[ LAPORAN KASUS ]
CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE (COPD) MANAGEMENT IN OLD MALE WITH HISTORY AS ACTIVE SMOKERS Evi Febriani Lubis Faculty of Medicine, University of Lampung Abstract Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is one of the causes of morbidity and mortality throughout the world. Elderly increase the risk of COPD and cognitive impairment. The management for this patient using family medicine approach because of pharmacological modalities, non pharmacological modalities, and support from patient´s family is needed. Application of family medicine based on evidence-based medicine on patients with a history of COPD in the elderly as active smokers with identification of risk factors and clinical and management based on patient and family centered approach. This study is a case report. Primary data were obtained through a careful history, physical examination, home visits follow-up, family data complement, and psychosocial and environmental. A 86-year-old male suffering from chronic obstructive pulmonary disease (COPD) was conducted an analysis of causes, such as the risk factors that cause the disease. The patient was given the treatment. Education about the disease and the importance of improving personal lifestyle, including education to all the family members. Results obtained in the form of reduced patient’s complaints. And treatment of COPD should be continued. COPD is a disease that affects quality of life. Role of health care workers and family members in the intervention treatment of patients with COPD is required. Treatment with patient-centered and family approach should be considered in patients with COPD. [J Agromed Unila 2014;1(2):92-98] Keywords: cognitive impairment, COPD, family medicine, old, smoking history Abstrak Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK serta penurunan fungsi kognitif. Tata laksana yang digunakan memerlukan pendekatan kedokteran keluarga karena selain menggunakan modalitas farmakologis dan non farmakologis, diperlukan pula dukungan dari keluarga pasien. Penerapan pelayanan dokter keluarga yang berbasis EBM pasien PPOK pada lansia dengan riwayat sebagai perokok aktif dengan identifikasi faktor risiko dan klinis serta penatalaksanaan berdasarkan patient-centered dan family approach. Studi ini merupakan case report. Data primer diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, kunjungan rumah, melengkapi data keluarga, dan psikososial serta lingkungan. Seorang laki-laki 86 tahun menderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dilakukan analisa penyebab, berupa faktor risiko yang menyebabkan penyakit. Pasien diberikan tata laksana. Dilakukan edukasi mengenai penyakit pasien dan pentingnya memperbaiki gaya hidup personal dan anggota keluarga. Didapatkan hasil berupa keluhan pasien berkurang. Dan pengobatan PPOK tetap dilanjutkan. PPOK merupakan salah satu penyakit yang mempengaruhi kualitas hidup. Diperlukan peranan petugas kesehatan dan anggota keluarga dalam intervensi pengobatan pasien PPOK. Tata laksana dengan patient-centered dan family approach perlu dipertimbangkan pada pasien PPOK. [J Agromed Unila 2014;1(2):92-98] Kata kunci: kedokteran keluarga, lansia tua, penurunan fungsi kognitif, PPOK, riwayat merokok ... Korespondensi: Evi Febriani Lubis |
[email protected]
Pendahuluan Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti semakin banyaknya jumlah perokok, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat 1 kerja.
PPOK merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, meskipun biasanya terjadi pada perokok, PPOK bisa juga terjadi pada orang yang tidak merokok akibat pajanan polusi udara. Penyakit paru obstruktif kronik menjadi masalah kesehatan di berbagai negara di mana masyarakatnya mempunyai kebiasaan merokok. Diperkirakan prevalensi PPOK akan semakin meningkat di 2 waktu mendatang.
