BULLYING SISWA SD, SMP DAN SMA BERETNIS JAWA DI JAWA TENGAH
Chr. Argo Widiharto Padmi Dhyah Yulianti Bimbingan dan Konseling Universitas PGRI Semarang
[email protected]
Abstrak Perilaku bullying telah banyak dibahas di berbagai negara, tetapi perilaku bullying yang terkait etnis belum banyak dibahas. Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku bullying dari siswa SD, SMP dan SMA yang beretnis Jawa. Etnis Jawa memiliki norma yang masih kuat terkait sopan santun, penghormatan terhadap yang lebih tua dan tidak bisa mengekspresikan perasaan secara langsung. Selain itu karakteristik orang Jawa juga patuh (setyatuhu), tidak menolak dan tidak membangkang, bahasa lemah lembut, selalu rendah diri dalam pergaulan. Semua karakter orang Jawa tersebut bertentangan dengan perilaku bullying yang merupakan perilaku agresif yang melibatkan intensi untuk melukai orang lain. Subjek penelitian berjumlah 377 siswa dengan perincian 157 siswa SD, 68 siswa SMP dan 152 siswa SMA yang dipilih dengan teknik purposive sampling dari sekolah di Jawa Tengah. Perilaku bullying siswa SD terbanyak adalah bullying verbal yaitu di ejek (56,05%) dan bullying fisik (23,57%), bullying psikologis (15,92%). Untuk SMP bullying verbal (dihina dan dipaksa) sebesar 33,29% dan bullying fisik 38,23% dan bullying psikologis (diasingkan) sebesar 23,52%. Perilaku bullying siswa SMA yang menonjol adalah bullying verbal (diejek, dibohongi dan difitnah) sebesar 67,10 % dan bullying fisik (dipukul, dijambak dan diludahi) sebesar 23,03% dan bullying psikologis 3,95%. Analisis data menggunakan pendekatan indegenous psychology dan pengumpulan data dengan survei menggunakan angket terbuka. Kata kunci: bullying, siswa dan etnis Jawa.
Latar Belakang Penelitian Kekerasan dapat terjadi di ruang privat maupun ruang publik, tak terkecuali sekolah. Kekerasan yang terjadi di ranah sekolah yang dilakukan antara siswa dengan siswa biasa di sebut dengan bullying. Olweus (1993) menjelaskan bahwa siswa dikatakan di bulli ketika siswa secara berulang dan sering mendapat perilaku negatif dari seorang atau lebih siswa lain. Perilaku negatif bullying ini mengakibatkan seseorang menderita, terluka atau tidak nyaman terhadap yang lain. Perilaku negatif bullying dapat berupa kata-kata (verbal) dan perbuatan melukasi secara fisik maupun bahasa tubuh yang tidak menyenangkan atau menolak bergabung dengan kelompok.
