BUKU PANDUAN PEMBESARAN DAN PENANGKARAN BUAYA JENIS BUAYA MUARA Crococodylus porosus DAN BUAYA AIR TAWAR IRIAN Crocodylus novaeguineae
Oleh :
Hellen Kurniati
Editor : Gono Semiadi
LIPI Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Maret 2008
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1. RANCHING ATAU PEMBESARAN ................................................................................ 1.1. Latar belakang ............................................................................................................... 1.2. Infrastruktur kandang pembesaran buaya ..................................................................... 1.2.1. Kandang karantina ................................................................................................ 1.2.2. Kandang pembesaran ............................................................................................ 1.2.3. Kandang isolasi ..................................................................................................... 1.3. Pemeliharaan Buaya ...................................................................................................... 1.3.1. Pakan ..................................................................................................................... 1.3.1.1. Pemberian pakan pada buaya taraf anakan ................................................... 1.3.1.2. Pemberian pakan pada buaya taraf pradewasa dan dewasa .......................... 1.3.2. Adaptasi ................................................................................................................. 2. CAPTIVE BREEDING ATAU PENANGKARAN MURNI ............................................ 2.1. Latar belakang ............................................................................................................... 2.2. Infrastruktur penangkaran murni ................................................................................... 2.2.1. Kandang induk ....................................................................................................... 2.2.1.1. Kandang induk sepasang atau sistem 1:1 ...................................................... 2.2.1.2. Kandang induk universal ............................................................................... 2.2.2. Inkubator ............................................................................................................... 2.2.2.1. Mekanisme pengambilan telur ...................................................................... 2.2.2.2. Tahap perlakuan telur .................................................................................... 2.2.2.3. Inkubator telur buaya .................................................................................... 2.2.2.4. Penetasan telur ............................................................................................... 2.2.3. Kandang anakan .................................................................................................... 2.2.4. Kandang pembesaran ............................................................................................ 2.2.5. Kandang isolasi ..................................................................................................... 2.3. Pemeliharaan Buaya ...................................................................................................... 2.3.1. Pakan ..................................................................................................................... 2.3.2. Adaptasi ................................................................................................................. PENYAKIT BUAYA ……………………………………………………………………….. 1. Penyakit infeksi …………………………………………………………………………..... 1.1. Virus ………………………………………………………………………………….. 1.2. Bakteri ………………………………………………………………………………... 1.3. Jamur …………………………………………………………………………………. 1.4. Protozoa ………………………………………………………………………………. 1.5. Cacing ………………………………………………………………………………... 1.5.1. Nematoda ……………………………………………………………………….. 1.5.2. Tremadoda ………………………………………………………………………. 2. Penyakit karena kekurangan nutrisi penting pada makanan (malnutrisi) …………………. 2.1. Gout (kembung) ……………………………………………………………………… 2.2. Osteomalacia (defisiensi kalsium) …………………………………………………… 2.3. Steatitis (defisiensi vitamin E) ……………………………………………………….. 2.4. Defisiensi vitamin B (Thiamine) ……………………………………………………... 2.5. Defisiensi vitamin C ………………………………………………………………….. 3. Penyakit karena lingkungan tidak sesuai ………………………………………………….. DAFTAR ACUAN ...................................................................................................................
2
3 4 5 5 6 6 7 8 9 9 9 10 10 10 10 10 10 12 13 15 15 16 18 19 19 20 20 20 21 21 21 21 21 21 22 22 22 22 22 23 23 23 23 23 24 24 24
KATA PENGANTAR
Di Indonesia buaya sudah lama dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat dalam beberapa aspek kehidupan, seperti sebagai sumber protein hewani, obat kuat, ornamen dan sumber perekonomian dari kulitnya yang berharga tinggi. Sejak buaya dimanfaatkan untuk tujuan ekspor berupa kulit mentah atau barang jadi, perburuan buaya di alam meningkat drastis. Untuk menjaga kelestarian buaya di alam perlu adanya pengelolaan yang baik untuk mengatur perburuan tersebut. Salah satu pengelolaan buaya yang menjamin kelestarian buaya di alam adalah Pembesaran buaya (ranching) di penangkaran dan penangkaran murni (captive breeding). Sejak dikeluarkannya peraturan pemanfaatan buaya di wilayah Papua dengan metoda pembesaran dan di luar Papua dengan metoda penangkaran murni, belum ada perusahaan yang bergerak dalam bidang pembesaran dan penangkaran buaya tidak lagi bergantung pada hasil kulit dari alam. Banyak perusahaan mengatakan tidak mendapat nilai tambah bila hanya mengandalkan hasil dari pembesaran dan penangkaran buaya semata. Alasan ini tidak berdasar, karena di Australia Utara perusahaan yang bergerak dalam bidang pembesaran dan penangkaran buaya mendapatkan nilai tambah yang besar, tanpa mereka bergantung pada hasil kulit dari alam. Semua ketidakberhasilan tersebut dikarenakan kesalahan dalam pengelolaan buaya di tempat pembesaran dan penangkaran. Melalui buku panduan pembesaran dan penangkaran buaya ini semua kesalahan pengelolaan buaya dapat diminimalkan. Diharapkan buku ini berguna bagi semua pemilik pembesaran dan penangkaran buaya di Indonesia; dan untuk kedepannya tidak lagi bergantung pada hasil kulit dari alam.
Cibinong, Maret 2008 Penulis
3
PENDAHULUAN
Di Indonesia dikenal 4 jenis buaya, yaitu Tomistoma schlegelii, Crocodylus porosus, Crocodylus siamensis, dan Crocodylus novaeguineae. Keempat jenis buaya tersebut dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/5/1978 dan Nomor 716/Kpts/Um/10/1980. Berdasarkan kepada kedua surat keputusan tersebut pemanfaatan semua jenis buaya di Indonesia harus seijin Menteri Kehutanan Indonesia. Dari keempat jenis buaya yang terdapat di Indonesia, hanya 2 jenis buaya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, yaitu Crocodylus porosus dan Crocodylus novaeguineae (Gambar 1), karena kedua jenis buaya ini masuk dalam daftar apendiks II CITES, sedangkan dua jenis lainnya masuk dalam daftar apendiks I CITES. Karakter morfologi sebagai pembeda jenis Buaya Muara dan Buaya Air Tawar Irian yang mudah dikenal adalah pada barisan sisik berlunas di belakang kepala (postoccipital scales). Karakter-karakter morfologi yang menbedakan dua jenis buaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Jenis Buaya Muara mempunyai adaptasi yang lebih besar terhadap salinitas air, mereka dapat hidup mulai dari air bersalinitas tinggi seperti air laut sampai ke air tawar di bagian hulu sungai; sedangkan Buaya Air Tawar Irian hanya dapat berdaptasi hidup di air tawar. Kadang kala Buaya Air Tawar Irian juga dijumpai di bagian aliran sungai yang terpengaruh air laut pada waktu air pasang, tetapi keterdapatan mereka di habitat tersebut umumnya karena terbawa arus sungai yang deras. Masyarakat Papua memanfaatkan buaya untuk berbagai kepentingan non-komersial sudah berlangsung dari dahulu kala. Pada awalnya pemanfaatan paling utama dari buaya adalah sebagai sumber pakan hewani. Tetapi sekitar tahun 70-an masyarakat di daerah ini mulai mengerti bahwa kulit buaya bernilai komersial tinggi. Sejak era tersebut perburuan buaya yang tujuan utamanya mendapatkan kulit banyak dilakukan. Buaya diburu tanpa melihat ukuran, yaitu mulai dari ukuran 1 meter sampai ukuran besar, termasuk juga betina produktif banyak diburu. Akibat dari perburuan tanpa kendali, status populasi buaya di alam terancam punah. Untuk menjaga kelestarian buaya di alam, maka pada tahun 1978 jenis buaya ini dilindungi berdasarkan S.K. Mentan No. 327/Kpts/Um/5/1978. Sejak buaya menjadi satwa yang dilindungi, pemanfaatannya diatur berdasarkan undang-undang perlindungan satwa (Anonymous, 2003) Manajemen pemanfaatan buaya di Indonesia dibagi menjadi 2 berdasarkan pada wilayah regional, yaitu manajemen buaya regional Papua dan regional di luar Papua. Manajemen pemanfaatan buaya di Papua berprinsip pada manajemen ranching atau pembesaran anakan buaya dari alam di kandang pembesaran; sedangkan di luar Papua, penerapan manajemen penangkaran (captive breeding) harus dilakukan selayaknya Buaya Muara atau Buaya Air Tawar Irian sebagai satwa yang dilindungi undang-undang (Anonymous. 1991; Messel dkk., 1997). Tabel 1. Karakter morfologi pembeda antara Buaya Muara dan Buaya Air Tawar Irian. KARAKTER 1 2 3 4 5
Sisik di belakang kepala (Post occipital scutes) Baris sisik di samping punggung Warna hitam pada ekor Jumlah sisik perut Panjang tubuh maksimum
Crocodylus porosus (Buaya Muara) Ada (jumlah 4-6) Berlunas halus dan tidak menonjol Membentuk sabuk (ban) Kurang dari 28 Dapat mencapai 7 m
4
Crocodylus novaeguineae (Buaya Air Tawar Irian) Tidak ada Tidak berlunas Berupa totol-totol 28 atau lebih Dapat mencapai 4 m
A
B Gambar 1. (A) Buaya Muara atau Crocodylus porosus. (B) Buaya Air Tawar Irian atau Crocodylus novaeguineae.
