EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP HEPAR MENCIT BALB/c SKRIPSI Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Disusun oleh:
Nihayatul Kamila NIM : 1113103000079
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
LEMBAR PENGESAHAN
iv
KATA PENGANTAR بسم هللا الرحمن الرحيم Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP HEPAR MENCIT BALB/c”. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad SAW, beserta keluarga serta sahabatnya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara umum skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, prosedur penelitian serta hasil dan pembahasan dari pengujian tentang efek pemberian ekstrak daun zaitun sebagai pengobatan asma terhadap hepar mencit BALB/c. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, arahan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT, selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. dr. Nurul Hiedayati, Ph.D dan Ibu Dr. Endah Wulandari, S.Si, M.Biomed selaku dosen pembimbing I & II yang telah membimbing, memberikan arahan, nasihat serta masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini v
4. dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK dan dr. Muniroh, Sp.PK selaku dewan penguji penelitian saya untuk waktu, ilmu dan tenaga dalam memperbaiki laporan penelitian ini 5. Ibu Nurlaely Mida R, M.Biomed, Ph.D selaku penanggungjawab laboratorium Animal House yang telah membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini khususnya dalam perlakuan hewan coba 6. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset PSKPD 2013, dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku PJ Laboratorium Farmakologi, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku PJ Laboratorium Histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan laboratorium pada penelitian ini 7. dr. Dyah Ayu Woro Setyaningrum, M.Biomed, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed dan seluruh dosen pengajar Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter dan FKIK UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis 8. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa sehingga saya bisa meneruskan pendidikan di PSKPD FKIK UIN Jakarta 9. Kedua orang tua tercinta, Sarpin dan Sukiyati yang selalu memberikan kasih sayangnya, nasihat, dukungan serta doa. Juga pada adik saya, Ahmad Rosyad Hilmi serta seluruh keluarga besar saya yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada saya dalam menempuh pendidikan di PSKPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10. Abdirrohman Al-Hamdany, Aris Adi Purnomo, Muhammad Iqbal Dzaki Asy’ari, Latifatul Bariyah dan Rahmei Sofia selaku kelompok riset saya yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam pengerjaan skripsi ini 11. Kak Syifa Qurrotu Aini, S.Ked, Tiara Bayyina dan teman-teman Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter 2013 yang telah memberikan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini
vi
12. Mbak Dien Fitri selaku Laboran Histologi, Pak Rachmadi selaku Laboran Farmakologi yang telah membantu kami dalam penggunaan laboratorium 13. Teman-teman Puri Laras 1 dan CSSMoRA UIN Jakarta 2013 yang selalu bersama dan menemani saat duka maupun suka 14. Teman-teman Akselerasi Generasi 1 dan seluruh guru MA Matholi’ul Anwar yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat 15. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak penulis sebutkan dalam pengerjaan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan masukan dari para pembaca agar laporan penelitian ini menjadi lebih baik. Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis pada khususnya.
Ciputat, 24 Oktober 2016
Nihayatul Kamila
vii
ABSTRAK Nihayatul Kamila. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Efek Pemberian Ekstrak Daun Zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c, 2016 Penggunaan obat herbal telah meningkat di masyarakat dunia. Zaitun (Olea europaea L.) adalah tanaman yang berasal dari kawasan Mediterania yang biasa digunakan sebagai obat herbal. Meskipun telah banyak penelitian kesehatan tentangnya, namun pelaporan tentang efek samping ataupun efek yang tidak diinginkan dari penggunaan zaitun masih sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak daun zaitun dengan dosis 100 dan 200 mg/kgBB terhadap hepar mencit BALB/c sebagai pengobatan asma per oral dan inhalasi yang diberikan selama 7 hari. Hasil penelitian adalah penurunan persentase hepatosit dengan nukleus abnormal pada dosis 100 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok kontrol (p >0,05 ; p >0,05). Sedangkan pada dosis 200 mg/kgBB didapatkan peningkatan persentase hepatosit dengan nukleus abnormal (p <0,05 ; p <0,05). Simpulan, ekstrak daun zaitun memberi respon baik dan aman untuk digunakan dalam pengobatan asma pada dosis 100 mg/kgBB. Kata kunci : daun zaitun, nekrosis hepatosit ABSTRACT Nihayatul Kamila. Medical Education Study and Doctor Profession. Effect of Olive Leaves Extract (Olea europaea L.) in Asthma Treatment on Liver of BALB/c Mice. 2016 The using of herbal medicine has been increasing worldwide. Olive (Olea europaea L.) is native to the Mediterranean region that usually use for herbal medicine. Although many studies have been conducted to prove its medical properties, often report on the adverse effects or unwanted effects of olive is not sufficiently enough. This aim of this study was to investigate the effects of 100 and 200 mg/kg body weight doses of olive leaves extract on liver of BALB/c mice orally and intranasal over the course of 7 days. The results indicated decreasing of hepatocyte with abnormal nucleus percentage at 100 mg/kg body weight dose comparing with control group (p >0,05 ; p >0,05). Whereas 200 mg/kg body weight dose was showed increasing of hepatocyte with abnormal nucleus percentage (p <0,05 ; p <0,05). Conclusion, olive leaves extract giving a good response and safety for using in asthma treatment at 100 mg/kg body weight dose. Keywords : olive leaves, hepatocyte necrosis
viii
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL ........................................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................................. v ABSTRAK ................................................................................................................ viii DAFTAR ISI............................................................................................................... ix BAB I ............................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 1.1.
LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
1.2.
RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3
1.3.
HIPOTESIS .................................................................................................. 4
1.4.
TUJUAN PENELITIAN .............................................................................. 4
1.5.
MANFAAT PENELITIAN.......................................................................... 4
1.5.1
Penelitian ............................................................................................... 4
1.5.2
Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) .......................................................... 4
1.5.3
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ............................................. 4
BAB II .......................................................................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 5 2.1.
Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) ........................................................... 5
2.1.1.
Morfologi dan Klasifikasi Tanaman ................................................... 5
2.1.2.
Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun ............................... 7
2.1.3.
Farmakokinetik Zaitun ........................................................................ 9
2.2.
Efek Samping Penggunaan Herbal ............................................................. 9
2.3.
Hepar ........................................................................................................... 11
2.3.1.
Anatomi Hepar .................................................................................... 11
2.3.2.
Histologi Hepar ................................................................................... 13
2.3.3.
Fisiologi Hepar .................................................................................... 19 ix
2.4.
Respon Sel dan Jaringan terhadap Jejas ................................................. 20
2.5.
Respon Hepar terhadap Bahan Kimia atau Herbal ............................... 22
2.6.
Respon Hepar terhadap Pemberian Ovalbumin ..................................... 24
2.7.
Asma ............................................................................................................ 25
2.8.
Definisi Operasional ................................................................................... 27
2.9.
Kerangka Teori ......................................................................................... 28
2.10.
Kerangka Konsep ................................................................................... 29
BAB III....................................................................................................................... 30 METODE PENELITIAN ......................................................................................... 30 3.1.
Desain Penelitian ........................................................................................ 30
3.2.
Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 30
3.3.
Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 30
3.3.1.
Alat ....................................................................................................... 30
3.3.2.
Bahan ................................................................................................... 31
3.3.3.
Kriteria Inklusi.................................................................................... 31
3.3.4.
Kriteria Eksklusi ................................................................................. 32
3.4
Variabel Penelitian ..................................................................................... 32
3.4.1
Variabel Bebas .................................................................................... 32
3.4.2
Variabel Terikat .................................................................................. 32
3.5
Cara Kerja Penelitian ................................................................................ 32
3.5.1.
Penyimpanan Simplisa ....................................................................... 32
3.5.2.
Pembuatan Ekstrak ............................................................................ 32
3.5.3.
Adaptasi Hewan Coba ........................................................................ 33
3.5.4.
Sensitisasi Hewan Coba ...................................................................... 33
3.5.5.
Pemberian Ekstrak Daun Zaitun terhadap Mencit ......................... 33
3.5.6.
Induksi Ovalbumin ............................................................................. 34
3.5.7.
Pengambilan Organ Hepar ................................................................ 34
3.5.8.
Pembuatan Preparat ........................................................................... 35
3.5.8.1.
Dehidrasi....................................................................................... 35
3.5.8.2.
Clearing ......................................................................................... 35
3.5.8.3.
Embedding .................................................................................... 35
3.5.8.4.
Pencetakan.................................................................................... 36 x
3.5.8.5.
Pemotongan jaringan .................................................................. 36
3.5.8.6.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ................................................. 36
3.5.9.
Cara Pengamatan Mikroskop Hepar ................................................ 37
3.5.10. Penghitungan Persentase Kerusakan Hepatosit .............................. 38 3.6.
Alur Penelitian ............................................................................................ 39
3.7.
Managemen Data ........................................................................................ 40
BAB IV ....................................................................................................................... 41 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 41 4.1.
Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 41
4.2.
Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 45
BAB V ........................................................................................................................ 46 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 46 5.1. Simpulan ......................................................................................................... 46 5.2. Saran ................................................................................................................ 46 BAB VI ....................................................................................................................... 47 KERJASAMA PENELITIAN ................................................................................. 47 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 48 LAMPIRAN............................................................................................................... 52
xi
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1 Produk herbal dengan potensi toksik.................................................................... 10 2.2 Kriteria untuk terminologi drug-induced liver injury.......................................... 23 3.1 Kelompok perlakuan............................................................................................. 31 7.1 Hasil uji normalitas............................................................................................... 59 7.2 Hasil uji homogenitas........................................................................................... 59 7.3 Hasil uji Kruskall Wallis....................................................................................... 59 7.4 Hasil uji post hoc LSD.......................................................................................... 60
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
2.1 Buah zaitun (Olea europaea L.) .......................................................................... 6 2.2 Anatomi hepar mencit.......................................................................................... 12 2.3 Gambaran histologi hepar manusia...................................................................... 18 2.4 Perbandingan hepar mencit dan manusia pada perbesaran rendah....................... 18 2.5 Perbandingan hepar mencit dan manusia, area porta............................................ 19 2.6 Karakteristik morfologis nekrosis........................................................................ 22 4.1 Gambaran mikroskopik hepar setelah pemberian ekstrak zaitun......................... 42 4.2 Grafik persentase kerusakan hepatosit dengan nukleus abnormal....................... 43 7.1 Surat hasil determinasi bahan uji.......................................................................... 52 7.2 Aklimatisasi hewan coba...................................................................................... 55 7.3 Pemberian ekstrak daun zaitun oral……….......................................................... 55 7.4 Nebulisasi hewan coba......................................................................................... 56 7.5 Pembiusan hewan coba......................................................................................... 56 7.6 Pengambilan jaringan hewan coba....................................................................... 57 7.7 Penyimpanan jaringan hewan coba pada larutan formalin................................... 57 7.8 Timbangan............................................................................................................ 58
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1 Hasil Determinasi / Identifikasi Bahan Uji.............................................................. 52 2 Penghitungan Sampel.............................................................................................. 53 3 Penghitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun............................................................... 54 4 Dokumentasi Penelitian........................................................................................... 55 5 Hasil Uji Statistik..................................................................................................... 59 6 Riwayat Penulis....................................................................................................... 62
xiv
DAFTAR ISTILAH Al(OH)3
: Alumunium hidoksida
ALP
: Alkaline phosphatase
ALT
: Alanine aminotransferase
NO
: Nitrit oksida
NF-κB
: Nuclear Factor-κB
IL
: Interleukin
OVA
: Ovalbumin
PPAR-α
: Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-α
ROS
: Reactive Oxygen Species
PBS
: Phosphate Buffer Saline
TNF-α
: Tumor Necrosis Factor-α
ACE
: Angiotensin-converting-enzyme
LDL
: Low-density lipoprotein
HSV
: Herpes Simplex Virus
RBP
: Retinol-Binding Protein
SRAA
: Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
IGF
: Insulin Growth Factor
DILI
: Drug-induced liver injury
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Menurut WHO, pengobatan herbal meliputi tanaman, bahan, pengolahan dan produk herbal yang mengandung zat aktif dari bagian tanaman tertentu, kandungan lain tanaman, atau kombinasi keduanya. Praktik pelayanan pengobatan herbal telah berkembang pesat saat ini dan digunakan secara luas di seluruh dunia.1 Di Amerika, pengobatan herbal telah digunakan sekitar 20% populasi dewasa dan penggunaan tersebut lebih tinggi di kawasan China, Afrika Selatan dan Amerika Latin.2 Di Indonesia, penggunaan pengobatan herbal mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebanyak lebih dari dua kali dibanding enam tahun sebelumnya.3 Zaitun (Olea europaea L.) merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai pengobatan, tanaman ini berasal dari Mediterania dengan penyebaran cukup luas hingga ke beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan Perancis. Meskipun pembuatan minyak zaitun dimulai pada dekade selanjutnya, namun minyak zaitun telah disebutkan untuk pertama kalinya pada naskah ―San Diego de Alcala Mission‖ pada tahun 1803.4 Selain kawasan Eropa, zaitun juga mengalami penyebaran menuju daerah Asia dan Afrika.5 Naskah Yunani kuno juga telah menyebutkan mengenai kegunaan minyak zaitun dalam kesehatan. Dalam konteks keagamaan, zaitun beberapa kali disebutkan dalam ayat Al-Quran, salah satunya dalam Surat An-Nur ayat 35 zaitun disebut sebagai buah yang diberkahi.5 Saat ini tanaman zaitun telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Dalam pengobatan tradisional zaitun digunakan sebagai senyawa diuretik, hipotensif, laksatif, penurun panas, pembersih dan penghalus kulit, serta sebagai terapi dari infeksi saluran kemih, batu empedu, asma bronkial, dan diare. Sebagaimana telah diketahui bahwa minyak zaitun memiliki nilai nutrisi yang tinggi,
1
2
bagian lain dari tanaman zaitun juga mempunyai manfaat bagi kesehatan, diantaranya daun zaitun. Daun zaitun telah banyak digunakan sebagai diuresis dan hipotensif karena memiliki efek vasodilatasi. Selain itu, daun zaitun juga memiliki kandungan calcium elenolate yang telah teruji sebagai agen antiviral. Studi lain juga menyebutkan bahwa ekstrak daun zaitun memiliki manfaat sebagai antimikroba terutama terhadap S. Aureus, P. Aeruginosa dan E. Coli serta antioksidan terkait kandungannya yaitu oleuropein.6,7 Manfaat lain dari ekstrak tersebut yaitu sebagai anti-diabetik dan anti-inflamasi.6 Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang berperan sebagai anti-inflamasi dengan kemampuan menghambat pelepasan mediator kimiawi, sintesis sitokin Th2 (IL-4 dan IL-13), dan ekspresi ligan CD40 melalui afinitasnya yang tinggi terhadap sel mast dan basofil sebagai pengekspresi reseptor IgE.8 Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas yang ditandai dengan bronkospasme episodik reversibel.9 Hal ini ditandai dengan peningkatan level IgE di darah dan infiltrasi eosinofil di saluran napas. Perkembangan penyakit ini dimediasi oleh sitokin IL-4 dan IL-5, IgE, eosinofil, serta beberapa mediator seperti leukotriene, produk siklooksigenase, dan fosfolipase.10 Banyak studi yang membuktikan manfaat zaitun terhadap asma melalui kandungan flavonoid yang dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi.8 Hal tersebut dibuktikan dengan penurunan respon IgE dan eosinofil serta remodelling saluran napas dengan pemberian zaitun.11 Dalam masyarakat, berkembang opini bahwa suplemen atau produk herbal lebih aman dibanding obat-obatan konvensional mengingat produk tersebut berasal dari alam.1 Namun pada kenyataannya obat herbal juga memiliki efek samping yang mungkin terjadi akibat penggunaan yang tidak benar, konsentrasi –baik dosis maupun jangka pemberian– dan formulasi tertentu dari herbal.12 Selain itu, aspek ekstrinsik berupa kontaminasi, gangguan pencampuran, dan kesalahan identifikasi tanaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya efek samping.1 Meskipun banyak khasiat yang berhubungan dengan zaitun, namun belum banyak data yang menjelaskan mengenai dosis yang menyebabkan efek samping dari penggunaan zaitun.13 Sebuah studi
3
mengemukakan bahwa pemberian ekstrak zaitun dalam dosis tinggi dapat menginduksi perubahan hematologi, biokimia, dan gambaran histopatologi organ hepar dan renal. 12,13 Secara farmakokinetik, obat, baik sintetik maupun herbal akan melalui berbagai tahap yang mencakup 4 proses, yakni absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.14 Begitupun zaitun sebagai obat herbal akan melewati keempat proses tersebut, diantaranya metabolisme yang utamanya terjadi di organ hepar.15 Semua bahan kimia, termasuk herbal pada jumlah konsentrasi dan frekuensi paparan tertentu dapat memiliki potensi untuk menimbulkan cedera sel. Saat suatu zat sudah mencapai kadar toksik, semua sel yang terpapar, termasuk sel-sel dalam organ hepar akan berespon dan beradaptasi. Cedera sel tersebut dapat bermanifestasi dengan perubahan jumlah, ukuran, fungsi, maupun fenotip dari sel yang terpajan zat toksik.9 Cedera hepar akibat obat atau toksik (Drug-induced liver injury/DILI) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu kerusakan hepatosit, gangguan vaskular, hiperplasia, dan neoplasia.9,16 Sebuah penelitian yang dilakukan R. Arantes Rodrigues, et al (2011) mengemukakan bahwa pada pemberian ekstrak daun zaitun pada konsentrasi 0.25%, 0.50%, dan 0.75% didapatkan gambaran hiperplasia duktus biliaris, kolestasis, nekrosis hepatosit, dan infiltrasi sel radang. Selain itu, pada dua dosis tertinggi didapatkan zaitun dapat menyebabkan fibrosis hepar.13 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c. 1.2. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c?
4
1.3. HIPOTESIS Hipotesis penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma tidak memberikan efek toksik dan tidak menyebabkan kerusakan hepar yang signifikan pada organ hepar mencit BALB/c. 1.4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c dengan melihat gambaran histopatologi. 2. Mengetahui dosis ekstrak zaitun yang aman untuk digunakan. 1.5. MANFAAT PENELITIAN Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk: 1.5.1
Penelitian Informasi mengenai efek daun zaitun pada fungsi hepar dapat digunakan
sebagai data untuk penelitian selanjutnya 1.5.2
Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan meningkatkan
pemahaman mengenai efek daun zaitun pada fungsi hepar 1.5.3
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Dapat digunakan sebagai dasar terapi alternatif pada pelayanan kesehatan bila
diketahui pengobatan dengan ekstrak daun zaitun memiliki efek samping minimal melalui berbagai uji preklinik maupun uji klinik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) 2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Tanaman Zaitun merupakan tumbuhan dengan pohon yang tebal dan tidak terlalu tinggi, umumnya panjangnya sekitar 10 meter. Batang zaitun memiliki diameter yang lebar dan relatif bengkok serta sedikit terpelintir, serta memiliki banyak cabang. Zaitun memilki daun yang berbentuk lanset atau oval, berukuran kecil, pendek, sempit dan tipis dengan tekstur kasar dan warna hijau pucat pada permukaan atas serta keabuan pada permukaan bawah. Ukuran daun zaitun 4-10 cm panjangnya dan lebar sekitar 13 cm. Bunga dari zaitun kecil dan berwarna putih-krem dengan kelopak berjumlah 4 lobus. Buah zaitun berukuran kecil, dengan kulit luar berwarna hitam keunguan dan biji yang keras. Kulit kayu tanaman zaitun berwarna abu pucat seperti pada gambar 2.1.17 Berdasarkan ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi tumbuhan zaitun (Olea europaea L.)4 Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Sub-famili Genus Spesies Sub-spesies
: Plantae : Magnoliophyta : Rosopsida : Lamiales : Oleaceae : Oleidae : Olea : Olea europaea : cuspidate laperrinei maroccana cerasiformis guanchica europaea 5
6
Gambar 2.1. Buah zaitun (Olea europaea L.). Sumber: Olive Germplasm – The Olive Cultivation, Table Olive and Olive Oil Industry in Italy, 2012
Tanaman zaitun merupakan tanaman asli dari kawasan Mediterania dengan penyebaran cukup luas hingga ke beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan Perancis. Pada tahun 1560, penjelajah Spanyol membawa batang dan biji zaitun menuju Peru, kemudian zaitun ditemukan di Meksiko. Tentara Perancis membawa zaitun beserta tanaman lain dari Meksiko menuju Kalifornia. Meskipun pembuatan minyak zaitun dimulai pada dekade selanjutnya, namun minyak zaitun telah disebutkan untuk pertama kalinya pada naskah ―San Diego de Alcala Mission‖ pada tahun 1803.4 Selain kawasan Eropa, zaitun juga mengalami penyebaran menuju daerah Asia dan Afrika.5 Tanaman zaitun tumbuh pada daerah tropis dan subtropis dengan letak geografis 30° sampai 45° dari garis ekuator.4,5 Zaitun merupakan tanaman yang tidak dapat tumbuh pada suhu di bawah 10°C.4 Oleh karena itu, tanaman zaitun dapat tumbuh di Indonesia karena Indonesia merupakan negara tropis yang selalu mendapat intensitas sinar matahari yang tinggi. Menurut estimasi, tanaman zaitun telah dibudidayakan sejak 7000 tahun silam. Sebuah bukti arkeologi menunjukkan bahwa zaitun telah ditanam di Crete pada tahun 3000 SM. Naskah Yunani kuno juga telah menyebutkan mengenai kegunaan
7
