"CIK GU INDONG NGEHITZ" (Kepungan Sawit, Debu & Ringgit) KECIPIR (Kumpulan Cerita Penuh Inspirasi) Disusun oleh Aris PrimA (Chef APA) Pendidik Angkatan IV CLC 9 Ladang Sabah Mas, Lahad Datu, Sabah, Malaysia
Lampu panggung warna-warni dari atas langit-langit menyorot tajam sambil berputar-putar menunjukkan kemegahan kerlipannya diikuti dengan dentuman musik Bara-Bara, Bere-Bere yang sangat "Ngehitz", lalu master ceremony (MC) memanggil peserta berikutnya. "Ladies and Gentlemen, Next, Aris Prima, 28 years old, from Indon". Sontak lelaki yang tingginya 184 cm ini terkejut bukan main. "Whats???? Indon??? No. I am not an Indon. I am a great teacher from I-N-D-O-N-E-S-I-A. Indonesia is My Country not My City. Can "Encik" repeat again?". MC itupun mengulanginya dengan meminta maaf terlebih dahulu lalu menyebut Indonesia dengan penuh khidmat, seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Istilah indon menjadi lumrah diucapkan oleh hampir mayoritas penduduk asli Sabah, sebuah negara bagian Malaysia yang kaya akan perkebunan kelapa sawit. Begitu juga dengan orang-orang Indonesia yang merantau menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan warga Indonesia yang sudah memiliki IC (Identitas warganegara Malaysia) menyebut dengan panggilan yang sama. Karena saya bukan pakar kelirumologi dan bukan ingin mencari masalah, dan akhirnya ya sudahlah. Saya pun memutuskan untuk menambahkan huruf G dibelakang N. Efek dari NG-isasi yang dipraktekkan oleh TKI yang tinggal di perkebunan sawit. Ikan menjadi Ika-ng dan Makan menjadi Maka-ng. Bagi mereka, kata Indonesia terlalu panjang sehingga disingkat Indon. Tapi bagi saya mereka tidak konsisten dan pilih kasih terhadap penambahan "NG". Karena kata Indon mengandung huruf “N” dibelakangnya, maka jika mengalami “NG-isasi”, kata Indon berubah menjadi Indong. Saya teringat tentang Januari 2013 tapi bukan 11 januari karena itu adalah judul lagu yang dibawakan oleh GIGI. Secarik kertas pengunduran diri melayang untuk ke-2 kalinya setelah surat sebelumnya ditolak. "Whatss??? Guru??" ujar beliau. "Ga perlu teriak kali pak. Biasa aja gitu loh" ujarku. Guru juga manusia. Meski orang-orang sering menyebutnya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi saya tidak setuju. Meski guru tidak ada tanda jasa, minimal dia punya tanda lahir. Pahlawan ngehitz dengan tanda lahir". My boss akhirnya menyetujui pengunduran diri itu. Jutaan air mata tumpah ruah di ruang persegi panjang restoran Dapoe Aceh berisi 20 orang rekan kerja. Satu per satu mengucapkan kata perpisahan dengan tersedu-sedu. Saya merasa berdosa teramat lebih dan dalam karena mereka begitu berharga dan perhatian. Ini lebih dari sebuah keluarga cemara. Saya pun dengan teganya meninggalkan setumpuk kenyamanan rupiah selama 5 tahun bekerja di perusahaan minyak dan gas nasional demi mengejar ringgit selama 2 tahun sebagai pendidik di negeri antah berantah. 1 camera pocket, 1 blackberry dan 1 buku tentang perjalanan menjadi bekal yg dititipkan oleh mereka demi lahirnya cerita-cerita "Ngehitz" dari tanah Sabah. “Gubrakkkkkkkkk !!!!”. Cerita ngehitz pertama lahir. "Nak, kapan bisa kirim uang?" ujar ibuku melalui sebuah pesan singkat. Saya tidak suka pamer. Tapi ini memang fakta. Saya masih memiliki adik berumur 7
Page 1
