Cape Town, Afrika Selatan, 21 September 2010
Pemurnian Kembali Fiqih Islam: Perkenalan Ajaran Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi Shaykh H. Abdalhaqq Bewley Seorang lelaki berlari tergopoh-gopoh dari ujung kota, seraya berseru, 'Wahai kaumku! Ikutilah para Rasul itu!' ( QS 36:19) Sejarawan besar Ibnu Khaldun mencatat dalam Muqaddimah-nya bahwa masyarakat maupun peradaban manusia dihidupkan kembali dan diperbarui oleh kedatangan orang-orang baru dari luar lingkungan mereka. Sejak permulaan abad Islam fenomena ini telah dicontohkan dalam kehidupan umat oleh banyak orang yang berilmu yang datang dari luar jantung kehidupan Islam dan menyegarkan kembali situasi yang hampir mati di tengahnya. Orang-orang dari Balkh dan Bukhara, dari Kordoba dan Granada, dari Sahara Afrika dan Penang, dari India dan Zanzibar, yang menyegarkan kembali ajaran murni Islam, mengalir dari luar kalangan umat dan menyuburkan serta meremajakan suasana intelektual dan spiritual yang kering, dengan memanggil kembali kaum muslimin menuju realitas yang memberikan kehidupan warisan berharga yang ditinggalkan oleh Rasulullah, sallallahu alihi wassam, dan para Sahabat dan dua generasi yang mengikutinya. Shaykh Abdalqadir as-Sufi merupakan salah seorang yang muncul pada zaman ini. Di mana pun saat ini dengan mudah kita temukan tidak ada sejengkal tanah pun di dunia ini yang tidak didominasi dan diinspirasi oleh Barat, atau bisa dikatakan Euro-amerika, dalam etos teknik yang memegang supremasi kehidupan saat ini. Beberapa negara mungkin masih mempertahankan sisa-sisa budaya zaman sebelumnya, namun sebagian besar secara cepat ditinggalkan atau tinggal dalam status sebagai cerita rakyat belaka, dan pada semua persoalan yang berarti, yang melibatkan semua aspek kehidupan dari hari ke hari, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak dikuasai oleh model Barat. Pada semua aspek dari mesin pemerintahan, sistem keuangan, sistem hukum, sistem pendidikan, politik, militer, dan transportasi, semua secara seragam didikte dari luar oleh etos teknik yang dominan. Semuanya betul-betul identik di semua negara bangsa dan, kalaupun ada sedikit variasi, malah menjadi bukti akan keseragaman pola ini. Pada umumnya, ada dua reaksi dari kaum muslimin terhadap proses pelanggaran dan pengambilalihan tak terbendung yang berlangsung dengan percepatan yang semakin tinggi selama seabad terakhir ini, dan praktis sudah lengkap saat ini. Yang pertama berupa penolakan total, karena mereka memahami sepenuhnya sifat merusak ancaman yang dihadapkan pada Islam oleh proses westernisasi ini. Tetapi sikap ini terbukti tidak bermanfaat, dalam arti sama sekali tidak mampu mencegah gelombang arus pembaratan ini.
Reaksi ke-dua, yang jauh lebih umum, ialah merangkul proses ini dengan tangan terbuka. Kadangkadang hal ini dilakukan secara sinis atas nama kemajuan dan perkembangan zaman tanpa peduli sama sekali terhadap dien dan kadang kala tidak begitu kritis, dalam pemahaman yang keliru, menggangap semua proses ini merupakan fenomena netral yang dengan cara tertentu dapat diislamkan. Pendirian ke-dua ini dipegang oleh hampir semua gerakan yang secara retorik berkomitmen untuk kembali menegakkan Islam, dari Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah sampai Hizbut Tahrir, lalu berlanjut menjadi satu gerakan yang dianut oleh sebagian besar intelektual muslim, hingga saat ini. Pemahaman tentang Musuh Islam Bila seseorang berpikir tentang kekurangberhasilan yang terus dialami oleh orang-orang ini, sekalipun jumlah pengikutnya sangat besar dalam berbagai waktu, dan mengingat janji kemenangan dari Allah untuk orang-orang yang benar-benar menaatinya, akan melihat tanpa bisa dibantah oleh siapa pun bahwa ada yang kurang secara mendasar dalam pendekatan yang mereka terapkan. Tetapi sikap naif serupa ditambah kurang mendalamnya pemahaman akan proses pembaratan terus diperlihatkan oleh mereka dan hampir setiap pemikir lain muslim di dunia dewasa ini. Pemahaman mereka akan proses teknologis ini tampaknya secara superfisial terbatas pada anggapan bahwa proses tersebut sekadar berbentuk alat produksi berupa rangkaian kegiatan yang netral - mobil, obat-obatan, televisi, komputer dan seterusnya- yang tampak mendatangkan manfaat dan harus didukung oleh kaum muslimin tanpa banyak cingcong, sedang sifat halal dan haramnya bergantung pada cara penggunaannya. Apa yang nyaris secara universal gagal mereka lakukan ialah mencerap bahwa semua ini adalah buih di atas permukaan air bah yang telah berlangsung beberapa abad. Mengambil hal itu sepenuhnya, ditambah infrastruktur ekonomi dan pendidikan yang sangat mereka perlukan, niscaya mengharuskan pengadopsian pandangan dunia yang memungkinkan kebangkitannya, satu pandangan yang jelas-jelas merupakan antitesis terhadap Islam. Belum pernah ada kemenangan dalam perjuangan untuk kembali menegakkan Islam, karena mereka yang memperjuangkannya salah mengerti watak musuh yang mereka hadapi, sedemikian rupa sehingga semua maksud dan tujuan, baik keluar maupun ke dalam, tidak sesuai dengan kekuatan yang mereka harus hadapi. Merupakan takdir Allah ketika Shaykh Abdalqadir as-Sufi dicabut oleh Alllah dari jantung kawasan musuh dan dididik dengan sumber mata air murni ajaran tradisional Islam, setelah dilengkapi oleh Allah dengan pengertian mendalam dan luas akan setiap tipu daya kubu musuh. Hal ini memungkinkannya, dengan izin Allah, memanfaatkan pengetahuan mendalam yang diperolehnya untuk menjelaskan secara gamblang apa yang sesungguhnya diperlukan untuk kembali menegakkan Islam secara kaffah. Dominasi yang diperoleh melalui supremasi ekonomi dan teknik telah memberikan kesempatan pada struktur kekuasaan dunia saat ini untuk menyandang superioritas moral yang bahkan dalam penglihatan sekilas saja sudah tampak sama sekali tidak layak. Meskipun sikap percaya diri yang arogan dan rasa sangat perkasa mereka telah menciutkan nyali sebagian besar dunia, termasuk harus dikatakan dengan rasa sedih - sebagian besar kalangan muslim, meyakininya sebagai kebenaran, bahwa dominasi itu tak terkalahkan.
Hal ini telah mendorong sikap menerima secara universal doktrin keliru mengenai hak-hak azasi manusia dan menganggap demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah, satu pandangan yang menyudutkan umat Islam pada situasi yang rawan dan berbahaya, karena doktrin hak-hak asasi manusia secara langsung bertentangan dengan firman Allah dalam wahyu terakhir dan karena tidak ada preseden sedikit pun bagi sesuatu semacam demokrasi konstitusional, baik dalam Qur'an maupun Sunnah atau dalam seluruh sejarah umat Islam hingga timbulnya beragam penyimpangan pada awal abad lalu. Karena itu, satu aspek ajaran harus selalu ditujukan untuk membuka rahasia persoalan-persoalan ini dan membuka kedok penipuan ini, serta premis-premis palsu dan motif-motif tersembunyi yang mendasarinya. Persoalan ini sangat penting bagi umat Islam baik pada tataran pemerintah maupun perorangan, karena penerapan doktrin-doktrin palsu ini oleh pemerintahan Islam secara otomatis menundukkan kaum muslimin di bawah kendali struktur kekuasaan kafir dan pemakaiannya oleh individu merupakan hal yang sama karena pasti akan menimbulkan penentangan terhadap banyak ayat al-Quran. Shaykh Abdalqadir as-Sufi menyajikan satu bab lengkap dalam buku barunya The Technique of the Coup de Banque untuk membahas wajah asli demokrasi parlementer modern dengan menunjukkan secara jelas bahwa proses demokrasi dengan sistem partainya yang berasal dari sumber negara kota kuno Athena yang sebetulnya merupakan produk revolusi Perancis dan yang sama sekali bukan merupakan pemerintahan rakyat tetapi sesungguhnya merupakan mesin yang berfungsi untuk memasang wakil-wakil impoten yang didominasi oleh lembaga eksekutif yang membatasi masa jabatan, yang didikte oleh lembaga permanen birokrat yang pada gilirannya memasang kedok kenyataan bahwa kekuatan politik yang sesungguhnya di dunia pada saat ini berada di tangan oligarki yang tak pernah dipilih (dalam Pemilu) yang sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang yang mereka kendalikan. Shaykh menggambarkan proses demokrasi sebagai satu �peristiwa bertahap�, yang di baliknya, �terletak arena berlangsungnya penetapan kewajibantak-terhindarkan bagi dunia saat ini, dalam kondisi tidak ada tempat bagi baik wakil rakyat yang dipilih maupun birokrat-pekerja bergaji demokrasi politik�. Tujuan Shaykh Abdalqadir dalam mengkaji persoalan ini ialah menyingkap penipuan terhadap kaum muslimin tentang ciri-ciri dunia yang mereka tinggali, yang memungkinkan mereka melihat kenyataan di balik retorika yang selalu digempurkan pada mereka, sebagai serangan terhadap Islam secara terus-menerus sebagai tujuan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa dia muncul tepat di jantung kawasan musuh memungkinkannya meninggalkan cara-cara defensif yang dipakai oleh begitu banyak orang Islam. Dalam satu uraian yang tajam, yang mewakili banyak pendapat lain, dengan memberi label budaya barat sebagai judeo-sekularisme, dia menulis bahwa budaya ini bercirikan : ...bencana ekologi, keruntuhan tatanan sosial, penghancuran status laki-laki maupun perempuan, norma-norma pembunuhan, pemerkosaan, dan anarki di kota-kota, pemujaan terhadap perzinahan, kekejaman-kekejaman terhadap anak, riba yang merambah ke mana-mana, perbudakan dan pemiskinan berjuta-juta manusia, perang genosidal terhadap Islam, pemerintahan oleh segelintir oligarki bank dan korporasi, pembudakan mitos demokrasi, arus besar penghancuran diri sendiri yang mengerikan.
