganmu di stasiun ini Han. Selama ini mengapa kamu tidak kasih kabar? Aku sempat putus asa mencarimu selama tiga tahun. Dan menganggap bahwa kamu tidak akan kembali lagi dan menjadi milikku.” Aku tidak menyangka jika Ardi selama ini mencariku dan tidak menyangka jika Saira akan pergi meninggalkan Ardi.
86
Akhir Penantian Cinta
“Aku selama ini berada di Malang, Mas. Aku studi di sana. Aku tak menyangka jika Saira akan pergi secepat itu. Tapi satu yang perlu kamu tahu Mas bahwa selama tiga tahun ini aku tetap tidak bisa melupakanmu.” Aku menjawab semua pertanyaan Ardi yang dilontarkan kepadaku. ”Benar apa yang kamu katakan Han? Apa benar kita bisa menjalin pertemanan untuk selamanya?” Ardi terus memberiku pertanyaan-pertanyaan. Aku menjawab semua pertanyaannya, “Benar Mas, Allah yang telah mempertemukan kita kembali. Jadi, kita masih bisa berteman karena aku masih sangat mencintaimu seperti tiga tahun yang lalu. Mas adalah cinta pertamaku dan cinta terakhirku. Aku tidak mau jika Mas Ardi diambil orang lain dan pergi meninggalkanku lagi.” “Bukan aku yang meninggalkanmu, tapi kamu yang meninggalkanku Han. Dan ingat bahwa aku juga sangat mencintaimu untuk selamanya.” Ardi mencoba menegaskanku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kepadanya. Kemudian Ardi mengantarkanku pulang ke rumah dan berjanji akan membawa kedua orangtuanya untuk melamarku. Di perjalanan Ardi menceritakan semua tentang kampus yang kutinggalkan selama tiga tahun. Dia bercerita kepadaku telah menyelesaikan studi S2-nya di Singapura. Aku semakin bangga kepada Ardi yang telah berhasil menyelesaikan studinya. Bukan hanya itu saja, Ardi juga menceritakan tentang Saira. Ternyata Saira mengetahui bahwa Ardi tak pernah mencintainya, melainkan mencintai wanita lain. Justru yang tak bisa kumengerti, di saat-saat terakhirnya, Saira menuliskan sepucuk surat untukku. ”Han, ini surat dari Saira untukmu. Selama ini aku hanya bisa menyimpannya. Aku tak tahu apa yang dituliskan oleh Saira di dalamnya.” Aku segera membuka amplop itu, tapi Ardi mencegahku. ”Jangan dibaca dulu! Saira berpesan agar kamu membacanya di tempat pemakamannya. Sebab dia ingin mengenalmu dan bertemu denganmu.” 87
Putri Nur Jannah
”Iya, ayo cepat.” Ardi langsung melajukan mobilnya ke tempat pemakaman Saira. Sesampai di pemakaman aku langsung mengikuti langkah kaki Ardi menuju nisan Saira. Aku langsung berjongkok di depan nisannya dan segera membaca sepucuk surat darinya. Untuk Hanna. Hai... Aku Saira... salam kenal. Kamu pasti wanita yang cantik, shalihah dan sempurna. Ardi sering cerita tentang kamu kepadaku. Aku tahu pasti kamu adalah wanita yang sangat dicintai oleh Ardi. Walaupun Ardi tak pernah mengatakan itu semua kepadaku. Tapi, aku tahu tentang itu. Aku mulai merasakan itu saat kamu telah pergi meninggalkannya. Saat itu Ardi bercerita dengan raut wajah yang sedih seperti kehilangan nyawa. Aku baru sadar bahwa Ardi tak pernah mencintaiku. Mungkin dia tak berani menolak perjodohan ini karena penyakitku ataukah karena jasa-jasa orang tuaku untuk keluarganya. Tapi aku tak pernah peduli itu semua. Aku tak mau jika laki-laki yang akan bersamaku melakukan itu semua bukan karena sayang kepadaku, tapi hanya karena ingin balas budi. Sebelum aku terlalu jauh dan menahan Ardi untukku, sedangkan dia tak merasa bahagia, aku menceritakan semua itu kepada orangtuaku. Aku tak tahu seperti apa ekspresi orang tuaku mendengar itu semua. Aku mencoba menjelaskan dengan perlahan hingga orang tuaku mengerti. Akhirnya orang tuaku tak akan menahan Ardi lagi untukku. Tapi, Ardi tak tahu tentang semua ini. Cukup hanya dengan perjalanan waktu saja saat di mana Ardi mengetahui itu semua. Yakni saat aku telah menghembuskan nafas terakhirku. Hanna, perlu kamu tahu tentangku bahwa aku tak mungkin mengambil Ardi darimu. Dan aku hanya bisa berpesan, jangan pernah meninggalkan orang yang kamu sayangi. Hidup bahagialah dengan Ardi dan jagalah dia. Jangan pernah orang lain mengambilnya dari tanganmu lagi. Cukup hanya aku saja yang melakukannya. Salam manis, Saira.
