1
Buku ini tidak diperjualbelikan
Hidup
K R I S TEN Kumpulan bahan renungan yang diterbitkan dalam
WARTA JEMAAT 2011-2012
Gereja Kristen Indonesia GUNUNG SAHARI
Hidup Kristen Kumpulan bahan renungan yang diterbitkan dalam Warta Jemaat 2011-2012 Gereja Kristen Indonesia GUNUNG SAHARI Penerbit: GKI Gunung Sahari Penanggung jawab: Majelis Jemaat Pendamping: Pnt. Irwanto Hartono, Pnt. Leonard Sopaheluwakan Pnt. Budiyono Tirtajaya Muwarman Editor: Aditya, Benny Kesworo, Dina Isyana, Leonard Sopaheluwakan, Ivan Prayoga, Raynard Tantra, Wenas Saputra Desainer: Dina Isyana Percetakan: Aditya Priting Distribusi: Benny Kesworo, Livia Kristianti, Azalia Febiyanti Penulis: Pdt. Imanuel Kristo (IKM) - Pendeta GKI Gunsa Pdt. Royandi Tanudjaya (RT) - Pendeta GKI Gunsa Pdt. Nurhayati Girsang (NG) - Pendeta GKI Gunsa Pdt. David Sudarto (DS/dav’s/DAV) - Pendeta GKI Gunsa Pdt. Suta Prawira (STP) - Pendeta GKI Gunsa Pdt. Merry Malau (MRM) - Pendeta GKI Gunsa Pnt. Febe Oriana (FO) - calon Pendeta GKI Gunsa Pdt. Sheph Davidy Jonaz (SDJ) Irwanto Hartono (IH) Magdalena Lesmana (Mgdl) Rachmayanto Surjadi (RS) Tulus Gunawan (Tulustz_hg) Debora Rachelina Simanjuntak (DRS) 2
D A F TA R I S I Kata Pengantar Pdt. Imanuel Kristo: Knowledge is Power • 6 K R I S T E N YA N G B E R E F L E K S I Jalan Kehidupan dan Sukacita • 8 Ketaatan yang Dikehendaki Tuhan • 10 Saat Berjumpa dengan Terang • 11 Katak dan Tempurungnya • 13 Menjadi Domba dari Gembala yang Baik • 15 Menggumuli Lawatan Allah • 17 Saya Mau Ikut Yesus • 19 Nyanyian Baru bagi Tuhan • 21 Firman Tuhan Pemandu Hidup Kita • 23 Bertekun dan Setia dalam Kebaikan dan Kebenaran Allah •25 Pohon Anggur • 27 Sosok Wajah di Balik Topeng • 29 Sampai Masa Tuamu • 31 Que Sera, Sera • 33 Beyond The Prophet • 36 Doa yang Benar • 38 Ora et Labora - Labora et Ora • 40 Bertumbuh dalam Kedewasaan Iman • 42 Hancur karena yang Tidak Nampak • 44 Indahnya Saat yang Teduh • 45 Doa yang Dikabulkan • 47 Melayani dengan Hati • 49 Mengakui Kristus Sebagai Raja • 52 Akui Keberadaan-Nya • 54 K R I S T E N YA N G B E R T U M B U H Buku Adalah Jendela Dunia • 58 Keserakahan VS Kemurahan untuk Berbagi • 60 Tepati Janji • 63 Komunikasi yang Transformatif • 65 Saat Hidup Tanpa Topeng • 67 Ada Udang Di Balik Batu • 69 Mulailah Menanam Pohon Rambutan Anda • 72 Jendela Dunia • 74 Mengapa Tidak Ditinggalkan Saja • 76 3
D A F TA R I S I Egoisme dan Obyektifitas • 78 Tetap Ramah di Tengah Amarah • 80 Kepercayaan yang Berharga • 82 Dapat Diandalkan • 84 Menjadi Berani • 86 K R I S T E N D I T E N G A H TA N TA N G A N Hikmah di Balik Musibah • 90 Saat Ketaatan Berbuahkan Kekecewaan • 92 Sapaan Allah di Tengah Badai • 94 Kami Bersyukur Kepada-Mu dan Memuji Nama-Mu • 96 Hidup yang Digerakkan oleh Masa Depan • 98 Memaknai Sebuah Krisis • 100 Bahagia dalam Pencobaan • 102 K R I S T E N DA L A M K E S E H A R I A N Pilih Ini dan Bukan Itu • 106 Tanya “Mengapa?” • 108 Ketidakjujuran VS Integritas • 110 Sombong, No! Rendah Hati, Yes! •112 BETHPAGE - awal yang menggembirakan dan akhir yang mengecewakan • 114 Hidup Mencukupkan Diri • 116 Berkarya Bagi Tuhan • 118 Pimpinan Roh Kudus dan Keramahtamahan • 120 K R I S T E N D I T E N G A H K E L U A R G A & KO M U N I TA S Perhiasan yang Tak Akan Pernah Hilang • 124 Doa Seorang Ayah • 126 Belajar dari Mertua • 128 Menjadi Seperti Sumpit • 130 Membangun Komunitas Pemulihan • 132 Lima Bahasa Kasih • 134 K R I S T E N YA N G M E N G A S I H I Memberi dengan Kemurahan Hati • 138 Menghadirkan Damai Sejahtera • 140 Peka dan Peduli terhadap Sesama yang Sakit • 142 Mengamalkan Kasih Persaudaraan yang Tulus Ikhlas • 145 Kehilangan atau Memperoleh Kehidupan • 147 4
D A F TA R I S I Menjadi Gereja yang Menghadirkan Keramahtamahan • 149 Berbuat Baik Tanpa Perencanaan • 154 Peduli dan Berpihak Kepada Kaum Miskin • 156 Keberagamaan dan Keadilan • 158 Mengembangkan Kepedulian • 160 Gadis Berkepala Botak • 162 Keajaiban Memberi • 164 K R I S T E N YA N G P E D U L I N E G E R I Generasi Sadrakh, Mesakh, dan Abednego • 168 Membasuh Tangan • 170 Tiada yang Tersembunyi Bagi-Nya • 172 Ingat Dahulu Kamu adalah Budak • 174 Sedia Payung Sebelum Hujan • 176 K R I S T E N YA N G B E R S A K S I Kuasa Perubahan • 180 Ladang yang Menguning • 182 Beritakanlah Injil sampai ke Ujung Bumi • 185 Ikan dan Kail • 188 Aha! Eureka! Eureka! • 190 Hendaklah Terangmu Semakin Bercahaya • 192 Memberitakan Perbuatan Besar dari Allah • 194 Terang-Nya Tetap Bersinar • 196 Berpegang Teguh pada Tugas dan Panggilan Allah • 198 Pengadilan Milik Allah • 200 Elisabeth • 202 Beritakan Karya-Nya • 204
5
Knowledge is Power
Kata Pengantar
Martin Henry. Fischer, penulis Jerman kelahiran Amerika, membagi empat kategori pencapaian dari sebuah proses belajar. Dia mengatakan, jika seseorang belajar maka hasilnya adalah, “Saya menemukan empat jenis siswa: pertama, si dungu yang tetap dungu; ke dua, si dungu yang kemudian menjadi bijak; ke tiga, si bijak yang kemudian menjadi dungu; dan ke empat, si bijak yang tetap bijak”. Apapun kesimpulan yang di sampaikan oleh Fischer, belajar adalah sebuah keharusan dan panggilan dalam hidup yang kita jalani. Henry Ford, pernah berujar: “siapapun yang berhenti belajar, maka dia adalah orang tua – berapapun usianya, entah dia berumur 20 tahun ataupun dia berumur delapan puluh tahun”. Gereja sebagai sebuah komunitas, yang di dalamnya setiap kita sepatutnya semakin di dewasakan dalam pengetahuan, iman dan spiritual juga berharap menjadi tempat belajar bagi setiap anggotanya. Proses pembelajaran yang gereja lakukan bagi jemaatnya di sampaikan lewat berbagai program: pemberitaan Firman, ceramah dan diskusi-diskusi terkait dengan berbagaoi topik – tetapi juga dengan media tulisan lewat warta persekutuan atau lembar bina jemaat. Perpustakaan GKI Gunsa dengan berbagai buku, kaset ataupun CD menjadi sarana untuk kita menumbuhkan pengetahuan kita. Dan pada kesempatan ini kita bersyukur karena terbitnya buku kumpulan tulisan dari kita dan untuk kita. Kompilasi berbagai tulisan refleksi dari para Pendeta dan beberapa saudara kita adalah sarana bagi kita untuk terus memperlengkapi diri, sekaligus juga untuk mengingat ulang apa yang mungkin pernah kita baca. Harapan kami adalah semoga buku ini dapat menjadi buku yang di minati untuk di baca, sambil terus berdoa agar di waktu-waktu mendatang buku lanjutan juga dapat diterbitkan menyusul buku pertama ini. Dan biarlah buku ini juga mendorong banyak anggota jemaat untuk membudayakan budaya baca dan belajar serta tergerak untuk mulai menuliskan refleksi-refleksi pribadinya untuk dibagikan kepada banyak orang lewat tulisan. Pepatah China kuno menuliskan demikian: “Satu perbincangan dengan satu orang bijak itu lebih baik dari belajar sepuluh tahun”. Akhirnya, terimakasih bagi kelker media yang telah membuat buku ini dapat sampai ke tangan anggota jemaat yang membacanya. Tuhan memberkati setiap kita.
Pdt. Imanuel Kristo
a.n. Majelis Jemaat GKI Gunung Sahari
6
KR IS T EN YANG
Berefleksi
JALAN KEHIDUPAN DAN SUKACITA dimuat di Warta Jemaat 4 Desember 2011
Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senantiasa. ( Mazmur 16:11 ).
K
ehidupan, sukacita dan nikmat adalah tiga hal yang didambakan oleh setiap orang. Tua-muda, perempuan atau laki-laki menginginkannya. Ada semboyan: “ Kecil bahagia, muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk sorga !” Pada umumnya semua manusia memiliki keinginan, tujuan atau cita-cita untuk hidup dalam sukacita. Namun pertanyaan krusialnya adalah bagaimana caranya? Ternyata, cara yang ditempuh oleh manusia tidaklah sama. Untuk meraih kehidupan, sukacita dan nikmat yang diidamkannya, manusia memiliki caranya sendiri-sendiri. Dalam Injil Lukas 12:16-21, kita membaca ada seorang yang hidupnya dipenuhi dengan kegiatan mengumpulkan harta, harta dan harta. Mengumpulkan harta sebanyakbanyaknya, karena pikirnya, dengan harta yang banyak, ia memperoleh jaminan akan kehidupan, sukacita dan kenikmatan hidup. Harta adalah penting, namun benarkah kehidupan, sukacita dan kenikmatan hidup secara otomatis adalah milik mereka yang berlimpah harta di tangannya? Tokoh dalam Lukas 12:16-21, justru mengalami hidup yang mengenaskan. Dalam Perjanjian Lama, Kitab 1 Raja-Raja 10: 14-Ps.11:3, kita menemukan juga kisah seorang raja yang luar biasa. Seorang raja, Raja Salomo yang dikelilingi oleh kekuasaan, tahta, harta dan juga wanita yang teramat banyak. Ia memiliki 700 isteri dan 300 gundik! Namun, apakah semuanya itu mengantarkannya pada kehidupan, sukacita dan kenikmatan hidup yang sesungguhnya? Ternyata, Salomo mengakhiri kisahnya
8
dengan mengenaskan. Sepeninggalnya, ia juga mewariskan persoalan yang sangat besar dan rumit, sampai membuat Israel terpecah menjadi dua kerajaan, Utara dan Selatan. Apa yang membuat para tokoh yang dikisahkan dalam Alkitab gagal meraih kehidupan, sukacita dan kenikmatan dalam kehidupan ini ? Alasannya hanya satu, Tuhan! Mereka meninggalkan Tuhan! Mereka hendak meraih segala sesuatu namun melepaskan Tuhan itu sendiri. Dengan melepaskan Tuhan, maka hal itu justru yang menjadi titik awal kegagalan mereka dalam meraih kehidupan itu sendiri. Sejak awal, Alkitab sesungguhnya sudah menunjukkan bahwa ketika manusia meninggalkan Allah, maka di situlah awal kehilangan kehidupan, sukacita dan kenikmatan hidup.Adam dan Hawa, kehilangan hidup di Taman Eden setelah mereka mengikuti perkataan ular dan mengabaikan perkataan Allah. ( Kej.3 ). Pemazmur mengaku bahwa dalam pengalamannya sebagai manusia di bumi ini, ternyata Tuhan adalah kunci baginya untuk meraih kehidupan yang berlimpah sukacita dan kenikmatan. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpahlimpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa. ( Mazmur 16:11 ). Pengakuan Pemazmur ini seakan berlawanan dengan keyakinan banyak orang di dunia ini. Sebab banyak orang berfikir bahwa untuk meraih kehidupan yang berlimpah sukacita dan kenikmatan, Tuhan justru harus ditinggalkan. Alasanya, dengan mengikut Tuhan, maka jalan semakin sempit dan sulit. “Hidup di dunia, kalau kita harus mengikut jalan yang lurus dan bersih, maka kita akan hancur !”, demikianlah pikir banyak orang. Namun, sejarah sudah membuktikan bahwa pengakuan Pemazmur dan apa yang diajarkan di dalam Alkitab adalah sebuah kebenaran takterbantahkan ! Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. ” (Yohanes 14:6a ). Bagi siapapun yang mendambakan kehidupan yang penuh sukacita dan kenikmatan, Tuhan adalah jalannya. Jangan sekalikali meninggalkan Tuhan, sebab Dialah jalan, kebenaran dan hidup.... (dav’s)
9
KETAATAN YANG DIKEHENDAKI TUHAN dimuat di Warta Jemaat 6 Mei 2012
(Yohanes 14 : 15 -24)
S
eperti apa ketaatan yang dikehendaki Tuhan? Yohanes 14 : 15 dan 23 mengatakan bahwa ketaatan yang dikehendaki Tuhan adalah melakukan segala perintah Tuhan, bukan sebahagian atau seperempat, setengah maupun tiga perempat tetapi seluruh perintah Tuhan. I Samuel 3 ayat 19 mengatakan bahwa tidak ada satupun dari Firman Tuhan yang dibiarkan Tuhan gugur di dalam kehidupan Samuel. Berarti melakukan ketaatan yang dikehendaki Tuhan bukanlah perkara yang mudah, bahkan sangat sulit, sebagian orang mengatakan adalah mustahil. Lalu bagaimana, apakah ketaatan pada kehendak Tuhan hanya sebagai teori saja? Kalau demikian apa yang memungkinkan kita dapat melakukan ketaatan yang sedemikian rupa? Yohanes 14 : 15 dan 23 kembali berkata, bahwa semuanya diawali dengan mengasihi Tuhan, yang berarti telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, dengan kata lain telah memiliki anugerah keselamatan dari Tuhan. Sebab bagi setiap orang yang memiliki kasih Allah di dalam hidupnya, Yohanes 14 ayat 16-18 mengatakan Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran akan menolongnya dan tidak akan meninggalkannya. Sejak ia percaya anugerah Kristus yang menyelamatkan, ia dimeteraikan oleh Roh Kudus Efesus 1 : 13 sehingga memiliki hidup sebagai anakanak Allah Yohanes 1 : 12 Sungguh luar biasa, setiap orang yang mampu melakukan ketaatan yang dikehendaki Tuhan, Tuhan berada di dalam diri orang tersebut Yohanes 14 : 21, dan diam bersama-sama dengan orang yang melakukan kehendak Tuhan tersebut Yohanes 14:23. Rasul Paulus menyaksikan kehidupan yang demikian dalam Galatia 2 : 20 bahwa hidupnya bukan sendiri lagi tetapi Kristus yang hidup didalamnya, oleh karena imannya kepada Kristus. Yohanes 1:12 menyebut kehidupan yang demikian adalah kehidupan anak-anak Allah sama seperti gambar dan rupa Tuhan. Lalu apa hubungannya ketaatan yang dikehendaki Tuhan dengan keramahtamahan? Keramahtamahan yang tulus, dapat terjadi ketika seseorang mentaati Firman Tuhan, yang merupakan buah dari hati yang dikasihi dan mengasihi Tuhan. Sebab keramahtamahan tanpa mengasihi Tuhan yang memmotivasi kita untuk mentaati Firman Tuhan, adalah keramahtamahan yang palsu, yang egois (ada udang dibalik bakwan), keramahan yang sesuai dengan keinginan sendiri dan tidak tahan uji. Sudahkah kita memiliki ketaatan yang dikehendaki Tuhan?
(NG)
10
SAAT BERJUMPA DENGAN TERANG dimuat di Warta Jemaat 18 Desember 2011
Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12)
A
da sebuah gua dalam tanah yang amat gelap gulita. Gua itu belum pernah melihat terang atau cahaya. Oleh karena itu ia tidak tahu dan tidak mengerti apa itu cahaya. Pada suatu hari matahari mengundangnya untuk keluar dari dalam tanah dan untuk mengunjunginya, supaya gua itu bisa mengenal apa itu cahaya. Si gua memenuhi undangan itu. Ketika ia tiba di matahari, ia sangat kagum dan heran, karena ia belum pernah melihat cahaya sebelumnya. Ia merasa sungguh senang dan bahagia. Setelah kunjungannya itu, gua itu merasa undangan si matahari perlu dibalas olehnya. Ia merasa berhutang budi. Ia pun mengundang matahari untuk turun dan mengunjunginya. Matahari pun memenuhi undangannya. Pada suatu hari. Matahari mendatangi si gua dengan cahayanya yang terang benderang. Gua itu menjadi kaget bukan main, karena kegelapan yang biasa menyelimutinya tiba-tiba menghilang. Gua pun merasa bahagia, karena dalam cahaya terang matahari ia dapat melihat dan menyadari bahwa dirinya berbentuk dan berwarna. Ia menjadi tampak jelas. Sejak itu, banyak orang datang mengunjungi dan mengaguminya. Terang telah membuatnya berubah! Perubahan adalah bukti yang otentik dan tidak diragukan lagi dari suatu perjumpaan dengan Yesus yang adalah terang dunia!. Seperti gua yang gelap berubah menjadi
11
terang, berbentuk dan berwarna ketika berjumpa dengan matahari, demikianlah juga siapa pun manusia yang berjalan dalam kegelapan akan berubah hidupnya ketika berjumpa dengan Yesus yang menerangi hidupnya. Karena itu, kepada setiap orang yang telah berjumpa dengan-Nya dan telah diterangi hidupnya oleh-Nya, Yesus pun katakan, “Kamu adalah terang dunia ... hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5:14,16). Rasul Paulus menjadi salah seorang dari begitu banyak orang yang membuktikan hal itu di dalam hidupnya. Seperti pengakuannya di hadapan orang banyak, “Aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara ... Tetapi dalam perjalananku ke Damsyik, ... waktu tengah hari, tiba-tiba memancarlah cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilingi aku” (Kis 22:6). Akibatnya? Berjumpa dengan cahaya yang sempat membutakan sementara matanya, Paulus bukan hanya rebah ke tanah, tetapi ia juga mendengar suara yang berkata kepadanya, “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? ... Akulah Yesus, orang Nazaret, yang kauaniaya itu” (Kis 22:7-8). Sejak perjumpaan dengan Yesus dalam terang cahaya itulah, hidup Paulus berubah!. Selanjutnya, hidupnya tidak lagi mengejar-ngejar dan menganiaya para pengikut Yesus, tetapi ia sendiri membiarkan hidupnya mengalami banyak penganiayaan karena menjadi seorang pengikut Yesus. Hidupnya sungguh-sungguh memuliakan Allah Bapa yang di sorga!. Karena itu mengaku percaya kepada Yesus sebagai terang dunia sebetulnya hampir-hampir tidak ada artinya, sampai hidup kita betul-betul berubah hari demi hari menjadi hidup yang semakin mengasihi. Sebab perubahan hiduplah yang membuktikan bahwa kita sungguh-sungguh telah berjumpa dengan-Nya. Seperti kata Yohanes, ”Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia ... berada di dalam terang, ... Tetapi barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan ... ” (1 Yoh 2:10-11). Sudahkah dan masihkah hidup kita membuktikan bahwa kita sungguh-sungguh telah berjumpa dengan Yesus, Terang dunia itu, melalui hidup kita yang semakin hari semakin berubah, semakin mengasihi, semakin baik, semakin benar, semakin memuliakan Allah Bapa yang di sorga dan – karena itu – semakin berkenan kepadaNya? (bd Rom 12:2). (RT) 12
KATAK DAN TEMPURUNGNYA dimuat di Warta Jemaat 22 April 2012 (renungan singkat atas kebangkitan Yesus dalam Minggu Paskah III)
Sebuah Kisah Ada seekor katak kecil terperangkap dalam tempurung dan ‘tak kuasa membebaskan dirinya. Katak kecil itu merasa sangat tersiksa karena tidak dapat melompat seperti sedia kala. Akhirnya ia hanya duduk terdiam sambil berharap menemukan serangga kecil dan bulir air menelusup masuk dalam tempurung tempat ia berada. Katak kecil itu kemudian tumbuh menjadi dewasa. Ia sudah sangat terbiasa dengan tempurung yang memerangkapnya, bahkan kini baginya dunia hanyalah berupa tempurung yang sempit dan gelap. Suatu ketika secara tak sengaja tempurung yang menelungkup tiba-tiba terbuka, dan si katak melonjak dengan perasaan kaget tak terhingga. Ia melihat dunia yang berbeda, sebuah dunia yang terang benderang dan luas tiada tara. Sesaat sang katak terlihat terdiam untuk memahami dunia baru di luar tempurungnya, tetapi kemudian ia pun nampak melompat kesana kemari dengan gembira. Rupanya ia tengah merayakan dunia yang berbeda, sebuah dunia di luar tempurung, sebuah dunia yang luas dan begitu indah. Selubung yang terbuka Sebuah akhir membahagiakan itu yang kita simpulkan atas kisah katak dan tempurungnya. Sebab akan sangat menyedihkan dan tragis jika sampai kisah itu selesai tempurung yang menelungkup dan memenjarakannya itu tidak pernah terbuka sehingga ia pun mati sebagai katak dalam tempurung. Pengalaman ada dalam tempurung sebenarnya bukan 13
hanya dialami sang katak tetapi kalau boleh jujur banyak orang pun merasakannya. Sebab lihatlah bagaimana banyak orang terpenjara dan dibatasi pandangannya oleh selubung ketidak mengertian atau kekerasan hati menghalangi pandangan mereka (dan mungkin juga kita) untuk melihat kebenaran bahkan menghalangi untuk berjumpa dengan Tuhan. Sebuah pemikiran sempit seperti katak dalam tempurung. Sebagai contoh Injil Lukas berkesaksian (Lukas 24 : 36 b – 48) tentang para murid yang gelisah ketika mendapat kabar kebangkitan Yesus tidak menyadari keberadaan Yesus. Karena itulah maka Lukas mengatakan Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan memberikan salam baru membuat mereka tersadar akan keberadaan Yesus. Bagaimana situasi itu bisa terjadi tentu saja terbuka untuk ditafsirkan oleh berbagai kalangan akan tetapi yang jelas saat itu para murid tidak melihat Yesus (sebelum Yesus menyapa mereka). Mereka begitu sibuknya dengan segala pikiran dan perasaannya sehingga mungkin tidak melihat Yesus masuk lewat pintu kemudian melangkah masuk dan menyeruak ketengah-tengah mereka saat itu. Artinya mata mereka terbuka tetapi tidak dapat melihat Tuhan sebab pikiran mereka terselubung ketakutan akibat penyaliban Yesus ditambah kekuatiran mendengar kabar yang beredar tentang pencurian mayat Yesus oleh para murid yang sengaja dihembuskan Mahkamah Agama (lihat Mat 28 : 11- 15). Selubung yang menutup pikiran para murid itulah yang kemudian hendak disibakkan atau dibukakan Yesus lewat sapaanNya. Seolah-olah lewat sapaanNya Yesus hendak mengatakan bahwa Ia benar-benar bangkit seperti apa yang dikatakanNya. Dalam perbuatan itu Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah benar-benar Tuhan (yang berkuasa atas maut) sehingga para murid berpindah dari rasa takut menjadi percaya bahkan memiliki tujuan hidup yang baru sebagai anak-anak Allah (lihat 1 Yoh 3 : 1 – 7) sebab mereka telah melihat Tuhan. Para murid jika sebelumnya takut kini menjadi berani (lihat Kisah Para Rasul 3), semula mereka hanya mendengar tetapi kini mereka mengalami, jika sebelumnya mengimani kini mereka mengamini. Itu semua terjadi sebab Kristus telah bangkit dan kebangkitan kristus membuka selubung pikiran para murid. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyadari Tuhan yang bangkit hadir bersama dengan kita saat ini? jangan-jangan pikiran kita masih diselubungi segala rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga mata kita tidak melihat Kristus yang bangkit. Jika demikian mari kita buka mata dan telinga sebab lihatlah Dia yang bangkit hadir dan menyapa kita mengajak kita merayakan kehidupan dalam karya. Tuhan memberkati (MRM) 14
MENJADI DOMBA DARI GEMBALA YANG BAIK dimuat di Warta Jemaat 29 April 2012
“Akulah gembala yang baik ... dan domba-dombaKu mengenal Aku” (Yohanes 10:14)
S
uatu ketika seorang guru bertanya kepada para muridnya, ”Siapakah Tuhan itu?”. Ketika guru ajukan pertanyaan itu kepada Steven, ia menjawab, “Tuhan itu adalah hakim yang mengadili orang jahat”. Steven menjawab begitu, karena bapaknya adalah seorang hakim. Lalu, guru bertanya kepada Albert, “Menurut kamu, siapakah Tuhan itu?”. Jawabnya, “Menurut saya sih, Tuhan itu adalah dokter yang bisa menyembuhkan segala penyakit”. Albert menjawab demikian, karena bapaknya adalah seorang dokter. Selanjutnya guru bertanya juga kepada Michael, “Kalau menurut kamu, siapa Tuhan itu?”. Ia pun jawab, “Tuhan itu adalah yang bisa memberikan apa saja, ketika kita memintanya kepada-Nya”. Maklumlah, Bapaknya Michael adalah seorang konglomerat yang selalu menuruti keinginan anaknya. Ternyata, semua anak yang ditanya itu jawabnya amat dipengaruhi oleh pekerjaan bapaknya di dunia. Tibalah giliran Sarjo yang ditanya oleh guru. Guru tahu bahwa Sarjo tidak semapan teman-temannya yang hidup nya berkecukupan. Kepala Sarjo tertunduk ke bawah, tak berani menatap gurunya. Guru lalu Dengan suara lemah Sarjo menjawab, “Tuhan itu adalah seorang ‘pemulung’!”. Karena jawaban Sarjo itu, tiba-tiba saja kelas menjadi riuh, ricuh dan gaduh!. “Bagaimana bisa sih? Masak Tuhan disamakan dengan seorang ‘pemulung’?”, begitu teriak protes semua murid lainnya di kelasnya. 15
Lalu, guru pun bertanya, “Sarjo, mengapa kamu bilang kalau Tuhan itu ‘pemulung’?”. Sambil mengangkat wajahnya, Sarjo pun menjawab, “Pak Guru, seorang pemulung itu khan sukanya mengambil barang-barang yang tidak berguna. Kemudian ia mengumpulkan, dan membersihkannya, sehingga barang-barang itu menjadi berguna. Bapak saya juga memungut saya dari jalanan dan membawa saya ke rumahnya. Saya diasuh, disekolahin, dan dididiknya, sehingga saya dapat menjadi seorang yang berguna. Jika bapak saya tidak mengambil saya, entah apa jadinya nasib saya sekarang! Saya sungguh tidak dapat membayangkannya!. Demikianlah Tuhan juga menjadi seorang ‘pemulung’ yang mengambil dan mengubah orangorang berdosa yang tidak berguna, sehingga menjadi orang-orang yang berguna. Membuat apa yang tak berarti menjadi begitu bernilai di mata-Nya. Karena itulah, Pak Guru, saya katakan, Tuhan itu seperti seorang ‘pemulung’!” . Kali ini, mendengar jawaban Sarjo, semua orang di kelasnya jadi terdiam hening. Tanpa terasa, sebagian dari mereka malah sempat menitikkan airmata. Termasuk Pak Guru!. Lalu, Sarjo dipeluk oleh Pak Guru dengan erat, sambil katakan, “Ternyata, Sarjo, Tuhan telah memakai bapakmu, yang adalah seorang pemulung, untuk tolong kamu dapat mengenal Dia dengan lebih baik daripada kami semua yang di kelas ini!”. Menjadi seorang Kristen yang baik memang layaknya seperti menjadi seekor domba yang baik. Seekor domba dapat menjadi domba yang baik jika ia mengenal dengan amat baik gembalanya. Begitulah juga dengan orang Kristen yang baik! Setiap orang hanya dapat menjadi orang Kristen yang baik, jika ia mengenal dengan amat baik Kristus, Gembalanya yang baik. Sebab tanpa mengenal Kristus, bagaimana kita bisa mengenali suara-Nya, hati-Nya, pikiran-Nya, sifat-Nya, kebaikan-Nya, keagungan-Nya... dlsb, sehingga kita pun bisa mempercayai, mengikuti, memuliakan dan menyenangkan-Nya? Padahal untuk bisa mengenal Yesus, Gembala yang baik, selalu diperlukan adanya waktu kebersamaan dan/atau pergaulan kita, para domba-Nya, yang terus-menerus dengan-Nya. Ya, tanpa adanya waktu kebersamaan dan/atau pergaulan denganNya, kenal, percaya, dan ikut Kristus serta – menjadi domba atau orang Kristen yang baik itu menjadi nyaris mustahil bagi kita!. Dengarkanlah dan ingatlah kata-kata-Nya, ”Domba-domba-Ku (harus!) mengenal Aku, Gembala yang baik!”. Apakah kita sungguh-sungguh sudah mengenal Dia sebagaimana Dia ingin dikenal?. (RT) 16
MENGGUMULI LAWATAN ALLAH dimuat di Warta Jemaat 17 April 2011
Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohonpohon dan menyebarkannya di jalan. Dan orang banyak yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” ( Matius 21:8-9 ).
G
egap gempita, penuh dengan sorak sorai, penuh dengan berbagai ornamen-ornamen yang memeriahkan suasana. Pada waktu itu, orang banyak yang sangat besar jumlahnya begitu meluapluap menyambut Yesus. Menghamparkan pakaiannya di jalan, memotong ranting-ranting yang di dalam Injil lain disebutkan daun palem serta bersorak-sorai dengan pujian yang indah. Begitulah kira-kira gambaran suasana ketika Yesus disambut saat memasuki Yerusalem. Disambut dan dielu-elukan bak raja yang menang ! Keramaian ketika Yesus disambut di Yerusalem itulah yang melatarbelakangi tradisi gereja dikemudian hari untuk merayakan minggu Palma. Minggu Palma adalah hari raya Kristen yang selalu jatuh pada hari Minggu sebelum Paskah. Perayaan ini merupakan perayaan masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebelum Ia disalibkan. Menurut catatan ensiklopedi Wikipedia, Daun palem adalah simbol dari kemenangan. Daun palem digunakan untuk menyatakan kemenangan martir atas kematian. Lebih jelas lagi, hal itu diasosiasikan dengan kejayaan. Daun palem memiliki warna hijau, hijau adalah warna dari tumbuh-tumbuhan dan musim semi. Oleh karena itu, hijau adalah simbol kemenangan dari musim semi diatas musim salju atau kehidupan di atas kematian. Yesus, disambut sebagai Mesias, yang datang dalam nama Tuhan. Mesias inilah yang ditunggu-tunggu sebagai lawatan Allah yang kongkret bagi umat Israel. Lawatan yang diharapkan akan membebaskan mereka dari kekuasaan politik Romawi pada waktu itu. Mesias adalah 17
seseorag yang memiliki kekuatan luar biasa laksana super hero. Dengan kekuatan yang amat menjanjikan itu, sekali tepok saja semua musuh akan hancur lebur. Harapan itu sepertinya akan terpenuhi, manakala Yesus memang telah menunjukkan keajaiban demi keajaiban. Di sinilah kita melihat aroma kepentingan yang kuat tercium. Bahwa gegap gempita, pesta dan kemeriahan digerakkan oleh kepentingan. Inilah sebuah pesta yang sarat dengan kepentingan ! Pesta penyambutan Yesus itu penuh dengan simbol-simbol yang bagus. Ekspresi yang meluap-luap yang menjadikan tampak meriah. Namun sayangnya gegap gempita itu segera berlalu. Sorak-sorai pujian dan kemeriahannya tidak bertahan lama. Semua kemeriahan itu ternyata hanya ibarat busa dari soda yang sebentar saja meluap-luap, tetapi setelah itu hilang tak berbekas. Buktinya ? Hanya dalam hitungan jam atau hari, teriakan mereka berganti umpatan, cacian, kutukan: “Ia harus disalibkan !” ( Mat.27:22 ). Mereka kecewa, karena kepentingannya tidak terpenuhi. Perayaan penyambutan Yesus sebagai Allah yang melawat umat-Nya itu sungguh wah ! Dari sisi kemeriahan dan acara layak mendapat acungan jempol. hanya ada satu yang kurang dalam kemeriahan itu adalah ketulusan. Kalaupun toh ada kemeriahan, ada simbol-simbol yang baik, namun jika tidak dilakukan dengan ketulusan hati, maka semuanya itu hanya kulit dan laksana busa. Sudahkah kita menyambut lawatan Allah melalui Tuhan Yesus dengan ketulusan ? Selamat memasuki Minggu Palmarum. (dav’s)
18
SAYA MAU IKUT YESUS dimuat di Warta Jemaat 24 April 2011
sebuah refleksi sederhana atas Yohanes 21 : 15
D
ulu waktu sekolah minggu saya ingat benar saat seorang kakak sekolah minggu diakhir ceritanya bertanya “siapa yang mau ikut Yesus?” sontak saya dan seluruh teman-teman sekelas acungkan tangan sambil berseru “saya” dengan nyaringnya. Tapi sekarang setelah menjadi dewasa, saya menemukan ada perbedaan kondisi saat sekelompok orang percaya dalam beberapa kesempatan diperhadapkan pada pertanyaan yang sama “siapa yang mau ikut Yesus?.” Nampak tidak banyak respon spontan memberi diri untuk ikut Tuhan; kebanyakan terlihat terdiam dengan mata menerawang entah memikirkan apa; sedangkan sebagian lain yang jumlahnya lebih sedikit menyatakan ikut Tuhan walau hanya terkesan masih berupa keinginan belaka. Saya jadi berpikir, apakah hal tersebut terjadi disebabkan setelah dewasa kini kita tahu pertanyaan mengikut Tuhan adalah sebuah pertanyaan yang mengandung konsekuensi berat. Sebab mengikut Tuhan menuntut totalitas seseorang dalam keseluruhan hidupnya, sehingga membuat kita merasa sulit disaat harus meninggalkan hal-hal duniawi yang menawarkan kesenangan hidup padahal kita masih ada di dunia. Dari kesaksian hidup orang percaya yang kisahnya yang kita temukan di Alkitab, catatan sejarah, berita di surat kabar dan televisi, kita memahami benar bahwa menjadi pengikut Tuhan adalah sebuah perjalanan panjang memikul salib. Dan jika dibenak kita muncul pertanyaan apakah yang membuat mereka begitu setia? kekuatan apakah yang
19
membuat mereka nampak lebih kuat dari manusia kebanyakan? Hanya satu jawaban yang dibisikan dalam hati saya yaitu semua karenaNYA. Ya…karena Tuhan telah terlebih dahulu menyatakan kasih setiaNya sehingga manusia memiliki pengampunan dikala berdosa, penghiburan dikala duka, kekuatan dikala lemah, pengharapan dikala berputus asa, kekekalan kasih dikala yang lain sirna dan binasa. Untuk itu muncul sebuah gambaran bagi saya (dan saya harap saudara juga dapat melihatnya); sebuah gambaran pengikutan Tuhan bukanlah jalan suram tetapi sebaliknya mengikut Tuhan adalah jalan senang; itu semua terjadi saat seorang anak manusia menyadari keterbatasan kekuatannya maka hidup berdampingan dan mendapatkan topangan dari Tuhan sang pemberi kehidupan akan melahirkan rasa tenang dan damai sejahtera. Dengan demikian ikut Tuhan berarti kita tahu bahwa kita ada dalam penyertaan serta bimbingan Tuhan yang akan menghantarkan kita pada kebaikan sejati dimana tidak ada ratapan dan kertak gigi. Untuk itu tidak ada yang lain yang bisa menandinginya; tidak ada yang lain yang merebutnya dari kita, sebab kasih setiaNya telah tercurah bagi kita. Saya akan mengakhiri renungan singkat ini dengan menorehkan syair lama yang muncul dalam ingatan, semoga menjadi berkat.
