KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA TALAS DENGAN SISTEM MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI Danty Rinjani Aristanti Permadi 1) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Suyudi 2) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Tedi Hartoyo 3) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya talas dengan sistem monokultur dan tumpangsari di Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini studi kasus pada seorang petani talas yang menanam secara monokultur dan seorang petani talas yang menanam secara tumpangsari di Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Budidaya talas secara monokultur maupun tumpangsari yang dilaksanakan oleh responden dimulai dari Bulan Maret sampai September untuk waktu penanaman talas dan waktu penanaman bengkuang dimulai dari Bulan Juni sampai September. Kegiatan budidaya dimulai dari persiapan lahan, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan panen. Biaya total yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 15.498.949,70 sedangkan secara tumpangsari yaitu sebesar Rp 18.502.083,10. Penerimaan dari kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 45.000.000,00 sedangkan secara tumpangsari yaitu sebesar Rp 60.000.000,00. Pendapatan dari kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 29.501.050,30 sedangkan secara tumpangsari sebesar Rp 41.497.916,90. Kelayakan usaha budidaya talas secara monokultur dan tumpangsari layak dan menguntungkan. Kata Kunci : Biaya Total, Penerimaan, Pendapatan, dan R/C.
1
ABSTRACT This study was conducted to determine the feasibility of cultivation of taro monoculture and intercropping systems in Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. The research method used was a case study on a farmer who cultivate of taro monoculture system and a farmer who cultivate of taro intercropping system in Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. The result showed that the culture techniques of cultivation of taro with monoculture and intercropping systems was start from March until September for taro and for jicama was start from June until September. The activity are start from preperation land, cultivation of plants, manuring of plants, control of plant disease, and harvest. Total costs which released for cultivation of taro monoculture system is Rp 15.498.949,70 and total costs which released for cultivation of taro intercropped system is Rp 18.502.083,10. Revenue spend for cultivation of taro monoculture system is Rp 45.000.000,00 and revenue spend for cultivation for taro intercropped system is Rp 60.000.000,00. The income for taro cultivation in monoculture system is Rp 29.501.050,30 and for taro cultivation in intercropped system is Rp 41.497.916,90. Feasibility for cultivation of taro monoculture system and analysis for cultivation of taro intercropped system are decent and profitable. Key Word : Total Costs, Revenue, Income, and R/C. PENDAHULUAN Talas termasuk dalam suku talas-talasan (Araceae). Tanaman ini mempunyai bentuk tegak dengan tinggi satu meter atau lebih. Talas merupakan tanaman pangan berupa herba dan merupakan tanaman semusim yang di tanam sepanjang tahun (Purwono dan Heni Purnamawati, 2009). Menurut Purwono dan Heni Purnamawati (2009) sentra produksi talas adalah Bogor dan Malang. Di beberapa daerah juga banyak menghasilkan talas, tetapi dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Data produksi talas belum tercatat dengan lengkap di tingkat nasional. Terdapat beberapa jenis talas, yaitu talas bogor, talas sutera, talas bentul, dan talas ketan. Ciri-ciri varietas talas bogor dapat dilihat pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Aneka Jenis Talas Bogor dan Ciri-cirinya. No 1
Varietas
Ciri-ciri
Talas Sutera
Umur panen 5-6 bulan
Daun berwarna hijau muda dan berbulu halus seperti sutera
Umbinya berwarna kecokelatan dan berukuran sedang sampai besar
2
Talas Ketan
Umur panen 6-7 bulan
Batang berwarna hijau tua kemerahan dan daunnya berbentuk seperti hati
3
Talas Bentul
Umbi berwarna coklat muda
Umur panen 8-10 bulan
Batang berwarna ungu.
Umbi lebih besar dan berwarna lebih muda kekuning-kuningan
Sumber : Purwono dan Heni Purnamawati, 2009.
Sebagai komoditas pendukung dalam menghasilkan sumber pangan karbohidrat, perkembangan tanaman talas utamanya luas panen dan varietas yang digunakan juga sangat berperan terhadap peningkatan produksi dan produktivitas. Adapun sasaran dan realisasi panen, produksi, dan produktivitas dari tahun 2008 s/d 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Target dan Realisasi Panen Tanaman Palawija. Tahun
Komoditi
Target
Realisasi
Persentase
Total
Produktivitas
(Ha)
(Ha)
(%)
Produksi
(Ton/Ha)
(Ton) 2008
Talas
183,00
220,00
120,21
6.182,00
28,10
2009
Talas
177,00
162,00
91,53
810,00
5,00
2010
Talas
177,00
165,00
93,22
957,00
5,80
2011
Talas
162,00
96,00
59,26
2.697,60
28,10
Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor, 2011.
Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa sasaran panen terus mengalami penurunan dari 183,00 ha pada tahun 2008 menjadi 162,00 ha pada tahun 2011 atau terjadi penurunan sebesar 11 persen. Begitu pula pada realisasi panen dari luas 220,00 ha pada tahun 2008 menjadi hanya 96,00 ha pada tahun 2011 atau terjadi penurunan sebesar 56,40 persen. Sehingga hal tersebut menyebabkan 3
terjadinya penurunan produksi dari 6.182,00 ton tahun 2008 menjadi sebesar 2.697,60 ton pada tahun 2011. Tetapi walaupun demikian, tingkat produktivitas tetap tidak mengalami penurunan yaitu sebesar 28,10 ton/ha. Hal ini mungkin karena beberapa faktor seperti perlakuan budidaya tanaman talas yang sudah lebih baik, penggunaan varietas yang bermutu, penggunaan pupuk yang berimbang sehingga dapat dihasilkan produktivitas yang optimal. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kota Bogor tahun 2012, produksi talas tersebar di beberapa wilayah Kota Bogor diantaranya Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Barat, dan Tanah Sareal. Seperti halnya di beberapa wilayah Kota Bogor, Kecamatan Bogor Barat sangat berpotensi untuk budidaya talas karena memberikan kontribusi talas sebesar 82,97 persen pada tahun 2012. Kelurahan Situ Gede merupakan salah satu wilayah yang termasuk ke dalam Kecamatan Bogor Barat. Kondisi Geografis di Situ Gede sangat mendukung untuk pertanian talas karena sesuai dengan syarat tumbuh untuk budidaya talas. Secara topografi Kelurahan Situ Gede berada di ketinggian 250 m dpl, memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu 3.219 - 4.671 mm per tahun dengan suhu udara 24, 9° C - 25,8°C dan memiliki pH tanah sebesar 6,5 (Data Monografi Kelurahan Situ Gede, 2011). Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Kota Bogor kegiatan usaha budidaya talas oleh petani di Kelurahan Situ Gede dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari. Selama ini penelitian terhadap kegiatan usahatani budidaya talas dengan sistem monokultur maupun tumpangsari masih jarang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Hotnauli BR Silalahi (2009), menyimpulkan bahwa usahatani budidaya talas terhadap lahan sendiri maupun lahan sewa sama-sama menguntungkan dan layak untuk diusahakan dengan nilai R/C atas biaya total untuk lahan yang disewa sebesar 1,61; nilai R/C atas biaya total untuk lahan milik sendiri sebesar 1,56; dan nilai R/C atas biaya total untuk lahan keseluruhan sebesar 1,58. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraiakan diatas, maka penulis mencoba mengidentifikasi masalah yang akan diteliti dan dibahas 4
sebagai berikut : (1) Berapa biaya total, penerimaan, dan pendapatan usaha budidaya talas dengan sistem monokultur dan tumpangsari per periode produksi? (2) Bagaimana kelayakan usaha budidaya talas dengan sistem monokultur dan tumpangsari? Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk : (1) Mengetahui biaya total, penerimaan, dan pendapatan usaha budidaya talas sistem monokultur dan tumpangsari. (2) Mengetahui kelayakan usaha budidaya talas sistem monokultur dan tumpangsari. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus pada seorang petani talas yang menanam secara monokultur dan seorang petani talas yang menanam secara tumpangsari di Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor atas dasar pertimbangan bahwa kedua petani tersebut merupakan petani yang membudidayakan talas dengan sistem monokultur dan tumpangsari secara kontinue. Peneliti bertujuan untuk melakukan penelitian secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap kedua petani tersebut yang membudidayakan talas dengan sistem monokultur dan tumpangsari. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan alat analisis biaya dan kelayakan yaitu dengan menghitung biaya total, penerimaan, pendapatan, dan R/C. Analisis data yang dimaksud dijabarkan sebagai berikut : a. Biaya Total Biaya total diperoleh dengan cara menjumlahkan biaya tetap dengan biaya variabel, dengan rumus menurut (Ken Suratiyah, 2008) yaitu: BT = BT + BV Keterangan: BPT
= biaya total
BT
= biaya tetap
BV
= biaya variabel
b. Penerimaan Penerimaan usahatani adalah perkalian antara jumlah produk usaha yang dihasilkan dalam satu musim tanam dengan harga jual produk per unit. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut (Abdul Rodjak, 2006) : 5
R1 (talas) = Y1 . Hy1 Keterangan : R1
= Penerimaan (Rp)
Y1
= Jumlah produk (batang)
Hy1
= Harga jual (Rp/bt)
R2 (bengkuang) = Y2 . Hy2 Keterangan : R2
= Penerimaan (Rp)
Y2
= Jumlah produk (kg)
Hy2
= Harga jual (Rp/kg)
c. Pendapatan Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total. Rumus yang digunakan adalah (Ken Suratiyah, 2008) : I = TR – TC Keterangan: I
= Income (pendapatan).