Berdasarkan manajemen pemanfaatan buaya, pola sistem manajemen di Indonesia terbagi 2, yaitu : 1. Ranching atau pembesaran. 2. Penangkaran murni atau captive breeding. Isi dari pedoman dan panduan penangkaran buaya yang dijabarkan di bawah ini berdasarkan pengalaman pribadi ditambah acuan sejumlah literatur, antara lain : Hutton dan Webb (1990), Joanen dkk (1987), Joanen dan McNease (1981), Joanen dan McNease (1987), Ladds (1993), Manolis dan Webb (1991), Webb dkk (1987).
1. RANCHING ATAU PEMBESARAN 1.1. Latar belakang Secara historis penduduk Indonesia telah memanfaatkan buaya untuk berbagai aspek tujuan non-komersial. Penduduk asli Papua berburu buaya secara tradisional hanya untuk mendapatkan tambahan protein hewani dalam menu makan mereka. Pemanfaatan buaya untuk tujuan komersial oleh penduduk asli Papua merupakan fenomena yang berlangsung sekitar 15 tahun terakhir, yaitu sejak Pemerintah Indonesia melihat bahwa komersialisasi buaya dengan 5
memanfaatkan kulitnya merupakan kontribusi yang nyata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal dan Propinsi Papua secara keseluruhan. Karena buaya termasuk satwa liar yang dilindungi, maka keberhasilan konservasi buaya dengan berprinsip pada pemanfaatan berkelanjutan diperlukan strategi manajemen yang cocok dan dapat mudah diterapkan pada budaya masyarakat Papua. Pada tahun 1994, proposal Indonesia mengenai manajemen pemanfaatan buaya diterima CITES. Manajemen yang diterapkan adalah ranching. Ranching adalah pengambilan anakan dari alam yang berukuran panjang total tubuh di bawah 80 cm (baru menetas) kemudian dibesarkan di penangkaran. Strategi manajemen ini hanya diterapkan di Propinsi Papua, karena populasi buaya di sana memungkinkan untuk diterapkannya strategi ini. Strategi manajemen pembesaran anakan buaya sudah terbukti di Papua New Guinea dan Australia merupakan strategi yang tidak menurunkan populasi buaya di alam. Strategi ini diambil berdasarkan sifat biologi buaya yang menghasilkan telur sekitar 80 butir untuk setiap individu betina dewasa yang berukuran panjang total tubuh antara 3-4 meter. Di alam, dari 80 butir telur tersebut hanya 50% yang menetas. Karena seleksi alam, dari jumlah 50% individu yang lahir, hanya 10% yang dapat terus tumbuh menjadi dewasa. Melihat dari sifat biologi ini, terlihat bahwa mortalitas anakan buaya yang baru menetas sangat tinggi. Oleh sebab itu strategi ranching dengan memanfaatkan anakan yang baru lahir di alam kemudian membesarkannya di penangkaran merupakan strategi yang aman untuk populasi buaya di alam.
1.2. Infrastruktur kandang pembesaran buaya Tiga komponen penting dalam infrastruktur kandang pembesaran dan pemeliharaan buaya, yaitu : 1. Kandang karantina 2. Kandang pembesaran 3. Kandang isolasi
1.2.1. Kandang karantina Kandang karantina diperuntukkan bagi anakan-anakan buaya yang baru datang dari alam (Gambar 2). Permasalahan dalam pembesaran anakan buaya terjadi pada umur anakan antara 0 sampai 6 bulan, umur ini adalah masa kritis dan mortalitasnya tinggi apabila tidak ditangani dengan baik. Anakan yang baru datang dari alam biasanya dalam kondisi stress, karena umumnya anakan-anakan tersebut dipelihara terlebih dahulu di daerah pedalaman oleh penduduk lokal Papua sebelum sampai di tempat pembesarannya yang hampir semuanya berada di kota besar, seperti di kota Jayapura, Sorong, Nabire, Biak dan Merauke. Anakan yang baru datang dan dalam kondisi stress biasanya membawa penyakit yang dapat menularkan individu-individu buaya lain yang dibesarkan dan dalam kondisi sehat di kandang pembesaran. Penyakit yang biasa dibawa adalah infeksi jamur dan bakteri. Yang harus diperhatikan pada kandang karantina adalah: 1. Kepadatan anakan buaya: Kepadatan yang ideal adalah 5 individu/m2 untuk ukuran anakan 50-80 cm panjang total tubuh (kepala sampai ekor). 2. Bentuk kolam: Tepi kolam landai dengan ketinggian air tidak lebih dari 20 cm. 3. Kebersihan air dan kandang: Pada waktu anakan datang dari alam, kondisi kandang dan air kolam harus siap dalam keadaan bersih. Air yang berada dalam kandang karantina harus mempunyai saluran air masuk dan air keluar, sehingga memudahkan dalam mengganti air kolam. Air yang terdapat pada kandang-kandang karantina tidak boleh berhubungan satu sama lain. Hal ini untuk menghindari penularan penyakit dari satu kandang ke kandang lainnya. 4. Atap kandang: Atap menutupi semua bagian kolam. Bahan atap yang baik adalah asbes, karena bahan ini tidak membuat suhu lingkungan di dalam kandang naik drastis pada waktu siang hari.
6
Sinar matahari hanya menyinari kolam dari bagian tepi kolam, tidak langsung tegak lurus kandang, untuk menghindari anakan buaya terkena sinar matahari terik pada siang hari. 5. Dinding kandang: Tinggi dinding kolam 1 meter, terbuat dari konstruksi dinding semen. 6. Konstruksi kolam: Bahan semen adalah konstruksi yang terbaik untuk dasar kolam, karena mudah untuk dibersihkan. Atap asbes
Sinar matahari
Sinar matahari
Dinding semen
Bagian tepi kolam landai
Air kolam tinggi tidak lebih dari 20 cm dengan saluran pembuangan
Gambar 2. Bentuk sederhana kandang karantina untuk anakan buaya.
