1
CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH
TRI UMARDHANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
ABSTRACT
TRI UMARDHANI. Parasitic worm of one humped camel (Camelus dromedarius) in Serulingmas Zoological Garden, Banjarnegara, Central Java. Under supervision by RISA TIURIA and CHAIRUN NISA’ The objective of the study is to reveal the existance of parasitic worm of one humped camel (Camelus dromedarius) in Serulingmas Zoological Garden. The fresh fecal samples were taken from the male and female camel, every week for six weeks. The samples were observed qualitatively and quantitatively to reveal the existance of parasitic worm eggs. The result of the study showed that the infection occured only in the female camel, but none in the male camel one. The type of worm eggs was identified as nematode parasitic, of the genus Trichuris with characteristic of oval in shape, polar plug in each side, thick walled, sized around 71-77,6 µm and 30,8-37,9 µm in length and width respectively. The average number of EPG (eggs in each gram of feces) was 333. Some factors which might be able to affect the worm infections in case of one humped camel are were feed, environment, and the susceptibility of the camel itself. The study proves that the female camel is more susceptible to worm infections than those the male one.
Keyword: One humped camel, parasitic worm, Trichuris
3
ABSTRAK
TRI UMARDHANI. Cacing parasitik pada unta punuk satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara, Jawa tengah. Di bawah bimbingan RISA TIURIA dan CHAIRUN NISA’. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kasus infeksi oleh cacing parasitik pada unta punuk satu di TRMS Serulingmas. Sampel yang digunakan yaitu tinja unta punuk satu jantan dan betina yang masih segar. Sampel diambil sekali seminggu selama enam minggu. Hasil dari penelitian ditemukan adanya kasus infeksi oleh cacing parasitik pada unta betina saja, sedangkan pada jantan tidak ditemukan atau negatif. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur trematoda dari genus Trichuris yang mempunyai ciri-ciri khusus berbentuk oval, mempunyai dua polar plug di kedua sisinya, berdinding tebal, serta mempunyai ukuran panjang rata-rata 71-77,6 µm dan lebar 30,8-37,9 µm. Jumlah rata-rata TTGT (telur tiap gram tinja) adalah 333. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kasus infeksi cacing parasitik diantaranya; sumber pakan, lingkungan serta kepekaan hewan itu sendiri. Penelitian kali ini juga menunjukkan bahwa unta betina lebih peka terhadap infeksi cacing parasitik dibandingkan dengan jantan.
Kata kunci: Unta punuk satu, cacing parasitik, Trichuris
4
CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH
TRI UMARDHANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
5
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Cacing Parasitik Pada Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
: Tri Umardhani
NRP
: B04061480
Disetujui Komisi Pembimbing
Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D.
Dr.drh, Chairun Nisa’, M.Si, PAVet
Pembimbing I
Pembimbing II Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
6
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada drh. Risa Tiuria MS, Ph.D. dan Dr. drh. Chairun Nisa’ MSi, PAVet selaku dosen pembimbing atas segala waktu, bimbingan dan arahan serta dorongan moral kepada penulis. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Pak Suleman dan Ibu Erawati atas bantuannya selama berada di laboratorium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada TRMS Serulingmas terutama drh. Agung yang telah memberikan tempat penelitian dan bimbingan kepada penulis serta kepada teman-teman satu penelitian Unita, Tika, dan Putri. Tak lupa pula ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada temanteman Aesculapius atas semua kerjasama dan kebersamaan selama di FKH. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak ternilai kepada Ayah tercinta, KM Zuman dan Ibunda tercinta, Sundusiyah yang telah memberikan dorongan moral material serta doa kepada penulis. Selain itu penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh keluarga mba Umilatul, mba Umi ma’rifatun, mas Joko, mas Irul, serta bulik dan paklik tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh pihak yang telah membantu sampai selesainya skiripsi ini penulis ucapkan terimakasih. Penulis meyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, pembaca serta dunia kedokteran hewan pada umumnya.
Bogor, Juni 2011 Penulis
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 1 Januari 1988 dari Bapak KM Zuman dan Ibu Sundusiyah. Penulis merupakan putra ke tiga dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis masuk SMU N 1 Wonosobo dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis juga diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2007. Selama Mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis aktif dalam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FKH IPB divisi Olahraga dan Seni. Penulis juga aktif di Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... 1 Tujuan Penelitian .................................................................................. 2 Hipotesa................................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas ........................................... 3 Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius)............................................. 3 Cacing Parasitik .................................................................................... 7 Cestoda Parasitik ........................................................................... 7 Morfologi Cestoda .................................................................. 8 Siklus Hidup Cestoda ............................................................. 9 Trematoda Parasitik ....................................................................... 10 Morfologi Trematoda ............................................................. 10 Siklus Hidup Trematoda ......................................................... 11 Nematoda Parasitik ........................................................................ 13 Morfologi Nematoda .............................................................. 13 Siklus Hidup Nematoda.......................................................... 14 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat ................................................................................ 16 Bahan dan Alat ...................................................................................... 16 Metode ................................................................................................. 16 Teknik Pengambilan Sampel ......................................................... 16 Pemeriksaan Tinja ......................................................................... 17 Pemeriksaan Kualitatif .................................................................. 17 Pemeriksaan Natif .................................................................. 17 Metode Pengapungan ............................................................. 17 Sedimentasi............................................................................. 17
vii
Pemeriksaan Kuantitatif ................................................................ 18 Pemupukan tinja ............................................................................ 18 Analisis Data ................................................................................. 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kualitatif.......................................................................... 19 Pemeriksaan Kuanitatif ......................................................................... 21 Sistem Pemeliharaan Unta Punuk Satu ................................................ 22 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................... 25 Saran ..................................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 26
