KEBERADAAN CAPLAK (Parasitiformes: Ixodidae) DI SUAKA RHINO SUMATERA TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG DAN KAITANNYA DALAM PENULARAN PENYAKIT PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis)
CEPI TRI SUMANTRI B04103160
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
‘Von der soelischen Staerke dieser Menschheit aber haengt es ab, ob sie dem dunklen Willen unterwirft, oder ob sie den Zwang meistert’
Walter Rathenau (1939)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ‘Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2007 Cepi Tri Sumantri NIM B04103160
ABSTRAK
CEPI TRI SUMANTRI. Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan ANDRIANSYAH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan caplak dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung dan kaitannya dalam penularan penyakit pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Koleksi larva dan nimfa caplak dilakukan secara acak di seluruh area kandang SRS serta daerah di luar area kandang SRS, dengan menggunakan bendera caplak, pengamatan predileksi caplak dewasa di tubuh badak dilakukan pada seluruh badak yang terdapat di SRS (Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu), serta pengolahan spesimen caplak dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi FKH-IPB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tubuh badak diketahui terdapat dua jenis caplak yaitu Haemaphysalis hystricis dan Amblyomma testudinarium dengan predileksi paling banyak di lipatan kulit leher dan bahu. Dari 513 spesimen yang dikumpulkan di dalam area kandang SRS didapatkan persentase 80.70% untuk jenis Haemaphysalis hystricis dan 19.30% untuk Amblyomma testudinarium, sedangkan untuk daerah di luar area kandang SRS didapatkan persentase 30.68% untuk Haemaphysalis hystricis dan 69.32% untuk Amblyomma testudinarium dari 608 spesimen yang dikumpulkan. Jenis-jenis caplak tersebut diduga berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit protozoa darah di badak sumatera yang ada di SRS.
ABSTRACT CEPI TRI SUMANTRI. The Tick Abundance (Parasitiformes: Ixodidae) in Sumatran Rhino Sanctuary Way Kambas National Park Lampung and Its Role in Diseases Transmitting to Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI and ANDRIANSYAH. The purpose of this research was to identify the abundance of Ixodid ticks in Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), Way Kambas National Park, Lampung, and its role in diseases transmition to sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Larvae and nymph were collected by drag sampling method in the whole SRS paddock areas and outside the areas using tick flag. The observation of adult ticks predilection on rhinoceros’s body was carried out to all rhinoceros in SRS (Rosa, Torgamba, Bina, and Ratu), while the specimen processing and identification were done at FKH-IPB Entomology Laboratory. The results showed two ticks’ species in rhinoceros, there were Haemaphysalis hystricis and Amblyomma testudinarium with the highest predilection at neck and shoulder fold region. From 513 specimen collected from inside the SRS paddock areas were identified about 80.70% and 19.30% as H. hystricis and A. testudinarium, respectively. Whereas, there were 30.68% H. hystricis and 69.32% A. testudinarium identified from 608 specimen collected from outside the areas. The ticks were considered as vector that transmit blood protozoa diseases to sumatran rhinoceros in SRS.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEBERADAAN CAPLAK (Parasitiformes: Ixodidae) DI SUAKA RHINO SUMATERA TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG DAN KAITANNYA DALAM PENULARAN PENYAKIT PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis)
CEPI TRI SUMANTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul
:
Nama NIM
: :
Keberadaan Caplak (Parasitiformes : Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Cepi Tri Sumantri B04103160
Disetujui Dosen Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S. NIP. 131 415 083
drh. Andriansyah
Diketahui Wakil Dekan FKH-IPB
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.Sc. NIP. 131 129 090
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari Juli 2006 sampai Mei 2007 ini adalah parasit pada badak sumatera, dengan judul ‘Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)’. Penelitian ini dilakukan dalam rangka persiapan translokasi badak sumatera yang bernama Andalas dari Los Angeles Zoo ke Suaka Rhino Sumatera (SRS). Selain itu juga sebagai pengkayaan data tentang ektoparasit pada badak sumatera yang diharapkan akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen kesehatan badak sumatera di SRS khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. dan drh. Andriansyah, sebagai pembimbing pertama dan kedua, atas kesabaran dalam membimbing, ilmu dan pengalaman, serta dorongan yang selalu diberikan selama proses penelitian dan penulisan.
2
drh. Hj. Tutuk Astyawati, MS. atas masukannya selama penulisan dan kesediaannya sebagai penilai.
3
drh. Arief Boediono, PhD., sebagai pembimbing akademik, atas kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan, serta motivasi dan dukungan yang selalu diberikan selama proses penulisan.
4
Dr. drh. M. Agil, MSc. Agr. yang telah banyak membantu dalam penelitian di lapangan dan penulisan skripsi.
5
Kepala Taman Nasional Way Kambas Lampung dan staff karyawan atas bantuan perizinan dan dukungan dalam hal-hal administratif lainnya sampai penelitian ini dapat diselesaikan.
6
Ketua Yayasan Suaka Rhino Sumatera (YSRS) Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, pengurus dan staff sekretariat YSRS (Bpk. Juss Rustandi, Mas Inov, Mas Yanto, dan Mas Yangky) atas perizinan dan dukungannnya.
7
drh. Marcellus Adi C.T.R., drh. Dedi Candra, Bpk. Sumadi, seluruh keeper (Pak Dede, Mas Lamijo, Mas Rakimin, Mas Rois, Mas Sugiono, Pak Yuhadi,
Pak Sarno, dan Mas Sunar), karyawan SRS lainnya (Mas Ratno, Mas Surono, Ibu Sholehah), serta Polisi Hutan (Kang Harno, Mas Warji, Pak Pardi, dan Pak Firman) atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung. 8
Staff dosen di Laboratorium Entomologi FKH-IPB (Prof. Dr. Singgih H. Sigit, Dr. F.X. Koesharto, Dr. drh. Susi Soviana, MSi., dan Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, MSi.), atas saran-saran dan masukannya serta bantuannya, serta Laboran (Bpk. Yunus dan Bpk. Heri) dan Ibu Juju atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian di laboratorium.
9
Perpustakaan Balai Penelitian Veteriner, atas bantuannya dalam penelusuran literatur.
10 Rekan penelitian, ‘Tim Way Kambas 06’ (Silvi, Rani, Astri, dan Adam) atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
11 ‘The Rhino Team 05’ (Mbak Nia, Mbak Yeni, Riki, Kang Eri, dan Mbak Reti) atas saran, masukan, serta bantuannya dalam proses penulisan.
12 Rekan Gymnolaemata 40, atas kebersamaan dan persahabatannya selama masa studi di FKH-IPB. 13 Keluarga Besar Tarung Derajat Satuan Latihan IPB atas kebersamaan dan persahabatannya. 14 Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB atas kebersamaan, persahabatan, dan ekspedisi yang selalu berkesan. 15 Apa, Mama, Aa, Ibnu dan seluruh keluarga besar Ali yang selalu menjadi sumber semangat dan inspirasi dalam menjalani proses studi di FKH-IPB. 16 Ratu Nurul Hanifah atas kesabaran, dukungan, serta bantuannya. 17 Semua pihak yang membantu. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang diajukan untuk penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu kedokteran hewan dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, September 2007 Cepi Tri Sumantri
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 11 Maret 1986 dari pasangan Sumardi dan Haryati. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Mardi Yuana Cicurug, Sukabumi pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Cibadak, Sukabumi yang diselesaikan pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Jurusan Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan intra kampus, diantaranya UKM Tarung Derajat pada 20032004, UKM Uni Konservasi Fauna pada 2005-sekarang, DPM TPB pada 20032004, serta Himpro Ruminansia pada 2003-2004 dan Himpro Satwaliar 20032005. Selain itu penulis juga aktif di berbagai kegiatan luar kampus yang berhubungan
dengan
lingkungan
dan
satwaliar,
diantaranya
Komunitas
Backpackers Indonesia 2003-2004, Ikatan Alumni PPS Cikananga 2005sekarang, Sahabat PILI 2005-sekarang, dan Forum Badak Indonesia 2007sekarang.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................. xii DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv 1
PENDAHULUAN.................................................................................. 1.1 Latar Belakang............................................................................... 1.2 Tujuan............................................................................................ 1.3 Manfaat..........................................................................................
1 1 2 2
2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3 2.1 Ektoparasit Caplak......................................................................... 3 2.1.1 Famili Ixodidae (Caplak Keras)........................................... 3 2.1.2 Morfologi Caplak Keras (famili Ixodidae)............................. 4 2.1.3 Daur Hidup dan Perilaku.................................................... 5 2.1.4 Peranan Caplak sebagai Vektor Parasit............................. 8 2.2 Badak Sumatera .......................................................................... 10 2.2.1 Morfologi Badak Sumatera................................................. 10 2.2.2 Perilaku Badak Sumatera................................................... 11 2.2.3 Habitat dan Distribusi Badak Sumatera.............................. 12 2.2.4 Jenis-jenis Caplak pada Badak Sumatera.......................... 13 2.3 Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera...................................... 14
3
MATERI DAN METODE.......................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................... 3.2 Bahan dan Alat.............................................................................. 3.3 Pengambilan Spesimen................................................................ 3.4 Pengolahan Spesimen.................................................................. 3.5 Identifikasi Spesimen.................................................................... 3.6 Analisis Data.................................................................................
4
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 20 4.1 Jenis-jenis Caplak......................................................................... 20 4.1.1 Haemaphysalis hystricis .................................................... 20 4.1.2 Amblyomma testudinarium ................................................ 23 4.2 Populasi Larva dan Nimfa Caplak di SRS.................................... 26 4.3 Predileksi Caplak Dewasa di Tubuh Badak.................................. 30 4.4 Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di SRS............................................................... 32 4.5 Beberapa Alternatif Pengendalian................................................ 36
5
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 40
17 17 17 17 18 18 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 41 LAMPIRAN.................................................................................................... 47
DAFTAR TABEL
No
1
Teks Halaman Data Populasi Larva dan Nimfa Caplak di Dalam Area Kandang SRS ....26
2
Data Populasi Larva dan Nimfa di Luar Area Kandang SRS ................... 27
3
Predileksi Caplak Dewasa (famili : Ixodidae) pada Tubuh Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS ................... 30
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman 1 Morfologi Umum Caplak Keras (famili Ixodidae)...................................... 5 2
Siklus Hidup Umum Caplak Keras (famili Ixodidae)................................. 6
3
Siklus Hidup Caplak Berumah Tiga pada Dermacentor variabilis............ 8
4
Bagian Kepala (Kapitulum) pada Caplak Keras (famili: Ixodidae)............ 9
5
Dua Ekor Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS; Bina (kiri), Torgamba (kanan)..................................................... 11
6
Peta Distribusi Badak Sumatera.............................................................. 13
7
Skema Area Perkandangan di SRS......................................................... 17
8
Cara Manual Pengambilan Caplak Dewasa............................................. 17
9
Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Haemaphysalis hystricis.................... 22
10 Morfologi Haemaphysalis hystricis........................................................... 22 11 Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Amblyomma testudinarium................. 24 12 Morfologi Amblyomma testudinarium....................................................... 25 13 Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS.............................................................................. 26 14 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS.............................................................................. 27 15 Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS...................................................................... 27 16 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS...................................................................... 28 17 Area Paddock (Kandang Lepas) di Suaka Rhino Sumatera..................... 29 18 Pembagian Regio pada Badak Sumatera untuk Predileksi Caplak Dewasa (Model: Bina)........................................ 31 19 Siklus Hidup Babesia bigemina (Farmer 1980)........................................ 35
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman 1 Foto Badak Sumatera yang Berada di Suaka Rhino Sumatera................48 2
Foto Kawasan dan Aktivitas Suaka Rhino Sumatera............................... 49
3
Foto Pengambilan Spesimen................................................................... 51
4
Foto Caplak Dewasa Saat Menghisap Darah pada Tubuh Badak Sumatera............................................................... 52
5
Foto Slide Preparat Caplak................................................................... 53
6
Foto Slide Preparat dilihat Menggunakan Mikroskop Compound.......... 54
7
Beberapa JenisCaplak (famili: Ixodidae) di Dunia, Peranannya sebagai Vektor, serta Akibat Langsung yang Ditimbulkan pada Inang.................................... 56
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Keanekaragaman hayati, berupa flora dan fauna yang dimiliki Indonesia
menduduki nomor dua di dunia setelah Brazil. Satu di antara fauna Indonesia yang khas dari Indonesia adalah badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak sumatera merupakan satwaliar yang hampir punah keberadaannya di dunia. Saat ini populasinya diperkirakan kurang dari 300 ekor. Statusnya dikategorikan dalam Critically Endangered (CR – A1bcd, C2a) dalam the IUCN Red List 20061, dan terdaftar dalam Appendix I CITES2. Faktor yang mempengaruhinya berasal dari internal (fisiologi dan biologi) maupun eksternal (lingkungan). Faktor eksternal (lingkungan) merupakan satu di antara faktor yang banyak berperan dalam mempengaruhi keberlangsungan hidup badak sumatera. Satu diantara faktor eksternal tersebut merupakan keberadaan ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang untuk keberlangsungan hidupnya, baik seluruh daur hidupnya, maupun sebagian dari stadium pertumbuhannya. Caplak merupakan satu di antara ektoparasit yang berperan cukup besar sebagai vektor dan penyebab kelainan kulit, serta penyakit pada manusia maupun hewan. Data caplak dari famili Ixodidae pada badak sumatera masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang keberadaan ektoparasit dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera (SRS) dalam rangka pengkayaan data tentang ektoparasit pada badak sumatera yang diharapkan akan bermanfaat untuk manajemen kesehatan badak sumatera di SRS khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya. Di samping itu, penelitian ini merupakan satu diantara rangkaian dari persiapan translokasi badak sumatera dari Los Angeles Zoo yang bernama Andalas, ke SRS Taman Nasional Way Kambas Lampung. Data tentang keberadaan caplak ini merupakan satu di antara dari keseluruhan data parasit (baik endoparasit maupun ektoparasit) yang diteliti di SRS pada Juli–Agustus 2006 yang melibatkan kerja satu tim.
