CATURDAYA SEBAGAI KETERPADUAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN Indro Sulistyanto Abstrak Berkembangnya pola pembangunan di Indonesia melalui komunitas masyarakat kota dan desa yang masing-masing memiliki karakter spesifik, serta meningkatnya kebutuhan kehidupan yang dentokratis, telah berpengaruh pada bergesernya peran para pelaku pembangunan, dengan konsekuen dan konsisten mendudukkan pemerintah, masyarakat, dan swasta pada peran dan fungsi yang semestinya. Selanjutnya berkembang paradigma pola pembangunan dengan memberikan peran secara penuh kepada setiap orang yang bergiat pada maslng-masing komunitas masyarakat, tidak hanya dalam proses, namun terutama di dalam spirit pembangunan yang terdiri dan unsur masyarakat dan swasta. Sejalan dengyn perubahan paradigma tersebut, terjadi pergeseran peran pemerintah dalam proses pembangunan, menjadi fasilitator yang menjembatani para pelaku pembangunan untuk memperoleh kesepakatan dan manfaat optimal dari setiap proses pembangunan. Sehingga proses pembangunan tidak lagi semata-mata sebagai proses teknis plamologis, namun juga proses sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan pembangunan sebagai bagian dari Caturdaya pemberdayaan manusia, pemberdayaan kegiatan usaha produktif, pemberdayaan kelembagaan, dan pendayagunaan secara optimal prasarana dan sarana lingkungan, maka kepentingan masyarakat yang bergiat pada suatu komunitas merupakan basis utama dalam perumusan rencana pembangunan. Kondisi ini memberi arah bagi dikembangkannya mekanisme yang membuka peluang bagi partisipasi warga (masyarakat) secara lebih luas dan langsung dalam penyusunan rencana, implementasi, dan pembangunan. Implikasi dari pendekatan tersebut menjadi bagian mendasar yang digunakan dalam menentukan bentuk dan arah pembangunan yang spesifik bagi setiap komunitas, baik melalui organisasi. kelompok, atau bahkan individu. Harus disadari, bahwa berbagai keputusan yang tertuang dalam serangkaian proses pembangunan yang nantinya disusun dalam bentuk Community Action Plan-CAP (Rencana Tindak Komunitas), terutama sangat memungkinkan munculnya berbagai perbedaan di dalam implementasinya di tengah masyarakat yang bergiat di tingkat komunitas yang secara langsung terkena kebijaksanaan tersebut. Kegiatan Caturdaya diharapkan dapat berperan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas Ungkungan pada suatu komunitas disusun sebagai bentuk kepedulian (kkususnya Pemerintah), dalam bentuk stimulan (dorongan), pendampingan, dan penyediaan sarana dan sarana, untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat pada suatu komunitas untuk dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas dari komunitas vang bersangkutan. Kata kunci: Pembangunan, CAP, Caturdaya. 1.
PARADIGMA BARU DAI.AM PEMBANGUNAN Sejalan dengan cara pandang pola pembangunan baru serta berkembangnya kebutuhan kehldupan yang demokratis, telah berpengaruh pada bergesernya peran para pelaku pembangunan, yang sebelumnya bertumpu pada peran pemerintah sebagai pengelola pembangunan, menjadi pendamping yang benar-benar harus konsekuen dan konsisten mendudukkan masing-masing pelaku pembangunan pada peran dan fungsi yang semestinya. Selanjutnya berkembang paradigma pola pembangunan dengan rnemberikan peran secara penuh kepada para
pelaku pembangunan yang bergiat pada suatu wilayah tidak hanya dalam proses, namun teru-tama di dalam spirit pembangunan yang terdin dan unsur masyarakat dan swasta. Sehingga scsuai dengan falsafah Jawa : aja rumangsa biso ananging bisoa rumangsa. Nampaknya falsafah mi sesuai dengan model pemberdayaan masyarakat dalam setiap proses pembangunan di Indonesia. Artinya masyarakat memiliki pula peran dalam pembangunan dan selayaknya untuk diltbatkan keberdayaannya, tidak hanya para profesional dan birokrat yang „merasa‟ memiliki kemampuan dalam perencanaan pembangunan.