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Unta punuk satu (camelus dromedarius) .......................................... 4 2. Peta penyebaran unta punuk satu ...................................................... 5 3. Sistem pencernaan unta punuk satu .................................................. 6 4. Morfologi cestoda ............................................................................. 8 5. Morfologi telur Taenia spp ............................................................... 9 6. Siklus hidup Taenia saginata ............................................................ 10 7. Morfologi trematoda ......................................................................... 11 8. Telur trematoda ................................................................................ 12 9. Siklus hidup trematoda...................................................................... 12 10. Morfologi nematoda .......................................................................... 13 11. Siklus hidup nematoda ...................................................................... 14 12. Kondisi tinja unta punuk satu............................................................ 19 13. Telur Trichurid .................................................................................. 20 14. Bentuk telur Trichuris ovis ............................................................... 20 15. Tempat pakan unta ............................................................................ 22
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil pemeriksaan sampel tinja......................................................... 21
PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas merupakan salah satu lembaga konservasi eksitu milik pemerintah daerah kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Sebagai salah satu lembaga konservasi eksitu, TRMS Serulingmas berfungsi untuk menyelamatkan dan melestarikan satwa-satwa yang terancam punah di luar habitat aslinya. Konservasi eksitu ini sebagai alternatif dan sebagai pendukung dari kegiatan konservasi insitu. Berbagai satwa liar dapat ditemukan di TRM Serulingmas dan sebagian besar adalah satwa endemis Indonesia. Salah satu satwa koleksi TRMS Serulingmas yang berasal dari luar Indonesia adalah unta punuk satu (Camelus dromedarius). Sebagai lembaga konservasi, TRMS Serulingmas dikatakan cukup berhasil karena keberhasilan reproduksi pada berbagai satwa cukup tinggi. Di sisi lain jika dilihat dari segi kesehatannya belum dapat tercapai secara optimum dikarenakan keterbatasan biaya, tenaga maupun fasilitas. Unta punuk satu masih tergolong hewan baru di TRMS Serulingmas yang didatangkan dari kebun binatang Surabaya dan kebun binatang Bandung sekitar tahun 2006. Sampai sekarang unta yang ada berjumlah dua ekor indukan jantan dan betina. Cacing parasitik merupakan organisme yang termasuk dalam endoparasit. Organisme
ini
banyak
menimbulkan
masalah
kesehatan
seperti
diare,
hipoproteinemia, kaheksia bahkan kematian. Selain itu, cacing parasitik menyebabkan penyakit yang dapat menular dari satu hewan ke hewan lainnya, bahkan dapat pula bersifat zoonosis. Diagnosa lebih dini perlu dilakukan agar adanya satwa yang terinfeksi cacing dapat segera dilakukan pengobatan dan pencegahan secara berkala. Pengobatan dan pencegahan akan menjadi efektif untuk dilakukan apabila didasarkan pada jenis cacing yang menginfeksi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan morfologi maupun siklus hidup setiap jenis cacing. Salah satu cara mendiagnosa keberadaan dan jenis cacing dalam tubuh satwa adalah dengan pemeriksaan tinja guna mencari ada tidaknya telur cacing. Bila berasal dari jenis cacing parasitik yang berbeda, telur tersebut akan memiliki morfologi dan ukuran yang berbeda pula. Perbedaan morfologi dan ukuran ini yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan identifikasi jenis cacing parasitik.
2
Sejak TRMS Serulingmas berdiri, data tentang kecacingan pada satwaliar yang ada di kebun binatang ini masih sangat minim termasuk onta punuk satu. Pemeriksaan pernah dilakukan pada berbagai satwa dan menunjukkan hasil positif pada berbagai binatang seperti harimau, unta serta orangutan. Pemeriksaan hanya dilakukan secara kualitatif dan hanya sekali selama berada di TRMS Serulingmas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang cacing parasitik pada satwa di TRMS Serulingmas, termasuk unta punuk satu. Penelitian ini dilakukan sebagai penunjang aspek kesehatan khususnya untuk unta punuk satu pada TRMS Serulingmas Banjarnegara. Tindakan pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan secara efektif apabila diketahui jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu. Oleh karena itu unta punuk satu dapat tetap lestari dengan kesehatan yang bagus. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tentang kecacingan unta punuk satu yang masih jarang ditemukan di Indonesia.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kasus infeksi dan identifikasi jenis cacing parasitik pada unta punuk satu serta kaitannya dengan sistem pemeliharaan di TRMS Serulingmas.
Hipotesa Hipotesa dari penelitian ini adalah H0: tidak menemukan jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu. H1: menemukan jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu.
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui status kesehatan unta punuk satu terhadap infeksi cacing parasitik di TRMS Serulingmas. Selain itu untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasitik pada unta punuk satu yang dapat dijadikan dasar untuk pengobatan maupun pencegahan terhadap infeksi cacing parasitik.
TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas terletak di hutan kota Banjarnegara yang dihijaukan sejak tahun 1994. Taman ini berada kurang lebih satu kilometer dari pusat kota Banjarnegara dan terletak tidak jauh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara (PNRI 2007). TRMS Serulingmas diresmikan pada tanggal 21 Agustus 1997 oleh Jenderal TNI Susilo Sudarman, ketika menjabat sebagai Ketua Paguyuban Seruan Eling Banyumas (Serulingmas). Pendirian TRMS Serulingmas bertujuan sebagai sarana rekreasi yang sehat bernuansa edukasi, riset, dan konservasi. TRMS Serulingmas pada awalnya merupakan obyek wisata yang dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II Banjarnegara dengan nama Taman Rekreasi Ki Ageng Selamanik. Selanjutnya pada tahun 1997 diganti nama menjadi Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas yang masih menjadi nama sampai saat ini. TRMS Serulingmas kini dikelola oleh Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara (Serulingmas 2009). Lebih dari 100 satwa berada di TRMS Serulingmas yaitu singa Afrika, harimau Benggala, gajah Sumatera, buaya, orang utan, dan berbagai jenis burung serta kera (Sumarwoto 2009). Jumlah satwa yang tercatat saat ini di TRMS Serulingmas adalah ± 161 satwa. Satwa-satwa tersebut terdiri dari 21 spesies burung, 21 spesies mamalia, dan 5 spesies reptil (Serulingmas 2009). Selain dapat melihat berbagai jenis satwa langka, pengunjung juga dapat menikmati berbagai fasilitas yang terdapat di tempat ini. Fasilitas-fasilitas yang ada di TRM Serulingmas meliputi kolam renang, taman bermain anak-anak, dan berkeliling taman dengan naik gajah tunggang (Sumarwoto 2009)
Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) Unta adalah spesies hewan berkuku genap yang banyak terdapat pada daerah yang beriklim kering. Hewan ini ada dua jenis, yaitu unta punuk satu (C. dromedarius) yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika bagian utara serta unta punuk ganda (C. bactrianus) yang berasal dari daerah gurun di Asia bagian
4
timur. Unta punuk satu memiliki klasifikasi sebagai berikut. kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Camelidae, genus Camelus serta spesies Camelus dromedarius (Naumann 1999).