tahun. Jika berjalan dengannya, maka terjadilah hal yang paling menjengkelkan. "Itu anaknya ya pak?" Ujar seorang warga. "Betul pak, anak Ibu saya yang ke-7. So ada yg bisa saya bantu???" ujarku. Sebagai anak tertua, I can say “Hellow Nokia. I will agree with your statement Connecting People. Because I will always connect my family with my money huhuhu” gumamku dalam hati. Jelas bahwa terlambatnya gaji saya selama 3 bulan akibat kengeyelan seorang APA (Aris Prim-A) memilih rekening lain dari yang lain berujung prahara. Langit mendung, awan kelabu, badai menghantam, hujan mulai turun, petir menggelegar, bumi gonjang ganjing, ringgit mulai mengerjaiku, mempermainkanku dan mengejekku. Panas suhu udara ladang Sabah Mas makin terasa menyayat layaknya seorang Farah Queen mengiris-iris bawang merah menjadi tipis. Tentu menjadi tidak lucu, jika saya datang ke kedai terus berbelanja. "Cik Gu, bawa buku tidak?" ujar penjaga kedai. "Buku apa yah??" ujarku. "Buku Bon (hutang) Cik Gu. Kan Cik Gu mau belanja, tapi tiada wang (duit)". Cakra Kan mulai bernyanyi. "Sendiri, Sendiri ku diam, diam dan merenung, merenungkan jalan yang kan membawaku pergi, pergi tuk menjauh...........". Semua teman pendidik updated status blackberry. "Asyik gajian, salam sayang dari BNI", tokenku kok gak bisa yah, ini tokenku, apa tokenmu". Status itu membuatku bertanya. “Why me? Alone? Yang lain oke-oke aja tuh”. Tiba-tiba terlintas dipikiranku jika Tuhan menjawab "Why Nottttttttttt". “Oh my god, jangan sampai terjadi karena ini hanya khayalan”. Sayapun tidak mau kalah ngehitz dengan mereka. Cerita Cik Gu tidak boleh begini terus. Hidup harus bergulir meskipun dengan pinjaman. Ibu pengelolapun menjadi utusan dewi langit untuk membantu kekeringan uang. Terimakasih atas jasa-jasamu Ibu. “4 juni 2013, Selamat Datang Sabah Mas, Selamat Malam Bilong”. Esoknya saya pun bergelar Cik Gu (Guru). "Cik Guuuuuu? Cik Gu?". Seorang budak (anak) lelaki kecik (kecil), kurus, putih dan belakangan diketahui bernama Sawal. Ia adalah anak pertama yang memberi gelar Cik Gu. Mengintip dari kawat jendela dapur, rumah guru di samping sekolah. Lalu masuk ke rumah, bersuara lantang seolah-olah akan marah. Ya, anak-anak disini, terbiasa bersuara dengan frekuensi yang melebihi ambang batas suara normal yang bisa didengar manusia. Memanggil yang lebih tua dengan nama, menyebut orang tua dengan awalan “si”, dan sangat suka melantunkan kata-kata Talengong (bodoh), ya lah palek, itulah itu, adalagi, dari kau sajalah, mana Ada dan lainnya. Sawal menjadi pembuka terjadinya serangan umum 11 Maret. "Serbuuuuu....". Budak-budak kecil berhamburan ke rumah. "Cik guuuuu, cik guu, cik guuu. Cik gu mengajar kami kah?" Ujar gerombolan anakanak. "Hehehe, lala yeyeye lalala yeyeye. Enggak tuh. Cik gu mengajar SMP". Mereka serentak mengeluarkan suara sumbang. "Yaaahhh cek gu" (Sambil tertunduk lesu). "Kalian sudah makan?" tanyaku. "Belum cik gu" jawab mereka singkat. "O ya sudah, cik gu masak yah". Mereka berteriak "Horeeee.....". Saya mulai curiga dengan reaksi kebahagiaan itu. Masakan yang sederhana dan cepat saji yaitu magie. Ya, nama mie di Sabah, mayoritas bernama demikian. Rasanya? Ya demikian. Demikian apa? Demikian absurd. Produk Indonesia banyak dijual di bandar Lahad Datu, sebuah kota yang sempat ngehitz 6 bulan yang lalu akibat pertikaian antara penceroboh Sulu dan tentara Sabah, Malaysia. Jadi bagi yang ingin berliburan ke Sabah, tidak perlu khawatir dengan produk Indonesia. Hal yg perlu dikhawatirkan adalah tentang pelayanan. Jika di Indonesia, pelayanan berkisar dari ramah hingga alay, sedangkan disini adalah kebalikannya. Semua serba bersifat layan diri atau self serviced. "No smile, No thanks, No...No...Norak
Page 2
