TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
Volume VI, Nomor 02, September 2014
CADANGAN REKLAMASI PERTAMBANGAN SEBAGAI LOOPHOLES PAJAK DALAM PENERAPAN PRINSIP TAXABILITY-DEDUCTIBILITY Chairil Anwar Pohan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia
[email protected] Abstract: Ironic look messy mining face in this country and so much troublesome services of government officials, especially in the mining region of area businesses amid rampant mining minerals (Gold, Tin, Copper, Nickel, etc.) and coal were carried out by the Investor, the resultant investment offers little value added contribution on state revenues, whereas post-exploitation or post-mining closure leaves holes gaping tailings left just by miners, resulting in environmental degradation, social inequality and other things that have a negative impact that brings enormous material losses for the country and society, which never should have happened because of the taxation aspects of the government actually had anticipated that the mining activities should be facilitated by the provisioning cost of reclamation in mining production activities are underway, the reserve for reclamation explicitly accommodated as accounts exclusion in Article 9, paragraph 1 of Income Tax Law, that the taxation treatment is a cost that can be a deduction from gross income. Keyword: Provisioning Cost of Reclamation, Reserve For Reclamation, Taxability-Deductibility Principle. Abstrak: Ironis melihat carut marut wajah pertambangan di negeri ini dan sebegitu repotnya pelayanan aparat pemerintahan khususnya di daerah wilayah pertambangan di tengah maraknya usaha penambangan mineral (Emas, Timah, Tembaga, Nikel, dll) dan batubara yang dilakukan oleh para Investor, resultante investasinya hanya memberikan sedikit nilai tambah kontribusinya pada penerimaan negara, padahal pascaeksploitasi atau penutupan pascatambang menyisakan lubanglubang sisa tambang yang menganga ditinggal begitu saja oleh petambang sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial dan hal-hal lain yang berdampak negatif yang mendatangkan kerugian materiil yang sangat besar bagi negara dan masyarakat, yang sebenarnya tidak perlu terjadi karena dari aspek perpajakan sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi bahwa kegiatan penambangan tersebut perlu difasilitasi dengan pencadangan biaya reklamasi dalam masa kegiatan produksi penambangan sedang berjalan, yang secara eksplisit pencadangan reklamasinya tersebut diakomodir sebagai akun exclusion dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang dalam perlakuan perpajakannya merupakan biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Kata Kunci: Provisioning Biaya Reklame, Cadangan untuk Reklame, Prinsip TaxabilityDeductibility Indonesia dikenal sebagai negara yang dikaruniai sumber daya alam dan energi yang melimpah. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi kelima untuk komoditas nikel, posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas (Supramono, 2012: 2). Potensi sumber daya dan cadangan mineral metalik tersebar di 437 lokasi di Indonesia bagian barat dan timur, seperti tembaga dan emas di Papua, emas di
181
Nusa Tenggara, Nikel di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur, dan mineral lainnya yang masih tersebar di berbagai tempat (news.Okozone.com, 4 November 2010). Semakin disadari oleh para petinggi negeri ini bagaimana kecilnya persentase kontribusi non migas khususnya sektor pertambangan dalam penerimaan negara padahal sedemikian besarnya luas lahan pertambangan yang telah dieksploitasi secara besar-besaran oleh para pengusaha-pengusaha pertambangan yang
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
hanya menguntungkan segelintir masyarakat tertentu tanpa memberikan dampak yang luas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat umum dan bahkan penerimaan pajak dari sektor ini juga sangat kecil/tidak signifikan. Rasio penerimaan seperti terlihat di tabel-1 dibawah ini memberikan indikasi bahwa sebenarnya masih besar potensi penerimaan yang belum tergali atau ditemukan dari non-migas khususnya dari sektor pertambangan dan pajak yang dihasilkannya, yang menuntut tingkat kesadaran wajib pajak (tax payers’ awareness) yang lebih baik dan meningkat serta kepatuhan (tax compliance) dan kepedulian (tax care) dari para pengusaha pertambangan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Mineral dan batubara adalah sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan (nonrenewable natural resources) merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 hasil amandemen (perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002) dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya dalam Pasal yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Idealnya memang demikian, namun secara faktual, apakah yang diamanatkan dalam konstitusi negara UUD 1945 tersebut sudah dapat diwujudkan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi yang diperjuangkan? Untuk melihat bagaimana perkembangan penerimaan negara sejak tahun 2008 hingga 2012, dalam tabel-1 diperlihatkan struktur penerimaan berdasarkan sumber-sumber penerimaan negara dari dalam negeri yang terdiri dari Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kita mengambil contoh perkembangan pendapatan negara di tahun 2012, Pertambangan umum sektor non migas dengan penerimaan negara di tahun 2012 sebesar sebesar Rp15,9 triliun atau hanya menyumbang 1,19 % dari jumlah penerimaan negara, dibandingkan dengan seluruh penerimaan pajak di tahun 2012 sebesar Rp980,5 triliun atau mampu menyumbang 73,28 % dari jumlah penerimaan negara. Itupun, kalau dimasukkan penerimaan dari semua Sumber Daya Alam (SDA) di tahun 2012 hanya diterima sebesar Rp225,8 triliun atau 16,87 % dari jumlah penerimaan negara. Kekayaan alam yang melimpah yang dikeruk oleh investor pertambangan umum tersebut dengan kontribusi sebesar Rp15,9 triliun, apakah cukup untuk menutupi kerugian negara bila lahan tambang tersebut dikembalikan ke kondisi awal (direklamasi) ketika belum ditambang, ditambah kerugian yang terjadi karena kerusakan ekosistem yang secara potensial ini harus ikut diperhitungkan? Jangankan untuk dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dampak negatifnya bahkan telah menimbulkan kerusakan ekosistem yang merugikan masyarakat di sekitar area penambangan seperti pencemaran lingkungan, banjir, kerusakan tanah tambang dan lingkungan hidup, yang sudah pasti mengancam kelestarian lingkungan, penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim mikro merupakan serangkaian kerugian yang akan diderita oleh masyarakat dan lingkungan, serta bangsa kita, sementara manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh investor-investor yang menguasai penambangan daripada pemerintah sendiri. Bukan hanya kegiatan penambangan liar (tanpa izin) saja yang sering menimbulkan kerusakan lahan tambang, namun yang memiliki izin pun tidak luput dari hal serupa, ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu hektar bekas wilayah penambangan di penjuru nusantara terbengkalai (rusak) pasca produksi tambang oleh perusahaan tambang yang beroperasi.