Gambar 1 Unta punuk satu (C. dromedarius) jantan yang dipelihara di TRMS Serulingmas Unta punuk satu (C. dromedarius) atau lebih dikenal dengan unta arab memiliki karakteristik tubuh sebagai berikut: leher panjang yang melengkung, dada yang sempit, kakinya panjang dan ramping, bibir atas membelah, nostril hidung dapat menutup, bulu matanya panjang, dan mempunyai punuk berjumlah satu (Gambar 1). Punuk ini berisi lemak yang dibatasi dengan jaringan fibrosa dan berfungsi sebagai cadangan makanan pada saat dibutuhkan. Ukuran punuk ini bervariasi sesuai dengan status gizi unta. Punuk akan menjadi lebih kecil dan condong ke salah satu sisi di saat kondisi kelaparan. Kaki unta mempunyai bantalan (pad) yang sangat cocok untuk berjalan di atas pasir. Pad ini mudah terluka jika terkena batu tajam serta tidak cocok untuk berjalan di jalan yang licin dan berlumpur (Naumann 1999, Huffman 2004). Unta punuk satu (C. dromedarius) mempunyai kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan gurun yang sangat ekstrim. Mata unta dilengkapi dengan dua lapis bulu mata, sehingga bisa melindungi dari pasir maupun debu. Selain itu, saat badai pasir hidung unta dapat menutup sehingga pasir atau debu tidak bisa masuk ke lubang hidung. Unta mempunyai kemampuan untuk mempertahankan air dalam tubuhnya melalui berbagai jalan. Air di dalam tubuh akan tetap terjaga meskipun suhu tubuh unta berfluktuasi antara 34 0C hingga 41,5 0C, maupun suhu lingkungan yang naik, karena unta tidak berkeringat.
5
Adaptasi unta terhadap lingkungannya sangat baik, sehingga hewan ini dapat bertahan hidup meskipun kehilangan lebih dari 30% air tubuhnya (Naumann 1999). Penyebaran unta punuk satu yaitu di daerah gurun Afrika utara serta Asia barat. Selain itu terdapat pula di kawasan Australia bagian tengah, di daerah Australia tengah ini juga merupakan kawasan kering. Peta penyebaran unta dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta penyebaran unta punuk satu (Huffman 2004) Sistem pencernaan unta punuk satu termasuk ke dalam pseudo ruminant atau ruminansia tidak sejati karena hanya memiliki tiga bagian lambung saja. Bagian pertama memiliki struktur seperti rumen yang terbagi menjadi bagian kanan dan kiri. Lambung bagian pertama ini tersusun dari otot yang kuat dan kelenjar mukus. Pada bagian ini pakan dicampur dengan air dan mukus yg dihasilkan oleh kelenjar mukus. Lambung bagian kedua juga sering disebut honeycomb. Bagian ini mirip dengan struktur retikulum pada hewan ruminansia. Lambung bagian kedua juga tersusun atas kelenjar yang menghasilkan mukus. Lambung bagian ketiga disebut sebagai lambung kelenjar. Lambung kelenjar ini mirip dengan abomasum pada ruminansia dan lambung monogastrik hewan lainnya (gambar 3A). Usus halus unta memiliki panjang kurang lebih 40 meter.
6
Bentuk sekum dan kolon hampir sama dengan sapi yaitu membentuk gulungan spiral atau sering disebut ansa spiralis coli (gambar 3B). Panjang sekum dan kolon ini kira-kira 19.5 meter (Mukasa-Mugerwa 1981).
9b
a
A
B
Gambar 3 Sistem pencernaan unta punuk satu A. bagian-bagian lambung (1. lambung bagian pertama sebelah kiri, 2. lambung bagian pertama sebelah kanan, 3 & 4. kantung air, 5. esofagus, 6. lambung bagian kedua, 7. lambung bagian ketiga, 8. duodenum) B. usus halus dan usus besar (9. usus halus, 9a. yeyunum, 9b. ileum, 10. sekum, 11. kolon asendens, 12. kolon desendens, 13. rektum) (Modifikasi Mukasa-Mugerwa 1981) Saluran pencernaan merupakan habitat sebagian besar cacing parasitik. Cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan unta punuk satu sebagian besar sama dengan cacing parasitik pada hewan domestik laennya seperti sapi dan domba. Contoh cacing parasitik yang ditemukan pada lambung bagian ketiga unta yaitu: Haemonchus contortus, Teladorsagia circumcincta serta Trichostrongylus axei. Di bagian usus halus sering ditemukan T. colubriformis, Monieza benedeni dan M. expansa. Pada bagian usus besar unta sering ditemukan Oesophagostomum venulosum, O. columbianum, Trichuris ovis, dan T. globulosa (Taylor et al. 2007)
7
Unta punuk satu mempunyai masa kawin antara bulan Mei hingga Oktober. Masa kebuntingan unta sekitar 12-13 bulan dan biasanya bunting anak tunggal. Anak unta akan disusui hingga umur 18 bulan. Unta mulai kawin pada umur 3-4 tahun. Umur hewan ini dapat mencapai 40-50 tahun (DEWHA 2009).
Cacing Parasitik Parasit merupakan suatu organisme yang hidupnya menumpang pada organisme lain (inang definitif). Parasit dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang berada di luar atau permukaan tubuh inang, sedangkan endoparasit adalah parasit yang berada di dalam tubuh inang (Dyah 2008). Helminthologi merupakan cabang ilmu endoparasit yang mempelajari tentang cacing khususnya cacing parasitik. Cacing dibagi dalam tiga filum yaitu Platyhelminthes, Nemathelminthes serta Acanthocephala. Filum Platyhelminthes terdiri dari dua kelas, yaitu Cestoda dan Trematoda sedangkan filum Nemathelminthes hanya ada satu kelas yaitu Nematoda. Ketiga kelas inilah yang sering menjadi parasit pada hewan maupun manusia. Filum Acanthocephala jarang dibahas karena jarang menimbulkan masalah pada hewan domestikasi. 1. Cestoda Parasitik Cestoda termasuk filum Platyhelminthes. Cacing ini lebih dikenal dengan sebutan cacing pita. Beberapa spesies cestoda merupakan parasit pada hewan dan manusia. Cestoda merupakan cacing yang struktur tubuhnya sederhana (Kusumamihardja 1995). Kelas Cestoda dibagi dalam dua ordo yaitu Cyclophyllidea dan Pseudophyllidea. Ordo Cyclophyllidea dibagi ke dalam tujuh famili
yaitu
Taeniidae,
Hymenolepididae,
Anoplocephalidae,
Mesocestoididae
serta
Dilepididae,
Thysanosomidae.
Davaineidae, Adapun
ordo
Pseudophylliea hanya memiliki satu famili yaitu Diplhyllobothriidae. Beberapa contoh cestoda yang penting diantaranya genus Taenia dan Echinococcus dari famili Taeniidae, genus Monieza dari famili Anoplocephalidae serta genus Diphyllobothrium dari famili Diplhyllobothriidae.