“Saya mau ikut Yesus, saya mau ikut Yesus sampai s’lamalamanya. Meskipun saya susah, menderita dalam dunia. saya mau ikut Yesus sampai s’lama-lamanya”. (MRM)
20
NYANYIAN BARU BAGI TUHAN dimuat di Warta Jemaat 7 Agustus 2011 Mazmur 149
A
pakah yang dimaksud dengan nyanyian baru bagi Tuhan? Apakah itu berarti syair dan nadanya yang baru?. Tentu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Sebab menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan adalah semangatnya yang selalu baru, dilandasi iman yang teguh kepada Tuhan dan karyaNya Mazmur. 149:4. Dapat saja syair dan nadanya lama tetapi yang utama adalah semangatnya yang baru yang termotivasi oleh pengenalan akan Tuhan, apalagi disertai syair dan nada yang baru. Sebaliknya syair dan nadanya baru bukanlah nayanyian baru, apabila tidak dinyanyikan dengan semangat yang baru, lebih-lebih lagi dengan syair dan nada yang baru itu dapat kita lihat di dalam Mazmur 149 :1-3; 5 - 6. Apa khasiatnya menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan? Nyanyian baru bagi Tuhan memiliki daya serang yang luar biasa untuk menghancurkan musuh-musuh iman orang percaya (gereja) Mazmur 149:8-9, juga mempunyai daya juang yang kuat untuk melindungi orang percaya (gereja) dari musuh-musuh imannya. Banyak bukti yang kita temukan di dalam Alkitab maupun sepanjang sejarah gereja, maupun secara pribadi atau komunitas. Bangsa Israel dapat mengahancurkan tembok Yeriko hanya dengan nada-nada dari tiupan sangkakala Yosua 6. Raja Yosafat dengan bangsa Israel dapat mengalahkan Moab dan Amori yang jauh lebih kuat, dengan menyanyikan nyanyian pujian bagi Tuhan sejak berangkat dari Yerusalem menuju lembah Tekoa tempat berperang dan kembali lagi ke Yerusalem. Kemenangan mereka yang tanpa senjata, hanya dengan pujian tersebut, menyebabkan tempat mereka berperang disebut lembah pujian, 2 Tawarikh 20:19-28. Tembok-tembok penjara dosa nabi Yesaya dan bangsa Israel juga dirubuhkan karena puji-pujian para malaikat (serafim) Yesaya 6. Demikian juga yang dialami Paulus dan Silas, bukan saja tembok penjara dalam arti sesungguhnya yang roboh ketika mereka menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan, tetapi juga tembok penjara 21
dosa kepala penjara di Filipi, Kisah Rasul 16:19-40. Nyanyian baru bagi Tuhan disepanjang sejarah gereja, dapat kita lihat di dalam buku-buku nyanyian rohani seperti Kidung jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Nyanyian Baru dan buku-buku nyanyian rohani lainnya. Penulis juga memiliki banyak pengalaman dalam menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan yang melegakan, ketika menyadari keberdosaan dengan mengakui dosa dengan merendahkan diri kepada Tuhan yang mengampuni. Menyanyikan nayanyian baru bagi Tuhan, yang memberi semangat atau kekuatan ketika merasa tidak berdaya melakukan kehendak Tuhan, dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan pelayanan. Menyatakan syukur dan pujian kepada Tuhan untuk segala kebaikan Nya dan kekaguman akan keagungan dan kemuliaan Nya, kekuasaan dan keadilan Nya, kasih dan kesetiaan Nya. Sudahkah kita menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan? Mengapa ada yang tidak menyanyi pada saat ibadah? Apakah karena sakit tenggorokan, batuk atau pilek, tentu kita dapat menyanyi di dalam hati kita bukan? Apakah karena Saudara tidak menguasai nyanyian yang dinyanyikan? Saya yakin oleh karena di dalam hati saudara ada semangat yang baru suatu hari saudara pasti dapat menyanyikan nyanyian tersebut, bahkan dapat mengatasi ketidak serasian musik yang dimainkan pemain musik dan pemandu. Apakah saudara tidak menyanyi karena saudara sungguh-sungguh tidak memiliki semangat yang baru karena belum mengalami kasih Tuhan, kita berdoa kiranya saudara yang demikian akan memiliki kasih Tuhan, sehingga dapat menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan. Nyanyian baru bagi Tuhan yang sesungguhNya adalah perilaku hidup dalam keseharian yang memuliakan Tuhan, bukan perilaku hidup yang mempermalukan Tuhan. Marilah kita ucapkan pada diri kita masing-masing: Selamat menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan. (NG)
22
FIRMAN TUHAN PEMANDU HIDUP KITA dimuat di Warta Jemaat 4 September 2011
A
dapun ayat yang menjadi dasar renungan minggu ini terambil dari Maz.119:105 ; ”FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” Diumpamakan sebagai pelita, firman Tuhan menjadi pemandu spiritual dalam perjalanan hidup kita, yang bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. (2 Timotius 3:16). Alkitab yang berisikan firman Tuhan haruslah mendapat perhatian kita, karena merupakan satu-satunya kitab yang menceritakan kebenaran diatas segala kebenaran mengenai Tuhan. Kitab itu telah diberikan Tuhan bagi kita untuk dibaca, dipelajari dengan seksama, direnungkan, untuk selanjutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membaca Alkitab setiap hari, kita akan mengenal Tuhan lebih dekat, mengerti kehendakNya dan hidup menurut perintahNya, beralaskan firman Tuhan. Demikianpun ketika kita diperhadapkan pada suatu masalah dan berada dalam keputusasaan, kita harus senantiasa ingat akan kebenaran firman Tuhan yang dapat mengembalikan harapan kita. Dinyatakan dalam Maz 109:165 mengenai ketenteraman ada pada orang-orang yang mencintai TauratNya. Pernyataan ”tidak seorangpun tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan” yang seringkali dikemukakan ketika seseorang sedang menghadapi masalah, tidaklah tepat. Apakah ketidakpastian/ketidakjelasan mengenai hari esok diartikan sebagai tidak mengetahui kehendak Tuhan? Konsep mengetahui kehendak Tuhan tidaklah terbatas pada situasi apa yang akan kita jalani di masa mendatang. Untuk mencari apa yang menjadi kehendak Tuhan, tidak ada tawar menawar lagi selain mendalami firman Tuhan setiap hari dan menjadikan pemandu dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai pelita, Alkitab akan menuntun kita dengan benar untuk keluar dari permasalahan karena berisikan rambu-rambu yang harus dilalui.
23
Alkitab memang bukanlah kitab yang mudah untuk dimengerti. Alkitab diumpamakan sebagai lautan yang dalam, mengandung kekayaan tersembunyi yang mendorong peneliti untuk mengetahuinya lebih dalam. Hanya mereka yang bersedia untuk mengenal Tuhan lebih dekat, mendorong keinginan mendalami isi Alkitab dengan tekun, untuk kemudian melaksanakan perintahNya. Bagi mereka akan nyata perubahan dalam pola hidupnya karena telah menjadi seseorang yang berpengharapan penuh. Mazmur 119 diberi judul ”Bahagianya orang yang hidup menurut Taurat Tuhan” merupakan pasal yang mengupas perlunya kita berharap dan berpegang pada firman Tuhan dan salah satu ayatnya merupakan dasar renungan kali ini. Beberapa ayat dalam Mazmur 119(18,33,34) dapat menjadi doa permohonan kita sebelum membaca firman Tuhan untuk dapat mengerti kehendak Tuhan, dan melaksanakan perintahNya.
Bapa, terimakasih untuk FirmanMu singkapkanlah mataku untuk dapat memandang keajaiban TauratMu perlihatkanlah petunjuk ketetapan-ketetapanMu agar aku dapat memegang TauratMu berikan kami hikmat daripadaMu untuk mengerti segala ketetapan dan perintahMu FirmanMu pemandu hidupku (MgdL)
24
BERTEKUN DAN SETIA DALAM KEBAIKAN DAN KEBENARAN ALLAH dimuat di Warta Jemaat 25 September 2011
S
eorang ibu yang sedang mengandung, tertangkap tangan sedang mengadakan transaksi narkoba. Ketika penyidik menginterogasi ibu tersebut, tentang motivasinya untuk melakukan perbuatan yang terlarang itu, ibu tersebut menjawab “karena kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak, yaitu biaya hidup sehari-hari dan persiapan untuk melahirkan bayinya”. Banyak orang melakukan kejahatan yang lain seperti mencuri, merampok, korupsi atau menjual diri dengan alasan yang sama. Bahkan diantara orang Kristen yang sesungguhnya ada yang melakukan perbuatan tersebut. Mengapa saya mengatakan orang Kristen yang sesungguhnya? Sebab hanya orang Kristen yang sedemikian dimungkinkan untuk bertekun dan setia dalam kebaikan dan kebenaran Allah. Sementara “orang Kristen” banyak yang belum memiliki/memahami kebaikan Allah (yakni anugerah-Nya yang menyelamatkan). “Orang Kristen” yang demikian tidak mungkin bertekun dan setia dalam kebaikan dan kebenaran Allah. Seperti yang dilakukan oleh iman-iman kepala dan tua-tua bangsa Yahudi (Matius 21:23). Meskipun mereka berstatus iman-iman kepala dan tua-tua bangsa Israel, dari statusnya mereka kelihatan seperti orang beriman tetapi kenyataannya hanyalah “orang beriman”, sebab yang menguasai hati mereka hanyalah kekuasaan, ketamakan dan kedengkian, karena mereka tidak mampu melihat kebenaran Allah dalam tindakan Yohanes maupun Yesus (Matius 21:23-32). Kalau demikian mengapa orang Kristen yang sesungguhnya, tidak mampu bertekun dan setia dalam kebaikan dan kebenaran Allah? Jawabannya adalah bahwa mereka tidak mau bertekun dalam kebaikan Allah, sehingga tidak mampu setia dalam kebenaran Allah. Seperti apa orang yang bertekun dalam kebaikan Allah? Yaitu orang yang bertekun untuk mengenal lebih dalam akan Tuhan melalui Firman-Nya (setia belajar Alkitab dengan 25
sepenuh hati), dan bersekutu dan dikuatkan oleh orang-orang yang telah membuktikan pemeliharaan Allah dalam berbagai penderitaan mereka. Seperti yang disaksikan oleh pemazmur dalam Mazmur 25:1-9. Rasa percaya pemazmur akan pemeliharaan Tuhan, karena ia telah membuktikan ketika ia melakukan dosa dan kesalahan, bagaimana Tuhan menunjukkan jalan baginya dari ketersesatannya dan membimbingnya kembali ke jalan kebenaran Tuhan. Setelah ia menyadari keberdosaannya dan memohon belas kasihan Tuhan. Pertobatan dan pembaharuan hati menjadi jalan kepada hidup bahwa kebenaran yang sudah ada harus dijaga, sebab orang benar akan mendapat hukuman jika dia tidak menjaga kebenaran dan akhirnya dia menjadi orang yang tidak benar. Sebaliknya, jika orang yang tidak benar berbalik dan bertobat, Tuhan akan memberi hidup dan bebas dari hukuman atas kesalahannya di masa lampau demikian kesaksian nabi Yehezkiel di dalam Yehezkiel 18:25-32. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam kehidupan Rasul Paulus, meskipun ia menderita di dalam penjara bahkan siap menanti kematian, tetapi penderitaan yang sedemikian rupa tidak mampu mengubahnya menjadi tidak bertekun dan tidak setia dalam kebaikan dan kebenaran Allah. Sebaliknya daripada sibuk memperhatikan diri sendiri (penderitaan yang dialami) dan tidak peduli pada sesama, Paulus justru menyibukkan diri menyatakan kebenaran kepada jemaat di Filipi, sementara para tokoh sedang sibuk berkonflik. Paulus sibuk menggunakan penderitaannya dan pergumulannya dalam memberitakan Injil Yesus Kristus sebagai teladan pelayanan bagi jemaat yang sedang sibuk melayani diri sendiri bukan Tuhan. Bahkan Paulus bersaksi bukan saja dalam penderitaan ia tetap bertekun dan setia dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan, tetapi juga dalam kesenangan/kelimpahan Filip 4:12-13. Akhirnya Saudara-saudara, apakah kita masih tetap bertekun dan setia dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan baik dalam penderitaan maupun kesenangan? (NG)
26
POHON ANGGUR dimuat di Warta Jemaat 2 Oktober 2011
P
ohon anggur adalah pohon yang istimewa, sebab buahnya apabila diolah menjadi air anggur maka minuman ini berguna dipelbagai tempat dan dalam segala keadaan. Air anggur menjadi minuman penting dalam pesta pernikahan sebagai simbol kegembiraan dan sukacita pernikahan. Air anggur ada dalam upacaraupacara keagamaan sebagai salah satu symbol atau sebagai salah satu persembahan untuk yang Maha Tinggi. Air anggur ada dalam peperangan sebagai minuman yang memberi semangat dan sebagai cairan yang berfungsi sebagai obat untuk membersihkan luka-luka. Dan hampir setiap pengembara membawa anggur dalam kirbatnya manakala mereka melakukan perjalanan jauh. Apabila kita memperhatikan fungsinya yang luar biasa maka tidaklah heran apabila para petani dan para pemilik tanah di Timur Tengah mengidolakan pohon yang satu ini sebagai sebuah komoditas unggulan di bidang perkebunan. untuk mengembangkan perkebunan anggur para pemilik tanah tidak segan menginvestasikan uangnya untuk membangun menara-menara penjagaan untuk membangun pagarpagar pelindung. Bahkan mereka menyewa orang-orang upahan bukan saja untuk merawat tetapi untuk menjaganya siang dan malam. Merawat pohon anggur agar menghasilkan buah yang terbaik bukanlah pekerjaan yang mudah. Para pemilik tanah harus mencari bibit-bibit yang baik. Para petani mesti mengukur keasaman tanah serta unsur hara yang terkandung di dalamnya. Para petani harus menyiapkan penyangga-penyangga yang baik. Para petani juga mesti mempertimbangkan pengairan dan pencahayaan yang baik. Serta para petani juga harus tahu kapan ia membersihkan daun dan kapan ia harus memotong cabang yang tumbuh secara berlebihan. Ini semua dilakukan agar pohon anggur menghasilkan buah yang maksimal. Keunggulan sebuah pohon anggur tidak diukur dari berapa tingginya
27
pohon itu, tidak diukur berapa lebatnya dedaunan yang dihasilkan oleh pohon itu tetapi keunggulan pohon anggur diukur dari berapa banyak dan berapa tinggi kwalitas buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Untuk menghasilkan buah yang terbaik bisa jadi petani membatasi tinggi pohon anggur tersebut, atau bisa jadi petani membatasi pertumbuhan cabang-cabang tertentu bahkan bisa jadi petani harus memotong daundaun yang tumbuh secara berlebihan. Oloehkarena rumitnya perawatan dan olehkarena besarnya dana yang diinvestasikan maka kita dapat mengerti apabila para pemilik kebun mengalami kekecewaan yang dalam manakala mereka mendapati pohon-pohon anggur dikebun milik mereka tidak menghasilkan buah atau menghasilkan buah yang asam. Pohon anggur adalah pohon yang dahannya tidak terlalu kuat. Dahannya apabila mengering berongga dan tidak cukup baik apabila digunakan untuk kayu bakar sekalipun. Pohon anggur yang tidak berbuah adalah pohon anggur yang mengecewakan yang lebih baik dicampakkan dalam api dan dibakar sebagai sampah. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan dalam api lalu dibakar (Yohanes 15:6) Yesaya 5:1-7 menggambarkan Israel sebagai pohon anggur yang mengecewakan. Sebab banyak yang sudah Allah lakukan bagi mereka: Tuhan menempatkannya di tanah yang subur; Tuhan yang menyingkirkan batu-batu dari tanah itu agar mereka dapat tumbuh dengan baik; Allah mendirikan menara kemegahan untuk mereka; Allah memberikan penjagaan yang luarbiasa. Apa yang Allah tidak berikan untuk umat-nya? Allah telah memberikan segala-galanya. Tapi Apa yang dihasilkan oleh umat Israel adalah buah yang mengecewakan, buah yang menyakiti hati Allah. Inilah yang membuat Allah menebas pohon anggur kesayangannya dan membakarnya. Biarlah minggu ini kita berefleksi dan merenungkan di tengah-tengah pemberian Allah yang berkelimpahan bahkan pemberian luar biasa yang telah mengorbankan anak-nya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus, buah apa yang sudah kita berikan bagi Tuhan? (STP) 28
SOSOK WAJAH DI BALIK TOPENG dimuat di Warta Jemaat 23 Oktober 2011
(sebuah renungan sederhana dari Markus 12 : 41- 44)
S
ewaktu saya masih kecil saya senang sekali melihat badut sebab wajahnya nampak selalu ceria dengan senyumnya yang mengembang serta wajah jenakanya. Bagi saya saat itu seorang badut tidak pernah bersedih, hidupnya selalu senang dan gembira. Pemikiran itu saya bawa sampai beranjak remaja dan berhenti saat menemukan “kenyatan” bahwa wajah yang saya lihat terus tersenyum itu hanyalah “sebuah topeng” yang dikenakan (atau dilukiskan) diwajah pemain lakon badut. Saya kemudian menjadi sadar bahwa ada wajah lain yang tertutupi topeng yang tengah tersenyum; sebuah wajah yang mungkin tengah lelah karena kepanasan atau wajah kesal karena tingkah anak-anak yang berebut cari perhatian. Sebuah wajah yang tidak pernah saya lihat karena memang tak diungkap tertutup topeng wajah tertawa. Pengalaman dengan sang badut itu menyadarkan saya bahwa yang nampak tidak selalu sama dengan kenyataan yang tidak nampak (yang tersembunyi didalamnya). Dengan cara pandang seperti itulah maka saat ini saya hendak membagikan buah perenungan atas Markus 12 : 4144 yang kita akan gumuli bersama dalam pekan ini. Dalam Markus 12 : 41-44 nampak bagi kita bagaimana Tuhan Yesus hendak mengajar kita untuk menguji kedalaman hati dan tidak hanya mencukupkan diri melihat permukaan. Tuhan mengundang kita untuk menyelami kenyataan yang terpapar, sebab dengan usaha tersebut kita akan bertemu realita dan semakin kaya makna. Dituturkan dalam bacaan kita bagaimana Tuhan disebutkan tengah duduk didepan (menghadapi) peti persembahan, artinya Dia sangat dekat (dan mungkin 29
dapat bercakap-cakap) dengan orang-orang yang saat itu tengah memasukkan persembahan mereka. Saya membayangkan tentu keberadaan Yesus didepan peti persembahan itu cukup menarik perhatian banyak orang sebab bukankah Ia sudah banyak dipercakapkan orang (ingat Markus 8:27). Untuk itu maka setiap orang yang memasukan persembahannya menyadari benar bahwa Yesus (yang disebut banyak orang adalah Elia, atau salah seorang nabi Allah) tengah memperhatikan apa (dan seberapa) yang mereka masukkan dalam peti persembahan. Maka dapat kita pahami jika ada persoalan baru maka orang-orang yang hendak memberi persembahan sebab semula mereka hanya akan menunaikan tanggung jawabnya (dalam niat memberi persembahan) tetapi juga kemudian memikirkan apa yang mungkin akan dipikirkan Tuhan Yesus (yang melihat). Dan bukan hal yang aneh jika kemudian mereka memberikan persembahan dengan berbagai perasaan entah itu rasa sungkan (sebab merasa diperhatikan), atau bahkan sebaliknya merasa bangga (sebab memberikan dalam jumlah yang besar) orang-orang pun memasukkan persembahan mereka kedalam peti tersebut. Tuhan Yesus awalnya nampak biasa-biasa saja dan tidak begitu terpengaruh dengan tingkah polah orang-orang yang memberikan persembahan dihadap-Nya sampai muncul seorang janda miskin yang memasukkan dua peser kedalam peti. Perbuatan wanita itu begitu menimbulkan kesan mendalam di hati Tuhan sehingga Ia memanggil murid-murid-Nya untuk diperjumpakan dengan sosok dibalik penampilan lusuh sang janda miskin beserta dua peser pesembahannya. Dalam perjumpaan tersebut Yesus tengah mencelikkan mata para murid dengan sikap kritis yang ditunjukkanNya sehingga mereka dapat melihat kekayaan penghayatan yang dikandung dua peser uang yang diberikan sang janda. Lewat perkataan Tuhan maka para murid dapat melihat tidak hanya sosok lusuh dihadapan mereka tapi hati yang tulus dan penuh rasa percaya (sehingga memberikan seluruh apa yang ada pada dirinya) pada Tuhan. Tuhan Yesus membuat para murid mengerti bahwa memberikan persembahan tidak dimotivasi hanya sebatas kebaikan hati, rasa kesadaran diri atau bahkan mungkin ada yang memiliki niat melipat gandakan sebaliknya memberikan persembahan adalah sebuah perwujudan iman dan rasa percaya kita pada Tuhan. Dan rasa percaya yang terselib dalam hati itulah mendorong seseorang (dan sang janda) menghampiri Tuhan dan memberikan hidupnya sebagai sebuah persembahan yang hidup. mengakhiri renungan singkat ini saya akan menutupnya dengan sebuah tanya “Adakah Tuhan melihat melihat sosok tulus hati dan penuh rasa percaya menjadi wajah jemaat-Nya yang tengah berkumpul dan beribadah hari ini ???” Mari kita menelisik diri… (MRM)
30
SAMPAI MASA TUAMU dimuat di Warta Jemaat 15 Januari 2012
Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu (Yesaya 46:4).
S
eseorang yang sudah memasuki usia 60 tahun, pada umumnya dikategorikan sebagai masuk masa tua. Karena itu, usia 60 tahun, pada umumnya seseorang kemudian pensiun dari pekerjaan atau tugasnya. Namun, kemajuan teknologi kedokteran dan peningkatan mutu kesehatan yang baik telah menyumbang perpanjangan masa tua tersebut. Oleh sebab itu, dewasa ini, seseorang bisa saja dikategorikan memasuki masa tua setelah usia 65 tahun atau bahkan ada yang mengusulkan 70 tahun. Seseorang pada usia tua pada umumnya mengalami beberapa penurunan. Paulus mengatakan bahwa: “... manusia lahiriah kami semakin merosot...”(2 Kor.4:16). Secara alamiah memang seseorang mengalami penurunan. Kekuatan menurun, kualitas pendengaran, penglihatan dan juga organ-organ tubuh lainnya menurun kemampuannya. Karena itu, adalah tidak proporsional jika memberi beban tubuh pada usia tua tetap sama seperti beban pada usia muda. Para pemain sepakbola profesional, rata-rata gantung sepatu alias pensiun setelah memasuki usia 37 tahun. Karena kekuatan dan kecepatan sudah sangat menurun sehingga sulit untuk bertanding mengejar bola selama 2x45 menit. Olah raganya kemudian diganti dengan olah raga yang teratur dan terukur geraknya. Bagaimana dengan realitas sosial di masa tua? Kehidupan sosial di usia tua juga pada umumnya mengalami penurunan. Banyak orang-orang yang tadinya dekat bahkan terdekat bisa saja menjauh atau pergi. Anak-anak setelah dewasa sangat mungkin kemudian ke luar dari lingkungan keluarga atau rumah orang tua, menikah atau berkarya. Alkitab juga mengatakan bahwa (anak) laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya...(Kej.2:24). 31
Relasi bisnis atau relasi kerja di kantor atau di perusahaan juga sangat mungkin menjadi menurun bahkan hilang. Misalnya, seorang yang pada masa aktif di pekerjaan atau usaha dikenal luas dan banyak yang mencari, maka tidaklah demikian ketika ia sudah pensiun. Dari data-data tersebut, nyatalah bahwa relasi sosial pada masa tua menjadi menurun. Jika realitas tubuh dan sosial adalah realitas menurun pada masa tua, namun tidak demikian dengan realitas cinta kasih Allah pada masa tua. Cinta kasih Allah adalah cintakasih yang tidak menurun namun tetap dan malah bertambah. Inilah realitas yang dikumandangkan oleh sang nabi dalam Yesaya 46:4. Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu (Yesaya 46:4). Usia tua adalah anugerah. Tidak ada satu orang pun di bumi ini yang dapat menjamin bahwa seseorang akan sampai atau mendapatkan usia tua. Umur adalah di tangan Tuhan. Namun, setiap orang dipanggil untuk mempersiapkannya, sehingga dapat hidup dengan bahagia dalam ‘realitas yang menurun’ tersebut. Di dalam persiapan yang baik, maka seseorang yang dianugerahi umur memasuki usia tua akan menjadi bahagia dan menjadi berkat. Di beberapa negara maju, pemerintah mempersiapkan dengan cermat untuk warga negara yang memasuki usia tua. Pemerintah menjamin bahwa setiap warga negaranya tidak akan merana di masa tuanya. Di Kanada misalnya, pemerintahnya akan mengirimkan dana secara teratur bagi warga negaranya yang memasuki usia tua untuk menjamin kebutuhan hidup dasarnya terpenuhi. Di negara berkembang yang korup seperti Indonesia bagaimana ? Nampaknya, kita tidak dapat atau belum dapat mengandalkan institusi negara. Karena itu, setiap individu yang harus memiliki kesadaran pribadi. Namun persiapan yang diperlukan bukan saja bekal finansial. Melatih tubuh untuk memelihara kesehatan adalah sangat perlu. Dan tentu kemudian, adalah kearifan yang bertambah. Dikaruniai usia tua adalah anugerah, karena itu harus dikelola dengan kearifan. Bahkan kearifan inilah yang mesti bertambah-tambah. Kitab Ayub berkata: “Konon hikmat ada pada orang yang tua, dan pengertian pada orang yang lanjut umurnya.”(Ayub 12:12). Dengan kearifan, maka seseorang akan dapat mengisi hari-harinya secara berkualitas. Pemazmur berkata: “Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar.”(Mazmur 92:15). Dengan cintakasih Allah yang bertambah serta kearifan seseorang yang menerimanya, maka usia tua adalah anugerah yang sungguh indah. Semoga...(dav’s)
32
QUE SERA, SERA dimuat di Warta Jemaat 22 Januari 2012
perenungan singkat atas kitab Yunus
K
ata Que Sera Sera yang saya pinjam sebagai judul tulisan ini merupakan kalimat pendek yang dikutip dari lagu yang ditulis oleh Jay Livingston dan Ray Evans. Saya akan muat sepenggal kutipan sedikit lebih lengkap agar kita dapat melihat lebih dalam, sebagai berikut …
When I was just a little girl I asked my mother what will be will I be pretty, will I rich Here’s what she said to me *Que sera, sera what ever will be, will be The future’s not ours to see Que sera, sera what will be, will be Setelah membaca lirik di atas, maka kita dapat menemukan kisah seorang anak yang nampaknya penasaran tentang apa yang akan menjadi masa depannya. Ia bertanya pada ibunya apakah besar nanti akan menjadi seperti harapannya yaitu menjadi seorang yang cantik atau kaya. Que Sera Sera lah yang menjadi jawaban ibunya atas pertanyaan tersebut. Que sera, sera what ever will be, will be … Nampak dalam jawabnya sang ibu tengah mengajarkan anaknya makna kehidupan. Ia seakan mengatakan bahwa dalam hidup ini manusia harus belajar melepaskan keinginan sehingga ketentraman pun dialami. Hal itu
33
semua tidak lain karena manusia memang tidak memiliki kuasa atas masa depan. Que Sera, Sera ... what will be will be sebenarnya tidak hanya menjadi jawaban untuk sang anak tetapi juga merupakan jawaban bagi kita semua (yang juga punya banyak keinginan dalam hidup). Mengapa? Karena keinginan manusia memang sesuatu yang sulit untuk ditaklukan (padahal di sisi lain keinginan manusia tidak selalu baik dan benar). Akan tetapi ‘toh tetap saja Manusia selalu bergulat dan berkutat dengan perwujudan segala keinginan dan harapannya walau kemudian banyak menemukan kekecewaan dan keterlukaan karenanya. Bicara soal keinginan yang sulit ditaklukan kita juga dapat melihat itu dalam pergumulan Yunus yang menjadi salah satu bagian ayat yang direnungkan dalam kotbah minggu ini. Kita dapat melihat bagaimana Yunus bergumul dengan keinginannya. Ketika membaca kitab Yunus secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa Yunus memiliki keinginan untuk tidak melakukan sesuatu apapun yang akan berdampak baik bagi musuh bangsanya (Niniwe). Karena itulah, walaupun pesan yang didengarnya dari Tuhan adalah suatu rencana penghukuman akan tetapi ia mengetahui sifat Tuhannya yang berbelas kasih. Yunus dapat menebak dengan waktu yang diberikan Tuhan bagi Niniwe sebelum pelaksanaan hukuman merupakan kesempatan yang Tuhan berikan untuk sebuah pertobatan yang membawa kepada keselamatan (lihat Yun 4:4). Berdasarkan keinginannya untuk membiarkan Niniwe hancur itulah Yunus bahkan berani melawan Tuhan dengan tindakan melarikan diri ke Tarsis saat diperintahkan pergi ke Niniwe (Yun 1:3). Atau dengan kata lain dalam usahanya menjauh tersebut Yunus tengah memaksakan keinginannya pada Tuhan (yang tentu saja artinya melawan kehendak Tuhan). Jelas apa yang diperbuat oleh Yunus bukanlah pilihan yang tepat, sebab sekuat apapun keinginannya (dan sekuat apapun usahanya) ia tidak akan mampu melawan kehendak Tuhan. Buktinya Tuhan mampu membuat badai besar dengan menurunkan angin ribut serta ikan besar yang membuat Yunus pada akhirnya melakukan juga apa yang Tuhan
34
Allah kehendaki. Yunus pergi ke Niniwe dan berseru bahwa “empat puluh hari lagi maka Niniwe akan ditunggangbalikkan”, walau nampak tetap tidak dengan kerelaan hati. Dan benar saja, Niniwe pun bertobat sehingga mereka diceritakan selamat dari malapetaka. Melalui secuplik kisah pengalaman Yunus tersebut kita dapat melihat bahwa pada dasarnya keinginan manusia sangatlah egois (baik untuk dirinya sendiri dan belum tentu baik untuk orang lain). Berbeda dengan keinginan Tuhan yang senantiasa baik untuk semua pihak. Untuk itu dalam perenungan kali ini kita diajak menelisik diri (dan bertobat jika ternyata kita sama seperti yunus yang memaksakan kehendak pribadi daripada kehendak Tuhan). Sebab kehidupan mengajarkan pada kita bahwa memaksakan keinginan pribadi selain membuat kita sangat egois dan tak jarang juga mampu membuat kita melukai yang lain (baik itu sesama bahkan Tuhan sekalipun). Kiranya kita dapat memetik buah pembelajaran atas pengalaman hidup Yunus seperti lagu Que sera, sera what will be will be the future’s not outs to see.. kita tengah diajarkan untuk tidak berkeras memaksakan keinginan pribadi tapi sebaliknya menyerah pada kehendak Tuhan. Sebab dengan demikian maka selain memiliki ketentraman jiwa kita juga menjadi sesama bagi yang lain serta menjadi pribadi yang taat pada suara Tuhannya. Dengan melepaskan kehendak pribadi maka kitapun menjadi seseorang yang senantiasa taat dan melayani Tuhan saat Ia memanggil untuk sebuah kehendakNya. Amin (MRM)
35
BEYOND THE PROPHET dimuat di Warta Jemaat 29 Januari 2012
“B
eyond The Reality” adalah slogan iklan sebuah merk TV. Beyond the Reality mau mengatakan bahwa TV ini punya kemampuan untuk menyajikan gambar yang melampaui batas yang nyata atau yang diharapkan. Dengan kata lain kemampuan TV ini lebih daripada televisi lainnya. Lebih daripada yang lainnya adalah poin penting yang hendak ditonjolkan. Hal ini pula menjadi poin penting dalam tema kotbah kita minggu ini. Sebab, Yesus Beyond the prophet atau lebih dari sekadar nabi. Untuk memahami tema ini perlu dilakukan tinjauan tentang kriteria seseorang dikatakan sebagai nabi. Paling tidak di dalam Perjanjian Lama mengungkap nabi adalah seseorang yang diutus Allah, mampu berbicara dengan Allah, menyampaikan Firman Allah, mampu bernubuat dan berperan dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan Israel. Dari sini kita bisa melihat bahwa nabi menjadi alat di tangan Allah. Berbeda jauh dengan Yesus; Markus 1:21-28 mengungkap keberadaan Yesus yang berbeda dari para nabi. Sebab, pertama, isi pengajarannya membuat orang menjadi takjub karena Dia memiliki kuasa dalam perkataan-Nya. Dalam ayat 22 dikatakan bahwa orang yang mendengar menjadi takjub dengan pengajaran yang Yesus lakukan. Kedua, pada ayat 27 dituliskan bahwa pengajaran-Nya mengusik roh jahat yang kemudian diusir oleh Yesus dengan kuasa-Nya. Jadi bicara tentang Yesus yang mengajar dan mengusir roh jahat, tentu nabi-nabi yang dahulu juga bisa melakukannya. Apa bedanya? Bedanya terletak dari dalam diri Yesus itu sendiri. Yesus bukan hanya bernubuat, tapi Dialah penggenapan dari nubuat dalam Perjanjian Lama. Yesus bukan hanya menyampaikan Firman, tapi Dia adalah Firman itu sendiri.