Data yang diperoleh menunjukkan Bullying merupakan salah satu fenomena yang terbesar di seluruh dunia. Prevalensi bullying diperkirakan sebesar 8 sampai 50 % di berapa negara seperti Asia, Amerika dan Eropa (Soedjatmiko, 2013). Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan dari tahun 2011 sampai 2014 tercatat ada 369 pengaduan. Jumlah tersebut 25% berisi pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan ataupun aduan pungutan liar (Republika, 2014). Hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 pun menyebutkan bahwa hampir setiap sekolah di Indonesia memiliki kasus bullying (Herman, 2014). Dampak dari bullying beraneka ragam, Seals dan Young (2003) menyebutkan pelaku dan korban bullying memiliki tingkat depresi tinggi. Harvey dan Slee (2006) meneliti stressor, dukungan dan kesehatan psikologis mempengaruhi bullying. Korban dan pelaku pasif bullying berhubungan dengan semua jenis masalah kesehatan mental kecuali kecemasan (Yen dkk, 2014). Etnis di Indonesia memiliki adat budaya dan karakteristik yang berbeda dan ini tentunya berpengaruh terhadap jenis perilaku bullying dan nama bullying dalam bahasa etnis masing-masing. Anak Jawa misalnya, memiliki karakter yang berbeda dengan etnis lain di Indonesia. Menurut Endraswara (2012) pada umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Segala sesuatu selalu disampaikan dengan tertutup, halus, dan bermakna. Perilaku bahasa lemah lebut dan selalu rendah diri dalam pergaulan. Selain itu karakteristik orang Jawa juga patuh (setyatuhu) tidak menolak dan tidak membangkang (Endraswara, 2010). Semua karakter perilaku orang Jawa tersebut sangat bertentangan dengan perilaku bullying yang merupakan perilaku agresif yang melibatkan intensi untuk melukai orang lain (Sanders dan Phye, 2004). Dengan demikian seharusnya perilaku bullying siswa etnis Jawa sangat jarang terjadi bila siswa masih mendapatkan pendidikan baik di sekolah maupun di rumah sesuai dengan budaya Jawa. Menjadi menarik untuk diteliti karena budaya Jawa yang bertentangan dengan perilaku agresif termasuk di dalamnya bullying, ternyata juga ditemukan kasus bullying. Pertanyaan penelitian ini adalah jenis perilaku bullying seperti apa yang terjadi pada siswa SD, SMP dan SMA etnis Jawa? Dan Apakah ada perbedaan jenis perilaku bullying yang sering terjadi antara siswa SD, SMP dan SMA yang beretnis Jawa?
Kajian Teori Bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitudari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari (Sejiwa, 2008). Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif. Berbeda dengan negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan (Heinemann, 1972 & Olweus 1973a dikutip Olweus, 2004). Sedangkan Schwartz dkk (2005) menyebut bullying dengan istilah victimization. Buhs dkk (2006) menambahkan istilah peer exclusion dan victimization untuk menggambarkan perilaku bullying. Tattum (dikutip, Smith, Pepler and Rigby, 2007) memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Djuwita (2006) bahwa bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang. Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008) yang menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental. Hal yang penting disini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi apad ampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar, bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang di dorong tidak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying (Sejiwa, 2008). Menurut Sullivan (2000) bullying juga harus dibedakan dari tindakan atau perilaku a gresif lainnya. Perbedaannya adalah tidak bisa dikatakan bullying jika seseorang menggoda
orang lain secara bercanda, perkelahian yang terjadi hanya sekali, dan perbuatan kasar atau perkelahian yang tidak bertujuan untuk menyebabkan kehancuran atau kerusakan baik secara material maupun mental. Selain itu tidak bisa dikatakan bullying jika termasuk perbuatan kriminal seperti penyerangan dengan senjata tajam, kekerasan fisik, perbuatan serius untuk menyakiti atau membunuh, pencurian serius, dan pelecehan seksual yang dilakukan hanya sekali. Ciri utama perilaku bullying seperti yang diungkapkan Olweus (dalam Rigby, 2005) adalah adanya perilaku agresif yang diulang pada kesempatan dan situasi lain, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dengan