M A J A L A H
P E S A N T R E N
CIGANJUR
Menjejaki Kiai, Menelusur Gus Dur Desember 2016 Desember 2016
1
2
Desember 2016
Daftar Isi
Pelindung:
Editorial Ngaji Gus Dur: Menebar Damai, Menuai Rahmat
Momentum Maulid Nabi Simbol Pembebasan Merayakan Isa
Pengajian Lima Kaidah Pokok Ilmu Fiqih dalam Kehidupan Sehari-hari
Bahtsul Masail Makna Kafir
Senggang
4 4
9 9
Sajian Utama Menjejaki Kiai, Menelusur Gus Dur
Kajian Islam, Keadilan, dan Gus Dur
6 6
14
23
29
Arief Rachman Hamid
Penanggung Jawab: Arif Rahman
Pimpinan Redaksi: M. Daniel Fahmi Rizal
Redaktur:
Dokumen Mengerti Berbeda Dari Mengetahui
17
23
Penasehat:
14
12
17
Dewan Pembina Yayasan A. Wahid Hasyim
Resensi Resensi Buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Olahrasa Si Dakil Sudut
21 21
27 27
30
30
30
Taufik Al Zurjani Wawan Kurniawan
Tim Redaksi: Achmad Fawaid Ahmad Fahad Arief Auly Em Farobi Afandi Faiq Falahi Mansyur Fadli Maftukhan Weni Syamsu Dhukha
Desain dan Visual: Khoirul Umam
Diproduksi oleh: Pesantren Luhur Ciganjur, Jalan Warung Silah 10 Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan ,12630 www.pesantrenciganjur.org
Desember 2016
3
Editorial
Ngaji Gus Dur: Menebar Damai, Menuai Rahmat
S
yahdan, semua orang di kota ini menanyakan perihal kepergian Damai dan Rahmat. “Di mana damai? Kemana perginya Rahmat?” Dua sejoli itu telah pergi dari kota ini! “Tidak!”, kata Gus Dur. “Damai tidak pergi. Dia ada di relung dirimu.” Begitu santri Pesantren Ciganjur mengimajinasikan percakapan Gus Dur dengan orang-orang bingung di seluruh negeri ini. Mereka barangkali tidak mengerti betul siapa Gus Dur, tapi mereka berusaha memproyeksikan sosok Gus Dur yang paling murni dengan cara polos pula. Orang sering melihat sesuatu seperti tabula-tabula besar, sering lupa pada pandangan polos seperti anak-anak itu. Mengenang Gus Dur pada bulan Desember yang mendung ini tak ubahnya menghadirkan imajinasi anakanak itu ke dalam kehidupan nyata. Di tengah lalu-lalang kebencian dan perpecahan yang menimbulkan fragmenfragmen dengan identitasnya masing-masing, kita mulai merindukan sosok yang pada bulan ini diperingati kepergiannya. Apa yang dipertontonkan kepada publik hari adalah lapis demi lapis kebencian yang semakin rapat menutupi kedamaian dalam hati masyarakat. Damai ada di dalam hati mereka, tapi mereka tak pernah berhasil merengkuhnya. Terlalu deras arus kebencian yang mengalir bebas di ruang publik ini. Jadi, sangat relevan menghadirkan Gus Dur beserta bayangan kedamaian yang
4 Desember 2016
beliau sebarkan semasa hidupnya. Banyak tulisannya yang menggambarkan tentang kedamaian dengan berbagai gradasi warna. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai presiden, Gus Dur merencanakan berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri pusat perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum berangkat ke Tel Aviv, Gus Dur menerima rancangan pernyataan bersama, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Baksiloron. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan Gus Dur dan Rabi yang bertuliskan: “Berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orang-orang yang tidak bersalah.” Sampai hari yang dinanti pun tiba, di Tel Aviv Gus Dur dan Rabi Eli langsung menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Penolakan Gus Dur terhadap segala macam bentuk kekerasan bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub al-mu’tabarah). Karena Islam, menurut Gus Dur, adalah agama kedamaian, bukan agama kekerasan. Menebar Apakah anak-anak sekarang mengerti jika diminta untuk menebarkan kedamaian? Tentu saja mereka bisa menulis kata “damai” di layar gawai mereka lalu mengirimkannya kepada teman-temannya sesuka hati. Sungguh sederhana memaknai kedamaian sekarang. Begitulah kira-kira orang sekarang memproyeksikan kedamaian dengan aksi tebar kata (sharing word). Kedamaian yang ditandatangani Gus Dur dan Rabi Eli diringkus ke dalam sebuah kata “damai” di pesan Whatsapp, status facebook, sampai banner di pinggir-pinggir jalan yang tiap hari dihempas polusi. Kata damai yang agung sebagai sebuah cita-cita bersama seluruh bangsa saat ini hanyalah tinggal barisan kata. Adapun tafsiran yang panjang mengenai damai lebih sering dipolitisir dengan menyandingkannya bersama kata “meredam” kemarahan masa.
Damai tak lagi semewah impian, ia milik semua orang, seperti semua orang memiliki gawai. Dengan demikian damai juga tertulis, tapi jarang terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya disebar dari sana ke sini, bercampur-baur dengan disebarkannya pula kebencian dan caci-maki. Tapi aneh, kenapa justru kebencian dan caci-mencaci yang terbawa perasaan sementara orang. Coba kita tengok percakapan di media sosial kita. Kata “damai” dan kata “caci-maki” sama banyaknya, tapi dalam kehidupan sehari-hari, kata yang mengandung caci-maki lebih asyik untuk diekspresikan ketimbang perdamaian, lebih berpolemik dan menimbulkan perhatian. Akar dari kebencian adalah keakuan rasa benar sendiri, ingin menang sendiri, ingin dianggap, narsistik, dangkal dalam berfikir, intoleran, dan tidak menghormati yang liyan. Sederet sikap yang coba dihilangkan dari kehidupan bermasyarakat kini subur kembali. Rasa rindu akan kedamaian nampak di bulan Desember yang mendung ini. Hujan turun membawa butir-butir kedamaian, tapi media sosial justru menyiramnya dengan caci-maki. Kedamaian perlu dihadirkan secepatnya! Mendung segera usai. Haul kali ini adalah momen untuk mengekspresikan kedamaian kita. Gus Dur banyak memberikan banyak contoh tentang bagaimana hidup dalam keragaman tapi tetap damai. Begitu juga dalam beragama, demikian Gus Dur, beragama yang bisa menimbulkan rasa aman bagi orang-orang di sekitarnya. Beragama yang tidak menimbulkan rasa takut, bahkan menjadi energi yang menerangi bukan memerangi orang lain agar keberagamaan kita bisa menjadi energi perdamaian. Dalam haul kali ini, dipilih tema “Ngaji Gus Dur; Menebar Damai, Menuai Rahmat”. Salah satu cara yang baik untuk mengahiri kebencian adalah dengan belajar dari Gus Dur dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan. [Tim Redaksi] Desember 2016
5
Sajian Utama Sajian Utama
Menjejaki Kiai, Menelusur Gus Dur
S
ebut saja namanya Gunawan. Salah satu santri Pesantren Ciganjur yang berjalan kaki sendirian malam-malam dari stasiun Juanda menuju Galeri Nasional di Jakarta Pusat. Waktu itu tahun 2015, tepatnya bulan November tanggal 24. Gunawan rela menempuh jarak jauh sendirian demi menikmati buah karya visual santri-santri seluruh penjuru Indonesia. Ya, waktu itu sedang terselenggara Pameran Kartun Santri Nusantara di Galeri Nasional. Ketika akan memasuki ruang pameran, Gunawan disambut dengan gambar kartun Gus Dur sedang tersenyum di sebelah kanan pintu masuk. Tidak sekadar membentuk ekspresi senyum, gambar ini juga menduplikasi gaya tubuh Semar, tokoh wayang yang sering diinterpretasikan sebagai lambang kebijaksanaan. Karakter Gus Dur ini membungkuk dan tersenyum lebar, seakan-akan dengan sumringah sedang menyambut pengunjung pameran. Gunawan tersenyum. Figur almarhum almaghfurlah kiai pengasuh pesantrennya dijadikan materi seni panitia penyelenggara. Selepas acara, Gunawan membuka-buka katalog pameran yang ia dapat dari panitia. Di antara sekian banyak peserta acara, beberapa menggunakan karakter Gus Dur sebagai materi karya mereka. Ada karya yang menyajikan Gus Dur sedang merangkul orang-orang dengan atribut agama yang berbeda. Ada gambar Gus Dur sedang berada di atas serombongan santri berpeci, muslim berpakaian ala Timur Tengah, dan kelompok militer. Ada pula gambar Gus Dur sedang nge-band bareng Mahatma Gandhi dan Bunda Theressa. Setidaknya melalui beberapa gambar kartun tersebut Gunawan sadar, Gus Dur sedang direpresentasikan sebagai simbol perdamaian; pengayom perbedaan dan keberagaman. Gunawan mafhum, ditengah suasana Indonesia yang karut marut ini masyarakat rindu
6 Desember 2016
akan sosok manusia yang mampu memberikan rasa damai di tengah-tengah kehidupan mereka. Kisah Gunawan ini menjadi satu contoh betapa Gus Dur mampu dilihat dari banyak dimensi dan sudut pandang. Dalam kasus ini, Gus Dur melalui media seni sedang dilihat sebagai seorang pejuang perdamaian. Sosok Gus Dur yang adil dan humanis mampu memberikan rasa aman bagi banyak golongan di Indonesia. Selain dilihat sebagai seorang humanis, masih banyak cara orang mengenal sosok Gus Dur. Ada yang melabelinya sebagai seorang Guru Bangsa, pejuang HAM, pejuang demokrasi, Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme, budayawan, intelektual, hingga mantan presiden Republik Indonesia. Namun, di balik segala label yang disematkan kepadanya, tetaplah Gus Dur tidak bisa lepas dari khittah-nya sebagai pemuka nahdliyin. Bagi jamaah Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur tetaplah seorang kiai. Warga NU, yang kebanyakan adalah masyarakat daerah dan desa, mencintai Gus Dur dengan sederhana. Bagi mereka Gus Dur adalah kiai, guru, dan panutan. Sesederhana itu. Bayangan muluk-muluk tentang label-label yang disematkan banyak orang ke Gus Dur tidaklah membebani mereka untuk mencintai Gus Dur sebagai seorang kiai. Kecintaan mereka terhadap sosok Kiai Abdurrahman Wahid ini masih terus hidup sampai sekarang. Sebagai bukti, lihat saja makam Gus Dur di Jombang. Sampai sekarang masih banyak orang berjubel berziarah dan membaca tahlil di sana, bahkan semakin hari semakin ramai saja. Kiai secara sederhana bisa diartikan sebagai ahli agama Islam yang menjadi pimpinan pesantren. Dalam definisi lebih luas, menurut KH. Musthofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus, kiai adalah orang yang mewakafkan dirinya untuk
