CINTA, KOMITMEN, DAN KEHORMATAN DALAM CERPEN BISMA KARYA PUTU WIJAYA
Asep Yudha Wirajaya Universitas Sebelas Maret
Abstrak Bisma merupakan salah satu cerpen Putu Wijaya yang ingin “menjungkirbalikkan” konsep cinta – komitmen – kehormatan melalui sosok yang selama ini dikenal dalam epos Mahabarata sebagai sosok yang selalu teguh memegang komitmennya. Bahkan, ia rela untuk mengorbankan segalanya demi sebuah komitmen yang telah diikrarkan. Dengan demikian, pembaca diajak untuk “berpikir ulang” tentang hakikat ketiganya. Pengungkapan cinta dalam Bisma sangat luas cakupannya. Maksudnya, bukan hanya “sekedar” cinta antara pria dan wanita (meskipun hal itu juga ada), melainkan juga dalam tataran yang lebih luas, yakni meliputi cinta terhadap keluarga, negara, dan profesi. Ketiga cinta tersebut perlu mendapat perhatian agar keseimbangan hidup benar-benar terlaksana. Kata Kunci: Bisma, Putu Wijaya, cinta, dan komitmen
PENDAHULUAN Bisma merupakan salah satu dari 17 cerpen karya Putu Wijaya dalam kumpulan cerita pendek berjudul Gress, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1987. Melalui cerpen ini, Putu Wijaya ingin “menjungkirbalikkan” konsep cinta – komitmen – kehormatan melalui sosok Bisma yang selama ini dikenal dalam epos Mahabarata sebagai sosok yang selalu teguh memegang komitmennya. Bahkan, ia rela untuk mengorbankan segalanya demi sebuah komitmen yang telah diikrarkan. Dengan demikian, pembaca diajak untuk “berpikir ulang” tentang hakikat ketiganya.
53
Pengungkapan cinta dalam Bisma sangat luas cakupannya. Maksudnya bukan hanya “sekedar” cinta antara pria dan wanita (meskipun hal itu juga ada), melainkan juga dalam tataran yang lebih luas, yakni meliputi cinta terhadap keluarga, negara dan profesi. Ketiga cinta tersebut perlu mendapat perhatian agar keseimbangan hidup benar-benar terlaksana. Cinta terhadap keluarga merupakan sebuah perwujudan tanggung jawab seseorang yang sudah menentukan pilihan terhadap pasangan hidup dalam rangka mengarungi samudra kehidupan ini. Di sisi lain, dapat ditegaskan bahwa cinta terhadap keluarga merupakan pancaran keberadaan manusia, baik pria maupun wanita untuk dapat saling memberi dan menerima. Adapun cinta terhadap negara merupakan wujud ucapan terima kasih kepada tanah tumpah darah yang telah memberi kesempatan untuk lahir, berkembang, dan berkarya. Adapun cinta terhadap profesi merupakan sebuah pertanggungjawaban seseorang terhadap sarana untuk mewujudkan aktualisasi diri dalam memaknai hidup dan kehidupan ini.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data utama adalah konsep-konsep cinta yang ada dalam cerpen Bisma karya Putu Wijaya. Objek kajiannya primer atau materialnya adalah cerpen Bisma karya Putu Wijiaya. Teknik interpretafif digunakan dalam menginterpretasikan cerpen itu. Fokusnya adalah kajian struktural dalam cerita tersebut.
PEMBAHASAN Cinta menuntut Pengorbanan Untuk membahas subbab ini dengan bertitik tolak pada unit wacana “Dewi Amba”. Unit wacana ini sekaligus merupakan nama tokoh yang ada dalam Bisma. Unit wacana Dewi Amba terdiri dari dua kata, yakni “dewi” dan “amba”. Berdasarkan penelusuran data, diketahui bahwa kata “dewi” berarti ‘dewa perempuan’; ‘perempuan yang cantik’; dan ‘jantung hati’1. Istilah ‘Amba’ dalam bahasa Sanskerta berarti ‘ibu’. Selain itu, dalam Mahabarata, ‘Amba’ juga merupakan nama lain dari Batari Durga. Dalam pewayangan, nama lain Batari Durga adalah Dewi Uma atau Sang Hyang Permoni. Khusus 1
Lih. Kridalaksana, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 230.
