CAREGIVER BURDEN PADA KELUARGA DENGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)DI SDLB LABUI BANDA ACEH CAREGIVER BURDEN OF FAMILY WITH SPECIAL NEEDS CHILDREN IN AN OUTSTANDING PRIMARY SCHOOL LABUI BANDA ACEH Yusri1; Fithria2 1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2 Bagian Keilmuan Keperawatan Keluarga, Fakultas keperawatanUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh e-mail:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yangmengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental, maupun emosional, jika dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya. ABK sangat bergantung kepada keluarga yang berperan sebagai caregiver baginya. Hal tersebut menimbulkan keterbatasan pada keluarga dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui caregiver burden (beban pemberi asuhan) pada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) di SDLB Labui Banda Aceh tahun 2016. Penelitian dilakukan pada tanggal 2 Juni sampai dengan 4 Juni 2016 dengan cara membagikan kuesioner. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling yang berjumlah 66 responden. Data yang sudah didapatkan kemudian dianalisis dengan analisa univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban objektif keluarga berada pada kategori beban berat dengan frekuensi 34 responden (51,5%), beban subjektif keluarga berada pada kategori beban berat dengan frekuensi 40 responden (60,6%), dan beban keluarga secara keseluruhan berada pada kategori beban berat dengan frekuensi 39 responden (59,1%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis menyarankan kepada pihak sekolah bekerja sama dengan puskesmas untuk memberikan dukungan kepada keluarga dalam menjalankan fungsi dan tugas kesehatan keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhan anak yang berkebutuhan khusus dengan baik tanpa membebani keluarga secaraberlebihan. Kata kunci :ABK, caregiver burden (beban pemberi asuhan), bebanobjektif, bebansubjektif
ABSTRACT Children with Special Needs was children who have limited or exceptionalism, whether physical, mental, and emotional, when compared with other children of the same age. Special needs children was very dependent on the family who acted as their caregiver. It could be arose of limitations on the family in performing daily activities. The purpose of this study was to know about the caregiver burden in families with special needs children in SDLB Labui Banda Aceh 2016. The study was conducted from 2 nd to 4th June, 2016 by distributing questionnaires. The type of this study was descriptive research by using total sampling as a sampling technique which amounts to 66 respondents. The data have been obtained and analyzed by univariate analysis. The results showed that the objective burden of families that are in the heavy burden category with a frequency of 34 respondents (51.5%), the subjective burden of family that are in the category of heavy burden with a frequency of 40 respondents (60.6%), and overall burden of families that are in the heavy burden category with a frequency of 39 respondents (59.1%). Based on these results, The authors suggest to the school working together with community health center to provide support to the family in running function and family health tasks that can meet the needs of the special needs children without the excessive burden offamily. Keywords: Specialneedschildren,caregiverburden,objectivecaregiver burden, subjectivecaregiverburden
1
PENDAHULUAN Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tinggal dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masingmasing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon & Maglaya, 1978 dalam Friedman, 2010). Anggota keluarga berperan penting sebagai pemberi asuhan primer tidak hanya untuk lansia yang lemah, akantetapi untuk banyak anggota keluarga dari semua usia yang masih bergantung akibat disabilitas fisik maupun mental (Friedman,2010). Menurut WHO (2011), kecacatan adalah hal yang kompleks, dinamis, dan multidimensi. Kecacatan adalah istilah umum untuk gangguan, keterbatasan aktivitas dan pembatasan partisipasi, mengacu pada aspekaspek