182
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
Volume VI, Nomor 02, September 2014
Tabel 1. Perkembangan Pendapatan Negara 2008-2013 (triliun rupiah) Uraian I Pendapatan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pendapatan Pajak Dalam Negeri 1) Pendapatan Pajak Penghasilan a) Pendapatan PPh Migas b) Pendapatan PPh Nonmigas 2) Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3) Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan 4) Pendapatan BPHTB 5) Pendapatan Cukai 6) Pendapatan Pajak Lainnya b. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional 1) Pendapatan Bea Masuk 2) Pendapatan Bea Keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan Sumber Daya Alam 1) Pendapatan SDA Migas a) Pendapatan Minyak Bumi b) Pendapatan Gas Bumi 2) Pendapatan SDA Nonmigas a) Pendapatan Pertambangan Umum **) b) Pendapatan Kehutanan c) Pendapatan Perikanan d) Pendapatan Panas Bumi b. Pendapatan Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU
2008 979,3 658,7 622,4 327,5 77,0 250,5 209,6 25,4 5,6 51,3 3,0 36,3 22,8 13,6 320,6 224,5 211,6 169,0 42,6 12,8 9,5 2,3 0,1 0,9 29,1 63,3 3,7
2009 847, 1 619, 9 601 ,3 317 ,6 50, 0 267, 6 193 ,1
2010
2011
992, 1.205,3 2 873,9 723, 819,8 3 431,1 694, 73,1 4 358,0 357, 277,8 0 58, 29,9 9 298, 77,0 2 3,9 230, 54,1 6 25,3 28,9 28, 331,5 6 213,8 8, 0 193,5 66, 141,3 2 52,2 4, 20,3 0 16,4 28, 3,2 9 0,2 20, 0,6 0 28,2 8, 69,4 9 20,1 268,
24, 3 6, 5 56, 7 3, 1 18 ,7 18 ,1 0, 6 227, 2 9 2,3 5,3 139 168, ,0 8 125 152 II Penerimaan Hibah ,8 ,7 90, 111 1 ,8 35, 40, 7 9 13 16, ,2 1 10, 12, 4 6 2, 3, 3 0 0, 0, 1.210,6 Jumlah 981,6 848, 995, 1 8 dan batu 3 1bara **) Sejak tahun 2013 menjadi pendapatan pertambangan mineral 0, 0, Sumber : Kementerian Keuangan 4 3 26, 30, Meskipun sebenarnya, masih ada juga beberapa upaya untuk menjawab permasalahan 0 perusahaan yang berupaya menerapkan prinsipmelalui kegiatan atau1 kewajiban 53, 59, prinsip pertambangan yang baik. Salah satu tambang. Sejauh ini, 8 4 kegiatan 8, 10, 4 6 183 1, 7
3, 0
2012 1.332,3 980,5 930,9 465,1 83,5 381,6 337,6 29,0 95,0 4,2 49,7 28,4 21,2 351,8 225,8 205,8 144,7 61,1 20,0 15,9 3,2 0,2 0,7 30,8 73,5 21,7 5,8
1.338,1
ini adalah reklamasi reklamasi
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
tambang dianggap sebagai suatu metode/upaya yang paling efektif untuk menekan laju kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan minerba (Rusdan, 2014). Pembuatan Smelter atau pabrik pemurnian dan pengolahan mineral baru merupakan salah satu solusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai suatu kebijakan merevitalisasi kegiatan produksi dari sektor penambangan agar dapat memberikan nilai tambah yang signifikan bagi penerimaan negara. Nilai tambah dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. Road map pembangunan smelter harus mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian. Memang pembangunan smelter ini tidak mudah dilaksanakan karena memerlukan pendanaan/pembiayaan yang cukup besar. Diharapkan pemerintah nantinya memberikan banyak kemudahan dan bertindak sebagai pemberi penyertaan modal dan sebagai katalisator untuk menjembatani perusahaan yang kesulitan membangun smelter, yang dananya bisa dari APBN atau Pusat Investasi Pemerintah. Bagaimanapun juga pembangunan smeltersmelter tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan penerimaan pajak yang substansial sejalan dengan semakin terdongkraknya nilai hasil penjualan dari produk pertambangan yang tadinya masih bersifat bahan mentah tentunya dengan nilai hasil penjualan yang lebih rendah menjadi bahan yang sudah disuling/dimurnikan dengan nilai hasil penjualan yang lebih tinggi. Masih diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru yang sinergis termasuk kebijakan perpajakan untuk dapat dijadikan blueprint bagi peningkatan pendapatan pertambangan mineral dan batu bara, serta pemeriksaan dan pengawasan yang lebih ketat dari KPK dan institusi pengawasan terkait agar angka kebocoran penerimaan negara dapat diminimalisir.
Prinsip dan Deductibility
Mekanisme
Taxability
Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menguraikan tentang pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya bila pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto). (Pohan, 2013: 83). Prinsip yang mendasari sebagai peralatan analisis yang lebih mendalam tentang pengeluaran-pengeluaran apa saya yang dapat atau tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto sebagai dasar dalam melakukan koreksi fiskal dalam rangka menyusun laporan keuangan fiskal dan SPT Tahunan PPh Badan sesuai dengan prinsip taxability-deductibility. Demikian pula halnya dengan penghasilan, rekonsiliasi fiskal atas laporan keuangan komersil juga membutuhkan analisis tentang penghasilan-penghasilan apa saya yang dapat atau tidak dapat dijadikan sebagai penghasilan fiskal sebagai dasar dalam melakukan koreksi fiskal. Dalam prakteknya di dunia bisnis, banyak ditemukan kesalahankesalahan wajib pajak (bahkan fiskus bisa juga melakukan kesalahan dalam pemeriksaan pajak) dalam menempatkan penghasilanpenghasilan apa saja yang dikenakan atau tidak dikenakan pajak dan penghasilan-penghasilan apa saja yang dikenakan atau tidak dikenakan PPh final. Tentu saja dalam proses pemilahan tersebut tidak terlepas dari pentingnya pengetahuan wajib pajak tentang metode pengakuan pendapatan baik berdasarkan Standard Akuntansi Keuangan (SAK) maupun metode yang dapat diterima oleh fiskus yang bagaimanapun juga untuk kepentingan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan arah kiblat analisanya harus mengacu kepada ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 184
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
Volume VI, Nomor 02, September 2014
Tabel-2: Taxability-Deductibility TAXABILITY DEDUCTIBILITY Taxable Non-Taxable Deductible Non-Deductible PENGHASILAN Pasal 4 ayat (1) Pasal 4 ayat (2) Pasal 4 ayat (3)
Y Y (final)
BIAYA Pasal 6 ayat (1) Pasal 9 ayat (1) Ketidaksesuaian dalam menerapkan prinsip taxability-deductibility tersebut akan bisa menimbulkan permasalahan/sengketa pajak di kemudian hari bagi wajib pajak yang bersangkutan apabila dalam pelaksanaannya terdapat banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak yang ditemukan dari hasil verifikasi fiskus, sehingga hal ini akan berpotensi memicu fiskus (by system) untuk melakukan pemeriksaan pajak atas SPT Tahunan PPh Badan. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan suatu sengketa pajak antara fiskus dengan wajib pajak, bisa memakan waktu sekitar 2 – 3 tahun sejak fiskus melakukan pemeriksaan pajak atas SPT Tahunan PPh Badan yang kemudian sengketa pajak tersebut bisa berlanjut prosesnya ke tingkat keberatan dan banding serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung manakala sengketa tersebut diajukan Peninjauan Kembali oleh wajib pajak sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan pajak. Dalam korporasi, secara umum prinsip taxability deductibility memberi makna bahwa jika pemberi kerja sudah mengenakan pajak atas penghasilan/imbalan (taxable income) yang diterima oleh pekerja (karyawan), maka bagi pihak pemberi kerja dapat memperlakukan pemberian imbalan tersebut sebagai biaya (deductible expenses), dan sebaliknya jika atas pemberian tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya (non-deductible expenses), maka bagi pihak pekerja (karyawan) atas pemberian imbalan tersebut bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak (non- taxable income). Bila diposisikan kedudukan penghasilan dan biaya dalam konteks perundang-undangan 185
Y
Y Y perpajakan khususnya pajak penghasilan, maka konsep taxability-deductibility dapat dilihat pada tabel 2. Bagaimana mekanisme dari Prinsip Taxability Deductibility tersebut dalam implementasinya sehingga kita dapat membedakan di satu sisi bagaimana perlakuan pajak bagi karyawan atau penerima penghasilan dan di sisi lain bagaimana pula perlakuan pajak bagi perusahaan atau pemberi kerja adalah sebagai berikut: Konsep Taxability Deductibility umum adalah : Taxable - Deductible, atau Non Taxable - Non Deductible
secara
Pengecualian (exclusion) : Taxable - Non Deductible, atau Non Taxable - Deductible Hubungan konsepsional yang diilustrasikan itu dalam penjabaran Prinsip Taxability Deductibility secara umum (selain exclusion) merupakan hubungan kausalitas antara pemberi kerja dengan tenaga pekerja. Tetapi dalam penerapan prinsip taxability deductibility ini yang terkait dengan pencadangan biaya reklamasi ini tidak ditentukan atau tidak memiliki hubungan langsung secara case by case atau on job order basis tetapi lebih merupakan agregasi dari penerapan prinsip taxability di sisi pendapatan terhadap pencadangan biaya reklamasi yang pada hakikatnya adalah penjabaran dari prinsip deductibility di sisi biaya dari perusahaan pertambangan.