8
a. Morfologi Cestoda Cestoda memiliki ciri-ciri morfologi tubuh memanjang yang pipih dorsoventral, panjang beruas-ruas, tidak memiliki saluran pencernaan, dan tidak memiliki rongga tubuh. Badan Cestoda terdiri dari kepala, sejumlah segmen dan di antara kepala dan segmen terdapat leher. Setiap segmen biasa disebut proglotida. Pada bagian kepala cestoda terdapat dua hingga empat batil hisap dan pada beberapa jenis cestoda dilengkapi rostelum atau kait (Gambar 4). Badan cestoda dilapisi dengan tegumen yang merupakan alat penyerapan utama pada cacing pita (Kusumamihardja 1995, Taylor et al 2007). Sistem syaraf cestoda tersusun dari beberapa ganglion, sedangkan sistem ekskresinya terdiri dari sel api atau solenosit dan saluran ekskresi utama. Disebut sebagai sel api karena memiliki silia yang bergerak menyerupai nyala api (Levine 1977). Cestoda merupakan cacing yang bersifat hermafrodit atau memiliki organ kelamin ganda. Dalam setiap segmen biasanya terdapat satu atau dua pasang alat kelamin jantan dan betina (Gambar 4) (Kusumadiharja 1995). Perkawinan cacing cestoda dapat terjadi dalam satu segmen maupun perkawinan silang antar segmen (Taylor et al 2007). Rostelum kait Batil hisap ovarium Lubang kelamin uterus testis Sauran ekskretoris a
b
Gambar 4 Morfologi cestoda a. kepala dengan kait dan batil hisap, b. skema segmen cestoda dengan dua alat kelamin (hermafrodit) (Hosie 2000)
9
b. Siklus Hidup Cestoda Siklus hidup cestoda adalah secara tidak langsung atau memerlukan satu atau lebih inang definitif. Cestoda dewasa secara umum ditemukan dalam usus halus inang definitif dan telurnya akan dikeluarkan bersama tinja. Telur cestoda sangat khas yaitu terdapat embrio heksakan yang diselimuti dengan dua lapis membran (Gambar 5). Telur yang termakan oleh inang antara akan menetas karena bereaksi dengan sekresi saluran pencernaan. Telur yang menetas disebut oncosphere, akan melakukan penetrasi di mukosa usus untuk dapat mencapai pembuluh darah, pembuluh limfe maupun di rongga tubuh pada invertebrata. Oncosphere yang telah tumbuh disebut metacestoda dan jika termakan oleh inang definitif, skoleks akan menempel pada mukosa usus dan berkembang hingga dewasa untuk menghasilkan telur (Gambar 6) (Taylor et al 2007). Cestoda sering sekali menimbulkan masalah pada hewan maupun manusia. Kasus kecacingan oleh cestoda juga dilaporkan pada unta diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) yang melaporkan jenis cacing cestoda yang paling sering menyerang
C. domedarius di Riyadh Arab Saudi adalah Moniezia expansa,
M. benedeni, Avitellina centripunctata, Stilesia vittata. Sementara itu Anwar dan Hayat (1999) melaporkan kasus kecacingan oleh cestoda di Pakistan disebabkan oleh M. expansa, M. benedeni serta S. globipunctata. Begitu juga Mohammed et al (2007)
menemukan kasus kecacingan oleh cestoda yang disebabkan oleh
Moniezia sp di Nigeria
Gambar 5 Morfologi telur Taenia spp. dengan embrio heksakan (anak panah) (CDC 2010a)
10
Gambar 6 Siklus hidup Taenia saginata dan T. solium pada manusia (CDC 2010a)
2. Trematoda Parasitik Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes. Trematoda sendiri dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Monogenea dan Digenea. Sub kelas yang menimbulkan masalah bagi vertebrata adalah Digenea. Sub kelas Digenea dibagi ke dalam 15 famili. Beberapa contoh yang sering menimbulkan masalah kesehatan pada hewan diantaranya Fasciola sp., Paramphistomum sp. dan Schistosoma sp. Jenis Fasciola sp. dan Schistosoma sp. merupakan cacing yang bersifat zoonosis (Taylor et al 2007). a. Morfologi Trematoda Trematoda biasa disebut sebagai cacing daun karena bentuknya oval seperti daun, tubuhnya pipih dorsoventral, tidak bersegmen, memiliki dua batil hisap yaitu batil hisap anterior yang terletak di anterior tubuh dan batil hisap ventral yang terletak di sepertiga badan bagian bawah. Cacing daun dilapisi tegumen pada bagian luar tubuhnya yang berfungsi sebagai pembungkus badan dan merupakan struktur yang dinamis secara faali dan bertanggung jawab dalam
11
memasukkan makanan (Kusumamihardja 1995). Trematoda mempunyai alat pencernaan yang sederhana meliputi mulut, faring, esofagus serta sepasang saluran usus (Gambar 7). Trematoda pada umumnya bersifat hermafrodit kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al 2007). Sistem ekskresi trematoda adalah sel api (sel ekskresi berupa kantung yang mengumpulkan sisa-sisa metabolisme) dan hanya memiliki susunan syaraf yang sederhana (Levine 1977). Batil hisap anterior mulut faring Batil hisap ventral testis
usus ovarium
vitelaria uterus
Gambar 7 Morfologi trematoda dengan dua batil hisap, saluran pencernaan dan dua alat kelamin (hermafrodit) (Tubitak 2002) b. Siklus Hidup Trematoda Sub kelas monogenea mempunyai daur hidup secara langsung sedangkan sub kelas Digenea tidak langsung atau memerlukan inang antara untuk daur hidupnya. Telur trematoda Digenea biasanya dikeluarkan melalui feses dan urin dengan ciri khas yaitu terdapat operculum pada salah satu kutubnya (Gambar 8a). Sub kelas Digenea merupakan trematoda yang paling sering menyerang pada hewan ternak maupun satwa liar. Trematoda dewasa biasanya ditemukan pada saluran empedu serta saluran pencernaan (Taylor et al 2007). Telur Schistosoma mempunyai ciri khusus yang agak berbeda dibandingkan telur trematoda pada umumnya, yaitu terdapat spina yang menjadi dasar identifikasi telur Schistosoma (Gambar 8b). Telur yang keluar dari inang definitif akan tumbuh menjadi larva bersilia yang disebut sebagai mirasidium. Mirasidium akan mencari inang antara (siput) sebagai tempat untuk pertumbuhan selanjutnya menjadi sporokista. Sporokista tumbuh menjadi redia dan bermigrasi ke hepatopankreas yang
12
kemudian tumbuh menjadi larva, disebut serkaria. Serkaria ini mempunyai ekor yang berfungsi untuk berenang di air menuju rumput. Serkaria yang melepaskan ekornya dan membentuk kista disebut sebagai metaserkaria. Serkaria dan metaserkaria adalah larva infektif bagi trematoda, jika larva masuk ke dalam inang definitif, larva akan tumbuh menjadi trematoda dewasa (Gambar 9) (Taylor et al 2007). operkulum