36
Yesus bukan hanya menjadi alat di tangan Allah, tapi Dia adalah Allah itu sendiri. Yesus juga yang memperdamaikan Allah dengan manusia. Yesus bukan nabi biasa! Implikasinya buat kita sebagai gereja yang adalah satu dengan Kristus (ingat Yoh 17:23) keberadaan Kristus yang beyond memampukan kita untuk hidup beyond the ordinary people. Kita menjadi manusia yang hidup dengan nilai-nilai ilahi dalam menanggapi kehidupan duniawi. Misalnya, pola pikir manusia yang umum adalah membenci musuhnya, tetapi karena kita beriman kepada Dia yang Beyond itu maka kita pun dimampukan untuk mengasihi musuh kita. Umumnya manusia lebih suka dilayani daripada melayani, tapi kita ditekankan untuk melayani seperti Sang Gembala Agung (The Servant Leader). Inilah implikasinya jika kita menaruh iman kita kepada Dia yang Beyond itu. Mau tidak mau hidup kita pun harus hidup Beyond (lebih dari) manusia pada umumnya. Sebab iman itu tidak hanya mengarah ke atas tapi juga ke samping, bukan hanya mengawang-awang, tapi nyata dan dirasakan oleh sesama. (DRS)
37
DOA YANG BENAR dimuat di Warta Jemaat 1 Juli 2012
Markus 1 : 35 – 39
Y
akobus 5 : 16b berkata “ Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya”. Seperti apa doa orang yang benar yang juga adalah doa yang benar? Kita dapat melihat contohnya dari kehidupan doa Yesus Kristus yang kita temukan dalam Markus 1:35-39
1. Doa yang benar adalah doa untuk memahami kehendak Tuhan dan ketaatan untuk melakukannya, seperti yang Yesus ungkapkan pada Yohanes 15 :7 “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firmanKu tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya”. Yesus yang memahami kehendak Allah Bapa di dalam doanya yaitu, Allah Bapa berkehendak agar Yesus memberitakan Injil, Yesus berkata “karena untuk itulah Aku telah datang” Markus 1 : 38b, dan Yesus mentaatinya Markus 1: 39
2. Doa yang benar (orang yang benar), membutuhkan ketekunan agar sampai kepada pemahaman akan kehendak Tuhan, dan kekuatan untuk melakukannya. Hal tersebut diungkapkan pada Matius 7:7, melalui tiga kata kerja yang terdapat didalamnya yakni: “mintalah”, “carilah” dan “ketoklah”, dalam bahasa Yunani bentuknya present continous tense yang berarti terus menerus sama dengan bertekun. Yesus Kristus tekun mencari tahu kehendak Bapa dan tekun memohon kekuatan untuk melakukannya, terbukti tempat dan kebiasaannya berdoa setiap pagi diketahui
38
oleh murid-muridNya. Markus 1:35-37, sehingga Allah Bapa memberitahu kehendakNya kepadaNya, dan Yesus Kristus mendapatkannya, dan pintu pintu dibukakan bagiNya yakni pemberitaan Injil
3. Doa yang benar (orang yang benar) adalah doa orang yang bebas dari memuaskan hawa nafsu seperti yang diingatkan pada Yakobus 4 :3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”. Dalam doanya Yesus sama sekali tidak mencari mencari kepentingan sendiri (memuaskan hawa nafsu), terbukti ketika banyak orang mencariNya, Yesus Kristus tidak memamfaatkan mencari popularitas atau fasilitas, sebaliknya Ia taat melakukan kehendak Bapak memberitakan Injil ke kotakota lain. Markus 1:37 b – 38 Adakah saudara sudah memiliki doa yang benar yakni doa yang mencari tahu kehendak Tuhan dan mohon kekuatan untuk melakukan kehendakNya, yang hanya dapat diperoleh dengan ketekunan bukan bertele-tele, dan tidak membiarkan keinginan memuaskan hawa nafsu seperti mencari popularitas dan fasilitas, merusaknya? Berbahagialah orang benar yang memiliki doa yang benar, karena doa yang demikian sangat besar kuasanya. Selamat mengalami dan memilikinya, yakni taat melakukan kehendak Tuhan dalam menghadirkan keramahtamahan bagi sesama yang membutuhkan, Tuhan memberkati! (NG)
39
ORA ET LABORA LABORA ET ORA dimuat di Warta Jemaat 15 Juli 2012
S
eorang anak muda sangat ingin untuk menumbuhkan kehidupan spiritualitasnya. Dia berusaha kemana-mana untuk mendapatkan seorang guru spiritual yang mampu mengajarkan dirinya tentang spiritualitas dan ketuhanan. Setelah dia mencari sana-sini, akhirnya dia menjumpai seorang guru spiritual yang melaluinya dia di arahkan untuk dapat menjumpai seorang pria yang tinggal di sebuah kaki gunung – dengan gubuk sederhana sebagai tempat tinggalnya. Seorang guru spiritual yang dikenal banyak orang sebagai orang suci. Dengan penuh antusias dia menemui orang tersebut, seorang pria dengan penampilan sederhana dan terkesan apa adanya. Anak muda itu memohon agar dia dapat tinggal beberapa saat di rumah pria tersebut demi untuk mendapatkan pencerahan. Hari pertama dia jalani,..... hari ke dua dia lewati,.... hari ke tigapun dia dapat selesaikan. Dan selama ini dia merasa bahwa aktifitas yang di lakukan oleh pria sederhana itu sama sebagaimana aktifitas manusia pada umumnya: bangun pagipagi, melakukan beberapa aktifitas di rumah, lalu kemudian berangkat ke kebun tempatnya bekerja hingga petang, kembali lagi ke rumah dan kemudian menyelesaikan beberapa pekerjaan, hingga hari mulai malam, untuk memudian dia mengistirahatkan dirinya. Begitu yang dia lakukan dalam hari-hari yang di jalaninya, tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Setelah sekian hari dia tinggal di sana, dia kemudian memberanikan diri untuk berbicara dengan pria tersebut: ”Guru, aku ke sini untuk belajar tentang spiritualitas dan cara menjumpai Tuhan,....tetapi dari sejak aku datang ke tempat ini aku belum pernah melihat guru melakukan ritual-ritual khusus, aku tidak pernah melihat guru menjalani doa secara khusus, atau mendaraskan ayat-ayat suci dengan khusyuk – lalu kapan saya bisa mendapatkan pelajaran tentang spiritualitas?’
40
Mendengar pertanyaan tersebut maka sang gurupun menjawab: ”Berdoalah sambil bekerja dan bekerjalah sambil berdoa”. Sikap yang demikian adalah spiritualitas yang utuh, yang tidak memisahkan antara yang sakral dengan yang sekular, antara yang jasmani dengan yang rohani. Ke dua bagiannya menyatu: bahwa di dalam kerja yang kita lakukan ada doa yang kita panjatkan dan di dalam doa yang kita panjatkan juga ada kerja yang kita baktikan. Dengan demikian doa kita bukanlah semata-mata menjadi rumusan yang di dalamnya harapan-harapan diri - kita sampaikan kepada Tuhan, tetapi sekaligus juga menjadi ekspresi iman yang kita ungkapkan di dalam kerja yang kita jalani. Begitu juga sebaliknya, kerja kita juga bukan semata-mata menjadi kegiatan yang sama sekali tidak mempunyai kait mengkait dengan kesungguhan pengabdian kita kepada Tuhan. Tetapi dengan kerja yang kita tekuni maka iman kita kongkritkan dan doa kita lafaskan lewat gerak, pikiran dan pencapaian kita. ”Ora Et Labora dan Labora Et Ora”, adalah sebuah keseimbangan. Doa saja tanpa kerja hanya akan membuat diri kita tampak tanpa usaha, sementara itu kerja saja tanpa doa akan membuat diri kita lupa apa yang di kehendaki Tuhan dalam hidup kita. Mother Theresa pernah berkata: ”Ketika kita bekerja atau melakukan segala sesuatu, kita bisa dengan mudah terjebak ke dalam situasi dimana aktifitas itu hanyalah sebuah rutinitas. Karena itulah kita harus selalu memasukkan rasa hormat kita, rasa syukur kita, pengabdian dan rasa cinta kita terhadap Tuhan yang telah memberi iita kesempatan melakukan pekerjaan tersebut – Dan karena pekerjaan tersebut kita lakukan untuk menunjukkan semua perasaan tersebut kepada Tuhan, bahwa pekerjaan tersebut pada hakikatnya adalah sebuah bentuk ibadah kita kepadaNya, maka kita pasti akan melakukannya dengan segenap kemampuan kita, sebaik dan sesempurna mungkin”. Akhirnya: Janganlah lupa ”Ora Et Labora dan Labora et Ora, berdoalah sambil beraktivis. Tuhan Yesus memberkati semua jerih lelah dan kerja keras yang selama ini kiita tekuni. Jkt. (IKM)
41
BERTUMBUH DALAM KEDEWASAAN IMAN dimuat di Warta Jemaat 23 September 2012
S
emua manusia pasti mengalami pertumbuhan fisik. Dari bayi menjadi anak kecil, remaja, pemuda, terus menjadi orang dewasa dan manula. Namun tinggi tubuh seseorang ternyata ada batasnya –terkait dengan gen yang dimiliki-, sekeras dan sesering apa pun ia berlatih mengupayakannya. Mungkin pertumbuhannya tidak lagi meninggi, tetapi horizontal ke depan dan ke samping. Berbeda dengan fisik, potensi pertumbuhan spiritual manusia tidak ada batasnya. Berapa “tinggi” yang kita inginkan tergantung kepada kemauan, upaya dan seberapa banyak kita mengambil dan memanfaatkan sarana dan perlengkapan yang Allah sediakan. Pertumbuhan iman orang Kristen dimulai ketika ia percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Ia dilahirkan kembali sebagai anak Allah dan menjadi anggota keluarga Allah. Sebagai bayi rohani, ia perlu terus menerus bertumbuh menuju kedewasaan iman (2 Petrus 3:18, Efesus 4:13-15). Proses ini dinamakan sanctification, dimana Roh Kudus berkarya membentuk dan menanamkan karakter Kristus di dalam diri orang percaya sehingga makin menyerupai Kristus (Roma 8:29). Di sisi lain sanctification juga menuntut peran serta, tanggung-jawab bahkan kerja keras setiap orang percaya. Rasul Paulus memberikan instruksi kepada Timotius “Latihlah dirimu beribadah” (1 Tim. 4:7). Demikian pula nasehat rasul Petrus supaya orang percaya dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada iman mereka kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih akan saudara dan kasih akan semua orang. (1 Pet. 1:5-7). Kita perlu memberikan perhatian kepada pengembangan hubungan kita dengan Tuhan –membaca Alkitab secara rutin setiap hari, sering berdoa, melawan dan menghindar dari berbagai godaan nafsu duniawi, berupaya menaati perintah Tuhan dan melayani sesama dan gerejaNya.
42
Sering kita membaca adanya orang dewasa namun punya sifat kekanak-kanakan dan jadi bahan tertawaan orang lain. Penulis kitab Ibrani memiliki keprihatinan kepada mereka yang tidak menunjukkan pertumbuhan imannya: “ …ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, namun masih memerlukan susu dan bukan makanan keras.” (5:12). Ia mendesak mereka untuk membawa iman mereka kepada ‘kesempurnaan’ (6:1). Dengan demikian sebagai orang Kristen kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang menyesatkan. Setiap pertumbuhan pasti membutuhkan waktu dan tidak instan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Seorang ahli botani menemukan sebuah pohon pinus besar yang tumbang akibat badai beberapa hari sebelumnya. Dari hasil pengamatannya, ia dapat memperkirakan usia pohon tersebut paling tidak 250 tahun. Ketika lapisan kulit kayu sebelah luar dilepaskan dari batangnya, ia menjadi terkesan mendapati bahwa pohon pinus tersebut sesungguhnya masih bertumbuh bahkan pada hari ia tumbang dan mati. Hal yang sama seharusnya terjadi dan dilakukan dalam kehidupan setiap orang percaya. Walau fisik kita tidak lagi bertumbuh bahkan banyak yang menyusut dan rapuh dimakan usia, manusia batiniah kita harusnya dapat terus bertumbuh dan berkembang, dalam segi emosional, karakter dan spiritualitas, sampai ajal menjemput kita. Betapa berbahagianya orang Kristen yang makin tambah usia, ia makin memancarkan keindahan Kristus di dalam hidupnya, ia makin serupa Kristus dan terus menghasilkan buah-buah yang memuliakan Tuhan dan yang menjadi berkat bagi banyak orang. Dengan demikian kepada kita akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. (2 Petrus 1:11). “kelahiran baru hanya butuh waktu sesaat; pertumbuhan orang kudus memerlukan waktu seumur hidup” (RS)
43
HANCUR KARENA YANG TIDAK NAMPAK dimuat di Warta Jemaat 30 September 2012
(Renungan Sederhana Atas EFESUS 4 : 29 - 32) “pusing...” keluh ibu Rina Ia sedang pusing karena rumahnya diserang rayap. Kayu-kayu penyangga rumah dan atapnya sudah habis dimakan rayap. Hanya renovasi besar-besaran satusatunya cara memperbaiki perbuatan para rayap. Ibu Rina pusing, sebab jika dibiarkan rayap memakan kayu pilar dan atap. Dan hal itu tentu berbahaya karena rumah akan ambruk menimpa penghuni rumah. Sungguh serangan rayap seperti pasukan elit, tidak terlihat tapi bisa menghancurkan. Diluar nampak baik tetapi di dalamnya terjadi kerusakan dasyat. Serangan rayap dengan cara semacam membuat saya teringat akan persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Bukan hal baru jika ada keluarga mendadak hancur dan membuat orang bertanya “kok bisa ya? kan selama ini kelihatan baik.” untuk itu pertanyaan selanjutnya adalah “apa penyebabnya?” Tentu ada banyak hal yang bisa disebutkan oleh tiap-tiap orang sebagai penyebab kehancuran tersebut. Akan tetapi biasanya kerusakkan terjadi karena hal-hal yang nampak sepele tapi berulang dilakukan seperti kata-kata kasar yang menyakitkan pasangan. Kepahitan tersebutlah yang kemudian menimbulkan persoalan besar yang mampu menghancurkan keluarga menjadi berantakan. Paulus dalam suratnya pada jemaat Efesus menasehatkan untuk ramah terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sehingga kebersamaan dalam hidup terjaga. Saran Rasul Paulus berguna tidak hanya manjur untuk menjaga keutuhan keluarga tetapi jika diperhatikan sarannya juga dapat memperbaiki keutuhan rumah tangga yang nampak mulai bermasalah. Khususnya bagian saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni. Untuk itu dalam bulan keluarga ini dimana kita diajak untuk memelihara kualitas hubungan dalam keluarga mungkin waktunya bagi kita merenungkan perkataan Paulus sehingga kehancuran tiba-tiba layaknya serangan rayap seperti rumah ibu Rina tidak kita alami. Selamat berbenah diri dan “me-renovasi” hidup. Tuhan Yesus memberkati. (MRM) 44
INDAHNYA SAAT YANG TEDUH dimuat di Warta Jemaat 7 Oktober 2012 Seorang pengusaha sukses terkena stroke pada malam hari. Ia jatuh di kamar mandi. Ia segera dibawa dan dirawat di ruang ICU sebuah RS. Saat terbaring tak berdaya dan tak sadarkan diri itulah, seorang Malaikat menghampiri dirinya. Malaikat katakan kepadanya, “Hai pengusaha, kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu, kau akan tetap hidup! Tapi, sebaliknya, jika dalam 24 jam jumlah pendoa itu tidak terpenuhi, itu artinya kau akan meninggalkan dunia ini!” “Malaikat, kalau cuma 50 orang sih itu mah gampang!”, kata pengusaha itu dengan amat yakin. Malaikat pun pergi dan janji akan dating lagi 1 jam sebelum batas waktu yang sudah ditetapkan. Betul saja, sejam sebelum batas waktu, Malaikat pun kembali mengunjungi-nya. Pengusaha itu langsung tanya, “Saya akan segera pulih khan? Pastilah sudah ada 50 orang yang doain saya! Janganjangan malah lebih dari 50 orang jumlahnnya! Lakh, karyawan saya aja ada sedikitnya 2000-an orang!”. Malaikat jawab, “Pengusaha, sayang sekali! Sudah saya cari ke manamana, tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu. Padahal sisa waktumu tinggal 60 menit lagi. Rasanya mustahil kalau akan ada lagi orang yang mau berdoa buat kesembuhanmu”. Saat itu juga Malaikat tunjukkan layar besar serupa TV di mana ia bisa lihat, ternyata, 3 orang pendoa itu adalah istrinya dan 2 putra-putrinya yang masih kecil. Mereka berdoa sambil berpelukan dan dengan air mata bercucuran. Pengusaha itu, bahkan, bisa dengar doa istrinya yang bilang, “Tuhan, saya tau kalau suami saya bukan suami dan ayah yang baik! Dia sudah khianati pernikahan kami. Dia tidak jujur dalam bisnisnya. Sumbangansumbangannya hanya untuk tutupi perbuatannya yang jahat. Tapi, 45
Tuhan, lihatlah dan kasihanilah anak-anak dan saya ini! Mereka dan saya masih butuhkan dia ...” Melihat hal itu, tanpa terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul rasa penyesalannya yang sungguh amat dalam. Terlebih lagi, ketika ia sadari, betapa besar cinta isteri dan anak-anaknya kepada dirinya, seorang yang jahat itu. Tapi, sekarang apa daya? Waktunya tinggal 10 menit lagi! Tidak mungkin ada 47 orang lagi yang mau berdoa untuknya!. Ia hanya bisa pasrah dalam keputusasaan. Ketika waktunya habis, tiba-tiba Malaikat bilang, “Hai pengusaha, Tuhan lihat air mata dan penyesalanmu! Kamu tidak jadi meninggal! Ternyata, beberapa detik menjelang habis waktumu, ada 47 orang yang berdoa buatmu!”. Sekali lagi, Malaikat tunjukkan di layar besar serupa TV itu suatu tempat yang pernah dia kunjungi. Di sana terlihat, 47-an anak-anak sedang berdoa bersama untuk kesembuhannya. Rupanya, mereka baru lihat fotonya dan baru tahu dirinya sakit dari satu surat kabar. ”Itu khan Panti Asuhan yang sebulan lalu saya kunjungi!”, kata pengusaha itu. ”Benar!”, jawab Malaikat, ”Biar pun Tuhan tahu, bahwa sumbanganmu kepada Panti Asuhan itu sebetulnya untuk cari perhatian dari pemerintah dan para penanam modal asing, tapi karena doa-doa anak-anak Panti Asuhan itulah, Tuhan berkenan perpanjang hidupmu di dunia!”. Saat teduh bersama dengan Tuhan itu indah! Sebab, pada saat itulah orang – secara pribadi atau bersama-sama – bukan hanya dapat “mendengarkan” perkataan Tuhan kepadanya lewat firman-Nya, tetapi juga perkataan-nya/mereka lewat doa-doa selalu mau “didengarkan” oleh Tuhan. Karena itu, seperti doa-doa istri pengusaha dengan 2 anaknya dan doa-doa 47 anak Panti Asuhan dalam saat teduhnya, jangan heran, jika doa-doa kita dalam saat teduh kita pun mau “didengarkan” oleh Tuhan. Oleh doa-doa kita, Tuhan telah dan akan “selamatkan” orang-orang yang kita kasihi dan lebih banyak orang lagi! Ya, memang itulah salah satu (dan bukan satu-satunya!) keindahan dari saat teduh bersama dengan Tuhan! (RT). 46
DOA YANG DIKABULKAN dimuat di Warta Jemaat 14 Oktober 2012
“ Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki dan kamu akan menerimanya.” Yohanes 15:7
T
idak ada doa yang tidak dijawab Tuhan, tetapi tidak semua doa dikabulkan Tuhan, mengapa demikian? Hanya jawaban Tuhan terhadap doa dengan kata “ya”, dan “tunggu”, yang dikategorikan doa yang dikabulkan, sementara jawaban doa yang “tidak” oleh Tuhan sudah jelas adalah doa yang tidak dikabulkan. Doa yang dijawab Tuhan dengan “ya” senantiasa direspon dengan sukacita oleh si penerimanya apalagi jawaban tersebut “segera”, sementara jawaban “tunggu” sering membuat si pendoa merasa bosan, bahkan tidak tertutup kemungkinan membuat jawaban sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sementara jawaban Tuhan dengan kata “tidak” sering tidak dapat dipahami oleh si pendoa bahkan memotivasi mereka berdoa lebih keras dan dapat berakhir dengan kekecewaan. Dua respon yang terakhir terjadi karena si pendoa tidak memahami & tidak menyakini bahwa doa adalah sarana untuk memahami kehendak Tuhan, bukan mengubah Tuhan menurut kehendak si pendoa. Bukankah Yeremia 33 : 3 berkata: “Berserulah kepadaKu, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui”. Dengan tekun berdoa Matius 7 : 7 – 8, yaitu dengan terus meminta, dengan terus mencari dan terus mengetuk, si pendoa akan memahami kehendak Tuhan sehingga doanya sesuai dengan kehendak Tuhan (tinggal dalam Firman Tuhan) yang kemudian membuat doa dikabulkan seperti yang diungkap dalam Yohanes 15 : 7.
47
Hal inilah yang dialami Hanna, Ibu Samuel dalam I Samuel 1 : 1 – 8. Pada awalnya doanya belum dikabulkan Tuhan, tetapi karena Ibu Hanna tekun berdoa (tahun demi tahun = minimal 2 tahun) akhirnya Ibu Hanna memahami kehendak Tuhan = tinggal dalam Firman Tuhan. Semula motivasi doanya hanya untuk memuaskan hawa nafsu Yakobus 4 : 3 yakni untuk membalas rasa sakit hatinya kepada Penina madunya Matius 5 : 23 – 24 yang semuanya membuat Hana berdosa, sehingga Tuhan tidak mau mengabulkan doanya Yesaya 59 : 1 – 2. Ketika Hanna menyadari dosanya akhirnya ia memahami kehendak Tuhan dan memahami mengapa doanya belum dikabulkan (“tunggu”) motivasi doanya berubah dari keinginan memuaskan kehendak sendiri menjadi mentaati kehendak Tuhan, dimana Tuhan mencari seorang pemimpin bagi bangsa Israel yang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Hana merelakan Samuel anaknya yang sudah lama dinantikan, untuk diserahkan ke pada Tuhan I Samuel 1 : 9 – 11 menjadi hamba-Nya. Kemampuan memahami kehendak Tuhan membuatnya percaya (beriman) bahwa doanya dikabulkan Tuhan sehingga ia bersukacita mendengar jawaban Tuhan melalui Imam Eli I Samuel 1 : 17 – 18. Beriman adalah satu syarat doa dikabulkan Tuhan Markus 11 : 24 dan Ibrani 11 : 6 dan akhirnya doa Hanna dikabulkan I Samuel 1 : 20. Apabila Saudara rindu mengalami doa yang dikabulkan Tuhan, tinggallah dalam firman Tuhan (memahami & melakukan kehendakNya), maka doa Saudara akan dikabulkan, karena doa seorang yang memahami kehendak Tuhan tidak meminta sesuatu yang membuat Tuhan berkata tidak, dan ketika memahami kehendak Tuhan jawaban Tuhan dengan kata “tidak” diterima dengan rela. (NG)
48
MELAYANI DENGAN HATI dimuat di Warta Jemaat 18 November 2012
“ Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, .....” ( Lukas 10 : 41 )
I
tulah respon Yesus terhadap Marta ketika Marta sedang sibuk sekali melayani dan mendekati Yesus sambil berkata : “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku “ Marta merasa telah melakukan hal yang benar dalam melayani Yesus yang saat itu datang bertamu bersama para murid-Nya. Marta merasa keberatan melayani seorang diri, sementara Maria saudaranya hanya duduk menemani Yesus. Lalu, apakah pelayanan yang Marta lakukan terhadap Yesus salah ? Tentu saja tidak! Sebab jika Marta juga seperti Maria, maka siapa yang melayani para tamu dengan menghidangkan makanan dan minuman? Jelas Yesus tidak mempersalahkan Marta. Yesus menegur sikap Marta dalam melayani, dimana tampaknya Marta tidak melayani dengan tulus-ikhlas. Dia melakukannya sebagai suatu kewajiban dan tidak melayani dengan hati. Marta memang sibuk, tetapi kesibukannya itu hanya untuk mencari perhatian dan pujian. Dalam dunia pelayanan, ada ungkapan bijak “the heart of service is serving by heart”. Artinya bahwa, inti dari sebuah pelayanan adalah melayani dengan hati.Tanpa hati, sesungguhnya itu bukanlah pelayanan. Bahkan lebih tegas lagi, itu disebut pelayanan jika dilakukan dengan sepenuh hati, dengan penuh semangat dan kesungguhan dan pengorbanan! Orang yang melayani dengan hati, akan melakukannya dengan penuh semangat atau penuh spirit. Ibarat api
49
yang berkobar dalam jiwanya dan menjadi sebuah tenaga pendorong kemauan yang lebih berpengaruh ketimbang kepribadian,.............the burning heart is more powerful than personality! Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga apabila jiwanya terbakar oleh sesuatu, maka kemustahilan akan lenyap. Semangat yang membakar hati seseorang dikenal dengan sebutan ANTHUSIASM atau antusiasme, yang berasal dari bahasa Yunani EN THEOS, yang artinya : Ada Tuhan Di dalam. Maka seseorang yang melayani dengan hati, tidak akan pernah mengeluh dan bersungut-sungut, dan berhenti manakala menemui masalah. Sebuah contoh dalam sejarah penemuan, adalah Thomas A.Edison, penemu bola lampu, yang melakukan ribuan percobaan dan tidak pernah berhenti sebelum berhasil. Semangat dan pengorbanannya sungguh amat luar biasa. Dan salah satu pernyataannya yang penting adalah : “ Seandainya satu-satunya hal yang dapat kita wariskan kepada anak-anak kita adalah kwalitas antusiasme, sesungguhnya kita telah memberikan mereka harta yang tak ternilai! “ Nah, apa yang Yesus ucapkan kepada Marta, juga berlaku terhadap pelayanan kita dilingkungan jemaat maupun masyarakat.Saat ini masih sering kita jumpai pelayanan yang tidak keluar dari hati apalagi pelayanan dengan sepenuh hati dan jiwa. Acara-acara yang tampak hebat dan meriah, tetapi hanya menyentuh lapisan permukaan dan berdampak sementara. Lalu, apa ciri-ciri pelayanan yang dari hati, selain semangat dan antusiasme yang tinggi? Yah, paling kurang ada 4 hal, sebut saja dengan 4C, yaitu : Charity, Care, Commitment dan Consistent. Charity atau kemurahan hati, yaitu sesuatu yang keluar dari hati yang tulus-ikhlas, dan Care atau kepedulian terhadap kebutuhan pihak yang kita layani, dan bukannya hanya peduli terhadap kepentingan kita sendiri. Kedua hal tersebut didukung oleh komitmen atau tekad yang dilaksanakan dengan konsisten. Hal-hal tersebut tampaknya tidak kita jumpai pada pelayanan Marta, dan karena itulah Yesus berkata : ‘Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,... tetapi hanya satu saja yang perlu, dan Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” Yah, Maria menyambut Yesus dengan 50
sikap yang tepat. Dia duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya. Maria tahu apa yang terpenting pada saat Yesus datang kerumahnya sebagai tamu. Akhirnya, ...mungkin kitapun perlu melakukan introspeksi terhadap apa yang sudah kita lakukan selama ini dalam pelayanan jemaat kita. Pertanyaannya : “Sudahkah kita melakukan hal-hal yang benar-benar penting dengan sepenuh hati? Dengan penuh semangat dan ketulusan hati, dan bukan semata-mata agar terlihat hebat dan wouuw gitu!? Mungkin tema retret Bina Kader Aktivis : “What Matters Most”, masih tetap relevant dalam kontex melayani dengan hati, dimana kita selalu bertanya : “Apa yang sesungguhnya paling penting (dalam pelayanan kita)? “ Dan dengan begitu kita tidak hanyut dan terjebak dalam perkaraperkara yang tidak penting seperti Marta. Sebaliknya kita perlu belajar duduk dan mendengarkan Tuhan seperti Maria. Kita harus bisa memilih perkara yang paling penting dan melakukannya dengan hati. Karena tanpa hati, semuanya akan menjadi rutinitas dan ritual yang sia-sia. Tanpa hati, semuanya hanyalah basa-basi dan pelayanan kita kehilangan arti. (Tulustz_hg)@gunsa.2012
51
MENGAKUI KRISTUS SEBAGAI RAJA dimuat di Warta Jemaat 25 November 2012
M
engakui Kristus sebagai Raja itu sesungguhnya sama saja dengan membiarkan Kristus meraja dalam hidup kita, atau membiarkan Dia menguasai dan memimpin hidup kita dengan kehendak-Nya. Karena itu, mengakui Kristus sebagai Raja dalam hidup kita itu tidak pernah mudah. Sebab, ”kedagingan”, atau kecenderungan untuk berbuat dosa yang masih ada di dalam hidup kita sekarang ini justru inginnya berbuat yang sebaliknya, yaitu melakukan kehendak sendiri dan bukan kehendak Kristus. Contohnya? Dalam hal berdoa saja! Benar, Kristus menghendaki para pengikut-Nya untuk selalu berdoa, ketika Ia perintahkan, ”Berjagajagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat 26:41). Tapi, membiarkan kehendak-Nya itu menguasai dan memimpin hidup kita sungguh-sungguh tidaklah selalu mudah. Seorang prajurit muda Kristen pernah mengalaminya dan bersaksi. Suatu hari ia dan pasukannya harus tinggal di asrama. Di asrama itu ia tinggal dengan 15 prajurit muda lainnya, yang biasa menghabiskan malam-malamnya dengan bermain kartu dan berjudi. Sebelum tidur, prajurit muda Kristen itu berlutut dan berdoa terlebih dahulu di sisi ranjangnya. Melihat hal itu, teman-teman prajurit lainnya mengutuk, mencemooh dan melemparkan sepatu-sepatu bot mereka kepadanya. Hal itu terus berulang pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, prajurit muda itu temui Pendeta tentara di asrama itu. Kepada Pendeta, ia ceritakan apa yang terjadi dan tanya apa yang harus ia lakukan. “Memang”, kata Pendeta, “sekarang kamu bukan di rumah tetapi di asrama, dan di asrama setiap orang punya hak yang sama. Mungkin
52
mereka terganggu melihat kamu berdoa. Karena itu, selanjutnya kamu tetap bisa berdoa di ranjangmu saya, dengan cara yang tidak bangkitkan amarah teman-temanmu”. Berminggu-minggu setelah itu, Pendeta tidak melihat prajurit muda itu lagi. Namun, suatu hari, ia bertemu dan tanya, ”Eh, omong-omong, apa kamu sudah ikuti nasihat saya waktu itu?”. ”Ya, Pak Pendeta”, sahut prajurit itu, ”saya ikuti sampai 2-3 malam”. ”Lalu, bagaimana hasilnya?”, tanya Pendeta lagi. “O”, jawab prajurit muda itu, “selama beberapa malam saya sempat merasa seperti seekor anjing yang diikat di ranjang, sehingga pada malam ke-3 saya nggak tahan lagi. Lalu saya bangun dari ranjang, kembali berlutut di sisinya, berdoa seperti biasa, dan begitu seterusnya setiap malam berikutnya”. “Tapi, bagaimana dengan reaksi teman-temanmu yang tidak suka melihat kamu berdoa?”, tanya Pendeta ingin tahu lebih jauh. “Pak Pendeta”, jawab prajurit muda itu, “sekarang, setiap malam kami malah sudah punya persekutuan doa bersama! Sebab, tiga orang di antara teman-teman saya itu sudah bertobat, dan dalam persekutuan itu kami bersama terus mendoakan buat teman-teman yang lainnya”. Ya, bagi prajurit muda Kristen itu pun tidak mudah untuk membiarkan kehendak Kristus terlaksana dalam hidupnya. Pada mulanya, ia mengalami macam-macam hambatan dan tantangan. Namun, tokh, ketika ia tetap ikuti dan turuti kehendak Kristus (dengan selalu berlutut dan berdoa di sisi ranjangnya setiap malam menjelang tidur) beberapa temannya akhirnya malah tersentuh hatinya. Akhirnya, mereka mau terima Kristus dan melakukan yang hal sama, yaitu membiarkan hidup mereka dikuasai dan dipimpin oleh kehendak Kristus. Mengakui Kristus sebagai raja, atau membiarkan hidup kita dikuasai dan dipimpin oleh kehendak Kristus dalam banyak perkara lainnya (dalam relasi suamiistri, transaksi bisnis, pergaulan dengan sesama, ... dlsb) pun sama tidak mudahnya. Namun, jika kita tetap ikuti dan turuti kehendak-Nya, lewat hidup dan karya kita, Kristus dimungkinkan untuk sentuh hati orang lain, dan jadikan mereka bertobat dan percaya kepada-Nya juga. (RT)
53
AKUI KEBERADAAN-NYA dimuat di Warta Jemaat 16 Desember 2012
renungan singkat atas Matius 2: 16–18
T
itanic, sebuah kapal pesiar besar dengan peralatan pelayaran sangat baik. Kedasyatannya tersohor, Titanic dielu-elukan sebagai kapal yang tidak mungkin tenggelam. “’Bahkan Tuhan pun tak mampu menenggelamkan kapal ini” demikian Sang Kapten kapal membanggakannya. Akan Tetapi kata sang Kapten tidak terbukti, sebab 15 April 1912 dunia mencatat Titanic tenggelam dan menjadi salah satu bencana transportasi terparah dalam sejarah dunia. Kapal pesiar besar dengan 2.224 penumpang itu tenggelam. Tenggelamnya Titanic merupakan misteri yang telah membingungkan para ilmuwan dan sejarawan. Mereka tidak mengerti mengapa kedasyatan Titanic hancur hanya karena bongkahan es. Oleh karena itu bukan hal yang salah jika kemudian banyak orang menjadikan Titanic sebaga lambang dikalahkannya kesombongan manusia. Titanic menjadi salah satu bukti bahwa manusia tidak dapat bersaing dengan Tuhan. Titanic menjadi pembelajaran agar manusia belajar menempatkan Tuhan pada porsi yang tepat. Sebab manusia tidak dapat mengkerdilkan Tuhan (yang disebutsebut sebagai yang tidak dapat menenggelamkan). Usaha apapun yang manusia lakukan untuk menutup keberadaan kuasa Tuhan terbukti selalu gagal. Karena Tuhan tidak bisa dikalahkan. Kenyataan itulah yang dialami oleh Herodes. Herodes yang berpikir bahwa kekuasaan adalah miliknya. Herodes
54
berpikir sebagai seorang raja dengan kekuasaannya saat itu ia dapat mengalahkan Allah. Akan tetapi Injil membuktikan ternyata ia tidak dapat menghapus keberadaan Tuhan Sang Raja Mulia. Bahkan saat Sang Raja saat itu hadir berwujud bayi yang lemah tak berdaya sekalipun. Kita melihat bagaimana usaha licik yang dirancangkannya dan tindakan keji yang dilakukannya ternyata tidak mampu menghalang-halangi rencana Allah. Walaupun Herodes membunuh semua bayi dibawah 2 tahun tetap saja Sang Mesias luput dari tajam pedang yang terhunus. Herodes tidak dapat membunuh Tuhan. Dan pada akhirnya Herodes harus mengakui bahwa kuasanya sebagai raja tidak dapat membuatnya menjadi lebih dari sekedar manusia khusunya saat kematian pun menghampiri. Untuk itulah dalam minggu adven ketiga ini kita diajak untuk mengenyampingkan diri dan membiarkan Tuhan menjadi pusat kemuliaan. Sebab mengakui keberadaan Tuhan adalah kemutlakan yang tidak dapat diingkari manusia. Lihatlah kenyataan ini seperti sinar kecil tidak akan mampu menghalang-halangi surya mentari. Untuk itu mari kita akui Tuhan sebagai Tuhan dengan hidup dalam damai bersamaNya. Dan sungguh sebuah anugrah bahkan jika kita menjadi bagian karya-Nya. (MRM)
55
56
KR IS T EN YANG
Bertumbuh
BUKU ADALAH JENDELA DUNIA dimuat di Warta Jemaat 3 Juli 2011
K
ejahatan terbesar bukanlah ketika seseorang membakar buku tetapi ketila seseorang tidak pernah membaca buku. Ini adalah kutipan dari Joseph Brodsky, seorang Rusia keturunan Yahudi peraih hadiah nobel di bidang sastra tahun 1987 dan Poet Laureate of United State pada tahun 1991-1992. Mengapa tidak membaca buku malah dianggap sebagai ‘kejahatan’ terbesar? Joseph Brodsky ingin menekankan demikian pentingnya buku untuk kehidupan, sehingga kalau kita mengabaikan, berarti mengabaikan kehidupan itu sendiri. Lewat buku, kita bisa menyelami impian tokoh-tokoh besar yang memberi andil dalam mengubah peradaban, kita bisa menelusuri ke dalaman hati orang-orang tangguh yang berkarya di tengah keniscayaan, kita bisa menyelami lautan, mengelilingi dunia, berpetualang keluar angkasa, menyelami ruang dan waktu. Bahkan kehidupan adikodrati diperkenalkan dari waktu kewaktu melalui sebuah buku. Buku bukan saja menjadi jendela dunia, tapi buku menjadi jendela hati bahkan ia menjadi jendela bagi kita untuk menyelami suasana yang ilahi dalam kehidupan. Dari buku kita dapat belajar tentang kesalahan yang dibuat oleh seseorang, kegagalan yang dialami oleh sebuah generasi, bahkan prinsip-prinsip keberhasilan yang dialami manusia. Dengan buku kita terhindar jatuh pada kesalahan yang sama yang telah dibuat para pendahulu kita dan dengan buku kita terhindar merusak hal-hal yang baik yang sudah dibangun oleh angkatan sebelumnya. Joseph Brodsky terlahir sebagai Iosif Aleksandrovich Brodskiy lahir di Leningrad pada tahun 1940. Saat berusia 15, setelah tingkat delapan, Brodsky meninggalkan sekolah. Ia bekerja di banyak tempat, seperti rumah sakit, rumah duka, pabrik, ruangan ketel kapal, dan ekspedisi geologi.
