PEMBERIAN SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MENGHAMBAT PERKEMBANGAN KANKER KOLON PADA MENCIT BALB/c MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN MIKRO KOLON
NUR FATHONAH SADEK F251100141
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul “Pemberian Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon” merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir thesis ini.
Bogor, Juli 2012
Nur Fathonah Sadek F 251100141
ABSTRACT
NUR FATHONAH SADEK. Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Administration Inhibit Colon Cancer Development in Balb/c Mice through Improvement of Colon Microenvironment. Under direction of ENDANG PRANGDIMURTI, FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) contains dietary fibers and phenolic compounds that have been shown to have inhibitory effect on colon cancer development. The objectives of this research were to evaluate the effects of 50% polished sorgum administration in mouse diet to observe colon cancer development of AOM-DSS induced Balb/c mice. Male BALB/c mice (n = 32) were divided into 4 groups of 8. The carbohydrate source of group K- and K+ was cornstarch, for S50 group was 50% sorghum and 50% cornstarch, and for S100 group was 100% sorghum. Single intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg body weight) and administration of 1% DSS in drinking water for 7 days was conducted for colon carcinogenesis of group K+, S50, and S100. The results showed that administration of sorgum (S50 and S100) could inhibit colon carcinogenesis. Group S50 and S100 had lower β-glucoronidase activity and higher expression of caspase-3. These results were supported by histopathological profile improvement of colon, liver, and kidney, and also the diet consumption of S50 and S100 that was higher than those of K+. In addition, S100 group had a higher amount of fecal pH reduction, total short chain fatty acid, and total butyrate than S50 and K+. However, sorgum administration in S50 and S100 groups did not statistically affect CD4 expression. These indicate that administration of 100% sorgum in group S100 is better to protect against colon cancer development than group S50. Keywords : sorgum, colon cancer, AOM, DSS, Balb/c mice
RINGKASAN
NUR FATHONAH SADEK. Pemberian Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon. Dibimbing oleh ENDANG PRANGDIMURTI, FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali yang diawali dengan terjadinya mutasi genetik. Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan usus besar. Penyebab terjadinya kanker kolon lebih banyak terkait dengan pola makan yang salah. Oleh karena itu, pola diet sehat yang direkomendasikan mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan kandungan serat yang tinggi. Sorgum merupakan salah satu jenis serealia yang tidak hanya mengandung serat pangan, namun juga sejumlah senyawa fitokimia yang mampu berperan sebagai antioksidan. Pemanfaatan sorgum di Indonesia masih sangat kurang. Sorgum hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di daerah Gunung Kidul ketika masa paceklik. Terkait dengan potensi sorgum, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian tepung sorgum dengan derajat sosoh 50% terhadap kemampuannya dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c. Adapun parameter penghambatan kanker kolon tersebut dapat dilihat profil histopatologi organ hati, ginjal, dan kolon; penurunan pH feses, peningkatan jumlah dan perubahan profil asam lemak rantai pendek isi sekum, aktivitas enzim β-glucoronidase, serta keberadaan CD4 sebagai penanda permukaan sel Th dan enzim kaspase-3 pada kolon. Tahapan awal penelitian adalah pemeliharaan mencit Balb/c sebanyak 32 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok. Pembagian kelompok dilakukan berdasarkan adanya induksi Azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS), serta penambahan tepung sorgum pada komposisi ransum. Kelompok Kmerupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber karbohidrat 100% maizena), tanpa induksi AOM-DSS. Kelompok K+ merupakan kelompok kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber karbohidrat 100% maizena), dengan induksi AOM-DSS. Kelompok S50 menggunakan sumber karbohidrat 50% maizena dan 50% tepung sorgum, sedangkan kelompok S100 menggunakan sumber karbohidrat 100% tepung sorgum. Kelompok S50 dan S100 merupakan kelompok mencit perlakuan dengan induksi karsinogen yang sama.
Evaluasi kemampuan penghambatan perkembangan kanker kolon oleh sorgum secara makroskopis menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum mampu meningkatkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 (3,19 ± 0,24b gram/ ekor/ hari) dan S100 (3,41 ± 0,28c gram/ ekor/ hari) dibandingkan kelompok K+ (2,51 ±0,31a gram/ ekor/ hari), serta tidak mempengaruhi penampakan fisik dan tingkah laku mencit kelompok S50 dan S100. Hal ini menunjukkan komponen tanin pada sorgum varietas Kawali (0,7%) masih dalam batas yang tidak mengganggu selera makan mencit, sehingga mampu memperbaiki kondisi distress akibat induksi karsinogen. Secara histopatologis, pemberian sorgum juga mampu memperbaiki profil hati dan ginjal mencit, mencegah terjadinya hiperplasia sel-sel kolon, serta menunjukkan tingkat inflamasi kelompok S50 (1,50 ± 0,53b) dan S100 (1,13 ± 0,64b) yang lebih rendah dibandingkan kelompok K+ (3,67 ± 0,52c). Aktivitas spesifik (as) dan aktivitas total (at) enzim β-glucoronidase kelompok S50 (as : 11,32 ± 2,55b nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 343,29 ± 62,05b nmol PP/ sekum/ menit) dan S100 (as : 10,79 ± 3,72b nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 247,46 ± 76,49ab nmol PP/ sekum/ menit) secara signifikan mengalami penurunan dibandingkan kelompok K+ (as : 21,45 ± 6,36c nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 504,48 ± 128,64c nmol PP/ sekum/ menit). Selain itu, pemberian sorgum juga mampu meningkatkan ekpresi enzim kaspase-3 (kelompok S50 : 2,80 ± 0,84b; S100 : 2,80 ± 1,10b) dibandingkan kelompok K+ (1,20 ± 0,45a). Adapun penurunan pH feses, total asam lemak rantai pendek, dan total butirat secara berturut-turut pada S100 (7,46 ± 0,35a ; 18,324 µmol/g; 2,754 µmol/g) lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 (7,70 ± 0,34ab ; 14,996 µmol/g; 2,608 µmol/g) dan K+ (7,97 ± 0,16b ; 7,423 µmol/g; 0,313 µmol/g). Hanya saja pemberian sorgum tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 secara signifikan pada kelompok S50 (2,33 ± 1,03ab) dan S100 (2,67 ± 0,82b) dibandingkan kelompok K+ (1,67 ± 1,63ab). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemberian sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM-DSS dibandingkan pada kelompok S50. Hal ini menandakan bahwa konsumsi sorgum dengan derajat sosoh 50% sebagai 100% sumber karbohidrat sangat baik untuk dikonsumsi. Potensi penghambatan karsinogenesis kolon diduga akibat adanya fungsi protektif dari serat pangan dan komponen fenolik pada sorgum. Serat pangan yang difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek yang akan mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan bakteri. Selain itu, asam butirat sebagai hasil fermentasi diduga mampu memberikan efek antiinflamatori serta efek antiproliferatif dan apoptosis pada sel-sel kanker. Adanya komponen bioaktif pada sorgum dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya
pengikatan metabolit reaktif dengan DNA. Komponen fenolik pada sorgum juga diduga mampu mengindunksi terjadinya apoptosis sel-sel kanker melalui gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA.
Kata kunci : sorgum, kanker kolon, AOM, DSS, mencit Balb/c.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBERIAN SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MENGHAMBAT PERKEMBANGAN KANKER KOLON PADA MENCIT BALB/c MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN MIKRO KOLON
NUR FATHONAH SADEK F251100141
Thesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, M.Sc.
Judul
: Pemberian Sorgum (Sorghum Bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon
Nama
: Nur Fathonah Sadek
NRP
: F251100141
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si
Ketua
Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc
Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, PhD, APVet.
Anggota
Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 27 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji hanya kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya yang selalu dilimpahkan sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pemberian Sorgum (Sorghum Bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon” berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc dan Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, PhD, APVet. Sebagai anggota komisi pembimbing yang selalu dengan sabar dan bijaksana memberikan bimbingan, motivasi, dan bantuan bahan penelitian sehingga penulis memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, M.Sc selaku penguji luar komisi atas masukan yang membangun. 3. Departemen Pertanian melalui program KKP3T tahun 2009 4. Orang tua dan mertua tercinta, Ibunda Eko Pratiwiningsih, Ayahanda Sadi, Umi Emim Umimah (Almh), dan Bapak Ebo Basari Soemantri atas segala kasih sayang, dukungan, dan doa yang tulus. 5. Suami tercinta Mas Asep Safari dan adik bayi atas kasih sayang, doa, pengertian, dan dukungan tanpa henti. 6. Adik tersayang Moch. Sulthon Fathoni Sadek, keluarga besar Banyuwangi, Bogor, dan Kuningan atas doa dan dukungannya. 7. Bu Yuszda K. Salimi atas kerja sama dan suka duka selama melakukan penelitian. 8. Staf laboratorium dan administrasi, Pak Adi, Bu Sri, Mbak Vera, Pak Rojak, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Taufik, Mbak Arie, Mbak Mar, Pak Wahyudin, Pak Kasnadi, Mbak Kiki, dan Mbak Selin atas bantuan selama menyelesaikan penelitian dan studi. 9. Teman-teman Ilmu Pangan angkatan 2010, Mbak Gadiz, Mbak Zahra, Nita, Mbak Yati, Pak Salim, Rangga, Mbak Komang, Mbak Fitri, Mbak Elok, Mbak Tanti, Pak Cecep, dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas dukungan, motivasi, serta tempat berbagi suka dan duka selama menyelesaikan studi S2. 10. Mencit-mencitku atas pengorbanannya demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012 Nur Fathonah Sadek F251100141
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 23 Januari 1988 sebagai anak sulung dari pasangan Sadi dan Eko Pratiwiningsih. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di Banyuwangi, sedangkan pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas diselesaikan di Jember. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menyelesaikan program sarjana di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2010. Selanjutnya penulis berkesempatan untuk melanjutkan program magister pada program studi Ilmu Pangan IPB pada tahun yang sama. Selama mengikuti pendidikan program magister, penulis pernah menjadi asisten praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan untuk program sarjana.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxiii I. PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................
4
1.3 Hipotesis........................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
5
2.1 Sorgum ............................................................................................
5
2.1.1 Tanaman Sorgum ....................................................................
5
2.1.2 Komposisi Kimia Sorgum ....................................................... 8 2.1.3 Serat Pangan pada Sorgum ...................................................... 10 2.1.4 Komponen fitokimia sorgum ..................................................
11
2.1.5 Pemanfaatan Sorgum ..............................................................
14
2.2 Kanker ............................................................................................
15
2.3 Kanker Kolon...................................................................................
18
2.4 Peranan Serat Pangan terhadap Kesehatan Kolon .........................
22
2.4.1 Pembentukan Asam Lemak Rantai Pendek ............................
27
2.4.2 Aktivitas Enzim β-glucoronidase ............................................ 29 2.4.3 Aktivitas Enzim Caspase-3 .....................................................
31
2.4.5 Keberadaan Penanda Permukaan CD4 (Sel T helper) ............
32
2.4.6 Peranan Fitokimia Sorgum terhadap Pencegahan Kanker Ko- 34 lon ............................................................................................. III. METODOLOGI ................................................................................... 37 3.1 Waktu dan Tempat .........................................................................
37
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................... 37 3.3 Persiapan Ransum ..........................................................................
38
3.4 Penanganan Mencit Balb/c ............................................................
39
3.5 Pengambilan Organ dan Persiapan Sampel ...................................
40
3.6 Analisis Aktivitas Enzim β-glucoronidase....................................... 41 3.7 Pengukuran Asam Lemak Rantai Pendek Isi Sekum ......................
41
3.8 Pengukuran pH Feses ...................................................................... 42 3.9 Pembuatan Preparat Histologi.........................................................
42
3.10 Pengamatan Histolopatologi Organ Hati, Ginjal, dan Kolon 43 melalui Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE)................................ 3.11 Analisis keberadaan penanda permukaan sel Th (CD4) dan 45 Kaspase-3 dengan pewarnaan Imunohistokimia (IHK) .............. 3.12 Analisis Data ................................................................................ 50 IV. PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Mencit Percobaan .............................................................
51 51
4.2 Evaluasi Histopatologi Organ Mencit dengan Pewarnaan Hema- 57 toksilin-Eosin (HE) ........................................................................ 4.2.1 Histopatologi Jaringan Hati .................................................. 58 4.2.2 Histopatologi Jaringan Ginjal ............................................... 60 4.2.3 Histopatologi Jaringan Kolon ............................................... 62 4.3 Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) 67 Isi Sekum ....................................................................................... 4.4 Aktivitas Enzim β-glucoronidase ................................................... 73 4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4) 78 dan Enzim Kaspase-3 pada Kolon dengan Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ................................................................. 4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4) .... 79 4.5.2 Evaluasi Keberadaan Penanda Enzim Kaspase-3 ................
84
4.6 Dugaan Penghambatan Perkembangan Kanker Kolon oleh 89 Sorgum .......................................................................................... V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 91 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91 5.2 Saran ...............................................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
93
Lampiran
107
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Halaman Komposisi kimia sorgum varietas kawali ................................... 9
Tabel 2
Komposisi fitokimia sorgum ....................................................... 12
Tabel 3
Mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon ...........
23
Tabel 4
Efek imunomodulator dari berbagai jenis serat pangan ..............
24
Tabel 5
Tabel 6
Pola pembentukan asam lemak rantai pendek dari fermentasi 28 beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal manusia secara in vitro dan in vivo ........................................................................... Komposisi ransum standar AIN 1993 yang dimodifikasi ........... 38
Tabel 7
Komposisi ransum kelompok kontrol dan perlakuan .................
39
Tabel 8
Pembagian kelompok mencit balb/c kontrol dan perlakuan .......
40
Tabel 9
Konsumsi ransum rata-rata dan selisih berat badan pada setiap 54 kelompok mencit selama perlakuan ..........................................
Tabel 10
Berat relatif organ .......................................................................
Tabel 11
Pengujian penanda kolitis pada kolon mencit dengan 63 pewarnaan HE ............................................................................. Hasil pengukuran pH feses kelompok mencit ............................. 69
Tabel 12
57
Tabel 14
Hasil pengukuran asam lemak rantai pendek (ALRP) isi sekum 70 kelompok mencit ......................................................................... Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit ........... 75
Tabel 15
Skor penanda CD4 pada kolon dengan pewarnaan IHK ............. 83
Tabel 16
Skor penanda kaspase-3 pada kolon dengan pewarnaan IHK ....
Tabel 13
84
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Halaman Tanaman dan biji sorgum ..................................................... 5
Gambar 2
Struktur biji sorgum .............................................................
7
Gambar 3
Warna biji sorgum berdasarkan lama penyosohan ..............
9
Gambar 4
Struktur kimia β (1,3)(1,4) - D – glukan ..............................
10
Gambar 5
Skema tahapan karsinogenesis ............................................. 16
Gambar 6
Skema karsinogenesis kanker kolon ....................................
19
Gambar 7
Metabolisme azoksimetana (AOM) .....................................
21
Gambar 8
Grafik konsumsi ransum pada setiap kelompok mencit .....
52
Gambar 9
Grafik kenaikan berat badan pada setiap kelompok mencit
53
Gambar 10
Organ mencit pada setiap kelomopok mencit ......................
56
Gambar 11
Fotomikrograf jaringan hati mencit .....................................
60
Gambar 12
Fotomikrograf jaringan ginjal mencit ..................................
62
Gambar 13
Fotomikrograf jaringan kolon mencit ..................................
64
Gambar 14
Fotomikrograf jaringan kolon mencit kelompok B .............. 65
Gambar 15 Gambar 16
Perkiraan model penghambatan kanker oleh komponen 66 bioaktif sorgum ................................................................... Fermentasi serat pangan pada kolon manusia ...................... 68
Gambar 17
Reaksi scavanger dan quencher dari komponen fenolik ....
Gambar 18
Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan 82 pewarnaan IHK menggunakan antibodi anti-CD4 ............... Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK 85 menggunakan antibodi anti-Kaspase-3 ................................
Gambar 19
80
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Halaman Komposisi mineral pada ransum mencit Balb/c ................ 109
Lampiran 2
Data proksimat kasein dan sorgum sosoh 50%
109
Lampiran 3
Hasil analisa varian (Anova) konsumsi ransum mencit .....
110
Lampiran 4
Hasil analisa varian (Anova) kenaikan berat badan mencit
111
Lampiran 5
Hasil analisa (Anova) berat relatif organ mencit ...............
112
Lampiran 6
Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda kolitis pada mencit dengan pewarnaan HE ................................... Hasil analisa varian (Anova) pH feses ...............................
114
Hasil analisis varian (Anova) aktivitas enzim β-glucoroni dase ..................................................................................... Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda CD4 pa da mencit dengan pewarnaan IHK ..................................... Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda Kaspase -3 pada mencit dengan pewarnaan IHK .............................
116
Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10
115
118 119
ABSTRACT
NUR FATHONAH SADEK. Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Administration Inhibit Colon Cancer Development in Balb/c Mice through Improvement of Colon Microenvironment. Under direction of ENDANG PRANGDIMURTI, FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) contains dietary fibers and phenolic compounds that have been shown to have inhibitory effect on colon cancer development. The objectives of this research were to evaluate the effects of 50% polished sorgum administration in mouse diet to observe colon cancer development of AOM-DSS induced Balb/c mice. Male BALB/c mice (n = 32) were divided into 4 groups of 8. The carbohydrate source of group K- and K+ was cornstarch, for S50 group was 50% sorghum and 50% cornstarch, and for S100 group was 100% sorghum. Single intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg body weight) and administration of 1% DSS in drinking water for 7 days was conducted for colon carcinogenesis of group K+, S50, and S100. The results showed that administration of sorgum (S50 and S100) could inhibit colon carcinogenesis. Group S50 and S100 had lower β-glucoronidase activity and higher expression of caspase-3. These results were supported by histopathological profile improvement of colon, liver, and kidney, and also the diet consumption of S50 and S100 that was higher than those of K+. In addition, S100 group had a higher amount of fecal pH reduction, total short chain fatty acid, and total butyrate than S50 and K+. However, sorgum administration in S50 and S100 groups did not statistically affect CD4 expression. These indicate that administration of 100% sorgum in group S100 is better to protect against colon cancer development than group S50. Keywords : sorgum, colon cancer, AOM, DSS, Balb/c mice
RINGKASAN
NUR FATHONAH SADEK. Pemberian Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon. Dibimbing oleh ENDANG PRANGDIMURTI, FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali yang diawali dengan terjadinya mutasi genetik. Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan usus besar. Penyebab terjadinya kanker kolon lebih banyak terkait dengan pola makan yang salah. Oleh karena itu, pola diet sehat yang direkomendasikan mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan kandungan serat yang tinggi. Sorgum merupakan salah satu jenis serealia yang tidak hanya mengandung serat pangan, namun juga sejumlah senyawa fitokimia yang mampu berperan sebagai antioksidan. Pemanfaatan sorgum di Indonesia masih sangat kurang. Sorgum hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di daerah Gunung Kidul ketika masa paceklik. Terkait dengan potensi sorgum, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian tepung sorgum dengan derajat sosoh 50% terhadap kemampuannya dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c. Adapun parameter penghambatan kanker kolon tersebut dapat dilihat profil histopatologi organ hati, ginjal, dan kolon; penurunan pH feses, peningkatan jumlah dan perubahan profil asam lemak rantai pendek isi sekum, aktivitas enzim β-glucoronidase, serta keberadaan CD4 sebagai penanda permukaan sel Th dan enzim kaspase-3 pada kolon. Tahapan awal penelitian adalah pemeliharaan mencit Balb/c sebanyak 32 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok. Pembagian kelompok dilakukan berdasarkan adanya induksi Azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS), serta penambahan tepung sorgum pada komposisi ransum. Kelompok Kmerupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber karbohidrat 100% maizena), tanpa induksi AOM-DSS. Kelompok K+ merupakan kelompok kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber karbohidrat 100% maizena), dengan induksi AOM-DSS. Kelompok S50 menggunakan sumber karbohidrat 50% maizena dan 50% tepung sorgum, sedangkan kelompok S100 menggunakan sumber karbohidrat 100% tepung sorgum. Kelompok S50 dan S100 merupakan kelompok mencit perlakuan dengan induksi karsinogen yang sama.
Evaluasi kemampuan penghambatan perkembangan kanker kolon oleh sorgum secara makroskopis menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum mampu meningkatkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 (3,19 ± 0,24b gram/ ekor/ hari) dan S100 (3,41 ± 0,28c gram/ ekor/ hari) dibandingkan kelompok K+ (2,51 ±0,31a gram/ ekor/ hari), serta tidak mempengaruhi penampakan fisik dan tingkah laku mencit kelompok S50 dan S100. Hal ini menunjukkan komponen tanin pada sorgum varietas Kawali (0,7%) masih dalam batas yang tidak mengganggu selera makan mencit, sehingga mampu memperbaiki kondisi distress akibat induksi karsinogen. Secara histopatologis, pemberian sorgum juga mampu memperbaiki profil hati dan ginjal mencit, mencegah terjadinya hiperplasia sel-sel kolon, serta menunjukkan tingkat inflamasi kelompok S50 (1,50 ± 0,53b) dan S100 (1,13 ± 0,64b) yang lebih rendah dibandingkan kelompok K+ (3,67 ± 0,52c). Aktivitas spesifik (as) dan aktivitas total (at) enzim β-glucoronidase kelompok S50 (as : 11,32 ± 2,55b nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 343,29 ± 62,05b nmol PP/ sekum/ menit) dan S100 (as : 10,79 ± 3,72b nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 247,46 ± 76,49ab nmol PP/ sekum/ menit) secara signifikan mengalami penurunan dibandingkan kelompok K+ (as : 21,45 ± 6,36c nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 504,48 ± 128,64c nmol PP/ sekum/ menit). Selain itu, pemberian sorgum juga mampu meningkatkan ekpresi enzim kaspase-3 (kelompok S50 : 2,80 ± 0,84b; S100 : 2,80 ± 1,10b) dibandingkan kelompok K+ (1,20 ± 0,45a). Adapun penurunan pH feses, total asam lemak rantai pendek, dan total butirat secara berturut-turut pada S100 (7,46 ± 0,35a ; 18,324 µmol/g; 2,754 µmol/g) lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 (7,70 ± 0,34ab ; 14,996 µmol/g; 2,608 µmol/g) dan K+ (7,97 ± 0,16b ; 7,423 µmol/g; 0,313 µmol/g). Hanya saja pemberian sorgum tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 secara signifikan pada kelompok S50 (2,33 ± 1,03ab) dan S100 (2,67 ± 0,82b) dibandingkan kelompok K+ (1,67 ± 1,63ab). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemberian sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM-DSS dibandingkan pada kelompok S50. Hal ini menandakan bahwa konsumsi sorgum dengan derajat sosoh 50% sebagai 100% sumber karbohidrat sangat baik untuk dikonsumsi. Potensi penghambatan karsinogenesis kolon diduga akibat adanya fungsi protektif dari serat pangan dan komponen fenolik pada sorgum. Serat pangan yang difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek yang akan mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan bakteri. Selain itu, asam butirat sebagai hasil fermentasi diduga mampu memberikan efek antiinflamatori serta efek antiproliferatif dan apoptosis pada sel-sel kanker. Adanya komponen bioaktif pada sorgum dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya
pengikatan metabolit reaktif dengan DNA. Komponen fenolik pada sorgum juga diduga mampu mengindunksi terjadinya apoptosis sel-sel kanker melalui gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA.
Kata kunci : sorgum, kanker kolon, AOM, DSS, mencit Balb/c.
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan usus besar. Dari semua kasus kanker, penyakit ini menempati urutan ketiga yang sering didiagnosa pada pria dan urutan kedua pada wanita. Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolon dengan tingkat mortalitas lebih dari 50% (Jemal et al. 2011). Di Indonesia, data dari Rumah Sakit Darmais Jakarta menunjukkan terdapat sekitar 600 kejadian kanker kolon pada kurun waktu 19942006 (Kastomo 2007). Prevalensi kejadian ini diperkirakan meningkat seiring perubahan pola makan tradisional menjadi pola makan modern yang siap saji. Faktor diet telah lama diketahui memegang peran penting dalam pencegahan kanker kolon (Willet 2000). WCRF/AICR (1997) merekomendasikan pola diet sehat yang mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan kandungan serat yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh serat pangan (Kim 2000) dan pati resisten (Leu et al. 2007) terhadap pencegahan kanker kolon. Konsumsi serat ternyata berkorelasi negatif terhadap peluang terjadinya kanker kolon dan rektum (Cassidy et al. 1994). Serat pangan, terutama serat pangan yang larut, dan pati resisten memiliki mekanisme yang serupa dalam pencegahan kanker kolon (Perrin et al. 2001). Keduanya mampu meningkatkan volume feses, menurunkan waktu transit feses, menurunkan pH pada lumen kolon, meningkatkan jumlah bakteri baik dalam kolon, dan mengurangi metabolisme asam empedu primer menjadi asam empedu sekunder yang merupakan salah satu promotor terjadinya kanker kolon. Serat pangan difermentasi oleh mikroflora kolon dan menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek (asam butirat, asam propionat, dan asam asetat) serta gas-gas (CO2, CH4, dan H2) (Leu et al. 2007 ). Asam butirat, diketahui memiliki efek fisiologis terhadap integritas dan fungsi epitelial kolon, serta berpotensi kemoprotektiv melalui berbagai mekanisme, misalnya menghambat proliferasi dan meningkatkan apoptosis sel-sel kanker (Zobel 2005).
2
Asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan akan mengasamkan lingkungan usus, sehingga akan mempengaruhi aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan bakteri. β-glucoronidase merupakan salah satu enzim yang diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens. Jenab dan Lilian (1996) menyatakan bahwa aktivitas βglucoronidase memiliki peranan penting dalam perkembangan kanker kolon. Aktivitas enzim ini diketahui lebih tinggi pada penderita kanker dibandingkan individu sehat (Fujisawa dan Mori 1997). β-glucoronidase menghidrolisis konjugat metilazoksimetanol-glukoronida, yang merupakan produk konjugasi hasil detoksifikasi oleh hati dan bersifat non karsinogen, dan melepaskan karsinogen bebas berupa metilazoksimetanol bebas (Takada et al. 1982). Metilazoksimetanol bebas tersebut akan terkonsentrasi pada mukosa kolon yang selanjutnya dapat memicu perkembangan kanker. Adapun kadar enzim ini dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak hewani, serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan (Shiau dan Chang 1983). Watzl et al. (2005) juga menyatakan bahwa serat pangan mampu meningkatkan sistem imun, yang mekanismenya lebih disebabkan oleh adanya produksi asam butirat. Asam butirat diketahui mempunyai efek anti-inflamatori (Cheung et al. 2002), apoptosis, dan aktivitas anti-proliferatif pada sel-sel kanker (Andoh dan Fujiyama 2004; Lupton 2004). Asam butirat dapat meningkatkan aktivitas enzim kaspase-3, yang merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis (Foitzik et al. 2009) dan menginduksi terjadinya perubahan karakteristik morfologis sel yang mengalami apoptosis (Shi 2002). Selain itu, Lim et al. (1997) juga menyatakan bahwa asam butirat hasil fermentasi serat pangan juga mampu meningkatkan jumlah sel limfosit T pada saluran pencernaan. Sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T-helper (CD4). Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th-1, untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen kanker untuk
3
lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I, sehingga akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T-sitotoksik (CD8) (Delves dan Roitt 2000a). Adapun pemberian 5% pektin pada tikus percobaan mampu meningkatkan proporsi sel Th pada mesenteric lymph nodes (Lim et al. 1997). Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) termasuk golongan serealia yang berpotensi sebagai sumber serat pangan. Biji sorgum dilaporkan mengandung serat total sekitar 7,6 – 9,2% (Laroche dan Michaud 2006). Sebagian serat pangan pada sorgum berupa serat pangan tidak larut, terutama selulosa, yakni sebesar 6,5 - 7,9%. Selain itu, sorgum juga mengandung serat pangan larut berupa β-glukan sebesar 1,1 - 2,3% (Smith dan Richard 2000). Adapun β-glukan diketahui mampu mencegah terjadinya penyakit degeneratif, termasuk kanker kolon (Laroche dan Michaud 2006). Selain memiliki kandungan β-glukan, sorgum juga mengandung berbagai komponen bioaktif, seperti senyawa fenolik, sterol, dan polistanol yang dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan,
termasuk kemampuan antikanker
kolon (Dykes dan Rooney 2007). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Awika et al. (2009) yang menunjukkan adanya korelasi aktivitas antioksidan dan antiproliferasi sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak sorgum yang mengandung tanin. Salah satu jenis sorgum lokal yang telah banyak diteliti adalah sorgum varietas Kawali. Pemberian sorgum Kawali yang disosoh 20 detik pada tikus percobaan terlihat mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, terutama superoksida dismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus yang diberi 50% tepung sorgum dan peningkatan sebesar 91% pada tikus yang diberikan 100% tepung sorgum, serta
mampu meningkatkan proliferasi limfosit (Puspawati 2009).