Skenario yang akan menimbulkan bencana ini yang dijalani dengan sikap kukuh oleh begitu banyak kaum muslimin inilah, dan upaya mencegah sebisanya agar lepas dari nasib ini, yang menjadi perhatian Shaykh Abdalqadir. Pemurnian Tauhid Bersamaan dengan kritik tajamnya sejak awal terhadap dunia modern ini, ada latar belakang lain dari upaya Shaykh Abdalqadir as-Sufi, yaitu penelusuran arus gagasan ketauhidan murni dalam jantung budaya Eropa, berasal dari mata air kebudayaan Eropa pada orang-orang Kelt sebelum masehi dan Yunani kuno yang berlanjut terus sampai saat ini. Hal ini mendorongnya menulis beberapa karya yang secara bersama-sama merupakan penemuan kembali dan evaluasi ulang terhadap filsafat, sastra dan tradisi musik Eropa dan yang secara meyakinkan memperlihatkan bahwa ilmu, filsafat, musik, dan sastra di Barat, dengan cara masing-masing, telah sampai persis di depan gerbang Islam. Sekalipun persoalan-persoalan ini merupakan tema-tema yang selalu berulang pada seluruh karyanya sangat jelas bahwa maksud utama ajaran Shaykh Abdalqadir, sejak dulu sampai sekarng, selalu ditujukan untuk menciptakan kondisi yang betul-betul Islami yang secara lengkap berfungsi dari segi spiritual, politik, dan praktik sosial dien Islam sesuai contoh Rasulullah saw dan para sahabat di Medinah al-Munawarah - yang mereka wariskan kepada kita - untuk dapat ditegakkan kembali secara kaffah. Dan dalam konteks ini penting untuk diingat bahwa tak satupun ajarannya yang bersifat abstrak atau teoritis, tetapi semuanya bersifat pedagogi dan disampaikan dalam konteks kehidupan yang senantiasa berkembang dan meluas dalam komunitas muslim yang telah dia bangun dan terus dia bimbing. Untuk mencapainya dia selalu tekun dan penuh perhatian untuk memastikan bahwa akidah, dasardasar kepercayaan para pengikutnya betul-betul sehat dan bahwa tauhid mereka, keyakinan akan keesaan Allah adalah benar, baik ke dalam maupun ke luar. Persoalan ini menjadi sangat penting karena tidak dapat disangkal bahwa sistem pendidikan kafir, yang mungkin lebih baik disebut proses indoktrinasi, telah mendatangkan pengaruh yang sangat menggerogoti kemampuan manusia untuk betul-betul mengakui keesaan Allah dan ini berlaku baik terhadap kaum muslimin dan nonmuslimin. Al-Quran sendiri jelas banyak sekali dan berulang-ulang menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali kekuatan dari Allah, tidak ada agen yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, kecuali Allah sendiri. Ini berarti bahwa semua yang terjadi, terjadi karena Allah. Cara pandang dunia ilmiah yang telah diindoktrinasikan kepada kita didasarkan pada diktum Bacon bahwa Tuhan hanya bekerja di semesta ini melalui sebab-sebab kedua dan oleh karena itu bertentangan dengan kebenaran a priori ini. Pemahaman ilmiah inilah yang telah merasuk ke dalam semua aspek kehidupan dan sudut bumi dan pendidikan kita pun sekadar berfungsi untuk menguatkan dan mengartikulasikan pemahaman ini. Semua dari kita tenggelam di dalamnya sejak kita masih kecil dan tak ada satupun dari kita, muslim maupun nonmuslim, yang sanggup melepaskan diri dari cengkeraman pengaruhnya. Sehingga tidak ayal lagi bahwa pemahaman yang benar akan tauhid telah dilemahkan dan dirusak oleh pandangan dunia dominan ini. Sebagaimana hampir semua orang lain, kaum muslim modern telah menceraikan Allah dari keterlibatan langsung dalam proses-proses alami, dengan memandangnya dalam doktrin penyebab kedua dan karena itu semua maksud dan tujuan
dikeluarkan dari keesaan Allah. Dia juga melihat eksistensi melalui teleskop Galileo dan semesta mekanistik Newton, melalui pola pikir dualisme Cartesius. Sebagaimana Shaykh Abdalqadir pernah mengatakan: Masih mudah untuk memahami bahwa Allah telah menciptakan burung, bahkan tidak sulit untuk memahami bahwa Allah lah yang telah menciptakan sarang burung itu, tetapi sangat sulit untuk memahami bahwa Allah-lah yang telah menciptakan pesawat Jumbo Jet. Satu hal yang memudahkan kemampuan Shaykh Abdalqadir untuk memiliki pemahaman tauhid dalam eksistensi ialah kenyataan bahwa sebelum mendatangi Islam dia membentuk elite intelektual yang menyadari penemuan-penemuan mutakhir di bidang mekanika kuantum, dan implikasinya terhadap pandangan mekanistik Newton terhadap alam semesta. Dia telah membebaskan dirinya dari penjaran keilmuan abad ke-19. Dia mengatakan dalam bukunya Indications from Signs: Model ilmiah yang �menggambarkan� realitas saat ini secara terbuka diakui, oleh para ilmuwan sendiri, merupakan fiksi. Tidak boleh dilupakan bahwa antara wacana ilmiah dan indoktrinasi populer ada jurang lebar. Yakni sementara para ilmuwan mengakui dasar-dasar fiksi kajian mereka para pelajar dan rakyat yang terdidik secara massal bergantung mati pada otoritas ilmu dengan simplifikasi yang bisa menyesatkan. Bahkan dia menggunakan satu aspek pandangan ilmiah baru anti-Newton dalam bukunya The Way of Muhammad ketika dia mengutip secara panjang lebar dari pakar fisika atom Fritjof Capra untuk memperlihatkan bagaimana pandangan Newton terhadap benda padat telah runtuh dan telah digantikan oleh satu pemahaman yang lebih dekat pada kenyataan yang sebenarnya. Dalam satu paragraf Capra menyatakan: Dengan demikian mekanika kuantum menyingkap kesatuan alam semesta. Mekanika ini memperlihatkan bahwa kita tidak bisa membagi-bagi dunia ini menjadi bagian-bagian terkecil yang berdiri sendiri. Dengan semakin mendalami persoalan ini alam tidak memperlihatkan kepada kita balok-balok pembangun dasar yang terpisah tetapi lebih tampak sebagai sebuah jaring yang rumit atau hubungan antara berbagai bagian dari sebuah kesatuan dan hubunganhubungan ini selalu menyertakan si pengamat sebagai bagian di dalamnya yang sangat penting. Dalam ajaran utama mengenai persoalan ini Shaykh Abdalqadir as-Sufi mengikuti para pendahulunya Shaykh-Shaykh dari tarikat Darqawyiah dalam menjunjung pendirian Imam Asy'ari tentang akidah dan tauhid yang menjamin bahwa masyarakatnya tetap teguh dalam kubu Sunah wal Jamaah dan terlindungi dari penyimpangan kaum rasionalis dan literalis yang telah mencemari kaum muslimin sejak awal dan sayangnya berlanjut terus sampai saat ini. Tetapi sebagaimana para pendahulunya dia tidak merasa puas dengan pemahaman intelektual semata terhadap persoalan-persoalan ini dan dalam ajarannya dia selalu menekankan bahwa mereka tidak dapat dibiarkan hanya sebagai rumus yang berhenti di lidah tetapi harus diserap dan dimasukkan ke dalam jiwa sehingga pengetahuan kita akan keesaan Allah akan tercermin dalam cara kita menjalani kehidupan sehari-hari. Dia selalu mengajari bahwa kalimat la haula wala quwata ila billah - tidak ada kekuatan atau kekuasaan selain dari pada Allah - betul-betul berarti seperti bunyi kalimat itu dan mengisyaratkan bahwa tidak ada ketergantungan pada siapa pun atau apa pun kecuali Allah dan tidak ada rasa takut terhadap siapa pun atau apa pun kecuali Allah. Pengajaran tentang Ihsan