minyak zaitun dalam kesehatan. Dalam konteks keagamaan, zaitun beberapa kali disebutkan dalam ayat Al-Quran, salah satunya dalam Surat An-Nur ayat 35 zaitun disebut sebagai buah yang diberkahi.5 2.1.2. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun Zaitun mengandung setidaknya 30 komponen fenolik termasuk oleuropein, hidroksitirosol dan tirosol, luteolin, katekin, dan apigenin. Konsentrasi komponen fenolik sama pada setiap bagian tanaman zaitun, baik minyak maupun daunnya. 18 Fenolik memiliki daya absorbsi dan bioavailabilitas yang baik.12 Polifenol merupakan senyawa yang terkandung dalam semua bagian tanaman zaitun. Senyawa ini dapat meningkatkan konsentrasi NO (nitrit oksida) dan memberikan efek vasodilatasi. Oleh karena itu, zaitun dapat digunakan dalam pencegahan penyakit kardiovaskular. Bahkan ada studi yang mengatakan bahwa dosis harian dalam terapi hipertensi dapat diturunkan dengan konsumsi minyak zaitun.12 Flavonoid merupakan polifenolik metabolit sekunder yang umumnya ditemukan pada tanaman buah dan sayur, salah satunya zaitun. Sebagai antioksidan dan anti-alergi, senyawa ini mampu menghambat pelepasan mediator kimiawi, sintesis sitokin Th2, seperti IL-4 dan IL-13, dan ekspresi ligan CD40 melalui afinitasnya yang tinggi terhadap sel pengekspresi reseptor IgE seperti sel mast dan basofil. Konsumsi flavonoid dapat digunakan sebagai dietary treatment dan strategi preventif asma.8 Luteolin merupakan salah satu jenis flavonoid yang dilengkapi dengan efek anti-inflamasi dan anti-alergi. Sebuah studi menjelaskan bahwa luteolin dapat memodulasi respon inflamasi. Zat ini dapat menginhibisi ekspresi gen untuk NF-κB dan TNF-α, produksi sitokin pro-inflamasi (IL-5), pelepasan mediator seperti leukotriene dan prostaglandin.10 Oleuropein merupakan suatu iriode monoterpene. Senyawa ini menjadikan daun zaitun sebagai antioksidan alami paling kuat. Konstituen ini terbukti memiliki aktivitas vasodilatasi pada aorta tikus yang diisolasi. Selain itu, ditemukan juga
8
aktivitas yang tinggi dalam menghambat angiotensin-converting-enzyme (ACE).12 Barbara, et al (2014) menyebutkan bahwa oleuropein dapat mencegah terjadinya oksidasi LDL, baik in vitro maupun in vivo, zat ini mampu menginhibisi copperinduced oxidation serta menurunkan kadar kolesterol total, bebas, dan kolesterol ester dalam plasma pada studi yang menggunakan kelinci yang diinduksi diabetes.19 Efek antioksidan ini juga dapat menjadikan zaitun bermanfaat dalam mengurangi risiko penyakit degeneratif seperti rheumatoid artritis, diabetes, dan kanker. Maha, et al (2013) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun memiliki efek antihiperglikemik dan hipolipidemik kuat pada tikus yang diinduksi streptozotocin.20 Oleuropein memiliki efek inhibisi terhadap generasi leukotriene B4 yang berperan banyak dalam proses inflamasi dan juga dapat menghambat agregasi platelet dan produksi eukosanoid.18 Selain itu, ekstrak daun zaitun melalui kandungannya yaitu oleuropein mampu menjadi agen antimikroba yang efektif terhadap beberapa patogen, seperti Salmonella typhi, Vibrio parahaemolyticus, dan Staphylococcus aureus (termasuk penicillin-resistant strains); serta Klebsiella pneumonia, dan Escherichia coli, kuman patogen pada infeksi saluran percernaan dan pernapasan. Yaseen, et al (2007) melaporkan bahwa pada studi laboratorium, oleuropein secara langsung dapat menstimulasi aktivasi makrofag.6 Kandungan lain dari daun zaitun yaitu luteolin, katekin, apigenin, hidroksitirosol dan calcium elenolate. Luteolin memiliki kandungan anti-mutagenik dan anti-tumorigenik. Katekin termasuk bagian dari flavonoid yang memiliki efek antioksidan. Apigenin merupakan zat yang memiliki efek seperti oleuropein yang mempunyai manfaat anti-inflamasi.18 Sama halnya seperti oleuropein, hidroksitirosol juga memiliki efek antioksidan20 dan antimikroba yang bahkan lebih luas spektrumnya meliputi spektrum dari antibiotik ampisilin dan eritromisin.6 Calcium elenolate merupakan suatu derivat dari asam elenolik yang diketahui memiliki efek antivirus. Beberapa virus mampu dihambat oleh calcium elenolate diantaranya rhinovirus, myxovirus, herpes simplex virus 1 (HSV-1), HSV-2, herpes zoster,
9
encephalomyocarditis, polio 1, 2, 3, dua strain virus leukemia, serta berbagai strain virus influenza dan para-influenza.6 Tidak semua zat aktif dalam zaitun ada dan sama kadarnya dalam setiap bagian tanaman zaitun. Tidak seperti minyak zaitun, daun zaitun tidak mengandung jumlah yang signifikan terhadap senyawa tertentu, seperti monounsaturated fatty acids, asam oleik, dan squalene.18 2.1.3. Farmakokinetik Zaitun Daun zaitun memiliki kandungan senyawa oleuropein yang paling banyak dibanding bagian tanaman yang lain.19 Oleuropein akan mengalami serangkaian proses farmakokinetik dalam tubuh. Sebagaimana obat yang diberikan secara oral, oleuropein juga akan diabsorpsi utamanya di usus halus.21 Sebuah studi menyatakan bahwa komponen fenolik, termasuk oleuropein memiliki daya absorpsi dan bioavaibilitas yang baik.12 Selanjutnya herbal akan terdistribusi di dalam darah. Metabolisme merupakan proses kelanjutan dari distribusi yang utamanya terjadi di organ hepar. Metabolism ditujukan untuk mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan.14 Pada reaksi fase I, sebagian besar oleuropein akan mengalami hidrolosis dan terbentuk senyawa hidroksitirosol yang bersifat lebih polar. Selanjutnya pada reaksi fase II, akan terjadi glukoronisasi dan sulfasi yakni reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat dan asam sulfat. Pada fase ini, herbal menjadi sangat polar sehingga dapat larut air dan kemudian diekskresi di ginjal. Komponen terbanyak yang ditemukan dalam proses ekskresi adalah hidroksitirosol yang telah mengalami proses glukoronidasi.22 2.2. Efek Samping Penggunaan Herbal Dewasa ini, pengobatan herbal telah digunakan sekitar 20% populasi dewasa di Amerika, dan penggunaan yang lebih tinggi di wilayah China, Afrika Selatan, dan Amerika Latin.2 Tanaman herbal tradisional berbeda dengan zat tanaman herbal serupa yang digunakan dalam kedokteran (morfin, digitalis, atropin, dll) karena
10
tersedia tanpa memerlukan resep. Herbal alternatif tidak seperti obat bebas, oleh hukum dianggap sebagai suplemen makanan dan bukan obat sehingga tidak melalui pengawasan.23 Secara tradisional, masyarakat mengganggap bahwa herbal adalah produk yang aman dan tidak berbahaya. Padahal dalam penggunaan yang tidak benar, konsentrasi –baik dosis yang terlalu tinggi atau pemberian jangka panjang– dan formulasi tertentu dari herbal berpeluang menjadi bahaya.12 Beberapa literatur mengemukakan herbal yang sudah umum digunakan di masyarakat memiliki potensi toksik, seeperti yang tercantum pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Produk herbal dengan potensi toksik.2,23 Produk herbal
Manfaat
Efek toksik
Chaparral (Larrea tridentate)
Antimikroba, anti-aging, merawat kulit
Hepatitis akut, kolestasis, nekrosis hepatoselular
Germander (Teucrium genus)
Antiseptik, antipiretik, abdominal ailments, obesitas
Hepatitis akut, nekrosis sentrizonal, penyakit liver kronis dengan sirosis
Pennyroyal (Mentha pulegium, Hedeoma pulegioides)
Emmenagogue, abortifacient, anti-kutu untuk hewan peliharaan
Nekrosis sentrizonal
Glue thistle (Atractylis gummifera)
Emetik, diuretik, antipiretik
Nekrosis sentrizonal, nekrosis parasinar
Jin bu huan (Lycopodium serratum)
Sleeping aid, analgesik
Hepatitis akut, hepatitis kronis, steatosis mikrovesikular
Kava (Piper methysticum)
Stress relief, anti-anxietas, sleeping aid, premenstrual syndrome
Hepatitis akut, hepatitis fulminan
Mistletoe (Phoradendron dan Viscum geni)
Digestive aid, heart tonic, sedatif
Hepatitis akut
Royal jelly (Apis mellifera)
Tonik
Bronkospasme
Poke root (Phytolacca americana)
Antireumatik
Gastritis hemoragik
Ma-Huang (Ephedra sp.)
Membantu diet, stimulan,
Toksik terhadap sistem saraf pusat
11
Produk herbal
Manfaat
Efek toksik
bronkodilator
dan jantung
Aconite (Aconitum sp.)
Analgesik
Toksik terhadap jantung dan sistem saraf pusat
Borage (Borago officinalis)
Anti-inflamasi, diuretik
Hepatotoksisitas
Dragana, et al (2014) melakukan studi untuk melihat efek akut dari penggunaan ekstrak zaitun dosis tinggi pada tikus yang menderita hipertensi tanpa intervensi dan tikus Wistar normotensi. Studi tersebut mengemukakan bahwa ekstrak daun zaitun dosis tinggi menginduksi efek hipotensif sedang pada kelompok tikus hipertensi, namun tidak memberikan efek yang membahayakan pada hemodinamik (digambarkan melalui pTBAR/lipid peroxidation in plasma dan SOD/superoxide dismutase) pada kedua kelompok.12 Studi lain menyebutkan bahwa feeding dose (0.2-0.9%) ekstrak daun zaitun selama 6 minggu pada tikus Wistar dapat menginduksi hematologi dan biokimia, seperti abnormalitas hepatoseluler dan renal.12 Dalam mengidentifikasi efek samping suatu herbal, perlu dipertimbangkan aspek esktrinsik dari herbal selain kandungan intrinsiknya. Toksisitas herbal juga dapat disebabkan karena kontaminasi, gangguan pencampuran, dan kesalahan identifikasi tanaman.1 Kontaminan saat pengolahan herbal, seperti arsenik, cadmium, plumbum (lead) atau merkuri perlu dipertimbangkan.2 2.3.Hepar 2.3.1. Anatomi Hepar Hepar adalah organ visera terbesar dalam tubuh. Pada mencit, berat hepar dapat mencapai 2 gram atau sekitar 6% dari berat badan mencit. Sedangkan hepar manusia memiliki berat sekitar 1.500 gram atau 2% dari total berat badan. Secara letak anatomi, hepar manusia berbeda dengan mencit. Pada manusia, hepar terutama terletak di regio hipokondrium dextra dan epigastrium, serta meluas ke dalam regio
12
hipokondrium sinistra. Sedangkan pada mencit, hepar membentang sepanjang celah subdiafragma. Namun, hepar mencit memiliki struktur dan jumlah lobus yang sama dengan hepar manusia.24 Hepar memiliki 2 lobus, yakni lobus dextra dan sinistra hepatis yang dipisahkan oleh fossa vesicae biliaris dan vena cava inferior. Berdasarkan ukurannya, lobus dexter lebih besar daripada lobus sinister hepatis. Selain itu, terdapat pula lobus-lobus kecil yang menjadi bagian dari lobus dexter hepatis, yaitu lobus caudatus dan lobus quadratus. Ilustrasi organ hepar mencit dipaparkan pada gambar 2.2.25 Lobus quadratus terletak di pars anterior facies visceralis hepar dan dibatasi di sisi kiri oleh fissura ligament teretis dan pada sisi kanan oleh fossa vesicae biliaris. Lobus caudatus terletak di pars posterior facies visceralis hepar. Struktur ini dibatasi di sisi kiri oleh fissura ligament venosa dan di sisi kanan oleh sulcus vena cavae (inferior).25 Dalam hal vaskularisasi, hepar disuplai oleh beberapa arteri yaitu arteria hepatica dextra dari arteria hepatica propia dan arteria hepatica sinistra dari arteria hepatica propia. Kedua arteri tersebut merupakan cabang dari arteria hepatica communis dari truncus coeliacus.25 Truncus coeliacus sendiri menerima darah dari aorta abdominalis.26
Gambar 2.2. Anatomi hepar. Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
13
2.3.2. Histologi Hepar Komponen struktural hepar meliputi parenkim, stroma, sinusoid dan celah sinusoid seperti pada gambar 2.3. Parenkim, terdiri dari susunan lempeng hepatosit, yang pada orang dewasa lempeng tersebut terdiri atas satu baris sel yang dipisahkan oleh kapiler sinusoid dan tersusun radial terhadap vena sentral. Pada individu yang lebih muda berusia di atas 6 tahun, lempeng tersebut disusun oleh dua baris sel. Stroma, merupakan jaringan ikat yang nantinya juga akan membentuk simpai yang membungkus hepar, yakni kapsula Glisson. Pembuluh darah, saraf, pembuluh limfatikus, dan duktus biliaris menjalar ke dalam hepar melalui stroma jaringan ikat ini. Sinusoid, celah di antara lempeng hepatosit yang mengandung komponen mikrovaskular. Sinusoid ini terdiri atas lapisan diskontinu sel endotel bertingkap. Celah perisinusoid (celah Disse), merupakan celah antara epitel sinusoid dan hepatosit. Mikrovili hepatosit menonjol ke dalam celah tersebut untuk pertukaran sel hepatosit dengan plasma.26,27 Terdapat
tiga
cara
untuk
menggambarkan
struktur
hepar
dalam
mendeskripsikan berbagai jenis fungsi hepatosit – termasuk sekresi faktor protein ke dalam darah, sekresi komponen empedu, serta pengangkutan oksigen dan senyawa kecil lainnya dari darah.26 Ketiga macam konsep tersebut adalah lobulus klasik hati (classic hepatic lobule), lobulus porta (portal lobule), dan asinus hati (liver acinus).27 Lobulus klasik hati adalah cara tradisional untuk menggambarkan susunan parenkim hepar yang relatif mudah untuk divisualisasikan. Struktur ini terdiri dari anastomosis lempeng hepatosit dan didasarkan pada distribusi dari venula porta dan arteriol hepatik sebagai sudut dari struktur yang berbentuk heksagonal ini. Pada setiap pusat lobulus, terdapat vena sentral yang ukurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan venula porta. Vena sentral inilah yang menjadi muara dari aliran vaskular di sinusoid.27 Pada beberapa hewan mamalia, seperti babi, lapisan jaringan ikat yang mengelilingi tiap lobulus lebih tebal sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi struktur ini. Lobulus klasik hati mampu menjelaskan aliran darah dari area trias porta
14
-yang terdiri dari cabang vena porta, arteri hepatica, dan duktus biliaris- yang melalui hepatosit hingga bermuara di vena sentral. Pemikiran mengenai konsep ini menekankan fungsi endokrin struktur yang membentuk faktor untuk ambilan plasma.26 Pada tepi kanal porta terdapat celah antara stroma jaringan ikat dan hepatosit, celah sempit ini disebut sebagai celah periportal (space of Mall). Celah ini dianggap sebagai salah satu tempat cikal bakal keberadaan limfatik di hepar.27 Lobulus porta adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan fungsi eksokrin dari hepar yakni sekresi empedu. Morfologi dari lobulus porta menampilkan duktulus biliaris dari trias porta di bagian tengah yang melibatkan beberapa lobulus hepar sehingga secara kasar akan membentuk segitiga dengan vena sentral pada ketiga lobulus klasik sebagai sudutnya. Konsep ini mampu menjelaskan mengenai struktur parenkim hepar yang secara berlawanan dengan arah aliran darah mengalirkan empedu dalam menjalankan fungsinya sebagai organ eksokrin.26,27 Asinus hati merupakan bentuk yang merepresentasikan unit fungsional terkecil dari parenkim hepar. Aksis pendek dari asinus ini digambarkan oleh cabang terminal trias porta yang membentang di tepi antara dua lobulus klasik. Aksis panjang ditentukan dari dua vena sentral yang terdekat dari aksis pendek. Konsep ini menekankan sifat suplai darah ke hepatosit dan gradient oksigen dari arteri hepatica yang bercabang ke vena sentral. Hepatosit-hepatosit dalam konsep asinus dikategorikan dalam tiga zona elliptical yang mengelilingi aksis pendek. 26,27 Zona 1 adalah susunan hepatosit yang terdekat dengan aksis pendek dan suplai darah dari arteri hepatica. Zona ini memperoleh paling banyak oksigen dan nutrien, sehingga mudah untuk melaksanakan sebagian besar fungsi yang memerlukan metabolism oksidatif seperti sintesis protein. Jika terjadi gangguan sirkulasi, Sel dalam zona ini paling cepat beregenerasi dan mati paling lambat. Sel disini paling cepat mengalami perubahan morfologi ketika terjadi oklusi duktus biliaris (bile stasis) maupun adanya senyawa toksik. 26,27