negatif dari interaksi antara individu (dengan kondisi kesehatan) dan faktor kontekstual yang individu (faktor lingkungan dan pribadi). Dalam International Classification of Functioning (ICF), masalah manusia dalam menjalankan fungsi kesehariannya dikategorikan dalam tiga bidang yang saling berhubungan. Pertama, impairments; gangguan masalah dalam fungsi tubuh atau perubahan dalam struktur tubuh, misalnya kelumpuhan atau kebutaan. Kedua, activity limitations; keterbatasan atau kesulitan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, misalnya berjalan atau makan. Ketiga,participation restrictions; masalah dengan keterlibatan atau partisipasi dalam setiap bidang kehidupan, misalnya menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan atau transportasi. Menurut data yang didapatkan dari Dinas Sosial Kota Banda Aceh, pada tahun 2014 penyandang disabilitas di Banda Aceh berjumlah 396 orang yang tersebar di beberapa kecamatan, yaitu Ulee Kareng 77 orang, Lueng Bata 74 orang, Syiah Kuala 56 orang, Banda
Raya 91 orang, Kuta Raja 46 orang, Meuraxa 52 orang, dan Kuta Alam 44 orang. Sedangkan di SDLB Labui Banda Aceh sendiri terdapat 88 anak penyandang disabilitas yang terdiri dari 2 anak tunanetra, 24 anak tunarungu, 9 anak tunagrahita ringan, 41 anak tunagrahita berat, 1 anak tunadaksa ringan, 4 tunadaksa berat, dan 6 anak autis. Peran keluarga sangat dibutuhkan saat timbulnya gangguan kesehatan pada anggota keluarga yang lain. Ketika salah satu dari anggota keluarga menderita gangguan kesehatan, maka satu atau lebih anggota keluarga yang lain berperan sebagai caregiver atau pemberi asuhan (Friedman, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khomarun (2006) tentang level burden bagi caregiver dengan anak yang mempunyai kebutuhan khusus di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta didapatkan bahwa 96%responden tidak mengalami burden mental, 44% responden mengalami burden fisik, sedangkan responden yang tidak mengalami burden sosial terdapat 80% dan 64% responden mengalami burden finansial. Perlindungan sosial untuk anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka sangatlah penting karena keluarga seringkali menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi. Keluarga juga menghadapi berbagai masalah lain seperti harus berhenti bekerja atau mengurangi jam kerjanya untuk merawat anak penyandang disabilitas. Biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anggota penyandang disabilitas selanjutnya bisa berdampak terhadap penurunan standar kehidupan jika tidak segera diatasi (Unicef, 2013). Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) membutuhkan seseorang yang membantunya untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari atau yang biasa disebut caregiver (pemberi asuhan).Caregiver 2
dalam hal ini dikhususkan kepada keluarga sang ABK. Selain merawat sang anak, caregiver juga memiliki tugas lain yang harus dilaksanakan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya beban (burden) yang berlebihan pada caregiver. Oleh sebab itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Caregiver Burden pada Keluarga dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SDLB Labui Banda Aceh” METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian bersifat deskriptif. Populasi dalam penelitian adalah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar Luar Biasa Labui Banda Aceh dari kelas I sampai kelas V yang berjumlah 66 orang tua.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling.Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner untuk mengetahui beban objektif dan subjektif yang dirasakan keluarga dalam mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)terdiri dari 17 pernyataan.Pengumpulan data telah dilakukan pada bulan Juni tahun 2016 HASIL Tabel 1.Distribusi frekuensi caregiver burden pada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (n=66)
No 1 2 Total
Burden (Beban) Keluarga Beban berat Beban ringan
f
%
39 27 66
59,1 40,9 100
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga mengalami beban berat dalam mengasuh dan merawat anak berkebutuhan khusus di SDLB Labui Banda Aceh.