1.2.2. Kandang pembesaran Anakan buaya yang telah berumur di atas 6 bulan dengan panjang badan rata-rata 80 cm pada jenis Buaya Muara, sedangkan Buaya Air Tawar Irian kurang dari 80 cm harus dipindahkan ke kandang pembesaran (Gambar 3). Yang harus diperhatikan pada kandang pembesaran buaya adalah : 1. Kepadatan buaya: Kepadatan ideal untuk pembesaran buaya adalah 2 individu/m2 untuk Buaya Muara ukuran tubuh 1 meter panjang total tubuh (kepala sampai ekor); sedangkan untuk Buaya Air Tawar Irian 3 individu/m2 (panjang total tubuh kurang dari 1 meter). 2. Bentuk kolam: Kolam dengan bagian tepi landai, dengan ketinggian air kolam tidak lebih dari 50 cm. 3. Kebersihan air dan kandang: Air dalam kolam pembesaran harus berganti dengan sistem sirkulasi air masuk dan air keluar. Pergantian air bertujuan untuk meminimalkan tumpukan zat organik dari sisa makanan dan kotoran. Tumpukan zat organik ini merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur yang dapat menginfeksi kulit buaya. Pergantian air umumnya dilakukan 3 hari sekali. 4. Atap kandang: Atap yang baik adalah terbuat dari asbes, karena tidak menyebabkan kenaikan suhu kandang yang drastis di siang hari. 5. Dinding kandang: Tinggi dinding kandang bagian belakang minimal 2 meter, sedangkan tinggi dinding bagian depan minimal 1,5 meter. Konstruksi dinding merupakan konstruksi dinding semen dengan rangka penyangga dari besi beton. Konstruksi dinding dibuat kuat untuk menghindari robohnya dinding yang disebabkan gerakan buaya yang sangat kuat pada waktu buaya berukuran lebih dari 1,5 meter. 6. Konstruksi kolam: Bagian dasar dan tepi kolam terbuat dari semen adalah yang baik, karena mudah dibersihkan. Permukaan lantai dan tepi kolam yang halus sangat dianjurkan untuk meminimalkan kerusakan kulit perut buaya akibat bergesekan dengan lantai kolam. 7
Sinar matahari
Atap asbes
Dinding semen
Bagian tepi kolam landai
Air kolam tinggi tidak lebih dari 50 cm dengan saluran pembuangan.
Gambar 3. Bentuk sederhana kandang pembesaran buaya.
1.2.3. Kandang isolasi Fungsi dari kandang isolasi adalah untuk pengobatan dan penyembuhan buaya sakit (Gambar 4). Penyakit yang umum dijumpai adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi dapat terjadi di bagian dalam tubuh atau di luar tubuh. Selain penyakit, luka-luka pada tubuh buaya yang disebabkan perkelahian sesama buaya dapat menyebabkan infeksi pada kulit. Yang perlu diperhatikan pada kandang isolasi adalah: 1. Kepadatan buaya sakit: Untuk individu ukuran panjang total tubuh 1-1,5 meter, 1 kandang hanya diperuntukkan bagi 1 individu. Banyaknya buaya dalam 1 kandang isolasi tergantung pada besarnya buaya dan jenis penyakitnya. Individu dengan macam penyakit sama dan pengobatan sama dapat disatukan dalam 1 kandang isolasi. 2. Bentuk kolam: Kolam dengan bagian tepi landai pada salah satu sisi kolam untuk mempermudah penangkapan dan pemeriksaan buaya. 3. Kebersihan air dan kandang: Air dan dasar kolam pada kandang isolasi harus selalu bersih untuk mempercepat penyembuhan buaya sakit. 4. Atap kandang: Atap kandang terbuat dari asbes adalah yang paling baik, karena tidak menyebabkan suhu kandang naik drastis pada siang hari. Atap kandang yang terbuka pada salah satu sisi kandang agar buaya sakit mendapatkan sinar matahari secukupnya untuk berjemur diri dan menghindari sinar matahari terlalu kuat (terik) pada waktu siang hari. Banyaknya intensitas sinar matahari yang masuk ke dalam kandang tergantung dari posisi kandang menghadap ke arah mana. Yang penting adalah buaya tidak mendapatkan sinar matahari yang tegak lurus kandang. 5. Dinding kandang: Konstruksi dinding kandang dari semen dengan rangka besi beton untuk menjaga dinding tidak roboh karena gerakan buaya berukuran besar. 6. Konstruksi kolam: Bagian dasar dan tepi kolam terbuat dari konstruksi semen adalah yang terbaik, karena mudah dibersihkan.
8
Sinar matahari
Atap asbes
Dinding semen
Air kolam tinggi tidak lebih dari 30 cm dengan saluran pembuangan.
Bagian tepi kolam landai
Gambar 4. Kandang isolasi untuk pengobatan dan penyembuhan buaya sakit.
1.3. Pemeliharaan Buaya Keberhasilan dari pembesaran buaya diukur dari minimalnya jumlah anakan yang mati selama proses pembesaran. Dari proses pembesaran buaya mulai dari anakan sampai pada ukuran tubuh siap potong diperlukan pemeliharaan yang optimum untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Pemeliharaan buaya meliputi 2 komponen, yaitu: pakan dan adaptasi. 1.3.1. Pakan Buaya termasuk satwa yang bersifat karnivora, yaitu daging merupakan komponen utama dalam pakannya. Macam pakan yang umum diberikan pada buaya adalah : ikan, udang, ayam, bebek, daging atau karkas babi, sapi atau mamalia ternak lainnya. Cara pemberian pakan pada buaya terbagi menjadi 2 tahap yang sangat berbeda, yaitu: pemberian pakan pada taraf anakan dan pemberian pakan taraf pradewasa dan dewasa. 1.3.1.1. Pemberian pakan pada buaya taraf anakan -Pada taraf umur 0-6 bulan merupakan periode yang kritis pada kelangsungan hidup anakan buaya. Pada taraf ini mortalitas akan tinggi, jadi diperlukan perhatian yang sangat besar. Selama ini yang dilakukan dalam pemberian pakan pada anakan buaya yang baru menetas di penangkaran adalah dengan meletakkan pakan di tepi kolam, tanpa memperhatikan apakah pakan tersebut terbagi rata pada semua anakan atau tidak. Di alam anakan buaya akan memilih mangsa yang bergerak, seperti anak kodok, ikan kecil atau serangga. Dengan hanya meletakkan pakan di tepi kolam, maka pemberian pakan tidak akan efektif kepada anakan buaya. -Langkah yang paling baik dalam pemberian pakan pada taraf umur 0-6 bulan adalah dengan cara mencacah daging sampai berukuran kecil lalu menyuapkan cacahan daging tersebut kepada anakan-anakan buaya satu persatu. Pemberian pakan tidak perlu setiap hari, cukup 2 hari sekali sudah efektif pada pertumbuhan anakan buaya. Pemberian pakan dengan cara menyuap juga akan mengajarkan kepada anakan buaya untuk kenal kepada pemeliharanya, karena dengan sering dipegang, anakan buaya tidak mudah stress terhadap gangguan lingkungan berupa suara atau gerakan lain. 9
1.3.1.2. Pemberian pakan pada buaya taraf pradewasa dan dewasa -Pemberian pakan pada buaya taraf pradewasa dan dewasa umumnya tidak banyak masalah, karena pada taraf ini buaya akan memakan setiap macam pakan (mati atau hidup) yang diletakkan di bagian tepi kolam. Peletakan pakan dalam kandang harus pada beberapa tempat, supaya pembagian pakan merata pada semua buaya. Pemberian pakan 2 hari sekali pada buaya taraf pradewasa dan dewasa sudah memadai bagi pertumbuhan buaya. Apabila sejumlah pakan yang diberikan tersisa setelah kurun waktu 4-5 jam tidak dimakan, maka dianggap buaya-buaya di kandang telah kenyang.