15
Zona 3 adalah yang terjauh dari aksis pendek, dengan kata lain yang paling dekat dengan vena sentral. Zona ini memperoleh paling sedikit oksigen dan nutrient. Hepatosit dalam zona ini merupakan tempat untuk glikolisis, pembentukan lipid, biotransformasi obat, dan merupakan hepatosit pertama yang mengalami akumulasi lemak dan nekrosis iskemik. Sel-sel inilah yang paling akhir dalam merespon senyawa toksik dan keadaan bile stasis.26,27 Zona 2 memiliki kisaran pertengahan dalam hal morfologi dan fungsi metabolik antara zona 1 dan zona 3. Sel dalam zona ini memiliki variasi normal, baik aktivitas enzimatik, jumlah dan ukuran organel sitoplasmik, serta ukuran deposit glikogen sitoplasmik.26,27 Pembagian zona ini penting untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan pola degenerasi, regenerasi, dan efek toksik dari suatu senyawa yang dapat dikaitkan dengan derajat perfusi vaskular terhadap sel hepar.27 Suplai darah untuk parenkim hepar dilakukan oleh pembuluh darah yang menempati celah porta, yang disebut juga dengan pembuluh darah interlobular. Pembuluh darah tersebut akan melewati celah yang dinamakan sinusoid. Vena porta membawa darah yang berasal dari organ digestif dan mayoritas organ abdominal lainnya dan arteri hepatica yang merupakan cabang dari trunkus coeliacus dari aorta abdominalis yang kaya oksigen. Darah dari kedua sumber ini bercampur sesaat sebelum terjadinya perfusi ke hepatosit dan selanjutnya mengalir menuju vena sentral secara sentripetal. Vena sentral dari setiap lobulus klasik hati akan terkoneksi menjadi vena yang lebih besar, yakni vena sublobular, kemudian vena-vena sublobular akan berkonvergen menjadi vana hepatic yang lebih besar yang akhirnya mengalirkan darah ke vena cava inferior.27 Secara histologi, struktur vena porta sama seperti vena pada umumnya. Diameter lumennya lebih besar daripada arteri yang setara dengannya. Struktur dari arteri hepatica juga sama seperti arteri lainnya yang memiliki dinding muskular yang tebal. Vena sentral yang menerima darah dari aliran sinusoid juga merupakan pembuluh berdinding tipis layaknya vena pada umumnya. Endotel vena ini dikelilingi
16
jaringan ikat tipis yang tersusun spiral. Sedangkan vena sublobular memiliki jaringan ikat yang berbeda, yakni mengandung serat kolagen dan elastis.27 Sinusoid dikelilingi dan ditunjang selubung serat retikular halus.26 Selain sel endotel, ada sel lain yang berhubungan dengan sinusoid, yakni makrofag stelata atau disebut dengan sel Kupffer. Scanning electron microscope (SEM) dan transmission electron microscope (TEM) menunjukkan bahwa sel ini ditemukan di antara endotel dan permukaan luminal sinusoid. Sel Kupffer yang berasal dari monosit ini turut andil
dalam
sistem
fagositosis
mononuklear.27
Fungsi
utamanya
dalah
menghancurkan eritrosit tua, menggunakan ulang heme, menghancurkan bakteri atau debris, dan sebagai antigen presenting cell pada imunitas adaptif.26 Hal ini dibuktikan dengan keberadaan fragmen eritrosit dan ferritin dalam sitoplasma sel Kupffer.27 Menurut Lopez, et al (2011) sel Kupffer dapat ditandai dengan mikrosfer lateks berukuran 0.02 sampai 0.2 µm. Pada studi sebelumnya, disebutkan bahwa sel Kupffer lebih banyak ditemukan di area porta dan ukurannya lebih besar daripada di sekitar vena sentral.28 Sel ini mempunyai inti besar yang berbentuk bulat (ovoid) dan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Sel Kupffer terproyeksi ke dalam lumen seolah menutup sinusoid, namun sel ini tidak menutup celah tersebut karena konturnya yang bergerigi.27 Dalam celah perisinusoid, terdapat sel stelata hepatic (sek Ito). Sel ini mengandung droplet kecil lipid yang menyimpan vitamin A dalam bentuk retinyl ester. Vitamin A keluar dapat dikeluarkan dari sel ini sebagai retinol yang terikat dengan retinol-binding protein (RBP), yang kemudian ditranspor ke retina guna membentuk pigmen sel batang dan kerucut retina.27 Plasma yang terisa di celah perisinusoid dialirkan ke celah periportal (space of Mall). Dari tempat ini, cairan mengalir ke pembuluh limfatikus yang berjalan bersama komponen lain dari trias porta. Cairan limfatik mengalir searah dengan aliran empedu (dari level hepatosit ke celah porta) menuju pembuluh yang lebih besar kemudian ter-drainase di duktus thorasikus.27
17
Hepatosit merupakan sel poligonal besar dengan diameter 20 sampai 30 µm. Pada sediaan yang dipulas dengan hematoksisilin dan eosin (H&E), sitoplasma hepatosit bersifat eosinofilik karena banyaknya mitokondria, yang berjumlah hingga 2000 per sel.26 Sumber lain mengatakan bahwa jumlah mitokondria 800-1000 per sel. Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan dua atau lebih nucleolus. Kebanyakan sel ini bersifat tetraploid. Pada pewarnaan H&E yang baik, glikogen juga dapat terlihat di stoplasma hepatosit sebagai ruang irregular yang tampak seperti busa.27 Hepatosit dapat mengandung pigmen sitoplasma seperti lipofusin, hemosiderin, pigmen empedu, copper. Inti hepatosit berbentuk bulat dengan dengan kontur inti yang halus, kromatin yang menyebar, dan nukleolus yang mencolok.29 Setiap hepatosit akan berkontak dengan dinding sinusoid melalui celah Disse, dan permukaan hepatosit. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk celah tubular yang dinamakan kanalikulus biliaris. Elemen apparatus Golgi terkonsentrasi di dekat kanalikulus biliaris, hal ini diyakini sebagai alasan bahwa organel ini berhubungan dengan sekresi empedu.27 Arsitektur lobulus hepar mencit memiliki kemiripan dengan lobulus hepar manusia. Hanya saja, hepar mencit mempunyai ukuran lobulus yang lebih kecil, jumlah jaringan ikat lebih sedikit, dan area porta tampak kurang jelas pada sediaan histologi seperti yang terlihat pada gambar 2.4. dan 2.5. Meskipun mengalami cedera hebat, hepar mencit tidak menunjukkan gambaran khas sirosis seperti berkas tebal kolagen yang mengelilingi vena porta dan vena sentral serta hilangnya parenkim hepar dan regenerasi nodular. Oleh karena itu, pewarnaan Masson’s trichrome diperlukan untuk mendeteksi dan menghitung fibrosis yang terjadi pada tikus yang mengalami cedera hepar.24
18
Gambar 2.3. Gambaran histologi hepar manusia memperlihatkan (S) sinusoid, (KC) sel Kupffer, (CV) vena sentral, (F) fibrolas dan (EN) sel endothelial. 500x; inset 800x. H&E. Sumber: Histology – a Text andAtlas – with Correlated Cell and Molecular Biology, 2011
Gambar 2.4. Perbandingan hepar mencit dan manusia pada perbesaran rendah. (A) Area porta (panah) Nampak kurang jelas pada hepar mencit. (B) Area porta (B) pada hepar manusia dapt dengan mudah diidentifikasi dengan perbesaran yang sama. Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
19
Gambar 2.5. Perbandingan hepar mencit dan manusia, area porta. Hepar manusia (B) memiliki jumlah jaringan ikat kolagen yang lebih banyak daripada hepar mencit (A). Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
2.3.3. Fisiologi Hepar Baik pada manusia maupun mencit, hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di dalam tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan yaitu sekresi garam empedu yang membantu pencernaan lemak. Selain itu, hati juga memiliki berbagai fungsi yakni sebagai tempat pemprosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna; mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa asing lain; membentuk protein plasma, termasuk protein yang digunakan untuk pembekuan darah yang mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah, dan angiotensin yang penting dalam SRAA yang mengonservasi garam; menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin; mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal; mengeluarkan bakteri dan eritrosit tua, berkat adanya makrofag residen (sel Kupffer); mensekresi hormon trombopoietin, hepsidin, IGF-1 (insulin-like growth factor 1); memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi serta mengekskresi kolesterol dan bilirubin. Bilirubin adalah produk penguraian yang berasal dari destruksi eritrosit tua.15
20
Namun, terdapat perbedaan dari kedua spesies ini yang merefleksikan level morfologis. Pada mencit, dengan cepat menyimpan glukosa dari system pencernaan dalam bentuk glikogen di hepatosit sentrilobular. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotic sitoplasma dan menimbulkan peningkatan ambilan air dan clearing sitoplasma. Perubahan yang sebenarnya normal ini kadang dikaitkan dengan degenerasi hidropik. Perbedaan lain yakni dalam proses molekular dan detoksifikasi. Mencit yang distimulasi dengan metabolit PPAR-α lebih cenderung berakibat tumor hepar. Sedangkan pada manusia, pemberian obat agonis PPAR-α justru memperbaiki profil lipid dengan sedikit efek samping.24 Meskipun hepar memiliki beragam fungsi yang kompleks, sel-sel hati (hepatosit) tidak banyak mengalami spesialisasi. Setiap hepatosit melakukan beragam tugas metabolik dan sekretorik yang sama. Spesialisasi ditimbulkan oelh organelorganel yang sangat berkembang dalam hepatosit. Fungsi yang tidak dilakukan oleh hepatosit adalah aktivitas fagosit, hal ini dilakukan oleh sel Kupffer.15 Hepar dipersarafi oleh kedua macam saraf otonom, simpatik dan parasimpatik. Saraf tersebut masuk ke hepar melalui kanal porta. Serat saraf simpatik menginervasi pembuluh darah, dan meningkatkan resistensi vaskular, menurunkan volume darah hepatic, serta secara cepat meningkatkan glukosa serum. Saraf parasimpatik menginervasi duktus (yang mengandung otot polos) dan mungkin pembuluh darah. Stimulasi parasimpatik menyebabkan peningkatan ambilan dan penggunaan glukosa. Badan sel dari saraf parasimpatik sering terlihat di dekat porta hepatic.27 2.4. Respon Sel dan Jaringan terhadap Jejas Jejas sel dapat disebabkan oleh berbagai stress, mulai dari trauma fisik sampai defek gen tunggal. Sebagian penginduksi jejas sel dapat digolongkan menjadi deprivasi oksigen, bahan kimia, agen infeksius, reaksi imunologi, defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, agen fisik, dan degenerasi. Semua bahan kimia dapat
21
menyebabkan jejas. Zat yang tak berbahaya, seperti glukosa atau garam jika terkonsumsi atau terpajan dalam jumlah banyak juga akan bersifat toksik dan menimbulkan cedera sel.9 Sel merupakan partisipan aktif yang berespon dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan stress ekstrasel dalam upaya mempertahankan homeostasis.9 Inflamasi didefinisikan sebagai respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut, dan kronis yang menimbulkan kelainan patologis.30 Ketika terjadi inflamasi akut, respon pertama tubuh adalah dengan meningkatkan perpindahan plasma dan leukosit, terutama sel granulosit atau polimormonukleus seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil akan ditarik secara kemotaksis dan mengalami diapedesis menuju sel yang cedera. Leukosit lain seperti monosit dan limfosit juga berperan dalam respon terhadap jejas yang terjadi.15,31 Respon adaptasi tubuh terhadap injury mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Perubahan tersebut dapat berupa penurunan ukuran dan aktivitas metabolik sel (atrofi), peningkatan ukuran dan aktivitas fungsi sel (hipertrofi), peningkatan jumlah sel (hiperplasi), maupun perubahan fenotip sel (metaplasia). Respon adaptif tersebut dapat reversibel dalam artian ketika stress sudah berkurang ataupun hilang maka sel tersebut dapat kembali pada fungsi semula. Namun ketika stress terlalu besar ataupun pajanan terjadi terus-menerus, maka respon sel menjadi lebih progresif berupa adaptasi irreversibel, dan akhirnya dapat berujung pada kematian sel. Kematian sel sendiri dapat dibagi menjadi 2 yakni apoptosis (kematian sel yang sudah terjadwal) dan nekrosis (kematian patologis).9 Perbedaan mekanisme molekuler yang terlibat dalam proses kematian sel menyebabkan perbedaan morfologi pada sel yang terlibat. Apoptosis memiliki karakteristik khas berupa fenomena penyusutan sel, dan adanya pembengkakan pada organel sel yang menyebabkan ruptur sel pada mekanisme nekrosis.32
22
Kematian sel melalui mekanisme apopotosis dianggap sebagai sesuatu yang accidental dan tidak terprogram. Sebagaimana jejas sel pada umumnya, nekrosis dapat disebabkan oleh faktor stress seluler seperti deprivasi oksigen, sitokin, iskemia, panas, irradiasi, dingin, patogen, dan toksin. Stimulus ini dapat memicu peningkatan ROS yang menginduksi kerusakan biomolekuler menuju proses nekrosis. Secara morfologi nekrosis sel tampak sebagai pembengkakan membran sel yang diikuti konsolidasi kromatin dan degradasi DNA irreguler, dilatasi membran sitoplasma dan organel yang menyebabkan keluarnya organel sel dan sitoplasma ke ruang ekstraseluler. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan masif pada sel sekitar, memicu reaksi inflamasi, dan reaksi imun yang berakhir dengan nekrosis sel seperti yang digambarkan pada gambar 2.6.32
Gambar 2.6. Karakteristik morfologis nekrosis meliputi pembengkakan membran organel, degradasi DNA, dan keluarnya komponen sitoplasma yang mempengaruhi sel sekitar, menyulut respon inflamasi. Sumber: Cell Death – Autophagy, Apoptosis and Necrosis – Necrosis as Programmed Cell Death, 2015
2.5.Respon Hepar terhadap Bahan Kimia atau Herbal Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) membuat klasifikasi dan kriteria untuk liver injury seperti pada tabel 2.2.