banget kan" gumamku dalam hati. Ya, inilah local culture yang kita kenal dengan nama beken less hospitality. "Magie sudah masak. It's time for eating" teriakku dari dapur. Tak sampai 5 menit, keluar kata-kata hebat dari mereka. "Tambah lagi lah cik gu, mau air minum cik gu". "Anak baik, lain kali ya nambahnya, air minumnya bagi rata aja yah". Merekapun kebagian minum spritzer, air mineral semulajadi nomor 1 di Malaysia. Di ladang, hanya Cik Gu yang minum air mineral. Sebagian besar warga minum dari air hujan. Secara air tanah tidak ada, bukan karena kekeringan tapi memang tidak diperbolehkan membuat sumur. Alasannya? Ya demikian. Demikian apa? Demikian absurd. Esoknya, seorang anak minta air lagi. "Cik gu, haus, ada air?" ujarnya. "Ouw. Sekejap cik gu masak air hujan dulu yah". "Bukan cik gu, air yang itu (air mineral)". Lalu aku menjawab sambil tertawa. "Hahaha, maaf ya. Air itu untuk kalangan terbatas saja. Gak boleh sering-sering". Bayangkan jika anaknya bisa ngeles dan balik bertanya. “Kalangan terbatas itu siapa cik gu?. “Terbatas untuk Cik Gu saja, hahaha” tertawa dalam hati. Kelaspun dimulai. "Ayo anak-anak, 6 dikurangi 2 berapa?". Mereka terdiam. "Bukan kurang cik gu, tapi tolak" ujar mereka. "Ha, tolak? Tolak angin kah?" ujarku. "Ayo anak-anak, 6 + 4 berapa?. Mereka terdiam lagi. "Bukan tambah cik gu, tapi mengira". Siang itu, angin gengsi melintasi sawit yang terhampar hijau di setiap penjuru. Menambah emosi jiwa atas jet lag bahasa anak-anak. "Okelah. Tapi kalian bisa kan menolak dan mengira?" tanyaku. Mereka menjawab "Boleh cik gu". Ada kata-kata tolak, mengira dan boleh yang artinya bisa. Bukan salah bunda mengandung tapi salah bunda melahirkan. Mereka lahir di Sabah, Malaysia. Jadi bahasa ibu pertiwi mereka hanya tinggal kenangan. "A, B, C, D. Ayo coba dieja" pintaku. "Ei, bi, ci, di" jawab mereka. "Wah hebat bahasa Inggris mereka” gumamku dalam hati. Ternyata itu adalah ajaran bahasa melayu yang mereka dapatkan dari cik gu berkebangsaan Malaysia dan Filipina di bangku sekolah tadika (TK) dan darjah (SD). Beberapa minggu menganalisis kondisi ladang, saya bersemangat untuk membuat anak-anak ladang menjadi "ngehitz" di kemudian hari. Semua ini karena mereka dan orangtua mereka memiliki 6 "TER". Terbatas jam belajar karena mereka belajar dengan menumpang di sekolah HUMANA (sekolah yang dimiliki oleh sebuah NGO Malaysia). Terlambat mendapatkan akses pendidikan sehingga membuat usia mereka lebih tua dari tingkatan sekolah yang diikuti. Tertinggal dalam penggunaan bahasa Indonesia ditengah kepungan bahasa tempatan. Terkungkung atas pemikiran orang tua dan lingkungan bahwa sekolah belum tentu menjamin kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Terkepung dengan lingkungan yang keras sekeras biji sawit, kurang perhatian dan kasih sayang orang tua yang sibuk bekerja seperti daun sawit yang hijau tua, kusam, kotor dan berdebu. Terpojok dengan kondisi ilegalisme, passport, visa kerja, listrik yang terbatas, akses kesehatan yang minim khususnya pada kondisi darurat, incaran polis (polisi) Malaysia, dan ancaman lainnya. Tapi mereka tetap bertahan. Hal ini disebabkan oleh godaan ringgit. Jika dibandingkan dengan kehidupan di kampung halaman, apa yang mereka dapatkan dari pihak pengurus (perusahaan) di ladang sawit terbilang cukup. Air gratis meski bukan air tanah, rumah gratis meskipun 1 rumah ada dua keluarga atau 1 keluarga dan 1 bujang (pekerja yang belum menikah), dan listrik gratis meski hanya menyala pada jam 04.00-06.00 dan 17.00-22.00. Atas hal itulah, bahwa amanah UUD 1945 tentang usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, dan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi setiap warga negara harus diperjuangkan oleh para guru, para pendidik, barisan paling depan yang dekat dengan anakanak dan orang tua mereka. Kelak anak-anak tidak akan menjadi penyabit, pengumpul buah sawit,
Page 3
