Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 5, No. 1, 2005
CATATAN REDAKSI: Pemikiran Pemimpin Bangsa ........................................................
3
ANALISIS Anhar Gonggong Soekarno dan Demokrasi Indonesia: Sebuah Pencarian (Presiden RI 1945 - 1965) .................................
6
Yudi Latif Mengenang Rezim Pembangunan Represif: Gambaran Politik Ekonomi Orde Baru .........................................
29
M. Dawam Rahardjo Pemikiran Habibie tentang Pembangunan .....................................
54
TELAAH Junarto Imam Prakoso Memahami Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Bung Hatta (Wakil Presiden RI 1945 – 1956, Perdana Menteri RIS 1948 – 1950) .............................................
68
Teguh Apriliyanto – Tata Mustasya Sjahrir dan Sosialisme Indonesia (Perdana Menteri, 14 November 1945 – 26 Juni 1947) ..................
80
Teguh Apriliyanto Mohammad Natsir: Islam, Kebangsaan, dan Demokrasi (Perdana Menteri NKRI, 6 September 1950 – 27 April 1951) ........
91
Dodi Priambodo Wilopo, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah dan RAPBN Pertama (Perdana Menteri, 1 April 1952 – 3 Juni 1953) ................
103
Dodi Priambodo Ali Sastroamidjojo, Tokoh dalam Kebangkitan Solidaritas Negara Asia - Afrika (30 Juli 1953- 24 Juli 1955 dan 24 Maret 1956 - 14 Maret 1957) ..................................................
107
Tata Mustasya Djuanda, Teknokrat-Negarawan (Perdana Menteri, 9 April 1957—10 Juli 1959 dan Menteri Pertama, 10 Juli 1959—7 November 1963) .....................
113
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Ade Armando Pimpinan Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Irman G. Lanti Redaktur: Taftazani Sekretaris: Fitri Indah Kuwaratiwi Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Fetty Fajriati Achmad Amal Layout dan Desain M. Ilyas Thaha Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021)7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected]
Catatan Redaksi PEMIKIRAN PEMIMPIN B AN GS A BAN ANGS GSA Pada edisi ini,kami berusaha menghimpun pemikiran beberapa tokoh pemimpin nasional Indonesia , khususnya gagasan dan pemikiran mereka mengenai politik dan ekonomi. Paling tidak, apa yang pernah mereka harapkan dan angan-angankan mengenai Indonesia pada masa itu dan masa depan bangsa ini. Pemikiran tersebut, ada yang ditulis dan diungkapkan langsung oleh para tokoh tersebut berdasarkan beberapa sumber yang kami peroleh, namun ada juga berupa analisis oleh pakar yang kami undang untuk menulis pada edisi ini. Pemikiran Soeharto misalnya, tidak pernah diungkapkan secara tertulis, tetapi penulis memetakan dan menilai karakteristik kebijakan-kebijakan yang khas dilaksanakan selama kurun waktu pemerintahannya. Pada umumnya, tokoh yang sempat diturunkan dalam edisi “Pemikiran Ekonomi Politik Pemimpin Bangsa”, ini ditulis berdasarkan konsepsi, pemikiran dan kebijakan yang pernah mereka terapkan pada masa pemerintahan mereka. Beberapa di antara pemikiran itu menjadi bahan perdebatan yang ramai pada masanya. Beberapa konsepsi dan pemikiran tokoh ini, menjadi mozaik pemikiran kebangsaan yang menentukan arah perjalanan bangsa dan negara kita. Pemikiran dan gagasan para tokoh ini, ketika berhadapan dengan realitas sosial dan budaya bangsa, ada yang gagal dan ditinggalkan, tetapi ada pula yang berlanjut atau dijadikan sintesa pada pemikiranpemikiran baru sesudahnya. Soekarno yang sudah mengembangkan pemikiran anti liberalisme ala Barat sejak masa perjuangan kemerdekaan, ternyata kemudian gagal dengan eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya. Tetapi Soekarno telah tampil ke depan dan diakui karena landasan pemikirannya tentang nasionalisme dan bagaimana mempersatukan Indonesia. Hal ini, bukan hal mudah bagi sebuah bangsa yang baru dan besar,bangsa yang memiliki keragaman budaya, kepercayaan, khas masyarakat yang multietnik seperti Indonesia. Bung Hatta mempunyai andil bukan saja sebagai tokoh pergerakan menuntut Indonesia merdeka bersama Soekarno dan kawan-kawannya. Hatta sejak awal republik ini telah turut menciptakan fondasi negara demokrasi. Bahkan dalam praktik ketatanegaraan, Hatta telah melakukan terobosan konstitusi, bukan saja
4
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
mengenai apa yang tertulis dan dirumuskan dalam pasal-pasal UUD l945, melainkan juga aspirasi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan bernegara dan berbangsa yang dicita-citakan. Soeharto pemimpin pemerintahan yang terlama berkuasa sejak Indonesia merdeka, telah mengembangkan bentuk pemerintahan yang sangat efektif, kestabilan keamanan dan tanpa riak-riak politik. Tetapi selama pemerintahannya, ia telah membalikkan arah cita-cita “modern state”, seperti yang telah digagas oleh para tokoh pendiri bangsa ini, para pendahulunya. Tidak terbilang gagasan dan pemikiran kepala pemerintahan seperti Sjahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soekiman Wirosandjojo, Moh. Natsir, Djuanda, merespon krisis ekonomi dan politik dan permasalahan negara lainnya yang baru berdiri ketika itu. Begitu pula ketika Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap tampil sebagai kepala pemerintahan. Sesudah itu, ada pemikiran Sumitro Djojohadikusumo tentang ekonomi, B.J. Habibie mengenai demokrasi, teknologi, industri dan perlunya daya saing bagi bangsa ini, Abdurahman Wahid mengenai gagasan pluralisme, pemikiran Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang pernah mewarnai kebijakan ekonomi pasca Soekarno selama berpuluh tahun. Pemikiran mereka, bisa diuji dan salah atau telah bersintesa dengan pemikiran lain, semuanya telah menjadi sumber mata air dan inspirasi yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Tidak dipungkiri, ada pemikiran dan gagasan itu yang hanya berupa “coba dan salah”, tetapi semuanya tetap akan tercatat dalam sejarah dan akan menjadi pelajaran yang berguna bagi generasi pelanjut mereka kemudian. Bagaimanapun, pemikiran tokoh ini memiliki banyak persamaan, satu sama lain berkesinambungan dan menuju pada satu “platform”. Pemikiran dan angan-angan sejak awal untuk mempersatukan Indonesia dari berbagai etnik, cita-cita untuk menjadikan Indonesia menjadi “modern state“ sebuah negara berkeadilan, demokratis, menghargai kebebasan dan hak asasi manusia, serta menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Semuanya telah menjadi cita-cita mulia dan luhur bagi kelanjutan sebuah negara bangsa yang telah dibangun dan dipertahankan eksistensinya dengan pengorbanan jiwa raga. Demikianlah bangsa Indonesia memang telah dilanda berbagai bencana alam, tetapi bencana terbesar yang akan melanda Indonesia, jikalau bangsa ini sudah kehilangan gagasan, kehilangan elan menciptakan pikiran-pikiran baru. Sayangnya dalam edisi ini, tidak semua pemikiran pemimpin bangsa
Catatan Redaksi
5
tersebut dapat kami hadirkan, bahkan beberapa tokoh yang dihadirkan tidak kami tampilkan dalam sebuah analisis yang khusus, tetapi hanya berupa telaah dari bahan yang telah dipublikasikan. Mudah-mudahan pada edisi mendatang, kami dapat menghadirkannya lebih lengkap. (mm)
***
analisis
6
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
SOEKARN OD AN DEMOKRASI SOEKARNO DAN INDONESIA: SEBU AH PEN CARIAN SEBUAH PENC (PRESIDEN RI 1 945 – 1 965) 19 1965) Anhar Gonggong
1. Pendahuluan : Posisi Soekarno di dalam Periode Pergerakan Nasional Ir. Soekarno memang fenomenal1 dalam sejarah Indonesia modern. Ia tampil sebagai tokoh dan pemimpin pada bagian kedua dari periode Pergerakan Nasional. Jika bagian pertama dari Pergerakan Nasional diawali dengan dibentuknya organisasi Boedi Oetomo 1908 oleh sejumlah warga terdidik-tercerahkan di negeri jajahan Nederlandsch-Indie dan diakhiri dengan pemberontakan PKI pada 1926/1927, maka bagian kedua periode Pergerakan Nasional diawali dengan terbentuknya PNI pada 1927 oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawan. Ketika Ir. Soekarno tampil sebagai pendiri dan pemimpin utama Partai Nasional Indonesia (PNI), situasi Pergerakan Nasional seperti mendapatkan suasana baru, dalam arti sikap dan cara bergerak partai yang bersifat radikal di mata penguasa Pemerintahan Belanda di Nederlandsch-Indie. Ia menamakan partainya dengan menggunakan kata nasional dan Indonesia. Ia menunjukkan landasan ideologinya yaitu nasionalisme dan Indonesia menunjukkan kehendaknya mengganti
1 Pernyataan tentang fenomenalnya Soekarno (Bung Karno) sebagai tokoh dan pemimpin dalam sejarah perjuangan bangsa-negara Indonesia, juga telah dinyatakan dan ditunjukkan oleh pemimpin grup Kompas- Gramedia, Dr. Jacob Oetama ketika memperingati “100 tahun usia Bung Karno”. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Jacob Oetama, “100 Tahun Bung Karno, Berdialog dengan Sejarah”, dalam St. Sularto, Editor, Dialog dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun, Kompas, Jakarta, 2001, hal 3-10.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
7
nama negerinya dari Nederlandsch-Indie ke atau menjadi Indonesia. Lahirnya Pergerakan Nasional di negeri-negeri jajahan ketika memasuki abad ke-20 tampak merupakan salah satu pertanda sejarah yang amat penting. Dan untuk negeri kita—yang sejak awal abad ke-17 sudah terjajah, yaitu ketika VOC dibentuk oleh pedagang Belanda, dan berlanjut sampai abad ke-18, 19 dan pertengahan abad ke-20—juga sangat penting; karena dalam periode Pergerakan Nasional itu, para warga terdidik-tercerahkan menggunakan strategi baru yang sering saya sebut dengan strategi otak. Sedangkan pelbagai perlawanan yang dilakukan pada abad-abad sebelumnya yang sering saya sebut dengan strategi otot dilakukan dengan perlawanan fisik, perang dan bersifat “sporadis”. Kedua bentuk dan cara perlawanan itu memang perlu dipahami untuk mendapatkan penjelasan yang membedakan situasi penghadapan kita terhadap kaum kolonial Belanda dalam periode-periode itu. Tidak dapat disangkal bahwa ketika Belanda datang ke “Nusantara” dengan pertanda historisnya yaitu “loji” dagang VOC, reaksi warga kerajaankerajaan tradisional di Nusantara—yang jumlahnya ratusan—beragam. Tetapi, dalam perjalanannya kemudian, reaksi yang tampil adalah reaksi “penolakan” akan kehendak monopoli VOC terhadap jalur-jalur perdagangan. Dengan penolakan itu, VOC sebagai lembaga dagang pada akhirnya menggunakan kekuatan politik-militer untuk melakukan perang penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan tradisional yang menentang kehendak monopolinya. Dengan demikian, untuk pelbagai kasus, tidak dapat dihindari terjadinya perang dengan VOC dan kemudian berlanjut sampai ketika pemerintah Belanda di Nederlandsch-Indie mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonialnya. Perang perlawanan itu tentu menggunakan kekuatan fisik dengan pelbagai jenis senjata yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Dalam rangkaian perang perlawanan itu, dalam catatan sejarah kita telah terjadi pelbagai perang perlawanan, seperti Perang Goa/Makassar, Perang Pattimura, Perang Batak, Perang Paderi, Perang Banjar, Perang Diponegoro/Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Bone dan lain-lain. Tentu saja semua perang itu telah menguras kekuatan kedua belah pihak dan berlangsung tahunan bahkan puluhan tahun. Tetapi semua perang perlawanan anak-anak negeri Nusantara dan atau Nederlandsch-Indie yang dilakukan secara fisik, dengan strategi otot itu, mengalami kekalahan yang memedihkan, tragis. Ketika memasuki (awal) abad ke-20, tampillah sejumlah warga anak
8
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
negeri jajahan Nederlandsch-Indie mengambil inisiatif untuk melakukan cara baru perlawanan mereka. Mereka ini terdiri dari warga muda tetapi dengan latar pendidikan yang mereka peroleh dari lembaga-lembaga pendidikan model Belanda-Barat. Sebagai warga terdidik, mereka memiliki kesadaran baru untuk mengubah nasibnya, tidak hanya secara individual, melainkan terutama juga untuk mengubah nasib sesama anak negeri jajahan secara keseluruhan. Hal inilah yang menunjukkan kenyataan diri mereka sebagai anak negeri yang tidak sekedar terdidik melainkan sekaligus tercerahkan. Untuk mencapai tujuan gerakan perjuangan mereka, selama periode Pergerakan Nasional dengan strategi otak, senjata yang mereka gunakan bukanlah senjata-senjata fisik dan peperangan, melainkan dengan senjata otak, senjata rasional. Senjata itu berinti pada empat hal, yaitu pertama, organisasi, yang kedua, media massa, yang ketiga, ideologi dan keempat, dialog. Hal yang pertama terlihat setelah terbentuknya Boedi Oetomo sebagai organisasi “pertama” 2, kemudian menyusullah pelbagai organisasi yang dibentuk oleh pelbagai pihak dengan nama dan tujuan pembentukannya masing-masing.3 Dengan demikian, organisasi dalam periode Pergerakan Nasional dengan strategi baru itu merupakan senjata perlawanan untuk membebaskan warganya dari kekuatan penjajahan Belanda. Yang kedua, media massa tampil sebagai salah satu senjata utama perlawanan. Karena itu, hampir semua organisasi, terutama partaipartai politik, menerbitkan surat kabar, brosur dan juga diterbitkannya buku oleh beberapa tokoh-pemimpin ketika itu. Media massa—walaupun usia hidup media cetak ini terkadang sangat singkat dengan oplaag yang sedikit dan terbatas—mempunyai posisi yang sangat penting karena media cetak sebagai alat perjuangan merupakan alat sosialisasi ide-ide 2 Ada sementara pihak yang mempersoalkan tentang posisi Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama yang dibentuk pada 1908. Mereka ini beranggapan bahwa Sarekat Dagang Islam lebih dahulu dibentuk yaitu pada 1905. Tentu saja masing-masing pihak mempunyai argumennya sendiri-sendiri yang dianggap paling tepat. Tetapi dari sisi pemerintah Republik, tanggal kelahiran-pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 telah diakui sebagai hari nasional yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 3 Untuk mengetahui nama-nama, tanggal pembentukan dan tujuan dari pelbagai organisasi yang dimaksud, lihat buku “Kelasik” yang ditulis oleh A.K. Pringgodigdo dengan judul Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1986, passim. Walaupun buku ini sangat kronologis dengan uraian lebih bersifat “mencatat”, namun buku ini sangat berharga sebagai salah satu dokumentasi yang cukup lengkap untuk periode Pergerakan Nasional, 1908-1942. Paling tidak untuk mengetahui nama-nama organisasi ketika itu. Juga untuk Pergerakan Nasional di Nederlandsch-Indie ada baiknya membaca buku J. Th. Petrus Blumberger, De Nationalistische Bewegung In Nederlandsch-Indie, Foris Publications Dordreecht-Holland/Providence-USA, 1987, passim.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
9
perjuangan untuk disampaikan dan disebarkan ke tengah-tengah masyarakat. Media massa juga merupakan alat pendidikan politik yang sangat penting untuk organisasi-organisasi politik bagi anggotaanggotanya dan masyarakat pada umumnya.4 Hal yang ketiga adalah ideologi yang memiliki arti penting untuk membangun visi dari organisasi politik dengan tujuan-tujuan perjuangan yang hendak mereka capai. Terakhir dialog, dialog adalah senjata yang sangat penting baik tertulis maupun lisan; dan dialog ini tidak hanya antara sesama warga anak negeri jajahan, melainkan juga dengan pemerintah kolonial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dialog tertulis dilakukan melalui tulisan-tulisan di surat kabar, brosur, pamflet, dan lain sebagainya. Sedang dialog lisan dilakukan dalam rapat dan kongres partai-partai, atau di antara pemuda-pelajar dan mahasiswa di asrama-asrama atau rumah sewaan tempat tinggal bersama mereka. Dalam periode Pergerakan Nasional/strategi otak itulah Ir. Soekarno tampil, tidak sekedar sebagai tokoh “pinggiran” melainkan sebagai “tokoh sentral” sejak 1926/1927 sampai 1967. Yang menarik pada diri pemimpin generasi Pergerakan Nasional/strategi otak ini ialah mereka bukan sekedar penggerak melainkan juga sekaligus sebagai pemikir.5 Mereka menjadi penggerak melalui organisasi-organisasi politik yang mereka bentuk—dalam kasus Ir. Soekarno, ia membentuk PNI dan menjadi Ketua Partindo setelah keluar dari penjara pada tahun 1930an—dan menjadi pemikir melalui tulisan-tulisan mereka yang disebarkan di pelbagai media massa cetak yang mereka terbitkan. Peninggalan pemikiran-pemikiran mereka sampai sekarang masih dapat kita miliki dan pelajari melalui penerbitan yang telah dilakukan. Dalam hal Ir. Soekarno, untuk menyebut salah satu yang terpenting, kumpulan tulisannya masih dapat kita peroleh dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Ketika akan membentuk organisasi politiknya yang diawali dengan membentuk studie club di Bandung dan juga mendirikan Jong Indonesia yang kemudian diganti dengan Pemuda Indonesia, yaitu PNI, maka ia telah menulis “pemikiran awalnya” yang menunjukkan sikapnya tentang posisi-posisi dari kekuatan-kekuatan ideologis yang berkembang ketika itu, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di Asia. Tulisan itu 4 Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan dan peranan media massa dalam periode Pergerakan Nasional, lihat Abdurrachman Suryomihardjo, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002, passim. 5 Tentang posisi para pemimpin pergerakan sebagai penggerak sekaligus pemikir ini, lihat Anhar Gonggong, “Pemikir sekaligus Penggerak”, di dalam Basis, 1972.
10
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.6 Tulisan yang dibuat pada 1926 ini selesai ketika ia berusia 25 tahun, menunjukkan kepada pembaca bahwa ia memang sangat kuat mendukung kekuatan-kekuatan anti penjajah-imperialis; tetapi kekuatan-kekuatan itu harus mempersatukan diri sebagai satu kekuatan untuk menghadapi kekuasaan pemerintah kolonial. Ia menghendaki agar para pendukung kekuatankekuatan golongan nasionalisme, kekuatan Islamisme dan kekuatan Marxisme dapat mempersatukan diri untuk menentang kolonialisme. Pada 1927 bersama rekan-rekan setujuannya, Ir. Soekarno mendirikan Perserikatan—kemudian menjadi Partai—Nasional Indonesia (PNI). Ketika ia mendirikan PNI itu, memang tampak ada situasi “resah” dalam dirinya dan warga jajahan pada umumnya yang mengalami “rasa sakit” akibat pemberontakan PKI pada 1926/1927 di Banten/sekitar Jakarta dan Silungkang, Sumatera Barat. Perlawanan fisik Partai Komunis Indonesia dengan menggunakan senjata, kekuatan fisik itu merupakan tindakan menyimpang dari pola umum yang terjadi dalam periode Pergerakan Nasional/strategi otak. Perlawanan fisik PKI ini berlangsung singkat dan dapat ditumpas oleh kekuatan senjata pemerintah kolonial. Dengan pemberontakan PKI itu, posisi Partai Sarekat Islam juga mengalami tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Apalagi pemerintah kolonial mengetahui pasti kaitan antara Partai Sarekat Islam dengan PKI, sehingga kecurigaan pemerintah kolonial sangat besar. Melihat keadaan yang rumit dan sulit itu, Ir. Soekarno dan kawan-kawan tampil dan memecah situasi traumatis masyarakat Nederlandsch-Indie dengan membentuk organisasi politik dengan nama PNI. Dan kejutan pun terjadi; ternyata PNI-Soekarno mendapat sambutan antusias dari warga negeri jajahan ini. Dalam jangka waktu singkat, PNI-Soekarno mendapat pengikut yang cukup besar. Ia dielu-elukan bagaikan seorang “Ratu Adil” yang datang untuk menyelamatkan warga dan negerinya. Dibentuknya PNI oleh Ir. Soekarno di lain pihak sangat menakutkan pemerintah kolonial, karena dibandingkan dengan partai-partai/ organisasi politik lainnya, ternyata PNI mengambil sikap radikal dengan jalan non-kooperasi. Ia melakukan pidato-pidato yang mampu menggerakkan massa pengikutnya. Karena sikap radikal dan nonkooperasinya itu, para pengurus PNI di wilayah Nederlandsch-Indie mendapat pengawasan yang sangat ketat. Soekarno dan pengurus PNI 6 Untuk keterangan selanjutnya, lihat “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme di dalam Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 1-24.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
11
lainnya menjadi incaran untuk “dijebak” dalam persoalan yang memungkinkannya untuk ditangkap. Dan memang pada akhirnya Ia ditangkap dengan tuduhan mengganggu ketentraman umum dan merencanakan pemberontakan. Ia dihadapkan ke penyidik kolonial bersama rekan-rekannya seperti Maskum, Gatot Mangkupraja dan lainlain. Pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandung dapat dikatakan ”memberikan pelajaran” sejarah imperialisme/ kolonialisme kepada para penguasa kolonial waktu itu. Setelah diterbitkan, pidato pembelaannya itu berjudul : Indonesia Menggugat. Dari isi pidato pembelaan itu, menunjukkan kepada kita betapa Ir. Soekarno mempunyai pengetahuan yang luas dan kemampuan pembacaan yang sangat tinggi. Walaupun pendidikan formalnya adalah insinyur, namun pengetahuannya di bidang politik, ekonomi, sosial dan sejarah sangat luas dan mendalam.7 Dari keterangan di atas, tampak kepada kita bahwa dalam periode Pergerakan Nasional/strategi otak dalam usaha merebut kemerdekaan, sejak awal keterjunannya ke arena juang, pada bagian kedua periode Pergerakan Nasional, posisi Soekarno adalah fenomenal dan sentral. Ia tampil dengan sikap yang membuat pemerintah kolonial Belanda “sangat ketakutan”, tetapi sekaligus juga membuat sesama kaum pergerakan dan warga anak jajahan mendapat nafas baru untuk melangkah ke depan. Ir. Soekarno—dalam pandangan mitologi timur—bagaikan seorang “Ratu Adil” yang datang untuk menyelamatkan dunia yang sedang kacau. Rakyat negeri terjajah memang telah amat lama menunggu untuk mendapatkan seorang pemimpin yang dapat membebaskan mereka dari awan kekacauan.
2. Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Soekarno Periode Pergerakan Nasional/strategi otak juga merupakan periode pemikiran tidak hanya untuk merumuskan diri sebagai bangsa baru yang satu-bersatu, melainkan juga adalah periode pemikiran ideologi untuk sebuah bangsa-negara merdeka kelak. Karena itu, para pemimpin warga anak jajahan Nederlandsch-Indie berusaha untuk: pertama, berjuang untuk merdeka, kedua, sebelum usaha pertama tercapai, maka terlebih dahulu warga anak jajahan Nederlandsch-Indie merumuskan diri menjadi satu bangsa yang satu-bersatu. Hal ini harus dilakukan karena faktanya anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie memiliki kenyataan 7
Silakan baca Indonesia Menggugat, Gunung Agung, Jakarta, 2001, passim.
12
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
diri yang tidak satu-bersatu, melainkan terdiri dari pelbagai etnis yang mendiami sekian banyak pulau-pulau. Dan dalam sekian banyak pulau itu bertegak pula sekian banyak kerajaan-kerajaan tradisional “yang pengaturan hidup layaknya sebuah negara” dengan sistem pengaturannya masing-masing. Mereka yang tampil sebagai warga terdidik-tercerahkan itu adalah warga kepulauan-kepulauan dan/atau kerajaan-kerajaan tradisional tertentu yang tetap bertegak dan memerintah dirinya sendiri, walaupun mungkin mereka telah ditaklukkan oleh VOC atau oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan kenyataan diri seperti itu, kalau mereka hendak melanjutkan kehidupan bersama mereka, maka terlebih dahulu mereka harus mencari rumusan baru dan kemudian disepakati bersama sebagai rumusan diri sebagai sebuah bangsa baru. Sejalan dengan kehendak mereka untuk merdeka dari pemerintahan jajahan Nederlandsch-Indie, mereka pun mencari suatu sistem pemerintahan baru, tidak seperti sistem kolonial yang otoriter-diktatorial dan juga menolak sistem pemerintahan feodal sebagaimana yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan tradisional. Karena itu, usaha yang ketiga, para pemimpin Pergerakan Nasional termasuk Ir. Soekarno, berusaha mencari suatu sistem pengaturan pemerintahan dalam negara merdeka yang berbentuk Republik. Sejalan dengan itu, pada umumnya para pemimpin Pergerakan Nasional menghendaki, yang keempat, (pemerintahan) demokratis. Demokrasi tampak diterima oleh semua pihak sebagai sistem pemerintahan yang tepat untuk sebuah bangsa-negara baru yang berbentuk Republik. Cita-cita untuk menjadi bangsa-negara yang bertegak di atas prinsip-prinsip demokrasi itu, telah dinyatakan oleh pemimpin Sarekat Islam dalam pidato pembukaan Kongres Central Sarekat Islam pada 1916 di Bandung. Tokoh utama Sarekat Islam, Tjokroaminoto menyatakan—ketika itu ia menuntut Self leestuur, pemerintahan sendiri untuk Bumiputra—bahwa demokrasi adalah sesuai dengan Islam dan karena itu dalam Selfleestuur untuk bumiputera itu, demokrasi yang paling tepat.8 Dalam kaitan dengan Ir. Soekarno sebagai pemimpin Pergerakan Nasional yang utama, ia pun telah menulis dan merumuskan demokrasi untuk Indonesia. Untuk itu, pada 1930-an, ia telah menulis sebuah artikel yang berjudul: Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Untuk 8 Untuk keterangan lebih lanjut tentang Cokroaminoto dan pikiran-pikirannya, lihat Anhar Gonggong, Riwayat Hidup H.O.S. Tjokroaminoto, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, passim.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
13
memahami apa yang dimaksudkannya dengan demokrasi, ia menyatakan: “Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan itu memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah. Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai-partai nasionalis di Indonesia. tetapi dalam mencita-citakan paham dan cara pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen 9 tokh harus berhati-hati. Artinya : jangan meniru sahaja “demokrasi-demokrasi” yang kini dipraktekkan di dunia luaran”.10 Dari kutipan di atas, tampak bahwa walaupun ia setuju dengan pemerintahan yang dibangun secara demokratis, namun ia mengingatkan rakyat Indonesia (=Nederlandsch-Indie) terutama kaum Marhaen, agar “berhati-hati jangan meniru demokrasi-demokrasi luaran”. Untuk memberikan dasar dari anjurannya itu, Soekarno kemudian menerangkan pertumbuhan demokrasi luaran itu—yang dimaksudkannya ialah demokrasi yang berkembang di Eropa Barat. Ia menolak demokrasi itu, karena ternyata kaum kapitalis-borjuis menindas kaum miskin, kaum proletar. Kaum proletar memiliki parlemen, tetapi mereka diusir dari pabrik-pabrik tempatnya bekerja.11 Tentang ini ia berkata : “Sekali lagi : Inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?” “Bukan,—ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk kita kaum Marhaen Indonesia! Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi parlemen sahaja, yakni hanya demokrasi politik sahaja. Demokrasi ekonomi tidak ada”.12 Karena ketidakpercayaannya akan demokrasi parlementer/ 9 Kaum Marhaen merupakan rumusan dari Ir. Soekarno, juga pada tahun 1930-an. Menurutnya, kata, istilah Marhaen diambilnya dari nama seorang petani ketika ia berjalanjalan di luar Priangan. Ia berdialog dengan petani itu yang ternyata bernama : Marhaen. Setelah percakapannya dengan petani itu, maka lahirlah idenya untuk menunjukkan adanya perbedaan kehidupan antara rakyat miskin Indonesia dengan kaum proletar menurut paham komunis. Menurut Soekarno, kaum proletar tidak memiliki apa-apa, hanya memiliki tenaga. Sebaliknya, kaum miskin di Indonesia dengan contoh Pak Marhaen itu, mempunyai harta benda milik pribadi, seperti tanah garapan, rumah gubuk, seekor kerbau dan lain sebagainya. Tetapi penghasilan dari harta benda yang mereka miliki itu, tidak cukup untuk membiayai hidup diri dan keluarganya. Dari fakta-fakta yang kemudian dianalisanya dan dibandingkannya dengan konsep proletar dari Marxisme, maka Soekarno pun merumuskan ide konseptualnya sendiri; dan konsep buah rumusan pikirannya itu kemudian dipopulerkannya dengan nama : Marhaenisme. 10 Untuk ini, lihat Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 171. 11 Ibid., hal. 173. 12 Ibid.
14
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
“demokrasi luaran”, Soekarno mencari rumusan sendiri tentang demokrasi yang tidak hanya menyangkut demokrasi politik, melainkan juga mencakup demokrasi ekonomi yang diterjemahkannya dalam istilah demokrasi masyarakat. Apakah yang dimaksud Ir. Soekarno dengan istilah itu? Kita simak keterangannya sendiri, yaitu : “…Demokrasi masyarakat, sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang terdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman, dll.—tetapi ia adalah demokrasi sejati yang memberi keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi ekonomi.”13 Pikiran Soekarno tentang demokrasi tidak dapat dipisahkan dari pikirannya tentang nasionalisme. Bahkan pikirannya tentang demokrasi, dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pikirannya tentang nasionalisme. Sehubungan dengan itu, Soekarno menciptakan istilah baru yang berkaitan dengan nasionalisme—sebagaimana halnya dengan demokrasi—yakni sosio-nasionalisme, Nasionalisme Masyarakat”. Yang dimaksudkannya ialah : “Nasionalisme Masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena “rasa” sahaja, tidak karena “gevoel” sahaja, tidak karena “lyrick” sahaja,—tetapi karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Nasionalisme masyarakat,—sosio-nasionalisme—bukan nasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat. Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papasengsara.”14 Dengan keterangan seperti di atas, Ir. Soekarno pun mengaitkan sosio-nasionalisme itu dengan paham yang lebih dahulu pernah 13 14
Dibawah Bendera Revolusi…, hal. 175. Ibid.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
15
dirumuskannya, yaitu Marhaenisme. Tentang hal ini ia berkata : “Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah Nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat itu. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rejeki”.15 Kalau kita memperhatikan buah-buah pikiran Soekarno dan pemimpin Pergerakan Nasional lainnya seperti Mohammad Hatta16, maka pada 1930-an, tema sentral yang dikembangkan dan disosialisasikan melalui tulisan-tulisan mereka selain nasionalisme adalah tentang persatuan walau tidak jarang terlihat adanya perbedaan pendapat yang tajam diantara mereka. Ketika itu, sebenarnya para pemimpin Pergerakan Nasional dengan strategi otak memang mencari rumusan-rumusan yang bertentangan dengan yang dianut pemerintah kolonial dan atau sistem yang diterapkan di negeri-negeri jajahannya. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan demokrasi, persatuan, ideologi terutama tentang Marxisme, Komunisme dan Sosialisme, adalah paham-paham yang sangat menarik. Perihal demokrasi, Ir. Soekarno sejak semula sudah menolak Demokrasi Parlementer yang menurutnya adalah alat kaum borjuis-kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya dan menindas kaum miskin.17 Tetapi penolakan sistem demokrasi “Barat” yang sering juga disebut sebagai demokrasi import oleh Soekarno, juga tidak sepenuhnya diterima oleh Mohammad Hatta. Kita simak salah satu bagian dari tulisannya, “Dasardasar demokrasi yang terdapat dalam pergaulan hidup asli di Indonesia kita pakai sebagai sendi-sendi politik kita. Akan tetapi kita insaf akan pertukaran zaman, insaf bahwa dasar-dasar yang ada dahulu itu tidak mencukupi sekarang untuk menyusun Indonesia merdeka yang berdasar demokrasi. Sebab itu asas-asas asli itu harus dicocokkan dengan pergaulan hidup sekarang, harus dibawa ke atas tingkat yang lebih tinggi. Pendeknya, diluaskan lingkarannya dan dilanjutkan tujuannya!”18 Ibid. Untuk tulisan-tulisan Mohammad Hatta pada tahun 1930-an itu, dapat kita baca-pelajari buku Kumpulan Karangan (jilid I), Bulan Bintang, Jakarta, 1976, passim. 17 Hal ini sangat jelas di dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial di Bandung, yaitu yang kini dikenal dengan judul Indonesia Menggugat. Juga nada seperti itu dapat kita jumpai di dalam tulisannya yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, yang telah diterbitkan sebagai buku oleh Gunung Agung, Jakarta, 2001. 18 Mohammad Hatta, op.cit., hal. 124. 15 16
16
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Dalam periode Pergerakan Nasional, para warga terdidik-tercerahkan yang tampil sebagai pemimpin-pemimpin bangsanya, berhasil merumuskan pelbagai hal sebagai identitas diri untuk menjadi bangsanegara merdeka. Mereka merumuskan diri sebagai satu bangsa, bangsa baru dengan nama Indonesia, dan jika kelak merdeka maka bentuk negaranya adalah Republik dan pemerintahannya akan ditata di atas dasar prinsip-prinsip demokrasi.