58
Brodsky mengajar diri dalam bahasa Inggris dan Polandia, berminat dalam filsafat klasik, agama, mitologi, puisi Inggris dan Amerika, dan mulai menulis puisi pada 1958. Ia t’ak memiliki gelar dalam pengetahuan budaya. Belakangan ia mengakui bahwa ia membawa buku dari manapun ia menemukan, malahan di tong sampah. Bagi Brodsky belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan dari siapa saja. Belajar tidak identik dengan gelar, tapi belajar identik dengan semangat untuk membuka cakrawala berfikir seluas-luasnya dan buku menjadi salah satu sarana yang penting di dalamnya. Pada 1963, ia dituntut atas parasitisme sosial oleh pemerintah Uni Soviet. Kutipan terkenal dari catatan pengadilannya dunia Barat: Hakim: “Siapa yang memutuskan Anda seorang penyair? Siapa yang mengurutkan Anda sebagai penyair? Sudahkah Anda belajar puisi di sebuah institusi? Sudahkah Anda bersiap menghadapi kuliah perguruan tinggi di mana Anda diajari menulis puisi?” Brodsky: “Saya pikir puisi bukan berasal dari pendidikan.” Hakim: “Lalu asalnya dari mana?” Brodsky: “Saya kira asalnya dari Tuhan.” Saya yakin Brodsky tidak merendahkan pendidikan sebab ia menjadi matang melalui proses pendidikan baik formal maupun informal. Tapi dalam percakapan dengan Pak Hakim ini mau memperlihatkan kepada banyak orang peran penting dari Allah dalam sebuah proses pembelajaran. Saya yakin Brodsky sebagai seorang Yahudi tahu benar apa yang tertulis dalam Amsal 1:7 “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan…” Atas parasitismenya, Brodsky dihukum kerja paksa 5 tahun di pembuangan dan bertugas 18 bulan di kawasan Archangelsk. Hukuman itu diringankan pada 1965 setelah para sastrawan Soviet terkemuka memprotes. Buku bagi Brodsky bukan saja menjadi jendela bagi dirinya untuk melihat dunia, tapi juga menjadi alat bagi dunia untuk melihat ke dalaman hatinya. Sedikit karya Brodsky diterbitkan di Uni Soviet, sebagian besar karyanya banyak ditulis di dunia barat. Pada bulan Juni 1972, ia diasingkan dari Uni Soviet dan ia menjadi warga negara Amerika pada tahun 1977 dan sepuluh tahun kemudian dunia mengakui kedalaman kepakarannya dan menganugerahkan kepadanya hadiah nobel di bidang Sastra. (STP)
59
KESERAKAHAN VS KEMURAHAN UNTUK BERBAGI dimuat di Warta Jemaat 4 Maret 2012
Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. (Ef.5:3)
O
rang seperti apakah yang disebut serakah itu? Prof. Suprayogo mengatakan bahwa orang serakah adalah orang yang selalu merasa berkurangan padahal nyatanya sudah berkelebihan. Sebutan lain untuk orang serakah adalah tamak. Orang serakah biasanya menginginkan agar dirinya memiliki sesuatu paling banyak. Keinginannya itu tidak pernah berhenti. Apa yang sudah dimiliki, sekalipun sudah terlalu banyak, masih selalu dirasa kurang, dan karena itu masih ingin berusaha menambahnya. Dasar hidup orang serakah adalah keinginan, bukan kebutuhan. Keinginan manusia tidak ada batasnya, sementara kebutuhan ada ukurannya. Keinginan tidak mengenal kata cukup, sementara kebutuhan sesungguhnya dibatasi oleh kata cukup. Misalnya, kebutuhan makan seseorang bisa diukur. Jika seseorang makan tiga kali sehari dan sekali makan butuh satu piring nasi, maka ia membutuhkan tiga piring nasi dalam sehari. Menurut penyelidikan, satu kilogram beras, jika dimasak, akan menghasilkan 12 piring nasi. Sebulan atau 30 hari jika makan tiga kali sehari, seseorang hanya membutuhkan nasi 90 piring. Artinya, sebulan seseorang hanya membutuhkan beras 7,5 kg saja. Jika, kebutuhan seseorang semuanya bisa diukur, tidak demikian dengan keinginannya. Keinginan orang yang serakah tidak pernah mengenal kata cukup ! Dengan sumber kekayaan yang melimpah, Kiai Haji Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU) mengatakan, kekayaan Indonesia cukup untuk menyejahterakan 250 juta jiwa
60
penduduknya, namun tak akan cukup bagi satu orang yang rakus dan serakah. Keserakahan di mata Tuhan adalah penyakit dan dosa yang menghancurkan. Karena itu, keserakahan adalah larangan yang keras bagi murid-murid Kristus. Karena sifat serakah, maka orang menjadi korup dan melakukan kejahatan-kejahatan yang menghancurkan. Namun keserakahan sesungguhnya juga membuat seseorang tidak mendapat apa-apa, sebab dirinya selalu merasa kosong dan kurang. Sebaliknya, kemurahan hati untuk berbagi adalah bagian yang seharusnya melekat dalam diri setiap murid Kristus. Ada cerita menarik tentang keserakahan (sumber:www.scribd.com). Di zaman kerajaan Dinasti Ming masih berkuasa hiduplah seorang saudagar kaya pemilik restoran Hong Liong di daerah Tiongkok sebelah selatan. Restoran Hong Liong itu sangat terkenal karena makanannya sangat khas dan rasanya yang luar biasa. Saudagar pemilik restoran tersebut juga sangat dihormati di daerah tersebut karena sering menyumbangkan harta kekayaannya untuk kaum papa. Namun saudagar itu tidak memiliki keturunan seorangpun. Menjelang usianya memasuki tahun ke - 80, saudagar tersebut hendak menyerahkan restorannya kepada orang yang dipercayanya mampu mengelola restoran tersebut dengan baik. Tapi sebagai syaratnya mereka harus menyumbangkan setengah dari pendapatan restoran itu untuk kaum papa. Setelah itu diundanglah seluruh pedagang di daerah tersebut untuk datang ke jamuan makan malam yang diselenggarakannya. Terdapat dua puluh meja bundar yang di atasnya sudah terhidang bermacam menu makanan. Tiap meja ada 4 buah kursi dan 4 buah peralatan makan berupa sumpit. Namun anehnya ke-4 sumpit tersebut mempunyai panjang yang sama dengan lebar mejanya. Duduklah ke-80 pedagang tersebut dengan air liur yang mulai menetes mencium aroma masakan yang lezat tersebut. Sesaat sebelum makan, saudagar tersebut memberikan kata sambutan yang isinya kurang lebih menyatakan bahwa dia akan memilih 4 dari ke-80 pedagang tersebut sebagai penerus restorannya setelah jamuan berakhir. Maka dimulailah jamuan makan tersebut. Masing - masing pedagang tersebut telah
61
memegang sumpit mereka dan menjepit makanan yang diinginkannya. Sementara sang saudagar tersebut berjalan mengelilingi meja-meja tersebut. Muka sang saudagar tersebut terlihat sangat sedih karena sampai meja ke-19 belum ada satupun pedagang yang mampu memasukkan makanan yang dijepit sumpit tersebut ke dalam mulut. Masing-masing pedagang tersebut mencoba cara-cara aneh agar mampu memasukkan makanan yang dijepit sumpit masing-masing kedalam mulut masing-masing dan tentu saja itu tidak akan berhasil karena panjang sumpit tersebut selebar meja. Mereka adalah sekumpulan orang-orang serakah yang hanya mementingkan keinginan masing-masing. Saat menuju meja ke-20 tersenyumlah saudagar tersebut seraya berkata pada dirinya sendiri bahwa ke-4 orang inilah yang akan meneruskan restorannya. Rupanya ke-4 orang yang berada di meja ke -20 saling menyuapi lawan di seberangnya karena panjang sumpit tersebut memang cukup untuk sampai ke seberang mejanya. Akhirnya saat jamuan makan selesai hanya ke-4 orang inilah yang kenyang perutnya sedang yang lain sibuk menggerutu karena tidak ada secuilpun makanan yang masuk dalam mulut mereka. Sang saudagar pergi meninggalkan restorannya dengan hati gembira karena tahu bahwa restorannya akan dikelola oleh 4 orang yang bijaksana. Orang yang memiliki hati untuk berbagi dengan yang lain... (DAV)
62
TEPATI JANJI dimuat di Warta Jemaat 5 Agustus 2012
(renungan singkat atas 2 samuel 9 : 1- 7)
“S
ampai berjumpa esok hari!” kalimat ini bukan kalimat asing sebab biasa kita katakan saat hendak berpisah dengan teman kerja atau saat beranjak tidur dengan keluarga dirumah. Begitu biasa diucapkan hingga terasa ringan dikatakan; Tapi pernahkah kita perhatikan bahwa sebuah iman yang mendasari kalimat tersebut terlahir? mungkin tidak banyak dari kita sempat memikirkan hal tersebut karena hidup begitu sibuk membuat kita nampaknya telah mengabaikan banyak hal. Kita tidak sempat berpikir hal lain selain pekerjaan saat melihat matahari terbit atau terbenam. Untuk itu mungkin tidak salah kalau dalam renungan singkat ini kita pakai untuk sejenak melihat sekeliling untuk memiliki hidup yang lebih bermakna. Kembali pada kalimat “Sampai berjumpa esok hari” . Kita dapat merasakan bahwa kalimat ini tidak lain perwujudan sebuah harapan perjumpaan terjadi lagi dengan sebuah pijakan iman bahwa kita percaya esok hari matahari pasti terbit pada waktunya dan kita dapat kembali beraktifitas. Tentu bukan karena kita berkuasa atas matahari hingga dapat membuatnya terbit tepat waktu tapi kita percaya karena Tuhan mencipta semesta baik adanya inilah yang membuat matahari pasti terbit di timur tepat pada waktunya (lihat mzm 136). Dengan kata lain kita percaya Tuhan pasti menepati janji-Nya. Jelas bagi kita bahwa tepat janji adalah sifat Tuhan. Kita tidak dapat membayangkan betapa kacaunya kehidupan di atas bumi ini jika Tuhan tidak tepat janji, sebab dengan semua ketidak pastian maka pastilah makhluk hidup di atas bumi ada dan tercekam kekuatiran dan ketakutan. 63
Untuk itulah mari kita seperti si pemazmur mengungkap syukur atas keberadaan Tuhan-nya yang tepat janji (lihat Mzm 136). Dan tentu saja kita tidak hanya berhenti sebatas bersyukur tetapi seharusnya Tuhan yang tepat janji telah menjadi teladan bagi umatNya agar kita pun bisa tepat janji. Dan biasanya ketika diperhadapkan tuntutan meneladani perbuatan Tuhan maka akan muncul seribu satu alasan ketidak mampuan kita sebagai manusia melaksanakannya. Untuk itulah raja Daud memberikan teladan bahwa kita bisa tepat janji (lihat 2 Samuel 9 : 1 - 7) seperti daud yang menepati janjinya. Tercatat dalam 1 Samuel 20 : 14-17 memang Daud pernah berjanji pada Yonatan bahwa Daud tidak akan menghapus nama Yonatan dari keturunan Daud. Untuk itulah maka walaupun sudah bertahun-tahun janji tersebut diucapkan serta semua sudah berubah Daud tetap ingat akan janjinya dan menepati janji tersebut pada keturunan Yonatan. Daud tidak ingkar janji walaupun hal itu banyak dilakukan orang lain sebab walaupun Yonatan sendiri sudah tiada ditambah dengan tidak ada saksi mata yang melihat perjanjian itu diucapkan. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan Daud sebab selain Daud memang punya kebaikan hati tetapi juga Ia sadar keberadaan Tuhan telah menjadi saksi diatara ia dan Yonatan (lihat 1 Samuel 20 : 23). Karena itulah maka bertahun - tahun kemudian Daud menepati janjinya pada Yonatan dengan berlaku baik pada Mefiboset bin Yonatan bin Saul. Dari perbuatan Daud kita diajak untuk melihat nilai-nilai keluhuran budi dalam tindakan menepati janji. Bahwa Daud mengasihi Yonatan sahabatnya dan bagaimana ia menghargai persahabatan mereka sehingga Daud tidak menggangap sepele apa yang sudah diikrarkan. Selain itu juga nampaknya Daud memandang Tuhan sebagai saksi yang kudus sehingga ia tidak berlaku curang. Jika Daud bisa menepati janjinya mengapa kita tidak? Kita pun mampu menepati janji. Sebab janji yang tertepati menunjukkan keluhuran budi dan bahkan rasa aman dalam menjalanai relasi dengan yang lain. Untuk itu mari kita benahi diri sehingga semua yang pernah kita janjikan dapat dipenuhi. Dan jangan berdalil “sudah terlambat” sebab selagi masih ada hari esok masih ada kesempatan untuk menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. (MRM) 64
KOMUNIKASI YANG TRANSFORMATIF dimuat di Warta Jemaat 8 Mei 2011
Yohanes 4 : 4 - 42
S
eperti apakah komunikasi yang transformatif (mengubahkan) itu? Komunikasi yang terjadi antara Yesus dan perempuan Samaria dekat sumur Yakub tersebut adalah contoh yang paling tepat. Ada beberapa hal yang dapat kita temukan di dalamnya yang menjadi kunci komunikasi yang transformatif. Kunci Pertama adalah bahwa komunikasi yang transformatif tersebut harus didasari oleh kasih yang tanpa pamrih, yang sifatnya memberi tanpa mengharap kembali yaitu kasih yang rela berkorban. Tanpa kasih yang demikian Yesus tidak akan mampu mengatasi setiap kendala yang tidak ringan yang dihadapiNya dalam berkomunikasi dengan wanita Samaria tersebut antara lain : 1. Keletihan tubuhNya (fisik) sesudah perjalanan panjang yang melelahkan, tentunya membutuhkan istirahat (ayat 6); 2. Perbedaan jenis kelamin dimana budaya yang dimiliki masyarakat adalah tidak layak berbincang-bincang dengan seorang lawan jenis yang bukan kerabatnya terlebih lagi wanita tersebut adalah seorang “bukan wanita baik-baik”. ayat 17 - 18; 3. Perbedaan suku bangsa dimana seorang Samaria dan orang Yahudi memiliki sejarah permusuhan yang mendalam dan panjang yaitu sejak zaman Nehemia dan Ezra, ketika Ezra tidak mengizinkan orang Yahudi menikah dengan orang Samaria bahkan harus menceraikan istri-istri yang terlanjur sudah dinikahi. Sementara Nehemia terus menerus mendapat perlawanan bahkan ada usaha pembunuhan terhadapnya dari nenek moyang Samaria saat membangun tembok yerusalem; 4. Kendala yang ke empat adalah perbedaan agama (ayat 20 – 21).
65
Meskipun kendala yang dihadapi Yesus sedemikian berat dan banyak, tidak dapat menghalangi Yesus untuk berkomunikasi dengan wanita Samaria tersebut, oleh karena kasihNya dan kerinduanNya agar wanita tersebut bertobat (di selamatkan) dari dosanya. Kunci Kedua adalah bahwa komunikasi yang transormatif juga adalah komunikasi yang memulihkan dimana wanita Samaria ini tidak saja diubahkan dari orang berdosa menjadi orang yang berani mempercayakan hidupnya kepada Tuhan tetapi juga dipulihkan dari rasa malu karena perbuatannya sebagai wanita susila yang membuatnya tidak memiliki keberanian untuk berkomunikasi dengan orang banyak yang selalu memandangnya dengan hina, sehingga untuk kebutuhan mendapatkan air dari sumur Yakub dia datang pada siang hari (pk. 12:00) pada saat sumur dalam keadaan sepi (ayat 6). Berubah menjadi wanita yang berani menyaksikan pengalamannya kepada orang banyak (ayat 21 - 25 dan ayat 39). Orang banyak (masyarakat kota Samaria) bukan saja diubahkan, dari orang yang tidak percaya menjadi orang percaya kepada Tuhan Yesus (ayat 42), yang membuat kepercayaan mereka terhadap wanita Samaria dipulihkan dari yang tidak dapat mempercayainya karena perilakunya menjadi dapat dipercayai. Apakah Saudara telah memiliki komunikasi yang transformatif terhadap anggota keluarga, rekan kerja/sepelayanan, dan mayarakat yang lebih luas, khususnya mereka yang tidak menyukai saudara dan saudara tidak menyukainya? Hanya dengan pertolongan Yesus Kristus yang telah melakukannya untuk kita, yang memungkinkan kita melakukannya terhadap sesama kita. Selamat berkomunikasi yang transformatif !!! (NG)
66
SAAT HIDUP TANPA TOPENG dimuat di Warta Jemaat 12 Agustus 2012
S
ekali waktu seorang pria muda datang kepada sang guru dan bertanya tentang bagaimana caranya agar menjadi pribadi yang memiliki jiwa yang sehat. Ditanya demikian maka sang guru berkata, “ Lihatlah anak-anak, luangkanlah waktumu untuk dapat bermain dengan mereka.. Belajarlah lebih banyak dari mereka tentang tawa, spontanitas, kejujuran, rasa ingin tahu, sikap mudah menerima, dan ketulusan. Mereka dihadirkan oleh Sang khalik dalam hidup kita untuk mendidik kita” Sekalipun kita acapkali merasa bahwa kitalah yang pantas memberikan pelajaran dan mereka lah yang harus belajar dari kita. Ya .........dari anak-anaklah kita belajar banyak tentang: kejujuran, hidup tanpa kepura-puraan dengan spontanitas yang paling otentik. Hidup seperti mereka adalah hidup yang paling menyenangkan. Apa yang mereka ungkapkan, itulah yang mereka rasakan. Jika mereka merasa marah maka mereka akan menunjukkan kemarahannya, namun jika mereka senang dan bahagia merekapun tidak mungkin menyembunyikannya. Sangatlah tidak mungkin seorang anak tampil dalam kepura-puraan: pura-pura senang padahal sesungguhnya kesal atau pura-pura ramah tetapi sesungguhnya sedang marah. Tapi lihatlah......sekalipun mereka marah sesaat mereka dapat kembali menikmati keceriaan diantara mereka. Itulah sebabnya, dunia anak-anak selalu menjadi dunia yang menyenangkan, karena dunia anak-anak adalah dunia kejujuran dan tanpa kepura-puraan Dunia anak-anak adalah dunia tanpa topeng. Dari sanalah kita sebagai orang dewasa perlu untuk belajar. Yesus ketika berhadapan dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menyebut mereka sebagai “orang-orang celaka”. Mereka di sebut celaka karena hidup mereka dipenuhi oleh kemunafikan: dihadapan 67
sesama mereka berlaku seolah-oleh sebagai polisi moral bagi orangorang sekitarnya. Mereka yang menentukan seseorang di kategorikan benar atau salah untuk kehidupan yang dijalaninya. Sementara pada sisi yang lain mereka melakukan banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Bahkan tidak sedikit yang bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan. Bagi mereka hukum dan aturan menjadi sesuatu yang sangat fleksibel. Bisa bersifat mutlak ketika di tujukan kepada orang lain tetapi menjadi begitu lunak ketika mereka sendiri yang menghadapinya. Bersikap hitam putih ketika berbicara di depan umum, tetapi sangat toleran ketika mereka memiliki kepentingan. Soal mencuci tangan sebelum makan mereka persoalkan, sehingga mereka dapat menyalahkan Tuhan Yesus dan para muridnya ketika makan tanpa terlebih dahulu cuci tangan, mereka juga mempersoalkan Tuhan Yesus yang menolong orang di hari sabat – sementara mereka sendiri mengabaikan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Itulah sebabnya Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang yang celaka, orang-orang munafik dan buta. Yang tidak ubahnya seperti sebuah kuburan yang di labur putih sebelah luarnya tetapi bagian dalamnya penuh dengan tulang belulang. Bagaikan cawan yang tampak bersih bagian luarnya tetapi kotor di bagian dalamnya. Hiduplah dengan jujur, tulus dan tanpa kepura-puraan – tanpa topeng, dari sanalah kebahagiaan akan kita rasakan sepanjang hari-hari kita. (IKM )
68
ADA UDANG DI BALIK BATU dimuat di Warta Jemaat 17 Juni 2012
“Hakimilah aku, TUHAN, apakah aku benar, dan apakah aku tulus ikhlas” (Mazmur 7:9b)
P
eribahasa “ada udang di balik batu” sesungguhnya hendak mengingatkan semua orang tentang pentingnya ketulusan dalam setiap perbuatan baik, tanpa ada maksud buruk atau jahat yang sengaja disembunyikan di dalam perbuatan baik itu. Di Italia, pernah ada seorang gelandangan tua bernama Luigi Maggioni. Di sana, seorang gelandangan disebut barbone. Artinya, suatu cara hidup yang dipilih dengan sengaja. Jadi, orang memilih untuk hidup bebas menggelandang. Mungkin, karena hidup di dalam rumah dirasakan terlalu sumpek. Tetapi, di kemudian hari, banyak orang hidup menggelandang karena memang miskin, dan tidak punya rumah. Di antaranya, termasuk Pak Luigi Maggioni ini. Kerjaannya setiap hari adakah mencari sisa-sisa uang receh di telepon umum. Suatu hari, Pak Luigi Maggioni sampai di Milano. Di sebuah jalan yang sepi, ee, ia menemukan sebuah tas tergeletak di jalan. Ketika tas itu dibuka, ternyata isinya uang yang jumlahnya tidak kurang dari 8 juta lire (kira-kira Rp 45 juta,-). Ia segera mengambil tas itu dan menyerahkannya ke kantor polisi terdekat, supaya polisi selanjutnya mencari orang yang kehilangan tasnya itu dan mengembalikan kepadanya. Dengan setulus hati, Pak Luigi Maggioni merasa, bahwa ia hanya menemukan, tetapi sama sekali tidak berhak untuk mengambil tas itu beserta uang di dalamnya untuk menjadi miliknya. 69
Pak Luigi Maggioni memang hanya seorang gelandangan miskin, tapi di hatinya masih ada ketulusan, dan kejujuran, sehingga ia masih bisa dipercaya, karena ia tidak mau berbohong atau berdusta kepada siapa pun, bahwa tas yang ia temukan itu memang bukanlah miliknya. Tapi, justeru, di zaman sekarang, di mana ada lebih banyak orang yang hidupnya berkecukupan sampai makmur, ironisnya, ketulusan bukan hanya nyaris tiada lagi, tetapi juga ketulusan malah dianggap sebagai kebodohan. Seperti pepatah Madura yang katakan, “reng jujur, mate ngonjur”. Artinya, orang yang jujur ya mati terbujur. Atau, orang jujur selalu jadi korban. Bunyi pepatah itu bisa saja memprotes keadaan tidak tulus dan tidak jujur yang sudah sedemikian menggejala di dalam segala bidang kehidupan. Tetapi, pepatah itu bisa juga jadi menganjurkan kepada lebih banyak orang supaya (karena itu!) hiduplah tanpa ketulusan atau kejujuran! Supaya jangan terbujur jadi korban!. Keadaan di mana ketulusan itu sudah nyaris tiada lagi di Indonesia terbukti dari bedanya zaman dulu dengan zaman sekarang. Di Yogyakarta, misalnya, pada tahun 1960-an, orang yang hidup di desa bisa pergi ke luar meninggalkan rumahnya tanpa harus menutup pintu. Sebab, semua penduduknya tulus atau jujur, sehingga tidak ada yang suka, apa lagi yang mau mencuri. Tapi, sekarang, orang bukan hanya merasa tidak cukup mengunci rumah dan kamar-kamar mereka, ketika harus pergi ke luar meninggalkan rumahnya. Orang juga harus membangun pagar yang kokoh dan tinggi, berikut kawat berduri dan satpamnya yang siaga berjaga 24 jam, baru mereka merasa aman untuk tinggalkan rumahnya. Begitu gawatnya defisit ketulusan dalam kehidupan kita bersama saat ini di Indonesia, sehingga yang tersisa hanyalah saling curiga dan saling tidak percaya satu kepada yang lain. Padahal, kecurigaan dan ketidakpercayaan itu cenderung menghancurkan, dan bukannya membangun kehidupan bersama kita di Indonesia. Cepat atau lambat. Yesus sendiri memanggil kita untuk jangan hanya menjadi orang yang pinter dalam segala hal: pinter berpikir, pinter berbicara, pinter berkarya, pinter cari uang, pinter bergaul, pinter menyelesaikan 70
masalah, ... dlsb. Tetapi, lebih dari itu, jadilah juga sekaligus orang yang tulus. Seperti nasihat-Nya, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat 10:16). Mengapa? Sebab, sepanjang hidup kita di dunia, mata Tuhan menghakimi (=menilai) ketulusan hati kita. Dan, di hadapan-Nya, orang yang sungguh baik dan benar, bukannya orang yang memiliki segala sesuatu yang duniawi, tetapi hanyalah orang yang tulus hatinya. Makanya, hanya kepada orang yang tulus atau jujur atau bersih atau suci hatinya, Allah berjanji bahwa suatu hari mereka akan berjumpa dengan-Nya dan melihat Dia. Seperti kata Yesus, ”Berbahagialah orang yang suci (=tulus) hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8). (RT)
71
MULAILAH MENANAM POHON RAMBUTAN ANDA! dimuat di Warta Jemaat 20 November 2011
“. . . . Engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara kecil, aku akan memberimu tanggung jawab dalam perkara yang besar“ Matius 25 : 21
M
asalah setia memikul tanggung jawab adalah masalah integritas dan kredibilitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,” integritas” artinya jujur dan dapat dipercaya. Integritas merupakan kwalitas yang tak dapat ditawar dalam urusan bisnis maupun persahabatan! Maka tidaklah meng herankan, kalau Samuel Johnson mengatakan: “Tidak mungkin ada persahabatan tanpa kepercayaan dan tidak ada kepercayaan tanpa integritas! “ Berikut ini adalah kisah sukses Chong Ju Yong, pemilik perusahaan Hyundai Construction, sebuah perusahaan konstruksi di Korea Selatan. Pada waktu Mr. Chong memenangkan kontrak proyek pembangunan sebuah jembatan pada tahun 1953, KorSel sedang dilanda masalah ekonomi pasca perang, dimana tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk menyelesaikan proyek tepat waktu, Hyundai Construction menghabiskan begitu banyak dana, dan ini nyaris membuat perusahaan proyek dibatalkan saja, supaya perusahaan terhindar dari musibah kebangkrutan. Namun Mr. Chong dengan tegas menolaknya! Dia memegang prinsip bahwa kehilangan uang cuma masalah kecil Karena kehilangan kredibilitas merupakan sebuah kerugian yang jauh lebih besar! Sebuah ungkapan bijak mengatakan : “If you loose money, you loose nothing. If you loose friend, you may loose something. But. . . If you loose reputation, you loose everything!” Mr.Chong mengatakan bahwa apabila kita sudah berjanji untuk melakukan suatu hal,....... tepati lah! apapun
72
risikonya. Inilah yang oleh orang China disebut : “ Nan Zi Han, Da Zhang Fu” atau “ Menjadi Laki-Laki Sejati, atau “Be a Real Man”. Memang bukanlah hal yang mudah, namun akhirnya Mr. Chong berhasil menjaga kredibilitas perusahaannya dan memenangkan lebih banyak kontrak konstruksi, termasuk 4 buah proyek konstruksi utama Korea Selatan pasca perang. Bahkan sebuah mega proyek yang membutuhkan waktu 10 tahun, yaitu proyek pembangunan jembatan Hangang Daegyo. Karena integritas seorang Chong Ju Yong, Hyundai Construction berkembang menjadi The Leading Construction Enterprize di Korea Selatan. Menjaga dan memelihara kepercayaan memang bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan dalam sekejab dan dengan jalan pintas. Membangun kepercayaan bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu semalaman, tapi ia ibarat menanam sebuah pohon rambutan. Kita perlu memberinya pupuk secara teratur dan menyiraminya setiap hari. Kita perlu merawat dengan menyiangi rumput-rumput pengganggu sampai akhirnya kita bisa memperoleh buahnya. Jadi, jika kita ingin memperoleh kepercayaan untuk memikul tanggung jawab dalam perkara-perkara besar, mulailah dengan menanam dan memelihara pohon rambutan kita. Mulailah dengan memikul tanggung jawab dalam perkara-perkara kecil. Mulailah menjaga integritas dan memelihara kredibilitas kita, karena itu merupakan sebuah investasi yang sungguh tak ternilai dalam membangun sebuah reputasi. Karena apabila kita kehilangan reputasi ( nama baik ), kita telah kehilangan segalanya !! (tulustzhg)
73
JENDELA DUNIA dimuat di Warta Jemaat 18 September 2011
S
eorang penjahat kelas berat, suatu hari, dijatuhi hukuman seumur hidup. Ia dijebloskan ke dalam sebuah sel penjara bawah tanah. Sel itu sungguh seperti kubur bagi dirinya dan semua harapannya.