1
Perlu disadari, bahwa ditetapkannya Otonomi Daerah telah memberi pengaruh pada semakin besarnya keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, khususnya dalam proses pembangunan di daerah. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Pada sisi lain, dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam dan di luar negen, serta tantangan persaingan global, kedudukan Otonomi Daerah menjadi seatu kebutuhan yang rnutlak dengan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian. dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta pertimbangan perim-bangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. PEMBERDAYAAN PEMBANGUNAN MELALUI CATURDAYA Sejalan dengan perubahan cara pandang baru di dalam pembangunan di Indonesia, terjadi pergeseran peran pemerintah dalam proses pembangunan, sehingga lebih mendudukkan dirinya sebagai fasilitator (talanging atur) yang menjembatani para pelaku pembangunan untuk memperoleh kesepakatan dan manfaat optimal dari setiap proses pembangunan. Sehingga proses pembangunan suatu wilayah seperti halnya peningkatan kegiatan pembangunan melalui kegiatan Caturdaya tidak lagi semata-mata sebagaiproses fisik teknis planologis, namun juga proses sosial-budaya, politik, dan ekonomi sebagai kesatuan dari pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan kegiatan usaha, pemberdayaan kelembagaan dan pendayagunaan lingkungan baik fisik maupun non fisik secara optimal. Dalam kaitannya dengan pembangunan sebagai bagian dari proses politik, maka
kepentingan masyarakat yang bergiat pada suatu komunitas merupakan basis utama dalam perumusan rencana pembangunan. Kondisi ini memberi arah bagi dikembangkannya mekanisme yang membuka peluang bagi partisipasi warga (masyarakat) secara lebih luas dan langsung dalam penyusunan rencana, implementasi, dan pembangunan. Dalam konteks semakin terbatasnya ketersediaan dana pembangunan yang dapat dialokasikan di suatu wilayah, nampaknya Caturdaya dapat dikembangkan dengan melibatkan setiap stakeholders yang bergiat di suatu komunitas. Pemerintah (Daerah) suatu ketika 'cukup' untuk memberikan stimulus untuk selanjutnya melalui diharapkan stimulus tersebut dapat dikembangkan. Implikasi dari pendekatan tersebut menjadi bagian mendasar yang digunakan dalam menentukan bentuk dan arah pembangunan yang spesifik .bagi suatu komunitas masyarakat, baik melalui organisasi (kelembagaan), kelompok, atau bahkan individu. Berbagai keputusan yang tertuang dalam serangkaian proses pembangunan melalui kegiatan Caturdaya (pemberdayaan manusia, pemberdayaan usaha produktif, pemberdayaan kelemba-gaan, serta pendayagunaan sarana dan prasarana lingkungan), terutama sangat memungkinkan munculnya berbagai perbedaan di dalam implementasinya di tengah majemuknya potensi pada setiap komunitas masyarakat yang secara langsung terkena kebijaksanaan tersebut. Fada beberapa proses pembangunan, beberapa kebijakan yang direkomendasikan secara khusus pada persiapan penyusunan rencana dan analisa teknis pembangunan, tanpa pertimbangan pada kemungkinan implementasi dan manajemen terhadap kemungkinan terjadinya konflik, khususnya politik dan hukum. Berbagai konflik yang terjadi kemudian, lebih diakibatkan dari belum terlibatnya secara komprehensif setiap unsur dalam proses pembangunan, dalam prosedur yang merupakan kesepakatan bersama, dengan melibatkan masyarakat seluruh komponen masyarakat dalam memberi kontribusi secara aktif pada setiap bagian dari keseluruhan proses pembangunan. Sumber-sumber konflik yang berkembang di tengah masyarakat dahim proses pembangunan (Michel L. Poiner Elliot, 1984), tersusun atas 4 (empat) hal yang
6
tumpang tindih satu terhadap yang lain, meliputi : (1) Struktur Sosial (yang mengatur alokasi sumberdaya pokok di dalam masyarakat), (2) Prosedur Pengambilan Keputusan (yang menetapkan peraturanperatur-an untuk pembuatan kebijakan), (3) Masalah Substantif (yang memfokuskan pada hasil keputusan individual), dan (4) Adanya Ketidakpastian (yang mengubah harapan dan hasil yang telah diperhitungkan di masa mendatang). Tradisi pluralisme demokratis telah menciptakan kesempatan keterlibatan yang luas terhadap proses penyusunan kebijakan oleh sege-nap unsur yang berkembang di tengah masyarakat yang menaruh perhatian, dan karena adanya kepentmgan-kepentmgan khusus yang terorganisir.