54
pada wayang golek Sunda, nama lain Batari Durga adalah Gendeng Permoni2. Dalam penelusuran data yang lain, diketahui pula bahwa Dewi Amba adalah putri sulung Prabu Darmamuka dari Negara Giyantipura atau Sruwantipura3. Dalam Kitab Mahabarata, negeri ini disebut Kerajaan Kasi, rajanya disebut Kasendra. Dewi Amba bersaudara dengan Wahmuka, Arimuka, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika4. Ketiga putri raja itu cantik semua, sedangkan Wahmuka dan Arimuka berwujud raksasa gagah dan sakti, sangat sayang kepada saudara-saudara perempuannya. Setelah ketiga putri itu beranjak remaja, atas usul Wahmuka dan Arimuka, Prabu Darmamuka mengadakan sayembara untuk memilih menantu. Bunyi sayembara itu, barangsiapa dapat mengalahkan Wahmuka dan Arimuka dalam perkelahian sampai mati, ia berhak menikah dengan ketiga putri kembang negeri Giyantipura. Peserta sayembara cukup banyak, tetapi mereka semuanya tewas di tangan kedua raksasa itu. Akhirnya, datanglah seorang ksatria dari Kerajaan Astina, bernama Dewabrata atau Bisma yang berhasil mengalahkan Wahmuka dan Arimuka. Bisma akhirnya memboyong ketiga putri Giyantipura itu ke Astina. Namun ternyata sesampainya di Astina, Dewabrata bukan menikahi mereka, melainkan mengawinkan ketiga putri tersebut dengan adik tirinya, yang menjadi raja Astina, yakni Prabu Citranggada alias Citrasoma. Dewi Ambika dan Ambalika tidak protes. Keduanya menurut saja ketika dikawinkan dengan Prabu Citranggada. Dewi Amba bersikukuh tidak mau dikawinkan karena ia jatuh cinta pada Bisma dan beralasan bahwa yang membunuh Wahmuka dan Arimuka bukan Prabu Citranggada, melainkan Bisma. Jadi, Bisma-lah yang seharusnya menjadi suami Dewi Amba. Bisma menolak cinta Dewi Amba karena ia sebelumnya telah terikat sumpah, tidak akan menikah untuk selamanya. Namun, Dewi Amba tidak mau mendengar alasan itu. Ia terus saja mendesak, menuntut dan merayu sehingga akhirnya Bisma naik darah. Agar Dewi Amba takut kepadanya, ia menakut-nakuti putri cantik itu dengan mengacung-acungkan anak panahnya. Namun, Dewi Amba tidak mempedulikan ancaman Bisma itu. Bisma menarik tali busurnya, agar Dewi Amba mundur. Akan tetapi, putri 2
Lih. Harsrinuksmo, Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid I - VI, 79. Lih. Harsrinuksmo, Opcit., 78 – 79. 4 Sebagian dalang menyebut nama ketiga putri Giyantipura itu bukan Dewi Amba, Ambika dan Ambalika, melainkan Dewi Ambika, Ambiki dan Ambahini. Dalam cerita pewayangan Dewabrata sempat dikawinkan dengan Dewi Ambika (Amba), tetapi malam harinya sang istri ditinggal pergi, sedangkan Dewi Ambiki kawin dengan Citranggada, Dewi Ambahini kawin dengan Citrasena (Wicitrawirya). 3
55
cantik itu tetap saja mendesak. Jari-jari yang berkeringat menyebabkan anak panah yang dipegang Bisma terlepas tanpa sengaja dan langsung menembus dada Dewi Amba. Dewabrata pun menyesal sekali, tetapi penyesalan selalu datang terlambat. Sebelum tewas, Dewi Amba sempat berpesan pada Bisma bahwa ia akan tetap menuntut hidup bersama dengan ksatria pujaannya itu di alam lain. Ia akan setia menunggu sampai saat kematian pria pujaannya itu dalam Baratayudha. “Jika dalam Baratayudha kelak Kakanda berhadapan dengan seorang prajurit wanita yang cantik, maka saat itulah hamba datang menjemput Kakanda…” katanya. Dalam Kitab Mahabarata cerita tentang riwayat dan kematian Dewi Amba agak berbeda. Di kitab itu, disebutkan bahwa Dewi Amba adalah putri sulung raja Kasi. Bersama dua saudaranya, Ambika dan Ambalika, ia dilarikan Bisma ke Astina untuk dijadikan istri Prabu Wicitrawirya. Dewi Ambika dan Ambalika tidak berkeberatan, tetapi Dewi Amba menolak dikawinkan dengan raja Astina itu karena sesungguhnya secara diam-diam ia telah bertunangan dengan Prabu