1 2
http://www.redlist.org [18 Maret 2007] http://www.cites.org [18 Maret 2007]
1.2
Tujuan Penelitian ini dilakukan di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way
Kambas, Propinsi Lampung dengan tujuan mengetahui jenis-jenis caplak yang berada di SRS dan derajat infestasinya, serta kaitannya dalam penularan penyakit pada badak sumatera di SRS. 1.3
Manfaat Dengan adanya data tentang jenis ektoparasit dari famili Ixodidae di Suaka
Rhino Sumatera, maka akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen kesehatan badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan oleh caplak khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ektoparasit Caplak Saat ini terdapat 867 jenis caplak yang sudah diidentifikasi di dunia.
Semuanya merupakan parasit obligat yang bersifat haematophagus atau penghisap darah dan bersifat kosmopolitan, tersebar di berbagai habitat dan kondisi ekologi yang berbeda (Jongejan & Uilenberg 2004). Caplak secara umum tergolong ke dalam tiga famili, yaitu: Argasidae, Nuttalliellidae, dan Ixodidae (Wolley 1988, Camicas et al. 1998, Horak et al. 2002, Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004). 2.1.1 Famili Ixodidae (Caplak Keras) Ixodidae merupakan famili terbesar dari caplak yang mendominasi sebanyak 80% dari keseluruhan fauna caplak di dunia. Berdasar Tickbase3, famili ini terdiri dari 19 genus dengan 683 spesies dari 867 spesies caplak yang sudah diketahui. Beberapa genus yang penting diantaranya Dermacentor, Ixodes, Rhipicephalus,
Haemaphysalis,
Hyalomma,
Boophilus,
dan
Amblyomma
(Woolley 1988, Jongejan & Uilenberg 2004). Klasifikasi caplak keras (famili Ixodidae) menurut Krantz (1978) dan Camicas et al. (1998) sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Arachnida
Subkelas
: Acari
Ordo
: Parasitiformes (Caplak, tick)
Famili
: Ixodidae
Genus
: Haemaphysalis Amblyomma Boophilus Rhipicephalus Dermacentor Ixodes Hyalomma
3
Tickbase adalah Global Species Database yang berisi keseluruhan nama spesies caplak di dunia yang sudah valid dan dapat diakses melalui Species 2000 (internet-based catalogue) www.species2000.org [5 Mei 2007]
Walaupun saat ini genus Boophilus yang terdiri lima spesies oleh Horak et al. (2002) digolongkan ke dalam Rhipicephalus karena kedekatan secara filogenik dan evolusi, perubahan tersebut menjadikan Boophilus menjadi subgenus dari Rhipicephalus (Barker & Murrell 2002, Horak et al. 2002). 2.1.2 Morfologi Caplak Keras (famili Ixodidae) Tubuh caplak keras bentuknya bulat telur dan mempunyai kulit luar (integumen) yang liat (Gambar 1). Secara umum tubuh caplak terbagi atas dua bagian yaitu gnatosoma (kepala dan toraks) dan idiosoma (abdomen). Pada gnatosoma terdapat kapitulum (kepala) dan bagian-bagian mulut yang terletak dalam rongga kamerostom. Bagian mulut caplak terdiri atas sepasang hipostom, kelisera,
dan
pedipalpus.
Hipostom
merupakan
organ
yang
berfungsi
memperkokoh pertautan caplak pada tubuh inangnya. Kelisera terdiri atas dua ruas, dimana ujungnya memiliki dua kait yang berfungsi untuk membuat sayatan pada kulit inang secara horizontal agar hipostom dapat ditusukkan ke dalam kulit inang. Pedipalpus terletak di bagian lateral hipostom yang terdiri atas tiga atau empat ruas. Organ tersebut berfungsi sebagai alat sensoris sederhana yang membantu proses makan caplak (Krantz 1978, Kierans & Durden 1998, Hadi & Soviana 2000). Bagian idiosoma merupakan abdomen dimana terdapat kaki. Larva memiliki tiga pasang kaki, sedangkan nimfa dan caplak dewasa memiliki empat pasang kaki. Peruasan kaki caplak secara berturut-turut dimulai dari koksa yang tidak bisa digerakkan, trokanter, femur, tibia, tarsus, dan pedikel yang memiliki sepasang kuku tarsus dan pulvilus. Di bagian pasangan kaki pertama terdapat organ haller yang berfungsi sebagai sensor kelembaban, kimia, olfaktori, dan mekanis. Pada bagian dorsal tubuh caplak terdapat bagian piringan yang keras sebagai pelindung yang disebut skutum. Pada larva, nimfa, dan caplak dewasa betina bagian tersebut menutupi kira-kira sepertiga bagian dorsal anterior tubuh, sedangkan pada caplak jantan menutupi hampir seluruh bagian dorsal tubuhnya. Bagian skutum memiliki karakteristik yang khas pada setiap genus. Pada beberapa caplak, ornata pada skutum dapat dijadikan sebagai patokan identifikasi. Pada batas posterior dorsal terdapat deretan legokan yang disebut feston (Krantz 1978, Kierans & Durden 1998, Hadi & Soviana 2000).
Gambar 1 Morfologi Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) (Stafford 2004) 2.1.3 Daur Hidup dan Perilaku Caplak Menurut Sonenshine (1993), tahap perkembangan caplak dibagi ke dalam empat fase: satu inaktif (telur) dan tiga aktif (larva, nimfa, serta dewasa). Siklus hidup dari Ixodidae cukup sederhana (Gambar 2). Caplak betina menyimpan sejumlah besar telur di tanah. Larva berkaki enam menetas dari telur. Kemudian larva makan pada inang yang sesuai. Setelah larva penuh dengan darah, mereka melakukan molting dan berubah menjadi nimfa. Nimfa memiliki delapan kaki dan memiliki bentuk yang hampir sama dengan caplak betina dewasa, walaupun ukurannya lebih kecil dan alat kelaminnya yang belum matang. Nimfa yang penuh dengan darah akan molting menjadi caplak jantan atau betina dewasa. Baik jantan maupun betina dewasa menghisap darah. Caplak jantan memiliki integumen yang tidak elastis, maka dari itu tidak membesar secara signifikan setelah menghisap darah. Ukuran caplak betina dapat menjadi lebih besar lagi dibandingkan caplak jantan. Setelah kopulasi dan kenyang darah, caplak betina siap untuk meletakkan telur-telurnya (Whitlock 1960). Siklus hidup
caplak bisa berkembang dengan cepat (2–4 bulan pada iklim yang tropis) atau lebih lambat dengan terhentinya perkembangan pada satu fase atau lebih. Dalam iklim yang dingin, satu siklus hidup bisa membutuhkan waktu 3–5 tahun (Gaafar 1985).
Gambar 2 Siklus Hidup Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) (Gaafar 1985) Caplak betina yang sudah penuh dengan darah dan kawin akan menjatuhkan diri ke tanah dan meletakkan sekitar beberapa ribu telur di tanah, kemudian mati. Ixodidae meletakkan telurnya secara acak di tanah. Telur berubah menjadi larva setelah 10–20 hari, atau lebih jika tertunda. Larva yang baru menetas, nimfa setelah molting, dan dewasa awal memerlukan saat berdiam diri (untuk beberapa hari) untuk memperkeras tubuhnya dan memakan cadangan makanan yang dimiliki dari fase sebelumnya. Setelah itu diikuti dengan tahap pencarian inang, menempel dari tanah atau vegetasi dengan tipe dan ketinggian tertentu, menghisap darah selama 6–10 hari, melepaskan diri dari inang, mencerna darah selama satu minggu atau lebih, selanjutnya berubah ke fase berikutnya (Bowman et al. 2003). Larva, nimfa, dan caplak dewasa (betina) biasanya menghisap darah selama 6–10 hari kemudian melepaskan diri. Prosesnya terbagi menjadi dua
fase: (a) lambat dan bertahap (termasuk kawin pada caplak dewasa); diikuti dengan (b) tahap akhir berupa pemenuhan darah dengan cepat dan membesar melalui neosomy (dengan melebarkan integumen dan pertumbuhan integumen yang baru) (Gaafar 1985). Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi satu siklus hidupnya, caplak digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu caplak berumah satu, berumah dua, dan berumah tiga.
(a) Caplak Berumah Satu. Semua stadiumnya (larva, nimfa, dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama, begitu pula proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan (Hadi & Soviana 2000). Kelima jenis spesies Boophilus dan tiga dari spesies Margaroporus, dan dua dari 30 spesies Dermacentor memilki satu induk semang dalam siklus hidupnya (Bowman et al. 2003). Menurut Gaafar (1985) induk semang dari jenis caplak ini biasanya berukuran besar (sapi, kuda, dan jerapah) atau ukuran sedang seperti kambing atau domba. Mamalia tersebut biasanya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Hanya caplak betina yang sudah kawin dan akan melepaskan telur-telurnya yang jatuh ke tanah tempat dimana mereka akan meletakkan telurnya.
(b) Caplak Berumah Dua. Larva dan nimfa tinggal dalam satu inang, sedangkan dewasa tinggal dalam inang yang lain, jadi dalam melengkapi siklus hidupnya memerlukan dua inang (Hadi & Soviana 2000). Beberapa jenis dari spesies Hyalomma, Haemaphysalis, dan Rhipicephalus. Biasanya berada di daerah sabana atau stepa dengan curah hujan rendah dan musim kemarau yang panjang, sehingga caplak beradaptasi memilki dua induk semang. Larva molting menjadi nimfa pada induk semang (tidak di tanah); nimfa yang penuh darah jatuh ke tanah kemudian molting menjadi caplak dewasa, dan mencari induk semang kedua (biasanya ukurannya lebih besar dari induk semang yang pertama). Setelah kenyang darah dan kawin, caplak betina akan jatuh ke tanah dan meletakkan telur-telurnya (Gaafar 1985).
(c) Caplak Berumah Tiga. Setiap stadium, yaitu larva, nimfa, dan dewasa memerlukan inang yang berbeda (Hadi & Soviana 2000). Sekitar 600 dari 683 spesies Ixodidae merupakan caplak berinduk semang tiga. Setiap fase aktif menginfeksi hewan yang berbeda, walaupun terkadang
hewan yang sama diinfeksi tiga kali karena hewan tersebut masih berada di daerah yang sama, dan satu-satunya yang bisa diinfeksi oleh nimfa maupun caplak dewasa yang sedang mencari induk semang. Larva dan nimfa dari beberapa spesies menghisap darah pada mamalia yang ukurannya kecil atau burung. Beberapa jenis lainnya menghisap darah baik dari mamalia kecil maupun besar, jenis ini lebih adaptif dibandingkan yang lainnya. Contohnya Amblyomma (Gaafar 1985). Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University
Gambar 3
Siklus Hidup Caplak Berumah Tiga pada Dermacentor variabilis (Stafford 2004)
2.1.4 Peranan Caplak sebagai Vektor Parasit Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus (Lampiran 7) yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia (Jongejan & Uilenberg 2004, Kim et al. 2006). Menurut Kahl et al. (2002) spesies caplak tertentu dapat dikatakan sebagai vektor sebuah jenis patogen tertentu jika: (a) menghisap darah pada inang vertebrata yang terinfeksi; (b) memiliki kemampuan untuk menularkan patogen saat menghisap darah inang; (c) dapat mempertahankan
patogen dalam tubuhnya lebih dari satu stadium dari siklus hidupnya; dan (d) dapat menyebarkan patogen saat menghisap darah lagi pada inang lain. Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: (a) caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; (b) kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti antihemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh darah; (c) cara makan caplak yang lambat dan berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; (d) caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; (e) memiliki variasi inang yang luas; (f) sedikit musuh alamnya; (g) caplak dapat menularkan agen penyakit transovarial (melalui telur) dan transtadial (dari larva ke nimfe ke caplak dewasa); (h) caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil (Woolley 1988, Valenzuela 2004).
Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University
Gambar 4 Bagian Kepala (Kapitulum) pada Caplak Keras (famili Ixodidae) pada genus Ixodes (Stafford 2004) Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara, yaitu secara transtadial dan transovarial. Transtadial artinya setiap stadium caplak, baik larva, nimfa,
maupun
dewasa
mampu
menjadi
penular
patogen,
sedangkan
transovarial artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat menularkannya pada generasi berikutnya atau sel-sel telurnya (Hadi & Soviana 2000). Caplak berumah dua dan tiga dapat menularkan organisme patogen secara transtadial. Pada transovarial, organisme patogen hanya dimungkinkan oleh caplak berumah satu sebagai vektornya, misalnya pada transmisi Babesia bigemina oleh caplak Boophilus yang menurunkan ke keturunannya melalui ovariumnya (Bowman et al. 2003). 2.2
Badak Sumatera Badak sumatera merupakan badak terkecil dari lima spesies badak yang
ada di dunia. Keberadaannya di alam kurang dari 300 ekor, dengan populasinya yang berkurang dengan cepat akibat kerusakan habitat dan perburuan liar(Miller 1999; Macdonald 2001). Statusnya dikategorikan dalam Critically Endangered (CR – A1bcd, C2a) dalam the IUCN Red List 20064, dan terdaftar dalam Appendix I CITES5. Klasifikasi badak sumatera sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria (WWF 20026)
Ordo
: Perissodactyla
Subordo
: Ceratomorpha
Famili
: Rhinoceratidae
Genus
: Dicerorhinus
Spesies
: Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814
2.2.1 Morfologi Badak Sumatera Kulitnya kasar dan keras berwarna abu-abu – coklat, yang bentuknya berlipat-lipat membentuk seperti baju zirah (Gambar 5). Salah satu ciri yang paling unik yang membedakan dari badak lainnya, seluruh tubuhnya ditutupi dengan rambut yang kasar, berwarna coklat kemerahan (Schenkel 1990). Tubuhnya relatif pendek dan gemuk. Dua cula berada di moncongnya baik jantan maupun betina, dengan cula bagian depannya yang lebih panjang dibandingkan 4
http://www.redlist.org [18 Maret 2007] http://www.cites.org [18 Maret 2007] 6 http://panda.org/resources/publications/species/threatened/sumatranRhinoceros/index.cfm [11 Maret 2007] 5
dengan yang bagian belakang. Cula pada badak jantan biasanya lebih besar dibandingkan pada badak betina. Bagian bibir atasnya berbentuk kait dan dapat mengkait (prehensile) (Wilson & Reeder 1993). Panjang tubuhnya diukur dari ujung moncong hidung sampai dengan ujung otot pinggul belakang 207–265 cm, tinggi badan 97–131 cm. Panjang cula depan 10–23 cm, sedangkan cula belakang 5–12 cm. Berat badan antara 631 - 667 kg (SRS, unpublish).
Gambar 5
Dua Ekor Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS; Bina (kiri), Torgamba (kanan) (SRS 2005)
Badak sumatera memiliki masa kebuntingan selama 477 hari (berdasar data badak sumatera di Cincinnati Zoo), dengan angka kelahiran sebanyak satu ekor per partus. Masa menyusui selama 18 bulan. Badak sumatera betina mencapai dewasa kelamin pada usia empat tahun, sedangkan jantan pada usia tujuh tahun. Badak sumatera captive dapat mencapai usia sampai dengan 35 tahun (Foose & van Strien 1997). 2.2.2 Perilaku Badak Sumatera Badak sumatera biasanya hidup soliter. Pada siang hari, mereka menghabiskan waktu dengan berkubang di kolam lumpur. Kubangan lumpur tersebut biasanya dibuat oleh badak itu sendiri, dengan keadaan dalam radius 10–35 meter relatif bebas gangguan, karena biasanya digunakan untuk tempat beristirahat (Nowak 1991). Aktifitas berkubang berfungsi untuk mempertahankan suhu kulit agar tetap dingin dan melindungi dari kekeringan (Macdonald 2001).
Badak sumatera dilaporkan melakukan pergerakan musiman, bergerak ke dataran yang lebih tinggi selama musim hujan, dan bergerak ke lembah-lembah selama bulan-bulan dengan cuaca lebih cerah. Mereka mampu melakukan pergerakan di tebing-tebing, serta mampu berenang dengan baik (Foose & van Strien 1997). Badak sumatera memiliki perilaku menggaram (menjilat garam) untuk memenuhi kebutuhan mineral esensial, yang juga berhubungan dengan populasi mereka. Di sekitar satu tempat bergaram, kepadatan populasinya sekitar 13–14 ekor tiap satu kilometer perseginya (Schenkel 1990). Wilayah jelajah (home range) dari badak sumatera jantan dewasa sekitar 30 kilometer persegi, dengan batasan yang saling bertindih antar individunya (overlapping). Badak sumatera betina memiliki wilayah jelajah yang lebih kecil, dengan rata-rata 10–15
kilometer
persegi. Keduanya
(jantan
maupun
betina)
menandai
wilayahnya dengan garukan kaki, kotoran, dan urin (Wilson & Reeder 1993). Badak sumatera umumnya mencari makan pada saat pagi (setelah fajar) dan menjelang malam, serta di malam hari. Jenis makanan yang disukai badak sumatera kebanyakan ditemukan di daerah perbukitan, berupa tumbuhan, semak, dan pohon-pohonan. Merumput tidak dilakukan kecuali untuk jenis-jenis bambu seperti Melocana bambusoides. Terdapat 102 jenis tanaman dalam 44 famili yang disukai badak sumatera. Sebanyak 82 jenis tanaman dimakan daunnya, 17 jenis dimakan buahnya, 7 jenis dimakan kulit dan batang mudanya, dan 2 jenis dimakan bunganya (Nowak 1991). Rata-rata konsumsi harian badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera sebanyak 20–40 kg daun-daunan (yang diberikan pada badak atau hand feeding) dan 3–6 kg buah-buahan, ditambah konsumsi di area paddock yang merupakan hutan alami yang belum diketahui secara pasti (Candra 2005). 2.2.3 Habitat dan Distribusi Badak Sumatera Badak sumatera awalnya tersebar dari Assam dan Burma (Myanmar), Thailand, sampai Indocina, serta Sumatera dan Kalimantan (Indonesia) (Gambar 6). Saat ini terbatas di Selatan Malaya (Sumatera), Sarawak di bagian Utara Kalimantan, serta beberapa di Myanmar (Foose & van Strien 1997). Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat (PHVA) badak sumatera tahun 1993, populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 215–319 ekor atau turun sekitar 50% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebelumnya populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 400–700 ekor. Sebagian besar di wilayah Gunung Kerinci Seblat (250–500 ekor), Gunung
Leuser (130–250 ekor), dan Bukit Barisan Selatan (25–60 ekor). Sebagian yang lainnya tidak diketahui jumlahnya terdapat di wilayah Gunung Patah, Gunung Abong-abong, Lesten-Lokop, Torgamba, dan Berbak (Foose & van Strien 1997). Menurut IUCN/SSC–African and Asian Rhino Specialist Group Maret 2001, jumlah populasi badak sumatera berkisar kurang lebih 300 ekor dan tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Observasi Lapangan tahun 1997-2004, RPU–PKBI memperkirakan jumlah populasi badak sumatera di TNBBS berkisar antara 60– 85 ekor. Sementara TNWK berkisar antara 15–25 ekor (Anonimus 20077).
Gambar 6 Peta Distribusi Badak Sumatera (Foose dan van Strien 1997)
2.2.4
Beberapa Jenis Caplak pada Badak Fowler (1993) melaporkan telah ditemukannya beberapa jenis caplak pada
badak sumatera secara umum. Ektoparasit tersebut adalah Amblyomma testudinarium, Hyaloma walkeriaii, Aponoma sp., dan Haemaphysalis sp., yang ditemukan pada badak sumatera yang tesebar di Semenanjung Malaya. Hasil penelitian di SRS oleh Saraswati (2005) ditemukan jenis-jenis caplak dari genus Amblyomma, Boophillus, dan Haemaphisalis, serta Qodriyah (2006) menemukan jenis Amblyomma testudinarium dan Haemaphisalis sp. Kocan et al. (1993) melaporkan bahwa Anaplasma marginale ditemukan pada kelenjar saliva caplak jantan Dermacentor andersoni, pada nimfa maupun dewasanya. Hal tersebut dilakukan dengan mendeteksi keberadaan DNA Anaplasma marginale pada kelenjar saliva nimfa maupun caplak dewasa D. 7
http://www.badak.or.id/ShowFaqs.asp?FaqsCode=DISTRIBUSI&Lang=INA [18 Januari 2007]
andersoni yang menginfeksi sapi. Penularan parasit protozoa melalui caplak seperti Theileria dan Babesia, dimulai dengan proses perkembangan di sel ususnya, kemudian berpindah ke kelenjar saliva. Caplak jantan dapat tetap menempel pada induk semangnya untuk menghisap darah beberapa kali selama beberapa hari sampai minggu. Maka dari itu, kemungkinan besar dapat menularkan A. marginale ke induk semang yang rentan. Nijhof et al. (2003) melaporkan bahwa Amblyomma rhinocerotis dan Dermacentor rhinocerinus berperan sebagai vektor Babesia bicornis dan Theileria bicornis pada badak Hitam dan badak Putih di Zimbabwe, Afrika. Selain itu juga melaporkan kejadian babesiosis sebelumnya yang menyebabkan kematian pada dua badak Hitam betina (Bahati dan Maggie) di Ngorongoro, Tanzania, pada tahun 2001 dengan temuan Amblyomma variegatum dan Rhipicephalus compositus di daerah perianalnya. 2.3
Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera Suaka Rhino Sumatera (SRS) merupakan tempat yang didirikan pada
tahun 1998 dengan tujuan sebagai breeding centre untuk badak sumatera yang ditangkap (captive). Selain itu berfungsi juga sebagai objek ecotourism dalam program konservasi badak sumatera di Indonesia, termasuk diantaranya program RPU (Rhino Protection Unit). SRS dikelola oleh yayasan multi-nasional (Yayasan Suaka Rhino Sumatera), dengan IRF (International Rhino Foundation) sebagai anggota dan sumber pendanaan utamanya8. Kompleks SRS memiliki area perkandangan badak seluas 100 ha yang merupakan hutan alami di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Saat ini area perkandangan dibagi ke dalam 10 bagian dengan luasan 10 ha dan 20 ha tiap kandangnya. Keseluruhan kawasan perkandangan dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC) yang dibangun dengan meminimalkan efek negatif terhadap habitat hutan tropis yang ada. Fasilitas untuk staff, dokter hewan, serta keeper terletak berdekatan dengan area perkandangan9. Dengan konsep penangkaran semi-insitu, diharapkan SRS dapat dijadikan tempat pusat program breeding badak sumatera yang baik. Secara umum terdapat tiga jenis kandang di SRS, yaitu: 8
http://www.rhinos.irf.org/irfprograms/asiaprograms/sumatranrhinobreedingcenters/waykambassrs/i ndex.htm [27 Juli 2007] 9 http://www.rhinos-irf.org/irfprograms/captiveprograms/index.htm [18 Maret 2007]
(a) Kandang Observasi. Terdapat empat kandang observasi di SRS yang digunakan sebagai tempat memberi pakan, pemeriksaan kesehatan, serta pengobatan untuk tiap badak. Masing-masing kandang observasi tersebut memiliki luas 8 x 6 m serta kandang jepit 2.5 m x 1.5 m. Struktur pagar kandang ini terdiri dari pipa besi dengan diameter 0.9 m dengan tinggi 1.6 m. Lantai kandang memiliki alas beton. Kandang dilengkapi dengan fasilitas berupa sumber air, tempat pakan dan minum, timbangan pakan, perlengkapan kebersihan, serta kotak perlengkapan berisi H2O2, ZnSO4, SWAT (Fly Repellent), KY Jelly, dan Alkohol 70%. (b) Kandang Lepas (Paddock). Keseluruhan area perkandangan dibagi menjadi 10 bagian kandang lepas (paddock), dimana tiap badak akan menempati kandang dengan luasan 10 dan 20 ha. Kawasan ini berupa hutan alami sesuai dengan habitat asli dari badak sumatera. Sekeliling area perkandangan dan batas antar paddock dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC) terbuat dari kawat baja setinggi 1.7 m, terdiri dari tiga kawat baja yang diperkuat strukturnya oleh tiang beton tiap jarak 4 m. (c) Central Area. Central Area merupakan daerah yang berada tepat di tengah area perkandangan, dengan kondisi yang sama dengan paddock, yang digunakan sebagai tempat menyatukan badak disaat betina sedang estrus. Area ini merupakan tempat untuk proses reproduksi badak yang merupakan fungsi utama SRS sebagai breeding centre.