1.3.2. Adaptasi Pada dasarnya buaya yang hidup di alam bersifat penakut. Sifat ini terus dibawa buaya walaupun mereka dibesarkan dalam lingkungan buatan manusia seperti penangkaran atau tempat pembesaran buaya. Untuk mengurangi sifat takut tersebut, tahap adaptasi terhadap lingkungan baru sangat diperlukan untuk meminimalkan stress. Proses adaptasi perlu diberikan kepada buaya di tempat pembesaran yang letaknya jauh dari keramaian. Adaptasi yang harus adalah membiasakan buaya dengan suara-suara gaduh dengan cara mendengarkan suara musik atau radio. Selain itu seringnya buaya ditengok oleh pemeliharanya akan membiasakan buaya pada kehadiran manusia di lingkungan pembesaran.
2. CAPTIVE BREEDING ATAU PENANGKARAN MURNI 2.1. Latar belakang Penangkaran buaya murni atau penangkaran buaya tertutup merupakan bentuk penangkaran buaya yang tidak tergantung kepada ketersediaan buaya di alam. Anakan yang dihasilkan merupakan hasil proses perkembangbiakan dalam penangkaran. Penangkaran buaya murni diberlakukan di luar Papua, seperti di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Dasar dari pemberlakuan peraturan ini karena populasi buaya untuk jenis Buaya Muara di luar Papua sudah sangat jarang. Untuk tetap menjaga populasi alam tetap tersedia walaupun sudah sangat jarang, maka manajemen pemanfaatan dengan sistem penangkaran murni adalah metoda yang paling cocok untuk daerah di luar Papua.
2.2. Infrastruktur penangkaran murni Lima komponen penting dalam infrastruktur kandang pembesaran dan pemeliharaan buaya, yaitu : 1. Kandang induk. 2. Inkubator. 3. Kandang anakan. 4. Kandang pembesaran. 5. Kandang isolasi.
2.2.1. Kandang induk Sejak Pemerintah Indonesia menerapkan penangkaran untuk Buaya Muara di luar Papua, sebagian besar penangkar buaya mempunyai masalah pada produksi telur. Banyaknya telur 10
yang dihasilkan pertahun adalah kunci dari keberhasilan suatu penangkaran buaya dengan sistem penangkaran murni (captive breeding). Metoda penangkaran yang diterapkan di hampir semua penangkar buaya di luar Papua adalah metoda Kolam Induk Universal (universal breeding pen), yaitu satu kandang induk berukuran besar dihuni individu jantan dan betina dalam jumlah banyak dalam satu kolam besar. Metoda ini relatif murah, tetapi tidak efektif untuk meningkatkan produksi telur. Semakin banyak buaya dalam kolam tersebut, maka produksi telur akan terus menurun. Kolam induk dengan metoda sepasang, yaitu satu jantan satu betina (1:1) merupakan metoda yang efektif dalam meningkatkan produksi telur (Gambar 5). Prinsip ini berpegang kepada sifat buaya di alam. Di alam buaya dewasa tidak hidup berkelompok, mereka hidup soliter (sendiri) dan memiliki sifat territorial (menguasai satu wilayah tertentu) yang kuat. Sifat bawaan ini terus dibawa, walaupun buaya telah lama dibesarkan di penangkaran. Hal yang sangat penting pada kandang induk adalah pemisahan masing-masing jenis (Buaya Muara dan Buaya Air Tawar Irian) pada kandang terpisah. Hal ini untuk menghindari kawin antar jenis.
A
B Gambar 5. (A) Contoh kandang induk metoda sepasang atau satu jantan satu betina (1:1) yang terdapat di Penangkaran Buaya Ekanindya Karsa, Serang, Banten. (B) Kolam induk universal semi alami di Penangkaran Buaya Makmur Abadi Permai, Samarinda, Kalimantan Timur.
Sebagian besar penangkaran buaya di Indonesia menerapkan sistem kandang induk universal, karena biaya relatif murah dalam infrastruktur penangkaran. Dalam buku pedoman dan panduan ini akan dijabarkan sistem kandang induk 1:1 dan kandang induk universal yang baik. 11
2.2.1.1. Kandang induk sepasang atau sistem 1:1 Sistem ini berprinsip pada sifat bawaan buaya yang mempunyai sifat territorial kuat. Skema dari kandang sistem sepasang dapat dilihat pada Gambar 6. Luas minimum kandang untuk sistem ini adalah 10 m x 10 m. Luas kolam minimum adalah separuh dari luas total kandang, yaitu 5 m x 5 m. Kolam dibagi 2 dengan sekat kuat pada bagian tengah kolam. Sekat ini gunanya untuk menjaga privacy dua individu buaya dalam kandang. Kedalaman kolam maksimum 100 cm dengan ketinggian air sekitar 80 cm. Pada bagian depan, bentuk tepi kolam harus landai untuk memudahkan buaya keluar dan masuk kolam. Di bagian daratan kandang harus ditanami tanaman peneduh untuk menjaga suhu lingkungan kandang tidak terlalu panas pada siang hari. Proses yang cukup memakan waktu lama dalam sistem sepasang adalah mendapatkan pasangan buaya dewasa yang harmonis. Pasangan buaya akan harmonis apabila waktu dipasangkan dua individu buaya tersebut tidak berkelahi. Apabila terjadi perkelahian, dua individu buaya tersebut harus cepat dipisahkan, karena bila terlambat memisahkan salah satu individu buaya akan mati akibat kalah berkelahi. Betina buaya biasanya sangat agresif bila dipasangkan dengan jantan yang tidak cocok. Apabila sepasang buaya tidak cocok, segera ganti buaya jantan dengan buaya jantan lainnya, dan begitu seterusnya sampai didapatkan pasangan harmonis.
Dinding kandang
Pohon pelindung
Dinding sekat kolam
Air kolam tinggi sekitar 80 cm
Jerami bahan baku sarang buaya
A
12
Pohon pelindung
Dinding kandang
Air kolam tinggi sekitar 80 cm Jerami bahan baku sarang buaya Bagian tepi kolam landai
B Gambar 6. Bentuk sederhana kandang induk sistem 1:1. (A) Kandang tampak muka; (B) Kandang tampak samping.
2.2.1.2. Kandang induk universal
Pohon pelindung
Tembok kandang yang kokoh
Jerami bahan baku sarang Pondasi tembok kandang 1,5 m dalam tanah
Daratan tanah Dasar kolam yang kokoh dengan tepi landai
Air tinggi sekitar 100 cm
Gambar 7. Bentuk kandang induk universal yang umum dijumpai di penangkaran buaya.
Kandang induk universal (Gambar 7) umumnya berisi buaya sangat padat. Dengan mengikuti prinsip dari sistem kandang sepasang, 1 individu buaya dewasa menempati kolam minimal seluas 10 m2, maka dapat diperhitungkan berapa jumlah buaya yang harus dimasukkan 13
dalam luasan kandang tertentu. Perbandingan luas kolam harus sama dengan luas daratan tanah, sehingga privacy buaya tetap terjaga untuk meminimalkan perkelahian antar buaya. Jumlah individu jantan pada kandang universal biasanya lebih kecil dibandingkan jumlah individu betina, karena sistem ini berprinsip buaya jantan bersifat poligami; tetapi sebenarnya prinsip ini salah. Dari sistem kandang berpasangan terbukti bahwa buaya bersifat monogami. Penempatan jumlah jantan sama dengan jumlah betina dalam 1 kandang induk universal akan berpengaruh baik pada kehidupan buaya dan terutama dalam produksi telur. Pada kandang induk harus diperhatikan waktu musim kawin. Jenis Buaya Muara musim berbiak (kawin, membuat sarang dan bertelur) biasanya pada waktu musim hujan, yaitu mulai bulan Oktober-Desember; sedangkan untuk jenis Buaya Air Tawar Irian musim berbiak terjadi pada musim kering, yaitu mulai bulan Juni-Agustus. Penambahan jerami atau rumput-rumputan kering ke dalam kandang sebagai bahan baku sarang sangat diperlukan (Gambar 8) Masalah yang sering dihadapi bila bahan baku sarang kurang adalah telur tercecer di pinggiran kolam atau satu sarang dipakai 2 betina atau lebih untuk bertelur, akibatnya kumpulan telur yang terdapat di bagian bawah pecah terinjak-injak oleh betina yang meletakkan telur berikutnya.