korban bullying dan perilaku tersebut menimbulkan dampak menyakitkan pada korban bullying. Secara luas istilah bullying dalam berbagai bahasa dan negara berbeda mengindikasikan perilaku bullying yang berbeda dan memiliki kategori berbeda. Sapouna (dalam Cheng, Chen, Ho dan Cheng, 2011) mengatakan bahwa bullying di Yunani berarti perilaku pemerasan. Istilah di Portugis disebut “abuso” yang berasosiasi dengan bullying secara fisik dan verbal tanpa ada perilaku pengasingan secara sosial. Di negara Italia istilah bullying dikenal dengan nama “violenza” dan “prepotenza” yang menunjukkan perilaku bullying fisik, bullying verbal, perkelahian antar kelompok dan pengasingan secara sosial (Smith, Cowie, Olafsson dan Liefooghe, 2002). Ba Ling merupakan istilah bullying di negara Taiwan yang berkaitan dengan perilaku mejadi bos, superior di dalam kekuatan dan posisi, pengasingan dan penguasaan barang orang lain, tetapi perilaku yang ditampakkan paling utama adalah bullying verbal dan bullying fisik. Bullying dan Etnis Jawa Penelitian bullying terkait etnis sudah pernah dilakukan oleh Seals dan Young (2003) tetapi hanya membedakan tingkat perilaku bullying siswa keturuan Afrika Amerika dengan siswa Kaukasian. Sementara juga sudah banyak yang meneliti bullying terkait dengan negara (Wolke dkk, 2001; Smith dkk, 2002; Dake dkk, 2003; Harvey dan Slee, 2006; Carlyle dan Steinnman, 2007; Craig dkk, 2009; Cheng dkk, 2011) yang hasilnya terkait perbedaan jenis perilaku bullying, definisi bullying dan term atau kata lain dari suatu negara untuk menggambarkan perilaku bullying. Negara yang menjadi objek penelitian rata-rata negara Eropa dan Amerika, Australia dan untuk Asia diwakili Taiwan dan Jepang. Indonesia walaupun sudah ada yang meneliti bullying tetapi sampai saat ini belum ditemukan penelitian bullying yang dikaitkan etnis tertentu di Indonesia yang sangat banyak. Etnis di Indonesia memiliki adat budaya dan karakteristik yang berbeda dan ini tentunya berpengaruh terhadap jenis perilaku bullying dan nama bullying dalam bahasa etnis
masing-masing. Anak Jawa misalnya, memiliki karakter yang berbeda dengan etnis lain di Indonesia. Menurut Endraswara (2012) pada umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Segala sesuatu selalu disampaikan dengan tertutup, halus, dan bermakna. Perilaku bahasa lemah lembut, selalu rendah diri dalam pergaulan. Selain itu karakteristik orang Jawa juga patuh (setyatuhu) tidak menolak dan tidak membangkang (Endraswara, 2010). Semua karakter perilaku orang Jawa tersebut sangat bertentangan dengan perilaku bullying yang merupakan perilaku agresif yang melibatkan intensi untuk melukai orang lain (Sanders dan Phye, 2004). Dengan demikian seharusnya perilaku bullying siswa etnis Jawa sangat jarang terjadi bila siswa masih mendapatkan pendidikan baik di sekolah maupun di rumah sesuai dengan budaya Jawa. Menjadi menarik untuk diteliti karena budaya Jawa yang bertentangan dengan perilaku agresif termasuk di dalamnya bullying, ternyata juga ditemukan kasus bullying. Pada penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian pertama yaitu jenis perilaku bullying seperti apa yang terjadi pada siswa SD, SMP dan SMA etnis Jawa. Pertanyaan penelitian kedua adalah apakah ada perbedaan jenis perilaku bullying yang sering terjadi antara siswa SD, SMP dan SMA yang beretnis Jawa.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan indegenous psychology dengan alat pengumpul data berupa angket terbuka. Angket terbuka disusun berdasarkan batasan perilaku bullying yang dikemukakan oleh Olweus (dalam Rigby, 2005) yaitu adanya perilaku agresif yang diulang pada kesempatan dan situasi lain, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dengan korban bullying dan perilaku tersebut menimbulkan dampak menyakitkan pada korban bullying. Angket terbuka diberikan kepada siswa SD, SMP dan SMA di Jawa Tengah. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive random sampling. Seluruh responden berjumlah 377 siswa dengan perincian 157 siswa SD, 68 siswa SMP dan 152 siswa SMA dari sekolah di kota Semarang, Pati, Pemalang, Pekalongan dan Ungaran. Penentuan siswa sebagai responden didahului dengan obsevasi yang dilanjutkan dengan wawancara untuk memastikan responden pernah mengalami perilaku bullying sesuai ciri-ciri yang disebutkan Olweus.