Gambar 1 : Sumber Konflik dalam Proses Pembangunan 3. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Hampir lebih dua dekade- terakhir ini, peran serta (partisipasi) sebagai ujud dari pemberdayaan masyarakat dalarn proses pernbangunan telah diakui peranannya, waiau di Indonesia baru dalam proses sosialisasi. Pada waktu yang sama terdapat perubahanperubahan konsep dan lingkup partisipasi masyarakat. Pada tahun enampuluhan, baik di negara maju maupun negara berkembang, partisipasi masyarakat diterapkan tidak lebih hanya menganjurkan masyarakat untuk mengajukan usul-usul dalam suatu proses perencanaan pembangunan. Sejak tahun tujuhpuluhan, pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatoris telah dilihat sebagai suatu gerakan atau kekuatan rakyat (community power) yang bertujuan untuk ikut berperan atau memberi
pengaruh pada pro-ses pengambilan kcputusan (Murphy, 1977; Midgley 1986; Bryant dan White, 1982). Beberapa penulis mehhat, bahwa pada waktu itu anggota masyarakat sendiri telah me-nyadari tentang keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelak-sanaan pembangunan yang berhubungan dengan usaha untuk memperbaiki kehidupan mereka adalah suatu kebutuhan (Canter dkk, 1988; Cohen dan Unhoff, 1977). Sebagai salah satu bagian yang meneritukan dalam pemberdayaan masyarakat, faktor-faktor utama dalam partisipasi masyarakat adalah implementasinya pada distribusi kekuatan (power distribution), persamaan (equality), keterlibatan (involvement), pembuatan kebijakan (policy making), dan pengambilan keputusan (decition making) (Midgley dkk, 1986; Mathur 1986; Okley dan Marsden, 1984). Midgley dan kawan-kawan melihat, bahwa terdapat keragarnan pandangan pengertian tentang partisipasi. Banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu yang meng-gunakan defmisi dari resolusi 1929 the United Nations Economic and Social council', yang mengatakan bahwa dalam partisipasi diperlukan sifat kesukarelaan dan keterlibatan secara demokratis di dalam: (1) usaha-usaha pembangunan, (2) menikmati bersama secara adil hasil-hasil yang diperoleh dari pembangunan, (3) kepercayaan dalam pembuatan keputusan yang berhubungan dengan penentuan tujuan, penyusunan kebijakan-kebijakan, dan perencana-an, serta penerapan program pembangunan ekonomi dan sosial (Midgley, dkk, 1986: 25). Ketiga elemen ini dianggap sebagai dasar pemberdayaan masyarakat dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat, baik dalam hubungan dengan penerapan di berbagai tingkat : nasional, regional, lokal, dan juga di tingkat paling bawah kelembagaan masyarakat (kampung atau komunitas yang disepakati kemudian). Laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia "The World Development Report 1992" mengatakan, bahwa "banyak masalah fingkungan tidak dapat diatasi tanpa pemberdayaan masyarakat yang ditunjukkan dari partisipasi aktif dari penduduk setempat" (World Bank 1992: 93).
7
4. KERANGKA KONSEPTUAL Konsep pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatoris telah banyak dibahas dalam berbagai sudut pandang oleh peneliti, perencana pembangunan, dan kalangan birokrat. Tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dari ketiga unsur yang telah dikemukakan di dalam Sigmiikansi Penelitian sebelumnya, pada umumnya literatur tentang pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatoris melihat distnbusi sumberdaya sebagai fokus perhatian dan pastisipasi masyarakat inevitable, indispensable, or even mandatory, kalau suatu perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan dan bawah ke atas (bottom-up planing). Menurut Matthewss (1976: 356J participation involves ..... The sharing or taking some part in actual decision-making by ordinary citizen. Thus, participation is about power". Berdasarkan pendapat ini, partisipasi masyarakat dapat dipandang sebagai usaha pemberdayaan masyarakat melalui keterlibatan mereka dalam semua aspek pada proses pembangunan. Beberapa penulis berpendapat, partisipasi masyarakat ialah keterlibatan rakyat di dalam usaha memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan umurn. Langton (1978 : 17) menginterpretasikan partisipasi masyarakat sebagai "the purposeful! activities in which people lake part in relation to political units of sich they are legal resident". Selanjutnya Brager, Specht dan Torezyner (1987 : 63) mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai keterlibatan rakyat biasa dalam programprogram dan kebijakan-kebijakan yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan mereka. Para Penulis ini berpendapat, bahwa partisipasi masyarakat adalah untuk mendidik warga dan meningkatkan kemampuan mereka (1987 : 62). Selanjutnya pakar-pakar lainnya (Castel 1983; Canter dkk. 1988), berpendapat bahwa partisipasi masyarakat sebagai kegiatan, me-mungkmkan rakyat mengkomunikasikan ke-mginannya dan ikut melakukan konirol terhadap kegiatan pembangunan. Dengan kata lain Canter dkk. (1988) melihat partisipasi sebagai bentuk demokrasi, karena memungkmkan perorangan