Gambar 8. Sarang Buaya Muara dengan jerami padi sebagai bahan baku sarang. Jerami padi adalah bahan baku sarang buaya yang paling efektif dan murah yang umum dipakai di penangkaran buaya.
Kandang induk adalah bagian yang paling penting dalam penangkaran buaya, karena bagian ini pabrik penghasil telur dan merupakan penentu keberhasilan dari penangkaran buaya. Yang harus diperhatikan pada kandang induk sistem sepasang dan kandang induk sistem universal adalah sebagai berikut: 1. Kepadatan buaya: Kepadatan ideal untuk buaya dewasa adalah 1 individu/10 m2. Makin padat populasi buaya dalam kandang, maka perkelahian akan kerap terjadi, akibatnya jumlah kematian induk akan lebih banyak. 2. Bentuk kolam: Kolam dengan bagian tepi landai, dan ketinggian air kolam tidak lebih dari 100 cm. 3. Kebersihan air dan kandang: Air dalam kolam harus sering berganti dengan sistem sirkulasi air masuk dan air keluar. Pergantian air bertujuan untuk meminimalkan tumpukan zat organik dari sisa makanan dan kotoran. Tumpukan zat organik ini merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur yang dapat menginfeksi saluran reproduksi buaya induk, 14
akibatnya proses pembuahan tidak efektif, sehingga akan banyak dihasilkan telur yang infertil atau tidak dibuahi. Pergantian air dilakukan 3 hari sekali. 4. Pohon peneduh: Pohon peneduh berguna untuk menjaga suhu kandang tidak terlalu panas pada siang hari. 5. Dinding kandang: Tinggi dinding kandang minimal 2 meter. Konstruksi dinding merupakan konstruksi dinding semen dengan rangka penyangga berupa besi beton. Konstruksi dinding dibuat kuat untuk menghindari robohnya dinding yang disebabkan gerakan buaya dewasa yang sangat kuat. Pondasi dinding kandang harus masuk ke dalam tanah minimal 1,5 m. Buaya dewasa biasanya suka membuat kubangan-kubangan di bagian tepi kandang; bila pondasi dinding dangkal maka dinding akan mudah roboh. 6. Konstruksi kolam: Konstruksi kolam terbuat dari semen pada bagian dasar dan tepi kolam adalah yang terbaik, karena mudah dibersihkan. Permukaan lantai dan tepi kolam yang halus sangat dianjurkan untuk meminimalkan kerusakan kulit perut buaya akibat bergesekan dengan lantai kolam. 7. Bahan baku sarang: Jerami, sekam padi kering atau rumput-rumputan kering adalah bahan baku yang baik untuk sarang buaya. Pemberian material tambahan ini dilakukan pada waktu musim berbiak. Pada kandang induk universal, material sarang dimasukkan ke dalam kandang dengan penyebaran yang merata di seluruh bagian kandang yang berupa daratan tanah. Perlakuan ini untuk menarik si betina membuat sarang tidak pada satu tempat. Penambahan jerami atau rumput-rumputan kering sebanyak-banyaknya (terutama pada kandang induk universal) sebagai bahan baku sarang sangat diperlukan.
2.2.2. Inkubator Sebelum membahas inkubator telur buaya, terlebih dahulu dibahas secara teknis mekanisme pengambilan telur dari sarang di kandang induk dan tahap-tahap perlakuan terhadap telur sebelum masuk inkubator. 2.2.2.1. Mekanisme pengambilan telur -Untuk kandang induk sistem berpasangan, telur sebaikknya diambil dari sarang 1 minggu setelah telur diletakkan si induk betina dalam sarang, karena telur dalam kandang berpasangan aman dari gangguan buaya lain, karena betina Buaya Muara akan menjaga sarangnya selama periode pengeraman telur. Untuk kandang induk universal, telur harus cepat diambil, karena bila sarang dibiarkan terlalu lama akan diganggu atau dirusak oleh buaya lain. -Dalam pengambilan telur dari sarang, telur tidak boleh terputar-putar; posisi telur bagian atas harus diberi tanda garis dengan menggunakan pinsil 2B dan tidak disarankan memakai spidol (Gambar 9). Posisi bagian atas telur harus tetap berada di atas selama peletakan telur dalam kotak penampungan (Gambar 10).
15
Gambar 9. Penandaan dengan pinsil 2B pada bagian atas telur Buaya Muara yang diambil dari sarang.
Gambar 10. Peletakan telur pada kotak penampungan. Posisi bagian atas telur tetap di atas.
2.2.2.2. Tahap perlakuan telur -Sebelum telur diletakkan di dalam inkubator, telur-telur tersebut harus dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Proses pencucian telur dapat menggunakan sabun dan selanjutnya dibasuh dengan larutan PK sebagai cairan disinfektan (sangat dilarang untuk menggunakan formalin atau alkohol sebagai cairan disinfektan). Yang harus diperhatikan dalam pencucian telur adalah, jangan sampai telur berputar-putar; posisi bagian atas telur pada waktu disarang harus tetap berada di atas. Pencucian dengan menggunakan air hangat suhu 320C adalah yang paling baik. Perlakuan ini untuk menjaga tidak terjadnyai perbedaan suhu terlalu besar antara suhu dalam sarang dengan suhu diluar sarang (Gambar 11). Setiap telur yang masuk dalam inkubator diberi label tanggal masuk dengan menggunakan pinsil 2B pada permukaan telur bagian atas. Dengan label ini dapat diperkirakan kapan telur tersebut akan menetas. Lamanya waktu inkubasi telur buaya rata-rata 90 hari. Telur buaya yang fertil dan embrio di dalam telur hidup dan terus tumbuh ditandai dengan adanya sabuk
16
melingkar (ban) pada bagian tengah telur, yang mana sabuk tersebut makin lama makin melebar (Gambar 12). Selang waktu pengambilan telur di sarang sampai masuk dalam inkubator maksimal 6 jam, lebih cepat akan lebih baik.
Gambar 11. Proses pencucian telur dengan air bersih mengalir sebelum masuk dalam inkubator.
Menduga umur telur dilihat dari pertumbuhan sabuk (ban): Sabuk
1 hari
5 -7 hari
2 hari
3 hari
7 - 40 hari
45 – 60 hari
4 hari
65 - 90 hari
Gambar 12. Tahap-tahap pertumbuhan sabuk (warna hitam) pada telur Buaya Muara yang mengindikasikan embrio dalam telur dalam keadaan hidup dan berkembang. -Umur 1 hari : Embrio sudah menempel pada dinding cangkang bagian dalam. Menandai posisi bagian atas telur. -Umur 2 hari : Sabuk tumbuh memanjang dimulai dari bagian atas telur. -Umur 3 hari : Sabuk terus tumbuh memanjang melingkari telur. -Umur 4 hari : Sabuk telah tumbuh sempurna melingkari telur bagian dalam. -Umur 5-7 hari : Sabuk mulai tumbuh melebar ke bagian sisi samping telur. -Umur 7-40 hari : Sabuk terus tumbuh melebar ke bagian sisi samping telur. -Umur 45-60 hari : Sabuk terus tumbuh melebar dan hampir menutupi seluruh bagian dalam telur. -Umur 65-90 hari : Sabuk telah sempurna menutupi bagian dalam telur. 17
2.2.2.3. Inkubator telur buaya Penyalur udara (O2) dari luar ke dalam inkubator Lampu pemanas
Dinding inkubator
Telur buaya
Rak telur
Bak berisi air
Gambar 13. Skema sederhana inkubator telur buaya.