Ekstrak sorgum Kawali juga telah dikaji kemampuannya dalam menghambat proliferasi sel kanker Hela, A549, HCT 116, dan Raji secara in vitro, serta menurunkan ekspresi enzim COX-2 secara in vivo (Salimi 2012). Dalam penelitian ini akan dipelajari kemampuan tepung sorgum dalam menahan perkembangan kanker kolon melalui pengujian terhadap aktivitas enzim βglucoronidase, profil asam lemak rantai pendek isi sekum, profil histopatologi organ kolon, hati, dan ginjal, serta adanya penanda permukaan sel Th (CD4) dan
4
enzim kaspase-3 pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM (azoxymethane) dan DSS (dextran sodium sulphate). 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: a. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap aktivitas enzim βglucoronidase pada mencit Balb/c. b. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap profil asam lemak rantai pendek pada isi sekum mencit Balb/c. c. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap profil histopatologi organ kolon, hati, dan ginjal mencit Balb/c. d. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap adanya penanda permukaan CD4 dan enzim kaspase-3 pada dinding kolon mencit Balb/c.
1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: a. Tepung sorgum mampu menurunkan pH kolon melalui produksi asam-asam lemak rantai pendek yang akan menurunkan aktivitas enzim β-glucoronidase. b. Tepung sorgum mampu memperbaiki profil histopatologi organ kolon, hati, dan ginjal mencit Balb/c yang diinduksi kanker kolon c. Tepung sorgum mampu memberikan efek anti-inflamatori serta efek antiproliferatif dan apoptosis terhadap sel-sel kanker. d. Tepung sorgum mampu meningkatkan sistem imun pada saluran pencernaan, melalui peningkatan jumlah sel limfosit T helper dan enzim kaspase-3.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai: a. Kemampuan sorgum dalam mencegah perkembangan kanker kolon secara in vivo menggunakan mencit Balb/c. b. Potensi sorgum untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional pencegah kanker kolon.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) 2.1.1 Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu jenis serealia lokal yang berasal dari Afrika (Dicko et al. 2006). Biji sorgum berbentuk bulat pipih dengan ribuan biji yang memiliki berat 25-55 gram. Tanaman ini memiliki panjang daun 0,3-1,6 meter, lebar daun 1-13 meter, tinggi 0-6 meter, dan umur tanam 4-5 bulan (Dicko et al. 2006). Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4,0 x 2,5 x 3,5 mm3. Berdasarkan bentuk dan ukuran bijinya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu biji berukuran besar (24-35 mg), sedang (12-24 mg), dan kecil (8-10 mg). Tanaman dan biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 1. Mudjisihono dan Suprapto (1987) mengklasifikasikan taksonomi sorgum sebagai berikut: kingdom
: plantae
kelas
: monocotyledon
famili
: gramineae
genus
: sorghum
spesies
: Sorghum bicolor L. Moench
Gambar 1 Tanaman sorgum (Ditjentanpan 2006) dan biji sorgum (FAO 2011) Di Indonesia, sorgum dikenal sekitar tahun 1925 di beberapa daerah seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di daearah Jawa, tanaman ini dikenal dengan nama cantel atau orean yang umumnya digunakan sebagai tanaman tumpang sari (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
6
Sorgum di dunia dikenal dengan nama great millet atau guinea corn (Afrika Barat), dura (Sudan), kaoliang (Cina), morokhosi (Jepang), milo atau milomaizena (Amerika Serikat), jowar (India), serta kafferkoren, soedrangas, suikergierst, atau suiker-sorghum di Belanda (Dicko et al. 2006). Areal penanaman sorgum di dunia berdasarkan data statistik FAO (2005) sebesar 80% berada di daerah Afrika, Asia, dan Amerika, seperti Nigeria, Sudan, Amerika, Argentina, Meksiko, India, Cina, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia, daerah penghasil sorgum berdasarkan data dari Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2006) adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Jawa Barat sorgum banyak dibudidayakan di daerah Sukabumi, Indramayu, Garut, Cirebon, dan Ciamis. Di Jawa Tengah budidaya sorgum dilakukan di Brebes, Demak, dan Wonogiri, sedangkan di DI Yogyakarta banyak terdapat di Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Daerah pembudidayaan sorgum di Jawa Timur berada di Pacitan, Lamongan, dan Sampang, sedangkan di NTT berada di Kupang, Ende, Manggarai, Flores Timur, Sumba, dan Alor. Biji sorgum memiliki tiga bagian utama, yaitu lapisan luar (outer layer) yang terdiri atas perikarp dan testa, endosperma (storage tissue), dan germ (embryo). Bagian lapisan luar merupakan 7,3 - 9,3% dari berat biji. Perikarp terdiri atas tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp adalah bagian terluar yang tersusun atas dua atau tiga lapisan memanjang, ada yang mengandung pigmen. Mesokarp merupakan lapisan tengah dan cukup tebal, berbentuk poligonal, serta mengandung sedikit granula pati. Endokarp tersusun atas sel yang menyilang yang dan berbentuk tabung. Di bawah lapisan perikarp terdapat kulit biji atau testa. Testa adalah jaringan tipis antara perikarp dan endosperma (Lorenz dan Karel 1991). Pada lapisan perikarp terdapat komponen fenolik dan granula pati, sedangkan pada bagian testa hanya mengandung komponen fenolik (misalnya tanin). Di bawah lapisan testa merupakan endosprema yang beratnya sekitar 84% dari berat biji. Bagian ini terdiri atas aleuron, endosperma luar (periferal endosperm),
endosperma
tengah
(corneus
endosperm),
dan
lapisan
endosperma dalam (floury endosperm). Aleuron yang melapisi bagian terluar
7
endosperma mengandung banyak mineral, vitamin arut air, enzim autolitik, minyak, protein, serta asam fitat. Sebaliknya pada bagian endosperma luar, tengah, dan dalam banyak terdapat pati dan protein. Komponen utama pada biji sorgum adalah pati yang tersimpan dalam bentuk granula yang terdapat pada bagian endosperma. Pada bagian endosperma dan perikarp terdapat terdapat pula arabinosilan, β-glukan, vitamin, dan mineral (Waniska 2000 dan Shiringani 2005). Bagian germ merupakan 1,8 - 12,1% dari berat biji yang terdiri atas bagian embryonic axis dan scutellum. Menurut Shiringani (2005) sebagian besar bagian ini merupakan minyak, protein, enzim, dan mineral. Bagian lembaga juga mengandung asam lemak tidak jenuh, seperti asam linoleat, dan non starch polysacharida (Dicko et al. 2006). Adapun struktur biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur biji tanaman sorgum (Dicko et al. 2005)
Biji sorgum tertutup sekam dengan warna coklat muda, krem, dan putih tergantung varietasnya (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Varietas sorgum di Indonesia cukup banyak, seperti cempaka, birdfroof, katengu, No.46, No.6C, UPCA-S2, UPCA-S1, KD4, keris, badik, hegari, genjah, mandau, sangkur, numbu, dan kawali (Direktorat Serealia 2006). Perbedaan varietas ini akan
8
menunjukkan sifat fisik dan karakteristik kimia yang berbeda pada bijinya, yang mana sifat fisik dari biji sorgum akan ditentukan dari warna kulit luarnya (Nyachoti et al. 1997). Warna perikarp sering dikaitkan dengan kandungan tanin. Osuntogun (1989) mengelompokkan sorgum ke dalam empat golongan berdasarkan kandungan taninnya. Golongan pertama adalah sorgum putih dengan kandungan tanin 0,25 - 0,46%, sorgum kuning dengan kandungan tanin 0,25 0,30%, sorgum krem dengan kandungan tanin 0,26 - 0,67%, dan sorgum merah dengan kandungan tanin 0,45 - 2,92%. Nyachoti et al. (1997) juga mengelompokkan sorgum berdasarkan tipe genetik yang berkaitan dengan warna sorgum. Sorgum tipe I merupakan sorgum yang tidak memiliki warna atau tanin pada bagian testa, yang mana kandungan taninnya kurang dari 0,25%. Sorgum tipe II merupakan sorgum yang memiliki warna pada testa dengan gen resesif (ss-) dangen B1-B2, serta memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 - 1,5%. Sorgum tipe III merupakan sorgum yang memiliki warna pada perikarp dengan gen yang dominan (S_) dan gen B1-B2, serta memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 – 6%. Sorgum tipe III yang memiliki kandungan tanin yang tinggi akan berwarna lebih gelap dibandingkan sorgum tipe I dan II. Sorgum tinggi tanin adalah sorgum yang memiliki kandungan tanin sebesar 10,0 - 68,0 mg/g berat bahan, sedangkan sorgum rendah tanin hanya memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 - 3,8 mg/g berat bahan (Awika dan Rooney 2004). Rooney (2005) menyatakan bahwa sorgum dengan kandungan tanin di bawah 0,6% baik untuk digunakan sebagai produk pangan. Kandungan tanin hingga 10% pada bahan pangan belum menimbulkan adanya masalah kesehatan, walaupun sudah mengurangi penyerapan nutrisi. Adanya tanin dalam bahan pangan sebesar 5 – 30 % diketahui akan menimbulkan masalah dalam efisiensi penyerapan nutrisi (Osuntogun 1989).
2.1.2 Komposisi Kimia Sorgum Kandungan pati biji sorgum pada bagian endosperma adalah sebesar 83%, pada bagian lembaga sebesar 13,4% dan 8,3% pada bagian kulit biji.
9
Kandungan pati tersebut bervariasi antara 68 – 73%. Pati biji sorgum beras (non-waxy sorghum) mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin, sedangkan pada biji sorgum ketan (waxy sorghum) kandungan patinya sebagian besar merupakan amilopektin dan 1-2% sisanya adalah amilosa (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Kandungan lemak pada biji sorgum berkisar antara 2,1 - 4,3%, namun rata-rata 3,6%. Distribusi lemak meliputi asam linoleat 49%, asam oleat 31%, asam palmitat 14%, asam linolenat 2,7%, dan asam stearat 2,1%. Lemak terdapat pada bagian lembaga, perikarp, dan aleuron yang jumlahnya sebesar 3 - 5%. Bagian lembaga mengandung lebih dari 79% lemak dari biji sorgum (Rooney et al. 1992). Tabel 1 Variasi komposisi kimia sorgum varietas kawali pada lama sosoh yang berbeda Komposisi kimia (% bk) Air Protein Lemak Abu Karbohidrat(by difference) Serat pangan: a. Serat pangan larut b.Serat pangan tidak larut c. Serat pangan total Pati dan gula (available carbohydrate) Sumber : Salimi (2012)
0 detik
20 detik
Lama sosoh 0 detik 20 detik 60 detik 12.53 12.42 12.03 8.91 8.59 7.49 4.14 1.98 1.61 1.36 0.83 0.28 73.06 76.18 78.58 2.39 6.44 8.83 64.23
2.52 4.23 6.75 69.43
60 detik
Gambar 3 Warna biji sorgum berdasarkan lama penyosohan
2.59 3.53 6.12 72.47
10
Protein dalam biji sorgum sama seperti protein serealia lainnya, yang terdiri atas albumin, globulin, prolamin, dan glutein. Protein biji sorgum dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu protein dalam lembaga dan protein dalam endosperma. Kandungan protein lembaga (18,9% bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dalam endosperma (12,3% bk). Kandungan protein sorgum pada berbagai varietas di Indonesia berkisar 6 – 10%. Asam amino yang terkandung dalam sorgum antara lain alanin, asam aspartat, glutamat, leusin, isoleusin, fenilalanin, tirosin, dan valin (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Penelitian ini menggunakan sorgum varietas Kawali. Varietas ini banyak dibudidayakan di daerah sentral sorgum, seperti Jawa dan Lombok. Adapun komposisi kimia sorgum varietas kawali dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data dari tabel terlihat bahwa semakin lama waktu penyosohan akan semakin menurunkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam sorgum (Salimi 2012).
2.1.3 Serat Pangan pada Sorgum Biji sorgum memiliki kandungan serat total sekitar 7,6-9,2%. Campuran polisakarida seperti pentosan sebesar 2,6-5,2% dari bobot biji kering terdapat dalam perikarp dan lembaga. Lapisan luar sorgum juga kaya akan selulosa, hemiselulosa, dan β-glukan (Waniska 2000).
Gambar 4 Struktur kimia β (1,3)(1,4)-D-glukan (Laroche & Michaud 2006) β-glukan merupakan rantai panjang molekul polisakarida yang tersusun dari monomer glukosa dengan ikatan β-glikosida. β-glukan yang diektraksi dari serealia tersusun atas ikatan 1,3 dan 1,4 glikosidik. Perbedaan β-glukan
11
dengan komponen dinding sel, seperti selulosa dan lignin, menyebabkan β(1,3)(1,4) glukan sangat larut air, sehingga dikelompokkan sebagai serat pangan larut air (soluble dietary fibre) (Laroche dan Michaud 2006). Adapun Gambar struktur kimia β-glukan dapat dilihat pada Gambar 4. Keberadaan βglukan pada sorgum sebagian besar berada di bagian dinding sel endosperma dan sub aleuron (Laroche dan Michaud 2006). Menurut Tosh et al. (2004), βglukan yang diisolasi dari sorgum memiliki berat molekul 3,6 x 104 g/mol. β-glukan merupakan komponen karbohidrat polisakarida non pati (non starch polisaccaride, NSP), yang memiliki peranan dalam pencegahan penyakit degeneratif, seperti diabetes dan kanker. β-glukan dapat berperan sebagai prebiotik yang mampu melindungi tubuh dari resiko kanker kolon. βglukan difermentasi menghasilkan metabolit yang bersifat protektif. Asam lemak rantai pendek, terutama asam butirat, sebagai hasil fermentasi dapat menstimulasi apoptosis pada alur sel kanker kolon (Gibson dan Roberfroid 1995).
2.1.4 Komponen Fitokimia Sorgum Sorgum mengandung komponen fitokimia yang menguntungkan bagi kesehatan, seperti tanin, komponen fenolik, antosianin, fitosterol, dan polikosanol (Awika dan Rooney 2004). Komposisi fitokimia sorgum terbagi atas dua golongan yaitu asam fenolik dan flavanoid yang dapat dilihat pada Tabel 2. Asam fenolik terdapat dalam bentuk bebas dan terikat pada lapisan luar biji perikarp, testa, dan aleuron. Asam fenolik terdiri atas dua golongan, yaitu hidroksibenzoat atau turunan sam benzoat dan hidroksinamat atau turunan asam sinamat. Asam fenolik yang paling banyak terdapat pada sorgum adalah jenis hidroksinamat seperi asam ferulat dan asam p-kaumarat (Dykes et al. 2005). Senyawa fenolik memiliki aktivitas biologis, seperti antialergi, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, dan kardioprotektif (Aberoumand dan Deokule 2008). Aktivitas antioksidan senyawa antioksidan di dalam tubuh ditentukan oleh struktur molekul, jumlah, dan posisi gugus
12
hidroksil pada cincin aromatis, serta keberadaan elektron tidak berpasangan pada senyawa intermediet fenolik yang yang terlibat delokalisasi elektron (Lugasi et al. 2003). Asam fenolik yang terikat umumnya membentuk sulfat konjugat atau berikatan membentuk ikatan disulfida dengan sulfat dan glukoronat seperti asam ferulat berikatan dengan arabinosilan. Asam ferulat tersebut dapat dihidrolisis menjadi asam ferulat bebas di dalam tubuh sehingga memiliki kapasitas antioksidan. Proses hidrolisis atau perubahan sulfat konjugat tersebut dikatalisis oleh aktivitas enzim fenolsulfotransferase (Manach et al. 2005). Tabel 2 Komposisi fitokimia sorgum Komponen Fitokimia Jumlah (µg/g bk) Asam hidroksi benzoat : ρ-hidroksibenzoat 15-36 Gallat 24-46 Protokatekin 24-141 Vanilin 8-50 Asam hidroksinamat : ρ-kaumarat 100-200 Kafeat 25-52 Ferulat 300-500 Sinapat 50-140 Flavonoid : Antosianin 0-2800 3-deoksiantosianidin 0-4000 Flavan-4-ol 0-1300 Proantosianidin 0-68000 Sumber : Awika dan Rooney (2004) dan Dicko et al. (2006)
Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas antioksidan yang kuat (Aberoumand dan Deokule 2008). Flavonoid terdiri atas antosianin, flavanol, flavon, flavanon, dan flavanol. Flavonoid termasuk kelompok benzo-γ-piron dengan struktur umum difenilpropan yang terdiri atas dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh tiga atom karbon membentuk heterosiklik teroksigenasi (Filipiak 2001).
13
Sorgum mengandung tanin kondensat polimer flavan-3-ol dengan berat molekul 500 dalton atau lebih. Keberadaan tanin dilaporkan dapat menghambat kandungan nutrisi. Tanin merupakan senyawa senyawa fenolik yang larut dalam air. Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), tanin memiliki kemampuan berikatan dengan protein, serta polimer lainnya seperti polisakarida. Tanin merupakan polimer dari flavonoid. Sebagian besar serealia mengandung tanin yang terkondensasi yang bentuk dasarnya berada dalam bentuk katekin (condensed tanin). Keberadaan tanin dalam biji sorgum telah lama diketahui dapat mengganggu fungsi asam-asam amino dan protein. Senyawa polifenol dan dan hasil oksidasinya diketahui dapat bereaksi dengan protein. Hasil reaksi ini akan menghasilkan (1) ikatan hidrogen antara gugus OH pada tanin dengan gugus reseptornya, misalnya NH, SH, dan OH pada protein; (2) ikatan ion antara gugus anion pada tanin dengan gugus kation pada protein; (3) ikatan cabang kovalen antara kuinon dan bermacam-macam gugus reaktif pada protein (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Di sisi lain, tanin merupakan salah satu fitokimia pada sorgum yang dapat memberikan manfaat kesehatan bagi manusia. Tanin sorgum dapat berperan sebagai antioksidan, bahkan beberapa dedak sorgum memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas antioksidan pada buah blueberry, plum, dan strawberry (Awika et al. 2004). Berdasarkan penelitian Awika et al. (2004) diketahui bahwa sorgum coklat paling berpotensi sebagai sumber antioksidan dibandingkan sorgum hitam, sorgum sumac, dan sorgum putih. Komponen fenolik pada serealia dianggap sebagai komponen yang paling berkontribusi terhadap kemampuan antioksidannya. Sorgum dan barley merupakan dua serealia yang diketahui mengandung komponen fenolik dalam jumlah yang signifikan (Dicko et al. 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Kamath et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak tepung sorgum memiliki kemampuan menangkal radikal DPPH secara signifikan.
14
2.1.5 Pemanfaatan Sorgum Sorgum merupakan serealia yang dapat tumbuh di berbagai keadaan lingkungan. Sorgum memiliki daya adaptasi yang luas, tahan terhadap kekeringan, memiliki produktivitas yang tinggi, serta lebih tahan hama dan penyakit bila dibandingkan dengan tanaman lain. Hal ini tentu saja menjadi keunggulan
sorgum,
yang
menjadikannya
sangat
potensial
untuk
dikembangkan dan dibudidayakan, terutama di daerah-daerah kering di Indonesia. Selain mudah dibudidayakan, sorgum juga mempunyai banyak manfaat, seperti digunakan sebagai pakan ternak, bahan baku industri makanan dan minuman, bahan baku untuk media jamur merang, industri alkohol, bahan baku etanol, dan sebagainya (Ditjentanpan 2006). Tidak seperti di Afrika, India, China, dan Amerika, pemanfaatan biji sorgum di Indonesia sebagai bahan pangan masih sangatlah terbatas. Di luar negeri, sorgum umumnya telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bubur, yang merupakan campuran sorgum, pear millet, maizena, dan serealia lainnya. Bubur tersebut dikenal dengan nama ugali di Kenya, Uganda, dan Tansania. Di Nigeria dan Ghana, bubur tersebut difermentasi menjadi produk yang disebut dengan ogi. Afrika Utara juga mengenal couscous yang merupakan bentuk granula hasil olahan pemansan pati sorgum. Selain itu, sorgum telah dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan mie di China, serta tortilla di Amerika (Leder 2004). Di
Indonesia,
telah
dilakukan
beberapa
penelitian
mengenai
pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan. Napitupulu (2006) mencoba memanfaatkan tepung sorgum sebagai bahan baku pembuatan biskuit marie yang dapat dikatakan sebagai sumber antioksidan. Untuk mengatasi ketergantungan akan beras yang tinggi, Adistya (2006) melakukan penelitian untuk membuat nasi sorgum yang memiliki IG (Indeks Glikemik) rendah yang cocok dikonsumsi untuk penderita diabetes. Selain itu, Sugianto (2011) melakukan pengembangan sereal sarapan siap santap berbasis sorgum yang menunjukkan respon penerimaan produk yang baik oleh konsumen. Produk snack bar berbasis sorgum juga berhasil dikembangkan oleh Rufaizah (2011)
15
dengan mutu organoleptik yang disukai, memiliki serat pangan tinggi, serta sebagai sumber Fe yang tepat untuk dikonsumsi remaja putri.
2.2 Kanker Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena pertumbuhan sel yang tidak normal dan berlangsung secara cepat. Jaringan kanker atau neoplasma merupakan massa jaringan abnormal akibat pertumbuhan sel secara otonom, tidak terkendali, tidak terkoordinasi, tidak mengikuti pola pertumbuhan normal, dan berproliferasi (Priosoeryanto 1994). Proliferasi sel yang sangat cepat akan menimbulkan terbentuknya benjolan pada organ yang disebut sebagai tumor. Tumor yang terbentuk akan menyebabkan gangguan dan bersifat patologis. Berdasarkan sifatnya, tumor dikelompokkan menjadi tumor benigna dan tumor malignan. Tumor benigna adalah tumor yang tidak dapat berkembang menjadi kanker, sedangkan tumor malignan adalah tumor yang dapat berkembang menjadi kanker dan dapat menyebar ke organ di sekitarnya (Cotran et al. 1994). Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut sangat dipengaruhi oleh komponen genetik. Satu sel yang termutasi akan menghasilkan displasia, dimana jaringan (organ) akan tampak berbeda dengan keadaan awalnya. Mutasi genetik penyebab kanker dapat muncul karena faktor eksternal dan internal. Sekitar 85% kejadian kanker disebabkan karena faktor eksternal melalui pola makan yang salah, polusi udara, radiasi, serta bahan-bahan kimia asing yang masuk ke dalam tubuh. Sisanya, kejadian kanker akibat faktor internal, yang diperkirakan sebanyak 15%, terjadi akibat kesalahan replikasi pada saat sel-sel rusak digantikan oleh sel-sel baru, atau kesalahan genetika yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya (Zakaria 2001). Faktor-faktor pemicu terjadinya penyakit kanker antara lain disebabkan karena kebiasaan makan yang tidak seimbang, merokok, stress, serta paparan sinar matahari yang berlebihan. Di dalam bahan pangan dapat terkandung senyawa pemicu kanker . Senyawa pemicu kanker tersebut (karsinogen) yang dapat muncul akibat adanya zat racun dalam bahan pangan itu sendiri, maupun hasil kontaminasi mikroorganisme, hasil proses pengolahan pangan, bahan tambahan pangan yang berbahaya, serta kontaminasi residu pestisida. Beberapa
16
jenis karsinogen yang ada dalam bahan pangan antara lain Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH), komponen Azo- dari pewarna sintetis, komponen N-nitroso seperti nitrosamin dan nitrosamida, serta mikotoksin (Rosenberg et al. 2009).
Senyawa karsinogen
Reaksi detoksifikasi (konjugasi, dsb)
Aktivitas metabolik Karsinogen utama Berikatan dengan DNA, inisiasi Perubahan DNA
Detoksifikasi selular (berikatan dengan nukleofil yang lain, dsb) Perbaikan DNA (DNA repair)
Replikasi Sel tumor laten Promosi Pembentukan tumor Progresi Tumor sangat ganas
Metastasis tumor Gambar 5 Skema tahapan karsinogenesis (Levi 2000) Adanya akumulasi karsinogen di dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya kerusakan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang merupakan awal terjadinya penyakit kanker. Neoplasma selanjutnya akan terbentuk akibat adanya gangguan pertumbuhan dengan karakteristik sel yang berlebihan, abnormal, dan berproliferasi secara tidak terkontrol dari jaringan yang mengalami transformasi pada satu atau lebih tempat utama dalam tubuh inang. Kejadian tersebut seringkali
17
disertai dengan metastasis atau penyebaran pada bagian lain tubuh inang (Priosoeryanto et al. 1994). Perubahan sel normal menjadi sel kanker terjadi melalui beberapa tahapan karsinogenesis, yaitu inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis. Tahapan karsinogenesis dari suatu sel dapat dilihat pada Gambar 5. Tahapan ini dimulai ketika terjadi perubahan gen dalam kromosom, dimana gen target adalah protoonkogen dan gen penekan tumor (Levi 2000). Proto-onkogen adalah gen yang merangsang pembelahan sel, sedangkan gen penekan tumor adalah gen yang menghalangi pembelahan sel. Adanya mutagen menyebabkan proto-onkogen berubah menjadi onkogen. Onkogen adalah proto-onkogen yang tumbuh secara tidak terkendali. Keadaan dimana kurangnya gen penekan tumor dan tingginya aktivitas proto-onkogen seringkali menyebabkan terjadinya kanker (Hill dan Petruci 2002). Tahapan inisiasi merupakan tahap dimana senyawa pemicu kanker yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan DNA dan menyebabkan terjadinya mutasi. Tahapan inisiasi merupakan proses yang berlangsung cepat dan reversibel. Sel yang terpapar karsinogen (inisiator) akan menjadi sel yang terinisiasi, yang selanjutnya akan mengalami mutasi yang menghasilkan perubahan ekspresi gen (Cotran et al. 1994). Perubahan mutasi gen terjadi karena ekspresi protein berubah akibat perubahan urutan DNA sel yang mengalami transformasi. Akibatnya terjadi pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terkoordinasi, tidak terkendali, dan pembelahan terjadi secara otonom. Tahapan ini bersifat reversibel dan disebut dengan promosi (Cotran et al. 1994). Tahapan selanjutnya adalah progresi, dimana tumor jinak tumbuh menjadi tumor yang sangat ganas, serta mengalami perubahan genetik yang irreversibel (Levi 2000). Proses penyebaran sel tumor ganas atau metastasis seringkali didahului dengan invasi sel tumor ke jaringan sekitar. Invasi adalah proses penetrasi sel tumor ke dalam jaringan yang berbeda dengan sel tumor tersebut. Sel tumor yang bersifat invasif dan metastasis akan menghasilkan enzim protease untuk penghancuran protein dari membran basalis. Proses penghancuran ini sangat dipengaruhi oleh peran degradasi jaringan kolagen. Hal ini dikarenakan invasi
18
berkaitan dengan proses infiltrasi pada membran basalis yang terdiri atas jaringan kolagen dan nonkolagen (Soejono et al. 2005). Metastasis merupakan mekanisme multitingkatan, yang dimulai dengan pelepasan sel tumor dari tumor primer, penetrasi ke jaringan sekitar, invasi ke pembuluh darah limfatik dan pembuluh darah, hingga akhirnya menuju suatu organ dimana tumor sekunder akan tumbuh. Pada tahapan ini, terjadi peredaran metastase (koloni sel kanker) ke berbagai bagian tubuh. Metastase mengkoloni jaringan baru, meningkatkan jumlah, dan ukurannya (sel yang bermigrasi akan tetap mempertahankan sifat jaringan dimana dia diproduksi). Terjadinya metastasis yang semakin meluas akan menyebabkan penyakit tumor yang semakin sulit diobati dan menjadi buruk atau tidak dapat disembuhkan (Soejono et al. 2005).
2.3 Kanker Kolon Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan usus besar. Kebanyakan kanker kolon berawal dari sel yang tidak ganas yang disebut adenoma yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium ini, polip dapat diangkat dengan mudah. Adenoma seringkali tidak menunjukkan gejala tertentu, sehingga tidak terdeteksi dalam waktu relatif lama. Pada kondisi tertentu, adenoma tersebut dapat berpotensi menjadi kanker yang dapat terjadi pada semua bagian kolon (Gryfe et al. 1997). Kanker kolon berkembang dari rangkaian perubahan histologi yang nyata dari adenoma menjadi karsinoma. Penelitian terakhir menjelaskan model multitahap kanker kolon melalui jalur-jalur yang saling berkaitan, yang melibatkan banyak mutasi gen. Gen-gen yang mengalami mutasi pada berbagai tahap dari perkembangan kanker kolon meliputi gen suppresor tumor, protoonkogen, gen perbaikan DNA, gen faktor pertumbuhan dan reseptornya, gen checkpoint siklus sel, serta gen yang berhubungan dengan apoptosis (Suzuki et al. 2006). Mutasi pada salah satu gen tersebut sudah dapat menyebabkan inisiasi dan transformasi sel epitel kolon normal. Akumulasi lebih lanjut dari mutasi gen yang lain menyebabkan progresi yang mencapai adenoma dan karsinoma, yang
19
selanjutnya akan mencapai tahap metastasis. Selama terjadi akumulasi perubahan genetik, sinyal kompleks terjadi pada jalur aktivasi dan inaktivasi sel. Beberapa jalur sinyal menuju apopotosis yang kemudian hilang dari sel normal, sedangkan beberapa diantaranya lolos dari proses seleksi dan bertahan diantara sel normal sehingga terhindar dari apoptosis. Setelah terjadi ekspansi klonal, sel tunggal yang mengalami modifikasi genetik berkembang menjadi sel tumor (Hamilton et al. 2000). Adapun tahapan karsinogenesis kanker kolon dapat dilihat pada Gambar 6. Perkembangan kanker kolon dimulai dengan perubahan pada gen APC (Adenopoliposis Coli). Gen ini menyandikan suatu protein yang berfungsi sebagai penekan tumor untuk mengatur pembelahan sel-sel epitel usus. Mutasi pada gen APC menyebabkan kerusakan genetik yang menyebabkan aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen penekan tumor DCC dan p53, yang mengakibatkan pembelahan sel yang tidak terkontrol (Powell et al. 1993).