Hasil Penelitian Berdasarkan dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa perilaku bullying siswa SD terbanyak adalah bullying verbal yaitu 56,05% (diejek, dimarahi, diancam, dihina dan penyebaran gosip), bullying fisik sebesar 23,57% (dipukul, dijambak, dicubit dan ditendang) dan bullying psikologis yaitu 15,92% (diasingkan). Tabel 1. Perilaku bullying siswa SD BENTUK BULLYING Verbal
PROSENTASE 56,05%
Fisik Psikologis
23,57% 15,92%
KETERANGAN diejek, dimarahi, diancam, dihina dan penyebaran gosip dipukul, dijambak, dicubit dan ditendang diasingkan
Untuk SMP bentuk bullying fisik sebesar 38,23% (dipukul), bullying verbal sebesar 35,29% (dihina, difitnah dan dimarahi), bullying psikologis sebesar 23,52 % (diasingkan). Tabel 2. Perilaku Bullying SMP BENTUK BULLYING Verbal Fisik Psikologis
PROSENTASE 35,29% 38,23% 23,52 %
KETERANGAN dihina, difitnah dan dimarahi dipukul diasingkan
Sedangkan pada perilaku bullying siswa SMA yang menonjol adalah bullying verbal sebesar 67,10 % (diejek, dibohongi dan difitnah), bullying fisik sebesar 23,03 % (dipukul, dijambak dan diludahi) dan bullying psikologis sebesar 3,95% (dikucilkan). Tabel 3. Perilaku bullying siswa SMA BENTUK BULLYING Verbal Fisik Psikologis
PROSENTASE 67,10 % 23,03 % 3,95%
KETERANGAN diejek, dibohongi dan difitnah dipukul, dijambak dan diludahi dikucilkan
Pembahasan Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bullying di Jawa Tengah terjadi pada siswa SD, SMP dan SMA. Adapun bentuk – bentuk terjadinya bullying di setiap level pendidikan, ada yang sama namun juga ada yang berbeda. Pendapat ini seperti sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Loeber dan Hay (1997) yang
menjelaskan bahwa sampai batas tertentu agresi bersifat normatif – umur (age normative) di kalangan anak – anak dan remaja. Hal ini berarti perilaku yang dilakukan dengan niat menyakiti diperlihatkan paling tidak terjadi sekali – sekali, oleh banyak atau kebanyakan anggota kelompok umur ini. Namun ada juga yang berlaku sebaliknya. Sebenarnya berkaitan dengan perilaku agresif sudah dimiliki anak sejak masih kanak – kanak, selama tahun kedua dan ketiga kehidupan seseorang dalam bentuk tamper tantrum dan penggunaan kekuatan fisik (memukul, mendorong, menendang). Pada tahun awal sekolah terdapat perbedaan gender dalam hal agresi menjadi lebih nanpak. Anak laki – laki lebih banyak memperlihatkan agresi secara fisik dibandingkan dengan anak perempuan yang cenderung menggunakan agresi secara verbal seperti menyumpah, name calling, atau ejekan, maupun agresi relasional (mengucilkan dan bergosip) (Crick dan Grotpeter, 1995; Rys dan Bear, 1977). Penelitan Laub dan Lauritsen (1995) yang dilakukan secara longitudinal menjelaskan bahwa perilaku agresif cenderung relatif stabil dari waktu ke waktu. Olweus (1979) mengestimasikan koefisien stabilitas sebesar r = 0,76 selama periode 1 tahun, r = 0,69 selama periode 5 tahun dan r = 0,60 selama periode 10 tahun. Penelitian dari Loeber dan Hay (1997) mengemukakan bahwa perilaku agresif berubah tingkat dan polanya pada masa remaja dan pada masa dewasa muda. Perubahan penting pada pola perilaku agresi dari masa kanak – kanak ke masa remaja adalah bahwa agresi dan kekerasan cenderung menjadi lebih terorganisir secara sosial. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat dijelaskan pula bahwa ada berbagai kondisi yang mempengaruhi individu melakukan bullying: 1. Akibat dari perilaku yang tidak menyenangkan. Bila anak menjadi frustasi, sakit hati atau marah karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain secara terus menerus, maka akan memunculkan perilaku agresif dalam bentuk bullying. 