Salwa, raja Citrapura atau Soda. Oleh karena itu, ia menuntut pada Bisma agar dikembalikan kepada tunangannya. Bisma dapat memahami dan bersedia memenuhi permintaan Dewi Amba, tetapi ternyata Prabu Salwa menolak kehadiran Dewi Amba. Menurut raja Salwa Citrapura itu, seorang putri yang pernah dilarikan orang ke negeri lain, tidaklah pantas menjadi permaisurinya karena rakyatnya tentu akan memandang rendah putri itu. Karena amat kecewa, Dewi Amba lalu lari ke dalam hutan dan bertapa sampai mati dengan tekad suatu saat dapat membalas dendam pada Bisma. Ia mempersalahkan Bisma atas segala derita dan kekecewaan yang dialaminya. Batara Guru megabulkan permohonannya dan menjanjikan tekad Dewi Amba itu akan terkabul pada kelahirannya kembali (reinkarnasi) kelak. Dalam Mahabarata itu, dikisahkan Dewi Amba kelak akan lahir sebagai Srikandi, seorang pria yang kebanci-bancian (dalam pewayangan Dewi Srikandi, wanita yang ahli keprajuritan). Sesuai janji Batara Siwa (Batara Guru), dalam Baratayudha Srikandi yang titisan Dewi Amba itu berhasil membunuh Bisma. Dalam pewayangan di Indonesia, Dewi Srikandi membunuh Bisma karena tubuh Srikandi disusupi arwah Dewi Amba yang hendak menjemput pria pujaannya guna diajak bersama-sama pergi ke alam kekal. Dengan demikian, penyusupan ini dilandasi rasa cinta, sedangkan dalam Mahabarata Dewi Amba membunuh Bisma karena rasa dendam.
56
Dengan demikian jelas, bahwa nama di samping sebagai suatu identitas, juga merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, termasuk penamaan Dewi Amba. Sesuai dengan namanya ia memang dikenal sebagai sosok wanita yang mumpuni. Maksudnya, ia mampu menyuarakan isi hati dan pikirannya ketika wanita sezamannya hanya dapat terdiam dan pasrah. Ia juga berani memperjuangkan cita-cita dan cintanya untuk dapat bersanding dengan pria pujaannya, Bisma. Ia juga merupakan sosok yang cerdas karena mengungkapkan alasan-alasan ketidakbersediaannya menjadi permaisuri raja Astina, Citranggada. Selain itu, ia juga merupakan sosok yang setia yang bersedia menunggu pria pujaannya hingga saat perjumpaan itu tiba, yakni peristiwa Baratayudha. Dalam Bisma, Putu Wijaya agaknya mengajak pembacanya untuk merenungkan kembali konsepsi cinta yang selama ini ada dan pernah ada. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. ”... Dan di dalam menghadapi cinta, menghadapi seorang wanita yang cantik dan berani mati hanya supaya dapat merawat saya, saya akan pertimbangkan lagi apakah sumpah memang ada gunanya dipatuhi...”5 Tampaknya sejak awal sejarah kehidupan manusia memang cinta merupakan sesuatu yang layak untuk diperjuangkan dan menuntut adanya pengorbanan. Sesuatu yang diperjuangkan apalagi dengan pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka hasilnya pasti akan membawa kesan yang sangat mendalam. Namun, sayang kesadaran ini datang terlambat bagi Bisma karena muncul tatkala peristiwa Baratayudha telah berlalu. Akan tetapi, setidaknya kutipan ini memberikan semacam perenungan bagi pembaca bahwa ada halhal lain atau ada dimensi-dimensi lain yang perlu diperhatikan dalam memegang teguh sebuah janji atau sumpah yang telah diikrarkan. Hal ini juga terlihat pada kutipan berikut. “…Apa artinya kesucian, keteguhan pada sumpah, keberanian berkorban, kalau masyarakat merindukan lahirnya seorang 93 pahlawan, seorang pemimpin? Segala kepentingan diri harus dikuburkan, kalau manfaatnya untuk umum lebih banyak. Dan kalau itu berarti mengkhianati sumpah, menjadi jahat, menjadi tidak luhur, jangan terlalu dipikirkan. Kita harus berani mengorbankan kepentingan pribadi, kesejahteraan batin pribadi, nama pribadi demi orang banyak. Artinya, pendek kata, kalau kita harus jahat apalah
5
Lih. Putu Wijaya, Gress,132.