Tabel 2 Distribusi frekuensi caregiver burden pada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (n=66) Burden (Beban) Keluarga Kondi si Anak RM Ringa n RM Sedan g Autis Tuna Rungu Tuna Netra Tuna Daksa
Beban berat
Tot
Beban ringan F
%
f
%
f
%
6
15,4
3
11,1
9
13, 6
15
38,5
13
48,1
28
42, 4
3
7,7
2
7,4
5
7,6
11
28,2
7
25,9
18
0
0,0
2
7,4
2
27, 3 3,0
4
10,3
0
0,0
4
6,1
Berdasarkan pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa beban keluarga dengan anak retardasi mental ringan menunjukkan beban berat sebesar (66,7%) sebanyak 6 orang, sebagian besar beban keluarga dengan anak retardasi mental sedang menunjukkan beban berat sebesar (53,6%) sebanyak 15 orang, sebagian besar beban keluarga dengan anak autis menunjukkan beban berat sebesar (60,0%) sebanyak 3 orang, sebagian besar beban keluarga dengan anak tuna rungu menunjukkan beban berat sebesar (61,1%) sebanyak 11 orang, seluruh keluarga dengan anak tuna netra menunjukkan beban ringan sebesar (100%) sebanyak 2 orang, seluruh keluarga dengan anak tuna daksa menunjukkan beban berat sebesar (100%) sebanyak 4 orang. Sehingga total keseluruhan beban keluarga sesuai kategori dengan kondisi anak adalah beban berat sebanyak 39 orang (59,1%).
3
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SDLB Labui Banda Aceh bahwa beban keluarga dengan anak berkebutuhan khusus berada pada kategori beban berat sebanyak 39 orang (59,1%). Hal ini didukung oleh sebahagian orang tua menjawab bahwa terkadang adanya kesulitan keuangan yang timbul pada dirinya akibat mengasuh anaknya (28,8%) dan terkadang orang tua juga merasa kesulitan dalam memenuhi segala kebutuhan anaknya (43,9%). Keluarga memiliki kebutuhan penting mereka sendiri dalam menanggapi penyakit mental yang diderita oleh salah satu anggotanya. Cacat kejiwaan sering menempatkan keluarga di bawah pengaruh stress yang sangat tinggi. Sebagai respon keluarga terhadap kesedihan dan trauma, mereka membutuhkan rasa empati dan dukungan dari para profesional perawatan kesehatan.Beban keluarga adalah keseluruhan tingkat kesulitan yang dialami sebagai akibat dari penyakit mental (Fontaine, 2003). Tingkat stres bisa dilihat dari jawaban responden terhadap pernyataan tentang stres yang dirasakan keluarga yang menunjukkan persentase 40,9% yang menjawab bahwa “orang tua terkadang ada saatnya merasakan stres dalam memberi asuhan kepada anaknya yang berkebutuhan khusus”. Hal tersebut juga berlaku untuk gangguan interaksi dalam keluarga karenakeberadaan anaknya yang berkebutuhan khusus. Sebanyak 34,8% menjawab terkadang orang tua merasakan adanya gangguan dalam berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supatri (2014) di Bantul tentang pengasuhan orang tua yang memiliki anak retardasi mental didapatkan bahwa ada banyak tugas tambahan yang harus dilaksanakan oleh orang tua saat memiliki anak retardasi mental.Diantaranya mencarikan bermacam- macam pengobatan
seperti membawa anaknya ke psikolog, terapi alternatif, memberikan vitamin, menyekolahkan anak ke SLB dan memberikan bimbingan di rumah.Tugas tambahan tersebut menyebabkan timbulnya beban yang berlebihan pada orang tua sebagai pemberi asuhan. Beban keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya kemandirian dan peningkatan tanggung jawab sebagai keluarga yang mencoba untuk mengatasi kehidupan sehari-hari.Salah satu dari beban keluarga tersebut adalah kesulitan keuangan karena tagihan medis dan biaya perawatan anak mereka (Fontaine, 2003). Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Shyam, Kavita, & Govil (2014) tentang stres dan beban keluarga pada ibu yang memiliki anak disabilitas di India didapatkan hasil bahwa ibu yang tidak memiliki anak yang berkebutuhan khusus memiliki tingkat stres, skala beban ekonomi, hambatan dalam kehidupan sehari-hari, dan gangguan interaksi dalam keluarga yangsecara signifikan lebih rendah dibanding ibu yang memiliki anak disabilitas atau anak yang berkebutuhan khusus. Menurut penulis, beban berat secara keseluruhan timbul karena banyaknya keluarga/orang tua yang memiliki penghasilan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yaitu < Rp 2.118.500. Data yang diperoleh dari responden, sebanyak 26 orang tua (74,3%) yang memiliki penghasilan di bawah UMP mengalami beban berat. Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga mengalami beban berat.Hal ini juga didukung oleh jawaban responden pada pernyataan tentang kesulitan keuangan. Sebesar 25,8% dari orang tua (17 orang) menyatakan sering mengalami kesulitan keuangan dalam merawat anaknya yang berkebutuhan khusus. Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa beban keluarga dengan anak berkebutuhan khusus dapat dikurangi dengan dukungan keluarga lainnya dan sosial 4
terkait masalah yang dihadapi supaya tidak melebihi batas kemampuan keluarga yang dalam hal ini dikhususkan kepada orang tua dalam menjalani kehidupan sehari-hari bersama anaknya.Sehingga orang tua sebagai pemberi asuhan atau caregiver tetap mampu merawat dan mengasuh anaknya dengan baik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang didapatkan mengenai caregiver burden pada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus di SDLB Labui Banda Aceh secara umum adalah Caregiver burden pada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus di SDLB Labui Banda Aceh berada pada kategori beban berat yaitu sebanyak 39 orang (59,1%). Penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut yaitu bagi keluarga diharapkan supaya berusaha mengalihkan beban yang dirasakan dalam memberi asuhan kepada anak berkebutuhan khusus dengan cara saling berbagi dengan keluarga lain yang juga memiliki anakberkebutuhan khusus. Sehingga beban keluarga bisa teralihkan sekaligus mendapatkan motivasi dan dukungan dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.Bagi institusi pendidikan khususnya Fakultas Keperawatan diharapkan adanya pemberian informasi terkait cara memberi asuhan yang tepat supaya dengan informasi tersebut diharapkan bisa memudahkan keluarga khususnya orang tua yang berperan sebagai pemberi asuhan.Bagi SDLB Labui supaya lebih baik lagi dalam bekerja sama dengan lembaga pemerintahan terkait berbagai program untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Sehingga beban yang dirasakan oleh pihak keluarga/orang tua bisa dikurangi dengan adanya campur tangan atau dukungan pemerintah berupa dukungan moril maupun materil. Peneliti selanjutnya disarankan agar dapat mengembangkan penelitian ini menjadi suatu penelitian korelasi dengan
mengkorelasikan variabel beban keluarga dengan variabel lain dan faktor-faktor yang mempengaruhi beban keluarga dalam memberi asuhan kepada anak berkebutuhan khusus. REFERENSI Fontaine, K. L. (2003). Mental Health Nursing. United States of America: Pearson Education Friedman, M. M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: riset, teori, dan praktek. Jakarta: EGC Khomarun, Arianti E, & Agustiningrum. D. T. (2006). Level Burden bagi Caregiver dengan Anak yang Mempunyai Kebutuhan Khusus. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2015dalam(jurnal.stikesmukla.ac.id/index. php/motorik/article/download/22/23) Supatri, A. (2014). Pengasuhan Orang Tua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Yogyakarta Shyam R, Kavita, & Govil D. (2014).Stress and Family Burden in Mothers of Children with disabilities.International Journal of Interdisciplinary and Multidisciplinary Studies (IJIMS), 2014, Vol 1, No 4, 152159 Unicef. (2013). Keadaan Anak di Dunia 2013; Anak Penyandang Disabilitas. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2015 dalam(http://www.unicef.org/indonesia/id /SOWC_Bahasa.pdf) WHO.(2011). World Report on Disability. Diakses pada tanggal 17 Desember 2015 dalam(www.who.int/disabilities/world_re port/2011/report.pdf)
5