a
b
spina
Gambar 8 Telur trematoda dengan operculum (a) dan telur Schistosoma sp yang memiliki spina (b) (CDC 2010b)
Gambar 9 Siklus hidup trematoda (Fasciola hepatica) (CDC 2010b)
13
Trematoda merupakan cacing yang paling banyak menimbulkan masalah pada hewan ruminansia. Trematoda ini juga sering menimbulkan masalah pada unta punuk satu. Beberapa contoh kasus kecacingan pada unta punuk satu yang ditimbulkan oleh trematoda diantaranya telah dilaporkan oleh Banaja dan Gandhour (1994) di Jeddah Arab Saudi akibat infestasi F. gigantica dan S. bovis. Infeksi F. gigantica lebih sering dibanding S. bovis. Di Pakistan juga temukan kasus kecacingan oleh trematoda pada unta punuk satu, seperti dilaporkan oleh Anwar dan Hayat (1999) bahwa unta punuk satu di Pakistan yang terinfeksi cacing trematoda mencapai 4,3 %. Infeksi trematoda ini meliputi Parampistomum cervi, Carmyierius spatious dan Gastrothylax crumenifer. 3. Nematoda Parasitik Kelas nematoda termasuk dalam filum Nemathelminthes. Memiliki lima Superfamili. Contoh nematoda yang biasa menyerang ruminansia diantaranya Trichuris spp, Cooperia sp dan Trichostrongylus sp. (Taylor et al 2007). a. Morfologi Nematoda
mulut
bibir
rahang
Papila kelamin
a ovarium
spikula
a
b
Gambar 10 Morfologi nematoda a. jantan dengan testis dan spikula (kiri), betina dengan ovarium (kanan), b. penampang mulut nematoda (Hosie 2000) Badan nematoda berbentuk gilig meruncing pada kedua ujungnya. Cacing ini tidak bersegmen dan memiliki kutikula yang tebal. Jenis kelamin pada kebanyakan nematoda terpisah, biasanya ukuran jantan lebih kecil dari pada betina (Kusumamihardja 1995). Sistem saraf nematoda terdiri dari sejumlah
14
ganglia dan syaraf. Sistem ekskresi berupa alat ekskresi maupun osmoregulasi. Cacing ini tidak memiliki rongga badan sejati sehingga disebut pseudoseloma. Nematoda juga tidak mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan (gambar 10) (Levine 1977). b. Siklus Hidup Nematoda Siklus hidup dari nematoda ada dua yaitu langsung dan tidak langsung. Stadium infektif nematoda dapat berupa telur maupun larva tergantung kepada jenis nematodanya. Nematoda yang memiliki siklus langung diantaranya jenis Strongylidae dan Trichostrongylidae sedangkan yang tidak langsung contohnya Metastrongylidae dan Habronema spp. Stadium infektif larva biasanya pada stadium ketiga (L-3). Larva stadium ketiga ini berkembang dari telur yang menetas pada kondisi lingkungan yang mendukung. Jika stadium infektif berupa telur, larva yang dikandung biasanya adalah larva stadium kedua (L-2). Stadium infektif baik telur maupun larva akan masuk ke tubuh inang melalui saluran pencernaan, namun stadium infektif larva dapat aktif menembus melalui kulit. Setelah masuk ke dalam tubuh inang definitif, nematoda segera menuju dan menetap di mukosa usus dan berkembang menjadi stadium dewasa. Stadium dewasa akan mengeluarkan telur yang mempunyai tiga lapisan akan keluar besama tinja dari inang definitif (Gambar 11) (Levine 1977).
Gambar 11 Siklus hidup nematoda (Trichuris spp) pada manusia merupakan siklus langsung (CDC 2010c)
15
Trichuris spp merupakan nematoda yang berbentuk seperti cambuk, salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis seperti cemeti. Cacing ini mempunyai siklus hidup secara langsung. Telur nematoda akan berkembang di tanah hingga mengandung larva stadium 3. Telur infektif (berisi larva stadium ke 3) sangat resisten di lingkungan dan dapat bertahan beberapa bulan atau tahun. Telur infektif yang masuk ke dalam tubuh hewan akan menetas di duodenum. Larva cacing akan berkembang di dalam vili-vili duodenum. Setelah dewasa, Trichuris akan menuju ke kolon. Cacing ini bersifat soil borne desease atau penularannya berasal dari tanah yang tercemar oleh telur infektif (Olsen 1974) Kasus kecacingan pada unta punuk satu yang disebabkan oleh nematoda pernah dilaporkan di beberapa tempat. Cacing Haemonchus longistipus, H. contortus, Trichuris spp, Parabonema skrjabini, Camelostrongylus mentulatus, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp. dilaporkan sering menyerang unta punuk satu di Saudi Arabia (Banaja dan Gandhour 1994). Selain itu musim dan keadaan tempat hidup unta juga mempengaruhi status kecacingan. Jumlah infeksi kecacingan nematoda tertinggi terjadi saat bulan Oktober hingga Januari. Kecacingan disebabkan oleh nematoda diantaranya oleh Haemonchus longistipes, H. contortus, T. ovis, T. globulosa, Trichostrongilus probolurus, C. mentulatus, Ostertagia circumcincta, Chabertia ovina dan Oesophagustomum venulosum juga pernah dilaporkan di Pakistan oleh Anwar dan Hayat (1999). Kasus kecacingan tertinggi disebabkan oleh H. contortus serta T. ovis. Sementara, Mohammed et al (2007) juga melaporkan tentang kasus kecacingan pada unta punuk satu di Nigeria. Nematoda yang menginfeksi yaitu Trichuris sp. serta Strongylus sp. Infeksi kecacingan pada unta di Nigeria tertinggi bila dibandingkan dengan parasit lainnya yaitu mencapai 70-80%. Unta terinfeksi selama musim kering dan akan terlihat infeksi terberat pada musim hujan karena periode pertumbuhan maksimal dari nematoda terjadi pada awal musim penghujan.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilangsungkan di Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas dan di Fakultas Kedokteran Hewan. Waktu pengambilan tinja yaitu bulan Juli hingga Agustus 2009. Sementara pemeriksaan tinja dilakukan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010 di Laboratorium Helminthologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan tinja yang berasal dari C. dromedarius jantan dan betina yang berumur 5-6 tahun, air, methylen blue, dan larutan pengapung (campuran gula dan garam). Alat yang digunakan antara lain saringan teh dengan ukuran lubang 075-0.9 x 0.6-0.675 mm, gelas ukur, kamar hitung McMaster, alat penghitung, tabung reaksi, modifikasi gelas Baermann, gelas objek, gelas penutup, cawan petri, mikroskop cahaya, lemari es, timbangan, pipet gelas, lembar pencatatan dan kamera digital. Alat tambahan yang digunakan di laboratorium adalah alat videomikrometer.