3. Soekarno : Pergumulan di Tengah Demokrasi Parlementer Indonesia Merdeka Ketika Soekarno-Hatta—atas nama bangsa Indonesia—telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka usaha untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, tampak mengalami “tumpukan masalah yang menghempang”. Yang pertama, keangkuhan imperialiskolonialis Belanda yang tidak bersedia menerima pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia yang sekaligus menegakkan negara Republik Indonesia. Tampak bangsa kolonialis Belanda “ngotot” untuk tidak bersedia menerima bangsa jajahan – wilayah koloninya merdeka dan lepas dari tangan kekuasaannya. Baginya, wilayah ini tetap “miliknya” yang bernama Nederlandsch-Indie dan karenanya tidak berhak merdeka. Dengan sikap pemerintah dan bangsa Belanda yang seperti itu, memaksa bangsa-negara Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Dengan itu pemerintah kolonial Belanda—yang didukung oleh sesama bangsa kolonial yang tergabung dalam golongan Sekutu dan memenangkan Perang Dunia II—sekaligus juga memaksakan perang kolonialnya terhadap bangsa Indonesia. Perang itu berlangsung sekitar empat tahun, 1945-1949. Perang itu disertai pula dengan langkah-langkah perundingandiplomatik, yang melibatkan beberapa bangsa, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan juga organisasi dunia PBB. Salah satu langkah perundingan-diplomatik yang pada akhirnya menghasilkan atau mengakhiri Perang Kolonialis Belanda di Indonesia adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani bersama pada 27 Desember 1949. Namun, di balik hasil yang dicapai melalui KMB itu, yang berupa pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia—tetapi pengakuan kedaulatan itu bukan kepada Negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan (NKRI), melainkan pengakuan terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan demikian, ketentuan dalam KMB itu justru
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
17
meninggalkan “bom waktu” dalam arti akan meninggalkan pertentangan setelah kekuasaan Belanda meninggalkan Republik Indonesia. Dalam ketentuan KMB itu, paling tidak terdapat dua permasalahan yang akan melahirkan pertentangan baik dengan pemerintah dan bangsa Belanda, maupun pertentangan di antara bangsa Indonesia sendiri. Kedua permasalahan itu ialah diubahnya bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat atau federal; yang kedua, tertundanya Irian Barat (=sekarang Propinsi Papua dan Papua Barat) menjadi (bagian) dari wilayah negara Republik Indonesia. Hal yang pertama, RIS yang “hanya” berusia delapan bulan, dari akhir Desember 1949 sampai 16 Agustus 1950, telah melahirkan keterbelahan pendapat dan kekuatan di antara bangsa Indonesia. Walaupun Ir. Soekarno disumpah sebagai Presiden RIS, namun tidak dapat meredakan pertentangan di antara kedua belah pihak, yaitu yang pro negara federal (RIS) dan yang pro negara kesatuan. Pertentangan di antara keduanya sangat keras, bahkan melahirkan provokasi-provokasi dan tindakan militer seperti yang terjadi dengan Peristiwa Kapten Andi Azis. Tetapi setelah melalui langkah-langkah perundingan di antara pihak-pihak yang bertentangan, melalui mosi Natsir di DPR, akhirnya bentuk negara federal (RIS) diganti kembali dengan bentuk negara kesatuan. Dengan demikian, sejak 17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali berbentuk negara kesatuan (NKRI). Namun, hal yang kedua, permasalahan Irian Barat, tidak mudah untuk diselesaikan. Pemerintah Belanda berdalih terus-menerus, sehingga usaha mengembalikan daerah Irian Barat untuk menjadi bagian dari negara Indonesia setiap kali mengalami kegagalan. Lagi-lagi pemerintah Belanda menunjukkan keangkuhan kolonialnya dengan dukungan sekutunya, terutama yang juga kolonialistik, seperti Inggris, Australia, dan Eropa Barat lainnya. Amerika Serikat di bawah Presiden-Presiden Eisenhower dan Nixon juga memberikan dukungan untuk tidak melepaskan Irian Barat sebagai wilayah jajahannya. Tetapi kemudian kebijakan Presiden Kennedy membuka peluang bagi kemungkinan dikembalikannya Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Perubahan sikap Amerika Serikat itu tidak hanya karena Kennedy adalah seorang presiden yang memahami Presiden Soekarno dan Indonesia, melainkan juga terutama karena keadaan mondial dalam situasi Perang Dingin setelah Perang Dunia II. Ketika itu pengaruh komunis di bawah Uni Sovyet dan RRC sedang berkembang memasuki dunia politik negara-
18
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
negara berkembang bekas jajahan bangsa asing. “AS telah ditantang secara serius di Indonesia oleh blok komunis untuk pertama kalinya sejak bangsa itu dibebaskan dari dominasi kolonial Belanda….Hampir satu tahun yang lalu, Uni Sovyet rupanya mencapai kesimpulan bahwa ia tidak dapat membiarkan Partai Komunis terbesar di Asia di luar Tiongkok dihancurkan. Pada kira-kira waktu Presiden Eisenhower menolak mengunjungi Indonesia, Kruscher datang, dan ia menyuguhkan tawaran-tawaran yang praktis tidak terbatas untuk bantuan ekonomi dan militer kepada orang-orang Indonesia yang relatif masih kurang berpengalaman dalam dunia politik”.19 Dari kutipan di atas, nampak bahwa berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia merupakan faktor penyebab perubahan sikap Amerika Serikat yang mendorongnya untuk segera mengambil peranan penting bagi diplomasi pengembalian daerah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Adanya situasi Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur juga memberi pengaruh yang lebih luas dalam situasi politik di Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh Belanda melalui KMB, sistem kehidupan bangsa Indonesia didasari oleh Demokrasi Liberal-Parlementer. Sejak 1950 sampai 1958, UUD yang berlaku ialah UUD-Sementara (UUDS) 1950 yang memberikan peluang untuk menganut sistem Demokrasi Parlementer. Ketika itu Ir. Soekarno diangkat sebagai Presiden Konstitusional dengan posisi “hanya” sebagai Kepala Negara. Ia tidak memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan negara karena Kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri yang ditunjuk Presiden berdasar perimbangan kekuatan partai dalam parlemen. Artinya, partai yang memiliki anggota terbanyak dalam Parlemen berhak (terlebih dahulu) untuk ditunjuk sebagai formateur (pembentuk) Kabinet. Sejalan dengan itu, dikenallah istilah (Kabinet) Koalisi dan partai-partai oposisi. Adanya dua kekuatan dalam sistem Demokrasi Parlementer, memungkinkan terjadinya gonta-ganti Kabinet dan dapat pula berarti “ketidakstabilan” jalannya pemerintahan negara. Terjadinya ketidakstabilan politik-pemerintahan juga semakin bertambah karena situasi internal dari Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat. Juga adanya “ketidaksenangan” Angkatan Darat 19 Untuk keterangan ini, lihat Paul F. Gardner, 50 Tahun Hubungan Amerika SerikatIndonesia (terjemahan dari “Shared Hopes Separate Fears Fifty Years of US-Indonesia Relations”), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 346.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
19
terhadap partai politik, baik yang memerintah maupun yang beroposisi. Hal-hal itu kemudian menyebabkan terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952. Kemudian peristiwa-peristiwa yang mengguncangkan seperti itu terjadi susul menyusul. Pemberontakan DI/TII di pelbagai daerah seperti Jawa Barat, Aceh, Sulawesi (Selatan) dan Kalimantan Selatan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi liberal-parlementer. Belum lagi persoalan-persoalan rumit itu selesai, pertentangan antara Presiden Soekarno dengan Wakil Presiden Hatta tampak “tidak terdamaikan” dan berujung dengan pengunduran diri Mohammad Hatta dari kedudukannya sebagai Wakil Presiden. Selanjutnya, isu ketidakseimbangan pembangunan ekonomi antara pulau Jawa dan wilayah-wilayah di luar pulau Jawa makin berkembang. Isu ini dilapisi pula oleh pertentangan internal Angkatan Darat yang kemudian melahirkan Gerakan Permesta pada 2 Maret 1957 di Makassar oleh Panglima Tr VII, Letkol Vence Sumual. Gerakan ini kemudian disusul oleh Gerakan Republik Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera (Barat). Keterlibatan beberapa tokoh Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam gerakan PRRI/Permesta itu, menyebabkan kedua partai itu “dibubarkan” dan dinyatakan sebagai partai-partai terlarang. Kabinet gonta-ganti karena “ulah” partai-partai politik yang mempunyai “kekuasaan” di parlemen. Karena itu, Presiden Soekarno tampak tidak senang dengan tingkah laku politik partai-partai politik yang dianggapnya (ber)dagang sapi untuk membagi porsi kekuasaan dalam kabinet. Sehubungan dengan itu, pada satu saat, ia berniat membubarkan partai-partai itu—sebagaimana yang dikatakannya sendiri—ia gagal dengan niatnya itu, karena kepalanya terbentur pada tembok yang tebal. Kehendaknya membubarkan partai-partai itu, karena ia beranggapan perbuatan partai-partai itu sudah membahayakan negara. Pada 1955, “puncak” dari pelaksanaan demokrasi dalam periode demokrasi liberal-parlementer, diadakanlah Pemilu “yang pertama” sejak kita merdeka. Tentu saja pelaksanaan Pemilu ketika itu dianggap sebagai hal yang merupakan salah satu solusi terbaik, terpenting dalam menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan dan kenegaraan. Tetapi tampilnya empat partai yang mendapat suara mayoritas dari rakyat— PNI, Masyumi, NU dan PKI—tampak tidak mengubah situasi secara mendasar. Gonta-gantinya kabinet tetap saja terjadi. Demikian pula Badan Konstituante yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu
20
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
waktu itu, tampak tidak berhasil menyelesaikan tugasnya membuat UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950. Ketika Badan Konstituante dibuka bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1956, Presiden Soekarno memberikan pidato yang cukup panjang berjudul Res Publica, yang meminta kepada anggota badan pembuat undangundang dasar agar menyusun sebuah UUD yang benar-benar sesuai kehendak rakyat. Dalam pidatonya itu, ia menyampaikan pandangan yang menarik, yaitu yang membedakan posisi Parlemen dengan Konstituante. Ia berkata : “Sekali lagi, Konstituante bukan parlemen. Parlemen biasanya adalah tempat adu suara; Konstituante adalah badan untuk bermusyawarah merumuskan suatu hal yang sudah terang, yaitu sifat dan sikap hidup negara yang telah jadi pegangan batin bangsa dalam perjalanannya dalam sejarah”. 20 Selanjutnya ia menyebutkan bahwa Parlemen biasanya menjadi gelanggang antithese; Konstituante adalah badan untuk ber-synthese.21 Setelah melihat perkembangan yang terjadi selama sekitar enam tahun, 1950–1956, Presiden Soekarno menentukan sikap politiknya dalam menghadapi perkembangan yang dilahirkan sistem Demokrasi Liberal-Parlementer itu. Ia melangkah dengan Konsepsi Presiden. Ide ini disampaikannya dalam pidato radio pada pukul 20.05, 21 Februari 1957. Dalam pidato itu Presiden secara terbuka mencela sistem Demokrasi Parlementer yang disebutnya sebagai Demokrasi Barat, demokrasi impor.22 Penolakan dan celaannya terhadap Demokrasi Parlementer-Barat itu, dikatakan dalam kalimat-kalimat berikut : “Sejak kita menamakan gerakan nasional, lebih-lebih lagi sesudah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, memang kita selalu gandrung kepada demokrasi dan ingin menyelenggarakan demokrasi itu, oleh karena memang demokrasi itulah yang menjadi api pembakar hati kita, api pewahyu daripada segenap tindakan kita. Tetapi menurut keyakinan kita sebagai hasil pengalaman yang 11 tahun ini, demokrasi yang kita ambil, demokrasi yang kita pakai adalah demokrasi yang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia, yaitu apa yang kita 20 Untuk keterangan ini, lihat Wawan Tunggul Alam, Bung Karno Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 19. 21 Ibid. 22 Istilah ini telah digunakannya juga ketika ia mengajukan idenya tentang SosioNasionalisme dan Sosio-Demokrasi pada tahun 1930-an. Istilah itu juga merupakan istilah “ejekan” untuk menolak Demokrasi Parlementer, ketika mereka “mencari” demokrasi “asli” Indonesia.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
21
namakan Demokrasi Barat, namakanlah ini demokrasi parlementer. Tetapi tegas bagi saya demokrasi yang kita pakai 11 tahun ini adalah satu demokrasi Indonesia. Di dalam demokrasi Barat itu, Saudara-saudara, demokrasi prademokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita mengalami segenap ekses-ekses daripada sekedar memakai barang impor. Segenap ekses-ekses daripada penyelenggaraan demokrasi yang bukan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian kita sendiri. Di dalam demokrasi Barat itu, Saudara-saudara, demokrasi parlementer ala Barat, maka adalah begrip yang dinamakan begrip oposisi inilah, Saudara-saudara yang telah membuat kita 11 tahun lamanya menderita. Oleh karena begrip oposisi ini kita maknakan dan kita artikan dengan jalan yang tidak cocok dengan jiwa Indonesia.”23 Konsepsi Presiden ini sangat penting posisi dan artinya ketika Presiden sudah tidak dapat lagi melihat perkembangan yang terjadi dan yang dianggapnya telah membahayakan kehidupan negara. Konsepsi Presiden itulah yang dikembangkan bersama para pendukungnya, termasuk Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, untuk menjalankan format politik yang dirumuskannya sendiri. Dengan itu Presiden akan tampil tidak hanya sebagai Presiden Konstitusional, tetapi juga sebagai Kepala Pemerintahan, bahkan “penguasa tunggal”, sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup!
4. Demokrasi Terpimpin : Rumusan dan Implementasi Tampak antara 1956–1957, Presiden Seokarno melakukan langkahlangkah politik “yang menyerang” sistem demokrasi liberal-parlementer. Langkah-langkah itu tampak pula mulai mendapat dukungan dari pelbagai pihak, termasuk dari pimpinan Angkatan Darat. Dan tentu partai yang dibentuknya dalam periode Pergerakan Nasional, PNI, memberikan dukungannya pula. Bahkan dalam tubuh PNI telah dilakukan usaha meretakkan hubungan PNI dan Presiden Soekarno, yang nampak selama ini “renggang”.24 23 Wawan Tunggul Alam (penghimpun/penyunting), Bung Karno—(Kumpulan Pidato)— op.cit., hal. 36. 24 Untuk keterangan lebih lanjut, lihat sebuah brosur kecil, semacam buku saku, Pulihkan! Marhaenisme yang dikeluarkan oleh Badan Pelaksana Koreksi Konsolidasi Partai Nasional Indonesia 1958, passim.
22
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Konsepsi Presiden berinti pada dua hal, yaitu pembentukan Kabinet Gotong Royong dan pembentukan satu Dewan Nasional. 25 Dengan berpegang pada idenya itu, Presiden Soekarno melakukan penjajakan pendapat terhadap kekuatan-kekuatan politik dengan mengundang partaipartai politik. Presiden menanyakan sikap mereka terhadap Konsepsi Presiden yang disampaikannya pada beberapa waktu lalu. Tentu saja ada partai yang mendukung Konsepsi Presiden seperti PNI dan PKI. Tetapi ada juga partai-partai yang secara tegas menolaknya seperti Masyumi, PSI dan Partai Katolik. Untuk mewujudkan Konsepsi Presiden, Presiden bersama pendukungnya melangkah lebih lanjut: pertama, merumuskan sebuah demokrasi “baru” yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dan yang kedua, kembali ke UUD 1945. Tampak usaha merumuskan dan memberlakukan Demokrasi Terpimpin berjalan dengan cepat. Setelah Presiden dan Dewan Menteri melakukan pertemuan-pertemuannya, Dewan Menteri menerima Demokrasi Terpimpin dalam rangka memberlakukan kembali UUD 1945. Keterangan pemerintah yang disampaikan Perdana Menteri Djuanda, antara lain, sebagai berikut : “Mengenai masalah Demokrasi Terpimpin itu telah diadakan pembahasan oleh Dewan Menteri pada tanggal 7 Nopember 1958 di Cipanas, serta tiga kali pertukaran fikiran secara terbuka antara Presiden dan Dewan Menteri pada tanggal 5 Desember 1958, tanggal 15 Januari 1959 dan tanggal 26 januari 1959, berturut-turut di Bogor, di Jakarta dan di Bogor lagi. Kemudian pada tanggal 19 Februari 1959 oleh Dewan Menteri diambil mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan putusan Dewan Menteri itu disetujui sepenuhnya oleh Kepala Negara.” 26 Selanjutnya, Perdana Menteri memberikan pula apa yang dimaksud dengan Demokrasi Terpimpin itu. Dikatakannya, “Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi. Demokrasi terpimpin itu bukanlah diktator. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial”.27 Dalam sumber lain yang ditulis Soepardo dkk yang dimaksudkan Ibid. Mendjelang Dua Tahun Kabinet Karya 9 April 1957 – 9 April 1959 (penerbitan Chusus 46), Kementrian Penerangan RI, hal. 16. 27 Ibid., hal. 17 25 26
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
23
sebagai buku pelajaran Civics, kita dapatkan pengertian demokrasi yang dikaitkan dengan istilah terpimpin. Dikatakan bahwa, “Demokrasi Terpimpin itu adalah demokrasi dengan pengakuan adanya pimpinan. Bukanlah terpimpin untuk menghilangkan demokrasi, akan tetapi terpimpin untuk melawan sifat-sifat liberalnya dari para demokrasi. Tujuan utama adalah menyingkirkan perusak-perusak demokrasi yang berdalih demokrasi yang dengan demikian berbuat anarki dan pengacauan. Atas nama demokrasi harus dihormati hak-hak demokrasi dari para rakyat, sesuai dengan sumber pengertian demokrasi yang terdapat pada sila keempat dari Pancasila “Kedaulatan Rakyat”.28 Tentang arti pemimpin, buku civics itu menyatakan: “Terpimpin”, merupakan pendirian yang tegas dan sikap hidup yang nyata, yakni: memberikan pimpinan kepada rakyat dan melawan musuh-musuh rakyat bersama rakyat. Dalam bidang ekonomi, pimpinan ini lebih jelas lagi mempunyai sasaran dan perlindungannya. Temanya adalah sama, seperti penjelasan mengenai demokrasi, tetapi sasarannya lebih konkrit. Ekonomi terpimpin adalah ekonomi gotong-royong yang menjamin kemakmuran rakyat serta melenyapkan sisa-sisa sistem feodalisme dan imperialisme dengan penghisapan-penghisapannya. Ekonomi gotong-royong atau ekonomi sosialis a la Indonesia, adalah ekonomi kemakmuran bersama yang anti feodalisme dan imperialisme. Pimpinan dalam taraf pertama adalah untuk menumbangkan rezim-rezim kapitalisme, dimulai dari kapitalis-kapitalis monopoli dan selanjutnya sehingga pada akhirnya kapitalisme dalam prinsipnya dapat ditiadakan. Tarif selanjutnya adalah bimbingan usaha bersama rakyat dalam bidang-bidang produktifkonsumtif yang dipimpin oleh pemerintah”.29 Ketika Konsepsi Presiden diberitahukan kepada masyarakat luas melalui RRI pada 21 Februari 1957, malam hari, sebenarnya itu dilakukan oleh Presiden untuk memberitahukan kepada masyarakat luas, bahwa ia akan melangkah dalam bidang politik, dan itu akan menyebabkan perubahan mendasar, paling tidak membuka peluang baginya untuk mengambil peranan yang lebih langsung dan menentukan yang akan dilakukannya melalui Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin. Ide Demokrasi Terpimpin, sebenarnya sudah dikemukakan Presiden ketika memberikan pidato pembukaan Badan Konstituante pada 10 November 1956. Seperti dapat dibaca, Presiden menggunakan 28 29
Supardo dkk , Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 84. Ibid.
24
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
kesempatan itu untuk menunjukkan tidak cocoknya demokrasi liberalparlementer bagi Indonesia. Karena itu ia menyarankan untuk menggunakan Demokrasi Terpimpin. Tentang hal ini ia menyatakan bahwa, “Maka atas pertimbangan-pertimbangan itulah, saya persoonlijk merasa perlu golongan yang lemah mendapat perlindungan daripada golongan yang kuat, atau dengan lain kata: pemakaian demokrasi oleh golongan yang kuat harus dibatasi. Ini berarti, bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi yang menjaga jangan ada eksploitasi oleh satu golongan terhadap golongan yang lain. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi terbimbing, demokrasi terpimpin, geleide democratie, yang dus tidak berdiri di atas faham-fahamnya liberalisme”. 30 Dengan penerimaan Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin oleh Dewan Menteri pada 19 Februari 1959, persoalan yang dihadapi adalah persoalan UUD yang akan diberlakukan. Memang dikatakan oleh Perdana Menteri Djuanda bahwa penerimaan Demokrasi Terpimpin sebagai langkah untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Tetapi permasalahan yang dihadapi ialah cara memberlakukan kembali UUD 1945. Apakah dengan mengajukan usul kepada Badan Konstituante untuk menerima dan menetapkan, mengesahkan UUD tersebut sebagai UUD Negara yang definitif; atau cara lain, yang mungkin bersifat tidak konstitusional, yaitu Dekrit Presiden. Pada 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato pada sidang pleno Badan Konstituante dengan judul Res Publica Sekali Lagi Res Publica; dalam pidato itulah ia menganjurkan agar Badan Konstituante bersedia kembali ke UUD 1945. “Berkenaan dengan anjuran “kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945” itu, maka saya sampaikan kepada Konstituante naskah resmi Undang-Undang Dasar 1945 itu, yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh yang berisi 37 pasal, 4 aturan peralihan, dan 2 aturan tambahan”.31 Yang menarik dalam tanggapan Badan Konstituante terhadap anjuran Presiden itu, ialah terjadinya pertentangan antara dua kekuatan dalam Badan itu, yaitu kekuatan ideologi Pancasila dan kekuatan ideologi Islam. Keduanya tampak tidak bergeser dalam mempertahankan posisi ideologi mereka, yaitu untuk berusaha tercantum dalam UndangUndang Dasar. Pertentangan kedua kekuatan itu tidak dapat dicairkan 30 31
Lihat Wawan Tunggul Alam, Bung Karno … (Kumpulan Pidato), op.cit., hal 16. Ibid., hal. 77.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
25
oleh pernyataan Presiden yang menyatakan …”yang saya setujui sepenuhnya itu”. Jalan terakhir yang ditempuh Badan Konstituante ialah voting, pemungutan suara. Tetapi ternyata tidak juga berhasil. Akhirnya jalan terakhir yang ditempuh, yaitu Dekrit Presiden. Tetapi sebelum Dekrit Presiden dilakukan, tampak adanya “kesepakatan” politik antara kekuatan-kekuatan politik, khususnya antara Presiden, Islam yang diwakili NU dan TNI/Angkatan Darat. Kesepakatan itu menyangkut pada tempat dari Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden. Dan berdasar atas konsensus kekuatan-kekuatan itu, dalam konsiderans yang berbentuk keyakinan Presiden bahwa Piagam Jakarta merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkanlah posisi Piagam Jakarta tersebut. Karena itu menggunakan Dekrit Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada masalah. Demikianlah, pada 5 Juli 1959, Dekrit Presiden pun diumumkan di depan Istana Negara Jakarta. Sejak itu, kita pun memasuki periode Demokrasi Terpimpin. Secara berangsur, tetapi dengan langkah politik yang cukup cepat, Presiden Soekarno—dengan mendapat dukungan kuat dari Pimpinan Angkatan Perang TNI-Angkatan Darat dan PKI—melakukan langkah-langkah perubahan. Sejalan dengan itu, momentum peringatan hari Kemerdekaan ke-14, 1959, digunakan untuk membuat landasan konseptual bagi implementasi sistem pemerintahan dan demokrasi yang dikehendaki. Pidato Presiden pada 17 Agustus 1959 yang diberi judul: Penemuan Kembali Revolusi Kita, menjadi bahan utama yang kemudian dikembang-rumuskan menjadi ideologi politik dalam periode Demokrasi Terpimpin, 1959 – 1965. Pidato itu kemudian dirumuskan oleh DPA dan dijadikan sebagai Manifesto Politik. Periode Demokrasi Terpimpin yang dapat disebut singkat dan “hanya” untuk satu periode jabatan kepresidenan, memang merupakan periode Soekarno dalam era kemerdekaan bangsa-negara Indonesia. Periode ini ditandai dengan tampilnya tiga kekuatan politik utama, yaitu Presiden Soekarno, TNI-Angkatan Darat dan PKI. Dalam periode ini, Soekarno tampak hendak memformulasikan kembali ide-idenya yang pernah ditulisnya pada periode Pergerakan Nasional, 1926 dan 1930-an. Ide dasar NASAKOM sebenarnya telah ditulisnya pada 1926 dengan judul: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dengan UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar Negara, lembaga-lembaga negara pun ditata
26
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
kembali. DPA, DPR-Gotong Royong, MPR-Sementara, Front Nasional dibentuk. Posisi Soekarno makin bergeser menjadi “amat kuat dan sentral”. Ia pun mendapatkan gelar-gelar kebesaran dan “sanjungan” seperti Pemimpin Besar Revolusi. Ketika itu, pelbagai kelompok dan instansi “seakan” berlomba memberikannya “gelar yang serba agung”. Untuk menyebarkan pemahaman tentang UUD 1945, Pancasila, NASAKOM, Manipol USDEK, dibentuklah Panitia Pembina Jiwa Revolusi yang diketuai Dr. H. Roeslan Abdul Gani. Dari sanalah dilakukan indoktrinasi Manipol-USDEK. Roeslan Abdulgani banyak memberikan ceramah tentang Manipol-USDEK, NASAKOM dan “ajaran-ajaran” Bung Karno.32 Tetapi dalam perkembangannya kemudian, ternyata percaturan politik antara kekuatan-kekuatan politik berkembang menjadi konflik dengan “berlindung” pada wibawa dan kekuasaan Presiden. Karena itu, sistem Demokrasi Terpimpin pada akhirnya menjadi sistem yang bertumpu pada Presiden bahkan pada diri Soekarno pribadi. Persaingan di antara kekuatan-kekuatan politik, termasuk di antara kekuatankekuatan pendukung Presiden Soekarno sendiri, makin tajam dan melebar. PKI dengan menggunakan istilah jor-joran manipolis melakukan ofensif revolusionernya untuk menggayang lawan-lawan yang disebutnya sebagai Kabir, Kapitalis Birokrat. Pimpinan Angkatan Darat, ketika itu Menteri Panglimanya, Letjen. Ahmad Yani, tampak berusaha mengimbangi ofensif revolusioner PKI. Ia menolak langkah politik PKI yang mengusulkan diadakannya Angkatan ke-5 yaitu mempersenjatai kaum buruh.
5. Penutup : Tragedi Sebuah Pencarian Setelah Demokrasi Terpimpin dijalankan, Mohammad Hatta menulis artikel bersambung di Panji Masyarakat, 1960, dengan judul Demokrasi Kita. Inti artikel ini memberikan kritik tajam terhadap Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin. Tentu saja artikel ini sangat tidak menyenangkan Presiden dan para pendukungnya. Karena itu, majalah yang dipimpin oleh ulama-politikus Hamka itu akhirnya dilarang terbit. Yang menarik ialah pengakuan Mohammad Hatta terhadap maksud baik “rekan seperjuangannya” yang bahkan dalam situasi krisis pernah 32 Ketika itu, bahan yang digunakan untuk peserta indoktrinasi, antara lain : Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (TUBAPI) dan juga Roeslan Abdul Gani, Sosialisme Indonesia : Perkembangan Cita-citanya dan Ketegasannya, Prapanca, Jakarta, 1962, passim.
Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi
27
disebut sebagai dwitunggal, ketika ia akan menjalankan Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin yang dirumuskannya itu. Tentang ini ia berkata: “Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta tanah airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif yang terutama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya. Cuma berhubung dengan tabiatnya dan pembawaannya dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnya saja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya. Sebab itu ia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya”.33 Apa yang dikatakan Mohammad Hatta itu tentu saja berdasar pengalamannya sebagai kawan seperjuangan Presiden Soekarno. Dan yang berkembang kemudian—setelah Demokrasi Terpimpin berlaku dan Presiden Soekarno memegang kekuasaan penuh sebagai Kepala Negara dan sekaligus juga sebagai Kepala Pemerintahan—usaha Soekarno mencapai tujuannya menampakkan kegagalan. Sebagai efek sampingnya,—dan di sinilah nampak tragedi itu—Presiden tidak dapat menghindari penyalahgunaan sistem yang dirumuskan dan dijalankannya. Sejalan dengan itu, “ramalan” Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita yang menyatakan bahwa demokrasi ciptaan Soekarno hanya akan seumur dengannya, tampaknya benar ! Demokrasi “asli”—yang disebutnya dengan nama: Demokrasi Terpimpin—ternyata tidak dapat mewujudkan tatanan kehidupan bersama di dalam Indonesia merdeka. Keinginannya merumuskan serba asli, demokrasi “asli”, kepribadian Indonesia—bahkan anti musik “ngakngik ala Barat—seperti yang didambakannya, tidak dapat dilanjutkannya. Kejatuhannya dari posisi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi akibat peristiwa G 30 S/PKI, menunjukkan bukti dari “ramalan” Mohammad Hatta. Orde Baru di bawah Presiden Jenderal Soeharto mengganti Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Pancasila. Dengan itu, sebuah pencarian telah berakhir dengan tragedi, telah tercatat di dalam sejarah bangsa-negara kita. Apa pun penilaian kita terhadap Soekarno, kegagalannya dalam mewujudkan demokrasi rumusannya tentu saja sangat menyedihkan. Tetapi itu tidak akan membuat kita berhenti mencatat karya-karya “besarnya” untuk bangsa-negaranya; karena harus 33
Lihat Panji Masyarakat, 1960.
28
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
diakui dengan jujur sebagian ide dan karyanya, masih kita gunakan untuk melanjutkan kehidupan bersama sebagai bangsa-negara. UUD ’45 (yang “asli”) dan Pancasila adalah buah-buah pikirannya yang dipersembahkan kepada bangsa-negaranya untuk menata kehidupan bersama sebagai bangsa-negara yang merdeka dan demokratis!
***
analisis
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
29
MENGENANG REZIM PEMB AN GUN AN REPRESIF PEMBAN ANGUN GUNAN GAMB ARAN POLITIK EK ON OMI GAMBARAN EKON ONOMI ORDE BARU Yudi Latif
Jatuhnya rezim Soekarno pada tahun 1966 disusul dengan munculnya kekuatan baru bernama orde baru. Walaupun status resmi Soekarno pada waktu itu masih sebagai Presiden Republik Indonesia sampai dengan tanggal 17 Oktober 1967, namun kekuatannya mulai jatuh setelah Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Landasan untuk rezim orde baru ditandai dengan ditetapkannya ‘mandat’ kontroversial pada 11 Maret 1966 oleh Soekarno yang mempercayakan Letnan Jendral Soeharto, Panglima TNI sejak tahun 1965, untuk mengkoordinasi kekuatan pemerintahan.1 ‘Mandat’ tersebut dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Soeharto mengambil alih kekuatan politik nasional setelah munculnya demonstrasi mahasiswa anti-Soekarno dan anti-komunis yang didukung oleh TNI di ibukota dan beberapa kota lainnya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) menunjuk Soeharto untuk menjabat sementara sebagai Presiden Indonesia. Untuk memastikan bahwa akan adanya era baru, rezim baru ini membuka kembali kesempatan publik berbicara walaupun dengan batasan-batasan tertentu. Semua kelompok, individu dan publikasi yang dicekal pada masa demokrasi terpimpin mulai bermunculan kembali. Sementara itu, orang-orang yang vokal pada masa ore lama dicekal. Munculnya Orbe Baru menandai tumbuhnya generasi ketiga intelijensi Indonesia (terdiri dari tokoh-tokoh yang sebagian besar lahir pada tahun 1910-an dan 1920-an). Anggota dari generasi ini tumbuh 1 Hingga saat ini tidak jelas apakah ‘mandat’ tersebut ditetapkan atas inisiatif Soekarno sendiri atau karena desakan dari Soeharto
30
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
pada masa penjajahan Jepang dan kurang mendapat ekspos terhadap pendidikan dan pelatihan barat, akan tetapi sangat diilhami dengan mental militer dan nasionalis. Rezim yang baru ini banyak didominasi oleh intelijen militer yang memiliki keengganan terhadap perselisihan politik sipil yang tidak patriotis. Para cendekiawan dari PSI dan komunitas Kristen menjadi sekutu utama militer dalam pembentukan Orde Baru. Mereka memiliki peran yang sangat menentukan karena kualifikasi pendidikan mereka dan pengaruh yang sangat kuat dari PSI diantara pimpinan TNI. Apalagi, para pendukung politik PSI dan komunitas Kristen tidak terlalu berarti, dan para cendekiawan dari kelompok ini dipandang sebagai ancaman terhadap ambisi TNI untuk menguasai perpolitikan Indonesia. Dengan didominasinya pemerintahan oleh intelijen militer, maka tidak ada ruang lagi untuk PKI.2 Sementara itu, kekhawatiran rezim baru atas ancaman politik dari partai dengan jumlah konstituen yang besar mengakibatkan munculnya kebijakan-kebijakan untuk menghalangi PNI dan menolak rehabilitasi Masjumi. Ketidakikutsertaan tiga kekuatan politik besar pada masa orde baru menandai awal era politik orde baru. Dalam menghadapi krisis ekonomi yang diwariskan oleh orde lama, orde baru menyimpulkan bahwa mobilisasi massa politik dan perselisihan politik sipil pada masa orde lama telah mengesampingkan masalahmasalah ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pemulihan ekonomi diperlukan untuk merubah perhatian masyarakat dari politik ke ekonomi dengan cara merubah cara pandang nasional dari ‘politik sebagai panglima’ pada masa orde lama menjadi ‘ekonomi sebagai panglima’. Sebagai upaya untuk menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, rezim baru mencoba untuk menghidupkan kembali hubungan-hubungan dengan kapitalis dunia dan organisasi multinasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, dimana Indonesia telah mengundurkan diri dari keanggotaan pada bulan Agustus 1965 sebagai bentuk kampanye anti-imperialisme dan kapitalisme Soekarno. Pembangunan ekonomi membutuhkan dana, akan tetapi negara dalam keadaan bangkrut. Rezim orde baru tidak memiliki pilihan kecuali untuk mencari pinjaman dari luar dan investasi. Untuk menjamin masuknya dana dari luar negeri dan suksesnya pembangunan ekonomi, stabilitas politik sangat diutamakan. Hal ini memberikan justifikasi kepada rezim baru untuk 2
PKI secara fisik dan legal dihapuskan
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
31
meninggalkan semua halangan politik untuk modernisasi. ‘Pembangunan’ ditetapkan sebagai ortodoks baru yang ditandai dengan diresmikannya kabinet Soeharto yang pertama sebagai presiden (Juni 1968 – Maret 1973),3 yang disebut sebagai ‘Kabinet Pembangunan I’. Bersamaan dengan ideologi teknokrat, stabilitas politik menjadi objektif politik utama yang didasari oleh doktrin ‘Dualisme Militer’, yang melegitimasi peran militer pada urusan-urusan non-militer. Dengan formula ‘pembangunan’ dan ‘stabilitas’ ini, maka Orde Baru mendaur ulang peninggalan masa kolonial yang mengangkat prinsip ‘kemadjoean’ dan ketentraman, dan mengubahnya menjadi apa yang oleh Feith (1980) disebut sebagai rezim ‘pembangunan represif ’. Tulisan ini merupakan tinjauan dari bangkitnya, serta perkembangan dan jatuhnya Orde Baru sebagai rezim pembangunan-represif, dengan menggunakan sumber-sumber teoritis mengenai Orde Baru.
Kepustakaan Teoritis tentang Negara Orde Baru Ada beberapa pandangan mengenai sifat Orde Baru pada perkembangannya antara tahun 1970-an dan 1980-an. Dalam menilai Orde Baru sebagai rezim yang menutup diri dari kesadaran masyarakat dan tidak banyak memberikan ruang untuk kebijakan ‘give and take’ atau kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat, beberapa pakar, seperti Benedict Anderson, telah menggambarkannya sebagai rezim yang kuat, monolitik dan bermanfaat, atau disebut ‘state-for-its-own-sake’ (Andrson 1972).4 Setelah mempelajari bahwa negara ini memiliki kelas-kelas yang tertindas, kepentingan-kepentingan kelompok dan oposisi melalui terbentuknya sistem monopoli representasional yang non-kompetitif dengan adanya kategori-kategori fungsional, maka pakar lain seperti Dwight Y. King menyebutnya sebagai ‘state corporatism’ (1977). Melihat adanya golongan yang tidak cakap dan adanya hubungan patron yang memanfaatkan kepentingan institusi, beberapa pakar, seperti Karl D. Jackson menjelaskannya sebagai ‘kebijakan birokrasi’ yang lemah dan 3 Pada Bulan Maret 1968, Soeharto ditunjuk sepenuhnya sebagai presiden oleh MPRS, dan bukan oleh anggota MPR yang baru dilantik, karena pemilihan umum ditunda sampai dengan pertengahan 1971. 4 Pandangan lainnya: Penjelasan Geertz tentang negara Indonesia (pada tahun 1950an dan 1960an) sebagai negara manque, laporan Emmrson tentang berkembangnya kekuatan birokrasi di Indonesia, penjelasan Feith tentang rezim pembangunan represif, diskusi Liddle tentang institusionalisasi Orde Baru dan otonim relatif pelaku politik, dan laporan Mackie’s dan MacIntyre’s tentang berkembangnya negara otonomi. Rangkuman mengenai teori-teori ini dijelaskan oleh Jim Schiller (1996: 1-27).