dan kelompok masyarakat ikut terlibat dalam proses perencanaan pembangunan, pengambilan keputusan, melakukan pembangunan, dan sekaligus melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang menyangkut kehidupan mereka. Uraian tersebut menunjukkan, bahwa semua pendapat tentang partisipasi, berhubungan dengan usaha kolektif yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam usaha-usaha pembangunan, baik bersifat aktif maupun pasif Persenkatan Bangsa Bangsa telah mempromosikan partisipasi masyarakat dengan menganjurkan untuk meningkatkan partisipasi (popular participation) di dalam pengambilan keputusan sebagai suatu dasar dari instrumen kebijakan untuk pembangunan. Juga diterima suatu kesepakatan, bahwa prinsip partisipasi sebagai suatu aspek dari hak azasi universal dan nilai-nilai sosial. Walaupun demikian harus disadari, bahwa dasar teori partisipasi adalah sangat luas, dan di interpretasikan oleh teoretis-teoretis dan praktisi-praktisi yang berbeda-beda (Link, 1985). Pears dan Stiefel (1979) menyaratkan, bahwa defmisi dari PBB mempertimbangkan parttsipasi masyarakat untuk mengorganisasikan usaha-usaha meningkatkan kontrol terhadap sumberdaya. Midgley (1986), menerangkan bahwa di awal tahun 1970-an, PBB menenma suatu definisi dari partisipasi masyarakat yang diformulasikan oleh sekelompok tenaga ahli. Partisipasi didefinisikan sebagai : "the creation of opportunities to enable all members of a community and the larger society to actively contribute to and influence the development process and so share equitably in the fruits of development" (United Nations 1981 : 5). Menciptakan kesempatan-kesempatan yang me-mungkinkan semua anggota masyarakat dan masyarakat yang lebih besar secara aktif menyumbang dan mempengaruhi proses pembangunan. serta bersama-sama menikmati secara merata hastl-hasil pembangunan, Midgley (1986), mengatakan bahwa definisi ini mungkin digunakan sebagai definisi kerja, tetapi tidak menjelaskan secara khusus tentang program yang membutuhkan partisipasi. Selanjutnya diterangkan pula, bahwa masih banyak lagi infbrmasi yang
8
dibutuhkan kalau kita mengetahui siapa yang berpartisipasi, apa partisipasi yang diperlukan, dan bagaimana hal tersebut dapat dipromosikan (1986: 24), 5. TELAAH KEPUSTAKAAN Dalam teori modern demokrasi Barat, demokrasi partisipasi selalu dipandang sebagai suatu nilai sosial positif. Idenya muncul dari suatu varian modern dari teori demokrasi liberal yang dikenal sebagai demokrasi warga lingkungan (neighbourhood democracy) (Dajil dan Tufs: 1973). Alasannya ialah, bahwa anggota masyarakat biasa, juga mempunyai suatu hak terlibat dalam pembuatan keputusan. Teori-teori demokrasi menganjurkan secara ekstensif partisipasi langsung dalam pembuatan keputusan melalui banyak anggotaanggota dari sistem, sejauh itu mernungkinkan. Alasan-alasan untuk menentukan nasib sendiri oleh warga masyarakat bisa digunakan sebagai dasar kepercayaan, bahwa kapasitas potensial yang tinggi dan sifat manusia adalah suatu dasar yang kokoh untuk pembuatan keputusan yang rasional dan efektif. Menurut Sartori (1962), pendekatan partisipatori ini adalah hasil dalam pengembangan individual-individual melalui proses dari artikulasi dan realisasi dari satu keinginan kita dan promosi dari stabilitas dan efisiensi dari lembaga-lembaga sosial. Namun demikian, Midgley (1986), mengamati bahwa di Negara-Negara Ketiga banyak pendukung dari partisipasi masyarakat bersifat ragu terhadap demokrasi perwakilan. Dalam banyak hal, dukungan masyarakat digunakan oleh wakil mcreka sebagai su-byek manipulasi politik untuk kepentingan mere-ka. Menerapkan teori dari demokrasi warga lingkungan (neighbourhood democracy), barangkali membuat lembaga-lembaga lokal untuk merealisasikan aspirasi politik. di dalam kampung-kampung dan lingkungan warga kota dari Negara-Negara Ketiga (Midgley: 1986). Mengenai isu kekuatan rakyat (citizen power) Arnstein (1969) mengklaim, bahwa pendislnbusian kembali (redistribution) dari kekuatan merupakan suatu elemen yang penting. Partisipasi masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya kekuatan (power). la menambahkan, bahwa adanya kekuatan rakyat memungkinkan masyarakat memberikan