masyarakat. Definisi ini melekat erat dalam diri Gus Dur. Jauh-jauh hari ketika dia pulang belajar dari Timur Tengah dan Eropa, sebagai alumni universitas terkemuka di luar negeri, Gus Dur “malah” rela mengajar santri-santri di Jombang. Setelah berpindah ke Jakarta, Gus Dur masih mengajar beberapa orang santri kalong, santri yang tidak menetap di pesantren. Pasca berada di Jakarta, Gus Dur juga tak luput dari undangan-undangan mengisi pengajian umum, seremoni yang banyak dilakukan warga NU ketika merayakan hari-hari raya keagamaan. Kekiaian Gus Dur semakin mantap tatkala harapannya mewujudkan pesantren secara fisik terwujud pada tahun 2003 di Ciganjur. Sifat “mewakafkan diri” seperti yang dilontarkan Gus Mus di atas juga tercermin erat dalam laku Gus Dur. Menurut pengakuan santri-santri Ciganjur generasi awal, Gus Dur adalah sosok yang istiqomah dalam mengajar santrinya. Muhammad Yunus, salah satu alumni Pesantren Ciganjur, mengungkapkan bahwa walau sedang dirawat di rumah sakit, Gus Dur tetap berusaha untuk mengajar santri-santrinya secara tepat waktu. Gus Dur bahkan berjuang mendapatkan izin dari dokter untuk barang sebentar mengajar santri-santrinya di Sabtu pagi. Ketika harus
berobat ke Bangkok pada Ramadan tahun 2007, yang memaksanya absen di beberapa pertemuan pengajian, Gus Dur meminta waktu secara khusus pasca Idulfitri untuk menghatamkan kitab yang dikaji ketika Ramadan. Di lingkungan Ciganjur, oleh santri-santrinya Gus Dur terkenal dengan istilah “terima kasih”. Ketika “menerima” sesuatu, dalam waktu dekat Gus Dur akan “mengasihkan” kembali sesuatu tersebut kepada orang lain. Seperti dalam salah satu kisah yang dihimpun Syaifullah Amin, alumni Pesantren Ciganjur, dalam buku Buktibukti Gus Dur itu Wali. Dituliskan menurut pengakuan mantan sekertaris jenderal PBNU, H. Muhyiddin Arubusman, tahun 1990-an Gus Dur pernah menerima cek dari seseorang sebanyak 75 juta rupiah. Tidak lama kemudian datang seseorang meminta bantuan kepada Gus Dur, langsung saja Gus Dur menyerahkan cek 75 juta rupiah tersebut. Luar biasanya Gus Dur, uang sebesar itu di tahun 1990-an dengan enteng dilepasnya untuk kepentingan umat. Tentu saja ruang tulisan ini tidak akan mampu menampung berbagai macam sikap arif dari seorang kiai Abdurrahman. Yang jelas, teladan-teladan sederhana dan mudah dimengerti
Desember 2016
7
oleh masyarakat nahdliyin seperti di atas masih sangat penting dan dirindukan banyak orang. Sayangnya, dimensi kekiaian Gus Dur jarang sekali muncul di berbagai media dan wahana informasi. Yang banyak muncul justru Gus Dur yang pejuang HAM, yang pluralis, yang pejuang demokrasi, dan label-label rumit lain. Tidak ada salah sama sekali dengan semua sematan tersebut memang. Bagus malah, hal itu menunjukkan sisi kekayaan wawasan, batin dan sepak terjang Gus Dur yang melintas batas. Namun tetap saja, di luar sana masih banyak kaum santri dan kaum nahdliyin yang merindukan sosok ke-kiai-annya. Sosok kiai Abdurrahman yang rela blusukan untuk menghadiri pengajian di kampung-kampung. Sosok Mbah Gus Dur yang selalu mereka nanti-nantikan barokahnya. Ngaji Gus Dur; Menjejaki Kembali Figur Kiai Ada selaksa kedamaian setiap kali seorang santri dekat dengan kiainya. Dengan kealiman dan kearifannya, seorang kiai mampu mengayomi tidak hanya santrinya, tetapi juga segenap sendi masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kemampuan penguasaan kiai atas kekayaan khazanah kitab kuning. Kiai tidak memaknai Islam secara sempit, literalis, dan kaku. Mereka menyuguhkan pemahaman Islam yang luas dan bermuatan ajaran rahmatan lil-’alamin (kasih sayang bagi seluruh alam), santun, dan cinta damai. Model bersikap yang seperti ini para kiai teladani dari figur Walisongo. Para wali mampu berdakwah tanpa menyakiti sesama apalagi umat lain. Mereka mampu mengolah budaya lokal menjadi sarana dakwah keislaman yang mumpuni. Dakwah damai a la Walisongo inilah yang sebenarnya mencitrakan Islam yang rahmatan lil-’alamin. Bak gayung bersambut, kerinduan sebagian orang atas sosok kiai dalam diri Gus Dur mungkin akan terobati tahun ini. Peringatan haul Gus Dur tahun ini mengambil tema Ngaji Gus Dur; Menebar Damai, Menuai Rahmat. Menurut Suraji, salah satu panitia acara, tema tersebut dipilih untuk memunculkan kembali citra Islam yang rahmatan lil-’alamin yang dapat dipelajari dari sosok Gus Dur yang kiai. Haul ini sekaligus menjadi ajang untuk kembali menyimak figur Gus Dur yang konsisten
8 Desember 2016
menyebarkan Islam rahmatan lil-’alamin dengan cara-cara yang sudah ditradisikan kiai-kiai nusantara. “Tema Ngaji Gus Dur dipilih karena terminologi “Ngaji” sangat akrab di kalangan santri dan umat Islam Indonesia. “Dengan dipilihnya tema Ngaji, diharapkan tujuan dan harapan acara haul akan lebih mudah terserap dan dimengerti oleh orang Islam kebanyakan,” papar Suraji. Haul tahun ini akan menjadi momen istimewa bagi mereka yang merindukan sosok Gus Dur sebagai kiai, bukan hanya kiai orang NU tapi juga kiai semua golongan. Rangkaian acara dirancang sedemikian rupa dalam rangka memunculkan ke-kiai-an lintas golongan Gus Dur. Maka dari itu, dalam haul kali ini acara lintas agama masih akan ada. Deklarasi damai lintas agama akan dilakukan. Hal itu jadi penanda bahwa umat agama lain masih begitu menyayangi Gus Dur sebagai kiai mereka. Di samping itu, acara-acara keislaman masih tidak luput disajikan panitia. Qiroah Alquran, Sholawatan, dan mauidloh hasanah pastinya akan turut meramaikan acara. Dari rangkaian acara yang dibentuk terlihat bagaimana adanya upaya memunculkan kembali figur kiai dalam diri Gus Dur, tidak hanya untuk warga NU, tapi juga untuk semua warga bangsa Indonesia. Meski demikian, acara haul ini bukanlah muara terakhir kita untuk kembali menemukan sosok ke-kiai-an Gus Dur. Haul hanyalah titik bangkit dalam meneladani spirit ke-kiai-an Gus Dur. Masih banyak jalan yang perlu dilangkahi untuk menemukan kembali kiai Abdurrahman. Rangkaian acara haul ketujuh Gus Dur kali ini haruslah menjadi pijakan dalam menemukan kembali sosok kiai Abdurrahman. Tidak hanya peringatan belaka, haul tahun ini juga harus menjadi ajang untuk menghayati dan meneladani sikap dan sifat Gus Dur. Seperti yang pernah diucapkan Anita Wahid, putri ketiga Gus Dur, pada haul tahun lalu, “percuma kita memperingati kematian seseorang, bila hanya dijadikan ajang seremoni tanpa niat meneladani.” Semoga kita semua mampu meneladani segala kebaikan dari kiai kita, kiai Abdurrahman. Amin. [Tim Redaksi]
Momentum
Maulid Nabi Simbol Pembebasan Maftukhan
M
engawali artikel ini, penulis akan mengutip sebuah ayat yang terjemahannya adalah sebagai berikut: “Dan ingatkanlah mereka, wahai Musa, tentang hari-hari Allah (ayyāmillāh), karena pada hal itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang sabar dan pandai bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5). Sebagian orang memahami ayat ini secara literal: perintah mengingatkan dalam ayat tersebut hanya berlaku untuk Nabi Musa beserta masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya. Pemahaman ini biasanya terpaku pada kaidah al-‘ibrah bi khushūs as-sabab la bi ‘umūm allafzh; yang dikehendaki dari sebuah teks adalah kekhususan sebab yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut, bukan pada ketentuan teks yang ditujukan untuk umum. Dalam hal ini, penulis, sebaliknya, lebih cenderung mengikuti penafsiran lain yang mengacu kepada kaidah al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafzh lā bi khushūs as-sabab dan memandang ayat ini sebagai ajaran yang tidak temporal; artinya, perintah mengingatkan dalam ayat di atas ditujukan, bukan hanya kepada nabi Musa beserta kaumnya, melainkan juga dapat diberlakukan setiap saat dan kepada semua lapisan masyarakat yang mempercayai ajaran al-Qur’an. Peringatan akan hari-hari Allah (ayyāmillāh) biasa ditafsiri para ulama sebagai berbagai kenikmatan yang diberikan Allah. al-Razi menafsirinya sebagai al-waqāiʽ al-‘azhīmah, “momen-momen fenomenal”. Ini juga berlaku pada peringatan hari kelahiran baginda
Nabi Muhammad SAW yang, jelas, merupakan momentum yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia pada umumnya serta pertumbuhan dan perkembangan umat Islam pada khususnya. Kelahiran Rasulullah SAW ditandai dengan peristiwa-peristiwa penting, heboh dan cenderung tak bisa dinalar akal. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah, pertama, kehancuran tentara bergajah pimpinan Abrahah al-Asyram dari habasyah yang ingin menghancurkan Kakbah dengan niatan mengalihkan pusat peribadatan haji dari yang semula berada di Makkah ke gereja-gereja buatannya Desember 2016
9
di negeri Yaman. Peristiwa yang kemudian diabadikan dalam surat al-Fīl ini merupakan simbol terbebasnya penduduk Makkah khususnya dari kezaliman dan penindasan tirani Abrahah. Dalam sejarah tercatat bahwa menghadapi serangan Abrahah tersebut, penduduk Makkah—yang pada waktu itu dipimpin oleh Abdul Muthallib, yang tidak lain adalah kakek Nabi Muhammad—hanya bersikap pasrah dan tidak melakukan perlawanan fisik apapun. Hal ini dilakukan mengingat jumlah pasukan yang tidak sebanding serta kemampuan penduduk Makkah untuk berperang kala itu memang tidak sepadan dengan tentara Abrahah. Bahkan dalam upaya diplomasinya, Abdul Muthallib justru meminta agar dua ratus onta miliknya yang telah dirampas oleh delegasi Abrahah dikembalikan lagi kepadanya. Dia tidak mempermasalahkan kedatangan Abrahah yang akan menghancurkan Kakbah; dia hanya mengatakan bahwa yang akan menjaga Kakbah adalah Pemiliknya. Pelajaran yang dapat kita ambil dari sejarah di atas adalah bahwa memaksa seseorang untuk mengikuti agama maupun ideologi tertentu hendaknya tidak dilakukan. Prinsip inilah yang kelak di kemudian hari ditumbuh-kembangkan oleh agama Islam. Secara doktrinal, Islam memberikan tawaran kepada penduduk daerah yang ditaklukkan atau dikuasai oleh kaum muslimin dengan memilih satu dari dua hal: hidup berdampingan secara damai bersama kaum muslimin dengan konsekuensi membayar pajak ( jizyah), atau memeluk agama Islam. Sebelum Islam lahir, praktik pemaksaan ideologi oleh pihak penguasa suatu daerah kerap terjadi. Sebagai contoh, Dzu Nuwas, seorang penguasa beragama Yahudi, dengan kekuatan militernya memaksa penduduk Najran yang beragama Nasrani untuk memeluk agama mereka. Ketika penduduk Najran menolak, Dzu Nuwas beserta pasukannya malah membunuh mereka serta memasukkannya ke dalam parit raksasa, bahkan tidak sedikit dari penduduk Najran yang dibakar. Peristiwa pemaksaan ideologi ini kemudian diabadikan oleh al-Qur’an dengan istilah ashẖāb al-ukhdūd (“para pembuat parit”). Kedua, ditemukannya kembali sumber mata air Zamzam. Sebelum tahun kelahiran Nabi