Di salah satu sudut dari sel penjara itu, tak sengaja, ia menemukan sebuah buku. Rupanya buku itu merupakan peninggalan dari seorang penghuni sel sebelumnya. Iseng-iseng, ia baca buku yang sudah kumal itu. Ternyata itu adalah sebuah buku Kitab Suci Perjanjian Baru. Karena tidak ada kegiatan lain, buku itu dibacanya dari waktu ke waktu. Mula-mula terpaksa, tetapi lama ke lamaan semakin menyukai, bahkan mencintainya. Nah, ketika ia membaca bagian dari kisah kubur kosong dan kebangkitan Yesus, hatinya merasa tersapa dan tersentuh. Ia membayang-kan, bagaimana kalau selnya (yang seperti kubur itu!) sekali kelak kosong, dan (seperti Yesus yang bangkit meninggalkan kubur-Nya) ia pun boleh meninggalkan selnya untuk hidup sebagai seorang manusia baru!. Ia jadi merasa begitu sedih, seandainya hidupnya harus berakhir di dalam kubur selnya itu! Ia bertekad untuk mengubah hidupnya! Dan, secara tidak disangkasangka, suatu hari, ia mendapat pengampunan. Ia boleh ke luar dari kubur selnya sebagai seorang yang bangkit dan boleh hidup baru. Setelah itu, hidupnya sunguh-sungguh baru!. Sebab, selanjutnya, ia dikenal dan terkenal, bukan sebagai seorang penjahat lagi, tetapi sebagai seorang pejuang kemanusiaan yang gigih!. Ia juga menjadi salah seorang pelopor bagi pembaruan penjara-penjara di Amerika Serikat, agar penjara-penjara itu tidak menjadi kubur bagi siapa pun yang dijebloskan di sana. Orang itu adalah Starr Daily. Sebuah buku kecil Kitab Perjanjian baru ternyata telah dipakai Tuhan untuk menjadi jendela dunia yang terbuka untuk bisa melihat kasih Tuhan, tetapi juga untuk mengubah hidupnya secara radikal menjadi sungguh bermakna 74
dan sungguh indah!. Semuanya itu dapat terjadi, karena Tuhan membiarkan dia di penjara di sel bawah tanah yang sepi sendirian dengan ditemani hanya oleh satu buku kecil kitab Perjanjian Baru. Dengan cara itu juga, Tuhan telah ”memaksa” dirinya untuk membaca buku kecil yang akhirnya membuat dirinya kenal, percaya Yesus dan berubah. Tetapi, janganlah kita berpikir, bahwa Tuhan hanya berkarya dan hanya dapat dikenali lewat buku Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Tentu saja tidak!. Sebab, Allah yang Maha-baik, Maha-benar dan Maha-bijaksana dapat juga berkarya di dalam dan melalui bukubuku lainnya yang ditulis oleh orang-orang yang dipakai Allah untuk menyatakan kebaikan, kebenaran dan kebijasanaan-Nya. Ada banyak kesaksian dari orang-orang yang telah diubah kehidupannya menjadi orang yang baik, benar dan bijaksana, bahkan sukses oleh buku atau buku-buku yang dibacanya. Di antaranya adalah OG Mandino. Di tengah kegagalannya dalam pekerjaan dan keluarga, OG Mandino beruntung menemukan sebuah buku berjudul, ”Sukses Melalui Sikap Mental Positif”, yang ditulis oleh W. Clement Stone dan Napoleon Hill. Buku itulah yang mendorong dirinya untuk mengubah dan menataulang hidupnya, sehingga ia bangkit kembali, bekerja keras dan akhirnya menjadi seorang yang berhasil dalam hidupnya, dan dalam bukubuku yang ditulisnya yang berjudul, ”Penjual Terhebat Di Dunia”, dan ”Keajaiban Terhebat Di Dunia”. Dalam salah satu bukunya, OG Mandino katakan, ”Musik, karya seni, buku dan drama tertentu diciptakan bukan oleh seorang komponis atau pelukis atau pengarang atau dramawan, melainkan diciptakan oleh Tuhan dan ... digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan kita”. Karena itu, dalam kehidupan kita, khususnya ketika kita merasa sedih, gagal, terpuruk, dlsb, cari, temukan dan bacalah buku-buku yang bermutu – teristimewa Alkitab dan buku-buku rohani, tentu saja! – dan temukanlah di sana jendela dunia menuju kebaikan, kebenaran, kebijaksanaan, bahkan jendela dunia menuju ”Tuhan”! Dia selalu mau berkomunikasi dengan kita lewat buku-buku bermutu! (RT) 75
MENGAPA TIDAK DITINGGALKAN SAJA? dimuat di Warta Jemaat 9 Oktober 2011
S
eorang pria pengantar surat selalu berusaha mengambil jalan pintas ketika ingin mengantarkan suratnya ke sebuah desa yang ada di lembah. Dia tidak pernah mengambil jalan biasa, sepedanya selalu di arahkan menuju sebuah padang rumput dan memotong padang rumput sehingga menghemat perjalanan jika dia harus melalui jalan biasa. Namun setiap kali dia melewati padang rumput dia harus mengayuh sepedanya sekencang-kencangnya, karena selalu saja ada diantara sapi-sapi yang sedang merumput, yang akan mengejar sepedanya. Sapi itu mengarahkan tanduknya - dan siap mencelakai sang pengantar surat. Namun yang membuat banyak orang bingung adalah sang pengantar surat selalu saja mengambil jalan memotong padang rumput, sekalipun setiap kali dia melakukan hal itu setiap kali pula dia harus bertanding dengan sapi yang terusik. Menyaksikan semua itu Sang Guru yang bertemu denganya di ujung padang rumput kemudian menegurnya: “Hampir celaka, kena tanduk sapi ya?’ “Ya”…jawab si pengantar surat: “Setiap kali memang harus demikian!” begitu katanya seolah menjadi sebuah kegiatan yang biasa. Bukankah dalam kehidupan yang kita jalani, kitapun acapkali berlaku seperti si pengantar surat tadi, ada banyak hal yang negative dalam diri kita yang selalu kita kerjakan dan lakukan sekalipun kita tahu bahwa semua itu akan membuat diri kita menjadi tidak nyaman. Emosi-emosi negative yang seharusnya kita tinggalkan dan kita buang tetapi terus kita bawa dan lakukan. Dan hasilnya kita sendirilah yang di buat susah – meskipun demikian ada saja pribadi-pribadi yang justru menikmati sensasinya. Emosi-emosi negative itu adalah: kecemasan, kekhawatiran, rasa marah, kesal, curiga, penghakiman, dan sikap-sikap lainnya yang akan sangat berpengaruh pada masa kini dan masa depan kita. Yang juga akan mempengaruhi relasi kita dengan sesama kita. Sesungguhnya
76
kesemuanya itu adalah “sampah” dari kehidupan: tidak penting dan tidak berguna. Yang jika kita tetap membawanya hanya akan menambah ketidak nyamanan hidup yang kita jalani. Salah satu dari sampah itu adalah sikap tawar hati, sebuah sikap yang membuat pelakunya tampak menjadi oribadi yang apatis untuk dapat merespon setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita dengan cepat dan bersemangat. Sikap tawar hati akan membuat setiap kita tampak lunglai pada saat dimana kita justru diminta menunjukkan semangat kita, tampak menyerah kalah di saat kita seharusnya mampu menunjukkan kemampuan diri kita. Sikap tawar hati membuat kita tidak mampu menikmati warna-warni kehidupan serta aroma setiap pengalaman yang Tuhan percayakan dalam hidup kita. Mereka yang tawar hati dapat dipastikan akan kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya: kehilangan keceriaan, senyum dan tawanya. Dan jika hal itu dibiarkan serta terus dilanjutkan maka mereka yang tawar hati akan kehilangan lebih banyak lagi dari apa yang telah dialaminya, hingga akhirnya dia mendapati dirinya benar-benar memprihatinkan. Seorang wanita paruh baya begitu tenggelam dalam dukacita, saat dia ditinggalkan oleh suaminya karena sebuah kecelakaan. Sepanjang hari yang dilakukannya hanyalah mengurung diri di dalam kamar sementara foto-foto lama ketika dia bersama dengan suaminya berserakan di atas tempat tidurnya. Belum lagi benda-benda kenangan yang pernah di milikinya bersama dengan suaminya dibiarkan memenuhi tempat tidurnya. Berkali-kali anak-anaknya mengingatkan dia atas pilihannya tersebut, namun agaknya semuanya tampak sia-sia. Hingga sekali waktu anaknya yang terbesar berucap demikian: “ibu, sesungguhnya bukan hanya ibu yang bersedih karena kepergian ayah – kami semuapun merasakannya! Namun jika ibu terus menerus mengambil sikap yang demikian, maka percayalah ibu juga pada akhirnya akan kehilangan kami semua”. Kalimat yang demikian keras itu segera menyadarkan dirinya, sikap tawar hati yang terus dibawanya itu tidak dapat merubah apa-apa yang telah terjadi dan tidak menolong dirinya untuk menikmati keindahan di hari depannya. (IKM) 77
EGOISME DAN OBYEKTIFITAS dimuat di Warta Jemaat 26 Februari 2012
S
etiap kita pasti pernah melihat atau menjumpai dua orang yang sedang bertengkar. Perhatikanlah ketika mereka bertengkar, mereka masing-masing akan mengungkapkan standar kebenaran menurut ukurannya sendiri. Yang satu akan mengatakan: “Kamu yang salah, coba kamu ikuti apa kata saya!”. Yang lain lagi akan mengatakan : “Jelas kamu yang salah, coba kamu dengar kata-kata saya, pasti tidak akan begini!”. Atau kalaupun masing-masing tidak menganggap dirinya paling benar, paling tidak masing-masing akan selalu dapat memberikan alasan kenapa dirinya melakukan atau tidak melakukan. Setiap orang selalu mempunyai dalih yang khusus, dan berharap orang lain dapat memakluminya. Setiap orang selalu mempunyai alasan dan selalu dapat membuat alasan untuk apa yang dilakukannya. Dengan semua itu hampir setiap orang mempunyai semacam pengertian hukum atau prilaku moral di dalam hidupnya. Dan pertengkaran adalah sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa orang lain itu salah, atau paling tidak menyatakan bahwa kebenaran yang ada di dalam dirinya lebih daripada kebenaran yang ada pada orang lain. Pertengkaran yang demikian tidak pernah akan menemukan jalan keluar kecuali setiap kita mempunyai kesepakatan tentang apa itu benar atau salah secara mutlak. Yang saya maksudkan adalah demikian: setiap kita sepakat kalau “mencuri itu salah, berbohong itu tidak benar” – tetapi pertanyaannya adalah kenapa kita masih mencuri (dalam pengertian yang luas), dan kenapa kita masih berbohong (juga dalam pengertian yang luas). Pertama-tama adalah karena tidak ada standar yang tegas tentang apa itu benar dan salah sebagaimana dua kali dua sama dengan empat. Di samping itu, setiap kita juga selalu di pengaruhi oleh situasi. Dan dalam setiap situasi itulah setiap kita diminta untuk menyatakan nilainilai hidup kita. Hampir dapat dipastikan bahwa karena situasi setiap
78
kita acapkali gagal untuk mempraktekkan apa yang seharusnya kita praktekkan. Keramah-tamahan kita kepada sesama dan juga kepada keluarga hilang ketika suasana hati kita tidak baik, kelemah-lembutan kitapun tidak tampak ketika hati kita dipenuhi oleh kekesalan dan kemarahan. Karena situasi, kitapun acapkali gagal melakukan apa yang kita selalu tuntut untuk orang lain lakukan. Jika kita menjadi seorang pimpinan maka kita senantiasa menekankan kepada setiap karyawan kita untuk datang lebih awal dan pulang tidak tergesa-gesa setiap harinya. Namun kita merasa sangat tidak nyaman ketika kita sebagai pimpinan datang terlambat – hal itu bukan kesengajaan tetapi situasi membuat kita menjadi terlambat. Menyadari hal-hal di atas maka jauh lebih indah jika kita tidak saling memojokkan ketika sesama kita gagal melakukan apa yang seharusnya di lakukan. Bersikap saling membantu dan mendukung untuk setiap pribadi menjadi pribadi yang ‘walk the talk’ akan jauh lebih bermakna. Saat itulah egoisme dan egosentrisme kita diganti dengan solidaritas bersama demi untuk kemenangan bersama. Kita melatih hati nurani kita menjadi semakin bijak, tidak hanya ingin dimengerti tetapi juga belajar untuk memahami. Tidak selalu mengaggap diri sebagai yang paling benar tetapi juga terbuka dengan kenyataan bahwa setiap orang juga memiliki hak untuk menyatakan kebenarannya, dan saat itu terjadi maka kita diminta untuk belajar memahaminya dengan simpati dan empati yang sungguh dan tulus. Ukuran obyektifitas yang kita pakai bukanlah ukuran kita sendiri, tetapi ukuran obyektifitas itu berasal dari kebenaran tertinggi yaitu Tuhan – sumber segala kebenaran. Dan setiap kita dengan rendah hati meletakkan egosime dan egosentrisme kita di dalam kehendakNya. (IKM)
79
TETAP RAMAH DI TENGAH AMARAH dimuat di Warta Jemaat 8 Juli 2012
B
agaimana mungkin kita tetap ramah di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan amarah? Bagaimana bisa kita tetap ramah kepada orang yang mengejek kita, yang menghambat kita dan yang menyakiti hati kita? Jawabannya mungkin! Dalam Alkitab kita menemukan seorang ibu yang diejek sebagai pemabuk padahal ia sedang berdoa. Ia tidak membalas ejekan itu dengan sanggahan kemarahan, ia tidak membalas dengan merendahkan orang yang salah memahami tentang apa yang sedang dilakukannya. Coba perhatikan I Samuel 1:14, lalu kata Eli kepada Hana: Berapa lama lagi engkau berlaku sebagai orang mabuk? Lepaskanlah dirimu daripada mabukmu. Tetapi Hana menjawab: Bukan Tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati, anggur atau minuman yang memabukkan tidak kuminum melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan Tuhan. Tidak ada nuansa marah dalam jawaban Hana kepada Eli, betapapun Eli menghampirinya dengan nuansa mengejek dan merendahkan. Ia tetap menaruh hormat kepada Eli sebagai seorang Imam, bahkan ia meminta doa dan belas kasihan dari Eli selaku Imam. Mau memperlihatkan kualitas hati seorang ibu yang bernama Hanna. Hana bersikap ramah bukan karena ia tidak punya masalah, tetapi justru ketika ia sedang dirundung masalah. Di rumah ia sering diejek oleh istri muda suaminya karena ia tidak mempunyai anak dan pasti ejekan juga ia dapat dari masyarakat sekitarnya, sebab pada waktu itu tidak mempunyai anak diyakini sebagai sebuah tanda bahwa ia tidak mendapat berkat dari Tuhan. Di rumah di ejek, oleh tetangga di ejek lalu di rumah Tuhanpun ia diejek.
80
Yang memampukan Hana untuk tetap ramah di dalam keadaan yang penuh dengan ejekan serta bentuk-bentuk amarah adalah ketika ia membawa luka-luka hatinya kepada Tuhan. Tuhanlah yang memampukan Hana untuk memulihkan hati yang penuh dengan luka. Hati yang dipulihkan akan memancarkan sinarnya tersendiri, dan hati yang dipulihkan juga menjadi prakondisi bagi tercurahnya berkat Tuhan dalam kehidupan Hanna. Olehkarena itu alkitab mencatat: setahun kemudian mengandunglah Hanna dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia menamai anak itu Samuel, sebab katanya:”Aku telah memintanya daripada Tuhan” Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, biarlah kita belajar dari Hana dalam memelihara hati, sebab apa yang ada dalam hati itu yang terpancar memalui sikap dan perbuatan kita. Apabila ada banyak pengalaman yang menyakitkan dalam hidup kita, jangan kita biarkan hati kita tergores luka yang tidak tersembuhkan. Sebab hati yang terluka akan memancarkan perilaku yang melukai. Tetapi hati yang dipulihkan akan membawa sikap dan perilaku yang mendatangkan pemulihan, sukacita dan damai sejahtera. (STP)
81
KEPERCAYAAN YANG BERHARGA dimuat di Warta Jemaat 2 September 2012
B
usiness is about trust adalah sebuah ungkapan yang akrab di kalangan pelaku bisnis. Menjadi perusahaan yang dapat dipercaya, tentunya dengan para pekerja di dalamnya yang dapat dipercaya pula menjadi modal utama sebuah keberhasilan. Bukan hal yang mudah, oleh karena itu dibutuhkan banyak usaha dan kerja keras serta ketekunan dalam setiap proses untuk mendapatkan kepercayaan tersebut. Menjadi pribadi yang dapat dipercaya bukan sebuah usaha yang hanya dilakukan oleh kalangan atau pihak tertentu, tetapi merupakan panggilan kita bersama sebagai umat Allah. Perumpaan tentang talenta dalam Matius 25:14-30 memberikan contoh bagaimana seseorang dapat memperoleh sebuah kepercayaan.
Kesetiaan
Kata ‘setia’ memiliki arti yang luas dan punya peranan yang penting agar kita dapat memperoleh kepercayaan. Setia berarti melakukan setiap tugas dengan tanggungjawab penuh, fokus, tidak mendua hati, dan tidak bergantung pada pengawasan orang lain. Seseorang yang setia, tidak pernah mempermasalahkan seberapa besar jumlah atau porsi kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ia tak pernah terlalu menuntut karena sebenarnya kepercayaan yang lebih besar dengan sendirinya akan mengikuti ketika ia berhasil mendapatkan kepercayaan melalui bukti kesetiaan, kerja keras, dan ketekunan dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya.
Memelihara kepercayaan
Mendapatkan saja tanpa dijaga dengan baik maka semua usaha untuk mendapat kepercayaan seolah menjadi sia-sia. Memelihara berarti mengerahkan segala daya untuk mempertahankan pencapaian baik yang telah diraih karena kita menyadari bahwa mendapat kepercayaan
82
adalah sesuatu yang sangat berharga. Seseorang pernah mengatakan “Sekali gagal dalam sebuah ujian kepercayaan, maka dibutuhkan kerja keras dan waktu yang lama untuk dapat dipercaya lagi”. Perjalanan waktu, berbagai peluang, keberadaan orang-orang disekitar, tantangan dan bermacam kesulitan akan menjadi alat uji sebuah kepercayaan. Oleh karena itu, setiap kita diharapkan tidak menjadi lemah dalam menghadapinya karena ketika kita gagal maka dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk bangkit, walaupun bukan berarti tak mungkin untuk kembali mendapat kepercayaan. Kitab Amsal 28:20 mengemukakan bahwa pemberian Allah adalah ketika kita menjadi orang yang dapat dipercaya dan bahkan memeliharanya yaitu tersedia banyak berkat bagi setiap kita.
Tersedia berkat berupa ketenangan hati bagi orang yang memberi kepercayaan Tersedia berkat berupa tanggungjawab yang lebih besar Tersedia berkat berupa pertemanan yang makin akrab dan hangat Tersedia berkat berupa keleluasaan yang tak perlu dicurigai Tersedia berkat berupa kualitas diri yang lebih baik Tersedia berkat berupa sukacita yang luar biasa Ketika...kita menjadi orang yang dapat dipercaya oleh Tuhan dan sesama Karena kepercayaan sungguh berharga, jika belum memilikinya, berjuanglah untuk mendapatkannya jika sudah mendapatkannya, berjuanglah untuk memeliharanya (F O)
83
DAPAT DIANDALKAN dimuat di Warta Jemaat 9 September 2012
A
llah yang kita imani adalah Allah yang melaksanakan sesuatu di dalam dan bagi seluruh dunia ini, oleh karena itu bagi setiap kita sebagai gereja tidak boleh berfikir untuk mengabaikan
dunia.
Sikap iman kita kepada Tuhan harus menjadi jelas dalam sikap iman kita dalam keseharian kita di tengah-tengah dunia ini. Itulah sebabnya ada ungkapan bahwa setiap kita sesungguhnya hidup di dua kota: kota Allah dan kota dunia. Dalam bahasa Oikumeneis diungkapkan: “participation in God’s - action in the world” . Setiap orang percaya diminta untuk beriman dengan sungguh kepada Tuhan dan menjadi berkat bagi dunia. Memelihara spiritualitasnya di hadapan Tuhan dan memaknai kehadirannya bagi dunia dan seluruh ciptaan. Dengan demikian panggilan setiap orang percaya bukanlah sematamata memperkuat dan meneruskan struktur religius dari agama Kristen, melainkan jemaat menempatkan dirinya dalam rangka mewujudkan tindakan dan rencana Allah di dunia. Bagaimana setiap orang Kristen menghadirkan kehendak Allah dalam setiap situasi. Bertolak dari iman kepada Kristus maka setiap orang Kristen menempatkan diri di tengah-tengah berbagai perjuangan (keadilan, kebenaran, penghargaan terhadap hak azasi manusia, penghargaan terhadap pluralitas dan keragaman) yang sedang berlangsung. Jika hal itu yang kita hayati, maka setiap pribadi di dalam gereja harusnya menjadi pribadi-pribadi yang dapat di andalkan. Pribadi yang dapat diandalkan adalah pribadi yang memiliki kwalitas: dimana perkataan dan perbuatannya berjalan beriring – apa yang dikatakannya itulah yang diperbuatnya.
84
Dimanapun mereka di tempatkan dan dalam situasi apapun mereka di hadirkan maka kehadirannya menjadi pemberitaan Firman Tuhan bagi masyarakatnya. Kristus yang kita imani di wujudkan di tengah-tengah dunia ini, demi untuk meningkatkan dunia ini kepada keadaan yang lebih baik dan semakin baik. Menjadi pribadi yang dapat diandalkan bagi gereja dan rencana Tuhan bukanlah sesuatu yang sederhana dan dapat di cipta dengan cepat. Menjadi pribadi yang dapat diandalkan selalu membutuhkan komitmen sebagai ujiannya. Komitmen terhadap pelayanan yang ditekuninya, pekerjaan yang dijalankannya serta penghargaan pada setiap pribadi dalam perjumpaannya. Pribadi yang dapat diandalkan adalah mereka yang memiliki motivasi yang kuat untuk semakin memantaskan dirinya, memperlengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan hikmat, yang memampukan mereka menjawab setiap hal dengan tepat. Menjadi pribadi yang dapat diandalkan juga membutuhkan kerjasama: dimana setiap pribadi dalam gereja dapat saling melengkapi satu terhadap yang lain dalam semangat cinta kasih dan persaudaraan. Yang melaluinya setiap orang menanggap orang lain lebih utama dari dirinya sendiri demi untuk pertumbuhan dan kemajuannya Dan akhirnya menjadi pribadi yang dapat diandalkan adalah menjadi pribadi yang dengan sungguh menyatukan diri dengan Kristus – Sang Pemilik kehidupan. Karena tanpa Dia maka siapakah kita ini sehingga dapat mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Menjadi pribadi yang dapat diandalkan adalah mereka yang terus menerus mencari kehendak Tuhan di dalam hidupnya. Akhirnya, selamat menjadi pribadi yang dapat diandalkan, baik dalam kehidupan keluarga, gereja, pekerjaan dan masyarakat. (IKM)
85
MENJADI BERANI dimuat di Warta Jemaat 11 November 2012
(Renungan singkat atas kisah para rasul 5 : 26-42)
“B
ravo...bravo!” Demikian pujian hampir 40.000 orang ditujukan pada sang matador yang berdiri di tengah lapangan adu banteng.
Kelegaan yang amat sangat nampaknya merasuki semua orang terluapkan dalam tepuk tangan yang membahana. Situasi berbeda terjadi beberapa saat sebelumnya. Ketegangan dan kengerian mencengkram kuat perasaan seluruh penonton saat itu. Banteng besar ganas dengan tanduknya yang tajam siap menghujam perut sang matador. Penonton menahan nafas untk beberapa saat karena kuatir tragedi terjadi jika matador lalai dan menjadi terluka. Sebab bukan hal baru seorang matador dilukai banteng, parah dan bahkan sampai meninggal dunia. Karena itu bagi mereka orang yang berdiri di tengah lapangan adalah seorang pemberani yang layak diberi penghargaan. Matador memang layak diberi predikat pemberani. Sebab hanya seorang pemberani yang mau melakukannya. Resiko terluka atau terbunuh tentu sudah diketahui matador sejak awal. Akan tetapi dengan tekad memenangkan pertarungan dan berbekal kesediaan untuk menerima jika terjadi hal yang tidak diharapkannya, maka ia berdiri di tengah lapang dengan gagah menghadapi banteng yang marah. Bicara soal keberanian macam itu, Petrus dan Para Rasul lainnya dalam Kis 5 : 26-42 bisa disebut pemberani. Sebab dikatakan mereka telah dilarang untk mengajarkan keselamatan dalam Kristus Tuhan akan tetapi mereka 86
tetap dalam pekerjaannya. Mahkamah Agama menjadi marah, mereka melarang keras bahkan melakukan tindakan kekerasan ketika Para Rasul tidak bungkam tetapi tetap bersaksi dengan berani. Jelas hal tersebut bukan perbuatan main-main sebab mereka berhadapan dengan otoritas tertinggi kaum Yahudi. Mereka ternyata tidak takut seperti kebanyakan orang merasa takut kemudian menurut walaupun tidak sesuai dengan hati nurani sekalipun.Para Rasul diberítakan tidak bergeming dan tetap setia dalam pekerjaannya. Melihat hal itu tentu bukan karena sifat berani mereka miliki sebab kita mengingat pula bagaimana dulu mereka atau setidaknya Petrus pernah menyangkali Yesus. Maka jelas bahwa hanya karena perbuatan Allah dengan Roh-Nya yang Kudus saja yang memàmpukan mereka bersikap teguh demikian. Karena mereka percaya benar bahwa Kristus Tuhan maka mereka bersaksi. Sungguh sebuah kesaksian yang luar biasa, kesaksian yang berani melawan tekanan kekuasaan yang lalim. Para Rasul yang bersaksi jelas mengetahui konsekuensi untuk menderita demi nama Kristus. Mereka tidak takut bahkan mereka bahagia karena penderitaan itu menjadi tanda kesatuan dengan Kristus. Dari semua perbuatan pemberaní itulah kita dapat melihat bahwa berani adalah sebuah pilihan. Berani menerima konsekuensi yang akan terjadi akibat pilihan sikapnya. Menjadi berani juga menunjukkan pekerjaan Allah nyata dalam hidup orang percaya. Menjadi berani adalah wujud keyakinan diri dan keyakinan iman yang tertanam di hati. Untuk itu mari kita juga menjadi berani untk bersaksi dan bersaksi untuk berani. Tuhan memberkati. (MRM)
87
88
KR IS T EN
DI TENGAH
Tantangan
HIKMAH DI BALIK MUSIBAH dimuat di Warta Jemaat 15 Mei 2011
A
llah tentu bisa saja mencegah agar Yusuf tidak masuk penjara (Kejadian 39:20-22), agar Daniel tidak dimasukkan dalam gua singa (Daniel 6:16-23), agar Yeremia tidak dimasukkan ke dalam perigi (Yeremia 38:6), agar Paulus tidak mengalami karam kapal tiga kali (2Korintus 11:25) dan mencegah tiga pemuda Ibrani agar tidak dibuang dalam perapian yang menyala-nyala (Daniel 3:1-26) tetapi Allah tidak melakukannya. Mengapa demikian? Bukankah jauh lebih menakjubkan apabila musibah-musibah itu bisa dihindarkan. Bukankah sungguh ajaib apabila kesulitan- kesulitan itu ditaklukan? Hal itu terjadi oleh karena Allah mempunyai rencana yang lebih dahsyat dari apa yang dipikirkan oleh manusia. Allah mengizinkan masalah-masalah tersebut terjadi, dan sebagai hasilnya kita menemukan ada banyak mutiara-mutiara ilahi dinyatakan. Melalui pelbagai kesulitan setiap orang ditarik lebih dekat kepada Allah. Melalui ketaatan seseorang dalam menghadapi kesulitan ada banyak orang dihiburkan dan dikuatkan, di segala tempat dan disepanjang abad. Dan melampaui itu semua nama Allah dipermuliakan di dalam segala sesuatu. Bahwa oleh karena kuasanya Ia sanggup mengubah kesulitan menjadi berkat bukan saja bagi yang mengalaminya tetapi juga menjadi berkat bagi umat-Nya, bahkan menjadi berkat bagi banyak bangsa. Kalau Yusuf tidak melampaui masa-masa sulit dengan penuh penyerahan mungkin ia kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan keluarganya dan juga bangsa Mesir dari kelaparan. Kalau Daniel tidak menjalani tantangan dan pencobaan selama ia berada di Pembuangan, mungkin tidak ada kisah inspiratif yang memampukan setiap orang untuk berjuang dan setia kepada Allah di tengah kesulitan. Dan kalau Paulus tidak mengalami karam kapal maka ia tidak mempunyai
90
kesempatan untuk memberitakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan yang besar bagi penduduk terpencil di sebuah pulau. Pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh alkitab di atas hendak mengatakan kepada kita: tidak ada satu perkara yang terjadi yang Allah tidak mengetahuinya, dan tidak ada satu perkara yang terjadi dalam kehidupan kita yang mana Tuhan tidak mempunyai rencana di dalamnya. Rencana Allah itulah yang membuat sebuah perkara kecil menjadi kesukaan yang besar. Seorang pemuda kulit putih melihat seorang ibu tua berkulit hitam keluar dari mobilnya yang mogok dalam cuaca hujan deras di malam yang gelap. Pemuda tadi menghentikan mobilnya dan menawarkan tumpangan kepada ibu tua dan menghantarkannya ke pangkalan taksi yang terdekat. Sebelum turun ibu tua itu menanyakan nama pemuda tadi dan alamatnya. Tujuh hari kemudian si pemuda tadi mendapat kiriman sebuah televisi besar yang amat mahal, disertai sebuah kalimat: “Terima kasih telah menolong saya di jalan tol malam itu. Hujan tak hanya membasahi baju saya, tetapi juga jiwa saya. Untung Anda datang. Jadi, saya masih sempat hadir di sisi suami saya yang sekarat ... hingga wafat. Tuhan memberkati Anda karena tidak mementingkan diri sendiri”—Tertanda: Ny. Nat King Cole (istri penyanyi jaz terkenal tahun 1960-an). Yang dilakukan oleh pemuda tadi bukanlah perkara yang besar tapi bagi ibu tua yang dilakukannya adalah perkara yang tidak bisa dilupakan, oleh karena pertolongan sang pemuda kulit putih tersebut membuat ibu tua ini mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan cinta kasihnya yang tidak bisa terulang di sepanjang waktu kehidupannya. Kalau saja sang Pemuda tadi mengeraskan hati, dan tidak menerima tawaran Tuhan untuk memikul beban seorang ibu tua. Maka pemuda tadi akan kehilangan kesempatan untuk menghadirkan kebahagiaan, yang membuat ibu tua tadi memandang hujan lebat yang mengguyur bukan sebagai sebuah kemalangan tapi hujan yang membasahi jiwanya. (STP)
91
SAAT KETAATAN BERBUAHKAN KEKECEWAAN dimuat di Warta Jemaat 20 Mei 2012
S
elama ini kita mungkin merasa sebagai pribadi yang cukup baik di hadapan Tuhan, ......”cukup baik” – karena kita tidak mungkin menjadi sempurna di hadapan Tuhan. Sejauh ini kita tidak lalai menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan kita, kita juga berusaha mematuhi isi kitab suci, kita juga berusaha untuk menunjukkan kepedulian kita kepada sesama. Namun semuanya tampak sia-sia ketika kita menjumpai kehidupan yang kita jalani tampak berantakan dan tidak masuk akal. Usaha yang kita bangun sepanjang kehidupan kita tiba-tiba hancur dalam sekejap, orang yang selama ini begitu kita kasihi tiba-tiba menghianati kita, kesehatan yang selama ini kita nikmati tiba-tiba terganggu oleh kekonyolan orang lain sehingga kita mengalami kecelakaan.Ketika semua itu terjadi dalam hidup kita, maka kita kemudian merasa bahwa semuanya tampak sia-sia, ketaatan kita pada akhirnya berbuahkan kekecewaan. Saat itulah kita kemudian menarik diri dari kehidupan komunitas: menjauh dari kehidupan gereja dan persekutuan, mengundurkan diri dari panggilan pelayanan kita. Kita juga marah kepada situasi, diri sendiri dan bahkan kepada Tuhan. Jika kita mengalami hal itu, ingatlah: kita tidak sendiri. Kita bukanlah satu- satunya pribadi yang menjalani hidup dengan pengalaman yang menyakitkan. Hampir setiap orang pernah mengalami pengalaman yang tidak pernah di harapkan di dalam hidupnya. Hal itu terjadi karena “alam itu buta”, peristiwa alam selalu biasa di alami oleh siapapun. Entah dia taat kepada Sang Khalik ataupun dia membangkang. Bakteri dan virus tidak akan pernah pilih-pilih korbannya, siapapun orangnya selalu bisa terserang flu, diare atau penyakit apapun. Bukan karena kita taat lalu kemudian kita dibebaskan dari apa yang orang kebanyakan terima dan alami dalam hidupnya. Bukan karena kita taat dan beriman
92
maka kita tidak membutuhkan payung sekalipun orang di sekitar kita basah kuyup karena hujan. Hal ke dua yang hendak saya katakan adalah bahwa dalam hidup ini tidak pernah ada kesusahan yang tidak pernah akan berakhir, dan tidak pernah ada kegembiraan yang abadi, Susah dan senang adalah warnawarni kehidupan yang tidak bisa sepenuhnya kita pilih. Di situlah kita di ajak untuk dapat menanggapinya dengan bijak kehidupan ini: jangan pernah menyerah saat susah tetapi juga jangan lupa diri saat suka. Jika saja kita mampu menanggapi kehidupan dengan cara ini maka tidak akan pernah ada pergumulan yang terlalu berat untuk kita tanggung, tetapi juga tidak pernah ada bagian dari kehidupan ini yang dapat kita abaikan.
Hal ke tiga, tetapi sekaligus juga yang terpenting adalah; saat semua tampak berantakan dan tidak masuk akal maka saat itu jugalah kita di ajak untuk percaya. Saat itulah kita di ajak untuk memahami bagaimana dan seperti apa itu ber-iman. Kita di ajak untuk memahami sesuatu di balik tindakan yang Allah sedang kerjakan. Bukankah karena iman kita yakin bahwa segala sesuatu itu ada dan terjadi karena Tuhan menghendakinya dan karena Tuhan memiliki rencana tersendiri, saat itulah kita di ajak untuk belajar dan mampu mengatakan: “Aku percaya bahwa cinta Allah akan menghasilkan hal-hal yang lebih besar dan lebih indah dari kegagalan dan kejatuhan yang menakutkan ini”. Seorang penulis spiritual Julian dari Norwich, menyampaikan pemikiran yang indah: “Jika jiwa diombang-ambingkan oleh prahara, di ganggu dan di sayat kecemasan, maka saatnya untuk berdoa. Dengan berdoa maka jiwa anda akan berkehendak untuk mendengarkan Allah. Allah tidak memperhitungkan cara kita berdoa agar Dia mendengarkan jiwa, karena Allah selalu mau mendengarkan tanpa henti”. Akhirnya ketaatan adalah sebuah kewajiban kita di hadapan Allah, oleh karena itu susah ataupun senang harusnya tidak akan mengubah ketaatan kita kepada Nya. Dan susah ataupun senang, Allah tetaplah Allah bagi kita.(IKM)
93
SAPAAN ALLAH DI TENGAH BADAI dimuat di Warta Jemaat 24 Juni 2012
D
alam bukunya yang berjudul A Perfect Storm, penulis Sebastian Junger menggambarkan berbagai fakta menakjubkan tentang kekuatan angin topan, “Angin topan merupakan peristiwa terdahsyat di bumi ini; kekuatan gabungan gudang senjata nuklir Amerika Serikat dan bekas Uni Soviet tidaklah cukup untuk mencegah berembusnya angin topan selama sehari. Angin topan ... mampu memenuhi seluruh kebutuhan tenaga listrik di Amerika Serikat selama tiga atau empat tahun.” Bisa jadi badai kehidupan yang kita hadapi punya kekuatan yang besar. Saking kuatnya, maka setiap jejak langkah kita hanya dipenuhi oleh kekhawatiran tak terkendali dan iman yang hampir tumbang. Ketika badai itu datang, tak jarang kita kembali mempertanyakan keberadaan dan campur tangan Tuhan atas hidup kita. Apakah betul tak pernah ada jawaban dari Tuhan atas pergumulan dan keretakan hati kita? Ayub dalam perjalanan hidupnya tidak hanya menerima berkat Tuhan, tetapi juga mengalami badai dahsyat. Secara khusus kitab Ayub pasal 38 merupakan jawaban dan tanggapan Allah atas situasi yang dihadapi oleh Ayub. Beberapa hal yang menarik dari jawaban Tuhan kepada Ayub : 1. Allah menegur Ayub karena berbicara tanpa pengetahuan (Ayub 38:2) dan merendahkan dia dengan membuat hamba-Nya yang menderita itu sadar bahwa nalar manusia bukan tandingan bagi Allah yang tak terbatas dan kekal (bd. Ayub 39:34-38). Tanpa menolak pernyataan Ayub mengenai integritas moralnya, Allah mempersoalkan gagasan Ayub bahwaDia mungkin tidak memerintah dunia ini dengan adil (mis. pasal Ayub 21:1-34; Ayub 24:1-25). Tetapi Allah selanjutnya memastikan Ayub bahwa dalam dialognya dengan para penasihatnya, ia telah mengatakan yang benar tentang Allah (Ayub 42:7). Dengan kata lain, Allah menilai kesalahan pemahaman Ayub sebagai datangnya
94
dari kekurangan pengertian dan bukan dari kegagalan iman atau kurang mengasihi Tuhan. Allah adalah pribadi yang memang tak pernah dapat dijangkau oleh pemikiran dan logika manusia. KuasaNya, KasihNya, KeputusanNya jauh melebihi apa yang sanggup kita nalar. Tetapi ketika badai hidup menghadang kita, maka segala pengetahuan kita tentang perbuatan- perbuatan Allah juga mengambil peran penting agar kita makin disadarkan bahwa ada kekuatanNya yang jauh lebih besar dari persoalan kita. Dari pengertian dan pengetahuan yang benar tentang Allah, maka iman kita makin diteguhkan dan pengharapan kita kepadaNya tak akan pernah pudar. 2. Tanggapan Tuhan kepada hamba-Nya Ayub membuktikan bahwa pada akhirnya Allah akan mendatangi semua orang yang dengan sungguh- sungguh dan tabah berseru kepada-Nya. Bahkan jikalau doa kita bersumber dari hati yang bingung, ragu-ragu, kecewa, Allah akhirnya akan menanggapi dengan kehadiran, penghiburan, dan firmanNya. Saat badai kehidupan itu menerpa, Tuhan sesungguhnya hadir menyapa kita melalui berbagai caraNya. Badai kehidupan, kadang tak pernah dinyana datangnya bahkan mungkin tak diharapkan kehadirannya. Tapi ketika itu menjadi peristiwa yang harus kita hadapi, maka yakinlah ada sapaan Tuhan yang selalu mendampingi kita. Melalui pengetahuan akan kuasa Tuhan, keterbukaan hati yang siap dibentuk, keyakinan iman yang terus bertumbuh, dan pengharapan akan pertolonganNya yang terus dinantikan, maka semuanya menjadi bagian yang akan memperlengkapi kita untuk bertahan dalam badai kehidupan. Bila badai hidup menerpamu dan cobaan pun datang mengganggu Hanya satu janji harapanmu, ya, janji Tuhanmu, pegang teguh Pegang selalu janji Tuhan jangan lepaskan walau siang atau malam Enyalah takut atau bimbang, Tuhanlah pemilik hidupmu Biar gunung-gunung beranjak Serta bukit-bukit pun bergoncang Kasih dan setia dari Tuhan kan melindungimu tetap teduh
(PKJ 285) (F.O.)