Pengetahuan ini tidak bersifat sekadar informasi dan tidak dapat ditemukan di dalam buku-buku maupun disampaikan melalui kata-kata, pengetahuan ini merupakan transformasi diri dan pemurnian hati. Inilah bagian ketiga dien Allah, ihsan, sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah saw sebagai "menyembah Allah seolah-olah engkau melihatnya sekalipun engkau tidak melihatnya dia pasti melihatmu." Inilah faham sufisme kaum sufi. Inilah yang memungkinkan para sahabat menaklukkan separuh dunia dalam tempo dua puluhan tahun. Inilah yang betul-betul diperlukan dan benar dalam upaya menegakkan kembali Islam. Salah satu bantuan utama dalam memperoleh pengetahuan ini ialah zikir kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya, dan orang yang telah mengajarkannya selalu menyuruh para pengikutnya untuk mengingat Allah terus-menerus dan membantu mereka dengan mengamalkan wirid-wirid dan mengajak mereka berkumpul secara teratur untuk mengerjakannya. Melalui cara ini, dia mendirikan zawiyah dan ribat di seluruh dunia, dari Kopenhagen sampai Cape Town dan dari Kuala Lumpur sampai California, di tempat-tempat para pengikutnya berkumpul secara teratur untuk mendaras Al-Quran dan wirid tarikat Darqawiyah sebagai realisasi firman Allah dalam surat An-Nur: Di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, mengagungkan-NYA, pada waktu pagi dan waktu petang, terdapat orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Shaykh juga mengadakan pertemuan berkala yang lebih besar di berbagai tempat di seluruh dunia yang dihadiri oleh para murid-muridnya dari segenap pelosok dunia yang berkumpul bersama dengan kaum muslimin setempat untuk mengagungkan Allah dan menyanyikan pujian terhadap Rasulullah saw. Perlu dicatat bahwa Shaykh Abdalqadir as-Sufi selalu memegang erat pendirian la tawhid biduni'r- rasul, bahwa tidak ada tauhid tanpa Rasulullah yang telah membawa dan mengajarkannya, pendirian yang memperlihatkan pada kita ajaran bahwa syahadat pertama la ilaha ilallah harus dituntaskan dengan yang kedua muhamad rasullullah. Dengan ini penanaman cinta akan nabi ke dalam hati para pengikutnya selalu merupakan bagian tak terpisahkan dalam program pengajaran Shaykh. Qasidah agung gubahan Imam Busiri untuk menghormati nabi, al Burdah. selalu dilantunkan dalam pertemuan-pertemuan besar dan sekarang diajarkan dan dinyanyikan di semua komunitasnya. Dan satu-satunya terjemahan Inggris dari satu buku terbesar mengenai nabi, ash-Shifa' karya Qadi 'Iyad, telah diterbitkan dan diawasi olehnya. (Buku ini juga telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, oleh Penerbit Rajawali Press, dengan judul Keagungan Kekasih Allah, pen.). Ini merupakan karya sempurna yang menyangkut setiap aspek kehidupan nabi dengan cara menyeluruh. Hal ini menimbulkan rasa hormat dan cinta kepada Nabi dan melindunginya dari semua yang akan menghapuskan dan merendahkan kedudukannya, terutama saat ini. Selama bertahun-tahun berbagai wacana dari Shaykh Abdalqadir as-Sufi pada perkumpulanperkumpulan zikir telah direkam dan sejumlah besar di antaranya telah ditranskrip dan sekarang diterbitkan berupa buklet atau manuskrip yang tersimpan. Dengan cara ini banyak ajaran sufi yang dilestarikan untuk anak cucu. Semua buku-bukunya mengandung unsur-unsur pengetahuan langsung dan mendalam akan Allah, tetapi dua di antaranya menonjol sebagai ilmu tasawuf. Satu ialah The Way of Muhammad karya awalnya yang merupakan karya paling kontemporer,
mengajarkan sufisme dan sangat menonjol karena selain merupakan ajaran mutakhir tasawuf, juga menempatkan jalan sufi di depan tradisi intelektual Eropa. Dengan demikian Islam mudah dicapai bahkan oleh mereka yang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah ajaran dan juga merupakan pemugaran kembali ajaran bagi banyak kaum muslim yang banyak meninggalkan diennya, memberi mereka rasa hormat terhadap dien Islam yang belum mereka rasakan selama ini. Karya lain Shaykh Abdalqair, Hundred Steps, berisi langkah-langkah penelusuran terhadap hal dan kedudukan (maqam) pada jalan menuju Allah. Dalam mengerjakan karya ini dia banyak mengutip guru-guru jaman dahulu seperti Imam Junaid dan Muhyidin Ibnu Arabi serta Shaykh-Shaykhnya sendiri dan pada saat yang sama berhasil mendefinisikan terminologi tradisional ini dengan cara otentik dan orisinal yang bersifat kontemporer dan tak terikat waktu. Dengan demikian, dia memberi para pembaca modern sentuhan asli kemungkinan tak terbatas yang terbuka kepada mereka yang secara tulus mencari rahasia eksistensi mereka sendiri. Buku Hundred Steps ini sudah pasti sejajar dengan karya-karya klasik besar mengenai sufisme di sepanjang masa. Kembali ke Madinah Sementara dapat dengan pasti dikatakan bahwa kegigihannya akan tegaknya akidah yang sehat, serta ajaran murni sufi yang memperkuatnya, yang telah memperkuat fondasi yang mendukung semua karyanya, tidak diragukan bahwa adalah penemuan kembali dan upaya menghidupkan kembali Madhhab �Amal Ahlil-Madinah � Madhhab Perilaku Penduduk Madinah. Situasi sejarah pada saat kita hidup sekarang ini tidak pernah ada presedennya, sejak Rasul saw tidak ada lagi, tidak ada tempat yang melaksanakan wahyu terakhir Allah, yang menjalankan syariat Islam, secara sepenuhnya. Untuk selama hampir 100 tahun dunia telah kehilangan pemerintahan Islam yang fungsional sepenuhnya di tengah berbagai gerakan yang berniat tunggal untuk semata-mata menegakkan kembali dien Allah dan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Situasi inilah yang dihadapi Shaykh Abdalqadir, dia menyadari dirinya untuk harus memberi bimbingan pada laki-laki dan perempuan yang makin banyak jumlahnya yang masuk Islam melalui aktifitas dakwahnya. Dia mengetahui bahwa Islam seharusnya merupakan pola sosial yang lengkap yang mengatur semua aspek kehidupan tetapi kini tidak ada contoh pelaksanaannya di lapangan di mana pun di dunia ini. Oleh karena itu menjadi kewajibannya dan juga kewajiban setiap muslim untuk melakukan apa saja yang mungkin dilakukan untuk meraih yang terbaik guna memperbaiki keadaan dan melihat dien Allah tegak kembali secara kaffah. Satu persoalan yang dihadapi Shaykh Abdalqadir ialah terdapat banyak versi Islam yang berbedabeda, semuanya menyatakan yang paling otentik, empat madhab itu dan banyak sekali gerakan serta kelompok-kelompok. Mereka selalu saja bertengkar satu dengan yang lain pada setiap kesempatan, kecuali mengenai satu hal yang sebetulnya mereka sepakati bahwa Islam terdiri atas Kitab dan Sunnah, Al-quran dan Sunnah Nabi. Maka yang menjadi tugas kita ialah menemukan apa yang betul-betul merupakan Kitab dan Sunnah itu. Pada saat dia mengkaji berbagai gerakan tersebut, satu pertanyaan yang segera muncul ialah mengapa beribu-ribu umat muslim dengan niat baiknya, juga sejumlah pakar Islam, terbukti tidak mampu untuk menjalankan kembali sesuatu yang pernah menjayakan umat di banyak bagian dunia selama berabad-abad. Perenungan ini membawa Shaykh pada dua jawaban jelas terhadap pertanyaan ini. Pertama, berkaitan dengan yang sebelumnya yaitu bahwa para pemuka mereka telah salah membaca karakter dunia modern dan dengan demikian bersikap lebih menyukai sistem budaya dan mesin
yang mengendalikan transaksi manusia, yang secara jelas bertentangan dengan Kitab dan Sunnah. Kedua, bahwa gerakan-gerakan ini mempunyai tujuan berupa negara Islam Utopia, yang pada dasarnya merupakan produk proses pemikiran yang dikondisikan oleh idealisme Barat dan dengan begitu tujuan mereka akan tetap menjadi mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ini tentu saja bukan yang Shaykh Abdalqadir cari. Sebagaimana dia nyatakan dalam bukunya Root Islamic Education: Islam bukanlah sebuah idealisme, bukan merupakan mimpi tak tercapai yang dihalang-halangi oleh sekelompok generasi yang serakah dan mengumbar hawa nafsu. Islam yang dibawa Rasulullah telah tercapai, telah diletakkan dasar-dasarnya dan sungguh terjadi, betul-betul bertahan, dan kemudian disapu-bersih.