2. Lingkungan anak. Anak belajar perilaku agresif dengan meniru orang lain. Jika temanteman melakukan perilaku yang mengancam anak lain, maka anak tersebut juga akan melakukan hal yang sama. Tayangan televisi, film dan video atau permainan komputer yang menampilkan kekerasan juga mengakibatkan perilaku bullying pada anak. Jika lingkungan sekolah mentoleransi perilaku bullying atau lingkungan sekitar anak (tetangga atau keluarga) juga mentolerir perilaku bullying, maka anak mempersepsikan perilaku bullying itu diperbolehkan. 3. Tipe pengasuhan orangtua. Anak melakukan tindakan seperti yang mereka amati. Bila ingin anak berhenti memukul atau mendorong temannya, maka keluarga harus juga menghindari perilaku yang sama di rumah. Tipe pengasuhan orangtua yang otoritatif atau
demokratis dapat mencegah perilaku bullying. Pada tipe otoritatif, anak diajari bertanggung jawab terhadap interaksinya dengan teman, ada hubungan hangat diantara anggota keluarga yang melibatkan seluruh anggota keluarga. 4. Ketakutan. Ketakutan bahwa dirinya akan menjadi korban bullying adalah alasan seorang anak ikut dalam perilaku bullying. Perilaku ini tergolong bullying kecemasan. Anak yang mengalami perilaku bullying kecemasan memiliki rasa percaya diri yang rendah dan self esteem yang rendah. Rasa percaya diri dan self esteem yang rendah berkembang menjadi konsep diri yang negatif. Anak atau remaja yang pernah menjadi korban bullying di masa lalu, akan senang untuk bergambung dengan temannya melakukan perilaku bullying agar anak terhindar dari perilaku bullying. 5. Temperamen. Seorang anak yang memiliki pengalaman bahwa dirinya lebih kuat dari teman sebayanya, lebih aktif atau memiliki energi yang lebih besar, ukuran tubuh yang lebih besar akan memiliki kecenderungan melakukan bullying. Seorang anak yang mudah marah juga berpotensi menjadi pelaku bullying. (Sheras dan Tippins (2002) Pada anak SD yang berusia 6 – 12 tahun terjadinya bullying lebih banyak di ranah verbal (mengejek), hal ini jika dikaitkan dengan tahap pemahaman moral, Erikson (dalam Santrock, 2011) menjelaskan anak usia Sekolah Dasar berada pada tahap industry vs inferiority yang pada tahap ini anak sudah memasuki dunia sekolah. Pada tahap ini dapat dikatakan anak memiliki jiwa kompetitif yang tinggi dan berfokus pada pencapaian prestasi dan anak akan berusaha semaksimal mungkin agar dapat lebih unggul dibanding temantemannya. Jiwa kompetitif pada anak menurut Rigby (2005) dapat menimbulkan adanya tindakan bullying pemenang dalam suatu kegiatan kompetitif sering kali memunculkan sikap arogansinya dengan menindas temannya yang kurang mampu. Daftar Referensi : Buhs, ES., Ladd, GW., Herald, SL. 2006. Peer Exclusion and Victimization: Processes that Mediate the Relation Between Peer Group Rejection and Children’s Classroom Engagement and Achievement. Journal of Educational Psychology. 98, 1-13. Carlyle, Kellie E., Steinman, Kenneth J. 2007. Demographic Differences in the Prevalence, Co-Occurrence, and Correlates of Adolescent Bullying at School. The Journal of School Health. 77, 9. Cheng, Ying-Yao., Chen, Li-Ming., Ho, Hsiao-Chi, and Cheng, Chih-Ling. 2011. Definition of school bullying in Taiwan: A comparison of multiple perspectives. School Psychology International. 32, 227