32
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
dimanfaatkan oleh golongan-golongan (Jackson & Pye 1978). Melihat bahwa negara telah dipersonalisasi karena kendali politik dan sumbersumber ekonomi berada di tangan Presiden Soeharto dan lingkungan militernya, dan kekuatan penguasa bergantung pada kemampuannya untuk mendapatkan loyalitas bagian-bagian penting elit politik – beberapa pakar, seperti Harold Crouch menyebutnya sebagai negara ‘patrimonial’ (Crouch 1979). Dengan menggunakan kriteria bahwa modernisasi atas biaya negara yang diikuti oleh sifat otoriter yang digambarkan oleh ketergantungan negara pada bentuk perintah dari akumulasi kapital internasional dan pembagian buruh berkaitan dengan peran militer dalam politik and pembangunan ekonomi, beberapa pakar seperti Mochtar Mas’oed menjelaskannya sebagai negara ‘birokrasi-otoriter’ seperti yang digambarkan di Amerika Latin oleh Guillermo O’ Donnel (Mas’oed 1983). Beragamnya teori tentang sifat Orde Baru menggambarkan perbedaan pandangan para pakar dan peneliti. Perbedaan perspektif ini juga menandai perbedaan trend politik ketika penelitian tersebut dilakukan. Jika digabungkan, maka pandangan-pandangan ini saling melengkapi satu sama lain, seperti yang digambarkan dibawah ini.
Modernisasi dan Penindasan Keterbukaan kesempatan publik pada awal Orde Bar u memberikan kesempatan pada beberapa media yang pada awalnya dicekal pada masa demokrasi terpimpin untuk kembali beredar. 5 Beberapa harian yang telah terbit pada rezim Soekarno, seperti Kompas (berdiri tahun 1965) dan Sinar Harapan (berdiri tahun 1962) menjadi lebih penting.6 Media baru juga mulai bermunculan, seperti surat kabar milik militer yang lebih umum setelah tahun 1965. 7 Dalam keterbukaan publik, kenangan tentang pengkhianatan 5 Harian Merdeka (berdiri tahun 1945), harian tertua yang dicekal pada bulan Februari 1965, dan kembali beredar pada 2 Juni 1966. Diikuti oleh munculnya kembali harian Indonesia Raya (berdiri tahun 1949) yang dipimpin Mochtar Lubis pada tahun 1968 dan Pedoman (berdiri tahun 1944) milik Rosihan Anwar, dan Abadi (berdiri tahun 1951) milik Masjumi. 6 Beberapa media yang bertahan pada masa Orde Lama dan melanjutkan publikasinya dibawah rezim baru adalah Duta Masyarakat (berdiri tahun 1953) milik NU, Kompas (berdiri tahun 1965), dan Sinar Harapan (berdiri tahun 1962). Kompas, sebuah surat kabar dengan afiliasi masyarakat Katolik, mulai berkembang menjadi surat kabar independen dengan berita terbaik. Sinar Harapan, sebuah surat kabar dengan afiliasi masyarakat Protestan juga mengalami perkembangan. 7 Surat kabar Harian KAMI, yang merupakan suara gerakan mahasiswa, merupakan surat kabar baru yang dipimpin oleh Nono Anwar Makarim bersama tokoh-tokoh sastra seperti
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
33
intelektual/inteligensia (intellectual betrayal) atau pelacuran intelektual/ inteligensia (intellectual prostitution) pada masa demokrasi terpimpin mulai muncul sebagai artikel di media massa. Antara April dan Agustus 1966, Kompas mempublikasikan beberapa artikel mengenai isu ini, dan bersandingan dengan artikel-artikel tentang doktrin-doktrin Soekarno.8 Kemudian antara tanggal 14 sampai dengan 23 April 1969, Indonesia Raya menerbitkan serangkaian artikel tentang “Tjontoh-Tjontoh Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Soekarno” yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Wira.9 Artikel-artikel ini mengkritik cendekiawan yang telah menciptakan kebohongan dalam ilmu pengetahuan untuk mendukung Manipol-USDEK dan ortodoksortodoks resmi lainnya,10 sementara itu juga memuji mereka yang telah secara berani menjaga integritas intelektual mereka dengan resiko apapun.11 Ironisnya, menurut artikel-artikel tersebut, banyak dari mereka yang telah melakukan pelacuran terhadap integritas intelektual mereka di masa lalu pada masa Orde Baru memiliki jabatan yang strategis sebagai teknokrat.12 Taufiq Ismail, Arief Budiman dan Gunawan Mohamad sebagai editor. Kemudian muncul majalah Tempo dengan Gunawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi pada tahun 1971 dan berkembang menjadi majalah mingguan pertama di Indonesia. Setelah tahun 1965 juga muncul surat kabar militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dan juga surat kabar terbitan Golkar, Suara Karya. 8 Beberapa artikel yang diterbitkan Kompas antara lain “Berachirlah kini zaman Pengchianatan Kaum Intellektuil Indonesia” (diterbitkan pada 27 April 1966) dan “Julien Benda dan Pengchianatan Kaum Intelektuil” (diterbitkan pada 12 Mei ) oleh S. Tasrif; “Apakah Sebabnya Kaum Intelektuil Indonesia tak Terkalahkan?” (diterbitkan pada 31 Mei) dan “Apakah benar Kaum Intelektuil Indonesia tak Terkalahkan?” (diterbitkan pada 27 Juni) oleh Wiratmo Soekito ; “Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai” (diterbitkan 20 Agustus) oleh Soe Hok Gie, dan “Tugas Tjendikiawan: Mengisi Kemerdekaan” (diterbitkan 9 – 12 Juli) oleh M.T. Zen. 9 Berdasarkan informasi dari Maskun Iskandar (mantan jurnalis Indonesia Raya) pada tanggal 2 Agustus 2001, Wira merupakan nama samaran jurnalis IndonesiaRaya, Djafar Husein Assegaf (saat ini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi harian Media Indonesia) 10 Nama-nama yang secara langsung diserang oleh artikel-artikel Prof. Sadli (tentang kritikannya mengenai modal asing), Prof. Ismail (tentang kritikannya mengenai Trias Politica), Barli Halim (yang telah memberikan label ‘pemikir buku panduan’ bagi mereka yang tidak mendukung ‘identitas nasional’), Emil Salim (karena penggunaan jargon-jargon yang sering digunakan oleh Soekarno dalam tulisannya), dan Prof. R. M. Sutjipto Wirjosuparto (untuk interpretasinya tentang sejarah berdasarkan doktrin-doktrin Manipol-USDEK) 11 Beberapa cendekiawan yang dipuji oleh artikel-artikel ini adalah Prof. Bahder Djohan, Dr. Mochtar Kusumaatmadja, dan Dr. Bagowi atas keberanian mereka untuk mengatakan ‘tidak’ kepada kekuatan yang berkuasa, walaupun harus dibayar dengan hilangnya jabatan resmi mereka. 12 Artikel—artikel Wira memberikan contoh mengenai tendensi ini. Diantaranya adalah Prof. Sadli yang merupakan salah satu figur utama yang anti terhadap investasi asing pada masa rezim Soekarno, yang kemudian menjadi Ketua Umum Komite Investasi Asing Orde Baru.
34
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Artikel-artikel ini kemudian memicu polemik antara cendekiawan yang ‘tertuduh’ dan partisipan-partisipan lainnya.13 Walaupun memiliki pandangan berbeda, mereka semua memiliki kekhawatiran yang sama mengenai kewajiban intelektual dan inteligensia: untuk berbicara jujur untuk kekuatan. Pada kenyataannya, mereka yang ‘diam’ (bekerja sama) dengan pemegang kekuasan pada masa lalu — karena kemampuannya mengatur sumber daya politik dan ekonomi – mendapatkan keuntungan dari perubahan rezim ini. Kabinet interim Soeharto, Kabinet Ampera yang Disempurnakan (11 Oktober 1967 - 6 Juni 1968)14 menggambarkan tendensi ini. Kabinet ini terdiri dari orang-orang yang mendukung ‘demokrasi terpimpin’ yang didominasi oleh wakil-wakil dari inteligensia militer.15 Istilah “intelektuil” dan “inteligensia” menjadi semakin dikesampingkan karena sering dihubungankan dengan “pengkhianatan intelektuil”. Sebagai gantinya muncul kata ‘cendikiawan’ dari bahasa sanskrit.16 Berkaitan dengan ‘kewajiban intelektuil’ istilah cendekiawan mulai banyak digunakan dalam wacana intelektuil. Pada bulan Maret 1966, Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia (KASI) cabang Bandung meluncurkan jurnalnya, Tjendikiawan Berdjuang. Selanjutnya, Orde Baru mengembangkan proyek untuk mengganti kata-kata asing dengan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, dan istilah ‘cendekiawan’ semakin sering digunakan dikalangan publik. 13 Prof. Sadli menulis artikel balasan di dalam Indonesia Raya pada tanggal 21 April 1969, disusul dengan artikel-artikel dengan nada yang hampir sama oleh Prof. Ismail Suny yang diterbitkan di Kompas (22 April) dan di Indonesia Raya (23 April). Polemik di dalam Indonesia Raya juga melibatkan J. Soedradjad Djiwandono, “Beberapa Tjatatan Tentang Persoalan Pelatjuran Intelektuil” (diterbitkan 24 April), L.E. Hakim, “Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Soekarno; Sebuah Tanggapan” (diterbitkan 25 April), dan M-Zen Rahman, “Sebuah Tanggapan tentang Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Soekarno” (diterbitkan 26 April). 14 Ampera adalah slogan Soekarno yang sangat terkenal yang merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Kabinet Ampera yang pertama (Juli 1966 – Oktober 1967) dipimpin oleh Soekarno. 15 Perbandingan militer dalam kabinet ini adalah 9 dari 23 menteri. Delapan menteri berasal dari kalangan teknokrat sipil, dimana 3 diantaranya adalah dari komunitas Kristiani (DRs Frans Seda sebagai Menteri Keuangan) Prof. G. A Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan, dan Dr A.M. Tambunan SH sebagai Menteri Sosial. Tokoh politik dan jurnalis menempati 4 posisi menteri (Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Sanusi Hardjadinata sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri, dan B.M. Diah sebagai Menteri Penerangan). Pada titik ini hanya tinggal 2 perwakilan dari komunitas tradisional Muslim (K.H. Idham Chalid sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan K.H. Mohamad Dachlan sebagai Menteri Agama). Sementara itu cendekiawan-cendekiawan dari Masjumi yang telah menjadi rekanan utama militer dalam memberantas PKI dan rezim Soekarno tidak terwakilkan dalam kabinet. 16 Untuk Etimologi dan Genealogi istilah tersebut, lihat Bab I.
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
35
Dengan tanggung jawab intelektual, para cendekiawan dan media massa menyiapkan agenda intelektual baru sebagai proyek sejarah baru bagi bangsa. Mereka mulai mempopulerkan istilah ‘modernisasi’ bersamaan dengan istilah ‘pembangunan’. Para pakar dan jurnalis bekerja sama dalam wacana ini. Pada tanggal 6 Mei 1966, KAMI dan KAPPI bekerja sama dengan fakultas ekonomi UI (FE-UI) mengadakan simposium dengan judul Kebangkitan Semangat 1966: Mendjeladjah Tracee Baru. Simposium ini mengkritik prinsip Soekarno mengenai ‘politik sebagai panglima’ karena gagal menghadapi masalah-masalah sosio-ekonomi bangsa. Kemudian, dari bulan Juli sampai dengan Desember 1966 jurnalis Indonesian ternama, Rosihan Anwar, menulis serangkaian artikel mengenai modernisasi di harian Kompas17 yang memicu publikasi-publikasi tentang isu yang sama. Wacana tentang keinginan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik memberikan alasan kepada elit militer untuk memainkan peranan penting dalam politik. Dengan demikian tema-tema intelektual tersebut mendapatkan dukungan yang kuat dari perwira militer. Keyakinan militer tentang pentingnya agenda ‘ekonomi sebagai panglima’ mendapatkan justifikasi dari para akademisi. Pada tahuntahun terakhir rezim Soekarno, sekelompok pengamat ekonomi dari UI, termasuk diantaranya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, M Sadli, Emil Salim dan Subroto, telah memberikan pengertian tentang ekonomi di Sekolah Tentara dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Salah satu perwira senior yang menghadiri Seskoad selama delapan bulan adalah Jendral Soeharto. Dari sekolah inilah Soeharto mempelajari pengetahuan dasar tentang ekonomi. (Sadli, 1993:39). Ketika rezim Soekarno mulai runtuh, para pengamat ekonomi tersebut mulai mengkritik kebijakan ekonomi Soekarno secara terbuka dan mempublikasikan pemikiran mereka dalam sebuah buku pada bulan November 1965. Menanggapi kritik ini, pada tanggal 25-31 Agustus 1966, TNI-AD mengadakan seminar yang memberikan kesempatan kepada profesor-profesor ekonomi tersebut untuk menjelaskan teori-teori ekonomi mereka, yang kemudian berubah menjadi cetak-biru ekonomi untuk Orde Baru. Dengan demikian, ‘pembangunan’ dan ‘stabilitas’ menjadi wacana yang dominan di kalangan publik. 17 Artikel-artikel Anwar di Kompas antara lain “Tanggung Djawab Kita Dalam Modernisasi” (4 –5 Juli), “Inteligensia & Modernisasi” (12 Agustus), “Modernisasi & Agama” (14 September), “Modernisasi & Nilai” (30 November), “Modernisasi & Pendidikan” (8 Desember).
36
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Mulai dari bulan September 1966, Soeharto (yang sekarang menjabat sebagai Jendral), dalam kewenangannya sebagai ketua presidium untuk segala kepentingan praktis pemerintah menunjuk ‘Tim Ahli dalam Bidang Ekonomi dan Keuangan’. Tim tersebut beranggotakan lima pakar ekonomi dari UI yang disebutkan diatas dan dikoordinasikan oleh (alm) Mayor Jendral Sudjono Humardani.18 Tim ini memiliki peran yang menentukan dalam merumuskan ortodoks ekonomi Orde Baru dengan ditandai oleh munculnya para teknokrat ekonomi. Sebagian besar dari mereka adalah pakar ekonomi PSI dari UI yang kemudian disebut ‘Mafia Berkely’, karena sebagian dari mereka, termasuk pemimpinnya Profesor Widjojo Nitisastro, mendapatkan gelar S2-nya di University of California di Berkeley. Para pendukung mafia ini adalah rekanan Kristen, termasuk Frans Seda, Radius Prawiro dan J.B. Sumarlin. Keunggulan para teknokrat ekonomi ini adalah mereka tidak bisa diasingkan dari lingkungan yang kondusif. Kebijakan ekonomi yang mereka rumuskan dapat diimplementasikan atas dukungan dan keyakinan Soeharto, terjaminnya stabilitas politik, dan dukungan yang kuat dari organisasi multinasional, termasuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI – sebuah konsorsium pendanaan internasional yang diketuai oleh Belanda yang berdiri pada tahun 1967), Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, ditambah dengan keuntungan-keuntungan yang didapat dari penjualan minyak dunia tahun 1973 – 81. Dengan adanya gabungan pengelolaan ekonomi yang efektif, lingkungan yang mendukung serta stabilitas politik, pembangunan ekonomi Indonesia menjadi sebuah cerita yang sukses. Pada akhir tahun 1960an telah tercapai stabilitas harga dan perekonomian Indonesia mulai merasakan pertumbuhan yang sangat cepat dan bertahan selama tiga dekade. Antara 1965 – 1996 Pendapatan Nasional Kotor (GNP) Indonesia bertambah secara teratur dengan rata-rata bertumbuhan per tahun 6,7%.19 Pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada masa 18 Tugas pertama tim ini adalah untuk menciptakan Program untuk Stabilisasi dan Rehabilitasi, yang ditetapkan dalam peraturan MPRS No. 23. Berdasarkan peraturan ini, panduan untuk perbaikan ekonomi Indonesia dimulai pada tanggal 3 Oktober, ‘terutama pada kebijakan mengenai keseimbangan budget, balance of payments, rehabilitasi infrastruktur fisik, produksi pangan dan perkembangan pertanian’ (Thee 2002:196). 19 Pada awal 1990an, GDP riil telah bertambah melebihi 450 persen, dan GNP per kapita hampir mencapai $1,000. Produksi beras bertambah hampir dua kali lipat, dan produksi sebagian besar bahan pangan juga mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan industri yang pesat merubah Indonesia dari negara yang secara ekonomi sangat tergantung pada pertanian pada pertengahan 1960an menjadi negara dimana sektor industri memberikan pemasukan lebih banyak terhadap GDP dibandingan dengan pertanian pada pertengahan 1990an.
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
37
ini merubah Indonesia dari negara yang disebut ‘keranjang’ ekonomi yang lebih miskin dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, menjadi salah satu negara Ekonomi Industri Baru (Newly Industrilising Economy – NIE). Pada tahun 1993 dalam laporannya mengenai ‘East Asian Miracle’, Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. (Hill & Mackie 1994: xix; Thee 2002:196-8). Seiring dengan perkembangan ekonomi, struktur sosial di Indonesia mengalami perubahan yang dramatis. Keberhasilan program Keluarga Berencana telah berhasil menurunkan pertumbuhan populasi dari ratarata 2,4% antara tahun 1965-1980 menjadi 1,8% pada tahun 1980 – 1996 (Bank Dunia 1998: 43). Tingkat kemiskinan berkurang dari 70% pada tahun 1960-an menjadi 27% pada pertengahan tahun 1990an. Perbandingan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan bertambah dari 17% pada tahun 1971 menjadi 31% pada tahun 1990. Pembagian lapangan kerja antara tingkat profesional, managerial, dan keadministrasian bertambah dari 5,7% pada tahun 1971 menjadi 8,8% pada tahun 1990 (Hull & Jones 1994: 123-78). Pada awal tahun 1980an pertumbuhan ekonomi yang telah tercapai juga memberikan kesempatan untuk bertambahnya kapital di bidang swasta. Banyak bermunculan perusahaan swasta besar, yang sebagian besar adalah milik warga Indonesia keturunan Cina dan juga orang pribumi yang kaya raya, yang memiliki hubungan politik tingkat tinggi (Hill & Mackie 1994: xxv). Seluruh keberhasilan sosial dan ekonomi ini tidak terlepas dari pengorbanan. Salah satu pengorbanan yang paling besar adalah kebebasan politik. Dengan ekonomi sebagai panglima, peran politik dipersempit hanya untuk menjaga stabilitas nasional. Untuk memperkuat landasan sosial politiknya di awal masa Orde Baru, Soeharto merekrut cendekiawan sipil yang memiliki popularitas tinggi. Dua figur yang sangat penting adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Sultan Yogyakarta yang mempunyai pengaruh besar di Jawa Tengah), dan Adam Malik (tokoh pemuda pemuda pada masa revolusi yang memiliki reputasi yang baik dalam diplomasi dan hubungan internasional). Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Koordinasi Ekonomi dan Industri (1966-1973) dan selanjutnya menjadi Wakil Presiden pertama untuk Soeharto (1973-1978). Adam Malik menjadi Menteri Politik dan Luar Negeri (1966-1978) dan kemudian menggantikan Hamengkubuwono sebagai Wakil Presiden (1978-1983).
38
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Untuk menjamin stabilitas nasional untuk kepentingan modernisasi ekonomi, militer berperan sebagai perantara kekuatan politik Orde Baru20 yang didukung oleh teknokrat-teknokrat sipil. Di pusat pemerintahan, Presiden Soeharto mengambil alih sumber-sumber utama politik dan ekonomi. Guna menjamin kesetiaan tokoh-tokoh utama dalam elit politik, Soeharto memilih beberapa kelompok perwira TNI-AD yang sepaham dengannya, dan telah bekerja bersamanya di penempatanpenempatan sebelumnya, untuk memainkan peranan penting dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan.21 Walaupun lingkungan ini terdiri dari hubungan-hubungan tertentu, dan juga kepentingan-kepentingan serta persaingan-persaingan,22 namun anggota dari lingkungan ini bersatu dibawah Presiden. 20 Di dalam kabinet interim Soeharto, yaitu Kabinet Ampera yang Disempurnakan (11 Oktober 1967 – 6 Juni 1968), militer menempati 8 dari 23 posisi menteri, yang merupakan perbandingan yang besar dibandingkan dengan perwakilan dari kelompok politik lainnya. Pengaruh menteri sipil juga dibatasi dengan diangkatnya perwira militer pada jabatan-jabatan tinggi di tingkat sipil. Seperti dikemukakan oleh Harold Crouch (1978: 242); Dari dua puluh departemen yang menyangkut masalah sipil pada tahun 1966, perwira TNI-AD menjabat sebagai sekretaris jendral dalam sepuluh departemen, sementara satu anggota TNI-AL di salah satu departemen. ‘Dari ke 64 direktur dan jendral yang ditunjuk pada saat yang bersamaan, 15 merupakan perwira militer dan delapan lainnya dari ketiga divisi lainnya.’ Dominasi perwira militer di dalam pemerintahan pusat diikuti di tingkat administrasi lokal. Pada awal tahun 1966, 12 dari 24 gubernur propinsi merupakan perwira militer. Setelah pemilu tahun 1971, perwira militer menempati 22 dari 24 kantor gubernur (Crouch 1978: 244). Di dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-88) Soeharto, dari 37 kementrian, 14 memiliki latar belakang militer. Pada saat yang bersamaan, separuh dari jabatan di tingkat sub-kabinet, seperti sekretaris jendral, direktur jendral, dan inspektur jendral dijabat oleh perwira tingkat kedua, dan tiga perempat dari 27 kantor gubernur dan sebagian kecil kepala kabupaten dijabat oleh militer (Liddle 1996b: 19). 21 Pada awalnya, Letjen. Panggabean (b. 1922, seorang Protestan), dan Mayjen Basuki Rachmat (Jawa-abangan) memainkan pengaruh yang besar dalam keputusan-keputusan politik. Selain itu, Mayjen Ibnu Sutowo, Brigjen Suhardiaman (keduanya Jawa-abangan), dan Brigjen Achmad Tirtosudiro (mantan ketua HMI), mendukung Soeharto untuk mengambil alih minyak dan ekspor komoditas utama Indoonesia, perusahaan perdagangan raksasa PT. Berdikari, dan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang baru saja diresmikan. 22 Adanya kelompok ini tidak hanya menimbulkan kecemburuan di kalangan di luar kelompok tersebut, tetapi juga menimbulkan konflik internal. Pada tahap awal muncul ketegangan antara Alamsjah dan Ali Murtopo serta Sudjono Humardhani. Murtopo (JawaKatolik) dan Humardhani (Jawa-abangan) memilih untuk bergabung dengan kelompok Kristen dan cendekiawan sekuler, sementara Alamsjah (keturunan keluarga santri) berusaha membela kepentingan-kepentingan Islam, walaupun dia sendiri adalah anti-Islamisme. Soeharto berusaha untuk menjaga keseimbangan kekuatan diantara pengikutnya. Dengan dipilihnya Murtopo dan Humardhani sebagai tokoh utama ASPRI, maka Alamsjah diberi tugas baru sebagai ketua Sekretaris Negara. Pada akhirnya, axis Murtopo-Humardhani memenangkan persaingan karena Alamsjah diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belanda. Keunggulan Murtopo diperolehnya dari kemampuannya menangani kantor-kantor intelijen, sementara keunggulan Humardhani diperolehnya dari pengaruhnya pada sumber-sumber finansial, termasuk tugasnya untuk menemukan dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan untuk rezim baru.
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
39
Salah satu komponen penting dari struktur patrinalisasi Soeharto adalah pembentukan kelompok staf pribadi (Spri) yang dipimpin oleh Mayjen Alamsjah Prawiranegara.23 Guna menanggapi kritik publik yang semakin berkembang, maka Spri dibubarkan pada tahun 1968. Sebagai gantinya, Soeharto kembali membentuk ‘dapur kabinet’ yang lebih kecil yang disebut ASPRI, Asisten Pribadi, yang mengangkat Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani sebagai tokoh-tokoh utama (Crouch 1978: 243-4; Mas’oed 1983: 31). Kelompok inteligensia ASPRI di dalam kelompok Murtopo membentuk aliansi antara perwira di Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Murtopo sendiri, 24 dengan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) 25 dan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).26 Kelompok yang terakhir merupakan institusi keamanan paling opresif pada rezim ini, karena sering mencampuri kegiatan-kegiatan setiap organisasi dan menahan orang atas keinginannya dengan tuduhan subversi. Poros ASPRI dan eselon atas Opsus, Bakin dan Kopkamtib memiliki struktur patron vertikal yang 23 Anggota kelompok ini terdiri dari tokoh dari bidang tertentu seperti, keuangan, politik, intelligentsia, kesejahteraan sosial, dan masalah-masalah non-militer. Pada waktu pembentukannya pada bulan Agustus 1966, Spri terdiri dari 6 anggota perwira TNI yang didukung oleh dua kelompok pakar sipil. Kedua kelompok ini bertanggung jawab untuk memberikan saran di bidang kebijakan ekonomi dan politik. Tim ekonomi terdiri dari lima anggota ‘Mafia Berkeley’ (Widjojo Nitisastro, Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Subroto) ditambah anggota PSI sekaligus pelaku ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Tim politik terdiri dari Sarbini Sumawinata (tokoh PSI), Fuad Hassan (simpatisan PSI), Deliar Noer (mantan ketua MI), dan beberapa anggota lainnya. Pada tahun 1968 anggota Spri menjadi 12 orang dan digambarkan sebagai kabinet dapur rahasia. Keduabelas anggota tersebut adalah Alamsjah Prawiranegara (kordinator), Sudjono Humardhani (ekonomi), Ali Murtopo (intelligensia luar negeri), Yoga Sugama (intelligensia dalam negeri), Surjo (keuangan), Abdul Kadir (kesejahteraan sosial), Slamet Danudirdjo (pembangunan ekonomi), Nawawi Alif (media massa), Sudharmono (umum), Sunarso (politik), Isman (gerakan massa), Jusuf Singadikane (proyek nasional). 24 Dari tahun 1968 Murtopo mengembangkan aparat Opsus (Operasi Khusus) yang telah ada, dengan memperlihatkan kemampuannya dalam merekrut jaringan intelligensia sipil informal. 25 Berdiri pada tahun 1967, pemimpin pertama Bakin adalah Jendral Sudirgo, dengan Ali Murtopo sebagai wakil ketua. Pada tahun 1968 Sudirgo digantikan oleh Mayjen Yoga Sugama yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Murtopo. 26 Pada awalnya dipimpin oleh Soeharto dari tahun 1965 dengan tujuan melacak pendukung PKI. Dalam operasinya, Kopkamtib dibantu oleh Bakin. Pada tahun 1969 kepemimpinan Kopkamtib diberikan kepada wakil komandan TNI yang baru dilantik, Jendral Panggabean (Batak-Kristen). Dibawah kepemimpinannya, Kopkamtib menjadi kendali politik utama rezim tersebut yang melibatkan komandan TNI dari berbagai tingkatan militer untuk mengambil tindakan terhadap ancaman keamanan. Pada tahun 1973, Kopkamtib dipimpin oleh Komandan TNI Jendral Sumitro (abangan), tapi dibubarkan dengan adanya Malari pada tahun 1974. Kemudian Soeharto memimpin sendiri Kopkamtib, bersama dengan Laksamana Sudomo (Jawa-Protestan) sebagai kepala staf. Dibawah kepemimpinan Sugama, Kopkamtib menjadi institusi oppresif yang paling ditakuti pada rezim tersebut karena seringnya mencampuri kegiatan-kegiatan organisasi lain dan menahan banyak orang atas tuduhan subversi.
40
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
memainkan peran penting dalam membentuk arsitek politik Orde Baru. Kebijakan-kebijakan pada masa Orde Baru bersifat tekno-birokratik, dibandingkan dengan proses tawar menawar antar partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan yang membutuhkan waktu yang lama. Hal ini dimungkinkan oleh adanya pembebanan pemerintah pada mekanisme dan infrastruktur politik. Sebelum pemilihan umum pada bulan Juli 1971, peraturan-peraturan dan infrastruktur politik untuk mengamankan rezim tersebut telah dipersiapkan. Pada tanggal 22 Nopember 1969, DPR-GR menyetujui undang-undang tentang pemilihan umum, komposisi DPR, legalisasi hak-hak Presiden Soeharto tentang pemilihan legislatif dan alokasi 100 dari 450 tempat di DPR untuk anggota TNI. Pemerintah juga berusaha untuk membekukan terciptanya partaipartai politik melalui kebijakan-kebijakan yang mampu mengintervensi agar dapat mengasingkan pemimpin-pemimpin berpengaruh dan mengamankan posisi kepemimpinan dalam partai-partai.27 Selain itu, sebelum pemilihan umum pemerintah juga mempersiapkan ‘kendaraan emas’ sebagai kendaraan politik mencapai kemenangan pada pemilu yang diberi nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar) dan kemudian diganti menjadi hanya Golongan Karya (Golkar) pada tanggal 17 Agustus 1971.28 Murtopo ‘membajak’ Sekber-Golkar yang lama dan memberinya misi baru. Dia kemudian merekrut sebuah komite bernama Bapilu-Badan Pemilihan Umum-yang terdiri dari cendekiawan dari kalangan Katolik, Jawa-abangan, dan jaringan sosialis sekuler, yang dapat menjadi embrio organ intelektual Golkar.29 Komite tersebut menemukan beberapa strategi Pemerintah berusaha untuk membuat perubahan dalam kepemimpinan PNI dengan memilih Hadisubeno, teman lama Soeharto ketika ditempatkan di Diponegoro, untuk menjadi ketua partai tersebut. Sementara itu pemerintah menolak permintaan warga Muslim untuk membuat perubahan pada partai Masjumi, walaupun pemerintah juga mempromosikan pendirian partai Islam baru, Parmusi. 28 Rencana Soeharto untuk Golkar adalah untuk mencarikan tempat khusus dalam politik Indonesia untuk kelompok fungsional dengan kemampuan untuk menstabilisasikan sistem politik melawan dominasi partai. Keberadaan Sekber Golkar sejak tahun 1964, yang telah memiliki 92 wakil dalam DPR-GR, mengilhami Soeharto untuk merubah badan kerjasama militer-sipil ini menjadi sebuah struktur partai negara tantap politisi-politisi partai. Mandat untuk merealisasikan ambisi ini dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, dipercayakan kepada asisten-asistennya Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani. 29 Menurut Kenneth Ward (1974: 35-6), ada tiga kelompok cendekiawan disekitar Ali Murtopo yang memainkan peran penting dalam mendirikan Golkar. Yang pertama adalah kelompok Katolik (Tanah Abang) yang terdiri dari Lim Bian Kie (Jusuf Wanandi), Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Yang kedua adalah kelompok abangan (Gadjah Mada) yang terdiri dari Sumiskun, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno, dan 27
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
41
untuk meruntuhkan dukungan elektoral partai-partai dan mendukung Golkar.30 Dengan cara-cara ini dan dengan cara penghitungan suara yang tidak jujur,31 Golkar memenangkan pemilu tahun 197132 dan menjadi satu-satunya mayoritas berkuasa selama tiga dekade. Untuk mengalihkan perhatian masyarakat dan partai-partai dari keinginan ideo-politik dalam proyek modernisasi Orde Baru, keikutsertaan dalam politik dibatasi dan masyarakat, termasuk yang terpelajar, juga di depolitisasikan. Pada bulan Januari 1973, kesembilan partai ditekan untuk bergabung menjadi dua partai yang programatis.33 Suroso. Yang ketiga adalah kelompok sosialis (Bandung), yang terdiri dari Rachman Tolleng dan Midian Sirait. Semua kelompok ini memiliki dasar yang sama mengenai antipati terhadap partai-partai politik besar dan kebangkitan Islam dan preferensi mereka atas peran utama militer dalam proyek modernisasi. 30 R.E. Elson (2001: 187) mencatat strategi-strategi Bapilu sebagai berikut: ‘Pertama, upaya akan diutamakan untuk membentuk ideologi berdasarkan pada tema-tema non-ideologis: pembangunan, stabilitas, ketertiban, persatuan….Kedua, Golkar akan menggunakan aksesnya ke pemerintahan untuk mendapatkan posisi dengan menciptakan aparat yang dapat menyalurkan patronalisasi….Ketiga, menggunakan akses terhadap kekuatan politik untuk memanfaatkannya demi kepentingannya.’ 31 Sponsor pemerintah dan militer Golkar memudahkan cara untuk memobilisasi sumbersumber politik. Menteri Dalam Negeri, Letjen Amir Machmud (tangan kanan Soeharto dibalik Supersemar), menentukan bahwa departemennya, walaupun dengan adanya Kokarmendagri, akan menjadi tulang punggung Golkar. Dia memperkenalkan regulasi pada tahun 1969 dan tahun 1970 yang mencegah wakil-wakil Golkar di perwakilan daerah dari afiliasi partai lain, dan tidak mengizinkan anggota militer dan pegawai sipil Departemen Pertahanan, baik hakim dan jaksa dari keanggotaan partai. Dalam menghadapi pemilu, pegawai negeri ditekan untuk menandatangani pernyataan ‘loyalitas tunggal’ kepada pemerintah, yang menunjukkan dukungan untuk Golkar. Pada saat yang sama, para menteri dan ketua Komisi Logistik Pemilihan Umum, Ali Murtopo, menaruh beban berat kepada pejabat pemerintahan daerah untuk mengamankan “quota” pemilih untuk dimobilisasikan kepada Golkar di wilayahnya masing-masing. Identifikasi Golkar baik di kalangan militer dan pemerintah juga memfasilitasi sumbangan dana pemilu. Dengan berlimpahnya sumbangan dana untuk pemilu, maka Golkar banyak membiayai perjalanan keluar negeri dan juga membiayai pesantren sebagai usaha untuk mendapatkan pengaruh para kyai. Pengaturan secara institusional untuk memobilisasi para kyai dilakukan pada bulan Januari 1971 melalui pembangunan kembali Gerakan Untuk Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) dibawah pimpinan Sudjono Humardhani. Tekanan militer terhadap para pemilih juga terlihat, terutama di pedesaan dan juga dalam menekan mantan anggota PKI untuk memilih Golkar. 32 Pada pemilu tahun 1971, Golkar mendapatkan 62,80 persen suara dan 236 kursi, jauh diatas jumlah suara dan kursi yang terkumpul dari sembilan partai lainnya (PNI, NU, Parmusi, PSII, Parkindo, Partai Katholik, Perti, Murba dan IPKI). PNI dan Parmusi (yang mewarisi Masjumi), dua partai yang unggul dengan pendapatan suara 22,3 dan 20,9 persen pada pemilu tahun 1955, mengalami penurunan drastis dengan hanya mendapat 6,9 dan 5,4 persen suara. Satu-satunya partai yang mampu bertahan menghadapi Golkar adalah NU. Jumlah suaranya bertambah dari 18,4 persen pada pemilu tahun 1955 menjadi 18,7 persen pada pemilu tahun 1971. 33 Keempat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PP), yang mewakili dimensi spiritual dari pembangunan. Kelima partai nonIslam (PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katholik) bersatu menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mewakili dimensi nasional dari pembangunan. Dalam tahap awal,
42
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Penggabungan partai-partai tersebut mengurangi arena untuk konflik tetapi menambah ketegangan dan konflik internal antar partai. Elemenelemen di dalam partai saling bersaing untuk mempromosikan kandidatnya masing-masing untuk dapat terpilih menjadi wakil partai di dalam parlemen. Pada akhirnya kedua partai gabungan tersebut menjadi lemah karena bertumbuhnya divisi-divisi intra-partai. Setelah pemilu tahun 1971, pemerintah memperkenalkan konsep ‘masa mengambang’ yang melarang masyarakat di tingkat akar untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan partai. Dengan menggunakan Opsus, Kopkamtib, Bakin dan komando struktural TNI untuk mengintervensi dalam masalah-masalah politik sipil, konsep ini diaktualisasikan sebagai upaya melarang kegiatan-kegiatan di desa-desa dan untuk memobilisasi warga desa untuk memilih Golkar. Depolitisasi dunia akademis menjadi semakin terlihat pada akhir 1970-an. Setelah serangkaian demonstrasi oleh mahasiswa pada tahun 1974-1978 yang memprotes melawan penetrasi insvestor asing, keterlibatan warga Indonesia keturunan Tionghoa sebagai pemodal dan anggota pemerintah serta keterlibatan keluarga Soeharto dalam kegiatan-kegiatan bisnis, maka pada bulan Januari 1978 Kopkamtib mencekal semua dewan mahasiswa. Setelah itu, semua kegiatan politik mahasiswa dianggap sebagai ‘abnormal’. Untuk menormalisasikan kehidupan akademik, tangan kanan Ali Murtopo di Center for Strategic International Studies (CSIS, berdiri tahun 1971),34 Daud Jusuf, Partai Kristen (Parkindo dan Partai Katholik) sebenarnya termasuk dalam kelompok spiritual. Akan tetapi mereka menolak untuk masuk ke dalam kelompok tersebut dan memilih bergabung dengan kelompok ‘nasional’. Selain kedua kelompok tersebut terdapat Golkar, yang tidak pernah meng-klaim sebagai partai politik, tetapi merupakan wakil dimensi ‘fungsional’ dalam pembangunan. 34 CSIS didirikan oleh cendekiawan-cendekiawan Cina-Katolik bekerja sama dengan kalangan Katolik dan cendekiawan sekuler dibawah Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani. Sebagian besar dari cendekiawan-cendekiawan Cina-Katolik ini, termasuk kedua bersaudara Lim Bian Kie (Jusuf Wanandi) dan Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi), adalah mantan aktivis PMKRI yang menurut Elson menunjukan ‘anti-komunisme dan oposisi keras terhadap ancaman munculnya politik Islam dengan disiplin keras dan ide-ide korporatis yang telah ditanamkan oleh mentor mereka, pendeta Fr Jopie Beek’ (Elson, 2001: 146). Menurut Abdurrahman Wahid (1992), para pemimpin komunitas Katolik pada awal era Orde Baru sebenarnya terbagi dalam menghadapi hubungan Katolik dengan negara dan komunitas Islam: beberapa mendukung teori minus malum, dan yang lainnya mendukung mayos bonnum. Menurut pendukung minus malum yang pertama yang didukung oleh kelompok Ali Murtopo, dari dua hal yang haram, yang lebih sedikit adalah yang lebih baik. Dengan demikian, dalam menghadapi dilema untuk memilih ‘hijaunya’ militer atau ‘hijaunya’ Islam (‘hijau’ diidentifikasikan sebagai warna kedua kelompok tersebut), lebih baik memilih militer atas dasar lebih mudah untuk digunakan sebagai perangkat untuk memarginalisasi politik Islam. Menurut pendukung mayos bonum, komunitas Katolik seharusnya tidak mengadu militer dengan Islam, karena dampaknya
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
43
terpilih sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru (19781983). Dibawah kebijakan represifnya, fora akademik dan organisasi manusia di depolitisasikan melalui sebuah kebijakan yang disebut ‘normalisasi kehidupan kampus’. Maka, dengan bertambahnya jumlah mahasiswa, generasi kelima Indonesia (yang sebagian besar lahir pada tahun 1950an/1960an) secara politik sangat lemah. Untuk generasi ini fora akademik, organisasi mahasiswa, publikasi, diskusi kelompok dan kelompok-kelompok agama dikendalikan oleh aparat keamanan. Sebuah usaha sistematik untuk mempertahankan hegemoni pemerintah atas masyarakat dicanangkan melalui pembebanan ideologi bangsa. Ideologi ‘abstrak’ Orde Baru adalah versi monolitik Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik yang sah, dan sementara ideologi yang kongkrit yang mendampingi kegiatan sosial sehari-hari dan membuat kebijakan adalah developmentalisme. Ideologi ini adalah ideologi teknokratik yang mengidealkan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, keselarasan, konsessus dan stabilitas sebagai prasyarat perkembangan ekonomi. Mulai dari tahun 1978 rezim Orde Baru mulai melakukan kampanye indoktrinasi massa dan interpretasi monolitik mengenai Pancasila melalui P4-Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. P4 tidak hanya diberikan di setiap tingkatan pendidikan dan pemerintahan tapi juga ditekankan di banyak komunitas sosial. Selain itu, antara 1982/1983 rezim Orde Baru mengusulkan agar Pancasila diproklamirkan sebagai azas tunggal partai politik dan semua organisasi sosial politik. Untuk menangkal oposisi, rezim Orde Baru melakukan kombinasi korporatisme -pemerintah 35 dan cara-cara represif. Di samping korporatisasi partai-partai politik, pada akhir tahun 1971, pemerintah mulai menciptakan organisasi tunggal untuk melayani semua pegawai pemerintahan yang disebut Korpri (Korps Pegawai Negri). Pada bulan akan merugikan kepentingan Katolik. Strategi alternatifnya adalah: siapa/apa saja yang mendatangkan keuntungan untuk kepentingan Katolik dianggap sebagai teman. Orang-orang yang mendukung strategi ini antara lain Chris Siner Key Timu, Eko TJokrodjojo, Jacob Oetama, Mangunwidjaja, John Titely, Einar Sitompul, Nababan, dan Frans Magnis Suseno. Akan tetapi strategi ini dibayangi oleh pengaruh hegemoni kelompok yang pertama. Sebagai perbandingan, lihat Dhakidae (2003:615-6). 35 Istilah korporatisme dijelaskan oleh Philippe C Schmitter sebagai (1974: 93-4): ‘Sebuah sistem representasi kepentingan dimana unit-unit konstituen terbagi menjadi kategori-kategori tunggal, wajib, tidak bersaing, dan atas susunan hirarki dan fungsi yang berbeda, yang diberi izin oleh pemerintah dan juga diperbolehkan perwakilan monopoli dalam kategori-kategorinya masing-masing sebagai ganti atas pengawasan terhadap pimpinan dan artikulasi tuntutan dan dukungan.