Dalam proses penetasan, telur buaya memerlukan suhu dan kelembaban yang konstan dan stabil (Gambar 13). Suhu inkubasi yang standar adalah 320C dan kelembaban antara 90%100%. Komponen yang penting dalam inkubator telur buaya adalah: 1. Rak telur: Rak tempat meletakkan telur dapat terbuat dari anyaman kawat. Posisi rak harus datar untuk menghindari telur menggelinding. 2. Lampu: Lampu berfungsi sebagai sumber panas. Lampu pijar 100 watt umum dipakai pada inkubator sederhana. 3. Bak air: Bak air sebagai sumber kelembaban inkubator. Makin banyak volume air dalam ruang inkubator akan semakin baik, karena akan menjamin kelembaban tetap tinggi (90%-100%) 4. Penyalur udara: Fungsi dari alat ini adalah sebagai penyalur oksigen dari luar ke dalam inkubator. Umumnya inkubator tertutup rapat untuk menjaga suhu dan kelembaban stabil. Kondisi ruang yang tertutup rapat mengakibatkan konsentrasi oksigen dalam inkubator sedikit. 5. Thermostat: Alat ini berfungsi sebagai pencatat dan penjaga suhu dan kelembaban. Bila suhu atau kelembaban dalam inkubator naik atau turun dari angka yang sudah dipatok pada thermostat, maka alat ini akan berbunyi. 5. Dinding inkubator: Dinding inkubator yang baik tidak menyerap panas dari ruang inkubator. Pelapisan dinding inkubator dengan lapisan gabus akan mengurangi penyerapan panas oleh dinding yang biasanya terbuat dari semen. Permasalahan yang terjadi pada inkubator yang tidak baik: 1. Apabila suhu dalam inkubator terlalu rendah (kurang dari 280C) atau terlalu tinggi (lebih dari 360C) maka kemungkinan besar embrio dalam telur mati dan telur membusuk. Kasus yang umum djumpai pada anakan yang menetas dari hasil suhu inkubasi yang tinggi adalah ekor tidak tumbuh, kepala tumbuh besar, ekor mengeriting. Semua anakan yang cacat ini umumnya tidak berumur panjang. 18
2. Apabila kelembaban kurang dari 90% kemungkinan besar embrio dalam telur mati. Telur yang dalam masa inkubasi kekurangan kelembaban ditandai dengan retak-retak pada cangkang telur. 3. Apabila selama masa inkubasi telur kekurangan oksigen, kemungkinan besar embrio dalam telur mati. 4. Apabila selama masa inkubasi suhu inkubator tidak stabil, kemungkinan besar banyak telur yang tidak menetas atau akan menghasilkan anakan buaya cacat tubuh. 2.2.2.4. Penetasan telur -Apabila usia telur dalam inkubator telah mencapai 90 hari, semua telur fertil akan mempunyai sabuk yang menutupi seluruh bagian telur dan ditambah lagi ada beberapa telur dengan label tanggal sama menetas secara alami, maka penetasan telur-telur yang belum menetas harus dibantu manusia. Pemelihara buaya harus memecahkan cangkang telur secara perlahan-lahan sampai anakan buaya bersih dari cangkang. Anakan atau bayi buaya yang baru menetas harus ditempatkan pada wadah berisi air bersuhu 320C, suhu air harus sama dengan suhu masa inkubasi. Perlakuan ini untuk menghindari kejutan pada anakan buaya akibat perbedaan suhu. Bila anakan buaya yang baru menetas langsung dimasukkan pada kolam dengan suhu air pada suhu kamar (sekitar 250C), maka akan terjadi stress pada awal kehidupan anakan buaya tersebut.
2.2.3. Kandang anakan Anakan buaya yang baru menetas umumnya masih membawa kuning telur pada perut yang belum tertutup rapat. Dalam waktu seminggu kuning telur berangsur-angsur mengecil dan perut sedikit demi sedikit merapat. Selama masih ada kuning telur di bagian perut, anakan buaya belum perlu diberi makanan, karena anakan mendapat zat makanan dari kuning telur tersebut. Pada umur seminggu adalah masa paling kritis bagi anakan buaya. Yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan anakan buaya seminggu setelah menetas adalah: 1. Wadah penampung anakan: Wadah dapat berupa bak plastik atau kolam permanen dari semen (Gambar 14). Wadah atau kolam harus mempunyai tutup untuk menjaga suhu air dalam wadah atau kolam tetap hangat. Tinggi air dalam wadah sekitar 20 cm. Selama anakan buaya membawa kuning telur, diusahakan anakan buaya tidak merayap di permukaan semen atau benda keras lainnya. 2. Kepadatan anakan: Kepadatan ideal untuk anakan buaya yang baru menetas adalah 10 individu/m2. 3. Suhu air: Suhu air tempat penampungan anakan diupayakan pada suhu antara 300C-330C. Suhu ini tidak jauh berbeda dengan suhu di dalam inkubator. Apabila tidak dapat menyediakan air pada suhu tersebut, penempatan anakan pada ruang hangat dengan menggunakan sumber panas dari lampu pijar selama seminggu adalah yang terbaik. 4. Kebersihan kolam: Sebelum kolam dimasukkan anakan buaya yang beru menetas, kondisi kolam harus bersih dan higienis. Selama proses adaptasi anakan buaya pada lingkungan, kolam tidak perlu dibersihkan, karena anakan yang masih membawa kuning telur pada perut harus tetap berada di air sampai kuning telur hilang dan perut rapat.
19
Lampu sumber panas
Penutup kolam
Kolam
Air tinggi sekitar 20 cm
Gambar 14. Sketsa wadah penampungan anakan buaya yang baru menetas.
Setelah kuning telur pada perut habis dan perut rapat, anakan buaya dipindahkan ke kandang pemeliharaan sampai berumur 6 bulan. Konstruksi dari kandang pemeliharaan pada metoda penangkaran murni sama seperti konstruksi kandang karantina anakan pada metoda ranching (Gambar 2).
2.2.4. Kandang pembesaran Setelah umur anakan buaya mencapai 6 bulan atau lebih, anakan dipindahkan ke kandang pembesaran. Konstruksi dari kandang pembesaran dari metoda penangkaran murni sama seperti konstruksi kandang pembesaran pada metoda ranching (Gambar 3).
2.2.5. Kandang isolasi Fungsi dari kandang isolasi adalah tempat pengobatan individu buaya yang sakit. Konstruksi dari kandang isolasi pada metoda penangkaran murni sama seperti konstruksi kandang isolasi pada metoda ranching (Gambar 4). Yang perlu ditambahkan untuk kandang isolasi pada metoda penangkaran murni adalah kandang isolasi untuk induk sakit. Ukuran kandang isolasi harus besar, yaitu 7 m x 4 m untuk 1 induk, dengan kedalaman kolam sekitar 100 cm, dan perbandingan luas daratan dan kolam sama. Konstruksi kandang isolasi untuk induk harus sangat kokoh, terutama pada bagian dinding, karena gerakan buaya berukuran besar sangat kuat.
2.3. Pemeliharaan Buaya Keberhasilan dari penangkaran murni diukur dari banyaknya jumlah telur yang dihasilkan dan kecilnya jumlah kematian anakan buaya. Keberhasilan itu tergantung pada cara pemeliharaan buaya di penangkaran. Pemeliharaan buaya pada metoda penangkaran murni seperti 20
pada metoda ranching (lihat 1.3). Pada metoda penangkaran murni pemeliharan dilakukan tidak hanya pada taraf anakan dan pradewasa, tetapi harus ditambah pemeliharaan pada induk buaya. Pemberian pakan bergizi tinggi dan berkadar kalsium tinggi sangat diperlukan induk betina untuk menjamin stabilnya produksi telur. 2.3.1. Pakan Pemberian pakan pada buaya taraf anakan, pradewasa dan dewasa atau induk di penangkaran murni sama seperti pemberian pakan pada metoda ranching (lihat 1.3.1). 2.3.2. Adaptasi Proses adaptasi pada metoda penangkaran murni sama seperti proses adaptasi yang dilakukan pada metoda ranching (lihat 1.3.2).