Memahamkan Soal Maddhab Kemudian Shaykh mengalihkan perhatiannya pada madhab-madhab yang ada untuk melihat apakah di sana ada tawaran penyelesaian. Kemudian didapatinya bahwa sesungguhnya madhabmadhab itu, sekarang ini, diidentikan dengan sedikit perbedaan sepele, dan secara keseluruhan dianggap hanya merupakan persoalan geografis sehingga jika kita tinggal di Indonesia atau di Malaysia secara otomatis kita penganut Syafii, jika kita tinggal di India atau Turki kita penganut Hanafi dan jika kita tinggal di Afrika Utara atau Barat kita penganut Maliki dan semua itu tidak menjadi persoalan karena pada dasarnya semuanya sama. Ketika dia menyelidiki persoalan ini, Shaykh Abdalqadir as-Sufi menemukan kembali sesuatu yang krusial dalam pencariannya terhadap Kitab dan Sunnah yang asli. Apa yang dia temukan ialah bahwa madhab-madhab itu sama sekali tidak identik dan sekadar merupakan percabangan cara untuk menentukan pokokpokok dalam Kitab dan Sunnah. Madhab Imam Abu Hanifah, semoga Allah mengasihinya, dirumuskan di Irak, sebuah lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan Madinah al Munawarah tempat dien diletakkan, dan sejumlah sahabat yang tinggal menetap di sana sangat sedikit sehingga sulit mewujudkan gambaran lengkap sunnah tersebut. Dengan alasan inilah, metodologi Hanafi melibatkan proses logika dalam mengkaji Kitab serta semua pengetahuan tentang Sunnah yang tersedia, lalu dari sana mendapatkan contoh yang dapat dianalogikan pada kasus tertentu sehingga dien Allah dapat diterapkan dengan semestinya pada situasi baru tersebut. Hal ini membawa penggunaan nalar dalam mengkaji Kitab dan Sunnah sehingga melibatkan penilaian akal yang diperlukan untuk menjalankan Islam pada lingkungan baru. Pada dasarnya, hal ini mewakili pengambilan kesimpulan dan hukum, dalam kaidah-kaidah ketat dalam menggunakan akal, untuk beradaptasi pada situasi baru untuk memungkinkan dien berakar dan bersemi di tanah yang masih segar. Hal ini merupakan piranti hukum ideal bagi pemerintah pusat yang memiliki wilayah luas dan beragam, sebagaimana kita temukan di Turki sebagai warisan khalifah Utsmaniah dan di Anak Benua yang diwariskan dari kekaisaran Mogul. Kasus Imam Syafii, semoga Allah mengasihinya, sangat berbeda. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk mengadakan perjalanan mencari ilmu, berguru pada Imam Malik di Madinah dan kemudian menjadi murid Imam Abu Hanifah di Bagdad. Sesudah itu, dia pergi ke Yaman dan akhirnya menetap di Mesir. Selama perjalanannya, dia menjumpai banyak keragaman dalam
praktik dien Islam di berbagai tempat yang dia kunjungi dan hal ini mendorongnya merumuskan satu cara pembakuan dan sistematika dien sesuai dengan aslinya dan mencegah agar tidak tersesat. Dia melakukannya dengan merancang seperangkat prinsip-prinsip yang diterapkan pada kajian linguistik sumber-sumber tertulis tentang dien. Tentu saja dengan cara ini, Kitab tetap tidak berubah meskipun tunduk pada bentuk analisis linguistik tetapi Sunnah menjadi sangat bergantung dan sinonim dengan hadist-hadist nabi yang telah tercatat sebagai tulisan. Karena itu, pada Imam Syafii praktik Islam yang ditransmisikan sebagai ajaran lisan dan peniruan perilaku (amal) berhenti, lalu praktik dien hanya menjadi ajaran yang didasarkan pada ajaran tertulis. Sistem Imam Syafii dirancang secara brilian dan kaum muslimin berhutang banyak padanya karena tidak diragukan bahwa metodologinya sebagai sumber Islam sangat berpengaruh selama berabad-abad. Keinginan Shaykh Abdalqadir ialah mendapatkan akses langsung kepada Kitab dan Sunnah dalam bentuknya yang perdana sebagaimana pertama dijalankan oleh Nabi saw dan para sahabat. Kedua cara yang tersaji di atas bukan yang dia cari. Lalu pada Imam Maliki-lah Shaykh Abdalqadir menemukan apa yang dia cari. Shaykh Abdalqadir masuk Islam di Maroko dan dengan demikian perjumpaan pertamanya dengan fikih Islam otomatis melalui madhab Maliki tetapi dia mengabaikannya sebagai madhab selama pencariannya demi sumber murni dien. Dia menemukan kembali Imam Malik tidak sebagai pendiri madhab sesuai dengan namanya tetapi sebagai Imam Madinah Al Munawarah dan perekam serta penyampai perilaku penduduk Madinah, Amal ahlul Madinah, Imam Malik menganggap menjadi tugasnyalah untuk menyampaikan kepada anak cucu tradisi kehidupan Islam dalam bentuk tindakan, Kitab dan Sunnah dalam bentuknya yang asli, yang telah diwariskan kepadanya tanpa berubah melalui dua generasi sejak Nabi wafat. Ada dua alasan penting dalam pendirian ini. Pertama ialah perilaku ini jelas-jelas merupakan gambaran yang paling dekat terhadap Islam karena betul-betul dijalani oleh Rasul SAW dan sahabat. Tidak diragukan praktik ajaran murni Kitab dan Sunnah di tempat Islam ditegakkan, dipelihara dan tanpa perubahan oleh dua generasi yang hidup di sana di antara hari-hari komunitas pertama dan zaman Imam Malik. Jadi, apa yang disampaikan ke kita adalah energi vital dan murni hari-hari pertama Islam, saat Nabi sendiri dan saat segera sesudahnya khulafau rasyidin pada saat dien masih pada tahap yang paling poten untuk ekspansi dan penerapannya. Oleh karena itu, madhhab ahlul Madinah, kadang-kadang disebut sebagai madhhab Umar. Sebetulnya, pelanjutan pola-pola perilakulah yang membuat Islam tegak, jadi model inilah yang paling baik untuk saat ini yang diperlukan untuk memulai sebagai langkah awal. Bukti sejarah potensi ini dapat dilihat pada contoh kaum Murabitun pada abad 17. Praktik rakyat Madinah diteruskan pada mereka oleh Abdalah Ibnu Yasin, guru yang dikirim pada mereka dari Kairouan, tempat rekaman hidup praktik rakyat Madinah, Amal ahlul Madinah, diteruskan dari masa Malik sendiri, dan kemudian berjaya di Afrika Barat lalu Islam menyebar ke Magribi dan Andalusia. Inilah yang menjamin kehidupan muslim di Spanyol, yang pada saat itu di bawah dominasi Kristen, dua abad pemerintahan Islam berikutnya. Alasan kedua ialah keotentikan yang tak dapat disangkal yang telah berulangkali diuji selama berbad-abad, di antaranya oleh ulama terkenal aliran Hambali, Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa gambaran terlengkap Sunnah baik dalam arti semangat maupun praktik lapangan ialah yang