44
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Februari 1973 dibentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) di bawah instruksi Menteri Tenaga Kerja sebagai organisasi serikat kerja tunggal untuk memenuhi kebutuhan semua buruh. Perkumpulanperkumpulan yang sama mulai muncul di beberapa sektor sosial.36 Selain korporatisme pemerintah, cara-cara represif juga diterapkan untuk menghambat kritik dan gerakan-gerakan resistansi. Hal ini dapat terlihat dalam pelanggaran kebebasan pers dan akademik, serta kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan melakukan demonstrasi. Selama masa Orde Baru, ribuan orang ditahan, dan ratusan lainnya dijebloskan kedalam penjara baik yang disidang maupun yang tidak disidangkan. Lebih dari 28 surat kabar dan majalah juga dicekal.37 Kemudian, rezim sengaja mengangkat politik bahasa guna menjaga penyesuaian ideologi, seperti yang dijelaskan oleh Evert Vedung: ‘Manipulasi bahasa tejadi dalam konteks politik di semua negara, akan tetapi diktator cenderung lebih sistematis dalam pelaksanaannya.’38 Wacana umum Indonesia diwarnai oleh bahasa ideologi. Bahasa-bahasa yang ‘dihaluskan’ banyak digunakan sebagai mekansime pembelaan untuk menyembunyikan tanggung jawab pemerintah atas kegagalannya dan tekanannya, sementara dysphemism digunakan sebagai mekanisme 36 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) masing-masing didirikan pada bulan April 1973 dan Juli 1973. Pada bulan Juli 1975 pemerintah memperkenalkan berdirinya badan perwakilan tunggal para ulama: MUI (Majelis Ulama Indonesia). Di dalam fungsi yang berbeda juga ada Kadin (Kamar Dagang Indonesia) sebagai wakil badan usaha, PGRI (Persatuan Guru-Guru Republik Indonesia), KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) sebagai kelompok pemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai wakil jurnalis, dsb. 37 Ada perbedaan yang mencolok antara dasar hukum untuk operasional pers dalam negeri dan dalam pelaksanaannya. Walaupun Peraturan Pers Indonesia pada tahun 1966 menyatakan bahwa ‘tidak akan ada sensor terhadap Pers Nasional’ (bab 2, pasal 4), dan ‘kebebasan Pers dijamin sesuai dengan hak-hak dasar warganegara’ (pasal 5.1) dan ‘izin publikasi tidak diperlukan’ (bab 4, pasal 8.2), namun pada kenyataannya dalam ‘masa transisi’ (sampai pada akhir Orde Baru) ada dua izin yang harus dimiliki penerbit surat kabar: izin untuk terbit dari Departemen Penerangan, dan izin untuk mencetak dari Kopkamtib/Laksus. Doktrin resmi menyatakan bahwa pers Indonesia harus ‘bebas tetapi bertanggung jawab’. Dibawah persepsi ‘tanggung jawab’ negara mendapat kesempatan untuk mengendalikan isi dan bahasa media. Jurnalis dan kritikus bekerja dibawah ancaman sensor dan pencekalan, termasuk Mochtar Lubis dari Indonesia Raya. Sebagai akibat dari munculnya protes antipemerintahan oleh mahasiswa pada bulan Januari 1978, tujuh surat kabar Jakarta dan tujuh publikasi mahasiswa dicekal. Pemerintah juga melakukan beberapa pencekalan dalam beberapa dekade kedepan. 38 Dalam pidato Hari Kemerdekaan pada tahun 1973, Presiden Soeharto menyatakan: ‘Bahasa yang baik dan benar mencerminkan cara pikir, tingkah laku dan perbuatan yang baik dan benar juga. Ketertiban ini merupakan kunci untuk kesuksesan pembangunan bangsa’ (Dikutip dalam Hooker, 1995: 272). Yang dimaksud bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang menangguhkan maksud politik pemerintahan. Walaupun masyarakat menggunakan bahasa yang ‘benar’, tapi digunakan untuk mengkritik pemerintah, maka bahasa tersebut merupakan bahasa yang ‘tidak benar’.
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
45
ofensif untuk mengekang orang-orang yang tidak sepakat dengan cara mendeskreditkan suara-suara kritis seperti terorisme ‘ekstrem kiri’ dan ‘ekstrem kanan’.39 Setelah tidak adanya PKI, korban pertama rezim represif ini adalah politik Islam. ‘Ekstrem kanan’ menjadi kambing hitam untuk kekacauan politik di masa lampau. Untuk menandai tatanan politik yang baru, politik Islam termarginalisasi dari arena politik yang formal. Rezim Orde Baru melanjutkan proyek ‘penyangkalan’ di dalam arena politik. Walaupun kelompok-kelompok Islam memberikan dukungan kepada TNI dalam menjatuhkan Orde Lama, tindakantindakan Orde Baru selama dua dekade tidak mengizinkan keikutsertaan Islam pelaksanaan kekuatan pemerintah. Setelah mengkonsolidasikan pemerintah, rezim yang baru secara sistematik menetralisir Islam sebagai landasan untuk mobilisasi politik dan hukum dan menambah tingkatan birokrasi pada Islam.40
Pergeseran dalam Kesempatan Struktur Politik Bertambahnya kepuasan Soeharto dengan hasil kerja ideologi dan ekonominya selama tahun 1980 sejalan dengan berkurangnya pengaruh dari perantara-perantara politik lama dalam kebijakan Orde Baru. Menurut pengamatan Elson (2001: 244): ‘Sinar Ali Murtopo, setelah sekian lama bersuara, mulai meredup setelah serangan jantung pada tahun 1978 (beliau meninggal pada tahun 1984), sementara itu pengaruh Sudjono Humardani juga berkurang pada awal tahun 1980an dengan bangkitnya birokrat-birokrat lain yang lebih profesional.’ Hal ini membawa jajaran politik baru dalam lingkungan struktur patron Soeharto. Kepemimpinan Golkar pada masa Sudharmono (1983 – 1988) mengambil alih pengaruh kelompok Murtopo yang mulai menurun, karena Sudharmono lebih memilih mengakomodasikan aktifis-aktifis Islam.41 Dengan terpilihnya anak didik Murtopo, L.B. Murdani, sebagai panglima militer pada bulan Maret 1983 mampu menjaga lobby pengaruh non-Muslim. Pemberhentian Murdani sebagai Panglima Angkatan Darat pada tahun 1988 menandai titik balik sikap 39 Untuk diskusi yang lebih lengkap tentang bahasa dan kekuatan dalam Orde Baru, lihat Y. Latif dan I.S. Ibrahim (1996). 40 Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai usaha-usaha Orde Baru dalam penyakalan landasan hukum Indonesia, lihat M. Cammack (1997). 41 Representasi dari kelompok Murtopo di Golkar, Jusuf Wanandi, dipindahkan dari posisi sebelumnya sebagai Sekretaris Perencanaan Organisasi dan Umum Golkar (1973-78), dan Wakil Bendahara (1978-83) menjadi kepala Departemen Luar Negeri di Golkar.
46
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Soeharto dalam hubungan strategi dengan elit-elit militer. Presiden mulai menerima pengangkatan perwira militer yang dekat dengan Islam yang biasa disebut sebagai ‘tentara hijau’. Awal yang baik dari organisasi-organisasi Islam terhadap sifat ortodoks pemerintah mendorong rezim untuk mengakomodasi wakilwakil Islam dalam kepemimpinan pemerintahan dan birokrasi Order Baru. Antara tahun 1983-88, beberapa wakil-wakil dari cendekiawan Muslim mulai memainkan peranan penting dalam Dewan Pimpinan Pusat Golkar (DPP-Golkar). Kelompok cendekiawan Muslim ini antara lain adalah Akbar Tandjung (sebagai sekretaris jendral), K.H. Tarmudji, Ibrahim Hasan, Anang Adenansi, and Qudratullah (DPP-Golkar, 1994: 165-68). Pada saat yang bersamaan, cendekiawan Muslim dalam birokrasi pemerintahan seperti Mar’ie Muhammad, Beddu Amang, Muslimin Nasution, Sajuti Hasibuan dan beberapa lainnya diangkat ke jabatan dengan eselon yang lebih tinggi. Pada saat ini, landasan sosial ekonomi cendekiawan Muslim berubah. Generasi keempat cendekiawan Muslim (yang terdiri dari orang-orang yang lahir tahun 1930an/1940an) mulai menantang dominasi cendekiawan dalam sektor birokrasi ekonomi. Cendekiawan Muslim dalam birokrasi ini sering disebut sebagai neo-santri. Kebijakan pemerintah tentang niat baik terhadap kepentingan Muslim sangat jelas dengan bertambahnya dukungan untuk kebudayaan Islam, yang ditandai dengan bertambahnya subsidi untuk mesjid-mesjid dan sekolah beragama.42 Selain subsidi dari pemerintah, Presiden Soeharto sendiri, dibawah Amal Bakti Muslim Pancasila, juga mensponsori pembangunan mesjid-mesjid dan kegiatan-kegiatan dakwah. Pada tahun tahun 1970an dan 1980an Amal Bakti tersebut telah mendirikan 400 mesjid dan menyediakan bantuan finansial kepada 1000 da’i yang dikirim ke daerah terpencil dan zona-zona transmigrasi.43 Ketika pendekatan antara komunitas Muslim dan pemerintah mulai berkembang, komposisi Kabinet Pembangunan V Soeharto (1988-1993) terdiri dari jumlah santri teknokrat yang sebelumnya belum pernah 42 Pada masa Kabinet Pembangunan III (1978-83), jumlah mesjid-mesjid yang disubsidi berjumlah 8.671, dan pada masa Kabinet Pembangunan IV (1983-88) bertambah menjadi 12.390 (Departemen Penerangan 1983 & 1988). Pada masa Kabinet Pembangunan III, jumlah kelas (di sekolah beragama swasta) yang telah direnovasi dengan sponsor pemerintah adalah 26,280; pada masa Kabinet Pembangunan IV, jumlahnya bertambah menjadi 50.734 (Departemen Penerangan 1983 & 1988). 43 Lihat Tempo (8 Desember 1990).
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
47
tercapai.44 Dukungan pemerintah terhadap cendekiawan Muslim juga ditandai dengan penunjukan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid dan beberapa tokoh utama Muslim sebagai wakil Golkar di MPR. Seiring dengan bertambahnya tokoh Muslim pada elit kepemimpinan, pemerintah kembali menunjukan niat baik terhadap kepentingan-kepentingan Muslim dalam bidang hukum dan kebudayaan. Sebuah Undang-Undang Pendidikan Nasional, yang mendukung instruksi Islam di sekolah umum dan lebih menjamin keamanan sekolah agama swasta disahkan pada tahun 1989. Pada saat yang sama, ‘Undang Undang Peradilan Agama’ juga disahkan.45 Masa 1988-1993 merupakan tahapan lima tahun terakhir atas Pembangunan Jangka Panjang (PJP I).46 Memasuki tahap kedua, wacana dan upacara resmi mulai mengangkat slogan ‘lepas-landas’, yang merupakan tahapan berikutnya dalam pembangunan Indonesia yang menakjubkan. Pada saat yang bersamaan, Indonesia mengalami perubahan radikal dalam perekonomiannya. Sektor swasta dan industri menjadi acuan ekonomi nasional. Pada tahun 1991, andil sektor industri pada PDB mulai melewati bagian yang didapat dari pertanian, dan bankbank swasta mulai memiliki jumlah deposit yang lebih besar dibandingkan bank pemerintah (Thee 2002: 198-201) Dengan kemajuan yang pesat di sektor industri, Presiden Soeharto menyadari bahwa perkembangan teknologi melalui perkembangan kemampuan sumber daya manusia merupakan jalan terbaik agar Indonesia dapat ‘lepas landas’. Pada akhir November 1984, Soeharto mengatakan: “Saya sangat menyadari betapa pentingnya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk perkembangan negara kita di masa depan. Agar dapat lepas landas, di masa yang akan datang kita harus mencapai perkembangan yang lebih baik di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi” (Kompas, 29 Nopember 1984).47 Selain 44 Pada saat ini paling tidak ada 5 mantan aktivis HMI, Akbar Tandjung, Azwar Anas, Saadillah Mursjid, Nasrudin Sumintapura, dan Hasjrul Harahap, ditambah lagi santri teknokrat yang memiliki hubungan kuat dengan organisasi-organisasi Islam besar seperti B.J. Habibie, Munawir Sjadzali, Bustanil Arifin, Saleh Afiff, dan Arifin M. Siregar. 45 Undang-undang ini memperkuat kedudukan legal dan institusional pengadilan Islam dengan menyediakan jaminan legal formal atas keamanan mereka dan menambah tingkat dukungan negara. Undang-undang ini juga memperkuat keberadaan pengadilan Islam dengan pengadilan sipil dengan mengeliminasi sebuah peraturan dari abad ke 19 yang mengharuskan keputusan pengadilan Islam untuk diratifikasi oleh pengadilan sipil agar dapat ditetapkan. Untuk perspektif kritis atas Undang-undang ini, lihat Cammack (1997). 46 Lama masa Pembangunan Jangka Panjang adalah 25 tahun. 47 Dikutip dari Elson (2001: 264)
48
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
pertimbangan ekonomi, Soeharto juga sangat tertarik untuk menguasai teknologi karena termotivasi untuk menunjukkan kesuksesannya dalam memimpin Indonesia kepada dunia. Dalam konteks ini, Soeharto mempercayakan ambisinya kepada B.J. Habibie (ahli teknologi dari Indonesia dengan latar belakang sekolah di Jerman, Technische Hochschule Aachen, dan juga Menteri Riset dan Teknologi [1978-1988].48 Dalam mendukung pembangunan teknologi, Habibie mengembangkan visi ekonomi baru yang secara radikal sangat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh teknokrat-teknokrat ekonomi. Dalam pandangannya, ketahanan pembangunan ekonomi Indonesia tidak dapat bertahan hanya dengan ‘keuntungan komparatif ’, berdasarkan berlebihnya sumber daya alam dan murahnya tenaga kerja. Akan tetapi pembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip ‘keuntungan kompetitif ’ yang berdasarkan nilai-nilai tambah dari teknologi dan ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan teruji. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus menjadi prioritas utama untuk pembangunan Indonesia di masa depan. Dengan dukungan Soeharto, Habibie mengembangkan sebuah ‘kaisar’ industri-industri dengan teknologi mutakhir mulai dari industri pesawat terbang, kapal laut, dan bahkan senjata. Selain proyek-proyek ambisius ini, Iptek dan SDM menjadi wacana dominan masyarakat umum pada akhir Order Baru. Ketika rezim mulai lepas landas, prestasi pembangunan ekonomi mulai menghasilkan dampak terbalik. Semakin bergantungnya Indonesia kepada hutang asing dan komunitas global yang kapitalis membuat ekonomi dan politik Indonesia semakin rentan terhadap pengaruh asing dan perubahan pada keadaan ekonomi internasional. Selain itu, ketika harga minyak mulai turun setelah tahun 1982, pemerintah mulai mengembangkan ekonomi yang lebih efisien dan berorientasi kepada pasar. Hal ini diikuti dengan pergeseran dari state-dominated import substitution menjadi ekonomi yang berorientasi pada private-initiative export. Hal ini meniadakan kekuatan menawar pada sektor swasta. Sepeti dikatakan oleh Hill dan Mackie (1994: xxv): ‘Hubungan internasional 48 Habibie sangat terkenal karena hubungan dekatnya dengan Soeharto. Hubungan Soeharto dengan Habibie dikarenakan unsur pribadi, bukan saja mencerminkan peran Soeharto pada masa anak-anak di Makassar, tetapi juga karena sifat Habibie yang membuat dirinya disukai oleh Soeharto. Seperti dijelaskan Elson (2001:265): ‘Habibie, seperti halnya dengan Soeharto, adalah orang yang serba bisa. Soeharto mengaggumi keinginan Habibie untuk tidak melanjutkan karirnya di Jerman untuk mengabdi kepada negaranya. Mungkin karena Soeharto mengalah pada keinginan Habibie untuk mengakomodasi Soeharto.’
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
49
konglomerat komersial swasta telah mengganggu balance of power antara aparat negara dan pelaku-pelaku pihak swasta karena menguntungkan pihak-pihak swasta. Terlebih lagi, integrasi ekonomi nasional kepada komunitas kapitalis global yang semakin dalam menjadi sebuah katalisator untuk keterbukaan Indonesia terhadap nilai-nilai liberal dan demokratis Barat. Pada awal tahun 1990-an , jumlah warga berpendidikan di perkotaan di kalangan menengah, yang berjumlah sekitar 15 juta jiwa, untuk pertama kalinya dalam sejarah telah bersatu (Hill & Mackie 1994: xxv). Semakin bertambahnya jumlah masyarakat yang berpendidikan ditambah dengan bertambahnya kalangan menengah di perkotaan mengakibatkan bertambahnya harapan dan kritik aspirasi. Ketika sirkulasi elit di pusat struktur politik menjadi terhambat, kesempatan-kesempatan untuk kelas menengah ini untuk memegang kekuatan politik menjadi mendesak. Daftar panjang aspirasi kekuatan memberikan tekanan kepada elit-elit politk dalam struktur politik, sehingga mengakibatkan perebutan politik internal antar kelompok dan golongan di dalam birokrasi dan pemerintahan Order Baru. Walaupun pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dan jumlah rasio murid ketiga sedikit, namun masalah ‘proletarianisasi cendekiawan’ yang terjadi sebelumnya menjadi lebih parah. Penyebab utamanya adalah ketidakcocokan antara persediaan (output institusi ketiga) dan permintaan (kesempatan kerja).49 Rasio murid ilmu sosial diantara murid perguruan tinggi di dalam negeri sampai 1988-1990 adalah 76,8%. Pada saat yang sama rasio lulusan ilmu sosial diantara jumlah yang tidak terserap oleh institusi ketiga lebih dari 60%.50 Kekhawatiran akan pengangguran lebih terasa bagi murid-murid dari universitas swasta yang tidak elit. Walaupun telah mengeluarkan biaya lebih dibandingkan murid-murid di universitas negeri, lulusan universitas swasta (non-elit) cenderung termarginalisasi dalam kesempatan kerja. Mereka lebih sadar akan politik, namun tidak didukung secara ekonomi. Cendekiawan proletarian ini merupakan bom waktu untuk kekacauan politik di masa depan. 49 Industri manufaktur ditandai oleh kehadiran dominan industri-industri bebas atau industri dengan teknologi rendah. Industri semacam ini sangat bergantung pada tenaga buruh dan menyediakan kesempatan kerja yang terbatas untuk masyarakat dengan pendidikan yang tinggi. Pada saat yang sama, untuk lulusan ilmu sosial, penyerapan ke untuk kesempatan kerja menjadi semakin sulit. 50 Untuk diskusi lebih lanjut masalah ini lihat Y. Latif (1994)
50
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Sementara itu, ketika Orde Baru menjadi semakin hegemonik, represi politik semakin dirasakan tidak hanya oleh kelompok Islam dan kelompok kiri, tapi juga oleh bagian-bagian lain di negara. Sebagai akibatnya, gerakan-gerakan anti-hegemoni mulai merebak di dalam masyarakat Indonesia. Selain kelompok Islam dan mahasiswa, gerakan oposisi juga ditunjukkan oleh LSM yang berorientasi kepada masyarakat madani, dan aktifis kebudayaan dan kebudayaan serta jurnalis independen. Oposisi juga datang dari kelompok-kelompok yang pernah menjadi elit-elit politik yang telah dikeluarkan dari struktur politik formal. Semua akibat dari pembangunan ini menjadi tekanan terhadap pemerintah untuk memberikan konsesi lebih untuk permintaan dan keterbukaan dalam masyarakat umum. Sejak akhir 1980-an, keterbukaan menjadi wacana anti-hegemoni di tengah masyarakat umum. Pada peringatan Hari Kemerdekaan bulan Agustus 1990, Soeharto mencetuskan ide kebebasan untuk berekspresi yang lebih luas, walaupun dia melihatnya sebagai berkurangnya peran beliau dalam eksekutif. Walaupun demikian, retorika politik mematikan kritik dan membangkitkan reformasi substansi yang lebih (termasuk perombakan besar pada dwi-fungsi TNI) dan juga menuntut agar Presiden turun dari jabatannya pada akhir masa jabatannya (Elson 2001: 268).51 Keterbukaan memberikan dorongan untuk para cendekiawan dan media massa untuk secara lebih terbuka lagi mengkritik pemerintah. Pada akhir 1980-an gerakan mahasiswa yang telah lama diredam mulai muncul kembali meskipun terbatas. Tujuan utama mereka adalah pada isu-isu lokal dan sektoral seperti memprotes penyitaan lahan pertanian oleh pemerintah dan SDSB. Walaupun banyak muncul gerakan-gerakan mahasiswa, rezim keamanan yang represif masih utuh dan lengkap. Kebebasan jurnalisme untuk mengkritik dan protes mahasiswa masih terbatas. Pada tanggal 29 Juni 1987, surat kabar baru, Prioritas (berdiri tahun 1985) dicekal karena beritanya yang ‘sinis, menyindir, dan tendendsius’. Pada bulan Oktober 1990, pemerintah juga mencekal tabloid terkenal di Jakarta, Monitor, setelah mempublikasikan hasil polling pembaca tentang orang paling populer yang menaruh Nabi Muhammad pada urutan kesebelas 51 Seperti yang dikatakan oleh Elson (2001: 268): ‘Tuntutan-tuntutan tersebut berasal dari cendekiawan sipil senior seperti mantan menteri dan kerabat dekat Mashuri, tokoh Golkar Marzuki Darusman, serta purnawirawan militer seperti Sumitro, Sayidiman Suryohadiprojo dan Nasution, dan petisi dari 50 kelompok dimana Nasution merupakan anggotanya.
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
51
setelah Presiden Soeharto (pada urutan pertama), Presiden Iraq Saddam Hussein, dan editor tabloid itu sendiri, Arswendo Atmowiloto. Represi terhadap pers ini memuncak pada tahun 1994, ketika tiga publikasi terkenal, Tempo, Editor dan Detik, dicekal setelah memberitakan rencana pemerintah untuk membeli kapal perang bekas milik Jerman dengan jumlah uang yang eksesif. Sementara pada tanggal 5 Agustus 1989, enam aktivis mahasiswa dari ITB52 ditangkap dan dipenjara setelah memprotes kunjungan Menteri Dalam Negeri saat itu, Jendral Rudini, ke kampus ITB. Setelah kejadian ini masih banyak lagi penahanan dan penculikan aktivis intelektual di tahun-tahun berikutnya. Pada masa transisi antara represi dan keterbukaan ini, konflik-konflik fraksi diantara elit menjadi semakin menegangkan. Keadaan inilah pada tahun 1990 yang memberikan kesempatan kepada ambisi komunitas Muslim untuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). ICMI berkembang menjadi satu-satunya organisasi Islam yang diberikan status legal pada saat Orde Baru. Ditengah bangkitnya gerakangerakan oposisi, ICMI merupakan organisasi cendekiawan yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Organisasi ini menjadi debat politik dan perhatian media di ujung era Orde Baru. Kehadirannya di tengah masyarakat umum meningkatkan konflik internal diantara para elit, yang memiliki kebaikan negatif untuk pemberdayaan tekanantekanan dari luar. Dalam kenyataan, tidak ada hegemoni yang terlalu kuat yang memanfaatkan seluruh sumber daya untuk resistansi. Di mana ada kekuatan, ada resistansi. James C. Scott dalam Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990), menunjukan batas-batas operasional dalam sebuah ideologi yang memimpin, dimana kelompokkelompok dibawahnya dapat menembus ideologi yang bertahan. Menurut pandangan Scott, sebuah ideologi hegemoni cenderung menciptakan kontradiksi yang dapat dikritik. Krisis ekonomi yang muncul pada pertengahan 199753 menjadi katalisator untuk masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi Orde Baru dan mendambakan masa depan tanpa Soeharto. Sebelumnya 52 Keenam mahasiswa yang dipenjara adalah M. Fajrul Rahman, Moh. Jumhur Hidayat,Ammarsyah, Arnold Purba, Bambang L.S., dan Enin Supriyanto 53 Krisis ekonomi di Indonesia diperburuk dengan adanya krisis kepercayaan. Depresiasi Thai bath pada bulan Juli 1997 juga mengakibatkan depresiasi mata uang di Filipina dan Malaysia, investor dan penanam modal asing di Indonesia menjadi takut dan mengurangi ekspos mereka di Indonesia. Efek bola salju ini kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi di Indonesia yang sangat parah. (Thee 2002: 232).
52
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Soeharto dapat melewati krisis dan menjadi semakin kuat. Akan tetapi krisis ekonomi kali ini sangat parah dan diperburuk dengan serangkaian krisis non-ekonomi lainnya. Para elit juga menunjukkan ketidakkompakan diantara mereka. Sementara itu, para oposisi mulai bergabung untuk tujuan yang sama, dan dukungan internasional, terutama dari institusi keuangan telah berkurang.54 Semua hal ini dan faktor-faktor lainnya muncul secara bersamaan dan menciptakan tekanan yang besar sehingga Soeharto kehilangan dukungan. Akibatnya, Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Rezim Soeharto telah berlalu, akan masih ada para pengikutnya. Hal terburuk tentang rezim korup ini bukanlah mengenai jumlah korban dan kerugian material, tapi menurut Abdul Karim Soroush (2000), praktik korupsi tersebut telah diwariskan kepada pemerintahan rezimrezim berikutnya.
DAFTAR BACAAN Anderson, B. R. O’G/ 1972, ‘The idea of power in Javanese Culture’ in Culture and Politics in Indonesia, eds C. Holt et. al.,Cornell University Press, Ithaca, pp. 1-70. Crouch, H. 1979, ‘Partimonialism and military rule in Indonesia’, World Politics, no. 31, pp. 571-8. _________ 1988, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca. DPP Golkar 1994, 30 Tahun Golkar, DPP Golkar, Jakarta. Elson, R. E. 2001, Soeharto: A Political Biography, Cambridge University Press, Cambridge. Feith, H. 1980, ‘Repressive-developmentalist regims in Asia: old strengths, new vulnerabilities’, Prisma, no. 19, pp. 39-55. Hill, H & Mackie, J. 1994, ‘Introduction’ in Indonesia’s New Order: The Dynamics Of Socio-Economic Transformation, ed H. Hill, Allen & Unwin, NSW, pp. xxii-xxxv. Hull, T. H. & Jones, G. W. 1994, ‘Demographic perspectives’ in Indonesia New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation, ed H. Hill, Allen & Unwin, NSW, 123-178. 54 Berkurangnya dukungan internasional terhadap Soeharto ditandai dengan penolakan IMF terhadap proposal currency board system (CBS) yang diajukan oleh Soeharto dan tim ekonominya. Untuk pembahasan lebih lanjut masalah ini, lihat Steve H. Hanke (Tempo, 11/ 05/2003).
Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan
53
Jackson, K. D. & L. W. Pye (eds.) 1978: Political Power and Communication in Indonesia, University of California Press, Berkeley. King, D. Y. 1977, ‘Authoritarian rule and state corporatism in Indonesia’, paper Presented to the 1977 Annual Meeting, the American Political Science Association, Washington D.C., September 1-4. Mas’oed, M. 1983, The Indonesian Economy and Political Structure during the Early New Order, 1966-1971, University Microfilms International, Ann Arbor, Michigan. Sadli, M. 1993, ‘Recollections of my carreer’, Bulleting of Indonesian Economic Studies, Vol. 29, no. 1, pp. 35-51. Scott, J. C. 1990, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, Yale University Press, New Haven. Soroush, A. K. 2000, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, Bandung. Thee, Kian Wie 2002, ‘The Soeharto era and after: stability, development and crisis, 1966-200’ in The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000, eds H. Dict et.al., Allen & Unwin, NSW, pp. 194-243. Vedung, E. 1982, Political Reasoning, Sage Publications, California.