penyemprot sawit, dreeba (supir) kendaraan sawit, dan kerja kasar lainnya. "Saya yakin, mereka akan menjadi pilot, polisi, pengusaha, dokter, ilmuwan bahkan presiden. Kamu mau jadi apa nak?" tanyalu. Seorang murid menjawab. "Saya mau jadi Cik Gu". Jadilah cik gu, kelak engkau dapat menerbangkan orang tuamu kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Inilah sebuah permulaan. Namanya Ardi. Anak Pak Juma, seorang dreeba lori (sejenis truk berukuran medium untuk mengangkut buah sawit). Ibunya sudah meninggal dunia. Saya mengantarnya ke Kota Kinabalu, melintasi perjalanan Ninja Hatori selama 9 jam. Obat anti mabuk berhasil menahan permasalahan perut saya. Ardi pun sanggup menahan puasanya. Jam 17.00, bus Dayana sampai di terminal Inanam. Terminal utama kota Kinabalu, kota terbesar, ibukota Sabah. Malamnya adalah malam terakhir makan bersama Ardi. Besok pagi, kami sudah bersiap menuju bandara internasional Kota Kinabalu. Ardi bertemu dengan temannya yang lain. Para orangtua dan kerabat yang mengantar mulai menitikkan air mata, saat seluruh siswa CLC SMPT itu masuk ke ruang tunggu. Pertanyaan terakhir sempat saya ajukan kepada Ardi. "Ardi mau jadi apa?". Ardi menjawab. "Saya mau jadi Cik Gu" ujarnya penuh semangat. Saya belum pernah mengajar Ardi, tapi pertemuan terakhir itu membuat saya berjuang melawan tangis meski kalah. Saya berjanji pada diri sendiri untuk melahirkan Ardi-Ardi berikutnya untuk keluar ladang meretas mada depan gemilang dan cemerlang. 3 tahun, beasiswa penuh dari pondok pesantren Insan Madani, Tangerang akan membantu Ardi mengembangkan sayap-sayap mimpinya. Ini pukulan hebat yang dapat melecut para orang tua dan anak-anak Sabah Mas. Kini siswa di sekolah yang saya ajar memiliki semangat yang sama lewat kata-kata penyemangat berikut ini. "Jika Bapak, Ibu Guru bisa, Ardi Bisa, maka saya pasti bisa". Rumah baru, hal yang serba baru. "Maaf anak-anak, cik gu harus pindah yah. Nanti kalian tidak bisa sesering dulu maen ke rumah karena cik gu menumpang di rumah warga" ujarku. Anak-anak lagi-lagi memelas. "Yahhhhhhhhhh...cek gu" teriak mereka. Anak-anak sangat senang dengan kehadiran guru Indonesia. Demikian juga dengan orang tua dan warga. Guru mendapat respek yang dalam dan perlakuan yang spesial. Tidak hanya di ladang sawit, masyarakat asli sabah juga sangat memghormati profesi guru. Kita bisa mengatakan bahwa guru adalah salah satu kasta tertinggi dalam kehidupan masyarakat. 3 minggu sahaja (saja) tinggal di rumah sekolah. Cik Gu HUMANA telah kembali dari kampungnya. Saya pindah ke rumah Bu Ana. Kebetulan beliau mudik hingga 2 minggu usai lebaran. 1 rumah, 1 keluarga dan 1 bujang. Yah, hal biasa di perumahan ladang. Namun malam-malam bergulir bukan hanya dengan 1 bujang, tapi 1, 2, 3 hingga 8 bujang meramaikan rumah itu dengan dentuman musik yang cetar cenderung berisik. Musik disko, bara-bara dan bere-bere yang sangat familiar dinyanyikan anak-anak tidak berhenti hingga sekurang-kurangnya jam 12 malam meski listrik sudah mati. Lagu-lagu itu masih keluar dari handphone mereka. Kepulan asap rokok ikut memutihkan gelap dan hitamnya malam. Dua kamar bagai dua dunia yang berbeda. Berbagai cara halus tak mempan. Saya kasihan dengan anak-anak yang menginap di rumah. Semoga mereka tidak merekamnya dalam ingatan. Perjuangan wow selama 1,5 bulan itu tetap melahirkan serpihan-serpihan yang "ngehitz". Tidak ada kedai (warung) makan. Jadi, masak adalah menjadi perkara wajib. Tapi karena saya mencintai pekerjaan ini, memasak menjadi candu asmara. Everyday is cooking. Everyday is always new recipe. "This is it, Chef APA" ujarku. Masak-masak sendiri, cuci baju sendiri, bersih rumah sendiri, dan semua mandiri. Untungnya, anak-anak menjadi pahlawan yang menemani makan dan tentunya tugas rumah setelah makan. "Tahang, Along, Jusli, ayo bantu cik gu cuci piring" teriakku. "Iyek
Page 4