disampaikan Imam Malik dan tercantum secara garis besar dalam bukunya The Soundness of the Basic Premises of the Madhhab of the People of Madina. Hal ini karena pengetahuan luas yang dimiliki Imam Malik, lokasi geografi di kota Nabi dan jumlah besar ulama yang menetap di sana melestarikan dien Islam secara keseluruhan dari jaman Nabi dan kenyataan bahwa secara universal diakui tidak ada penemuan baru (bid�ah) sama sekali dalam dien selama di Madinah pada kurun tiga generasi pertama Islam. Juga perlu disebutkan dalam konteks kekinian, buku Dr. Yasin Dutton The Origins of Islamic Law (buku ini juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, dengan judul AsalMula Hukum Islam, oleh penerbit Islamika, peny.), sebuah karya cermat yang diinspirasi oleh Shaykh Abdalqadir as-Sufi. Dalam bukunya Dutton secara meyakinkan menunjukkan bahwa buku Al Muwatta karya Imam Malik betul-betul berisi rekaman langsung praktik otentik masyarakat pertama dan dengan demikian merupakan pukulan telak terhadap kaum orientalis yang bersikeras bahwa ada tenggang waktu antara komunitas pertama dan pengembangan syariah. Karena itu, Shaykh Abdalqadir as-Sufi merasakan sebagaimana ulama besar India Syah Waliullah dari Delhi dua abad lalu bahwa, tak dapat disangkal, posisi ini merupakan ajaran murni bagi Kitab dan Sunnah, yang dapat dipakai sebagai rujukan semua kaum muslimin tanpa kontroversi di dalamnya. Sebagaimana dia nyatakan dalam akhir bukunya Root Islamic Education: Yang harus dikerjakan ialah menyepakati satu titik yang tidak ada perdebatan dan tidak ada penyimpangan di sana. Tempat itu adalah Madinah. Hanya di sanalah kita semua dapat bertemu pada Islam perdana versi Umar, karena inilah yang menjadi bukti nyata dari Rasulullah saw bahwa manusia dapat hidup bersama dalam keadilan dan kedamaian dan dalam suasana saling percaya, dengan ketaatan kepada Allah. Ajaran Madinah, salafi dan murni yang akan menyatukan kaum muslimin dan menghidupkan kembali dien dan mengembalikan realitas syahadat ke-dua bersamaan dengan syahadat pertama. Tentang Al Muwatta Shaykh Abdalqadir as-Sufi juga ikut berperan pada penerjemahan lengkap Al Muwatta ke dalam bahasa Inggris dan pada saat ini dia melihatnya sebagai cetak biru penegakkan kembali dien Allah dengan cara yang persis sama ketika konsep ini diterapkan pertama kali (kitab Imam Malik ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain, diterbitkan oleh Rajawali Press, peny.). Bersamaan dengan Kitabullah dan buku Qadi Iyad, Asyifa, yang membeberkan dimensi batin yang sangat penting akan kecintaan kepada nabi, kitab inilah yang diperlukan untuk menerapkan kembali sepenuhnya pemerintahan Islam. Hal ini merupakan garis besar yang terlalu sederhana mengenai ajaran Shaykh Abdalqadir dalam masalah ini, yang dapat dijumpai secara lebih rinci pada tulisannya, Root Islamic Education. Kedalaman riset ini, yang merupakan karya yang luar biasa dan kejelasannya dalam tesis ini, dengan sendirinya akan cukup menempatkan Shaykh dalam jajaran pemikiran Islam. Posisi semua praktik rakyat Madinah yang didefinisikan ulang oleh Shaykh Abdalqadir ini menemukan pengejawantahan dan penerapannya dalam seluruh komunitasnya, pada yang mungkin mereka terapkan untuk memperkenalkan elemen pemerintahan kepada tiap komunitas, dalam struktur politik di bawah seorang amir yang dilihat Shaykh mutlak sangat penting untuk penerapan ulang fikih Islam. Dia juga mengorganisasi serangkai empat konferensi internasional yang mendatangkan banyak ulama dari beberapa tempat yang masih mempelajari dan
mempraktikkan madhab Madinah yakni Tunisia, Mauritania, Maroko, dan Abu Dabi dan dengan demikian membangkitkan minat terhadap praktik penduduk Madinah dan membangunkan raksasa yang tertidur. Materi yang sangat berharga yang disampaikan pada konferensi itu yang masih harus sepenuhnya digali akan memadai membuka kemungkinan setiap langkah penegakkan kembali dien Allah sepenuhnya dalam konteks saat ini. Namun demikian, kajian ulang dari Shaykh Abdalqadir atas bab kehidupan komersial dan ekonomi kaum muslimin dalam buku Muwatta yang merupakan bagian besar buku itu terbukti mendatangkan pengaruh terbesar pada Islam kontemporer. Yang segera menjadi jelas ialah bahwa hukum yang mengatur transaksi ekonomi pada masyarakat pertama itu sama sekali tidak sesuai dengan sistem ekonomi dunia saat ini, tidak ada titik temu sama sekali. Hal ini bukan persoalan karena Madinah berada pada situasi primitif sehingga syariah yang berkenaan dengan masalah ini ketinggalan jaman dan tidak mampu menangani kondisi modern. Tetapi yang perlu dikatakan ialah bahwa hukum-hukum Allah kini telah dihapuskan dan dengan begitu tidak akan pernah berlangsung. Padahal hukum-hukum itu relevan dan dapat diterapkan pada semua jenis dan ukuran transaksi bisnis yang halal dan kita akan mendapatkan di dalamnya semua elemen yang diperlukan untuk kehidupan ekonomi yang sangat canggih saat ini. Apa yang terjadi ialah bahwa kapitalisme perbankan yang mengendalikan seluruh kehidupan ekonomi di dunia saat ini seluruhnya didasarkan pada riba dan karena itu sangat diharamkan untuk orang-orang muslim baik di dalam Kitab maupun Sunnah. Dalam aspek kehidupan yang sangat penting ini, yang mempengaruhi kehidupan semua orang setiap hari, orang-orang Islam, tampaknya sama sekali berpaling dari dien mereka. Di mana pun tidak ada kritik serius mengenai sistem perbankan dan keterlibatan orang Islam di dalamnya. �Ulama-ulama� resmi negaranegara Islam sama sekali tidak mengatakan apa pun dan gerakan modernis Islam datang membawa apa yang disebut ekonomi Islam dan perbankan Islam yang sebetulnya tidak lain adalah pintu belakang sistem dunia yang sama, sebagaimana Shaykh sendiri katakan ketika membahas perbankan Islam dalam bukunya The Sign of the Sword: Fakta yang tidak terelakkan bahwa perbankan sesuai dengan watak aslinya merupakan sistem global. Jika kita terlibat di dalamnya dengan apa yang biasanya disebut investasi bersih yang dikenal dengan nama perbankan tanpa riba maka kita masih harus menghadapi sistem keseluruhan yang lebih besar sampai investasi ini segera dan otomatis tertangkap dalam jaringjaring yang sarat riba.
Pemahaman Shaykh Abdalqadir ini mendorong terbukanya kembali perdebatan mengenai riba yang pada dasarnya sudah mati selama satu abad sejak fatwa Muhamad Abduh yang membolehkan kaum muslimin mengambil bunga pada rekening tabungan mereka di bank Kantor Pos Inggris di Mesir. Kemudian muncul kajian mendalam masalah ini dan berkat inspirasi oleh Shaykh sebuah konferensi telah diadakan oleh komunitasnya di Norwich bertajuk Usury the Root Cause of the Injustices of Our Time yang mengkaji sejarah pelarangannya, pengenalannya kembali pada abad 16, pertumbuhan perbankan, dan dampaknya yang merusak terhadap tatanan sosial dan lingkungan. Makalah-makalah ini kemudian diterbitkan dan menciptakan gelombang minat di antara kaum muslimin dan nonmuslimin (berbagai makalah dalam konferensi ini telah dibukukan, diterjemahkan, dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, dengan judul Jerat Utang IMF, peny.). Semakin jelas dan jelas bahwa kekuatan politik yang sebetulnya di dunia ini
tidak terletak pada tangan-tangan kaum politisi tetapi pada tangan-tangan lembaga finansial supranasional dan mereka yang memanipulasinya. Tentu saja, hal ini berimplikasi pada perjuangan untuk menegakkan kembali Islam dan para pejuangnya. Pada paragraf lain The Sign of the Sword Shaykh Abdalqadir mengatakan: Penting bahwa mujahidin muslim tidak keliru melihat musuh dan menganggap hal ini sebagai perang terhadap sebuah bangsa atau seorang pemimpin�upaya ini merupakan jihad menentang perbankan yang penuh riba. Bukan semata-mata perorangan tetapi satu metode, satu dien, dengan candi-candinya, bank-bank: dengan tempat-tempat sucinya, bursa efek di dunia dan kitabkitab suci palsu bank-bank data berisi angka-angka, berjuta-juta dan bermilyar-milyar setoran dari kaum miskin dunia untuk segelintir kekuatan elite kafir para pialang, terhadap musuh inilah perang harus dilancarkan.