Gambar 6 Skema karsinogenesis kanker kolon (Powell et al. 1993)
Faktor diet banyak dikaitkan dengan resiko kejadian kanker kolon, misalnya tingginya konsumsi daging merah, rendahnya konsumsi sayur dan buah, serta diet rendah serat. Penelitian yang dilakukan oleh Chao et al. (2005) menunjukkan bahwa konsumsi daging merah lebih beresiko terhadap penyakit ini dibandingkan konsumsi unggas dan ikan. Hal ini dikaitkan dengan efek sitotoksisitas dari dietary heme yang berpotensi meningkatkan resiko kanker kolon, yang mana
20
jumlah heme pada daging merah lebih banyak dibandingkan pada unggas dan ikan. Heme meghancurkan mukosa kolon dan mestimulasi proliferasi epitelial pada hewan percobaan. Konsumsi daging merah diketahui meningkatkan konsentrasi senyawa-senyawa N-nitroso pada fekal dan mengakibatkan DNA adducts pada kolonosit manusia (Cross et al. 2003). Di sisi lain, konsumsi serat pangan mampu menurunkan 40% resiko kanker kolon dibandingkan diet rendah serat (Heavey et al. 2004). Obesitas merupakan salah satu faktor penting terhadap kejadian kanker kolon. Hal ini didasarkan pada tren yang terjadi di Amerika Serikat, bahwa terdapat hubungan yang kuat antara BMI (Body Mass Index) dengan resiko kanker kolon. BMI merupakan rasio berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter). Seseorang yang tergolong obesitas dengan BMI ≥ 30 kg/m2 mengalami peningkatan resiko perkembangan kanker kolon dibandingkan seseorang dengan BMI normal, yaitu 18,5-24,9 kg/m2 (Nock et al. 2008). Penelitian eksperimental mengenai karsinogenesis kolon pada manusia telah dilakukan sejak 80 tahun yang lalu. Dalam mempelajari patogenesis dan karsinogenesis kanker kolon, banyak digunakan mencit sebagai hewan coba. Keuntungan mempelajari patogenesis kanker kolon yang diinduksi pada model mencit percobaan, antara lain induksi berlangsung cepat, dapat diulangi (reproducible), dan dapat menggambarkan proses perubahan adenoma ke karsinoma yang terjadi pada manusia (Neufert et al. 2007). Azoksimetana (AOM) merupakan karsinogen genotoksik kolon yang banyak digunakan untuk investigasi terjadinya patogenesis dan modifikasi karsinogenesis kolon pada rodensia (Hata et al. 2004). Untuk terjadinya proses karsinogenesis, AOM membutuhkan aktivasi metabolik (Gambar 7). AOM mengalami proses detoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal. Cytochrome P450 (CYP) diketahui berperan penting dalam modulasi metabolisme xenobiotik. CYP 2E1 adalah salah satu faktor penting dalam mengubah AOM menjadi methylazoymethanol (MAM) melalui beberapa tahap N-oksidasi dan hidroksilasi (Suzuki et al. 2006).
21
MAM selanjutnya dapat dioksidasi melalui reaksi alkilasi makromolekul oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase), enzim sitosol yang terdapat pada hati, ginjal, dan
kolon, yang selanjutnya menghasilkan radikal reaktif metildiazonium.
Metabolit reaktif ini bersifat elektrofilik yang mampu berkonjugasi dengan DNA, menghasilkan metilasi basa DNA pada posisi O6 atau N7 pada guanin (O6-metildeoksiguanosin dan N7-metil-deoksiguanosin). Mukosa kolon menjadi target AOM karena kestabilan dari metabolit hasil hidroksilasi MAM memiliki waktu paruh sekitar 12 jam sehingga memiliki cukup waktu untuk berdistribusi ke kolon (Roosenberg et al. 2009).
Gambar 7 Metabolisme azoksimetana (AOM) (Roosenberg et al. 2009)
Karsinogen lain yang digunakan dalam model percobaan kanker kolon adalah Dekstran Sodium Sulfat (DSS). DSS, polisakarida sulfat sintesis, merupakan karsinogen kolon yang nongenotoksik yang juga sering digunakan untuk menyebabkan terjadinya peradangan (colitis) pada rodensia, yang menujukkan model terjadinya ulcerative colitis pada manusia (Suzuki et al. 2006). Kanker kolon sangat berkaitan dengan Inflamatory Bowel Disease (IBD), termasuk ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi mukosa kronis secara berulang akan menghasilkan tumorigenesis melalui berbagai mekanisme, yaitu induksi mutasi, peningkatan proliferasi sel
22
kripta, perubahan metabolisme sel kripta, perubahan sirkulasi enterohepatik asam empedu, dan mikroflora (Itzkowtz dan Yio 2004). Perbedaan strain mencit percobaan diketahui memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap xenobiotik. Suzuki et al. (2006) melakukan percobaan untuk menguji sensitivitas beberapa strain mencit terhadap induksi AOM/DSS. Induksi AOM secara tunggal menunjukkan bahwa strain Balb/c dmerupakan strain yang paling sensitif, sedangkan strain C3H, C57Bl/6J, dan DBA/2 kurang sensitif. Strain Balb/c, C3H, dan C57Bl/6J merupakan strain yang cukup sensitif terhadap pemberian DSS secara tunggal, sedangkan strain C57Bl/6J adalah strain yang paling resisten. Induksi gabungan karsinogen AOM/DSS menunjukkan bahwa urutan sensitivitas strain adalah Balb/c > C3H > C57BL/6N > DBA/2N. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam terjadinya resiko kanker.
2.4 Peranan Serat Pangan terhadap Pencegahan Kanker Kolon Serat pangan diketahui memiliki efek fisiologis pada saluran pencernaan, sehingga dapat memberikan efek protektif terhadap kanker. Secara umum serat pangan dianggap hanya berperan paling aktif dalam usus besar, namun serat juga mampu mempengaruhi hormon-hormon di atas saluran pencernaan (Slavin 2007). Misalnya saja insulin yang selama ini diketahui sangat berhubungan dengan penyakit diabetes, ternyata juga berkaitan dengan resiko kanker payudara dan kanker kolon. Adapun mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon dapat dilihat pada Tabel 3. Mekanisme lain penghambatan kanker kolon oleh serat pangan juga telah diteliti dengan menggunakan hewan percobaan. Reddy et al. (1989) melaporkan bahwa konsentrasi asam empedu pada feses serta aktivitas mutagenik feses menurun signifikan selama suplementasi dengan dedak bila dibandingkan kontrol. Penelitian
pada
manusia
menunjukkan
bahwa
pasien
kanker
kolon
mengeksresikan lebih banyak asam empedu sekunder dan memiliki aktivitas enzim 7-α-dehydroxylase yang dihasilkan oleh mikroflora dalam kolon yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sehat. Enzim 7-α-dehydroxylase mengubah asam empedu primer, seperti asam kolat dan asam kenodeoksikolat, menjadi asam
23
deoksikolat dan asam litokolat. Penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa asam empedu sekunder tersebut dapat menyebabkan perubahan sel, peningkatan kadar poliamin pada epitelial kolon, dan menjadi promotor terjadinya kanker kolon (Reddy et al. 1996). Tabel 3 Mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon a. Meningkatkan volume feses Menurunkan waktu transit Melarutkan karsinogen b. Berikatan dengan asam empedu dan karsinogen potensial lainnya c. Menurunkan pH feses Mencegah degradasi konstituen pangan normal menjadi karsinogen potensial oleh mikroba d. Merubah komposisi mikroflora e. Fermentasi oleh fekal flora menghasilkan asam lemak rantai pendek Menurunkan pH kolon Penghambatan karsinogen f. Meningkatkan antioksidan lumenal g. Meningkatkan sensitivitas insulin Sumber : Slavin (2007) Trock et al. (1990) melakukan analisis terhadap 37 studi epidemiologi mengenai pengaruh pemberian serat, sayuran, biji-bijian, dan buah-buahan secara tunggal maupun campuran terhadap resiko terjadinya kanker kolon. Secara umum, 80% dari penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat efek perlindungan dari serat pangan terhadap kanker kolon. Howe et al. (1992) menyatakan bahwa resiko kanker kolon terlihat menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan. Konsumsi lebih dari 31 gram serat per hari akan setara dengan penurunan 50% resiko kanker kolon bila dibandingkan dengan diet yang hanya mengandung kurang dari 11 gram serat per hari. Resiko kanker kolon di Amerika Serikat dierkirakan dapat diturunkan 31% dengan konsumsi serat sebanyak 13 gram per hari.
24
Giovannucci (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara resistensi insulin dengan kasus kanker kolon. Diet kaya lemak dan energi, serta rendah karbohidrat kompleks diperkirakan mampu menyebabkan resistensi insulin yang berujung pada terjadinya hiperinsulinemia, hipertrigliseridemia, dan glikemia. Keadaan ini akan meningkatkan resiko kanker kolon melalui efek pendukung pertumbuhan
(growth-promoting
effect)
dari
insulin
dan
meningkatkan
ketersediaan energi. La Vecchia et al. (1997) berpendapat bahwa kanker kolon juga berhubungan dengan diabetes mellitus pada studi kasus masyarakat Italia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan diabetes yang tidak tergantung pada insulin (non-insulin-dependent) memiliki resiko terkena kanker kolon yang sangat sedikit. Komponen pangan dan produk pencernaannya sangat berkaitan dengan sistem imun pada usus (gut-associated lymphoid tissue, GALT). Meskipun ada beberapa zat gizi yang diketahui penting dalam perkembangan dan fungsi sistem imun, potensi serat pangan terkait sistem imun masih belum banyak diketahui. Adapun beberapa penelitian mengenai efek serat pangan terhadap sistem imun dapat dilihat pada Tabel 4. Hingga saat ini, mekanisme serat pangan dalam kaitannya dengan peningkatan sistem imun masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa hipotesis yang diharapkan mampu menjelaskan kaitan serat terhadap fungsi imun. Mekanisme tersebut antara lain: adanya kontak langsung antara bakteri asam laktat atau produk bakteri dengan sel-sel imun pada usus, adanya produksi asam-asam lemak rantai pendek dari hasil fermentasi serat pangan, serta modulasi pembentukan lendir (musin) (Schley dan Field 2002). Karena konsumsi serat pangan dapat mempengaruhi mikroflora dalam kolon, maka sering diasumsikan bahwa konsumsi serat pangan akan memiliki efek yang sama dengan manfaat probiotik terhadap fungsi imun. Mekanisme stimulasi imun diperkirakan disebabkan adanya kontak langsung antara bakteri asam laktat di dalam kolon dengan sistem imun di dalam usus (gut-associated lymphoid tissue, GALT). Sejumlah kecil bakteri asam laktat tersebut mampu melewati epitel usus menuju ke Peyer’s patch yang akan menginduksi terjadinya aktivasi sel-sel imun yang lainnya (Schiffrin et al. 1995). Mekanisme ini
25
ditunjang dengan adanya penelitian in vitro yang menunjukkan bahwa sel makrofag mengalami peningkatan produksi nitrit oksida, H2O2, IL-6, dan TNF-α setelah dikultur bersamaan dengan bifidobakteria (Park et al. 1999). Tabel 4 Efek imunomodulator dari berbagai jenis serat pangan Serat
β-glukan oat 3 mg/ 48 jam Campuran oligofruktosa, beet pulp, dan gum arab (7-8 g/kg) Glukomannan, cefur, laktulosa, atau curdian 5 w/w
Diet/ serat kontrol
Subjek
Efek imunitas
Referensi
Diet tidak spesifik
Mencit C57BL/ 6
me↑ sel pensekresi IFN-γ dan IL-4 pada limpa dan MLN me↑ antigen spesifik IgA usus
Yun et al. 1998
Selulosa 3-8 g/kg
Anjing monrel dewasa
me↑ sel CD8+ pada PP, LP, IEL
Field et al. 1999
Selulosa 5 w/w
Tikus Sprague Dawley
me↑ sel IgA-positif pada sekum (cefur, laktulosa)
Kudoh et al. 1999
me↑ IgA pada limpa dan MLN (semua serat) Guar gum, me↑ IgG pada limpa Tikus Yamada pektin, atau Selulosa 5 (glukomannan, pektin) Sprague et al. glukomannan 5 w/w dan MLN (semua serat) Dawley 1999 w/w me↑ serum IgA (semua serat) dan IgM (glukomannan) me↑ makrofag sekum dan Anak Kaufhold Oligofruktosa Selulosa 5 kolon sapi et al. 10 g/ hari w/w me↑ eosinofil granulosit Veal 2000 pada darah Serat sugar beet Diet bebas Tikus me↑ CD8+ IEL pada Nagai et 10 w/w serat Wistar kolorektal al. 2000 Ket. : IEL : Intraephitelial Limphocytes, PP : Peyer’s Patches, MLN : Mesenteric Lymph Nodes, Ig : Immunoglobulin, IFN Interferon, IL : Interleukin
Sumber : Schley dan Field (2002) Selain mekanisme tersebut, ada pula pendapat dari peneliti lain yang menyatakan bahwa bukan bakteri, melainkan substansi mikrobial dari bakteri (antigen sitoplasmik, komponen dinding sel) yang mampu berpenetrasi ke dalam epitel usus untuk mengaktifkan GALT (Takahashi et al. 1998; Tejada-Simon et
26
al. 1999). Komponen sitoplasmik dari bakteri juga dikatakan mampu memberikan efek terhadap sistem imun, yakni meningkatkan produksi IgA oleh sel-sel Peyer’s patch (Takahashi et al. 1998). Produksi ALRP, terutama butirat, mampu menurunkan kebutuhan sel epiteliel akan glutamin. Akibatnya, glutamin yang ada akan lebih banyak dimanfaatkan oleh sel-sel lain, termasuk sel-sel imun (Jenkins et al. 1997). Hipotesis ini didukung oleh pendapat Wu et al. (1991) yang menyatakan bahwa glutamin merupakan sumber penting untuk sel limfosit. Mekanisme fermentasi serat pangan terhadap fungsi imun juga diperkirakan terjadi karena adanya produksi lendir. Adanya lendir yang menutupi saluran pencernaan dapat mencegah penempelan dan translokasi bakteri pada dinding usus (Katayama et al. 1997). Pada studi hewan model yang diberi serat pangan, terlihat bahwa lendir yang diproduksi semakin banyak, yang selanjutnya akan menurunkan insiden translokasi bakteri (Xu et al. 1998). Peningkatan produksi lendir ini terjadi karena adanya penurunan pH akibat produksi ALRP. Hal ini ditunjang penelitian Barcelo et al. (2000) yang menyatakan bahwa terjadi stimulasi pelepasan lendir pada kolon tikus percobaan akibat adanya produksi asam asetat dan butirat dari hasil fermentasi pektin, gum arab, dan selulosa. Hanya saja jenis serat pangan mempengaruhi kemampuannya untuk dapat difermentasi oleh bakteria kolon. Kemampuan terfermentasi dari polisakarida non pati (non stacrh polysaccharide, NSP) sangat tergantung dari sifat fisikokimianya. Serat pangan larut, seperti pektin dan β-glukan, dapat lebih mudah difermentasi dibandingkan serat pangan tidak larut, seperti selulosa (Nyman dan Ang 1982). CMC (Carboxymethyl Cellulose) merupakan selulosa yang telah dimodifikasi dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat pada beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang membentuk tulang punggung selulosa. CMC diproduksi dengan cara menggabungkan selulosa dengan larutan NaOH. Selulosa alkali ini kemudian direaksikan dengan Na-monokloroasetat atau asam monokloroasetat menghasilkan Na-CMC (yang sering dikenal sebagai CMC) dan NaCl. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya, CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air. CMC sebagai
27
turunan selulosa memiliki kemampuan terfermentasi oleh bakteria kolon yang rendah (Metzler-Zebeli et al. 2010). 2.4.1 Pembentukan Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Fermentasi serat pangan pada saluran pencernaan akan memberikan efek fisiologis yang paling penting dalam pencegahan kanker kolon. Fermentasi karbohidrat di dalam kolon akan menghasilkan asam lemak rantai pendek (ALRP) yang membantu menjaga integritas saluran pencernaan (Topping dan Clifton 2001). Lebih dari 75% serat pangan dipecah dalam usus besar, menghasilkan karbon dioksida, hidrogen, methana, dan ALRP seperti butirat, propionat, dan asetat. Pola pembentukan ALRP dari fermentasi beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal manusia secara in vitro dan in vivo (sekum tikus) dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Cummings dan MacFarlane (1997), jika sekitar 20 gram serat difermentasi pada kolon setiap hari, maka kurang lebih sebanyak 200 mM ALRP yang akan diproduksi, jumlah tersebut meliputi 62% asetat, 25% propionat, dan 16% butirat. Mekanisme penyerapan ALRP oleh kolon yakni melalui difusi pasif dari asam yang tidak terionisasi menuju sel mukosa. ALRP merupakan sumber energi bagi mukosa kolon dalam sistem respiratori. Pada sel kolon manusia yang diisolasi, butirat dimetabolisme secara aktif menjadi CO2 dan keton bodi, yang setara dengan konsumsi 80% oksigen oleh sel kolon. Butirat hampir seluruhnya dimanfaatkan oleh mukosa kolon, sedangkan asetat dan propionat masuk ke dalam sirkulasi portal. Meskipun ALRP yang diserap dari kolon dapat digunakan sebagai sumber energi, namun ALRP hanya berkontribusi sedikit (10%) dari total energi yang dibutuhkan oleh individu sehat dengan diet Western. Mukosa kolon
mendapatkan
energi
dengan
mengoksidasi
ALRP
dengan
kecenderungan butirat > propionat > asetat. ALRP yang dimetabolisme kemudian masuk ke dalam portal darah hati (hepatic portal blood). Asam asetat digunakan oleh hati untuk diubah menjadi Asetil-KoA, yang dapat berperan sebagai prekursor lipogenesis serta menstimulasi glukoneogenesis (Calusen dan Mortensen 1994).
28
Tabel 5 Pola pembentukan asam lemak rantai pendek (ALRP) dari fermentasi beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal manusia secara in vivo dan in vitro Karbohidrat Komponen penyusun
β-Glukan
Butirat
61
25
14
Tikus
61
20
19
In vitro 48 h
69
15
15
Tikus
43
31
26
In vitro 24 h
Mannosa,
62
27
11
Tikus
galaktosa
57
29
13
In vitro 24 h
Fruktosa
57
16
27
Tikus
51
14
35
In vitro 24 h
Glukosa,
91
7
2
Tikus
galaktosa
80
13
7
In vitro 24 h
Asam ga-
80
13
7
Tikus
lakturonat,
80
11
9
In vitro 24 h
Fruktosa,
69
15
15
Tikus
glukosa
63
12
25
In vitro 24 h
Glukosa
53-73
13-25
8-28
Tikus
38-66
12-26
22-36
In vitro 24-
Glukosa
Glukosa
(barley, oat) Guar gum
Inulin
Laktosa
Pektin
Model
Asetat Propionat
karbohidrat Selulosa
Distribusi molar ALRP (%)
rhamnosa, galaktosa, arabinosa Rafinosa
Pati
28 h
Sumber : Henningson et al. (2001) Fermentasi karbohidrat di kolon juga diketahui mampu mempengaruhi metabolisme karbohidrat. Barley yang mengandung karbohidrat tidak tercerna yang tinggi mampu meningkatkan ketahanan terhadap glukosa pada individu sehat, dibandingkan dengan beras yang hanya mengandung sedikit karbohidrat tak tercerna. Efek ini terkait dengan peran asam propionat. Propionat dimetabolisme dalam hati, serta diketahui mampu menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan glikolisis. Propionat juga dikatakan
29
mencegah
kolesterogenesis di hati, sehingga mampu menurunkan
konsentrasi kolesterol plasma (Wolever 1995). Butirat diketahui merupakan agen protektif paling penting dalam pencegahan kanker kolon (Valazquez et al. 1996). Butirat memberikan sumber energi utama bagi epetelial kolon normal dan menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon. Sebaliknya, butirat akan menghambat pertumbuhan serta menginduksi terjadinya diferensiasi dan apoptosis alur sel kanker kolon. Karena ALRP bersifat volatil, maka akan dengan mudah diserap dari lumen. Akibatnya, ALRP akan mengasamkan saluran pencernaan, yang akan menghambat perkembangan kanker kolon. Hal ini dikarenakan perubahan pH dalam saluran pencernaan akan mempengaruhi kelarutan metabolit serta aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri (Fujisawa dan Mori 1997). 2.4.2 Aktivitas Enzim β-glucoronidase Dari hasil studi populasi mengenai kejadian penyakit kanker kolon diketahui bahwa populasi yang beresiko tinggi memiliki konsentrasi steroid fekal netral dan asam yang lebih tinggi dibandingkan populasi beresiko rendah. Pada populasi beresiko tinggi, steroid fekal tersebut cenderung akan lebih banyak terdegradasi. β-Glucoronidase merupakan enzim yang diproduksi oleh bakteria kolon, yang diketahui aktivitasnya yang lebih tinggi pada pasien kanker kolon atau golongan dengan resiko kanker kolon yang tinggi. Kelompok yang beresiko tinggi terkena kanker kolon tersebut, antara lain : masyarakat Amerika dengan mixed Western diet serta pasien polip adenoma (Ross dan James 1981). Penelitian menggunakan hewan model menunjukkan pemberian inulin pada tikus mampu menurunkan aktivitas β-glucoronidase pada mikrobiota usus (Humblot 2004). Hasil penelitian lainnya menyatakan adanya korelasi antara efek proteksi serat pangan terhadap terjadinya kanker kolon akibat induksi karsinogen dengan menurunnya aktivitas β-glucoronidase. Rowland (1998) menyatakan bahwa penggunaan kombinasi B. longum dan inulin mampu menurunkan pembentukan kripta aberan (abberant crypt foci) sebesar 59% pada tikus percobaan yang diinduksi azoxymethane.
30
Penggunaan kombinasi tersebut terlihat mampu menurunkan aktivitas βglucoronidase pada isi sekum tikus secara signifikan. Secara umum dikatakan oleh Humblot et al. (2007) bahwa pada penderita kanker kolon akibat rendahnya asupan serat terjadi peningkatan aktivitas β-glucoronidase pada mikrobiota usus. β-glucoronidase merupakan enzim yang penting dalam hidrolisis glukoronida billirubin, produk konjugasi hasil detoksifikasi oleh hati dan bersifat non karsinogen, melepaskan karsinogen bebas. Azoksimetana (AOM) yang diinjeksikan secara intraperitoneal pada mencit selanjutnya akan mengalami hidroksilasi oleh sistem monooksigenasi mikrosomal pada hati. Cytochrome P450 (CYP) diketahui berperan penting dalam modulasi metabolisme xenobiotik, dimana CYP 2E1 merupakan salah satu faktor penting dalam mengubah AOM menjadi methylazoymethanol (MAM). MAM yang terbentuk selanjutnya akan dikonjugasi dengan asam glukoronat yang akan dikeluarkan ke usus bersama dengan asam empedu. MAMGlcUA
(methylazoxymethanol-glucosiduronic
acid
atau
methyl-
azoxymethanol glucuronide) sebagai produk hasil konjugasi dapat dihidrolisis oleh β-glucoronidase yang akan menghasilkan MAM bebas. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan lokalisasi konsentrasi MAM bebas yang tinggi pada mukosa kolon. MAM bebas selanjutnya dioksidasi melalui reaksi alkilasi makromolekul oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase), enzim sitosol yang terdapat pada hati, ginjal, dan
kolon, menghasilkan ion
alkylating methyl carbonium. Ion tersebut bersifat hidrofilik dan mampu berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi DNA tersebut merupakan awal dari karsinogenesis kolon (Takada et al. 1982, Rosenberg et al. 2009). Aktivitas enzim ini telah ditemukan pada beberapa bakteri usus, seperti C. perfringens dan E. coli (Fujisawa dan Mori 1997). Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa aktivitas enzim ini lebih tinggi pada bagian proksimal kolon (Takada et al. 1982). Pengukuran pada feses penderita kanker kolon menunujukkan adanya aktivitas β-glucoronidase yang 12 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol yang sehat. Oleh karena itu, Jenab dan
31
Lilian (1996) menyatakan enzim ini memiliki peranan penting dalam perkembangan kanker kolon. 2.4.3 Aktivitas Enzim Kaspase-3 Apoptosis merupakan kematian sel secara terprogram yang normal terjadi untuk menyingkirkan sel-sel yang rusak. Terjadinya apoptosis ditandai dengan adanya penggumpalan DNA, kondensasi, serta fragmentasi isi sel. Hal ini menyebabkan fagositosis sel yang terjadi tanpa induksi respon inflamasi. Baratawidjaja (2006) menyebutkan bahwa mekanisme ini juga terjadi pada proses eliminasi sel-sel kanker. Kaspase (cystein-dependent aspartate-specific proteases) merupakan enzim sistein protease yang berperan utama dalam jaringan sinyal apoptosis. Keberadaan enzim ini teraktivasi dalam sebagian besar peristiwa kematian sel secara apoptotik. Kaspase memiliki aktivitas katalitik yang ditentukan oleh residu sistein yang di dalamnya terdapat situs aktif pentapeptida yang sangat awet, yaitu QACRG. Kaspase melepaskan substratnya secara spesifik setelah residu aspartat (Asp) (Gewies 2003). Kaspase disintesis dalam sel dalam bentuk zimogen inaktif, yang disebut prokaspase. Hingga saat ini ditemukan 14 jenis kaspase pada manusia, yang mana kaspase-11 dan kaspase-12 hanya ditemukan pada mencit. Kaspase-1, kaspase-4, kaspase-5,
kaspase-11, dan kaspase-12
berperan utama dalam aktivasi proteolitik sitokin proinflamasi, namun mekanisme enzim-enzim tersebut dalam proses apoptosis masih belum diketahui secara pasti. Selanjutnya kaspase-2, kaspase-3, kaspase-6, kaspase-7, kaspase-8, kaspase-9, dan kaspase-10 telah diketahui berperan penting dalam mesin sinyal apoptosis (Gewies 2003). Kaspase-3 merupakan target biokimia dalam aplikasi sistem pemisahan enzim apoptosis. Kaspase-3 merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis, dengan sasaran morfologis berupa perubahan ukuran inti sel. Berbeda dengan sel yang sehat, sel yang mengalami apoptosis akan mengalami penyusutan ukuran inti sel yang pada akhirnya akan terfragmentasi (Foitzik et al. 2009).
32
Induksi terjadinya apoptosis oleh produk fermentasi serat di dalam kolon, yaitu asam butirat, merupakan salah satu mekanisme penting dalam pencegahan kanker kolon (Medina et al. 1997). Pada tahap inisiasi tumorigenesis asam butirat yang dihasilkan mampu meningkatkan apoptosis melalui produksi Reactive Oxygen Species (ROS). Selain itu, asam butirat juga mampu meningkatkan apoptosis pada tahap promosi karsinogenesis melalui
penurunan
Mitochondrial
Membran
Potential
(MMP),
meningkatkan aktivitas kaspase-3 dan translokasi sitokrom c dari mitokondria, yang selanjutnya akan mengarah pada hancurnya DNA sel terinfeksi kanker (Newton 2004).