95
KAMI BERSYUKUR KEPADA-MU DAN MEMUJI NAMA-MU ( I Tawarikh 29: 14) dimuat di Warta Jemaat 27 Mei 2012
M
enghadapi berbagai masalah dalam kehidupan tentunya kita tidak pernah lupa berdoa memohon pada Tuhan untuk mengurangi penderitaan, untuk kesembuhan dari penyakit, untuk kenyamanan hidup, untuk kekuatan. Ternyata fokus kita lebih pada memohon untuk dapat terpenuhinya segala kebutuhan kita ketimbang bersyukur pada Tuhan atas kehidupan yang diberikan-Nya dan janji-Nya untuk kehidupan yang kekal. Sebagai pengikut Tuhan kita seringkali lupa akan Tuhannya, untuk berkat dan kasih-Nya. Persaingan yang ketat dibidang pendidikan, usaha, pekerjaan atau profesi apapun di masa sekarang ini menyebabkan saling sikut menyikut antar teman, kolega bahkan saudara sehingga tidak ada lagi kasih terhadap orang-orang disekitarnya. Hal ini juga yang menyebabkan orang lebih banyak menuntut, mengeluh, tidak pernah merasakan kepuasan. Apakah kita juga termasuk dalam kelompok itu, sehingga tidak ada waktu lagi untuk merenungkan kasih Tuhan dan menjalankan tugas kita sebagai anak Tuhan untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita ? Dapatkah sekarang ini kita menyebutkan dan membuat daftar berkat yang telah diterima daripada-Nya dalam kehidupan kita selama ini ? Setelah diingat ingat ternyata begitu panjang daftar berkat yang kita terima dan kitapun dibuat terkagum-kagum. Betapa tidak, karena Tuhan memberikan segalanya bagi kita. Bahkan putra-Nya yang tunggal dikorbankan untuk mati dikayu salib bagi kita. Segala kebutuhan kita dipenuhi-Nya seturut dengan waktu dan kehendak-Nya. Mengapa kita tidak mensyukuri-Nya secara khusus dengan menunjukkan rasa syukur setiap hari melalui perbuatan kita dengan memberikan apa yang ada pada kita? Seharusnya dengan sendirinya kita akan senantiasa
96
bersyukur untuk kehidupan ini ketika dihitung jumlah berkat yang telah kita terima daripada-Nya. Dalam Kolose 3: 15,16,17; Rasul Paulus mengingatkan pada setiap pengikut Kristus dalam masing-masing ayatnya untuk senantiasa bersyukur pada Allah, Bapa kita. Hendaknya ungkapan syukur dapat merupakan sikap yang selalu ada dan bukan hanya secara insidentil. Hendaknya kita juga merespon berkat Tuhan dengan senantiasa memuji dan memuliakan nama Tuhan. Hari ini kita merayakan Pentakosta yang juga merupakan hari raya utama yaitu tujuh minggu setelah hari Raya Paskah dalam Perjanjian Lama. Masing-masing kita akan menyerahkan Persembahan Syukur Tahunan dengan memasukkannya kedalam amplop bertuliskan ”Bersyukur untuk Kehidupan”. Aku akan mempersembahkan korban syukurku kepada-MU, dan akan menyerukan nama Tuhan(Mazmur 116:17). Dalam Perjanjian Lama sebagaimana tertulis dalam Ulangan 16:10, ”haruslah engkau merayakan hari raya Tujuh Minggu bagi TUHAN, Allahmu, sekedar persembahan sukarela yang akan kauberikan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Persembahan ini merupakan wujud rasa syukur kita semua, sebagai anak Tuhan yang senantiasa dipelihara-Nya, diberkati-Nya. I Tawarikh 28,29 menunjukkan pada kita betapa Raja Daud hidup dengan penuh rasa syukur, yang dinyatakannya melalui persembahan syukur dan pujian yang disampaikan bagi Tuhan, Allah kita semua. Pertanyaan Daud yang ditujukan bagi jemaahnya juga dapat ditujukan bagi kita:”Siapakah pada hari ini yang rela memberikan persembahan kepada TUHAN?”(I Tawarikh 29:5).”Sudahkah kita mempersiapkannya sama seperti Daud ?” Pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu ” (Mazm. 5:4), Terimakasih Tuhan kami haturkan,
Untuk berkat-berkat yang Kau berikan Hendaknya kami senantiasa bersyukur pada-Mu Disetiap waktu memuji dan memuliakan nama-Mu Tolonglah kami ya Tuhan,
Untuk tidak lagi menyampaikan keluhan
Ketika kami diperhadapkan
pada apa yang kami tidak berkenan
Sebaliknya berikanlah kami hati yang bersyukur Untuk kehidupan yang telah Kau atur (MgdL)
97
HIDUP YANG DIGERAKKAN OLEH MASA DEPAN dimuat di Warta Jemaat 1 Januari 2012
S
uatu hari seseorang masuk dalam sebuah caffe yang dipenuhi oleh orang-orang. Kemudiaan ia berusaha untuk menarik perhatian orang banyak dengan sebuah cerita yang lucu. Begitu ia selesai bercerita, semua pengunjung caffe serentak tertawa terpingkal-pingkal. Setelah itu ia pergi meninggalkan ruangan dengan tersenyum. Sepuluh menit kemudian ia masuk lagi, dan menceritakan lelucon yang sama di tengah para pendengar yang sama. Begitu ia selesai bercerita, para pengunjung caffe itupun tertawa terpingkal-pingkal, tapi yang tertawa tidak sebanyak tadi. Sepuluh menit berikutnya ia masuk lagi di ruang yang sama masih di antara para pendengar yang sama dan ia malah bercerita lelucon yang sama. Begitu selesai ia bercerita tidak seorangpun yang tertawa dan tidak seorangpun yang memperhatikannya. Lalu orang itu berkata: “betapa mudahnya kita melupakan cerita sukacita yang sama, tetapi betapa sulitnya kita melupakan cerita sedih dalam kehidupan”. Sebab banyak di antara kita menangisi peristiwa yang sama secara berulang, banyak diantara kita meneteskan air mata kembali ketika mengingat peristiwa yang menyesakan yang pernah terjadi dalam kehidupan kita. Bahkan banyak di antara kita tidak sanggup menata kehidupan oleh karena pengalaman sedih kita jadikan sebagai batu besar yang menghalangi perjalanan kehidupan kita. Mengapa peristiwa pahit yang pernah terjadi hidup terus dalam hati dan pikiran kita? Sebab banyak di antara kita ketika mengalami peristiwa yang menyesakan gagal memaknainya. Banyak di antara kita ketika mengalami peristiwa yang menyesakan berusaha untuk melupakannya dengan cara menekan perasaan tidak menyenangkan masuk ke dalam alam bawah sadarnya.
98
Oleh karena itu, apabila di tahun yang lalu kita mengalami pengalamanpengalaman pahit dan menyesakkan, kita tidak perlu menekannya dan kitapun tidak boleh membohongi diri. Rasakanlah kesesakan dan kepahitannya, tapi jangan membiarkan diri kita di kuasainya. Dan coba pahami arti pengalaman itu bagi kehidupan kita, bagaimana Allah berbicara melalui pengalaman-pengalaman tersebut. Sebab apabila Allah memperkenankan sebuah pengalaman hidup kita alami maka mestilah di dalamnya Allah mempunyai rencana yang indah bagi setiap kita. Berdamai dengan masa lalu menjadi kunci sukses bagi perjalanan yang baru. Berdamai dengan masa lalu berarti kita siap untuk memikul beban yang baru. Betapa malangnya manusia ketika ia baru memikul beban yang baru sementara beban yang lama masih tetap di pikulnya. Rasul Paulus tidak ingin membiarkan dirinya dipenjara oleh masa lalu, maka ia berkata kepada: aku melupakan apa apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri pada apa yang di hadapanku. Dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Yesus Kristus (Filipi 3:13b,14). (STP)
99
MEMAKNAI SEBUAH KRISIS dimuat di Warta Jemaat 21 Oktober 2012
D
alam perjanjian lama kita sering menemukan cara kerja Allah dalam menghadapi sebuah krisis yang dialami oleh manusia. Untuk mengatasi sebuah krisis yang besar Allah bisa memperkenankan sebuah krisis kecil terjadi dalam kehidupan seseorang, dalam kehidupan keluarga atau dalam kehidupan sekelompok orang. Coba kita perhatikan krisis yang melanda Mesir bahkan sampai ke tanah Kanaan di abad 17-18 sebelum Kristus. sebuah krisis pangan terbesar disepanjang sejarah, yang dapat memakan korban bukan hanya ribuan tetapi jutaan orang dari mesir sampai Asia Barat Daya. Dalam rangka mengatasi sebuah krisis besar, Allah memperkenankan Yusuf Hamba-Nya untuk mengalami krisis kecil. Allah memperkenankan Yakub Hamba-Nya mengalami Krisis Kecil, dan Allah memperkenakan sebuah keluarga besar hidup di dalam krisis. Bagi Yusuf sendiri apa yang dialami di masa itu bukan sebuah krisis kecil tapi sebuah Krisis yang dahsyat, coba bayangkan seorang anak remaja yang lagi gembira menikmati masa remaja tiba-tiba dengan kejam dijual sebagai budak. Juga bagi Yakub, krisis yang mereka alami bukanlah krisis yang kecil, coba bayangkan apabila kita kehilangan seorang anak, dan dilaporkan bahwa anak kita mati diterkam binatang buas. Tapi di kemudian hari Yusuf melihat krisis dahsyat dalam hidupnya secara lain. Tidak ada dendam dalam hatinya terhadap saudarasaudaranya, tidak ada marah kepada Tuhan ketika masa remajanya dicampakkan begitu saja. Dengan tegas ia mengatakan: bukan kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah. Dialah yang menempatkan aku sebagai Bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh Mesir (kejadian 45:8)
100
Oleh karena itu jangan kita cepat menjadi panik kalau Allah memperkenankan kita mengalami sebuah krisis. Sebab panik tidak akan menyelesaikan masalah, justru kepanikan sering menambah berat masalah yang sedang kita hadapi. Banyak orang mengalami persoalan yang lebih berat ketika dikuasai kepanikan. Apabila kita menghadapi sebuah krisis dalam bentuk apapun, kita mesti menghadapi dengan jiwa yang tenang. Sebab ketenangan jiwa membuat kita bisa melihat jalan keluar. Tidak ada satu orangpun yang dapat melihat dengan jelas di air yang keruh. Ketenangan jiwa dan bersandar kepada kehendak-Nya akan membuat kita melihat dengan jelas apa yang sedang Tuhan rancangkan dalam kehidupan kita. Janganjangan kita sedang dipakai oleh Allah untuk menyelesaikan sebuah Krisis yang lebih besar. Ketenangan Yusuf dalam menghadapi krisis menuntunnya pada sebuah rencana besar yang sedang Tuhan persiapkan bukan saja menyelamatkan saudara-saudara dan orangtuanya dalam menghadapi krisis pangan yang hebat, tetapi juga menolong sebuah bangsa besar dalam menghadapi bencana kelaparan yang begitu dahsyat. Sehingga Yusuf bukan saja menjadi berkat bagi keluarganya tapi juga menjadi berkat bagi banyak orang. Ingat satu hal ini, untuk menghadapi krisis yang besar Allah bisa memperkenankan seseorang yang dikasihi-Nya mengalami sebuah Krisis. Dan oleh karena itu apabila kita menghadapi sebuah Krisis, kita harus menghadapinya dengan penuh syukur disertai kerinduan untuk menemukan rancangan-Nya dalam kehidupan kita. (STP)
101
BAHAGIA DALAM PENCOBAAN dimuat di Warta Jemaat 28 Oktober 2012
J
ika setiap kita di tanya seperti apa dan bagaimana seseorang dikategorikan sebagai pribadi yang berbahagia, maka biasanya kita menghubungkan kebahagiaan itu dengan kepemilikan, kedudukan, nama besar, penghargaan dan penghormatan terhadap apa yang sudah berhasil di raihnya. Kebahagiaan selalu di ukur dan di tentukan dengan segala sesuatu yang bersifat kwantitatif. Seorang dianggap bahagia jika memiliki rumah tinggal yang mewah, besar dan benilai tinggi – padahal tidak selamanya yang mewah, besar dan benilai tinggi itu menjadi rumah yang nyaman. Bisa jadi rumah yang sederhana tetapi asri dan bersih jauh lebih menyenangkan untuk di tempati. Seseorang dianggap bahagia jika memiliki jabatan dan kedudukan yang tinggi padahal padahal bisa jadi dengan kedudukannya orang-orang seperti mereka malah lebih banyak dihantui oleh ketakutan. Dari semua itu menjadi jelas bagi kita bahwa menjadi pribadi yang bahagia itu bukan karena ukuran-ukuran kwantitatif. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah di dalam hati kita: menjadi bahagia atau menjadi marah terhadap kehidupan yang kita jalani adalah tergantung bagaimana kita memaknainya. Penulis surat Yakobus, dalam suratnya bahkan menuliskan: ”anggaplah sebagai suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam berbagaibagai pencobaan”.(Yakobus 1 : 2). Kalimat penulis surat Yakobus adalah kalimat yang sangat sulit untuk dapat dipahami dan di terima sepenuhnya. Bukankah mereka yang mengalami pencobaan berarti mengalami kehidupan yang jauh dari apa yang diharapkannya. Pencobaan dimaksud dapat mengambil bentuk yang beragam: dapat berupa sakit yang panjang dan tidak kunjung sembuh, bisa juga berupa musibah yang di alami secara tiba-tiba atau juga dukacita yang amat berat untuk di tanggung. Berbagai pencobaan itu membuat pelakunya tampak “celaka”.
102
Dalam bentuk yang lain, pencobaan juga dapat tampil sebagaimana sebuah keberhasilan. Pencobaan dapat datang dari prestasi gemilang yang kita capai, dari pencapaian mengagumkan yang dapat kita raih, dari materi yang dapat kita kumpulkan. Pencobaan dalam bentuk pertama dapat membuat orang meninggalkan Tuhan karena penderitaan sedangkan pencobaan dalam bentuk ke dua dapat membuat pelakunya juga meninggalkan Tuhan karena segala kelimpahannya. Mereka yang ada dalam kategori pertama akan mengekspresikan dirinya dalam bentuk pemberontakan kepada Tuhan dengan kemarahan: meninggalkan gereja, menjauhi persekutuan dan menganggap Tuhan tidak adil karena mengabaikan dirinya, membiarkan dirinya ada dalam penderitaan. Sementara mereka yang ada di kategori ke dua cenderung mengabaikan Tuhan karena merasa terlalu yakin dengan dirinya sendiri, bahwa semua pencapaiannya itu adalah semata-mata karena kemampuan dan usahanya sendiri. Oleh karena itu semua hasil yang membuat dirinya nyaman dia nikmati tanpa merasa harus bertanggung jawab kepada siapapun – termasuk kepada Tuhan. Oleh karena itu menjadi bahagia dengan pencobaan berarti menanggapi ke dua keadaan di atas dengan bijak dan penuh rasa syukur: tidak marah kepada Tuhan tetapi juga tidak mengabaikan-Nya. Menjadi bahagia dengan pencobaan berarti sikap yang di dalamnya kita dapat mengakui Tuhan sebagai Tuhan apapun situasinya: susah ataupun senang – Dia tetaplah Tuhan kita. Susah ataupun senang kita tetap dapat bersyukur kepada Tuhan dan tidak kehilangan sikap iman kita kepada Tuhan. Menjadi bahagia dengan pencobaan yang kita alami adalah kesungguhan untuk menjalani hidup dalam semangat untuk menjadi berkat dan memuliakan Tuhan apapun pengalaman kehidupan yang kita jalani. (IKM)
103
104
KR IS T EN DALAM
Keseharian
PILIH INI DAN BUKAN ITU dimuat di Warta Jemaat 24 Juli 2011
S
(renungan singkat atas 1 Raja-raja 3 : 5 – 12)
etiap manusia menemukan dirinya ada dalam krisis disepanjang hidupnya; realita selalu menyodorkan manusia pada pilihan dan keharusan untuk memilih. Hal itu nyata sejak manusia terjaga di pagi hari, dimana sinar mentari menyadarkannya untuk mengambil keputusan memilih bangun atau tetap tidur? Dari pilihan sederhana seperti bangun tidur sampai pilihan yang pelik dialami manusia, manusia dalam hidupnya harus terus berkutat mempertimbangkan apa yang menjadi pilihan mereka. Di sinilah ketegangan hadir dan dirasakan manusia; saat harus memilih antara yang ini atau yang itu. Ketegangan itu baru akan berakhir ketika ia memutuskan dan mengambil pilihan. Walaupun ‘toh ternyata menyisakan ketegangan direlung hatinya yaitu kecemasan atas keputusannya itu adalah sebuah pilihan yang tepat. Memiliki pilihan yang tepat merupakan hal yang diinginkan walaupun bukanlah hal yang mudah. Sebab, dalam keterbatasan serta kecenderungan yang ada dalam dirinya seringkali membuat manusia salah dalam menentukan pilihan. Dalam berbagai potret kehidupan, kita dapat melihat bagaimana manusia acapkali memilih hal-hal yang nampak menyenangkan dan meminimalis penderitaan. Sehingga, bukan hal yang baru bagi kita jika seseorang kemudian memilih bukan berdasarkan pertimbangan yang baik dan benar. Menentukan pilihan dengan pola pertimbangan yang menyenangkan serta menghindar dari penderitaan (baca : tidak sesuai dengan keinginan) semacam itu membuat banyak orang tidak melakukan yang seharusnya dan sepantasnya. Sehingga, munculah berbagai hal negatif sebagai akibat dari pilihan-pilihan tidak tepat tersebut. Contoh sederhananya seperti saat seorang memilih tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas hanya karena alasan memperpendek waktu tempuh maka perbuatan egoisnya membuat kacau lalu lintas dan
106
bisa menimbulkan kecelakaan bagi dirinya dan orang lain. Untuk itulah, sebuah kesadaran membuat keputusan memilih pilihan yang tepat berdasarkan pertimbangan yang baik dan benar adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya dimiliki manusia demi kebaikan manusia itu sendiri (baik bagi dirinya dan yang lain disekitarnya). Dititik inilah permintaan Raja Salomo untuk meminta hati yang paham menimbang perkara menjadi satu hal penting yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Salomo memberikan teladan bagi kita untuk mengambil pilihan tepat dengan dasar pola pertimbangan yang baik dan benar (bagi dirinya dan yang lain disekitarnya). Ia mengajarkan sebuah pengorbanan diri demi hal yang lebih besar dengan memilih memintakan hikmat agar bisa menjalankan fungsinya sebagai raja, dibandingkan mengecap kenikmatan hidup seorang raja dalam limpahan kekayaan seperti yang dikejar banyak orang. Dalam pilihannya tersebut Salomo menunjukkan pada kita bagaimana memilih yang terbaik diantara yang nampak baik (hikmat diantara panjang umur dan kekayaan). Salomo menolong kita untuk juga dapat mengatasi kemanusiaan kita (egois) dengan memikirkan sesuatu yang lebih besar daripada keinginan pribadi serta memikirkan dampak yang akan diakibatkan dari pilihan tersebut (baik bukan hanya untuknya tapi juga baik untuk rakyatnya dan baik dimata Tuhannya). Sebab dibalik permohonan Salomo tersebut nyata bagi kita bahwa ada kesadaran akan kebertanggung-jawabannya terhadap yang lain. Hal yang menarik dalam pilihan Salomo untuk berhikmat adalah ketiadaan perasaan negatif di dalamnya; tersirat dalam jawaban Tuhan bahwa pilihan tersebut adalah pilihan yang mendatangkan damai sejahtera bagi semua pihak, baik Salomo dan umat Tuhan. Disinilah kita kita menemukan satu gambaran lengkap bagaimana pilihan dengan hikmat Allah adalah sebuah pilihan tepat yang mendatangkan damai sejahtera. Kiranya apa yang Raja Salomo tunjukan menjadi bagian perenungan saudara-saudari dalam memilih pilihan-pilihan hidup. Maukah Saudara memilih dengan hikmat Allah? (MRM)
107
TANYA “MENGAPA?” dimuat di Warta Jemaat 11 Maret 2012
(Sebuah refleksi sederhana atas Yohanes 18 : 12-20)
S
uatu hari Nasrudin dari istrinya pulang dan mendapati rumah mereka telah dimasuki pencuri. Segala sesuatu yang berguna dibawa kabur sang pencuri, “Ini semua salahmu.” kata istrinya, “karena kamu selalu merasa yakin bahwa pintu rumah sudah terkunci sebelum kita pergi”. Para tetangga juga turut berkomentar: “Kamu sih tidak mengunci pintu-pintu,” ujar seorang tetangga. “Heran. Kenapa kamu tidak membayangkan apa yang bakal terjadi?” ujar yang lain. “Kunci-kunci ternyata sudah rusak dan kamu tidak menggantinya,” kata orang ketiga. “Sebentar,” kata Nasrudin, “tentunya, aku bukan satu-satunya orang yang bisa kalian salahkan.” “Lalu, siapa yang harus kami salahkan kalau bukan engkau?” teriak orang-orang dengan gemas...“Lho? Kok bukan para pencuri itu?” kata Nasrudin Konyol tapi menohok itulah kekhasan kisah Nasrudin seperti yang saya kutip kali ini. Saat membacanya, kita menjadi tertawa dibuatnya; tertawa melihat kepolosan Nasrudin tapi sekaligus juga tertawa pahit karena perkataan Nasrudin menghujam tepat pada persoalan hidup kita. Sebuah pertanyaan substansial ditanyakan Nasrudin di saat jadi bulan- bulanan kemarahan banyak orang disekelilingnya. Ia bertanya kenapa dia dan bukan si pencuri yang jelasjelas bersalah dipersalahkan. Pertanyaan mendasar seperti itulah yang membawa kita berjumpa dengan kenyataan dan kemudian ikut bertanya : mengapa??? Ya, mengapa orang-orang yang melakukan perbuatan salah tidak dipersalahkan atau bahkan nampak tidak merasa bersalah ? Satu jawaban tegas saya goreskan disini bahwa biasanya hal itu terjadi tidak lain karena ada konspirasi
108
orang-orang jahat yang sudah kehilangan rasa malu dan respek pada kebenaran. Kondisi itu terlihat jelas tengah dihadapi Yesus dalam Yohanes 18 : 12 - 20 yang mencantumkan cuplikan kisah proses peradilan Yesus. Disana disingkapkan konspirasi Hanas dan Kayafas serta orang-orang Yahudi untuk mempersalahkan Yesus demi sebuah tujuan lain selain mengungkap kebenaran. Suatu konspirasi jahat kaum elitis yang melibatkan banyak orang, telah menunjukkan betapa beraninya dan tidak tahu malunya mereka melancarkan aksinya dihadapan seluruh rakyat (dan Allah). Lihat saja, bagimana Kayafas berbicara seolah-olah ia pemilik kehidupan hingga dapat menasihatkan pembunuhan (Yesus) atas nama kebaikan orang banyak. Lewat perkataannya itu kita dapat merasakan bahwa ia tidak mempersoalkan pembunuhan pada hakikatnya adalah sebuah perbuatan keji dan berdosa. Kayafas seakan menganulir perbuatan membunuh adalah dosa dengan alasan politis yaitu kondisi keamanan bangsa yang terancam sepak terjang pelayanan dan pemberitaan Yesus. Demi tujuannya ia menghalalkan segala macam cara sehingga keadilan bahkan Allah sekalipun (yang menjadi saksi perbuatannya) bukan menjadi bagian yang dipertimbangkannya. Jelas, Kayafas telah kehilangan rasa malu melakukan dosa serta kehilangan rasa hormat pada Tuhan Allah sang pemilik kehidupan sebab ia menyepelekan harga satu nyawa. Gambaran inilah yang menunjukan pada kita bagaimana kehilangan rasa malu membuat seorang manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Kehilangan rasa malu menjadi gerbang yang terbuka untuk lahirnya perbuatan-perbuatan dosa. Kehilangan rasa malu membuat manusia menghancukan kehidupan dan menjadi musuh Tuhan. Untuk itulah dalam masa Prapaskah ketiga ini kita diajak menjadi seorang yang kenal rasa malu untuk berbuat dosa sehingga selalu terhindar dari perbuatan tidak patut. Kita diajak untuk senantiasa mawas diri sehingga menata diri agar hidup layak dimata Tuhan dan sesama. Dan biarlah dengan demikian hidup kita mendatangkan hormat bagi Tuhan. Amin (MRM)
109
KETIDAKJUJURAN VS INTEGRITAS dimuat di Warta Jemaat 18 Maret 2012
K
ata integritas berasal dari kosa kata Bahasa Inggris : “integrity”. Kata “integritas” tidak dijumpai dalam Alkitab Bahasa Indonesia. Dalam Alkitab Bahasa Inggris – King James Version ditemukan enam belas ayat dalam Perjanjian Lama yang memakai kata “integrity” namun kata “integrity” tersebut tidak ditemukan dalam Perjanjian Baru. Apa makna kata integritas menurut Alkitab? Untuk mengetahui makna kata integritas menurut Alkitab, kita dapat membandingkan isi dari keenam belas ayat tersebut yang terdapat dalam Alkitab Bahasa Indonesia (terbitan LAI) dengan Alkitab Bahasa Inggris (King James Version). Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mempergunakan kata tulus, tulus ikhlas, ketulusan, kesalehan, tidak bersalah, dan bersih kelakuan untuk kata “integrity” yang juga dipergunakan dalam Alkitab Bahasa Inggris (King James Version). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “tulus” sebagai sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak purapura; tidak serong Jadi orang yang memiliki integritas adalah orang yang jujur, memiliki ketulusan, kesalehan, bersih kelakuan dan hatinya serta tidak berpura-pura. Itulah karakter yang dimiliki oleh Yesus Kristus, Panutan kita. Orang-orang itu datang dan berkata kepada-Nya, “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran.” (Markus 12:14a) Sekarang ini Indonesia berada dalam masa yang suram. Setiap saat – pagi, siang dan malam, lewat media elektronik dan media cetak, kita menyaksikan berbagai karakter manusia yang berlawanan dengan makna kata integritas itu. Berbagai media komunikasi dan informasi membawa karakter-karakter itu ke dalam rumah, ruang keluarga bahkan ke ruang
110
tidur kita. Karakter tidak jujur, tidak tulus, merasa tidak pernah salah, munafik, kelakuan kotor, pura-pura, dan serong bertebaran di mana-mana. Salah satu penebarnya adalah orang-orang terkemuka dan tokoh-tokoh di berbagai bidang.
Bila setiap saat menyaksikan karakter buruk maka orang dapat terpengaruh dengan karakter buruk tersebut. Terutama anak-anak, remaja dan pemuda, mereka sangat mudah terpengaruh untuk “meneladani” karakter buruk tersebut. Anak-anak dan kaum muda akan berpendapat bahwa karakter buruk itu adalah norma masa kini, karena pelakunya adalah kaum terkemuka dan tokoh idola yang hidupnya terlihat enak, sukses dan mewah. Pada masa sekarang ini, setiap orang tua memiliki tugas yang teramat berat yaitu mendidik orang muda (anak-anak) sehingga integritas tertanam dalam hati setiap anak-anak supaya mereka dapat hidup berbahagia di sepanjang hidupnya. Amsal 22:6 menuliskan: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”. Masyarakat di Perjanjian Lama (bangsa Israel) memiliki panduan untuk mendidik semua orang, termasuk untuk kaum muda dan anak-anak yang tetap berlaku bagi kita di zaman ini. Kita mengenalnya sebagai “Sepuluh Perintah Allah”. Ada sepuluh hal yang setiap saat wajib diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui teladan dan perkataan, yaitu: 1. Jangan punya Allah lain selain Aku; 2. Jangan membuat patung untuk disembah; 3. Jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia; 4. Ingatlah hari Sabat dan kuduskanlah; 5. Hormatilah ayah ibumu; 6. Jangan membunuh; 7. Jangan berbuat cabul; 8. Jangan mencuri; 9. Jangan bersaksi dusta pada sesama; 10. Jangan ingini milik sesamamu. Untuk mendukung para orang tua dalam mendidik anak-anak dan kaum muda, gereja menyelenggarakan pelayanan Sekolah Minggu, pelayanan remaja dan pemuda. Para orang tua diundang untuk memotivasi dan menfasilitasi anak-anak, remaja dan pemuda untuk mengikuti pelayananpelayanan ini. Confucius pernah berkata: “The strength of a nation derives from the integrity of the home”. Mendidik anak-anak dan orang muda, baik di rumah maupun di gereja, merupakan kewajiban kita sebagai warga negara untuk membangun negara Indonesia yang kuat. (IH) 111
SOMBONG, NO! RENDAH HATI, YES! dimuat di Warta Jemaat 25 Maret 2012
K
esombongan atau berperilaku sombong adalah salah satu dari enam perkara yang dibenci Tuhan- demikian kitab Amsal 6:16-17 & Amsal 8:13. Mengapa demikian?. Karena kesombongan atau sifat sombong sering merendahkan orang lain (bahkan selalu) yang menyebabkan orang lain tersebut tersakiti bukan saja oleh perkataanperkataan orang sombong tersebut tetapi juga dengan tindakantindakannya yang sangat meremehkan orang lain, itu sebabnya Tuhan sangat tidak menyukai orang-orang yang sombong (Mazmur 101:5) Kesombongan atau sikap sombong sering terjadi pada orang yang merasa dirinya pandai (2 Korintus 8:1), mereka yang memiliki harta yang banyak atau yang berkuasa (Wahyu 13:5). Seperti yang dilakukan Herodes di dalam Injil Lukas 23:8-12, dengan sombongnya dia merasa berhak untuk menista dan mengolok-olok Yesus. Hal yang sama banyak terjadi pada tokoh-tokoh masa kini, baik di pemerintahan (eksekutif), legislatif, yudikatif, maupun pelaku ekonomi bahkan para selebriti. Semoga tidak ada diantara jemaat GKI Gunung Sahari.
Sesungguhnya kesombongan atau sikap sombong timbul dari hati orang yang tidak takut Tuhan atau tidak mengasihi Tuhan (Markus 7:22, Roma 11:20; 1 Korintus 13:3). Tetapi ketika kedahsyatan Tuhan tiba, manusia yang sombong akan direndahkan, dan kesombongan mereka akan dilenyapkan, Ayub 33 : 17. Kerendahan hati atau sikap rendah hati adalah salah satu sikap yang disukai oleh Tuhan, itulah sebabnya Allah mengasihani orang yang rendah hati (Amsal 3:34; Yakobus 4:6; 1 Petrus 5:5). Tuhan senantiasa menghiburkan, membimbing orang-orang yang rendah hati dan mengajarkan jalanNya kepada mereka. (2 Korintus 7:6; Yesaya 25:9). Sesungguhnya kerendahan hati atau sikap rendah hati adalah milik setiap orang yang telah menyerahkan hatinya kepada Tuhan (Mazmur 149:4, Mikha 6:8; Mazmur 69:33) dan Yesus Kristus adalah teladan yang sempurna dalam kerendahan hati. (Matius 11:29).
112
Itulah sebabnya orang-orang yang rendah hati setia melayani Tuhan, menunjukkan perhatian kepada orang lain, menganggap yang lain lebih utama dan penyayang. (Kisah Rasul 20:19; Roma 12:16; Filipi 2:3); Banyak hal yang membuat orang-orang yang rendah hati berbahagia, antara lain: Mereka itu akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah–limpah. Mereka akan menerima pujian, mereka akan memiliki kekayaan, kehormatan dan kehidupan (Mazmur 37:11; Amsal 29:23; 15:33; 22:4). Karenanya, setiap orang yang percaya kepada Tuhan dianjurkan untuk mencari kerendahan hati, mengenakan kerendahan hati, dan selalu hidup dengan rendah hati. Kalau kita mengaku sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, apakah kita sudah memiliki kerendahan hati dan selalu hidup dengan rendah hati ???!!! (NG)
113
BETHPAGE
AWAL YANG MENGGEMBIRAKAN DAN AKHIR YANG MENGECEWAKAN dimuat di Warta Jemaat 3 April 2011
B
ethpage dalam bahas Ibrani berarti rumah buah ara awal, di tempat ini Tuhan Yesus pernah mengutuk pohon Ara yang tidak menghasilkan buah, yang Yesus dapati daripadanya hanyalah daun daun belaka. Buah ara awal memang buah yang mengecewakan, sebab buah ara awal tidak tumbuh menjadi buah yang sempurna melainkan ia gugur dan layu ketika ia berujud bakal buah. Pohon Ara berbuah awal pada bulan maret menjelang orang-orang Yahudi merayakan Paskah. Bukan sebuah kebetulan apabila peristiwa pohon Ara yang mengecewakan, yang dikutuki Tuhan Yesus itu diikuti dengan sikap orang-orang Yahudi yang mengecewakan, mirip seperti pohon Ara yang berbuah awal. Coba kita perhatikan bagaimana sikap umat Allah ketika menyambut Tuhan Yesus dalam Markus fasal 11. Mereka menyambut Tuhan Yesus bagaikan menyambut Raja yang dinantikan. Orang-orang mengalasi keledai yang ditumpangi Yesus dengan pakaian mereka, banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan bahkan mereka menyebarkan ranting-ranting hijau yang berasal dari ladang menjadi permadani bagi sang Raja yang sedang datang. Orang-orang yang ada di depan dan yang ada di belakang berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Diberkatilah kerajaan yang datang, kerajaan bapak kita Daud, Hosana di tempat yang maha tinggi. Tapi selang beberapa hari orang-orang yang sama berseru dengan penuh kemarahan: salibkanlah Dia, salibkanlah Dia! (Markus 15:13) Kisah buah ara awal yang mengecewakan kini terjadi dengan umatnya. Mereka yang menyambut-Nya sebagai Raja dalam hitungan hari berubah menjadi beringas dan berteriak salibkan Dia dan memperlakukan Yesus sebagai penjahat, pemberontak dan pendosa yang lebih layak berada di atas tiang salib ketimbang di atas kemegahan sebuah tahta kerajaan.