***
analisis 54
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
PEMIKIRAN HABIBIE TENT AN G TENTAN ANG PEMB AN GUN AN*) PEMBAN ANGUN GUNAN
M. Dawam Rahardjo.
Kegagalan, baik pada strategi berdasarkan prinsip keuntungan komparatif maupun strategi pendalaman industri, dua konsep “pola industrialisasi”, masing-masing berasal dari pemikiran Prof. Widjojo Nitisastro dan Ir. Soehoed, yang telah dianut selama ini telah merangsang pencarian altenatif baru. Acuannya adalah masalah ketergantungan teknologi yang menjadi sumber kemacetan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan Berorientasi Nilai Tambah” yang sebenamya telah dikemukakannya pada 1990, Habibie berujar: Keberhasilan pembangunan negara-negara berkembang dalam tiga dekade terakhir ternyata tidak menyurutkan ketergantungannya pada negara-negara maju. Lemahnya infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi serta rendahnya kapabilitas sumber daya manusia negaranegara tersebut dipandang sebagai penyebab utama rendahnya daya saing mereka di pasar global.1 Masalah ketergantungan teknologi yang menyebabkan negaranegara sedang berkembang makin tertinggal dalam perkembangan ekonomi dan makin tergantung, sehingga makin merugikan negaranegara sedang berkembang dalam hubungannya dengan negara-negara maju, mendorong Habibie untuk mencari alternatif ketiga. Guna lebih memahami pemikiran alternatif yang ditawarkan oleh Habibie barangkali ada manfaatnya kita menengok perkembangan *) Bagian dari orasi M. Dawam Rahardjo pada Ulang Tahun CIDES, 25 Januari 1997 1 A. Makmur Makka; Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa: Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia (Jakarta, CIDES, 1995), Klasifikasi gagasan dalam tulisan Ceramah B. J. Habibie (hal 41-84)
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
55
industri kita, khususnya dengan melihat kandungan teknologi. Masalah ini telah diteliti oleh David Ray, yang pada 1995-an sedang menyusun disertasinya dan pernah pula menyajikan sebagian penemuannya dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh CIDES-BPPT pada 29 September 1995. Dalam penelitiannya itu Ray mengungkapkan bahwa industrialisasi di Indonesia lebih banyak didasarkan pada teknologi rendah dan padat karya dalam sektor manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi, sepatu, dan produk kayu. Sementara itu, katanya lagi: Sejak dua dekade terakhir, banyak negara tetangga Indonesia yang sudah berkecimpung dalam industri yang lebih berorientasi pada pengetahuan maju seperti komputer dan elektronik. Di pihak lain, pembangunan industri Indonesia telah (dan masih) didukung oleh modal fisik, bahan mentah dan melimpahnya tenaga kerja-tenaga kerja kurang terampil. Ini sesuai dengan teori ‘keunggulan komparatif ’ yang dikemukakan oleh ahli teori perdagangan Neo-Klasik. Pandangan Ray yang ditulisnya di jurnal Prisma itu agaknya bisa mewakili apa yang sedang dipikirkan Habibie. Pembuktian tentang keterbelakangan teknologi Indonesia dilakukan dengan mengukur secara komparatif dengan menggunakan “indeks komposisi teknologi” untuk barang-barang ekspor seperti yang telah dikembangkan oleh para peneliti di Centre for Economic Starategic Studies (CESS), Universitas Melboume, Australia. Dengan membagi ekspor negara tertentu ke dalam 22 kategori industri utama menurut intensitas pengetahuan,maka ia dapat menarik nisbah litbang-produksi, yang diukur dengan menghitung rata-rata tingkat pengeluaran penelitian dan pengembangan per unit produksi dalam kategori industri tersebut, berdasarkan kasus negara-negara industri maju kelompok OECD (Organization of Economic Cooperation and Development). Hasilnya dapat digambarkan pada tabel 1 dan 2. Tabel 1 Tinggi 1. Pesawat terbang 2. Komputer 3. Elektronik
(20,2%) (12,4%) (10,8%)
Rendah 4. Barang kayu dan mebel (0,1%) 5. Kertas dan percetakan (0,2%) 6. Tekstil dan pakaian jadi (0,2%)
56
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Tabe1 2 Neraca Perdagangan Khusus 1983 -1995 (dalam juta US$)
Tahun
Barang
X
Masuk
1983
3219,7
-
14.625,6
-
(11.405,9)
1988
9.262,0
37,5
12.779,1
(2,5)
(3.517,1)
1993
22.944,0
29,5
27.181,7
22,5
4.237,7
1994
25.702,1
12,0
20.553,3
24,5
(5.148,8)
1995
29.328,2
14,1
28.278,3
27,6
1.049,9
%
Bahan Baku
%
Penolong
Surplus (Defisit)
Sumber. Biro Pusat Statistik, setelah diolah kembali.
Nisbah Litbang Produksi Oleh CESS angka ekspor itu kemudian ditimbang dengan nisbah tersebut di atas, kemudian dijumlahkan dan disusun kembali. Hasilnya adalah apa yang disebut “indeks komposisi teknologi”. Gambaran tentang negara-negara pengekspor manufaktur berdasarkan intensitas Iptek, di mana dapat ditemukan posisi Indonesia disajikan dalam tabel 2 Dalam tabel 3, angka indeks yang melebihi satu menunjukkan bahwa ekspor negara yang bersangkutan dipusatkan pada industri yang memiliki intensitas litbang yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Tabel 3 menggambarkan pergeseran komposisi teknologi produksi barang-barang impor dari kandungan rendah ke kandungan tinggi. Pada 1993 angka tertinggi menunjuk pada Singapura (1,72) dan Malaysia (1,72), Jepang (1,30), Taiwan (1,19) dan Korea (1,07). Yang menimbulkan tanda tanya adalah Jepang, yang angka indeksnya lebih rendah dari Singapura dan bahkan Malaysia. Namun, jika kita melihat angka indeks tanpa komputer dan elektronik, maka Jepang menunjukkan angka yang tertinggi (0,83), jauh lebih tinggi dari Singapura, apalagi Malaysia. Ini menunjukkan bahwa kedua negara tersebut mencapai kemajuan sangat besar di bidang komputer dan elektronik. Sementara itu, Indonesia sendiri sebenarnya juga mengalami perkembangan, seperti ditunjukkan dalam pergeseran angka kandungan Iptek dari 0,19 pada 1970 menjadi 0,34 atau hanya 0,24 tanpa komputer dan elektronik. Tetapi dibandingkan dengan negara-negara lain pada 1993, Indonesia menduduki posisi terendah, bahkan jauh lebih rendah dari Filipina di Asean dan juga Cina (0,58). Kondisi ini, yang
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
57
Tabel 3 Indeks Komposisi Teknologi dan Ekspor Manufaktur Negara
Tahun 1970
Tahun 1993
Tahun 1993 (Kecuali Komputer dan Elektronik)
1. Indonesia
0,19
0,34
0,24
2. Malaysia
0,24
1,72
0,47
3. Korea Selatan
0,37
1,07
0,53
4. Taiwan
0,57
1,19
0,50
5. Singapore
0,47
1,79
0.67
6. Jepang
0,80
1,30
0,89
7. Cina
0,22
0,58
0,36
8. Filipina
0,10
0,95
0,33
9. Muangthai
0,15
0,92
0,43
Sumber: Penaksiran CESS yang menggunakan data perdagangan PBB, dikutip dan David Ray “Kemampuan Teknologi dan Ekonomi Indonesia” dalam Prisma nomor 9/1995, hlm. 88.
diungkapkan oleh CESS melalui tulisan Ray tersebut, tidak banyak diketahui di Indonesia, termasuk oleh kalangan ekonom dan pengamat pembangunan, sehingga timbul reaksi dan kritik seolah-olah BPPT telah berjalan terlampau jauh dalam mengembangkan teknologi. Hal itulah agaknya yang mendorong Habibie untuk berkampanye tentang perlunya Indonesia memperhatikan pengembangan lptek dan SDM, tidak saja lewat BPPT, tetapi juga melalui gerakan kemasyarakatan, khususnya lewat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Alternatif ketiga yang ditawarkan Habibie memberi jalan keluar dengan konsep strategi lompatan ke muka (leap-forward). Asumsinya adalah bahwa negara-negara sedang berkembang tidak bakal mampu mengejar perkembangan teknologi, jika berkembang menurut garis linier. Untuk mengejarnya harus diciptakan garis perkembangan eksponensial, dengan melakukan apa yang disebut oleh Habibie accelerated evolution atau evolusi yang dipercepat. Evolusi yang dipercepat tersebut tidak sama dengan “lompatan katak” (leap frogging). Sebab lompatan katak bersifat
58
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
acak dan tidak dapat diperkirakan. Sedangkan evolusi yang dipercepat tidak acak karena gerakannya dikendalikan dan diperkirakan. Hal ini berarti mengurangi risiko dan biaya transformasi yang tinggi. Dalam mengemukakan alternatifnya tersebut, Habibie memang melontarkan kritik terhadap konsep strategi konvensional, khususnya yang mendasarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif saja. Strategi ini menurut Habibie hanya berpedoman pada tolok ukur pendapatan nasional atau produksi nasional saja. Indikator itu sebenarnya tidak ditolaknya, tetapi ia mengusulkan indikator lain yang lebih sempurna. Untuk bisa menilai kemampuan membangun suatu bangsa, ia menambahkan indikator lain dalam suatu kesatuan ekonomi makro. Yaitu, indikator “Produktivitas Prestasi Nasional” (PPN) dan indikator “Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Nasional” (delta PPN). Indikator satu dalam dua (two in one) itu merupakan perpaduan dari produktivitas tenaga kerja (labour productivity) dan produktivitas modal (capital productivity) dalam bentuk prasarana, sarana, dan mesin. Menurut pendapat Habibie, PPN dan pertumbuhan PPN merupakan alternatif yang lebih tepat untuk menilai kemampuan membangun suatu bangsa (makro) dan perusahaan (mikro) serta untuk memperkirakan kinerjanya pada masa depan. Sebab, mungkin saja suatu bangsa memiliki PDB besar, tetapi PPN dan delta PPN-nya rendah. Dalam jangka panjang negara ini akan dapat dilampaui perkembangannya oleh negara yang walaupun mempunyai PDB kecil, tetapi PPN dan delta PPN nya tinggi. Dengan begitu, ia ingin menawarkan sebuah strategi alternatif yakni: Suatu strategi pembangunan alternatif yang berorientasi pada optimalisasi kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkan teknologi dan aneka sumber daya yang tersedia. Dengan demikian,hal itu diharapkan bisa menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan, dengan nilai tambah yang tinggi, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Itulah rumusan pendapatnya tentang strategi pembangunan yang mengandalkan pertama-tama kepada mutu sumber daya manusia. Berdasarkan kemampuan sumber daya manusia itu dapat dioptimalkan pemanfaatan sumber daya-sumber daya lainnya yang tersedia. Persoalannya kemudian adalah bagaimana bisa menjalankan strategi tersebut. Dalam kenyataannya mutu sumber daya manusia Indonesia memang masih rendah. Oleh karena itu, Habibie sebenarnya mengajukan prasyarat, yakni kita, baik pemerintah maupun swasta harus bersedia
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
59
melakukan investasi di bidang sumber daya manusia ini. Hanya dengan sumber daya manusia yang bermutu itulah SDM Indonesia bisa memanfaatkan teknologi dan sumber daya lainnya secara optimal. Dengan mutu sumber daya manusia yang tinggi, dapat dilakukan optimasi pembentukan nilai tambah (added value). Tetapi,menurut Habibie optimasi terhadap nilai tambah perlu dilengkapi dengan optimasi biaya tambah (added cost). Di sini sebenarnya terjadi titik temu antara pandangan Habibie dengan kelompok yang memegang prinsip keuntungan komparatif, ketika Habibie menjelaskan bahwa BPIS yang dipimpinnya mampu bersaing dengan perusahaan asing MBB yang mempunyai perputaran sebesar US$ 10 hingga US$ 12 milyar, dengan 60.000 pekerja, dibanding BPIS yang hanya memiliki omzet US$ 2,8 milyar saja dengan pekerja 47.000 orang. Faktor yang membuat IPTN bisa kompetitif secara komparatif adalah kenyataan bahwa biaya pekerja per orang hanya US$ 2.400 per tahun, dan biaya overhead sebesar US$ 6.000 per tahun, dibandingkan MBB yang harus menanggung biaya per pekerja sebesar US$ 200.000 per tahun dan biaya overhead sebesar US$ 200.000 per tahun. Dengan demikian, maka Habibie masih menganggap tenaga kerja sebagai faktor keuntungan komparatif Indonesia yang membuat IPTN mampu bersaing di pasar global. Jadi tidak benar juga untuk mengatakan, seperti dituduhkan para ekonom bahwa BPIS tidak didasarkan para keunggulan komparatif dan tidak memperhatikan efisiensi. Di lain pihak, Habibie sendiri juga mengakui bahwa perintisan industri hulu berteknologi canggih dalam jangka waktu tertentu masih membutuhkan satu dan lain bentuk proteksi dan subsidi. Di samping itu, penelitian dan pengembangan sumber daya manusia juga membutuhkan investasi pemerintah sebagai barang umum (publicgood). Di negara-negara maju seperti AS, Inggris atau Jerman Barat, biaya riset dan pendidikan ditanggung oleh pemerintah. Persoalannya adalah dari mana dana itu diperoleh? Selama ini dana pemerintah diperoleh dari pajak, terutama pajak perusahaan-perusahaan yang timbul dan berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Hal ini mengingatkan kita pada strategi yang dianut oleh Mao Ze Dong yang melihat industri ringan dan industri kecil sebagai sumber dana yang bisa diakumulasi, demikian pula pendapat Sjafruddin yang melihat dana industrialisasi dari sektor perkebunan yang berorientasi ekspor. Dalam konteks Indonesia, Habibie menganjurkan untuk
60
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
meninggalkan jenis-jenis industri yang tidak punya pijakan penguasaan teknologi yang kuat (foot loose industry) yang mudah berpindah dan keluar (easy to exit), ketika tidak lagi memiliki keuntungan komparatif (dalam pengertian yang lazim, foot loose industry adalah kebalikan dari resource-based industry yakni industri yang tidak berbasis pada sumber daya alam setempat). Jika industri tersebut ditinggalkan, dari mana diperoleh pembiayaan untuk program pendalaman industri dan teknologi serta program transformasi industri dan teknologi? Dalam logika inilah Prof. Sumitro mengoreksi pandangan Habibie dengan mengatakan bahwa industri yang berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif itu belum bisa atau untuk sebagian tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Karena itu, bagi Sumitro, prinsip keuntungan komparatif maupun prinsip keunggulan kompetitif saling menunjang. Dengan mengingat masih diperlukannya prinsip keuntungan komparatif-betapapun juga pemecahan terhadap masalah industrialisasi yang dalam jangka panjang bisa menimbulkan persoalan besar bagi perekonomian, dilihat dari indikator ekonomi fundamental- memaksa kita untuk menerima strategi lompatan ke industri teknologi canggih. Masalahnya adalah, apakah pengembangan industri jenis ini tidak akan melanggar kendala lain yang disebut Sumitro, yakni keharusan ekonomi nasional untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk yang bertambah banyak? Menurut Habibie, industri teknologi canggih seperti industri pesawat terbang dan dirgantara, sebenarnya mempunyai kaitan luas ke hilir. Perusahaan pesawat terbang, Boeing (AS) atau perusahaan mobil Toyota (Jepang) umpamanya, hanya melakukan perakitan terhadap komponenkomponen yang diproduksi oleh puluhan ribu perusahaan menengah dan kecil yang bersifat padat karya. Karena itu, masalahnya adalah apakah perusahaan yang bersangkutan bersedia untuk beroperasi dalam sistem kemitraan, sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara industri maju itu. Karena itu maka Habibie sebenarnya juga mempertimbangkan aspek kesempatan kerja, seperti yang dipersoalkan oleh Sumitro. Jika strategi transformasi industri dan teknologi bisa diterima, Habibie mengingatkan bahwa tranformasi di negara-negara sedang berkembang berbeda dengan transformasi evolusioner seperti yang terjadi di negara-negara maju. Pertama, transformasi industri di negara-negara sedang berkembang melalui evolusi yang dipercepat membutuhkan biaya lebih besar dari biaya yang diperlukan negara-negara industri maju tatkala
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
61
dulu melakukan transformasi melalui proses evolusi. Kedua, di negaranegara sedang berkembang, proses transformasi memerlukan waktu atau harus dilakukan dalam waktu yang lebih singkat. Dan ketiga, jumlah orang yang terlibat dalam proses transformasi di negara-negara yang sedang berkembang lebih banyak dari di negara-negara industri maju, dan karena itu turut memperuwet persoalan. Dalam proses transformasi itu dukungan pemerintah sangat diperlukan. Dalam konteks sistem ekonomi Indonesia berdasar pasal 33 DUD 1945 ayat 2, negara menguasai industri yang dipandang penting bagi negara dan karena itu, negara ditetapkan untuk tampil dalam usaha perintisan. Antara lain, dengan menyediakan anggaran untuk penelitian dan pengembangan. Tetapi ada cara alternatif seperti yang dicontohkan di Jerman yang memberikan insentif kepada MBB dan Krup. Dua perusahaan itu mengalokasikan dana sebesar 5% dan 6% dari omzetnya, masing-masing untuk pendidikan dan riset, sehingga secara keseluruhan berjumlah 11% dari perputaran sales. Tetapi, pemerintahnya menyetujui untuk memotong pajak sebesar 89% sebagai insentif. Dengan membebankan anggaran pendidikan dan riset tersebut kepada perusahaan, maka perusahaan dapat memperhitungkan sebagai ongkos produksi yang akan turut mempengaruhi penentuan harga. Hal ini pada gilirannya akan mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi dengan menekan cost added-nya. Habibie juga mengakui kenyataan bahwa sumber dana pemerintah itu makin terbatas. Karena itu, dalam industri berteknologi canggih pun diperlukan partisipasi swasta atau masyarakat dengan cara penjualan saham umpamanya. Agaknya, itulah salah satu faktor yang mendorongnya untuk melontarkan gagasan penurunan suku bunga yang secara berturut-turut dilontarkannya di Manado, Bandung, dan kemudian dijelaskannya kembali dalam suatu forum CIDES.2 Di sini BPIS juga harus bisa menempatkan diri sebagai perusahaan yang berkedudukan sama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Dalam hal ini, Habibie sudah berpikir lebih maju dengan tidak semata-mata mengharapkan partisipasi modal pemerintah yang harus melalui proses anggaran itu. Ia mulai berpikir untuk bisa memperoleh dana kredit dari perbankan. Hanya saja, untuk industri strategis diperlukan kredit dengan tingkat bunga rendah. Tuntutan ini lumrah, karena beberapa kalangan juga menginginkan suku bunga rendah, 2 Ibid, Op. Cit., hlm. 46.
62
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
misalnya sektor perumahan rakyat, usaha kecil atau usaha pertanian. Di Jepang, perusahaan besar justru memperoleh kredit yang bunganya lebih rendah dari perusahaan kecil. Untuk perusahaan kecil malahan dikenakan suku bunga tinggi. Seperti kita ketahui, walaupun imbauan tersebut beroleh sambutan kalangan luas -hingga kinipun berbagai kalangan dunia usaha masih terus mengimbau diturunkannya suku bunga- tetapi karena Habibie menyertakan alasan bagi usulnya itu, timbul reaksi yang mengatakan bahwa “teori” nya -yang lebih tepat adalah “hipotesis” -nya- tersebut berlawanan dengan logika ekonomi, tapi sebenarnya sejalan dengan logika bisnis. Menurut hipotesis Habibie, penurunan suku bunga akan mempengaruhi penurunan tingkat inflasi. Sementara itu, menurut logika (ekonomi) yang lazim dipahami, bukan suku bunga yang menurunkan inflasi, melainkan sebaliknya, tingkat inflasi menentukan suku bunga, sebab penghitungan tingkat suku bunga pertama-tama didasarkan pada tingkat inflasi. Jika tingkat inflasi 10%, maka tingkat bunga tidak mungkin lebih rendah, kecuali jika terdapat subsidi suku bunga dari BI atau pemilik dana, seperti BUMN. Pengaruh suku bunga terhadap inflasi juga diragukan mengingat biaya modal hanya merupakan 3%-5% saja dari biaya produksi. Sebenarnya, pangsa biaya bunga terhadap biaya produksi tidak seragam antar sektor. Misalnya, dalam semen dan tekstil 12%-13% dan pada beberapa industri bisa lebih dari 15%. Tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa biaya bunga bisa mengurangi laba setelah dikurangi pajak dan bunga. Sebab, daya saing suatu perusahaan bisa dilihat dari tingkat EBIT (eammg before interest and tax). Dan biaya bunga bisa mencapai 50% dari EBIT. Dalam hal ini perusahaan yang menghasilkan barang unggul (superior good) bisa membebankannya kepada konsumen. Kalangan pengamat juga mendapat kesan bahwa Habibie menghipotesiskan bahwa pengaruh penurunan bunga terhadap inflasi tersebut terjadi dalam jangka pendek. Padahal, Habibie memikirkannya dalam jangka panjang, melalui metode zig-zag, atas inisiatif BI yang mempergunakan instrumen operasi pasamya untuk mempengaruhi tingkat suku bunga bank komersial. Sebenarnnya Habibie mengemukakan hipotesis bahwa dalam jangka panjang mengikuti wawasan supply-side economics yang berpikiran jangka panjang, penurunan suku bunga akan bisa menurunkan tingkat
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
63
inflasi. Semula turunnya suku bunga akan merangsang dunia usaha untuk memperoleh kredit perbankan bagi perluasan usahanya. Meningkatnya kredit perbankan akan meningkatkan volume investasi. Menurut teori ekonomi yang lazim, tingkat pertumbuhan ekonomi berdasarkan asumsi tentang tingkat ICOR (incremental capital output ratio), misalnya 3 atau 4 - akan dipengaruhi oleh tingkat pertambahan investasi. Jika investasi meningkat, maka pertumbuhan akan meningkat pula. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berarti meningkatkan arus barang. Arus barang yang meningkat inilah yang mendorong turunnya harga. Kesimpulannya, turunnya suku bunga dalam jangka panjang, akan bisa menurunkan tingkat inflasi. Karena itu sebenarnya Habibie juga mempergunakan logika ekonomi, tapi logika itu tidak diketahui oleh para ekonom yang berpikir jangka pendek. Tetapi pengkritiknya berpendapat bahwa dalam jangka pendek, turunnya suku bunga akan berarti meningkatkan M2, dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan agregat. Sebelum arus barang bertambah, lebih besarnya permintaan agregat akan cenderung meningkatkan hargaharga umum (demand pull inflation). Di lain pihak, turunnya suku bunga tabungan akan mengurangi insentif menabung. Malahan, turunnya suku bunga tabungan akan mendorong perusahaan dan masyarakat untuk menarik dananya, guna dibelikan mata uang asing yang lebih kuat, dan uang tersebut bisa ditabung di luar negeri yang memberikan tingkat bunga yang lebih baik. Ini akan berarti larinya devisa ke luar negeri. Sementara itu, sebagian uang kredit itupun bisa langsung dipergunakan untuk membeli devisa guna keperluan impor. Akibatnya, impor akan meningkat dan memperburuk situasi neraca perdagangan dan selanjutnya ikut mempengaruhi neraca berjalan yang kini sedang dalam keadaan defisit yang cenderung parah dari tahun ke tahun, dan mungkin akan mencapai tingkat US$10 milyar pada anggaran 1997/ 1998. Perbedaan hipotesis karena perbedaan wawasan ekonomi ini agaknya memang sulit dikompromikan. Terlepas dari itu, berbagai kalangan dunia usaha tetap menuntut turunnya suku bunga, dengan alasan yang berbeda-beda. Tetapi, bank-bank pemerintah baru menurunkan suku bunga tabungan, tetapi enggan menurunkan suku bunga pinjaman. Sehingga, situasi ini justru memberi peluang spread yang lebih besar pada sejumlah bank-bank pemerintah. Hal ini tentunya
64
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
bertentangan dengan harapan Habibie, karena ia justru berharap bankbank bisa menurunkan spread-nya sebagai dasar penurunan suku bunga pinjaman. Keberatan terhadap pemikiran Habibie sebenarnya tidak ditujukan kepada gagasan suku bunga rendah itu sendiri. Kalangan produsen dan distributor tentu saja mendukung. Lebih-lebih yang merencanakan proyek jangka panjang dan skala besar. Tentu saja ada juga yang berpendapat bahwa suku bunga itu sendiri bukanlah masalah. Keberatan itu pada umumnya dapat dikategorikan menjadi beberapa pola pandangan. Pandangan pertama mengatakan bahwa suku bunga bukanlah masalah utama walaupun merupakan masalah juga. Yang lebih menjadi masalah adalah korupsi, kolusi, dan kebocoran. Seandainya suku bunga bisa diturunkan, hal itu tidak akan memberi dampak yang berarti selama ada kebocoran yang besarnya lebih dari 30% itu. Korupsi dan pungutanpungutan liar yang harus dibayar pengusaha akan menaikkan biaya produksi yang berarti menurunkan efisiensi dan akhirnya juga menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan perkataan lain, yang menjadi masalah bukannya tingkat bunga yang tinggi, melainkan ekonomi biaya tinggi secara keseluruhan. Pola pandangan seperti ini dikemukakan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Pandangan kedua berpendapat bahwa sekalipun suku bunga yang terlalu tinggi itu diakui dan karena itu memang perlu diturunkan, namun hal itu tidak mungkin dilaksanakan saat ini. Alasannya bermacam-macam. Pertama, suku bunga tinggi itu saat ini diperlukan untuk mendinginkan perekonomian yang menurut BI over-heated. Suku bunga tinggi justru mencegah, setidaknya membatasi, berbagai kalangan pengusaha untuk meminjam. Kredit di bidang properti umpamanya, perlu dibatasi. Kedua, suku bunga tinggi diperlukan saat ini untuk mencegah uang lari ke luar negeri, bahkan untuk menarik uang ke dalam negeri sehingga bisa memperkuat posisi neraca pembayaran kita yang terancam oleh defisit neraca berjalan. Ketiga, suku bunga tidak mungkin diturunkan selama tingkat inflasi masih tinggi. Keempat, bank-bank sulit menurunkan tingkat suku bunga karena birokrasinya kurang efisien, karena biaya operasi yang tinggi, karena tingkat premium risiko yang tinggi sebagai upaya berjaga-jaga terhadap kemungkinan kredit macet, dan juga karena kredit macet yang telah terjadi. Kelima, turunnya suku bunga dikhawatirkan memanaskan suku perekonomian dan memicu inflasi sebagai akibat meningkatnya
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
65
jumlah uang beredar dan permintaan agregat. Pandangan ketiga menolak gagasan Habibie, karena alasan teoritis dari sudut pandang ekonomi. Pertama, tesis bahwa suku bunga akan menurunkan inflasi dianggap tidak sesuai dengan teori ekonomi yang lazim, karena yang biasanya dimengerti adalah bahwa tingkat inflasi mempengaruhi suku bunga. Kedua, cara menurunkan tingkat suku bunga secara zig zag dianggap berbahaya, karena menimbulkan ketidakpastian yang bersumber dari kebijaksanaan suku bunga yang selalu berubah. Dan ketiga, anggapan bahwa Bank Indonesia bisa menentukan suku bunga ditolak, karena keterbatasan instrumen yang dikuasainya, dan sebaliknya kekuatan pasarlah yang dianggap lebih menentukan. Pandangan Habibie memang lain dan tidak konvensional. Misalnya, tentang pandangan yang bertentangan dengan logika konvensional. Ia berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman historis-empiris di berbagai negara maju, khususnya Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, dan Jepang diperoleh rumus bahwa tingkat inflasi berkorelasi positif dengan tingkat suku bunga. Seandainya tingkat suku bunga yang berlaku 14% umpamanya, maka tingkat inflasi adalah sebesar setengah dari tingkat suku bunga ditambah suatu delta, misalnya dua atau tiga, berdasarkan pengalaman empiris. Dalam hal tingkat suku bunga seperti di atas, maka tingkat inflasi kira-kira adalah (0,5 x 14) + 3 = 10, yakni 10%. Sebaliknya, jika sekarang ini diketahui bahwa tingkat inflasi adalah 7,4%, dan delta 3, maka suku bunga seharusnya adalah 2 (7,4 - 3) x % = 8,8%. Masalahnya adalah, apakah pengalaman negara-negara industri maju tersebut bisa berlaku di Indonesia? Para pengkritiknya akan mengatakan bahwa rumus semacam itu harus didasarkan pada pengalaman empiris Indonesia dan negara-negara serupa sebagai negara sedang berkembang. Usulan Habibie itu bisa ditanggapi secara praktis dengan langkahlangkah konkret, umpamanya saja melalui kepeloporan bank-bank pemerintah dengan menurunkan suku bunga deposito dan tabungan dengan harapan langkah tersebut diikuti oleh bank-bank swasta. Salah satu dampak yang diharapkan oleh Habibie adalah bahwa bank-bank akan berusaha menurunkan suku bunga pinjaman dengan cara meningkatkan efisiensi dan mengurangi tingkat laba bank. Demikian pula dengan turunnya suku bunga deposito, maka pemilik uang, khususnya perusahaan dan lembaga akan cenderung untuk memutarkan uangnya sendiri atau membeli saham di pasar modal. Habibie memang
66
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
mempunyai tesis bahwa dengan turunnya suku bunga bank, pasar modal akan bisa lebih bergairah. Untuk mencegah larinya modal ke luar negeri atau untuk menarik modal ke Indonesia, instrumen insentif suku bunga tidak perlu dipakai. Pemerintah hendaknya lebih mengutamakan perbaikan iklim investasi, misalnya melakukan debirokratisasi dalam penanaman modal, mengurangi korupsi dan kolusi, menyediakan prasarana fisik dan mengembangkan mutu sumber daya manusia.
Penutup Sebagai kesimpulan dapat dikatakan di sini bahwa wawasan pembangunan Habibie mencoba untuk memberi jalan keluar terhadap salah satu persoalan pembangunan yang sangat mendasar, yakni disatu pihak melepaskan diri dari ketergantungan teknologi kepada negaranegara industri maju, di lain pihak guna meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia. Jalan keluar itu adalah melakukan proses transformasi industri dan teknologi, melalui evolusi yang dipercepat. Hanya saja perlu disadari konsekuensi biayanya, karena dana pembangunan merupakan kendala yang nyata. Selain itu, perlu diingat, tuntutan tentang perlunya diciptakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas, mengingat makin besamya jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan yang mampu memberikan imbalan lebih tinggi. Di sini sering terkesan bahwa penggunaan teknologi lebih canggih cenderung untuk menghemat tenaga kerja. Padahal, penggunaan teknologi lebih canggih dapat pula menimbulkan konsekuensi timbulnya proses-proses lain yang membutuhkan tenaga kerja. Hanya saja industri tersebut harus bersedia untuk mengalihkan sebagian proses-prosesnya kepada industri menengah dan kecil. Industri-industri tersebut diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Mengingat kendala dana tersebut di atas, timbul pertanyaan, siapa yang akan mendanai program transformasi dan pendalaman struktur industri tersebut? Jawabnya, adalah industri-industri yang dewasa ini telah berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Di satu pihak, industri-industri tersebut mudah lepas, sebab tidak mengakar pada kemampuan teknologi dan sumber daya manusia karena itu rawan terhadap perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik di dalam maupun di luar negeri. Lagi pula hal itu cenderung mengeksploitasi
M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie
67
tenaga buruh dan sumber daya alam sehingga menimbulkan kerawanan sosial dan ancaman terhadap lingkungan hidup. Tetapi di lain pihak industri tersebut dalam kenyataannya merupakan sumber dana pemerintah melalui pajak dan sumber dana devisa. Industriindustri tersebut sebenarnya telah membiayai program pendalaman struktur industri serta program transformasi industri dan teknologi, sebelum program tersebut mampu menghasilkan industri-industri yang menciptakan nilai tambah yang tinggi dan mengurangi ketergantungan teknologi. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa industri padat karya dan resource-based itu masih tetap dibutuhkan, walaupun dengan risiko cukup tinggi, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Sumitro dan Prof. Subroto, karena industri-industri tersebut memiliki keuntungan komparatif. Dalam kenyataannya yang berlaku berdasarkan GBHN, bukan hanya Widjojonomics, Habibienomics atau Mubyartonomics . Di bidang industri, yang berlaku bukan hanya prinsip keuntungan komparatif dalam menentukan alokasi sumber daya dalam investasi, melainkan juga strategi pendalaman industri dan strategi pencapaian keunggulan kompetitif dengan industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi saja. Semuanya diakomodasikan dalam GBHN yang membentuk apa yang disebut Soehartonomics. Berbagai konsep strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasi tersebut di atas memang saling berkompetisi dan menimbulkan mekanisme trade-off. Semua itu perlu diuji dengan kriteria-kriteria keberhasilan dalam jangka pendek maupun panjang. Kriteria tersebut sering menampakkan diri sebagai kendala-kendala, misalnya tuntutan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan efisiensi perusahaan serta ekonomi nasional. Namun ketiga konsepsi pembangunan tersebut di atas bisa pula dipadukan demi untuk menjamin berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan, berkurangnya ketergantungan dan meningkatnya kemandirian teknologi, dan meningkatnya daya saing di pasar dunia, terutama dalam menghadapi era pasar bebas, memasuki abad ke-2l.
***
Telaah 68
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
MEMAHAMI PIKIRAN AP AN PIKIRAN,, UC UCAP APAN AN,, DAN TIND AKAN BUN G HA TT A TINDAKAN BUNG HATT TTA (WAKIL PRESIDEN RI 1 945 – 1 956, 19 1956, 948 – 1 950) PERD AN A MENTERI RIS 1 ANA 19 1950) PERDAN
Junarto Imam Prakoso
Realitas bangsa ter jajah menyebabkan Muhammad Hatta mengorbankan kesenangan masa muda. Sesungguhnya kemapanan ekonomi keluarga dan kesempatan mengenyam perguruan tinggi di perantauan membuka jalan baginya menduduki jabatan-jabatan terpandang di Hindia Belanda. Akan tetapi, Hatta yang menyaksikan eksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara memutuskan mengabdikan diri dalam kegiatan politik. Pilihan ini jelas di luar kebiasaan muda-mudi di Eropa. Lazimnya muda-mudi Inggris, Perancis, dan Belanda memperguna belia mereka sepenuhnya — sebagaimana layaknya muda-mudi kita sekarang. Lingkungan memang membentuk figur Muhammad Hatta. Meskipun begitu, mustahil ia berjaya memandu revolusi bersama-sama Sukarno dan Sutan Syahrir tanpa kecemerlangan yang melekat pada dirinya. Pikiran-pikiran yang kritis, tajam, dan melampaui zamannya ia buahkan semenjak sekolah menengah dan semakin matang ketika kuliah.