Semakin dalam penyelidikan semakin jelas bahwa ketundukan mereka terhadap sistem finansial dunia yang penuh riba merupakan masalah krusial yang dihadapi kaum muslimin saat ini. Dalam bukunya The Return of the Khalifate Shaykh Abdalqadir as-Sufi mendokumentasikan dengan seksama sejarah kejatuhan khalifah Utsmaniah dan porak-porandanya umat Islam selanjutnya, yang terjadi bukan dengan cara militer tetapi melalui penggunaan teknik finansial penuh riba di tangan segelintir bankir, yang pertama-tama menyedot kekayaan yang luar biasa darinya, kemudian menjeratnya dengan utang, dan akhirnya membangkrutkannya. Satu faktor kunci yang ikut berperan pada kejatuhan kekhalifahan tersebut adalah pengenalan dan sikap menerima uang kertas yang sejak abad 17 dan seterusnya telah dikembangkan terus-menerus dan dipergunakan oleh sistem perbankan yang penuh riba sebagai alat kendali dan piranti meraih kekuasaan. Riset terhadap fiqih Islam berkenaan dengan uang meyakinkan Shaykh Abdalqadir bahwa uang kertas jelas-jelas haram dan keyakinan ini didukung oleh penemuan fatwa-fatwa dari beberapa ulama yang memiliki otoritas baik jaman dulu maupun jaman sekarang, yang secara bulat menyatakan hal yang sama. Realisasi ini mendatangkan dampak serius terhadap Islam dan memperlihatkan bahwa melalui kendali terhadap sistem finansial para periba sanggup menohok jantung dien Allah. Ini juga berarti pembongkaran terhadap pilar ketiga ajaran Islam, yakni zakat. Restorasi Zakat Kajian netral terhadap fiqih klasik keempat madhab mengenai zakat memperlihatkan bahwa ada dua hal yang tidak boleh tidak harus ada. Pertama ialah bahwa zakat harus dikumpulkan dan dibagikan oleh pemegang otoritas. Pengumpul zakat harus diangkat dan harus menilai jumlah zakat yang harus dibayar oleh kaum muslim dalam wilayah otoritas mereka dan mengumpulkannya dari mereka, kalau perlu secara paksa. Kedua ialah bahwa zakat pada kekayaan moneter dan barang-barang komersial harus dibayarkan dalam emas dan perak. Pembaratan struktur pemerintah di seluruh dunia Islam telah menyebabkan ditinggalnya prasyarat pertama ini. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang ada pengumpulan dan distribusi zakat sesuai dengan ketentuan tersurat dari syariah. Dan sistem finansial penuh riba dunia telah menggusur prasyarat kedua dengan mengganti koin emas dan perak dengan uang kertas yang pada hakekatnya sama sekali tidak berharga, tapi yang pada saat ini dikenal sebagai uang oleh semua orang. Dengan menggabungkan seluruh pengamatan di atas, satu hal menjadi sangat jelas: tidak ada sedikit pun peluang penegakan kembali Islam tanpa melepaskan umat Islam dari sistem ekonomi
dunia saat ini. Agar upaya ini berhasil diperlukan pengembalian pelaksanaan zakat secara benar ditambah dengan shalat sebagai ajaran inti ber-dien, untuk memperkenalkan kembali, koin emas dan perak sebagai mata uang kaum muslimin dan untuk mengaktifkan kembali di kalangan umat Islam fiqih yang mengatur transaksi bisnis. Sekalipun upaya ini tidak ringan tetapi sudah dicapai kemajuan dalam merambah jalan menuju cita-cita. Shaykh Abdalqadir dibantu oleh Umar Ibrahim Vadilo yang telah mengkaji semua aspek persoalan ini secara mendalam dengan menggunakan sumber-sumber yang asli dan berbagai bahan tambahan, baik yang lama maupun yang baru. Dalam upaya penerapan kembali rukun zakat Shaykh Abdalqadir telah membangun dalam seluruh komunitasnya struktur politik yang diperlukan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat secara benar dan menetapkan program pengajaran untuk mendidik sebanyak mungkin kaum muslimin tentang fiqih zakat dan implikasi sosial maupun politik dari penerapan kembali ini. Dinar emas dan dirham perak telah dicetak di beberapa negara (termasuk di Indonesia, sejak tahun 2000, peny.), sampai pada tingkat spesifikasi yang sama persis dengan dinar dan dirham pada komunitas pertama dan sekarang telah berhasil digunakan pada lebih dari dua puluh negara. Pengenalan ulang mata uang dwilogam (bimetallic) ini telah memicu minat besar di berbagai kalangan muslim, termasuk sejumlah tokoh yang berpengaruh. Mantan Perdana Menteri Turki Necmetin Erbakan begitu antusias terhadap mata uang ini sehingga dia mengangkat tanggannya yang menggenggam dinar-dinar emas di mesjid Biru Istambul dan menyatakan: "Inilah mata uang umat Islam." Mungkin tidaklah sepenuhnya terjadi secara kebetulan bahwa segera setelah peristiwa itu ia lengser dari jabatannya. Pengembangan lain yang menggembirakan dalam mata uang ini, ditujukan agar koin emas mudah digunakan di dunia saat ini, yakni telah dioperasikannya e-dinar. Umar Ibrahim Vadillo telah berjalan jauh menempuh langkah mengaktifkan kembali fiqih tentang transaksi bisnis. Dia telah menerbitkan berbagai tulisan tentang topik ini, baik dalam bentuk buku maupun di Internet dengan menyajikan masalah ini dalam konteks kekinian dan memperlihatkan relevansinya terhadap dunia moderen. Dan karyanya tidak terbatas pada uraian teori. Beberapa pasar Islam telah dilembagakan dengan dinar dan dirham sebagai alat tukar dan fiqih transaksi bisnis sebagai aturan sehingga beberapa bentuk kontrak Islami yang tidak muncul selama lebih dari satu abad telah sekali lagi diterapkan secara efektif. Dengan demikian, dampak ajaran Shaykh Abdalqadir as-Sufi yang semakin besar dengan sendirinya dapat dirasakan di kalangan umat muslim di seluruh dunia dan diharapkan menjadi jelas dari apa yang kita katakan bahwa dia betul-betul telah berhasil dalam pemulihan fiqih Islam yang murni dan mengawasi proses awal pelaksanaanya kembali di tengah kita. Semua uraian di atas tentu saja merupakan gambaran yang sangat tidak lengkap akan ajaran Shaykh Abdalqadir dan sama sekali tidak bisa dikatakan adil, baik dalam aspek-aspek yang telah dijelaskan di sini, maupun masih banyak aspek lain yang sama sekali tidak disinggung. Karena itu, diharapkan bahwa apa yang sudah disajikan ini akan memadai sekadar sebagai pemicu minat mereka yang sebelumnya tidak pernah bersinggungan dengan karya-karya Shaykh Abdalqadir dan bagi mereka yang sudah memiliki pengetahuan akan kedalaman dan keluasan pemahamannya, mengingatkan tentang kepedulian besarnya atas kaum Muslim, dan tekadnya yang tak tergoyahkan untuk melihat keadilan dan praktek kehidupan Islam zaman Nabi, SAW, dan para Sahabatnya. semoga Allah merahmati mereka semua, sekali lagi tegak di muka bumi dengan penuh rahmat.
Depok, 24 Oktober 2011 Lebih Dekat dengan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya kembali ke wilayah ini. Nama Shaykh Umar Ibrahim Vadillo mulai dikenal luas di dunia internasional pada awal 1990an. Ini dimulai ketika ia, sebagai pemuda berusia 28 tahun, mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak di Granada, Spanyol, pada 1992. Tindakan ini ia lakukan sebagai konsekuensi dari terbitnya Fatwa Haramnya Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang ia terbitkan setahun sebelumnya, 1991. Fatwa itu sendiri ia terbitkan sesudah beberapa tahun mempelajari secara mendalam persoalan muamalat dan riba dalam syariat Islam. Mengharamkan uang kertas, dan kemudian mencetak kembali koin emas dan koin perak? Bagi umumnya orang tindakan pemuda Umar ini, tentu saja, terlihat sebagai sebuah keasingan. Mengapa ia melakukannya? Paling tidak ada dua alasan mendasar. Mengapa Uang Kertas Haram Pertama, secara ekonomi politik sistem uang kertas adalah mekanisme perompakan yang dilakukan oleh segelintir orang atas semua orang lain yang menggunakan uang kertas tersebut. Namun demikian hampir tidak ada yang melihatnya karena perompakan ini dilakukan secara sistematis dan dilegalisir melalui undang-undang mata uang nasional atau Legal Tender Law. Makna dari sistem ini adalah pemberian hak monopoli kepada satu pihak, dalam hal ini Bank Sentral, untuk menerbitkan dan mengedarkan uang kertas, senilai dan sebanyak yang mereka suka. Seluruh warga negara kemudian diwajibkan untuk hanya menggunakan uang kertas bersangkutan sebagai alat tukar sehari-hari. Akibat dari pencetakan uang kertas yang terus-menerus, dengan tanpa jaminan komoditas apa pun sebagaimana pada awal uang kertas itu diciptakan (uang kertas didukung oleh emas atau perak), adalah inflasi yang