(iya) cik gu". Mereka adalah siswa SMPT yang acapkali menginap di rumah, "ngompol" di kasur, menghabiskan makanan dan aktivitas lainnya yang menguji kesabaran. Hampir 60-an resep tercipta. Mulai dari resep original dari sang bunda, resep dari buku dan internet dan resep kreasi sendiri. Aroma masakan khas Sumatera Barat yang khas dengan bumbu dan rempah dapur tercium hingga ke rumah tetangga. Sejak saat itu, berbagai bahan makanan, acapkali diantar oleh tetangga. Bulan puasa adalah masa paling hemat ditengah keterlambatan gaji. Warga begitu baik menghantarkan hidangan buka puasa. Dan yang paling mengherankan adalah bahwa makanan buka puasa itu hanya diberikan untuk Cik Gu, bukan untuk bujang yang ada di rumah atau tetangga lainnya. Kita bisa menyebut perlakuan ini sebagai sesuatu yang wow. Sawal, anak yang pertamakali memanggil Cik Gu, rumahnya tepat di depan rumahku. "Cik gu, mamakku minta masakan kita (saya)" ujarnya. "Hahaha, oke bah" jawabku. Sejak makanan yang saya berikan ke Ibunya, sejak itulah ibu-ibu tetangga rajin mengirim anaknya untuk mengambil masakan di rumahku. Kini saya harus menanggung resiko atas nama baru yang disematkan yaitu Chef APA. Ibunya Sawal memintaku untuk menuliskan seluruh resep yang pernah dibuat. "Hemmm, maaf buk. Saya cik gu, bukan chef". Passion will bring us on the top. Saya bisa bilang saat ini saya sedang terkena virus berat yang merasuki dan menghipnotis diri secara berlebihan. Virus apa itu? Teaching Virus not Teaching Permit. Saya nyatakan bahwa sesungguhnya mengajar dan mendidik is not my job. Cooking is not my job. Berkumpul bersama mereka, bermain, mengaji, sholat berjamaah bukanlah pekerjaan saya. Ini seperti permainan. Permainan yang menyenangkan. Permainan yang tidak bisa ditebak dan cenderung mengejutkan. Imam surau Nurul Yaqin estate Bilong, Pak Zain, orang yang pertamakali mengantarkanku ke offis (office). "Cik gu, bolehkah kita (saya) mengisi khutbah di surau?". "Kita pak? Kita berdua?" ujarku bingung. "Bukan cik gu. Kita itu ya cik gu saja" balasnya. "Oooalah...." ujarku. Kita jadi saya. Kosakata hebat lahir lagi. "Eh apa pak. Khatibbbb?????. Oh maaf pak, saya gak bisa dan gak pernah" aku menolak dengan halus. "Oh gitu cik gu. Kan orang sini dengar khutbah saya, mungkin bosan. Bolehlah bila-bila, cik gu yang mengisi" pak Zain merayu. Waktu berlalu, penolakan tawaran itu berakhir dengan kekalahan saya. 0-1 untuk Pak Imam. Jumat itu menegangkan, saya pun naik mimbar. Khutbah perdana seumur hidup berjudul "..........". Saya lupa. "Terimakasih Ya Allah, 30 menit itu berlalu" ujarku lirih. Tendangan pak Imam semakin bertubi-tubi. Skor menjadi 0-2. Sejak saat itulah anak-anak mulai mengaji setelah magrib hingga usai sholat isya. Tugas baru sebagai ustad pun diemban. Suraupun menjadi ramai dengan kebisingan anak-anak. Tapi saya senang karena mereka selalu dekat dengan rumah Tuhan-nya. Program anak bintang yang saya adopsi dari buku berjudul "Anak-Anak Angin" karya Bayu, pengajar muda program Indonesia Mengajar. "Mulai hari ini, bagi yang rajin sholat wajib, sholat sunnah, mengaji, dan berkelakuan baik, maka akan dapat bintang. Jika meninggalkan kebaikan tersebut, maka bintangnya akan cik gu kurangi" ujarku dengan tegas. "Iyaaaa cik guuu" jawab mereka dengan penuh senyum. Semenjak itu mereka bersemangat. Periode anak bintang I selama 2 minggu selesai. Lanjut ke periode II selama 1 bulan berpuasa dan kini periode III yang sedang berjalan selama 6 bulan ke depan. Kini, ada atau tidak ada Cik Gu, anak-anak tetap bersembahyang, adzan, mengaji dan lainnya. Bahkan menjalankan puasa sunnah senin dan kamis. “Subhanallah. I love you, anakanakku” ujarku penuh bangga. Semoga Allah terus memberkahi kalian hingga menjadi mukmin yang "ngehitz".