57
artinya kalau kejahatan-kejahatan kita membahagiakan rakyat kita semua? ...6” Kehormatan adalah Sesuatu yang Layak Diperjuangkan Ada pepatah Jawa yang menyatakan bahwa “Ajining diri ana ning lati”. Maksudnya adalah kehormatan diri terletak pada kemampuan seseorang dalam menjaga lisannya. Lisan dalam pengertian ini tentu saja meliputi segala ucapannya, termasuk sumpah, janji dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan ungkapan bahwa “bahasa menunjukkan bangsa.” Dalam konteks Bisma, kehormatan seorang ayah yang sekaligus raja Astina, Prabu Sentanu tentunya layak untuk diperjuangankan oleh Bisma, sang anak, ketika sang raja berkehendak memperistri Dewi Durgandini. Dengan demikian, pemenuhan syarat Durgandini yang dimanifestasikan oleh Bisma melalui sumpah brahmacarya-nya merupakan sebuah bentuk pengabdian anak kepada orang tua, dalam hal ini Prabu Sentanu. Tentu saja Bisma sadar dengan segala konsekuensi atas sumpah yang telah diikrarkannya. Terlebih lagi dengan statusnya sebagai seorang resi, rohaniwan. Sumpah seorang yang suci, dalam hal ini resi akan berbeda kadar bobotnya dengan sumpah yang diucapkan oleh orang-orang kebanyakan. Walaupun sukar, berat dan menyakitkan, Bisma tetap berusaha istiqamah memegang teguh sumpahnya. Inilah bentuk kehormatan seorang resi. Namun, dalam perjalanan waktu ternyata konsepsi semacam itu perlu dipertanyakan kembali. Apakah hakikat kehormatan seorang ksatria dan brahmana jika sumpahnya justru mengakibatkan musnahnya mata rantai sebuah generasi? Apalah artinya kehormatan dan kesucian bila rakyat membutuhkan lahirnya seorang pemimpin? Apa artinya istiqamah dalam memegang teguh sumpah bila rakyat banyak menderita akibat perang? Bukankah sumpah yang dikrarkan oleh seorang ksatria atau brahmana tujuannya agar rakyat dapat lebih bahagia? Hal-hal semacam inilah yang dalam Bisma coba untuk direnungkan kembali. Berikut kutipannya. “…Apa artinya kesucian, keteguhan pada sumpah, keberanian berkorban, kalau masyarakat merindukan lahirnya seorang pahlawan, seorang pemimpin? Segala kepentingan diri harus dikuburkan, kalau manfaatnya untuk umum lebih banyak. Dan kalau itu berarti mengkhianati sumpah, menjadi jahat, menjadi tidak luhur, 6
Lih. Putu Wijaya, Opcit.,132 – 133.
58
jangan terlalu dipikirkan. Kita harus berani mengorbankan kepentingan pribadi, kesejahteraan batin pribadi, nama pribadi demi orang banyak. Artinya, pendek kata, kalau kita harus jahat apalah artinya kalau kejahatan-kejahatan kita membahagiakan rakyat kita semua? ...7” Keteguhan sumpah yang dilakukan Bisma tidak saja berlaku pada saat orang tuanya masih hidup, tetapi juga berlaku sampai dirinya menemui ajal. Sungguh sebuah teladan yang ironis. Apa artinya setia bila tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti bagi khalayak yang dipimpinnya? Dengan kata lain, kehormatan bukanlah sebuah ‘piala’ bagi keegoisan diri dalam meraih predikat pahlawan atau kesucian. Kehormatan akan lebih bermakna bila banyak masyarakat yang turut merasakan kebahagiaan karena merasa terjamin keselamatannya, kesejahteraannya, dan terbebas dari belenggu kemiskinan yang menistakan derajat manusia dan kemanusiaan. Kutipannya sebagai berikut. “Saya melakukan itu semua bukan karena sombong, bukan karena percaya bisa memikul beban dunia. Saya bukan seorang superman. Tidak. Sungguh mati, saya lakukan itu semua karena rasanya tidak ada jalan lain. Bahkan bukan dengan keyakinan tinggi bahwa dengan itu saya telah menjalankan sebagian dari kebenaran. Tidak. Dengan spontan saya korbankan semua karena rasanya itu yang paling bisa menenteramkan hati saya.”8 Bentuk-bentuk