Metode Teknik Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah tinja unta punuk satu yang masih segar atau segera setelah jatuh ke tanah. Pengambilan sampel dilakukan seminggu satu kali selama enam minggu pada pukul 10.00 WIB. Tinja diamati bentuk dan konsistensinya,
kemudian disimpan dalam kantong plastik serta diberi label
identitas. Berat tinja yang diambil kira-kira 5 gram dan tinja disimpan dalam lemari pendingin suhu 40 C, sampai proses pemeriksaan.
17
Pemeriksaan Tinja 1.
Pemeriksaan Kualitatif
a) Pemeriksaan Natif Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya telur cacing. Tinja diambil dengan menggunakan tusuk gigi dan dioleskan di atas kaca obyek. air ditambahkan dan dihomogenkan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995) b) Metode Pengapungan Metode ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya telur cestoda dan nematoda pada tinja. Caranya adalah sebagai berikut; tinja sebanyak 3 gram yang telah dilumatkan, diberi larutan pengapung 57 ml. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk dan disaring. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga penuh membentuk cembung pada permukaan tabung. Tabung reaksi ditutup menggunakan kaca penutup dan didiamkan. Setelah 10-15 menit kaca penutup diambil dan diletakkan di atas gelas obyek. Sampel tersebut diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995). c) Sedimentasi Metode ini bertujuan untuk pemeriksaan telur cacing trematoda. Tinja sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam gelas Baerman dan ditambahkan 57 ml air. Campuran diaduk hingga homogen dan dibiarkan 10-15 menit. Supernatan dibuang dengan hati-hati supaya endapan tidak ikut terbawa air. Air ditambahkan lagi ke dalam gelas hingga penuh, tunggu 10-15 menit kemudian supernatan dibuang kembali. Hal tersebut diulangi hingga air supernatan menjadi bersih. Endapan kemudian
difiltrasi dengan filter
bertingkat dengan lubang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm. Endapan pada filter ketiga dituang ke dalam cawan petri lalu ditambah methylen blue dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali dan 40 kali (Shulaw 2004).
18
2.
Pemeriksaan kuantitatif Perhitungan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) menggunakan metoda
McMaster dengan perhitungan TTGT tiap jenis telur. Tiga gram tinja dilarutkan ke dalam 57 mililiter larutan pengapung. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk, disaring dan dihomogenkan. Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Kamar hitung diperiksa menggunakan miskroskop dengan perbesaran 10 kali (Soulsby 1982).
Nilat TTGT diperoleh dengan rumus sebagai berikut: TTGT = Keterangan:
𝑛 Vt × 𝑏𝑡 Vh
n
: Jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Vh
: Volume Kamar hitung (ml)
Vt
: Volume total sampel (ml)
bt
: Berat tinja (gram)
TTGT dengan menggunakan kamar hitung McMaster untuk telur cacing nematoda dan cestoda sedangkan untuk perhitungan telur cacing trematoda menggunakan rumus sebagai berikut (Shulaw 2004). Jumlah total telur Berat tinja Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan indentifikasi dan hasil perhitungan telur cacing. Telur yang didapat diukur panjang dan lebar kemudian dibandingkan secara morfologi terhadap telur cacing dari literatur.
Pengamatan Sistem Pemeliharaan Pengamatan dilakukan terhadap sistem pemeliharaan unta punuk satu meliputi sistem perkandangan, kebersihan kandang, manajemen pakan serta pengelolaan kesehatan untuk dilihat pengaruhnya terhadap kasus kecacingan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada penelitian kali ini sampel tinja yang digunakan berasal dari tinja yang baru jatuh ke tanah. Tinja dalam kondisi padat berbentuk seperti koin tebal seperti terlihat pada gambar 12.
Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. Tinja unta yang berbentuk padat dengan konsistensi yang lembek menunjukkan bahwa tinja unta dalam keadaan normal atau tidak dalam kondisi diare. Hal ini juga menunjukkan bahwa unta tidak menunjukkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasitik.
1. Pemeriksaan kualitatif Dari hasil pemeriksaan sampel tinja dua ekor unta punuk satu, hanya ditemukan telur cacing pada satu unta saja yaitu pada unta betina (Rubi). Telur cacing yang ditemukan pada sampel memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berbentuk oval tipe Trichurid, memiliki dua polar plug, berdinding tebal, dan memiliki ukuran rata–rata 71 – 77.6 x 30.8 – 37.9 µm (Gambar 13) Ciri-ciri telur tipe yang ditemukan sama dengan ciri-ciri telur jenis Trichurid menurut literatur (FAO 2006, Levine 1977 dan Taylor et al 2007) yaitu
20
mempunyai dinding yang tebal, berbentuk oval, tidak memiliki blastomer, mempunyai dua polar plug pada kedua ujung serta memiliki ukuran panjang 7080 µm dan lebar 30-42 µm (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa telur cacing parasitik yang ditemukan adalah dari genus Trichuris spp.
Gambar 13 Telur Trichurid dari tinja unta punuk satu
Gambar 14 Bentuk telur Trichuris ovis (FAO 2006)
Infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu juga pernah dilaporkan diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) dan Magzoub et al. (2000) di Saudi Arabia. Di Pakistan juga pernah dilaporkan bahwa kasus kecacingan tertinggi di unta punuk satu disebabkan oleh Haemonchus contortus serta T. ovis (Anwar dan Hayat 1999). Mohammed et al. (2007) menyatakan unta punuk satu di Nigeria diinfeksi oleh cacing Trichuris sp. serta Strongylus sp. Harwinanto (2007) dari Indonesia, Rahman et al. (2001) dari Sudan, Brown (2004) dari Australia, serta Mahran (2006) dari Mesir juga melaporkan infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu. Infeksi oleh Trichuris pada unta punuk satu umum terjadi di berbagai tempat tidak terbatas pada regional tertentu.