kontribusinya yang efektif terhadap programprogram pembangunan. Dari uraian tersebut terungkap, bahwa banyak dan sangat bervariasinya teori-teori ten-tang pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan partisipatoris. Hal ini meriyebabkan terkadang validitinya sukar diuji. Oleh karena itu, diperlukan untuk melakukan identifikasi secara konkret terhadap maksud dan tujuan partisipasi; Walaupun banyak tingkat keragaman partisipasi, menunjukkan arah kegunaan untuk menerima lima tujuan umum dari upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan parti-sipatoris sebagaimana yang akan dilakukan dalam Caturdaya, yang dikembangkan oleh Glass (1979 : 182). Tujuan tersebut adalah : (1) Pertukaran mformasi, hal ini terutama bertujuan untuk memungkinkan adanya kebersamaan antara pengambil keputusan dan rakyat biasa yang secara bersama mengembangkan ide-ide dan keinginan, (2) Pendidikan, ini berhubungan dengan penyebaran informasi secara rinci dan suatu rencana sehingga memungkinkan masya-rakat mengerti dan mengetahui akan rencana tersebut, (3) Bangunan dukungan (support building), ini terutama melibatkan kegiatan-kegiatan yang bersifat menciptakan suasana yang baik sehingga memungkinkan tidak terjadinya benturan diantara kelompokkelompok masyarakat, dan antara kelompok masyarakat dengan pemerintah, (4) Proses pembuatan kepu-tusan yang terbuka, ini terutama bertujuan untuk memungkinkan rakyat biasa memberikan ide-ide baru atau pilihan ide dalam proses perencanaan, (5) Masukan dari masyarakat (input representative), ini barang kali dapat didefmisikan sebagai suatu usaha mengumpulkan dan mengidentifikasi sikap dan pendapat dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pembangunan, atau semua masyarakat terhadap isu khusus (tertentu) yang bertujuan untuk menjelaskan, bahwa rencana berikutnya akan mewakili ke-inginan masyarakat. Menurut Glass (1979), tiga dari lima tujuan tersebut berhubungan dengan pandangan pemerintah, dan dua tujuan lainnya berhubungan dengan pandangan masyarakat terhadap partisipasi. Dalam konteks isu-isu pembangunan pada kota-kota di Negara Ketiga (termasuk
9
Indonesia di dalamnya), banyak studi membuktikan bahwa partisipasi masyarakat merupa-kan faktor penting dalam pembangunan (Silas : 1947); Word Bank, 1982 ; Rabinovitch and Leitman, 1993 ; Cotton and Francey, 1994. Studi-studi telah banyak dilakukan di kota-kota Negara Ketiga, misalnya di Manila-Philipina oleh Ramos and Roman (1986), Jakarta, Ujung Pandang, dan Surabaya oleh Karamoy dan Dias (1986), dan Silas (1990), Curutiba di Barasilia oleh Rabinovitch and Leitman (1993), dan Orangi di Pakistan oleh Cotton dan Francey (1994). Manfaat partisipasi sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat yang nantinya akan dikembangkan dalam Caturdaya pembangunan, pada beberapa kota telah menunjukkan hasil yang sangat nyata terhadap prasarana dan fasilitas perkotaan di NegaraNegara Ketiga. White (1982), menegaskan bahwa melalui partisipasi masyarakat, program pembangunan di kota-kota telah mendapatkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) lebih banyak lagi program yang banyak dilaksanakan, (2) pelayanan dapat disediakan dengan biaya rendah, (3) programprogram akan memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat, (4) program dapat menyediakan katalisator untuk usaha-usaha pembangunanselanjulnya, (5) adanya perasaan memiliki dan tanggungj awab oleh masyarakat terhadap program-program yang dilaksanakan, (6) adanya jaminan keterlibatan masyarakat dalam program-program yang dilaksanakan, (7) program akan dilaksanakan dengan cara yang baik, (8) pengetahuan dan keahlian setempat akan dapat digunakan dalam pelaksanaan prograin/proyek, dan (9) penduduk bebas dari ketergantungan kepada profesionalis (Domicelj: 1988). Banyak contoh yang menunjukkan, bahwa partisipasi sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat telah diterima secara dangkal sebagai elemen penting dalam. pembangunan. Kenyataannya, banyak usaha pembangunan gagal melibatkan masyarakat. Hal ini terjadi sebagai akibat hasil dari prosesproses poiitik. Midgley dkk. (1986), mengklaim bahwa dalam sistem otokrasi kesempatan-kesempatan untuk partisipasi terkadang lebih terbatas dan penyampaian ideide secara dominan dilakukan melalui partai yang berkuasa atau kelompok-ke-lompok yang