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 3,4 penyebab tersering kematian di Indonesia. Beberapa faktor risiko dari PPOK meliputi usia, semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Faktor risiko yang ke dua, yaitu riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif, bekas perokok). Asap rokok (environmental tobacco smoke/ETS) adalah gas beracun yang dikeluarkan dari pembakaran produk tembakau yang biasanya mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Faktor risiko yang ke tiga, yaitu terdapat paparan polusi udara di lingkungan rumah dan tempat kerja, pencemaran udara dalam ruang terutama rumah dan lingkungan kerja sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam rumah dan lingkungan kerja. Faktor risiko yang terakhir, yaitu riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, baik infeksi viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresivitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting 5,6 terhadap terjadinya eksaserbasi. Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Kriteria kelompok lanjut usia menurut Departemen Kesehatan RI, yaitu kelompok usia lebih dari 60 tahun. Sedangkan menurut WHO, usia yang termasuk kelompok geriatri adalah lebih dari 65 tahun. Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi, fisiologi, 7 psikologi, dan juga sosiologi. Di kalangan para lansia, penurunan fungsi kognitif pun sering terjadi dan merupakan penyebab terbesar terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas normal sehari-hari, dan juga merupakan alasan tersering yang
menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap orang lain untuk merawat diri sendiri 8 (care dependence) pada lansia. Untuk dapat menghindari terjadinya kekambuhan PPOK dan meningkatkan kualitas hidup lansia, maka diperlukan perhatian dari keluarga dan petugas kesehatan untuk mempengaruhi pasien dalam melaksanakan kepatuhan terhadap terapi penyakitnya. Edukasi terhadap keluarga mengenai cara pencegahan kekambuhan penyakit pasien pun sangat diperlukan. Hal ini yang menyebabkan penulis membuat laporan kasus ini dengan menerapkan penatalaksanaan berupa patient-centered dan family approach pada lansia. Kasus Pasien seorang laki-laki berusia 86 tahun yang sebelumnya bekerja sebagai petani dan sudah 10 tahun tidak bekerja lagi. Pasien beragama Islam, bertempat tinggal di Desa Karang Anyer. Dilakukan anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis) pada pasien dan anggota keluarga (istri dan anak pasien), pemeriksaan fisik, kunjungan rumah, melengkapi data keluarga, dan psikososial serta lingkungan untuk memperoleh data primer. Pasien datang ke Puskesmas Karang Anyer dengan keluhan sesak napas disertai batuk berdahak berwarna putih sejak 3 hari yang lalu. Keluhan sesak dan batuk timbul apabila pasien terpapar debu ataupun pada suhu ruangan yang rendah, dan ketika sedang beraktivitas, namun tidak membaik dengan perubahan posisi. Setiap kali serangan sesak pasien menggunakan obat yang diberikan dari Puskesmas Karang Anyer atau RS DKT. Pasien juga mengeluhkan bahwa sering kurang nafsu makan yang mengakibatkan badannya semakin kurus, namun tidak turun secara drastis. Pasien menyangkal sering mengalami keringat banyak pada malam hari, ia pun menyangkal sering mengalami keluhan demam tanpa sebab, dan pasien pun menyangkal terdapat orang di sekitarnya yang mengalami batuk lama seperti dirinya. Pasien memiliki riwayat sesak napas disertai batuk berdahak berwarna putih sejak 3 tahun yang lalu. Pasien juga merupakan perokok aktif selama 60 tahun yang lalu dengan jumlah konsumsi rokok satu bungkus per hari, namun pasien telah berhenti merokok sejak 6 tahun yang lalu. Sejak 3 tahun yang lalu, pasien telah sering mengalami keluhan yang sama. Satu
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
93
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