3 MATERI DAN METODE
3.1
Waktu dan Tempat Pengambilan spesimen dilakukan di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman
Nasional Way Kambas, Lampung pada Juli – Agustus 2006, selanjutnya dilakukan pengolahan spesimen dan identifikasi di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan September 2006 – Mei 2007. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah spesimen caplak (larva, nimfa, dan dewasa), alkohol 70%, 80%, 90%, serta alkohol absolut, KOH 10%, minyak cengkih, canada balsam, xylol, dan asam asetat. Alat yang digunakan untuk koleksi caplak di lapangan adalah tick flag (bendera caplak), botol film, dan pinset. Adapun pada proses pembuatan slide preparat, peralatan yang digunakan adalah pembakar api bunsen, gelas piala, tabung reaksi, penjepit kayu, cawan petri, object glass, cover glass, inkubator, kamera digital, mikroskop compound, dan mikroskop stereo. 3.3
Pengambilan Spesimen Pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak dilakukan dengan cara
menggunakan bendera caplak, yaitu alat khusus yang digunakan untuk mengumpulkan larva caplak (famili Ixodidae) yang banyak terdapat pada ujungujung rumput atau semak-semak (Borror et al. 1989). Alat yang digunakan berupa handuk yang permukaannya kasar sehingga spesimen akan mudah menempel pada alat tersebut. Cara yang digunakan dengan menyapukan handuk tersebut (Lampiran 3) pada bagian atas rumput atau semak-semak yang akan dialokasikan pada beberapa titik di lokasi tertentu di area perkandangan SRS (Gambar 7). Area yang disapu oleh handuk tiap titiknya seluas kurang lebih satu meter persegi. Pengambilan spesimen dilakukan pada 10 titik untuk tiap satuan kandang lepas (paddock) secara acak pada jalur yang biasa dilewati badak. Jarak tiap titik antara 10 sampai dengan 20 meter.
Gambar 7 Skema Area Perkandangan di SRS (Riyanto MACT 2006) Selain itu dilakukan pula pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak di luar area perkandangan SRS, dengan lokasi pada radius kurang lebih 100 meter dari jalan lingkaran area kandang SRS ke arah hutan. Daerah pengambilan spesimen dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan urutan kandang yang ada di hadapannya. Di daerah ini dilakukan pengambilan spesimen sebanyak lima titik di setiap daerahnya. Pengambilan
spesimen
caplak
dewasa
dilakukan
dengan
cara
pengambilan manual caplak dewasa yang menempel dan menghisap darah di tubuh badak (Gambar 8), khususnya di seluruh badak sumatera yang ada di SRS yaitu Torgamba, Bina, Rosa, dan Ratu.
Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Puerdue University
Gambar 8 Cara Manual Pengambilan Caplak Dewasa (Stafford 2004)
Caplak
yang
diperoleh
dari
berbagai
tempat
tersebut
kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi alkohol 70% secukupnya sebagai koleksi basah. Pada tiap wadah dimasukkan label yang tahan air untuk memudahkan proses identifikasi. Setelah itu caplak dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengolahan spesimen sebagai prasyarat untuk identifikasi selanjutnya. 3.4
Pengolahan Spesimen Proses pembuatan slide preparat dilakukan dengan metode Ashadi dan
Pantosoedjono (1991) sebagai berikut ini. Koleksi caplak yang telah dikumpulkan, disimpan dalam cairan alkohol 70% kemudian direndam dalam aquades. Setelah itu wadah berisi KOH 10% disiapkan dan caplak perlahan-lahan dimasukkan ke dalam wadah, yang bertujuan agar lapisan kitin caplak menipis, selain itu dapat juga dipanaskan akan tetapi tidak sampai mendidih. Setelah selesai lalu dibilas dengan air sampai bersih sebanyak 3-4 kali. Jika di bagian abdomen menggembung, maka bagian tersebut ditusuk dengan jarum supaya isi abdomen dapat dikeluarkan. Selanjutnya dilakukan dehidratasi dengan alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol 95%. Dalam proses dehidratasi dibutuhkan waktu 10 menit untuk setiap fasenya. Cleaning dilakukan dengan merendam caplak selama 15–30 menit di dalam minyak cengkih. Kemudian caplak dicuci dengan larutan xylol. Pencucian pertama kali terlihat akan berkabut oleh karena itu larutan xylol dibuang lalu diganti dengan yang baru. Spesimen yang telah bersih tersebut kemudian disimpan dalam object glass yang telah ditetesi medium canada balsam dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu preparat slide dimasukkan ke dalam inkubator selama 4–5 hari dibiarkan pada suhu kamar selama 7–10 hari. 3.5
Identifikasi Spesimen Identifikasi dilakukan dari September 2006 - Mei 2007 di Laboratorium
Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan disertai dengan perhitungan kuantitas dari tiap spesiesnya. Identifikasi
caplak dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo yang dicocokkan dengan kunci identifikasi dari Anastos (1950). 3.6
Analisis Data Analisis data predileksi dilakukan dengan menghitung secara langsung
caplak dewasa yang menempel dan menghisap darah di tubuh badak dibagi berdasarkan empat regio, yaitu : kepala; leher & pundak; punggung & ekor; serta ventral tubuh & kaki, sekaligus dilakukan secara manual dengan proses removal dari tubuh badak. Data predileksi caplak dewasa yang didapat menempel dan menghisap darah di tubuh badak dianalisis dengan kategori sebagai berikut : + ++ +++
: : : :
Nihil < 5 ekor (sedikit) 5 – 10 ekor (banyak) > 10 ekor (banyak sekali)
Data infestasi larva dan nimfa caplak dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Jenis-jenis Caplak Jenis ektoparasit dari famili Ixodidae yang ditemukan di Suaka Rhino
Sumatera (SRS) terdiri atas dua jenis, yaitu Haemaphysalis hystricis
dan
Amblyomma testudinarium. 4.1.1 Haemaphysalis hystricis Spesies ini merupakan parasit pada mamalia, walaupun pernah dilaporkan pernah ditemukan pada kura-kura, Geoemyda spinosa (Anastos 1950). Dilaporkan pertama kali ditemukan di Sumatera pada 1915 oleh Nuttall dan Warburton (Anastos 1950). Menurut Yamaguti et al. (1971) H. hystricis tersebar di daerah beriklim subtropis sampai tropis dengan inang yang cukup beragam diantaranya manusia, anjing, kerbau, babi, babi hutan, dan harimau. Saat ini sudah diketahui 168 spesies dari genus Haemaphysalis. Genus Haemaphysalis dicirikan dengan tidak berornata, tidak mempunyai mata, adanya feston, palpus yang pendek dan berbentuk kerucut, dimana artikel keduanya mengarah ke lateral, terilhat secara jelas. Trochanter dari pasangan kaki pertamanya memiliki prosessus dorsal. Spirakel pada betina berbentuk oval atau seperti ‘koma’, pada jantan berbentuk oval. Permukaan ventral pada jantan tidak memiliki piringan kitin. Spesies ini biasanya berukuran kecil (Soulsby 1974, Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004). Jenis caplak yang ditemukan pada badak-badak sumatera yaitu Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu (Gambar 9) ini mempunyai ciri-ciri morfologi sama dengan yang diuraikan oleh Anastos (1950) (Gambar 10) berikut ini. Jantan. Tiga spesimen yang diambil di Sumatera memiliki panjang 3.0, 2.7, dan 2.5 mm serta lebar 2.1, 2.0, dan 2.0 mm, tidak termasuk kapitulumnya. Badan berbentuk oval memanjang, agak mengecil di bagian anteriornya, lebih lebar di bagian tengahnya. Skutum berwarna kuning hingga kecoklatan; memiliki punctata-punctata yang kecil, dangkal, dan tersebar tidak merata; lekuk servical yang kecil, membentuk celah yang dalam di anteriornya, serta melebar di bagian posteriornya; permukaan dorsal tidak rata serta melandai ke tepinya; pseudoskutum memiliki kemiringan yang kecil; tidak adanya celah lateral, atau seringkali keberadaan celah sangat pendek di depan feston pertama di tiap
sisinya; feston berjejer sepanjang lekukan posteriornya. Badan bagian ventral berwarna kuning muda, memiliki punctata yang pendek-pendek, putih, serta memiliki rambut yang tidak terlalu mencolok; arah lekuk genital berlawanan dengan koksa II; arah anus berlawanan dengan spirakel; spirakelnya berbentuk ‘koma’ menonjol ke dorsal; lekuk genital meluas melingkari anus; pelebaran dari lekuk anal hampir menyentuh lekuk genital. Kakinya panjang, kokoh, dan berambut banyak; koksa I relatif panjang taji eksternalnya; koksa II–IV dengan taji yang lebih pendek, trokhanter I memiliki ventral dan dorsal taji yang arahnya ke posterior; tarsinya melandai; pulvillus memiliki panjang kira-kira dua sampai tiga kalinya cakar. Kapitulum memiliki panjang 0.56 mm; basisnya berbentuk persegi panjang, dengan sisinya yang hampir lurus; kornuanya besar, hampir memiliki lebar yang sama dengan panjangnya; palpinya menonjol tegak lurus ke lateral; palpi artikel kedua dan ketiga hampir setara; artikel kedua memiliki perpanjangan seperti cuping di batas antero-internal; artikel ketiga memiliki taji dorsal yang kuat di bagian tengah dari batas posterior; hipostomnya pendek; formula pergigiannya 4 : 4, dengan 10–12 gigi tiap file-nya. Betina. Spesimen betina yang belum menghisap darah memiliki panjang 3.3 mm, lebar 2.3 mm, tidak termasuk kapitulum. Badan berbentuk oval memanjang, melebar di bagian tengahnya. Skutum memiliki panjang 0.075–1.2 mm dan lebar 1.0–1.5 mm, kuning, dengan skapula yang berwarna lebih gelap; punctata berukuran sedang, sedikit, dan merata; lekuk servical sama dalamnya dengan saluran yang keluar dari batas anterior, berlanjut melebar ke posterior, lekuk yang dangkal tidak mencapai batas skutum. Abdomennya memiliki punctata yang sangat kecil; spirakel hampir berbentuk melingkar, dekat dengan bagian tepi dorsal; arah genital berlawanan dengan koksa II; arah anal berlawanan dengan spirakel; lekuk genital meluas secara bertahap, tapi terbuka sangat lebar di bagian anal; perpanjangan dari lekuk anal menyatu dengan lekuk genital. Kaki dan koksa memiliki ciri yang sama dengan jantan. Panjang dari kapitulum 0.64 mm; basisnya berbentuk persegi panjang, sekitar tiga kali panjang lebarnya, bagian area berpori luas, oval, dalam, dan tumpul; palpus memiliki panjang sekitar dua kali dari lebarnya, menonjol ke arah lateral; artikel ke-2 lebih panjang, dengan penonjolan seperti lobus di bagian batas antero-internal; artikel ke-3 dengan taji dorsal yang jelas, dan taji ventralnya lebih panjang; hipostomnya pendek; formula pergigiannya 4:4, dengan 10–12 gigi tiap file-nya.
A B Gambar 9 Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Haemaphysalis hystricis
Keterangan : A – E, Jantan : A, Skutum; B, Koksa I – IV; C, Spirakel; D, Kapitulum dilihat dari dorsal; E, Kapitulum dilihat dari ventral. F – K, Betina : F, Skutum; G, Koksa I – IV; H, Tarsus IV; I, Spirakel; J, Kapitulum dilihat dari dorsal; K, Kapitulim dilihat dari ventral
Gambar 10 Morfologi Haemaphysalis hystricis (Anastos1950)
4.1.2 Amblyomma testudinarium Distribusi dari Amblyomma testudinarum di Indonesia tersebar pada daerah Jawa, Sumatera, Lombok dan Sumba, serta inang yang disukainya adalah Rhinoceros sondaicus atau sejenis badak lainnya (Anastos 1950). Saat ini sudah diketahui 129 spesies dari genus Amblyomma. Genus Amblyomma dicirikan dengan bagian mulutnya yang mecolok dengan panjang melebihi basis kapituli, segmen palpus kedua memiliki panjang setidaknya dua kali dari palpus ketiganya. Genus ini memiliki mata dan feston, skutumnya memiliki ornata yang khas, serta tidak memiliki keping adanal. Jenis Aponoma elaphensis mirip dengan genus ini, tapi bisa dibedakan dari ukurannya yang lebih kecil dan tidak memiliki mata. Genus ini tersebar dari daerah subtropis sampai tropis. Genus Amblyomma memiliki inang yang cukup variatif yaitu mamalia, amphibi, dan reptil. Stadium yang belum dewasa bahkan diketahui menginfestasi burung, sebagai satu di antara faktor yang menyebabkan genus ini memiliki distribusi yang cukup luas (Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004). Jenis caplak yang ditemukan pada badak-badak sumatera yaitu Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu (Gambar 11) ini mempunyai ciri-ciri morfologi sama dengan yang diuraikan oleh Anastos (1950) (Gambar 12) berikut ini. Jantan. Panjang tubuh 5.4–6.4 mm dan lebar 5.1–6.0 mm, tidak termasuk kapitulum. Tubuhnya berbentuk oval meluas, dan mengkerucut di anterior. Skutum berwarna kuning–jingga dan coklat muda, memiliki ornata dibandingkan jenis lainnya; punctata sedikit, besar dan menyebar tidak merata, dengan adanya pertemuan yang jelas dengan feston di bagian anterior; lekuk servicalnya pendek, dalam, dan berbentuk ‘koma’; mata terlihat cukup besar, kuning, dan rata. Feston terlihat menonjol. Permukaan ventral badan berwarna kuning, agak mengkerut dan memiliki beberapa punctata; arah bukaan genital berhadapan dengan koksa II; lubang anal berhadapan dengan bagian batas posterior dari keping spirakel; keping spirakel berbentuk ‘koma’ dan terletak oblique; otot scutes di bagian feston berwarna coklat tua; peltae paralel dengan feston dan terletak secara jelas di postero-internal. Kaki panjang dan kokoh, adanya tanda melingkar yang terlihat samar-samar di bagian ujung distal tiap ruasnya; koksa I memiliki dua taji yang tidak sama, dimana taji eksternal lebih panjang; koksa II dan III masing-masing lebar, memiliki taji yang melingkar; koksa IV memilki satu taji yang panjangnya kira-kira dua kali dari lebarnya; tarsinya pendek, di ujungnya terdapat taji terminal dan sub-terminal; pulvillus kira-kira setengah
panjang cakarnya. Kapitulumnya panjang; basis berbentuk persegi panjang dengan sisi-sisinya yang konveks dan pada batas posteriornya berbentuk konkaf; palpusnya panjang, dengan artikel ke-2 sedikit lebih panjang, kira-kira dua kali dari artikel ke-3; hipostom panjang dan ramping; formula pergigiannya 4:4, dengan 8–9 gigi tiap filenya.
