CHARACTER-BASED CURRICULUM; PSYCHOLOGICAL STUDY OF THE ISLAMIC EDUCATION IN SLTA Muhmidayeli Abstract: This paper focuses on the conceptual of character-based curriculum in the Islamic Education in SLTA. The essence of education is "a value-infused enterprise". The quality of man as a changed agent is determined by the educational system. The character education has been a gaining momentum among politicians and educators in Indonesia since 2010. In the psychology approach, it also includes the spiritual and religious aspects. So that, character-based curriculum must be interrelated with values, virtues and conduct that guide decisions and behaviors to right and wrong ones which correspond to Religious Education. At present, the character-based curriculum provides little domain for training in the character education. The larger question is how to develop character-based curriculum. Character-based curriculum must be developed on the context of the large curriculum's offering, the routes that are followed in curriculum development can divert to a great extent. Key words: character-based curriculum; character education; Islamic education
A. Latar Belakang Pendidikan Agama dan Pendidikan karakter adalah dua kembaran yang menjadi motor penggerak ragam perubahan sebagai lambang adanya suatu kehidupan. Bahkan dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa inti pendidikan agama adalah pendidikan karakter yang baik secara esensial maupun eksistensial, merupakan sumber perbaikan taraf hidup manusia. Kritik tajam terhadap dunia pendidikan pada beberapa dekade terakhir ini adalah karena adanya asumsi, bahwa usaha pendidikan di sekolah sebagai wahana bagi pendidikan karakter anak dianggap telah mengabur dan bahkan menjauh dari berbagai aktivitasnya.
Gerakan memperbaiki system pendidikan memang telah dilakukan sejak lama, seperti gerakan pemberantasan buta aksara, gerakan Iptek dan Imtaq, gerakan membaca, gerakan menumbuhkan pojok masyarakat membaca sampai pada gerakan pembangunan pendidikan karakter yang dicanangkan pada 2010. Bangunan karakter seseorang sangat menentukan bagi kualitas dirinya dalam mengadakan perubahan-perubahan taraf hidup. Hal ini semakin bermakna jika dihubungkan dengan sasaran fundamental aspek relijius yang bersentuhan langsung dengan persoalan pengembangan karakter seseorang baik dalam hal agama, etika maupun estetika. Bahkan Islam sendiri mengandaikan bahwa tugas pokok kenabian tidak lain adalah memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia. Misi Islam sedemikian, bertumpu pada bagaimana pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilaksanakan dengan penuh makna yang memungkinkan untuk tumbuh kembangnya karakter insaniah dalam keseluruhan realitas pendidikan sekolah. Khusus untuk Indonesia, hal ini merupakan tuntutan undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang memang menekankan pembentukan karakter bangsa. Kebermaknaan dan kehendak di atas tentu sangat tergantung pada kurikulum yang digunakan, tidak saja dalam tataran konseptual, tetapi juga mencakup bagaimana dengan kurikulum itu, nilai-nilai keagamaan tampil dalam bangunan karakter bangsa yang mumpuni. Dalam bagian rasional kurikulum 2004 disebutkan, bahwa kelemahan kurikulum pendidikan agama Islam adalah dalam hal materi yang lebih terfokus pada pengayaan kognitif dan minim dalam pembentukan afektif serta psikomotorik. Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan Agama dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua.1
1
Kurikulum 2004; Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah , Departemen Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Tahun 2003, hlm. 7
Siswa pada tingkat sekolah menengah atas berada pada usia-usia kritis dengan daya nalar yang tinggi, namun mereka belum stabil dalam emosi, moral, agama dan pandangan sosial. Oleh karena itu, untuk membangun karakter mereka pada masa ini diperlukan penataan pendidikan yang akomodatif dengan tingkat perkembangan mereka, baik dalam hal kecerdasan kecerdasan intelegensi, emosi, moral, spiritual, linguistik, bodi kinestik, dan interpersonal, kecerdasan sosial.2 Dan memang hasil penelitian menunjukkan, bahwa keberhasilan seseorang ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh aspek kecerdasan emosi dan spiritual (80 %) dari pada aspek kecerdasan intelektual yang hanya 20%.3 Penelitian ini berfokus untuk menjawab persoalan apakah kurikulum Pendidikan Agama Islam SLTA di Indonesia telah disusun berdasarkan pada pengembangan potensi yang sesuai dengan kondisi perkembangan psikis mereka? Untuk itu maka perhatian serius diberikan untuk mengetahui sejauhmana relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat IQ, perkembangan keberagamaan, moral dan emosi siswanya. Dengan terjawabnya permasalahan ini diharapkan dapat memberikan memberikan solusi terhadap persoalan bangsa yang secara structural berhubungan langsung dengan bangunan pendidikan karakter, terutama yang berkenaan dengan pematangan IQ, nilai keberagamaan, moral dan emosi ini. B. Kerangka Pikir Upaya pembangunan karakter mesti pula menjadi bagian sentral dalam setiap gerak usaha kependidikan Islam yang secara struktural-formal tidak hanya tercantum dalam tujuan pendidikan, tetapi juga mesti terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktivitasnya. Adanya fenomena yang berlangsung pada dunia pendidikan selama ini yang menjadikan perilaku moral hanya sebatas dalam tataran idealitas tujuan pendidikannya saja, sementara pada tataran paraxis-metodologis pembelajaran nyaris tidak tersentuh, bahkan mungkin terlupakan, memunculkan keprihatian banyak pihak. Pada hal dalam 2 3
Wahab (Sumber: Republika Online Collected By pararmuslim.com. (http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg20773.html).
konteks yang terakhir inilah sesungguhnya upaya pendidikan itu mesti dilangsungkan secara sistematis dan rasional. Kehidupan manusia saat ini yang semakin plural, termasuk di dalamnya kehidupan bermoral dan beragama, memunculkan problem dalam membangun pandangan hidup dalam masyarakat, di mana hampir setiap saat orang dihadapkan pada berbagai orang dengan beraneka ragam suku, bangsa, budaya, daerah, ideologi dan agama. Konsekuensinya, orang dihadapkan pada aneka ragam persoalan moral yang muncul dari adanya perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan dalam pandangan hidup. . Hal ini bahkan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat yang dulunya memiliki jati diri yang kokoh dengan budaya dan ideologinya sendiri secara berangsur-angsur ditinggalkan atau setidaknya dipertanyakan. Keyakinan akan suatu norma atau ajaran moral yang selama ini berdasarkan pada agama atau budaya tertentu mau tidak mau terkena desakan arus modernisasi yang oleh sebahagian ahli dinilai sebagai perusak tatanan nilai kehidupan yang telah ada4. Dalam kondisi ini diperlukan bangunan karakter yang kukuh dalam menata diri dan social agar agama sebagai lambang fundamental masyarakat Indonesia tidak terisolasi dari kehidupan masyarakat. Problem di atas meniscayakan pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah harus benar-benar ditata dan dikembangkan sesuai dengan identitas subjek didik yang mesti dibimbing sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan psikis mereka, baik intelegensi, agama, moral dan social maupun emosi mereka. Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah upaya aplikatif dunia pendidikan yang diarahkan untuk membentuk pribadi bermoral yang dapat menghayati eksistensi dirinya sebagai pemilik kebebasan dan tanggung jawab dalam relasinya dengan orang lain, dunianya dan Tuhan di dalam komunitas pendidikan yang tentu akan terimplikasi pula dalam tindakan sosial dan pengembangan kualitas diri di mana pun ia berada. Menurut Foerster (1869-1966), ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu: Pertama, memberikan kedalaman budi di mana setiap tindakan yang dilakukan 4 Bertrand Russell, Pergolakan Pemikiran (kumpulan karangan), Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta, 1988, h. 224-225.