tahun yang lalu pasien pernah dirawat di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek karena keluhan sesak nafas dan batuknya yang memberat dan yang terakhir 4 bulan yang lalu pasien kembali dirawat di RS DKT karena keluhan sesak nafas dan batuk berdahaknya yang semakin memberat. Keluarga pasien dan pasien hanya mengetahui pasien mengalami sakit paru yang tidak dengan jelas diberikan informasi mengenai diagnosis pasti dari penyakit yang diderita, kemudian pasien menjalani pengobatan rutin untuk meredakan gejala yang timbul dengan salbutamol 3 x 4 mg dan gliseril guaiakolat 3 x 100 mg sehingga keluhan sesak dan batuk membaik. Pola pengobatan keluarga merupakan kuratif, di mana anggota keluarga mencari pelayanan kesehatan jika sakit saja. Keluarga pasien membawa pasien ke puskesmas ataupun ke dokter hanya ketika pasien mengeluhkan sesak nafas dan batuk berdahak yang membuat pasien tidak nyaman ataupun obat pasien habis. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama disangkal pasien. Pola gaya hidup pasien jarang untuk berolahraga sebelum sakit. Pada saat sakitpun pasien tidak pernah berolahraga, karena saat melakukan aktivitas ringan, keluhan sesak nafas pasien timbul. Pasien menyangkal pernah atau sering mengonsumsi minuman keras. Sejak sakit, pasien mengalami penurunan nafsu makan dan pola makannya tidak teratur. Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaaan umum: tampak sakit o sedang; suhu: 36,8 C; tekanan darah: 130/80 mmHg; frekuensi nadi: 84x/menit; frekuensi nafas: 32 x/menit; berat badan: 59 kg; tinggi 2 badan: 174 cm; status gizi: IMT: 19,2 kg/m . Kepala, mata, hidung, dan mulut dalam batas normal. Regio coli tidak ditemukan adanya peningkatan jugular venous pressure (JVP). Pada regio pulmo secara inspeksi tampak retraksi interkostal, secara palpasi dalam batas normal, secara perkusi ditemukan bunyi hipersonor pada lapang paru, dan secara auskultasi ditemukan napas bronkovesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-). Pemeriksaan pada jantung tidak ditemukan pembesaran namun pada auskultasi terdengar bunyi jantung menjauh. Regio abdomen tidak ditemukan adanya kelainan. Ektremitas superior dan inferior dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis reflek fisiologis normal, reflek patologis (-), motorik dan sensorik dalam batas normal. Derajat fungsional geriatri penilaian MMSE
didapatkan nilai 21 (terdapat penurunan fungsi kognitif). Pada pemeriksaan radiologi foto rontgen toraks diafragma datar, sela iga melebar, corakan bronkovesikuler meningkat dan tampak gambaran jantung pendulum. Data silsilah keluarga pasien dideskripsikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Genogram Keluarga Tn. C (dibuat oleh Evi Febriani Lubis, S. Ked., 7 Juli 2014)
Keluarga pasien merupakan keluarga majemuk di mana dalam 1 rumah terdiri dari suami, istri, anak ke-5, menantu, dan 3 orang cucu. Keempat anak pasien, menantu, dan cucucucunya tinggal di tempat yang terpisah dari rumah pasien, namun jarak rumah pasien ke rumah anak-anaknya yang lain saling berdekatan. Setiap minggu mereka bersamasama berkunjung ke rumah pasien. Pasien tinggal bersama dengan 6 anggota keluarga (lihat genogram). Kondisi rumah kurang bersih terlihat dari semua kamar tidur yang tidak dirawat, memiliki 3 buah kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan 1 toilet. Sumber air minum dari air mineral, limbah dialirkan ke got. Kondisi rumah secara 2 keseluruhan cukup. Luas rumah 7 x 6 m . Jarak dari puskesmas ± 2 km. Dinding tembok, berlantaikan ubin, memiliki 3 kamar. Memiliki 1 kamar mandi yang menyatu dengan dapur dan sumur. Ventilasi dan pencahayaan pada rumah sudah cukup baik dikarenakan sudah terdapat jendela yang di atasnya terdapat ventilasi di kamar, ruang tamu dan dapur. Keluarga pasien terkadang menggunakan kayu bakar pada tungku saat memasak. Penerangan menggunakan lampu listrik, sumber air berasal dari sumur.