A
B
Gambar 11 Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Amblyomma testudinarium
Keterangan : A – G, Jantan : A, Skutum; B, Koksa I – IV; C, Kapitulum dilihat dari dorsal; D, Spirakel; E, Tarsus I; G, Ventral muscle sentes. H – M, Betina : H, Skutum; I, Koksa I – IV; J, Kapitulum tampak dari dorsal; K, Spirakel; J, Tarsus IV; M, Tarsus I.
Gambar 12 Morfologi Amblyomma testudinarium (Anastos 1950) Betina. Betina yang telah penuh darah panjangnya 25 mm dengan lebar 18 mm serta lebar 15 mm. Bentuk tubuh yang belum menghisap darah hampir bulat. Skutum berbentuk segitiga, lebih panjang lebarnya dibandingkan panjangnya sendiri, sudut posteriornya tumpul, panjang 3.15 mm dengan lebar 3.9 mm, jumlah dan corak dari ornamennya sangat variatif; punctata tidak sama, tersebar tidak merata, dengan satu bentukan yang cukup besar di batas lateral dekat mata; lekuk servical kecil dan berbentuk ‘koma’; mata berwarna kuning, besar, mencolok. Bagian dorsal abdomen memiliki beberapa punctata yang besar dan adanya rambut pendek yang berwarna putih; bagian dorsal fovea kecil, gelap, dan mencolok.
4.2 Populasi Larva dan Nimfa Caplak di SRS Jumlah caplak yang didapatkan dari dalam area kandang SRS sebanyak 513 ekor, dengan rincian sebanyak 99 ekor dari spesies Amblyomma testudinarium dan 414 ekor Haemaphysalis hystricis (Tabel 1, Gambar 13, dan Gambar 14). Sebanyak 603 ekor yang didapatkan dari luar area kandang SRS, dengan rincian sebanyak 418 ekor dari spesies Amblyomma testudinarium dan 185 ekor Haemaphysalis hystricis (Tabel 2, Gambar 15, dan Gambar 16). Tabel 1 Data Populasi Larva dan Nimfa Caplak di Dalam Area Kandang SRS Spesies (%) A. testudinarium H. hystricis (n=10) (∑/n) 1 12/07/06 I–A 13 1.3 3 (23.08) 10 (76.92) 2 16/07/06 I–B 31 3.1 16 (51.61) 15 (48.39) 3 19/07/06 II – A 11 1.1 0 11 (100) 4 11/07/06 II – B 28 2.8 10 (35.71) 18 (64.29) 5 14/07/06 III – A 21 2.1 7 (33.33) 14 (66.67) 6 10/07/06 III – B 31 3.1 5 (16.13) 26 (83.87) 7 07/08/06 IV – A 30 3.0 7 (23.33) 23 (76.67) 8 07/08/06 IV – B 67 6.7 10 (14.93) 57 (85.07) 9 07/08/06 V–A 213 21.3 33 (15.49) 180 (84.51) 10 07/08/06 V–B 68 6.8 8 (11.76) 60 (88.24) Jumlah ( ∑ ) 513 51.3 99 (19.30) 414 (80.70) Keterangan : I -A dan I -B: Kandang Bina; II -A dan II -B: Kandang Torgamba; III -A: Kandang Ratu; III -B: Kandang Rosa; IV -A, IV -B, V -A, dan V -B: Kosong No
Tanggal
Lokasi
Jumlah
Rata-rata
Jumlah
I-B 6% V-B 13%
I-A 3%
II - A 2% II - B 5% III - A 4% III - B 6% IV - A 6%
V-A 42%
IV - B 13%
Keterangan : I -A dan I -B: Kandang Bina; II -A dan II -B: Kandang Torgamba; III -A: Kandang Ratu; III -B: Kandang Rosa; IV -A, IV -B, V -A, dan V -B: Kosong
Gambar 13 Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Amblyomma testudinarium At 19%
At Hh
Hh 81%
Haemaphysalis hystricis
Gambar 14 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Tabel 2 Data Populasi Larva dan Nimfa di Luar Area Kandang SRS No 1 2 3 4 5
Tanggal
Lokasi
Jumlah
Rata-rata
09/08/06 DK – I 111 22.2 09/08/06 DK – II 34 6.8 09/08/06 DK – III 143 28.6 09/08/06 DK – IV 260 52 Jumlah 09/08/06 DK – V 55 11 Jumlah ( ∑ ) 603 120.6 Keterangan : DK : daerah di depan kandang ke-...
DK - V 9%
Spesies (%) A. testudinarium H. hystricis 63 (56.76) 48 (43.24) 14 (41.18) 20 (58.82) 82 (57.34) 61 (42.66) 239 (91.92) 21 (8.08) 20 (36.36) 35 (63.64) 418 (69.32) 185 (30.68)
DK - I 18%
DK - II 6%
DK - IV 43% DK - III 24%
Keterangan : DK : daerah di depan kandang ke-...
Gambar 15
Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS
Haemaphysalis hysricis Hh 31%
At 69%
Amblyomma testudinarium
Gambar 16 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS Berdasarkan data-data pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat disederhanakan sebagai berikut: a
Jumlah caplak di luar area kandang SRS lebih banyak dibandingkan di area kandang SRS sendiri.
b
Urutan banyaknya caplak di area kandang SRS dari yang terbanyak yaitu kandang V – A (42%); V – B dan IV – B (13%); I – B, III – B, IV - A (6%); II - B (5%); II - A (4%); I - A (3%); serta II - A (2%).
c
Urutan banyaknya caplak di luar area kandang SRS dari yang terbanyak yaitu DK-IV (43%); DK - III (24%); DK-I (18%); DK-V (9%); serta DK-II (6%).
d
Jenis caplak Haemaphysalis hystricis (81%) lebih banyak di bandingkan Amblyomma testudinarium (19%) di area kandang SRS, sebaliknya persentase berbalik di luar area kandang SRS, jenis Amblyomma testidunarium (69%) lebih banyak dibandingkan Haemaphysalis hystricis (31%). Pada saat pengambilan spesimen ditemukan bahwa jumlah larva atau
nimfa caplak yang berada di daerah kosong lebih banyak dibandingkan di daerah yang dihuni oleh badak. Faktor inang diduga berpengaruh pada keadaan tersebut, dimana daerah-daerah yang kosong jarang dilewati oleh badak sebagai inang, sehingga larva dan nimfa caplak tidak tersebar akibat tidak pernah menempel pada inang mengakibatkan terbentuknya titik-titik (spot) yang memiliki populasi yang tinggi di daerah-daerah kosong pada umumnya. Hal tersebut bertolakbelakang dengan Swai et al. (2006) yang meneliti bahwa jumlah caplak yang rendah di padang penggembalaan di Amani, Tanzania berhubungan
dengan jumlah ternak yang sedikit di daerah tersebut walaupun ada inang reservoirnya. Keadaan serupa juga terjadi di SRS, walaupun sebuah kandang kosong tidak diisi oleh badak, tapi keberadaan satwaliar lain seperti siamang, babi hutan, dan tupai tetap ada (Andriansyah 2007, komunikasi pribadi). Seperti pada kandang IV dan kandang V, jumlah keberadaan larva dan nimfa sangat banyak. Ditemukan titik-titik dimana populasinya begitu tinggi, misal di kandang V-A rata-rata temuan tiap titiknya mencapai 21.8 caplak dibandingkan dengan rataan di titik lainnya yang berkisar antara 1.1–6.8 caplak saja (Tabel 1).
Gambar 17 Area Paddock (Kandang Lepas) di Suaka Rhino Sumatera Selain itu, saat pengambilan spesimen ditemukan kecenderungan populasi larva dan nimfa caplak tinggi di tempat (spot) dengan ciri-ciri tertentu, yaitu mendapat cahaya matahari yang cukup, berada di sepanjang tepian jalur badak, banyak terdapat tumpukan daun-daun kering, dan pada vegetasi yang rendah (Gambar 17). Untuk data keberadaan jenis-jenis caplak di dalam dan di luar area perkandangan SRS dari jenis A. testudinarium dan H. hystricis, dimana hasil yang ditemukan seperti disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2, populasi H. hystricis lebih banyak daripada A. testudinarium di dalam area kandang SRS (Tabel 1) dan keadaan sebaliknya terjadi di luar area kandang SRS (Tabel 2). Dari data tersebut bisa dikatakan tidak ada pola yang pasti untuk penyebaran jenis-jenis caplak. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku caplak yang meletakkan telurnya secara acak di tanah setelah kenyang menghisap darah inang (Bowman et al. 2003). Pola oviposisi dari caplak belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga sulit untuk memetakan kecenderungan jenis-jenis caplak dalam menyebarkan telurnya. Menurut Norval dan Lightfoot (1982) keberadaan jenis-jenis caplak dipengaruhi waktu (antar musim dan antar tahun) dan area (antara habitat dan zona ekologi) yang dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti keberagaman inang, dan mikroklimat. 4.3 Predileksi Caplak Dewasa di Tubuh Badak Caplak pada kenyataannya memiliki kecenderungan tertentu dalam memilih tempat saat menempel di inangnya untuk menghisap darah. Menurut Fraser et al. (1991) setiap spesies caplak memiliki tempat yang disenangi pada tubuh inang. Caplak Boophilus sp. menyukai daerah kepala, leher dan bahu, sedangkan caplak Amblyomma sp. menyukai daerah gumba, ventral tubuh, ambing, dan alat kelamin hewan jantan (Fraser et al. 1991). Ketchum et al. (2005) melaporkan jenis caplak Amblyomma maculatum menyukai regio kepala dan leher pada sapi gembala (ranch) di Amerika Utara dengan persentase sebanyak 69% dari keseluruhan populasi. Fielden dan Reckav (1994) melaporkan jenis Amblyomma marmoreum menyukai regio posterior kaki depan pada kura-kura Leopard (Geochelone pardalis) di National Zoological Gardens,
Pretor, Afrika Selatan dengan persentase sebanyak 87% dari keseluruhan populasi. Predileksi caplak dewasa pada tubuh badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Predileksi Caplak Dewasa (famili : Ixodidae) pada Tubuh Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS No
Nama Badak
Kepala
Predileksi Punggung & Leher & bahu Ekor +++ +
Ventral Tubuh & Kaki ++
1
Bina
+
2
Ratu
+
++
+
++
3
Torgamba
+
++
+
++
4
Rosa
+
+++
+
++
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa tempat infestasi yang paling disukai yaitu regio leher dan bahu (Gambar 18). Badak sumatera memiliki banyak lipatan kulit pada daerah tersebut, sehingga sangat kondusif bagi caplak untuk berlindung di bawah lipatan-lipatan tersebut, terhindar dari gangguan mekanis (misalnya tersapu dahan semak-semak ketika badak melintasinya) maupun biologis (misalnya burung). Regio leher dan bahu juga merupakan daerah yang memiliki pembuluh darah besar seperti vena jugularis yang cenderung dekat ke permukaan kulit (superficial) sehingga memungkinkan caplak dalam mengambil darah dengan mudah dan banyak. Berbeda dengan daerah lain seperti punggung dan kepala sangat rentan terhadap gangguan mekanis ataupun biologis berupa predator (misalnya jenis burung tertentu).