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
Pertambangan Pertambangan
dan
Reklamasi
Kegiatan Pertambangan Tayangan-tayangan berita di berbagai mass media berupa gambar pemandangan lahanlahan penambangan yang rusak sungguh menyayatkan hati sebagai rakyat Indonesia yang sangat mencintai kelestarian alam, menggusarkan hati kita melihat lubang sisa tambang timah, batubara, dan mineral lainnya yang menganga di berbagai lokasi tambang seperti di Kalimantan Selatan, Kaltim (Batubara), Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung(timah). Luas lahan tambang yang rusak akibat lokasi yang telah ditambang ditinggalkan begitu saja oleh petambang, akibatnya lahan rusak karena penambangan semakin meluas. Ini bukan fenomena alam, tetapi ini adalah fenomena dari buruknya suatu sistem yang di-“arranged” sedemikian rupa di wilayah lokasi-lokasi pertambangan yang mengalami kasus-kasus dampak sosial ekonomis dalam peristiwa kerusakan ekosistem serta kehidupan dan penghidupan masyarakat yang terdegradasi, dan meskipun sering ditayangkan di berbagai mass media maupun berbagai tulisan dari berbagai pakar/pengamat pertambangan dan lingkungan hidup, namun ironisnya ibarat menggarami air laut nampaknya semuanya tidak memberikan pengaruh terhadap perbaikan kualitas dalam progresi penambangan yang dapat memberikan perbaikan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semesta alam termasuk pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable economic development) seperti yang dicanangkan dalam UU Pertambangan Minerba RI No. Nomor 4 Tahun 2009. Sejak diluncurkannya reformasi perpajakan tahun 1983 terasa betapa sulitnya melakukan reformasi pada peraturan perundang-undangan bidang pertambangan yang terbukti membutuhkan kurang lebih 20 tahun sejak RUU tersebut masuk ke DPR RI sampai dengan ditetapkannya UU No. 4 Tahun 2009 Kegiatan reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus menunggu proses pertambangan secara keseluruhan selesai dilakukan. Praktik terbaik pengelolaan
lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus-menerus dan terpadu pada seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Perencanaan dan pelaksanaan yang tepat merupakan rangkaian pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga kegiatan pertambangan jika tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat terjadi antara lain pada penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim mikro. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang yang tepat serta terintegrasi dengan kegiatan pertambangan. Oleh sebab itu, dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.(Supramono, 2012:15). Pada dasarnya kegiatan pertambangan dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Mineral dan batubara adalah sumber daya alam yang tak terbarukan (non-renewable natural resources) merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi 186
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
negara yakni UUD 1945 hasil amandemen (perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002) dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dan selanjutnya dalam Pasal yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pekerjaan penambangan umum merupakan kegiatan melakukan eksplorasi dan eksploitasi tanah/bumi untuk mengambil objek penambangan (mineral atau batubara). Tidak dapat dielakkan bahwa kegiatan pertambangan sangat terkait dengan masalah lingkungan hidup. Oleh sebab itu, setelah eksploitasi dilakukan, aktivitas penambangan tidak berhenti sampai di situ. Masih ada kewajibankewajiban formal dan materiil lainnya yang harus dituntaskan oleh petambang, yakni pihak penambangan berkewajiban untuk mengembalikan kondisi tanah seperti keadaan semula dan tidak membiarkan tanah-tanah bekas penambangan yang berlubang-lubang begitu saja sehingga tanah-tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sehingga ekosistem menjadi terganggu. Dengan adanya kegiatan penambangan pada suatu daerah tertentu, maka akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup di sekitar lokasi penambangan, melikputi tidak terbatas pada: (a) pencemaran lingkungan, yaitu Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan komponen lain ke dalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan sampai ke tingkat tertenntu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. (b) pengrusakan lingkungan, yaitu adanya tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap perubahan sifat-sifat 187
Volume VI, Nomor 02, September 2014
dan/atau hayati lingkungan yang mengakibatkan lingkungan itu kurang berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkesinambungan. (SAK, 2009:33.10) Norma-norma yang terkandung dalam konstitusi negara tersebut dijadikan menjadi prinsip dasar dalam penyusunan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 yang menyatakan, bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pertambangan mineral dan batubara dikelola berasaskan: a) manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b) keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c) partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d) berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, sebagai rambu-rambu dalam pendayagunaan natural resources tersebut dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, Undang-undang Minerba tersebut menetapkan tujuan pengelolaan mineral dan batubara sebagai berikut: a) menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b) menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c) menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d) mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e) meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesar kesejahteraan rakyat; dan f) menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Sejauh mana sebenarnya kegiatan reklamasi tersebut, dapat kita ikuti selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 mendefinisikan reklamasi sebagai kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai dengan peruntukannya. Reklamasi bertujuan
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
meningkatkan ketaatan dari pemegang izin usaha pertambangan tahap eksploitasi/operasi produksi dalam melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang, sesuai dengan rencana yang disetujui oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan kegiatan pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Prinsip Reklamasi dan Pascatambang Pemerintah qq. Direktorat Jenderal Pajak dalam menuangkan Peraturan Perundangundangan perpajakan yang berlaku menawarkan suatu konsep deductibility dalam “mem-fasilitasi” reklamasi pertambangan sebagai peran serta aktif perpajakan dalam mendukung usaha pertambangan nasional untuk kemajuan bangsa dan negara. Secara singkat regulasi yang terkait dengan reklamasi pertambangan dapat diuraikan dibawah ini. Dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 (www.esdm.go.id) diuraikan secara detail tentang prinsip reklamasi dan pascatambang, sebagai berikut : Pasal 2: 1)Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi; 2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang; 4) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi; dan 5) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode: a) penambangan terbuka; dan b) penambangan bawah tanah. Pasal 3: 1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib memenuhi prinsip:a) dan pengelolaan perlindungan hidup pertambangan; dan b) lingkungan keselamatan dan kesehatan kerja; 2) Pelaksanaan reklamasi dan
pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip: a) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan ; b) keselamatan dan kesehatan kerja; dan c) konservasi mineral dan batubara. Pasal 4: 1) Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a, paling sedikit meliputi: a) perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan; b) peraturan perundang-undangan; c) perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; d) penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; e) pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; f) memperhatikan nilainilai sosial dan budaya setempat; dan g) perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) Prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf b, meliputi: a) perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja/buruh; dan b) perlindungan setiap pekerja/buruh dari penyakit akibat kerja; 3) Prinsip konservasi mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2 huruf c, meliputi: a) penambangan yang optimum; b) penggunaan metode dan teknologi pengolah dan pemurnian yang efektif dan efisien; c) pengelolaan dan/ atau pemanfaatan cadangan marjinal , mineral kadar rendah, dan mineral ikutan serta batubara kualitas rendah; dan d) pendataan sumber daya serta cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang serta sisa pengolahan dan pemurnian; dan 4) Dalam hal mineral ikutan dari sisa penambangan, pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a, huruf b, dan huruf c mengandung radioaktif, wajib melakukan analisis keselamatan
188
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
radiasi untuk tenorm dan melaksanakan intervensi terhadap paparan radiasi yang berasal dari tenorm sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Pelaksanaan reklamasi sedapat mungkin harus dilaksanakan dengan cepat sepanjang umur tambang. Dengan demikian dapat dicapai efisiensi pemakaian peralatan, pemindahan dan pengelolaan tanah pucuk. Sebelum dimulai pelaksanaan kegiatan penambangan sebaiknya direncanakan penggunaan tenaga kerja yang cukup termasuk tenaga kerja kegiatan reklamasi sehingga pelaksanaan reklamasi dapat dilakukan dengan cepat tanpa menganggu produksi. Komponen Biaya dan Jaminan Reklamasi Komponen – komponen biaya reklamasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 (www.esdm.go.id) adalah sebagai berikut: (a) Biaya langsung meliputi biaya penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pascatambang; (b). Biaya tidak langsung meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan reklamasi, administrasi, dan supervisi. Prosedur/tata cara pelaksanaan reklamasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (2) Rencana reklamasi dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi; (3) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang kepada Menteri, gubernur, atau 189
Volume VI, Nomor 02, September 2014
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; (4) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi; (5) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rencana reklamasi dan rencana pascatambang harus sesuai dengan: (1) Prinsip: (a) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, (b) keselamatan dan kesehatan kerja, (c) konservasi mineral dan batubara; (2) Sistem dan metode penambangan berdasarkan studi kelayakan; (3) kondisi spesifik wilayah izin usaha pertambangan; (4) ketentuan peraturan perundang-undangan. Rencana reklamasi disusun untuk jangka waktu lima tahun. Dalam rencana reklamasi dimuat rencana reklamasi untuk masing-masing tahun. Dalam hal umur tambang kurang dari lima tahun, rencana reklamasi disusun sesuai dengan umur tambang. Rencana reklamasi paling sedikit memuat: (1) tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang; (2) rencana pembukaan lahan; (3) program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat sementara dan/atau permanen; (4) kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir; (5) rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Bagi Pemegang IUP dan IUPK diwajibkan untuk menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang. Jaminan reklamasi terdiri atas jaminan reklamasi tahap eksplorasi dan jaminan reklamasi tahap operasi produksi. Namun demikian Penempatan Jaminan Reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dan IUPK untuk melaksanakan reklamasi. Jaminan Reklamasi Tahap Eksplorasi: (1) Jaminan reklamasi tahap eksplorasi ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi yang
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi; (2) Jaminan reklamasi ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka; (3) Penempatan jaminan reklamasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap eksplorasi disetujui oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Jaminan Reklamasi Tahap Produksi: (1) Jaminan reklamasi tahap operasi produksi ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi. Jaminan reklamasi dapat berupa: (a) rekening bersama pada bank pemerintah, (b) deposito berjangka pada bank pemerintah, (c) bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional, (d) cadangan akuntansi(accounting reserve); (2) penempatan jaminan reklamasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kalender sejak rencana reklamasi disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; (3) Penempatan jaminan reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dan IUPK untuk melaksanakan reklamasi. Jaminan reklamasi harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan reklamasi. Biaya pelaksanaan reklamasi dihitung berdasarkan pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga. Reklamasi merupakan kewajiban perusahaan, dan bila perusahaan tidak melaksanakannya mereka akan bisa dituntut secara pidana karena itu masuk ranah kejahatan lingkungan. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan reklamasi. Dalam hal jaminan reklamasi tidak menutupi untuk menyelesaikan reklamasi, kekurangan biaya untuk penyelesaian reklamasi menjadi tanggung jawab pemegang IUP atau IUPK. Dalam hal
terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk penyelesaian reklamasi, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP atau IUPK setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan reklamasi wajib dilaksanakan secepatnya untuk menghindari kerusakan lahan yang lebih parah dan untuk efisiensi penggunaan peralatan, bahan, dan sumber daya manusia. Jika perusahaan “lari”, pilihan terakhir bagi pemda setempat dapat menggunakan dana jaminan reklamasi untuk bisa dipakai mereklamasi lahan bekas pertambangan. Kebocoran dalam Bidang Pertambangan Abrar Saleng dalam disertasinya mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa diketahui dua tipe investor asing dalam bidang pertambangan, berkaitan dengan pengaturan pengusahaan galian (Nandang Sudrajat, 2013:185-198), yaitu: (1) Tipe I: Tidak mau tahu Indonesia, artinya hukum harus ditegakkan, seperti dinegara asalnya. Kelompok ini sering mengalami hambatan birokrasi yang menyebabkan kegiatan usahanya tertnda bahkan gagal; (2) Tipe II: Sangat tahu Indonesia, artinya mereka mengikuti budaya hukum Indonesia. Kelompok ini mengakui tidak ada hambatan yang berarti dalam menjalankan usahanya, tetapi mereka harus menyediakan dana ekstra (khusus) yang jumlah tidak sedikit untuk mewujudkan keinginannya. Ada beberapa hal menarik yang menjadi pelajaran dari tipe kedua kelompok investor asing ini, yaitu: (1) Praktik-praktik perdamaian, untuk menghilangkan kendala yuridis merupakan petunjuk awal terjadinya KKN dalam pengusahaan bahan galian Indonesia selama ini; (2) Tipe investor sangat tahu Indonesia, akan sangat dengan mudah melakukan ekspansi usahanya, karena sejak tahap awal melaksanakan kegiatan usahanya telah dilakukan melalui cara-cara perdamaian; (3) Dalam konteks pengusahaan bahan galian, ditengarai praktik itu bisa terjadi sejak pembicaraan dan/atau perundingan draft Kontrak Karya (KK) dan/atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B);