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
94
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
Pada penatalaksanaan dilakukan terapi medikamentosa dengan pemberian salbutamol 3 x 4 mg dan gliseril guaiakolat 3 x 100 mg. Selain itu diberikan juga tata laksana non medikamentosa berupa edukasi dan konseling kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien. Pembahasan Pada kunjungan pertama pasien ke puskesmas (30 Juni 2014), penegakan diagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) pada pasien ini berdasarkan keluhan pasien didapatkan sesak dan batuk selama 3 tahun yang makin lama makin memberat. Batuk dengan produksi sputum berwarna putih kental disertai sesak nafas yang bertambah saat beraktivitas. Hipersekresi mukus, hipertrofi kelenjar, peningkatan sel goblet, destruksi parenkim, penebalan dinding pembuluh darah karena adanya proses inflamasi dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil yang bermanifestasi batuk kronik dengan produksi sputum dan sesak nafas. Diagnosis PPOK pun didukung oleh hasil pemeriksaan fisik regio pulmo secara inspeksi tampak retraksi interkostal, secara perkusi ditemukan bunyi hipersonor pada lapang paru, dan secara auskultasi ditemukan napas bronkovesikuler (+/+) dan ronki (+/+). Pada pemeriksaan radiologi foto rontgen toraks diafragma datar, sela iga melebar, corakan bronkovesikuler meningkat, dan tampak 9 gambaran jantung pendulum. Kerusakan komponen paru ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal 10 paru pada gas atau partikel berbahaya. Terdapat beberapa tanda dan gejala dari PPOK, antara lain dispneu dan batuk, pink puffer, atau timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum berarti, blue bloater atau kondisi batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi paru, tampak gejala berkurangnya napas sehingga mengalami hipoventilasi menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Pasien tampak gemuk sianosis, terdapat edem tungkai, dan ronki basah di basal paru. Tanda dan gejala lainnya berupa produksi sputum, wheezing, sesak dada dan barrel chest, yaitu diafragma terletak lebih rendah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter antero-posterior
bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal, dan sudut subkostal 9 bertambah. Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang 11 lebih tua. Tabel 1. Klasifikasi PPOK Klasifikasi Gejala Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau exercise - Tidak ada gejala waktu istirahat, tetapi gejala ringan pada latihan sedang (misal berjalan cepat, naik tangga) Sedang
Berat
- Tidak ada gejala waktu istirahat, tetapi mulai terasa pada latihan/kerja ringan (misal berpakaian) - Gejala ringan pada istirahat - Gejala sedang pada waktu istirahat - Gejala berat pada saat istirahat - Tanda korpulmonal
Spirometri VEP >80% prediksi VEP/KVP <75%
VEP 30-80% prediksi VEP/KVP <75%
VEP1 <30% prediksi VEP1/KVP <75%
Kunjungan ke dua dilakukan pada 5 Juli 2014 untuk melengkapi data-data sehingga pada anamnesis di dapatkan faktor risiko yang dimiliki oleh pasien adalah dari faktor usia, riwayat perokok aktif, dan riwayat penggunaan kayu bakar pada tungku di rumah. Merokok adalah faktor risiko yang paling penting untuk PPOK. Oleh karena itu, intervensi untuk mempromosikan berhenti merokok penting untuk mengurangi risiko. Asap rokok (environmental tobacco smoke/ETS) adalah gas beracun yang dikeluarkan dari pembakaran produk tembakau yang biasanya mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
95
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
(PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan 17 manusia. Seseorang yang telah lama merokok mempunyai prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit seperti aterosklerosis dan penyakit paru obstruksi kronis dengan dampak sistemik 12-14 yang signifikan. Pencemaran udara dalam ruang terutama rumah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam rumah. Pencemaran udara di dalam ruang rumah dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain bahan bangunan (misal asbes), struktur bangunan (misal ventilasi), bahan pelapis untuk furnitur serta interior (pada pelarut organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambient air quality), debu, dan kelembaban yang berlebihan. Selain itu, kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah seperti dalam hal perilaku merokok dalam rumah serta penggunaan kayu bakar saat memasak. Bahanbahan kimia yang terkandung dapat mengeluarkan polutan yang dapat bertahan dalam rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut dapat menjadi risiko PPOK. PPOK dapat menyebabkan komplikasi terjadinya hipoksemia, kor pulmonal, dan gagal nafas 5,15,16 kronis. Kerusakan komponen paru ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal 15 paru pada gas atau partikel berbahaya. Pasien merupakan lansia dengan riwayat sebagai perokok aktif selama 60 tahun dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari sebanyak 10 batang rokok. Indeks Brinkman dari pasien ini adalah 600 sehingga pasien tergolong dalam perokok berat. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya PPOK pada pasien. Selain merokok, usia merupakan faktor risiko yang kuat untuk PPOK, dan risiko PPOK secara bertahap meningkat dengan penuaan. Pasien merupakan seorang laki-laki berusia 86 tahun. Sebelumnya bekerja sebagai petani. Pasien merupakan seorang perokok aktif. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah 11,17 penyakit yang umum pada pasien usia lanjut. Menua merupakan penurunan seiring waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan
lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis terkaitusia. Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World Health Organitation (WHO), lansia meliputi usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Lansia sangat berpotensi menderita penyakit kronis, infeksi, serta mengalami 18,19 kecacatan. Pada pemeriksaan derajat fungsional geriatri yang dilakukan dengan mini mental status examination (MMSE) terhadap Tn. C yang berusia 86 tahun, didapatkan adanya penurunan fungsi kognitif. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) meningkatkan risiko untuk gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment (MCI). Penurunan fungsi kognitif merupakan masalah penting pada usia, diduga karena terdapat gangguan mikrovaskular otak diduga berperan pada kejadian vascular cognitive impairment. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh beberapa penyebab kelainan mikrovaskular seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dan 8,20 inflamasi. Di kalangan para lansia, penurunan fungsi kognitif merupakan penyebab terbesar terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas normal sehari-hari, dan juga merupakan alasan tersering yang menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap orang lain untuk merawat diri sendiri (care dependence) 8,21 pada lansia. Semakin lanjut usia, mereka akan mengalami kemunduran, terutama di bidang kemampuan fisik sehinggga mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal mencukupi kebutuhan sehari-harinya activity daily living (ADL). Dalam hal ini peran keluarga sangat diperlukan untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan lansia terutama kebutuhan activity 21 daily living (ADL). Dukungan dari keluarga terdekat dapat saja berupa anjuran yang bersifat mengingatkan lansia untuk tidak bekerja secara berlebihan (jika lansia masih bekerja), memberikan kesempatan kepada lansia untuk melakukan aktivitas yang menjadi hobinya, memberi kesempatan kepada lansia untuk menjalankan ibadah dengan baik, dan memberikan waktu istirahat yang cukup sehingga lanjut usia tidak mudah stres dan 22,23 cemas.