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
69
Ia tidak saja mengkritik penjajahan secara konsisten, tapi juga mempunyai wawasan tentang Indonesia yang merdeka di masa depan. Padahal kala itu jangankan gagasan tentang kemerdekaan, penamaan “Indonesia” saja — sebagai terminologi baru yang menggantikan “Hindia Belanda” — kedengaran absurd, bahkan provokatif, terutama bagi para kolonialis. Bagi mereka, Hindia Belanda adalah realitas akhir yang harus diterima semua. Apalagi konsep “Indonesia” secara geografis sebenarnya menunjuk wilayah yang lebih luas daripada Hindia Belanda. Di antaranya mencakup Singapura, Malaya, Filipina, dan Madagaskar. Boleh dibilang, menurut mereka, kedua istilah itu pada dasarnya tidak sinonim. Selain itu dalam pandangan mereka, gagasan “Indonesia” mengandung maksud pemisahan koloni dari Kerajaan Belanda. Di sinilah para kolonialis menganggap istilah ‘Indonesia’ sebagai ide pemberontakan, atau pengkhianatan. Tentu saja, itu lantaran bertentangan dengan kepentingan imperialisme mereka. Akan tetapi, bagi Hatta, ‘Indonesia’ adalah realitas politik. Beberapa tahun setelah dipakai secara formal oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922, gagasan ‘Indonesia’ menjadi populer. Pergerakan-pergerakan kebangsaan maupun surat-surat kabar lokal cenderung menggunakan ‘Indonesia’ alih-alih ‘Hindia Belanda’ dalam kegiatan mereka. Kongres Pemuda yang melahirkan ‘Sumpah Pemuda’ terang-terangan mengidentifikasikan ‘Indonesia’ sebagai tanah air, bangsa, dan bahasa. Bahkan dalam pengamatan Hatta, gambaran tentang Indonesia merdeka “sudah tertanam dalam benak rakyat yang miskin dan buta huruf sekalipun.” Hatta berargumen bahwa penamaan suatu negara tidak melulu merujuk pengertian-pengertian geografis ataupun etnologis, melainkan juga kemauan suka rela penduduk yang mendiami suatu wilayah berdasarkan sebab yang logis, misalnya kesadaran kolektif akan ketidakadilan dan kejahatan imperialisme negara asing. Kolonisasi dan imperialisme atas kepulauan Nusantara dan eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung ratusan tahun merupakan tambang emas yang berlimpah bagi Belanda untuk memakmurkan rakyat dan membangun infraktruktur di negerinya secara modern dan megah. Sementara itu penduduk yang sesungguhnya pemilik kekayaan itu dibiarkan terjerembab dalam jurang kemiskinan dan kebodohan. Dalam perhitungan Hatta, Belanda mengeruk keuntungan ekonomi sampai miliaran florin dengan penguasaan tanah dan
70
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
perbudakan modern: tenaga bumiputera berpendidikan rendah dipaksa bekerja dengan upah semurah-murahnya, kalau perlu anak di bawah umur dipekerjakan. Penghasilan per kapita pribumi per tahun pada tahun 1926 seperduaratus orang Belanda, tapi mereka diharuskan membayar pajak dengan kadar yang sama. Tingkat buta huruf penduduk Indonesia hanya 93 peratus. Anggaran pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda kepada puluhan juta pribumi 32 sen per kepala sedangkan untuk ratusan ribu orang Eropa disediakan 75 florin per orang atau lebih 200 kali lipatnya. Demi melanggengkan penjajahan, Belanda tidak saja menerapkan kebijakan pembodohan terhadap rakyat secara terang, tapi juga memperlemah pergerakan kebangsaan. Belanda menanamkan sugesti kepada rakyat bahwa “bumiputera tidak cakap memimpin, mengambil inisiatif, dan sudah sepantasnya bekerja di bawah kepemimpinan Belanda.” Kepada dunia, Belanda mempropagandakan bahwa “tidak ada bangsa Indonesia, yang sebenarnya ada adalah Hindia Belanda terdiri dari kumpulan suku bangsa yang beragam ras dan agama.” Hatta sendiri tidak menafikan bahwa keberagaman suku Nusantara merupakan tantangan bagi pencapaian Indonesia yang bersatu. Kultur agraris yang mempengaruhi cara berpikir beragam suku ini bisa menghambat pembentukan nasionalisme lantaran ia mengikat para petani secara emosional dengan tanah garapan mereka, dengan kampung kelahiran mereka, sehingga menciptakan semangat kedaerahan. Di sinilah Hatta menyerukan pemahaman akan cakrawala baru, yaitu bahwa keinginan bersatu dalam lingkaran komunitas kebangsaan adalah citacita politik yang menjadi propaganda perjuangan dan menggantikan lingkaran komunitas kedaerahan yang lebih sempit — tanpa melepaskan ikatan adat masing-masing. Setiap etnis menanggalkan superioritas kedaerahan dan bersatu dalam kepemilikan tanah air yang sama, Indonesia, meskipun bukan berada di kampung halaman mereka. Belanda yang melihat gairah kemerdekaan sebagai racun yang berbahaya menawarkan gagasan ‘persekutuan dengan Belanda dengan persamaan hak dan kewajiban.’ Namun begitu, Hatta berpendapat bahwa tawaran itu pada dasarnya mengaburkan kenyataan tentang pertentangan kepentingan dan ras yang biasa berlaku pada sistem kolonial. Oleh sebab itu bagi Hatta, kemerdekaan adalah satu-satunya jalan bagi pembebasan secara menyeluruh. Ketika pemerintah kolonial mendirikan Volksraad, atau Dewan
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
71
Rakyat, sebagian penggiat pergerakan menganggap bahwa pendirian itu adalah salah satu langkah damai menuju kemerdekaan. Mereka berpendapat, kenyataannya Belandalah yang menguasai dan memerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itu hanya dari Belanda pulalah kemerdekaan Indonesia akan dapat diperoleh. Namun berprinsip lain, Hatta menganggap Volksraad sebagai dewan jajahan yang melegalisasikan kolonisasi Belanda. Pada dasarnya Volksraad sendiri tidak lebih daripada dagelan dengan wewenang yang nihil karena kekuasaan politik yang sesungguhnya berada di tangan gubernur Hindia Belanda.
NONKOOPERATIF Ketidakpercayaan akan adanya itikad baik pemerintah Hindia Belanda membuat Hatta memutuskan bersikap nonkooperatif. Politik nonkooperatif diambil dengan pertimbangan bahwa cara ini bakal menumbuhkan kepercayaan diri dan kesadaran politik di kalangan penggiat. Politik nonkooperatif menolak bekerja sama, dalam arti tidak bersedia duduk dalam lembaga-lembaga politik bentukan pemerintah Hindia Belanda. Ia ingin Indonesia mandiri dengan kekuatan sendiri. Sebab, menurutnya kekuasaan politik Belanda mustahil digantikan oleh bumiputera karena itu sama saja dengan melikuidasi kekuasaan mereka. Lagipula badan-badan pemerintahan tidak bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan sekedar membenarkan kebijakan pemerintah. Badan ini dibentuk pemerintah kolonial sebagai politik tawar agar bumiputera “tidak menimbulkan keonaran.” Itulah sebab, bekerja sama dengan penjajah, bagi Hatta, adalah menipu diri sendiri karena terdapat pertentangan yang tajam antara penjajah dan terjajah yang sukar dikompromikan. Namun demikian, ketika masih menjadi mahasiswa di Negeri Belanda, Hatta pernah menganggap wajar tawaran partai kiri Belanda untuk menjadi wakil mereka di Tweede Karmer, parlemen negara itu. Tawaran ini sempat menjadi isu nasional dan Hatta mendapat sasaran kritik dari para penggiat pergerakan Indonesia berhaluan nonkoorperatif lain. Sukarno, misalnya, menganggap Hatta tidak taat asas dengan prinsipnya. Tapi Hatta berargumen bahwa duduk dalam parlemen Belanda Tweede Karmer bukanlah pengkhianatan terhadap asas perjuangan nonkooperatif lantaran kedudukan Tweede Karmer secara politik sejajar dengan pemerintahan Belanda. Suara mereka didengar, bisa menentang, bahkan bisa menjatuhkan pemerintahan. Di sini, kata
72
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Hatta, bisa saja tokoh-tokoh Indonesia duduk dalam Tweede Karmer dan menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia yang menolak kolonialisme dan imperialisme Belanda. Tapi Hatta sendiri tak pernah bergabung dengan Tweede Karmer karena menganggap bahwa tempatnya yang paling layak adalah di tengah rakyat Indonesia.
STRATEGI HATTA PADA ERA JEPANG Pemerintah Hindia Belanda sendiri akhirnya jatuh dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942. Jepang menyadari bahwa guna memobilisasi rakyat, mereka perlu mendapatkan dukungan tokohtokoh pergerakan nasional. Oleh karena itu, Jepang meminta Soekarno, Hatta, dan Sjahrir bekerja sama. Kerja sama ini dikecam keras tokohtokoh muda pergerakan kala itu. Tan Malaka, umpamanya, menulis, “Lantaran sikap Hatta dan rekan-rekannya, beras, berlian, serdadu dan wanita Indonesia, jatuh ke dalam cengkeraman imperialis Jepang.” 1 Meskipun demikian, pendapat lain menyebutkan bahwa pilihan Hatta bekerja sama dengan Jepang hanyalah sebuah cara dan strategi. “Hatta dan Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan memakai strategistrategi yang bersikap saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang. Hatta akan bekerjasama dengan pihak Jepang, berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka, dan memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia.2 Pendapat itu terbukti kemudian, yaitu ketika Soekarno — yang tidak tertarik perbedaan teoritis antara fasisme dan dengan demokrasi serta menganggap perang dunia saat itu sebagai pertarungan dua macam imperialisme — bergabung dengan Hatta, mendesak Jepang yang enggan supaya membentuk organisasi massa di bawah kepemimpinan mereka.3 Sejarah mencatat bahwa bekerjasama dengan Jepang adalah satusatunya pilihan yang mungkin untuk mencapai kemerdekaan pada saat itu. Jepang cepat atau lambat akan kalah perang karena kekuatan militer dan ekonomi mereka takkan mampu menandingi Sekutu. Hikmahnya adalah pada pendudukan Jepang pergerakan kemerdekaan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya. Di bawah kekuasaan Jepang itu rakyat berkesempatan belajar mengorganisasikan diri, menumbuhkan kebangsaan, dan belajar ketentaraan. “Penjepangan” memang berlaku di pelbagai bidang, tapi itu juga diikuti “pengindonesiaan.” Bendera 1. Harry A. Poeze, “Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik,” l999: 298. 2. Ricklefs, M.C., ”Sejarah Indonesia Modern,” l992: 30. 3. Rickles, M.C., ibid..
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
73
merah putih dikibarkan berdampingan dengan bendera matahari, begitu juga, bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dipakai secara formal dalam pemerintahan. Pada era pendudukan Jepang inilah paham kebangsaan Indonesia terlembagakan secara massif. Biaya sosialnya teramat-sangat mahal jika diukur dari materi dan nyawa, namun strategi ini terbukti efektif. Aparat Hindia Belanda yang memboncengi Sekutu dan hendak memulihkan kekuasaan di tanah jajahannya itu tersentak kaget karena tak ada bumiputera yang menyambut mereka dengan sorak-sorai sebagai Sang Pembebas sebagaimana Inggris ketika memasuki Burma. Belanda menemukan kenyataan bahwa para pemimpin negeri yang lima tahun lalu dipandang tak bakal mampu mengorganisasikan pemerintahan secara efektif, ternyata didengar inlander secara patuh. Kejutan lainnya adalah rakyat Hindia Belanda yang dahulu membungkuk di depan Tuan Putih mereka kini berdiri tegak dengan balatentara yang siap melawan: Pembela Tanah Air. Ini berkah tersembunyi penjajahan Jepang. Pengakuan atas Indonesia tidak serta-merta didapat. Negara-negara adikuasa pemenang perang hanya mengenali kekuasaan Belanda atas wilayah Hindia Belanda sebelum Jepang. Hatta percaya bahwa pengakuan politik antarbangsa atas kemerdekaan haruslah didapat dengan menunjukkan eksistensi Indonesia yang bersatu secara teratur dan damai. Beberapa perundingan dengan Belanda merugikan jika dilihat dari luas wilayah Republik. Hatta sebagai pribadi mengkritik konsesikonsesinya, tapi sebagai negarawan ia tidak menolak kesepakatan itu sebagai program kabinetnya. Bagi Hatta, meskipun seandainya seluruh wilayah dikuasai Belanda, Republik tetap maujud jika menerima pengakuan Dewan Keamanan dan dunia internasional secara de jure. Kepercayaan bahwa kemenangan melalui jalur diplomasi ini akhirnya berbuah justru karena kebodohan Belanda melanggar perundinganperundingan yang sebenarnya menguntungkan mereka sendiri. Kemerdekaan Indonesia akhirnya diakui dunia pada tahun 1949 dalam bentuk Republik Indonesia Serikat. Hatta juga menempuh jalur konstitusional ketika tuntutan pembubaran negara serikat menggema di jalan-jalan.
MENOLAK DEMOKRASI TERPIMPIN Pasca kekuasaan Belanda adalah konsolidasi sosial-politik, di antaranya mengukuhkan dasar-dasar pembentukan negara Indonesia
74
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
yang demokratis. Dalam konteks ini Hatta berpendapat hendaknya Indonesia menganut demokrasi kolektif, bukan individualisme sebagaimana Revolusi Perancis. Menurut Hatta, Revolusi Perancis berhasil dalam politik, yaitu persamaan hak-hak politik seperti memilih dan dipilih dalam dewan perwakilan rakyat. Akan tetapi, ia gagal atau sama sekali mengabaikan demokrasi ekonomi. Kapitalisme pasca revolusi yang menggantikan feodalisme justru menggurita dan menginjak kelompok ekonomi lemah sehingga melenyapkan persaudaraan. Pada struktur kapitalisme yang baru ini mungkin saja terjadi seorang buruh hanya terjamin ketika ia kuat dan dapat bekerja, sedangkan jika sudah tua dan sakit-sakitan, ia ditelantarkan pengusaha. Dalam pandangan Hatta, demokrasi politik an sich semacam ini tidak sesuai dengan perjuangan Indonesia. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi sama saja penjajahan, padahal cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, yaitu keadilan sosial yang meliputi segala milieu. Sayangnya justru pada pasca pengakuan kedaulatan, mengemukalah sederetan persoalan dalam pelaksanaan demokrasi politik-ekonomi. Setelah penyelenggaraan pemilihan umum 1955, Indonesia boleh dibilang menerapkan demokrasi parlemen yang — untuk konteks dalam negeri saat itu — lemah dan tak stabil secara politik. Hatta beranggapan bahwa seharusnya sistem pemerintahan yang dipakai adalah presidensiil, yang kuat, dan stabil lantaran pondasi politik Indonesia yang berada dalam periode transisional belum matang. Ia memberi contoh bahwa semenjak proklamasi sampai perundingan Renville, Indonesia mejajaki pemerintahan parlementer, namun tidak stabil dan menuju perpecahan politik sehingga pada pasca perundingan Renville Indonesia memilih presidensiil yang kuat. Menurutnya, konsepsi akan dominasi dwitunggal Soekarno-Hatta kala itu bukanlah sekadar mitos yang dibuat-buat, melainkan realitas yang menuntut keberadaan dwitunggal demi kepaduan politik. Indonesia telah memasuki ultrademokrasi, demikian ia menyebut era liberal itu, keprematuran sistem membuat kabinet jatuh-bangun silih berganti, sedangkan program perbaikan ekonomi belum berjalan. Dalam konteks ini Sukarno memandang bahwa demokrasi Barat yang sangat bebas itu mengancam revolusi nasional yang belum selesai, yaitu adil makmur. Oleh karena itu dalam pandangan Sukarno, demokrasi yang sesungguhnya bagi Indonesia adalah demokrasi bergotong royong
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
75
sebagaimana karakter masyarakat Indonesia yang asli. Ia sendiri akan memandu demokrasi yang ia sebut ‘Demokrasi Terpimpin’ itu. Dengan konsepsi ini, Sukarno membubarkan parlemen dan memilih anggota parlemen menurut penafsiran sendiri dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang sesungguhnya tidak lebih daripada peran seorang diktaktor. Hatta menolak pemahaman Sukarno bahwa “revolusi belum selesai.” Menurut Hatta, jika berjalan terlalu lama, revolusi akan menghancurkan sendi-sendi kenegaraan dan dimanfaatkan oleh anasir-anasir guna mengambil keuntungan dari situasi itu. Revolusi berjalan sebentar saja, tapi konsolidasi yang revolusioner — yang ia artikan sebagai “teguh pendirian” — memang bisa berjalan puluhan tahun. Hatta menganjurkan para pro-demokrasi agar bersabar, dan memberikan waktu yang layak atau ‘fair chance’ kepada Sukarno untuk mengejawantahkan fantasifantasinya itu. Hatta sendiri melihat kondisi yang lebih nyata seumpama infrastruktur yang rusak, kebutuhan ekonomi rakyat yang belum tercukupi, inflasi yang meninggi, dan kemerosotan taraf hidup rakyat. Ukuran obyektif yang dipatok Hatta adalah sampai sejauh mana Sukarno mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Tujuan Sukarno baik, kata Hatta, tapi langkah-langkah yang ia ambil kerap menjauhkannya dari tujuannya. Ia memperkirakan, sistem yang dibangun Sukarno tidak akan lebih panjang daripada usia Sukarno sendiri. Hatta kemudian mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Keputusan ini tidak mulus karena pelbagai kalangan berusaha mencegahnya. Bahkan Soekarno pun tidak menghendaki Hatta memilih jalan ini. Ia meminta Rahmi Hatta mempengaruhi suaminya agar membatalkan niatnya, tetapi Hatta tampaknya sudah berketetapan hati menjadi rakyat biasa kembali. Meskipun begitu, setelah tidak berada dalam pemerintahan, Hatta tetap menganggap Soekarno sebagai kawan baik. Di tengah pesimisme, Hatta yakin demokrasi tidak lenyap di Indonesia lantaran kudeta Sukarno. Sebab, demokrasi adalah nilai asli dalam masyarakat Indonesia. Berbeda dengan tanah di Barat yang pada era feodal dikuasai bangsawan, di Indonesia tanah adalah milik warga desa, sehingga kolektivisme — musyawarah — berkembang di desa. Orang tidak saja bergotong royong mendirikan infrakstruktur publik, melainkan juga bersama-sama membangun kepemilikan privat seperti rumah, mengerjakan sawah. Kekuasaan raja, sultan, bangsawan boleh saja
76
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
menindas, tapi kultur demokratis masyarakat desa tidak dapat lenyap. Hatta meyakini bahwa justru karena demokrasi hilang sementara, orang akan menyadari bahwa ia barang yang berharga. “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah mengalami cobaan pahit, ia akan muncul dengan penuh keinsafatan,” katanya. Ramalan Hatta tentang kembalinya demokrasi ke Indonesia baru terbukti jauh setelah kejatuhan Sukarno. Demokrasi kembali dengan redefinisi untuk konteks Indonesia kekinian, sebagai sintesis antara gagasan akan dominasi kekuasaan parlemen dengan dominasi kekuasaan kepala pemerintahan. Namun demikian masih jauh dari cita-cita Hatta, demokrasi yang datang ini masih bersosok politik, sedangkan demokrasi ekonomi sendiri masih jauh dalam wujudnya. Pada kekuasaan pasca Sukarno, demokrasi tidak lebih baik dari sebelumnya: demokrasi politik dikebiri sedangkan ekonomi dikuasai para kroni. Lantaran ketidakadilan politik-ekonomi, pergolakan politik di daerah — separatisme — terjadi di beberapa wilayah di tanah air, mirip era 50-an ketika Hatta berkuasa. Jauh pula dari ekonomi kolektif yang diangan-angankan Hatta, kekayaan alam dikuasai ekonomi kapitalisme lokal dan internasional yang individualis, angkuh, dan zalim, sedangkan rakyat sendiri mendapatkan bagian sedikit saja. Kekhawatiran Hatta bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi sama saja dengan penindasan benar-benar menjadi kenyataan.
PENGGAGAS PASAL 33 UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Sebagai pemikir yang tajam dan berwawasan ke depan, Hatta tidak bisa dipisahkan dengan gagasan demokrasi ekonomi dan ekonomi kerakyatan yang mendasari pasal-pasal penting dalam Undang-undang Dasar 1945. Hatta mengakui bahwa gagasan-gagasan untuk menumbuhkan kekuatan ekonomi rakyat itu sudah ia utarakan dalam pleidoi di depan pengadilan Den Haag, Belanda pada tanggal 9 Maret l928, khususnya pasal-pasal ekonomi yang menjadi pegangan Perhimpunan Indonesia, yaitu: 1. Memajukan koperasi pertanian dan bank-bank. 2. Memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi. 3. Penghapusan sistem pajak bumi. 4. Penghapusan tanah partikulir dalam waktu dekat. 5. Pengaturan kewajiban membayar pajak yang adil dengan
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
77
membebaskan petani-petani yang memiliki tanah yang kurang dari setengah bahu dari pembayaran pajak.4 Menurut Syahrir, lima pasal ini, jelas sekali adanya kehendak menggerakkan kekuatan ekonomi rakyat dengan lembaga koperasi sebagai badan usaha yang harus diutamakan. Bandingkanlah dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dalam teks aslinya. Ayat 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama beradasarkan atas asas kekeluargaan. Ayat 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Ayat 3 Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran negara. Pemuda Hatta yang mempunyai gagasan atau pemikiran yang progresif adalah pemuda Hatta yang juga turut menyusun Undangundang Dasar l945. Klaim Bung Hatta bahwa dialah yang memasukkan pasal tersebut dalam undang-undang dasar tak terbantahkan.5 Sayangnya, idealisme Bung Hatta tidak pernah didukung sistem politik yang mendasari kebijakan ekonomi, baik pada pemerintahan Soekarno maupun Soeharto.
HATTA SEBAGAI BAPAK KOPERASI Hatta dikukuhkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) di Bandung Juli l953. Gagasan koperasi memang dimasukkan Bung Hatta dalam pasal 33 UUD 45. Hatta tertarik pada koperasi setelah menyaksikan keberhasilan usaha ini di negaranegara Skandinavia yang ia kunjungi, khususnya Denmark pada tahun l930-an. Dengan demikian, Bung Hatta sebenarnya hanya meneruskan 4. Syahrir, “Ideologi Hatta Ideal, Tetapi Masih Relevankah,” Kompas, 9/8/02. 5. Syahrir, ibid..
78
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Walaupun Bung Hatta sering mengaitkan koperasi dengan nilai lembaga tradisional gotong-royong, ia mempersepsikan koperasi sebagai sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Oleh karena itu, ia pernah membedakan antara “koperasi sosial” yang berdasarkan gotong royong dengan “koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetatif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukan lembaga yang antipasar dan nonpasar dalam masyarakat tradisional. Dalam pandangannya, koperasi adalah lembaga self help; lapisan masyarakat lemah atau rakyat kecil bisa mengendalikan pasar melaluinya. Oleh sebab itu, koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar dengan menerapkan sistem efisiensi.6
KONSEP KENEGARAAN HATTA Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya yang berjudul “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante l956-l959,” menemukan sejumlah langkah yang memperlihatkan keterlibatan Hatta dalam mendekatkan cita-cita menuju negara demokrasi konstitusional itu, yaitu mengeluarkan: (1) Maklumat X 16 Oktober l945 yang melepaskan penumpukan kekuasaan MPR dan DPR di tangan presiden yang memgang kendali eksekutif, kelembagaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). (2) Manifesto Politik 1 November yang berisi asas-asas dasar negara yang telah disetujui Badan Pekerja KNIP. (3) Maklumat 3 November l945 tentang seruan pembentukan partaipartai politik. (4) Dekrit Pemerintah 14 November l945 tentang pembentukan Kabinet Parlementer. (5) Janji melaksanakan pemilihan umum. Hatta juga secara realistis telah melihat bahwa wilayah Indonesia adalah eks-Hindia Belanda. Sementara itu sebagian pemimpin Indonesia masih beromantika ke masa lalu ketika Nusantara berjaya. Pandangan Hatta yang realistis ini bertentangan dengan pandangan Soekarno dan Muhammad Yamin yang bagi Hatta, sama saja dengan praktik imperialisme yang bertahun-tahun justru mereka tentang. Paling tidak jejak pemikiran Hatta yang tertuang dalam Undangundang Dasar l945 mencakup tiga hal. Pertama, dalam naskah 6. Dawan Rahardjo, ”Apa Kabar Koperasi Indonesia,” Kompas, 9 /8/02.
Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan
79
Mukaddimah. Kedua, pada pasal-pasal yang menyangkut hak-hak warganegara yang meliputi pasal 26, pasal 27, dan pasal 28. Ketiga, yang berkaitan dengan jaminan negara atas kesejahteraan rakyat (demokrasi ekonomi) yang meliputi pasal 33 dan 34. Keempat, kepiawaian Hatta mempengaruhi tokoh-tokoh Islam agar mencabut tujuh kata bersyarat dalam naskah Pembukaan Undang-undang Dasar l945 yang semula berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” menjadi kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Adnan Buyung Nasution, dalam hal ini Hatta memiliki pertimbangan objektif dan subjektif . Pertimbangan objektifnya, beberapa wilayah Indonesia yang bukan basis Islam tidak akan bersedia menggabungkan diri ke wilayah Indonesia. Sementara itu pertimbangan subjektifnya, penghayatan Hatta yang mendalam akan hakikat demokrasi selama ia tinggal di Eropa, yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi yang terpisah dari campur tangan negara. Pencatuman kata syariat Islam juga menunjukkan sikap diskriminatif terhadap golongan minoritas yang bukan Muslim. Dalam “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar l945 yang disusun Muhammad Yamin dan risalah “Sidang BPUPKI dan PPKI” terbitan Sekretariat Negara, terlihat pemikiran-pemikiran Hatta yang rasional saat pembahasan mengenai Undang-Undang Dasar l945, khususnya mengenai kekuasaan yang harus dibatasi sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional. Menurut Adnan, Hatta telah memberikan sumbangsih bagi eksistensi negara ini dengan pondasi negara demokrasi, dan juga praktik ketatanegaraan. Hatta telah melakukan terobosan konstitusi, bukan saja mengenai apa yang tertulis dan dirumuskan dalam pasal-pasalnya, melainkan juga aspirasi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan bernegara dan berbangsa yang dicita-citakan maupun yang dipraktikkan dalam kehidupan nyata.7
*** 7. Adnan Buyung Nasution, “Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD l945,” Kompas, 9/8/ 02. s
Telaah 80
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
SJ AHRIR D AN SJAHRIR DAN SOSIALISME INDONESIA (PERD AN A MENTERI, 1 4 NO VEMBER 1 945 – 26 (PERDAN ANA 14 NOVEMBER 19 JUNI 1 947) 19
Teguh Apriliyanto – Tata Mustasya
Setelah Soekarno dan Hatta, tokoh nasional paling berpengaruh menjelang dan selama masa pergolakan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan adalah Soetan Sjahrir. Berbeda dengan Soekarno dan Hatta yang cenderung lebih memilih untuk bekerjasama dengan pemerintahan fasis-imperialis Jepang sebagai salah satu taktik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, Sjahrir sebaliknya lebih memilih taktik non kooperasi dengan Negeri Matahari Terbit tersebut. Pemerintahan Jepang, bagi Sjahrir, tidak lebih baik dari pemerintahan kolonial-imperialis Belanda. Kritik pedas Sjahrir tersebut dengan jelas dapat dibaca pada surat-suratnya yang ditujukan kepada isterinya dari tempat pengasingan di Bandanaira, Pulau Banda Maluku tertanggal 28 Juni 1936.1 Dalam surat tersebut Sjahrir mengkritisi kehangatan hubungan antara para pejuang nasional kemerdekaan yang telah termakan propaganda 1 Ken’ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 435 – 438.
Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme
81
Jepang. Negeri ini selalu menggembar-gemborkan selaku pemimpin Asia sekaligus siap membebaskan bangsa-bangsa Asia dari cengkeraman imperalisme Barat dalam satu komunitas Asia Timur Raya. Di sisi lain, di dalam surat itu, Sjahrir justru telah mencium adanya gejala benihbenih imperalisme-fasisme bangsa Jepang yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan kolonialisme Belanda. Kekaguman sejumlah tokoh nasional kepada Jepang memang memiliki landasan objektif cukup kuat. Keberhasilan Jepang mengalahkan Rusia dalam Perang Jepang – Rusia pada 1908 mampu membangkitkan kepercayaan diri bangsa Asia lainnya. Mereka berpikir sesungguhnya tidak lebih inferior dibandingkan bangsa Barat. Secara ekonomi, Jepang juga menunjukkan kemajuan mengesankan. Selaku ekonom, selain tertarik dengan ide Pan-Asia yang dipropagandakan Jepang, Bung Hatta misalnya, juga tertarik secara ilmiah untuk mempelajari perkembangan ekonomi Jepang. Bertolak belakang dengan sikap Hatta, Sjahrir justru melihat adanya bahaya ancaman Jepang semakin nyata terlebih-lebih setelah Jepang mengumumkan kebijakan nanshin (teori ekspansi ke selatan), setelah sebelumnya berhasil membentuk negara boneka di Manchuria, Korea, Formosa, dan mengumumkan Perang Jepang-Tiongkok. Bagi Sjahrir yang begitu terpengaruh dengan nilai-nilai Barat baik dalam hal rasionalisme dan demokrasi, Jepang tidak lain adalah negara totaliter di Asia Timur yang sangat menonjol sifat ultra-nasionalismenya. Dalam konteks politik global, Sjahrir melihat adanya kecenderungan pertentangan antara totaliterisme dan demokrasi baik di Eropa yang diwakili Jerman dan di Asia yang diperlihatkan Jepang. Karena itu, Sjahrir berpendapat, untuk melindungi demokrasi, kalau perlu Indonesia untuk sementara waktu harus mengekang diri dalam menuntut kemerdekaan kepada Belanda yang ia nilai sebagai negara demokrasi, dan bersama-sama Belanda berdiri pada kaki yang sama melawan musuh. Posisi kritis Sjahrir terhadap Jepang tersebut, sangat penting bagi perjalanan kemerdekaan Indonesia ke depan. Setelah rakyat Indonesia yang diwakili atas nama Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, mengakibatkan munculnya sejumlah pilihan-pilihan sulit bagi para tokoh nasional saat itu. Ini disebabkan karena adanya penentangan terhadap sejumlah tokoh yang sebelumnya dikenal melakukan kerjasama erat dengan Jepang.
82
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Selain itu, ada faktor lain yang lebih menyulitkan bagi Republik Indonesia yang baru lahir tersebut. Belanda dan para sekutu Baratnya tidak mengakui keberadaan RI. Hal ini semakin dipertegas dengan kedatangan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang yang selanjutnya diikuti tentara Belanda. Karena Soekarno-Hatta yang sebelumnya dianggap telah melakukan kerjasama dengan pemerintah Jepang, maka selanjutnya kekuasaan pemerintahan diserahterimakan ke Sjahrir yang konsisten melakukan perlawanan di bawah tanah pada masa fasis Jepang pada Oktober 1945. Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri mulai November 1945 dan terus bertahan sampai Juni 1947. Bersama-sama dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir bahu membahu berjuang menyelamatkan nyawa RI yang masih ‘bayi’ tersebut melalui serangkaian perjanjian alot dengan Belanda.2 Mereka mendesak Belanda beserta para sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat, untuk konsisten dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, sebagai negara penegak semangat dan nilai-nilai demokrasi agar secara konsisten mengakui keberadaan kemerdekaan Republik Indonesia. Di era genting seperti inilah, jiwa kenegarawanan Sjahrir tampak. Ia membuktikan dirinya tidak hanya sebagai salah satu tokoh nasional tetapi sekaligus seorang demokrat karena telah mengijinkan terbentuknya partai-partai politik baru. Kebijakan Sjahrir tersebut sekaligus mengakhiri keinginan aspirasi sebagian tokoh nasional, diantaranya Soekarno yang lebih condong untuk membentuk sebuah partai tunggal. Gagasan Sjahrir tersebut selanjutnya dituangkan oleh para pemimpin pemerintahan waktu itu, dan dikenal dengan ‘Manifesto Politik November 1945’. Keputusan politik ini selanjutnya disahkan oleh Badan Pekerja Panitia Nasional Pusat atau Parlemen dan ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta sekaligus disiarkan pada lembaran berita negara pada 1 November 1945.3 Di dalam manifesto tersebut ditegaskan, Belanda secara moral tidak berhak untuk kembali ke Indonesia karena telah menyerahkan Indonesia pada 9 Maret 1942 kepada Jepang tanpa perlawanan. Kondisi Indonesia di bawah pemerintahan Jepang justru tidak lebih baik dan bertentangan dengan propaganda yang telah digembar-gemborkan Jepang 2 Herbert Feith dan Lance Castles. (edts.). Pemikiran Politik Indonesia. 1945 – 1965. Jakarta. LP3ES: 2. 3 Manifesto Politik November 1945. 1963. Illustration od the Indonesia Revolution. Jakarta. Departemen Penerangan.
Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme
83
sebelumnya. Rakyat jelata diperbudak dengan kerja paksa. Hasil bumi dirampas dan kaum terpelajar dipaksa berdusta dan menipu di bawah genggaman militerisme. Semua kekejaman dan kekerasan penjajahan Jepang tersebut justru membuat rakyat dan bangsa Indonesia belajar menghargai dirinya sendiri sekaligus mempertajam kesadaran kebangsaan terhadap Jepang dan bangsa lainnya. Karena itu di akhir manifesto ditegaskan bahwa bangsa dan rakyat Belanda harus mempertimbangkan dua pilihan dengan sungguh-sungguh. Pertama, apakah bangsa dan rakyat Belanda mendukung ambisi sebagian kecil kaum kapitalis dan penjajah yang pendiriannya lebih didorong oleh kepentingannya sendiri. Jika posisi ini yang dipilih, maka Belanda harus siap-siap mengorbankan ribuan penduduknya dalam berikhtiar untuk kembali menaklukkan Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya. Pilihan kedua, apakah bangsa Belanda menerima dan menyesuaikan diri dengan kenyataan sejarah berupa jalan damai sehingga kepentingan Belanda di Indonesia tetap terjaga sekaligus memungkinkan warga negara Belanda beserta keturunannya di Indonesia dapat hidup selamat dan terus mencari nafkah.
Sosialisme Demokrat Pemikiran kebangsaan Sjahrir memang lebih diwarnai ide-ide Barat. Ini tidak mengherankan karena ia dan sejumlah tokoh nasionalis lainnya adalah produk pendidikan Belanda. Ia pun sempat menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda dimana alumnusnya banyak menjadi tokoh-tokoh nasionalis dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama Hatta, Sjahrir akhirnya mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sekembali dari Belanda pada 1932. Organisasi ini bertujuan untuk mencetak kader politik yang matang, mandiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun para pemimpinnya disingkirkan dan diasingkan. Kekhawatiran Hatta dan Sjahrir pun menjadi kenyataan karena pada 1934 mereka ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Digul Irian Jaya sebelum dipindahkan ke Bandanaira di Pulau Banda Maluku. Keduanya baru dilepaskan beberapa saat menjelang serbuan Jepang ke Indonesia. Melalui PNI Baru inilah, baik Sjahrir dan Hatta meletakkan dasar-
84
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
dasar ideologi sosialisme demokrat yang memang dapat diterima luas pada masa tersebut.4 Ideologi sosialisme demokrat Sjahrir dan para pengikutnya tersebut lebih dipengaruhi gagasan sosialisme demokrat yang berkembang di Eropa Barat. Faham ini berbeda dengan faham sosialis lainnya, khususnya dari blok negara komunis karena faham sosialisme Sjahrir juga memberi ruang kepada kebebasan individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia, modernitas dan penolakan terhadap obscruantisme, chauvinisme, dan ‘kultus individu’. Tidak mengherankan jika sebagian analis politik mengklasifikasikan faham sosialisme Sjahrir sebagai sosialisme liberal. Namun kata liberal di Indonesia waktu itu kurang diterima luas karena biasanya dikaitkan dengan faham kapitalisme. Tidak heran jika setelah kemerdekaan pun Sjahrir terus mengusung faham sosialisme dan mendirikan Partai Sosialis bersama Amir Sjarifuddin yang condong ke arah komunisme. Selama kurun waktu 1945 – 1947, Partai Sosialis menjadi salah satu partai terkuat di Indonesia. Keduanya memiliki “platform” sama yaitu berjuang melawan faham otoriter peninggalan kolonial Jepang sekaligus mencegah kembalinya Belanda. Adapun sosialisme kerakyatan yang diperjuangkan PSI adalah sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia dan orang seorang sekaligus penghargaan pada pribadi orang seorang di dalam pikiran serta di dalam pelaksanaan sosialisme. Sosialisme, menurut PSI, tidak lain daripada penyempurnaan dan segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya karena dapat menghasilkan kebajikan dan keindahan nilai-nilai kemanusiaan. Penafsiran PSI tersebut yang menafsirkan kemanusiaan dari sudut kepentingan individu perseorangan sebagai hal utama bukannya aspek kolektivitas, jika dikaji lebih lanjut merupakan penyempalan dari inti ajaran Marx dan Engels. Sebab, jika dikaji lebih mendalam, penghormatan atas nilai-nilai individual sesungguhnya mirip dengan nilai-nilai individualisme yang dianut Barat. Gagasan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan dan dalam kaitannya dengan maraknya semangat nasionalisme di antara bangsa-bangsa di dunia pada dekade 1950-an, ia tuangkan dalam pidato di Konferensi 4 Herbert Feith dan Lance Castles. (edts.). Pemikiran Politik Indonesia. 1945 – 1965. Jakarta. LP3ES: 227.
Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme
85
Sosialis Asia Pertama di Rangoon Burma pada Januari 1953. Pada kesempatan ini, ia juga menguraikan bagaimana menempatkan nilainilai kebangsaan atau nasionalisme dalam tata pergaulan bangsa-bangsa di dunia (internasionalisme).5 Pada awal pidato, Sjahrir menguraikan munculnya gejala semangat kebangsaan di seluruh sudut dunia tidak kecuali di Eropa Barat yang terpecah-pecah menjadi puluhan negara setelah melewati berbagai peperangan. Sjahrir melihat di antara bangsa-bangsa di Eropa Barat adanya kecenderungan untuk bergerak ke arah satu komunitas bersama. Kendati antar mereka saling berperang tetapi Eropa sesungguhnya mewarisi satu kebudayaan yang relatif sama. Semangat kebangsaan di Eropa Barat ini berbeda dengan semangat kebangsaan di negara-negara Asia dan Afrika yang masih terjajah. Nasionalisme di kawasan ini memiliki sifat berbeda karena negara-negara di kawasan ini justru baru memimpikan eksistensi sebuah bangsa yang merdeka. Menurut Sjahrir, nasionalisme di negara-negara terjajah adalah sebuah perjuangan melawan nasionalisme yang agresif, ekspansif, dan imperialistis, yang memperlakukan negara-negara terbelakang sebagai mangsa, barang rampasan, yang harus dimiliki, atau paling tidak dibagibagi antar mereka. Nasionalisme negara terjajah, tandas Sjahrir, adalah perjuangan menghapus politik bermuka dua negara-negara Barat sekaligus menuntut diperlakukannya norma-norma demokrasi yang dipergunakan Barat juga dipergunakan terhadap nasionalisme rakyat negara-negara terjajah. Bagi rakyat negara terbelakang dan terjajah, Sjahrir berpendapat bahwa nasionalisme menduduki posisi begitu mulia karena dapat menjadi sumber kehidupan sekaligus sumber kekuatan baru karena menghasilkan energi dan kepercayaan diri yang luar biasa besar sehingga mereka dapat menciptakan sebuah kehidupan yang lebih baik sekaligus mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Tetapi bagi negara-negara yang telah mengenyam kemerdekaan, jika tidak pandai-pandai mengendalikan diri, nasionalisme justru dapat menjelma menjadi keangkuhan patologis dan bahkan bisa bergerak ke arah ekstrim ultra nasionalisme seperti ditunjukkan oleh Hitler. Oleh karena itu, Sjahrir menegaskan perlunya penyesuaian nilainilai nasionalisme agar dapat disesuaikan dengan kepentingan 5 Sutan Sjahrir. 1953. Nasionalisme dan Internasionalisme. Konferensi Sosialis Asia Pertama. Rangoon Burma.
86
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
kemanusiaan, perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran bersama. Jika hal ini gagal dilakukan, Sjahrir memperingatkan bahwa nasionalisme akan mudah tergelincir menjadi kekuatan konservatif reaksioner penuh intoleransi dan pemujaan diri berlebihan. Berlawanan dengan aspek nasionalisme, di sisi kutup lainnya, Sjahrir melihat adanya aspek internasional yang justru menjadi faktor yang lebih rasional dan dapat dikembangkan untuk kepentingan umat manusia yang lebih hakiki. Sjahrir lalu mengemukakan bahwa konsep internasionalisme Marx dan Engels sesungguhnya dapat menjadi salah satu jalan keluar. Menurut Sjahrir sosialisme Marx dan Engels sesungguhnya menggambarkan sebuah internasionalisme tanpa negara karena menggambarkan adanya sebuah barisan bersama dari kelas-kelas buruh dan proletar yang telah melintasi batas negara untuk melawan kelas kapitalis yang juga telah menyatu di seluruh negara sekaligus telah melintas batas. Internasionalisme Marx dan Engels, bagi Sjahrir, dapat terwujud melalui sebuah revolusi dunia sehingga dapat menghasilkan sebuah pemerintahan dunia, yaitu berupa pemerintahan diktator dunia dari kaum proletar. Sjahrir lalu mengkritik sistem komunisme ala Uni Soviet. Menurut Sjahrir, di awal revolusi di Uni Soviet yaitu ketika masih dipimpin Lenin, negeri tersebut masih mengarahkan energinya untuk mencapai sebuah internasionalisme Marx dan Engels di atas. Prinsip Lenin ini juga dipegang Trotzky. Namun, setelah Stalin menancapkan kekuasaannya, Sjahrir tidak lagi melihat cahaya internasionalisme yang ia impi-impikan itu bersinar lagi dari bumi Soviet. Di tangan Stalin, Sjahrir melihat adanya dominasi bangsa dan negara Rusia terhadap gerakan sosialisme dunia. Internasionalisme Marx dan Engels telah berubah wujud menjadi nasionalisme Rusia yang memaksa kaum buruh dan gerakan-gerakan nasional di negara-negara jajahan dan terbelakang, untuk dipaksa tunduk pada nasionalisme Rusia. Karena itu, Sjahrir berpendapat persoalan internasionalisme pada dekade 1950-an adalah bagaimana dapat menciptakan sebuah kerjasama yang harmonis antar bangsa berdasarkan pengakuan akan eksistensi masing-masing negara tersebut.
Sjahrir, Demokrat Sejati Dari sekian banyak ciri pemikiran dan tindakan yang dapat
Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme
87
menggambarkan Soetan Sjahrir, “demokrat sejati” mungkin merupakan deskripsi yang paling tepat. Penamaan-penamaan ideologi baginya hanya merupakan instrumen untuk mewujudkan demokrasi yang sejati. Tidak mengejutkan bahwa Sjahrir sering mengkritisi -bahkan dengan sangat keras- praktik “demokrasi”, “nasionalisme”, dan “sosialisme” yang sebenarnya merupakan ciri aliran politik Sjahrir dan partai politik yang dipimpinnya, Partai Sosialis dan kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sjahrir, misalnya, mengecam dengan keras praktik demokrasi yang ambigu oleh negara-negara Eropa Barat. Menurutnya, negara-negara Eropa Barat menganut demokrasi dan nasionalisme yang moderat di dalam negeri tetapi mempraktikkan nasionalisme yang agresif, militan, dan tiranik di negara-negara jajahannya. Sebaliknya, Sjahrir sangat mendukung nasionalisme dalam rakyat terjajah yang memperjuangkan eksistensi nasional yang merdeka. Nasionalisme pada rakyat terjajah, menurutnya, merupakan perjuangan melawan nasionalisme yang bermuka dua dari negara-negara demokrasi Barat untuk menuntut hak penentuan nasib sendiri serta membebaskan diri dari penindasan dan eksploitasi.6 Nasionalisme, bagi Sjahrir, harus disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan kemanusiaan terhadap perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran. Jika hal tersebut gagal diwujudkan, nasionalisme telah menjadi faktor yang merugikan, dan konservatif. Di sisi lain, Sjahrir sangat tidak setuju dengan Marxisme ortodoks. Implementasi ideologi ini dalam bentuk internasionalisme-proletar yang dipelopori Rusia dinilai sebagai suatu etiket yang menyesatkan dari nasionalisme Rusia. Lebih jauh lagi, hal tersebut merupakan usaha untuk membuat kaum buruh dan gerakan-gerakan nasional di negara-negara jajahan dan terbelakang untuk tunduk kepada nasionalisme Rusia. Demokrasi, nasionalisme, internasionalisme, dan sosialisme merupakan hal yang positif dalam pandangan Sjahrir selama hal tersebut dapat memperjuangkan kemerdekaan, ekspresi, dan penentuan nasib sendiri terutama pada rakyat di negara-negara yang tertinggal. Demokrasi dan nasionalisme yang menonjolkan egotisme seperti yang dipraktikkan negara-negara Eropa Barat -alih-alih memberikan manfaat bagi kemerdekaan dan persamaan umat manusia- malah bersifat destruktif. 6 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945—1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 235.
88
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Sama halnya dengan internasionalisme yang menafikan keberadaan negara-negara sebagai suatu realitas dan ekspresi kepribadian serta individualitas rakyat di negara-negara tersebut. Pemikiran Sjahrir juga menjangkau bagaimana seharusnya hubungan antar negara-negara terjadi yang masih relevan hingga saat ini. Menurutnya, suatu bangsa tidak mungkin memaksakan kehendaknya kepada bangsa lain. Dalam hubungannya dengan nasionalisme, Sjahrir menyatakan bahwa nasionalisme harus membuat manusia sadar akan perlunya kerjasama internasional untuk kepentingan mereka sendiri. Nasionalisme juga harus mencegah bentrokan kehendak dan keteganganketegangan antar negara-negara. Hal tersebut dipraktikkan Sjahrir sebagai perdana menteri. Dia menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan kompromi dalam hal hak menentukan nasib sendiri (self-determination). Namun ditegaskan, dia tidak akan mengganggu kepentingan Belanda di Indonesia selama kepentingan Belanda tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum.7 Sjahrir juga tegas dalam menyikapi nasionalisme yang berlebihan dari rakyat Indonesia. Dia memberikan instruksi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, seperti dikutip majalah Pantja Raja, 15 April 1946 sebagai berikut: Kedua kementrian itu harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat terhadap perbuatan yang tak senonoh terhadap warga negara bangsa asing yang bersahabat dengan kita. Jika seorang Tionghoa atau bangsa lain berbuat salah, ia diperlakukan menurut hukum. Perbuatan disertai dengan pelanggaran hukum pidana, seperti perampokan, pencurian, atau pemerasan dengan memakai nama negara dan bangsa harus dihukum seberat-beratnya. 8 Sjahrir menekankan peran penting Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berkembang menjadi organisasi dunia yang bertugas mengawasi pergaulan hidup yang teratur dan damai di antara bangsabangsa dan negara-negara. Dalam jangka panjang, menurutnya, PBB dapat mengemban tugas yang lebih positif, seperti menghilangkan penyebab-penyebab ketidakpuasan di antara bangsa-bangsa. Sjahrir menyoroti peran-peran masa depan PBB dalam menyelesaikan ketidaksamaan dan ketidakadilan distribusi produksi 7 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid II (1946), (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 41. 8 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, op.cit, hlm. 159.
Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme
89
dunia. Selain itu, organisasi internasional seperti PBB harus dapat berperan dalam mengatasi penghisapan suatu bangsa oleh bangsa yang lain dan peningkatan taraf kehidupan negara-negara tertinggal ke arah yang lebih baik. Tujuan akhirnya adalah keadilan dan keamanan di antara bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia.9 Dalam permasalahan ekonomi, Sjahrir melihat adanya ketergantungan yang kuat antara satu negara dengan negara yang lain. Perdagangan luar negeri, seperti antara negara industri maju dengan negara berkembang agraris, merupakan suatu kebutuhan bagi negaranegara tersebut. Hubungan antara negara maju dengan negara tertinggal juga penting dilakukan untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga negara-negara tersebut -terutama negara-negara bekas jajahandapat mengejar ketertinggalannya. Hubungan ekonomi antarnegera, menurut Sjahrir, harus dilakukan dalam posisi yang setara dan saling menguntungkan. Dia menekankan pentingnya mencapai kemerdekaan ekonomi setelah berhasil mewujudkan kemerdekaan politik bagi suatu negara. Sjahrir merealisasikan pemikirannya tersebut ketika dia menjabat sebagai perdana menteri antara 14 November 1945 sampai dengan Juni 1947. Salah satunya adalah kebijakan bantuan padi sebanyak 500.000 ton untuk membantu pemerintah dan rakyat India mengatasi bahaya kelaparan. Bantuan tersebut merupakan realisasi perjanjian yang ditandatangani oleh Sjahrir dan wakil pemerintah India K.L Punjabi pada tanggal 18 Mei 1946. Perjanjian tersebut merupakan barter di mana India membayar padi tersebut dengan alat tenun, alat-alat pertanian, dan ban mobil.10 Barter tersebut merealisasikan beberapa pemikiran politik dan ekonomi Sjahrir. Pertama, ker jasama perdagangan yang saling menguntungkan antar negara. Kedua, kerjasama dan saling membantu di antara negara-negara untuk mengatasi berbagai permasalahan, termasuk permasalahan ekonomi. Ketiga, sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk membantah propaganda Belanda yang menyatakan sedang terjadi bahaya kelaparan di Indonesia. Keempat, barter tersebut merupakan pengakuan resmi pertama dari dunia internasional bagi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.11 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), op.cit,, hlm. 239—240. —, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, (Jakarta: Tira Pustaka, 1983), hlm. 108. 11 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, op.cit, hlm. 330. 9
10
90
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Sjahrir dengan tegas menolak autarki dalam bentuk negara-negara yang menutup perekonomiannya terhadap dunia luar. Baginya, hal tersebut tidak hanya akan menghilangkan kemungkinan kerjasama antar negara yang saling menguntungkan, tetapi juga akan menimbulkan retaliasi atau tindakan balasan yang menciptakan ketegangan-ketegangan lebih lanjut. Dalam kaitannya dengan nasionalisme yang menonjolkan egotisme pada negara-negara Eropa Barat, Sjahrir melihat kebutuhan mendesak terhadap berdirinya serikat negara-negara Eropa -yang saat ini sudah terwujud dalam bentuk Uni Eropa- terhalang oleh nasionalisme yang sempit tersebut. Malangnya, Sjahrir yang memperjuangkan demokrasi justru tidak “diuntungkan” oleh demokrasi itu sendiri. Partai Sosialis, yang dipimpinnya bersama dengan Amir Sjarifuddin, memang merupakan partai yang kuat antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1947. Pada saat partai tersebut mengalami perpecahan dan disusul dengan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berhaluan komunis oleh Amir dan kelompoknya pada 28 Juni 1948, Sjahrir beserta kawankawan terdekatnya mendirikan PSI. PSI ternyata gagal mendapatkan simpati yang luas dari masyarakat. Partai ini bersifat elitis dan hanya mampu terlibat dalam debat-debat yang bersifat intelektual. Puncaknya adalah kegagalan PSI untuk memperoleh suara yang signifikan pada Pemilihan Umum (Pemilu) Pertama pada tahun 1955. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan PSI. Sjahrir sendiri ditangkap dan dipenjarakan dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1966. Setelah dibebaskan, Sjahrir pergi ke Zurich, Swiss untuk berobat dan meninggal di sana pada tahun itu juga.
***
Telaah
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
91
MOHAMMAD NA TSIR: ISL AM, NAT ISLAM, KEB AN GS AAN AN DEMOKRASI KEBAN ANGS GSAAN AAN,, D DAN (PERD AN A MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1 950 – (PERDAN ANA 1950 27 APRIL 1 95 1) 195 951)
Teguh Apriliyanto
Menyelami pemikiran Natsir baik soal kebangsaan, Islam, maupun demokrasi tidak bisa dilepaskan dari sepak terjangnya di dalam gerakan untuk mencapai kemerdekaan maupun langkah-langkah politik ketika ia memimpin Partai Masyumi. Natsir memang sosok yang lengkap. Pemikiran besar Natsir yang orisinil, segar dan kreatif tidak hanya berhenti dalam bentuk wacana debat untuk konsumsi elite intelektual tetapi langsung ia aplikasikan dalam politik praktis kebangsaan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan jika sampai detik ini, rasanya tidak ada satu tokoh Islam pun di Indonesia yang mampu menggantikan posisi Natsir tersebut. Berpijak atas kondisi objektif tersebut, maka jika ingin mengkaji pemikiran Natsir, tidaklah lengkap tanpa melihat perjalanan sejarah hidup negarawan kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat pada 1908 ini.
92
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Tentang Islam dan Kebangsaan Berdiri tegaknya negara kesatuan RI tidak bisa dilepaskan dari peran umat Islam yang komposisinya mencapai lebih dari 88 persen penduduk Indonesia. Serangkaian pemberontakan yang telah dikobarkan melawan Belanda selama berabad-abad adalah membawa bendera Islam. Itu seperti tampak pada perjuangan Teuku Cik Di Tiro di Aceh, Sultan Hasanudin di Sulawesi Selatan, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah maupun Imam Bonjol di Sumatera Barat. Memasuki abad ke-20, organisasi massa yang mampu mendapat pengikut secara massif adalah Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada 1912. Sayangnya pengaruh organisasi ini di arena politik meredup pada dekade 1920-an. Sebaliknya organisasi Islam yang berjuang untuk tujuan sosial kemasyarakatan justru berkembang pesat melalui Muhammadiyah (1912) yang berjuang untuk pembaharuan dan pemurnian Islam dan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 yang didirikan oleh ulama ortodoks dari pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu juga berdiri Persis yang dipimpin A. Hassan di Bandung, Perti dan Al Washliyah di Sumatera. Organisasi-organisasi tersebut di jaman Jepang bersatu membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang akhirnya berubah menjadi partai politik pada 7 November 1945. Setelah Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, melalui perdebatan dan musyawarah akhirnya disepakati Pancasila sebagai dasar negara, bukannya Islam. Kendati demikian, organisasiorganisasi Islam, paling tidak sampai 1959 terus berusaha mengusung prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, diantara mereka tidak ada kesepakatan apakah perjuangan penegakkan prinsip-prinsip Islam akan diformalkan dalam bentuk negara Islam atau melakukan perjuangan melalui pembuatan produk perundangundangan yang lebih aspiratif sesuai prinsip-prinsip Islam di Parlemen. Sekelompok kecil umat Islam memilih gerakan bersenjata untuk mendirikan sebuah ‘negara Islam’ seperti dilakukan S.M. Kartosuwirjo melalui gerakan Darul Islam di Jawa Barat maupun pemberontakan Teungku Daud Beureueh di Aceh pada 1953. Sebagian besar kelompok umat Islam lainnya memilih cara-cara perjuangan melalui jalur konstitusional. Di sinilah peran dan posisi Natsir begitu menonjol dan semakin menguasai Masyumi. Kondisi ini rupanya tidak memuaskan sejumlah kalangan di lingkungan NU sehingga mereka
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
93
memilih keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU pada 1952. Suara umat Islam tak terelakkan terpecah pada Pemilu demokratis pertama pada 1955. Baik Masyumi (20,9 persen) dan NU (18,4 persen) muncul sebagai empat besar partai pemenang pemilu selain PNI (22,3 persen) dan PKI (16,4 persen). Namun, secara keseluruhan perolehan suara umat Islam masih belum menggembirakan karena kendati semua suara parpol Islam digabungkan, ternyata masih belum cukup mencapai mayoritas. Dalam perkembangannya, Masyumi dan NU mengambil peran berbeda. NU lebih condong bekerjasama sama dengan unsur-unsur nasionalis seperti PNI. Demokrasi Terpimpin Soekarno termasuk tentang Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunis). Sedangkan Masyumi dengan tokoh utamanya Natsir memilih bersikap kritis terhadap konsep Soekarno tersebut. Islam, bagi Natsir, adalah pedoman hidup. Kendati punya kesempatan meraih gelar Mister, setelah menamatkan pendidikan setingkat SLTP di jaman Belanda, ia lebih memilih belajar menjadi pendidik sekaligus aktif di dalam organisasi Islam pimpinan ulama besar A. Hassan di Bandung pada 1932 –1945. Ia pun aktif di dalam kepanduan Nationale Islamitsche Padvindrij dan organisasi kepemudaan Jong Islamieten Bond (JIB). Tidak heran jika setiap gerak langkah politik Natsir selalu dibingkai nilai-nilai religiositas begitu kuat, khususnya nilainilai Islam. Selaku Ketua Umum Partai Masyumi dan langsung memimpin Fraksi Masyumi di Parlemen, Natsir dengan lantang mengingatkan bahaya sekularisme dalam Sidang Konstituante pada 12 November 1957. Sekularisme, menurut Natsir, adalah cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Karena itu sekularisme tidak mengenal konsep akherat, Tuhan dan sejenisnya. Kalaupun ada yang mengakui keberadaan Tuhan, lanjut Natsir, penganut sekulerisme tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari maupun dalam bentuk hubungan jiwa melalui do’a atau ibadah lainnya. Penganut sekularisme, papar Natsir juga memiliki banyak ukuran untuk menilai sesuatu hal. Ia memberikan satu contoh sederhana tentang fenomena hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa sebuah ikatan perkawinan. Bagi penganut faham sekularisme, urai Natsir, ada kelompok yang berpendapat hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena
94
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
melanggar susila tetapi di sisi lain ada pihak yang berpendapat kondisi tersebut dapat dimengerti. Negara, tegas Natsir, harus mampu menentukan sikap tegas dalam situasi pertentangan seperti ini. Kondisi yang penuh kontradiksi seperti di atas, bagi Natsir, tidak akan menjadi persoalan membingungkan jika posisi negara jelas berlandaskan nilai-nilai agama. Manusia, urai Natsir, membutuhkan suatu pegangan hidup yang asasnya tidak mudah berubah. Jika tidak, maka manusia tersebut akan begitu rapuh mengalami goncangan rohani. Adapun hal paling berbahaya akibat pengaruh faham sekularisme, menurut Natsir, adalah menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan menjadi taraf kemasyarakatan semata. Ini disebabkan karena nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi sebagai hasil ciptaan Tuhan tetapi semata-mata hanya sebagai alat karena semuanya adalah hasil produk konstruksi akal manusia. Bagi pengagum faham sekularisme, tandas Natsir, agama dan faham akan wujud Tuhan adalah relatif, yakni boleh berganti-ganti menurut ciptaan manusia. ‘’Begini boleh. Begitu juga boleh,” tandasnya. Pandangan Natsir soal Islam dan Kebangsaan tersebut sesuai dengan dasar-dasar pendirian Partai Masyumi. Ketika menyampaikan pidato hari jadi Masyumi ke-11 pada 7 November 1956 Natsir mengungkapkan Masyumi didirikan di tengah-tengah peperangan menentang tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menancapkan penjajahan ke Indonesia. Masyumi, jelasnya, didirikan oleh hasrat para ulama dari seluruh Indonesia yang berkumpul di Yogyakarta pada 7 November 1945 untuk mewujudkan cita-cita umat Muhammad yang telah ditanamkan benihnya sejak berabad-abad di Nusantara. Natsir menjelaskan ada lima cita-cita luhur yang ingin diperjuangkan Masyumi. 1 Pertama, menegakkan kemerdekaan jiwa tiap orang perseorangan dari kemusyrikan, takhyul dan rasa takut kepada Allah atau dengan kata lain menegakkan kalimatul tauhid. Kedua, membebaskan manusia dari penindasan dan pemerasan manusia, dan golongan oleh golongan lainnya dalam bentuk apapun. Ketiga, membebaskan manusia dari tindakan kemelaratan, kemiskinan, dan kefakiran sebagai sumber kekufuran. Keempat, membebaskan manusia dari sifat ta’ashub (chauvinisme) sebagai pangkal segala macam nafsu dan angkara murka antara bangsa 1
Pidato Natsir pada Hari Jadi Partai Masyumi ke-11 pada 7 November 1946
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
95
dengan bangsa, ataupun ta’shub dalam lapangan keagamaan dan kepercayaan. Terakhir, menegakkan sebuah kehidupan masyarakat berdasarkan musyawarah dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan atas dasar hidup dan memberi hidup, bukan semata-mata atas dasar siapa kuat, siapa di atas dan siapa lemah, siapa mati. Kendati di dalam lapangan politik antara Masyumi dan NU kerap berseberangan jalan, namun esensi pemikiran Natsir atas pentingnya peran agama dalam bernegara sesungguhnya juga menjadi dasar perjuangan NU. Hanya saja pernyataan NU tentang hal ini lebih bersifat tradisional dan skolastik.2
Tentang Toleransi Beragama Kendati posisi Natsir atas negara kesatuan RI begitu jelas, namun masih banyak pihak yang mencurigainya sebagai penganut Islam garis keras yang begitu bernafsu memaksakan prinsip-prinsip Islam dalam hidup berbangsa dan bernegara. Natsir pun memahami keraguan sebagian pihak tersebut. Di dalam sidang-sidang Parlemen, kelompok Kristen masih merasa belum adanya cukup jaminan kemerdekaan beragama di Indonesia kendati prinsip-prinsip tersebut secara jelas telah tertuang dalam konstitusi, misalnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara RI pasal 18 yang tetap dijadikan materi pembicaraan sidang Konstituante.3 Di dalam pasal 18 UUDS 1950 jelas tercantum bahwa: ‘’ Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsafan batin dan pikiran.” Namun, kalangan non Islam atau Islam-phobia menanggapi hal ini secara kritis. Keraguan tersebut berakhir setelah Natsir selaku ketua Fraksi Masyumi Parlemen mengadakan rapat khusus untuk menghilangkan keraguan tersebut. Posisi Natsir jelas. Ia menegaskan cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan Islam merupakan cara untuk memecahkan persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini, yaitu tetap menjaga keragaman hidup di dalam lingkungan negara RI yang terdiri atas penduduk dengan berbagai macam agama. Adapun sejumlah argumentasi yang diajukan Natsir dapat diuraikan sebagai berikut. 2 Hebert Faith dan Lance Castles (Edts). 1988. Pemikiran Indonesia 1945 –1965. Jakarta: LP3ES. 3 M. Natsir. 1957. Keragaman Hidup Antar Agama. Majalah Hikmah. Jakarta: Pustaka Pendis : 225 – 229.
96
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Tujuan tauhid, urai Natsir, pada hakekatnya adalah sebuah revolusi rohani untuk membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwa dalam arti yang seluas-luasnya. Keimanan tauhid kepada Tuhan tersebut diperoleh melalui jalan bersih dari segala macam paksaan. Karena keimanan seseorang terhadap Islam adalah karunia Ilahi, Natsir berpendapat hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui ajaran dan didikan yang baik melalui kegiatan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. ‘’Orang Islam hanya disuruh memanggil, sekali lagi memanggil! Memanggil dengan cara yang bersih dari sifat paksa,” urai Natsir. Di dalam tataran praktis kehidupan sehari-hari, jika ditemui adanya perbedaan yang tidak dapat dipertemukan baik tentang faham, amal, agama, dan sebagainya; Natsir mengatakan seorang muslim tidak bisa pasif berpangku tangan. Seorang muslim sebaliknya diwajibkan untuk berinisiatif menjernihkan kehidupan antar beragama dengan memanggil orang-orang berlainan agama. Dalam menghadapi perbedaan pandangan antar agama tersebut, Natsir juga berpesan agar umat Islam tidak mudah melampiaskan hawa nafsu melainkan harus tetap sabar untuk tetap menegakkan kejernihan hidup antar agama. Seorang muslim, paparnya, harus terus memancarkan sikap tasamuh dan toleransi dalam menghadapi agama lain. Dari sejumlah uraian Natsir di atas, jelaslah bahwa bentuk toleransi yang diajarkan Islam dalam kehidupan antar agama bukanlah toleransi pasif melainkan toleransi aktif. Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain sekaligus aktif untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Dengan demikian, kemerdekaan beragama bagi seorang muslim, menurut Natsir adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri Bahkan bila kemerdekaan agama terancam atau tertindas walau bukan orang Islam, seorang muslim wajib melindungi kemerdekaan agama agar mereka dapat menyembah Tuhan menurut agama mereka masing-masing.
Tentang Demokrasi Hal lain yang patut dicatat dari Natsir adalah komitmennya atas penegakkan demokrasi di Indonesia. Untuk keteguhan sikapnya tersebut, ia harus berhadapan frontal dengan Soekarno sehingga mendekam di penjara Batu Jawa Timur sebagai tahanan politik pada 1961 – 1966,
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
97
menyusul kegagalan gerakan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dimana ia menjadi salah satu pimpinan. Natsir ditahan setelah pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1956 hanya melalui pidato Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1959. Di era perjuangan kemerdekaan sampai Demokrasi Terpimpin, sebagai sebuah ideologi, pemikiran Islam di Indonesia memang lebih didominasi oleh gagasan pembaruan yang dicerminkan melalui jalan pemikiran Natsir. Kendati dasar-dasar keIslaman Natsir diperoleh melalui pembelajaran dari ulama fundamentalis A. Hassan, namun dalam perkembangannya pemikiran Natsir mengembara melintasi konsep faham liberal dan sosialisme barat. Di sinilah kekuatan Natsir karena dapat menuangkan pemikiran kemajuan, stabilitas, toleransi dan bahkan demokratisasi. Khusus dalam hal stabilitas dan pembangunan ekonomi, pemikiran Natsir lebih condong dengan garis pemikiran kalangan sosialis demokrat. Ini tidak mengherankan karena kedekatan Natsir dengan tokoh Masyumi lainnya, yaitu Syafrudin Prawiranegara yang memang ahli di bidang ekonomi. Selaku think tank pemikiran sektor ekonomi, pemikiran Syafrudin memang dekat dengan pemikiran kalangan sosialis demokrat seperti Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo dan Mohammad Hatta. Sejak 1949, bangsa Indonesia memasuki babak baru setelah Belanda menghentikan klaim kepemilikan Hindia Belanda kecuali Irian Jaya melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada Agustus dan November 1949. Belanda mendukung pembentukan Republik Indonesia Serikat yang merupakan Federasi 15 negara boneka Belanda plus Republik Indonesia yang memiliki kekuasan lebih besar. Namun, umur RIS tidak panjang. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen, Natsir aktif melakukan lobi ke berbagai negara bagian untuk membubarkan diri dan bergabung dengan RI dengan ibukota di Yogyakarta. Setelah yakin mendapat dukungan cukup significant, Natsir akhirnya melempar mosi dalam sidang Parlemen RIS pada 3 April 1950 yang terkenal dengan sebutan ‘Mosi Integral Natsir’. Ia meminta seluruh negara bagian kembali dengan Negara Kesatuan RI. Presiden Soekarno sangat terkesan dengan upaya Natsir ini dan mengangkatnya menjadi Perdana Menteri pertama NKRI pada 6 September 1950. Situasi ini sekaligus menandai berlakunya masa pemerintahan Demokrasi Parlementer sampai delapan tahun kemudian.
98
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Namun usia Kabinet Natsir tidak berumur panjang dan jatuh pada 27 April 1951. Kegagalan Kabinet Natsir ini lebih disebabkan karena tidak mengikutsertakan kekuatan PNI. Sebelum Pemilu 1955, seluruh anggota Parlemen diangkat. Kendati demikian posisi Parlemen sangat kuat. Kabinet pun tidak terelakkan jatuh jika tidak mampu menggalang dukungan mayoritas Parlemen. Tidak heran jika posisi partai sangat kuat sedangkan posisi Angkatan Bersenjata dan Presiden Soekarno relatif lemah. Pada masa inilah hak dan kebebasan warga negara jarang dilanggar. Menajamnya konflik antar partai dan golongan baik disebabkan karena perebutan sumber daya maupun perbedaan ideologi membuat kohesitas bangsa meregang, jauh lebih longgar dibandingkan era pergolakan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan pada periode 1945 – 1949. Natsir pun menangkap perubahan fenomena ini dan menyampaikan kritik pedas dalam pidato Hari Kemerdekaan pada 1951.4 Setelah dua tahun bangsa Indonesia mengenyam kedaulatan penuh, Natsir justru melihat fenomena memprihatinkan di tengah masyarakat. Berikut petikan kerisauan Natsir: ‘’Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseriseri. Seolah-olah nikmat Kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang nampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh! Dahulu mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, atau anaknya tewas dalam medan pertempuran. Kini, mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau.” Mengapa keadaan berubah? Natsir menguraikan kondisi tersebut tidak dapat dijelaskan dengan satu alasan tetapi harus dianalisa berdasarkan perubahan perkembangan perilaku sejumlah anasir masyarakat saat itu. Jika dahulu ada sejumlah pihak yang berjuang untuk masyarakat, saat itu Natsir justru melihat pihak-pihak tersebut berharap mendapatkan imbalan dari masyarakat. ‘’Semua orang menghitung pengorbanannya dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan ke muka apa yang telah dikorbankannya itu,” katanya.
4 M. Natsir. 1957. Kelesuan dan Pamer Kemegahan yang Semu. Capita Selecta II. Jakarta: Pustaka Pendi.
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
99
Natsir melanjutkan: ‘’Sekarang timbul penyakit bachil. Bachil keringat. Bachil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari citacita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak. Programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!” Natsir tidak sendirian. Rakyat pun kecewa menghadapi perubahan sosial yang justru bertambah buruk. Sistem Demokrasi Parlementer beserta partai-partai selaku pilar utama bangunan menjadi sasaran kebencian. Persaingan antar partai semakin meruncing menjelang Pemilu 1955, yang bahkan mendorong ke arah tahap mengancam keutuhan bangsa akibat menajamnya perbedaan, misalnya tentang ideologi apakah tetap Pancasila atau Islam. Di tengah kegalauan bangsa, Presiden Soekarno tampil ke depan dan menawarkan konsep Demokrasi Terpimpin. Jika Natsir melihat akar persoalan lebih disebabkan persoalan lemahnya mental, moral, dan etika, Soekarno mendekatinya dari sudut sistem. Partai-partai sebagai biang kerok konflik bahkan harus dikubur dalam-dalam dan disatukan menjadi satu sistem yang ia namakan Demokrasi Terpimpin di bawah kendalinya. Mencium adanya aroma bahaya kediktatoran, Natsir pun tanpa ragu-ragu melancarkan kritik terbuka atas konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno ini. Dua pekan setelah seruan Presiden, pada peringatan Hari Kelahiran Partai Masyumi pada 7 November 1956, kritik terbuka itu pun ia kemukakan.5 Dalam pidatonya Natsir mengakui ada sejumlah keberhasilan telah dicapai bangsa Indonesia sampai pertengahan dekade 1950-an. Melalui perjuangan bersenjata, bangsa Indonesia mampu menyelamatkan keberadaan RI pada saat-saat yang genting dan berbahaya. Selain itu bangsa Indonesia berhasil menggelar Pemilu 1955 sehingga menghasilkan lembaga Parlemen hasil pilihan rakyat sebagai perlengkapan negara yang sangat diperlukan untuk sebuah negara demokratis. Namun, di sisi lain, Natsir melihat perkembangan masyarakat justru semakin keluar dari standar moral dan etika. Natsir menyimpulkan ada 5
M. Natsir. 1956. Memulihkan Kepercayaan terhadap Demokrasi. Harian Abadi. Jakarta
100
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
tiga hal yang menjadi penyebab situasi tersebut. Pertama, akibat melunturnya idealisme sehingga menghasilkan merajalelanya nafsu amarah dan nafsu-nafsu materi rendah dan kasar dalam bermacammacam bentuknya. Kedua, semakin kaburnya batas antara sesuatu yang patut dan tidak patut. Antara sesuatu yang halal dan yang haram dan pelanggaranpelanggaran batas dilakukan dengan cara yang sangat sinis. Terakhir, Natsir melihat semakin kaburnya nilai-nilai keadilan yang zakelijk dan objectief untuk memutuskan persoalan dalam menempatkan tenaga-tenaga, sehingga yang hitam dijadikan putih dan yang putih dihitamkan menurut keadaan dan keinginan penguasa sewaktu-waktu. Kondisi ini, menurut Natsir, akhirnya menempatkan bangsa Indonesia tidak lagi mampu menempatkan: the right men in the right place sehingga mengakibatkan krisis sosial, yang untuk kondisi sekarang kerap dijargonkan sebagai praktik Korupsi – Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menghadapi situasi yang semakin melenceng dari nilai-nilai ideal tersebut, Natsir memperingatkan perlu mendapatkan respon yang nyata. Jika tidak, lanjutnya, masyarakat akan tidak puas dan berubah menjadi putus asa. Jika kondisi ini terjadi maka mereka akan mencari jalan keluar dengan berbagai cara. Sebagian ada yang menyerah kepada keadaan dan berkeluh kesah sambil menunggu kedatangan ‘Sang Ratu Adil”. Sebagian sisanya ada yang ingin merombak sistem dan dasar-dasar kenegaraan (Demokrasi Parlementer – Penulis) dengan semacam ‘Ratu Adil Modern’, yang serba kuasa dan diharapkan dapat menyelesaikan semua persoalan dalam waktu singkat. Walaupun dalam pidato tersebut Natsir tidak menyebut Presiden Soekarno, namun yang ia sindir sebagai ‘Ratu Adil Modern’ di sini jelas-jelas adalah konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno tersebut. Lebih rinci Natsir mengatakan sebagai berikut: “Timbul satu teori bahwa yang menjadi sebab semua kesulitankesulitan tersebut adalah banyaknya partai-partai. Dan jikalau hendak memperbaiki keadaan maka sumber kesulitan itu harus dibasmi lebih dahulu. Dan untuk menggantikan partai-partai itu, dengan sendirinya berdirilah ‘pemerintahan diktator’, baik oleh seseorang atau satu partai tunggal.” Natsir dengan tegas menolak pandangan di atas. Pertama, sesuai ideologi dan kaidah Islam yang ia pegang dengan konsisten, sistem diktator sangat jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tidak
Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi
101
hanya itu, Natsir dengan cerdas mengemukakan argumentasi bahwa bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa, dapat mengikatkan diri menjadi satu bangsa bukan disebabkan oleh rasa takut kepada kekuasaan kasar yang mengancam mereka, akan tetapi justru rasa menghargai, rasa hormat, dan rasa cinta kepada penguasa yang bersama-sama mereka ikut mendirikan bangsa dan memperhatikan keperluan mereka (rakyat) secara lahir dan batin. Natsir pun bertanya: ‘’…Tegasnya: apabila demokrasi di Indonesia yang sumber kekuatannya terdiri daripada kerelaan kecintaan rakyat kepada pemerintah sampai dikubur, dan tugasnya digantikan oleh satu diktator yang kekuatannya bersumber kepada paksaan, maka timbul pertanyaan: akan mampukah diktator yang tunggal itu mampu mengumpulkan alat kekerasan berupa bayonet dan bedil sebagai sumber kekuatannya untuk memaksakan keinginannya kepada 80 juta umat manusia yang bertebaran pada ribuan pulau-pulau besar dan kecil dan mempunyai alam pikiran sendiri-sendiri, dalam bermacam-macam tingkat kecerdasan, tradisi, dan adat istiadat?” Natsir sadar demokrasi memang satu sistem yang sulit. Namun jika bangsa Indonesia telah yakin bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem yang dapat memelihara NKRI maka tugas tiap demokrat adalah membuktikan kepada masyarakat dengan hasil karya nyata bahwa demokrasi juga dapat bertindak tegas dan tepat untuk menyelesaikan berbagai persoalan negara. Natsir pun mengutip pendapat kolega dekatnya Sjafruddin Prawiranegara yang mengatakan: ‘’…Apabila para pemimpin rakyat pada satu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya: apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam negara kita ialah, bahwa demokrasi tenggelam dalam koalisi, dan kemudian koalisi dimakan anarki, dan anarki diatasi oleh golongangolongan yang bersenjata atau golongan yang menguasai golongangolongan bersenjata itu….” Natsir yakin bahwa sistem demokrasi di Indonesia memiliki obat penawar yang cukup untuk memberantas penyakit-penyakit yang telah ia kemukakan. Sistem demokrasi di Indonesia, analisa Natsir, akan sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan apabila partai-partai itu bersungguh-sungguh menempatkan petugas yang tepat pada tempat yang semestinya. Masyarakat Indonesia, bagi Natsir, mempunyai cukup
102
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
pribadi-pribadi yang bertebaran di partai-partai maupun di luar partai. Apabila mereka disusun menurut tempat sewajarnya, mereka dapat menghasilkan usaha-usaha besar yang akan mampu memulihkan harapan ideal rakyat. Pandangan Natsir masih banyak yang aktual sampai sekarang dan pada detik ini.