memiliki hak istimewa (privilaged classes). Selanjutnya dikatakan, bahwa mening-katkan sentralisasi dari sistem pemerintah di beberapa tempat mengakibatkan berkurangnya kapasitas dari rakyat biasa mempengaruhi kepu-tusan dan memberikan kontnbusi secara berarti terhadap pembangunan sosial. Rakyat dalam masyarakat yang demikian tidak hanya secara poiitik pasif tetapi menjadi bertarnbah tergantung kepada bantuan pemerintah. Senngkali terjadi partisipasi dalam pembangunan sosial tidak lain danpada sekedar pemanfaatan tunaga lokal pada proyek-proyek pembangunan. Kesempatan-kesempatan formal untuk perwakilan dalam pelayanan sosial (misalnya lembaga-lembaga penasehat atau perwakilan warga lokal) tidak efektif, terkadang lebih cenderung dimanipulasi oleh politisi-politisi dan birokratbirokrat. Untuk mengefektifkan, partisipasi sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat harus langsung dan diberi kontrol yang berarti terhadap komunitas lokal, sehingga mereka dapat memutuskan kepentingan mereka sendiri (Midgley dkk, 1986:9). Pendukung partisipasi masyarakat mengklaim, bahwa partisipasi nyata dan langsung dalam pembangunan sosial diperlukan, baik sebagai alasan instrumen maupun pembangunan. Partisipasi masyarakat menyediakan secara lepat instrumen tujuantujuan, misalnya identifikasi kebutuhan secara tepat, termasuk mobilisasi sumberdaya lokal. Selain itu juga mempromosikan pembangunan sosial yang ideal secara luas melalui partisipasi penuh di dalam pembuatan keputusan untuk pembangunan social dan memperkuat peranan rakyat biasa dalam menyumbang pada pembangunan sosial. Suatu konteks empiris, menunjukkan partisipasi masyarakat akan mampu menumbuh-kan ruang kehidupan masyarakat yang “aman” agar dapat diberdayakan secara optimal, khususnya melalui pemberdayaan manusia, pemberdayaan kegiatan usaha produktif, pemberdayaan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di tengah komunitas masyarakat, serta pendaya-gunaan sarana dan prasarana lingkungannya (Caturdaya). Walaupun dari berbagai studi partisipasi yang telah dilakukan di berbagai Kota di Indonesia seolah-olah menunjukkan hasil yang
10
menggembirakan, tetapi pada Kenyataannya kontribusi masyarakat belum dimanfaatkan secara efektif. Hal sama juga terjadi di Negara-Negara Berkembang lainnya (lihat misalnya, Yeung and Mc.Gee, 1986; Karatnoy and Dias, 1986, dan Gilbert, 1992). Walaupun demikian, penulis-penulis tersebut setuju, bahwa di hampir semua kota-kota di Asia, usaha kerjasama masyarakat dalam mengatasi pelayanan dasar perkotaan, seperti misalnya: pengadaan air bersih, pengelolaan sampah, dan pengadaan saluran pembuangan air kota, diatasi oleh masyarakat setempat. Walaupun hams diakui tingkat efisiensmya relatif rendah. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa program perbaikan lingkungan kampung atau kampung improvement program (KIP) menunjukkan hasil yang menggembirakan. Keberhasilan tersebut dapat dicapai karena pendekatan yang dilakukan didasarkan pada metoda partisipatori, yaitu masyarakat dilibatkan dalam semua tahap kegiatan penyusunan rencana sampai kepada pelaksanaan proyek di lapangan (Silas, 1984; Devas, 1980; Baross, 1983). Dari pengalaman pelaksanaan KIP, terlihat bahwa dengan pendekatan yang tepat oleh pemerintah terhadap masyarakat, memberi stimulan pada timbulnya partisipasi masyarakat. Onibokun (1990) memberi gambaran pengalamannya dalam merangsang partisipasi masyarakat di Nigeria. Pembangunan pemukiman di Ibadan mendapat sambutan baik oleh masyarakat walaupun sebagian besar masyarakat tersebut terdiri atas golongan miskin, tetapi karena mereka diajak dan diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan keinginannya, mereka berpartisipasi aktif secara sukarela membantu pelaksanaan proyek. Onibokun mengatakan bahwa apabila pemcrintah menghendaki agar suatu program mendapat dukungan dari masyarakat, maka mereka harus membuka ideide pembangunan dan melibatkan masyarakat sejak dari awal penyusunan proyek selanjutnya dikata-kan bahwa "the people can play supportive roles in certain areas under certain condition " (Onibokun , 1990). Bank Dunia (1990) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat kelompok penduduk kampung disponsori oleh pemerintah, tetapi mereka tidak termasuk bagian resmi dari struktur pemerintahan kota. Oraganisasiorganisasi tersebut adalah : Persatuan