PENYAKIT BUAYA Penyakit pada buaya dibagi menjadi 3, yaitu : 1. Penyakit infeksi. 2. Penyakit karena kekurangan nutrisi penting pada makanan (malnutrisi). 3. Penyakit karena lingkungan tidak sesuai.
1. Penyakit infeksi Mikroba dan parasit yang umumnya menyebabkan penyakit infeksi pada buaya di lokasi pembesaran dan penangkaran adalah : virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing. Buaya-buaya yang terserang penyakit yang disebabkan oleh mikroba dan parasit harus segera diisolasi dan ditempatkan dalam kandang isolasi untuk pengobatan. 1.1. Virus Virus jenis Poxvirus dan Adenovirus umumnya menyerang anakan buaya yang baru lahir dan menyebabkan kematian. Gejala yang timbul akibat virus ini adalah nekrosis (necrosis) pada jaringan hati (liver) dan lapisan epithelium usus. Pengobatan yang efektif terhadap kedua virus ini belum ditemukan. Bila terdapat anakan buaya yang terserang harus segera dipisahkan, karena penularan virus ini sangat cepat. 1.2. Bakteri Anakan buaya dalam kondisi sress umumnya akan terjangkit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Jenis bakteri yang umum dijumpai adalah Aeromonas hydrophila dan Salmonella spp. Bakteri Aeromona hydrophila menyerang liver, menyebabkan liver membengkak dan bila dibiarkan akan menyebabkan kematian; sedangkan bakteri Salmonella spp hanya menyebabkan anakan buaya sakit, tidak sampai menimbulkan kematian. Pengobatan yang dilakukan pada anakan buaya sakit karena infeksi bakteri tersebut adalah dengan menyuntikkan antibiotik spektrum luas, seperti gentamycin dengan dosis 2,5-5,0 mg/kg berat badan disuntikkan sub kutan (di bawah kulit). Beberapa antibiotik yang umum digunakan sebagai pengobatan secara oral dengan mencampur dengan makanan adalah chlortetracycline dengan dosis 200 mg/kg berat badan untuk buaya dewasa atau 30 mg/kg berat badan untuk buaya pradewasa; diberikan 2 kali sehari. Oral antibiotik lain adalah bubuk oxytetracycline hydrochloride 25 mg/kg berat badan, diberikan 3 hari sekali. Antibiotik yang diberikan secara oral melalui makanan sangat baik diberikan pada anakan buaya yang stress. 21
1.3. Jamur Jamur umumnya akan menyerang buaya bila buaya ditempatkan pada lingkungan dengan suhu di bawah suhu optimal (320C). Infeksi jamur umumnya menyerang kulit, jaringan mukosa kulit, liver dan paru-paru. Gejala infeksi jamur pada kulit atau jaringan mukosa (mata, anus, mulut) dapat terlihat bila pada kulit atau jaringan mukosa terdapat bulatan-bulatan putih. Apabila dibiarkan, jamur itu akan masuk semakin jauh ke dalam jaringan kulit atau mukosa dan akan membentuk borok. Infeksi jamur pada liver dan paru-paru dapat menyebabkan kematian bila tidak segera ditangani. Pengobatan karena infeksi jamur dapat secara oral atau suntik dengan menggunakan obat-obatan yang umum dipakai pada infeksi bakteri dengan dosis dan pemberian yang sama. 1.4. Protozoa Protozoa yang umumnya menginfeksi buaya adalah dari kelompok coccidiosis dan haematogregarines. Coccidiosis mnginfeksi saluran pencernaan buaya dan akan menyebabkan mencret. Apabila tidak cepat ditangani akan menyebabkan kematian. Haematogregarines adalah protozoa yang menyerang darah. Protozoa ini dijumpai pada buaya sakit dan juga buaya sehat. Pada kebanyakan kasus, haematogregarines tidak menyebabkan kematian buaya. Pengobatan dengan menggunakan oral antibiotik sulphachloropyrazine pada dosis 1,5g/kg berat badan, diberikan 1 kali/hari selama 3 hari berturut-turut. 1.5. Cacing Berbagai cacing parasit dapat menginfeksi buaya. Jenis-jenis cacing tersebut tergantung pada letak geografis. Jenis cacing parasit yang umum menyerang buaya di Australia dan Papua New Guinea termasuk Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1.5.1. Nematoda -Cacing dari kelompok ascarid, yaitu anggota jenis dari Dujardinascarid spp (nama lain Gedoelstascaris spp) umum dijumpai pada lambung anakan dan pradewasa buaya. Cacing ini berukuran panjang dan diameter beberapa sentimeter sehingga mudah dilihat dengan mata telanjang. Keberadaan cacing ini di dalam saluran pencernaan buaya tidak mengganggu kesehatan, tetapi bila kondisi kesehatan buaya turun, cacing ini dapat menyebabkan luka-luka pada saluran pencernaan. -Cacing dari kelompok trichuroid, yaitu jenis Paratrichosoma crocodilus (nama lain Capillaria crocodilus) umumnya menginfeksi jaringan kulit buaya, termasuk jaringan kulit pada bagian perut yang merupakan bagian kulit yang paling berharga. Cacing ini membuat jalur-jalur (“terowongan”) di bawah kulit, sehingga dari luar terlihat kulit yang berisi cacing melepuh (berisi air). Jenis cacing ini jarang atau tidak ditemukan pada buaya yang berasal dari daerah estuari atau habitat berair asin. Pembedahan pada bagian yang melepuh pada kulit di mana terdapat cacing adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan cacing ini dari kulit buaya. -Cacing filarid, yaitu jenis Micropleura vivipera juga menginfeksi jaringan kulit buaya. Keberadaan cacing ini tidak menyebabkan melepuh pada kulit. Cacing filarid umumnya berukuran besar, yaitu sekitar 40 mm x 2 mm, sehingga mudah dilihat dengan mata telanjang.
1.5.2. Trematoda -Cacing jenis Deurithitrema gingae umumnya menginfeksi ginjal dan usus buaya. Infeksi ini menyebabkan ginjal dan usus melepuh. Kasus ini jarang ditemukan pada anakan buaya, kerap ditemukan pada buaya dewasa. Ukuran cacing ini dapat mencapai 5,5 mm x 0,4 mm.
22
-Cacing dari kelompok Sebekia sp dan Leiperia sp dapat menyebabkan pentastomiasis, yaitu pengrusakan paru-paru. Infeksi yang disebabkan cacing ini akan diikut berikutnya dengan infeksi yang disebabkan bakteri pneumonia (bakteri penyebab penyakit paru-paru basah). Kasus pentastomiasis kerap dijumpai pada anakan buaya yang hidup di Papua.
Pengobatan karena infeksi cacing umumnya menggunakan obat-obatan sebagai berikut : Fenbenzadole (Panacur) dengan dosis 100-200 mg/ kg berat badan, diberikan melalui makanan (oral) untuk 1 kali/hari selama 2 hari.. Ivermectin dengan dosis 200 mg/ kg berat badan, diberikan oral atau injeksi untuk 1 kali/hari selama 2 hari. Mebenzadole dengan dosis 20-25 mg/kg berat badan, diberikan oral untuk 1 kali/hari selama 2 hari. Pengobatan untuk pentastomiasis belum ada yang efektif. Perlakuan dengan mendinginkan makanan pada suhu minus 100C selama 72 jam sebelum diberikan kepada buaya merupakan tindakan yang dapat menurunkan kasus pentastomiasis.
2. Penyakit karena kekurangan nutrisi penting pada makanan (malnutrisi). Penyakit karena malnutrisi (kurang gizi) umumnya hanya ditemukan pada buaya yang dipelihara di penangkaran murni atau pembesaran. Penyakit ini hampir tidak pernah dijumpai pada buaya yang hidup di alam. Penyakit kurang gizi yang umum pada buaya adalah: gout (kembung), osteomalacia (defisiensi kalsium), steatitis (defisiensi vitamin E) dan defisiensis vitamin A, B dan C. 2.1. Gout (kembung) Penyakit ini disebabkan karena pemberian protein yang berlebih pada makanan. Gejala dari penyakit ini dapat terlihat adanya endapan-endapan kristalin yang berwarna putih pada sendi atau pada organ-organ dalam, terutama pada ginjal. Penyakit ini dapat bersifat permanen yang mengakibatkan nafsu makan menurun dan pada tahap akut mengakibatkan kematian. Pengobatan penyakit kembung hanya berhasil pada tahap awal terjadinya penyakit (fase pertama), yaitu dengan cara tidak memberi makan buaya selama beberapa minggu. 2.2. Osteomalacia (defisiensi kalsium) Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya kandungan kalsium pada makanan. Gejala yang timbul dari penyakit ini adalah rahang atas dan rahang bawah tumbuh melengkung, gigi yang lentur dan pertumbuhan tulang tubuh dan anggota badan bengkok. Pada anakan buaya osteomalacia dapat disembuhkan dengan pemberian kalsium pada makanan; tetapi pada buaya dewasa, tulang-tulang yang tumbuh bengkok sudah bersifat permanen. 2.3. Steatitis (defisiensi vitamin E) Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan vitamin E dari makanan. Penyakit ini timbul pada buaya yang hanya makan ikan, tidak ada variasi jenis makanan. Gejala penyakit ini terlihat pada waktu buaya dikuliti; pada bagian otot akan terlihat daging melepuh, sehingga daging tersebut tidak layak untuk dijual. 2.4. Defisiensi vitamin B (Thiamine) Penyakit ini banyak dijumpai pada anakan buaya yang memakan ikan yang telah didinginkan (frozen fish). Gejala penyakit ini pada buaya terlihat dari tidak adanya gerakan reflek, dan biasanya anakan buaya hanya mengambang atau diam saja di suatu tempat dengan mulut yang terbuka. Pengobatan dengan memberikan thiamine hydrochloride dengan dosis 30 mg pada makanan, diberikan 2 kali dengan selang waktu 24 jam akan mempercepat proses pemulihan. Pada kondisi akut, penyakit ini tidak dapat disembuhkan, karena fungsi saraf sudah rusak permanen.
23
2.5. Defisiensi vitamin C Kekurangan vitamin C akan menyebabkan sariawan atau luka-luka borok pada jaringan mukosa, seperti mulut, usus dan anus. Penyakit ini hanya bisa diobati pada tahap awal dengan memperikan tambahan vitamin C pada makanan, bila sudah akut proses pemulihan biasanya gagal.
3. Penyakit karena lingkungan tidak sesuai Lingkungan yang tidak sesuai bagi buaya umumnya karena faktor suhu. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dari suhu optimum (320C) akan menyebabkan daya kekebalan tubuh (imun) buaya menurun. Buaya adalah satwa berdarah dingin, artinya suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Tubuh buaya akan bekerja optimal dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan apabila suhu lingkungannya juga optimal untuk buaya. Buaya yang ditempatkan pada kandang dengan suhu lingkungan 25-260C menyebabkan meningkatnya penyakit infeksi; sedangkan bila ditempatkan pada kandang dengan suhu 35-360C akan menyebabkan buaya stress dan pada akhirnya mengurangi daya kekebalan tubuh, dan pada akhirnya buaya mudah terkena penyakit infeksi. Pada anakan buaya, suhu lingkungan yang tinggi akan meningkatkan mortalitas (kematian).
DAFTAR ACUAN Anonymous. 1991. A proposal to transfer the Indonesian population of Crocodylus porosus Schneider (1801) from Appendix I to Appendix II of CITES. Submitted Pursuant to Resolution Conference 3.15 on Ranching and Article XV of the Convention by the Republic of Indonesia. 36 hal. Anonymous. 2003. Kumpulan peraturan perundangan bidang konservasi. Departemen KehutananJICA. Jakarta. v+203 hal. Hutton, J.M dan G.J.W. Webb (eds.). 1990. An introduction to the farming of crocodilians. Proceeding of the 10th working meeting of the Crocodile Specialist Group/SSC/IUCN. Gainesville. Florida. 21-27 April 1990. 1-39 hal. Joanen, T dan L. McNease. 1981. Incubation of alligator eggs. Proceeding Alligator Production Conference. Gainesville, Florida. 1 : 117-128 hal. Joanen, T dan L. McNease. 1987. Alligator farming research in Louisiana. Dalam: Webb, G.J.W, S.C. Manolis dan P.J. Whitehead (Eds.). Wildlife management: crocodiles and alligators. Surrey Beatty and Sons. Sydney. 329-340 hal. Joanen, T, L. McNease dan M.W.J. Ferguson. 1987. The effects of egg incubation temprature on post-hatching growth of american alligator. Dalam: Webb, G.J.W, S.C. Manolis dan P.J. Whitehead (Eds.). Wildlife management: crocodiles and alligators. Surrey Beatty and Sons. Sydney. 533-537 hal. Ladds, P.W. 1993. Management and deases of farmed crocodiles. Unpublished paper. Graduate School of Tropical Veterinary Sciences, James Cook University, Townsville. 13 hal. Manolis, S.C. dan G.J.W. Webb. 1991. Incubation of crocodile eggs-hygiene and management. Proceeding Intensive Tropical Animal Production Seminar (ITAPS). Townsvilla. 249-257 hal. Messel, H., Broad, S., Samedi, Dwiatmo dan Sutedja. 1997. Crocodile management program for Indonesia (revised). Report for Ministry of Forestry, Directorate General of Forest Protection & Nature Conservation. Jakarta. 28 hal. Webb, G.J.W, S.C. Manolis, K.E. Dempsey dan P.J.Whitehead. 1987. Crocodile eggs: a function overview. Dalam: Webb, G.J.W, S.C. Manolis dan P.J. Whitehead (Eds.). Wildlife management: crocodiles and alligators. Surrey Beatty and Sons. Sydney. 417-422 hal.
24
PERIHAL PENULIS
Hellen Kurniati adalah seorang peneliti dalam bidang herpetofauna (kelompok binatang amfibia dan reptilia) sejak tahun 1988 di Pusat penelitian Biologi-LIPI. Pengalamannya dalam menekuni biologi dan ekologi buaya di Indonesia dimulai pada tahun 1994, yaitu sejak mendapat kesempatan mengikuti pelatihan konservasi, pengelolaan dan penangkaran buaya di Darwin, Australia. Pengalaman-pengalaman berharga yang pernah dilakukan adalah melakukan survei populasi buaya di Propinsi Papua untuk jenis Buaya Muara di daerah Kaimana dan Buaya Air Tawar Irian di daerah zona tengah Sungai Memberamo. Survei lain yang berhubungan dengan masalah taksonomi buaya telah dilakukan pada tahun 1995-1996 di empat propinsi di Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim). Selain menekuni biologi dan ekologi buaya, Hellen Kurniati juga menekuni berbagai permasalah yang dihadapi pada beberapa penangkaran buaya di Indonesia dan berusaha untuk mengatasi atau meminimalkan permasalah tersebut. Pengalaman lain yang pernah dilakukannya adalah mengikuti kerja praktek dalam bidang genetika buaya di Universitas Queensland, Australia pada tahun 2000. Karena pengalamannya yang tidak sedikit di bidang buaya, maka sejak tahun 2005, Hellen Kurniati menjadi anggota kehormatan di IUCN-Crocodile Specialist Group.
25