pemolakan atas pengagungan kehormatan pribadi dilakukan oleh Bisma dengan melepaskan semua atribut pewayangan yang melekat di tubuhnya sekaligus pula ia menggantinya dengan pakaian masa kini yang lebih trendy, yakni celana jean dan kaos oblong. Tentu saja hal ini tidak kemudian dipahami secara harfiah, tetapi perlu dipahami lebih dalam secara esensinya. Maksudnya, esensi Bisma kini diharapkan lebih ‘mencair’, dapat merasuk ke siapa saja dan di mana saja sehingga sikap-sikap teguh, memiliki integritas yang tinggi, dan berani berkorban bukan lagi monopoli segelitir manusia yang berstatus bangsawan, yakni ksatria dan brahmana, tetapi sikap tersebut dapat menjadi aksesoris setiap jiwa yang merasa dirinya seorang pemimpin. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. “…Kamu tahu sendiri aku pun telah menukar busanaku dan meninggalkannya di Proyek Senen, merubah namaku menjadi Bhasmy, 7 8
Lih. Putu Wijaya, Opcit.,132 – 133. Lih. Putu Wijaya, Opcit.,132.
59
karena mereka, orang banyak, saudara-saudaramu yang lain yang lebih banyak, lebih menyukai aku meninggalkan citra yang lama dan menyanyikan lagu Rolling Stones. Kamu akan menjadi kuno dan mereka akan mengejekmu karena mundur di dalam jaman bom nuklir dan babad UFO ini...”9 Adapun bagi tokoh Aku bentuk peneladanan terhadap tokoh Bisma bukan berarti harus menjadi orang lain, melainkan yang lebih penting justru harus mampu tumbuh menjadi yang terbaik dari diri sendiri sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual ciptaan Tuhan10. Berikut kutipannya. ”… aku hanya mau hidup tenteram, ... Aku ingin membahagiakan semua orang. Aku tidak ingin merebut sesuatu ... Aku bisa, aku masih bisa hidup tanpa ini semua...11” Ternyata tidak hanya berhenti di sana, bahkan dalam cerpen Bisma, sang tokoh utama, Bisma dikisahkan setelah berganti kostum, ia juga berganti nama dari Bisma menjadi Bhasmy. Bahkan pergantian nama tersebut lebih ditegaskan dengan menyebutkannya sekali lagi. Termasuk dengan penekanan fonem “h” dan fonem “y” serta pelafalan kata-kata dalam bahasa Inggris. Berikut kutipannya. “... nama Bisma pun rasanya sudah terlalu jinak di jaman ini untuk aku pakai. Karena itu tidak salah kalau sejak hari ini saya umumkan kepada anda sekalian, nama saya buka lagi Bisma tetapi Bhasmy. Sekali lagi Bhasmy. Pakai h dan pakai y. Oke? Let’s go! See you again. Good Bye. I Love You! ...12” Dalam konteks ini, nampaknya Putu Wijaya benar-benar ingin mendobrak bentuk-bentuk pengkultusan individu. Bahwa Bisma pun adalah sosok manusia biasa seperti manusia kebanyakan lainnya. Bahwa Bisma bukanlah sosok yang begitu suci yang harus disembah-sembah dan dipuja serta dituruti segala kemauannya. Bahwa Bisma juga manusia seutuhnya yang juga tidak pernah bisa lepas dari salah, khilaf, lupa dan dosa. Bila kita cermati secara seksama penekanan fonem-fonem tersebut jelas menunjukkan bahwa fonem “h” ini lebih merujuk pada konsep ke-Jawa-an dengan filsafat aksara Ha-na-ca-ra-ka – nya. Dalam konsep aksara Jawa, 9
Lih. Putu Wijaya, Opcit.,136. Lih. Andreas Harefa, Opcit,. 23. 11 Lih. Putu Wijaya, Opcit.,138. 12 Lih. Putu Wijaya, Opcit.,133. 10
60
terdapat ajaran budi pekerti serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur13. Untuk itu, dapat kita telusuri lebih jauh bahwa konsep aksara Jawa, khususnya fonem “h” sebagai berikut. Ha, Hurip Na, Legeno
= hidup (huruf pertama merupakan huruf hidup) = telanjang bulat tidak membawa apa-apa
Ca, Cipta
= pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra, Rasa
= perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka, Karya
= bekerja atau pekerjaan.