114
Mengapa umat Allah dalam waktu sekejap berubah pikiran, mengapa umat Allah memberikan harapan palsu, di awal memberikan pengharapan yang menggembirakan tapi diakhir kisah memberikan kekecewaan yang dalam. Mereka berbuat demikian oleh karena mereka tidak menaklukan keinginan mereka di bawah kehendak Allah. Maka ketika kehendak Allah tidak seperti apa yang mereka inginkan yang keluar dari kehidupan umat-Nya bukan buah ara yang sedap, tapi buah ara yang kecut dan buah ara yang gugur sebelum ia menjadi besar. Peristiwa yang terjadi di minggu sengsara yang dijalani Yesus bisa terjadi dalam kehidupan banyak orang percaya. Apabila orang-orang percaya tidak menaklukan keinginannya di bawah kehendak Allah. Suatu saat hidup kita akan mengecewakan Tuhan. Minggu prapaskah yang ke empat ini kita lalui dengan refleksi kita atas pelbagai keinginan yang bergejolak di dalam hati kita, keinginan untuk menumpuk harta dan benda, keinginan untuk meraih tahta dan kuasa, keinginan untuk meninggikan nama besar, harkat dan derajat. Adakah kita rela menaklukan semua keinginan yang bergejolak dalam hati kita di bawah kehendak Allah. Ketika Yesus dikecewakan oleh buah Ara awal Yesus mengutuki buah ara tersebut. Kata-katanya begitu keras: Jangan lagi seorangpun makan buahmu untuk selama-lamanya! Tapi ketika Yesus dikecewakan oleh umat-Nya, yang mengalir dari hati dan mulutnya bukan kutuk dan sumpah tetapi yang mengalir daripada-Nya adalah kasih dan pengampunan. Yesus berkata:” ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” . Kalau kita telanjur dikuasai oleh pelbagai keinginan yang menyesatkan. Allah member kesempatan kepada kita untuk membaharuinya agar kita di dapati bukan sebagai pohon ara yang berbuah awal, tapi pohon ara yang berbuah sesungguhnya (STP)
115
HIDUP MENCUKUPKAN DIRI dimuat di Warta Jemaat 20 April 2011
D
unia kita acapkali menjadi dunia yang menggoda kita untuk menjadi pribadi yang konsumtif, hidup kita di kelilingi oleh iklan dan promosi. Berbagai produk di iklankan sedemikian rupa sehingga tampak memberikan jaminan bagi siapapun yang memilikinya menjadi lebih baik. Hal itulah yang kemudian menggoda kita untuk dapat memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi dari yang kita inginkan. Kondisi demikian semakin didukung dengan kecenderungan banyak orang yang selalu memberikan penghargaan kepada sesamanya berdasarkan penilaian-penilaian kwantitatif lebih daripada penilaian kwalitatif. Kehidupan kita selalu di ukur dari apa yang kelihatan, dari semua yang nampak: kepemilikan, rumah tinggal atau asisories yang kita pakai. Sehingga mereka yang memiliki rumah besar dan kendaraan yang mewah di anggap lebih terhormat daripada mereka yang memiliki rumah sederhana dan kendaraan yang bersahaja. Karena hal itulah banyak orang berlomba dan terus mengupayakan semua yang bersifat materi dan kepemilikan. Karena hanya dengan memiliki semua itulah maka kita merasa mendapatkan bagian lainnya: kehormatan, penghargaan dan bahkan kedudukan sekalipun kita tidak memiliki posisi dan jabatan yang seharusnya. Oleh karena itu hidup mencukupkan diri menjadi sesuatu yang penting untuk kita upayakan. Hidup mencukupkan diri akan membuat kehidupan yang kita jalani menjadi lebih indah dan menyenangkan. Saat itulah diri kita tenang dan jiwa kita damai, kita tidak terganggu dengan beragam perasaan yang menekan dan mengganggu kita untuk dapat memiliki dan menikmati secara berlebih. Hidup mencukupkan diri bukanlah hidup yang kekurangan tetapi juga tidak hidup dalam sikap berlebih. Hidup mencukupkan diri adalah kemampuan untuk menikmati seberapapun yang Tuhan percayakan bagi kita dengan rasa sukacita. Ketika Tuhan memberi banyak maka kita mensyukurinya tetapi tetap sadar sehingga tidak lupa diri karena kelebihan yang Tuhan anugerahkan
116
– sementara itu ketika Tuhan memberi lebih sedikit maka kita tetap dapat menyatakan terimakasih kita serta jauh dari keluh kesah. Kita dibebaskan dari sikap serakah serta tamak tetapi sekaligus juga terhindar dari perasaan minder hanya karena tidak memiliki apa yang kita harapkan untuk kita raih. Hanya dengan cara itulah maka setiap kita dapat menghayati kehadiran Tuhan dalam setiap peristiwa kehidupan yang kita alami. Hidup mencukupkan diri juga akan memampukan setiap kita untuk dapat menghargai sesama kita: bagaimanapun tampak luarnya, dan seberapapun kepemilikannya. Hidup mencukupkan diri membuat diri kita mampu melihat sesama sebagai sesama dengan mata yang tulus. Bahwa setiap orang adalah sama dan setiap orang adalah berharga, karena memang begitulah hakikat setiap orang. Yang membedakan setiap orang bukanlah kepemilikan dan hartanya tetapi perannya di hadapan sesamanya. Dengan relasi yang demikian maka kita hadir dalam kehidupannya dan dia hadir dalam kehidupan kita secara pribadi. Saat itulah kita benar-benar menikmati perjumpaan antar pribadi dengan indah. Hidup mencukupkan diri adalah keutamaan yang membuat diri kita menikmati perjumpaan dengan Tuhan tetapi sekaligus juga perjumpaan dengan sesama. Bersyukur kepada Tuhan untuk semua yang dianugerahkan tetapi juga bersahabat dengan sesama yang Tuhan hadirkan. Oleh karena itu, hidup mencukupkan diri adalah pilihan yang mengantar setiap pelakunya menikmati kebahagiaan. Selamat menjalani pola hidup mencukupkan diri. (IKM)
117
BERKARYA BAGI TUHAN dimuat di Warta Jemaat 28 Agustus 2011
D
alam teologia Paulus, tempat ibadah orang percaya bukan hanya terjadi di gereja. Tempat ibadah orang percaya adalah di tengah dunia ini dan seluas dunia ini. Betapun tinggi dan tebalnya tembok gereja tidaklah dapat menjadi pembatas bagi orang percaya untuk menjalankan ibadahnya. Bukan hanya liturgy dan tata ibadah yang menjadi sarana bagi orang percaya untuk menjalani ibadahnya . Betapun tertata apik dan indah harmonisasi musik yang dipakai dalam sebuah ibadah, tetap tidak akan mungakin mengikat orang percaya untuk mengekspresikannya. Bagi Paulus tempat ibadah orang percaya adalah di tengah-tengah dunia ini dan seluas dunia ini. Semua aktivitas dan kesibukan yang kita jalani setiap harinya adalah bagian dari ibadah kita. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma melalui Roma 12:1, Paulus menuliskan: “Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah, aku menasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yangberkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati”. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kehidupan yang kita jalani dengan segala eksistensinya adalah bagian dari ibadah. Dunia dan berbagai pengalaman yang kita jalani dan alami adalah arena dimana pengabdian dan ibadah kita kepada Allah itu kita nyatakan. Dunia dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya adalah tempat dimana kita menyatakan karya kita bagi Allah dalam hidup kita. Konsep teologia yang Paulus sampaikan membuat kuasa Injil mampu menembus, menerangi, mewarnai dan mentransformasikan dunia Dengan demikian berkarya bagi Allah dalam dunia ini dapat di lakukan apapun pekerjaan dan profesi yang kita jalani. Luther menentang pemikiran yang beranggapan bahwa melayani Tuhan atau berkarya
118
bagi Tuhan berarti seseorang harus meninggalkan pekerjaannya dan kemudian memasuki biara untuk menjadi seorang Pendeta atau rohaniawan. Luther pernah di tanya: “Bagaimana hidup mengasihi dan melayani Tuhan – bagaimana hidup mengasihi dan melayani sesama?” Mendapat pertanyaan demikian Lutherpun menjawab: “Kita mengasihi dan melayani Tuhan – kita juga mengasihi dan melayani sesama in Commune per vocatione (dalam masyarakat melalui panggilan kita” Semua ini menjadi sesuatu yang penting karena tidak sedikit orang yang memisahkan antara kerja dan ibadah, antara segala sesuatu yang ada di dalam ruang gereja dengan semua yang ada di luar gereja. Kita lupa bahwa panggilan kita adalah di tengah-tengah masyarakat , dalam kerja sehari-hari, dan berkarya bagi Allah adalah mewujudkan panggilan itu secara kongkrit di kehidupan yang kita jalani. Eka darmaputera dalam pandangannya pernah berkata bahwa seorang ibu rumah tangga yang bekerja di dapur menjadikan dapurnya itu sebagai “altar”, sementara itu berbagai peralatan dapur yang digunakannya itu dijadikan sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan dan melayani sesamanya. Dengan demikian menjadi semakin jelas bagi setiap kita: siapapun kita, apapun profesi kita senantiasa berkesempatan untuk dapat berkarya bagi Tuhan dalam hidupnya. Karena siapapun kita serta apappun profesi kita dipanggil untuk hal tersebut. Oleh karena itu jadilah teladan dalam setiap profesi yang kita jalani, hadirkan diri kita secara bermakna, berkaryalah bagi Tuhan. Angkatlah hati kita bagi Tuhan dan turunkanlah tangan kita bagi sesama kita. (IKM)
119
PIMPINAN ROH KUDUS DAN KERAMAHTAMAHAN dimuat di Warta Jemaat 4 November 2012
Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, (Gal.5:25)
S
uatu hari seorang laki-laki paruh baya mengeluh keras sambil terlihat masih marah-marah. “Gila ! Saya sudah mengemudi dengan cara yang benar dan berada pada jalur yang benar. Eh, ada pengendara sembrono yang memotong seenaknya ! Menjengkelkan sekali, membuat saya harus marah dan mengumpat kasar. Sampai di rumah, eh, anak juga membuat jengkel, karena nilainya kurang memuaskan. Emosi saya memuncak, saya luapkan kemarahan kepadanya. Hari ini, benarbenar hari yang menjengkelkan!Saya sebenarnya ingin tidak marah-marah, tetapi bagaimana? Situasinya sangat menjengkelkan ! Memang saya akhirnya menyesal, kenapa anak di rumah menjadi sasaran ...” Mempraktekkan hidup dalam keramahtamahtamahan (hospitality) dalam realitas dunia yang serba tidak menentu ini memang tidak mudah. Respon kita terhadap berbagai situasi tidak selalu mudah untuk menampakkan keramahtamahan. Mungkin seperti pengakuan seorang laki-laki paruh baya dalam kisah di atas. Kita sebenarnya memiliki keinginan untuk merespon segala sesuatu dalam keramahtamahan. Namun terkadang, dalam situasi tertentu, keinginan tersebut hilang dan digantikan oleh keinginan lain. Keinginan yang lain, yang bukan keramahtamahan itu terasa lebih kuat dan bahkan mungkin terasa lebih masuk akal atau beralasan. Memang, mungkin respon kita ketika situasi dianggap serba menjengkelkan pilihannya terasa begitu sempit. Malah terkadang, kita sepertinya hanya melihat satu pilihan untuk diungkapkan. Dalam situasi yang kita anggap
120
serba menjengkelkan, kita merasa bahwa kemarahan atau tindakantindakan lain yang tidak ramah itu mendapatkan pembenarannya. Kita terkadang lalu berfikir, adalah sah, benar, dapat dimengerti bahwa kita marah-marah ! Pemikiran ini tidaklah berlebihan, memang dapat dimengerti. Namun, juga harus disikapi secara hati-hati. Karena terkadang, apa yang kita anggap sah, benar atau dapat dimengerti itu tidak selamanya sebuah pilihan yang membawa kebaikan. Pilihan lakilaki paruh baya dalam kisah di atas dapat dimengerti, namun pilihan itu berakibat tidak baik dalam relasinya dengan anaknya. Bukankah justru ketika seorang anak sedang terpuruk, ia amat memerlukan dukungan untuk menguatkannya agar bangkit. Kemarahan yang dibawa dari pengalamannya di jalan oleh laki-laki paruh baya dalam cerita di atas lalu ditumpahkan kepada anaknya tentu sekalipun dapat dimengerti, adalah tidak baik. Laki-laki paruh baya tersebut menyadari bahwa keinginannya tidak selalu berjalan lurus dengan kenyataan. Ia ingin mempraktekkan keramahtamahan dalam merespon berbagai peristiwa, namun ada semacam kekuatan lain yang mengalahkannya. Di sinilah kita menyadari betapa kita memerlukan pertolongan Roh Kudus. Mempraktekkan keramahtamahan dalam kehidupan kita sebagai murid Kristus tidaklah mudah, namun bukan berarti mustahil. Kekuatan Roh Kudus adalah kekuatan ilahi yang disediakan untuk menjadi penolong bagi kita. Persoalannya adalah, apakah kita selalu ingin dan tunduk pada pimpinan Roh Kudus atau tidak. Bersedia atau menyediakan diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus berarti kita percaya untuk meletakkan pilihan kita itu di bawah otoritas Roh Kudus. Keputusan dan pilihan yang diletakkan dibawah otoritas Roh Kudus itu akan berbuahkan: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (Gal. 5:23). Roh Kudus adalah Roh Keramahtamahan, marilah kita selalu menyediakan diri untuk dipimpin ileh Roh dalam segala situasi. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh(Gal.5:25). (DS)
121
122
KR IS T EN
DI TENGAH
Keluarga & Komunitas
PERHIASAN YANG TAK AKAN PERNAH HILANG dimuat di Warta Jemaat 26 Juni 2011
(I Petrus 3: 3 - 4) “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepangngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah”.
P
erhiasan pada umumnya disukai banyak orang, baik pria maupun wanita khususnya yang wanita. Perhiasan yang memiliki nilai harga jual yang tinggi seperti logam mulia atau batu mulia antara lain: emas, berlian, intan; 1. Berfungsi sebagai investasi, 2. Berfungsi menaikkan status pemakainya, 3. Berfungsi mempercantik diri khususnya bagi kaum hawa (wanita). Dalam hal ini 1 Petrus 3: 3 menyebutnya perhiasan lahiriah yang dapat hilang dimakan usia, karena seseorang sudah lanjut usia. Secantik apapun perhiasan yang dipakainya tidak mengubahnya menjadi muda dan cantik secara lahiriah. Tidak demikian dengan perhiasan batiniah (inner beauty) tidak akan hilang dimakan usia, tetapi justru semakin lanjut usianya semakin cemerlang. Itulah sebabnya wanita yang demikian pada usianya yang lanjut disebut succesfull aging (masa tua yang berhasil), contohnya adalah wanita yang diceritakan di dalam Amsal 31: 10 - 31 seorang wanita yang membuat suaminya terhormat, anak dan suaminya berbahagia, seisi rumahnya sejahtera. Fungsi pertama dari perhiasan yang mempunyai harga jual yang tinggi adalah investasi, dan Fungsi kedua sebagai petunjuk status orang yang memakainya berlaku bagi pria dan wanita. Perhiasan lahiriah yang berupa investasi dan menunjuk status pemakainya juga dapat hilang dengan cara diambil orang lain (dicuri) dan dirampok, tertinggal disuatu tempat atau rusak karena kecelakan. Perhiasan batiniah yang tidak dapat hilang dapat dimiliki pria dan wanita sebagai investasi ketika seseorang ayah
124
& ibu mendidik anak-anaknya melalui keteladanan hidup yang sesuai dengan Firman Tuhan, bukankah Efesus 6: 4 berkata “Dan kamu, bapabapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Anak yang terdidik demikian pada masa depan menjadi anggota masyarakat yang bernilai bagi sesama hidup. Suami yang memiliki perhiasan yang tidak dapat hilang adalah suami yang mengasihi istri, seperti diri sendiri, bijaksana, dan melindunginya. Sebab perkataan Kristus diam di dalam hatinya sehingga segala sesuatu yang dikatakan dan dilakukan, semuanya dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur kepada Allah, sehingga hidupnya nyata sebagai gambar dan rupa Allah (statusnya terangkat kembali) perhiasan yang tak akan pernah hilang yakni perhiasan batiniah. Berbahagialah setiap kita yang memiliki perhiasan batiniah yang tidak dapat hilang sebagai investasi, menunjukkan status dan memperindah kehidupan! (NG)
125
DOA SEORANG AYAH dimuat di Warta Jemaat 10 Juni 2012
Tuhanku, jadikanlah anakku sebagai seorang yang cukup mengetahui kelemahan dirinya berani menghadapi kala ia takut tegar dan tidak terpuruk dalam kekalahan yang tulus rendah hati dan penyantun dalam kemenangan Tuhanku, jadikanlah anakku seorang yang tahu akan adanya Engkau dan mengenal diri-Mu sebagai dasar segala pengetahuan Tuhanku, bimbinglah ia bukan di jalan yang lapang dan mudah tetapi di jalan yang penuh desakan, tantangan, dan kesukaran ajarilah ia, agar ia sanggup berdiri teguh di tengah badai
dan belajar mengasihi mereka yang tak berhasil Tuhanku, jadikanlah anakku orang yang berhati lembut bercita-cita luhur sanggup memerintah dirinya sebelum memimpin orang lain mengejar masa depan tanpa melupakan masa lalu Sesudah semuanya membentuk dirinya kumohon, ya Tuhanku rahmatilah ia dengan rasa humor sehingga serius tak berlebihan berilah keramahan, kesederhanaan, dan kesabaran Ini semua, ya Tuhanku dari kekuatan dan keagunganMu Jika sudah demikian, ya Tuhanku beranilah aku berkata : tak sia-sia aku hidup sebagai ayahnya Mac Arthur
Untaian kata di atas adalah kutipan terjemahan doa seorang Jenderal Amerika yang terkenal yaitu Jenderal Douglas Mac Arthur. Ia adalah salah seorang jenderal yang memimpin pasukan dalam Perang Dunia ke II. Doa ini cukup terkenal sebab dalam kesederhanaan kata yang diungkap terkandung sebuah keteladanan hidup yang kuat tentang bagaimana menjadi seorang ayah yang baik bagi anaknya. 126
Arthur mengajarkan bagi kita bagaimana menjadi ayah, seorang ayah tidak cukup hanya memikirkan yang bersifat material tetapi lebih dari itu memperhatikan kualitas pribadi yang terbangun lebih penting. Hal itulah yang mendorong dirinya meminta Tuhan memberikan kecukupan pengalaman sehingga anaknya menjadi pribadi yang tangguh menghadapi tantangan kehidupan tanpa kehilangan kasih dan pengenalan akan Tuhan. Hal serupa kita temukan dalam diri Daud yang juga memperhatikan kualitas pribadi Salomo anaknya. Raja Daud dalam 1 Tawarik 29 : 19 secara khusus menyebut nama Salomo ketika berdoa. Dalam doanya Daud berharap Tuhan memberikan ketulusan hati sehingga anaknya tetap setia berpegang pada perintah dan perkataan Tuhan. Untuk itu kita melihat bahwa sebagai seorang ayah, Daud tidak hanya memikirkan materi menjadi modal kelangsungan hidup anaknya, tetapi lebih dari pada itu ia berharap anaknya peka terhadap tuntunan tangan Tuhan. Kita dapat melihat bagaimana Daud dalam doanya seolah-olah tengah memberikan sebuah warisan yang berharga bagi Salomo anaknya yaitu kehadiran Tuhan menjadi sumber kehidupan. Jelas bagi kita saat ini, ketika melihat keteladanan hidup Mac Arthur maupun Raja Daud bahwa menjadi orang tua atau secara khusus menjadi seorang ayah maka tugas dan tanggung jawab kita tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan materi anak-anak yang kita kasihi, akan tetapi lebih dari itu pengenalan akan Tuhan menjadi satu instrument yang akan mereka dapatkan dari keteladanan hidup kita pula. Sehingga kemudian mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan berharga dimata Tuhan dan sesama. Dan nampaknya hal tersebut telah diupayakan oleh Arthur maupun Raja Daud, akan tetapi bagaimana dengan saudara? apa yang tengah saudara lakukan selama ini sebagai orang tua? adakah waktu saudara habis untuk memenuhi hanya kebutuhan materi anak-anak yang dikasihi? ataukah saudara juga memperhatikan pemenuhan kebutuhan spiritual mereka? tercukupkan lewat keteladanan yang saudara upayakan? biarlah waktu yang akan memberikan kita jawaban atas semua tanya tersebut. Sebuah doa saya layangkan menutup refleksi kita saat ini : “Kiranya Tuhan menolong Saudara agar mampu menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang Tuhan percayakan sehingga mereka berkelimpahan hikmat dan rahmat Tuhan. Amin”. (MRM) 127
BELAJAR DARI MERTUA dimuat di Warta Jemaat 13 November 2011
K
etika banyak orang berkeluh kesah tentang mertua, alkitab malah memperlihatkan seorang pemimpin besar yang belajar dari mertua. Keberhasilan Musa memimpin bangsa yang keras kepala, bangsa yang sering memberontak terhadap Tuhan tidak lepas dari peran seorang mertua. Kalau saja mertua Musa, Imam Yitro, tidak memberikan nasihat dan kalau saja Musa tidak mau menimbang nasihat mertuanya sudah dapat dibayangkan, pasti Musa akan putus asa karena kehabisan tenaga, ataukeluarga Musa akan menjadi berantakan karena sering ditinggalkan pemimpin keluarga untuk mengurus urusan bangsa Israel yang tidak pernah selesai. Bukankah di masa kini banyak kita menemukan pemimpin berhasil dalam kehidupan pekerjaannya, ia sukses mengendalikan pelbagai perusahaan, ia sanggup menghidupkan perusahaan yang hampir bangkrut, tapi sayang ia gagal memimpin kehidupan keluarganya? Betapapun Musa telah dewasa, telah berumah tangga tapi ia tetap menaruh hormat kepada mertuanya sama seperti orangtuanya sendiri. Bukankah hukum yang ke lima dari sepuluh perintah Tuhan yang diterimanya mengajak setiap orang untuk menaruh hormat kepada orangtua? Sekarang Musa mempraktekkannya, dan hasilnya sungguh luar biasa. Betapapun Musa mengenyam pendidikan tinggi di kota On, Heliopolis sekarang, pendidikan setingkat universitas, dimana di sana dipelajari astronomi, geografi, astrologi, ketabiban dan juga kepemimpinan, yang diperuntukkan bagi kalangan elit warga Negara Mesir dan kalangan keluarga Istana Kerajaan. Tapi Musa tidak segan belajar dari seorang Midian seorang yang tinggal di padang gurun yang mungkin pendidikannya tidak lebih tinggi dari Musa.
128
Musa sedang mempraktekan kerendahatian. Belajar itu tidak pernah selesai, belajar bisa dilakukan melalui banyak hal dan pelajaran bisa di dapat dari siapa saja termasuk orang yang tidak berpendidikan, sebab banyak rahasia-rahasia yang Tuhan sembunyikan kepada orang-orang pintar tetapi Tuhan bukakan kepada orang-orang sederhana (Matius 11:25). Dalam Keluaran 18 mertua Musa, Imam Yitro memberikan nasihat tentang Manajemen dasar yang sekarang banyak dipraktekan dalam pelbagai perusahaan dan organisasi. Yitro mengajarkan tentang pendelegasian wewenang agar tugas dan tanggungjawab yang diemban oleh seorang pemimpin dapat diemban dengan penuh tanggung-jawab, efektif dan efisien. Dibalik nasihat sederhana yang disampaikan oleh Yitro terdapat asumsi-asumsi dasar yang penting tentang kepemimpinan. Pertama, tidak ada seorang pemimpin yang sanggup menjadi pemimpin yang berhasil tanpa kehadiran orang-orang yang ada disekitarnya. Yang kedua, kepemimpinan itu bukan bakat tapi kepemimpinan itu dilatih dan dikembangkan. Dan oleh karena itu yang ketiga adalah tidak ada seorang pemimpin yang tidak bisa digantikan. Oleh karena itu, Yitro memberi nasihat kepada Musa untuk melakukan pengkaderan kepemimpinan dengan lima materi penting: pertama pemahaman dasar tentang ketetapan-ketetapan dan keputusankeputusan yang sudah ada. Yang kedua, melakukan sosialiasasi implementasi ketetapan dan keputusan. Yang ketiga, Job description. Yang keempat, pembinaan karakter: orang yang takut akan Tuhan, orang yang dapat dipercaya orang yang jujur. Asumsi dasar yang ada dibalik pemikiran orang padang gurun ini kini banyak dipakai oleh para ahli manajemen. Kalau saja Musa keras kepala, dan memandang Mertua sebagai orang yang ingin ikut campur urusan pekerjaannya, atau kalau saja Musa merendahkan Mertuanya karena pendidikannya maka niscaya Musa tidak akan sanggup untuk memimpin bangsa yang besar dan Musapun tidak akan sanggup memimpin keluarganya (STP)
129
MENJADI SEPERTI SUMPIT dimuat di Warta Jemaat 11 September 2011
(Sebagai sebuah usaha perenungan sederhana atas Galatia 6 : 2- 10)
H
anya seorang diri bukan pilihan bagi sebatas sumpit sebab walaupun terbuat dari perak nan elok ia tidak akan berharga sesuai dengan fungsinya. Sebab sumpit harus dihadirkan sepasang, saling berdampingan dalam keselarasan gerak, saling bertumpu dan beradu untuk sebuah tujuan. Untuk itu maka keberadaan yang lain adalah hal mutlak agar ia dapat mengaktualisasikan diri secara optimal. Karena itulah bagi sumpit berdua lebih baik dari pada seorang diri. filosofis sumpit tadi memberikan sebuah pencerahan bagi kita saat membaca pesan Rasul Paulus dalam surat Galatia 6; sebuah pesan yang hendak menyadarkan jemaat di Galatia keberadaan yang lain bagi dirinya. Paulus mengingatkan secara serius jemaat di Galatia tentang betapa pentingnya kebersamaan dalam Kristus mendapat perhatian; yang artinya menghadirkan konsekuensi setiap orang dalam jemaat saling memperhatikan dan saling menolong sehingga terciptalah kehidupan persekutuan yang ideal Dalam suratnya Rasul Paulus meletakkan fondasifondasi yang kokoh dalam kehidupan jemaat Galatia sebagai saudara dalam Kristus sehingga mereka memiliki kerendahan hati yang teruji serta kasih yang nyata. Rasul Paulus mengecam perbuatan pengabaian yang lain dan penonjolan diri dalam kehidupan berjemaat sebab semua hal itu hanya akan mendatangkan kesia-siaan bahkan hukuman dari Allah. Nampak nada keras dalam tegurannya terhadap jemaat Galatia agar mereka saling menolong satu dengan yang lainnya, khususnya jika melihat saudaranya
130
tergelincir dosa maka yang lain harus melakukan tindakan pertolongan dan bukan melakukan hal sebaliknya dengan menghakiminya dan merasa lebih baik diatas kejatuhan saudaranya tersebut. Rasul Paulus memperingatkan jemaat bahwa setiap orang punya kemungkinan mengalami kejatuhannya juga sehingga satu waktu pembalikan situasi bisa terjadi maka tak jemu-jemulah menolong saudaramu karena satu waktu kita butuh pertolongan mereka juga. Untuk itulah maka Rasul Paulus menegaskan bahwa masing-masing orang dalam jemaat memiliki tanggung jawab kepada yang lain hingga mereka harus saling memperhatikan sebagai sebuah perwujudan kasih persaudaraan dan ketaatan pada Kristus. Karena itulah berdua lebih baik dari pada seorang diri. Dengan demikian, maka kita dapat merefleksikan kenyataan adanya aku dan yang lain serta pemikiran berdua lebih baik dari pada seorang diri yang dimunculkan sumpit dan Rasul Paulus dalam suratnya bahwa teryata aku ada karena kamu ada sebab tanpa kamu aku menjadi tiada arti. (MRM)
131
MEMBANGUN KOMUNITAS PEMULIHAN dimuat di Warta Jemaat 16 Oktober 2011
(Lukas 5:17 - 26) Christopher Langan, seorang super jenius yang memiliki IQ 195 (bandingkan dengan Einstein yang ‘hanya’ 150), mampu menjawab soal-soal bahasa asing dengan sempurna hanya dengan membaca cepat buku teks yang akan diuji 2-3 menit sebelumnya. Lulus SMA dengan nilai sempurna walau ia sempat tertidur ketika mengerjakannya. Sayang, Langan tidak mampu menggunakan talenta dan kepintarannya yang luar biasa tersebut dan ia ‘terdampar’ di pedesaan di Missouri dan bekerja di sebuah rumah peternakan. Mengapa bisa demikian? Salah satu sebabnya adalah “Langan selama ini menjalani kehidupannya seorang diri, ia tidak pernah menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar (komunitas), yang dapat memberikan dorongan positip kepadanya. Padahal tidak ada seorangpun - entah ia atlet professional, artis terkenal, milyuner, atau seorang jenius yang berhasil seorang diri saja” . Sebagaimana Allah berkata “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”, hasil dari 148 studi selama 3 dekade yang melibatkan 300,000 orang telah menunjukkan betapa benarnya Firman Allah tersebut. Tingkat kematian awal orang-orang yang tidak punya kehidupan sosial ternyata 50% lebih tinggi dari mereka yang hidup dalam komunitasnya. Mereka yang rutin bersosialisasi dengan teman dan keluarga rata-rata usianya 3,7 tahun lebih lama dibandingkan mereka yang hidupnya terisolasi. Prof. Uchino yang memimpin studi di Univ. Utah dan North Carolina menyimpulkan bahwa kehadiran teman dan orang-orang di sekitar kita mendorong kita untuk ‘mengusahakan gaya hidup yang lebih sehat, pergi ke dokter dan berolahraga dan membuat kita merasa dihargai dan memiliki sesuatu yang berharga. Merasa terlindungi dan lebih tenang. Dalam Lukas 5:17-26 kita melihat kesembuhan yang dialami oleh seorang penderita lumpuh tidak terlepas dari peran serta teman-temannya, yang bersedia dengan ‘susah payah’ membawa orang tersebut ke hadapan Tuhan Yesus. Dengan susah payah karena mereka 132
harus membongkar atap rumah terlebih dahulu sebelum menaikkan dan menurunkan orang tersebut beserta dengan tempat tidurnya ke tengahtengah ruangan. Tanpa kesediaan dan upaya yang ikhlas serta tanpa dukungan iman dari teman-temannya, orang yang lumpuh tadi akan tetap menderita kelumpuhan seumur hidupnya. Menjadi bagian dari sebuah komunitas (Latin: communio, artinya kehidupan bersama atau persekutuan) merupakan realitas yang dialami oleh setiap orang Kristen. “Kamu adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (1 Kor. 12:27). Bagaimana mungkin kita dapat menjadi anggota tubuh jika kita tidak terhisab pada tubuh itu. Oleh sebab itu kita memerlukan gereja sebagai komunitas iman. Gereja diberikan Allah untuk: a) Menolong pembentukan jadi diri kita sebagai pengikut-pengikut Kristus, b) Menyediakan makanan rohani melalui Firman dan Perjamuan Tuhan, c) Memberikan teladan dalam kesalehan untuk kita ikuti dan mendisiplin kita manakala kita mengambil jalan yang salah, d) Membantu kita dalam melewati penderitaan, memberikan penghiburan dan kekuatan di waktu-waktu sukar dan memulihkan kita dari kelemahan dan ‘cedera’ tubuh, mental dan rohani, Gereja menyediakan semua perhatian dan kepedulian ‘seorang ibu’ dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya menjadi semakin serupa seperti Yesus. Namun semua itu membutuhkan peran serta kita semua, anda dan saya: pikiran, bakat, tenaga, waktu dan uang kita. Orang Kristen yang hidup dalam kesendirian bagaikan sebongkah arang yang panas menyala (pada mulanya), namun kemudian menjadi dingin dan padam. Orang percaya yang tinggal dan ambil bagian dalam komunitas iman (gereja), seumpama pohon-pohon di hutan belantara yang saling mendukung satu sama lain dan tetap tegak berdiri menyongsong badai. Ia seperti seekor domba yang merasakan kehangatan dan keamanan manakala tetap berada dalam kelompoknya di bawah pengawasan sang gembala. (RS) - The church is not a select circle for a few but a spiritual centre open to all.
133
LIMA BAHASA KASIH dimuat di Warta Jemaat 16 September 2012
K
asih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. (1 Kor.13:4-7). Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat atau berkelompok. Sejak awal penciptaan, Allah sendiri berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej.2:18). Menurut para ahli sosial, keluarga adalah unit masyarakat yang paling kecil sekaligus paling tua dalam peradaban kita sebagai manusia. Sebagai mahkluk sosial, maka manusia perlu berkomunikasi, berelasi atau berinteraksi satu sama lain. Bahasa adalah cara dan sekaligus media bagi manusia untuk berkomunikasi,berelasi dan berinteraksi dengan yang lain. Dalam konteks filosofis yang lebih mendalam, sesungguhnya bahasa adalah cara bagaimana manusia hadir bagi sesamanya. Melalui bahasa, seseorang sedang ingin menyampaikan sesuatu dari dirinya kepada orang lain. Bagi Paulus, sesuatu yang mutlak harus ada dalam diri murid Kristus adalah kasih. Paulus berkata: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.”( I Kor.13:1). Kasih inilah yang harus dikomunikasikan atau disampaikan seorang murid Kristus kepada yang lain. Jika bahasa adalah cara bagaimana seseorang hadir bagi sesamanya, maka berbahasa kasih berarti menjadikan kasih itu sendiri sebagai cara seseorang hadir bagi sesamanya. Dalam kontek keluarga, bagaimana kasih itu dihadirkan secara nyata dalam sebuah relasi ? Secara sederhana, bagaimana caranya kasih itu diungkapkan sehingga orang yang kita kasihi benar-benar merasa bahwa ia dikasihi ? Gary Chapman,Ph.D, melalui riset yang dilakukan bertahun-tahun, menemukan
134
bahwa ada 5 bahasa kasih. 5 bahasa kasih itu dituliskannya dalam buku The Five Love Languages. 1. Bahasa kasih yang pertama adalah kata-kata dukungan atau kata-kata yang meneguhkan (Words of Affirmation). Seseorang merasa bahwa dirinya sungguh dikasihi atau mendapat cinta kasih ketika ia menerima kata-kata positif yang memberikannya dukungan atau peneguhan. Sebaliknya, kata-kata cacian, atau katakata negatif lainya, akan membuat seseorang merasa dibenci dan tidak dikasihi. 2. Bahasa kasih yang kedua adalah momen yang berkesan (Quality Time). Seseorang akan merasa dikasihi jikalau orang yang mengasihinya menyediakan waktu yang berkualitas baginya. Ketika seorang suami menyediakan waktu untuk istrinya, ketika orang tua menyediakan waktu untuk anak-anaknya maka akan terciptalah momenmomen yang berkesan. 3. Bahasa kasih yang ketiga adalah menerima hadiah (Receiving Gifts). Seseorang merasa bahwa ia dikasihi ketika orang yang mengasihi memberinya hadiah atau pemberian. Dengan menerima hadiah,pemberian seseorang merasa dirinya diperhatikan dan istimewa. 4. Bahasa kasih yang keempat adalah pelayanan (Acts of Service). Sesorang merasakan bahwa ia dikasihi ketika ia mendapatkan bantuan,pelayanan atau pertolongan. Tindakan pelayanan yang nyata ini menyampaikan pesan yang kuat bahwa ia mengasihi orang yang dilayani atau dibantunya. Membuatkan kopi bagi pasangan, memberi selimut ketika anak sedang terlelap, menyipkan pakaian seragam atau membantu mengancingkan pakaian adalah contoh-contohnya. 5. Bahasa kasih yang kelima adalah sentuhan fisik (Physical Touch). Sesorang akan merasa mendapatkan cintakasih ketika menerima sentuhan secara fisik. Sentuhan fisik merupakan sebuah ekspresi kasih yang kuat. Sentuhan fisik bisa berupa pelukan,ciuman, tepukan di pundak, mengelus atau membelai. Kasih adalah ‘pesan’ Allah untuk dikomunikasikan. Bahasa atau cara mengungkapkan kasih bisa bermacam-macam. Anda tinggal memilih dengan cara yang mana untuk menyampaikan kasih anda sehingga orang yang anda kasihi benarbenar merasa dikasihi. Roh Allah memampukan kita sebagai umat-Nya Selamat memasuki Bulan Keluarga. Selamat menggunakan lima bahasa kasih (dav’s).