190
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
(4) Terjadinya praktik KKN oknum pemerintah dengan pelaku usaha pertambangan, mendorong praktik-praktik KKN lanjutan, yaitu: (a) Sejak tahapan kegiatan eksplorasi, dapat berupa manipulasi luas lahan, kualitas, monopoli area yang bermuara pada monopoli komoditas, (b) Pada saat berlangsungnya kegiatan eksploitasi, (c) Manipulasi kualitas bahan galian, (d) Manipulasi kuantitas bahan galian, (e) Manipulasi harga pokok produksi, (f) Manipulasi harga jual produk pertambangan. Nandang Sudrajat dalam bukunya “Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia”(2013:185-198) mengemukakan, bahwa manfaat yang diperoleh negara tidak sebanding dengan nilai bahan galian yang dieksploitasi dari bumi Indonesia. “Selain karena terletak pada aspek kelemahan hukum yang mengatur pengelolaan dan pengusahaan pertambangan, juga karena banyaknya manipulasi yang berujung pada kebocoran penerimaan negara dalam setiap tahapan kegiatan usaha pertambangan”. Praktik manipulasi ini ditemukan pada: 1) Praktik manipulasi dan KKN pada tahap eksplorasi: (a) meng-upgrade data kadar bahan galian yang dieksploitasi, dengan cara melakukan mark-up kadar hasil analisis bahan galian yang sebenarnya, (b) Kerugian negara terletak pada dua hal, yaitu melesetnya proyeksi pendapatan negara dan munculnya ketidakpercayaan investor terhadap negara, (c) me-reduce data kadar bahan galian, dengan cara mencantumkan kadar hasil analisis lebih rendah dari kadar sebenarnya, (d) Implikasi dari praktik manipulasi kadar rendah bahan galian adalah hilangnya sebagian pendapatan negara yang seharusnya diperoleh sebagai sumber pendapatan negara; dan menimbulkan KKN lanjutan, yaitu praktik-praktik perhitungan pajak, retribusi, dll; 2) Praktik manipulasi dan KKN pada tahap kegiatan eksploitasi: (a) Memanipulasi surat-surat kepemilikan lahan, (b) Munculnya konflik atau sengketa lingkungan dengan masyarakat sekitar, (c) Sengketa ketenagakerjaan, (d) Manipulasi jumlah produksi, (e) Manipulasi dan KKN atas jenis dan jumlah perolehan mineral yang berujung pada praktik KKN antara pelaku usaha dengan oknum aparat. Kerugian negara: 191
Volume VI, Nomor 02, September 2014
banyaknya kehilangan sumber pendapatan yang seharusnya diterima negara; 3) Praktik manipulasi dan/atau KKN pada tahap pengangkutan/pengapalan dan penjualan, (a) Memanipulasi dan KKN pada proses pengapalan dan penjualan di tempat pelabuhan asal bahan galian. Bentuk-bentuk tahapan ini adalah: (1) Manipulasi jumlah penjualan dengan cara mengubah tinggi draft kapal/tongkang, (2). Manipulasi kadar bahan galian yang dijual, (3) Menggelapkan bahan galian di tengah-tengah laut, (4) Merubah seluruh isi dokumen transaksi bahan galian; (3) Memanipulasi dan KKN pada proses penjualan atau penerimaan di tempat pelabuhan tujuan bahan galian, (1) Tidak menerapkan sistem antrian pada proses un-loading atau bongkar bahan galian; (2) Manipulasi kadar bahan galian; (3) KKN pada saat proses penagihan; (c) Implikasi dari manipulasi atau KKN diatas adalah terjadinya kerugian bagi industri pemakai, dan terjadinya kerugian bagi supplier karena harus menanggung beban biaya ekonomi tinggi, serta terjadinya kerugian bagi negara. (Lebih lanjut tentang KKN ini dapat dibaca pada buku Nandang Sudrajat tersebut diatas). Keterlibatan pejabat teras di Kementerian ESDM seperti yang diberitakan oleh berbagai mass media akhir-akhir ini merupakan puncak gunung es masalah KKN/korupsi yang terungkap di pertambangan dan ini menambah daftar panjang kasus-kasus korupsi di tanah air ini dalam birokrasi pemerintahan yang ditangani oleh KPK. Mungkin akan lebih heboh lagi bila KPK juga dapat merambah jangkauan investigasinya ke dunia pertambangan di daerah-daerah yang antara lain memiliki kasus-kasus reklamasi pertambangan sebagai shock therapy agar supaya law enforcement dalam regulasi pertambangan dapat ditegakkan. permasalahan konsep deductibility dalam pembebanan biaya reklamasi Perlakuan Pajak terhadap Cadangan Biaya Reklamasi Ketentuan perpajakan yang berlaku untuk pertambangan umum diatur dalam kontrak karya yang berpegang kepada undang-undang
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
pajak yang sedang berlaku dengan memperhatikan kekhususan-kekhususan dari usaha pertambangan umum. Banyak ketentuan dari generasi sebelumnya yang masih terdapat dalam generasi berikutnya, yaitu ketentuan dalam undang-undang pajak tidak mengalami perubahan. (Mansury, 1999:107). Dalam penerapan prinsip konservatisme, laporan keuangan komersil bersifat konservatif terhadap sesuatu transaksi yang belum menjadi fakta. Berbeda dengan akuntansi komersial yang menganut prinsip konservatisme dalam menghadapi ketidakpastian, ketentuan perpajakan mengikuti pendekatan realisme. Dalam akuntansi, sifat demikian direalisasikan dengan pembentukan penyisihan atas resiko kerugian yang mungkin akan diderita (misalnya penghapusan piutang dan cadangan kerugian), tanpa pengakuan atas suatu klaim atau potensi keuntungan yang belum terealisasi. Dalam kasus itu, administrasi pajak kurang tertarik pada estimasi dan perhitungan angka-angka yang belum terjadi secara nyata, tetapi lebih cenderung untuk menganut realitas (keadaan nyata) dengan meneliti secara seksama tiap elemen pengurang basis pengenaan pajak (Gunadi, 2009: 27-28). Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali enam macam cadangan biaya yang dimaksudkan sebagai pengecualian dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 termasuk diantaranya adalah cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan. Perusahaan pertambangan dapat membentuk cadangan reklamasi yang dihitung berdasarkan metode satuan produksi untuk pencadangan tiap tahunnya (Gunadi, 2009:187). Pengertian cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 219/PMK.011/2012 Pasal 1 huruf d, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Ketentuan perpajakan yang berlaku untuk pertambangan umum diatur dalam Kontrak Karya (Kontrak Karya adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian mineral, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara), yang berpegang kepada undang-undang pajak yang sedang berlaku dengan memerhatikan kekhususan-kekhususan dari usaha pertambangan umum. Dari sekian banyak ketentuan dari generasi sebelumnya yang masih terdapat dalam generasi berikutnya, sepanjang ketentuan dalam undang-undang pajak tersebut tidak mengalami perubahan, misalnya mengenai Pajak Penghasilan, pengertian penghasilan berdasarkan undang-undang pajak penghasilan diikuti dalam kontrak karya, demikian pula biaya-biaya yang boleh dikurangkan atau “deductible expenses”. Jenisjenis biaya penambangan yang pokok, baik yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksinya adalah sebagai berikut: (a) pengupasan lapisan tanah (stripping) selama masa produksi, (b) pengambilan bahan galian dengan cara yang sesuai dengan sifat dan karakteristik bahan galian tambang yang bersangkutan, (c) Pencucian bahan galian, (d) Pengangkutan bahan galian , (e) Pengelolaan lingkungan hidup (SAK, 2009:33.8). Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya diatur lebih terperinci dalam Peraturan Menkeu Dalam Keputusan Menkeu No. 80/KMK.04/1995 tentang besarnya dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yang kemudian peraturan ini dicabut dengan Peraturan Menkeu (PMK) No. 81/PMK.03/2009 dan kemudian direvisi dengan PMK No. 219/PMK.011/2012. Penetapan cadangan biaya reklamasi yang melakukan usaha pertambangan diatur dalam Pasal 16 sebagai berikut (Waluyo, 2011:159): (1) Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya 192