Page 5
Kemenangan 0-2 pak Imam terus berlanjut. Tugas menjadi khotib ramadhan, dan akhirnya suatu tawaran yang membuat diri makin bergegar (sangat gugup). "Cik gu, bolehkah cik gu tolong kami agar kami tidak perlu cari khotib Idul Fitri lagi". Bom atom Nagasaki dan Hiroshima seolah kembali menghancurkan Pearl Harbour. Perang dunia kembali bergolak. Jepang akhirnya menyerah pada sekutu. Wakil ketua kampung menyelipkan amplop putih selepas saya membaca khotib Idul Fitri berjudul Muhasabah Cinta. "Ah, tak payahlah pak cik. Tak usah, bagi saja ke masjid" ujarku. Pengalaman ini tidak akan pernah terlupakan. Tetesan ari mata mengalir dari para jamaah, sama dengan yang aku alami. Ini bukan tentang membaca teks pidato tapi ini tentang berbagi kata dan kalimat bermakna di negeri orang, kampuang nan jauh di mato. Lontong sayur padang dan sambal kentang goreng hati menemani lebaran hari pertama. Tak cukup 1 jam, makanan itu ludes tak bersisa. Siapa lagi yang menghabiskan jikalau bukan anak-anak. Masakan ini tercatat dalam rekor MURI versi ladang. Makanan ini menjadi trendsetter disaat semua rumah memasak buras, buras dan buras lalu ayam, ayam dan ayam. Cik Gu boleh ngehitz tapi cik gu bukan malaikat. Bukan berarti semua bisa. Tapi Cik Gu boleh (bisa) menjadi individu yang selalu belajar. Belajar hal-hal baru, hal-hal baik dan Cik Gu akhirnya menjadi lokomotif teladan bagi murid, orang tua dan masyarakat. Apakah pantas saya, anda, dan kita menjadi Cik Gu? “Jom (ayo) belajar Cik Gu !”. "Awasssssssss.....prakkkkk....." teriak kami. Di malam gelap, di tengah kepungan sawit, debu-debu putih berpendar kencang menampar muka dan wajah. Seketika motor yang dikendarai jatuh. Untung tidak masuk jurang. Barusan sebuah lori (truk besar) limpas (lewat) dengan kencangnya. Mari belajar sabar. Keterbatasan jumlah guru, membuat saya dan kawan-kawan guru lainnya harus memompa semangat untuk mengajar berpindah-pindah tempat kegiatan belajar (TKB). CLC Sabah Mas memiliki 4 TKB dan 2 TKB diluar area ladang. Jarak antar TKB ditempuhi dalam waktu 20-60 menit. Motor honda merah adalah motor LC. Motor ini setia menemani saya bersenda gurau dengan debu-debu jalanan. Setiap hari, tayar (ban) motor harus berdamai dengan jalanan berbukit, lembah, naik, turun, berbatu kecil, besar, dan berpasir. Belum lagi kejutan dari pasukan penghasil debu seperti lori (truk), kereta hi-las (mobil bak terbuka), person (truk terbuka penarik buah sawit), dan motor. Jika hujan datang, tanah kering berubah menjadi lempung (clay) yang melicinkan permukaan jalan. Tak mau ketinggalan adalah aksi dari rombongan keluarga besar biawak, ular kobra, ular jenis lainnya, buaya, monyet, burung, anjing, kucing hutan, sapi, kerbau, ayam jerat (ayam hutan), tikus, serangga, dan kunang-kunang malam hari. Selamat datang di Suaka Margasatwa dan Cagar Alam Sabah Mas. Saya sedia (siap) menemani tuan-tuan (bapak) dan puan-puan (ibu) pusing-pusing (mengelilingi). Siapkan satu paket peralatan anti debu. Helmet, masker, jaket, celana panjang anti debu, perkakas motor, petrol (bensin), headset untuk mendengarkan lagu dan meredakan ketakutan malam hari dan kesabaran merespon parade debu. Ya, itulah tips berkendara di jalan ladang. Debu selalu berpindah, sama dengan kebiasaan berpindah manusia zaman pra-sejarah yang kita kenal dengan nama nomaden. Sayapun harus mengalami masa-masa itu. Setelah Kak Ana pulang dari kampung halamannya, saya segera pindah untuk ketigakalinya. "Cik gu, tak payahlah pindah. Kami carikan rumah kosong. Tu ada rumah kosong" ujar seorang murid. Lalu wakil ketua kampung berkata yang sama. "Cik gu, kenapa cik gu tak cakap awal jika cik gu belum dapat rumah. Kalau cik gu cakap awal, saya bisa carikan. Saya cakap sama tuan (manager)".