Keluarga Berencana, Kelom-pok Pendengar Radio Pedesaan, Kelompok Koperasi Unit Desa, dan berbagai kelompok yang intens terhadap berbagai kepentmgan masmg-masing komunitas. Kelompok-kelompok ini ikut memberikan kontribusinya terhadap penyediaan sarana dan fasilitas kampung. Banyak studi dari pembangunan bebe-rapa kota di negara berkembang menemukan kondisi bahwa sikap dari birokrat kota telah berubah terhadap keterlibatan masyarakat dalam penyedjaan fasilitas pelayanan kota. Seperti dilaporkan oleh Robinivict dan Leitmann (1993), pemerintah kota di Curutiba - Brazil sukses me-menuhi kebutuhan penduduknya terhadap infra-struktur kota dan pelayanan melalui keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat. Sama halnya yang terjadi pada pengadaan air bersih dan proyek sanitasi di Orangi, Pakistan. Disim masyarakat terlibat dalam mengidentifikasi kebutuhan mereka dan dalam pelaksanaan proyek. Organisasi Pilot Project (OPP) tidak menempatkan diri sebagai pelaksana proyek tetapi lebih banyak berperan sabagai fasilitator. OPP menyediakan bantuan dalam wujud tenaga surveyor dan desainer serta merangsang partisipasi masyarakat (Cotton and Francey, 1994). Upaya pemberdayaan masyarakat didalam penggalangan ekonomi masyarakat atas dasar kondisi dan potensi kegiatan yang ada pada saat ini menghadapi kondisi perekonomian yang tidak menentu yang mengakibatkan krisis pada berbagai sektor, merupakan suatu langkah yang perlu diantisipasi ke depan. Upaya tersebut memberi arti penting tentang penerapan pelaksanaan, sekaligus pengertian pemberdayaan dalam memberikan dukungan moral/daya kepada setiap pelaku kegiatan di tengah masyarakat untuk dapat terdorong bangkit dari ketidakberdayaan di dalam menghadapi tekanan ekonomi. Persepsi tersebut mempunyai relevansi yang sangat kuat dan mempunyai makna yang dalam untuk kemudian diapresiasikan ke dalam suatu rencana tindakan, manakala kita berbicara mengenai program-program pembangunan, khususnya tentang upaya pemberdayaan masyarakat golongan menengah ke bawah, menunjukkan semakin kompleksnya permasalahan yang perlu pemecahan.
11
Penyiapan dan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu tahapan dari serangkaian proses pembangunan yang mempunyai kedudukan yang strategis, dengan mempersiapkan masyarakat terlebih dahulu dalam hal sumberdaya manusia, potensi dan peluang usaha, serta lingkungannya untuk menghadapi terjadinya pergeseran fungsi kegiatan pada suatu wilayah dari apa yang saat ini ada dan kemungkinan berkembang kemudian (Bambang Suwarmintarto, 2001). Bersama dengan pemerintah dan swasta, maka diharapkan masyarakat yang bergiat di suatu wilayah yang telah siap dan memiliki kemampuan sumberdaya, selanjutnya diharapkan akan menjadi modal yang sangat penting dalam mengantisipasi berbagai bentuk kegiatan pembangunan di kemudian hari. 6.
KESIMPULAN SEBAGAI LANDASAN HIPOTESIS Dari review terhadap literatur tentang partisipasi masyarakat di Negara-Negara Berkembang, menunj ukkan bahwa konsep partisipasi diinterpretasikan secara luas (hhat misalnya pendapat, Cohen and Uphoff, 1977; Oakley and Marsden, 1984; dan Bergdali, 1993). Partisipasi dilihat dari berbagai pandangan (perspective): (1) Kontribusi secara sukarela dari rakyat (comunity) terhadap suatu program untuk masyarakat; keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan dalam imple-mentasi program; dan menikmati bersama keuntungankeuntungan dari program pembangunan, (2) Keterlibatan masyarakat di dalam mengevaluasi program; suatu proses aktif di mana rakyat dari suatu komunitas mengambil. inisiatif dan menyatakan dengan tegas otonomi mereka, dan (3) Meningkatkan kontrol terhadap sumberdaya dan mengatur lembagalembaga dalam situasi sosial yang ada. Merujuk pada pendapat Cohen dan Uphoff (1977 : 16), untuk mengerti keadaan partisipasi yang terjadi dalam setiap program pembangunan, ada beberapa pertanyaan yang perlu diuji, yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dari metodologi penelitian ini, yaitu: 1. Darimana inisiatif partisipasi ? (apakah dari atas ke bawah, atau sebaliknya dan bawah ke atas)
2.
3.
4.
5.
6.
Faktor-faktor apa saja yang merangsang timbulnya partisipasi ? (bersifat sukarela atau merupakan suatu kewajiban) Apa yang berpengaruh pada struktur partisipasi ? (melalui struktur formal atau informal, struktur partisipasi bersifat kompleks atau sederhana) Apa dasar dari partisipasi ? (terjadi melalui individu atau kelompok, secara langsung atau perwakilan) Bagaimana kelanjutan paitisipasi dipertahankan ? (tanpa batasan atau dengan aturan tenentu) Bagaimana skala partisipasi ? (terbatas atau terbuka, kontinyu atau parsial saja). Faktor-faktor tersebut penling untuk mendapatkan partisipasi yang efektif. Namun demikian, disarankan bahwa faktor lainnya juga memerlukan perhatian, di antaranya social-budaya, ekonomi, dan lingkungan.
7. DAFTAR PUSTAKA Arnstein, S (1969), "A Leader of Citizen Panic-ipation ", Journal of the American Institute of Planner, vol. 35, no.4, pp 216-224. Baross, P. (1984). "Kampong Improvement or Kampong Development-appraisal of the Low-income Settlement Upgrading Policy in Indonesia". In Nonj Eugen Bruno, H., Korte, A. and Mathey, K. (eds) Development of Urban Low Income Neighbourhood in the Third World, pp 316-333. TH Darmstadt: Darmstadt. Brager, G., Specht, H. and Trczyber, JL. (1987), "Community Organizing", New York: Columbia University Press. Bryant, C. and White, LG. (1982), "Managing Development in The Third World", Bouder, Colorado: Westview Press. Canter, D., Krapen, M. and Stea. D. (1988), "New Directions in Environmental Participation", Aldershot: Avebury. Castell, M. (1983), "City and the Grassroots", " London: Edward Arnold. Catton, A. and Franceys, R. (1944), "Infrastructure for the Urban Poor: Policy and Planning Issues", Cities, vol II, no.l, pp 15-24. Clarke, G., Hadiwinto and Leitmann, J. (1991), "Environmental Profile of
12
Jakarta (Draft)". Urban Management and the Environment and Metropolitan Environmental Improvement Programme. Cohen, JM. and Uphof, NT. (1977), "Rural Development Participation : Concept and Measures for Project Design, Implementation and Evaluation ". Rural Development Committee Centre for International Studies, Cornell University. Dahl, RA. and Tufts, ER. (1973), "Size and Democracy", Stanford : Stanford University Press. Devas, N. (1980) "Indonesia's Kampung Improvement Programme: an Evaluative Case Study". Development Administration Group, Institute of Local Government Studies. DAG Occasional Paper, University of Birmingham. Birmingham : Joint Centre for Urban, Regional and Local Government Studies. Gilbert, A. (1992), "Third World Cities: Housing, Infrastructure and Servising" Urban Studies, vol. 29, no.3-4, pp 4546. Glass, JJ. (1979), "Citizen Participation in Planning Association", vol. 45. no. 2, pp. 180-189 Hanafie, J. (1995 a), "Community Organization and Urban Service Delivery in Indonesia : Case Study of Solid Waste Management in Ujung Pandang". Thesis Ph.D. Departmen of Urban and Regional Planning, The University of Sidney. Hanafie, J. (1995 b), "The Roles of Community Organization in Solid Waste Management in Indonesian Cities". Proceeding of the International Conference, Urban Habitat: The Environment of Tomorrow, pp. 491502. Held If Delf, 15-17 February 1995. Eindhoven: The Eindhoven University of Technolgy, The Netherlands. Suwarmintarto, B., (2001), "Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat sebagai Landas-an Pelaksanaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Seca'ra Berkelanjutan", Departemen Permukiman dan Prasarana Wi-layah, Direktorat Jenderal Perumahan dan
Permukiman Daerah Istimewa Yogyakarta. Catatan : Materi dari tulisan ini merupakan bagian dari Usulan Penelitian pada Riset Unggulan Bidang Kemasyarakatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tahun 2003. Biodata penulis: Indro Sulistyanto, Ir (Teknik Arsitektur UGM – 1981), MT (Universitas Atma Jaya Yogyakarta - 1999), dosen pada Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Tunas Pembangunan sejak 1985 -sekarang.
13