A
B
C D
Keterangan: A: Kepala, B: Leher & Bahu, C: Punggung & Ekor, D: Ventral Tubuh & Kaki
Gambar 18 Pembagian Regio pada Tubuh Badak Sumatera untuk Pengamatan Predileksi Caplak Dewasa (Model: Bina) Faktor yang mempengaruhi predileksi ini belum diketahui secara pasti. Menurut Fielden dan Rechav (1994) caplak memerlukan bagian kulit yang tipis dan area terlindung pada inang untuk memudahkan dalam proses menghisap darah. Caplak dewasa betina biasanya memilih menempel dan menghisap darah di area posterior regio leher dan kaki depan agar terhindar dari gangguan mekanis, dan caplak dewasa jantan biasanya memilih daerah sekitarnya dimana signal feromon masih bisa dideteksi. Ketchum et al. (2005) melaporkan keberadaan caplak Amblyomma maculatum yang lebih memilih tempat yang banyak memiliki rambut pada sapi gembala di Amerika Utara dikarenakan aman dari gangguan mekanik dan predator. Menurut Hadi dan Soviana (2000) caplak memiliki organ sensoris yang disebut organ haller. Alat tersebut berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia, olfaktori, dan mekanis. Organ haller digunakan caplak untuk mendeteksi adanya inang yang cocok serta menterjemahkan feromon yang dikeluarkan caplak lain. Bisa dimungkinkan fungsi sensoris kimia dan mekanis yang juga dimiliki oleh organ haller tersebut berperan dalam predileksi caplak di tubuh inangnya. Fungsi sensoris kimia bisa berfungsi dalam melacak kimia darah yang menjadi makanan caplak, sehingga ditemukan tempat yang tepat, seperti pembuluh darah yang lebih superfisial dijadikan tempat yang disukai caplak untuk berinfestasi; dan fungsi mekanis bisa berperan dalam mencari tempat berlindung kondusif di inang yang aman dari gangguan luar mekanis. 4.4 Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di Suaka Rhino Sumatera Caplak merupakan ektoparasit yang penting dalam kedokteran hewan. Semua caplak merupakan parasit pada vertebrata darat setidaknya pada satu tahap dalam siklus hidupnya. Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus yang
menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia (Noble & Noble 1982, Jongejan & Uilenberg 2004, Kim et al. 2006). Menurut Cheng (1964), efek yang ditimbulkan akibat gigitan caplak secara umum bisa dikategorikan menjadi lima, yaitu: (a) Anemia. Faktor penyebabnya masih belum jelas, walaupun banyak dugaan gejala klinis ini disebabkan oleh parasit darah yang ditularkan oleh caplak; (b) Paralisis. Kejadian paralisis biasanya terjadi setelah caplak betina menghisap darah, penyebabnya merupakan neurotoxin. Walaupun tidak semua jenis caplak betina bisa mengeluarkan neurotoxin. Pemulihannya bisa dilakukan dengan dilepaskannya caplak dari tubuh induk semang. Beberapa jenis caplak yang diketahui menyebabkan paralisis diantaranya adalah: Ixodes holocylus menyebabkan paralisis pada anjing dan manusia (Australia), Dermacentor andersoni dan Dermacentor variabilis menyebabkan paralisis pada manusia, sapi, domba, dan bison (di Amerika dan Inggris), Ixodes pilosus (Afrika Selatan dan Eropa), Amblyoma
americanum menyebabkan
paralisis
pada
berbagai mamalia
(Amerika); (c) Kerusakan Mekanis. Gigitan caplak menyebabkan kerusakan akut pada integumen induk semang dan jaringan di bawahnya. Selanjutnya, bekas gigitan tersebut dapat menyebabkan infeksi bakteri dan fungi, serta sebagai jalan masuk bagi larva insekta (pada kejadian miasis); (d) Toksin dan Venom. Gigitan dari beberapa jenis Ixodidae seperti Dermacentor occidentalis, Dermacentor variabilis, dan Ixodes ricinus,
dapat menyebabkan gangguan
sistemik aklibat sekresi yang dikeluarkan caplak setelah melakukan gigitan. Pada Argasidae, Ornithodorus moubata di Afrika menyebabkan pembengkakan akut dan iritasi. Asal toksin belum diketahui, walaupun Ixodes ricinus diketahui mengeluarkan antikoagulan sewaktu menghisap darah untuk mencegah pembekuan darah di tempat gigitan serta koagulasi darah di traktus alimentarius caplak tersebut. Diduga kebanyakan caplak mengeluarkan sekreta serupa dimana terkandung pula toksin di dalamnya; (e) Vektor Mikroorganisme. Caplak merupakan vektor untuk protozoa, bakteri, rickettsia, dan spirochaeta. Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: (a) caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; (b) kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti antihemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh
darah; (c) cara makan caplak yang lambat dan bertahap (gradual) dapat berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; (d) caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; (e) memiliki variasi inang yang luas; (f) sedikit musuh alamnya; (g) caplak dapat menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) dan transtadial (dari larva ke nimfe ke caplak dewasa); (h) caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil (Woolley 1988, Sonenshine 1991, Labuda & Nuttal 2004, Valenzuela 2004).
Untuk genus Haemaphysalis telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Uchida et al. (1995) menemukan antigen gen sekuen Rickettsia rickettsii pada jenis Haemaphysalis longicornis. Parola et al. (2003) melaporkan jenis Haemaphysalis hystris yang ditemukan pada babi hutan di Vietnam menjadi vektor Ehrlichia sp. strain Ebm52 yang mirip Ehrlichia chaffee, jenis ini juga merupakan satu diantara penyakit zoonosis yang penting. Dilaporkan juga bahwa tiga kejadian ehrlichiosis pada manusia sejak tahun 1991 dari jenis ini (Dumler et al. 2001). Sementara itu Kim et al. (2006) menemukan bahwa Haemaphysalis sp. berperan sebagai vektor Anaplasma phagocytophilum, Anaplasma platys, Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii, Ehrlichia canis, dan Rickettsia rickettsii dengan menggunakan PCR. Thekisoe et al. (2007) menemukan Trypanosoma sp. dengan PCR yang diisolasi dari kelenjar air liur Haemaphysalis hystricis yang diambil di Osumi Peninsula, Jepang. Khan et al. (2004) melaporkan kematian lima badak sumatera yang ada di Sumatran Rhino Conservation Center di Sungai Dusun, Malaysia, pada Oktober sampai dengan November 2003 disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Hal tersebut didasarkan pada temuan parasit tersebut melalui ulas darah pada dua badak. Dengan demikian resiko badak sumatera di SRS untuk terinfeksi Trypanosoma sp. dengan adanya H. hystricis yang merupakan vektor alami dari Trypanosoma sp. harus diwaspadai agar tidak terulang kasus yang sama. Untuk genus Amblyomma telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Yano et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia japonica penyebab Japanese spotted fever. Cao et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Cina Selatan berperan sebagai vektor Ehrlichia chaffensis dengan menggunakan PCR yang dicocokkan dengan DNA sequencing. Parola et al. (2003) melaporkan bahwa jenis Amblyomma javanense yang dikoleksi dari Myanmar berperan sebagai vektor Anaplasma sp. strain AnAj360. Swai et al. (2006) melaporkan bahwa jenis Amblyomma variegatum berperan sebagai vektor Theileria parva pada ternak sapi di Tanga, Tanzania. Fournier et al. (2006) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia tamurae sp.nov.
Gambar 19 Siklus Hidup Babesia bigemina (Farmer 1980) Menurut Saraswati (2005) jenis parasit darah (Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp.) yang ada pada badak sumatera di SRS diakibatkan oleh adanya caplak sebagai vektor mekaniknya (Gambar 19), yaitu Amblyomma sp., Haemaphysalis sp., dan Boophilus sp. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian
Stokes-Greene
(2006)
di
SRS,
dimana
ditemukan
insidensi
parasitemia berbagai protozoa darah pada badak sumatera di SRS yaitu: Anaplasma marginale (≥ 27 % tiap individu); Anaplasma centrale (≥ 10 % tiap individu); serta Theileria sp. (≥ 15 % tiap individu). Menurut Homer et al. (2000) semua jenis Babesia sp., yang merupakan protozoa darah, ditransmisikan oleh caplak Ixodidae ke inang vertebratanya, sehingga jenis-jenis caplak yang ditemukan di SRS diduga berperan sebagai vektor protozoa darah. Namun demikian pemeriksaan spesifik pada caplak untuk tick-borne pathogens menggunakan pemeriksaan molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) yang biasanya digunakan untuk mengetahui anti-antibodi dari agen yang dibawa oleh caplak.
4.5 Beberapa Alternatif Pengendalian Pengendalian caplak didasarkan pada jenis dan siklus hidupnya. Jenis caplak (berumah satu, dua, atau tiga) harus diketahui dengan pasti untuk menentukan metode dan waktu pengendalian. Ada beberapa cara pengendalian caplak,
yaitu
pengendalian
alami,
mekanik,
biologi
(biokontrol),
kimia,
penggunaan inang resisten, pengendalian terpadu, serta anti-tick vaccine (vaksin anti caplak) (Williams et al. 1985, Willadsen & Jongejan 1999, Hadi & Soviana 2000, Willadsen 2004). Pengendalian alami bisa dilakukan dengan rotasi kandang terhadap badakbadak yang ada di SRS. Rotasi kandang yang biasa dilakukan di SRS setiap 2–3 bulan sekali. Rotasi tempat sangat efektif untuk mencegah meluasnya infestasi caplak keras berinang satu (Hall 1985). Cara rotasi ini biasa dilakukan pada ternak gembala (ranch), dimana larva caplak yang menetas di setiap padang penggembalaan akan mati dalam waktu paling lama 16 minggu karena tidak menemukan inang, sampai ternak tersebut kembali digembalakan di padang penggembalaan tersebut. Selain itu cuaca yang panas dan kelembaban yang rendah akan mempercepat kematian larva (Seddon 1967). Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan membakar rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfeksi (Williams et al. 1985). Menurut Hall (1985) pembakaran rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfestasi caplak efektif mengurangi populasi caplak dalam jumlah besar, terutama larva yang menunggu inang mereka di ujung rumput atau tumbuhan lainnya. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan di SRS karena kondisi kandang lepas (paddock) badak yang merupakan hutan yang cukup rapat sehingga bisa mengakibatkan kerusakan yang besar jika menggunakan metode pembakaran tersebut. Pengendalian mekanik yang sudah dilakukan di SRS adalah dengan melakukan pemotongan rumput di area kandang lepas (paddock) SRS. Dengan pemotongan rumput ini efek yang ditimbulkan diharapkan sama yaitu pengurangan populasi caplak. Selain itu, pengeringan padang penggembalaan (drained pasture) pernah dilakukan di Afrika dan Jepang untuk mengendalikan populasi caplak Rhipicephalus appendiculatus dan Haemaphysalis longicornis (Youdewei & Service 1983). Pengendalian biologi (biokontrol) terutama bertujuan mengendalikan populasi caplak seminimal mungkin agar tidak menimbulkan masalah dengan melibatkan beberapa agen biokontrol caplak yaitu patogen, parasitoid, dan
predator alami caplak (Williams et al. 1985, Mwangi et al. 1991, Samish & Rehacek 1999, Kaaya 2003). Caplak secara alami memiliki beberapa musuh alami, tapi hanya sedikit yang telah diteliti sebagai tick biocontrol agents (BCAs). Dengan kondisi SRS yang berupa hutan alami, sangat dimungkinkan terdapat predator atau pemangsa alaminya walaupun tanpa perlakuan khusus dengan menyebarkannya di dalam area kandang SRS. Metode ini lebih sulit dan hasilnya lebih lambat terlihat dibandingkan penggunaan zat kimia (insektisida) karena umumnya musuh alami yang bersifat tidak spesifik terhadap suatu jenis ektoparasit, akan optimal jika merupakan bagian dari suatu pengendalian terpadu (Hadi & Soviana 2000). Pengendalian caplak secara kimia merupakan cara paling banyak digunakan sampai saat ini. Bahan kimia yang digunakan disebut akarisida. Penggunaan arsenik sebagai akarisida merupakan yang tertua sejak awal ditemukannya sekitar 40 tahun sebelum Perang Dunia II, sampai banyak terjadi resistensi caplak. Setelah itu penggunaan akarisida organik sintetik lebih banyak dipilih
sebagai
alternatif.