Craig, Wendy, dkk. 2009. A cross-national profile of bullying and victimazation among adolescents in 40 countries. International Journal Public Health. 54, 216-224. Crick, N.R.,&Grotpeter,J.K.1995. Relational Aggression,gender and social-psychological adjustment.Child Development,66,710-722 Dake, Joseph A., Price, James H., Telljohann, Susan K. 2003. The Nature and Extent of Bullying at School. The Journal of School Health. 73, 5. Djuwita, R. 2006. “Kekerasan Tersembunyi di Sekolah”: Aspek-aspek psikososial dari bullying. Diakses 25 Juni 2008, dari www.didplb.or.id. Endraswara, S. 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Pedoman Beretika dalam Menjalani Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta : Narasi. Endraswara, S. 2012. Ilmu Jiwa Jawa. Estetika dan Citarasa Jiwa Jawa. Yogyakarta : Narasi. Harvey, Rosalind Murray., Slee, Phillip T. 2006. Australian and Japanese School Student’ Experience of Scholl Bullying and Victimization: Associations with Stress, Support and School Belonging. International Journal on Violence and School. 2. 33 Laub,J.B.,& Lauritsen,J.L.1995.Violent criminal behavior over the life-course: A review of the longitudinal and comparative research.Dalam B.R. Ruback & N.A.Weiner (eds), interpersonal violent behaviors.New York: Springer. Loeber,R& Hay,D.1997. Key issues in the development of aggression from childhood to early adulthood.Annual review of Psychology,48,371-410 Olweus, D, 1993. Bullying at School. What we know and what we can do. Victoria : Blackwell Publishing. Olweus, D. 2004. Bullying at school. Australia : Blackwell Publishing. http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/10/15/ndh4sp-aduan-bullying-tertinggi Rigby, Ken. 2005. Why Do Some Children Bully at School?: The Contribution of Negative Attitudes Towards Victims and the Perceived Expeectations of Friends, Parents and Teachers. School Psychology International. 26, 147. Rys,G.S & Bear,G.G. 1997. Relational aggression and poer relation: Gender and developmental issues.merril Palmer Quarterly,43.87-106 Sanders, Cheryl E., Phye, Gary D. 2004. Bullying. Implication for the Classroom. San Diego California : Elsevier Academic Press. Schwartz, D. Dkk. 2005. Victimization in the Peer Group and Children’s Academic Functioning. Journal of Educational Psychology. 97, 425-435.
Seals, Dorothy., Young, Jerry. 2003. Bullying and Victimization: Prevalence and Relationship to Gender Level, Ethnicity, Self-Esteem, and Depression. Adolescence. 38, 152, 735. Sejiwa. 2008. Bullying : Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo. Sheras, P & Tippin, S. 2002. Your Child: Bully or Victim? Understanding and ending schoolyard tyranny. USA : Skylight Press. Smith, Peter K, dkk. 2002. Definitions of Bullying: Comparison of Terms Used and Age and Gender Differences, in a Fourteen-Contry International Comparison; Child Development. 73, 4, 1119-1133. Smith, P.K., Cowie, H., Olafsson, R.F., dan Liefooghe, A.P.D. 2002. Definition of bullying: A comparison of terms used, and age and gender differences, in a fourteen-country international comparison. Child Development. 73, 1119-1133. Smith, PK., Pepler, D. and Rigby, K. 2007. Bullying in Schools : How successful can Interventions be? diunduh 27 Juli 2008, dari www.cambridge.org. Soedjatmiko, Waldi Nurhamzah, Anastasia Maureen, Tjhin Wiguna, 2013. Gambaran Bullying dan Hubungannya dengan masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Sekolah Dasar. Sari Pediatri. 174-180. Sullivan, K. 2000. The Anti-Bullying Handbook. United Kingdom : Oxford University Press. Wolke, Dieter, dkk. 2001. Bullying and Victimization of Primary School Children in England and Germany: Prevalence and School Factor. British Journal of Psychology. 92. 673. Yen, Cheng-Fang, dkk. 2014. Association between school bullying levels/types and mental health problem among Taiwanese adolescents. Comprehensive Psychiatry. 55. 405413.