23
Tabel 2.2. Kriteria untuk terminologi drug-induced liver injury.2 Terminologi
Kriteria
Hepatocellular injury
Peningkatan ALT > dua kali normal, atau ALT/ALP ≥5
Cholestatic injury
Peningkatan ALP >dua kali normal, or ALT/ALP ≤2
Mixed injury
ALT dan ALP menurun, dan 2
Acute injury
Perubahan di atas terjadi <3 bulan
Chronic injury
Perubahan di atas terjadi >3 bulan
Chronic liver disease
Ditegakkan setelah konfirmasi histologis
Terdapat beberapa pola morfologi yang dapat diobservasi pada acute hepatocellular injury, seperti hepatitis akut, nekrosis dan resolving hepatitis. Hepatitis akut, karakteristik khusus acute hepatocellular injury adalah inflamasi porta dan parenkim, hepatocellular injury, dan/atau nekrosis. Tidak ditemukan fibrosis. Sisi regeneratif memperlihatkan hepatosit binuclear dan lempeng sel yang tebal. Sel Kupffer yang prominen tampak di dalam sinusoid. Istilah ―hepatitis kolestasis‖ digunakan ketika perubahan morfologis disertai dengan adanya kolestasis.2 Nekrosis, keadaan ini dapat terjadi pada satu hepatosit (spotty necrosis) atau sekelompok hepatosit (confluent necrosis). Pada beberapa kasus, nekrosis konfluen dapat terjadi pada zona tertentu dan membantu diagnosis. Nekrosis pada zona 3 (sentrizonal) menandakan etiologi berasal dari asetaminofen, halotan, dan toksin seperti karbon tetraklorida. Nekrosis pada zona 1 dan 2 jarang terjadi. Toksin seperti kokain dan sulfat ferosus biasanya mempengaruhi zona 1, sedangkan berilium mempengaruhi zona 2. Nekrosis yang luas dapat mengakibatkan gagal hati akut.2 Resolving hepatitis, apabila biopsi dilakukan setelah perjalanan penyakit, hepatocellular injury dan inflamasi tampak minimal. Keberadaan makrofag dalam jumlah banyak di makrofag dapat membantu mendiagnosis kondisi ini.2 R. Arantes-Rodrigues, et al (2011) melakukan studi mengenai efek dari pemberian beberapa konsentrasi ekstrak daun zaitun (0%, 0.25%, 0.50%, dan 0.75%)
24
dalam jangka waktu 14 minggu terhadap fungsi hepar mencit menemukan bahwa terdapat peningkatan signifikan aktivitas alanine aminotransferase dan alkaline phosphatase serum enzyme, serta gambaran fibrosis pada kelompok dengan dosis tertinggi (0.5 dan 0.75%), serta terlihat peningkatan ekspresi kolagen yang terlihat dengan pewarnaan Masson’s trichome. Semua kelompok memperlihatkan perubahan makroskopik yaitu greenish liver staining dan gambaran mikroskopik hiperplasia dari duktus biliaris, kolestasis, nekrosis hepatosit, dan infiltrasi sel radang. Kelompok perlakuan dengan dosis tertinggi menunjukkan angka kematian dan variasi ponderal homogeneity index (PH) tertinggi. Selain itu, kelompok tersebut menunjukkan angka mitosis tertinggi pada pengamatan histopatologi. Semua kelompok kecuali kelompok control memperlihatkan peningkatan ekspresi retikulin di parenkim hepar dan celah porta.13 Sawsan, et al (2012) menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun 0.9% selama 6 minggu menunjukkan vakuolisasi sitoplasma hepatosit, nekrosis hepatoselular, dan peningkatan area perdarahan di ginjal. Penulis berpendapat bahwa penggunaan ekstrak daun zaitun dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama perlu diperhatikan.33 2.6. Respon Hepar terhadap Pemberian Ovalbumin Putih telur mengandung 9.7-12% protein, ovalbumin merupakan salah satu protein yang terkandung di dalamnya. Ovalbumin merupakan kandungan tertinggi dengan berat kering 54% dari total protein. Terdapat tiga jenis fraksi dalam ovalbumin, yaitu ovalbumin A1, A2, dan A3 yang dapat dideteksi menggunakan gel elektroforesis. Ovalbumin memiliki 4 gugus sulfihidril bebas dan gugus disulfide. Protein ovalbumin dapat mengalami denaturasi dengan paparan panas, absorpsi permukaan, atau agen denaturasi lain.34 Secara farmakologi, pemberian suatu zat yang yang diberikan secara inhalasi (dalam bentuk aerosol), secara klinis sekitar 10%-20% akan masuk ke dalam saluran
25
pernafasan, dan 80%-90% sisanya akan tertelan dan diabsorbsi pada saluran pencernaan, yang kemudian akan masuk ke sistem sirkulasi dan menimbulkan berbagai macam efek pada tubuh.
35
Menurut Amjad, et al (2011), sensitisasi
ovalbumin dapat menyebabkan cedera pada hepar dengan derajat sedang dan juga peningkatan level ALT. Cedera hepar ini berkaitan dengan peningkatan adhesi limfosit.36 2.7. Asma Asma adalah keadaan patologi dimana saluran napas mengalami inflamasi. Pada penderita asma episode berulang, saluran napas mengalami inflamasi kronik sehingga menyebabkan respon berlebihan terhadap berbagai pajanan. Manifestasi dari episode ini berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, serat batuk terutama malam atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan luasnya obstruksi saluran napas dan seringkali bersifat reversibel.9 Asma termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1, dimana reaksi ini memiliki tiga fase, yakni sensitisasi, aktivasi, dan efektor. Fase sensitisasi adalah proses pajanan antigen pertama kali sampai sel B plasma memproduksi IgE.30 Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa sensitisasi menggunakan ovalbumin mampu menginduksi peningkatan IgE, sitokin inflamasi, dan akhirnya menimbulkan reaksi hipersensitivitas.37 Fase aktivasi adalah waktu yang dibutuhkan IgE untuk berikatan dengan reseptor FcRɛ pada paparan antigen yang kedua dan fase efektor adalah waktu dimana terjadinya degranulasi sel mast dan pengeluaran produk dari sel basofil.30 Pelepasan IL-13 yang menstimulasi sel Goblet pada daerah submukosa bronkus menyebabkan peningkatan sekresi mucus di saluran napas. Proses inflamasi juga menyebabkan stimulasi reseptor vagal yang berada di daerah subepitel, termasuk yang dimediasi oleh serat saraf C tak bermielin, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos sehingga menimbulkan keadaan bronkokonstriksi. Selain itu, keluarnya granul sel mast menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
26
vaskular dan juga vasodilatasi. Ketiga hal tersebut merupakan reaksi yang terjadi dalam fase awal asma.9 Dalam pengobatan kedokteran, terapi farmakologis untuk asma menggunakan agonis adrenoreseptor atau agen simpatomimetik yang memiliki efek bronkodilator sebagai reliever dan kortikosteroid yang memiliki efek anti-inflamasi sebagai controller. Regimen seperti epinefrin, albuterol, terbutalin, metaproterenol, pirbuterol, salmeterol, dan formoterol mampu mendilatasi bronkus pada penderita asma. Inhalasi obat simpatomimetik menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya aritmia jantung dan hipoksemia pada penggunaan akut serta takifilaksis dan toleransi jika diberikan berulang. Obat agonis selektif reseptor B2 dapat menurunkan tekanan oksigen arteri (PaO2), efek ini tentu akan semakin lebih besar pada agonis B kerjalama.23
27
2.8. Definisi Operasional Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Alat Ukur
Dosis
Jumlah dosis
Menimbang berat Timbangan
ekstrak
ekstrak daun zaitun
mencit kemudian
daun zaitun yang diberikan
hitung
Skala Numerik
dosis
secara oral pada
100/mg/kgBB
mencit dalam
dan 200mg/KgBB
satuan mg per berat (BB) Persentase
Jumlah nukleus
Pada perbesaran
ImageJ
hepatosit
hepatosit dengan
400x foto dibuka
versi 1.5
dengan
bentuk tidak
dengan ImageJ
nukleus
bulat/oval,
dan dihitung
abnormal
disintegritas tepi
jumlah nukleus
nukleus, warna
hepatosit
tidak ungu, dan
abnormal dibagi
ukuran diatas 8µm
jumlah nukleushepatosit total
Numerik
28
2.9. Kerangka Teori Sensitisasi ovalbumin + alum (adjuvant) intraperitoneal
Pemberian ekstrak etanol daun zaitun (Olea europaea L.) per oral
Pembentukan IgE spesifikOVA
Zat aktif daun zaitun Induksi dengan inhalasi ovalbumin
Polifenol
Pajanan antigen kedua
Flavonoid
Opsonisasi
Peningkatan titer IgE spesifik-OVA
IgE berikatan dengan reseptor FcRɛ pada sel mast
Luteolin
-
Pelepasan mediator inflamasi
Organ hepar
Organ pernapasan
Disfungsi hepar Stimulasi sel Goblet Cedera subletal
Cedera letal
Peningkatan produksi mukus
Peningkatan permeabilitas vaskular
Vasodilatasi
Nekrosis hepatosit Asma
Stimulasi serat sensori C Kontraksi otot polos bronkus
29
2.10. Kerangka Konsep Mencit BALB/c
Ovalbumin
Asma
Toksisitas
Hepar Histo PA H&E
Abnormalitas hepatosit
Terapi ekstrak zaitun oral
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.
Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimental.