terus-menerus. Dalam kehidupan sehari-hari yang dirasakan oleh masyarakat adalah harga barang dan jasa yang terus-menerus naik. Tetapi, nilai tukar barang-barang sebenarnya tidaklah berubah, yang berubah adalah nilai tukar mata uang kertasnya yang terusmenerus merosot karena pencetakan dan perputarannya yang tak terbatas. Pencetakan dan peredaran uang kertas itu sendiri saat ini sepenuhnya berbasiskan kepada utang: uang kertas itu sendiri adalah 'uang kredit'. Inflasi, tidak lain, adalah pemajakan paksa yang dilakukan oleh perbankan kepada seluruh penduduk. Bukan cuma itu. Sistem uang kertas, dengan motor penggeraknya sistem perbankan, karena tidak memiliki dukungan asset apa pun, di satu titik akan meledak. Hal ini secara matematis dapat diperhitungkan, hanya saat kehancurannya saja yang tidak dapat dipastikan. Tetapi, secara empiris, kita telah berkali-kali mengalaminya, yang belakangan disebut-sebut sebagai Krisis Moneter. Setiap kali Krisis Moneter terjadi, semakin besar dampaknya, sampai nanti tiba krisis lain, mungkin yang terakhir, yang meruntuhkan semuanya, hingga situasi tidak tertolong lagi. Kedua, secara legal, dari sudut pandang Hukum Islam, sistem uang kertas tidak lain adalah sistem riba. Karena nilainya hanyalah sebesar nilai intrinsik kertasnya, yang tentu saja tak seberapa, dan penggunaannya yang dipaksakan, uang kertas melanggar beberapa rukun dan syarat dasar perdagangan. Pertama-tama Allah, subhanahu wa ta'ala, menyatakan bahwa dasar pertama perdagangan adalah suka rela, dan itu termasuk dalam pemilihan alat tukar. Dalam pertukaran suka rela ini barang yang dipertukarkan haruslah setara dengan setara. Artinya baik barang yang
diserahkan maupun alat tukar yang digunakan harus memiliki nilai intrinsik. Syarat ketiga sahnya perdagangan adalah transaksi harus dilakukan secara kontan. Baik barang maupun alat tukarnya harus diserahterimakan pada saat yang bersamaan, tidak boleh salah satunya ditangguhkan. Substansi uang kertas, sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan secara ringkas, menjadikannya tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual beli tersebut. Uang kertas, sebagai alat tukar, tidak bersifat suka rela, tidak memiliki kesetaraan nilai dengan barang yang dipertukarkan, dan tidak memberikan pembayaran tunai. Dengan kata lain, secara ringkas, uang kertas adalah riba. Dan di dalamnya terkandung sekaligus dua jenis riba, yaitu riba al fadl, yakni riba yang timbul akibat penambahan nilai yang tidak dibolehkan (dalam hal ini direfleksikan sebagai nilai nominal uang kertas) dan riba an nasi'ah, yakni riba yang timbul akibat penangguhan pembayaran yang dilarang (karena uang kertas adalah nota utang atas sejumlah harta tertentu, yang saat ini utang itu pun bahkan tidak lagi diakui oleh penerbitnya). Sebelum Shaykh Umar menerbitkan fatwa haramnya uang kertas dan mencetak kembali dinar dan dirham sebagai konsekuensinya, sejak dua dekade sebelumnya, Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi, pembimbing Shaykh Umar, telah menyampaikan kepada dunia kritiknya atas sistem uang kertas yang tidak adil dan rapuh ini. Tapi kritik itu hanya sampai pada sedikit orang dan dari yang sedikit itu lebih jarang lagi yang memberi sambutan dengan baik. Di banyak kalangan dan tempat kritik ini bahkan sangat tidak populer. Sampai terjadilah Krisis Moneter yang melanda Asia pada 19971998 lalu. Satu di antara sedikit tokoh yang kemudian mendengarkan saran solusi atas persoalan mendasar sistem finansial modern ini adalah Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr Mahathir Mohammad. Momentum demi Momentum Sekitar sepuluh tahun kemudian, krisis moneter sejenis kembali terjadi, kali ini di jantungnya sendiri yaitu di AS dan Eropa. Dimulai pada akhir 2008, dengan persoalan gagal bayar pada kredit perumahan di AS, yang diikuti dengan kebangkrutan beberapa perusahaan finansial, seperti Lehman Brothers, dunia terus dibayangi bencana keuangan global. Sampai lewat pertengahan 2010 krisis keuangan di Eropa, dengan pusatnya di Yunani dan mulai menular ke Spanyol dan Portugal, membuka mata dunia akan kebenaran segala yang disampaikan oleh Shaykh Abdalqadir sejak dua tiga dekade lalu. Pengenalan kembali Dinar dan Dirham pun semakin luas diterima. Momentum lain adalah kebijakan Negeri Kelantan, Malaysia, sebagai institusi pemerintahan pertama di dunia yang mengadopsi Dinar dan Dirham sebagai mata uang syariah. Negeri Kelantan secara resmi mendirikan institusi khusus untuk ini, yaitu Kelantan Golden Trade (KGT) Sdn. Bhd. YAB Dato Nik Abdul Aziz bib Nik Mat, Menteri Besar Kelantan, didampingi oleh Menteri Keuangan Kelantan, Datuk Husam Musa, meresmikan peluncuran Dinar Dirham Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu. Peresmian mata uang syariah ini ditandai dengan penerapan Dinar dan Dirham secara luas: untuk pembayaran zakat, transaksi jual beli, dan pembayaran gaji (mulai saat ini 25% gaji pegawai negeri Kelantan akan dibayarkan dalam Dinar emas). Pada tahap awal ini di Kota Bharu (ibu kota Kelantan), khususnya di Pasar Besar Siti Khadija, seribu pedagang telah menerima Dinar dan Dirham. Di belakang gerakan Negeri Kelantan itu pun, tidak lain adalah Shaykh Umar Vadillo, yang sejak 2009 menjabat sebagai CEO KGT. Untuk memastikan bahwa ekonomi berbasis Dinar dan Dirham dapat berjalan secara universal, Shaykh Umar juga telah memikirkan sebuah mekanisme pengaturan. Untuk itu, sejak awal pencetakan prototipe Dinar dan Dirham, 1992, ia menginisiasi World Islamic Trading Organization (WITO) dan, belakangan, World Islamic Mint (WIM). Produk pertama yang dikeluarkan oleh
WITO adalah standar teknis koin, yang didasarkan kepada standar yang dibuat oleh Khalifah Umar ibn Khattab, serta rancang muka koin-koin Dinar Dirham, yang saat ini dikenal sebagai Seri Haji, yaitu koin Dinar bergambar masjid Nabawi dan koin Dirham bergambar Masjidil Haram. Di luar itu berbagai corak koin Dinar dan Dirham mulai muncul, seperti Seri Nusantara, sebagaimana yang diedarkan oleh WIN (Wakala Induk Nusantara), Indonesia, dengan Dinar bergambar Masjid Demak dan Dirham bergambar Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. Terakhir adalah Dinar dan Dirham Kelantan tersebut di atas, dengan gambar simbol Negeri Kelantan, yakni dua ekor kijang, dengan mahkota serta senjata tradisional Kelantan. Meski belum ada sebutan resminya Dinar dan Dirham Kelantan ini dapat digolongkan sebagai Seri Pemerintah. Maka, standarisasi teknis koin saja menjadi tak mencukupi. Ada persoalan otorisasi pihak pencetak dan pengedar koin. Penerapan Dinar dan Dirham secara internasional juga menimbulkan masalah standarisasi nilai tukar. Ini semua menjadi agenda World Islamic Mint (WIM) yang saat ini dipimpin oleh Bapak Abu Bakr Rieger, dari Jerman. Sebagai lembaga pengatur, WIM dilengkapi dengan Shariah Counselor, yang berperan mengawasi soal-soal hukum, yang saat ini dijabat oleh seorang imam dari Masjid Granada, Spanyol, yakni Haji Abdalhasib Casteniera. Ringkasnya berbagai hal di atas menggambarkan apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh Shaykh Umar Vadillo adalah sebuah kelengkapan pengetahuan dan amal, konsep dan praksis. Dia adalah sosok seorang mujahid yang bukan saja tidak mengenal lelah, tetapi memiliki visi akan kemenangan Islam. Sebab, keyakinannya sepenuhnya dilandasi oleh sikap penyerahan diri secara total hanya kepada Allah, subhanahu wa ta'ala, kepada kalimat dzikir la haula wala quwwata illa billah, sebagaimana setiap kali ia sitir baik secara lisan maupun tulisan. Ia tidak mengenal adagium: Dawud melawan Jalut. Adagiumnya adalah ketika Kebenaran Datang, Kebatilan Musnah. Selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini Shaykh Umar tidak pernah berhenti dan diam. Dia terus bergerak, dalam berbagai bentuk tindakan, menulis, mengajar, mengerjakan, sambil menularkan semua itu kepada setiap orang. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang, ketika berbicara dengan seseorang di pinggir jalan atau seorang kepala negara: ia melakukannya dengan isi dan bobot pesan yang sama. Dan dengan visi yang juga sama: kemenangan Islam, kembalinya 'amal Ahlul Madinah. Karya Tulis dan Buku Selain Dinar dan Dirham yang kini mulai diterapkan di mana-mana Shaykh Umar menghadirkan sejumlah pengetahuan kepada kita melalui berbagai karya tulisnya, baik berupa buku, risalah, artikel, maupun naskah pidato. Dua buku yang ia tulis pada awal 1990an adalah The End of Economics (1991), kemudian The Return of Islamic Gold Dinar (1996), dua judul buku yang merefleksikan perjalanan perjuangannya. Pada tahun 2003 sebuah bukunya yang lain, setebal hampir 1000 halaman, The Esoteric Deviation in Islam, diterbitkan. Buku ini membedah penyakit yang diderita oleh sebagian kaum muslimin sendiri, yang dalam kurun lebih dari 150 tahun belakangan ini, mengambil jalan yang keliru, yakni mengasimilasikan Islam kedalam kapitalisme. Dalam buku ini Shaykh Umar mengatakan asimilasi adalah 'upaya [kaum] kapitalis untuk membawa Islam ke dalam pandangan dunia (world view) mereka,' yang dengan jelas dapat dilihat khususnya pada proses 'islamisasi segala segi kehidupan'. Dua pintu pertamanya adalah ide tentang politik (negara) Islam dan ekonomi Islam. Kata 'Islam' dipakai sekadar menjadi 'siasat pemasaran' yang ditempelkan di belakang berbagai pranata kapitalistik tersebut: partai Islam, negara Islam, parlemen Islam, demokrasi Islam, bank Islam, pasar saham Islam, kartu kredit Islam, reksadana Islam, MLM (Multi Level Marketing) Islam, dan seterusnya. Akibat dari islamisasi kapitalisme ini
adalah semakin tidak dikenalinya model kedidupan sosial ekonomi Islam sendiri, yakni muamalat. Kini dua dekade sejak tindakan pertama Shaykh Umar, mencetak prototipe Dinar dan Dirham (1992) itu, umat Islam mulai melihat pohon yang telah bersemai, meski buahnya belum sepenuhnya bisa dipetik. Bibit-bibit kembalinya pilar-pilar muamalat, Dinar dan Dirham, pasarpasar terbuka, pedagang, dan kontrak-kontrak Islam, mulai bersemi di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Kesadaran umat Islam untuk kembali kepada model yang lebih genuine, yakni muamalat, dan bukan kapitalisme Islam, dan menuju kepada kemenangan atas sistem riba yang menindas, dan bukan tunduk di bawah ketiaknya, mulai hadir di seluruh dunia Islam. Dengan itu Shaykh Umar terus bergerak. Dari Granada ke Istambul. Dari Istambul ke Rabat. Dari Rabat ke Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur terus ke Jakarta. Dari Jakarta ke Kelantan. Dari Kelantan ia pergi ke Aceh. Dari Aceh ia akan ke Kesultanan Sulu, Filipina Selatan. Dari Sulu, entah bumi mana lagi yang Allah bukakan pintu untuknya, yang pasti akan ia datangi dengan riang hati. Dengan itu Shaykh Umar juga terus sambil menulis, mengajar, mentransmisikan pengetahuan dan keteladanan 'amal kepada setiap muslim yang ia temui. Pada awal tahun 2006, risalah bahan kuliahnya di Dallas College, Cape Town, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans; bersama penulis lain yaitu Shaykh Abdalhaqq Bewley (Piramedia, 2006). Tentang Kefaqihannya Menjelang akhir 2006 Shaykh Umar kembali mengeluarkan sebuah fatwa penting, Fatwa on Banking and the Use of Interest Received on Bank Deposits (Fatwa tentang Perbankan dan Penggunaan Bunga Deposito). Ini adalah sebuah dokumen fatwa setebal 66 halaman ia tulis dengan cukup komprehensif. Fatwa ini memberikan panduan yang jelas atas kebingungan umat Islam dalam kenyataan sehari-hari yang masih tidak lepas dari urusan dengan sistem riba, yakni sistem perbankan. Terakhir, sebagai bagian dari yang ia lakukan di Kelantan, pertengahan 2010, Shaykh Umar kembali menulis sebuah fatwa, yakni tentang zakat, berjudul Fatwa on the Payment of Zakat: Using Dinar and Dirham the Issue of Ayn and Dayn in Zakat. Fatwa tentang zakat ini sangatlah penting, sebab pengetahuan umat Islam tentang rukun zakat secara benar praktis telah hilang, akibat proses politik yang berlangsung dalam 100 tahun terakhir ini. Hilangnya Dinar dan Dirham, bersamaan dengan runtuhnya daulah Islam terakhir di bawah Daulah Utsmani, sejak 1924, telah mengubah praktek pengamalan zakat menjadi sedekah biasa. Dua rukun zakat yang roboh saat ini adalah keharusan penarikan zakat oleh sebuah otoritas Islam dan pembayarannya yang hanya bisa dilakukan dengan ayn (komoditas nyata), dan bukan dengan dayn (nota utang, seperti uang kertas). Fatwa ini mendudukkan kembali dua pilar tersebut. Fatwa tentang zakat ini, sebagaimana dua fatwa lain yang ia terbitkan, yakni Fatwa tentang Pelarangan Uang Kertas sebagai Alat Tukar (1991) dan Fatwa tentang Perbankan (2006), sebagaimana disebut di atas, sekaligus menunjukkan kefaqihan Shaykh Umar Vadillo. Dalam sambutan yang diberikan pada saat peluncuran Dinar Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu, Shaykh Abdalqadir menyebutkan bahwa Shaykh Umar Vadillo adalah 'faqih nomer satu dalam masalah finansial' yang dimiliki dunia Islam saat ini. Sebagai seorang faqih Shaykh Umar telah mampu 'membacakan' kembali, dan dengan itu memberikan pemahaman, bagi umat Islam dunia, pengetahuan yang telah dilupakan dan terkubur selama seratus tahun terakhir atas satu bagian yang sangat penting dari kitab Al Muwatta-nya Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, yakni muamalat. Dalam salah satu tulisannya yang
meskipun cukup ringkas, yaitu Ketetapan Hukum Uang Kertas, kita dapat menilai kefaqihan Shaykh Umar ini. Menjelang akhir 2011 penerbit Delokomotif, Jogyakarta, tengah menyiapkan kumulan tulisannya menjadi sebuah buku, berjudul Jihad Melawan Kapitalisme. Berbeda dari buku-buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku Jihad Melawan Kapitalisme ini tidak berasal dari suatu naskah yang memang disiapkan sebagai sebuah buku, tetapi berasal dari beberapa risalah, artikel, atau naskah pidato Shaykh Umar yang terpisah-pisah. Dua di antaranya adalah makalah yang ia sampaikan pada Konferensi Pemuda di Cape Town, 2005 (Rekonstruksi Muamalat Islam di Tengah Krisis Kapitalisme), dan Konferensi Internasional Fiqih, juga di Cape Town, 2008 (Prioritas Fiqih dan Muamalat). Selebihnya adalah tulisan yang dipresentasikan di berbagai kesempatan. Satu tulisan, yakni Jihad Melawan Kapitalisme, berasal dari wawancara Shaykh Umar dengan majalah Gontor, pada saat kunjungannya ke Jakarta, 2007 lalu. Meski semula terpisah-pisah, himpunan tulisan ini secara keseluruhan ketika dibukukan memperlihatkan alur dan kerangka pemikiran yang solid dan sistematis. Semuanya menggambarkan rekonstruksi muamalat sebagai jalan keluar dari kungkungan kapitalisme, atau riba, yang menindas saat ini. Tetapi, lebih dari itu, buku ini mengalirkan semangat dan enerji perjuangan yang sangat menggugah. Cahaya Kembali Bersinar Pada saat Moussem 2011 di Kuala Lumpur, Haji Umar Ibrahim Vadillo, telah dikukuhkan sebagai seorang shaykh. Ini adalah hadiah besar bagi umat Islam di Nusantara, yang sejak keruntuhan Daulah Utsmani, yang diikuti dengan lenyapnya satu per satu daulah Islam di Nusantara, kehilangan panduan. Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya itu kembali ke wilayah ini. Seperti halnya tiga abad lalu cahaya itu datang dari Nusantara ke ujung selatan benua Afrika, juga melalui para Mursyid. 'Tugas utama Muslim di zaman ini adalah memerangi Riba. Caranya adalah dengan menegakkan kembali muamalat, perdagangan yang halal, penggunaan alat tukar Dinar emas dan Dirham perak, mendirikan pasar-pasar, mengamalkan kembali kontrak-kontrak bisnis menuruti sunnah, yaitu qirad dan shirkat,' demikian, antara lain, wejangan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo kepada murid-muridnya. Riba adalah kezaliman terbesar zaman ini. Ia juga menegaskan bahwa semua upaya ini hanyalah demi kecintaan kita kepada Allah Ta'ala dan Rasulullah salallahualaihi wasalam. Kalau kalian mengikuti saya, muamalat akan kembali tegak, ujarnya lagi. Peristiwa pengukuhan Shaykh Umar Vadillo, orang yang pertama kali mencetak kembali Dinar emas dan Dirham perak di kurun mutakhir ini, mengikuti jejak Khalifah Umar ibn Khattab yang mengukuhkan standarnya, di sebuah masjid bernama Masjid Umar ibn Khattab, di Kuala Lumpur, adalah hadiah besar bagi umat Islam Nusantara. Semoga Allah Ta'ala meninggikan ilmu dan maqam Shaykh Umar Vadillo. Semoga Allah Ta'ala memberikan kita semua kesempatan untuk terlibat, dan menikmati, tegaknya muamalat di bumi Nusantara.