dapat diukur berdasarkan pada hierarki nilai. Di sini pendidikan karakter menempatkan nilai sebagai pedoman normatif dalam setiap tindakan. Kedua, Melatih keberanian berbuat dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini pendidikan karakter mesti menjadikan seseorang itu teguh pada pendirian, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru dan atau takut pada risiko. Ketiga, otonomi. Dalam konteks ini, pendidikan karaktek mesti diarahkan pada upaya agar seseorang dapat mengidentifikasi dan menginternalisasikan beragam aturan eksternal menjadi nilai-nilai yang mengkristal dalam dirinya sehingga benar-benar mempribadi. Pendidikan karakter dalam domain ini meniscayakan pendidikan berdimensikan kekuatan nilai yang datang dari diri sendiri, bukan karena terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Kematangan keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.5 Suatu keyakinan akan suatu nilai moral dan agama yang kemudian menjadi karakter bagi seseorang sangat tergantung pada bagaimana seseorang itu bersikap terhadap realitas dirinya dalam lingkup lingkungannya dan keyakinannya akan nilai-nilai relijius, maka tentulah nilai tidak mungkin tampil dalam sikap dan tingkah laku tanpa adanya upaya pembentukan nilai melalui dunia pembelajaran. Persoalan ini membutuhkan penelaahan menyeluruh dalam keseluruhan varian yang terkait dengannya, baik dalam konteks individu dan sosial, maupun dalam hubungannya dengan aspek pembentukan sistem yang mendorong percepatan tumbuh kembangnya nilai sesuai dengan kebutuhan manusia dalam menata kehidupannhya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan yang menjadi perhatian seseorang, sehingga ketika seseorang sedang memikirkan sesuatu nilai, pada dasarnya ia telah mengusahakan nilai-nilai tersebut dapat dilakukan untuk dirinya.
Foerster dalam hal ini menyebutkan bahwa personalitas tidaklah sama dengan individualitas,karena yang satu bersifat rohani sedang yang lain lebih dalam konteks natural belaka. Yang satu beifat interior sedangkan yang lain bersifat independensi eksterior. 5
Sebagai bagian yang berkenaan dengan nilai dan feeling, maka pendidikan karakter pun dipengaruhi oleh kondisi dan iklim yang berlangsung pada saat pembelajaran terjadi karena kondisi ini biasanya tidak terencanakan, namun mereka sering menghasilkan pembelajaran yang negatif, atau pembelajaran yang tidak konsisten apa yang sedang diajarkan. Sebagai bagian dari pendidikan nilai, maka pendidikan karakter pun terkait dengan pendidikan perasaan termasuk pada social learning atau belajar melalui identifikasi atau dengan imitasi atau membentuk emosi terhadap sistuasi pengalaman.6 Secara praktis, nilai menjadi standar perilaku yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya. Sedemikian rupa, sehingga menjadikan semua orang memiliki nilai, sekalipun ditemukan sebagian orang tidak selamanya menyadari nilai yang dimilikinya. Sebagai standar perilaku, nilai membantu kita menentukan pengertian sederhana terhadap sesuatu realitas. Dalam pengertian lebih kompleks nilai membantu kita menentukan apakah sesuatu itu perlu atau tidak perlu, benar atau salah, baik atau buruk dan maupun cantik atau jelek. Dalam konteks ini pendidikan karakter mesti didahului oleh pendidikan rasio yang akan membangun cara pandang. Dalam konteks sekolah, nilai itu paling tidak dikelompokkan dalam dua bagian, yakni ektrinsik dan intrinsik. Yang pertama disebut juga dengan nilai instrumental, yakni adalah nilai yang ditetapkan good lantaran bermakna bagi sesuatu. Nilainya tergantung dari konsekuensinya ketika dipakai untuk meraih nilai yang lain. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa nilai ekstrinsik ini bersifat subjektif dalam karakternya dan relatif bagi orang dan situasinya. Sedangkan yang ke dua, yakni nilai intrinsik adalah nilai yang diputuskan good-nya bukan karena sesuatu yang lain tetapi berada di dalam nilai itu sendiri. Nilainya tidak tergantung pada nilai lain atau yang melampaui dirinya, tetapi nilainya merupakan inheren dan self-contained dari nilai itu
6 Hilda Taba; Curriculum Development; Theory and Practice, Harcout, Brace & World, Inc, new York, 1962, h. 158
sendiri.7 Dalam hal pendidikan karakter adalah bagaimana memanipulasi nilai ekstrinsik itu menjadi nilai intrinsik. Kecuali itu, nilai sangat berkaitan dengan aktivitas seseorang. Ini bukan berarti bahwa nilai berbeda dengan tindakan. Pada prinsipnya nilai agama dan moral itu merupakan tindakan agama dan moral itu sendiri begitu pula sebaliknya. Tegasnya nilai agama ataupun moral dan tindakan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, bahkan nama dari perilaku yang tampil itu sendiri adalah nilai agama ataupun moral itu sendiri, misalnya berperilaku sopan, jujur, adil dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan umpamanya jujur tidak hanya dipahami sebagai nilai saja, tetapi juga nama dari suatu perbuatan. Jadi nilai jujur dan perbuatan jujur merupakan satu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Upaya penumbuh-kembangan perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual melalui tangan manusia, pada dasarnya hampir diterima oleh seluruh filsuf Muslim klasik, bahkan sampai sekarang. Sebut saja contohnya al-Farabi (w. 950 M), seorang filsuf Islam terbesar, menyebutkan, bahwa
manusia
sejak lahirnya telah
dianugarehi perilaku moral potensial baik dan tidak baik. Perwujudannya ke dalam perilaku nyata
sangat ditentukan oleh usaha manusia itu sendiri, terutama dalam
mempersiapkan kondisi dan situasi yang kondusif
yang dapat memungkinkan
tampilnya perilaku moral aktual.8 Hal yang sama juga diungkap oleh Raghib al-Isfahani yang menyebutkan bahwa kata akhlak sebagai sebutan untuk moral ini merupakan plural dari kata khuluq yang ditujukan kepada ciptaan Tuhan yang bermuatan daya yang dapat disempurnakan melalui tangan-tangan manusia.9 Di dalam berperilaku, faktor terpenting adalah bagaimana daya-daya jiwa manusia berperan menurut proporsi masing-masing melalui pemberdayaan peran akal semaksimal mungkin. Hanya akal yang sempurna aktivitasnyalah yang dapat menjaga
Untuk keterangan lebih lanjut tentang pembagian nilai seperti ini lihat lebih lanjut umpamanya W.F.R. Hardie, Aristotle`s Ethical Theory, Clarendon Press, Oxford, 1980. h. 6162.. 8Al-Farabi, “Fuzul Mumtaza`ah fi `Ilm al-Akhlaq” dalam Majid Fakhry, al-Fikr al-Islam fi al-`Arabiy, juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1980, h. 9Al-Isfahani, Raghib, Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur`an, Ed. Nadim Mar`asyliy, Dar al-Katib al-`arabiy, t.tp., t.t, h.344. 7
keselarasan dan keharmonisan hubungan daya-daya jiwa ini.10 Sedangkan untuk memungkinkan manusia menyukai dan melakukan perbuatan moral, perlu adanya kesadaran diri. Akal, hati nurani dan kesadaran diri memang merupakan segi-segi eksistensi original manusia yang memilki peranan penting dalam perwujudan perilaku moral.11 Jadi, pendidikan karakter menyangkut pendidikan yang melibatkan kemampuan intelegensi, tingkat perkembangan keagamaan, sosial, moral dan emosi subjek didik dan karenanya pendidikan karakter mesti pula dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini. Dengan demikian pendidikan akal, hati nurani dan kesadaran diri merupakan segi-segi eksistensi original manusia yang memilki peranan penting dalam perwujudan perilaku moral.12
I.R.Poudjawijatna13 mengatakan bahwa kesadaran moral berarti
kesadaran manusia untuk selalu berbuat baik. Oleh karena itu, moral dapat menjadi tuntunan atau pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya, di samping juga menjadi pengarah bagi manusia dalam menentukan perbuatan moralnya. Moral dapat mengarahkan manusia untuk bertingkah laku baik, karena memang manusia itu sendiri pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan selalu ingin mempertahankan kebaikan itu selalu hadir dalam dirinya. Manusia yang sadar selalu cenderung untuk memilih perilaku yang baik, karena memang ia yakin bahwa yang dipilihnya itu adalah baik. Manusia yang sadar tidak akan melakukan suatu nilai dalam kehidupan hanya karena ikut-ikutan. Muhammad Iqbal14 mengatakan: “kesadaran merupakan intisari bagi terlaksananya suatu kegiatan, termasuk di dalamnya moral”. Kesadaran merupakan satusatunya jalan menuju realisasi diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan kesadaran merupakan persyaratan mutlak bagi pendidikan karakter. Merealisasikan perilaku dalam
10Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, Mahdawi, Bairut, 1398 H, h. 10, 63, 69, 71 dan 81-82. 11Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968, h. 133-134. 12Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968, h. 133-134. 13I.R.Poudjawijatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bintang Obor, Jakarta, 1982, h. 10. 14Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan OSLTAn Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 151-152.
bentuk aktual, ditentukan oleh faktor kebebasan dan kesempatan. J.J.Rousseau15 mengatakan, kebebasan adalah unsur esensial manusia dalam pembentukan perilaku moral, sebab dengannya orang dapat berpikir jernih. Moralitas tanpa kebebasan adalah omong kosong, karena moralitas itu sendiri adalah bukti bagi kebebasan manusia itu sendiri. Sedangkan faktor kesempatan merupakan faktor yang turut menentukan hidup suburnya perilaku moral di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu aplikasi nilainilai moral pun terkait erat dengan masalah keadilan. Keadilan adalah suatu sikap orang yang berkuasa dalam memberikan kesempatan merata bagi semua orang untuk menentukan dirinya.16 Mengingat pendidikan karakter menyangkut pembelajaran emosi maka prosesnya tentu berbeda dengan proses menguasai pengetahuan dan skill biasa. Pendidikan karakter menuntut pengggunaan konten dan pengalaman belajar yang berbeda. Tidak dapat dibuktikan dengan fakta bahwa merubah feeling dan emosi atau mencegah penggunaannya merupakan produk belajar tidak langsung. Belajar berdimensi karakter dalam hal ini adalah hidup itu sendiri.17 Jadi, pendidikan karakter adalah pembelajaran yang melibatkan kesluruhan dimensi manusia dalam hidup, sehingga dengan demikian akan memperluas sensitivtas feeling bahkan memperluasnya dalam dimensi lain. Tidak ada aktivitas manusia yang terbebas dari reaksi emosi. Oleh karena itu, pelibatan emosi dalam pengembangan konsep dan konseptualisdasi diri perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kurikulum. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa belajar itu beragam, baik yang terkait tidak positif tapi juga yang produktif, maka perlu melakukan control terhadap fokus pembelajaran dan terhadap apa yang mengikuti suatu pembelajaran,18 maka pembuat kurikulum mesti juga mempertimbangkan relasi materi yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hubungannya dengan realitas diri dan kepribadian siswa.
15J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Extraits par Madeleine Le Bras, Libraire Larousse, Sarbonne, 1973, h. 24. 16Ibid., h. 374. 17 Hilda Taba, Op. Cit., h. 159-160 18 Ibid., h. 159
C. Gambaran Umum Kurikulum PAI untuk SLTA Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk SLTA19, tercantum bahwa Pendidikan Agama Islam di SLTA berfungsi untuk:
1. Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; 2. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; 3. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; 4. Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; 5. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan di hadapinya sehari-hari; 6. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir -nyata), sistem dan fungsionalnya; 7. Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.20 Ketujuh fungsi pendidikan agama Islam seperti tertera di atas, mencerminkan bahwa pendidikan agama Islam tidak lain adalah wahana dasar bagi pengembangan karakter pokok subjek didik di sekolah. Sebagai contoh ketika disebutkan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai pengembangan keimanan, ini berarti bahwa pendidikan agama Islam untuk tingkat SLTA ini menempatkan subjek didiknya sebagai orang yang telah memiliki potensi untuk dapat dikembangkan nilai keyakinannya akan
19 Tidak ada perbedaan tujuan, sasaran dan standar kompetensi Pendidikan Agama Islam pada kurikulum KBK dan KTSP. Hanya saja pada KTSP telah memberi kesempatan yang luas pada guru untuk melakukan kreativitas dalam membuat silabus dan mengembangkan materi pembelajaran yang bersifat kontekstual dengan melihat ragam kebutuhan dan konteks empiris siswa. 20 Ibid., hlm. 9
hal-hal yang bersifat abstrak, tatapi pasti. Pemahaman ini diperkukuh dengan fungsi pendidikan agama Islam pada poin 6 (enam). Masalah keimanan adalah masalah keyakinan yang berkenaan aspek kesadaran diri yang dalam keseluruhan dimensinya terkait dengan hukum dasar kemanusiaan yang berhubungan langsung dengan fungsionalisasi potensi ruhaniah yang dalam aktivitasnya terkait satu sama lain. Kesadaran diri memiliki keterkaitan dengan fungsionalitas akal, hati dan syahwat yang merupakan lambang ruhaniah manusia yang menghendaki adanya unsur kebebasan dalam upaya mengaktualisasiannya, maka potensi ruhaniah ini pun meniscyakan adanya kebebasan manusia dalam bertindak, sehingga keputusan-keputusan dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dari adaptasinya dengan berbagai realitas di dunia benar-benar dari diri manusia yang sejati, bukan atas pengaruh orang lain di luar dirinya.21 Dapat dikatakan, bahwa pendidikan agama berfungsi mengembangkan potensi akal, hati dan syahwat sebagai tiga kekuatan jiwa dalam diri subjek didik yang mensti menjadi dasar pertimbangan dalam kegiatannya di sekolah. Hal ini penting, mengingat hati sebagai unsur jiwa manusia yang berfungsi untuk memberikan pengukuhan dan istiqamah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang telah ditemukan oleh akal. Pembinaan yang berorientasi pada pengembangan akal tanpa mengikutsertakan pembinaan hati, maka memunculkan kesukaran dalam self-
actualization sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam pemunculan kepribadian yang kukuh dalam menjalankan apa saja yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Pendidikan akal dan hati memerlukan pendidikan emosi agar memiliki daya juang yang tinggi agar jiwa tetap berada pada jalur natural, sedemikian sehingga ia pun dapat menemukan kesimpulan yang baik dan benar, dan dapat pula mengaktualisasikannya dalam bentuk tindakan nyata.22 Dengan tindakan
Penjelasan lebih lanjut tentang manusia dan kebebasan ini dapat dilihat pada Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, PPs UIN Suska Press, Pekanbaru, 2007. 22 Firman Allah SWT dalam surah al-Zumr ayat 18 memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah SWT itu sesungguhnya adalah orang-orang yang mau berpikir sehingga dalam pemikirannya ia mendapatkan kesimpulan dan keputusan 21
penekanan nafsu ini dapat memberikan konsekuensi logis pada kematangan emosional manusia dalam menjalankan tugasnya di dunia seperti terlihat pada diri seseorang itu sifat sabar, hati-hati, teliti, tidak ceroboh, pemaaf, tidak mudah cemas dan marah, tawadhdhu`, tawakkal dan lain sebagainya yang memang sangat dibutuhkan manusia dalam mengisi kehidupannya di dunia. Pendidikan Agama Islam untuk SLTA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.23 Dari sini, terlihat bahwa ada beberapa variabel yang berkenaan dengannya, yaitu:
1. Bahwa pendidikan agama Islam mesti diarahkan untuk peningkatan keimanan siswa terhadap Allah SWT 2. Bahwa keyakinan yang dalam akan eksistensi Tuhan dilakukan dengan pemberian ilmu pengetahuan yang dapat mengukuhkan rasa percaya subjek didik terhadap segala hal yang menyangkut ke ilahian 3. Bahwa pendidikan agama Islam mesti dengan menghubungkan materi pelajaran dengan realitas empiris keseharian subjek didik 4. Bahwa pendidikan agama Islam mesti berdimensi pemberian pengamalan dan pembiasaan dalam tingkah laku. Kompetensi Bahan Kajian Pendidikan Agama adalah Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya; serta yang kemudian ia tidak menyia-nyiakannya, ia ambil hikmahnya dan ia pun mengikuti nilai kebaikan yang terkandung dalamnya. 23Depertemen Pendidikan NasionalIbid., hlm. 9
mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar umat beragama.24 Secara spesifik, kompetensi Pendidikan Agama Islam untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas adalah bahwa dengan landasan Al Qur‟an dan Sunnah Nabi saw; siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al Qur‟an; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.25 Adapun standar kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama Islam meliputi sederetan kemampuan minimal yang harus dikuasai subjek didik selama menempuh pendidikan di SLTA. Kompetensi ini berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Islam. Kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam komponen Kemampuan Dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai di SLTA, yaitu: a. Beriman kepada Allah SWT dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. b. Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat Al Qur‟an serta mengetahui hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari‟at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. d. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan tabi‟in serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan.
24 25
Ibid Ibid
e. Mampu mengamalkan sistem mu‟amalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.26 Ruang lingkup pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam hal ini meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara: hubungan manusia dengan Allah SWT; Hubungan manusia sesama manusia; dan hubungan manusia dengan makhluk lain (selain manusia) dan lingkungan.27 Ketiga dimensi ini tercermin dalam pembidangan yang berfokus pada aspek, yaitu Al Quran/Al Hadits, keimanan, Syari‟ah, Akhlak dan Tarikh.
D. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan Intelegensi siswa pada tingkat tingkat SLTA Ciri pokok yang menonjol dalam perkembangan intelektual subjek didik Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah bahwa mereka telah berada pada tahap berpikir operasional-formal yang ditandai dengan kemampuan berpikir dalam bentuk deduktifhipotesis yang lebih kompleks. Ini berarti bahwa siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang berada pada usia 15-18 tahun tentu dapat diajak berpikir analisis sintesis dalam hal mengukuhkan dirinya dalam meyakini nilai-nilai yang bersifat abstrak, termasuk nilai agama, moral, individual dan sosial. Mengingat intelegensi mereka memiliki nuansa komponen non intelektual seperti
self-convidence dan stabilitas emosi, yang akan memancarkan dunia intelektualnya dalam kemampuan berpikir dan bertindak,28 maka dalam melatih kemampuan intelektual mereka mesti dengan mengikutsertakan dimensi praktis dalam dunia empiris secara berbaringan. Menurut Jean Piaget,29 jika pada masa konkrit-operasional, seorang remaja telah memiliki kemampuan untuk berpikir logis meskipun sistematisasinya baru terhadap hal-hal yang konkret, maka pada masa formal operasional ini seorang remaja telah mampu berpikir secara sistematis terhadap hal-hal yang abstrak dan hipotetis Ibid., hlm. 10 Ibid., hlm. 9 28 N.L. Gage and David C. Berliner, Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1984, hlm. 72-74 29 Piaget seperti yang dikutip oleh Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983, h. 273-274 26 27
melalui upaya menghubungkan antar teori dan pemikiran yang berkembang menuju munculnya gagasan dan ide baru yang berguna bagi pemecahan masalah yang tengah dihadapi. Lebih lanjut Piaget30 mengatakan, bahwa pola pikir anak pada masa remaja ini, seorang anak sudah dapat berpikir secara kritis. Mereka telah memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir mereka telah berkembang pesat, sehingga mereka dengan mudah dapat mencarikan alternatif pemecahan suatu masalah, bahkan telah dapat pula memikirkan hal-hal yang mungkin akan menjadi konsekuensi atas apa yang telah mereka putuskan. Kapasitas berpikir logis dan abstrak yang telah berkembang sedemikian rupa, menjadikan mereka dapat berpikir multi-dimensi seperti yang dilakukan oleh saintis. Hukum perkembangan ini menjadikan seseorang anak itu tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan menganalisis ragam informasi itu dan berupaya menghubungkannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu menghubungkan pengalaman masa lalu dengan sekarang untuk ditransformasikan menjadi suatu kesimpulan atau keputusan, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar. Dengan kemampuannya ini pula, anak remaja tidak akan mudah menerima begitu saja setiap pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang yang usianya lebih tua tanpa argumentasi yang memuaskannya.
Kondisi intelektual mereka seperti ini meniscayakan kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan karakter subjek didik mesti pula disusun atas dasar pertimbangan kebutuhan pengembangan intelektual mereka. Sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas benar-benar sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual subjek didiknya. Kebiasaan siswa yang selalu meragukan berbagai prinsip kehidupan merupakan sebuah pengantar untuk memperluas dan memperdalam prinsip30
Ibid.
prinsip tersebut ke arah penguatan kecerdasan di bidang Agama dalam makna yang luas. Hal ini mereka butuhkan agar dapat memahami jati diri mereka dengan benar dan dapat menemukan kemampuan dan kecenderungan dirinya yang hakiki tercerahkan dalam sistem pendidikan yang tepat melalui proses pembelajaran yang tepat guna dan berhasil guna sesuai dengan tingkat perkembangan intelegensi mereka. Apabila ditelaah kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, terlihat bahwa 5 (lima) komponen tujuan Pendidikan Agama Islam yang secara esensial dan eksistensial meniscayakan pembelajarannya melibatkan pengembangan watak intelegensi subjek didik agar berkembang dan mampu melihat realitas Agama sebagai suatu kebutuhan mereka dalam menjalani kehidupan. Ini berarti bahwa pengembangan karakter siswa dalam konteks ini mesti tergambar dalam terma dan isi pembelajarannya. Tujuan Pendidikan Agama Islam di SLTA seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya dengan Kompetensi utama agar Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya; serta mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar umat beragama,31 dapat dijabarkan dalam kemampuan dasar berikut: a. Beriman kepada Allah SWT dan limabagai ber rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. b. Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat Al Qur‟an serta mengetahui hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari‟at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah.
31
Ibid
d. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan tabi‟in serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan. e. Mampu mengamalkan sistem mu‟amalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.32 Apa yang tertuang sebagai kemampuan dasar ini terlihat bahwa karakter yang akan dibangun melalui Pendidikan Agama Islam di SLTA merupakan suatu bangunan yang memang dibutuhkan oleh setiap orang dalam realitas kehidupannya. Namun apabila ditelaah lebih lanjut tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang merupakan dasar penjabaran lebih lanjut bagi guru untuk mengembangkan silabus pembelajaran, terlihat adanya reduksi nilai-nilai yang akan ditanamkan dalam bentuk karakter pada keterampilan bahagian tertentu saja dan mengabaikan unsur lain yang sesungguhnya adalah menjadi kebutuhan pokok subjek didik SLTA untuk mengembangkan nilai relijusitasnya yang bersesuaian dengan tingkat perkembangan intelektual mereka yang bersifat operasional-formal seperti yang telah dikemukakan di atas. Sebagai contoh dapat dilihat umpamanya standar kompetensi dan kompetensi dasar PAI SLTA pada kelas X semester I terlihat dalam bidang al-Qur‟an/Hadits dengan kompetensi mengenal diri dan juga pada materi lainnya sejumlah 22 ayat firman Allah SWT33, terlihat secara nyata bahwa dalam bidang al-Qur‟an/Hadits, memiliki konten lebih pada membaca dalam konteks yang sederhana, bukan membaca dalam makna menelaah dan menghubungkannya dengan realitas empiris siswa. Sedemikian rupa sehingga potensi intelektual siswa dalam konten ini kurang mendapat perhatian secara seksama. Jika dilihat pada kompetensi dasar yang diinginkan, sesungguhnya nuansa pengembangan karakter subjek didik dalam hal persoalaan keagamaan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan keseharian mereka telah termaktub secara baik, karena telah memposisikan al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai sumber pembenaran. Hal ini terlihat nyata dengan mengaksentuasikan nilai seperti mengenal diri, demokrasi, 32 33
Ibid., h. 10 Dapat dilihat kurikulum 2004 dan KTSP 2006.
keikhlasan dan bahkan tentang tasamuh. Namun, dalam kompetensi dasar pembelajaran justru cenderung hanya dalam konteks keterampilan membaca al-Qur‟an dalam makna yang sederhana, sehingga pembentukan karakter yang diinginkan tidak mendapat perhatian utama. Khusus untuk domain al-Qur‟an/Hadits ini, didominasi oleh alQur‟an dan boleh dikatakan ruang untuk Hadits tidak mendapat sentuhan. Dalam materi keimanan tampaknya memiliki konten yang jauh lebih sedikit dibandingkan materi untuk al-Qur‟an/Hadits. Pembelajaran keimanan untuk siswa SLTA diarahkan agar siswa dapat mengamalkan keimanan dalam kehidupan seharihari yang berfokus pada pembentukan keimanan kepada; 1) Allah dan menghayati sifat-sifatNya. 2) malaikat dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 3) rasul-rasul Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 4) kitab-kitab Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 5) hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 6) qadha dan qadar dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari.34 Seolah-olah tidak banyak perbedaan mendasar antara kompetensi yang dituntut pada siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang memberikan pengetahuan dan keyakinan akan rukun iman. Yang membedakannya terletak pada pengembangan materinya. Dalam kurikulum KTSP, pengembangan materi adalah upaya kreativitas guru menghubungkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan konteksnya. Dalam hal pengembangan rasa keimanan pada seseorang terhadap suatu ajaran agama bukanlah semata-mata persoalan pengajaran, tetapi bagaimana meyakinkan subjek didik bahwa mereka semestinya memiliki keyakinan yang sama dengan pendidiknya. Hal ini tentu melibatkan pengembangan rasio dan pengamatan dunia empiris. Walaupun pada KTSP, guru memiliki hak otonom mengembangkan silabus dan materi pembelajaran, namun setelah dilihat sampel bukubuku ajar yang menjadi pegangan kebanyakan guru, belum mencerminkan kalimatkalimat argumentatif yang dapat menggiring terbentuknya keyakinan itu.
34
Kurikulum PAI untuk SLTA, h. 10
Begitu pula jika dilihat pada sektor syari‟ah, akhlak dan sejarah Islam, kesemuanya lebih bersifat dogmatik dari pada argumentatif.
E. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan keagamaan siswa pada tingkat tingkat SLTA? Zakiah Daradjat35 dalam bukunya psikologi agama menyebutkan, bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan remaja dapat di bagi dalam tiga tahapan yang pada masing-masingnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
1. Fase Pueral Pada masa ini anak remaja tidak mau lagi jika dikatakan anak- anak, tetapi mereka juga belum siap untuk menyandang prediket dewasa. Biasanya priode ini anak remaja selalu merasa gelisah, cemas dan berada pada posisi yang tidak nyaman. Pada priode ini, anak remaja selalu bimbang menerima tetapi juga tidak mampu untuk menolak suatu norma yang diajukan dalam agama.
2. Fase negatif. Pada fase ini anak remaja menunjukkan sikap kritis, menentang dan bahkan bisa saja menolak suatu ajaran yang disokong oleh agama. Reaksi yang ditonjolkan remaja dalam banyak hal tergantung pada fenomena perilaku keagamaan yang ada di lingkungan masyarakatnya. Nalar mereka yang bersifat formal operasional menjadikan mereka melihat Agama hanya sebatas symbol belaka, bukan sebagai sesuatu yang mesti diaktualisasikan jika mereka melihat adanya perilaku orang-orang beragama di sekitarnya tidak selaras antara pengakuan dan ucapan mereka dengan apa yang mereka lakukan. Pada fase ini anak remaja sulit untuk dapat menerima perbedaan paham dan adanya aliran-aliran dalam agama yang dapat menjadikan mereka bimbang menentukan nilai yang mesti mereka ambil dari agama. Dalam hal ini mereka cenderung bersikap skeptis dan bahkan mungkin menolak ajaran agama, sehingga 35
Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1976, hlm. .
banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaan walaupun selama masa anak-anak mereka lakukan dengan penuh kepatuhan. 3. Fase positif Fase positif ini merupakan suatu tahapan perkembangan keagamaan yang biasanya muncul seiring dengan munculnya kematangan intelektual mereka. Sikap negatif yang selama ini tampil dalam sikap keagamaan mereka mulai bergerak ke arah yang lebih positif. Mereka telah dapat menerima kenapa adanya perbedaan pemahaman dan cara pengalaman orang berbeda-beda dan bahkan mungkin ada yang bertentangan. Sikap ini muncul dalam beberapa indikasi, seperti menjadikan agama sebagai pegangan hidupnya, sehingga ia pun telah mulai memandang nilai-nilai agama dalam konteks agama yang dianutnya. Dalam tahapan perkembangan ini, seseorang telah dapat membedakan antara agama sebagai doktrin dan manusia sebagai subjek yang menganutnya. Pada priode ini, banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan perkembangan moral, emosi dan intelektual mereka. Para remaja ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Pada prinsipnya anak remaja mempertanyakan agama bukan karena mereka ingin menantang atau mungkin menolaknya, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan intelektual dan emosial mereka.36 Keyakinan akan agama mereka merupakan produk interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam konteks sosial.37 Tesis ini meniscayakan pembelajaran Agama pada tahap ini mesti dengan melibatkan intelektual, emosi dan mereka. Dengan demikian, pembelajaran Agama mestilah dengan mengikutsertakan system berpikir ilmu pengetahuan yang dapat meyakinkan mereka bahwa Agama itu memang mereka butuhkan. Sesungguhnya materi Pendidikan Agama Islam telah menyentuh kebutuhan siswa SLTA, terutama dalam kompetensi standar untuk al-Qur‟an/Hadits seperti tentang
David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and problems of Adolescen development, Grune & Stratton, New York, 1954, 269-270 37 Ibid. 36
pengenalan diri, baik mengenai tugas dan fungsi manusia, keikhlasan dan sebagainya, begitu juga dalam bidang aqidah, fiqh, akhlak dan tarikh. Dalam hal pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa fenomena beragama remaja yang mesti menjadi bahan pertimbangan bagi guru dalam menentukan silabus mata pelajaran seperti berikut: 1. bahwa remaja cenderung beragama hanya karena untuk mengatasi kecemasan dan rasa frustasi dalam menghadapi berbagai problem hidup termasuk kematian. Akibatnya, memunculkan sikap beragama mereka yang hanya karena ikut-ikutan. 2. bahwa remaja beragama didorong oleh keinginan mereka menjaga norma kesusilaan dan tata tertib yang terdapat dalam masyarakat, sehingga dengan demikian sikap beragama yang semata karena menjaga atau memelihara tata hubungan sesama. 3. bahwa remaja beragama karena ingin memuaskan dorongan intelektual mereka. Hal ini berdampak pada munculnya kesadaran akan nilai-nilai agama38
Sikap kepercayaan pada tuhan memiliki hubungan signifikan dengan pendidikan dan kebiasaan anak di masa kecil. Ketika anak tidak pernah dikenalkan dengan nilai agama sejak dini dan tidak terbiasa hidup dalam tatanan keteraturan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai, maka seiring dengan berkembangnya intelektual, emosi, dan sosial mereka, mereka pun merasakan kehadiran agama hanya mengganggu kebebasan dan kesenangan mereka. Hal ini bila didukung pula dengan situasi tekanan hubungan orang tua dan lingkungan yang tidak sehat, maka mereka melihat norma sebagai pembatas dan penekan kebahagiaan mereka saja. Kondisi ini pemicu utama lahirnya sikap menolak dan ketidak percayaan pada nilai. Dalam konteks ini sekolah mesti memiliki catatan pribadi anak agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memberikan kondisi yang cocok bagi pembinaan dan pembentukan karakter mereka.
Uraian ini dapat dilihat lebih lanjut Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, hal 9 38
F. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan moral siswa pada tingkat tingkat SLTA? Perkembangan
moral
umum
remaja
bersifat
altruistik,
suatu
kecenderungan berperilaku moral atas dasar apa yang disukai dan diakui oleh kelompoknya. Kendatipun anak remaja telah memiliki perkembangan intelektual yang cukup tinggi, namun mengingat dalam mengekspresikan pengetahuan moralnya dipengaruhi oleh perkembangan psikis yang lain seperti sosial dan emosi, maka perilaku moral anak remaja belum bersifat otonom secara penuh. Mereka dibatasi oleh kecenderungan sikap solidaritas dan keinginan diterima dalam group mereka yang kuat, menjadikan remaja lebih memilih perilaku moral yang didasarkan atas pertimbangan groupnya.39 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kohlberg40 pada tahun 1963, perkembangan moral dapat dibagi ke dalam beberapa level, yaitu pra konvensional; Konvensional; dan post konvensional. 1. Tingkat Pra Konvensional
Pada level ini, anak memberikan putusan moralnya atas dasar pemberian nilai dari kekuatan otoritas orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga anak pada tingkat ini terlihat tanggap dengan aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini semata-mata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Tingkatan putusan moral ini dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu Tahap
Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983, h. 334-335. 40 Dapat dilihat umpamanya N.L. Gage and David C. Berliner., Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifleflin Company, Boston, 1984, hlm 170-174. Hal yang sama juga dikutip oleh Elizabeth Hall. Op. Cit., h. 334-335. Lihat pula Gerhard Portele, “Moral Development and Education” dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983, hlm., 31-32. Bandingkan pula dengan Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxford University Press, New York, 1980, hlm. 164. 39
putusan moral yang berorientasi pada hukuman dan kepatuhan dan Tahap putusan moral yang berorientasi pada Relativis-instrumental. Nilai moral pada level ini lebih ditentukan oleh konsekuensi psiologis dari perilaku itu. Di sini anak berbuat baik semata-mata dengan pertimbangan perlindungan fisik, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari konsekuensi perilaku moral itu. Pendeknya pada tahap perkembangan ini, nilai moral anak hanya semata-mata karena ingin menghindar dari hukuman dan atau dorongan ketundukannya pada otoritas, belum karena memang menyadari bahwa perilaku itu memang baik untuk dirinya. Walaupun anak telah tekun melakukan nilai-nilai kebaikan, tetapi hal itu semata-mata bukan karena mereka menilai bahwa tindakannya itu bernilai untuk dirinya sendiri dan bukan pula karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi tetapi semata-mata karena didorong oleh rasa takut akan hukuman dan otoritas orang di sekitarnya. Berbeda dengan tahap pertama, maka pada tingkat Orientasi Relativisinstrumental, perbuatan yang baik bagi anak adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan. 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakatnya. Di sini anak hanya memandang bahwa mengikuti sesuatu tatanan sosial itu bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa perlu mempertimbangkan akibat yang segera dan
nyata, sehingga pada level ini, terlihat sikap loyal seseorang untuk kelompoknya. Bahkan secara aktif senantiasa mempertahankan, mendukung dan atau membenarkan normanorma sosial yang berlaku. Tingkatan konvensional ini dalam prosesnya melalui dua tahap perkembangan, yaitu tahap berusaha menyenangkan orang-orang terdekat dengan dirinya, sehingga dalam hal berbuat baik selalu atas dasar pertimbangan sosial (social justice),41 di satu sisi dan dibangun di atas kepatuhan atas otoritas dan tatanan sosial. 3. Tingkat Pasca-Konvensional Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki landasan moral yang kukuh untuk diterapkan dalam kehidupan. Pada tingkat ini, seseorang berperilaku moral tidak lagi karena desakan sosial, tetapi lebih atas dasar kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai moral. Dikatakan, bahwa pada level ini, terdapat dua tahapan, yaitu tahap penerapan konsensus bersama atas nilai moral. Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diterima sebagai nilai yang dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat. Pada level berikutnya, seorang anak justru berada pada perbuatan moral yang berorientasi pada hukum moral universal. Untuk yang terakhir ini, hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis umum. Bangunan pendidikan akhlak SLTA diarahkan pada:
1. Pembiasaan berperilaku terpuji dan menghindari yang tercela dengan kategori pembiasaan husnuzzhan terhadap Allah; 2. Pembiasaan bersikap gigih, berinisiatif dan rela berkorban; 3. Pembiasaan bersikap benar terhadap lingkungan; 4. Pembiasaan diri menghindari sifat hasad, ria dan aniaya; 5. Menerapkan tata kerama dalam perkaian, berhias dan bertamu; 6. Membiasakan bertaubat 7. Bersikap raja‟ Dapat dilihat lebih lanjut Norman A. Sprinthall., “Moral and Psychological Development: A Curriculum for Secondary Schools” dalam Thomas C. Hennessy, S.J. (Ed.),, Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976, hlm., 44-45 41
8. Menghindari perbuatan merampok, membunuh, a susila, pelanggaran HAM 9. Membiasakan siswa berbuat baik terhadap kaum lemah 10. Menghargai karya orang lain 11. Mengamalkan perilaku ridha, produktif, efisien, adil dan bijaksana 12. Menghindari perbuatan riddah 13. Menghindari perbuatan berlebih-lebihan, sifat pengunjing, pengadu domba, sifat penyebar fitnah 14. Menerapkan perilaku tasamuh dengan menjaga kerukunan dan persatuan 15. Mampu bersikap positif terhadap ilmu pengetahuan42 Kompetensi dasar ini terlihat menjadikan pendidikan moral dalam konteks dogmatis. Siswa diminta untuk menjalankan norma yang sudah disediakan tanpa memberi kesempatan kepada mereka sebagai remaja untuk secara mandiri menentukan dirinya. Padadal pada usia SLTA ini siswa telah dapat dituntutn akalnya untuk mampu membuat putusan-puutusan moral bagi dirinya. Hal ini diperkuat oleh hasil riset Kohlberg maupun Piaget yang menunjukkan, bahwa semua orang, anak-anak, remaja bahkan orang dewasa pada prinsipnya adalah pemikir moral dalam tatanan system berpikir yang berbeda-beda, sesuai dengan system kognisinya.43 Bahkan menurutnya, alasan moral itu tergantung pada alasan logisnya. 44 Hal ini dikuatkan pula oleh hasil riset Harry B. Kavanagh45 yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan putusan moral pada anak yang berintelegensi tinggi, sedang ataupun rendah. Kecuali itu, mengingat karakter seseorang ditentukan oleh fungsi personality dan lingkungannya, sedangkan fungsi personality itu selalu dibangun atas tiga system, yaitu system motivasi, kognisi dan moral, maka kurikulum Pendidikan Agama Islam juga
Dapat dilihat lebih lanjut pada kurikulum PAI SLTA tahun 2004 dan atau 2006 Ibid., hlm. 45. 44 Kohlberg seperti dikutip oleh Gerhard Portele, “Moral Development and Education”, dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983, hlm., 31 45 Harry B. Kavanagh, “Moral Development in a High School program” dalam Thomas C. Hennessy, S.J., (Ed)., Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976, hlm. 133. 42 43
diarahkan pada pembangunan kognisi yang ditopang dengan tindakan motivasi moral dan pembiasaan sebagai suatu yang tidak terlepaskan. Hal ini sesuai dengan tingkat perkembangan seusia siswa SLTA yang menjadikan moralitasnya tergantung pada:
1. Tipe personal dalam melihat baik buruknya suatu tindakan yang dalam banyak hal tergantung pada pengalaman hidup dan pembiasaan. 2. Tahap kematangan pola pikir dan kesadaran moral 3. Pembiasaan nilai moral dari orang tua, guru dan masyarakat 4. Lingkungan hidup di mana nilai-nilai moral itu dikembangkan 5. Faktor sosial ekonomi yang berdampak pada pola dan gaya hidup46 G. Relevansi Isi Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan Tingkat Perkembangan Sosial Siswa pada Tingkat Tingkat SLTA Perkembangan sosial siswa SLTA merupakan suatu perkembangan psikologis yang beriringan dengan dorongan perkembangan moral dalam dirinya. Perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antar manusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup bersama sesama manusia. Dalam konteks ini perhatian mereka mulai tertuju pada pergaulan di dalam masyarakat dan mereka membutuhkan pemahaman tentang norma kehidupan yang lebih kompleks. Pergaulan mereka banyak diwujudkan dalam bentuk kehidupan berkelompok terutama dengan kelompok sebaya. Di sini mereka mempelajari banyak hal, baik yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, maupun adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan mencoba mempelajari pentingnya norma-norma itu bagi diri mereka.47 Sebagai anak remaja, siswa SLTA bersosialisasi secara baik dengan teman sebayanya. Mereka dalam hal ini cenderung lebih agresif dalam membangun pola
Dirangkum dari David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and Problem of Adolecent Development, Grune & Stratton, New York, 1954, hlm., 255-262 47 Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, hlm. 331. 46
interaksi dengan teman sebaya mereka, bahkan melampaui hubungan sosialnya dengan orang dewasa lain di masyarakat sekitarnya.48
Diakui memang bahwa kompetensi sosial anak ini memiliki hubungan signifikan dengan perkembangan kognitif anak seperti berpikir, mengingat, persepsi dan atau problem solving sebagai kegiatan intelektual.49 Oleh karena itu, dalam membangun karakter mereka, diperlukan adanya upaya pengembangan intelektual mereka dengan juga memperhatikan tingkat perkembangan sosialnya. Bila diperhatikan kurikulum PAI untuk SLTA, ada banyak dimensi standar kompetensi yang dapat dicapai dengan pelibatan siswa dalam konteks kelompok yang akan mencerdaskan mereka dalam menata hubungan sosial antara sesama mereka. Sebagai contoh dapat kemukakan standar-standar kompetensi sebagai berikut: 1. Mengenal manusia sebagai khalifah 2. Menerapkan perilaku demokrasi dalam kehidupan sehari-hari 3. Membiasakan perilaku terpuji 4. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Makkah 5. Menjelaskan pengertian adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan atau menerima tamu. 6. Menjelaskan pengertian hasad, riya, aniaya dan diskriminasiMenyebutkan contoh perilaku hasad, riya, aniaya dan diskriminasi 7.
Menghindari hasad, riya, aniaya dan diskriminasi dalam kehidupan seharihari
8. Memahami hukum Islam tentang zakat, haji dan wakaf 9. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Madinah 10. Membiasakan kompetisi dalam kebaikan
Elizabeth Hall, Ibid., h. 332-334 Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxporrd University Press, New York, 1980, h. 101. 48 49
11. Menyantuni kaum Dhu‟afa 12. Memahami hukum Islam tentang Mu‟amalah. 13. Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan (1250 – 1800) 14. Menghargai karya orang lain 15. Menghindari perbuatan dosa besar 16. Bertoleransi antar sesama umat beragama 17. Membiasakan perilaku adil, ridha dan amal shaleh 18. Memahami Hukum Islam tentang Hukum Keluarga 19. Memahami perkembangan Islam di Indonesia 20. Memahami dan mengambil hikmah perkembangan Islam di dunia 21. Membiasakan memupuk persatuan dan kerukunan 22. Memahami Hukum Islam tentang Waris50 Kecerdasan sosial sebagai kapasitas psikologis siswa dalam berkarya dan berhubungan dengan sesama manusia, mendapat porsi yang lebih banyak dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Hal ini sangat refresentatif untuk pendidikan karakter, karena memang sebahagian besar potensi psikis manusia ditentukan oleh kecerdasan sosialnya. Dan dalam Islam pun terlihat bahwa hampir kesemua nuansa peribadatan individual sekalipun bermuara pada dimensi sosial.
H. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan kecerdasan Emosi siswa SLTA Emosi adalah corak afektif yang kuat dalam diri seseorang dan biasanya ditandai dengan adanya perubahan fisik. Umumnya, pola emosi remaja masih sama dengan pola ekspresi emosi mereka pada masa anak-anak, seperti perasaan cinta, gembira, cemas, marah, takut, gelisah dan sedih yang kesemuanya juga mereka alami saat masa anak-
Lihat lebih lanjut kurikulum Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , 2004 dan 2006. 50
anak. Perbedaannya hanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan cara pengendaliannya. Emosi adalah gambaran pengalaman afektif yang merupakan asimilasi keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang terlihat dari perubahanperubahan pada fisik, seperti memerahnya wajah, gemetaran, pucat basi, jantung berdebar, pegal-pegal dan lain sebagainya. Eksistensi emosi ini sangat memegang arti yang tinggi bagi kesuksesan seseorang. Anak-anak umpamanya tidak akan dapat belajar sepanjang mereka mengadakan penolakan untuk belajar. Bahkan efektivitas pembelajaran di kelas adalah ketika guru mampu mengarahkan emosi siswanya untuk bersemangat untuk itu.51 Piaget dan Freud menekankan bahwa ada hubungan yang tidak terelakkan antara perkembangan emosi dan kognitif. Seseorang tidak dapat berpikir dengan baik jika berada dalam suasana emosi yang tidak stabil.52
Emosi sebagai suatu peristiwa
psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut : a. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap) c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan. Emosi sensoris merupakan suatu jenis emosi yang muncul akibat adanya rangsangan dari luar terhadap tubuh seseorang, sehingga memunculkan suatu tekanan yang berlebih atau berkurang dalam diri, seperti rasa sakit, segar, lelah, lapar, kenyang dan sebagainya. Sedangkan emosi kejiwaan lebih berupa keseluruhan dorongan kuat dalam diri yang menjadikan seseorang bertindak atas dasar kehendak jiwanya, seperti sedih, cemas, amarah, senang, bahagia, dan lain sebagainya yang berupa segala tindakan yang didesak oleh tekanan kejiwaan. Henry Clay Lingdgron, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxpord University, New York, 1980, hlm. 108. 52 Ibid., hlm 108 51
Emosi dibutuhkan oleh manusia untuk memperkukuh kehendak diri untuk melakukan aktivitasnya. Jika seseorang itu merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapainya, maka ia akan menunjukkan emosi senang dan bahagia dan ini akan mempertinggi semangat hidupnya untuk berbuat yang pada akhirnya mempertinggi daya kreativitas dan daya juangnya. Sebaliknya, apabila emosi seseorang tampil dalam rupa rasa kecewa atas hasil yang ia kerjakan, maka semangatnya akan melemahkan dan keadaan ini akan memunculkan rasa putus asa dalam diri. Ketegangan emosi pada anak remaja, dapat menghambat atau mengganggu konsentrsi belajarnya, bahkan mungkin menimbulkan sikap gugup, gerogi dan ataupun gagap dalam berbicara. Emosi berperan dalam mengarahkan aksi dan tingkah laku remaja, sehingga memungkinkan dirinya mengontrol tingkah lakunya. Sedemikian rupa eksistensinya dapat pula memberi arti terhadap pengalaman belajar remaja dalam keseluruhan aktivitas berpikir seperti menyimpan, mengorganisasi dan mengingat kembali pengalaman; menggagas pengalaman baru; memecahkan masalah; berpikir kreatif, selektif, logis, dapat memahami kalimat lisan maupun tulisan, memahami konsep kuantitas, waktu, ruang, sebab-akibat yang bersifat relatif dan sebagainya. Kecuali itu, kecerdasan emosional ini dapat pula membentuk konsep diri, pengertian atas diri memisahkan realitas dan fantasi mengendalikan tingkatan perkembangan emosi, sosial dan intelektual. Kecerdasan emosi merupakan suatu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi diri sendiri. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dapat merasakan, memahami, dan secara selektif dapat mengoptimalkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Singkatnya, kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi ini dapat dikembangkan dengan menggunakan beberapa cara, seperti:
1. Menempatkan siswa sebagai siswa. Emosi anak berbeda dengan perkembangan emosi orang dewasa dan karenanya mengenali perasaan anak sewaktu perasaan yang dirasakan terjadi
merupakan dasar bagi kecerdassan emosional. Oleh karena itu, upaya memantau perasaan anak dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi pemahahaman diri mereka. 2. Mengelola emosi sebagai kekuatan mental. Menangani perasan anak agar dapat terungkap dengan tepat seperti kemampuan untuk menghibur anak, melepaskan kecemasan kemurungan atau ketersinggungan, atau akibat yang muncul karena kegagalan dan mengubahnya menjadi suatu kekuatan anak dalam menghadapi problem, penting bagi pendidikan karakter. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi perhatian dan kasih sayang untuk memotivasi anak dalam melakukan kreasi secara bebas. Di sini perlu ada hubungan harmonis dan terbuka antara pendidik dan subjek didik. Memenej emosi menjadi kekuatan dapat dilakukan dengan mengatur pola komunikasi. Berkomunikasi dan atau melayani dengan hati diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan atau yang dikatakan anak dengan reaksi atau penilaian. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain kematangan psikis dan belajar serta kondisi-kondisi kehidupan atau kultur. Emosi mempengaruhi tingkah laku, misalnya rasa takut menyebabkan seseorang gemetar, sulit bicara, malas, tindak kekerasan dan lain sebagainya. Emosi dapat pula karena pengaruh kondisi fisik, taraf kemampuan intelektual, dan kondisi lingkungan. Biasanya, emosi pada masa remaja meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kalenjar. sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Rangsangan pembelajaran yang menghasilkan perasaan menyenangkan akan mempermudah siswa dalam belajar. Sebaliknya, rangsangan pembelajaran yang menhasilkan perasaan tidak menyenangkan akan mengganggu semangat
siswa dalam mengikuri proses pembelajaran. Intelegensi tinggi memang diperlukan seseorang untuk memampukan dirinya mengendalikan diri sendiri dan orang lain, namun dalam banyak hal, keberhasilan seseorang tidak sematamata ditentukan oleh intelegensi. Ada unsur lain yang yang justru banyak mengambil peran, yaitu faktor emosi. kecerdasan emosi diperlukan seseorang untuk menyokong kesuksesan dalam hidup. Aspek ini memungkinkan orang menghidupkan segala kemampuan yang dimilikinya serta mengembangkannya dalam bentuk perilaku nyata. Bahkan kecerdasan emosi ini pun dapat membangun kecerdasan lain seperti kecerdasan sosial, moral dan agama. Sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi dapat membangun konsep diri dan kepribadian subjek didik.53 Tujuan pengembangan kecerdasan emosional adalah agar seseorang itu memiliki kompetensi emosional. Kompetensi emosional meliputi kompetensi individual dan sosial. Kompetensi sosial yaitu kemampuan berelasi, berempati terhadap yang lain.
Bahkan menurut Elizabeth B. Hurlock,54 pengaruh
lingkungan sosial terhadap perubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal mereka. Yang menjadi persoalan adalah karena mengingat, kematangan sosial anak usia siswa SLTA menjadikan mereka menentukan nilai berdasarkan nilai dari teman sebaya yang didukung pula dengan perkembangan emosi mereka yang belum stabil. Kondisi ini menjadikan percaya akan Tuhan pada masa ini tidak tetap, eksistensinya tergantung pada siapa yang menjadi teman mereka di samping kondisi emosi mereka. Dikatakan, bahwa biasanya anak remaja akan merasa butuh terhadap agama ketika mereka tengah menghadapi masalah dan dilemma hidup, terutama saat-saat mereka dalam kondisi gelisah, cemas dan mengalami kegagalan dalam Bandingkan dengan (http://multiply.com/user/join?connect=jovandc) Hurlock, Elizabeth B., Adolescent Development, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo, 1973, Lihat juga Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random Hous, New York, 1983, hlm. 334-335. 53 54
hidupnya. Untuk kepentingan ini, pendidikan agama Islam perlu ditata dalam tatanan membangkitkan semangat memperbaiki diri, semangat dalam beragama, membantu sesama, dan sikap-sikap lain yang berkenaan dengan nilai keagamaan, moral dan sosial. Hampir semua isi kurikulum pendidikan Agama Islam untuk SLTA menyentuh pendidikan emosi, baik bidang al-Qur‟an/Hadits, Aqidah, Syari‟ah, Akhlak maupun Tarikh. Namun mengingat pencerdasan emosi terkait dengan reaksi psikis terhadap perlakuan yang diberikan, maka pendidikan karakter yang terkait dengan pencerdasan emosi agar subjek didik memiliki kemampuan pengendalian diri, sikap sabar dan tekun dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran maka diperlukan keterampilan pendidik mengatur situasi pembelajaran yang membangkitkan semangat berbuat, berkarya, saling menghargai dan memperhatikan sesama. H. Penutup Walaupun dalam banyak hal riset ini belum mencerminkan keseluruhan isi temuan dalam penelitian yang dilakukan, semoga dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan masa depan pendidikan. Penulis senantiasa membuka diri untuk semua masukan dan kritikan, karena hanya dengan cara demikian tulisan ini akan bermakna bagi pengembangan dunia keilmuan. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis bertawakkal Sang Pemilik Kebenaran sejati.
Refrensi Al-Farabi, “Fuzul Mumtaza`ah fi `Ilm al-Akhlaq” dalam Majid Fakhry, al-Fikr al-Islam
fi al-`Arabiy, juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1980. Al-Isfahani, Raghib, Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur`an, Ed. Nadim Mar`asyliy, Dar al-Katib al-`arabiy, t.tp., t.t.
Bertrand Russell, Pergolakan Pemikiran (kumpulan karangan), Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta, 1988. Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1976. David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and problems of Adolescen development, Grune & Stratton, New York, 1954. Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983. Gerhard Portele, “Moral Development and Education” dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics
and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983. Harry B. Kavanagh, “Moral Development in a High School program” dalam Thomas C. Hennessy, S.J., (Ed)., Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976. Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxford University Press, New York, 1980. Hilda Taba; Curriculum Development; Theory and Practice, Harcout, Brace & World, Inc, new York, 1962. http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg20773.html. http://multiply.com/user/join?connect=jovandc Hurlock, Elizabeth B., Adolescent Development, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo, 1973, Lihat juga Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random Hous, New York, 1983. Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, Mahdawi, Bairut, 1398 H. I.R.Poudjawijatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bintang Obor, Jakarta, 1982. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan OSLTAn Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Extraits par Madeleine Le Bras, Libraire Larousse, Sarbonne, 1973
Kurikulum 2004; Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah , Departemen Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Tahun 2003. Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Rafika Aditama, Bandung, 2011. Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, PPs UIN Suska Press, Pekanbaru, 2007. N.L. Gage and David C. Berliner, Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1984. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta Norman A. Sprinthall., “Moral and Psychological Development: A Curriculum for Secondary Schools” dalam Thomas C. Hennessy, S.J. (Ed.),, Values and Moral
Development, Paulist Press, New York, 1976. Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968. Wahab (Sumber: Republika Online Collected By pararmuslim.com. W.F.R. Hardie, Aristotle`s Ethical Theory, Clarendon Press, Oxford, 1980.