10 Desember 2016
Muhammad, terjadi juga peristiwa penting yang jarang diketahui oleh banyak orang. Ketika tidur di area Hijir Ismail, Abdul Muthallib bermimpi diperintahkan oleh seseorang untuk menggali sumur Zamzam yang pada waktu itu ditimbun di antara dua berhala oleh orang-orang dari suku Jurhum sebelum mereka diusir dari Makkah. Setelah meyakini bahwa mimpi tersebut bukan bunga tidur semata, Abdul Muthallib dengan ditemani putranya melaksanakan penggalian tersebut. Hasilnya, memancarlah sumber air yang deras dan siap untuk digunakan sebagai pengairan warga. Peristiwa ini menandakan bahwa benihbenih kepemimpinan, yang kelak diemban oleh Rasulullah SAW, telah mulai tertanam sejak kakek moyang beliau yang berusaha membebaskan masyarakat dari kekeringan. Ketiga, wafatnya Abdullah bin Abdul Muthallib. Tak kalah penting lagi adalah peristiwa wafatnya Ayahanda Rasulullah SAW,
Abdullah bin Abdul Muthallib, beberapa bulan sebelum beliau dilahirkan. Tanpa harus menyebutkan penyebab wafat sang ayah, nampak sekali bahwa calon pemimpin dunia ini akan mendapat bimbingan dan pendidikan bukan dari figur sang ayah sebagaimana kebanyakan manusia. Melalui peristiwa ini, Allah hendak menyatakan bahwa Muhammad akan dibimbing dan dididik langsung oleh-Nya sejak dini tanpa melalui proses pendidikan sebagaimana umumnya. Keempat, keajaiban lain yang menandai kelahiran rasul terakhir, Muhammad SAW, adalah terguncangnya singgasana penguasa Byzantium serta padamnya api sesembahan orang-orang Majusi yang telah lama mereka jadikan objek pemujaan. Peristiwa ini menandakan bahwa Rasulullah SAW diutus untuk meluruskan dan membebaskan umat manusia dari dominasi tirani dan rezim yang begitu kuat
mencengkeram serta mendominasi percaturan peradaban dunia saat itu. Di samping itu, misi yang akan disampaikan oleh utusan pamungkas ini tidak lain adalah membebaskan umat manusia dari pemahaman teologi yang salah. Kelima, pertemuan Ibunda Rasulullah SAW dengan wanita-wanita mulia. Peristiwa suprarasional lain yang mengiringi kelahiran Rasulullah SAW adalah perjumpaan Aminah dengan wanita-wanita suci (athyāf asy-syarīfah). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada saat akan melahirkan, Aminah dihinggapi rasa takut. Tidak berselang lama, ia merasa ada cahaya yang menerangi dunianya, lalu terdapat beberapa wanita yang mengelilinginya dan yang mulanya ia kira adalah putri-putri Bani Hasyim; ternyata, mereka adalah Maryam putri Imran, Asiyah istri Fir’aun, dan Hajar ibu Nabi Ismail as. Dua simbol tersebut (melihat cahaya dan bertemu dengan para wanita mulia) melambangkan bahwa sang nabi terakhir membawa misi yang sangat besar: membebaskan umat manusia dari kegelapan dengan menampilkan akhlak-akhlak mulia. Kegelapan era jahiliyah ditandai oleh perlakuan masyarakat yang cenderung diskriminatif antara pria dan wanita, fanatisme kesukuan yang begitu kental (‘ashabiyah), kemorosotan moral dengan maraknya para penggemar minuman keras, berjudi, berfoya-foya serta merebaknya perzinaan. Lambat laun, kegelapan ini semakin berkurang dengan kelahiran dan diutusnya pemimpin umat yang tetap mengedepankan keluhuran budi dan kemuliaan etika sebagai sesama manusia. Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa pada saat kelahiran Rasulullah SAW saja, telah ditemukan banyak simbol pembebasan masyarakat dari berbagai belenggu tirani kekuasaan, pemaksaan ideologi, kemerosotan moral, kemiskinan dan hal-hal yang dinyatakan dengan kegelapan. Misi kenabian dan kepemimpinan yang diemban oleh Rasulullah pada akhirnya meraih kesuksesan yang gemilang dan sempurna dengan tetap mengedepankan keluhuran budi pekerti dan kemuliaan akhlak. Sekarang Rasulullah SAW telah tiada. Sebagai umatnya, kita harus meneladani serta meniru akhlak Rasulullah yang sedemikian mulia demi “pembebasan umat manusia secara hakiki”, betapa pun ini bukan perkara yang mudah.[] Desember 2016
11
Momentum
Merayakan Isa Em Farobi Afandi
S
ebagai manusia, Isa sang mesias dikaruniai Tuhan ‘modal’ berlimpah ruah buat jadi ‘seleb’ jagat raya sepanjang masa. Dan memang tidak bisa dipungkiri, sejak awal Isa adalah figur yang punya potensi besar untuk jadi populer sebab banyak hal, mulai dari kenyelenehan caranya lahir ke dunia, tanpa perantara bapak, hingga kontroversi kisah akhir hayatnya. Belum lagi setelah ia diangkat menjadi nabi dan kemudian dituhankan oleh kaum Kristen. Isa ‘alaihi al-salām lahir dari seorang perawan yang belum pernah tersentuh lelaki sedikit pun sebelumnya. perempuan itu bernama Maryam. Saking ngetopnya Isa, al-Qur’an bahkan sampai menyebutnya sebagai “seorang terkemuka di dunia dan di akhirat” (Lihat QS. Āli ‘Īmrān (3): 45-47). Isa adalah sosok “seleb” yang terkemuka di dunia sepanjang masa hingga di akhirat sana. Segan saya padanya. Tak hanya berhenti sampai di situ belaka, Isa kecil sudah pula dikaruniai Tuhan kemampuan untuk berbicara dengan orang dewasa; ia membela ibundanya, Maryam, dari tuduhan orang-orang bahwa Maryam telah berzina. Setelah tumbuh sebagai pemuda, ia mampu menyembuhkan penderita kusta, orang buta, dan dia dimampukan untuk membangkitkan orang koit dari kuburnya. Sebagai manusia biasa yang ditahbis menjadi nabi, luar biasa betul memang messiah satu ini.
12 Desember 2016
Sebab keseleban dan sosoknya yang kontroversial itu, tidak heran jika Isa masih terus menjadi perbincangan hingga kini. Bahkan, dalam tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam, Isa dipandang sebagai sosok yang berbeda-beda. Kaum Yahudi tidak menganggap keabsahan status Isa sebagai utusan Tuhan, mereka mengingkarinya, bahkan kaum Yahudi saat itu beranggapan telah berhasil membunuh Isa, dan memang dari awal mereka jugalah yang berencana membunuhnya. Beda Yahudi, beda Kristen. Alih-alih tidak mempercayai kenabiannya, kaum kristen malah menuhankan Isa, meski terbagi dalam beberapa sekte yang saling berbeda pendapat tentang sosok Isa atau Yesus Kristus. Ada perbedaan pendapat antara Kristen Unitarian dan Trinitarian mengenai ketuhanan Isa. Islam memuliakan Isa sebagai nabi, utusan Tuhan yang dikirim ke bumi untuk menebarkan kasih sayang, ia diutus sekitar 620 tahun sebelum pengutusan Muhammad—salawat serta salam tercurah padanya—di Makah, Arab Saudi, yang gersang. Ada kemiripan tipikal dan sifat antara Isa dan Muhammad: kelembutan dan kasih sayang yang melimpah ruah. Pada tahun 336 M, suatu macam bidʽah ẖasanah dilakukan oleh umat Kristen. seperti yang tergambar dalam Injil Santo Lukas dan Santo Matius, saat
itu mereka, untuk pertama kalinya, merayakan peringatan hari lahir sang juru selamat, Isa al-Masih alias Yesus Kristus. Natal adalah produk budaya, sebuah bidʽah yang sampai sekarang dirayakan tanggal 25 Desember setiap tahun, walaupun dalam perjalanannya mengalami pertentangan, bahkan sempat dilarang oleh gereja di Inggris. Salah satu tujuan perayaan natal adalah merayakan (ajaran kasih sayang) Isa. Setiap menjelang tanggal 25 Desember, di Indonesia, tidak hanya umat kristen yang disibukkan dengan perayaan natal, tetapi juga umat Islam. Bukan, bukan untuk berbondong-bondong turut serta membantu saudara sebangsa merayakan hari besar mereka, akan tetapi untuk berdebat, eyeleyelan, perihal hukum mengucap “selamat natal” kepada saudara sebangsa yang beragama Kristen. Perdebatan yang seringkali sampai otot-ototan itu makin semarak semenjak era internet menyalak. Para begawan intelektual mulai dari Gus Dur, Cak Nur, Pak Quraish hingga Cak Nun sudah turun gunung mencoba melerai umat Nabi Muhammad yang hobi eyel-eyelan itu. Mereka menulis dalam prespektif masing-masing, mengapa di Indonesia, perlu digarisbawahi, di Indonesia yang berlatar belakang kemajemukan suku, ras dan agama yang tinggi, soal seperti mengucap selamat natal ini tidak usah diributkan. Dari tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, semuanya bersepakat bahwa mengucap “selamat natal” kepada saudara sebangsa yang beragama Kristen itu sah-sah saja. Boleh. Itu semua tidak lebih sebagai usaha mempererat jalinan kebangsaan dan dalam rangka merayakan ajaran kasih sayang Isa. Rasanya tidaklah salah jika kita berbahagia dan turut menyongsong kegembiraan saudara kita dalam batas yang digariskan oleh Islam sehingga tidak ada salahnya mengucapkan “selamat natal” selagi akidah masih bisa dijaga dan selama ungkapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al- Qur’an. Dalam tulisan masing-masing tentang mengucap “selamat natal” bagi muslim, Pak Quraish dan Gus Dur memaparkan argumen yang cukup kuat: bahwa al-Qur’an mengakui natal (lihat QS. Maryam [19]: 30), bahkan al-Quran memberi contoh kepada kita untuk mengucap salam keselamatan kepada nabinabi lain mulai dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Harun. Maka tak ada salahnya juga jika umat Islam mengucap salam keselamatan untuk Isa pada hari natal. Perihal perayaan hari kelahiran Isa bagi umat Islam, menurut Gus Dur, bisa jadi dirayakan