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
96
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
Kemandirian lansia juga mempengaruhi konsep diri lansia. Kemandirian bagi orang lanjut usia dapat dilihat dari kualitas hidup. Kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) menurut Setiati (2000) ada 2, yaitu AKS standar dan AKS instrumental. AKS standar meliputi kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil, dan mandi. Sedangkan AKS instrumental meliputi aktivitas yang kompleks, seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang. Penurunan kondisi fisik lanjut usia juga 24 berpengaruh pada kondisi psikis. Pada pasien Tn. C, ada beberapa aktivitas kehidupan sehari-hari yang masih membutuhkan bantuan dari orang-orang sekitarnya seperti pada saat makan, naik dan turun tangga serta pada saat pasien serta pada saat naik dan turun dari toilet/WC, (melepas dan memakai pakaian, membersihkan kemaluan, dan menyiram WC). Dengan menggunakan indeks Barthel, pasien Tn. C memiliki skor Barthel Index 80 yang berarti bahwa Tn. C memiliki ketergantungan sedang terhadap orang-orang di sekitarnya. Dukungan dan peranan keluarga untuk melakukan aktivitas sehari-hari sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup Tn. C. Berubahnya penampilan fisik, menurunnya fungsi panca indra menyebabkan lanjut usia merasa rendah diri, mudah tersinggung, dan merasa tidak berguna lagi. Hal ini menimbulkan masalah psikologis pada lansia, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang 23,25 mandiri. Dalam menatalaksana pasien, seorang dokter tidak hanya memperhatikan tanda dan gejala penyakit namun juga psikologisnya, fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan keluarga, 26 perilaku kesehatan keluarga, dan lingkungan. Pada kasus ini, manajemen pertama yang diberikan kepada pasien adalah edukasi, di mana pasien perlu menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kekambuhan (batuk dan sesak napas). Pasien dan keluarga juga diberikan informasi mengenai penyakit pasien, sehingga pasien dapat memahami bahwa pasien dapat mengontrol penyakit tersebut meskipun tidak dapat sembuh. Kemudian pemberitahuan mengenai kegunaan dari obat-obatan, cara penggunaan, waktu penggunaan, dosis obat, 27 dan efek samping.
Pada kasus ini, pasien telah mendapatkan terapi obat berupa salbutamol oral 3 x 4 mg dan gliseril guaiakolat 3 x 100 mg. Salbutamol merupakan agen beta adrenergik yang digunakan sebagai bronkodilator. Mekanisme kerja obat meningkatkan jumlah cyclic AMP yang berdampak pada relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator penyebab reaksi hipersensitivitas dari mast cell. Gliseril guaiakolat yang merupakan golongan ekspektoran digunakan untuk memudahkan refleks batuk sehingga dapat meningkatkan volume sekresi. Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tata laksana kronik dan tata laksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya. Secara umum, tata laksana PPOK dalam pemberian obat-obatan seperti bronkodilator, anti inflamasi, antibiotik, mukolitik, antitusif atau 4 ekspektoran. Pada pasien yang telah mendapat pengobatan, harus dilakukan evaluasi lanjutan untuk melihat tercapainya target. Kemudian pada 19 Juli 2014, dilakukan evaluasi dan didapatkan anamnesis pasien mengatakan bahwa keluhan yang dirasakan sebelumnya telah berkurang, pasien rutin mengambil obat ke puskesmas apabila obat habis, mulai menghindari diri dari faktor pencetus, anggota keluarga yaitu anak ke-5 dan cucunya mulai menghentikan kebiasaan merokok di dalam rumah dan mengurangi penggunaan tungku pada saat memasak. Simpulan Faktor eksternal peran keluarga amat penting dalam tanggung jawab bersama dan tindakan pencegahan komplikasi. Serta lingkungan mempengaruhi timbulnya suatu penyakit, sembuhnya suatu penyakit, serta memperberat suatu penyakit. Melakukan risk management pada setiap pasien amat penting. Dalam melakukan intervensi terhadap pasien, tidak hanya memandang dalam hal klinis tetapi juga terhadap psikososialnya, oleh karenanya pemeriksaan dan penanganan holistik, komprehensif, dan berkesinambungan. Daftar Pustaka 1.
2.
Kemenkes. Pedoman pengendalian penyakit paru-paru obstruktif kronik. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2008. Senior RM, Anthonisen NR. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Am J Respir Crit Care Med. 2008; 157(4):139-47.
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
97
Evi Febriani Lubis | Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Management in Old Male
3.
4.
5.