Page 6
Hampir lebih kurang 3 bulan. Saya harus mengubur chemistry yang sudah terjalin dengan anak-anak, orang tua dan warga. Pertemuan itu menemukan perpisahannya. Terlalu cepat, tapi mungkin dibalik itu ada keindahan dan himah. Rumah baru, lingkungan baru. Tapi rumah baru itu rumah tua, 1 tahun tidak dihuni. Kabarnya ada yang meninggal dunia karena diabetes. Listrik memang 24 jam dan air melimpah. Berbeda dengan tempat sebelumnya, listrik dan air terbatas. Tapi entah mengapa jiwa ini tak bisa berbohong dan berdamai dengan logika. "Pak guru tinggal dirumah tua itu. Ah seram pak guru. Ada yang lihat hantu disana pak guru" ujar muridku dengan muka serius. Murid baruku di sekolah kilang dengan lancar menjelaskan kengeriannya. Di samping itu tandas (kamar mandi) rusak, lampu tidak menyala, socket (colokan listrik) terbakar, lantai kayu yang bolong, bak mandi yang rusak, kaca jendela merana, teras prahara, dan seketika lipan besar berlari kencang di dinding tandas seolah-olah memberi salam perkenalan. Rumah sebelahpun kosong, lama tidak ditinggali. Terlihat dari luar barang-barang menumpuk. Saya bukan dari anak kalangan konglomerat. Ibu hanya berjualan es, bapak seorang supir truk. Bukan meminta rumah mewah, lantai keramik, karpet permadani. Tapi rumah sederhana yang baik, yang anakanak bisa kapan saja bermain, belajar dan membahas tentang mimpi-mimpi mereka. Guru ngehitz tidak boleh menyerah. Misi membuat anak-anak ladang menjadi ngehtiz harus terus dijalankan. Akhirnya keputusan dibuat. Taliwas menjadi persinggahan ketiga untuk menetap sementara waktu. Kebetulan ada 1 guru yang sudah purna tugas sehingga ada 1 kamar kosong yang bisa ditempati di rumah samping sekolah Taliwas. Setiap hari, saya meluangkan waktu pergi dan pulang ke TKB Lunpadas, lebih kurang 30-40 menit perjalanan. Terimakasih tentunya ditujukan kepada Cik Gu Rahmat dan Cik Gu Baso yang menerimaku dengan sangat baik. "Selamat pagi anak-anak" sapaku pada murid-murid baru. "Selalu semangat pagi pak guru" jawab mereka dengan penuh semangat. Meskipun sekolah dilaksanakan pada sore hari, anak-anak tetap mengucapkan kata-kata semangat pagi agar semangat belajar sore tetap sebesar semangat pagi. 2 tingkatan kelas yang berbeda, agama yang berbeda, kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung yang bervariasi, menyadarkan kepada saya dan kita semua bahwa betapa peran guru sungguh ngehitz. 1 mata pelajaran dipegang oleh Cik Gu Diah, guru Indonesia yang mengajar HUMANA Lunpadas dari pagi hingga siang hari dan harus mengajar CLC di sore hari. Sedankan saya mengampu 7-8 mata pelajaran lainnya yang diajarkan kepada mereka lewat metode "belajar sambil bermain, hasilnya adalah bukan main". Metode yang digunakan oleh Bengkel Pintar, sebuah lembaga belajar di Lamongan, Jawa Timur yang dikembangkan oleh Pak Arif, pendidik angkatan 1 yang sudah purna tugas. Pengalaman menjadi agent of change di perusahaan sebelumnya mengajarkan saya tentang strategi untuk membuat kelas menjadi lebih menyenangkan. Salah satunya adalah ice breaking yang berfungsi untuk membuka kegiatan kelas, memecahkan kebuntuan atau kejenuhan, mengakrabkan seluruh siswa, pengantar materi pelajaran maupun renungan akhir sebelum kegiatan sekolah usai. Berbagai ice breaking yang boleh dicoba oleh para guru diantaranya adalah permainan ran tam tam, marina menari di menara, patung pancoran, senjata samurai, chicken dance, dan lain sebagainya. Hal ini juga terinspirasi dari buku kelasnya manusia dan sekolahnya manusia oleh Munif Chatib. Bahwa pada dasarnya yang mengisi kelas adalah manusia bukanlah robot. Jadi sudah seharusnya para guru mampu memberdayakan kelasnya sehingga siswa menjadi subyek bukan obyek. Simulasi praktikum, cerdas cermat, ranking 1, olahraga
Page 7
bersama, sholat berjamaah, belajar di alam dan berbagai hal menarik lainnya akan turut membantu terwujudnya tujuan pembelajaran yang sesungguhnya. You have to try it. Terngiang-ngiang salam pramugari dan pramugara Malaysia Airlines tanggal 30 Mei 2013. Hari ke-1, saya dan 57 pendidik angkatan 4 lainnya menginjakkan kaki di Sabah. "Selamat datang di bandara Internasional Kota Kinabalu. Sila tetap pasang tali keledar anda hingga pesawat ini benar-benar berhenti. Jika anda memerlukan bantuan, sila hubungi kaki tangan (staf darat) kami. Terimakasih telah sedia terbang bersama kami". Pesawat inilah yang mengantarkan kami menjelajahi 2 negara dalam 1 waktu. Kondisi cuaca buruk mengharuskan pesawat berputar-putar di udara hingga kehabisan bahan bakar. Alhasil, pesawat mendarat darurat di Brunei Darusalam. AC mati, hanya ada air putih yang dibagikan pramugari. Kami harus bermandi keringat menunggu giliran untuk terbang. "Brunei, tunggu kedatangan kami yang kedua kalinya. Hari ini di bandaramu, esok di bandarmu (kotamu)". Ya rasanya baru kemaren. Tapi hari sudah menginjak hari ke-137. Kepungan sawit, debu dan ringgit terus menemani hari-hari seluruh warga Indonesia di ladang sawit Sabah Mas. Dari 2800 hingga kini 3672. Ringgit makin menggigit. Jika terus naik, gigitan itu jelas makin berbisa. Tapi gigitannya harus diredam dengan semangat yang "Ngehitz". Semangat garuda, semangat merah putih, semangat pantang menyerah. Anak bangsa tidak kalah dimakan harga. Ladang membuka kesempatan yang luas untuk saya, anda, dia dan kamu untuk belajar banyak hal, melintasi aneka ruang dan dimensi ladang sawit. “Pada hari minggu ku turut dreeba (supir) ke bandar, naik bas kecik ladang ku duduk gak nyaman, tak tik tak tik tuk, suara tayar (ban) batuk-batuk. Tak tik tak tik tuk tayar pun mulai meletup. Maaf saya gak jadi ke bandar karena ternyata gajinya di rapel lagi. Saya pun kembali terkepung di tengah pepohonan sawit, serpihan debu dan ringgit yang menggigit. Kepungan debu yang ngehitz”. “Jika kamu menjadi seorang pendidik, maka kamu harus siap mendidik siapapun dan kapanpun. Pagi, siang, malam dan waktu-waktu yang tersembunyi. Mendidiklah seperti kamu mencintai pakaian terbaikmu, makanan kesukaanmu, orang terkasihmu dan harta kesayanganmu. Peluklah anak didikmu dengan erat, untuk kau lepaskan Ia dengan sejumput mimpinya dan senjata meraih cita. Tunggulah Ia saat taklukkan dunia”. (Lahad Datu, 14 Oktober 2013 by Chef APA)
Page 8