Di sisi lain, konsep Ha-Na-Ca-Ra-Ka juga mangajarkan agar manusia itu bekerja dengan cerdas (cipta), bekerja dengan ikhlas (Rasa) dan bekerja dengan sekuat tenaga (Karya) Da, = dada Ta, Tata = atur Sa, Saka
= tiang belandar, tiang penyangga
Wa, Weruh
= melihat (huruf ini tidak konsisten dengan singkatan)
La, lakuning Urip = makna kehidupan. Da-Ta-Sa-Wa-La, dadane ditata men iso ngadeg jejeg kaya saka lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara kalbu (nurani) yang ada didalam dada, agar kamu dapat berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya. Evaluasi masih tetap dilakukan, apakah petunjuk itu benar datang dari Tuhan Yang Maha Esa yang ditangkap melalui rasa ataupun suara hati (dadane ditata) dan bukan karena pikiran kita sendiri. Evaluasi secara terus menerus terhadap pikiran, ide ataupun suara hati dan pelaksanaan kerja yang ada agar tetap terus berada pada tangga yang benar dan lurus. Tanpa kenal putus asa, pada jalan Tuhan yang sangat luas (iso ngadeg jejeg kaya saka lan ngerti lelakuning urip kang sejati = mengerti persoalan yang sebenarnya). Perilaku semacam ini akan menimbulkan kecerdasan otak, kecerdasan emosi, dan juga kecerdasan spiritual.
13
Soenandar, Filsafat Ke-Jawaan: Ungkapan Lambang Ilmu Gaib dalam Seni – Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. (Jakarta: Yudhagama Corporation, 1985).
61
Pa-Da-Ja-Ya-Nya
= sama kuat; Sifat yang baik dan buruk itu mempunyai kekuatan yang sama, dan manusia diberi hak sepenuhnya untuk memilih. Sifat baik ataupun buruk, benar ataupun salah bedanya sangat tipis. Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati dalam melangkah. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk dapat melihat, apakah keberhasilan yang dicapai itu sifatnya hanya sesaat ataukah berkelanjutan. Dengan bersandar kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia akan mendapat bimbingan tentang jalan yang lurus dan benar. Selain itu, manusia juga harus berorientasi ke masa depan, dan memiliki harapan yang jelas serta memiliki perencanaan untuk setiap langkah yang akan dibuat sehingga kita memiliki kesadaran penuh bahwa cara untuk meraih suatu keberhasilan tidak bisa ditempuh dengan cara yang buruk. Siap menghadapi segala tantangan dan siap menghadapi segala keberhasilan ataupun kegagalan. Bermental baja karena kita telah memiliki suatu “kemenangan abadi” yang sangat kuat, bersifat mandiri. Ma, Suksma = suksma, ruh, nyawa Ga, Raga = badan, jasmani Ba-Ta, batang = mayat Nga, Lungo = pergi Ma-Ga-Ba-Ta-Nga, Selama suksma (ruh atau nyawa) masih bersatu dengan jasmani atau badan, maka sifat baik dan buruk tetap ada pada diri manusia. Bila sudah menjadi mayat, maka suksma (ruh atau nyawa) akan pergi dan di sanalah akan diminta pertanggungan jawab tentang pilihan yang diambil diwaktu hidup. Apakah yang baik atau buruk. Semua yang berasal dari Tuhan akan kembali ke Tuhan pula (konsep sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan dan akhir dari kehidupan itu). Walaupun selaku manusia telah berusaha secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, baik lahir maupun batin, Tuhan Yang Maha Esa-lah yang menjadi penentu segalanya. Secara umum pola ini mengajarkan manusia untuk introspeksi secara lahir dan batin. Secara lahiriah, manusia itu sangat lemah sehingga sangat membutuhkan Tuhan YME; dan secara batiniah, manusia harus dapat mengendalikan 4 sifat nafsu yang bisa menyesatkan, yaitu: 1. Aluamah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai rasa lapar, haus,ngantuk, malas dan lainnya. 2. Amarah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia bisa marah, iri, dengki dan lainnya. 3. Mutmainah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia menjadi tamak, srakah, kikir, mementingkan diri sendiri dan lainnya. 4. Sopiah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai sifat ingin memiliki, ingin senang, ingin indah, ingin enak dan lainnya.