Penggunaan
akarisida
harus
memperhatikan
keuntungan, batasan pemakaian, dan potensi kerugian dengan setiap metode aplikasi dan variasi produk akarisida (George et al. 2004). Penggunaan akarisida pada satwaliar seperti badak sumatera akan lebih sulit jika dibandingkan pada ternak, seperti misalnya metode dipping dan spraying pada ternak akan sulit diterapkan pada badak (Candra 2007, komunikasi pribadi). Menurut Hadi dan Soviana (2000) penggunaan insektisida yang tidak bijaksana dalam upaya pengendalian serangga hama dapat menimbulkan berbagai akibat yaitu: (a) pesticide resistance, munculnya populasi serangga target yang menjadi resisten, sehingga perlu insektisida dalam jumlah yang lebih tinggi; (b) pest resurgence, populasi serangga hama yang baru yang lebih ganas; (c) secondary pest outbreak, peningkatan populasi serangga non target hingga mencapai tingkat yang merugikan; (d) residual due problems, penumpukan residu insektisida pada tanaman, tanah, air atau udara yang menimbulkan masalah baru pada hewan; (e) hazzard to nontarget species, senyawa kimia insektisida dapat mengganggu proses penyerbukan, satwaliar, dan segala bentuk kehidupan alami; (f) legal problems, kontaminasi atau pencemaran insektisida dapat menimbulkan reaksi hukum. Masalah hazzard to nontarget menjadi pertimbangan utama bagi manajemen SRS mengingat kondisi area perkandangan yang memang didesain dengan konsep semi-insitu harus mempertahankan segala bentuk kehidupan
alami (pertimbangan ekologis), disamping bahaya secara langsung terhadap badak dengan adanya residu (residual due problems) pada tanaman yang juga merupakan sumber pakan bagi badak di SRS. Biasanya di SRS hanya digunakan SWAT untuk repellen ektoparasit secara umum, walaupun tidak secara khusus untuk mencegah infestasi caplak di tubuh badak namun cukup berhasil mengurangi jumlahnya (Candra 2007, komunikasi pribadi). Pengembangan anti-tick vaccines merupakan sebuah terobosan terbaru, walaupun masih banyak perlu dilakukan penelitian. Menurut Willadsen (2004) vaksinasi dengan menggunakan protein antigen caplak tertentu terbukti dapat menginduksi pembentukan imunitas yang signifikan terhadap infestasi caplak. Pembuatan vaksin caplak dilakukan dengan membuat anti-antigen dari patogen yang terdapat pada kelenjar saliva dan saluran usus caplak. Sampai saat ini, vaksin caplak hanya dapat bekerja untuk mencegah infestasi nimfa dan caplak dewasa pada inang, tetapi tidak pada larva caplak (Jongejan & Uilenberg 2004). Penggunaan vaksin caplak biasanya masih harus dikombinasikan dengan akarisida. Strategi pengendalian terpadu merupakan cara pengendalian dengan memadukan berbagai metode pengendalian yang ada. Strategi ini dilakukan dengan mengetahui resistensi yang terjadi pada caplak serta patogen yang ditularkan, dinamika populasi caplak, analisis biaya terhadap penggunaan akarisida, serta ketersediaan vaksin terhadap tick-borne diseases (penyakit yang ditularkan oleh caplak). Data akurat mengenai ekologi caplak (distribusi geografis, seasonal activity, dan inang definitif caplak) dan prevalensi dari tickborne diseases dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam tindakan pengendaliannya (Willadsen & Jongejan 1999). Pengendalian terpadu yang bisa dilakukan di SRS saat ini masih terbatas pada kombinasi metode pengendalian alami (rotasi kandang) dan mekanik (pemotongan rumput di area paddock).
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1
Terdapat dua jenis caplak (famili: Ixodidae) yang ditemukan di SRS, yaitu: Haemaphysalis hystricis dan Amblyomma testudinarium. Keduanya diduga berperan dalam penularan penyakit protozoa darah ke badak.
2
Jenis caplak Haemaphysalis hystricis (81%) lebih banyak di bandingkan Amblyomma testudinarium (19%) di area kandang SRS, sebaliknya persentase di luar area kandang SRS, jenis Amblyomma testidunarium (69%) lebih banyak dibandingkan Haemaphysalis hystricis (31%).
3
Larva dan nimfa caplak banyak ditemukan di daerah yang jarang dilewati oleh hewan.
4
Predileksi caplak dewasa di tubuh badak paling banyak ditemukan di regio leher dan bahu daripada regio lainnya.
5
Pengendalian yang paling memungkinkan dilakukan di SRS adalah pengendalian terpadu yaitu perpaduan cara alami (rotasi kandang) dan mekanik (pemotongan rumput di area paddock).
5.2 Saran
1
Perlu dilakukan penelitian berkala di SRS untuk mengetahui seasonal activity dan dinamika populasi caplak sehingga akan lebih memudahkan dalam pengendaliannya.
2
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai agen yang dapat ditularkan oleh jenis-jenis caplak di SRS menggunakan metode yang lebih spesifik melalui pemeriksaan pada kelenjar saliva caplak.
DAFTAR PUSTAKA
Anastos G. 1950. The Scutate Ticks or Ixodidae of Indonesia. J. Entomol. Am. Vol. 30 (35-38): 114-120. Aryani L. 1994. Caplak Keras (Acari: Ixodidae) pada Mamalia [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Barker SC, A Murrell. 2002. Phylogeny, Evolution, and Historical Zoogeography of Ticks: a review of recent progress. Exp. Appl. Acarol. Vol.28:55-68. Borror DJ, CA Triplehorn, NF Johnson. 1989. An Introduction to the Study of Insects. Ed ke-6. Ohio: The Ohio State University. Bowman DD, RC Lynn, ML Eberhard, A Alcaraz. 2003. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders-Elsevier. Camicas JL, JP Hervy, F Adam, PC Morel. 1998. The Ticks of the World. Nomenclatur, Described Stages, Hosts, and Distribution (Acari, Ixodida). Paris: Orstom Editions. Candra D. 2005. Curator’s Report 2004 [laporan]. M Agil, MACT Riyanto, NJ van Strien, editor. Bogor: Yayasan Suaka Rhino Sumatera. Cao WC, YM Gao, PH Zhang, XT Zhang, QH Dai, JS Dumler, LQ Fang, H Yang. 2000. Identification of Ehrlichia chaffensis by Nested PCR in Ticks from Southern China. J. Clin. Microbiol. Vol. 38 (7): 2778–2780. Chandler AC, CP Read. 1972. Introduction to Parasitology. New York: John Wiley & Sons Inc. Cheng TC. 1964. General Parasitology. Orlando: Harcourt Brace Jovanovich. Dumler JS, AF Barbet, CP Bekker, GA Dasch, GH Palmer, SC Ray, Y Rikihisa, FR Rurangirwa. 2001. Reorganization of Genera in the Families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in Order Rickettsiales: Unification of Some Species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia with Neorickettsia, Descriptions of Six New Species Combinations and Designation of Ehrlichia equi and ‘HGE agent’ as Subjective Synonyms of Ehrlichia phagocytophila. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. Vol. 51 (4): 2145–2165. Farmer JN. 1980. The Protozoa: Introduction to Protozoology. London: Mosby Company.
Fielden LJ, Y Rechav. 1994. Attachment Sites of the Tick Amblyomma marmoreum on its Tortoise Host, Geochelone pardalis. J. Exp. Appl. Acarol. Vol. 18 (6): 339–349. Foose TJ, NJ van Strien. 1997. Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan. Gland, Switzerland and Cambridge, UK: IUCN. Foster WA, ED Walker. 2002. Medical and Veterinary Entomology. London: Academic Press. Fournier PE, N Takada, H Fujita, D Raoult. 2006. Rickettsia tamurae sp.nov., isolated from Amblyomma testudinarium Ticks. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. Vol. 56 (8): 1673–1675. Fowler ME. 1993. Zoo and Wid Animal Medicine. Ed ke-5. Colorado: W.B. Saunders Company Denver. Fraser CM, JA Bergeron, A Mays, SE Aiello. 1991. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-7. USA: Merck & Co. Inc. Freeman P. 1974. Insects. Ed ke-5. London: British Museum of Natural History. Gaafar SM. 1985. Parasites, Pests, and Predators. New York: Elsevier. Gandahusada S. 1998. Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. George JE, JM Pound, RB Davey. 2004. Chemical Control of Ticks on Cattle and the Resistance of These Parasites to Acarisides. Supplement. J. Parasitol. Vol. 129: 353-336. Gunawan AW, SS Achmadi, L Arianti. 2007. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press. Hadi
UK, S Soviana. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Pengendalian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Diagnosa,
dan
Hall HTB. 1985. Diseases and Parasites of Livestock in the Tropics. England: Longman Scientific & Technical. Homer MJ, IA Delfin, SR Telford III, PJ Krause, DH Persing. 2000. Babesiosis. J. Clin. Microbiol. Rev. Vol. 72 (5): 451–469.
Horak IG, JL Camicas, JE Kierans. 2002. The Argasidae, Ixodidae, and Nuttalliellidae (Acari: Ixodida): a world list of valid tick names. Exp. Appl. Acarol. Vol. 28: 27-54. Jongejan F, G Uilenberg. 2004. The Global Importance of Ticks. Supplement. J. Parasitol. Vol. 129: 3-14. Kaaya GP. 2003. Prospects for Innovative Methods of Ticks Control in Africa. Insect Sci. Appl. Vol. 23: 59-67. Kahl O, L Gern, L Eisen, RS Lane. 2002. Ecological Research on Borrelia burgdorferi sensu lato: Terminology and Some Methodological Pitfalls. In Lyme Borreliosis. Biology, Epidemiology, and Control. Wallingford, UK: CABI Publishing. Kahn M, TJ Foose, NJ van Strien. 2004. Peninsula Malaysia. Asian Rhino Specialist Report. Pachyderm (36): 11-12. Ketchum HR, PD Teel, OF Strey, MT Longnecker. 2005. Feeding Predilection of Gulf Coast Tick, Amblyomma maculatum Koch, Nymphs on Cattle. J. Vet. Parasitol. Vol. 133 (4): 349– 356. Kierans JE, LE Durden. 1998. Illustrated Key to Nymph of the Tick Genus Amblyomma (Acari: Ixodidae) Found in United States. J. Med. Entomol. Vol. 35 (4): 489–495. Kim CM, YH Yi, DH Yu, MJ Lee, MR Cho, AR Desai, S Shringi, TA Klein, HC Kim, JW Song, LJ Baek, ST Chong, ML O’Guinn, JS Lee, IY Lee, JH Park, J Foley, JS Chae. 2006. Tick-Borne Rickettsial Pathogens in Ticks and Small Mammals in Korea. Appl. Environ. Microbiol. J. Vol. 72 (9): 5766–5776. Kocan KM, WL Goff, D Stiller, W Edwards, SA Ewing, PL Claypool, TC McGuire, JA Hair, SJ Barron. 1993. Development of Anaplasma marginale in salivary glands of Male Dermacentor andersoni. Am. J. Vet. Vol. 54 (1): 107–112. Krantz GW. 1978. A Manual of Acarology. Corvallis, Oregon: Oregon State University Book Stores Inc. Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. Gatot A, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Terjemahan dari: Veterinary Parasitology. Macdonald D. 2001. The New Encyclopedia of Mammals. Oxford: Oxford University Press.
Mwangi EN, OO Dipeolu, RM Newson, GP Kaaya, SM Hassan. 1991. Predators, Parasitoids, and Pathogens of Ticks: a review. Biocontrol Sci. Tech. Vol. 1: 147-156. Nijhof AM, BL Penzhorn, G Lynen, JO Mollel, P Morkel, CPJ Bekker, F Jongejan. 2003. Babesia bicornis sp. nov. and Theileria bicornis sp. nov.: TickBorne Parasites Associated with Mortality in the Black Rhinoceros (Diceros bicornis). J. Clin. Microbiol. Vol. 41 (5): 2249–2254. Noble ER, GA Noble. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardiarto, penerjemah; Soeripto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: the Biology of Animal Parasites 5th Ed. Norval RAI, CJ Lightfoot. 1982. Tick Problems in Wildlife in Zimbabwe. Factors Influencing the Occurence and Abbudance of Rhipicephalus appendiculatus. Zimbabwe Vet. J. Vol. 13 (6): 11–20. Nowak RM. 1991. Walker’s Mammals of the World. Ed ke-5. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Pantosoedjono S. 1991. Praktikum Entomologi Veteriner. Bogor: Lab. Biologi– Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Parola P, JP Cornet, YO Sanogo, RS Miller, HV Thien, JP Gonzalez, D Raoult, SR Telford III, C Wongsrichanalai. 2003. Detection of Ehrlichia spp., Anaplasma spp., and Other Eubacteria in Ticks from Thai-Myanmar Border and Vietnam. J. Clin. Microbiol. Vol. 41 (4): 1600–1608. Qodriyah H. 2006. Identifikasi dan Predileksi Beberapa Jenis Ektoparasit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung [skripsi]. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam As-Syafi’iyah. Samish M, J Rehacek. 1999. Pathogens and Paredators of Ticks and their Potential in Biological Control. Ann. Rev. Entomol. Vol. 44: 159-182. Saraswati Y. 2005. Parasit-parasit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Schmidt GD, LS Roberts. 1981. Foundations of Parasitology. Ed ke-2. Toronto: The C.V. Mosby Company.
Scott DW. 1988. Large Animal Dermatology. Philadelpia: W.B. Saunders Company. Seddon HR. 1967. Diseases of Domestic Animals in Australia, Arthropod Infections (Tick and Mites). Ed ke-2. Canberra: Department of Health, Commonwealth of Australia. Schenkel R. 1990. Grzimek’s Encyclopedia of Mammals. Volume ke-4, Asiatic Rhinoceroses. Parker SP, editor. New York: McGraw-Hill. hlm 635-642. Sonenshine DE. 1991. Biology of Ticks. Vol ke-1. Oxford: Oxford University Press. Sonenshine DE. 1993. Biology of Ticks. Vol ke-2. Oxford: Oxford University Press. Soulsby EJL. 1974. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-6. London: Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. Stafford KC. 2004. Tick Management Handbook: A Integrated Guide for Homeowners, Pest Control Operators, and Public Health Officials for the Prevention of Tick-Associated Diseases. Connecticut: Connecticut Agricultural Experiment Station. Stookes-Greene L. 2006. Evaluation of Infectious Disease Risks to the Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) by Hematologic and Serologic Survey of Domestic Animals and Captive Wildlife Surrounding Way Kambas National Park, Indonesia [laporan]. Ohio: The Ohio State University. Swai ES, ED Karimuribo, EA Rugaimukamu, DM Kambarage. 2006. Factors Influencing the Distribution of Questing Ticks and the Prevalence Estimation of T. parva infection in Brown Ear Ticks in the Tanga Region, Tanzania. J. Vec. Ecol. Vol. 31 (2): 224–228. Thekisoe OMM, T Honda, H Fujita, B Battsetseg, T Hatta, K Fujisaki, C Sugimoto, N Inoue. 2007. A Trypanosoma Species Isolated from Naturally Infected Haemaphysalis hystricis Ticks in Kagoshima Perfecture, Japan. J. Parasitol. Vol. 134: 967-974. Uchida T, Y Yan, S Kitaoka. 1995. Detection of Rickettsia japonica in Haemaphysalis longicornis Ticks by Restriction Fragment Length Polymorphism of PCR Product. J. Clin. Microbiol. Vol. 33 (4): 824–828. Urquhart GM, J Armour, JL Duncan, AM Dunn, FW Jennings. 1990. Veterinary Parasitology. Glasgow: Longman Scientific & Technical.
