ANALISIS YURIDIS TERHADAP WALI NIKAH BAGI ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN SIRI The Legal Analysis of Marriage Guardians for Children Born in A “Siri” Marriage Chaerana, Musakkir dan M. Arfin Hamid
ABSTRACT This study aims to conduct a legal analysis of marriage guardians for female children born in a siri marriage (unregistered marriage), who have got married in Sidenreng Rappang regency. This research was conducted as a descriptive study by using legal normative and socio-legal approaches. It used primary and secondary data analyzed by using qualitative technique. The results show that the determination of marriage guardian by marriage registration office is based on the investigation on the woman that is going to get married, and her parents / guardians. The considerations is made by referring to written evidence, testimony, confession, and or based on the decision of religious court. If the siri marriage of the woman`s parents was in line with Islamic law, the woman`s nasab guardian (the woman`s male nearest relative) will be the marriage guardian. If the siri marriage of the woman`s parents was not in line with Islamic law, the judge guardian will be the woman`s marriage guardian. If a nasab guardian refuses to be the marriage guardian, the judge guardian will be the marriage guardian as it is decided by the religious court. Key Words : Marriage Guardians, Children born in a “siri” marriage
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara yuridis terhadap wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan siri yang telah menikah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan normatif hukum dan sosiologi hukum, melalui teknik analisis secara kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penetapan wali nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) didasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap anak perempuan yang akan menikah dan orang tuanya/walinya, dengan pertimbangan antara lain alat bukti tertulis, kesaksian, pengakuan, dan atau berdasarkan putusan pengadilan agama. Jika perkawinan siri orang tuanya dilakukan sesuai dengan syar`i (hokum Islam) maka wali nikahnya adalah wali nasab. Namun apabila perkawinan siri orang tuanya tidak sesuai dengan syar`i maka wali nikahnya adalah wali hakim. Kalau wali nasab menolak menjadi wali nikah, maka berdasarkan putusan pengadilan agama diputuskan dengan wali hakim. Kata Kunci : Wali Nikah, Perkawinan Siri bagi Anak perkawinan itu sendiri merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat.
PENDAHULUAN Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan
Lembaga perkawinan dalam agama Islam merupakan sesuatu yang luhur, sakral,
1
bermakna ibadah, mengikuti sunnah Rasulullah, dan yang dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab serta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, dengan tujuan untuk membentuk keluarga. Keluarga terdiri atas: ayah, ibu dan anak. Salah satu tujuan dalam membentuk keluarga adalah untuk memperoleh keturunan. Kehadiran anak itu sendiri menimbulkan hubungan-hubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya. Hubungan-hubungan tersebut berimplikasi pada mulai persoalan legitimasi sampai pada persoalan kewarisan.
merupakan ramuan dari fiqih munakahat menurut apa adanya dalam kitab-kitab fiqih klasik dengan disertai sedikit ulasan dari pemikiran kontemporer tentang perkawinan dengan hukum perundang-undangan negara yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan. (Amir Syariffudin, 2009: 2) Mengenai sahnya perkawinan menurut hukum Islam, Pasal 4 KHI mengatur: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) KHI mengatur: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Selanjutnya pasal 5 ayat (2) menyatakan: “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.” Kemudian dalam Pasal 6 ayat (1) KHI: “Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.” Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (2): “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 menyebutkan bahwa “pencatatan mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954.”
Hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan. Hukum perkawinan memegang peranan sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hazairin mengungkapkan bahwa dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat (Hazairin, 1982: 1). Permasalahan hukum perkawinan sebagai suatu bagian dalam hukum kekeluargaan, memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan kompleks. Salah satu ruang lingkup bidang hukum perkawinan adalah menyangkut tata cara perkawinan, syarat sahnya perkawinan, termasuk di dalamnya adalah menyangkut hukum perkawinan siri (bawah tangan) dengan segala implikasinya. Ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang berlaku secara positif untuk semua warga negara. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. UU ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan sebagai aturan pelengkapnya adalah Kompilasi Hukum Islam yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden N0. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Terkait dengan pencatatan perkawinan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang oleh sebagian orang cukup menyulitkan sehingga sebagian orang menempuh cara-cara dalam melakukan perkawinan tanpa melalui proses pencatatan oleh pihak yang berwenang, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu bentuk perkawinan yang menjadi fenomena dalam masyarakat adalah perkawinan atau nikah siri yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku mengenai perkawinan. Perkawinan siri pada kenyataannya tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi hal ini pun terjadi di daerah-daerah.
Khusus berkenaan dengan KHI yang di dalamnya memuat hal-hal yang menyangkut tentang hukum perkawinan yang bersifat operasional dan diikuti oleh penegakan hukum dalam bidang perkawinan itu 2
Dualisme antara hukum formal (negara) dan agama (fikih) sepanjang sejarah negeri ini sangat berliku, karena usaha transformasi hukum fikih ke dalam undang-undang negeri ini tidaklah mudah. Pada masa pendudukan Hindia Belanda, dikenal salah satu teori formulasi hukum agama ke dalam perundangan yaitu teori Receptio in Complexu. Teori ini menyatakan bahwa tiap individu muslim terikat secara utuh dengan hukum Islam sebagai sebuah agama yang dianutnya. Faham teori ini dibesarkan oleh tokoh-tokoh seperti LWC Van Den Berg, Salomon Keizer, dan C. Frederik Winter. Berlandaskan teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk pengadilan agama di pulau Jawa dan Madura pada tahun 1882 yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa perkawinan dan kewarisan. Dalam perjalanannya kemudian, bermunculan teori-teori hukum di negeri ini sebagai anti tesa dari teori sebelumnya, salah satunya adalah teori eksistensialisme yang mengemukakan bahwa : Hukum Islam adalah sebagai bagian integral dari hukum nasional. Hukum Islam ada sebagai sebuah kemandirian, kekuatan dan kewibawaan yang diakui oleh hukum nasional dan merupakan hukum nasional Indonesia. Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahanbahan hukum nasional. (Hermanto Harun dan Adi Irfan Jauhari. 11 Maret 2010.
Perkawinan siri pada dasarnya tidak diakui oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu perundang-undangan tentang perkawinan, sehingga berimplikasi tidak hanya pada konsekuensi administrasi dan legal standing perkawinan, tetapi juga berimplikasi pada keberadaan istri dan anakanak yang dilahirkannya, terutama pada masalah akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak-anak yang dilahirkannya, salah satunya mengenai penetapan wali nikahnya. Salah satu kasus yang terjadi di dalam masyarakat adalah penetapan wali nikah berdasarkan wali nasab berterhadap perkawinan antara perempuan Maryam dengan laki-laki Ismail, yang terjadi pada tahun 2005. Si Maryam adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan siri yang dilakukan oleh H. Lojeng dengan Hj. Patang. Pada saat perkawinan akan dilangsungkan bapaknya Maryam (H. Lojeng)) telah meninggal, begitupun dengan kakeknya (bapaknya H. Lojeng)) dan seterusnya ke atas. Adapun saudara laki-lakinya yang sekandung tidak ada, sehingga PPN menetapkan perwaliannya (wali nikah) jatuh ke saudara laki-lakinya yang sebapak (lain ibu), yaitu Baharuddin. Alasan PPN atau P3N menetapkan wali nikahnya berdasarkan wali nasab, adalah bahwa meskipun perkawinan antara H. Lojeng dengan Hj. Patang tidak diakui secara hukum negara karena kawin siri akan tetapi secara syar`i perkawinan tersebut adalah sah karena dilakukan sesuai dengan syariat Islam, yaitu terpenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan menurut syariat Islam.
Ada banyak alasan yang dikemukakan oleh para pelaku nikah siri, seperti rumitnya proses pencatatan perkawinan, jauhnya tempat pencatatan (Kantor Urusan Agama), mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, bahkan ada yang beralasan bahwa perkawinan siri dilaksanakan supaya terhindar dari perbuatan zina yang sangat dilarang (haram) menurut Islam, Sebagaimana dalam Al-Qur`an, surah Al-Isra`(17) ayat 32:
Nikah siri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah nikah yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam, secara sembunyi-sembunyi atau dirahasiakan. Maksudnya, tidak melalui pencatatan perkawinan oleh pihak yang berwenang (PPN) sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang perkawinan, namun terpenuhi rukun dan syarat serta tidak adanya larangan kawin dalam agama (Islam) bagi keduanya. Dalam hal perkawinan siri ini terjadi dualisme hukum, yaitu hukum negara (undang-undang perkawinan disingkat UUP) dan hukum agama atau hukum Islam (fiqih).
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra`: 32) Pro-kontra nikah siri menjadi polemik yang cukup penting untuk dibahas, apa lagi jenis pernikahan ini dibalur dengan kepentingankepentingan para pihak yang merasa diuntungkan. Juga, jika pembahasan ini ditarik ke ranah perdebatan fiqih, semakin 3
masih menjadi polemik, mengenai sah atau tidaknya sehingga berimbas juga pada penetapan wali nikah bagi anak perempuannya.
mempertegas pro-kontra tersebut. Dalam perspektif fiqih yang memiliki karakter opsional sebagai konsekwensi perbedaan hasil ijtihad, sudah dapat dipastikan, perbedaan sudut pandang (ikhtilaf) akan selalu ditemukan. Selama masalah tersebut tidak masuk wilayah qath`i, maka pasti dtemukan dua pendapat yang saling berhadapan. Wilayah silang pendapat ini sering menjadi grey area (wilayah abu-abu) yang kerap terasa samar dan bahkan disamarkan. Di Wilayah perbedaan dan perdebatan ini yang kemudian dijadikan justifikasi para pelaku nikah siri. (Hermanto Harun dan Adi Irfan Jauhari. 11 Maret 2010.)
Berdasarkan latar belakang di atas maka ada kecendrungan untuk mengakui atau mengesahkan nikah siri yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam, yaitu memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan, sehingga menetapkan atau mengakui wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri berdasarkan wali nasabnya, yaitu wali nikah dari bapak atau keluarga bapaknya. Oleh sebab itu penulis perlu menelaah lebih dalam untuk mendapatkan kejelasan mengenai hal tersebut.
Nikah siri sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini, dilaksanakan sesuai dengan agama (Islam), hanya saja tidak dilakukan pencatatan oleh pejabat yang berwenang melakukan pencatatan. Pencatatan itu sendiri belum merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat kita dewasa ini. Putusan MA RI, Reg No: 3752K/Pdt/1996 tanggal 30 September 1996 menyatakan sah perkawinan yang dilakukan menurut tata cara adat Cina dan tidak didaftarkan di catatan sipil. (Darwan Prinst, 2003: 40). Hal ini menambah keyakinan bagi pelaku kawin yang tidak didaftarkan, akan sahnya perkawinannya menurut hukum, termasuk kawin siri yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam.
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka permasalahannya dibatasi pada dua bagian pokok, sebagai berikut: 1. Siapa yang berwenang menjadi wali nikah terhadap anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri yang menikah menurut hukum Islam? 2. Bagaimana alasan-alasan yang menjadi pertimbangan bagi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam menetapkan wali nikah bagi anak yang lahir dari perkawinan siri? METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Sidenreng Rappang. Dipilihnya Kabupaten Sidenreng Rappang sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang tentu saja masyarakatnya sebagian besar masih memegang kuat aturan-aturan berdasarkan hukum Islam. Salah satu contohnya adalah masih tingginya tingkat populasi terjadinya perkawinan siri. Akibat lebih lanjut bahwa masih tingginya tingkat perkawinan yang wali nikahnya adalah berasal dari perkawinan siri, yaitu sebanyak 853 jumlah perkawinan berdasarkan dokumentasi perkawinan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Sidenreng Rappang, terjadi antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, dan yang paling banyak terjadi di Kecamatan Panca Lautang yaitu sebanyak 183 perkawinan, yang menimbulkan masalah yuridis dalam penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan siri.
Implikasi dari perkawinan siri, tidak hanya berimplikasi pada konsekwensi administrasi dan legal standing perkawinan, tetapi juga berimplikasi pada keberadaan istri dan anakanak yang dilahirkannya, terutama pada masalah akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak-anak yang dilahirkannya termasuk kedudukan wali nikahnya. Wali yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wali nikah bagi anak perempuan yang beragama Islam, bukan pada harta benda. Difokuskannya penelitian ini pada masalah wali nikah bagi anak perempuan yang lahir akibat dari perkawinan siri, yang telah menikah karena dalam realitasnya masalah tersebut masih menjadi perdebatan di tengahtengah masyarakat. Perdebatan tersebut terjadi karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan tidak mengakui perkawinan siri tersebut. Akan tetapi disisi lain, perkawinan siri menurut hukum Islam 4
yang diwawancarai langsung di lapangan untuk memperoleh informasi yang akurat dalam penelitian ini, antara lain: lima belas orang wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri, yang telah menjadi wali nikah, dan satu orang Pegawai Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN) serta tiga orang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten Sidenreng Rappang. Untuk melengkapi data tersebut, peneliti juga melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Pencatatan Sipil Kabupaten Sidenreng Rappang terkait dengan penerbitan akta kelahiran bagi setiap warga Negara di Kabupaten Sidenreng Rappang, khususnya yang terkait dengan penerbitan akta kelahiran bagi anak yang lahir dari perkawinan siri.
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan data yang berhasil dihimpun atau didapatkan oleh peneliti terhadap penetapan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri di sebelas Kantor Urusan Agama Kecamatan, sebagai lembaga yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan bagi orang yang beragama Islam di Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu Kantor Urusan Agama pada sebelas Kecamatan, yaitu Maritengngae, Dua Pitue, Panca Rijang, Baranti, Watang Pulu, Tellu Limpoe, Panca Lautang, Pitu Riawa, Watang Sidenreng, Pitu Riase, dan Kulo. Data tersebut diperoleh berdasarkan dokumen perkawinan mengenai penetapkan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri. Sampel yang digunakan sebagai keterwakilan dari keseluruhan populasi yang akan diteliti adalah: 1. Lima belas orang yang ditetapkan sebagai wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan siri, yang telah menikah, selaku responden di Kecamatan Panca Lautang. Pemilihan responden dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode purvosive sampling atau ditentukan berdasarkan kriteria, yaitu kriteria waktu berlangsungnya perkawinan, yaitu antara tahun 1999 sampai dengan 2009. 2. Satu orang pegawai Kantor Urusan Agama selaku pejabat pencatat nikah (Pegawai Pencatat Nikah) dan tiga orang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten Sidenreng Rappang.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Wali Nikah bagi Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan siri Dalam menetapkan wali nikah harus memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Hubungan hukum sebagai sebab lahirnya hubungan perwalian dalam perkawinan, yaitu: a. Adanya hubungan nasab, yaitu dengan wali nasab; b. Adanya hubungan yang lahir karena ditetapkan oleh hukum, dengan wali hakim baik ditetapkan oleh PPN maupun berdasarkan putusan Pengadilan Agama. 2. Syarat-syarat wali nikah bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan siri, yaitu: a. Baligh ( dewasa); b. Berakal sehat dan tidak berada dalam pengampuan (Mahjur `alaih); c. Laki-laki; d. Muslim; e. Orang merdeka (bukan budak) Secara administratif, seorang yang ditetapkan menjadi wali nikah harus mengisi ruang yang telah tersedia dalam “Daftar Pemeriksaan Nikah” berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1990. A. Alasan yang menjadi Pertimbangan PPN dalam Menetapkan Wali Nikah bagi Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan siri, yaitu: 1. Berdasarkan bukti surat; 2. Berdasarkan kesaksian dan pengakuan, atau
Dalam upaya memperoleh data sebagaimana yang diharapkan, maka dalam penelitian ini digunakan metode sebagai berikut: 1. Penelitian kepustakaan (library research) Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan berdasarkan telaah kepustakaan yakni melalui literatur-literatur, peratuan perundang-undangan, dokumentasi dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Sidenreng Rappang, Kantor Urusan Agama pada sebelas kecamatan di Kabupaten Sidenreng Rappang, yang merupakan data sekunder. 2. Penelitian lapangan (Field research) Dalam penelitian ini pengumpulan data, berupa data primer yang berasal dari sumber 5
3. Berdasarkan Agama.
Putusan
Pengadilan
KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, maka pada bab ini penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Penetapan wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan siri yang sesuai dengan syariat Islam adalah dengan wali nasab. Adapun wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan siri yang tidak sesuai dengan syariat Islam adalah dengan wali hakim. Sedangkan apabila wali nasab itu adhal ( menolak untuk menjadi wali nikah) maka ditetapkan dengan wali hakim setelah ada putusan Pengadilan Agama. Untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu perkawinan siri menurut syar`i, maka PPN harus melakukan pemeriksaan yang teliti dan sungguh-sungguh sehingga penetapan wali nikah terhadap anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan siri sesuai dengan ketentuan syar`i dan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2. Alasan yang menjadi Pertimbangan PPN dalam Menetapkan Wali Nikah bagi Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan siri, yaitu: 3. Berdasarkan bukti surat; a. Berdasarkan kesaksian dan pengakuan, atau b. Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA Amir Syariffudin (2009), Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta. Hazairin (1982). Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur`an dan Hadits. Tintamas, Jakarta. Hermanto Harun dan Adi Irfan Jauhari. 11 Maret 2010. Dualisme Nikah Sirri.
6