Penelitian ini menggunakan mencit jantan strain BALB/c yang diinduksi ovalbumin. Kemudian diberikan ekstrak daun zaitun selama 7 hari dengan 2 jenis dosis, yaitu 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB. Mencit selanjutnya dinekropsi untuk diambil jaringan hepar untuk dilihat gambaran histologisnya. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari tanggal 12 Oktober 2015 sampai 30 Juni 2016. Pemeliharaan dan perlakuan mencit dilakukan di Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembuatan ekstrak daun zaitun dilakukan di BALITTRO. Perlakuan dan pengambilan jaringan dilakukan di Laboratorium Farmakologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Histologi FKUI. Dokumentasi foto preparat dan analisis dilakukan di Laboratorium Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.3. Alat dan Bahan Penelitian 3.3.1. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: kandang mencit, tempat makan dan minum mencit, pakan dan minum mencit, perlengkapan kebersihan, neraca kebersihan, spuit insulin, spuit 1cc, sonde, tabung reaksi, gelas ukur, kandang untuk nebulasi, nebulizer, minor set, papan bedah, toples untuk eter.
30
31
3.3.2. Bahan Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun dengan dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB. Objek percobaan yang digunakan adalah mencit jantan strain BALB/c sebanyak 15 ekor melalui perhitungan rumus Mead dengan 5 kelompok perlakuan.38 Perhitungan rumus Mead: E= N-B-T, dengan hasil 3 ekor mencit di setiap kelompok perlakuan (lampiran 2). Keterangan: N = Jumlah total sampel pada penelitian (dikurangi 1) B = Blocking component bernilai 0 jika tidak ada stratifikasi T = Jumlah total perlakuan, termasuk kelompok kontrol (dikurangi 1) E = Degree of freedom of error component, nilainya antara 10-20 Tabel 3.1 Kelompok perlakuan NO 1. 2.
3.
4.
5.
KELOMPOK PERLAKUAN Kontrol PBS i.p. + PBS oral + PBS inhalasi P1 (Ekstrak daun zaitun 100 OVA-Alum 50 µg/ml i.p. + Ekstrak mg + OVA) daun zaitun 100 mg/KgBB oral + OVA inhalasi P2 (Ekstrak daun zaitun 200 OVA-Alum 50 µg/ml i.p. + Ekstrak mg + OVA) daun zaitun 200 mg/KgBB oral + OVA inhalasi P3 (Esktrak daun zaitun 100 Ekstrak daun zaitun 50 mg/KgBB i.p. mg) + zaitun 100 mg/KgBB oral + Ekstrak daun zaitun inhalasi P4 (Ekstrak daun zaitun 200 Ekstrak daun zaitun 50 mg/KgBB i.p. mg) + Zaitun 200 mg/KgBB oral + Ekstrak daun zaitun inhalasi
3.3.3. Kriteria Inklusi 1. Kelompok N : mencit jantan strain BALB/c 2. Tidak ada kelainan anatomi sebelum perlakuan
32
3. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak. 3.3.4. Kriteria Eksklusi 1. Mencit yang betina atau sakit selama penelitian berlangsung.mencit 3.4
Variabel Penelitian
3.4.1
Variabel Bebas Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) per oral. 3.4.2
Variabel Terikat Variabel terikat penelitian ini dalah gambaran mikroskopik hepar mencit
BALB/c. 3.5 Cara Kerja Penelitian 3.5.1. Penyimpanan Simplisa Daun zaitun diperoleh dari BALITTRO (Balai Penelitain Tanaman Rempah dan Obat) Bogor, Jawa Barat dalam bentuk ,serbuk halus . Serbuk simplisia disimpan dalam wadah kering, tertutup rapat dan terlindungi dari cahaya.39 3.5.2. Pembuatan Ekstrak Pembuatan ekstrak daun zaitun menggunakan metode ekstraksi cara dingin yaitu dengan remaserasi. Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut n-heksan dalam wadah gelap hingga terendam dan ditutup rapat. Sesekali diaduk selama 24 jam pada suhu kamar. Pergantian pelarut dilakukan setiap 2 sampai 3 hari sekali. Proses maserasi ini diulang hingga menghasilkan maserat yang berwarna pucat (mendekati tak berwarna). Maserat yang telah didapat kemudian difiltrasi menggunakan kapas
33
dan kertas saring hingga didapatkan filtrat. Filtrat dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak.39,40 3.5.3. Adaptasi Hewan Coba Mencit diadaptasikan di Animal House pada hari pertama sampai hari ke-21. Sampel diadaptasikan terhadap tempat tinggal barunya, pemberian makanan maupun pemberian minuman. Perlakuan disamakan pada semua mencit . Menurut Aravind, et al (2012) adaptasi mencit BALB/c untuk dilakukan sensitisasi asma cukup dilakukan selama 7 hari.41 Adaptasi ini bertujuan semua objek penelitian tidak dalam kondisi stress dan dalam kondisi yang sama saat dimulai penelitian. 3.5.4. Sensitisasi Hewan Coba Sensitisasi dilakukan dengan menyuntikkan ovalbumin dan aluminium hidroksida (sebagai adjuvan) selama 2 kali, yakni pada hari ke-8 dan hari ke-21. Setiap mencit disuntikkan secara intraperitoneal sebanyak 50 µg ovalbumin dalam 2 mg Al(OH)3 sebagai adjuvant yang diemulsifikasikan 0.2 ml PBS.41 Sensitisasi ini bertujuan untuk mengenalkan antigen pertama sehingga nantinya bisa timbul reaksi inflamasi. Menurut Conrad, et al (2009) pemberian adjuvant ditujukan untuk meningkatkan IgE dan IgG spesifik OVA dibandingkan non adjuvan.42 Sedangkan kelompok mencit P3 dan P4 mendapatkan ekstrak daun zaitun 50 mg intraperitoneal. 3.5.5. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun terhadap Mencit Pada hari ke-22, mencit diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) dengan dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB secara oral dengan menggunakan sonde selama 7 hari (hari ke-22 sampai hari ke-29).
34
3.5.6. Induksi Ovalbumin Pada hari ke-30 dan hari ke-32, mencit pada kelompok P1 dan P2 diinduksi dengan nebulisasi ovalbumin 2% dengan dosis 5-7ml/kali/hari selama 20 menit. Pada hari ke-33, mencit diinduksi dengan nebulisasi ovalbumin 5% dengan dosis 57ml/kali/hari selama 30 menit. Hal ini dilakukan agar ikus benar-benar terinduksi dan menjadikan mencit dalam kondisi asma.41 Pada kelompok P3 dan P4 setelah diberikan ekstrak zaitun oral selama 7 hari kemudian dilakukan challenge dengan inhalasi ekstrak daun zaitun 2% 5-7 ml dalam 20 menit selama dua hari. Challenge yang ketiga dengan inhalasi ekstrak daun zaitun 5% 5-7 ml dalam 30 menit. 3.5.7. Pengambilan Organ Hepar Pada hari ke-33, mencit dipuasakan sebelum dinekropsi pada hari selanjutnya. Hal ini dilakukan agar tidak banyak makanan tertinggal di organ mencit sehigga tidak mengganggu proses pemotongan dan pembuatan preparat. Pada hari ke-34, dilakukan nekropsi pada mencit. Sebelum dinekropsi, mencit dijadikan lemah dengan larutan eter 95%. Mencit dimasukkan ke dalam toples yang sudah diberi eter, sehingga eter tersebut akan terinhalasi dan menjadikan mencit lemah. Dalam nekropsi, eksplorasi dapat dilakukan dengan teknik bedah dari bagian leher atau abdomen. Mengingat penelitian ini dilakukan bersama pengambilan jaringan trakea, eksplorasi dimulai dari bagian leher. Setelah trakea diambil, dilanjutkan pembedahan sampai bagian abdomen sampai seluruh organ bagian hepar terlihat. Organ hepar kemudian diambildan dimasukkan ke dalam larutan salin yang selanjutnya akan disimpan dalam larutan formalin.43
35
3.5.8. Pembuatan Preparat 3.5.8.1. Dehidrasi Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Setelah alkohol diencerkan sesuai konsentrasi yang dibutuhkan, setiap alkohol dengan konsentrasi tertentu di tuangkan ke dalam 3 buah pot plastik sebanyak setengah volume pot. Setiap pot diberi label dari I sampai III untuk menandai urutan perlakuan. Jaringan yang telah disimpan dalam formalin dimasukkan ke dalam pot plastik dengan label I, II, dan III secara berurutan dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi yaitu 30%, 50%, 70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut. Kemudian jaringan didiamkan selama 20 menit dalam masingmasing pot.44,45 3.5.8.2. Clearing Proses clearing dilakukan untuk menghilangkan alkohol dalam jaringan. Bahan yang digunakan adalah toluol-alkohol 1:1 dan toluol murni. Jaringan yang sudah melewati proses dehidrasi dimasukkan ke dalam wadah kaca bertutup yang berisi toluol-alkohol 1:1 untuk direndam selama 25 menit. Setelah itu digunakan larutan toluol murni untuk merendam jaringan selama 1 jam.45 3.5.8.3. Embedding Proses embedding ditujukan untuk menghilangkan cairan dalam jaringan setelah proses clearing karena cairan tersebut dapat mengkristal di dalam jaringan dan menyebabkan jaringan mudah robek saat tahap pemotongan. Bahan yang digunakan yaitu toluol-parafin 1:1 dan parafin murni. Pertama, jaringan didiamkan dalam larutan toluol-parafin 1:1 yang telah dicairkan dalam 5 wadah kaca selama 24 jam. Kemudian wadah berisi jaringan tersebut dipanaskan untuk mencairkan toluolparafin 1:1. Organ selanjutnya dimasukkan ke dalam botol berisi parafin cair yang
36
telah diberi label sesuai urutan perlakuan selama 15 menit. Perendaman dalam parafin harus dilakukan dalam inkubator 56-62°C agar parafin tetap cair.45 3.5.8.4. Pencetakan Proses pencetakan dilakukan untuk membuat parafin blok. Bahan yang digunakan yaitu cetakan blok, embedding cassete, dan parafin cair. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan secukupnya, kemudian jaringan direndam di dalam cetakan berisi parafin tersebut dan ditelakkan embedding cassette di atasnya. Selanjutnya untuk merekatkan dituangkan kembali parafin cair dan dibiarkan pada suhu ruangan hingga blok membeku.45 3.5.8.5. Pemotongan jaringan Pemotongan jaringan ditujukan untuk memotong blok sesuai dengan ketebalan yang diinginkan dan dibuat preparat histologis. Alat dan bahan yang digunakan yaitu mikrotom geser, kaca objek, paraffin waterbath, aquades dan es batu. Pasangkan blok parafin di holder mikrometer geser, kemudian dipotong dengan ketebalan 3-4 µm. Hasil potongan jaringan diambil dan direndam pada paraffin waterbath yang berisi aquades dengan suhu 46°C sambil bentuk irisan dirapikan. Potongan tersebut diletakkan di atas kaca objek yang telah dioleskan campuran albumin dan gliserin yang didiamkan selama satu malam. Larutan ini berfungsi sebagai bahan perekat. Setelah itu, kaca objek dengan jaringan di atasnya disusun dalam rak khusus dan dimasukkan ke dalam incubator bersuhu 60°C sampai preparat siap diwarnai.46 3.5.8.6. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Dalam proses pewarnaan,bahan yang digunakan adalah xyliol, alkohol absolut, alkohol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 95%, serta aquades, Hematoksilin-Eosin (HE), dan asam alkohol yang merupakan campuran 200ml
37
alkohol 70% dengan 2ml HCl. Masing-masing bahan tersebut dituangkan dalam staining jar sebanyak 200ml.45 Preparat yang telah dibuat kemudian disusun dalam cawan dan direndam dalam xyliol selama 10 menit sebanyak 2 kali. Kemudian cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol absolut selama 5menit sebanyak 2 kali. Lalu cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 1 menit dan berurutan mulai dari konsentrasi tertinggi. Selanjutnya cawan dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 4 menit. Setelah itu, cawan dipindahkan dan direndam dalam pewarna Hematoksilin-Eosin selama 4 menit. Kemudian cawan dipindahkan dan direndam dalam asam alkohol selama 30 detik. Lalu, cawan dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 1 menit. Setelah itu, preparat dilihat di bawah mikroskop untuk memeriksa pewarnaan.45 Setelah diperiksa, cawan direndam kembali dalam aquades selama 1 menit sebanyak 3 kali. Kemudian cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 70%, 80%, 90% dan alkohol absolut masing-masing selama 1 menit dan berurutan mulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Selanjutnya cawan dipindahkan dan direndam dalam xyliol selama 3 menit sebanyak 3 kali.45 Segera setelah perendaman dalam
xyliol terakhir, preparat ditetesi
kanadalbasam secukupnya, lalu ditutup secara perlahan dan hati-hati dengan cover glass untuk menghindari terbentuknya gelembung udara. Terakhir, preparat diberi label sesuai dengan kode perlakuan dan dibiarkan hingga mengering.45 3.5.9. Cara Pengamatan Mikroskop Hepar Setelah preparat kering, dilakukan dokumentasi preparat. Alat yang digunakan adalah mikroskop konfokal (Olympus BX41) dan perangkat komputer dengan software DP2-BSW. Pertama, komputer dan mikroskop dipastikan terkoneksi dengan baik, kemudian nyalakan keduanya. Preparat diletakkan di meja objek selanjutnya diamati dengan lensa perbesaran terkecil yaitu 40 kali hingga terlihat jaringan yang