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
reklamasi; (2) Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral; (3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya reklamasi dengan jumlah biaya reklamasi yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan. Dalam penghitungan laba kena pajak, biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (deductible expense) atau lazimnya disebut dengan “biaya M3P” dapat dijadikan sebagai pengurang dari penghasilan yang diterima atau diperoleh. Biaya-biaya yang dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto menurut peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh. (Siti Resmi, 2009: 102) Ketentuan perpajakan tidak membatasi pengeluaran-pengeluaran yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mendapatkan atau memperoleh penghasilan. Namun, ketentuan perpajakan juga mengatur tentang biaya-biaya yang diperhitungkan harus mempunyai hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (biaya M3P) merupakan biaya atau pengeluaran yang memiliki kaitan dengan kegiatan usaha antara lain memenuhi karakteristik sebagai biaya rutin, diperlukan sebagai revenue expenditure, dan jumlahnya wajar. Beberapa ketentuan umum kriteria kriteria biaya M3P termasuk: (1) biaya yang mempunyai masa manfaat setahun atau kurang merupakan beban tahun yang bersangkutan, sedang biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dibebankan melalui depresiasi atau amortisasi; (2) harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan perolehan penghasilan kena pajak; (3) bukan pengeluaran untuk memperoleh penghasilan tidak kena pajak; (4) bukan pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan proses 193
Volume VI, Nomor 02, September 2014
perolehan penghasilan kena pajak; (5) tidak dalam bentuk natura atau kenuikmatan; (6) dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik (arm’s length price); (7) bukan pengeluaran pribadi; (8) Pajak-pajak selain PPh dan sanksi perpajakan (Gunadi, 2009:181). Kenapa biaya reklamasi tidak termasuk ke dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh? Biaya reklamasi timbul setelah lahan tambang dirusak dan dilakukan dalam rangka memperbaiki kembali atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan pertambangan dan bukan merupakan biaya rutin, namun kegiatan reklamasi tersebut diwajibkan bagi usaha pertambangan. Biaya pengelolaan lingkungan dan biaya reklamasi pembebanannya dilakukan melalui akun cadangan biaya reklamasi. Dalam prinsip taxability-deductibility, kita mengenal dua macam biaya, yakni deductible expenses dan non-deductible expenses. Deductible expenses merupakan biaya-biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, karena petentuan perpajakan juga mengikuti pandangan yang lebih menitikberatkan pada substansi (hakikat) ekonomis yaitu untuk apa biaya tersebut dikeluarkan, dan bukan nama atau bentuk formal tiap transaksi atau fakta bisnis (substance over the form). Konsep deductible expense terpenuhi ketika biaya yang timbul sesuai dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Biaya reklamasi sudah sesuai dengan konsep deductible expense yang dalam hal ini biaya reklamasi boleh dibebankan semuanya karena biaya tersebut benar-benar timbul dari adanya kegiatan reklamasi. Reklamasi merupakan kewajiban besar bagi perusahaan kepada negara sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban petambang dan karena pengeluaran itu disyaratkan untuk kepentingan negara. Konsep deductible expense diterapkan pada suatu transaksi pencadangan biaya yang terjadi yang nantinya akan disesuaikan dengan sebenarnya, dalam arti bila estimasi biayanya ketinggian, maka cadangannya akan
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
ditambahkan ke penghasilan disesuaikan sampai akhir masa kontrak. Sepanjang ada transaksi maka biaya reklamasi tersebut boleh dibebankan, karena nantinya disesuaikan dengan yang biaya yang benarbenar terjadi. Hal ini sesuai dengan matching principle. Menurut William, dkk. (2012: 101): “The matching principle: when to record expenses a significant relationship exists between revenue and expenses. Expenses are incurred for the purpose of producting revenue. In the measurement of profit for a period, revenue should be offset by all the expenses incurred in producing that revenue. This concept of offsetting expenses against revenue on a basis of cause and effect is called the matching principle”. (maksudnya: The matching principle: Ketika harus mencatat pengeluaran, terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dan beban. Beban dikeluarkan untuk tujuan memproduksi pendapatan. Dalam pengukuran laba untuk periode, pendapatan harus diimbangi dengan semua biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi pendapatan itu. Konsep mengimbangi biaya terhadap pendapatan berdasarkan sebab dan akibat disebut matching principle). Menurut prinsip ini, biaya harus dibebankan sesuai dengan pengakuan dan periode penghasilan. Permasalahan tentang kurang atau lebihnya biaya reklamasi dari yang dicadangkan sebelumnya tergantung pada perusahaan, semuanya menjadi beban perusahaan berdasarkan prinsip going concern. Sesuai dengan konsep deductible expenses, sepanjang biaya yang aktual benarbenar terjadi pasti boleh dijadikan biaya pengurang penghasilan bruto. Jika pencadangan biaya reklamasi ini sulit dilakukan, menurut matching principle pembebanan dapat dilakukan dengan pendekatan alokasi sistematis dan rasional dengan melakukan penyesuaian antara yang dicadangkan dengan realisasi. Dari perspektif perpajakan, ketentuan mengenai biaya reklamasi yang dapat dijadikan sebagai biaya pengurang
penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, dimana dikatakan pembentukan atau pemupukan cadangan tidak dapat dijadikan biaya kecuali untuk jenis usaha tertentu. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenisjenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, terbatas pada: (1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; (2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; (3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; (4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; (5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; (6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (Gunadi, 2013: 63) Keputusan Menteri Keuangan seperti yang disebutkan diatas diatur pada Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 204/KMK.04/2000 tentang perubahan ketiga atas Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 80/KMK.04/1995 tentang besarnya dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.01/1998 dan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.68/KMK.04/1999, yang menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan yang menurut kontrak diharuskan untuk melakukan reklamasi atas tanah yang telah dieksploitasi dapat membentuk atau memupuk dana cadangan biaya reklamasi mulai tahun produksi komersial.