Wellcome HK. 1976. Cattle Tick Control. London: Cooper Division Wellcome Found Ltd. Whitfield PJ. 1979. The Biology of Parasitism: an Introduction to the Study of Associating Organisms. London: Edward Arnold. Whitlock JH. 1960. Diagnosis of Veterinary Parasitisms. Philadelpia: Lea & Febiger. Willadsen P, F Jongejan. 1999. Immunology of the Tick-Host Interaction and the Control of Ticks and Tick-Borne Diseases. Parasitol. Today Vol. 15: 258-262. Willadsen P. 2004. Anti-Tick Vaccines. Supplement. Parasitol. Vol. 129: 363-387. Williams RE, RD Hall, AB Broce, PJ Scholl. 1985. Livestock Entomology. New York: John Willey & Sons. Wilson DE, DM Reeder. 1993. Mammal Species of the World. Ed ke-2. Washington: Smithsonian Institution Press. Woolley TA. 1988. Acarology: Mites and Human Welfare. New York: John Willey & Sons. Yamaguti N, VJ Tipton, HL Keegan, S Tashioka. 1971. Ticks of Japan, Korea, and the Ryuku Islands. Brigham Young University Sci. Bull. Vol. 15: 77– 83. Yano Y, N Takada, H Fujita. Ultrastructure of Spotted Fever Group Rickettsiae in Tissue of Larval Amblyomma testudinarium (Acari: Ixodidae). J. Acarol. Soc. Jpn. Vol 9 (2): 181–184. Youdewei A, MW Service. 1983. Pest and Vector Management in the Tropics with Particular Reference to Insects, Ticks, Mites, and Snails. London and New York: Longman Group Ltd.
LAMPIRAN
Ratu
Rosa
Lampiran 1 Foto Badak Sumatera yang Berada Di Suaka Rhino Sumatera
Torgamba
Bina
Lampiran 2 Foto Kawasan dan Aktivitas Suaka Rhino Sumatera
B A
A: daerah di luar area perkandangan SRS; B: area kandang lepas (paddock) SRS yang dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC), kedua daerah dipisahkan oleh jalan yang melingkari keseluruhan area perkandangan
Badak sumatera betina (Ratu) sedang diperiksa ovariumnya menggunakan USG di kandang observasi SRS.
Salah satu keeper (Sunar) di SRS yang sedang melakukan recording aktivitas harian Torgamba saat di paddock SRS.
Lampiran 3 Foto Pengambilan Spesimen
Pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak pada vegetasi rendah dengan menggunakan tick flag di sepanjang jalur yang biasa dilewati badak di area kandang lepas (paddock) SRS.
Pengambilan spesimen caplak dewasa secara manual yang menempel dan menghisap darah pada tubuh badak di SRS. Hal tersebut dilakukan sambil memandikan badak di kandang observasi di saat badak kembali dari kandang lepas (paddock).
Lampiran 4
Foto Caplak Dewasa Saat Menghisap Darah pada Tubuh Badak Sumatera
Caplak dewasa Amblyomma testudinarium saat menghisap darah pada tubuh badak sumatera Rosa di SRS.
Caplak dewasa Haemaphysalis hystricis saat menghisap darah pada tubuh badak sumatera Torgamba di SRS.
Lampiran 5 Foto Slide Preparat Caplak
Slide preparat Haemaphysalis hystricis.
Slide preparat Amblyomma testudinarium.
Lampiran 6 Foto Slide Preparat Caplak dilihat Menggunakan Mikroskop Compound
A
B
C
Kapitulum dari Amblyomma testidunarium. A: kelisera, B: hipostom, C: palpus. Bagian ini sangat khas pada genus Amblyomma, dicirikan dengan ukurannya yang lebih besar 23 kali dari basis kapituli-nya, dan palpus kedua yang lebih panjang 2 kali dari palpus pertama, sehingga dijadikan salah satu patokan dalam identifikasi genus tersebut.
C A
B
Kapitulum dari Haemaphysalis hystricis. A: kelisera, B: hipostom, C: palpus. Bagian palpus ke-2 yang melebar ke arah lateral merupakan salah satu ciri khas genus Haemaphysalis.
A
B
Bagian idiosoma dari Haemaphysalis hystricis tampak ventral. A: lekuk anal posterior, B: feston.
X
Spirakel (X) dari Haemaphysalis hystricis di bagian ventro lateral sebelah posterior koksa IV yang berfungsi sebagai alat pernapasan.
Lampiran 7
Beberapa Jenis Caplak (famili: Ixodidae) di Dunia, Peranannya sebagai Vektor, serta Akibat Langsung yang Ditimbulkan pada Inang
Jenis Caplak
Patogen
Amblyomma americanum (Linnaeus, 1758)
Screw worm, tularemia; Human ehrlichiosis (Ehrlichia chaffeensis) Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium) Rocky Mountain Spotted Fever (Rickettsia rickettsii) Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium); Benign African theileriosis pada ternak (Theileria mutans) Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium); Benign African theileriosis pada ternak (Theileria mutans) Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium); Benign African theileriosis pada ternak (Theileria mutans); African tick-bite fever pada manusia (Rickettsia africae); reaksi lokal akut (infeksi sekunder bakteri di ambing pada sapi) Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium); Benign African theileriosis pada ternak (Theileria mutans) Vektor cowdriosis (Ehrlichia ruminantium); Hepatozoonosis pada anjing (Hepatozoon americanum); reaksi lokal akut Ehrlichia ruminantium Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium) Ehrlichia ruminantium Cowdriosis pada ruminansia (Ehrlichia ruminantium); Benign African theileriosis pada ternak (Theileria mutans); Dermatophilosis akut pada rumanansia (Dermatophilus congolensis); vektor Thogoto virus; African tick-bite fever pada manusia (Rickettsia africae); reaksi lokal akut pada ternak (abses akibat infeksi sekunder bakteri)
A. astrion Dönitz, 1909 A. cajennense (Fabricius, 1787) A. cohaerens Dönitz, 1909 A. gemma Dönitz, 1909 A. habraeum Koch, 1844
A. lepidum Dönitz, 1909 A. maculatum Koch, 1844 A. marmoreum Koch, 1844 A. pomposum Dönitz, 1909 A. tholloni Neumann, 1899 A. variegatum (Fabricius, 1787)
Boophilus annulatus (Say, 1821) B. decoloratus (Koch, 1844) B. geigyi (Aeschlimann & Morel, 1965) B. microplus (Canestrini, 1888)
Dermacentor albipictus (Packard, 1869)
Bovine babesiosis (Babesia bovis dan Babesia bigemina); Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale) Bovine babesiosis (Babesia bovis); Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale) Bovine babesiosis (Babesia bovis dan Babesia bigemina) Bovine babesiosis (Babesia bovis dan Babesia bigemina); Equine piroplasmosis (Theileria equi); Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale) Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale); Alopesia akut (rusa)
Lampiran 7 (lanjutan) Jenis Caplak D. andersoni Stiles, 1908
D. auratus Supino, 1897 D. marginatus (Sulzer, 1776) D. nitens Neumann, 1897 D. muttalli Olenev, 1928 D. occidentalis Marx, 1892 D. reticulatus (Fabricius, 1787)
D. variabilis (Say, 1821)
Haemaphysalis flava Neumann, 1897 H. concinna Koch, 1844 H. leachi (Audouin, 1826) H. longicornis Neumann, 1897
H. punctata Canestrini dan Fanzago, 1878
H. qinfghaiensis Teng, 1980 H. spinigera Neumann, 1897 H. turturis Nuttall dan Warburton, 1915 Hyalomma anatolicum anatolicum Koch, 1844 H. anatolicum excavatum Koch, 1844 H. asiaticum asiaticum Schulze dan Schlottke, 1930 H. detritum detritum Schulze, 1919 H. dromedarii Koch, 1844 H. lusitanicum Koch, 1844 H. marginatum marginatum Koch, 1844 H. marginatum rifipes Koch, 1844 H. truncatum Koch, 1844
Lampiran 7 (lanjutan)
Patogen Powassan encephalitis virus; Colorado tick fever virus; Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale); Rocky Mountain Spotted Fever (Rickettsia rickettsii); toksin yang menyebabkan paralisis Notorius akibat gangguan caplak Canine babesiosis (Babesia canis); Human rickettsiosis (Rickettsia slovaka); Human Qfever (Coxiella burnetii) Equine babesiosis (Babesia caballi) Human rickettsiosis (Rickettsia sibirica) Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale) Equine babesiosis (Babesia caballi); Canine babesiosis (Babesia canis); Siberian tick typhus (Rickettsia sibirica); Human rickettsiosis (Rickettsia slovaka) Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale); Rocky Mountain Spotted Fever (Rickettsia rickettsii) pada manusia; toksin yang menyebabkan paralisis pada hewan dan manusia Rickettsia japonica Rickettsia sibirica Canine babesiosis (Babesia rossi) Bovine babesiosis (Babesia ovata); East Asian bovine theileriosis (Theileria buffeli); Canine babesiosis (Babesia gibsoni); Human rickettsiosis (Rickettsia japonica) Bovine babesiosis (Babesia major); Babesiosis pada ruminansia kecil (Babesia motasi); Cosmopolitan benign bovine theileriosis (Theileria buffeli) Theileriosis pada ruminansia kecil (Cina) Kyasanur Forest Disease virus pada manusia Kyasanur Forest Disease virus pada manusia Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata); Theileriosis pada ruminansia kecil (Theileria buffeli) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata) Bovine tropical theileriosis (Theileria annulata); Crimean-Congo Haemorrhagic Fever virus pada manusia Crimean-Congo Haemorrhagic Fever virus pada manusia Crimean-Congo Haemorrhagic Fever virus pada manusia; sweating sickness (toxicosis pada hewan domestic); Human rickettsiosis (Rickettsia mongolotimonae)
Jenis Caplak Ixodes cookei Packard, 1869 I. hexagonus Leach, 1815 I. holocylus Neumann, 1899 I. ovatus Neumann, 1899 I. pacificus Cooley dan Kohls, 1943 I. persulcatus Schulze, 1930 I. ricinus (Linnaeus, 1758)
I. rubicundus Neumann, 1904 I. scapularis Say, 1821
Rhipicephalus appendiculatus Neumann, 1901
R. bursa Canestrini dan Fanzago, 1878
R. evertsi evertsi Neumann, 1897 R. sanguineus (Latreille, 1806)
R. sinus Koch, 1844 R. zambeziensis Walker, Norval dan Corwin, 1981
Sumber: Jongejan dan Uilenberg (2004)
Patogen Powassan Encephalitis virus Lyme borreliosis (Borrelia burgdorferi s.1) Paralisis pada hewan dan manusia; Rickettsia australis; holocyclotoxin Rickettsia japonica Lyme borreliosis (Borrelia burgdorferi s.1) Tick-borne encephalitis virus; Lyme borreliosis (Borrelia burgdorferi s.1) Tick-borne encephalitis pada manusia dan hewan, termasuk diantaranya Louping ill virus pada domba; Lyme borreliosis (Borrelia burgdorferi s.1); Babesiosis pada sapi dan secara sporadik pada manusia (Babesia divergens); Human babesiosis (Babesia microti); Tick-borne fever atau pasture fever pada ruminansia dan human granulocytic ehrlichiosis Tick paralysis (Karoo paralysis toxin) Lyme borreliosis (Borrelia burgdorferi s.1); Human granulocytic ehrlichiosis dan equine ehrlichiosis (Anaplasma (Ehrlichia) phagocytophilum); human babesiosis (Babesia microti) East Coast Fever dan Corridor Disease pada sapi (Theileria parva); Benign bovine theileriosis (Theileria taurotragi); Nairobi Sheep Disease virus; Thogoto virus Babesiosis pada ruminansia kecil (Babesia ovis); Bovine babesiosis (Babesia bigemina); bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale); Anaplasmosis pada ruminansia kecil (Anaplasma ovis) Equine piroplasmosis (Babesia caballi; Theileria equi); Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale); Tick paralysis pada hewan (toksin) Canine ehrlichiosis (Ehrlichia canis); Canine babesiosis (Babesia vogeli); Canine hepatozoonosis (Hepatozoon canis); Tick bite fever pada manusia (Rickettsia conorii) Bovine anaplasmosis (Anaplasma marginale; Anaplasma centrale) East Coast fever, Corridor Disease pada sapi (Theileria parva); Benign bovine theileriosis (Theileria taurotragi)