dalam bentuk berbeda (dengan umat Kristen), atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, semua itu tidak perlu dipersoalkan. Umat Islam merayakan natal sebagai penghormatan untuk Isa sebagaimana umat Islam yakini, yaitu sebagai Nabi Allah. Sementara itu, untuk menunjukkan kebolehan mengucapkan “selamat natal”, Pak Quraish memaparkan argumen analogi (qiyās) atas suatu hadis: begitu tahu bahwa orang Yahudi berpuasa ‘Asyura demi merayakan hari keselamatan Musa dari kejaran Fir’aun, Nabi Muhammad bersabda kepada orang-orang Yahudi, “Saya lebih berhak (merayakan/mensyukuri keselamatan) Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi).” Maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, melalui Ibnu Abbas. Lihat Majmaʽ al-Fawāid, hadits ke-2.981). Salah satu hal yang harus dilakukan sekarang ini oleh umat Islam Indonesia adalah mengembalikan makna natal pada arti asalnya: hari ulang tahun, tanpa mengaitkannya dengan ritual agama apapun. Meski sulit, harus dicoba. Maka semakin kuat apa yang dipaparkan di atas bahwa kita sahsah saja mengucap selamat natal kepada saudara sebangsa yang Kristen, tanpa mengurangi sedikit pun keimanan kita terhadap Isa sebagai nabi, dan sebaliknya, tidak serta merta mengucap “selamat natal” itu adalah tanda kita meyakini Isa sebagai Tuhan. Bahkan jika mengacu pada hadis di atas, kitalah semestinya yang lebih berhak merayakan (natal) Isa daripada kaum Kristen. Saya sendiri hendak mengusulkan, bagaimana kalau di Indonesia antara umat Islam dan umat Kristiani mulai menggelar perayaan “natal bersama” dengan tujuan mempererat tali kebangsaan dan sebagai bentuk dialog kebudayaan antaragama sebagai wujud perayaan atas ajaran kasih sayang Isa; umat muslim merayakan Isa sebagai nabi Allah, dan umat Kristen merayakannya sebagaimana kebiasaan mereka. Saya rasa gagasan ini bisa menjadi titik balik kemesraan dan kerukunan hidup beragama di Indonesia, yang akhir-akhir ini semakin menegang dan mudah tersulut api amarah. Tentu saja “natal bersama” ini tidak bertujuan untuk mencampur-adukkan akidah atau keimanan; di luar itu, “natal bersama” hanyalah dibatasi sebagai ritual yang merupakan bagian dari budaya yang tidak menyangkut hal paling prinsipil masing-masing agama.[] Desember 2016
13
Kajian
Islam, Keadilan, dan Gus Dur Weni Syamsu Dhukha
G
us Dur adalah pribadi yang sangat unik; tingkah laku dan pernyataannya, menurut pemahaman masyarakat umum, kontroversial dan paradoks. Sebagai salah seorang keturunan KH. Hasyim Asy’ari—yang merupakan ulama besar Indonesia dan sekaligus pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam terbesar di tanah air— sisi keulamaan Gus Dur juga jarang tampak dalam kesehariannya. Bahkan oleh beberapa kelompok masyarakat, keislaman Gus Dur diragukan karena kedekataan dan pembelaannya terhadap kelompok minoritas dan agama lain. Namun, pada sisi yang lain, bagi sebagian orang yang mencintainya, beliau dianggap sebagai salah satu dari waliullah, derajat tertinggi dalam doktrin spiritualitas Islam; kata-katanya didengarkan; fatwanya ditunggu, dan oleh karena status waliullah itu pula, maka makam Gus Dur, sebagaimana makam waliullah yang lain, diziarahi oleh banyak orang. Sayyid Hossein Nasr, salah seorang intelektual Islam terkemuka abad ini, mengambarkan Islam seperti organisme. Sebagai suatu organisme, pertumbuhan dan perkembangan Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kebudayaan di mana Islam berada. Berangkat dari pendapat Sayyid Hoessin Nasr ini, setidaknya ada dua hal penting: pertama, bahwa Islam, di mana pun dia berkembang, pasti memiliki corak dan ragam tersendiri yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lain atau antara satu negara dengan negara lain; Islam yang tumbuh di Jazirah Arab tentu saja tidak luput dari pengaruh corak kebudayaan Arab; Islam yang ada di China, demikian pula, tidak lepas dari kebudayaan China, dan sudah pasti Islam yang tumbuh di Barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Barat. Oleh karena itu, sebaiknya
14 Desember 2016
masyarakat muslim tidak perlu menghabiskan banyak energi untuk memperdebatkan Islam siapa atau Islam negara mana yang paling benar, apalagi sampai memaksakannya dengan tindakan kekerasan dan anarki; yang penting, subtansi dari ajaran Islam itu sendiri tidak hilang dan terus dijalankan oleh umat Islam sehingga, pada akhirnya, yang harus digali oleh umat Islam adalah titik persamaannya. Kedua, kita, sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, harus mampu mencari intisari dan nilai-nilai dasar dari ajaran agama Islam agar kita mampu memisahkan antara Islam dengan kebudayaan di mana Islam tersebut tumbuh sehingga kita tetap menjalankan ajaran Islam dengan baik tanpa harus meninggalkan kebudayaan kita sendiri. Gus Dur, dalam hal ini, sudah melihat ajaran Islam secara jernih karena beliau mampu menyaring intisari nilai-nilai Islam dan memisahkan Islam dari kebudayaan Arab sebagai tempat di mana agama Islam diturunkan. Pada akhirnya, keberislaman Gus Dur adalah keberislaman dengan kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Corak keberislaman ini bisa dilihat dari beberapa hal yang tampak dari Gus Dur: sering memakai baju batik, senang memakai peci hitam yang merupakan budaya khas Melayu, tidak banyak menggunakan istilah Arab dalam penyapaan sehari-hari, padahal beliau sangat menguasi bahasa tersebut, menyukai kesenian tradisional seperti wayang, serta banyak contoh lain yang tidak mungkin dijelaskan secara rinci dalam tulisan ini. Namun demikian, subtansi dari ajaran Islam tetap beliau pegang teguh; contoh, beliau, sebagai muslim, tidak memakan daging babi, menjalankan rukun-rukun dan syariat Islam, serta senantiasa berjuang untuk menegakan keadilan yang merupakan salah satu dari ruh dari agama Islam. Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa ajaran Islam sekaligus personifikasi dari ajaran Islam itu sendiri, diperintahkan oleh Allah SWT, bukan hanya untuk membawa misi ketauhidan, tetapi juga melaksanakan fungsi penegakan keadilan. Nabi Muhamad SAW melakukan perubahan mendasar terhadap tradisi-tradisi dan kebudayaan Arab, terutama di Makkah dan Madinah, yang diskriminatif dan tidak adil. Suku Quraisy, yang di zaman jahil-
iah menempati kasta tertinggi dalam struktur sosial masyarakat Arab, ditempatkan sama dengan suku-suku Makkah lainnya. Harkat dan martabat perempuan diangkat sedemikian rupa sehingga memperoleh posisi yang lebih tinggi daripada posisi sebelumnya. Revolusi keadilan yang dilakukan oleh Nabi Muhamad juga menyentuh keluarga terdekat beliau; Sayyidah Fatimah, putri yang sangat beliau cinta pun, diperlakukan sama. Bahkan ada hadis yang sangat terkenal yang menegaskan, “Kalau Fatimah mencuri, maka pasti saya sendiri yang akan memotong tangannya.” Demikianlah beberapa contoh bahwa penegakan keadilan menjadi salah satu ruh dari ajaran Islam. Perjuangan Gus Dur untuk menegakan keadilan bisa dilihat dari jejak rekamnya semasa hidup. Keadilan yang diperjuangkan Gus Dur meliputi banyak bidang dan hal, mulai hakhak ekonomi sampai hak politik, dari hal yang berskala kecil hingga yang besar, dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada pertengahan tahun 1990, tepatnya tanggal 7 Juni, Gus Dur— yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama—menginisiasi berdirinya bank Nusumma. Bank Nusumma adalah kerja sama antara Nahdlatul Ulama dengan Bank Summa. Pendirian bank Nusumma bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi uang di pedesaan dengan cara memberikan pinjaman kredit dan jasa perbankan lainnya untuk petani dan pengusaha kecil. Gus Dur melihat bahwa, pada saat itu, pemerintah bersikap kurang adil, terutama dalam pemerataan distribusi ekonomi. Ketimpangan ekonomi terjadi antara kota dengan desa, korporasi dengan pengusaha kecil. Perbankan nasional, baik milik pemerintah maupun swasta, cenderung bias pedesaan dan pengusaha kecil; bank-bank yang ada lebih berorientasi kepada masyarakat kota dan para pengusaha besar sehingga proporsi aliran dana ke masyarakat kecil, terutama yang berada di pedesaan, jauh lebih kecil. Akibatnya, berbeda dari pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat kota, pertumbuhan ekonomi di pedesaan kurang berkembang. Pada tahun 2000 saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur mengeluarkan beberapa kebijakan yang monumental. Salah satunya adalah inpres no. 6/2000 yang Desember 2016
15
isinya adalah mencabut inpres no. 14/1967 yang sarat dengan tendesi ketidakadilan dan bentuk perilaku SARA terhadap etnis Tionghoa. Semestinya, etnis Tionghoa, sebagaimana etnis lain di Indonesia, mendapatkan perlakuan yang sama dari negara. Namun, selama beberapa dekade, etnik Tionghoa terkena perlakuan diskriminatif; mereka dilarang mengekpresikan apapun yang menjadi tradisi nenek moyang mereka, termasuk agama dan kebudayaan. Setelah inpres tersebut berlaku, etnis Tionghoa secara hukum dapat menampilkan berbagai kebudayaan leluhur mereka: barongsai dapat ditampilkan di tempat-tempat umum, Khonghucu juga diakui sebagai salah satu agama yang dapat dianut masyarakat, serta boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia dan diakui menjadi salah satu bagian dari agama-agama yang ada di Indonesia. Pembelaan yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap etnis Tionghoa pada dasarnya adalah upaya beliau untuk menegakan keadilan, bukan hanya sekedar perlindungan terhadap kaum minoritas.