194
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
Dalam usaha pertambangan, reklamasi itu wajib dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Biaya yang dicadangkan untuk kegiatan reklamasi ini dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto karena biaya ini benarbenar akan terjadi di masa yang akan datang dan secara otomatis cadangan ini akan menjadi biaya yang aktual. Namun, biaya yang dicadangkan tersebut akan senantiasa disesuaikan dengan biaya yang benar-benar terjadi akibat adanya kegiatan reklamasi. Disadari bahwa biaya reklamasi itu cukup besar, sehingga karena besarnya biaya reklamasi ini maka perusahaan pertambangan diberi kesempatan untuk men-cadangkan biayanya. Namun cadangan reklamasi untuk usaha pertambangan berbeda dengan cadangan pada umumnya karena pembebanan dimuka nanti disesuaikan dengan realisasi kembali kalau terdapat perbedaan, kalau kurang ditambahkan lagi kalau lebih dikurangkan. Cadangan reklamasi dilakukan dalam rangka menyimpan dana untuk kegiatan reklamasi karena biaya reklamasi membutuhkan dana yang besar sehingga agar perusahaan pertambangan tetap dapat melakukan reklamasi maka diperbolehkan dicadangkan. Besarnya biaya reklamasi yang sesungguhnya dikeluarkan oleh perusahaan pertambangan dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi. Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih yang terjadi antara pengeluaran yang sebenarnya dengan jumlah cadangan biaya reklamasi yang telah dibentuk dan dipupuk, maka selisih tersebut diperhitungkan dengan laba rugi perusahaan pada akhir tahun pajak tersebut. Dalam pembentukan cadangan reklamasi tersebut, perusahaan pertambangan dapat menggunakan metode satuan produksi untuk pencadangan tiap tahunnya, seperti terlihat pada ilustrasi berikut ini (Gunadi, 2009:187): Ilustrasi Perusahaan pertambangan D diwajibkan untuk melakukan reklamasi atas tanah yang sudah selesai dilakukan penambangannya. Besarnya biaya reklamasi tersebut 195
Volume VI, Nomor 02, September 2014
diperkirakan sebesar Rp.5.000.000.000,00, sedangkan jumlah kandungan tambang yang terdapat di lokasi tersebut diperkirakan 20 juta ton. Apabila perusahaan tersebut dalam tahun pajak 1996 melakukan penambangan dan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 1 juta ton, maka besarnya cadangan biaya reklamasi yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dalam tahun pajak 1996 adalah sebesar (1/20 x Rp.5.000.000.000,00 atau sebesar Rp.250.000.000,00. (sumber : SE20/PJ.4/1995 dan KMK No. 80/KMK.05/1995, aturan tersebut telah dicabut dan digantikan dengan PMK No. 81/PMK.03/2009). Dengan pertimbangan untuk meningkatkan investasi dalam sektor pertambangan sehingga pembebanan biaya yang belum nyata-nyata dikeluarkan dapat dicadangkan dan dijadikan biaya. Semakin meningkatnya investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan meningkatkan penerimaan pajak. Reklamasi lahan bekas tambang mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk kepentingan negara. Dasar kebijakan biaya reklamasi itu adalah sangat penting untuk kepentingan Negara, makanya dalam perlakuan perpajakannya boleh dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto. Apabila pembebanan biaya reklamasi dalam pertambangan tidak dapat dijadikan biaya maka tentu akan sangat memberatkan beban perusahaan sehingga perusahaan tidak mau melakukan reklamasi dan membiarkan lahan pasca pertambangan yang rusak begitu saja, tidak perduli seperti apa nanti efeknya. Ini tentu akan berdampak negatif terutama untuk lingkungan yang juga akan meningkatkan terjadinya kerusakan ekosistem, pemanasan global (global warming) pasca kegiatan pertambangan. Secara fungsional, dapat dikatakan bahwa cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan dapat dijadikan biaya pengurang penghasilan bruto dengan pertimbangan untuk kepentingan negara. Dengan diperbolehkannya biaya reklamasi dijadikan biaya pengurang (deductible expenses) bagi
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
perusahaan pertambangan, selain untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup/mengembalikan lahan yang rusak akibat penambangan, dan juga untuk kepentingan negara dalam arti yang lebih luas termasuk untuk menarik investor asing agar tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Indonesia, maka hal itulah menjadi alasan mengapa biaya reklamasi dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto. Hal ini termasuk dalam kajian fungsi pajak yakni fungsi regulerend, untuk membantu meningkatkan investasi atau mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri (Pohan, 2014: 15). Di era sistem informasi dan komunikasi global yang berbasiskan computerized system yang sudah demikian canggih dewasa ini, kalau saja pemerintah daerah melakukan fungsi kontrol yang ketat dan kontinyu secara periodik atas perusahaan-perusahaan pertambangan mineral dan batubara tanpa pandang bulu dengan memperhatikan regulasi yang ada dan secara teratur melakukan pemantauan (monitoring) baik secara fisik maupun administratif ke lapangan (dengan catatan laporannya tidak direkayasa), dan selanjutnya melakukan suatu penindakan hukum pidana (law enforcement) terhadap para perusahaanperusahaan pelanggar yang nyata-nyata melawan hukum tidak melakukan reklamasi pertambangan, dan tidak menyetorkan jaminan reklamasi pertambangan yang sesuai dengan ketentuan, maka sebenarnya tidak perlu terjadi kerusakan-kerusakan di lahan pertambangan seperti yang ditemukan di berbagai pelosok daerah pertambangan yang ditinggal begitu saja oleh petambang yang tidak bertanggungjawab, mengingat sebenarnya pemerintah sudah memfasilitasi pencadangan biaya reklamasi (deductible) dalam masa kegiatan eksplorasi dan produksi penambangan, yang dananya (dengan asumsi bila memang sudah disetorkan jaminan reklamasinya secara cukup setiap tahunnya) bisa meng-cover reklamasi lahan pasca eksploitasi atau penutupan pasca tambang.