2.4.3 Keberadaan Penanda Permukaan Sel Limfosit T helper (CD4) Sel limfosit terdiri atas dua sel yang mampu membuat kekebalan, yaitu sel B dan sel T. Sel B yang berkembang di sumsum tulang belakang berperan dalam fungsi imunitas humoral, sedangkan sel T yang berkembang di thymus berperan dalam fungsi imunitas seluler (Belanti 1993). Sel T tidak mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma, tetapi tumbuh menjadi sel yang mampu menghasilkan faktor yang merangsang reaksi perusakan seluler. Faktor-faktor ini meliputi faktor penghambat migrasi (migration inhibiting factor, MIF), faktor sitotaktik yang mampu menciderai segala macam jenis sel, interferon, interleukin, dan beberapa faktor lainnya. Zat-zat ini sebagian akan dilepas pada interaksi antara limfosit tersensitasi dengan antigen yang sesuai untuk menghancurkan sel asing (Kresno 1996). Belanti (1993) menyatakan bahwa di dalam thymus sel T akan sangat cepat membelah diri. Pembelahan ini tidak dipengaruhi oleh adanya antigen. Dalam pendewasaannya, sel T berdiferensiasi menjadi tiga populasi yang berbeda, yaitu sel T helper (Th), sel T supresor (Ts), dan sel T sitotoksik (Tc). Sel Th berfungsi dalam mempermudah pembentukan antibodi, sel Ts berfungsi menekan pembentukan antibodi, sedangkan sel Tc berfungsi menghancurkan sel sasaran secara spesifik. Sel T mengekspresikan reseptor sel T yang mampu mengenali antigen asing yang dipresentasikan oleh molekul Major Histocompatibility Complex
33
(MHC) pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Pada subpopulasi sel T, adanya sel T helper (Th) diidentifikasi melalui keberadaan glikoprotein membran CD4. Molekul CD4 mengenali antigen pada kompleks bersama molekul MHC kelas II, yang umum ditemukan pada APC makrofag dan sel-sel dendrit. Molekul CD4 mensekresikan sitokin yang akan mengaktifkan sel B dan sel T lainnya yang terkait dengan sistem imun non spesifik (innate) (Delves dan Roitt 2000a). Berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkan oleh molekul CD4, terdapat 4 jenis sel Th, yaitu 0,1,2, dan 3. Sel Th1 umumnya mempromosikan respon cell-mediated inflammatory, sedang sel Th2 mensuport respon antibodi/humoral, akan tetapi fungsi sel Th0 dan Th3 masih belum banyak diketahui (Delves dan Roitt 2000b). Sel Th (CD4) tidak bersifat sitotoksik bagi sel kanker, tetapi dapat berperan dalam respon antikanker dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan oleh sel Tc (CD8) menjadi sel efektor. Sel yang mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR (T-cell Receptor) dari sel T sitotoksik (sel T CD8) dan mengaktivasi sel Tc untuk menghancurkan sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper (CD4). Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I dan sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc. Hal ini akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc (CD8) (Delves dan Roitt 2000a). Serat pangan mampu mempengaruhi sistem imun dalam usus melalui pengambilan antigen dari saluran pencernaan oleh sel-M dari Peyer’s patches kemudian dipresentasikan pada sel-sel imun (Samuelsen et al. 2011). Peyer’s patches merupakan kumpulan dari folikel limfoid yang ditemukan pada mukosa dan sub mukosa usus halus. Patches ini
34
mengandung sel Th (CD4), sel Tc (CD8), sel B naif, sel plasma, makrofag, dan sel dendritik. Di atas Peyer’s patches terdapat sel epitelial khusus yang bernama sel-M yang bertugas mengendositosis, membawa, dan melepaskan antigen dari saluran pencernaan menuju Peyer’s patches, dengan cara presentasi antigen melalui Antigen Presenting Cell (APC) pada sel T dan sel B (Schley dan Field 2002). Hal ini menghasilkan produksi sitokin lokal yang meningkatkan jumlah sel T, sel B, antigen presenting cell, dan sel-sel imun lainnya (Samuelsen et al. 2011).
2.5 Peranan Fitokimia Sorgum terhadap Pencegahan Kanker Kolon Sorgum mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti senyawa fenolik, sterol, dan polistanol. Sterol diketahui mampu menurunkan penyerapan kolesterol, sedangkan polikostanol mampu menghambat sintesis kolesterol endogenus. Komponen fenolik, didefinisikan sebagai senyawa yang mengandung cincin benzen dengan satu atau dua grup hidroksil, yang dibedakan atas dua kelompok, yaitu asam fenolik (turunan asam sinamat dan dan benzoat) serta flavonoid (termasuk tanin dan antosianin). Adapun senyawa-senyawa tersebut terkonsentrasi pada bagian dedak sorgum (Dykes dan Rooney 2007). Sorgum dapat dikelompokkan berdasarkan penampakan dan kadar senyawa fenoliknya. Sorgum putih mengnadung sedikit fenol, yang sebagian besar merupakan asam fenolik terikat yang teresterifikasi pada dinding sel. Sorgum hitam mengandung kadar 3-deoxyanthocyanins tinggi, dengan bentuk
paling
umum
berupa
apigenidin
dan
luteolinindin.
3-
deoxyanthocyanins memiliki dua cincin aromatik yang dapat menstabilkan radikal bebas. 3-deoxyanthocyanins juga kekurangan grup hidroksil pada posisi 3 sehingga mampu meningkatkan kestabilannya pada pH tinggi (Awka et al. 2004). Sorgum coklat mengandung kadar tanin yang tinggi, sehingga menimbulkan rasa sepat. Sorgum coklat dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi jika dibandingkan dengan sorgum non-tanin. Tanin menunjukkan aktivitas antioksidan yang paling tinggi dibandingkan antioksidan alami lain secara in vitro. Hal ini dikarenakan tanin memiliki
35
banyak cincin aromatik dengan grup hidroksil sehingga mampu menstabilkan radikal-radikal bebas (Awika dan Rooney 2004). Komponen fitokimia pada sorgum dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, termasuk kemampuan antikanker. Komponen bioaktif tersebut merupakan bentuk yang tidak larut dan terikat pada dinding sel tanaman (Adom et al. 2004). Karena komponen dinding sel sulit untuk dicerna, sehingga mampu bertahan melewati proses pencernaan hingga akhirnya mencapai kolon. Terjadinya fermentasi serat pangan di dalam kolon akan melepaskan komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antioksidan. Komponen antioksidan tersebut selanjutnya akan menjebak senyawasenyawa oksidatif, sehingga mampu berperan dalam menjaga kolon dari terjadinya kanker (Vitaglione et al. 2004). Awika et al. (2009) menyatakan adanya korelasi aktivitas antioksidan dan antiproliferasi sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak sorgum yang mengandung tanin. Tepung sorgum varietas Kawali dengan penyosohan 20 detik dilaporkan oleh Yanuar (2009) memberikan hasil berupa produk yang dapat diterima oleh konsumen serta memiliki aktivitas antioksidan dan imunomodulator yang tinggi. Secara in vivo, tepung sorgum varietas Kawali yang disosoh selama 20 detik juga mampu meningkatkan enzim-enzim antioksidan, terutama superoksida dismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus yang diberi 50% tepung sorgum dan peningkatan sebesar 91% pada tikus yang diberikan 100% tepung sorgum (Puspawati 2009). Lewis (2008) membandingkan berbagai jenis sorgum, yakni sorgum putih, sorgum coklat, dan sorgum hitam terhadap pembentukan kripta aberan, aktivitas antioksidan endogenus (superoksida dismutase, SOD; katalase, CAT; glutathion peroksidase, GPx), serta indeks proliferatif dan apoptosis. Hal ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh jenis komponen bioaktif, karena ketiga jenis sorgum tersebut mengandung senyawa bioaktif utama yang berbeda. Sorgum putih mengandung asam fenolik, sogum coklat mengandung tannin, sedangkan sorgum hitam mengandung antosianin. Hasil penelitian Lewis (2008) menunjukkan bahwa total jumlah kripta aberan tampak paling rendah pada tikus yang diberi ransum sorgum coklat.
36
Dalam kaitannya dengan akvitas antioksidan endogenus, diet sorgum hitam menunjukkan total aktivitas SOD yang paling tinggi, diet sorgum putih paling meningkatkan aktivitas CAT, sedangkan semua jenis sorgum dapat menekan aktivitas GPx. Indeks proliferasi yang paling rendah terlihat pada tikus yang diberi sorgum hitam, sedangkan tikus yang diberi sorgum coklat memiliki indeks apoptosis yang paling tinggi.
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; Laboratorium Hewan Percobaan Seafast Center IPB; Laboratorium Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi (KRP), Fakulas Kedokteran Hewan IPB; dan Pusat Penelitian Pengembangan Ternak Bogor. Penelitian dilakukan selama sepuluh bulan, dari bulan Mei 2011 hingga Februari 2012.
3.2 Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian adalah biji sorgum varietas Kawali, yang diperoleh dari petani di Gunung Kidul, Jawa Tengah. Pakan standar terdiri atas kasein sebagai sumber protein, minyak kedelai sebagai sumber lemak, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai sumber serat, maizena dan sukrosa sebagai sumber karbohidrat, multivitamin (vitamin mix), dan campuran mineral (mineral mix). Vitamin mix (Fitkom) yang tiap tabletnya mengandung vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg, piridoksin 0,5 mg, niasin 10 mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12 0,5 mg, vitamin C 25 mg, vitamin B5 dan vitamin D2 150 SI. Adapun komposisi campuran mineral pada ransum dapat dilihat pada Lampiran 1. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih (Mus musculus) galur (strain) Balb/c. Mencit yang digunakan berumur 2 hingga 2,5 bulan, dengan berat rata-rata sebesar 17 gram. Mencit ini diperoleh dari Fakultas Anatomi Patologi, Universitas Indonesia. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain : azoxymethane (AOM) (A5486, Sigma Aldrich), dextran sodium sulfat (DSS) (D8906, Sigma Aldrich), NaCl isotonik, standar campuran asam asetat, propionat, dan butirat (4-7056, Supelco), asam sulfat (H2SO4), asam sulfo 5 salisilat, Phosfat Buffer Salin (PBS), Tri Kloro Asetat (TCA), Bovin Serum Albumin (BSA), phenolphthalein β-D-glucuronide (77636, Sigma Aldrich), Hematoksilin, Eosin, Antibodi monoclonal rabbit antihuman Caspase-3 (c9598, Sigma Aldrich),
38
Antibodi monoclonal rat antihuman CD4 (sc-70665, Santa Cruz Biotechnology, Inc.), Antibodi sekunder goat antirabbit IgG HRP-linked antibody (7074, Cell Signaling Technology), substrat DAB (diaminobenzidine), dan air destilata. Alat perawatan dan pemeliharaan hewan percobaan adalah kandang plastik dengan penutup kawat, wadah ransum dari bahan alumunium, botol minum, dan timbangan mencit. Alat yang digunakan untuk analisis antara lain: neraca analitik, peralatan bedah mencit, peralatan gelas, pH meter, Gas Chromatography (GC), oven, spektrofotometer, mikropipet, vorteks, sentifuse, freezer suhu -20oC dan 70OC, inkubator 37oC, serta peralatan histopatologi dan imunohistokimia. 3.3 Persiapan Ransum Komposisi ransum untuk kelompok kontrol dan perlakuan dengan sorgum mengacu pada standar AIN 1993G (Tabel 6), yang dimodifikasi pada penggunaan jenis serat, penambahan air, serta komposisi mineral dan vitaminnya (Reeves et al. 1993). Perbedaan ransum perlakuan dengan ransum standar terletak pada sumber karbohidrat. Sumber karbohidrat yang digunakan untuk kelompok kontrol adalah maizena, sedangkan pada kelompok perlakuan digunakan tepung sorgum untuk mensubstitusi atau mengganti maizena. Adapun tepung sorgum sosoh 50% yang digunakan diperoleh dari penepungan biji sorgum yang disosoh selama 20 detik/200
gram
menggunakan
Satake
polisher,
kemudian
ditepungkan
menggunakan disc mill dan disaring menggunakan saringan 60 mesh. Tabel 7 menunjukkan komposisi ransum untuk kelompok kontrol, sorgum 50%, dan sorgum 100%. Adapun perhitungan ransum dilakukan dengan memperhitungkan hasil analisis proksimat dari kasein dan sorgum sosoh 50% (Lampiran 2).
Tabel 6 Komposisi 100 gram ransum standar AIN 1993G yang dimodifikasi Komponen Protein Lemak Serat Mineral mix Vitamin mix Air Sukrosa Karbohidrat
Jumlah 20% (a) 7% (b) 5% (c) 3,5% (d) 1% (e) 10% (f) 10% (g) 100 - a - b – c – d – e - f - g
39
Tabel 7 Komposisi ransum kelompok kontrol dan perlakuan Komponen (g) Sorghum Protein (kasein) Lemak (minyak kedelai) Serat (CMC) Mineral mix Vitamin mix Air Sukrosa Karbohidrat (maizena)
K0,00 23,13 6,84 5,00 2,58 1,00 8,94 10,00 42,51
Kelompok mencit K+ S50 0,00 29,61 23,13 20,85 6,84 6,68 5,00 2,93 2,58 2,36 1,00 1,00 8,94 5,31 10,00 10,00 42,51 21,26
S100 59,22 18,58 6,51 0,85 2,14 1,00 1,69 10,00 0,00
3.4 Penanganan Mencit Balb/c Mencit diadaptasi selama satu minggu sebanyak 32 ekor, kemudian dibagi menjadi empat kelompok (Tabel 8). Masing-masing kelompok terdiri atas 8 ekor mencit. Mencit dikandangkan secara individual dalam ruangan ber-AC dengan pengaturan gelap terang secara alami. Ransum dan air selama penelitian diberikan secara ad libitum. Ransum sebanyak lima gram diberikan setiap pukul 14.0015.00. Untuk menginduksi terjadinya kanker kolon, mencit Balb/c disuntik intraperitoneal dengan azoksimetan (AOM) dengan dosis 10 mg/ kg berat badan. Kelompok kontrol negatif tetap mendapatkan suntikan NaCl isotonik secara intraperitoneal untuk menyeragamkan tingkat stress. Penyuntikan ini dilakukan satu kali pada hari ke-1 perlakuan. Selanjutnya selama 7 hari berturut-turut air minum kelompok kanker kolon ( K+, S50, dan S100) diganti dengan larutan dekstran sodium sulfat (DSS) 1% secara ad libitum guna mempercepat terjadinya kanker kolon. Setelah itu pemberian air minum kembali dilakukan seperti biasa yakni menggunakan air minum dalam kemasan. Pembersihan kandang dilakukan dua kali dalam seminggu ketika kondisi kandang sudah terlihat basah. Penimbangan sisa ransum dilakukan setiap hari, sedangkan penimbangan berat badan menggunakan timbangan mencit dilakukan dua kali dalam seminggu, yang kemudian dihitung rata-rata konsumsi ransum dan berat badan per minggu untuk melihat kesehatan dan pertumbuhan mencit.
40
Konsumsi ransum merupakan rata-rata konsumsi ransum kelompok mencit selama perlakuan, sedangkan selisih kenaikan berat badan adalah berat badan mencit di akhir perlakuan dikurangi berat badan mencit di awal perlakuan. Perhitungan berat relatif organ merupakan pembagian dari berat organ dibagi dengan berat badan mencit pada akhir perlakuan.
Tabel 8 Pembagian kelompok mencit Balb/c kontrol dan perlakuan Kelompok
Perlakuan
Kontrol negatif (K-)
Ransum kontrol (100% maizena) + NaCl isotonik (intraperitoneal; 1x)
Kontrol negatif (K+)
Ransum kontrol (100% maizena) + AOM 10 mg/kg (intraperitoneal; 1x) + DSS 1% (sebagai air minum, 7 hari)
Sorgum 50% (S50)
Ransum perlakuan (50% maizena + 50% sorgum) + AOM (intraperitoneal; 1x) + DSS 1% (sebagai air minum, 7 hari)
Sorgum 100% (S100)
Ransum perlakuan (100% sorgum) + AOM 10 mg/kg (intraperitoneal; 1x) + DSS 1% sebagai (air minum, 7 hari)
3.5 Pengambilan Organ dan Persiapan Sampel Mencit Balb/c diterminasi secara dislocatio os cervical (cervical dislocatio) yang dilakukan dengan steril dan cepat. Organ sekum diambil kemudian ditimbang beserta isinya. Selanjutnya sekum dibelah untuk mendapatkan digesta atau isinya. Isi sekum digunakan untuk analisis asam lemak rantai pendek dan dapat disimpan pada suhu -20oC hingga siap dianalisis. Dinding sekum dibersihkan dengan salin dingin, dikeringkan pada kertas saring, ditimbang, kemudian segera dilakukan persiapan analisis β-glucoronidase. Sampel hati, ginjal, dan kolon bagian distal juga harus diambil secara cepat untuk persiapan preparat histologi. Untuk pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) digunakan sampel hati, ginjal, dan kolon, sedangkan pewarnaan IHK (Imuno Histo Kimia) digunakan sampel kolon.
41
3.6 Analisis Aktivitas Enzim β-glucoronidase Aktivitas enzim β-glucoronidase dianalisis mengikuti prosedur Jenab dan Lilian (1996) dengan modifikasi pada metode pengukuran kadar protein supernatan. Sampel sekum sebanyak 0,5 gram dihomogenisasi dengan 10 ml PBS pH 7,0 selama 30 detik. Ekstrak kemudian disonikasi selama 30 detik dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit untuk menghilangkan partikulat. Supernatan dikumpulkan dan disimpan pada 1 ml aliquot pada -70oC hingga dianalisis. Sebelum dianalisis, ekstrak dicairkan selama 15 menit pada suhu ruang, selanjutnya 0,1 ml ekstrak diinkubasikan dengan 0,1 ml phenolphthalein β-D-glucuronide pada 0,8 ml PBS pH 7,0 selama tepat 1 jam pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan dengan penambahan 2,5 ml larutan glysin basa, 1,0 ml 5% larutan TCA, dan 1,5 ml air destilata. Pembentukan warna akan berlangsung selama 10 menit yang selanjutnya diukur pada absorbansi 540 nm. Pelepasan phenolphthalein diperkirakan melalui kurva standar phenolphthalein. Aktivitas spesifik dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/mg protein sekum/menit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase ditentukan sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/ sekum/menit. Kadar protein pada supernatan dihitung menggunakan metode Bradford, dengan BSA sebagai standar.
3.7 Pengukuran Asam Lemak Rantai Pendek Isi Sekum Asam lemak rantai pendek isi sekum diukur mengikuti prosedur Filipek dan Dvorak (2009) yang dimodifikasi pada tahapan persiapan sampel dan pengaturan suhu detektor. Sebanyak 0,7 gram isi sekum dihomogenisasikan dengan 5 ml air destilata. Dari campuran tersebut, dipipet 1 ml ke dalam ependorf lalu ditambahkan H2SO4 (hingga pH 3-4) dan 0,003 gram asam sulfo 5 salisilat dihidrat. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 12000 rpm pada suhu 7oC. Sebanyak 0,6 ml supernatan diinjeksikan ke dalam gas chomatography, GC Chrompack CP 9002. Kondisi GC menggunakan detektor Flame Ionization Detector (FID) dan kolom kapiler. Nitrogen digunakan sebagai gas pembawa dengan kecepatan alir 30 ml/min. Suhu awal oven adalah 60oC, lalu meningkat sebesar 20oC per menit hingga mencapai 200oC. Suhu injektor adalah
42
250oC dan suhu detektor adalah 270oC. Waktu injeksi sampel adalah 9 menit. Standar asam lemak rantai pendek (ALRP) mengandung campuran asetat, propionat, butirat, isobutirat, valerat, dan isovalerat. Kadar asam asetat, propionat, dan butirat, serta total ALRP dinyatakan sebagai µmol/g sampel. Adapun sampel yang dianalisis merupakan gabungan isi sekum dari semua mencit pada setiap kelompok.
3.8 Pengukuran pH Feses Perhitungan pH isi sekum dilakukan menggunakan pH meter. Sampel feses sebanyak 0,7 gram dihomogenisasikan bersama 7 ml akuades menggunakan vortex. Pengukuran pH feses mencit pada setiap kelompok dilakukan setiap hari selama 7 hari berturut-turut sebelum mencit percobaan diterminasi.
3.9 Pembuatan Preparat Histologi Preparat histologi dibuat mengikuti prosedur Kiernan (1990). Organ hati, ginjal, dan kolon harus segera diambil untuk preparat histologis. Organ dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin (dengan komposisi asam pikrat jenuh: formalin pro-analisis: asam asetat glasial=15:5:1) selama 24 jam. Setelah organ terfiksasi, larutan diganti dengan alkohol 70% yang dikenal sebagai stopping point dengan pengertian bahwa jaringan dapat disimpan lama pada larutan ini. Proses penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dilakukan dengan alkohol yang konsentrasinya bertingkat. Selanjutnya, jaringan dijernihkan dengan silol (clearing) dan ditanam dalam parafin (embedding). Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial dengan microtom rotary. Kemudian, dilekatkan pada gelas obyek disimpan dalam inkubator 40°C selama 24 jam. Setelah itu, sediaan dapat diwarnai dengan berbagai macam prosedur pewarnaan sesuai dengan tujuan. 3.9.1 Prosedur Proses Dehidrasi Dan Infiltrasi Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahanlahan dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Sampel dalam tissue basket dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95% masing-masing selama 1 atau 2 jam sampai overnight. Sampel dimasukkan
43
ke dalam alkohol absolut (absolut I, II, III) selama 20 menit sampai 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Sampel dijemihkan dengan merendam di dalam silol I, II dan III masing-masing selama 20 menit hingga 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Pada xilol III sampel dihangatkan pada suhu parafin cair. Sampel diinfiltrasi dengan parafin (parafin I, II, III) pada suhu 65-70°C dalam inkubator masingmasing selama 1 jam. 3.9.2 Pembuatan Blok Embedding Sampel yang telah diinfiltrasi dapat dicetak dengan parafin melalui proses embedding. Proses embedding diawali dengan menyiapkan cetakan yang ukurannya sesuai dengan sampel jaringan. Jaringan dimasukkan pada cetakan dengan posisi bagian yang akan dipotong. Pada satu cetakan dapat diisi beberapa jaringan. Cetakan dapat didinginkan pada cold plate untuk mempercepat pembekuan. Setelah seluruh parafin membeku, blok parafin dapat dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung di-triming untuk mempermudah pemotongan dengan menggunakan microtom rotary. 3.9.3 Prosedur Triming Triming adalah penipisan sampel untuk mendapat jaringan atau bagian organ yang benar dan bagus dalam orientasi dan memfasilitasi larutan fiksasi masuk sampai pada bagian terdalam. Prosedur triming diawali dengan mengeluarkan organ terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan. Organ dipotong pada bagian yang diinginkan dengan dua mata pisau. Ukuran ketebalan sampel + 3-5 μm dengan luas permukaan + 1x1 cm2. Selanjutnya, sampel dapat diproses lebih lanjut, seperti pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) dan IHK (Imuno Histo Kimia).
3.10 Pengamatan Histolopatologi Organ Hati, Ginjal, dan Kolon melalui Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE) Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE) dilakukan mengikuti prosedur Kiernan (1990). Pemrosesan jaringan menjadi preparat histopatologi melalui tahapantahapan sebagai berikut; fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi,
44
embedding, trimming, sectioning, deparafinisasi dan dilanjutkan dengan staining (pewarnaan). Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke dalam larutan formaldehid. Sampel jaringan yang sudah menjadi histopat direndam ke dalam xylol I selama 5-10 menit untuk menghilangkan parafin, kemudian direndam dalam xylol II kembali untuk membilas selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel direndam dalam alkohol. Pada tahap ini sampel berturut-turut direndam dalam alkohol yang menurun konsentrasinya secara bertingkat, yaitu: alkohol absolut (100%), alkohol 96%, kemudian alkohol 70% masing-masing 5 menit. Konsentrasi yang menurun secara berturut-turut tersebut akan membuat air memasuki sampel jaringan. Sampel kemudian direndam dalam akuades selama 5 menit dan direndam dalam larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin akan mewarnai inti sel pada sampel jaringan dengan warna biru. Setelah itu, sampel dimasukkan dalam air mengalir (secara tidak langsung) selama 5-10 menit untuk membilas. Tahap pewarnaan selanjutnya adalah pewarnaan dengan pewarna eosin selama 1-2 menit untuk mewarnai sitosol sel pada sampel jaringan. Setelah tahap ini, sampel memasuki tahap pencelupan alkohol yang meningkat konsentrasinya secara berturut-turut sebagai kebalikan dari tahap yang sebelumnya, yaitu: alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol absolut (100%) masing-masing sebanyak 3-4 celupan. Pada akhir tahap pewarnaan, sampel kembali direndam dengan xylol selama 5-10 menit, kemudian direndam kembali dalam xylol selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel jaringan ditutup dengan gelas penutup dan direkatkan dengan entellan. Slide histopatologi siap diamati di bawah mikroskop dan difoto secara digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan dikelompokkan berdasarkan organ yang akan diamati. Pada jaringan hati diamati adanya infiltrasi radang, kariopiknosis, dan degenerasi lemak. Pada jaringan ginjal diamati adanya hemoragi, kariopiknosis, nekrosis, dan infiltrasi radang. Pada jaringan kolon diamati tingkatan kolitis (peradangan). Tingkatan kolitis dianalisis mengikuti protokol (Cooper 1993, Suzuki et al. 2006). Skor 0 apabila mukosa kolon normal dan tidak terjadi infiltrasi radang. Skor 1 apabila kripta memendek (1/3 kripta) dengan sedikit infitrasi sel radang dan edema. Skor 2 apabila 2/3 kripta hilang dan
45
terjadi infiltrasi radang. Skor 3 ditandai oleh hilangnya kripta dengan infiltrasi radang yang parah pada lamina propria tetapi masih tersisanya epitel permukaan. Skor 4 ditandai hilangnya semua kripta dan terjadi infitrasi radang yang parah pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa.
3.11 Analisis Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4) dan Kaspase-3 dengan Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) Analisis keberadaan penanda permukaan sel Th (CD4) dan Kaspase-3 dengan pewarnaan imunohistokimia (IHK) dilakukan mengikuti prosedur Kiernan (1990), yang meliputi preparasi gelas objek, pelapisan gelas objek dengan agen penempel, penempelan preparat ke gelas objek, serta pewarnaan imunohistokimia. 3.11.1 Preparasi Gelas Objek Preparasi gelas objek diawali dengan menyiapkan gelas objek yang akan digunakan untuk penempelan (afixing) preparat. Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar yang berisi alkohol 70% sampai semua bagian terendam, kecuali bagian yang kasar tempat pelabelan. Staining jar yang berisi gelas objek tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bak electromagnetic cleaner yang telah diisi air (sejajar dengan alkohol yang terdapat dalam staining jar). Electromagnetic cleaner dihidupkan selama 20 menit (untuk membersihkan gelas objek dari lemak atau segala kotoran yang menempel yang dapat mengganggu dalam proses imunohistokimia). Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar dan direndam
dengan
menggunakan milique (air yang sudah disuling berulang-ulang) sebanyak 3 kali, masing-masing 20 menit, dilanjutkan perendaman staining jar yang berisi gelas objek ke dalam electromagnetic cleaner selama 20 menit. 3.11.2 Pelapisan (Coating) Gelas Objek dengan Gelatin (Agen Penempel) Pelapisan (coating) dilakukan dengan melarutkan 2.50-3.00 g gelatin dalam 300-400 ml air panas bersuhu maksimal 60 °C, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya, kromium potasium sulfat (CrK(SO4)2) sebanyak 0,25 g dimasukkan dan diaduk. Setelah itu,
46
ditambahkan H2O hingga volumenya mencapai 500 ml. Gelas objek yang bersih direndam dalam larutan tersebut selama 15-30 menit, kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Setelah kering, gelas objek disimpan di dalam oven dengan suhu + 60°C untuk menghindari penempelan segala macam kotoran pada gelas objek. 3.11.3 Pembuatan Irisan Preparat pada Gelas Objek (Sectioning) Tahapan pembuatan irisan preparat meliputi beberapa tahap secara berurutan, yaitu penempatan blok embedding pada holder microtom rotary, pemasangan pisau pemotong, penentuan ketebalan sayatan, triming dan penempelan (afixing). Preparat diiris dengan microtom rotary pada ketebalan sayatan 3-5 μm. 3.11.4 Penempelan Irisan Preparat pada Gelas Objek (Afixing) Proses penempelan atau afiksasi dengan menggunakan air bersuhu °
40 C atau dengan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 39-40°C selama 24 jam. Sebelum dimasukkan ke dalam air hangat atau bersuhu 40 °C dengan menggunakan gelas objek atau gelas benda, sampel sayatan jaringan dimasukkan ke dalam air bersuhu dingin terlebih dahulu. Hal ini bertujuan meregangkan jaringan (tidak mengkerut) dan lebih mempermudah proses penempelan.
3.11.5 Persiapan Preparat untuk Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) a. Deparaffinisasi (Rehidrasi) Langkah ini diawali proses deparafinasi (rehidrasi) dengan merendam jaringan pada gelas objek dalam larutan xylol sebanyak tiga kali, masingmasing selama 10 menit. Selanjutnya, dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 100, 96, 80 dan 70%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan sebanyak dua kali. Masing-masing perendaman tersebut dilakukan selama 10 menit. Proses deparafinisasi diakhiri dengan
47
perendaman jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing perendaman dilakukan selama 5 menit. b. Antigen Unmasking Antigen unmasking bertujuan untuk membuka epitop antigen, sehingga antigen dapat berikatan dengan antibodi. Antigen unmasking dilakukan dengan merebus jaringan dalam 10 mM larutan PBST (buffer natrium sitrat) pada suhu sub-boiling (85°C) selama 10 menit. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 2,94 g C6H5Na3O7•2H2O dalam 1 L akuades. Pada tahap ini, suhu perebusan harus dijaga agar tidak melebihi atau kurang dari 85°C. Perebusan dilakukan di dalam wadah stainless-steel yang diletakkan di atas hot-plate. Buffer natrium sitrat harus dijaga agar tidak mendidih selama proses perebusan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah proses pendinginan (cooling) jaringan. Proses pendinginan dilakukan dengan tetap merendam jaringan di dalam wadah tanpa ditutup pada suhu ruang. Pada proses ini, suhu awal dan akhir perebusan serta suhu awal dan akhir pendinginan harus dicatat. Hal ini akan memudahkan dalam optimasi suhu proses antigen unmasking selanjutnya. c. Pewarnaan (Staining) Proses pewarnaan (staining) dilakukan setelah proses pendinginan pada antigen unmasking. Pewarnaan diawali dengan merendam jaringan pada gelas objek dengan akuades. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing 5 menit. Dalam hal ini, proses perendaman yang pertama dilakukan dengan merendam seluruh gelas objek dalam wadah yang berisi akuades. Proses ini segera dilakukan setelah proses pendinginan berakhir. Hal seperti ini akan memudahkan proses selanjutnya dan jaringan tidak mudah kering. Sebelum berlanjut pada perendaman berikutnya, jaringan pada gelas objek diberi batas dengan PAP-pen (Peroksidasi Anti Peroksidase - pen) yang mengandung 1-bromopropan. Jaringan yang dibatasi oleh PAP-pen akan memudahkan proses perendaman selanjutnya. Hal ini agar larutan perendam tidak meluap ke batas luar jaringan tersebut.
48
Selanjutnya, perendaman dengan akuades yang kedua dan ketiga dilakukan dengan memindahkan gelas objek ke dalam wadah berbentuk kotak yang di bagian dasarnya terdapat tisu yang dibasahi dengan akuades. Pada bagian atas tisu tersebut diberi dua penyangga untuk meletakkan gelas objek agar tidak langsung menyentuh tisu yang basah tersebut.
Dalam
kondisi tersebut, proses perendaman jaringan dilakukan dengan meneteskan akuades melalui pipet tetes tepat di atas jaringan. Perendaman jaringan dilanjutkan di dalam larutan 3% H2O2 dengan cara diteteskan. Perendaman ini dilakukan selama 10 menit. Setelah itu, perendaman dilakukan di dalam akuades lagi dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Perendaman ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit. Perendaman dilanjutkan di dalam larutan PBS (phosphate buffer saline) selama 5 menit. Dalam hal ini, PBS berperan sebagai larutan pencuci (wash buffer). PBS dibuat dengan cara melarutkan tablet PBS ke dalam akuades, dengan perbandingan satu tablet PBS dilarutkan dalam 200 ml akuades. Pada saat pembuatan PBS, ditambahkan Tween 20 sebanyak satu tetes. Tween 20 berperan sebagai deterjen, yaitu untuk menyatukan antara PBS dengan protein target. Tween 20 juga dapat membersihkan protein-protein lain yang bukan target, sehingga memperjelas pengamatan protein target. Perendaman dilanjutkan di dalam larutan blocking (blocking solution) selama satu jam. Larutan blocking dibuat dengan cara melarutkan susu skim (skim milk) ke dalam PBS, dengan perbandingan 0,1 g susu skim dilarutkan dalam 100 ml PBS. Perendaman dengan larutan blocking dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan blocking yang dapat diteteskan adalah 100-400 μL pada suhu ruang. Penetesan larutan blocking dilakukan dengan mikropipet. Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi primer dengan proses inkubasi pada suhu 4°C (suhu kulkas) selama semalam (overnight). Perendaman dengan antibodi primer dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan, sebelum diinkubasi dengan suhu 4°C. Volume larutan antibodi primer yang diteteskan adalah 100-400 μL dengan
49
pengenceran 1:150 (antibodi anticaspase-3) dan pengenceran 1:30 (antibodi antiCD4) Penetesan larutan antibodi primer dilakukan dengan mikropipet. Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antigen yang terdapat pada jaringan dengan antibodi primer (reaksi Ag-Ab). Setelah overnight, larutan antibodi primer dicuci dan dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masingmasing selama 5 menit. Dalam hal ini, larutan PBS diteteskan saja. Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi sekunder dengan proses inkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Perendaman dengan antibodi sekunder dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan antibodi sekunder yang diteteskan adalah 100-400 μL dengan pengenceran 1:1000. Penetesan larutan antibodi sekunder dilakukan dengan mikropipet. Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antibodi primer yang sudah terikat pada jaringan dengan antibodi sekunder (reaksi Ag-Ab). Pada penelitian ini, antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi antirabbit yang dilabel dengan enzim HRP (horseradish peroxidase). Setelah itu, larutan antibodi sekunder dicuci, dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, jaringan direndam dengan larutan DAB (diaminobenzidine). Dalam hal ini, DAB harus disiapkan dalam keadaan segar. DAB dibuat dengan mengencerkan larutan stok DAB dalam pelarut DAB dengan perbandingan 1:10. DAB merupakan substrat bagi enzim HRP yang melabel antibodi sekunder. Reaksi antara DAB dan enzim HRP menghasilkan warna coklat. Selanjutnya, larutan DAB dicuci dari jaringan dengan merendam jaringan dalam akuades selama 5 menit. Setelah itu, jaringan direndam dengan larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin merupakan salah satu pewarna yang baik untuk diagnosis histopatologik, karena hematoksilin berperan mewarnai nukleus dan jaringan terkalsifikasi dengan warna ungu. Perendaman berlanjut dengan merendam jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing 5 menit. Setelah perendaman
50
dengan akuades, langkah penting lain dalam metode imunohistokimia adalah dehidrasi, penjernihan dan penutupan jaringan pada gelas objek (mounting). Proses dehidrasi diawali proses inkubasi dengan merendam jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi rendah ke tinggi, yakni etanol 70, 80, 96 dan 100%. Perendaman dalam setiap konsentrasi etanol dilakukan selama 3 menit. Setelah perendaman dalam etanol 100%, jaringan direndam dalam larutan xylol selama 3 menit. Selanjutnya, jaringan siap ditutup dengan media dan gelas penutup. Proses penutupan jaringan dilakukan dengan cara meneteskan media penutup secukupnya pada jaringan di gelas objek, sebelum xylol menguap. Selanjutnya, gelas penutup diletakkan di atas jaringan dan ditekan perlahan dengan ujung pinset untuk mengeluarkan gelembung udara yang masih terdapat pada gelas objek. Media penutup tersebut akan mengeras sehingga gelas objek dapat disimpan pada rak preparat. Selanjutnya, sediaan histologis siap diamati di bawah mikroskop dan direkam dengan foto digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan berdasarkan pewarnaan IHK dikelompokkan berdasarkan warna coklat DAB yang tidak terlokalisasi. Hal ini dilakukan dengan memberikan skor terhadap tingkat kepekatan warna coklat pada area yang terbentuk, mengikuti metode Kanter et al. (2004). Skor tersebut meliputi 0 (tidak terdapat area berwarna coklat, 0%), 1 (warna coklat sangat kurang pekat, + 1-25%), 2 (warna coklat kurang pekat, + 26-50%), 3 (warna coklat pekat, + 51-75%), 4 (warna coklat sangat pekat, + 76-100%).
3.12 Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan. Semua data dianalisis dengan prosedur sidik ragam (Analisis of Varian, ANOVA) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Science) versi 16. Apabila hasil uji sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Mencit Percobaan Masa adaptasi dilakukan selama satu minggu untuk membiasakan mencit terhadap lingkungan dan pakan yang baru. Masa adaptasi juga dilakukan untuk melihat kondisi kesehatan mencit yang akan mendapat perlakuan. Ransum diberikan dalam bentuk bubuk sejumlah 5 gram/hari/ mencit. Pemberian ransum dilakukan pada waktu yang sama setiap harinya untuk mengurangi variabilitas, yakni setiap pukul 14.00 – 15.00 WIB. Penggantian ransum dilakukan setiap hari supaya mencit mendapatkan pakan yang segar. Untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi oleh mencit setiap harinya, maka dilakukan penimbangan sisa ransum setiap hari. Selain itu, penimbangan berat badan mencit dilakukan dua kali dalam satu minggu untuk mengetahui pertumbuhan dan kesehatan mencit. Setelah masa adaptasi, mencit dibagi menjadi 4 kelompok yang masingmasing kelompok terdiri atas 8 ekor mencit. Kelompok K- mendapatkan ransum standar (sumber karbohidrat maizena) tanpa induksi karsinogen. Kelompok K+ mendapatkan ransum standar dan induksi kasinogen azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS). Kelompok S50 mendapatkan ransum yang mengandung sumber karbohidrat 50% maizena dan 50% tepung sorgum, sedangkan kelompok S100 merupakan kelompok mencit dengan ransum yang mengandung sumber karbohidrat 100% tepung sorgum, yang mana kelompok S50 dan S100 mendapat induksi karsinogen yang sama dengan kelompok K+. Faktor-faktor lingkungan baik internal maupun eksternal, seperti induksi karsinogen, dapat menginduksi terjadinya perubahan fisiologis atau tingkah laku dari hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut dinamakan stressor. Jika mencit percobaan tidak bisa beradaptasi dengan stressor yang ada, maka mencit akan mengalami respon fisiologis atau tingkah laku yang abnormal atau dalam kondisi distress. Tanda-tanda klinis dan perubahan tingkah laku abnormal akibat kondisi distress dapat mempengaruhi konsumsi ransum dan air minum, akumulasi eksudat berwarna coklat kemerahan di
52
sekeliling mata dan lubang hidung, turunnya berat badan, penurunan aktivitas, postur membungkuk, pernafasan yang sulit, serta peningkatan atau
Rata-Rata Konsumsi Ransum (gram)
penurunan keagresifan (NAS 1996).
5,00 4,00 3,00
KK+
2,00
S50 1,00
S100
0,00 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
Minggu ke-
Gambar 8 Grafik konsumsi ransum rata-rata pada setiap kelompok mencit
Selama masa percobaan, konsumsi ransum rata-rata mencit kelompok K- lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diinduksi karsinogen (K-, S50, dan S100) (Tabel 9). Induksi karsinogen dapat menyebabkan kondisi stress yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum. Oleh karena itu, tidak adanya induksi karsinogen pada kelompok K- menyebabkan mencit pada kelompok ini tidak mengalami pengaruh pada konsumsi ransumnya. Akibatnya mencit kelompok ini juga memiliki selisih berat badan yang paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya (Tabel 9). Sebaliknya kelompok K+ memiliki konsumsi ransum rata-rata yang paling rendah
dibandingkan
kelompok
lainnya.
Induksi
karsinogen
menyebabkan berkurangnya asupan makanan, malabsorbsi, dan perubahan metabolisme tubuh. Hal ini menyebabkan kelompok K+ memiliki selisih berat badan yang paling rendah dibandingkan kelompok yang lain. Sindrom seperti ini sering terjadi pada penderita kanker, yang dinamakan kaheksia. Kaheksia adalah keadaan malnutrisi yang ditandai dengan anoreksia,
53
penurunan berat badan, depresi, nausea kronis, anemia, gangguan metabolisme, serta perubahan keseimbangan asam basa, kadar vitamin, dan
Rata-Rata Berat Badan (gram)
elektrolit (Trujillo et al. 2005).
22,00 21,00 20,00 19,00
K-
18,00
K+
17,00
S50
16,00
S100
15,00 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
Minggu ke-
Gambar 9 Grafik berat badan rata-rata pada setiap kelompok mencit
Kaheksia merupakan kondisi tubuh yang lemah akibat kanker dan dapat menyebabkan kematian (Acharyya et al. 2005). Lebih dari 80% pasien yang menderita kanker mengalami kaheksia sebelum kematiannya. Kaheksia dicirikan dengan penurunan berat badan dan diduga terjadi akibat metabolit abnormal yang dihasilkan selama perkembangan tumor. Interaksi tumor dengan inangnya juga dapat mempengaruhi metabolisme karena sel-sel tumor juga membutuhkan asupan nutrisi yang diperoleh dari inangnya untuk bertahan hidup. Gangguan metabolisme tersebut meliputi gangguan pada metabolisme karbohidrat, oksidasi lipid, serta penurunan sintesis protein otot (Setiawati 2003). Penggunaan sumber karbohidrat berupa tepung sorgum pada kelompok mencit perlakuan S50 dan S100 menunjukkan bahwa mencit pada kelompok ini memiliki konsumsi ransum rata-rata yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok K+ (Lampiran 3). Pemberian tepung sorgum diduga mampu meringankan kondisi distress yang disebabkan karena induksi
54
karsinogen dan berbanding lurus dengan jumlah tepung sorgum yang digunakan dalam komposisi ransum. Hal ini terlihat dari konsumsi rata-rata mencit kelompok S100 lebih tinggi dibandingkan kelompok S50. Hanya saja adanya induksi karsinogen tetap menyebabkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 dan S100 masih lebih rendah dibandingkan kelompok K(Tabel 9). Tabel 9 Konsumsi ransum rata-rata dan selisih berat badan pada setiap kelompok mencit selama perlakuan Kelompok KK+ S50 S100
Konsumsi ransum rata-rata (g/ekor/hr) 3,61 ± 0,21d 2,51 ±0,31a 3,19 ± 0,24b 3,41 ± 0,28c
Selisih berat badan selama perlakuan (g/ekor) 4,50 ± 1,22b 3,14 ± 0,56a 3,63 ± 0,74ab 3,44 ± 0,78a
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05).
Pemberian tepung sorgum pada mencit S50 dan S100 tidak menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan selisih berat badan secara signifikan pada mencit yang diinduksi kanker kolon (Lampiran 4), meskipun
memiliki
konsumsi
ransum
rata-rata
yang
lebih
tinggi
dibandingkan kelompok K+ (Tabel 9). Hal ini diduga selain adanya pengaruh dari induksi karsinogen, adanya komponen flavonoid pada sorgum, yaitu tanin, diduga mampu mengikat protein dan polisakarida sehingga daya absorbsi nutrisi tersebut berkurang dan dapat menurunkan berat badan (Nyachoti et al. 1997). Hal ini didukung hasil penelitian Kaviarasan et al. (2008) yang melakukan penelitian dengan memberikan fraksi flavonoid pada tikus percobaan. Pada kelompok kontrol mengalami kenaikan berat badan sebesar 117,5±8,09 g dengan konsumsi rata-rata sebesar 25,83±1,09 g/ekor/hari, sedangkan pada kelompok perlakuan pemberian flavonoid mengalami kenaikan berat badan sebesar 63,33±6,06 g dengan konsumsi ratarata sebesar 27,1±1,41 g/ekor/hari. Kecenderungan ini terjadi diduga akibat adanya perbedaan aktivitas dan tingkat penyerapan nutrisi. Konsumsi ransum yang mengandung sumber karbohidrat berupa tepung sorgum sebanyak 50% dan 100% pada mencit kelompok S50 dan S100
55
tampak tidak memberikan efek negatif terhadap selera makan mencit (Tabel 9). Adanya tanin pada sorgum dikatakan mampu mempengaruhi sifat sensori
karena
menyebabkan
rasa
sepat
atau
astringen
sehingga
mempengaruhi selera makan (Rooney dan Dykes 2007). Sorgum varietas Kawali memiliki kandungan tanin sebesar 0,7% (Singgih et al. 2006), yang mana menurut Rooney (2005) tanin dengan jumlah di bawah 5-10% memiliki kemungkinan pembentukan kompleks dengan makromolekul yang rendah serta belum mempengaruhi nilai sensori. Puspawati (2009) melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum 50% dan 100% sebagai sumber karbohidrat pada tikus percobaan yang tidak diberikan stress, tampak belum mempengaruhi berat badan dan selera makan tikus. Hal ini diduga karena tanin masih berada dalam jumlah normal atau tidak melebihi kebutuhan, sehingga belum menurunkan nilai sensori yang mengurangi selera makan. Selain mengamati konsumsi ransum dan berat badan, dilakukan pula pengamatan mengenai penampakan fisik dan tingkah laku selama perlakuan serta berat organ mencit setelah perlakuan. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi akibat pemberian ransum serta induksi karsinogen berupa azoksimetana (AOM) dan desktran sodium sulfat (DSS). Penampakan fisik dan tingkah laku kelompok mencit K- selama percobaan terlihat normal, warna bulu bersih dan mengkilat, mata cerah, serta bergerak lincah, dan memiliki pernafasan normal. Kondisi serupa juga terlihat pada kelompok mencit perlakuan S50 dan S100. Hal ini memperkuat dugaan sebelumnya bahwa adanya pemberian tepung sorgum mampu menurunkan kondisi distress, sehingga mencit pada dua kelompok ini dapat tumbuh dengan normal. Perbedaan yang sangat nyata terlihat kondisi fisik serta tingkah laku pada kelompok mencit K-. Mencit pada kelompok ini memiliki warna bulu yang kusam, mata sayu, serta postur tubuh yang lebih membungkuk. Selain itu, tingkah laku mencit pada kelompok ini juga terlihat lesu, kurang aktif,
56
serta pernafasan yang tidak normal. Hal ini menunjukkan adanya kondisi kaheksia pada mencit K+. Bruera (2002) menyebutkan bahwa kaheksia terjadi karena gangguan psikologis pada susunan syaraf pusat (menyebaban keengganan makan, gangguan persepsi rasa kecap, dan stress psikologis), serta gangguan proses metabolisme, produksi makrofag, dan disfungsi autonomik.
K-
K+
S50
S100
Gambar 10 Organ setiap kelompok mencit
Gambar 10 menunjukkan gambaran keadaan organ tiap kelompok mencit. Keadaan mencit percobaan juga didukung dengan data berat relatif organ hati, ginjal, dan kolon. Berat relatif organ merupakan berat organ dibagi berat badan dari mencit yang bersangkutan. Berat relatif organ hati dan ginjal diketahui tidak berbeda nyata (p < 0,05). Perbedaan yang nyata terlihat pada berat relatif kolon kelompok K+ yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok mencit S50 dan S100 (Tabel 10, Lampiran 5). Berat relatif kolon pada kelompok K+ diduga disebabkan karena adanya pertumbuhan tumor. Hanya saja data berat relatif kolon tidak cukup untuk membuktikan adanya pertumbuhan tumor pada organ ini. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain yang mampu menyebabkan bertambahnya berat kolon. Inflamasi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
57
kenaikan berat kolon. Kejadian serupa dilaporkan pada penelitian tikus yang mengalami peradangan kolon dengan induksi 2,4,6-trinitobenzene sulfonic acid (TNBS). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kolon yang mengalami inflamasi mengalami peningkatan berat dan ketebalan. Hal ini dikarenakan adanya infiltrasi seluler pada kolon, peningkatan produksi inflamatori sitokin, dan proliferasi epitel kolon (Berg 2002). Tabel 10 Berat relatif organ Berat relatif Hati Ginjal Kolon
Kelompok K0,041±0,007a 0,015±0,002 a 0,009±0,002a
K+ 0,037±0,008a 0,016±0,005a 0,014±0,005b
S50 0,048±0,008a 0,016±0,004a 0,009±0,003a
S100 0,043±0,006a 0,018±0,005a 0,010±0,002a
Ket. : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05).
Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cidera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengikat baik agen pencidera maupun jaringan yang cidera tersebut. Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit dalam jaringan,
dan
pembengkakan
sel
jaringan.
Beberapa
produk
yang
menyebabkan reaksi ini adalah histamin, brakidinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitasi (Guyton dan Hall 1997).
4.2 Evaluasi Histopatologi Organ Mencit Balb/c dengan Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) Analisis histopatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan metode yang umum dipakai untuk melihat perubahan
58
jaringan yang terjadi. Pewarnaan jaringan dengan metode ini menggunakan dua macam pereaksi untuk memudahkan pengamatan perubahan patologik dengan mewarnai organel dan inti sel secara terpisah. Dengan menggunakan pewarnaan HE, struktur selular dan perubahan patologik dapat diamati dengan mudah, karena sitoplasma (organel) diwarnai oleh eosin menjadi merah muda, sedanglan inti sel diwarnai oleh hematoksilin menjadi ungu (Paniogoro et al. 2007). Perbedaan warna ini penting dalam mempelajari anatomi dan patologi jaringan secara mikroskopis agar dapat dibedakan inti sel dengan sitoplasma serta strukur ekstraselulernya (Kiernan 1990). Analisis histopatologi menggunakan pewarnaan HE dilakukan pada organ hati, ginjal dan kolon karena ketiga organ ini merupakan sasaran utama dari karsinogen. Kolon merupakan target utama terjadinya perkembangan kanker, sedangkan hati dan ginjal merupakan organ yang berkaitan dengan metabolisme toksikan, sehingga pengamatan terhadap terjadinya perubahan akibat adanya induksi karsinogen penting dilakukan pada ketiga organ tersebut. Hati menjadi organ sasaran karena menerima 80% suplai darah dari vena porta, sehingga memungkinkan untuk zat-zat toksik yang diserap ditransportasikan oleh vena porta ke hati. Hati merupakan tempat utama terjadinya detoksifikasi toksikan di dalam tubuh. Adapun ginjal merupakan salah satu organ yang berperan dalam ekskresi hasil detoksifikasi yang bersifat larut air sehingga akan dikeluarkan bersama urin. Ginjal merupakan organ yang memiliki banyak fungsi dalam tubuh yakni sebagai organ sistem urinasi untuk mengeluarkan sisa dan garam, serta memusnahkan zat toksik (Levi et al. 2000). 4.2.1 Histopatologi Jaringan Hati Hati merupakan organ terbesar (1,3-3,1% dari total berat badan) di dalam tubuh yang terletak pada bagian kuadran kanan atas abdomen, di bawah diafragma. Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi vaskular untk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, serta fungsi
59
sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Hati juga merupakan bagian tubuh utama yang berperan dalam proses detoksifikasi metabolit toksik, yang mana produk hasil metabolismenya akan dikeluarkan melalui sirkulasi darah maupun empedu (Levi et al. 2000). Secara anatomi hati tersusun atas lobus kanan, lobus kiri, lobus caudatus, dan lobus quadratus. Lobulus merupakan unit fungsional dasar hati. Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus dibentuk dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu kecil yang mengalir ke duktus empedu yang berasal dari septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton dan Hall 1997). Adapun dua macam sel utama yang perlu diamati pada hati adalah sel parenkim (hepatosit) yang membentuk lembaranlembaran
tipis
yang
terpisah
oleh
sinusoid
dan
sel-sel
Kupffer
(retikuloendotelial) yang merupakan makrofag jaringan yang membentuk selaput-selaput sinusoid (Bevelander 1979). Melalui
pewarnaan
Hematoksilin-Eosin
(HE),
terlihat
adanya
perubahan pada morfologi hati pada kelompok K- dan kelompok perlakuan AOM-DSS (K+, S50, dan S100). Pada mencit kelompok K-, terlihat inti hepatosit yang bulat dan menyerap warna hematoksilin (biru) yang kuat dan sitoplasma menyerap warna eosin (merah). Nukleolus terlihat jelas, sinusoid terbentuk seperti memancar secara sentrifugal dari vena sentralis dengan selsel Kupffer yang menyerap warna hematoksilin mengisi sinusoid-sinusoid. Pada kelompok ini tidak terlihat adanya sel yang mengalami nekrosa karena tidak ada sel yang terlihat lebih merah dibandingkan sel normal dan inti sel terlihat jelas (Gambar 11). Pada kelompok K+ terlihat sinusoid yang melebar dan tidak memancar secara sentrifugal dari vena sentralis, tetapi sel-sel Kupffer tetap terlihat di sekitar sinusoid. Sitoplasma terlihat bergranula eosinofilik dan sebagian inti sel tidak menyerap warna hematoksilin (biru) dengan sempurna. Selain itu,
60
terlihat pula adanya inti sel yang mengalami kariopiknosis dimana inti sel mengecil tetapi menjadi bundar dan warnanya menjadi lebih jelas.
KE
K+ E
S50 S100 E Gambar 11 Fotomikrograf jaringan hati mencit. K- (Kelompok kontrol negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = infiltrasi radang, = kariopiknosis, ..... = vakuolisasi atau degenerasi lemak. Adanya pemberian tepung sorgum pada mencit kelompok S50 dan S100 memberikan penampakan patologis hati yang lebih baik dibandingkan pada kelompok K+. Hal ini diduga karena fermentasi serat pangan pada sorgum, terutama β-glukan, mampu menurunkan aktivitas enzim yang mampu menghidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi. Hidrolisis tersebut mampu menyebabkan terlepasnya kembali karsinogen yang selanjutnya akan diserap usus dan masuk kembali ke hati melalui sirkulasi portal. Berulangnya kejadian ini akan meningkatkan waktu paruh karsinogen dan menyebabkan efek negatif pada organ hati (Levi et al. 2000).
61
4.2.2 Histopatologi Jaringan Ginjal Ginjal merupakan organ penting untuk mempertahankan keseimbangan air, garam, dan elektrolit. Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi sebagai pengatur komposisi kimia darah dengan mengekskresikan padatan dan air secara selektif. Fungsi utama ginjal adalah mengeliminasi produk samping hasil metabolisme normal serta substansi-subtansi toksik yang berbahaya bagi tubuh, sambil mempertahankan konstituen darah yang masih berguna (Davey 2006). Ginjal terdiri atas korteks dan medula. Korteks berada di sebelah luar yang mengandung semua mapiler glomerolus dan sebagian segmen tubulus pendek. Bagian medula di sebelah dalam tempat sebagian besar segmen tubulus berada (Corwin 2007). Pada bagian medula banyak terdapat nefron (unit fungsional ginjal) yang terdiri dari korpus renal, tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distalis. Setiap korpus renal terdiri atas seberkas kapiler glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul bowman. Fungsi vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus, yang kemudian diikuti dengan reabsorbsi sejumlah cairan dan air yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Pengamatan morfologi jaringan ginjal pada kelompok K- dan kelompok perlakuan AOM-DSS (K-, S50, dan S100) dapat dilihat pada Gambar 12. Pada kelompok K- tidak ditemukan adanya kelainan pada ginjal secara morfologis. Sel-sel pada ginjal kelompok ini memiliki bentuk polihedral dengan inti sel budar jernih, terletak di dalam sel, dan memiliki sitoplasma yang jernih. Tubuli proksimalis dilapisi oleh epitel kubus dengan mikrovili dan inti berbentuk bulat. Inti sel-sel epitel tubuli renalis berbentuk bulat dan menyerap warna basofilik dari hematoksilin (biru) dan bagian sitoplasmanya menyerap warna asidofilik dari eosin (merah). Pada kelompok perlakuan AOM dan DSS terlihat perubahan mikroskopis terjadi pada inti, sitoplasma dan jaringan interstitial. Sel mengalami nekrosis bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok K+ beberapa inti sel tubuli renalis mengalami kariopiknosis. Struktur bagian sitoplasma pada beberapa sel tubuli renalis menunjukkan
62
adanya kerusakan dan terlihat warnanya lebih merah dibandingkan kelompok K-, serta terlihat adanya infiltrasi sel radang pada jaringan interstitial. Pada kelompok S50 dan S100, sel-sel yang mengalami nekrosis dan kariopiknotis jumlahnya lebih sedikit dari kelompok K+ (Gambar 12). Hal ini menunjukkan pengaruh pemberian sorgum terhadap jaringan ginjal dapat mengurangi kariopiknotis, nekrosis, dan infitrasi radang.
K-
K+
S50
S100
Gambar 12 Fotomikrograf jaringan ginjal mencit. K- (Kelompok kontrol negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = glomerulus, = hemoragi, = kariopiknotis, = nekrosis dan infiltrasi sel radang.
4.2.3 Histopatologi Jaringan Kolon Usus besar terdiri atas sekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan rektum. Dinding usus besar mempunyai tiga lapisan, yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), lapisan muskularis (bagian tengah), dan lapisan serosa (bagian luar). Mukosa kolon terdiri atas dari lamina epitelaris dan lamina propia. Lamina epitelaris terdiri atas pelapis
63
epitel absortif (kolumnar) diselang-seling sel goblet, sedangkan pada lamina propia terdiri atas jaringan ikat retikuler dan secara sporadik terdapat nodul jaringan limfoid. Berbeda dengan mukosa usus halus, lapisan mukosa kolon lebih tebal dengan kriptus Lieberkuhn yang terletak lebih dalam dan memiliki sel goblet yang lebih banyak daripada usus halus. Selain itu, pada mukosa kolon juga tidak dijumpai adanya villi (Frappier 2006). Bagian submukosa kolon terdiri atas jaringan ikat longgar, pembuluh darah, dan syaraf polinuklear yang disebut ganglion pleksus Meisner. Tunika muskularis usus besar terdiri atas lapisan dalam yang tersusun secara longitudinal dan lapisan luar yang tersusun secara sirkuler. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh jaringan ikat longgar, pembuluh darah, daun syaraf polinuklear yang disebut ganglion pleksus Aurbach. Adapun bagian terluar dari kolon adalah lapisan serosa yang terdiri atas mesotelium dan jaringan ikat subserosa (Frappier 2006). Kolon merupakan bagian dari usus besar yang berfungsi dalam penyerapan air, natrium, dan mineral lainnya, yang selanjutnya merubah kimus dari bentuk cair menjadi massa semi padat yang disebut feses. Beberapa bakteri, seperti Eschericia coli, Enterobacter aerogenes dan Bacteroides pregilis mampu mensintesis vitamin K di dalam kolon. Kolon tidak memproduksi enzim, hanya mensekresikan mukus (Underwood 1994). Hasil pengamatan histopatologi melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) pada jaringan kolon kelompok K- dan kelompok perlakuan AOM-DSS (K+, S50, dan S100) dapat dilihat pada Gambar 13. Dari gambar terlihat adanya perbedaan morfologi antara mencit kelompok K- dan kelompok perlakuan AOM-DSS. Tabel 11 Pengujian penanda kolitis pada kolon mencit dengan pewarnaan HE Kelompok KK+ S50 S100
Rata-rata skor penanda kolitis 0,00 ± 0,00a 3,67 ± 0,52c 1,50 ± 0,53b 1,13 ± 0,64b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05)
64
K-
S50
K+
S100
Gambar 13 Fotomikrograf jaringan kolon mencit. K- (Kelompok kontrol negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 ( Kelompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = infiltrasi radang, = epitel yang mengalami kerusakan, = kripta aberran. Kelompok K- menunjukkan mukosa kolon yang normal. Hal ini terlihat dari sel-sel jaringan dan ukuran inti sel yang seragam, serta ruang antar sel yang tidak mengalami perubahan. Hasil pengamatan patologis juga tidak menunjukkan terjadinya peradangan usus (kolitis) pada kolon mencit kelompok ini (Tabel 11). Sebaliknya, hasil pengamatan histopatologi pada kolon mencit kelompok K+ menunjukkan adanya peradangan usus (kolitis) yang parah pada bagian mukosa sel, propria muskularis, dan submukosa. Hampir semua kolon kelompok K+ kehilangan bentuk kripta yang menandakan selnya telah rusak. Selain itu, terlihat pula adanya infiltrasi sel radang akut pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa (Gambar 13). Adapun pemberian tepung sorgum pada mencit kelompok S50 dan S100 menyebabkan perbedaan yang nyata pada pengamatan histopatologi kolon apabila dibandingkan dengan kolon mencit kelompok K+ (Lampiran 6). Hal ini ditunjukkan dengan skor penanda kolitis yang lebih rendah secara
65
signifikan (Tabel 11). Pada kelompok S50 dan S100 hanya terlihat mukosa yang kurang beraturan dengan kripta yang cenderung sedikit memendek dan terjadi sedikit infiltrasi radang (Gambar 13). Pengamatan
histopatologi
secara
imunohistokimia
menunjukkan
pemaparan jangka panjang karsinogen AOM dan DSS menyebabkan peradangan dan meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi akibat terpapar karsinogen AOM mengakibatkan respon inflamasi enzim COX-2 tertampil. Adanya penanda COX-2 menunjukkan terjadinya inflamasi pada kolon mencit. Penelitian Salimi (2012) menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum sebagai 50% dan 100% sumber karbohidrat mampu menurunkan keberadaan penanda enzim ini. Dengan adanya induksi AOMDSS, kelompok sorgum 50% memiliki nilai skor penanda COX-2 sebesar 0,50 ± 0,52, kelompok sorgum 100% sebesar 0,30 ± 0,55, sedangkan kelompok kontrol yang diinduksi kanker kolon sebesar 2,60 ± 0,51. Evolusi kanker kolon merupakan proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan maligna, dan invasif kanker. Kanker kolon diawali dengan tumor jinak yang dapat berkembang menjadi tumor ganas dan menyusup (invasiv membran basalis), merusak jaringan normal kemudian meluas ke sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain.
Gambar 14 Fotomikrograf jaringan kolon mencit kelompok K+ ( = hiperplasia sel, = invasi membran basalis, = infiltrasi sel radang)
66
Adanya induksi AOM-DSS tanpa pemberian tepung sorgum pada mencit kelompok kontrol K+ menyebabkan terjadinya edema dan inflamasi akut yang ditandai dengan infiltrasi sel radang di lamina propia kolon (Gambar 14). Hal ini menyebabkan hiperplasia sel yang merupakan tahap awal terjadinya kanker kolon. Kejadian ini tidak teramati pada penampakan patologis kolon kelompok S50 dan S100, yang menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum mampu mencegah perkembangan kanker kolon. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi sorgum dengan derajat sosoh 50% sebagai 50-100% sumber karbohidrat sangat baik untuk dikonsumsi, terutama dalam rangka pencegahan penyakit kanker kolon. Senyawa karsinogenik AOM yang diinjeksikan melalui intraperitoneal memasuki sel dan mengalami proses metabolisme oleh enzim fase 1 menghasilkan metabolit reaktif. Metabolit reaktif merupakan senyawa radikal yang mudah berikatan dengan DNA, sehingga DNA sel akan mudah mengalami mutasi. Kerusakan DNA dan mutasi gen merupakan tahap awal inisiasi dalam pembentukan sel kanker (Levi 2000).
Induksi AOM
Komponen bioaktif sorgum
Gambar 15 Perkiraan model penghambatan kanker oleh komponen bioaktif sorgum (Salimi 2012)
67
Adanya komponen bioaktif pada sorgum dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya pengikatan metabolit reaktif dengan DNA. Kandungan komponen bioaktif berupa fenolik, flavonoid, tannin, dan antosianin mempunyai gugus hidroksil pada cincin aromatis. Fenolik merupakan asam lemah aromatis yang tersubstitusi satu atau lebih, mudah mengalami oksidasi sehingga menyebabkan fenolik mampu menangkap senyawa radikal bebas (Benbrook 2005). Efektivitas flavonoid, tannin, dan antosianin dikarenakan struktur dihidroksi pada cincin, kombinasi gugus C3-OH dan C5-OH dengan C4 karbonil dan ikatan rangkap pada C2-3 dapat meningkatkan aktivitas menangkap radikal bebas (Amic et al. 2003). Kemampuan senyawa bioaktif mendonorkan proton atau H+ menangkap radikal CH3+ menghasilkan CH4 yang dapat dikonjugasi oleh enzim fase II sehingga mudah dikeluarkan oleh tubuh. Salimi (2012) menggambarkan perkiraan model penghambatan kanker kolon oleh komponen bioaktif sorgum pada Gambar 15. Selain itu, adanya komponen serat pangan pada sorgum, terutama βglukan, dilaporkan mampu berperan sebagai prebiotik yang mampu memberikan efek protektif terhadap penyakit degeneratif seperti kanker kolon. β-glukan difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek (ALRP), yakni asam asetat, propionat, dan butirat. Adanya produksi ALRP tersebut dilaporkan banyak memberikan manfaat terhadap pencegahan kanker kolon. ALRP terutama asam butirat dilaporkan memiliki efek fisiologis terhadap integritas dan fungsi epitelial kolon, menghambat proliferasi dan meningkatkan apoptosis sel-sel kanker (Zobel 2005), bersifat anti-inflamatori (Cheung et al. 2002), serta mampu meningkatkan sistem imun (Watzl et al. 2005).
4.3 Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Isi Sekum Mencit Balb/c Serat pangan merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap pada usus halus sehingga menjadi substrat yang akan difermentasi oleh mikroflora ketika mencapai kolon. Produk fermentasi serat pangan
68
berupa asam-asam lemak rantai pendek (ALRP, yaitu asam asetat, propionat, dan butirat) serta gas-gas (CO2, CH4, dan H2) (Gambar 16). Produk akhir tersebut selanjutnya akan dieksresikan pada kotoran atau diserap dari kolon (Henningsson et al. 2001).
Serat Pangan Metabolisme mikrobial
Hidrogen Karbon dioksida
Asetat Propionat Butirat
Flatus
Feses Darah
Biomassa
Feses
Gambar 16 Fermentasi serat pangan pada kolon manusia (Henningsson et al. 2001) Penelitian pada tahun 1960-an menyatakan bahwa ALRP sangat sedikit sekali diserap, serta menyebabkan diare melalui retensi cairan osmotik pada feses. Namun, belakangan diketahui bahwa sekitar 90% ALRP ternyata diserap secara cepat oleh kolon serta menstimulasi penyerapan air dan sodium. Fermentasi karbohidrat yang tidak tercerna mampu menurunkan beban osmotik serta masing-masing komponen ALRP ini memiliki peran spesifik, termasuk manfaat kesehatan (Ruppin et al. 1980). ALRP yang diserap dari kolon dapat digunakan sebagai sumber energi bagi inangnya, namun hanya sedikit berkontribusi sedikit sekali (5-10%) dari total energi pada manusia sehat. Mukosa kolon mendapatkan energi dari ALRP dengan cara mengoksidasinya dengan urutan butirat > propionat > asetat. ALRP yang diserap kolon kemudian memasuki portal darah hati (hepatic portal blood) (Wolever 1991). Pembentukan ALRP dari hasil fermentasi dilaporkan memiliki efek terhadap metabolisme karbohidrat dan kolesterol. Asam asetat diubah
69
menjadi Asetil-KoA oleh hati, yang merupakan prekursor untuk lipogenesis, serta dapat menstimulasi glukoneogenesis (Remesy et al. 1992). Asam propionat juga dimetabolisme di hati dan diketahui mampu menghambat glukoneogenesis, meningkatkan glikolisis, serta menurunkan konsentrasi kolesterol plasma melalui penghambatan kolesterogenesis hati (Thorburn et al. 1993). Tabel 12 Hasil pengukuran pH feses kelompok mencit Kelompok KK+ S50 S100
Nilai pH feses 7,92 ± 0,23b 7,97 ± 0,16b 7,70 ± 0,34ab 7,46 ± 0,35a
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05)
Selain berperan sebagai sumber nutrisi bagi sel mukosa, ALRP juga memiliki efek spesifik yang lain, misalnya meningkatkan aliran darah pada mukosa (Mortensen et al. 1990). Penuruan pH lumen akibat produksi ALRP dapat menstimulasi penyerapan mineral melalui peningkatan kelarutan mineral (Coudray et al. 1997). Selain itu, penurunan pH lumen juga mampu menurunkan pembentukan asam empedu sekunder (Perrin et al. 2001). ALRP juga akan menurunkan pH feses yang akan mencegah degradasi konstituen pangan normal menjadi karsinogen potensial oleh mikroba (Slavin 2007). Hasil pengukuran pH menunjukkan penggunaan tepung sorgum sebagai 100% sumber karbohidrat (kelompok S100) mampu menurunkan pH feses yang signifikan dibandingkan kelompok yang lainnya (Tabel 12, Lampiran 7). Hal ini menandakan kelompok S100 memiliki lebih banyak komponen serat pada sorgum yang lebih mudah difermentasi oleh bakteria kolon, sehingga akan lebih mampu mengasamkan feses. Sumber serat pada kelompok kontrol K- dan K+ adalah CMC (Carboxy Methyl Cellulose), sedangkan ransum kelompok S50 dan S100 mengandung serat CMC dan serat yang berasal dari sorgum. Kemampuan terfermentasi dari polisakarida non pati (non stacrh polysaccharide, NSP) sangat tergantung dari sifat fisikokimianya. Serat
70
pangan larut, seperti pektin dan β-glukan, dapat lebih mudah difermentasi dibandingkan serat pangan tidak larut, seperti selulosa (Nyman dan Ang 1982). Sumber serat pada kelompok kontrol merupakan CMC, yakni selulosa yang telah dimodifikasi dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat pada beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang membentuk tulang punggung selulosa. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya, CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air. CMC sebagai turunan selulosa memiliki kemampuan terfermentasi oleh bakteria kolon yang rendah (Metzler-Zebeli et al. 2010). Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa kelompok S100 memiliki pH feses yang lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian Smits et al. (1997) yang menyatakan bahwa pH isi kolon tidak dipengaruhi oleh adanya pemberian CMC pada ransum ayam broiler. Pada manusia dan babi, fermentasi serat pangan terjadi pada kolon bagian proksimal. Sebaliknya pada rodensia, tempat utama terjadinya fermentasi adalah sekum. Oleh karena itu, pengukuran ALRP pada penelitian ini menggunakan sampel isi sekum (Martin et al. 1998). Adapun total ALRP yang dinyatakan pada hasil penelitian ini merupakan penjumlahan dari komponen ALRP yang mampu terdeteksi oleh Gas Chromatography, yakni asam asetat, propionat, butirat, isobutirat, dan isovalerat. Tabel 13 Hasil pengukuran asam lemak rantai pendek (ALRP) isi sekum kelompok mencit Jenis ALRP Asam asetat Asam propionat Asam butirat Total ALRP
K9,135 2,082 1,892
Jumlah ALRP (µmol/g) K+ S50 6,145 9,919 0,760 2,029 0,313 2,608
S100 11,575 3,589 2,754
13,641
7,423
18,324
14,996
Jumlah ALRP dari hasil fermentasi serat pangan pada sekum mencit dapat dilihat pada Tabel 13. Adapun hasil pengukuran ALRP merupakan hasil analisis dari sampel gabungan isi sekum dari semua mencit pada setiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya β-glukan dari
71
sorgum menyebabkan kelompok perlakuan S50 dan S100 memiliki jumlah ALRP yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ yang sumber seratnya berupa CMC. Hasil pengukuran total ALRP pada kelompok S100 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 menunjukkan bahwa semakin banyak tepung sorgum yang ditambahkan menyebabkan β-glukan yang tersedia untuk difermentasi lebih banyak, sehingga jumlah ALRP yang dihasilkan juga semakin tinggi. Karena kemampuan terfermentasinya yang rendah, sumber serat berupa CMC pada kelompok kontrol yang menyebabkan produksi ALRP yang lebih rendah dibandingkan kelompok sorgum. Hasil penelitian Smits et al. (1997) menunjukkan bahwa pemberian CMC pada ayam broiler menghasilkan jumlah ALRP yang lebih rendah dibandingkan pemberian pektin. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Metzler-Zebeli et al. (2010) yakni pemberian βglukan pada ransum babi terlihat lebih meningkatkan jumlah ALRP pada feses bila dibandingkan dengan pemberian CMC. Meskipun kelompok K- dan K+ menggunakan sumber serat pangan yang sama, yakni CMC, namun terlihat jumlah ALRP pada kelompok K+ lebih rendah dibandingkan kelompok K-. Hal ini dikarenakan adanya kondisi distress akibat induksi AOM-DSS yang menyebabkan menurunnya konsumsi ransum pada kelompok K+ (Tabel 9). Menurunnya konsumsi ransum pada kelompok ini menyebabkan jumlah serat pangan yang tersedia untuk difermentasi juga lebih sedikit. Akibatnya jumlah ALRP yang dihasilkan menjadi sangat rendah. Selain itu, komposisi asam asetat, propionat, dan butirat yang dihasilkan selama fermentasi juga tergantung jenis serat pangan. Meskipun proporsi relatif dari ALRP dapat berbeda-beda, namun asam asetat umumnya merupakan produk utama. Pektin merupakan sumber yang baik untuk asam asetat. Arabinogalaktan dan guar gum merupakan sumber yang kurang baik bagi asam asetat, namun mampu menghasilkan asam propionat dalam jumlah tinggi. Pati, inulin, raffinosa dan β-glukan diketahui mampu menghasilkan asam butirat dalam jumlah tinggi selama fermentasi (Casterline et al. 1997).
72
Adapun fermentasi CMC cenderung lebih menghasilkan asam asetat dan propionat Metzler-Zebeli et al. (2010). Kelompok S50 dan S100 memiliki jumlah asam butirat yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ (Tabel 13). Jumlah asam butirat juga meningkat seiring semakin banyaknya tepung sorgum yang ditambahkan pada ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Casterline et al. (1997) yang menyatakan bahwa fermentasi β-glukan akan menghasilkan jumlah asam butirat yang tinggi. Pemberian β-glukan yang berasal dari oat dan barley pada tikus percobaan menunjukkan distribusi molar asam butirat sebanyak 15% dan sebanyak 26% pada penelitian in vitro (Henningsson et al. 2001). Selain jenis serat, waktu juga berperan terhadap adaptasi mikroflora yang selanjutnya akan menentukan pola ALRP yang akan terbentuk selama fermentasi. Pemberian pati kentang mentah pada tikus selama 4 minggu menunjukkan peningkatan proporsi asam butirat yang signifikan pada sekum. Namun, penambahan lama waktu adaptasi menjadi 6 minggu ternyata tidak memberikan efek terhadap proporsi asam butirat (Henningson et al. 2001). Asam butirat merupakan substrat energi utama bagi sel-sel kolon dan dimetabolisme menjadi glukosa dan glutamin, yang memenuhi 70% kebutuhan mukosa kolon. Asam butirat dilaporkan berperan penting dalam pencegahan dan perawatan dari penyakit mukosa kolon, misalnya peradangan kolon bagian distal serta kanker kolon (Scheppach et al. 1995). Hal ini didukung oleh penelitian mengenai pemberian diet kaya β-glukan dari oat mampu menurunkan sakit abdominal dan refluks gastroesofageal pada pasien ulcerative colitis (radang usus). Hal ini dikarenakan diet kaya β-glukan dari dedak oat diketahui dapat meningkatkan konsentrasi asam butirat pada feses (Henningsson et al. 2001). Meskipun asam butirat berperan sebagai sumber energi utama untuk epitel kolon normal dan menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon, namun pertumbuhan sel tumor pada kolon justru terhambat. Asam butirat juga mampu meningkatkan diferensiasi sel dan menstimulasi apoptosis pada sel tumor. Pada hewan model, konsentrasi asam butirat yang tinggi pada kolon yang dihasilkan dari fermentasi dedak gandum, pati resisten, dan
73
fruktooligosakarida diketahui mampu menjadi agen protektif terhadap karsinogenesis kolon akibat induksi karsinogen (Perrin et al. 2001b). Karena asam butirat diketahui bermanfaat bagi kesehatan kolon, maka terdapat beberapa penelitian mengenai usaha pemberian butirat dalam bentuk tunggal secara oral kepada hewan percobaan. Deschner et al. (1990) mencoba memberikan 5% tributirin dalam diet mencit yang diinduksi azoksimetana (AOM), namun tidak terlihat adanya efek protektif terhadap pembentukan tumor kolon. Caderni et al. (1998) memberikan 1,5% (b/b) sodium butirat (150 mg butirat per hari) yang akan terlepas secara lambat hingga mencapai kolon tikus F344 yang diinduksi AOM, namun tidak terlihat manfaatnya terhadap pencegahan pembentukan kripta aberan (prekursor kanker kolon), meskipun jumlah butirat yang tersedia pada kolon lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal yang sama juga terlihat bahwa pemberian pellet 1,5% (b/b) sodium butirat tidak menunjukkan adanya efek butirat terhadap apoptosis selsel tumor (Caderni et al. 2001). Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami perbedaan peranan butirat yang diberikan dalam bentuk tunggal maupun yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan dalam perkembangan karsinogenesis kolon. 4.4 Aktivitas Enzim β-glucoronidase pada Mencit Balb/c Penelitian mengenai kemampuan bakteria kolon dalam pembentukan berbagai mutagen, karsinogen, dan promotor tumor, baik dari makanan yang dikonsumsi maupun prekursor yang diproduksi secara endogenus telah banyak dilakukan (Rowland 1995). Bakteria ini mampu berperan dalam berbagai aktivitas metabolik, termasuk pembentukan metabolit yang bersifat toksik, transformasi asam empedu, serta hidrolisis dari obat-obatan. Reaksireaksi tersebut dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteria kolon, sehingga pengukuran mengenai enzim tersebut akan memberikan indikasi mengenai kemampuan bakteri dalam mendukung terjadinya transformasi (Shiau dan Chang 1983). Salah satu enzim bakteria kolon yang memiliki aktivitas penting adalah β-glucoronidase. Enzim ini menghidrolisis MAM-GlcUA (metilazoksi-
74
metanol-glukoronida), yang merupakan hasil konjugasi MAM (metilazoksimetanol) dengan asam glukoronat ketika mencapai kolon. MAM dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase I dari AOM (azoksimetana) oleh Cytochrome P450 di hati. MAM-GlcUA yang dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase II tersebut bersifat non karsinogen, namun adanya β-glucoronidase akan menghidrolisis konjugat tersebut melepaskan MAM bebas yang merupakan karsinogen aktif. Konsentrasi MAM bebas yang tinggi pada mukosa kolon akan meningkatkan oksidasi MAM oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase) melalui reaksi alkilasi menghasilkan ion methyl carbonium. Ion tersebut bersifat hidrofilik dan mampu berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi DNA tersebut merupakan awal dari karsinogenesis kolon (Takada et al. 1982, Rosenberg et al. 2009) Humblot et al. (2007) menyatakan bahwa β-glucoronidase mampu menjadi biomarker pembentukan kanker kolon karena enzim ini berpotensi mengaktifkan toksin glukoronida hati dan mutagen. Kadar β-glucoronidase pada kolon dapat menggambarkan resiko karsinogenesis kolon. Kadar enzim ini dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak hewani, serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan (Shiau dan Chang 1983). Aktivitas enzim β-glucoronidase berhubungan dengan sekresi asam empedu. Asam empedu tersebut disekresikan pada duodenum dalam bentuk konjugat, yang kemudian didegradasi oleh enzim yang dihasilkan bakteri usus menjadi produk dekonjugasi atau asam empedu sekunder. Ekskresi konjugat asam empedu mampu meningkatkan ekskresi β-glucoronidase oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens. Ekskresi asam empedu pada feses dilaporkan meningkat seiring tingginya konsumsi lemak (Fujisawa dan Mori 1997). β-glucoronidase diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens (Jenab dan Lilian 1996). Secara umum, adanya spesies Bifidobacterium dan Lactobacillus berkaitan dengan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam pembentukan karsinogen. Hal ini dikarenakan bakteri asam laktat hanya sedikit sekali menghasilkan β-
75
glucoronidase. Oleh karena itu, peningkatan proporsi bakteri asam laktat di dalam usus dapat menurunkan aktivitas enzim tersebut (Saito et al. 1992). Tempat utama terjadinya fermentasi serat pangan pada usus besar terjadi pada bagian sekum (Zduńczyk et al. 2006). Sekum merupakan bagian awal usus besar, setelah akhir usus halus. Oleh karena itu karena itu pengukuran aktivitas enzim mikroba dapat dilakukan pada bagian sekum. Penelitian ini mengukur aktivitas β-glucoronidase pada dinding sekum. Hal ini dilakukan karena enzim ini selain terdapat pada isi sekum juga bisa ditemukan pada dinding sekum (Gadelle et al. 1985). Pengukuran
aktivitas
β-glucoronidase
dilakukan
menggunakan
phenolphtalein glucoronida. Adanya enzim β-glucoronidase di dalam sampel akan melepaskan phenolphtalein dari glukoronida, sehingga dapat digunakan sebagai prinsip pengukuran aktivitas enzim ini. Aktivitas β-glucoronidase sebanding dengan jumlah phenolphtalein yang dilepaskan, yang mana diperkirakan menggunakan kurva standar phenolphtalein. Aktivitas spesifik dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/mg protein sekum/menit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase ditentukan sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/ mg sekum/menit (Jenab dan Lilian 1996). Tabel 14 Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit Aktivitas β-glucuronidase Kelompok
Aktivitas spesifik (nmol PP/ mg protein sekum/ menit)
Aktivitas total (nmol PP/ sekum/ menit)
KK+ S50 S100
6,16 ± 2,46a 21,45 ± 6,36c 11,32 ± 2,55b 10,79 ± 3,72b
241,80 ± 103,71a 504,48 ± 128,64c 343,29 ± 62,05b 247,46 ± 76,49ab
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05).
Tabel 14 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas enzim
β-
glucuronidase pada kelompok mencit. Adanya induksi AOM-DSS tanpa pemberian tepung sorgum pada kelompok K+ menyebabkan mencit pada kelompok ini memiliki aktivitas spesifik dan aktivitas total β-glucuronidase yang secara signifikan lebih tinggi diantara kelompok yang lain. Pemberian
76
tepung sorgum pada mencit percobaan yang diinduksi AOM-DSS (kelompok S50 dan S100) menunjukkan bahwa serat pada tepung sorgum secara signifikan mampu menurunkan aktivitas spesifik dan aktivitas total βglucoronidase dibandingkan pada kelompok K+ (Lampiran 8). Penurunan aktivitas enzim
β-glucoronidase menunjukkan bahwa pemberian tepung
sorgum mampu menurunkan resiko kanker kolon. Adapun penurunan aktivitas enzim tersebut diduga adanya pengaruh dari jenis serat yang digunakan dalam komposisi ransum. Kelompok kontrol menggunakan sumber serat berupa CMC, sedangkan kelompok perlakuan menggunakan campuran serat CMC dan serat yang berasal dari sorgum. Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan β-glukan. Serat tidak larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin umumnya tahan terhadap degradasi mikrobial sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua serat larut β-glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. βglukan diketahui berpotensi mencegah terjadinya penyakit degeneratif seperti hiperglikemia,
hiperkolesterolemia,
obesitas,
penyakit
kardiovaskular,
kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik (Laroche dan Michaud 2006). Karena β-glukan lebih difermentasi secara sempurna, maka β-glukan akan lebih disukai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan selulosa. Dengan adanya kandungan serat β-glukan, pemberian sorgum diduga akan lebih meningkatkan jumlah bakteri asam laktat, yang mana bakteri ini sedikit sekali memproduksi enzim β-glucoronidase, sehingga akan menurunkan aktivitas enzim tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CMC memiliki kemampuan terfermentasi yang rendah sehingga lebih sedikit menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek yang dapat mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini dapat menyebabkan kelompok kontrol (K- dan K+) memiliki jumlah bakteri asam laktat yang lebih sedikit dibandingkan kelompok sorgum (S50 dan S100). Hanya saja penelitian mengenai jumlah bakteri asam laktat pada isi sekum tidak dilakukan pada penelitian ini.
77
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Metzler-Zebeli et al. (2010) yang menyatakan bahwa babi yang displementasi CMC memiliki jumlah Lactobacilli yang lebih rendah dibandingkan pada babi yang disuplementasi β-glukan. Meskipun kelompok K- memiliki sumber serat yang sama dengan kelompok K+ yakni berupa CMC, namun aktivitas β-glucoronidasenya terlihat lebih rendah dibandingkan pada kelompok yang diberikan sorgum. Hal ini dikarenakan kelompok K- tidak diberikan induksi karsinogen, sehingga aktivitas hidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi karsinogen juga lebih rendah. Shiau dan Chang (1983) melakukan penelitian mengenai peranan beberapa jenis serat pangan terhadap aktivitas spesifik enzim βglucoronidase. Penelitian ini menggunakan jenis serat berupa guar gum, pektin, karagenan, dan selulosa (masing-masing sebanyak 15% dalam diet) yang dibandingkan dengan pemberian diet bebas serat pada kelompok tikus percobaan. Kelompok tikus bebas serat memiliki aktivitas spesifik βglucoronidase yang paling tinggi dibandingkan kelompok tikus yang lain, yakni 5,8±0,7 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N), diikuti
karagenan
(1,8±0,6 mol phenolphtalein/ (menit*mg N)), selulosa (1,2±0,4 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)), guar gum (1,0±0,3 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)), dan pektin (0,8±0,1 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)). Hal yang sedikit berbeda terlihat pada hasil pengukuran aktivitas total. Kelompok tikus bebas serat masih memiliki aktivitas total yang paling tinggi, yakni 894±207 µmol phenolphtalein/ (menit*hari), kemudian diikuti selulosa (303±110 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), karagenan (243±108 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), guar gum (208±55 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), dan pektin (112±32 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)). Pada penelitian ini, penurunan aktivitas β-glucoronidase pada kelompok sorgum diduga hanya terjadi karena adanya peningkatan jumlah bakteria asam laktat yang hanya sedikit sekali memproduksi enzim tersebut. Hal ini dikarenakan enzim β-glucoronidase memiliki pH optimum sekitar 6,5 – 7,0 (Gadelle et al. 1984). Hasil pengukuran pH feses menunjukkan bahwa semua kelompok mencit memiliki pH feses di atas 7,0. Hasil tersebut menandakan
78
bahwa semua kelompok mencit memiliki pH lingkungan kolon yang bukan merupakan pH optimum bagi β-glucoronidase ini. Oleh karena itu, penurunan aktivitas enzim ini diduga terjadi karena penurunan jumlah enzim yang diproduksi akibat meningkatnya proporsi bakteria asam laktat.
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4) dan Enzim Kaspase-3 pada Kolon Mencit Balb/c dengan Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) Inumohistokimia (IHK) merupakan salah satu metode kuantitatif untuk mendeteksi reaksi antigen-antibodi sebagai manifestasi interaksi antigenantibodi primer (Bellanti 1993). Istilah imunohistokimia lebih disukai sebagai teknik pemeriksaan imunologis pada potongan jaringan. Imunohistokimia adalah suatu metode pewarnaan antigen (misalnya protein dan karbohidrat) pada sel dari jaringan menggunakan prinsip dasar imunologi yaitu pengikatan antigen pada sisi aktif yang spesifik dengan antibodi (Brandtzaeg et al. 1997). Pereaksi yang digunakan adalah antibodi poliklonal atau monoklonal yang harus diujikan pada potongan jaringan. Hasil reaksi antigen dan antibodi ini dapat diidentifikasi pada spesimen karena antibodi diikat oleh suatu penanda yang dapat divisualisasikan, sehingga dapat menandai kerberadaan antigen di dalam jaringan (Nurhidayat 2002). Adapun cara yang paling sering digunakan untuk memvisualisasikan hasil interaksi antigen dan antibodi adalah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase (Rantam 2003). Teknik imunohistokimia polimer peroksidase merupakan teknik yang yang banyak digunakan. Teknik ini mengunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas produk warna yang terbentuk. Antibodi primer akan berikatan dengan antigen pada jaringan yang dideteksi. Antibodi primer selanjutnya akan berikatan dengan antibodi sekunder yang telah dilabel dengan peroksidase, sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-
79
antibodi. Untuk dapat mendeteksi peroksidase ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan warna pada suatu reaksi sehingga produk dapat tervisualisasi (Lehr et al. 1999). Kromogen yang digunakan adalah DAB (3,3-diaminobenzidine) sehingga menghasilkan produk berwarna coklat. Pewarnaan IHK yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua jenis antibodi primer, yaitu antibodi anti CD4 dan antibodi anti kaspase-3. CD4 merupakan protein penanda permukaan sel T helper dan kaspase-3 merupakan penanda apoptosis.
4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4) Limfosit pada mukosa usus pertama kali berinteraksi dengan antigen dalam jaringan limfoid yang terorganisasi (Peyer’s patch dan folikel limfoid pada kolon), kemudian berdiferensiasi dan matang di pusat germinal pada folikel limfoid. Setelah itu, limfosit akan dengan cepat meninggalkan mukosa dan bermigrasi melalui mesenteric lymphoid nodes (MLN) dan duktus toraks (thoracic duct) untuk mencapai sirkulasi sistemik (Stephen dan Martin 1994). Serat pangan dapat memodifikasi proporsi sel limfosit T CD4 dan CD8 pada MLN. Sel Tc CD8 meregulasi perkembangan sel Th CD4 dengan memproduksi IFN-γ atau sitokin lainnya yang menekan perkembangan sel Th2 dan mendukung perkembangan sel Th2. Sel Th1 memproduksi IL-2, IFN-γ, dan limfotoksin, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4 dan Il-5. Pada tikus yang diberikan ransum mengandung pektin, proporsi CD4 yang tinggi dan proporsi CD8 yang lebih rendah terlihat dari jumlah IFN-γ yang terbentuk dibandingkan pada tikus yang diberi serat selulosa, chitosan, dan konjak mannan. Hal ini menunjukkan bahwa pektin mampu memediasi terjadinya diferensiasi sel T menjadi sel Th (CD4) (Lim et al. 1997). Hipotesis mengenai kemampuan serat pangan dalam meningkatkan proliferasi sel limfosit dilaporkan berkaitan dengan produksi asam-asam lemak rantai pendek (ALRP), asetat, propionat, dan butirat, sebagai hasil fermentasi serat pangan (Schley dan Field 2002). Produksi ALRP, terutama butirat, di dalam kolon mampu menurunkan kebutuhan sel-sel epitel akan gluthamine, sehingga glutamin yang ada dapat digunakan oleh sel-sel lainnya,
80
misalnya sel imun (Jenkins et al. 1999). Produksi ALRP dikatakan mampu meningkatkan level glutamin dalam serum, yang mana glutamin merupakan sumber energi penting untuk sel limfosit (Wu et al. 1991). Adanya komponen fenolik juga dapat berperan sebagai antioksidan yang mampu melindungi sel limfosit dari stress oksidatif, yang diduga melalui kemampuannya dalam mendonorkan elektron atau mekanisme menangkap (scavanger) radikal bebas menjadi produk non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam (quencher) sehingga tidak memicu terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH*) yang bersifat sangat reaktif merusak sel. Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000) radikal bebas dapat dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron, namun jumlah radikal yang dihasilkan dapat diseimbangkan oleh jumlah komponen fenolik ata sistem antioksidan yang ada dalam tubuh sehingga tidak terjadi stress oksidatif pada sel limfosit.
LH
+
LOO*
ArOH + LOO*
LOOH +ArOH*
ArO* + LO*
LOO – ArO
ArOH + M
AOH – M
(a)
(b)
Gambar 17 Reaksi scavanger (a) dan reaksi quencher (b) dari komponen fenolik (Hall dan Cuppet 1997) Mekanisme scavanger senyawa antioksidan fenolik (ArOH) melalui pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO*) sehingga radikal peroksil tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil (ArO*) (reaksi a). Radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkoksil (LO*) membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-ArO) dan mekanisme pengkelat logam (reaksi b) (Hall dan Cuppet 1997). Dugaan mekanisme
81
komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif dapat dilihat pada Gambar 17. Selain itu, peningkatan respon proliferasi sel limfosit juga diduga karena komponen fenolik seperti asam ferulat, p-caumarin, dan flavonoid, yang sangat mudah berikatan protein (Rooney 2005). Terikatnya senyawa fenol pada protein reseptor membran limfosit akan mengaktivasi sistem enzim membran yang berperan dalam proliferasi. Pengikatan komponen bioaktif sorgum pada reseptor permukaan sel T mengaktivasi protein G yang selanjutnya mengaktivasi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3), dua molekul yang berperan dalam penandaan membran sel. Inositol trifosfat berdifusi dari membran plasma ke sitosol dan berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik Calciumsequestering Compartement. Pengikatan tersebut menyebabkan terbukanya pintu saluran Ca2+ dan berakibat pada peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim protein kinase C. Protein kinase C teraktivasi memfosforilasi atau memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na+-H+ dan berakibat pada peningkatan pH. Peningkatan pH tersebut memberi tanda pada sel untuk melakukan proliferasi. Pengikatan ion Ca2+ pada kalmodulin menyebabkan perubahan konformasi protein dan mengaktivasi enzim protein kinase C yang berperan dalam produksi interleukin-2 (IL-2) yang selanjutnya mengaktivasi sel limfosit B dan T untuk berproliferasi (Alberts et al. 1994, Tejasari 2007). Adapun ekspresi CD4 dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 18. Adanya protein penanda permukaan ini menunjukkan adanya sel limfosit Th pada kolon mencit. Meskipun sel Th tidak bersifat sitotoksik bagi sel kanker, tetapi dapat berperan dalam respon antikanker dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan oleh sel Tc menjadi sel efektor. Sel yang mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR (T-cell Receptor) dari sel Tc dan mengaktivasi sel Tc untuk menghancurkan
82
sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper. Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I dan sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc. Hal ini akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc terhadap sel-sel kanker (Delves dan Roitt 2000a).
K-
K+
S50
S100
Gambar 18 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK menggunakan antibodi anti-CD4. K- (Kelompok kontrol negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = positif CD4 ditandai warna coklat. Hasil pengujian atau skoring penanda CD4 pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum sebanyak 50% dan 100%
83
sebagai pengganti sumber karbohidrat maizena tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 pada mencit yang diinduksi kanker kolon. Hal ini ditunjukkan oleh skor penanda CD4 kelompok S50 dan S100 yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K+ (Tabel 15, Lampiran 9). Tabel 15 Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan pewarnaan IHK menggunakan antibodi anti-CD4 Kelompok KK+ S50 S100
Skor penanda CD4 1,20 ± 0,45a 1,67 ± 1,63ab 2,33 ± 1,03ab 2,67 ± 0,82b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05)
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa β-glukan, yang merupakan salah satu komponen serat pada sorgum, diketahui bermanfaat bagi kesehatan karena dapat meningkatkan fungsi imun dan memiliki efek antitumor (Knudsen et al. 1993). Suplementasi β-glukan dari ekstrak Saccharomyces cerivisiae pada babi, menunjukkan bahwa β-glukan mampu berperan sebagai imunomodulator dengan menumbuhkan reaksi imun spesifik dan meningkatkan imunitas nonspesifik serta toleransi terhadap antigen oral. Babi yang disuplementasi 0,02% β-glukan terlihat memiliki jumlah MHC II (Major Histocompatibility Complex), CD4, dan CD8 yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok babi yang diberi antibiotik, antibiotik dan 0,02% β-glukan, serta kelompok tanpa antibiotik atau β-glukan (Hahn et al. 2006). Penelitian Suzuki et al. (1989) menunjukkan bahwa mencit yang disuplementasi 40 dan 80 mg/kg β-glukan dari filtrat kultur jamur Sclerotina sclerotiorum memiliki respon proliferatif sel-sel limfosit yang lebih tinggi dibandingkan pada mencit yang diberikan ransum standar. Adminitrasi 80 mg/kg β-glukan secara oral juga mampu meningkatkan aktivitas sel natural killer dan aktivitas enzim lisosomal dari makrofag peritoneal. Puspawati (2009) juga melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum yang disosoh selama 20 detik sebanyak 50 dan 100% pada tikus percobaan
84
mampu meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit sebesar 70 dan 63%. Secara in vitro, ekstrak sorgum menggunakan pelarut etil asetat, etanol, dan heksana juga dilaporkan mampu menstimulasi proliferasi sel-sel limfosit (Salimi 2012). 4.5.2 Evaluasi Keberadaan Penanda Enzim Kaspase-3 Selain keberadaan penanda permukaan CD4, keberadaan enzim apoptosis juga penting diamati untuk melihat kemampuan suatu bahan pangan sebagai pencegah kanker kolon. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, yang merupakan proses fisiologis penting dalam perkembangan normal untuk menjaga homeostasis sel. Peningkatan apoptosis dari sel-sel kanker dapat digunakan sebagai salah satu metode representatif untuk mencari potensi antikanker dari suatu bahan. Adapun β-glukan dilaporkan memiliki efek apoptosis terhadap sel kanker kolon melalui jalur kaspase-3 (Kim et al. 2009). Oleh karena itu, keberadaan β-glukan pada sorgum menjadi sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan keberadaan enzim ini. Kaspase-3 merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis, dengan sasaran morfologis berupa perubahan ukuran inti sel (Foitzik et al. 2009). Adanya ekspresi kaspase-3 pada jaringan kolon dapat diamati pada Gambar 19. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sorgum mampu meningkatkan ekspresi kaspase-3 pada kolon mencit. Hal ini dapat dilihat dari skor penanda kaspase-3 pada kelompok S50 dan S100 yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok K+ (Tabel 16, Lampiran 10). Tabel 16 Skor penanda kaspase-3 pada kolon dengan pewarnaan IHK Kelompok KK+ S50 S100
Skor penanda Kaspase-3 1,00 ± 0,71a 1,20 ± 0,45a 2,80 ± 0,84b 2,80 ± 1,10b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
85
Meskipun telah banyak dilaporkan efek anti-tumor dari β-glukan, namun mekanisme antikanker kolon melalui jalur kaspase masih belum diketahui secara pasti. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2009) menunjukkan bahwa β-glukan dari hasil fermentasi strain mutan spesies Aureobasidum mampu menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker kolon manusia SNU-C4. Penambahan β-glukan pada kultur sel mampu menghambat proliferasi sel, menyebabkan apoptosis, perubahan morfologi sel, dan ekspresi gen apoptosis, serta meningkatkan aktivitas enzim kaspase3. Aktivitas enzim kaspase-3 pada kultur sel SNU-C4 yang diberikan 50 dan 100µg/mL secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada sel SNU-C4 tanpa β-glukan, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara konsentrasi β-glukan 50 dan 100µg/mL.
K-
K+
S50
S100
Gambar 19 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK menggunakan antibodi anti-Kaspase-3. K- (Kelompok kontrol negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = positif Kaspase-3 ditandai warna coklat.
86
Induksi terjadinya apoptosis sel-sel tumor oleh butirat sebagai hasil fermentasi serat pangan di dalam kolon juga dikatakan sebagai salah satu mekanisme penting dalam perlindungan terhadap kanker kolon. Butirat diketahui merupakan inhibitor histone deacetylase yang menyebabkan relaksasi kromatin dan merubah ekspresi gen, sehingga dapat menginduksi terjadinya apoptosis melalui derepresi gen kematian sel yang spesifik. Adanya perubahan struktur kromatin tersebut menyebabkan ekspresi protein yang memfasilitasi jalur dimana mitokondria akan mengaktifkan kaspase-3 dan memicu apoptosis sel-sel kanker. Struktur kromatin yang lebih terbuka menyebabkan daerah internukleosomal DNA lebih mudah dipotong oleh endonuklease apoptotik (Medina et al. 1997). Ruemmele et al. (2003) juga melaporkan peranan butirat dalam mekanisme apoptosis melalui jalur mitokondria. Aktivasi kaspase dimediasi oleh kelompok protein Bcl-2 yang berperan sebagai anti-apoptosis dan kelompok protein Bax yang berperan sebagai pro-apoptosis. Pada jalur aoptosis melalui mitokondria, rasio ekpresi dari kelompok protein proapoptosis dan anti-apoptosis dapat menunjukkan pertahanan atau kematian sel. Adanya butirat dapat menurunkan kadar Bcl-2 dan meningkatkan kadar Bax. Meningkatnya kadar Bax akan merubah permeabilitas membran mitokondria dan membentuk saluran ion. Perubahan pada bagian terluar membran ini menyebabkan keluarnya molekul apoptosis mitokodria, seperti sitokrom c atau apoptosis inducing factor (AIF). Di dalam sitosol, sitokrom c dengan keberadaan ATP akan bergabung dengan APAF-1 (Apoptotic Protease Activating Factor - 1) dan proenzim kaspase-9 membentuk apoptosom. Hal ini menyebabkan aktivasi kaspase-9 dan turunannya, kaspase-3, yang menyebabkan kematian sel melalui apoptosis (Ruemmele et al. 2003). Adapun konsentrasi millimolar butirat yang dibutuhkan untuk menginduksi terjadinya apoptosis adalah sama dengan yang dibutuhkan untuk diferensiasi dan pertumbuhan (McIntyre et al. 1993). Namun konsentrasi butirat intraseluler yang efektif belum diketahui karena butirat dimetabolisme
87
dengan sangat cepat di mitokondria melalui β-oksidasi. Akibatnya sel-sel yang memiliki laju metabolisme butirat yang tinggi menjadi lebih tidak rentan terhadap efek apoptosis. Oleh karena itu, hal ini dapat menjelaskan mengapa sel kolonosit normal menggunakan butirat menjadi sumber energi utama tanpa terpengaruh efek apoptosis, meskipun konsentrasi butirat dalam kolon tinggi (150mM) (Roediger 1982). Terjadinya apoptosis selain diduga karena adanya efek dari asam butirat juga diduga merupakan akibat komponen bioaktif terdapat pada biji sorgum. Komponen bioaktif seperti asam fenolat berperan dalam mencegah kanker dan antigenotoksik karena langsung berinteraksi dengan reseptor aril hidrokarbon (Kampa et al. 2003). Senyawa bioaktif yang terdapat pada sorgum diduga berinterkalasi dengan DNA sehingga secara langsung akan mempengaruhi transkripsi dan replikasi. Polifenol dilaporkan
mampu
membentuk komplek tripartit dengan topoisomerase II dan DNA. Topoisomerase II adalah suatu enzim tergantung ATP yang bekerja mengikat DNA dan menyebabkan pemutusan rantai ganda (double-strand break) pada ujung 3’fosfat sehingga memungkinkan penukaran rantai dan pelurusan superkoil DNA. Pelurusan rantai ini diikuti dengan penyambungan rantai DNA oleh topoisomerase II. Topoisomerase ini sangat penting fungsinya dalam replikasi dan perbaikan DNA. Pembentukan kompleks tripartit tersebut akan menghambat penyambungan kembali rantai DNA, menyebabkan penghambatan daur sel terhenti di fase G1 dan G2 serta memacu terjadinya apoptosis. Adanya gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA akan memicu kematian sel secara apoptosis (Bandele et al. 2008). Pengujian secara in vitro yang dilaporkan oleh Shih et al. (2007) menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin yang diisolasi dari sorgum dapat menghambat proliferasi sel kanker leukemia HL60 sebesar 90% dan sel kanker hepatoma HepG2 sebesar 50%. Ekstrak sorgum yang mengandung tanin juga mampu menghambat proliferasi sel kanker esophagus OE33 dan kolon HT-29 (Awika et al. 2009). Yang et al. (2009) melaporkan bahwa 3deoksiantosianidin yang terdapat dalam sorgum merah, hitam dan putih
88
mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon HT-29 lebih tinggi dibandingkan ekstrak pigmen cabe merah. Ekstrak etil asetat dan etanol dari sorgum juga mampu menunjukkan kemampuan dalam menghambat proliferasi sel kanker serviks HeLa, sel kanker kolon HCT 116, sel kanker paru-paru A549, dan sel kanker limfoma Raji. Ekstrak etil asetat terlihat lebih mampu menghambat sel HeLa dengan nilai penghambatan 25.4% pada konsentrasi 2440 µg/ml ekstrak etil asetat sorgum non sosoh (Salimi 2012). Pelarut etil asetat dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon dan glikosida, sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999). Sebaliknya, penghambatan sel kanker HCT 116, A549, dan Raji diketahui lebih disebabkan karena ekstrak etanol. Nilai penghambatan sel HCT 116 adalah sebesar 22.3 % pada konsentrasi 5200 µg/ml ekstrak sorgum dengan derajat sosoh 50%. Pada sel A549, nilai penghambatan adalah sebesar 23.7 % pada konsentrasi 4020 µg/ml ekstrak
sorgum non sosoh. Nilai
penghambatan yang tertinggi diketahui terjadi pada sel Raji yakni sebesar 80,08% pada konsentrasi 2600µg/ml ekstrak sorgum dengan derajat sosoh 50% (Salimi 2012). Etanol dapat melarutkan komponen polifenol yang telah terbukti bersifat toksik terhadap sel kanker. Kemampuan ekstrak etanol sorgum menghambat sel kanker karena ekstrak ini mengandung senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang, flavonoid aglikon, antosianin, terpenoid, saponin, tannin, flavon, fenon, dan polifenol (Dehkharghanian et al. 2010).
89
4.6 Dugaan Penghambatan Perkembangan Kanker Kolon oleh Sorgum Sorgum Sebagai Prebiotik
Serat Pangan
Komponen fitokimia
Fermentasi dalam kolon Asam lemak rantai pendek (asetat, propionat, butirat)
Pengikatan metabolit reaktif (Ruemmele et al. 2003; Michels et al. 2005)
Pe ↓ pH feses
Pe ↑ bakteri asam laktat (BAL)
Perubahan pH optimum enzim
Pe ↓ aktivitas β-glucoronidase (Salimi 2012)
MAM-GlcUA
Keterangan : hidrolisis
Dugaan dari hasil penelitian
Dugaan dari hasil studi literatur
(Takada et al. 1982)
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pemberian tepung sorgum pada ransum kelompok S50 (50% sumber karbohidrat berasal dari sorgum) dan S100 (100% sumber karbohidrat berasal dari sorgum) mampu menunjukkan penghambatan pada perkembangan kanker kolon akibat induksi AOM-DSS. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas enzim β-glucoronidase yang lebih rendah dan ekspresi enzim kaspase-3 yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan K+. Hasil tersebut juga ditunjang dari perbaikan profil histopatologi dari organ kolon, hati, dan ginjal serta nilai konsumsi ransum rata-rata kelompok S50 dan S100 yang lebih tinggi dibandingkan K+. Adapun kelompok S100 memiliki penurunan pH feses serta peningkatan total asam lemak rantai pendek dan total butirat yang lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 dan K+. Hanya saja pemberian sorgum pada kelompok S50 dan S100 tidak meningkatkan ekspresi CD4 secara signifikan dibandingkan kelompok K+. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemberian sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam menghambat perkembangan kanker kolon dibandingkan pada kelompok S50. Hal ini menandakan bahwa penggunaan 100% sumber karbohidrat yang berasal dari sorgum sosoh 50% sangat baik untuk dikonsumsi. 5.2 Saran Untuk melihat kemampuan sorgum dalam mencegah karsinogenesis kolon, perlu dilakukan pengujian in vivo dengan memberikan tepung sorgum pada mencit sebelum diberikan induksi AOM-DSS. Untuk memastikan pengaruh ALRP terhadap jenis bakteri yang tumbuh pada kolon perlu dilakukan pengujian bakteri asam laktat pada sampel isi kolon. Selain itu, perlu dilakukan analisis keberadaan sel T sitotoksik (Tc) dan sel natural killer, sebagai sel imun yang berpengaruh langsung dalam membunuh sel-sel kanker.
DAFTAR PUSTAKA
Aberoumand A, Deokule SS. 2008. Comparison of phenolic compounds of some edible plants of Iran and India. Pakistan J of Nutr 7: 582-585. Acharyya S, Butchbach MER, Sahenk Z, Wang H, Saji M, Carathers M, Ringel MD, Skipworth RJE, Fearon KCH, Hollingsworth MA, Muscarella P, Burghes AHM, Rafael FJA, Guttridge DC. 2005. Dystrophin glycoprotein complex dysfunction: a regulatory link between muscular dystrophy and cancer cachexia. Cancer Cell 8: 421-432. Adistya A. 2006. Kajian nasi sorghum sebagai pangan fungsional. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor. Adom KK, Sorrells ME, Liu RH. 2003. Phytochemical profiles and antioxidant activity of wheat varieties. J Agric Food Chem 51: 7825-7834. Alberts B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts KD, Watson JD. 1994. Molecular Biology of the Cell. Gariand Pub. Co, New York. Amic D, Davidovic D, Beslo D, Trinajsti N.2003. Structure-radical scavenging activity relationships of flavonoids. Croatica Chem Acta 76: 55- 61. Andoh A, Fujiyama Y. 2004. Anti-inflammatory roles of dietary fiber and shortchain fatty acids as regards inflammatory bowel diseases. Agro Food Ind. 1: 42–43. Awika JM, Rooney LW. 2004. Sorghum phytochemical and their potential impact on human health. J Science Phytochemistry 65 (9): 1199-1221. Awika JM, Rooney LW, Wu XL, Prior RL, Cisneros ZL. 2004. Antioxidant properties of sorghums assessed by three methods. Texas A&M University, Texas. Awika JM, Rooney LW, Waniska RD. 2004. Anthocyanins from black sorhgum and their antioxidant properties. Food Chem 90:293-301. Awika JM., Yang L, Jimmy D. 2009. Comparative antioxidant, antiproliferative and phase II enzyme inducing potential of sorghum (Sorghum bicolor) varieties. J Food Sci 42:1041–1046. Bandele OJ, Clawson SJ, Osheroffn, 2008. Dietary Poliphenols as Topoisomerase II Poisons : B Ring and C Ring Substituents Determine the Mechanism of Enzyme-Mediated DNA Cleavage Enhancement. Chem Res Toxicol 21:1253-1260. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi Ketujuh. Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
94
Barcelo A, Claustre J, Moro F, Chayvialle J-A, Cuber J-C, Plaisancie P. 2000. Mucin secretion is modulated by luminal factors in the isolated vascularly perfused rat colon. Gut 46: 218-224. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Terjemahan. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Benbrook CM. 2005. Elevating antioxidant levels in food through organic farming and food processing. An Org Center State of sci Rev. Berg DJ. 2002. Rapid development of colitis in NSAID-treated IL-10 deficient mice. Gastroenterology 123: 1527-42. Bevelander G. 1979. Dasar-Dasar Histologi. Edisi ke-8. Wisnu Gunarso, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Bruera ED, Fainsinger RL. 2003. Clinical management of chachexia and anorexia. In: Oxford textbook of Palliative Medicine. Oxford University Press, 548 – 557. Caderni G, Luceri C, De Filippo C, Salvadori M, Giannini A, Tessitore L, Dolara P. 2001. Slow-release pellets of sodium butyrate do not modify azoxymethane (AOM)-induced intestinal carcinogenesis in F344 rats. Carcinogenesis 22: 525–527. Caderni G, Luceri C, Lancioni L, Tessitore L, Dolara P. 1998. Slow-release pellets of sodium butyrate increase apoptosis in the colon of rats treated with azoxymethane, without affecting aberrant crypt foci and colonic proliferation. Nutr Cancer 30: 175–181. Cassidy A, Bingham SA, Cummings JH. 1994. Starch intake and colorectal risk: an international comparison. British J Cancer 69: 937-942. Casterline JLJ, Oles CJ, Ku Y. 1997. In vitro Fermentation of Various Food Fiber Fractions. J Agric Food Chem 45: 2463-2467. Chao A, Thun MJ, Connell CJ, McCullough ML, Jacobs EJ, Flanders WD, Rodriguez C, Sinha R, Calle EE. 2005. Meat consumption and risk of colorectal cancer. American Medical Assosiation 293(2): 171-182. Cheung NK, Modak S, VickersA, Knuckles B. 2002. Orally administered βglucans enhance anti-tumor effects of monoclonal antibodies. Cancer Immunol. Immunother. 51: 557–564. Clausen MR, Mortensen PB. 1994. Kinetic studies on the metabolism of shortchain fatty acids and glucose by isolated rat colonocytes. Gastroenterology 106: 423-432.
95
Cooper HS, Murthy SN, Shah RS, Sedergran DJ. 1993. Clinicopathologic study of dextran sulfate sodium experimental murine colitis. Lab. Invest 69: 238249. Corwin EJ. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Cotran RS, Kumar V, Robbin SL. 1994. Cancer genetics. Di dalam Fenton RG dan Longo Dl, eds. Cell biology of cancer. McGrew Hill, New York. Coudray C, Bellanger J, Castiglia DC, Remesy C, Vermorel M, Rayssignuier Y. 1997. Effect of soluble or partly soluble dietary fibres supplementation on absorption and balance of calcium, magnesium, iron, and zinc in healthy young men. Eur J Clin Nutr 51: 375-380. Cowan MM. 1999. Plants product as antimicrobial agents. Clin Microb Rev 4:564-582. Cross AJ, Pollock JRA, Bingham SA. 2003. Haem, not protein or inorganic iron, is responsible for endogenous intestinal N-nitrosanitation arising from red meat. Cancer Res. 63: 2358-2360. Cummings JH, MacFarlane GT. 1997. Colonic microflora: nutrition and health. Nutrition 13, 476. Davey P. 2006. Medicine at a Glance. Erlangga, Jakarta. Dehkharghanian M, Adenier H, Vijayalakshmi MA.2010. Analytical methods study of flavonoids in aqueous spinach extract using positive electrospray ionization tandem quadrupole mass spectrometry. Food Chem 121:863870. Delves PJ, Roitt IM. 2000a. The immune system: first of two parts. New England J of Medicine 343: 37-49. Delves PJ, Roitt IM. 2000b. The immune system: second of two parts. New England J of Medicine 343: 108-117. Deschner EE, Ruperto JF, Lupton, JR. 1990. Dietary butyrate (tributyrin) does not enhance AOM-induced colon tumorigenesis. Cancer Lett 53: 79–32. Dicko M, Hilhorst R, Gruppen H, Traore A, Laane C, Van Berkel WJH, Voragen AGJ. 2002. Comparison of content in phenolic compounds, phenolic oxidase, and peroxidase in grains of fifty sorghum varieties from Burkina Faso. J of Agric and Food Chem 50: 3780-3788. Dicko MH, Gruppen H, Traore AS, Voragen AGJ, van Berkel WJH. 2006. Phenoloic compound and related enzymes as determinant of sorghum for food use. Biotechno Mol. Biology Rev 1(1): 21-38.
96
Direktorat Serealia. 2006. Budidaya sorgum. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta. [Ditjentanpan] Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2006. Sorgum. Direktorat Budidaya Serealia, Jakarta. Dykes L, Rooney LW. 2007. Phenolic compounds in cereal grains and their health benefits. Cereal Food World 52:105-11. Dykes L, Rooney LD, Waniska RD, Rooney WL. 2005. Phenolic compounds and antioxidant activity of sorghum grain of varying genotypes. J Agric. Food Chem. 53: 6813-6818. [FAO] Food Agricultural Organization. http://www.fao.org. [21 Juli 2011].
2005.
Production
cereal.
Filipek J, Dvorak R. 2009. Determination of the volatile fatty acid content in the rumen liquid: comparison of gas chromatography and capillary isotachophoresis. Acta Vet Brno 78: 627-633. Filipiak M. 2001. Electrochemical analysis of polyphenolic compounds. Anal Sci 17: 1667. Foitzik A, Preckel H, Mumtsidu. 2009. Image-based quantification of apoptosis by caspase-3 activation. Application Note. Hamburg, DE: Biologicl Application PerkinElmer, Cellular Technologies, Germany GmbH Biodiscovery. Frappier BL. 2006. Digestive System. Di dalam: JA Eurell dan BL Frappier, ed. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Edisi ke-6. Blackwell Publishing, Oxford. Fujisawa T, Mori M. 1997. Influence of various bile salts on β-glucoronidase activity of intestinal bacteria. Letters in Apllied Micrbiology 25: 95-97. Fujisawa T, Mori M. 1997. Infuence of various bile salts on b-glucuronidase activity of intestinal bacteria. Letters in Applied Microbiology 25: 95-97. Gadelle D, Pierre R, Edmond S. 1985. β-glucoronidase activities of intestinal bacteria determined both in vitro and in vivo in gnobiotic rats. Applied and Environmental Microbiology 49(3): 682-685. Gewies A. 2003. Introduction to apoptosis. Apo Review 1-26. Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of human colonic microbiota: introducing the concepts of prebiotics. J Nutr 125: 1401-1412. Giovannucci E. 1995. Insulin and colon cancer. Cancer Causes Control 6, 164.