88
Akhir Penantian Cinta
Aku merasakan air hangat membasahi pipiku dan telah menghanyutkan kedua bola mataku. Aku tak bisa menahan tetesan demi tetesan jatuh ke kerudungku dan membentuk bulatanbulatan. Aku hanya bisa menahan isak tangis agar Ardi yang berdiri di sampingku tak mendengarnya. Aku langsung mencium nisannya tanda kecupan terima kasih telah mengenalnya. Saira wanita yang tegar dan berhati mulia. Aku segera minta untuk pulang ke rumah. Di dalam mobil Ardi menyadari bahwa aku baru saja menangis. Dia melihat di kerudungku masih ada tanda bulatan-bulatan akibat tetesan airmata. Ardi tak berani untuk menanyakan itu semua sebab dia mengetahui bahwa aku masih kalut dalam kesedihan. Ardi hanya bisa mengemudikan mobilnya menuju kediaman dan mengantarkan hingga depan pintu rumahku. Ibu menyambut kami saat pintu rumah diketuk oleh jari-jemari Ardi. Aku mengucapkan Aku tak pernah menyangka salam dan segera menuju ke kamar. Sebelum itu aku jika Allah memberikan sosok mengucapkan terima kasih laki-laki yang akan menjadi kepada Ardi yang telah imam di hidupku, mengantarkanku pulang. Masih dengan raut wajah pelindungku dan raja di sedih dengan sedikit hatiku. Sosok yang selalu menyunggingkan senyuman. Ibu mencoba mengerti tentangku. Sebab menawarkan masuk dan aku tidak pernah menyangka duduk sebentar kepada Ardi. Tapi Ardi menolaknya jika cinta yang selama ini dan beralasan untuk pergi akan datang kembali segera pulang. Aku tahu bahwa Ardi tidak akan kepadaku. Setelah sekian langsung pulang. Dia harus lama aku mencoba untuk mengisi pelatihan di kediaman rekan kerjanya. melupakannya.
89
Putri Nur Jannah
Aku tak pernah menyangka jika Allah memberikan sosok lakilaki yang akan menjadi imam di hidupku, pelindungku dan raja di hatiku. Sosok yang selalu mengerti tentangku. Sebab aku tidak pernah menyangka jika cinta yang selama ini pergi akan datang kembali kepadaku. Setelah sekian lama aku mencoba untuk melupakannya. Padahal banyak sosok laki-laki yang ingin mendekatiku. Tapi, aku tetap saja tak bisa melupakan Ardi. Dan akhirnya penantian yang selama ini kulakukan tidak sia-sia. Karena orang itu telah ada di sisiku, untuk selamanya. Dan aku tak akan mengulangi lagi kesalahanku dengan meninggalkannya. Sebab aku sangat mencintainya.
90
Cerpenis Devi Purwo Mahasiswi Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2013. Lahir di Sidoarjo, 01 September 1995. Anak sulung dari 4 bersaudara. Email:
[email protected]. Khoirul Bakhri Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2012. Lahir di Sidoarjo, 22 Juni 1993. Anak ke-dua dari 3 bersaudara. Email:
[email protected]
Leny Idris Mahasiswi Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2011. Lahir di Pasuruan, 17 Agustus 1993. Anak ke-dua dari 3 bersaudara.
Lyna Idris Mahasiswi Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2011. Lahir di Pasuruan, 17 Agustus 1993. Anak sulung dari 3 bersaudara. Email:
[email protected]
91
Cerpenis
Putri Nur Jannah Mahasiswi Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2013. Lahir di Sidoarjo, 17 Maret 1995. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Email:
[email protected]
Vivi Silvia Mahasiswi Fakultas Agama Islam UMSIDA angkatan 2013. Lahir di Sidoarjo, 01 Desember 1993. Anak bungsu dari 2 bersaudara. Email:
[email protected]
92