62
Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa di dalam konsep aksara Jawa terdapat ajaran untuk selalu membantu yang lemah dan selalu eling dengan terus melakukan kontrol dan kendali terhadap “sedulur papat” (nafsu manusia). Menolong di sini dapat pula dimaknai sebagai usaha pemberdayaan (empowerment) dan memberdayakan (empowering) terhadap masyarakat kecil yang lemah dan rapuh. Dengan demikian diharapkan masyarakat memiliki posisi tawar (bargaining positions) yang signifikan sehingga tidak mudah diperdaya atau mengalami ketidakberdayaan (powerless), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (phisycal weakness), kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation), dan diombang-ambingkan oleh kebudayaan modern yang tidak menentu. Setelah semua dharma itu dilaksanakan dan kebenaran serta kejahatan ditasbihkan, barulah sebagai penggembala hidup, manusia akan merasakan kehidupan yang tenang karena tugas kekhalifahan sudah dilaksanakan. Maka di sinilah saatnya perjalanan rohani dapat diakhiri, dengan cara ber-uzlah, memalingkan diri (mungkur) dari kehidupan yang fana ini dan menaiki teras demi teras candi/pertapaan—untuk lengser (istirahat) kemudian mandheg pandhita ratu, menjadi pandhita (mistikus), sambil membersihkan diri, dan menghabiskan sisa usia untuk menyongsong datangnya gendhing ‘’Megatruh’’ – (megat artinya terpisah dan ruh artinya nyawa, jadi artinya meninggal dunia). Akhirnya, dengan diiringi gendhing ‘’gambuh’’ – yang bermakna jumbuh atau menyatu (manunggaling kawula gusti atau moksa) — yang mengalun ritmis, merdu mendayu dalam dingin dan tintrim (sunyi senyap)14.
KESIMPULAN Bisma merupakan karya Putu Wijaya dalam Kumpulan Cerpen Gress, yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1982 dan dicetak untuk kali yang kedua pada tahun 1987. Kebaruan cerpen ini terasa karena Putu Wijaya mengemas kembali dongeng yang tidak realistis, tetapi dapat dirasakan sebagai dunia kenyataan yang pernah dirasakan dan dipikirkan, tetapi tidak sempat dihayati secara lebih intens. Seakan Putu Wijaya meneror kesadaran pembaca dengan membawanya ke dunia yang lain, aneh dan mengejutkan. Melalui cerpen ini, Putu Wijaya ingin “menjungkirbalikkan” konsep cinta – komitmen – kehormatan melalui sosok 14
Lih. Sukatno, Dieng Poros Dunia: Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004).
63
Bisma yang selama ini dikenal dalam epos Mahabarata sebagai sosok yang selalu teguh memegang komitmennya. Bahkan, ia rela untuk mengorbankan segalanya demi sebuah komitmen yang telah diikrarkan. Dengan demikian, pembaca diajak untuk “berpikir ulang” tentang hakikat ketiganya. Pengungkapan cinta dalam Bisma sangat luas cakupannya. Maksudnya bukan hanya “sekedar” cinta antara pria dan wanita (meskipun hal itu juga ada), melainkan juga dalam tataran yang lebih luas, yakni meliputi cinta terhadap keluarga, negara dan profesi. Ketiga cinta tersebut perlu mendapat perhatian agar keseimbangan hidup benar-benar terlaksana. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa peranan karya sastra sebenarnya bukan bahan bacaan yang sekedar menghibur, melainkan merupakan sarana untuk memberikan semacam “pencerahan” bagi pembacanya. Dengan demikian karya tersebut bukan hanya layak dibaca pada waktu diciptakan, melainkan juga masih terasa gaungnya pada masa-masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Harefa, Andreas. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. Yogyakarta: Gradien. Harsrinuksmo, Bambang, dkk. 1999. Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid I VI. Jakarta: Sena Wangi. Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra. Soenandar, Hadikoesoemo. 1985. Filsafat Ke-Jawaan: Ungkapan Lambang Ilmu Gaib dalam Seni – Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Jakarta: Yudhagama Corporation.
64
Sukatno C.R., Otto. 2004. Dieng Poros Dunia: Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang. Yogyakarta: IRCiSoD. Wijaya, Putu. 1987. Gress. (Cetakan ke-2). Jakarta: Balai Pustaka.
65