TR
= Total Revenue (Penerimaan).
TC
= Total Cost (Biaya Total).
d. R/C R/C adalah perbandingan antara penerimaan dengan biaya total. Rumus yang digunakan adalah (Abdul Rodjak, 2006) : R/C =
Revenue Cost
Keterangan : R/C > 1, maka usahatani budidaya talas layak dan menguntungkan R/C = 1, maka usahatani budidaya talas tersebut tidak untung dan tidak rugi atau berada pada titik impas (Break Even Point). R/C < 1, maka usahatani budidaya talas tersebut tidak layak dan tidak menguntungkan. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya talas yang dilakukan oleh responden di mulai dari bulan Maret sampai dengan September sedangkan penanaman bengkuang di mulai dari bulan Juni sampai dengan September. Luas lahan yang digunakan oleh responden yaitu 1 Ha dengan lamanya satu kali proses produksi yaitu 7 (tujuh) bulan. Pembentukan bedengan untuk monokultur memiliki lebar 70 cm sedangkan
panjang
bedengan
disesuaikan
dengan
luas
lahan.
Setelah
pembentukan bedengan selesai maka petani menentukan jarak tanam antar talas yaitu 50 cm x 100 cm kemudian membuat lubang tanam dengan kedalaman 10 cm sedangkan bedengan yang dibuat untuk tumpangsari memiliki lebar berkisar antara 70 - 80 cm sedangkan panjang bedengan disesuaikan dengan luas lahan dengan jarak tanam antar talas yaitu 60 cm x 90 cm. Sistem tanam talas secara tumpangsari dengan bengkuang dilakukan dengan menanam talas terlebih dahulu. Pada saat talas berumur 2 – 3 bulan dilakukan penanaman bengkuang. Secara tumpangsari, tanaman talas tidak ditanam pada bedengan melainkan ditanam disamping bedengan dengan sistem satu bagian bedengan. Jarak tanam antar bengkuang pada bedengan-bedengan yang telah dibuat yaitu 15 x 15 cm dilanjutkan dengan membuat lubang tanam dengan kedalaman 5 cm untuk benih bengkuang. Penyakit yang sangat merusak tanaman talas yaitu virus. Virus ini menyerang tanaman talas 2 bulan menjelang panen yaitu pada saat talas sekitar berumur 4 bulan. Virus menyerang pada bagian bonggol atau buah talas. Hal ini dikarenakan predator tanaman talas maupun predator tanaman bengkuang bukan merupakan predator untuk tanaman talas dan bengkuang, seperti yang diketahui bahwa jika salah satu predator tanaman dapat menjadi predator pada tanaman lain maka dapat memutus siklus hidup OPT. Akan tetapi dalam hal ini, predator tanaman bengkuang bukan predator untuk tanaman talas sehingga tidak bisa memutus siklus hidup OPT. Berdasarkan biaya tetap usahatani budidaya talas dapat dilihat sewa lahan untuk budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 875.000,00 per musim tanam, Penyusutan alat yang digunakan dalam budidaya talas secara monokultur sebesar Rp 2.029.999,98, dan Bunga modal tetap yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha 7
budidaya talas secara monokultur sebesar Rp 203.349,98 dalam satu kali proses produksi selama tujuh bulan. Sewa lahan untuk budidaya talas secara tumpangsari yaitu Rp 875.000,00 per musim tanam sedangkan penyusutan alat yang digunakan dalam budidaya talas secara tumpangsari yaitu Rp
2.146.666,50. Bunga modal tetap untuk
budidaya talas secara tumpangsari yang dikeluarkan sebesar Rp 211.516,60 untuk satu kali proses produksi selama tujuh bulan. Biaya sarana produksi untuk budidaya talas secara monokultur sebesar Rp 8.180.000,00 sedangkan untuk budidaya talas secara tumpangsari sebesar Rp 10.070.000,00. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya talas secara tumpangsari sebesar Rp 4.200.000,00 lebih besar bila dibandingkan dengan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya talas secara monokultur yaitu sebesar Rp 3.400.000,00. Sarana produksi khususnya pupuk yang digunakan oleh petani baik itu untuk budidaya talas secara monokultur maupun tumpangsari dapat dikatakan belum efisien. Hal ini dikarenakan jumlah dosis pupuk yang digunakan oleh petani lebih besar daripada yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian. Bunga modal variabel yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha budidaya talas secara monokultur sebesar Rp 810.600,00 dalam satu kali proses produksi selama tujuh bulan sedangkan bunga modal tetap untuk budidaya talas secara tumpangsari yang dikeluarkan sebesar Rp 998.900,00 untuk satu kali proses produksi selama tujuh bulan. Biaya Total yaitu jumlah biaya tetap dan biaya variabel per satu kali proses produksi. Biaya total yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 15.498.949,70 dan biaya total yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya talas secara tumpangsari yaitu Rp 18.502.083,10. Produksi total yang dihasilkan dari satu kali proses produksi monokultur untuk talas sebanyak 18.000 batang. Harga yang berlaku pada saat penelitian yaitu sebesar Rp 2.500,00 per batang, dengan demikian maka penerimaan total dari satu kali proses produksi budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 45.000.000,00. Produksi total yang dihasilkan dari satu kali proses produksi tumpangsari untuk bengkuang sebanyak 12.000 kg sedangkan harga yang berlaku pada saat 8
penelitian yaitu Rp 2.500 per kilogram dan talas sebanyak 12.000 batang dengan harga yang berlaku pada saat penelitian yaitu Rp 2.500 per batang. Jumlah penerimaan dari satu kali proses produksi budidaya talas secara tumpangsari untuk bengkuang yaitu Rp 30.000.000,00 sedangkan jumlah penerimaan untuk talas yaitu Rp 30.000.000,00 dengan demikian penerimaan total budidaya talas secara tumpangsari yaitu Rp 60.000.000,00. Pendapatan dalam satu kali proses produksi dari kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu sebesar Rp 29.501.050,30 sedangkan pendapatan dalam satu kali proses produksi dari kegiatan usahatani budidaya talas secara tumpangsari yaitu sebesar Rp 41.497.916,90. Hasil dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa R/C yaitu sebesar 2,90 yang artinya bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,90 sedangkan bahwa R/C yaitu sebesar 3,24 yang artinya bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,24. Apabila melihat hasil perhitungan R/C maka kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur maupun tumpangsari yang dilakukan oleh Kelompok Tani Saluyu menguntungkan dan layak untuk diusahakan. KESIMPULAN 1) Biaya total yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 15.498.949,70 sedangkan secara tumpangsari yaitu sebesar Rp 18.502.083,10. Penerimaan dari kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 45.000.000,00 sedangkan secara tumpangsari yaitu sebesar Rp 60.000.000,00. Pendapatan dari kegiatan usahatani budidaya talas secara monokultur yaitu Rp 29.501.050,30 sedangkan secara tumpangsari sebesar Rp 41.497.916,90. 2) Kelayakan usahatani budidaya talas secara layak dan menguntungkan.
9
monokultur dan tumpangsari
SARAN Berdasarakan hasil penelitian maka dapat disarankan : 1) Pemerintah diharapkan mampu memberikan bantuan mengenai teknik budidaya talas khususnya pada pengendalian penyakit virus yang menyerang tanaman talas. 2) Petani disarankan untuk beralih membudidayakan talas secara tumpangsari karena dari segi teknis dapat memanfaatkan areal tanah yang tidak terpakai, pengunaan sarana produksi dan tenaga kerja menjadi lebih efisien, unsurunsur hara dapat diserap secara maksimal oleh tanaman, dan mengurangi resiko kegagalan panen sedangkan dari segi ekonomi petani mendapatkan tambahan pendapatan. Selain itu, petani diharapkan untuk menggunakan pupuk sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian. DAFTAR PUSTAKA Abdul Rodjak. 2006. Manajemen Usahatani. Pustaka Giratuna. Bandung. Dinas Pertanian. 2011. Target, Realisasi, dan Produksi Tanaman Palawija (Lahan Bukan Sawah) Menurut Jenis Tanaman di Kota Bogor. Hotnauli BR Silalahi. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Talas di Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Ken Suratiyah. 2008. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Purwono dan Heni Purnamawati. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
10