38
hendak diamati. Kemudian tingkatkan perbesaran menjadi 400 kali dan foto bagian dari preparat yang diinginkan, lalu simpan file hasil dokumentasi preparat.27 3.5.10. Penghitungan Persentase Kerusakan Hepatosit Setelah foto selesai diambil, dilakukan analisis jaringan hepar yang mengalami kerusakan. Penilaian kerusakan yaitu dengan menganalisis hepatosit dengan nukleus abnormal yang ada pada lapang pandang tanpa vena porta, pembuluh darah interlobular, dan duktus biliaris.27 Analisis dilakukan pada 5 lapang pandang besar kemudian dirata-rata. Penghitungan dilakukan dengan bantuan aplikasi ImageJ versi 1.5. Setelah itu dihitung dengan rumus:
39
3.6. Alur Penelitian Mencit tiba di Animal House
Adaptasi selama 7 hari makan dan minum ad libitum Mencit dibagi menjadi 5 kelompok
Kel K (kontrol)
Kel P1 (z100+OVA)
Kel P2 (z200+OVA)
Kel P3 (PBS+z100)
Kel P4 (PBS+z200)
PBS i.p
Sensitisasi ovalbumin i.p
Sensitisasi ovalbumin i.p
Sensitisasi zaitun i.p
Sensitisasi zaitun i.p
Sonde ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 200mg/kgBB/hari selama 7 hari
Sonde ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 100mg/KgBB/hari selama 7 hari
Sonde ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 200mg/KgBB/hari selama 7 hari
Sonde PBS selama 7 hari
Sonde ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 100mg/kgBB/hari selama 7 hari
Challenge dengan inhalasi
PBS
Ovalbumin
Ovalbumin
Dipuasakan satu hari
Nekropsi
Evakuasi organ hepar
Pembuatan preparat
Pengamatan mikroskop
Analisa statistik pada data
Daun zaitun
Daun zaitun
40
3.7. Managemen Data Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan eksperimen langsung terhadap mencit jenis BALB/c yang diberi perlakuan berupa pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) dan induksi ovalbumin. Dilakukan juga dengan pencarian literatur dan tinjauan pustaka untuk mendapatkan informasi mengenai efek daun zaitun terhadap gambaran histopatologi hepar. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan Microsoft Excel dan analisis statistik dengan aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 22.0. Uji stastistik yang digunakan adalah Uji Oneway Annova karena penelitian termasuk analitik komparatif lebih dari dua kelompok. Untuk melakukan uji Oneway Annova, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dan uji homogenitas. Jika salah satu uji tersebut tidak terpenuhi maka dilakukan transformasi data. Ketika uji transformasi data tidak berhasil maka dilakukan uji Kruskal Wallis.47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Pembahasan Penelitian efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok mencit yang diberikan PBS oral dan challenge dengan inhalasi PBS sebagai kelompok kontrol (K). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 100mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ovalbumin sebagai kelompok perlakuaan 1 (P1). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 200mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ovalbumin sebagai kelompok perlakuan 2 (P2). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 100mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai kelompok perlakuan 3 (P3). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 200mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai kelompok perlakuan 4 (P4). Pelakuan dilakukan selama 7 hari. Gambaran mikroskopik hepar berdasarkan pengelompokan di atas dengan hasil perhitungan persentase nukleus hepatosit abnormal hepar mencit disajikan pada gambar 4.1 dan 4.2. Dari hasil pengamatan mikroskopik, didapatkan hasil bahwa persentase nukleus hepatosit abnormal meningkat pada kelompok P1 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ovalbumin inhalasi), P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) dan P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi). Sedangkan pada kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) terlihat persentase nukleus hepatosit abnormal lebih rendah dibandingkan kontrol. Peningkatan presentase nukleus hepatosit abnormal dapat mengindikasikan toksisitas terhadap hepar. Secara histologi, abnormalitas struktur sel 41
42
K
P1
P2
P3
P4 Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik hepar setelah pemberian ekstrak zaitun pada mencit BALB/c pewarnaan H&E perbesaran 400x (tanda panah; a. biru: hepatosit dengan nukleus normal b. kuning: hepatosit dengan nukleus abnormal).
Presentase nukleus hepatosit abnormal (%)
43
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Persentase (%)
*
*
K: PBS oral+inhala si PBS
P1: Zaitun 100mg/kgB B+inhalasi ovalbumin
P2: Zaitun 200mg/kgB B+inhalasi ovalbumin
P3: Zaitun 100mg/kgB B+inhalasi zaitun
P4: Zaitun 200mg/kgB B+inhalasi zaitun
40.05
65.68
68.52
38.10
63.18
*
Perlakuan
Gambar 4.2 Grafik persentase kerusakan hepatosit dengan nukleus abnormal setelah pemberian ekstrak daun zaitun.
dapat dinilai dari nukleus, sitoplasma, maupun membran sel. Nukleus yang mengalami perubahan ukuran menjadi kecil atau menggembung, warna yang tidak ungu dengan pewarnaan H&E; sitoplasma yang tidak homogen; dan sel yang tidak polihedral menggambarkan ciri-ciri jaringan nekrosis.9 Keadaan Animal House yang tidak ideal juga memungkinkan terjadinya bias pada hasil penelitian. Kebersihan kandang yang kurang baik, sirkulasi ruangan yang kurang lancar, pemberian makanan yang dijual bebas di pasaran, dan sumber minum yang menggunakan air keran juga dapat berpotensi menjadi faktor perancu dalam penelitian ini. Cedera sel dapat disebabkan oleh deprivasi oksigen, bahan kimia, agen infeksius, reaksi imunologi, defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, agen fisik dan degenerasi.9 Dalam proses cedera, sel yang mengalami cedera subletal menunjukkan manifestasi berupa perubahan degeneratif yang bersifat reversibel, perubahan ini cenderung melibatkan sitoplasma sel. Namun, jika sudah mengarah pada cedera letal, nukelus sel juga akan terkena dampaknya, gambaran yang sering terlihat adalah perubahan integritas nukleus dan pembengkakan.32
44
Kelompok P1 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) dan P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) menunjukkan gambaran persentase kerusakan hepatosit yang lebih banyak dari kontrol. Ovalbumin merupakan protein yang dapat mengaktivasi jalur inflamasi. Amjad, et al (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ovalbumin dapat meningkatkan level ALT dan menyebabkan mild liver injury. 36 Pada kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) dan P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) menunjukkan gambaran persentase hepatosit abnormal yang lebih sedikit dari kelompok ovalbumin. Namun, kelompok P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) jika dibandingkan dengan P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) menunjukkan persentase hepatosit abnormal lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh dosis yang diberikan lebih besar. Penyebab lain yang dapat mempengaruhi hal ini adalah jenis ekstrak zaitun yang digunakan. Dengan digunakannya ekstrak kasar, tanpa dilakukan destilasi bertingkat untuk mengambil zat aktif seperti oleuropein dan hidroksitirosol, maka masih ada zat aktif lainnya yang dapat mempengaruhi kerja hepar.48 Kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi)
menunjukkan
presentase
hepatosit
abnormal
yang
lebih
rendah
dibandingkan kontrol, sedangkan kelompok dengan dosis zaitun lebih tinggi menunjukkan peningkatan presentase abnormalitas. Hal ini menunjukkan bahwa efek ekstrak daun zaitun terhadap hepar itu dosage dependent, dalam artian dalam dosis tertentu dapat menimbulkan hepatotoksik. R. Arantes-Rodrigues (2011) melaporkan bahwa perubahan morfologi hepar, nekrosis, dan infiltrasi sel radang yang diberikan ekstrak daun zaitun selama 14 minggu berkaitan dengan penurunan energi sel sebagai manifestasi malfungsi mitokondria. Mitokondria, dalam kondisi tertentu dapat menjadi sumber ROS terhadap sel.13
45
Kelompok P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) menunjukkan gambaran persentase kerusakan paling tinggi dibanding kelompok kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak dalam dosis yang lebih tinggi dan pemberian ovalbumin. Selain pemberian ovalbumin pada mencit mengakibatkan cedera hepar seperti yang dijelaskan Amjad, et al (2011), efek ekstrak daun zaitun yang bergantung dosis (dosage dependent ) seperti yang telah dilaporkan R. Arantes-Rodrigues (2011) juga akan memperparah kondisi cedera hepar. Setelah dilakukan pengamatan pada sediaan histologi dan dilakukan penghitungan persentase nukleus hepatosit abnormal, untuk melihat signifikansi pada hasil dari penghitungan dilakukan uji statistik. Pemilihan uji statistik menggunakan *
*
Kruskal Wallis karena distribusi data tidak homogen. Kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc untuk melihat perbandingan antar kelompok. Dari uji post hoc (lampiran) didapatkan bahwa kelompok P3 memiliki persentase nukleus hepatosit abnormal yang lebih rendah bermakna dari kelompok P4 (p<0.05). Begitu pula dengan kelompok P1 memiliki persentase lebih rendah dari kelompok P2 namun tidak bermakna (p>0.05). 4.2. Keterbatasan Penelitian Selama penelitian berlangsung banyak hambatan yang didapat, antara lain 1. Tidak adanya kelompok kontrol positif (ovalbumin) 2. Dosis yang dipakai kurang bervariasi 3. Aspek subjektivitas dalam proses identifikasi nukleus
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Dari hasil analisis statistik, didapatkan kesimpulan bahwa: 1. Pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) menurunkan persentase kerusakan hepatosit melalui nukleus abnormal secara tidak signifikan pada dosis 100 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok lainnya 2. Dosis 100 mg/kgBB lebih aman diberikan dibandingkan dengan dosis 200 mg/kgBB. 5.2. Saran Untuk peneliti selanjutnya: 1. Menambahkan kelompok kontrol positif (ovalbumin) untuk membandingkan efek inflamasi secara pasti 2. Menambah durasi penelitian untuk membandingkan dengan reaksi kronik 3. Penelitian fungsi hepar setelah pemberian ekstrak daun zaitun 4. Analisis dan penghitungan nukleus dilakukan oleh minimal 2 orang untuk meminimalisir subjektivitas.
46
BAB VI KERJASAMA PENELITIAN Penelitian ini merupakan bentuk kerjasama penelitian mahasiswa dan dosen FKIK yaitu dr Nurul Hiedayati, Ph.D., dr Riva Auda, Sp.A., M. Kes. dan Nur Laely Mida Rahmawati, M.Biomed, Ph.D. yaitu tentang efek pemberian ekstrak daun zaitun untuk terapi asma terhadap organ pernapasan mencit BALB/c yang diinduksi ovalbumin. Penelitian ini didanai oleh Lemlit UIN, dan Kementerian Agama.
47
DAFTAR PUSTAKA 1.
Woo CSJ, Lau JSH, El-Nezami H. Herbal medicine: toxicity and recent trends in assessing their potential toxic effects. Adv Bot Res. 2012;62:365–84.
2.
Ramachandran R, Kakar S. Histological patterns in drug-induced liver disease. J Clin Pathol. 2009;62(6):481–92.
3.
Supardi S, Susyanty AL. Penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri di Indonesia (analisis data Susenas tahun 2007). Bul Penelit Kesehat. 2010;38(2):80–9.
4.
Chiappetta A, Muzzalupo I. Botanical description. In: Olive Germplasm – The Olive Cultivation, Table Olive and Olive Oil Industry in Italy in. 2012.
5.
Ghanbari R, Anwar F, Alkharfy KM, Gilani A. Valuable nutrients and functional bioactives in different parts of olive ( Olea europaea L.)— a review. Int J Mol Sci. 2012;13:3291–340.
6.
Khan Y, Panchal S, Vyas N, Butani A, Kumar V. Olea europaea : a phytopharmacological review. Phcog Rev. 2007;1(1).
7.
Boukhebti H, Chaker AN, Lograda T, Ramdani M. Pharmacology and toxicology chemical and antimicrobial properties of essential oils of Olea europea L . Int J Pharmacol Toxicol. 2015;5(1):42–6.
8.
Tanaka T, Takahashi R. Flavonoids and asthma. Nutrients. 2013;5:2128–43.
9.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins. 7th ed. Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N, editors. Jakarta: EGC; 2007.
10.