Koreksi Fiskal atas reklamasi lahan tambang yang nyata-nyata tidak pernah terealisir dan kewajiban penyetoran dana jaminan reklamasinya tidak pernah dipenuhi Tidak menutup kemungkinan, dengan dalih ketidakcukupan cash flow atau dalih lainnya yang direkayasa, perusahaan-perusahaan pertambangan yang melakukan penyimpangan/pelanggaran tersebut tidak melakukan penyetoran jaminan reklamasi (deposito berjangka/bank garansi/escrow account) secara ril ke bank-bank pemerintah yang ditunjuk, atau mungkin setorannya dibuat sangat minimal sekedar ada saja meskipun syarat tidak terpenuhi, padahal pencadangan biaya reklamasinya sudah dibukukan secara penuh sebagai biaya (deductible expenses) dalam SPT Tahunan PPh Badan yang mengakibatkan PPh Badan perusahaan menjadi jauh lebih rendah. Perusahaan-perusahaan pertambangan demikian layak untuk dilakukan pemeriksaan pajak oleh fiskus Dan pemeriksa pajak mungkin bisa melakukan koreksi fiskal positif atas temuan pencadangan biaya reklamasi pertambangan yang sudah dibukukan dan dilaporkan sebagai biaya deductible padahal nyata-nyata reklamasi lahan tambang tidak pernah terealisasi dan kewajiban penyetoran dana jaminan reklamasinya tidak pernah dipenuhi sebagaimana mestinya (alias bodong?), hanya saja masalahnya adalah fiskus sendiri tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan koreksi fiskal positif atas temuan pencadangan biaya reklamasi lahan yang tidak pernah terealisir tersebut karena tidak ada Peraturan Menteri Keuangan/Peraturan Dirjen Pajak/Surat Edaran yang mengatur tentang hal itu, sehingga ini bisa menjadi lemah kekuatan hukumnya bila kasus ini diajukan Banding ke Pengadilan Pajak oleh wajib pajak dan mungkin koreksi fiskal positifnya berpotensi “gagal” dalam pandangan Hakim Pengadilan Pajak. Dengan tidak mengenyampingkan problematika yang ada dalam proses banding tersebut di atas, keberhasilan tindakan pemeriksaan pajak oleh fiskus (pun dalam proses banding diasumsikan bisa dimenangkan oleh fiskus-bila ada) akan dapat menghasilkan 196
TRANSPARANSI Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi ISSN 2085-1162
kekurangan bayar pajak penghasilan badan yang “lumayan” besar sebagai penerimaan pajak, namun dari sisi lain (Pemda) harus tidak mengabaikan tindakan-tindakan hukuman yang pantas terhadap mereka baik perusahaanperusahaan pelanggar maupun oknum-oknum di pemerintahan (koruptor) yang terlibat dalam terjadinya kerusakan lingkungan seperti yang diuraikan di atas. Setidaknya pengungkapan kasus dan tindak lanjut pemeriksaan pajak tersebut terhadap kasus jaminan reklamasi dan pencadangan biaya reklamasi pertambangan tersebut akan memberikan efek jera (deterrent effect) bagi wajib pajak tersebut dan perusahaan-perusahaan pertambangan lainnya untuk tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Siapa saja pelaku usaha yang melakukan usaha pertambangan yang bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009 indikasinya merupakan tindak pidana. Berhubung hal ini merupakan delik khusus, bilamana pelakunya terbukti melakukan kejahatan tersebut, maka ia akan dipidana dengan hukuman penjara dan hukuman denda sehingga memberatkan. Namun, bila pelakunya adalah perusahaan, hukuman tersebut dapat ditambah dengan hukuman berupa pencabutan izin usaha maupun pencabutan badan usaha hukum perusahaan. Penegakan hukum (law enforcement) semacam itu bertujuan agar supaya bisa menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi para pelakunya sehingga tidak mengulangi perbuatan tercela tersebut. Penutup Manfaat yang diperoleh negara tidak sebanding dengan nilai bahan galian yang dieksploitasi dari bumi Indonesia. Indikasi banyaknya manipulasi yang berujung pada kebocoran penerimaan negara dalam setiap tahapan kegiatan usaha pertambangan tidak terlepas dari aspek kelemahan hukum yang mengatur pengelolaan dan pengusahaan pertambangan. Penegakan hukum (law enforcement) yang bisa menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi para pelakunya sehingga tidak mengulangi perbuatan mereka yang tercela perlu diperkuat di tingkat legislasi untuk menghilangkan stigma atau pencitraan negatif di tataran operasional terhadap penegakan 197
Volume VI, Nomor 02, September 2014
hukum positif di tanah air kita bahwa “hukum bisa dibeli”. Ditinjau dari segi manajemen dan perencanaan perpajakan, pencadangan biaya reklamasi pertambangan (dan dilanjutkan dengan pemenuhan jaminan reklamasinya), bila sudah dipenuhi dalam masa eksplorasi dan produksi komersial secara teratur setiap tahunnya dengan baik, maka kepatuhan dan upaya semacam itu akan memberikan suatu keringanan materiil (pajak, dll) yang sangat banyak tekanannya terhadap financial engineering perusahaan, karena pencadangan tersebut berarti sudah membentuk suatu akumulasi dana reklamasi yang pada suatu waktu tertentu ketika tambangnya sudah tidak dieksploitasi lagi, petambang dapat menggunakan dana yang berasal dari akumulasi pencadangan biaya reklamasi tersebut untuk menutup lahan-lahan yang menganga tadi, sehingga lahan-lahan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan tanaman lain yang dapat berproduksi dan bermanfaat bagi masyarakat banyak di sekitarnya. Kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial dan hal-hal lain yang berdampak negatif yang mendatangkan kerugian materiil yang sangat besar bagi negara dan masyarakat dapat dihindari, sehingga pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) tetap dapat terlaksana dengan baik. Melakukan Koreksi Fiskal atas reklamasi lahan yang nyata-nyata tidak pernah terealisir dan kewajiban penyetoran dana jaminan reklamasinya tidak pernah dipenuhi sebagaimana mestinya, namun dasar hukum/regulasinya harus dibuat untuk legitimasinya. DAFTAR PUSTAKA Gunadi. 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. edisi 2013, Jakarta: Penerbit Bee Media Indonesia. ______. 2009. Akuntansi Pajak. Edisi revisi 2009, Jakarta: Grasindo. Ikatan Akuntan Indonesia.2009. Standard Akuntansi Keuangan Per 1 Juli 2009, Jakarta: Salemba Empat. Mansury. 2000. Kebijakan Perpajakan. YP4. ______. 2006. Pajak Penghasilan atas Transaksi-transaksi Khusus. Jakarta: YP4.
Chairil Anwar Pohan, Cadangan Reklamasi Pertambangan Sebagai Loopholes Pajak Dalam Penerapan Prinsip . . .
______. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind Hill Co. Nandang Sudrajat. 2013. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Supramono, Gatot. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Jakarta: Sa-lemba Empat.
Pohan, Chairil Anwar. 2014. Optimizing Corporate Tax Management-Kajian Perpajakan dan Tax Planning-nya Terkini. Jakarta: Bumi Aksara.
Williams, Jan.R, et all. 2011. Financial Accounting. Fourteenth edition. New York: McGraw Hill.
______. 2012. Manajemen PerpajakanStrategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal, dan lain-lain
______. 2014. Pembahasan Komprehensif Pengantar Perpajakan, Teori dan Konsep Hukum Pajak. Jakarta: PT.Mitra Wacana Media.
Rusdan, Muhammad. Perspektif Hukum Reklamasi Tambang: Media Sultra 10 Feb 2014.
Resmi, Siti. 2009. Perpajakan Indonesia. Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat.
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan APBN 2014.
News.okezone.com, 4 November 2010 www.esdm.go.id
Salim H.S. 2008. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT. Radjagrafindo. Sukandarrumidi. 2009. Batubara dan Pemanfaatannya. Jogyakarta: Gajahmada University Press.
198