16 Desember 2016
Pembelaan Gus Dur terhadap nilai-nilai keadilan juga bisa kita lihat dalam kasus Inul Daratista, yang dihakimi secara sepihak oleh sebagian umat Islam. “Goyang ngebor Inul”, yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta, dianggap sebagai tindakan pornoaksi dan bertentangan dengan nilai moral bangsa yang religius. “Goyang ngebor” juga ditengarai sebagai penyebab meningkatnya kasus kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Nurani Gus Dur tersentuh: ia melawan karena, menurutnya, penghakiman sepihak terhadap manusia bernama Inul adalah perilaku kesewenang-wenangan, pelanggaran hukum dan pelecehan terhadap nilai-nilai keadilan. Dalam keseharian pun, Gus Dur berusaha untuk mengamalkan keadilan; misalnya, ketika ada orang yang bertamu ke rumah beliau, yang didahulukan adalah mereka yang datang lebih awal, bukan golongan yang punya uang, jabatan, atau mereka yang menjadi tokoh masyarakat. Wallahualam bissawab.[]
Pengajian
Lima Kaidah Pokok Ilmu Fiqih dalam Kehidupan Sehari-hari1 Dalam menentukan hukum fiqih suatu persoalan, para ulama menggunakan lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok ini merupakan kaidah yang sangat terkenal di berbagai kalangan mazhab fiqih, khususnya di kalangan mazhab Syafi’iah. Di antara lima kaidah tersebut, ada yang mempunyai kaidah turunan. Kaidah pokok yang pertama adalah kaidah setiap perkara tergantung pada maksud dan niat pelakunya. Kaidah ini bersumber dari hadis Rasulullah SAW, “Segala perbuatan itu tergantung pada niat. Setiap orang memperoleh [balasan] seturut niatnya.” Oleh karena itu, menurut Gus Dur, benar atau salahnya niat seseorang sangat penting. Terkadang kita dihadapkan pada perbuatan yang baru dapat dinilai benar atau salahnya dari niat pelakunya. Permasalahannya adalah, mengukur niat suatu perbuatan itu tidak mudah, sebab niat ada di dalam hati, bukan perkara lahir. Gus Dur memberi contoh kisah tatkala Sunan Kalijogo membunuh Syekh Siti Jenar. Menurut Sunan Kalijogo dan para wali yang lain, Syekh Siti Jenar telah melakukan penyimpangan ajaran Islam sehingga harus dibunuh. Akhirnya Sunan Kalijogo menusuk Syekh Siti Jenar dengan keris. Ajaibnya, ketika menetes ke tanah, darah Syekh Siti Jenar membentuk kalimat lā ilāha illa ‘l-lāh. Hal ini memperlihatkan bahwa niat Syekh Siti Jenar tidak salah karena dia termasuk ulama dengan maqom li iʽlā’i kalimāti ‘l-lāhi llatī hiya ‘l-‘ulyā (Menjujung tinggi Kalimat 1.
Parafrase pengajian al-Asybāh Wa al-Nazhāir bersama Gus Dur bulan Ramadhan tahun 2005 di Masjid AlMunawaroh.
Allah Yang Tertinggi), meski secara lahir dia terlihat melakukan perbuatan yang sesat. Pentingnya niat dalam penerapan kehidupan sehari-hari adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat. Berkat niat, membasuh muka ketika berwudu, misalnya, akan berbeda dengan membasuh muka untuk sekadar menyegarkan badan. Niat pula yang dapat membedakan tingkatan-tingkatan antara ibadah satu dengan lainnya, seperti shalat, puasa, dan mandi; masing-masing ibadah ini kadang berstatus hukum wajib dan kadang berstatus sunah. Oleh karena itu, untuk membedakan antara ibadah yang wajib dan yang sunnah, diperlukan niat. Selanjutnya, kapan niat mesti diucapkan? Secara umum, waktu niat adalah permulaan suatu ibadah atau amal; jadi, jelas ada pengecualian dari ketentuan umum ini. Misal, niat ibadah puasa tidak harus di permulaan waktu puasa, yakni tepat setelah imsak, karena amat susah menentukan dengan tepat dan persis waktu sesaat sebelum fajar. Oleh karena itu, niat puasa harus diucapkan pada malam hari; dalam konteks puasa wajib, para ulama bahkan bersepakat bahwa puasa seseorang tidak sah jika ia mengucapkan niat setelah fajar terbit. Ikrar niat berada di dalam hati karena hakikat niat adalah menyengaja untuk melakukan perbuatan. Ada dua hal mendasar yang harus kita pahami: pertama, niat tidak cukup dilafazkan atau diucapkan dengan mulut; kedua, niat dengan mulut, malah, tidak wajib. Jadi, apabila lafaz yang diucapkan dengan mulut tidak sama dengan niat dalam hati, maka ketentuan Desember 2016
17
yang diambil adalah yang terakhir, bukan yang pertama. Jika seseorang dalam hatinya berniat untuk berwudu, tetapi lisannya menuturkan hanya sekadar menyegarkan wajah, maka wudunya tetap sah. Ada empat syarat sah niat dalam ibadah. Pertama,muslim; jadi, ibadah orang kafir tidak sah. Kedua, mumayiz, yaitu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Ketiga, mengetahui perkara yang diniatkannya. Keempat, tidak melakukan hal-hal yang membatalkan niat, seperti murtad atau gila tatkala menjalani puasa. Kaidah pokok kedua ialah kaidah keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dalil kaidah ini ialah hadis Rasulullah SAW, “Jika seseorang di antara kalian mendapati sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid dahulu sebelum mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Kaidah ini digunakan secara luas dalam berbagai aspek hukum fiqih, bahkan mencapai tiga perempat dari keseluruhan. Kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini mempunyai berbagai kaidah turunan. Di antaranya, kaidah keadaan awal sesuatu merupakan standar ketetapan hukum. Contoh, apabila seseorang telah memiliki wudu, kemudian ia ragu apakah wudunya sudah batal atau tidak, maka ia dihukumi tetap memiliki wudu. Contoh lain, dalam kasus gugat-menggugat, keadaan standarnya adalah bahwa seseorang bebas dari gugatan hingga pihak penggugat mampu menunjukkan bukti-bukti gugatannya; jika penggugat tidak mampu mengajukan bukti, sementara pihak tergugat menyangkal, maka terbebaslah ia. Di antara kaidah turunan lain adalah kaidah fiqih yang sering kita dengar: segala perkara yang terkait muamalah pada dasarnya diperkenankan kecuali bila ada dalil yang melarangnya. Kaidah ini sebenarnya adalah pandangan mazhab Syafi’i, yang berbeda dari mazhab Abu Hanifah; menurut yang terakhir ini, segala sesuatu pada dasarnya haram kecuali ada dalil yang membolehkannya. Dalam mazhab Imam Sayafi’i, kaidah Abu Hanifah
18 Desember 2016
ini dipakai dalam konteks ibadah: hukum asal suatu ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya; jika tidak ada perintah, maka suatu ibadah disebut bid’ah. Kaidah turunan lain ialah kaidah makna dasar suatu pernyataan adalah makna denotatifnya, bukan makna majasnya. Contoh, seseorang menyatakan bahwa ia mewakafkan sesuatu kepada anak-anaknya. Pernyataan ini berarti bahwa semua cucu si wakif tidak berhak atas wakaf tersebut karena makna hakiki dari “anak” adalah “anak kandung si pewakaf yang lahir dari rahim istrinya”. Kaidah pokok ketiga adalah kesulitan menyebabkan keringanan hukum. Dalil kaidah ini adalah firman Allah SWT, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesukaran untuk kalian.” (QS.
al-Baqarah: 185). Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Tidaklah Allah membuat sempit agama atas kalian.” (QS. al-Hajj: 78). Dasar lainnya adalah hadis Nabi: “sesungguhnya Allah hanya menginginkan kemudahan untuk umat ini; Dia tidak menginginkan kesulitan untuk mereka.” Dalam hal ini, ulama merumuskan tujuh hal yang menimbulkan keringanan: bepergian (safar), sakit, paksaan, lupa, ketidaktahuan ( jahl), kesulitan menghindar dari sesuatu dan adanya bencana umum, dan cacat (naqsh). Menurut Syekh Izzuddin Ibn ‘Abd al-Salam, dalam ketentuan syarak (syarʽ), ada enam keringanan: pertama, pengguguran, seperti gugurnya kewajiban shalat jumat, haji, umrah, dan jihad karena adanya suatu uzur; kedua, pengurangan jumlah, seperti melakukan qasar ketika bepergian; ketiga, penggantian, seperti
penggantian wudu dengan tayamum, puasa dengan fidyah; keempat, keringanan untuk mendahulukan, seperti menjamak taqdīm shalat dan mempercepat zakat fitrah di awal Ramadhan; kelima, keringanan mengakhirkan, misalnya melaksanakan shalat dengan jamak ta’khīr; keenam, rukhsah, seperti dibolehkannya memakan barang najis untuk obat. Gus Dur menambahkan, bentuk ketentuan yang bermacam-macam tersebut menunjukkan seolah-olah semua itu sudah berlaku paten. Padahal dalam kehidupan sehari-hari secara nyata kita berhadapan dengan berbagai persoalan yang kompleks. Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikukuh pada kaidah umum. Suatu hukum umum dapat dipakai jika tidak ada hukum-hukum khusus yang mengatur. Kaidah pokok keempat ialah kaidah sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan. Dalil kaidah ini adalah sabda Nabi SAW: “tidak boleh berbuat mudarat kepada diri sendiri, tidak boleh berbuat mudarat kepada orang lain.” Kaidah ini terkait erat dengan kaidahkaidah lain sebagai berikut: 1. Kaidah apabila dua mafsadah bertentangan, maka mafsadah yang lebih besar harus dihindari dengan cara menanggung mafsadah yang lebih ringan. Sebagai contoh aktual, Gus Dur mencontohkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005. Menurut Gus Dur, harga yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi dan, akibatnya, memberatkan rakyat, padahal harga ekonominya bisa lebih rendah dari harga yang ditetapkan. Karena itu, sesuai kaidah di atas, pemerintah seharusnya memilih harga yang paling ringan. Hal-hal lain yang ikut andil menyebabkan tingginya harga BBM seperti korupsi, inefisiensi, pemburu rente, dan lain sebagainya, harus dibenahi terlebih dahulu. Pemerintah tidak boleh dengan mudah menaikkan harga BBM sebelum upaya lain dilakukan. Contoh lain yang lebih aktual adalah program pengampunan pajak. Ketika program ini dilaksanakan, orang-orang atau badan usaha yang selama ini tidak taat pajak dan belum membayar pajak diampuni dengan membayar denda yang lebih ringan; artinya, pemerintah dirugikan karena denda Desember 2016
19
yang dibayarkan lebih kecil dari seharusnya. Namun demikian, dalam jangka panjang, melalui program tersebut diharapkan para wajib pajak akan lebih taat, dan pemerintah memperoleh basis data wajib pajak yang lebih tinggi sehingga pemasukan pajak negara dapat ditingkatkan. Andai jika tidak ada program pengampunan pajak, kerugian yang dialami negara lebih besar karena sulitnya menindak para pengemplang pajak, dan banyak wajib pajak yang menyembunyikan atau melarikan asetnya ke luar negeri. 2. Kaidah menolak mafsadah didahulukan atas menarik kebaikan. Para kiai menggunakan kaidah ini untuk menolak pemberontakan. Memberontak memang ada maslahatnya, namun jika dibandingkan dengan kerusakannya, terlihat bahwa mafsadahnya lebih besar. 3. Kaidah sesuatu yang diperbolehkan dalam keadaan darurat hanya boleh sekadarnya saja. Contoh, orang yang amat kelaparan tidak diperbolehkan memakan bangkai melebihi ukuran sekadar menyumbat lapar.
20 Desember 2016
4. Kaidah mudarat tidak boleh dihilangkan dengan mudarat yang lain. Contoh, seseorang yang dalam keadaan darurat berupa kelaparan tidak boleh memakan makanan orang lain yang mengalami kondisi yang sama. Kaidah pokok kelima ialah kaidah adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. Sumber asal kaidah ini adalah hadis Rasulullah SAW: “sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka dianggap baik pula oleh Allah.” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Contoh yang paling akrab dengan kita adalah kegiatan tahlilan. Bentuk kegiatan tersebut berasal dari adat masyarakat Jawa pra-Islam yang mendoakan orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-7, ke-40, dan ke-100 setelah hari kematian. Karena isi kegiatan ini dahulu tidak sesuai syariat Islam, maka secara perlahan para ulama penyebar Islam di tanah Jawa mengubah isi adat tersebut agar sesuai dengan syariat. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk adat asal muasal tahlilan itu baik, namun isinya perlu disesuaikan dengan ajaran Islam. Wallahualam bissawab.[]
Dokumen
Mengerti Berbeda dari Mengetahui KH. Abdurrahman Wahid
P
ada akhir tahun 2003, penulis diundang ke Beirut, Lebanon, untuk mengikuti Rapat Kerja Regional Timur Tengah yang diadakan oleh Lebanese Institute for Economic and Social Development dan The Centre Lebret yang diikuti oleh sekitar 30 orang peserta dari seluruh kawasan seluruh Timur Tengah. Ketika penulis selesai memaparkan sebab-sebab adanya terorisme dari sudut pandangan Islam, kemudian diadakanlah tanya jawab. Pada waktu akhir penyampaian pandangan, ada seorang ibu dari Turki bertanya tentang sesuatu hal yang sangat menarik. Ibu bernama Dr Saliha Scheinhardt Sapcioglu, yang banyak menulis untuk media Jerman secara luas, menyatakan ia tinggal di sebuah kota kecil bernama Sivas, Turki sudah 11 tahun lamanya. Ia tidak berani kembali lagi ke Jerman, tempat dimana ia dididik dan kemudian bekerja untuk belasan tahun lamanya. Mengapa? Karena ia takut untuk menjawab sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu adalah, jika ia menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama toleran, ia akan ditanyai mengapa pada tahun 1993 lalu ada tindakan yang sangat mengerikan terjadi di Sivas yang mengakibatkan kematian 30-an orang intelektual Turki. Ia menceritakan kesaksiannya, ketika menghadiri sebuah seminar di kota itu, di tengah acara ia meninggalkan forum untuk membeli pasta gigi di sebuah pasar swalayan di depan hotel. Di tempat itulah ia menyaksikan seorang mubaligh setempat ‘memerintahkan’ penduduk untuk mengepung dan membakar hotel. Mengapa? Karena ada seminar di hotel itu yang membahas mengapa Turki harus memilih sebagai negara sekuler, mereka harus ‘dihukum’ untuk pikiran-pikiran seperti itu. Pendapat seperti ini menurutnya tidak layak menjadi pandangan kaum muslimin. Sebagai akibat dibakarnya hotel, lift tidak dapat berjalan, dan para intelektual Turki yang berjumlah puluhan orang mati terbakar dalam peristiwa tersebut.
Ia berkata, “Bagaimana saya akan dapat mengatakan kepada media Jerman, bahwa Islam adalah agama yang toleran kalau berbeda pandangan saja, orang mati dibakar karenanya? Hal inilah yang membuat saya tidak berani kembali ke Jerman, dan menulis saja dari Turki untuk media di negeri tersebut, secara luas. Bagaimana saya dapat berbicara dan menulis untuk media non-muslim, tentang Islam sebagai agama toleran, kalau ternyata hal itu ternyata tidak benar? Walaupun seluruh karya tulis saya menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, saya tidak berani menggunakan kata itu. Saya lalu menjalani ‘pengasingan diri’ dari tempat saya hidup selama puluhan tahun.” Penulis belum pernah menghadapi pertanyaan seperti itu. Karena itu, penulis memberikan jawaban yang mungkin sesuai atau tidak dengan pertanyaan yang diajukan. Kalau jawaban penulis itu dianggap memadai, tentu karena ‘kebetulan’ saja. Ternyata hal itulah yang terjadi, dan kolumnis perempuan Turki itu meninggalkan tempat duduknya, untuk kemudian mendekati penulis yang duduk di kursi pembicara. Di tempat itu, ia melakukan sesuatu yang membuat penulis terpana diam di tempat. Para peserta lain dan moderator juga demikian. Apa yang yang dilakukannya? Ia mencium lutut kanan penulis, untuk menyatakan kegirangan atas jawaban penulis. Penulis berjanji kepada diri sendiri, sewaktu-waktu akan mengundang orang itu ke Indonesia, untuk melihat bagaimana gerakan-gerakan Islam di negeri ini juga dihadapkan kepada masalah yang sama. Toleransi dan terorisme hidup bersama di sebuah negeri. Jawaban penulis waktu itu, intinya hanya minta agar kolumnis tersebut memahami bahwa dalam sejarahnya yang panjang, Islam membedakan tindakan ‘mengetahui’ (to know) dengan kemampuan ‘mengerti’ (to understand). Dengan ‘mengetahui’ orang menjadi pandai (arif), sedangkan ‘mengerti’ Desember 2016
21
atau ‘memahami’ (alim) memerlukan sikap empati kepada persoalan yang dihadapi. Kalau orang mengetahui belum tentu ia mengerti, dan demikian pula sebaliknya. Inilah yang harus di mengerti oleh ibu dari Turki tersebut. Mubaligh lokal itu bertindak demikian karena tidak mengerti bahwa tindakan memerintahkan pembakaran hotel tidak menyelesaikan masalah. Persoalannya ia tahu adanya perbedaan pandangan, namun hanya ‘diselesaikan’ melalui sikap membiarkan saja hal itu, sehingga menjadi duri dalam daging dalam kaum muslimin. Sekarang ini banyak orang bertanya, sudah siapkah bangsa-bangsa yang kebanyakan penduduknya adalah orang-orang bodoh untuk memahami demokrasi? Pertanyaan ini lebih terasa relevansinya jika diingat bahwa ‘demokrasi’ seperti di negeri kita adalah ‘kemewahan politik’ yang sangat mahal harganya. Kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertindak secara arogan, ternyata hanya melahirkan sistem politik yang timpang. Hasilnya lahir legislatif yang amburadul, pihak eksekutifnya dikuasai ‘golongan kanan’, dan badan-badan yudikatifnya tidak berfungsi baik (karena pada umumnya masih dikuasai oleh mafia pendidikan), adalah ‘bukti nyata’ dari ketidaksiapan bangsa ini untuk menerapkan sistem politik yang demokratis. Ini adalah kenyataan yang tidak diingkari oleh siapapun dan karena ini menimbulkan pertanyaan diatas, yaitu perlu dijawab melalui tulisan ini. Di sinilah kita perlu melihat adanya perbedaan antara mengetahui dan mengerti. Walaupun penduduk Indonesia rata-rata memiliki taraf pendidikan yang sangat rendah, tetapi cukup banyak sarjana-sarjana (baik dari strata 1,2 dan 3) lahir di negeri kita. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mereka
22 Desember 2016
memiliki pengetahuan cukup mendalam tentang berbagai aspek kehidupan kita sendiri sebagai bangsa. Bahwa pelabuhan-pelabuhan kita masih beroperasi, lapangan-lapangan kita masih menerima kedatangan serta melepas berbagai jenis pesawat terbang, di stasiun-stasiun kereta api masih berjalan di atas rel-nya, menunjukkan bahwa bangsa ini cukup mengetahui apa yang menjadi tugas-tugasnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi ternyata, kelambatan berbagai jadwal kendaraan-kendaraan umum itu, menunjukkan bahwa kita belum mengerti bagaimana harus mengatur kesemuanya itu. Suryadi Sudirdja, mantan Menteri Dalam Negeri kita pernah mengatakan pada penulis, bahwa ketika menjalani pendidikan di Sekolah Komando Gabungan (Skogab) di Perancis beberapa tahun lalu, ia mempunyai seorang teman Perwira angkatan darat Perancis yang tinggal di sebuah tempat sekitar 200 kilometer dari Paris. Walau ia setiap hari naik kereta api ke sebuah stasiun di dekat sekolah tersebut, ia tidak pernah terlambat, karena begitu teratur dan tepat perjalanan kereta api itu. Apakah artinya ini? Tidak lain tidak kurang adalah kemampuan pihak kereta api di Perancis yang denga kereta api sangat cepatnya (Train a grand vitesse/TGV) mampu menyeleggarakan perjalanan sangat teratur dari hari ke hari. Tentu dasar dari semua itu adalah kemampuan Mengetahui dan mengerti penggunaannya sehari-hari. Ini adalah proses sejarah yang obyektif saat ini, bukan? Jakarta, 7 November 2004
(Artikel ini pernah dimuat dalam buku Gus Dur Bertutur Halaman 11 tahun 2005)
Bahtsul Masail
Makna Kafir1 Al-Habib Ali Al-Jufri
B
anyak pembicaraan hari-hari ini berkutat pada kata “kafir”. Istilah ini sering orang permainkan dalam pidatonya. Sebagian orang cenderung menggunakannya dengan maksud yang bermacam-macam berdasar sikap ektrimisme. Ada sekelompok yang berlebihan dalam menilai kafir setiap orang yang tidak sependapat dalam pemahaman agamanya, meski saudaranya sendiri, terlebih kepada lain. Bahkan orang yang “kurang kerjaan” juga menilai kafir orang yang tidak sepaham dalam pandangan politik. Padahal, Nabi Muhammad sudah memperingatkan umat Islam dari penggunaan kata kafir, sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, “Barang siapa yang berkata kepada saudaranya, “Hai, orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya.”2 Imam Muslim menambahkan dalam riwayat yang lain, “Jika benar apa yang diucapkan (maka benarlah tuduhan itu); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.”3 Sebagian masyarakat muslim ada yang lebih dari sekedar mengafirkan; mereka bahkan juga memberlakukan ketentuan yang 1. Artikel ini diterjemahkan oleh Mansyur Fadli dari artikel Arab berjudul al-Kāfir dalam al-Insāniyyah qabl al-Tadayyun karya Al-Habib Ali Al-Jufri (Darul Faqih: Abu Dhabi U.E.A. hal :301-308). 2. Imam al-Bukhari, Shaẖīẖ al-Bukhārī, bāb man akfara akhāhu bi ghairi ta’wīl fahuwa kamā qāla. Imam Muslim, Shaẖīẖ Muslim, bāb bayān ẖāl īmān man qāla li akhīhi al-muslim yā kāfir. 3. Imam Muslim, Shaẖīẖ Muslim, bāb bayān hāl īmān man qāla li akhīhi al-muslim yā kāfir.
berlaku atas orang kafir, yakni dengan memeranginya dan menghukumnya, seakan agama Islam berdiri pada fondasi kebencian, atau bahwa perbuatan kufur saja dapat menghalalkan darah, harga diri dan harta seseorang. Hal ini tidaklah dibenarkan dan menyalahi firman Allah: “tidak ada paksaan dalam [menganut] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas [perbedaan] antara jalan yang benar dengan yang sesat.” (QS. al-Baqarah : 256). Ada pihak yang salah paham dengan meyakini bahwa ayat di atas telah dinasakh atas dasar bahwa ayat tersebut turun di Madinah dan bahwa kemudian diizinkan untuk memerangi orang-orang kafir yang berbuat zalim. Sebagian kelompok lainnya dengan sembrono menolak untuk mengakui adanya istilah “kafir”, meskipun telah ditetapkan dalam nas al-Qur’an; barangkali mereka hidup untuk bebas dari pemurtadan suatu perbuatan untuk menghadapi kelompok pertama, dan berdalih tanpa membeda-bedakan antara kufur dan pembenaran untuk memerangi kufur. “Kufur” (kufr) secara bahasa berarti “tertutup” dan “menutup”. Jadi, secara bahasa, seorang petani disebut sebagai “kafir” karena ia menutupi benih-benih dengan tanah ketika ia menanamnya. Malam juga disebut juga “kafir” karena ia menutup segala hal dengan kegelapannya. Sikap ingkar bisa disebut “kufur” karena orang yang ingkar menutup kebenaran dan menutupinya dengan sikap ingkarnya. Beberapa benda bisa disebut “kafir”: bahan aspal yang dapat memvernis perahu-perahu, tanah yang bisa menutupi segala benda ketika dikubur di dalamnya, wilayah bumi yang jauh Desember 2016
23
karena tidak terlihat, dan desa kecil karena hampir sama sekali tidak disebut. Kata “kufur” diserap ke dalam bahasa Inggris dan digunakan untuk merujuk pada penutup (cover). Begitu juga terdapat penggunaaan term “kufur” dalam agama yang masih rancu dalam pemahaman orang-orang sesuai dengan tradisi penggunaan kata kufur yang dibiasakan. Inilah yang perlu dijelaskan dengan tuntas agar hilang bias di dalamnya; perlu dijelaskan pula konsekuensi kufur dalam hukum duniawi dan hukum akhirat. Perbedaan antara makna kufur dalam agama dan makna dalam adat Sebagai contoh, penduduk Mesir sudah terbiasa menggunakan term “kufur” untuk celaan atau cacian bagi orang yang sangat ngeyel dan sesat. Dengan demikian, sering ditemukan dalam dialek Mesir ungkapan seperti “negara-negara di dunia adalah kafir,” “hai kafarah,” “biarkan saja saya kafir.” Tentu saja, agar lebih selamat, kita perlu menjauhi kebiasaan semacam ini. Makna “kafir” dalam tradisi mendapat pengakuan dari agama dan, menggingat betapa sensitifnya makna ini, perlu diperhatikan dengan cermat. Untuk itulah Amirul Mukminin Sayyiduna Umar bin Khattab menerima permohonan dari suku Taghlib, saat mereka menyaratkan agar penyebutan “jizyah” atau pajak yang diberlakukan pada mereka diubah dengan kata “sedekah” karena kata “jizyah” bagi mereka bermakna penghinaan, sedangkan kedudukan mereka di antara suku-suku Arab tergolong tinggi. Lima macam makna “kufur” dalam Islam Terdapat lima macam makna “kufur” dalam Islam; masing-masing sebagai berikut: Kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Istilah “kufur” kadang dipakai untuk menunjukkan beban moral suatu perbuatan; pelakunya tidak keluar dari Islam, tetapi ia dinilai telah melakukan suatu pelanggaran berupa pengingkaran dalam interaksi antarmanusia; misal, sabda Nabi SAW: “dua hal pada manusia yang dapat menyebabkan kufur: mencela nasab dan meratapi mayat.4 4. Imam Muslim, Shaẖīẖ Muslim, bāb ithlāq ism al-kufr ‘alā al-thaʽn fī al-nasab wa al-niyāẖah.
24 Desember 2016
Mencela nasab seseorang dan meratapi mayat termasuk dalam maksiat yang berkaitan dengan pengingkaran, tetapi tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Pelakunya dihukumi sebagai muslim yang berbuat dosa. Kafir munafik, yaitu orang yang menampakkan sikap berislam secara lahiriah, tapi dan menyembunyikan kekufuran dalam hatinya. Dalam hukum Islam di dunia, ia tetap dianggap sebagai seorang muslim karena sesuatu
yang ada di dalam hati tidak terlihat secara inderawi, sedangkan hukum syaraiat di dunia berlaku pada apa yang tampak saja. Berdasar pada prinsip syariat, berinteraksi dengan orang lain haruslah didasarkan pada asas husnuzan atau baik sangka dan asas untuk selalu menilai orang benar selagi tidak terbukti dengan pasti ia salah secara zahir. Dahulu, orang-orang munafik selalu shalat di belakang Rasulullah SAW, dan Rasulullah tahu bahwa
mereka munafik, tapi tidak lantas menolak keberadaan mereka karena memeriksa niat atau isi hati bukanlah kewajiban kita, kaum muslimin. Hadis-hadis yang menjelaskan sifat-sifat munafik hanyalah untuk memberi kita kewaspadaan agar kita menjauhi sifat-sifat semacam itu dan, dengan demikian, kita tidak akan tergolong munafik—dan kepada Allah semata kita memohon pertolongan untuk itu. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berbohong; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia berkhianat.”5 Siapapun yang berulangkali bertindak demikian, maka ia mempunyai karakter nifak dalam dirinya. Adapun hukum akhirat, dia adalah seorang yang kafir. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu [ditempatkan] pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” QS. al-Nisā’: 145). Kafir karena ketidaktahuan adalah kondisi yang menimpa kebanyakan penduduk bumi yang padanya risalah Islam belum sampai dengan jelas dan dapat diterima akalnya, dan hatinya merasa nyaman serta aman dari kekacauan. Seturut hukum Islam di dunia, ia dinilai kafir; artinya, hukum Islam dalam hal pernikahan, waris, dan kewajibankewajiban terkait pengurusan jenazah tidak berlaku padanya; demikian pula, kewajibankewajiban seperti shalat, zakat, dan memakai hijab. Sementara itu, di akhirat nanti dia tampaknya tergolong dalam ahl al-fatrah yang telah dijelaskan dalam firman Allah: “dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isrā’: 15). Ini jelas sesuai dengan keadilan Tuhan dan kasih sayang-Nya. Kafir yang keras kepala, yaitu orang yang telah datang padanya risalah Islam dengan jelas, tanpa kontradiksi—baik dalam teori atau praktik—yang dapat membuatnya enggan untuk menerima kebenaran Islam, tetapi dia tetap bersikeras untuk bersikap kufur dan ingkar kepada Islam, meski akal dan 5. Imam al-Bukhari, Shaẖīẖ al-Bukhārī, bāb ‘alāmah al-munāfiq. Imam Muslim, Shaẖīẖ Muslim, bāb bayān khishāl al-munāfiq.
Desember 2016
25
kalbunya sudah menerima kebenaran Islam, sebagaimana dalam firman Allah: “dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenarannya).” (QS. al-Naml: 14). Kafir yang demikian ini sama dengan hukum kafir yang di dunia, namun dalam hukum akhiratnya ia tergolong ahli neraka, jika ia meninggal masih dalam keyakinan ingkarnya. Sebagaimana dalam al-Qur’an: “adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah : 39). Kaum muslimin dilarang menyakiti empat macam kelompok di atas, apalagi memerangi mereka, dengan dasar bahwa mereka kafir. Juga tidak boleh memaksa mereka untuk masuk Islam karena tidak boleh ada paksaan dalam beragama; yang ada hanyalah pilihan; iman adalah rasa penerimaan akal dan keyakinan hati. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam].” (QS. al-Baqarah: 256). “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu [hendak] memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yūnus: 99). “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin [beriman] hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin [kafir)] biarlah ia kafir.”” (QS al-Kahf: 29). “Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan [tempat yang menyenangkan].” (QS. al-Rūm: 44). “Dan barangsiapa kafir, maka janganlah kekafirannya itu menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (QS. Luqmān: 23). Kafir harbi, yaitu orang yang memiliki sifat kufur sekaligus sifat zalim, seperti orang yang berperang secara langsung, mendukung terjadi perang, memiliki rencana perang, menghalangi manusia dari hak mereka untuk memilih
26 Desember 2016
beriman, dan terus menerus memaksa manusia agar tetap kufur. Selain dihukumi kafir di dunia, golongan ini juga dihukumi kafir di akhirat, apabila ia meninggal masih dalam perbuatannya. Mereka yang jelas telah berbuat zalim harus diperangi secara langsung; sementara itu, orang terbukti mendukung perang, merencanakan perang, atau melarang orang lain dari pilihannya untuk beriman diberi pilihan antara masuk Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Kafir inilah yang dimaksudkan dalam keseluruhan ayat peperangan dalam al-Qur’an dengan dalil bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang terpilih bergaul dengan, dan tidak pernah sekali pun memerangi, orang-orang yang yang tidak memiliki sifat sebagaimana kafir harbi. Bahkan, Nabi Muhammad wafat ketika baju perangnya masih tergadaikan pada seorang Yahudi. Dengan demikian, jelaslah bahwa sifat kufur semata bukanlah sebab atau dalih untuk melakukan perang. Demikianlah pengertian “kafir” dalam bahasa dan Agama. Terakhir, kami hendak menegaskan, betapa bahayanya kekacauan yang terjadi ketika orang-orang yang tidak ahli dalam masalah agama tampil berani berceramah atau mengajar, entah di masjid, di seminar, maupun di siaran televisi; mereka memakai nas-nas al-Qur’an dan hadis dalam menyebarkan fitnah, kebencian, dan penghalalan darah. Allah berfirman, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” “Dan apabila dikatakan kepadanya: “bertakwalah kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah [balasannya] neraka Jahanam, dan sungguh neraka Jahanam itu tempat tinggal yang terburuk.” (QS. al-Baqarah: 205-206). Ya Allah, jadikanlah jiwa-jiwa kami tenang, beriman pada perjumpaan dengan-Mu dan rida atas takdir-Mu. Perindahlah akhir dari semua urusan kami. Selamatkan kami dari kehinaan dunia serta siksa akhirat, duhai Zat yang Maha Pemurah![]
Resensi
Resensi Buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus Faiq Falahi
Judul :Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Pendahuluan
Penulis
Masih lekat dibenak kita seorang guru bangsa yang telah berpulang, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Seperti banyak orang bilang, beliau punya 1001 cerita yang patut kita ketahui dan diambil hikmahnya. Buku yang akan dibahas kali ini adalah buku dari K.H. Husein Muhammad yang berjudul; Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus. Penulis yang biasa dipanggil Kiai Husein saja ingin menceritakan penggambaran sosok Gus Dur dari sahabat dekatnya, Mustofa Bisri atau Gus Mus.
: K.H. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books (PT Mizan Publika) Tahun
: 2016
Halaman : 179 halaman
Secara tampilan luar, buku ini punya daya pikat visual yang menarik. Buku ini bersampul gambar Gus Dur dan Gus Mus yang dikemas lewat grafis vector nan berwarnawarni. Dalam buku ini juga tidak hanya berisikan “abjad-abjad“ cerita saja, namun juga berisikan kolase kumpulan Foto Gus Dur bersama Gus Mus serta yang menarik lainnya adalah dilengkapi komik ilustrasi yang menceritakan secara visual kejadian di masing-masing bab. Di awal buku ini, putri Gus Dur, Alissa Wahid hadir memberi pengantar sekaligus merespon positif adanya penerbitan buku ini.
Ikhtisar Konten dari buku Gus Dur dalam obrolan Gus Mus ini terbagi atas dua bagian. Pertama, tentang rekaan peristiwa yang dialami Gus Dur di mata Gus Mus. Kedua, pandangan Gus Mus yang dikemas dalam ceramah pernikahan tentang perempuan dan kemanusiaan. Buku Desember 2016
27
hasanah ketika berlangsungnya resepsi pernikahan salah satu keluarga jauh beliau. Gus Mus ingin menggarisbawahi pentingnya menjadikan diri kita menjadi manusia terlebih dahulu, sembari menguatkan rasa kemanusiaan itu sendiri. Baru kita bisa membahas dan berinteraksi sosial dengan babakan tema lainnya.
ini ingin mengajak pembaca untuk sekali lagi melihat Gus Dur dari banyak sisi. Gus Dur dengan segala yang menempel pada dirinya memang sangat unik bila diceritakan kembali. Kiai Husein pun menjadi pendengar yang baik ketika Gus Mus “mendongengkan“ kesaksian hidupnya bersama Gus Dur. Bila kita telaah lebih lanjut, di bagian pertama buku ini akan ada 16 bagian yang mengulas tentang kejenakaan dan kecerdikan Gus Dur ketika dihadapkan pada suatu kejadian. Contohnya, dibagian membongkar misteri tidur Gus Dur (hal 35). Kiai Husein menggambarkan betapa seringnya Gus Dur “tertidur“ kala mengikuti rapat penting kenegaraan, mulai dari kunjungan ke beberapa Negara sampai sidang Pleno di DPR. Lanjut lagi, Kiai Husein mencoba merasionalkan aktifitas “nyeleneh“ tadi pada beberapa paragraf selanjutnya. Di bagian kedua buku ini, Kiai Husein menyimak Gus Mus ketika memberi mauidhoh
28 Desember 2016
Penulisan buku ini memang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Kiai Husein yang sebelumnya telah menulis beberapa buku mengenai Gus Dur. Tercatat ada dua buku yang Kiai Husein tulis mengenai Gus Dur. Yaitu Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan terbitan Mizan, dan juga buku Sang Zahid: Mengarungin Sufisme Gus Dur terbitan LkiS Yogyakarta. Kedua buku itu sebenarnya saling mengisi dan melengkapi potongan peritiwa mengenai Gus Dur maupun gagasan intelektual yang ingin disampaikan Gus Dur pada setiap kesempatan di “mimbar akademik“. Yang uniknya Kiai Husein di sini mampu menulis sebuah karya ke dalam bentuk buku dengan konten dan alur cerita yang menarik dan ringan untuk dibaca. Kita akan dibuat senang menikmati dialog Gus Mus dan Kiai Husein dengan bawaan perasaan yang santai dan sesekali diisi sentilan canda dari dua orang itu. Bahkan monolog Kiai Husein pada dirinya sendiri punya jatah besar dalam komponen tulisan di buku tersebut. Penutup Buku ini dengan sangat renyah membawa pembaca untuk sekali lagi “menerbangtinggikan“ imajinasi mereka mendekat ke sosok Gus Dur. Akan sangat mudah juga bila ingin memahami Gus Dur secara parsial lewat buku ini. Namun, alangkah baiknya jika pembaca juga menyempatkan membaca karya Kiai Husein lainnya yang membahas tentang Gus Dur dan pemikirannya agar pembacaan akan Gus Dur bisa komprehensif dan lebih kaya sudut pandangnya. Semoga bermanfaat ulasan sederhana ini, kepada sang Guru Bangsa. Lahu Faatihah ...
Senggang Cuma Bercanda Dalam acara malam amal “Satu Jam Bercanda Bersama Gus Dur”, Jaya Suprana bertanya pada Gus Dur, berapa besar dana yang akan ia sumbangkan pada lembaga Rumah Sahabat Anak Puspita? Gus Dur menjawab mantap, “Lima puluh juta rupiah!.” Beberapa bulan kemudian, panitia pembangunan rumah singgah bagi anak jalanan itu datang ke kediaman Gus Dur di Ciganjur untuk menanyakan sumbangan yang telah dijanjikan. Dengan ringan Gus Dur menjawab, “Lho, nama acaranya kan ‘Satu Jam Bercanda Bersama Gus Dur’. Jadi, aku janji pun hanya bercanda!”. Semua melongo dan cuma bisa tersenyum kecut.
Tebak Mumi Ini cerita Gus Dur beberapa tahun yang lalu, sewaktu zaman Orde Baru. Cerita tentang sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir. Puluhan negara diundang oleh pemerintah mesir, untuk mengirimkan tim ahli palaeo-antropologinya yang terbaik. Akan tetapi, pemerintah Indonesia lain dari yang lain, namanya juga zaman Orde Baru yang waktu itu masih bergaya represif seperti maraknya penculikan para aktivis. Makanya pemerintah mengirimkan seorang aparat yang komandan intel. Setelah sejumlah negara maju untuk menebak usia mumi, giliran delegasi Indonesia yang maju. Pak Komandan bertanya kepada panitia, bolehkah dia memeriksa mumi itu di ruang tertutup. “Boleh, silahkan,” jawab panitia. Lima belas menit kemudian, dengan tubuh berkeringat Pak Komandan intel itu keluar dan mengumumumkan temuannya kepada tim juri. “Usia mumi ini enam ribu dua ratus empat puluh lima tahun enam bulan tujuh hari,” katanya dengan lancar. Ketua dan seluruh anggota tim juri terbelalak dan saling berpandangan, heran dan kagum jawaban itu tepat sekali. Menjelang kembali ke Indonesia, pak komandan intel tersebut dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri di lobi hotel. “Anda luar biasa,” kata mereka. “Bagaimana cara anda tahu dengan persis usia mumi itu?” Pak Komandan dengan enteng menjawab, “Saya gebuki, ngaku dia!”.
Penemuan Di ruang perpustakaan pribadinya, sedang terjadi diskusi yang serius antara Gus Dur dengan salah seorang anaknya yang ingin menjadi anggota kelompok ilmiah remaja . Gus Dur : “Memangnya apa yang bisa kamu sumbangkan untuk kelompok ilmiah remaja sekolahmu?” Anak
: “Sebuah penemuan dari penelitian yang saya lakukan sendiri.”
Gus Dur: “Apa itu?” Anak
: “Penggabungan (stek) tiga jenis tumbuhan yang sangat berlainan spesiesnya. Dan ternyata berhasil.”
Gus Dur : “Apa tiga jenis tumbuhan itu …?” Anak
: “Kelapa, singkong, dan tebu.”
Gus Dur : (terdiam, sepertinya tidak percaya) “Lalu apa yang terjadi dengan ketiga tumbuhan itu?’ Anak
: “Jadi gethuk”. Desember 2016
29
Olahrasa
Debat Kesumat Udin namanya, alumni salah satu pesantren besar di Jawa Timur yang kini berstatus mahasiswa di ibu kota. Sebagai santri yang (katanya) moderat dan (katanya juga) progresif, Udin tidak absen bersuara sebagaimana layaknya aktivis muslim muda kekinian. Di media sosial, Udin getol mengeluarkan status atau kicauan yang isinya kontra argumentatif dengan punya mereka-mereka yang (dibilangnya) radikal dan intoleran. “Pokoknya, mayoritas jangan resek, minoritas harus dilindungi. Indonesia harus damai!” begitu prinsip si Udin. Setiap hari Udin tak pernah absen berdebat dengan mereka yang Udin cap sebagai fundamentalis. Bangun tidur nyari gawai. Di dalam kelas mantau lini masa. Kalau sudah malam, makin giat dia manfaatin prime time. Udin bahkan sudah punya jadwal twitwar. Januari bahas tahun baru. Februari bahas Valentine. Maret giliran hari raya Nyepi. Tanggal satu April ganti April Mop. September ada G30S. Oktober Halloween. Desember masih ngomongin Natal. Semua dia tandai dan catat di kalender kamarnya! Sampai akhirnya Udin menghadiri Haul Gus Dur keenam di Ciganjur. Katanya sih biar kecipratan berkah, ikut meneladani sikap Gus Dur yang bisa menentramkan banyak golongan. Menjelang acara puncak, Mbak Alissa, putri pertama Gus Dur, mengisahkan satu cerita menarik. Alkisah Yenny muda, adik pertama Mbak Alissa, tergugah hatinya melihat anak kecil seumurannya bekerja di jalanan Jakarta. Yenny ingin menulis surat. Dia ingin protes terhadap pemerintah Orde Baru yang tidak bisa adil terhadap anak kecil. Gus Dur yang mendengar tekad Yenny kemudian menasehatinya. “Iya bagus kamu bikin surat untuk pemerintah. Tapi, setelah itu apa?
Si Dakil
Apa yang akan menimpa dirimu? Bagaimana nasib anak yang kamu tunjukkan dalam tulisan?” begitu pesan Gus Dur terhadap Yenny. “Jadi intinya,” ujar Mbak Alissa, “Gus Dur ingin menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa perjuangan itu butuh strategi.” Deg! Udin terhenyak mendengar kata “strategi” terucap oleh Mbak Alissa. Dia langsung galau. Dirinya langsung teringat dengan apa yang dia lakukan selama ini. Dia rajin sekali adu argumen dengan kelompok-kelompok yang dia bilang radikal dan intoleran. Harapannya tinggi, pengen seluruh umat di Indonesia ini damai dan berjalan selaras. Namun, setelah semua waktu dan tenaga yang ia korbankan, apakah ada perubahan yang berarti? Apakah keadaan menjadi tentram, atau malah runyam? Apakah dia berhasil membuat kelompok radikal tersebut berkurang jumlah jamaahnya? Apakah dia, sekali saja, berhasil menyadarkan salah satu dari mereka untuk tidak menjadi radikal melalui twit-twit-nya? Udin bingung. Mauidloh Habib Luthfi bin Yahya sebagai penutup acara haul belum cukup menentramkan pikirannya. Diam jelas bukan solusi. Tapi, keriuhan tanpa strategi hanya akan menciptakan keramaian tak berarti. “Aku kudu piye?” Hidup Udin sepanjang malam tak jenjam. Cerita Mbak Alissa terus berdenging hingga bikin Udin pening. Sepanjang malam dia termenung, bingung tiada ujung. Udin lelah. Raganya payah. Udin terjatuh tidur dalam kebingungan, terus dia bingung… terus dia tidur… terus-terusan begitu sampai waktu shubuh terlewat begitu saja.
Sudut Dahulu Islam masuk Nusantara lewat jalur perdagangan Sekarang masih; dagang hoax!
Perbedaan menunjukkan kekayaan Miskin hati percuma Beragam ormas, beragam ideologi Rebutan pasar!
30 Desember 2016
Desember 2016
31
32
Desember 2016