Das M, Ram A, Ghosh B. Luteolin alleviates bronchoconstriction and airway hyperreactivity in ovalbumin sensitized mice. Inflamm Res. 2003;52(3):101–6.
11.
Toledo A, Sakoda C, Perini A, Pinheiro N, Magalhães R, Grecco S, et al. Flavonone treatment reverses airway inflammation and remodelling in asthma murine model. Br J Pharmacol. 2013;168:1736–49.
12.
Dekanski D, Mihailovic-Stanojevic N, Milanovic JG, Jovovic D, Miloradovic Z. Effects of high dose olive leaf extract on the hemodynamic and oxidative stress parameters in normotensive and spontaneously hypertensive rats. J Serb Chem Soc. 2014;79(9):1085–97.
13.
Arantes-Rodrigues R, Henriques A, Pires MJ, Colaço B, Calado AM, Rema P, et al. High doses of olive leaf extract induce liver changes in mice. Food Chem Toxicol. 2011;49(9):1989–97. 48
49
14.
Setiawati A, Suryatna FD, Gan S. Pengantar farmakologi. In: Gunawan SG, editor. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya baru; 2007.
15.
Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. 8th ed. Ong HO, Mahode AA, Ramadhani D, editors. Jakarta: EGC; 2014.
16.
P Sharma O, Singh A, Bhat T k. Clinical biochemistry of hepatotoxicity. J Clin Toxicol. 2011;4(1):1–19.
17.
Hashmi MA, Khan A, Hanif M, Farooq U, Perveen S. Traditional uses , phytochemistry , and pharmacology of Olea europaea ( olive). Evidence-Based Complement Altern Med. 2015;2015:1–29.
18.
Braun L, Cohen M. Herbs and natural supplements herbs: an evidence-based guide second edition. Elsevier. 2007;
19.
Barbaro B, Toietta G, Maggio R, Arciello M, Tarocchi M. Effects of the olivederived polyphenol oleuropein on human health. Int J Mol Sci. 2014;15:18508–24.
20.
Amin M El, Virk P, Elobeid MAR, Almarhoon ZM, Hassan ZK, Omer SA, et al. Anti-diabetic effect of Murraya koenigii (L) and Olea europaea( L ) leaf extracts on streptozotocin induced diabetic rats. Pak J Pharm Sci. 2013;26(2):359–65.
21.
Omar SH. Oleuropein in olive and its pharmacological effects. Sci Pharm. 2010;78(2):133–54.
22.
de Bock M, Thorstensen EB, Derraik JGB, Henderson H V., Hofman PL, Cutfield WS. Human absorption and metabolism of oleuropein and hydroxytyrosol ingested as olive (Olea europaea L.) leaf extract. Mol Nutr Food Res. 2013;0:1–7.
23.
Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. 10th ed. Nirmala WK, Yesdelita N, Susanto D, Dany F, editors. Jakarta: EGC; 2010.
24.
Rogers AB, Dintzis RZ. Liver and gallbladder. In: Comparative Anatomy and Histology. First Edit. USA: Elsevier Inc.; 2012. p. 193–202.
25.
Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Dasar-dasar anatomi Gray. Kalanjati VP, editor. Singapore: Elsevier; 2014.
26.
Mescher AL. Histologi dasar Junqueira. 12th ed. Hartanto H, editor. Jakarta: EGC; 2011.
27.
Ross MH, Pawlina W. Histology: a text and atlas: with correlated cell and molecular biology. 6th ed. China: Wolters Kluwer; 2011.
50
28.
Lopez BG, Tsai MS, Baratta JL, Longmuir KJ, Robertson RT. Characterization of Kupffer cells in livers of developing mice. Comp Hepatol. 2011;10(1):2.
29.
Conrad R, Castelino-Prabhu S, Cobb C, Raza A. Cytopathologic diagnosis of liver mass lesions. J Gastrointest Oncol. 2013;4(1):53–61.
30.
Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 12th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.
31.
Bajpai S, Pathak R, Hussain T. Anti-inflammatory activity of ethno-botanical plants used as traditional medicine : RRJPP. 2014;2(1):24–34.
32.
Escobar L, Echeverría OM, Vázquez-Nin GH. Necrosis as programmed cell death. In Intech Open Science; 2015. p. 419–34.
33.
Omer SA, Elobeid MA, Elamin MH, Hassan ZK, Virk P, Daghestani MH, et al. Toxicity of olive leaves (Olea europaea L.) in wistar albino rats. Asian J Anim Vet Adv. 2012;
34.
Alleoni ACC. Albumen protein and functional properties of gelation and foaming. Sci agric. 2006;63(3):291–8.
35.
Brunton LL, Chabner BA, Knollmann. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. Elsevier; 2012.
36.
Horani A, Shoseyov D, Doron S, Mruwat R, Amer J, Kerem E, et al. Immunobiology immune modulation of ovalbumin-induced lung injury in mice using B-glucosylceramide and a potential role of the liver. Immunobiology. 2011;216(5):548–57.
37.
Sun LZ. Comparison between ovalbumin and ovalbumin peptide 323-339 responses in allergic mice: humoral and cellular aspects. Scand J Immunol. 2010;71:329–35.
38.
Singh AS, Masuku MB. Sampling techniques and determination of sample size in applied statistics research: an overview. J Econ. 2014;2(11).
39.
Mukhriani. Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif. J Kesehat. 2004;7(2):361–7.
40.
Istiqomah. Perbandingan metode ekstraksi maserasi dan sokletasi terhadap kadar piperin buah cabe Jawa (Piperis retrofracti fructus). UIN Syarif Hidayatullah; 2013.
41.
Reddy AT. Murine model of allergen induced asthma. J Vis axperiments. 2012;63:1–7.
51
42.
Conrad ML, Yildirim AÖ, Sonar SS, Kiliç A, Sudowe S, Lunow M, et al. Comparison of adjuvant and adjuvant-free murine experimental asthma models. Clin Exp Allergy. 2009;39(8):1246–54.
43.
Alferah MAZ. Toxicity induced histological changes in selected organs of male ( Wistar ) rats by Lawsonia inermis leaf extract. European J Med Plants. 2012;2(2):151–8.
44.
Jusuf AA. Histoteknik dasar. Bagian Histol Fak Kedokt Univ Indones. 2009;1– 33.
45.
Suntoro SH. Metode pewarnaan: histologi dan histokimia. Bagian Anatomi dan Mikroteknik Hewan Fakultas Biologi UGM. Jakarta: Bhatara Karya Aksara; 1983. 1-76 p.
46.
Muntiha M. Teknik pembuatan preparat histopatologi dari jaringan hewan dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (H&E). Temu Tek Fungsional Non Peneliti 2001. 2001;156–63.
47.
Dahlan SM. Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2008.
48.
Waterman E, Lockwood B. Active components and clinical applications of olive oil. Altern Med Rev. 2007;12(4):331–42.
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Determinasi / Identifikasi Bahan Uji
Gambar 7.1 Surat hasil determinasi bahan uji 52
53
Lampiran 2 Penghitungan Sampel 1. Rumus Mead
Keterangan N = Jumlah total sampel pada penelitian (dikurangi 1) B = Blocking component bernilai 0 jika tidak ada stratifikasi T = Jumlah total perlakuan, termasuk kelompok kontrol (dikurangi 1) E = Degree of freedom of error component, nilainya antara 10-20 10 ≤ E ≤ 20 E≥N–B–T
E≤N–B–T
10 ≤ (N – 1) – 0 – (5 – 1)
20 ≥ (N–1) – 0 – (5–1)
10 ≤ N – 1 – 4
20 ≥ N – 1 – 4
10 ≤ N – 5
20 ≥ N – 5
N ≥ 15
N ≤ 25 15 ≤ N ≤ 25
54
Lampiran 3 Penghitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun 1. Pemberian esktrak daun zaitun Berat mencit berkisar anatara 35-45 gram, diambil nilai tengah yaitu 40 gram. Dosis 100 mg/kgBB (x)
Dosis 200 mg/kgBB (y)
55
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
Gambar 7.2 Aklimatisasi hewan coba
Gambar 7.3 Pemberian ekstrak daun zaitun oral
56
(Lanjutan)
Gambar 7.4 Nebulisasi hewan coba
Gambar 7.5 Pembiusan hewan coba
57
(Lanjutan)
Gambar 7.6 Pengambilan jaringan hewan coba
Gambar 7.7 Penyimpanan jaringan hewan coba pada larutan formalin
58
(Lanjutan)
Gambar 7.8 Timbangan
59
Lampiran 5 Tabel 7.1 Hasil uji normalitas Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Perlakuan
Statistic
Kerusakan_
K: PBS oral+inhalasi PBS
hepatosit
P1: Zaitun 100mg/kgBB+inhalasi
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
df
Sig.
.263
3
.
.955
3
.593
.247
3
.
.969
3
.663
.268
3
.
.951
3
.573
.369
3
.
.788
3
.086
.299
3
.
.915
3
.433
ovalbumin P2: Zaitun 200mg/kgBB+inhalasi ovalbumin P3: Zaitun 100mg/kgBB+inhalasi zaitun P4: Zaitun 200mg/kgBB+inhalasi zaitun a. Lilliefors Significance Correction
Tabel 7.2 Hasil uji homogenitas Test of Homogeneity of Variances Kerusakan_hepatosit Levene Statistic
df1
5.085
df2 4
10
Tabel 7.3 Hasil uji Kruskal Wallis a,b
Test Statistics
Kerusakan_hep atosit Chi-Square df Asymp. Sig.
Sig.
11.567 4 .021
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan
.017
60
Tabel 7.4 Hasil uji post hoc LSD Multiple Comparisons Dependent Variable: Kerusakan_hepatosit LSD 95% Confidence Interval
Mean (I)
Difference
Perlakuan
(J) Perlakuan
K: PBS
P1: Zaitun
oral+inhalasi 100mg/kgBB+inhala PBS
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower
Upper
Bound
Bound
-.251
*
.039
.000
-.34
-.16
-.279
*
.039
.000
-.37
-.19
.025
.039
.535
-.06
.11
-.226
*
.039
.000
-.31
-.14
.251
*
.039
.000
.16
.34
-.029
.039
.478
-.12
.06
*
.039
.000
.19
.36
.025
.039
.540
-.06
.11
*
.039
.000
.19
.37
.029
.039
.478
-.06
.12
si ovalbumin P2: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si ovalbumin P3: Zaitun 100mg/kgBB+inhala si zaitun P4: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si zaitun
P1: Zaitun
K: PBS oral+inhalasi
100mg/kgB
PBS
B+inhalasi
P2: Zaitun
ovalbumin
200mg/kgBB+inhala si ovalbumin P3: Zaitun 100mg/kgBB+inhala
.276
si zaitun P4: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si zaitun P2: Zaitun
K: PBS oral+inhalasi
200mg/kgB
PBS
B+inhalasi
P1: Zaitun
ovalbumin
100mg/kgBB+inhala si ovalbumin
.279
61
P3: Zaitun 100mg/kgBB+inhala
*
.039
.000
.22
.39
.053
.039
.200
-.03
.14
-.025
.039
.535
-.11
.06
-.276
*
.039
.000
-.36
-.19
-.304
*
.039
.000
-.39
-.22
-.251
*
.039
.000
-.34
-.16
.226
*
.039
.000
.14
.31
-.025
.039
.540
-.11
.06
-.053
.039
.200
-.14
.03
*
.039
.000
.16
.34
.304
si zaitun P4: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si zaitun P3: Zaitun
K: PBS oral+inhalasi
100mg/kgB
PBS
B+inhalasi
P1: Zaitun
zaitun
100mg/kgBB+inhala si ovalbumin P2: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si ovalbumin P4: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si zaitun
P4: Zaitun
K: PBS oral+inhalasi
200mg/kgB
PBS
B+inhalasi
P1: Zaitun
zaitun
100mg/kgBB+inhala si ovalbumin P2: Zaitun 200mg/kgBB+inhala si ovalbumin P3: Zaitun 100mg/kgBB+inhala
.251
si zaitun *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
62
Lampiran 6 Riwayat Penulis Nama
: Nihayatul Kamila
NIM
: 1113103000079
Tempat, Tanggal Lahir
: Gresik, 22 Mei 1996
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Asri 48 RT/RW 002/001 Karangcangkring, Dukun, Gresik
Email
: [email protected] Riwayat Pendidikan
2000-2002
: TK Dharma Wanita Persatuan Karangcangkring
2002-2008
: SDN Karangcangkring Dukun
2008-2011
: SMPN 1 Karanggeneng Lamongan
2011-2013
: MA Matholi’ul Anwar Lamongan
2013-sekarang
: Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta