SISTEM PENGUSAHAAN BEBERAPA HASIL HUTAN BUKAN KAYU DAN ALUR TATANIAGANYA DI JAYAPURA,PAPUA Oleh/by : Iga Nurapriyanto, Abdullah Tuharea dan Naris Arifin RINGKASAN Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dewasa ini menjadi perhatian dalam pengembangan dan peningkatan nilai hasil hutan di Papua terutama pada jenis-jenis komoditi HHBK yang mempunyai nilai ekonomi potensial, mengingat semakin menurunnya potensi hutan berupa kayu. Salah satu aspek penting dalam pengembangan HHBK adalah aspek tataniaganya. Penelitian ini menggambarkan bagaimana sistem pengusahaan beberapa HHBK serta alur tataniaganya di Jayapura. Hasil penelitian menunjukkan rantai tataniaga beberapa komoditi HHBK relatif pendek sejak dari sumber hingga konsumen/pasar. Bagi pengusahaan non gaharu terutama sagu dan rotan relatif masih sangat terbatas pada pemenuhan kebutuhan konsumsi lokal sedangkan gaharu maupun Kamendangan lebih banyak dilakukan oleh pengusaha dengan skala usaha yang lebih besar yang berorientasi pada pasar nasional maupun ekspor. Kata Kunci : Kajian, sistem, Pengusahaan, Tataniaga, Hasil Hutan Bukan Kayu I. PENDAHULUAN Keberadaan hutan memiliki arti penting sebagai sumberdaya hayati yang dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung guna memenuhi hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu hutan mendapat perhatian khusus terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat dinikmati seoptimal mungkin dengan tetap mengacu pada pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan hutan yang kurang bijaksana dengan mengabaikan aspek-aspek pemanfaatan hutan yang berkesinambungan dikhawatirkan dapat mengurangi fungsi hutan. Negara telah mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan berpedoman pada pasal 21 hingga pasal 39 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maupun perangkat peraturan lainnya. Manfaat yang dapat diperoleh dari hutan antara lain berupa kayu maupun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) cukup potensial untuk dikembangkan. Pengembangan HHBK diharapkan dapat menekan penurunan fungsi hutan akibat pemanfaatan hasil hutan berupa kayu yang kurang mempertimbangkan aspek-aspek pemanfaatan lestari. Sementara potensi HHBK diperkirakan masih cukup banyak namun pemanfaatannya masih belum optimal. Walaupun memiliki potensi dan keragaman yang cukup tinggi, namun secara umum dapat dikatakan bahwa produksi HHBK bersifat fluktuatif dan tidak menentu. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan komoditi HHBK adalah pada cara pengolahan dan pasca pengolahan. Mekanisme pemanfaatan HHBK oleh
masyarakat lokal terutama dalam komoditi bernilai ekonomi tinggi seperti perdagangan gaharu telah membantu penyebaran HIV di Merauke dengan melakukan pembayaran gaharu dengan uang dan atau wanita (PSK1). Di samping itu HHBK selama ini juga dirasa belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengelola sehingga mereka cenderung beralih pada pemanfaatan hasil hutan berupa kayu. Salah satu permasalahan yang utama dalam pasca panen hasil hutan ini adalah sistem tataniaganya yang memainkan peranan yang sangat penting bagi pengembangan komoditas HHBK dalam penciptaan nilai tambah yang menjadi sumber insentif bagi pengelolaan sumber daya maupun bagi industri penggunanya. Tataniaga merupakan mata rantai penghubung antara sumber dan industri pengelola. Oleh karena itu untuk meningkatkan peranan HHBK berbagai hambatan khususnya menyangkut kebijakan tataniaganya perlu mendapat perhatian. Desentralisasi yang sedang berlangsung cenderung meningkatkan hambatan tataniaga mengingat berbagai kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati meningkatkan biaya serta berpotensi pada kurang sinkronnya dengan kebijakan sebelumnya. Beberapa komoditas HHBK di Provinsi Papua memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi di pasar domestik maupun internasional, namun sistem pemasaran/tataniaga di tingkat petani masih lemah, karena umumnya harga masih ditentukan oleh pedagang pengumpul atau pengusaha HHBK tersebut. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan peran HHBK, berbagai hambatan khususnya yang menyangkut kebijakan tataniaganya perlu mendapat perhatian, terlebih lagi untuk Provinsi Papua di era otonomi sekarang ini. Informasi tentang tataniaga HHBK di Papua belum banyak diketahui, namun hal tersebut sangat dibutuhkan guna mengetahui aliran tataniaga, sehingga dapat diketahui efektivitas penerapan kebijakannya di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana sistem pemanfaatan HHBK bernilai ekonomis dan bagaimana aliran tataniaganya. Dan diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dalam upaya pengembangan pemanfaatan HHBK di Provinsi Papua. II. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN PERALATAN Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis menulis, alat rekam (tape recorder dan kamera), panduan kuisioner serta bahan kontak. B. METODE PENELITIAN Pendekatan yang dilakukan dalam mendapatkan informasi adalah dengan metode wawancara kepada para produsen dan pedagang/pengusaha HHBK serta lembaga 1
Pekerja Seks Komersial
pemerintah terkait dengan penelitian ini kemudian disajikan secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi yang terjadi. C. Ruang Lingkup Mengingat cukup banyaknya komoditas HHBK serta variasi aspek tataniaga, maka dalam penelitian ini dibatasi pada beberapa produk HHBK potensial terutama pada lokasi penelitian. Beberapa HHBK yang menjadi objek utama kajian adalah: Gaharu (Aquillaria sp), Sagu (Metroxylon sp) dan Rotan (Calamus, sp). D. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura dengan lokasi sampel di kota Jayapura, Abepura dan Sentani pada bulan Desember 2003. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Jayapura berada pada koordinat 137o19’ – 141o Bujur Timur dan 1o10’ – 2 20’ Lintang Selatan, dengan luas menurut data Statistik tahun 2002 seluas 61.493 Km2.atau 14,79 persen luas Papua. Jayapura berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya di sebelah Selatan, Papua New Geuniea (PNG) di sebelah Timur sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Yapen Waropen dan Kabupaten Paniai. Keadaan topografi Jayapura berbukit, dengan ketinggian daratan dari permukaan laut mulai dari 0 hingga 500 m dpl. o
Kondisi iklim di Kabupaten Jayapura secara umum berada pada iklim hutan tropis (menurut Schmith Fergusson) dan digolongkan pada tipe iklim A dengan suhu rata-rata pada tiga stasiun (Sentani, Sarmi dan Genyem) tahun 2000 adalah 31,93oC; kelembaban udara mencapai 82 persen; curah hujan rata-rata 149,33 mm dengan 10,67 hari hujan/bulan. Jumlah penduduk Jayapura pada tahun 2000 tercatat sebanyak 341.365 jiwa atau 17,57 persen dari jumlah penduduk Papua secara keseluruhan. Dengan kepadatan penduduk mencapai 5,55 jiwa/Km2. Sarana prasarana transportasi (laut, udara dan darat) maupun ekonomi relatif cukup menunjang dalam memperlancar kegiatan ekonomi di daerah ini. Hal ini dilihat dengan adanya sarana dan prasarana penunjang transportasi baik dari dan antar kabupaten maupun kecamatan yang dapat dilalui dengan transportasi darat, udara maupun laut. Sedangkan sarana dan prasarana penunjang ekonomi terutama dalam permodalan maupun pemasaran relatif cukup menunjang. B. Kondisi Pengusahaan HHBK Kondisi pengusahaan hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Jayapura secara umum masih relatif sedikit jika ditinjau dari jumlah pelaku usahanya. Hingga tahun 2003 untuk pelaku usaha gaharu yang tercatat dan memiliki izin pengusahaan di Kabupaten Jayapura hanya berjumlah 3 badan usaha. Enam pelaku usaha yang bergerak pada industri rotan hasil produksinya berupa kerajinan rumah tangga. Sementara pengusahaan
sagu masih dilakukan secara tradisional guna pemenuhan kebutuhan pangan, terutama dalam pemanfaatan maupun pemasarannya. 1. Gaharu (Aquillaria, sp) Gaharu merupakan komoditi HHBK andalan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama untuk pemenuhan kebutuhan pasar industri kosmetik dan farmasi. Permintaannya yang tinggi serta ketersediaannya yang terbatas di alam menyebabkan harga komoditi ini relatif sangat tinggi. Potensi gaharu di Jayapura sendiri dapat dikatakan mengalami degradasi akibat kegiatan pemanfaatannya tanpa adanya upaya regenerasi. Dewasa ini kegiatan pencarian gaharu cenderung jauh berhari-hari memasuki hutan disekitar Mamberamo hingga perbatasan Kabupaten Paniai dan Merauke. Informasi yang diperoleh dari masyarakat mengatakan bahwa komoditi ini dahulu relatif masih bisa diperoleh di sekitar kota Jayapura, namun karena cara pengambilannya secara langsung menebang pohon induk, keberadaannya semakin jauh ke dalam hutan. Mekanisme memperoleh gaharu bagi pelaku usaha dilakukan dengan melakukan kontrak atau perjanjian kerja tak tertulis dengan masyarakat pencari gaharu dengan dibekali dengan alat dan bahan makanan yang dibutuhkan selama rentang waktu pencarian tersebut. Selanjutnya jika diperoleh gaharu, maka pencari selanjutnya menjual hasil usahanya kepada pengusaha/pedagang pengumpul dengan harga yang telah ditentukan/disepakati sebelumnya. Masyarakat pencari selanjutnya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan sebelumnya. Proses pencarian atau pengumpulan gaharu ini bersifat untung-untungan, sehingga jika dalam upaya pencarian/pengumpulan tersebut masyarakat pencari tidak mendapatkan target pengumpulan yang disepakati, baik dari segi waktu maupun jumlah gaharu yang dikumpulkan maka kondisi tersebut dikatakan rugi yang sepenuhnya ditanggung pengusaha/pedagang pengumpul. Jika para pencari mendapatkan gaharu tanpa melibatkan pedagang pengumpul maka mereka bebas menjual kepada pedagang pengumpul manapun dengan harga kesepakatan sesuai dengan mekanisme harga pasar yang berlaku pada waktu dan tempat terjadinya transaksi penjualan. Keterlibatan masyarakat dalam mencari maupun mengumpulkan gaharu dari hutan secara subtansi telah diatur dalam surat Kepala Dinas Kehutanan Nomor 522.5/443 tanggal 8 Maret 2002, salah satu syarat perpanjangan ijin pengusahaan gaharu, adalah memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada lokasi ijin, di samping melakukan penilaian terhadap kinerjanya. Dengan demikian keterlibatan masyarakat turut menjadi acuan dalam memperoleh perpanjangan ijin pengusahaan gaharu. Namun peraturan ini masih belum maksimal melindungi rakyat karena masih banyak praktek penyelenggaraan pemungutan HHBK yang malah kontraproduktif dari tujuan mensejahterakan rakyat. Berdasarkan kondisi yang ada, masyarakat pengumpul gaharu cenderung berada pada posisi tawar yang rendah seperti penentuan harga disebabkan mekanisme pengambilan gaharu oleh perusahaan yang lebih mengikat, rendahnya pengetahuan mayarakat terhadap perkembangan harga pasar serta dominasi perusahaan HHBK
pengelola dalam pengusahaan gaharu. Hal ini dilihat dengan rantai pemasarannya yang relatif pendek dan lembaga tataniaga yang berperan di dalamnya lebih cenderung merupakan orang-orang perusahaan yang bersangkutan. Keterlibatan masyarakat setempat terbatas dan lebih banyak pada proses pencarian dan pengumpulan karena merekalah yang lebih mengetahui dan memahami kondisi di lapangan sementara proses penyortiran sesuai kelasnya serta pengiriman gaharu masih didominasi oleh pihak perusahaan. a. Rantai Pemasaran Gaharu Dengan melihat mekanisme pengambilan gaharu diatas serta hasil pengamatan di lapangan maka dapat digambarkan aliran tataniaga gaharu sebagaimana disajikan pada Gambar 1. berikut:
Pengusaha Petani Pengumpul
Pedagang Pengumpul
Dikirim keluar Papua
Pengusaha Pengusaha Keterangan :
: Hubungan tidak mutlak : Hubungan mutlak Gambar 1. Rantai Pemasaran Tataniaga Gaharu di Jayapura. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa dalam proses tataniaga gaharu, petani pengumpul yang memperoleh gaharu di alam mempunyai dua kemungkinan hubungan dalam menjual gaharu yang diperolehnya kepada pengusaha, yaitu yang bersifat mutlak dimana petani pengumpul (masyarakat) harus menyerahkan hasil perolehannya kepada pengusaha jika telah mempunyai hubungan ikatan kontrak dengan pengusaha yang biasanya dilakukan sebelum proses pencarian gaharu. Sedangkan kemungkinan kedua adalah hubungan tidak mutlak dimana petani pengumpul biasanya tidak mempunyai hubungan ikatan kerja, dimana petani pengumpul dalam melakukan proses pencarian gaharu terlepas dari hutang dari perusahaan akibat proses eksploitasi. b. Perizinan Gaharu Sebagai hasil hutan non-kayu yang diklasifikasikan ke dalam daftar CITES Appendiks II, maka berdasarkan Edaran Gubernur Nomor. 522.5/448/Set Tanggal 13 Februari 2002 Tentang Perijinan Komoditi Gaharu (Aquilaria, Sp) dengan didasarkan pada Surat Menteri Kehutanan RI Nomor 14/Menhut-VI/1997 Tanggal 8 Januari 1997 perihal Pengaturan Pemanfaatan Gaharu, telah diatur tentang tatacara perijinan pengumpulan/pemungutan gaharu.
Dimana ijin pengumpulan/pemungutan gaharu disetujui dan ditandatangani oleh Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan dari : 1. Rekomendasi kuota dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua I (sesuai dengan lokasi pemohon) 2. Rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat 3. Rekomendasi teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat. Adapun petunjuk teknis pelaksanaan pemungutan gubal gaharu dan Kamendangan di Propinsi Papua mengacu pada 1). Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; 2) Surat Menteri Kehutanan Nomor 14/Menhut-IV/1997 Tanggal 8 Januari 1997 Perihal Pengaturan Pemanfaatan Kayu Gaharu, dan 3). Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.5/448/SET Tanggal 13 Pebruari 2002 Perihal Perijinan Komoditi Gaharu (Aquilaria, Spp). Prosedur perizinan pengusahaan HHBK gaharu dapat dilihat pada Gambar 2. berikut:
Ijin HPHH-BK
BUMN/BU MD/PT/ CV/Fa/ Koperasi
Gubernur
Permohonan
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2003.
Melengkapi Persyaratan Sebagai Berikut: 1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Rekomendasi Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Rekomendasi Bupati Peta lokasi 1 : 500.000 Akta Perusahaan SITU (Surat Ijin Tempat Usaha) SIUP NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Gambar 2. Prosedur Perijinan Pengusahaan Gaharu Di Papua Dari Gambar 2 di atas terlihat bahwa ijin Hak Pengusahan Hasil Hutan Bukan Kayu (HPHH-BK) dapat diperoleh, baik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan usaha Milik Daerah (BUMD), Perseroan Terbatas (PT), CV, Firma maupun Koperasi dengan terlebih dahulu mempersiapkan beberapa persyaratan di atas untuk selanjutnya mendapat rekomendasi dari Gubernur. Sedangkan proses perizinan hasil hutan non kayu pada dasarnya prosedur perizinan pengusahaan HHBK (non gaharu) tidak jauh berbeda dengan prosedur perizinan gaharu hanya saja ada penambahan persyaratan yaitu pengajuan Proposal atau Rencana Kerja Pengusahaan HHBK.
c. Tarif dan Pungutan Gaharu Hingga bulan Oktober 2003 realisasi produksi sebanyak 650 kg untuk gaharu dan Kamendangan sebanyak 54.527 Kg. Dari angka tersebut diperoleh realisasi IHH/PSDH sebesar Rp. 13.000.000,- untuk gaharu dan Rp. 81.790.500,- untuk Kamendangan, dari 7 badan usaha yang beroperasi pada wilayah BKSDA Papua I yang meliputi wilayah Jayapura, Nabire, Wamena dan Merauke (BKSDA Papua I). Dengan mengacu kepada SK Menhut RI nomor 606/Kpts-IV/1996 tentang Tarif Iuran HHBK Untuk Seluruh Indonesia, dimana untuk iuran kelas damar gaharu Rp.
20.900,-/kg; Rp. 20.000,-/kg untuk gubal Kamendangan.
gaharu dan Rp. 1.500,-/kg untuk kelas
2. Sagu (Metroxylon, sp) Sebagai salah satu jenis bahan makanan pokok tradisional di Papua, peran sagu dalam pemenuhan kebutuhan pangan dewasa ini telah bergeser ke jenis bahan pangan berupa beras. Khusus di Jayapura dan daerah pengembangan sekitarnya, sagu selain dikonsumsi untuk kebutuhan pangan juga dimanfaatkan dalam industri rumah tangga atau industri kecil kue sagu dan dipasarkan di sekitar kota Jayapura. Pemasaran sagu dimulai dari sentra produksi sagu seperti daerah Arso, Genyem, Sentani dan Koya oleh para pengumpul yang umumnya berasal dari Buton dengan harga Rp. 60.000,- hingga 75.000,- per karung2. Pedagang pengumpul kembali menjual sagu tersebut ke pedagang pengecer yang telah dikemas ke dalam karung atau tumang3 seharga Rp. 135.000,-/karung. Pedagang pengecer yang kebanyakan berasal dari Serui, Biak, Wamena maupun masyarakat asli Jayapura sendiri tersebut kemudian menjual kembali sagu ke konsumen dalam bentuk potongan kecil (±1 kg) seharga Rp. 10.000,-. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka dapat mengecer hingga 60 potong sagu siap jual atau mereka memperoleh keuntungan sebesar Rp. 450.000 hingga Rp. 465.000 dari satu karung sagu yang dibeli. Rata-rata pedagang pengecer dapat menjual habis sagu tersebut tiap karung/tumangnya antara 1 hingga 2 minggu. Mekanisme pemasaran sagu ini masih dilakukan secara pasif dengan menunggu pembeli/konsumen sementara bagi industri kecil rumah tangga untuk pembuatan kue sagu lebih aktif memasarkan produknya ke konsumen, baik dengan berkeliling maupun menitipkannya ke kios/toko untuk dipasarkan Rantai Pemasaran Sagu Dari diskripsi di atas maka dapat digambarkan rantai pemasaran sagu di Kabupaten Jayapura seperti pada Gambar 3 berikut: Petani Pengumpul/ produsen
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengecer
Konsumen
Keterangan : : Arah Pemasaran Tataniaga Gambar 3. Rantai Pemasaran Tataniaga Sagu di Jayapura Dari gambar di atas terlihat arah rantai pemasaran sagu sebelum sampai ke konsumen akhir mempunyai tiga ciri jalur tataniaga. Pertama bagi konsumen yang berdomisili di Kota Kecamatan atau Kota Kabupaten Jayapura biasanya melewati dua 2 3
Satu karung dikonversikan antara 25 – 30 Kg Sagu padat yang ditempatkan pada anyaman daun sagu (tiap tumang ±40 – 50kg)
pedagang perantara yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pengecer terutama bagi konsumen yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan substitusi; kedua bagi konsumen yang memanfaatkan sagu sebagai bahan baku industri rumah tangga dan masyarakat yang masih memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan pokoknya biasanya yang berdomisili di daerah penghasil, sagu diperoleh langsung dari produsen/petani pengumpul; dan ketiga adalah konsumen yang memperoleh sagu dari pedagang pengumpul terutama bagi konsumen yang masih memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan pokoknya namun berdomisili di daerah perkotaan dan bagi konsumen untuk kebutuhan industri rumah tangga. Konsumsi sagu masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan lokal di dalam Jayapura sendiri. 3. Rotan (Calamus, sp) Kondisi pengusahaan HHBK berupa rotan alam di Jayapura lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku utama pembuatan industri rotan. Saat ini tercatat 6 pengusaha industri kecil rotan dimana pelaku usaha dan tenaga pembuat produk rotan berasal dari daerah luar Papua terutama dari Sulawesi Utara. Mekanisme pengambilan rotan di alam secara langsung dilakukan oleh masyarakat setempat dimana lokasi pengambilan rotan untuk kebutuhan Jayapura diambil dari daerah sekitar Jayapura terutama Genyem dengan harga Rp. 1000/batang dengan panjang kurang lebih 6 meter dari masyarakat pengumpul. Rotan selanjutnya diolah dengan perlakuan khusus untuk mengurangi kadar air yang menurut pelaku usaha kadar air rotan di Papua dikatakan cukup tinggi. Proses pembelian rotan dari masyarakat ini biasanya dilakukan setiap 2 minggu hingga 1 bulan sekali atau tergantung pemasaran produk rotannya. Kendala pengembangan jenis HHBK ini di Jayapura adalah masalah pemasaran, dimana pemasaran produk rotan masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan lokal Jayapura dan kabupaten lainnya. Upaya pengembangan pengusahaan rotan sebenarnya telah dilakukan oleh instansi pemerintah terkait, baik dengan kemudahan pengurusan perizinan industri dan pelatihan namun produk rotan ini belum mampu bersaing dengan produk sejenis yang berasal dari luar Papua. Rantai Pemasaran Rotan Adapun rantai pemasaran rotan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Petani Pengumpul
Pedagang Pengumpul/pelaku usaha./konsumen
: Arah Pemasaran Gambar 4. Rantai Pemasaran Tataniaga Rotan di
Keterangan : Tataniaga Jayapura
Berbeda dengan sagu, alur tataniaga rotan cukup sederhana yang hanya melibatkan petani pengumpul (masyarakat setempat) dan pelaku usaha sebagai konsumen. Hal ini dikarenakan rotan masih dimanfaatkan terbatas pada pemenuhan bahan baku industri. Produk dari rotan ini selanjutnya diolah menjadi barang-barang kebutuhan rumah tangga terutama furniture yang dipasarkan untuk kebutuhan lokal di Jayapura sendiri dan
sebagian dipasarkan di dalam Papua. Kontinuitas pengambilan rotan oleh masyarakat biasanya tergantung pada pemesanan pelaku industri rotan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemerintah Daerah telah membuka peluang pengusahaan HHBK yaitu dengan telah dikeluarkan perangkat lunak berupa peraturan perundangan dan teknis pelaksanaannya. 2. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengusahaan HHBK masih dominan pada proses pengumpulan HHBK di hutan. 3. Rantai pemasaran HHBK di Papua relatif pendek mulai dari produsen hingga konsumen. 4. Pengusahaan HHBK di Jayapura terutama untuk non gaharu masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan lokal dan belum berorientasi pada pasar ekspor. 5. Kurang jelasnya standarisasi mutu cenderung menyebabkan penentuan harga yang kurang menguntungkan bagi pengumpul. SARAN 1. Perlunya diupayakan pemasaran HHBK yang mengacu pada peningkatan kualitas dan kuantitas produk HHBK sehingga dapat bersaing dengan produk sejenis di luar Papua. 2. Perlu diadakan uji standar mutu di daerah sehingga produk HHBK dapat menembus pasar ekspor dan dapat bersaing dengan produk HHBK sejenis dari daerah lain.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 19931. Paratropika Vol I No. 3. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Manokwari. Anonim, 19932. Paratropika Vol I No. 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Manokwari. Anonim, 1998. Buletin Penelitian Kehutanan~Vol. III No.2. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Manokwari. Anonim, 19991. Peraturan-Peraturan Bidang Kehutanan dan Perkebunan Tahun 19971998. Pt. Mitra Info. Jakarta. Anonim, 19992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim, 19993. Laporan Hasil Penelitian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Wilayah Irian Jaya Tahun Anggaran 1989/1999. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Manokwari Anonim, 20001. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kehutanan dan Perkebunan Tahun 1999. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Anonim, 20002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim, 2001. Kabupaten Jayapura Dalam Angka 2000. Biro Pusat Statistik Propinsi. Jayapura. Anonim, 2002. Kota Jayapura Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Provinsi Papua. Jayapura Anonim, 2003. Papua Dalam Angka 2002. Biro Pusat Statistik Provinsi Papua. Jayapura Dwi R. Muhtaman. 1999. Pembajakan Sumberdaya Hayati. Pustaka Latin. Lembaga Studi Pers dan Pengembangan. Bogor. Faizal S, 1995. Format-Format Penelitian Sosial. Rajawali Press. Jakarta Jeffrey Mc.Neely, 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Obor Indonesia. Jakarta Januminro, 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta Makalew H, 1991. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari (Tidak Diterbitkan). Sumadi Suryabrata, 1983. Metodologi Penelitian. Rajawali Press. Jakarta.