21
2. Pemeriksaan Kuantitatif Pada pemeriksaan kuantitatif juga hanya ditemukan telur cacing pada sampel tinja unta betina (Rubi). Telur yang ditemukan memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang ditemukan dengan metode kualitatif. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah tipe Trichurid. Berdasarkan hasil perhitungan TTGT (telur tiap gram tinja) ditemukan rata-rata jumlah telur sebesar 333
Tabel 1 Hasil pemeriksaan sampel tinja unta punuk satu dengan metode McMaster no 1
2
Nama hewan / jenis kelamin Rubi / Betina
Oxy / Jantan
sampel ke1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Tipe telur Nilai TTGT Trichurid 200 Trichurid 500 Trichurid 300 Trichurid 200 Trichurid 600 Trichurid 200 -
Nilai rata-rata TTGT 333
-
Hasil nilai rata-rata TTGT yang didapatkan bisa dikatakan infeksi ringan. Hal ini dikarenakan belum adanya gejala klinis yang timbul akibat infeksi cacing. Taylor et al (2007) juga menyatakan infeksi cacing pada domba dengan jumlah TTGT di bawah 150 tergolong infeksi ringan, TTGT 500 tergolong infeksi sedang sedangkan nilai TTGT 1000 termasuk infeksi berat. Nilai TTGT yang berbeda dari tiap sampel ini dapat dikarenakan tidak meratanya distribusi telur dalam tinja. Selain itu pada sampel yang tidak ditemukan telur cacing parasitik belum tentu hewannya tidak terinfeksi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan tidak ditemukannya telur cacing adalah kemungkinan cacing masih dalam tahap perkembangan serta jumlahnya sangat sedikit. Selain itu dapat juga disebabkan karena metode pengambilan sampel untuk pemeriksaan.
22
3. Sistem pemeliharaan unta punuk satu pada TRMS Serulingmas TRMS Serulingmas mempunyai sepasang unta yaitu Oxy (jantan) dan Rubi (betina). Kedua unta terletak dalam satu kandang besar namun dipisahkan oleh pagar besi. Hal ini dilakukan karena kondisi unta betina sedang bunting. Kandang unta dibersihkan sehari sekali pada waktu pagi hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali yaitu setiap pagi dan sore. Setiap pemberian diberikan pakan berupa rumput segar sekitar 20 kg dan konsentrat 2 kg untuk tiap-tiap unta. Pakan ditempatkan pada tempat yang terpisah. Tempat pakan yang tersedia cukup sempit sehingga pakan mudah jatuh dan tercemar dengan kotoran (Gambar 15)
Gambar 15 Tempat pakan unta di TRMS Serulingmas yang kecil sehingga pakan mudah tercecer Manajemen kesehatan yang dilakukan di TRMS Serulingmas berupa tindakan pengobatan (curative). Hal ini karena pemberian obat atau suplemen hanya pada saat satwa ada yang menunjukkan gejala klinis, misalnya lemas, diare serta nafsu makan menurun. Tindakan curative dilakukan karena keterbatasan fasilitas maupun tenaga medis serta pendanaan yang jumlahnya terbatas. Pemeriksaan kecacingan pada unta pernah dilakukan, namun tidak teratur. Selain itu hanya dilakukan pemeriksaan secara kualitatif tanpa mengetahui tingkat keparahan infeksi. Pengobatan atau deworming hanya dilakukan pada saat unta menunjukkan gejala klinik berupa diare.
23
Kecacingan yang terjadi pada unta di TRMS Serulingmas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sumber infeksi, lingkungan yang mendukung serta dari kerentanan unta sendiri. Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi cacing. Unta betina lebih rentan dibandingkan dengan jantan yang terbukti dari hasil penelitian bahwa infeksi positif hanya pada unta betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahran (2006) dan Saeed et al. (2006) bahwa unta betina lebih rentan terhadap infeksi cacing dibandingkan dengan jantan, teramati dari jumlah infeksi pada betina lebih tinggi dibandingkan yang jantan. Ketahanan unta jantan terhadap infeksi kecacingan ini kemungkinan disebabkan karena genetis jantan yang lebih tahan terhadap infeksi kecacingan. Vanessa et al. (2008) menyatakan bahwa hewan jantan lebih resisten terhadap infeksi parasitik dikarenakan jantan memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat terhadap infeksi parasitik. Sumber infeksi kecacingan pada unta ini berasal dari pakan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing. Pencemaran pakan ini dapat terjadi pada saat pengiriman, pengolahan maupun saat pemberian. Seperti dijelaskan di atas, tempat pakan yang kecil menyebabkan pakan tercecer dan bercampur dengan kotoran unta sendiri sehingga dapat tercemar oleh telur. Pada musim kemarau saat rumput kurang, unta betina di TRMS Serulingmas ini mempunyai kebiasaan yaitu memakan kotoran mereka sendiri (coprophagy). Hal ini sangat mendukung terjadinya reinfeksi terhadap cacing khususnya jenis Trichuris spp. yang siklus hidupnya bersifat langsung atau tanpa inang antara. Pemisahan kandang kedua unta terbukti dapat mencegah terjadinya penularan kecacingan di antara unta. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada Oxy (jantan). Pemisahan kandang dapat dilakukan pada jenis hewan lainnya untuk program pemberantasan kecacingan. Sebulan sebelum penelitian dilakukan, seluruh unta sudah dilakukan deworming menggunakan obat anti cacing atau (antelmintik). Kedua unta diberikan anthelmintik jenis albendazole. Oxy (jantan) diberikan antelmintik secara rutin selama tiga hari berturut-turut, sedangkan Rubi (betina) hanya diberikan sekali karena kondisinya sedang bunting. Dari cara pemberian dapat disimpulkan bahwa pemberian obat tiga kali berturut-turut terbukti lebih efektif,
24
hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada unta jantan (Oxy). Pemberian sekali dosis hanya dapat menurunkan tingkat infeksi kecacingan namun tidak dapat memberantas secara keseluruhan. Penggunaan antelmintik albendazole secara periodik juga dapat menyebabkan kemunculan kembali infeksi kecacingan. Hal ini juga dijelaskan oleh Keysker et al. (2008) bahwa penggunakan antelmentik secara periodik dapat menyebabkan pengulangan infeksi kecacingan. Adanya telur cacing dalam tinja setelah pemberian benzimidazole dan pyrantel adalah 1 bulan, untuk ivermectin adalah 8 minggu, sedangkan untuk moxidectine adalah 12 minggu. Jenis obat yang diberikan juga berbengaruh terhadap keberhasilan pengobatan seperti diungkapkan Jarvinen (2005) bahwa penggunaan albendazole secara oral dapat mengurangi 100% telur tipe Strongyloid namun hanya mengurangi sekitar
60-80% telur tipe Trichurid. Pemberian albendazole pada
betina bunting juga dapat menyebabkan terjadinya kolik, gejala ini muncul satu dari tiga betina bunting. Penggunaan antelmintik thiabendazole (preparat satu golongan dengan albendazole) pada unta juga pernah dilaporkan Chandrasekharan et al. (1970) bahwa thiabendazole dapat menurunkan 100% jumlah telur Trichostrongylus namun tidak berefek pada Trichuris. Pemakaian albendazole terbukti kurang efektif dan dapat membahayakan bagi betina yang sedang bunting. Penggunaan ivermectin dapat dijadikan pilihan karena dapat menurunkan jumlah telur Trichurid di atas 85% (Boyce et al. 1984) Belum ada literatur yang menjelaskan tentang derajat infeksi pada unta. Namun, pada jumlah infeksi cacing kali ini belum menunjukkan adanya gejala klinis pada hewan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1.