97
Gryfe R, Swallow C, Bapat B, Redston M, Gallinger S, Couture J. 1997. Molecular biology of colorectal cancer. Curr Probl Cancer 21(5): 233-300. Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan, penerjemah. Edisi ke-9. EGC, Jakarta. Hahn TW, Lohakare JD, Lee SL, Moon WK, dan Chae BJ. 2006. Effects of supplementation of β-glucans on growth performance, nutrient digestibility, and immunity in weanling pigs. J Anim Sci 84: 1422-1428. Hall CA, Cuppet SL. 1997. Structure activities of natural antioxidant: antioxidant methodology in vivo and in vitro concept. Auroma OI, Cuppet SL (eds.). AOAC Press, USA. Haliwell B, Gutteridge JMC. 2000. Free radical, antioxidant, and human disease: we are we now?. J Lab Clin Med 119: 598-613. Hamilton SR, Vogestein B, Kudo S, Riboli E. 2000. Tumours of the colon and rectum. Di dalam Hamilton SR dan Aaltonen La, eds. World health organization classification of tumoors. Pathology and genetics tumours of the digestive system. IARC Press, France. Hata K, Yamada Y, Kuno T, Hirose Y, Hara A, Qiang SH, Mori H. 2004. Tumor formation is correlated with expression of b-catenin-accumulated crypts in azoxymethane-induced colon carcinogenesis in mice. Cancer Sci. 95: 316320. Heavey PM, MCKenna D, Rowland IR. 2004. Colorectal cancer and teh relationship between genes and the environment. Nutrition and Cancer 2: 124-141. Henningsson A, Inger B, Margareta N. 2001. Short chain fatty acid formation at fermentation of inigestible carbohydrates. Scandinavian J of Nutr 45: 165168. Hill JW, Petruci RH. 2002. General Chemistry. Prentice Hall. Howe GR. et al. 1992. Dietary intake of fiber and decreased risk of cancers of the colon and rectum: evidence from the combined analysis of 13 case-control studies. J Natl Cancer Inst 84, 1887. Humblot C, Michael M, Lionel R, Martine B, Anthony B, Claude A, Jamila A, Sylvie R. 2007. β-glucoronidase in human intestinal microbiota is necesary for the colonic genotoxicity of the food-borne carcinogen 2-amino-3methylimidazo[4,5-f]quinoline in rats. Carcinogenesis 28(11): 2419-2425. Humblot C, Michael M, Lionel R, Martine B, Anthony B, Claude A, Jamila A, Sylvie R. 2007. β-Glucuronidase in human intestinal microbiota is necessa-
98
ry for the colonic genotoxicity of the food-borne carcinogen 2-amino-3methylimidazo[4,5-f]quinoline in rats. Carcinogenesis 28(11): 2419-2425. Humblot C. 2004. Protective effect of Brussels sprouts, prebiotics and fermented milk towards IQ-induced genotoxicity in the human flora-associated F344 rat: role of xenobiotic metabolizing enzymes and intestinal microflora. J Chromatogr. B Analyt. Technol. Biomed. Life Sci 802: 231–237. Itzkowtz SH, Yio X. 2004. Inflammation and cancer IV. Colorectal cancer in inflammatory bowel disease: the role of inflammation. Am J Physiol gastrointest liver Physiol 287: G7-17. Jemal A, Freddie B, Melissa M, Jacques F, Elizabeth W, David F. 2011. Global cancer statistics. CA Cancer J Clin 61: 73-76. Jenab M, Lilian UT. 1996. The influence of flaxseed and lignans on colon carcinogenesis and β-glucoronidase activity. Carcinogenesis 17(6): 1341348. Jenkins DJA, Kendall CWC, Vuksan V. 1999. Inulin, oligofructose and intestinal function. J of Nutr 129: 1431-1433. Kamath VG, Arun C, Rajini PS. 2004. Antiradical properties of sorghum (Sorghum bicolor L. Moench). J of Cereal Science 40: 283-288. Kastomo D. 2007. Kolon endometriosis. Ind J Cancer 2: 73-76. Kampa M, Alexaki VI, Notas G, Nifli AP, Nistikaki A, Hatzoglou A, Bakogeorgou E, Kouimtzoglou E, Boskou D, Gravanis, A., and Castanas, E., 2003, Antiproliferative and apoptotic effects of selective phenolic acids on T47D human breast cancer cells: potential mechanisms of action, Breast Cancer Res 6: R63-R74. Kanter M, Coskun O, Korkmaz A, Oter S. 2004. Effects of nigela sativa on oxidative stress and B-cell damaged in streptozotocin-induced diabetic rats. The Anatomical Record Part A 279A: 685-691. Katayama M, Xu D, Specian RD, Deitch EA .1997. Role of bacterial adherence and the mucus barrier on bacterial translocation: effects of protein malnutrition and endotoxin in rats. Annals of Surgery 225: 317–326. Kaviarasan K, Kalaiarasin P, Pugalendi V. 2008. Antioxidant efficacy of flavonoid rich fraction from Spermacoce hispida in hyperlipidemic rats. J Appl Biomed 6: 165-176. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory & Practice. London, Pergamon Press.
99
Kim MJ, Hong SY, Kim SK, Cheong C, Park HJ, Chun HK, Jang Kh, Yoon BD, Kim CH, Kang SA. 2009. β-glucan enhanced apoptosis in human colon cancer cells SNU-C4. Nutr Research and Practice 3(3): 180-184. Kim YI. 2000. Impact of dietary fibre in colon cancer occurance. Gastroenterology 118: 1235-1257. Knudsen KE, Jensen BB, Hansen BI. 1993. Digestion of polysaccharides and other major components in the small and large intestine of pig fed on diets consisting of oat fractions rich in β-D-glucan. Br J Nutr 70: 537-556. Kresno SB. 1996. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi II. Jakarta, FK UI. La Vecchia C. et al. 1997. Diabetes mellitus and colorectal cancer risk. Cancer Epidemiol. Biomarkers Prev. 6, 1007. Laroche C, Michaud P. 2006. New development and prospective applications for β (1,3) glucans. Recent Patent on Biotech 1: 59-73. Leder I. 2004. Sorghum and millet in cultivaeted plants, primarily as food sources, in encyclopedia of life support system. Eolss publisher, Oxford. Lehr S, Kotzka J, Herkner A, Klein E, Siethoff C, Knebel B, Noelle V, Brüning JC, Klein HW, Meyer HE, Krone W, Müller-Wieland D. 1999. Identification of tyrosine phosphorylation sites in human Gab-1 protein by EGF receptor kinase in vitro. Biochem 38(1): 151-9. Leu RKL, Ian LB, Ying H, Adrian E, Graeme, PY. 2007. Supression of azoxymethane-induced colon cancer developments in rats by dietary resistent starch. Cancer Biology and Therapy 6(10): 1621-1626. Levi EP, Hodgson E, Leblanc GA. 2000. Elimination of toxicants. Di dalam: Modern Toxicology. Levi EP, Hodgson E, eds. Edisi ke-2. McGraw Hill, Singapore. Levi PE. 2000. A textbook of modern toxicology. MacGrew Hill, Singapore. Lewis JB. 2008. Effect of bran sorghum grains containing different classes and levels of bioactive compounds in colon carcinogenesis. [Thesis]. Texas A&M University, Texas. Lim BO, yamada K, Nonaka M, Kuramato Y, hung P, dan Sugano M. 1997. Dietary fibers modulate indices of intestinal immune function in rats. J Nutr 127: 663-667. Lorenz KJ, Karel K. 1991. Handbook of Cerealia Science and Technology. Marcel Dekker, Hongkong.
100
Lugasi A, Hovari J, Sagi KV, Biro L.2003. The role of antioxidant phytonutrients in prevention of diseases. Acta Biol Szeg 47: 119-125. Lupton JR. 2004. Microbial degradation products influence colon cancer risk: the butyrate controversy. J Nutri. 134: 479. Manach C, Wiliamson G, Morad C, Scalbert A, Remesy C. 2005. Bioavailability and Bioefficacy of Polyphenols in Human. I Review of 97 Bioavailability Studies. Am J Clin Nutr 81: 230S-42S. Martin LJM, Dumon HJW, Champ MMJ. 1998. Production of short-chain fatty acids from resistant starch in a pig model. J Sci Food Agric 77: 71-80. McIntyre A, Gibson PR, Young GP. 1993. Butyrate production from dietary fibre and protection against large bowel cancer in a rat model. Gut 34: 386-391. Medina V, Edmonds B, Young GP. 1997. Induction of caspase-3 protease activity and apoptosis by butyrate and trichostatin a (inhibitors of histone deacetylase): dependence on protein synthesis and synergy with a mitochondrial/cytochrome c-dependent pathway. Cancer Res 57: 3697-3707. Metzler-Zebeli BU, Hooda S, Zijlstra, Mosenthin R, Ganzle MG. 2010. Dietary supplementation of viscous and fermentable non-starch polysaccharides (NSP) modulates microbial fermentation in pigs. Livestock Sci 133: 95-97. Michels G, Watjen W, Niering P, Steffan B, Thi QH, Chovolou Y, Kampkotter A, Bast A, Proksch P, Kahl R. 2005. Pro-apoptotic effects of the flavonoid luteolin in rat H4Iie cells. Toxicology 206:337-48. Mortensen FV, Nielsen H, Mulvany MJ, Hessov I. 1990. Short chain fatty acids dilate isolated human colonic resistance arteries. Gut 31: 1391-1394. Mudjisihono R , Suprapto HS. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya, Jakarta. Napitupulu, A. 2006. Kajian pemanfaatan tepung sorgum dalam pembuatan biskuit marie. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor. NAS National Academic of Sciences. 1996. Rodents. National Academy Press, Washington. Neufert C. 2007. An inducible mouse model of colon carcinogenesis for the analysis of sporadic and inflamation driven tumor progession. Proc. Natl. Acad. Sci USA 103: 12098-12102. Newton AH. 2004. Effects of fish oil and butyrate on diet-mediated apoptosis at the promotion stage of colon carcinogenesis. [Thesis]. Texas, Texas A7M Universsity.
101
Nock NL, Thompson CL, Tucker TC. 2008. Associations between obesity and changes in adult BMI over time and colon cancer risk. Obesity 16: 10991104. Nurhidayat 2002. Deteksi Bahan Aktif dengan Metode Imunohistokimia dalam Modul Pemanfaatan Teknik Kultur Jaringan dan Histokimia dalam Penelitian dan Terapan Bidang Biologi dan Biomedis. Kerjasama Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Nasional dengan Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Nyachoti CM, Atkinson JL, Leeson S. 1997. Sorghum tannin [Review]. World J Poultry Sci 53 edisi March 1997. Nyman M, Asp NG. 1982. Fermentation of dietary fibre components in the rat intestinal tract. Br J Nutr 47: 357-366. Osuntogun BA. 1989. Effect of cultivar, steeping, and malting of tannin, total polyphenol, and cyanide content of nigerian sorghum. J Cereal Chem 66(2): 87-89. Park SY, Ji GE, Ko YT, Jung HK, Ustunol Z, Pestka JJ. 1999. Potentiation of hydrogen peroxide, nitric oxide, and cytokine production in RAW 264·7 macrophage cells exposed to human and commercial isolates of Bifidobacterium. Intl J of Food Microbiol 46: 231–241. Perrin P, Pierre F, Patry Y, Champ M, Berreur M, Pradal G, Bornet F, Meflah K, Menanteau J. 2001. Only fibres promoting a stable butyrate producing colonic ecosystem decrease the rate of aberrant crypt foci in rats. Gut 48: 5361. Powell SM, Petersen GM, Krush AJ, booker S, Jen J, Giardiello FM. Molecular diagnosis of familial adenomatous polyposis. 1993. N Eng J Med 329: 1982-7198. Priosoeryanto BP. 1994. Morphological and cell biological studies of tumours in domestic animal. [Ph.D Dissertation] the United Graduated School of Veterinary Sciences. Yamaguchi University, Japan. Puspawati GAK. 2009. Kajian aktivitas proliferasi limfosit dan kapasitas antioksidan sorgum dan jewawut pada tikus sprague-dawley. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Rantam FA. 2003. Metode Immunologi. Airlangga University Press, Surabaya. Reddy B. et al. 1989. Biochemical epidemiology of colon cancer: effect of types of dietary fiber on fecal mutagens, acid, and neutral sterols in healthy subjects. Cancer Res 49, 4629.
102
Reddy BS, Barbara S, Neha P, Cesar A, Chinthalapally VR. 1996. Effect of amount and types of dietary fat on intestinal bacterial 7α-dehydroxylase and phophatidylinositol-spesific phospholipase c and colonic mucosal diacylglyserol kinase and PKC activities during different stages of colon tumor promotion. Cancer Research 56: 2314-2320. Reeves PG, Nielsen FH , Fahey GC. 1993. AIN-93 purified diets for laboratory rodents: Final report of the American institute of nutrition ad hoc writing committee on the reformulation of the AIN-76A rodent diet. J Nutrition 123: 1939-1951. Remesy C, Demigne C, Morand C. 1992. Metabolism and utilization of short chain fatty acids produced by colonic fermentation. Di dalam Schweizer TF, Edwards CA, eds. Dietary Fibre a Component of Food. Springer, London. Roediger WE. 1982. Utilization of nutrients by isolated epithelial cells of the rat colon. Gastroenterology 83: 424-429. Rooney LW, Dykes L. 2007. Sorghum and millet phenol and antioxidant. J Cereal Sci 44: 236-251. Rooney LW. 2005. Sorghum and millet food research failures and success: overview. Food Science Faculty, Texas A&M Univ, Texas. Rooney TK, Rooney LW, Lupton JR. 1992. Physiological characteristics of sorghum and millet brans in the rat model. J Cereal Foods World 37(10): 782-786. Rosenberg DW, Giardina C, Tanaka T. 2009. Mouse models for the study of colon carcinogenesis. Carcinogenesis 30: 183-196. Ross JK, James EL. 1981. The effect of dietary citrus pectin on the excretion of human fecal neutral and acid steroids and the activity of 7 α-dehydroxylase and β-glucoronidase. Amr J of Clin Nutr 34: 2068-2077. Rowland IR. 1998. Effect of Bifidobacterium longum and inulin on gut bacterial metabolism and carcinogen-induced aberrant crypt foci in rats. Carcinogenesis 19: 281–285. Ruemmele FM, Schwartz S, Seidman EG, Dione S, Levy E, Lentze MJ. 2003. Butyrate induced cac-2 cell apoptosis is mediated via the mitochondrial pathway. Gut 52: 94-100. Rufaizah U. 2011. Pemanfaatan tepung sorgum pada pembuatan snack bar tinggi serat pangan dan sumber zat besi untuk remaja puteri. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor.
103
Ruppin H, Bar-Meir S, Soergel KH, Wood CM, Schmitt MG. 1980. Absorption of short chain fatty acids by the colon. Gastroenterology 78: 1500-17. Saito Y, Takano T, Rowland IR. 1992. Effects of soybean oligosaccharides on the human gut microflora in in vitro culture. Microb Ecol Health Dis. 5: 105110. Salimi YK. 2012. Peranan ekstrak dan tepung sorgum (Sorghum bicolor L.) dalam penghambatan kanker secara in vitro dan in vivo pada mencit balb/c. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Samuelsen AB, Rieder A, Grimmer S, Michaelsen TE, Knutsen SH. 2011. Immunomodulatory activity of dietary fiber: arabinoxylan and mixed-linked beta-glucan isolated from barley show modest activities in vitro. Int J Mol Sci 12: 570-587. Scheppach W, Bartram HP, Richter F. 1995. Role of short-chain fatty acids in the prevention of colorectal cancer. Eur J Cancer 31A: 1077-1080. Schiffrin EJ, Rochat F, Link-Amster H, Aeschlimann JM, Donnet-Hughes A. 1995. Immunomodulation of human blood cells following the ingestion of lactic acid bacteria. J of Dairy Sci 78: 491–497. Schley PD, Field CJ. 2002. Immune-enhancing effects of dietary fibres and prebiotics. British J of Nutr 87(2): 221-230. Setiawati R. 2003. Pengaruh produk daun cincau hijau Cyclea barbata L. Miers dan Premna oblongata Merr terhadap kapasitas antioksidan limfosit mencit C3H bertumor kelenjar susu. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor. Shi Y. 2002. Mechanism of caspase activation and inhibition during apoptosis. Molecular Cell 9: 459-470. Shiau SY, Chang GW. 1983. Effects of dietary fiber on fecal mucinase and βglucoronidase activity in rats. J Nutr 113: 138-144. Shih CH., Siu YT, Song LM . 2007. Quantitative analysis of anticancer 3deoxyanthocyanidins in infected sorghum seedlings. J Agric Food Chem 55: 254-259. Shiringani AL. 2005. Evaluation for hard endosperm, bird proof sorghum and its effect on food quality. John Willey and Sons, New York. Singgih S, Suherman O, Mas’ud S. Zairin M. 2008. Keberadaan plasma nutfah sorgum dan pemanfaatannya di kawasan lahan kering pulau lombok. Slavin J. 2007. Dietary Carbohydrates and Risk of Cancer. Di dalam Biliaderis CG dan Izydorczyk MS,eds. Functional Food Carbohydrates. CRC Press, Boca Raton.
104
Smith CW, Richard AF. 2000. Sorghum: origin, history, technology, and production. John Willey and Sons, Kanada. Smits CH, Veldman A, Verstegen MW, Beynen AC. 1997. Dietary carboxymethylcellulose with high instead of low viscosity reduces macronutrient digestion in broiler chickens. J Nutr 127: 483-487. Soejono G, Priosoeryanto BP, Huminto H. 2005. Pendekatan pencegahan penyakit tumor melalui kajian mekanisme invasi dan metastasis sel tumor serta efek antimetastasis dari interferon rekombinan dan kombinasinya pada hewan. [Laporan penelitian]. Lembaga penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB, Bogor. Stephen PJ dan Martin E. 1994. Human gastrointestinal mucosal T cells. Di dalam Handbook of Mucosal Immunology. (Pearay LO, Jiri M, Michael EL, Warren S, Jerry RM, dan Joh B, eds.), Academic Press, London. Sugianto D. 2011. Pengembangan produk sereal sarapan siap santap berbasis sorgum dengan metode ekstrusi. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor. Suzuki I, Hashimoto K, Ohon N, Tanaka H, Yadomae T. 1989. Immunomodulation by orally administered β-glucan in mice. Intl J Immunopharmacol 11: 761-769. Suzuki IR, Hiroyuki K, Shigeyuki S, Hitoshi N, Takuji T. 2006. Strain differences in the susceptibility to azoxymethane and dextran sodium sulphate-induced colon carcinogenesis in mice. Carcinogenesis 27: 162169. Takada H, Hirooka T, Hiramatsu Y, Yamamoto M. 1982. Effect of bglucuronidase inhibitor on azoxymethane-induced colonic carcinogenesis in rats. Cancer Research 42: 331-334. Takahashi T, Nakagawa E, Nara T, Yajima T, Kuwata T. 1998. Effects of orally ingested Bifidobacterium longum on the mucosal IgA response of mice to dietary antigens. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 62: 10–15. Tejada-Simon MV, Ustunol Z, Pestka JJ. 1999. Ex vivo effects of lactobacilli, streptococci, and bifidobacteria ingestion on cytokine and nitric oxide production in a murine model. J of Food Protection 62: 162–169. Tejasari. 2007. Evaluation of ginger (Zingiber officinale Roesoe) bioactive copmpounds in increasing the ratio of T-cell surface molecules of CD3+CD4+: CD3+CD8+ in vitro. Mal J Nutr 13(2): 161-170. Thorburn A, Muir J, Proietto J. 1993. Carbohydrate fermentation decreases hepatic glucose output in healthy subjects. Metabolism 42: 780-785.
105
Topping DL, Clifton PM. 2001. Short-chain fatty acids and human colonic function: roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiol Rev 81, 1031. Tosh SM, Brummer Y, Wood PJ, Wang Q, Weisz J. 2004. Evaluation of structure in the formation of gels by structurally diverse (1/3)(1/4)-beta-D-glucans from four cereal and one lihen species. Carbohyd Polym 57: 249-259. Trock B, Lanza E, Greenwald P. 1990. Dietary fiber, vegetables, and colon cancer: critical review and meta-analyses of the epidemiologic evidence. J Natl Cancer Inst 82, 650. Trujillo EB, Bergerson ASL, Graf JC, Mechael M. 2005. Cancer. Di dalam American Society for Parenteral and Enteral Nutrition Support Practice Manual. Nutrition Care Org 150-170. Underwood JCE. 1994. General and Systematic Pathology. Churchill Livingstone, New York. Valazquez OC, Lederer HM, Rombeau JL. 1996. Butyrate and the colonocyte: implications for neoplasia. Dig Dis Sci 14, 727. Vitaglione P, Napolitano A, Foliano V. 2008. Cereal dietary fiber, a natural functional ingredient to deliver phenolic compounds in the gut. Trends Food Sci Technol 19: 451-461. Von Elbe JH, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Di dalam Food Chemistry. Fennema OR. (ed). Marcel Dekker, New York. Waniska RD. 2000. Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Protein of Sorghum Caryopses. Di dalam Technical adn institutional options for sorghum grain mold management. Proceeding of an International Consultantation: 72-106. Watzl B, Girrbach S, Roller M. 2005. Inulin, immunomodulation. Br J Nutr 93(Suppl 1): 49–S55.
oligofructose
and
[WCRF/AICR] The World Cancer Research Fund &The American Institute of Cancer Research 2007. Food, Nutrition and the prevention of cancer: a Global Perspective. The American Institute for Cancer Research Washington. ____. 2011. Bird food rgains with potential for the tropics and semi-tropics. http://www.fao.org. [21 Juli 2011]. Willet WC. 2000. Diet and cancer. Oncologist 5: 393-404. Wolever TM, Spadafora P, Eshuis H. 1991. Interaction between colonic acetate and propionate in humans. Am J Clin Nutr 53: 681-7.
106
Wolever TMS. 1995. Short-chain fatty acids and carbohydrate metabolism. Di dalam Cummings JH, Rombeau JL, dan Sakata, eds. Physiological aspects of short-chain fatty acids. Cambridge university press, Cambridge. Wu G, Field CJ, Marliss EB .1991. Glutamine and glucose metabolism in rat splenocytes and mesenteric lymph node lymphocytes. American J of Physiol 260: 141-147. Xu D, Lu Q, Deitch EA .1998. Elemental diet-induced bacterial translocation associated with systemic and intestinal immune suppression. J of Parenteral and Enteral Nutr 22: 37–41. Yang L, Browning JD, Awika JM. 2009. Sorghum 3-Deoxyanthocyanins Possess Strong Phase II Enzyme Inducer Activity and Cancer Cell Growth Inhibition Properties.J Agric Food Chem 57:1797-1804. Yanuar W. 2009. Aktivitas antioksidan dan immunomodulator serealia non beras. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zakaria FR. 2001. Pangan dan pengendalian kanker. J. Teknologi dan Industri Pangan 12(2): 171-177. Zduńczyk Z, Jerzy J, Isabel E. 2006. Cecal parameters of rats fed diets containing grapefruit polyphenols and inulin as single supplements or in a combination. Basic Nutritional Investigation 22(9): 898-904. Zobel BLP. 2005. Inulin-type fructans and reduction in colon cancer risk: review of experimental and human data. British J of Nutr 93(1): 73-90.
LAMPIRAN
108
109
Lampiran 1 Komposisi mineral pada ransum mencit Balb/c Jenis mineral (g) NaCl KI KH2PO4 MgSO4.7H2O CaCO3 FeSO4. 7H2O MnSO4. 7H2O ZnSO4. 7H2O CuSO4. 5H2O CoCl2. 6H2O
Jumlah (dalam 1000 g) 139,30 0,79 389 57,30 381,40 27 4,01 0,55 0,48 0,02
Lampiran 2 Data proksimat kasein dan sorgum sosoh 50% No 1 2 3 4 5 6
Komponen Protein Lemak Serat Abu Air Karbohidrat (by difference)
Tepung Sorgum 7,67 0,55 7 0,75 12,25 71,78
Kasein 86,485 0,665 0 3,775 4,36 4,715
110
Lampiran 3 Hasil analisa varian (Anova) konsumsi ransum mencit
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
12.500
a
3
4.167
66.373
.000
Intercept
783.946
1
783.946
1.249E4
.000
perlk
12.500
3
4.167
66.373
.000
Error
4.520
72
.063
Total
800.966
76
17.019
75
Corrected Total
a. R Squared = ,734 (Adjusted R Squared = ,723)
respon Duncan Subset perlk
N
1
K-
19
S50
19
S100
19
K+
19
Sig.
2
3
4
2.54 3.26 3.44 3.61 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,063.
1.000
111
Lampiran 4 Hasil analisa varian (Anova) selisih berat badan mencit
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
1.909
2.873
.057
364.755
1
364.755
548.817
.000
perlk
5.728
3
1.909
2.873
.057
Error
15.951
24
.665
Total
386.000
28
21.679
27
Corrected Model
5.728
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = ,264 (Adjusted R Squared = ,172)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
K+
7
3.1429
S100
8
3.4375
S50
8
3.6250
K-
5
Sig.
3.6250 4.5000
.316
.060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,665.
112
Lampiran 5 Hasil analisa (Anova) berat relatif organ mencit Hati Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
.000
2.429
.090
Intercept
.047
1
.047
807.650
.000
perlk
.000
3
.000
2.429
.090
Error
.001
24
5.787E-5
Total
.051
28
Corrected Total
.002
27
Corrected Model
.000
a. R Squared = ,233 (Adjusted R Squared = ,137)
Ginjal Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
1.217E-5
.634
.600
.007
1
.007
365.335
.000
perlk
3.652E-5
3
1.217E-5
.634
.600
Error
.000
24
1.920E-5
Total
.008
28
Corrected Total
.000
27
Corrected Model Intercept
3.652E-5
a. R Squared = ,073 (Adjusted R Squared = -,042)
113
Kolon
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:resp Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
4.552E-5
4.113
.019
Intercept
.003
1
.003
260.864
.000
perlk
.000
3
4.552E-5
4.113
.019
Error
.000
22
1.107E-5
Total
.003
26
Corrected Total
.000
25
Corrected Model
.000
a. R Squared = ,359 (Adjusted R Squared = ,272)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
K-
5
.00860
S50
7
.00914
S100
7
.01043
K+
7
Sig.
.01443 .365
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,11E-005.
114
Lampiran 6 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda kolitis pada mencit dengan pewarnaan HE
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
13.437
49.779
.000
Intercept
64.192
1
64.192
237.812
.000
perlk
40.310
3
13.437
49.779
.000
Error
6.208
23
.270
Total
115.000
27
46.519
26
Corrected Model
40.310
Corrected Total
a. R Squared = ,867 (Adjusted R Squared = ,849)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
3
K-
5
S100
8
1.1250
S50
8
1.5000
K+
6
Sig.
.0000
3.6667 1.000
.207
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,270.
115
Lampiran 7 Hasil analisa varian (Anova) pH feses
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:respon Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
,375
4,702
,010
1687,117
1
1687,117
21139,431
,000
perlk
1,126
3
,375
4,702
,010
Error
1,915
24
,080
Total
1690,158
28
3,041
27
Corrected Model
1,126
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = ,370 (Adjusted R Squared = ,291)
respon a,b
Duncan perlk
Subset N
1
2
S100
7
7,46482
S50
7
7,69536
K-
7
7,91843
K+
7
7,97082
Sig.
7,69536
,140
,096
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,080. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 7,000. b. Alpha = 0,05.
116
Lampiran 8 Hasil analisis varian (Anova) aktivitas enzim β-glucoronidase Aktivitas spesifik
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:resp Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2349.028
a
3
783.009
44.686
.000
Intercept
11744.108
1
11744.108
670.236
.000
perlk
2349.028
3
783.009
44.686
.000
Error
1296.654
74
17.522
Total
16587.506
78
3645.682
77
Corrected Total
a. R Squared = ,644 (Adjusted R Squared = ,630)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
3
K-
15
S100
21
10.7562
S50
21
11.2843
K+
21
Sig.
6.1647
21.4000 1.000
.698
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 17,522.
117
Aktivitas total
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:resp Type III Sum of Source
Squares
Corrected Model
810085.002
a
3
270028.334
29.586
.000
Intercept
8591768.667
1
8591768.667
941.366
.000
perlk
810085.002
3
270028.334
29.586
.000
Error
675391.984
74
9126.919
Total
1.064E7
78
1485476.986
77
Corrected Total
df
Mean Square
a. R Squared = ,545 (Adjusted R Squared = ,527)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
K-
15
2.4180E2
S100
21
2.7446E2
S50
21
K+
21
Sig.
3
2.7446E2 3.2096E2 5.0449E2
.294
.137
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 9126,919.
F
Sig.
118
Lampiran 9 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda CD4 pada mencit dengan pewarnaan IHK
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:resp Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
7.750
a
3
2.583
2.460
.100
Intercept
92.450
1
92.450
88.048
.000
perlk
7.750
3
2.583
2.460
.100
Error
16.800
16
1.050
Total
117.000
20
24.550
19
Corrected Total
a. R Squared = ,316 (Adjusted R Squared = ,187)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
K-
5
1.2000
K+
5
2.0000
2.0000
S50
5
2.6000
2.6000
S100
5
Sig.
2.8000 .056
.259
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,050.
119
Lampiran 10 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda Kaspase-3 pada mencit dengan pewarnaan IHK
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:resp Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
4.850
7.462
.002
Intercept
76.050
1
76.050
117.000
.000
perlk
14.550
3
4.850
7.462
.002
Error
10.400
16
.650
Total
101.000
20
24.950
19
Corrected Model
14.550
Corrected Total
a. R Squared = ,583 (Adjusted R Squared = ,505)
respon Duncan Subset perlk
N
1
2
K-
5
1.0000
K+
5
1.2000
S50
5
2.8000
S100
5
2.8000
Sig.
.700
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,650.