6. 7. 8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Shinta D. Studi penggunaan antibiotik pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis: studi pada pasien IRNA medik di ruang paru laki dan paru wanita RSU Dr. Soetomo Surabaya: Airlangga University; 2008. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan PPOK di Indonesia Revisi Juni. Jakarta: PDPI; 2003. Stone et al. Chronic obstructive pulmonary disease [internet]. New York: Medscape LLC.; 2012 [disitasi 2014 Jul 18]. Tersedia pada: http://www.medscape.com/viewarticle/707973_1 Garcia J. COPD prevalence rates reported by all 50 states. Morb Mortal Wkly Rep. 2012; 61:938-43. Darmojo B. Buku ajar geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Jakarta: FK UI; 2006. Mackay J, Eriksen M. The tobacco atlas. Switzerland: Myriad. 2002 [disitasi 2014 Jul 18]. Tersedia pada: http://www.who.int/tobacco/media/en/title.pdf Price SA, Wilson. Patofisiologi konsep klinik prosesprose penyakit. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. Depkes. Pedoman pengobatan dasar di puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007. Ke-Sheng, Liang, Shimin, Long-yang. Associations of Smoking Status and Serious Psychological Distress with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Department of Biostatistics and Epidemiology, College of Public Health, East Tennessee State University. International Journal of High Risk Behaviors and Addiction. 2013; 2(2):59-65. Yanbaeva DG, Detender MA, Creutzberg EC, Wesseling G, Wouters Emiel FM. Systemic effect of smoking. Chest 2007; 131:1557-66. Michael J, Brian D, Diane F, Ross P, Patricia H. 50-year trends in smoking-related mortality in the United States. The New England Journal of Medicine. 2013; 24:368-4. Rehane. Pengaruh pemberian kombinasi vitamin C dan E terhadap prosentasi fokus metaplasi bronkiolus paru tikus (Rattus novergicus strain wistar) yang dipapar asap rokok subkronik. Tugas Akhir. Malang: FKUB; 2006. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. The global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. USA: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease; 2006 [disitasi 2014 Jul 20]. Tersedia pada: http://www.goldcopd.org/uploads/users/files Gerald W, Staton Jr. MD. Chronic obstructive pulmonary disease: part 3: management of complications, surgical therapy and treatment advances. Medscape. 2010 [disitasi 2014 Jul 20]. Tersedia pada: http://www.medscape.com/viewarticle/715580_5 Terri et al. Caring for the older person with chronic obstructive pulmonary disease: “I was worried that he didn’t have much room to decline”. JAMA. 2012; 308(12). Priti G, Kalaivani, Sanjay K, Baridalyne, Sanjeev K. Functional disability among elderly persons in a rural area of Haryana. Indian Journal of Public Health 2014; 58(1). Pallavi B, Jalandhar P. Socio-economic inequalities in the prevalence of multi-morbidity among the rural elderly in Bargarh District of Odisha (India). Department of Humanities & Social Sciences, National Institute of Technology (NIT), Rourkela, Odisha. India J Plos One. 2014; 9.
20. Anderson P. COPD raises risk for mild cognitive impairment. JAMA Neurol. 2014. [disitasi 2014 Jul 20]. Tersedia pada: http://www.medscape.com/viewarticle/822188 21. Wahyudi N. Keperawatan gerontik. Jakarta: EGC; 2008. 22. Ismayadi. Asuhan keperawatan dengan rematik (arthritis rheumatoid) pada lansia. 2004 [disitasi 2014 Jul 24]. Tersedia pada: http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan ismayadi2.pdf 23. Joan, Pedro, Julie, Natali E, Thomas S, Miller. Change in end-of-life care for medicare beneficiaries. JAMA. 2013; 309(5):470-7. 24. Setiati. Pedoman pengolahan kesehatan paien geriatri untuk kedokteran dan perawat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. 25. Hurlock EB. Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Surabaya: Erlangga; 2002. 26. Gan GL, Azwar A, Wonodirekso S. A primer on family medicine practice. Singapore: Singapore International Foundation; 2004. 27. Barbara, Pharmd, CGP, FASCP, Terrence. Chronic obstructive pulmonary disease: prevalence, characteristics, and pharmacologic treatment in nursing home residents with cognitive impairment. Journal of Managed Care Pharmacy. 2012; 18(8):598606.
J Agromed Unila | Volume 1 Nomor 2 | September 2014 |
98