Ditemukan adanya infeksi cacing parasitik pada unta betina (Rubi) sedangkan pada unta jantan (Oxy) tidak ditemukan.
2.
Jenis cacing parasitik yg menginfeksi adalah jenis cacing Trichuris spp.
3.
TTGT yang diperoleh adalah sebesar 333 dengan gejala klinis kecacingan yang tidak/belum dapat untuk diamati.
4.
Pemisahan kandang dapat mencegah terjadinya penularan
5.
Penggunaan antelmentik albendazole secara berulang dapat menyebabkan pengulangan infeksi.
Saran Perlunya dilakukan penelitian serupa di tempat yang berbeda untuk menambah data kecacingan pada unta serta pengaruh manajemen pengelolaan terhadap kasus kecacingan. Perlunya Penerapan manajemen pakan, perkandangan serta kesehatan yang baik guna mencegah terjadinya infeksi kecacingan pada unta. Tindakan pencegahan, seperti pengolahan dan pemberian pakan yang baik serta diakukan tindakan deworming. Antelmintik yang disarankan untuk pemberantasan Trichuris spp. adalah ivermectin. Tindakan lain yang perlu dilakukan adalah peningkatan kebersihan kandang guna mencegah terjadinya reinfeksi.
DAFRAT PUSTAKA
Anwar M, Hayat CS. 1999. Gastrointestinal parasitic fauna of camel (Camelus dromedarius) slaughtered at Faisalabad abattoir. Pakisan Jornal of Bioogical Science, 2 (1): 209-210 Banaja AA, Gandhour AM. 1994. A Review of parasites of camel (Camelus dromedarius) in Saudi Arabia. JKAU: Sci. 6 : 75-86. Boyce W, Kollias G, Courtney CH, Allen J, Chalmers E. 1984. Efficacy of ivermectin against gastrointestinal nematodes in dromedary camels. J Am Vet Med Assoc. 185 (11): 1307-8. Brown A. 2004. A Review of Camel Deseases in Central Australia. Alice Springs: Australia [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010a. Taenia spp. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov [20 Desember 2010a] [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010b. Trematoda. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov [20 Desember 2010b] [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010c. Trichuris spp. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov [20 Desember 2010] Chandrasekharan K, Nair KPD, Sundaram RK, Peter CT. 1970. On the use of 'thiabendazole' against Trichostrongylus and Trichuris infections in camel (Camelus dromedarius). Kerala Journal of Veterinary Science. 1 (2): 129132 [DEWHA] Department of the Environment, Water, Heritage and the Arts. Australia. 2009. Camel fact sheet. Australia Dyah. 2008. Pengantar Parasitologi. Jogjakarta: UII [FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology.http://www.fao.ac.uk/review/parasitology/RuminantEggs/ Trichuris.htm [1 Desember 2010] Harwinanto L. 2007. Kecacingan pada Onta Punuk Satu (Camelus domedarius) di Taman Margasatwa Ragunan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
27
Hosie
AM.
2000.
Biodiversity
&
Conservation.
[terhubung
berkala].
http://www.marlin.ac.uk/ [20 Desember 2010] Huffman
B.
2004.
Camelus
dromedaries.
[terhubung
berkala].
www.ultimateungulate.com [10 Desember 2010] Jarvinen JA. 2005. Anthelmintics for Use in Camelids. Iowa State University: USA Keysker M. Bakker J, van den Berg M, vanDoorn DCK, Ploeger HW. 2008. The use ofa ge clustered pooled faecal samples for monitoring worm control in horses. Journal Veterinary Parasitology, 151: 249–255 Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan
di
Indonesia.
Bogor:
Pusat
Antar
Universitas
Bioteknologi IPB. Levine ND. 1977. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Magzoub M, Omer OH, Haroun EM, Mahmoud OM. 2000. Effect of season on gastrointestinal nematode infection in Saudi Arabian camels (Camelus dromedarius). Journal of Camel Practice and Research, 7 (1): 107-10 Mahran OM. 2006. Some epidemiological and parasitological studies on prevalence of gastrointestinal parasites of dromedary camels at Shalatin Region, Red Sea Governorate, Egypt and trials of treatment. Assiut Veterinary Medical Journal, 52 (111): 149-162 Mohammed AK, Sackey AKB, Tekdek LB, Gefu JO. 2007. Common health problems of the one humped camel (Camelus dromedarius) introduced into sub-humid climate in Zaria, Nigeria. Research Journal of Animal Sciences 1 (1): 1-5 Mukasa-Mugerwa. 1981. The Camel (Camelus dromedarius): a Bibliographycal Review. Addis Ababa: Ethiopia. Naumann.
1999.
Camelus
dromedarius.
US:
University of
Michigan.
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Camelus _dromedarius.html [20 Juli 2009] Olsen OW. 1974. Animal Parasites. University Park Press: USA
28
[PNRI]
Portal Nasional
Republik Indonesia. 2007.
Wisata Kabupaten
Banjarnegara. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view &id=4839&Itemid=1475 [20 Agustus 2009] Rahman AMB, Osman AY, Hunter AG. 2001. Parasites of the one-humped Camel (Camelus dromedarius) in the Sudan:A review. The Sudan Journal Veterinary Research 17 Saeed A, Hussain MM, Gopal C, Al Yousuf RJ. 2006. Gastrointestinal parasites of camels in United Arab Emirates. Indian Journal of Animal Sciences, 76(8): 612-613. Serulingmas. 2009. Populasi Satwa Serulngmas. Banjarnegara: Serulingmas Shulaw W. 2004. Fecal Egg Counts: What Di They Tell Us? Dalam Sheep Team Newsletter. Edisi Sempetmber 2004 http:/knox.osu.edu [20 Juli 2009] Soulsby EFL. 1982. Helminths, Athropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindall. Sumarwoto. 2009. Beragam Pesona dari Banjarnega. http://BeritaDaerah.Com [2 Mei 2009] Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing. Tubitak. 2002. Trematoda. [terhubung berkala]. http://www.biltek.tubitak.gov.tr. [3 Januari 2011] Vanessa O, Ezenwa, Jolles AE. 2008. Horns Shonestly Advertise Parasite Infection in Male and Female African Bufallo. Journal Animal Behaviour, 75: 2031-2021