***
Telaah
Dodi, W i l o p o, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah
103
WIL OPO, MEN CIPT AKAN WILOPO, MENCIPT CIPTAKAN AGEND A OT ON OMI DAERAH D AN AGENDA OTON ONOMI DAN RAPBN PER TAMA PERT (PERD AN A MENTERI, 1 APRIL 1 952 – 3 JUNI 1 953) (PERDAN ANA 1952 1953)
Dodi Priambodo
Wilopo adalah salah satu perdana menteri dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memimpin kabinet Indonesia di era demokrasi parlementer antara tahun 1952 sampai dengan 1953. Presiden Soekarno menunjuk Wilopo pada tanggal 19 Maret 1952 sebagai formatur untuk membentuk kabinet yang kuat dengan dukungan parlemen yang cukup besar, dan pada tanggal 1 April 1952 Presiden Soekarno mengumumkan susunan Kabinet pimpinan Perdana Menteri Wilopo, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 85 Tahun 1952.1 Wilopo memiliki beberapa program yang dibentuk oleh kabinetnya. Dalam bidang organisasi negara, salah satu program Wilopo adalah untuk melaksanakan pemilihan umum untuk Konstituante dan Dewandewan Daerah. Wilopo juga menciptakan program untuk menyelesaikan penyelenggaraan dan mengisi Otonomi Daerah, serta menyederhanakan 1 Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-partai dan Kelemahan-kelemahannya, Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.
104
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
organisasi Pemerintah Pusat. Program lainnya adalah memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional, terutama bahan makanan rakyat. Di bidang keamanan, program kabinet Wilopo adalah menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi masalah keamanan dengan kebijaksanaan sebagai negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara serta mengembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketentraman.2 Agenda lain Wilopo adalah melengkapi perundang-undangan perburuhan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses produksi nasional, dan juga mempercepat usaha-usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran. Wilopo berhasil menyusun Undang-Undang Pemilu yang pertama berdasarkan UUDS 1950, yang kemudian disahkan Parlemen pada tanggal 4 April 1953 sebagai Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Namun salah satu hal yang perlu dicatat tentang Wilopo adalah usulnya dalam mengajukan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia untuk tahun 1952 – 1953. Dalam RAPBN yang berhasil disusun itu, digariskan kebijaksanaan untuk secara teratur menekan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.3 Kabinet Wilopo juga banyak menitikberatkan fokus pada programprogram di bidang hubungan luar negeri, dengan mengisi politik luar negeri yang bebas yang sesuai dengan kewajiban negara Indonesia dalam kekeluargaan bangsa-bangsa dan dengan kepentingan nasional menuju perdamaian dunia. Program di bidang luar negeri lainnya adalah menyelesaikan penyelenggaraan perhubungan Indonesia-Nederland atas dasar unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan per janjian internasional biasa yang menghilangkan hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang merugikan rakyat dan negara serta meneruskan perjuangan memasukkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia secepatnya. Wilopo dan kabinetnya berhasil menyelesaikan masalah-masalah luar negeri yang semasa Kabinet Sukiman (1951-1952) mengundang kontroversi, seperti perjanjian perdamaian dengan Jepang dan persetujuan Cochran-Subardjo mengenai Mutual Security Act (MSA). Di bawah kepemimpinan Sukiman pada periode 1951 – 1952, Menteri 2 3
P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003. Ibid
Dodi, W i l o p o, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah
105
Luar Negeri Subardjo menyatakan kesediaan Indonesia untuk menerima bantuan yang disampaikan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA, tanpa sepengetahuan Kabinet. Akibatnya, Menlu Subardjo diinstruksikan untuk mendapatkan persetujuan Duta Besar Amerika Serikat untuk menghapuskan syarat-syarat penerimaan bantuan yang dapat membahayakan pelaksanaan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Wilopo dan kabinetnya akhirnya dapat menyelesaikan masalah ini dengan merubah bantuan yang diberikan dalam rangka MSA menjadi bantuan teknis dan ekonomis melalui Technical Cooperation Administration (TCA) yang syarat-syaratnya tidak seperti pasal-pasal dalam MSA. Meskipun berhasil menyelesaikan masalah-masalah luar negeri, terdapat beberapa masalah dalam negeri yang tidak dapat ditangani oleh Wilopo. Salah satunya adalah masalah yang menyangkut Angkatan Perang, yang kemudian menggoyahkan Kabinet Wilopo. Permasalahan ini diawali oleh perdebatan di Parlemen mengenai pro dan kontra terhadap kebijaksanaan Menteri Pertahanan dan Pimpinan Angkatan Darat. Beberapa anggota parlemen menyarankan agar diadakan reorganisasi dan dibentuk Undang-Undang Pokok Pertahanan untuk mengatur lebih lanjut kedudukan hukum dari tiap anggota Angkatan Perang. Akibat perdebatan antara anggota parlemen ini, ribuan massa berdemonstrasi di Istana Merdeka dan gedung Parlemen di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1952 dengan semangat untuk menuntut pembubaran parlemen yang tidak representatif dan menuntut diadakan pemilihan umum. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober”. Para pimpinan Angkatan Darat dan para panglima Teritorium juga menghadap Presiden untuk meminta hal yang sama, namun Presiden Soekarno menolak untuk membubarkan Parlemen dan membentuk Parlemen baru.4 Masalah dalam negeri lainnya yang dihadapi oleh Wilopo adalah peristiwa Tanjung Morawa, yang pada intinya merupakan perbedaan sikap politik antara Masyumi dan PNI terhadap cara penyelesaian peristiwa Tanjung Morawa yang berhubungan dengan posisi modal asing di Indonesia. Pemerintah menginginkan agar hak-hak perusahaanperusahaan asing atas tanah di Sumatera Timur yang oleh Pemerintah Kolonial sebelum Perang Dunia II disewakan kepada Perkumpulan 4 A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba I, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
106
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
Perkebunan Deli dikembalikan kepada yang berhak. Namun rencana pemerintah ini ditentang oleh para petani yang menggarap tanah tersebut. Ketika dibahas dalam Parlemen, masalah ini mengakibatkan perbedaan sikap politik antara PNI dan Masyumi, dua partai utama yang mendukung Kabinet Wilopo. PNI mendesak Masyumi untuk membubarkan Kabinet, karena PNI menolak cara-cara pemerintah dalam menyelesaikan Peristiwa Tanjung Morawa. Atas sikap PNI ini, Masyumi beranggapan kabinet tidak mempunyai dukungan yang cukup lagi untuk melanjutkan tugasnya. Akhirnya, pada tanggal 3 Juni 1953 Perdana Menteri Wilopo menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden Soekarno, dan sejak saat itu pula Kabinet Wilopo demisioner, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 99 Tahun 1953.5
***
5
P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003
Telaah
Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana
107
ALI S AS TR OAMID JOJO, SAS ASTR TRO AMIDJOJO, TOK OH D AL AM KEB AN GKIT AN TOKOH DAL ALAM KEBAN ANGKIT GKITAN SOLID ARIT AS NEG ARA SOLIDARIT ARITAS NEGARA ASIA - AFRIKA (30 JULI 1 953- 2 4 JULI 1 955 D AN 2 4 MARET 195324 1955 DAN 24 7) 1956- 1 4 MARET 1 95 14 195 957) Dodi Priambodo
Setelah Kabinet Wilopo demisioner, Presiden Soekarno pada tanggal 20 Juli 1953 menunjuk pemimpin Partai Indonesia Raya (PIR), Mr. Wongsonegoro, sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden akhirnya mengumumkan kabinet baru yang dibentuk Wongsonegoro, yang menunjuk Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai perdana menteri. Ali Sastroamidjojo merupakan satu-satunya perdana menteri di era demokrasi parlementer yang memimpin kabinet selama 2 periode, yaitu pada tahun 1953-1955 dan tahun 1956-1957. Kabinet kedua Ali Sastroamidjojo ini merupakan Kabinet yang paling mewakili rakyat, karena didukung lebih dari 60% Parlemen hasil Pemilihan Umum 1955. Di masa kepemimpinannya dalam periode pertama, Ali menetapkan beberapa agenda. Untuk urusan keamanan dalam negeri, Ali bertekad untuk memperbaharui politik dengan mengembalikan keamanan sehingga memungkinkan tindakan-tindakan yang tegas serta membangkitkan tenaga rakyat. Ali juga ingin menyempurnakan
108
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
hubungan antara alat-alat kekuasaan Negara. Sama halnya dengan Wilopo, Ali juga ingin segera melaksanakan pemilihan umum untuk Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam organisasi Negara, Ali beserta kabinetnya juga memiliki program untuk memperbaharui politik desentralisasi dengan menyempurnakan perundang-undangannya dan mengusahakan pembentukan daerah otonom sampai ke tingkat yang paling bawah. Selain itu juga di dalam agenda juga ditetapkan penyusunan aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasionil dengan mengusahakan perbaikan taraf penghidupan pegawai, serta memberantas korupsi dan birokrasi. Untuk bidang kemakmuran dan keuangan, Ali menitikberatkan politik pembangunan kepada segala usaha untuk kepentingan rakyat jelata, dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dan kaum penganggur terlantar dalam lapangan pembangunan. Selain itu juga memperbaiki pengawasan atas pemakaian uang Negara. Program lainnya adalah mempercepat terbentuknya perundang-undangan nasional, terutama di bidang keamanan, kemakmuran, keuangan dan kewarganegaraan. Ali juga mengusahakan penyelesaian segala perselisihan politik yang tidak dapat diselesaikan dalam Kabinet dengan menyerahkan keputusannya kepada Parlemen. Di bidang Politik Luar Negeri, Ali memiliki program yang hampir sama dengan program yang dilaksanakan oleh Wilopo, yaitu menjalankan politik luar negeri yang bebas dan yang menuju perdamaian dunia, serta merubah hubungan Indonesia-Belanda atas dasar Unie-Statuut menjadi hubungan internasional biasa. Selain itu Ali juga ingin mempercepat peninjauan kembali perjanjian KMB dan menghapuskan perjanjian-perjanjian yang merugikan negara. Sesuai dengan programnya yang pertama, Kabinet Ali mengajukan rancangan undang-undang tentang pembatalan perjanjian KMB secara unilateral pada bulan April 1956 kepada Parlemen. Rancangan undang-undang tersebut disetujui oleh parlemen pada tanggal 21 April 1956. Pembatalan perjanjian-perjanjian KMB secara unilateral ini tidak saja menghapuskan Uni Indoensia-Belanda, tetapi semua hubungan antara Indonesia dan Belanda atas dasar perjanjian KMB. Hubungan antara Indonesia dengan Belanda selanjutnya menjadi hubungan biasa antara Negara yang berdaulat berdasarkan hukum internasional. Ali juga berhasil melaksanakan politik luar negeri bebas aktif melalui
Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana
109
tindakan-tindakan nyata, seperti menjadi salah satu pemrakarsa dan tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada tanggal 18 – 24 April 1955 yang diikuti 29 negara Asia dan Afrika. Dalam konferensi ini, Indonesia tampil aktif dalam meredakan perang dingin dan memperkuat per juangan bangsa-bangsa Asia-Afrika melawan kolonialisme. Konferensi ini menghasilkan Dasasila Bandung, yang merupakan jawaban terhadap imperialisme dalam segala manifestasinya. Ali Sastroamidjojo juga terus memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Kabinet Ali melihat masalah Irian Barat sebagai masalah kolonialisme yang harus dipecahkan di forum internasional, dan sebagai tahap awal, resolusi mengenai Irian Barat diterima sesuai dengan tujuan anti-kolonialisme dari Konferensi Asia-Afrika. Dalam kepemimpinannya, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dihadapkan oleh aksi teror dan pengacauan-pengacauan di beberapa wilayah Indonesia, antara lain di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan juga terjadi di Aceh, yang diawali dengan “proklamasi” Daud Beureuh, yang merupakan mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh sewaktu Agresi Militer Belanda Pertama. Pada tanggal 20 September 1953, Daud menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” dibawah Kartosuwirjo. Dalam menghadapi agresi dan pemberontakan ini, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan tegas dengan melancarkan operasioperasi militer, dan satu demi satu kota-kota yang dikuasai pemberontak pun berhasil direbut kembali.1 Ali juga menghadapi masalah yang sama dengan Wilopo mengenai pertentangan di dalam tubuh Angkatan Darat, yang merupakan kelanjutan daripada “Peristiwa 17 Oktober”. Akibat peristiwa ini, TNI terpecah menjadi golongan “pro 17 Oktober” dan golongan “anti-17 Oktober”. Untuk mengakhiri pertentangan di dalam tubuh Angkatan Darat ini, maka para pimpinan TNI mengadakan pertemuan di Yogyakarta pada tanggal 17 Pebruari 1955, yang menghasilkan “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Piagam tersebut menghasilkan pernyataan bahwa “Peristiwa 17 Oktober” dinyatakan sudah tidak ada lagi dan oleh karenanya minta kepada Pemerintah untuk secara resmi menyatakan demikian pula. Selain itu, piagam tersebut juga menuntut supaya Pemerintah memberikan batas-batas yang jelas mengenai pengaruhpengaruh politik yang dapat memasuki tentara. Ditegaskan pula dalam 1
30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1995
110
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
piagam tersebut agar politik pengangkatan di dalam ketentaraan didasarkan hanya atas keahlian.2 Namum permasalahan di tubuh Angkatan Darat kembali muncul dengan adanya pertentangan antara TNI dan Pemerintah tentang pengangkatan KSAD. Permasalahan ini kemudian membuat NU mendesak agar Kabinet menyerahkan mandatnya kepada Presiden. Akhirnya, di depan sidang Parlemen tanggal 23 Juli 1955, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengatakan bahwa Pemerintah akan mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden sebagai akibat gagalnya permusyawaratan untuk menyelesaikan persoalan Angkatan Darat dengan Pemerintah, karena penolakan oleh Angkatan Darat atas konsepsi penyelesaian dari Pemerintah. Pada tanggal 24 Juli 1955, Ali secara resmi menyerahkan mandatnya kembali kepada Wakil Presiden, dan Kabinetnya dinyatakan demisioner berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 122 Tahun 1955.3 Setelah Kabinet Boerhanudin Harahap (1955 – 1956) demisioner, Presiden Soekarno mengadakan hearing dengan PNI, NU, Masjumi, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Perti dan IPKI, dan memutuskan untuk menunjuk Ali Sastroamidjojo sebagai formatur kabinet baru. Dengan dibantu mantan perdana menteri Wilopo, Ali Sastroamidjojo akhirnya berhasil membentuk kabinet baru, yang merupakan gabungan kabinet lamanya dengan kabinet Boerhanudin Harahap. Kabinet Ali yang kedua ini dilantik Presiden Soekarno pada tanggal 24 Maret 1956. Dalam kepemimpinannya sebagai perdana menteri untuk kali keduanya ini, Ali menetapkan beberapa program yang merupakan kelanjutan dari program-program kabinet pertamanya. Salah satunya adalah menyelesaikan pembatalan seluruh per janjian KMB secara unilateral, baik formil maupun materil. Ali juga ingin meneruskan perjuangan untuk mewujudkan kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Irian Barat bersandarkan kekuatan rakyat dan kekuatan-kekuatan anti-kolonialisme di dunia internasional. Di bidang politik luar negeri, selain menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Ali juga meneruskan kerjasama dengan Negara-negara Asia-Afrika dan melaksanakan keputusan-keputusan Konferensi Asia-Afrika pertama di Bandung. 2 3
P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003 Ibid
Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana
111
Salah satu program dalam negeri Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo adalah memulihkan keamanan dalam negeri yang dikacaukan oleh kelompok-kelompok yang memberontak terhadap Negara dengan nama apapun juga mereka menamakan dirinya. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga terus berupaya menyempurnakan koordinasi antara alat-alat negara terutama dalam tindakan-tindakan pemulihan keamanan. Program pertahanan dan keamanan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meliputi: melancarkan tercapainya stabilisasi kekuasaan Negara; mengadakan kewajiban milisi bagi semua warganegara menurut syarat-syarat yang ditentukan dengan undangundang; dan memperbaiki nilai-nilai teknis daripada Angkatan Perang Republik Indonesia.4 Agenda lain Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo adalah melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom yang dilakukan menurut faktor-faktor nyata sosial, ekonomis dan kebudayaan, dengan memberi jaminan kepada daerah otonom dari tiap-tiap tingkatan berupa jaminan minimum perlengkapan aparatur dan keuangan. Hal ini dikukuhkan dengan menetapkan undang-undang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, yang dapat memenuhi kepentingan daerah otonom dengan mengingat perkembangannya. Program ini kemudian dilanjutkan dengan mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan menyusun aparatur Pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasionil dengan mengusahakan perbaikan penghidupan pegawai. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga melanjutkan program dari kabinet pertamanya, yaitu memberantas korupsi secara obyektif. Di bidang ekonomi dan keuangan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menetapkan beberapa program, diantaranya memulai pembangunan secara teratur dan menurut rencana berjangka waktu 5 tahun yang ditetapkan dengan undang-undang dengan menitikberatkan pada dasar kepentingan rakyat; mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional bersandarkan kepentingan rakyat jelata, dengan mengutamakan kebutuhan-kebutuhan primernya; mengembangkan kooperasi dan memajukan transmigrasi. Agenda ekonomi lainnya adalah menyehatkan keuangan Negara sehingga tercapai imbangan anggaran belanja yang baik dan memberikan kemungkinan untuk melanjutkan pembangunan. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga mengutamakan 4 Kabinet Ali-Roem-Idham Program dan Pelaksanaan, Jakarta: Kementrian Penerangan RI, 1956
112
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
penambahan sumber keuangan baru guna menyempurnakan keuangan Negara, serta memperbaiki pengawasan atas pemakaian uang Negara dan melakukan perkreditan pemerintah yang tepat dan lancar untuk melindungi usaha ekonomi nasional terhadap persaingan asing. Untuk mendukung kegiatan ekonomi, pemerintahan Ali Sastroamidjojo juga berusaha dalam memajukan berdirinya industri nasional supaya Indonesia dapat menjamin kebutuhannya sendiri, dan melindungi industri nasional terhadap persaingan asing.5 Walaupun Kabinet Ali Sastroamidjojo ini merupakan kabinet yang dinyatakan mewakili rakyat, namun kabinet ini terlalu lemah untuk menangani masalah-masalah yang dihadapinya, seperti tantangantantangan yang ekstra-parlementer dari Dewan-dewan Daerah yang dipimpin oleh beberapa kelompok tentara di Sumatera dan di Indonesia Timur. Keadaan ini diperburuk dengan bubarnya koalisi Kabinet, setelah Masjumi, Perti, IPKI dan PSII menarik menteri-menterinya dari Kabinet karena tidak setuju dengan “Konsepsi Presiden” yang terdiri dari dua bagian. Pertama, pembentukan sistem pemerintahan baru, yakni Kabinet Gotong Royong, yang akan memasukkan semua partai yang diwakili di DPR. Kedua, pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dan dipimpin oleh Presiden Soekarno. Menurut Presiden Soekarno, selama ini Indonesia mempertahankan sistem pemerintahan yang salah, yakni Demokrasi Parlementer Barat, yang tidak cocok dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Menurutnya, konsep oposisi ini telah membuat Indonesia menderita, dan perlu dibentuk kabinet gotong royong yang tidak mentolerir oposisi. Mundurnya menteri-menteri dari Masjumi, Perti, IPKI dan PSII memaksa Kabinet Ali Sastroamidjojo untuk meletakkan jabatan. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pun menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957, dan kabinetnya dinyatakan demisioner berdasarkan Keputusan Presiden RI No 42 Tahun 1957.6 Dengan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua ini, maka berakhir pula sistem Demokrasi Parlementer di Indonesia, dan mulai beralih kearah “Demokrasi Terpimpin” sesuai dengan Konsepsi Presiden.
*** 5 6
P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003 Ibid
Telaah
Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan
113
DJU AND A, TEKN OKRA TDJUAND ANDA TEKNOKRA OKRAT NEG ARA WAN NEGARA ARAW (PERD AN A MENTERI, 9 APRIL 1 95 7—1 0 JULI (PERDAN ANA 195 957—1 7—10 TAMA 0 JULI 1 959— 1959 D AN MENTERI PER DAN PERT AMA,, 1 10 1959— 7 NO VEMBER 1 963) NOVEMBER 1963) Tata Mustasya
Herbert Feith dalam bukunya “Kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia” -dengan memakai pendekatan ideal typemembagi pemimpin nasional menjadi dua golongan, yaitu solidarity makers dan problem solvers atau administrators. Soekarno adalah contoh yang paling otentik dari golongan solidarity makers, sedangkan Hatta dan Djuanda Kartawidjaja merupakan contoh dari golongan problem solvers. 1 Penjelasan Hasjim Djalal mengenai tiga tiang utama kesatuan negara dan bangsa Indonesia membantu menjelaskan pengkategorian di atas. Tiga tiang utama tersebut adalah kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928, kesatuan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dan kesatuan kewilayahan yang 1 Awaloedin Djamin (ed), Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm. xv. Hal tersebut disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengantar.
114
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
diumumkan melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.2 Jika kesatuan kejiwaan dan kesatuan kenegaraan memiliki bobot penggalangan solidaritas yang kuat, Deklarasi Djuanda merupakan pemecahan masalah agar Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 memiliki manfaat yang riil bagi pembangunan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Sosok Djuanda yang menonjol sebagai pemimpin “pemecah masalah” sepertinya memperlihatkan perannya sebagai teknokrat daripada sebagai politisi. Peran tersebut semakin terlihat mengingat Djuanda tidak masuk ke dalam partai politik manapun. Praktis Djuanda hanya pernah terlibat secara organisatoris dalam Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah. Walaupun demikian, dari 22 kali pergantian kabinet antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1963, Djuanda masuk ke dalam 14 kabinet. Sebagai teknokrat, Djuanda sangat memperhatikan pengadaan berbagai infrastruktur dasar yang sangat berguna bagi pelaksanaan pembangunan. Di tengah-tengah pergolakan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, Djuanda -sebagai menteri perhubunganmemprakarsai berdirinya perusahaan penerbangan Garuda, Akademi Penerbangan di Curug, Akademi Pelayaran di Jakarta, serta membangun sistem angkutan darat (kereta api maupun angkutan bermotor). Sarana angkutan yang hancur akibat Perang Dunia II dan revolusi fisik direhabilitasi. Djuanda juga memprakarsai rehabilitasi perkebunan, pembangunan pabrik semen di Gresik, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Jatiluhur. Pendirian Pabrik Baja Krakatau juga didorong olehnya walaupun berbagai asumsinya banyak yang salah.3 Lebih jauh lagi, Djuanda juga membidani kelahiran Lembaga Administrasi Negara (LAN). Terkait dengan peran Djuanda tersebut, Bintoro Tjokroamidjojo secara eksplisit menyatakan dua legacies dari Djuanda. Pertama, perannya sebagai penggagas dan pemimpin perencanaan pembangunan nasional dengan suatu kerangka makro yang pertama. Kedua, perannya sebagai peletak dasar-dasar administrasi negara Republik Indonesia.4
2 3 4
Ibid., hlm. 345. Ibid., hlm. 258. Hal tersebut disampaikan oleh M. Sadli. Ibid., hlm. 211.
Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan
115
Visi pembangunan ekonomi Djuanda diungkapkan oleh Emil Salim. Menurutnya, Djuanda memprakarsai pembangunan Indonesia yang berangkat dari pembangunan desa dengan menggunakan prinsip community development. Dalam prinsip ini, pembangunan berasal dari bawah. Masyarakat desa bergerak sendiri mengupayakan sendiri hal-hal yang dirasakan perlu oleh mereka. Pola pendekatan pembangunan masyarakat desa yang diusulkan oleh Djuanda berbeda dengan pendekatan serupa yang diaplikasikan pada tahun 1980-an. Pendekatan Djuanda lebih holistik, mencakup semua segi kehidupan masyarakat desa, tidak bersifat sektoral, dan diartikulasikan oleh masyarakat desa itu sendiri. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Djuanda memandang perlu kajian-kajian mengenai dinamika internal masyarakat desa. Misalnya, apakah terdapat mekanisme masyarakat desa untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhannya tersebut. 5 Sebagai teknokrat dan perencana ekonomi, Djuanda tidak sepakat dengan perombakan yang radikal dalam bidang ekonomi, seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang masih dipimpin oleh orangorang Belanda secara radikal. Sebaliknya, dia mendorong perencanaan ekonomi yang detil dan terarah. Djuanda –dalam hal ini- merupakan seorang yang praktis-pragmatis. Ketika menja bat Menteri Kemakmur an, Djuanda mengemukakan pandangannya mengenai masalah nasionalisasi dan modal asing di Indonesia, ...Tentang transfer laba perusahaanperusahaan Belanda dan asing di Indonesia, kita ikuti peraturan internasional yang lazim. Kita tidak memberi prioritas kepada siapapun juga. Segala transfer harus tunduk kepada peraturanperaturan kita selama keadaan devisa kita mengizinkan. Peraturanperaturan itu tidak berbeda dengan peraturan-peraturan internasional. Tentang nasionalisasi, yang harus didahulukan adalah nasionalisasi perhubungan yang vital.6 Di sisi lain, dia tetap melandaskan kebijakan ekonomi kepada kepentingan nasional Indonesia. Djuanda menyatakan kepada pers: PBB menganjurkan perdagangan internasional yang bebas dari perubahan-perubahan. Politik kita terhadap penetrasi modal asing ialah
5 6
Ibid., hlm. 264—265. Ibid., hlm. 101—102.
116
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
kita menjaga jangan sampai kepentingan-kepentingan Indonesia terdesak oleh kepentingan-kepentingan asing. Untuk itu, diadakan peraturanperaturan yang memberi tuntunan dan perlindungan supaya kita bisa membangun ekonomi nasional.7 Perencanaan yang dibuat Biro Perancang Negara (BPN) pimpinan Djuanda antara tahun 1954 sampai dengan tahun 1956 secara cermat memasukkan variabel-variabel pembentukan modal, pertumbuhan ekonomi, marginal capital output ratio, dan pertumbuhan ekonomi ke dalam penjelasannya. Di sisi lain, perencanaan tersebut tetap memasukkan prinsip-prinsip dasar ekonomi. Di sana ditekankan kebutuhan terhadap penyempurnaan cara-cara produksi agar lebih efisien sehingga kebutuhan terhadap peralatan modal relatif tidak terlalu besar. Mengenai pinjaman luar negeri, perencanaan tersebut menjelaskan fungsi pinjaman untuk mengurangi tekanan ekonomi dan membantu terlaksananya Rencana Pembangunan Lima Tahun. Walaupun demikian, ditegaskan bahwa tidak mendasarkan diri atas bantuan dan pinjaman luar negeri merupakan hal yang positif. Bantuan dan pinjaman luar negeri harus diposisikan sebagai pelengkap atau suplemen dari sumbersumber pembiayaan dalam negeri.8 Kenyataannya, perencanaan tersebut tidak pernah benar-benar diimplementasikan. Hal ini disebabkan adanya komplikasi politik dan memuncaknya sentimen nasionalisme. Pada tahun 1957 dan 1958, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi. Setelahnya, semangatsemangat sosialis yang radikal semakin berpengaruh dan perencanaanperencanaan yang serba teknokratis cenderung tidak laku dalam suasana seperti itu. Walaupun demikian, Biro Perancang Negara telah menjadi cikal bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di masa pemerintahan Soeharto dan lahirnya teknokrat-teknokrat ekonomi yang sangat berpengaruh, seperti Widjojo Nitisastro dan M. Sadli. Dalam hal ini, terdapat kritik terhadap generasi teknokrat setelah Djuanda tersebut karena menerapkan kebijakan pembangunan “penetesan ke bawah” (trickle-down effect) yang merupakan kebalikan strategi bottom-up development yang diterapkan Djuanda. Berlainan dengan citra teknokrat yang sering diasosiasikan dengan
7 8
Ibid., hlm. 101. Ibid., hlm. 260—261.
Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan
117
perencana yang hanya peduli dengan hal-hal teknis, Djuanda juga memiliki rasa kebangsaan dan jiwa negarawan yang kuat yang tercermin dari pemikiran, sikap-sikap politik, dan kebijakan-kebijakannya ketika menjabat perdana menteri, menteri pertama, dan menteri. Deklarasi Djuanda tahun 1957 merupakan salah satu contoh. Lebih jauh lagi, Djuanda -ketika menjabat perdana menteri merangkap menteri pertahanan- berhasil memadamkan berbagai pemberontakan dan gerakan separatisme, seperti PRRI, Permesta, DI/TII, pemberontakan Daud Beureuh dan pembentukan berbagai dewan di daerah-daerah. Djuanda ternyata dapat mengambil keputusan tegas untuk menumpas berbagai pemberontakan secara militer walaupun ekonomi dan keuangan negara sedang berada dalam posisi yang sulit. Pemikiran politik Djuanda yang memperlihatkan sifat negarawannya jelas terlihat ketika dia menggagas Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10—14 September 1957 untuk menyelesaikan berbagai konflik politik yang mengancam integrasi bangsa. Dalam posisinya sebagai perdana menteri, Djuanda berperan sebagai fasilitator untuk menyatukan kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta. Posisi Djuanda yang tidak terafiliasi dengan partai politik merupakan kekuatan sekaligus kelemahannya. Dalam kondisi politik di mana tidak ada partai yang dominan dan kabinet merupakan koalisi beberapa partai, peran Djuanda menjadi sangat menentukan. Ketika Soewirjo –sebagai formatur kabinet- tidak mampu membentuk kabinet pada tahun 1957 karena komplikasi politik partai, Presiden Soekarno mengangkat Djuanda sebagai perdana menteri dan membentuk zaken kabinet extra parlementer, yang tidak mengandalkan dukungan partai-partai politik. Di sisi lain, Djuanda sebagai orang non partai terlihat terlalu pragmatis dalam menyikapi berbagai masalah penting. Dia, misalnya, berada pada posisi menteri pertama pada kabinet presidensil yang dipimpin Presiden Soekarno mulai tahun 1959 -yang perannya mirip dengan perdana menteri pada kabinet parlementer- meskipun Soekarno telah menunjukkan sikap yang otoriter, antara lain dengan penerapan demokrasi terpimpin. Pada saat yang sama, Hatta, Sjahrir, dan tokohtokoh Masyumi telah mengambil sikap politik menentang Soekarno secara terbuka. Walaupun demikian, banyak pihak yang melihat peran penting Djuanda dalam kabinet pada waktu itu sebagai penyeimbang. Roosseno dan Roeslan Abdulgani berpendapat, meninggalnya Djuanda pada tahun
118
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005
1963 telah memperkuat pengaruh Partai Komunis Indonesia kepada Soekarno.9 Sebelumnya, Djuanda banyak mempengaruhi kebijakankebijakan Soekarno dengan masukan-masukan yang dinilai jernih dan tidak partisan.
***
9
Ibid., hlm. xii dan 273.
BIODATA PENULIS Anhar Gonggong; Pensiunan PNS; mantan Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Pengajar Pengantar Ilmu Politik dan Sejarah Ekonomi di Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya, Jakarta; juga mengajar Agama dan Nasionalisme di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan pengajar Sejarah Pergerakan Nasional dan Sejarah Kontemporer (Indonesia) di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta. Yudi Latif; Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Direktur Eksekutif Reform Institute, Jakarta. M. Dawam Rahardjo; Tokoh Muhammadiyah dan juga pengamat ekonomi, guru besar bidang ekonomi pembangunan di Universitas Muhammadiyah Malang. Dodi Priambodo Joebihakto, Menyelesaikan pendidikan S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jayabaya, Jurusan Hubungan Internasional pada tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai peneliti di The Habibie Center. Junarto Imam Prakoso; Analis Media pada Media Watch and Cunsumer Center -- The Habibie Center, juga mengelola jurnal penelitian ilmu komunikasi thesis pada almamaternya di Fakultas Ilmu SOsial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tata Mustasya, Menyelesaikan pendidikan S-1 dari Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai peneliti ekonomi di The Indonesian Institute: Center for Public Policy Research. Sebelumnya, Tata merupakan peneliti di The Habibie Center. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Harian Kompas, The Jakarta Post, dan Media Indonesia.
120
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005