135
136
K R ISTEN
Mengasihi YA N G
MEMBERI DENGAN KEMURAHAN HATI dimuat di Warta Jemaat 31 Juli 2012
“Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Lukas 6:36)
P
ada suatu sore hari, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sepedanya menyalip di sela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah di perempatan jalan di Jakarta. Di sepedanya, ia membawa cukup banyak bungkusan. Nah, sambil mengayunkan sepedanya yang berwarna biru muda dan sambil menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma, sampai polisi, ia bagikan bungkusan-bungkusan tersebut. Seorang pegawai Kristen yang kebetulan mengamati apa yang dilakukan oleh anak kecil bersepeda itu menjadi penasaran. Ingin tahu, apa sesungguhnya yang sedang dilakukan oleh anak kecil itu. Karena itu, ia pun membuntuti anak kecil itu. Ketika berhasil mendekatinya, pegawai itu pun menyapa anak kecil itu, “Dik, apa saya boleh tanya?” “Boleh, Pak!”, jawab anak itu. “Mau tahu saja, tadi yang adik bagikan kepada tukang koran, penyapu jalan, peminta-minta, bahkan polisi itu apa ya?”, tanya pegawai itu lagi. “O, itu bungkusan nasi dengan sedikit lauk pauk di dalamnya. Emangnya, mengapa, Pak?”, jelas anak itu, sambil bertanya karena sedikit heran. ”Akh, nggak apa-apa, Dik! Saya hanya tertarik dengan apa yang adik lakukan kepada orang-orang yang kelihatannya adik kenal dengan amat baik”, jawab pegawai itu. Sekalipun tidak diminta, anak kecil itu mulai bercerita. ”Dulu, Pak, saya dan ibu saya itu pernah menjadi orang-orang
138
tuna wisma. Setiap hari hidup di Jakarta hanya dari belas kasihan banyak orang. Itu sebabnya, kami sering tidak makan. Kalau siang, kami kepanasan, dan kalau malam kami kedinginan. Apa lagi kalau musim hujan, kamipun sering kehujanan”, begitu anak kecil itu memulai ceritanya. Seperti orang yang sedang merenung, iapun melanjutkan ceritanya, ”Kalau mengingat hidup kami dulu, Pak, sungguh amat menyedihkan!. Namun keadaan berubah, ketika ibu saya bisa membuka warung nasi. Sejak itu kehidupan kami pun mulai membaik. Ibu saya suka mengingat dan mengingatkan saya, bahwa masih banyak orang yang susah, seperti kami dulu. Karena itu, jika Tuhan memberi kami rezeki yang cukup, mengapa kami tidak berbagi dengan mereka?. Ibu saya juga selalu katakan, supaya hidup kami biarlah bisa berarti bagi banyak orang, sebab saat Tuhan memanggil kita dari kehidupan di dunia ini, hanya satu saja yang bisa kita bawa, yaitu kasih dan segala perbuatan kasih kami kepada sesama. Karena itu, Ibu juga suka menasihati saya, supaya jika memang bisa berbuat baik kepada sesama pada hari ini, janganlah kami tunda-tunda sampai esok hari, sebab esok hari mungkin saja kami sudah tiada”. Ketika menyadari bahwa ia sudah bercerita panjang lebar tentang dirinya dan keluarganya, anak itupun berkata, ”Begitulah, Pak, tentang saya dan ibu saya! Maaf, ceritanya jadi kepanjangan!”, dan sambil mengayuh lagi sepedanya, iapun masih sempat berujar, ”Sudah ya, Pak! Saya mau membagikan bungkusan-bungkusan ini lagi kepada orang lain!”. Sepeninggal anak kecil itu, pegawai Kristen itu pun jadi berpikir, ”Ya, boleh jadi keadaan setiap orang berbeda. Secara materil, selalu ada yang kaya, ada yang cukupan saja, dan ada yang miskin. Tetapi, untuk menjadi kaya dengan perbuatan baik, setiap orang cukup memiliki hati yang penuh kasih dan hidup yang penuh perbuatan baik, atau kesukaan memberi bantuan dengan kemurahan hati kepada sesama, dengan apa yang ada (dan bukan dengan apa yang tidak ada!) padanya. Sebab, kalau tidak karena kemurahan Tuhan yang pertama-tama dan selalu dialami, bukankah setiap orang tidak mungkin tetap hidup sampai kepada hari ini? Kemurahan Tuhan itulah yang selalu dapat menjadi dasar bagi setiap orang untuk mau dan suka juga bermurah hati kepada sesamanya”. Seperti kata firman-Nya, “Hendaklah kamu murah hati (kepada sesamamu), sama seperti Bapamu (pertama-tama dan selalu) adalah murah hati” (Luk 6:36). Karena itu, marilah kita nyatakan kemurahan Tuhan (besar atau kecil, banyak atau sedikit) di dalam hidup kita lewat pemberian bantuan atau kebaikan kepada sesama kita, dengan kemurahan hati kita juga. (RT)
139
MENGHADIRKAN DAMAI SEJAHTERA dimuat di Warta Jemaat 19 Juni 2011
”... keadilan dan damai sejahtera akan berciumciuman”. (Mazmur 85:11)
T
iga puluh tahun yang lalu, di Houston Amerika Serikat, dua orang pria ditangkap polisi atas tuduhan telah merampok dan memperkosa seorang perempuan berusia 26 tahun. Salah seorang dari pria yang ditangkap itu bernama Cornelius Dupree Jr. (51). Pengadilan yang mengadili kedua pria itu, akhirnya menyatakan bersalah keduanya, dan menjatuhkan hukuman di penjara selama 75 tahun kepada mereka. Pria yang satu menerima keputusan pengadilan itu sebagai hukuman yang adil terhadap dirinya atas perbuatan salahnya, tetapi tidak demikian dengan Dupree. Dari sejak awal penangkapan sampai dengan penghukuman dirinya, Dupree merasa tidak melakukan perbuatan salah yang dituduhkan atasnya oleh pengadilan. Ia justru merasa bahwa ketidak-adilan pengadilan telah merampas damai sejahtera dalam hidupnya. Karena itu, Dupree telah dan terus berjuang untuk memperoleh keadilan. Biarpun permohonan bandingnya telah tiga kali ditolak oleh pengadilan, semangatnya tidak surut untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Nah, lewat pembuktian mutahir dengan pemeriksaan DNAlah, akhirnya memang terbukti bahwa Dupree tidak bersalah. Selama ini, ternyata ia telah salah ditangkap oleh Polisi, dan telah salah diadili serta dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Makanya, pada awal tahun 2011 ini, Dupreepun telah dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan yang sama. Untuk itu, ia tidak hanya dibebaskan dari penjara, tetapi ia juga berhak menerima ganti rugi sebesar 80.000 dollar AS (Rp
140
720 juta,-) untuk setiap tahun yang ia jalani di dalam penjara. Jika Rp 720 juta itu dikalikan 30 tahun, berarti Dupree berhak atas uang Rp 21,6 milyar. Lewat keadilan itu, Dupree dapat meraih kembali damai sejahtera yang telah raib dari dalam hidupnya selama 30 tahun! Kasus Dupree mengajarkan kepada kita, bahwa tanpa keadilan, damai sejahtera akan sulit untuk diwujud-nyatakan di dalam kehidupan. Ketidak-adilan malah telah menghilangkan damai sejahtera dari kehidupan Dupree dan banyak orang lainnya yang t’ak terhitung jumlahnya. Seperti kata pemazmur, ”keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman”, sesungguhnya keadilan dan damai sejahtera itu menyatu. Keduanya hanya bisa dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, dalam kenyataannya, hanya dengan menegakkan keadilan, kita dapat mewujudkan damai sejahtera itu di dunia. Dahulu, di negeri Cina, konon pernah hidup dan memerintah seorang kaisar yang adil. Suatu hari sang kaisar mengalami musibah yang menyebabkan pendengarannya hilang. Ia menangis tersedu-sedu. Kerabat dan para menterinyapun ikut menangis. Tetapi kaisar berkata: “Aku menangis bukan karena pendengaranku hilang, tetapi karena aku tidak bisa lagi mendengarkan keluhan dan pengaduan rakyatku”. Karena itu, kaisarpun berkata, “Mulai saat ini perintahkan kepada semua rakyatku untuk tidak memakai baju merah, kecuali mereka yang terzalimi dan terampas hak-haknya, supaya aku tetap bisa melihat, memperhatikan dan menolongnya, karena aku tak bisa lagi mendengarkannya.” Lihat, orang yang baik tak pernah kehilangan akal untuk berbuat adil!. Sebab orang yang baik selalu tahu, bahwa hanya dengan berbuat adil, ia dapat menghadirkan damai sejahtera itu di dalam hidupnya, dan di dalam hidup sesamanya. Karena itu, orang yang baik selalu berjuang keras untuk menegakkan keadilan di dalam hidupnya bersama dengan sesama. Selamat menjadi orang yang baik, yang selalu mempejuangkan keadilan demi pewujudan damai sejahtera dalam kehidupan ini!. Dengan cara itu pula, kita dapat menjadi seorang Kristen yang baik di hadapan sesama kita dan di hadapanNya. (RT) 141
PEKA DAN PEDULI TERHADAP SESAMA YANG SAKIT dimuat di Warta Jemaat 1 Mei 2011
“Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu”. (Efesus 4:2b)
S
INDU adalah seorang anak perempuan India yang pintar berusia delapan tahun. Seperti orang India pada umumnya, nenek dan ibunya percaya sekali, bahwa makan nasi dicampur dengan yoghurt (curd rice) itu punya khasiat mendinginkan tubuh. Karena itu, ibunya sekali lagi dengan pelbagai cara memaksa Sindu untuk makan nasi yoghurt. Sindu pun menangis, sebab sejauh itu ia justeru sangat tidak menyukainya. Ketika ayahnya ikut memaksa, sambil menghapus air mata dengan tangannya, Sindu berkata, ”Ayah, saya akan makan nasi yoghurt ini bukan hanya beberapasendok, tetapi semuanya akan saya habiskan! Tapi ... tapi ... (sejenak tampak agak ragu-ragu) bolehkah saya minta sesuatu sama ayah, jika nasi yoghurt ini bisa saya habiskan?” ”O, pasti sayang! ... Asal kamu habiskan nasi yohurtmu, sehingga ibumu tidak terus-menerus cemberut wajahnya”, jawab ayahnya. ”Betulkah, ayah? Janji ya, ayah akan memenuhi satu permintaan saya!”, sahut Sindu. ”Ya, pasti!”, kata ayahnya memastikan. ”Lalu, bagaimana dengan ibu?”, rengek Sindu. ”Ya, sama dengan ayah!”, kata ibunya sambil menepuk tangan Sindu. ”Pokoknya, ayah ibu ngga usah kuatir! Saya ngga akan minta barang yang mahal koq, ”tambah Sindu. Lalu Sindu pun dengan penuh penderitaan menghabiskan nasi yoghurt yang sangat tidak disukainya. Dalam hati,
142
ayahnya marah sekali kepada istri dan ibunya, karena sudah memaksa lagi Sindu untuk makan sesuatu yang sangat tidak disukainya. Setelah itu, Sindu pun menyampaikan permintaannya, ”Nah, ayah ibu, sekarang saya minta, agar kepala saya boleh digunduli! Mesti boleh ya? Khan ayah ibu udah janji!”. ”Hahhh?”, seru ayah ibunya hampir berbarengan, karena kaget. ”Kamu gila apa? Masak sebagai anak perempuan, kepalamu mau dibotakin?”, seru ibunya sangat berkeberatan. Neneknya pun menimpali, ”Jangan sampe terjadi di keluarga ini ada anggotanya yang kepalanya dibotakin! Kayaknya dia terlalu banyak nonton TV yang merusak kebudayaan kita deh!”. Ayahnya coba membujuk, ”Sindu, mengapa kamu tidak minta sesuatu yang lain? Kami semua khan akan sedih melihat kamu botak!”. ”Tidak, yah, tidak! Tidak ada keinginan saya yang lain! Saya ingin kepalakudibotakin! Dan, mengapa tidak boleh? Ayah ibu khan sudah janji!”, begitu pinta Sindu sambil menangis. Melihat hal itu, ayahnya berkata, ”Janji kita harus kita tepati”. ”Apakah kamu sudah gila?”, tanya ibu dan nenek Sindu. ”Tidak! Tidak gila!”, jawab ayah Sindu, ”Sebab kalau kita menjilat ludah kita sendiri, dia malah tidak akan menghargai diri kita lagi”. Akhirnya, kepala Sindu dibotakin. Setelah itu, wajahnya tampak bundar dan matanya kelihatan lebih besar. Hari Senin, ayahnya mengantar Sindu ke sekolah. Sebelum masuk halaman sekolah, ia melambaikan tangannya sambil tersenyum kepada ayahnya. Saat itulah, ayahnya melihat seorang anak lelaki turun dari sebuah mobil sambil berteriak, ”Sindu ... Sindu ...! Tolong tunggu saya!”. Hal yang mengejutkan ayahnya adalah ternyata kepala anak lelaki itu pun botak. Ketika sedang berpikir, ”Apakah sekarang lagi zamannya orang dibotakin kepalanya?”, tiba-tiba seorang ibu sudah menghampiri ayahnya di samping mobil, dan tanpa memperkenalkan diri, ia berkata, ”Anak anda, Sindu, benar-benar hebat! Anak lelaki yang berjalan dengan Sindu adalah anak saya, Harish. Ia menderita leukimia (kanker 143
darah). Bulan lalu, Harish tidak mau pergi ke sekolah, karena kepalanya botak setelah dikemoterapi. Ia takut diejek teman-teman sekelasnya. Sindu memang berkata kepada Harish, bahwa dia akan membantu Harish untuk mengatasi ejekan teman-temannya itu. Namun, saya tidak menyangka, betul-betul tidak menyangka, kalau caranya adalah dengan mengorbankan rambutnya yang indah untuk Harish, anak saya”. Dan, ibu itu pun menangis terharu. Mendengar hal itu, ayahnya Sindu pun tak dapat menahan airmatanya. Ia amat terharu, tapi sekaligus bangga, karena anaknya ternyata begitu peka dan begitu peduli terhadap sesamanya yang menderita sakit. Sesuatu yang semakin jarang ditemui dalam kehidupan bersama seharihari, bahkan di kalangan orang yang mengaku percaya kepada Tuhan sekalipun. Ya, seperti Sindu, dengan pelbagai cara dan bentuk, kita pun dapat menyatakan kasih kita kepada sesama yang sakit di dalam hidup kita. Seperti nasihat Paulus, ”Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu”. (RT).
144
MENGAMALKAN KASIH PERSAUDARAAN YANG TULUS IKHLAS dimuat di Warta Jemaat 3 Juli 2012
Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguhsungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu. (I Petrus 1:22).
K
asih persaudaraan yang tulus ikhlas diterjemahkan dari kata dalam bahasa Yunani: = anupokritos philadelphia. Artinya, kasih persaudaraan yang tidak berpura-pura, munafik atau sekedar dibuat-buat. Kasih persaudaraan yang tulus ikhlas juga bukan kasih yang dipergunakan sebagai alat untuk menutupi maksud tertentu yang tersembunyi. Kasih persaudaraan yang tulus ihklas adalah kasih persaudaraan yang murni (sincere) yang tidak hipokrit atau munafik. Dalam zaman kitab Wahyu, ada satu jemaat yang dipuji oleh Tuhan karena kesetiaannya pada firman Tuhan yaitu Jemaat Filadelfia (Wahyu 3:7-13). Sesuai dengan namanya, Filadelfia, jika di tengah kesulitan yang dahsyat dan ancaman penganiayaan mereka tetap setia kepada Tuhan, maka hampir dipastikan bahwa semuanya itu menunjukkan kemurnian kasihnya. Jemaat Filadelfia menjadi jemaat yang saling mengasihi dan saling membantu untuk berbagi suka dan duka dalam kondisi apapun. Di zaman kita sekarang ini, di manakah kasih persaudaraan yang tulus ikhlas itu berada ? Di manakah keramahtamahan (hospitality) yang tulus ikhlas (sincere) itu masih dapat kita temukan ? Bukankah dunia kita sekarang ini wajahnya amat sarat dijejali dengan ketidakramahan. Kalaupun toh ada keramahtamahan, maka acapkali keramahtamahan itu merupakan alat atau kedok untuk memperdaya orang lain. Di Jakarta sering kita dengar korban penipuan. Penipupenipu ini memperdaya korbannya dengan berkedok keramahtamahan. Modusnya bermacam-macam. Sang penipu menemui seseorang calon korbannya, 145
memperkenalkan diri sebagai seorang yang dermawan yang hendak membantu. Minta diantarkan ke gereja atau lembaga sosial untuk menyalurkan dana. Padahal, si penipu ini menjadikan keramahtamahan itu hanya kedok untuk memperdaya calon korbannya. Di zaman ini, banyak hal yang amat sarat dengan muatan kepentingan (interest). Panggung politik malah jauh-jauh hari sudah memberikan jargon bahwa ketulusan adalah barang langka. Inilah jargonnya: Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Perhimpunan atau perkumpulan, perkawanan ataupun persaudaraan dibangun oleh kepentingan dan berdiri di atas kepentingan sebagai dasarnya. Pertanyaanya sekali lagi, di manakah kita menemukan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas itu ? Di manakah ketulusikhlasan (sincere) itu masih kita temukan ? Jawabannya, adalah masih banyak. Di dunia ini, masih banyak orang yang mengamalkan ketulusikhlasan itu. Almarhum Mbah Marijan, menerima gaji sebagai abdi dalem Juru Kunci Merapi sebesar Rp.3.710 sebulan. Sejak pangkatnya naik sebagai penewu, gajinya kemudian naik menjadi Rp.5.600. Dan slip gaji terakhirnya naik secara luar biasa menjadi Rp.81.000. Namun, jangan tanya soal kesetiaannya dalam tugas. Ia tulus ikhlas mengabdi. Masyarakat Indonesia dan dunia menyaksikan bagaimana ia kemudian gugur, karena kesetiaannya pada tugas sekalipun ia bergaji puluhan ribu saja. Di mana kita menemukan ketulusikhlasan? Sebagai pengikut Kristus, pertama- tama kita menemukannya di dalam Kristus itu sendiri. Ia rela turun dari sorga, rela menjadi manusia, rela untuk menderita, berkurban dan mati untuk menyelamatkan dunia. Ia tulus-ikhlas, tanpa pamrih kepentingan diri. Karena itu, mengamalkan kasih yang tulus ikhlas ini adalah panggilan kita sebagai pengikut-Nya. Sebagai pengikut Kristus, kita tidak pada tempatnya untuk sibuk mencari-cari di mana kasih yang tulus ikhlas itu berada. Sebagai pengikut Kristus kita semua sudah menerima kasih persaudaraan yang tulus ikhlas itu dari Kristus. Ia bersedia menjadikan diri-Nya Sahabat yang rela mengorbankan nyawa. Karena itu posisi kita semestinya adalah bekerja keras mengamalkan atau menghadirkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas itu di mana-mana.Di rumah, di dalam pelayanan, di gereja dan di mana saja. Sehingga di mana kita berada di situlah ketulusikhlasan itu juga ada... Selamat mengamalkannya. (DS)
146
KEHILANGAN ATAU MEMPEROLEH KEHIDUPAN dimuat di Warta Jemaat 8 April 2012
S
ocrates pernah menggambarkan bahwa manusia bukanlah mahluk yang cukup pada dirinya. Manusia selalu membutuhkan orang lain dan kerja sama untuk dapat hidup. Bagi Socrates yang terbaik adalah jika setiap orang melakukan apa yang selayaknya di lakukan. Jika hal itu yang dapat di jaga maka dapatlah dibayangkan bahwa dunia akan aman dan ciptaan akan tentram. Namun yang terjadi bukanlah sebagaimana yang diharapkan, karena pada kenyataannya manusia bukan hanya sulit menghadirkan diri menjadi sahabat bagi sesamanya dan bertanggung jawab dalam fungsinya. Manusia cenderung menjadi “serigala bagi sesamanya”. Manusia juga menjadi species yang dapat melukai dan bahkan membunuh species lainnya tanpa sebab yang jelas. Saat itulah manusia membutuhkan pertolongan bagi dirinya sendiri. Kerusakan manusia sebagai gambar Allah membuat manusia tidak dapat memulihkan dirinya sendiri. Tidak ada peraturan (termasuk di dalam nya Hukum Taurat) yang dapat memulihkan kehidupan manusia di hadapan sang Penciptanya. Tidak ada juga tradisi keagamaan yang mampu menolong manusia untuk menjadi benar dihadapan sesamanya. Dan tidak ada juga perbuatan baik yang mampu membayar semua dosa dan kesalahan yang dilakukan demi untuk menentukan masa depannya. Saat itulah manusia kehilangan kehidupan yang sesungguhnya. Jarak antara manusia dengan Allah semakin lebar dan tidak dapat terjembatani. Manusia juga menjadi terasing dengan Allah, wajah Allah bahkan menjadi wajah yang tampak menakutkan, tidak ramah dan siap untuk memberikan hukuman. Bumi tidak lagi menjadi Firdaus yang nyaman di tinggali, berbagai macam kejahatan dan tindakan yang diwarnai oleh dosa mengisi hampir di setiap ruang di dalamnya. Bumi tidak lagi menjadi surga kebahagiaan bagi setiap mahluk yang tinggal di dalamnya.
147
Konflik karena perebutan sumber daya alam terjadi antar bangsa, antar suku bangsa, antar kelompok terus terjadi dari waktu ke waktu sampai saat ini. Peperangan meledak - sumber daya global terkuras, dan hasilnya adalah kerusakan di mana-mana: kerusakan di darat, di laut, di atmosfer. Munculnya pemanasan global dan pencemaran lingkungan sebagai dampak dari kerusakan manusia. Saat itulah rumah tangga kehidupan milik Allah terancam dalam berbagai macam cara. Kita saat ini hidup dalam era yang penuh dengan paradoks berbahaya. Saat ini 1,5 milyar penduduk planet kita (kebanyakan perempuan, anak-anak dan penduduk asli) hidup kurang dari dua dolar sehari. Setiap hari ada sekitar 24.000 orang meninggal akibat kemiskinan dan kurang gizi. Semakin menakutkan lagi bahwa dalam kurun waktu 20-30 tahun ke depan kita akan kehilangan sekitar 3070% keaneka ragaman hayati di sekitar kita. Prof. John Van Klinekn dari Universitas Groningen Netherlands dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa selepas tahun 2000 setiap satu jam – satu spesies hilang. Semua itu adalah suatu dosa yang secara mendalam melanggar kehendak baik Allah serta kasih setia Allah bagi kehidupan, manusia dan semua mahluk. Saat itulah kegidupan rumah tangga Allah menuju kepada kematian yang sistimatis. Dunia menuju kepada kematian dan kehilangan kehidupan yang dari awal Allah rancangkan. Dan menghayati pemulihan yang Allah lakukan dalam Yesus Kristus lewat kehadiranNya di dunia ini yang di dasari oleh satu alasan yaitu Kasih membuat gereja dan setiap orang Saat itulah kegidupan rumah tangga Allah menuju kepada kematian yang sistimatis. Dunia menuju kepada kematian dan kehilangan kehidupan yang dari awal Allah rancangkan. Dan menghayati pemulihan yang Allah lakukan dalam Yesus Kristus lewat kehadiranNya di dunia ini, yang di dasari oleh satu alasan yaitu Kasih membuat gereja dan setiap orang percaya tidak mempunyai pilihan lain selain menghadirkan kasih itu dalam setiap sendi kehidupan yang dijalaninya. Yaitu dengan sadar mengupayakan kehidupan bagi sesama dan setiap mahluk dalam setiap sikap dan prilaku yang di kerjakannya. Hanya dengan cara itulah kita menghargai anugerah Allah yang di nyatakan dalam kehadiran, kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus di dunia ini. Selamat Paskah bagi setiap kita, selamat mengupayakan kehidupan. (IKM) 148
MENJADI GEREJA YANG MENGHADIRKAN KERAMAHTAMAHAN dimuat di Warta Jemaat 15 April 2012
“Di mana (anggota) GKI Gunung Sahari Hadir, di situ keramahtamahan ada”
G
ereja yang menghadirkan keramahtamahan adalah tema pelayanan kita-GKI Gunung sahari (GKI Gunsa), untuk tahun 2012-2013. Melalui tema ini, ada beberapa sasaran yang hendak kita capai. Pertama, kita ingin agar keramahtamahan menjadi iklim kehidupan gereja kita. Kita merindukan, agar GKI Gunung Sahari sebagai Jemaat urban (kota besar) yang keanggotaannya majemuk dan besar jumlahnya menjadi persekutuaan jemaat yang ramah-tamah dan semakin ramah-tamah. Kita rindu agar setiap orang yang datang bersekutu, mengalami keramahtamahan yang hangat, menyenangkan dan mengesankan. Kedua, kita juga rindu agar keramahtamahan itu tercermin dalam pelayanan. Kita berharap bahwa, setiap pelayanan di GKI Gunsa dijalankan oleh jiwa yang ramahtamah oleh setiap pribadi yang melayani. Ketiga, keramahtamahan itu tertuang dalam program-program. Program-program pelayanan kiranya bukan ada hanya karena rutinitas, namun dilakukan sebagai bentuk keramahtamahan Kristus yang harus diteruskan kepada sesama. Keempat, keramahtamahan dalam praktek kehidupan. Pada akhirnya, kita merindukan agar keramahtamahan menjadi pola hidup kita sebagai warga GKI Gunsa baik di gereja, di dalam keluarga, di tempat bekerja dan di manapun kita berada. Kita rindu agar kehadiran kita sebagai gereja memberi dampak positif yang nyata kepada dunia di mana kita hadir, yaitu hadir dalam keramahtamahan.
149
a. Mengapa harus ramahtamah ? Mengapa kita harus menghadirkan keramahtamahan ? Alasan pertama dan utama adalah karena kita adalah gereja ! Arthur Sutherland mengatakan:”Hospitality is the practice by which the church stands or falls”. Keramahtamahan itulah yang menentukan apakah gereja pantas disebut gereja atau bukan. Gereja tanpa keramahtamahan adalah sebuah kegagalan. Keramahtamahan Kristiani bukan keramahatamahan yang bertujuan untuk sekedar menyenangkan orang lain, atau supaya kita kelihatan baik. Bukan pula sebuah keramahtamahan yang tertuju ke atas kepada orang-orang tertentu yang dihormati, supaya kita dinilai memiliki reputasi baik oleh atasan. Bukan juga sebuah keramahtamahan yang dilakukan sebagai alat pemasaran, agar dagangan laku. Bahkan, keramahtamahan kristiani juga bukan keramahan karena perasaan tidak enak sehingga membiarkan orang lain melakukan apa saja agar kita dianggap baik, tidak usil atau suka campur tangan urusan orang. Keramahtamahan adalah bentuk ungkapan cintakasih Kristus yang tulus iklas yang memang seharusnya diteruskan oleh gereja sebagai tubuh Kristus. b. Dunia kita memerlukan keramahtamahan Jikalau kita memperhatikan realiatas hidup sehari-hari, kita akan menyaksikan betapa dunia ini semakin kehilangan keramahtamahan. Kekerasan, ketidakpedulian,ketamakan, kecurigaan amat mewarnai kehidupan sehari-hari. Jalanan Jakarta yang semakin padat dan semakin semrawut misalnya, adalah pertunjukkan paling nyata di mana orang-orang semakin kehilangan keramahtamahan. Pada umumnya, masing-masing hanya peduli dengan dirinya sendiri tanpa mempedulikan keselamatan atau rasa aman bagi pengguna jalan yang lain. Namun sesungguhnya, keramahtamahan bukan hanya hilang di jalanan, masyarakat kita memang telah lama kehilangan keramahtamahan itu sendiri. Para analis sosial, telah lama mensinyalir bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini adalah masyaraka berprasangka. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. 150
Seorang yang menderita heterophobia akan melihat segala sesuatu yang baru dan berbeda dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam. Dalam masyarakat yang berprasangka demikian ini, konflik dan kekerasan mudah tersulut. Bagaimana dengan situasi di rumah ? Dengan semakin sempitnya waktu untuk bertemu karena kesibukan dan tuntutan tugas, masihkah kehangatan, komunikasi, dan relasi yang akrap serta menyenangkan terjadi ? Agaknya tidak. Kehadiran berbagai perangkat teknologi dan aneka ragam aplikasi jejaring sosial di dalamnya, nampaknya juga telah memberi peran terampasnya kehangatan dan perjumpaan dalam keluarga. Masing-masing telah asik dengan grup SMS, Facebook, Black Berry Messenger dan lain sebagainya. Perjumpaan yang ramahtamah bukan saja menjadi langka, namun bisa jadi telah hilang. Lalu, bagaimana manusia dengan alam sekarang ini ? Agaknya setali tiga uang. Manusia dan alam lingkungannya sudah semakin jauh dari kata bersahabat yang ramah-tamah. Manusia dan alam telah menjadi pihak asing yang saling mengancam. Perilaku manusia telah mengancam kelestarian lingkungan, sebaliknya lingkungan telah menjadi ancaman terhadap keberadaan manusia itu sendiri. Jakarta yang menurut data BPS tahun 2011 memiliki populasi penduduk 12,1 juta di siang hari, dan 9,6 juta di malam hari adalah tempat yang sarat dengan polusi. Menurut data dari Dirlantas Polda Metro Jaya, angka pertumbuhan kendaraan di Jakarta, mencapai 1.130 unit perhari, untuk rata-rata di tahun 2011. Pertumbuhan itu meliputi, sepeda motor 890 unit perhari dan mobil sebanyak 240 unit perhari. Limbah rumah tangga, industri dan polusi asap kendaraan telah sedemikian memprihatinkan. Kabar buruknya, kondisi ini bukan saja terjadi di Jakarta. Pencemaran lingkungan akibat limbah industri dan rumah tangga, polusi udara dan air, telah terjadi juga di seluruh bumi nusantara. Pencemaran itu sendiri telah berada pada tingkat yang memprihatinkan. September 2009 sampai akhir tahun 2011, Bank Dunia mencatat bahwa tingkat polusi udara di Jakarta adalah tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City. LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional151
red) mencatat bahwa Jawa Barat menempati tingkat polusi tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Indonesia juga mencatat angka yang fantastis perihal deforestisasi atau pengrusakan hutan. FAO mencatat bahwa sejak tahun 2000-2005 saja, deforestisasi di Indonesia rata-rata 1,8 juta hektar pertahun. Pengrusakan lingkungan, bukan saja telah menyumbang perubahan iklim, namun juga telah merusak sistim ekosistem. Berbagai jenis hewan telah kehilangan habitatnya dan hidup sebagai mahkluk asing dari alamnya. Ujung-ujungnya, kerusakan alam tersebut telah menyumbang terjadinya krisis lingkungan dalam skala global. Perubahan iklim, pemanasan global telah menjadi realitas di depan mata yang mengancam kehidupan makhluk hidup di dalamnya. c. Kerinduan kita: Meneruskan keramahtamahan Kristus Yesus Kristus, Tuhan kita adalah pribadi yang dipenuhi oleh Roh Kudus yang hadir ke dalam dunia yang majemuk untuk merepresentasikan keramahtamahan Allah. Yesus yang diurapi dengan kuasa Roh Kudus (Lukas 4:1,14, Kis.10:38), adalah representasi keramahtamahan Allah yang menyelamatkan. Dalam keramahtamahan itu, Ia meneruskan kabar baik bagi yang miskin, memberi makan yang lapar, menghibur yang berduka, menyembuhkan yang sakit, mencari yang hilang, menjadi sahabat bagi mereka yang tersisih, memberitakan pembebasan pada tawanan, memulihkan penglihatan bagi yang buta, membebaskan yang tertindas dan menyatakan bahwa tahun rahmat Tuhan sudah tiba ( Lukas 4:18-19). Dalam meneruskan keramahtamahan Allah, Yesus membuka tangan kepada siapapun. Ia membuka hati dan peduli. Ia membuka tangan-Nya untuk meneruskan keramahtamahan Allah kepada siapa saja, tanpa pamrih, tanpa melihat status, bahkan tanpa melihat apakah orang itu baik atau tidak baik. d. Apakah Keramahtamahan Kristiani itu ? Keramahtamahan kristiani adalah cerminan keramahtamahan Kristus. Keramahtamahan dalam perspektif kristiani bukan hanya soal senyuman atau kata-kata tegur sapa. Lebih dalam dari itu, keramahtamahan adalah soal ekspresi atau ungkapan cintakasih yang 152
paling nyata. Keramahtamahan adalah wajah cintakasih yang paling nyata dalam realitas kehidupan. Secara hurufiah, keramahtamahan (hospitality) berasal dari satu kata dalam Bahasa Yunani: philoxenia, kasih ( bagi ) atau mengasihi orang asing ( love of the stranger ), lawannya adalah xenophobia, membenci orang asing. Dalam perspektif kasih kepada orang asing ini, keramahtamahan dimaknai sebagai kehangatan, perlakukan yang penuh hormat (respect) dan kebaikan yang tulus. Karena itu, dalam hospitality atau keramahtamahan, orang asing disambut menjadi tamu yang dihormati, disambut, dan diterima; sementara musuh ditranformasikan menjadi sahabat. e. Profil seseorang kristiani yang ramahtamah Keramahtamahan, pertama-tama adalah bicara manusia sebagi pribadi bukan bicara sistem atau aturan. Keramahtamahan itu dimalai dari diri kita sebagai pribadi murid Kristus yang ramahtamah itu. Jika hidup personal orang Kristen mempraktekkan keramahtamahan Allah seperti Kristus, maka dirinya dicirikan oleh karakter mulia. Karakter mulia itu diuraikan dari setiap huruf yang ada dalam kata hospitality itu sendiri: Humble (rendah hati), Obedient (ketaatan), Sincere (tulus iklas ), Prayerful ( pendoa yang tekun ), Integrated in Integrity (berintegritas atau utuh), Trustworthy ( terpercaya atau dapat dipercaya ), Adopted into God’s Family (melihat yang lain dengan respek sebagai anak Allah), Led by the Spirit (memberi diri dibimbing Roh Kudus), Instrumental in Producing Righteousness (menjadi alat kebenaran ), Thankful ( penuh syukur), Yielded ( berbuah ). Setiap poin indikator pribadi yang ramah-tamah itu akan dibahas dalam sepanjang tahun pelayanan 2012-2013. Marilah kita menjadi pribadipribadi yang ramah-tamah. Selamat menghadirkan keramahtamahan Kristus di manapun kita berada. Semoga di mana GKI Gunsa hadir, di situ keramahtamahan ada. (dav’s).
153
BERBUAT BAIK TANPA PERENCANAAN dimuat di Warta Jemaat 29 Mei 2011
K
etika anda membaca judul di atas maka saya pastikan ada begitu banyak komentar yang dapat dimunculkan, jika “ya” berarti judul yang saya tampilkan mampu membuat anda bertanyatanya, membuat anda penasaran. Dan jika anda penasaran maka saya pastikan kalau anda akan membaca tulisan ini. Bukankah merencanakan perbuatan baik itu juga baik-baik saja….. Saya tidak pernah mengatakan merencanakan perbuatan baik itu salah, Tetapi yang hendak saya katakan adalah: perbuatan baik itu lahir dari ketulusan, perbuatan baik itu tanpa pamrih, keluar begitu saja dalam bentuk tindakan. Perbuatan baik itu ke luar dari kedalaman hati kita dan kembali pada kedalaman hati kita. Perbuatan baik yang sejati tidak pernah berpikir untuk mendapatkan balasan. Oleh karena itu perbuatan baik itu spontan, perbuatan baik itu tanpa perencanaan dan tidak perlu direncanakan. Segala sesuatu yang kita rencanakan pastilah mempunyai tujuan. Seorang pelajar merencanakan jadwal belajar selama masa ulangan umum, tujuan dari semua itu adalah agar dia mendapatkan nilai-nilai yang baik. Seorang pemuda merencanakan pencapaian dalam lima tahun mendatang untuk pekerjaan yang ditekuninya, tujuan dari semua itu adalah kenaikan jenjang dan pendapatan. Sebuah keluarga merencanakan mengambil cuti tahun depan, mereka mempersiapkan segala sesuatunya, semua itu dilakukan dengan tujuan pada saatnya dapat menikmati waktu cutinya dengan menyenangkan. Dengan demikian hati-hatilah dengan merencanakan perbuatan baik, salah- salah perbuatan baik itu bukan lagi menjadi perbuatan baik yang tulus. Bukan tidak mungkin di balik perbuatan baik yang kita rencanakan sesungguhnya kita sedang berharap mendapatkan sesuatu bagi diri kita sendiri dan demi kepentingan kita sendiri. Kita merencanakan perbuatan baik supaya kita mendapat, semakin kita merencanakan
154
semakin kita berharap mendapatkan lebih dari perbuatan baik kita. Jika kita melakukan perbuatan baik yang demikian, maka kita tidak pernah mendapatkan makna apa-apa dari dalamnya. Perbuatan baik yang demikian hanya indah tampak luarnya, namun sesungguhnya tidak ada bedanya dengan sebuah kejahatan. Kita berbuat baik bagi seseorang tetapi sesungguhnya itu dilakukan demi untuk diri kita sendiri. Sekali waktu seorang murid bertanya kepada gurunya: “Guru dapatkah engkau menjelaskan tentang perbuatan baik, seperti apakah itu?”. Mendengar pertanyaan demikian maka Sang guru menjawab: “Engkau bertanya tentang berbuat baik, tanyakanlah pada hatimu sendiri! Perbuatan baik jika di lakukan selalu akan mendatang kan ketenangan jiwa, tetapi sebaliknya perbuatan jahat jika di kerjakan senantiasa akan menghadirkan keresahan dan kegelisahan dalam hatimu”. Segeralah lakukan perbuatan baik, jika kita tergerak untuk melakukannya dan jika kesempatan itu datang kepada kita. Jangan pernah menunda dan jangan pernah menghindarinya, lalu setelah itu lupakanlah seolah-olah kita tidak pernah melakukannya. Dengan cara itu maka kita tidak terus menerus membawanya dalam pikiran kita, mengingat-ingatnya seolah-olah kita menjadi pribadi yang paling berjasa bagi nasib orang lain. Dengan cara itu, kita juga tidak terus terganggu karena berharap mendapatkan balasan dari mereka yang di dalamnya perbuatan baik itu kita berikan. Saya berikan sebuah kisah untuk menjadi contoh bagaimana melakukan kebaikan tanpa perencanaan. Seorang pria mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir, bersamaan dengan dia ber-urut dua mobil yang lainnya persis berada di belakang mobil yang dikendarainya. Saat itulah dia ingin melakukan sebuah perbuatan baik, lalu dengan segera dia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan. Kepada kasir di tempat parkir dia dengan spontan mengatakan: “sekalian untuk dua mobil di belakang!”. Setelah itu dia melajukan kendaraannya tanpa menengok kebelakang siapa yang mendapatkan parkir gratis karena kebaikannya. Selamat mempraktekkan perbuatan baik tanpa perencanaan. (IKM)
155
PEDULI DAN BERPIHAK KEPADA KAUM MISKIN dimuat di Warta Jemaat 30 Januari 2011
“(Roh) Tuhan telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; …untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19)
P
ada tanggal 10 Januari 2011, di kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah Jakarta, para tokoh lintas agama di Indonesia sempat membuat suatu kehebohan yang besar. Mereka dengan berani menyatakan, bahwa Pemerintahan Presiden SBY sekarang ini telah melakukan 18 kebohongan! 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru! Salah satu dari kebohongan lama Pemerintah adalah mengatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statitistik penduduk miskin 2010 mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik juga, pada tahun yang sama penduduk yang layak menerima “raskin” alias beras miskin mencapai 76,4 juta jiwa. Jadi, ada kesenjangan yang amat besar (45,38 juta jiwa!) antara apa yang dinyatakan oleh Pemerintah dengan apa yang dijumpai dalam kenyataan. Tidak sesuainya perkataan (termasuk janji) Pemerintah dengan kenyataan itulah yang dimaksudkan oleh para tokoh lintas agama sebagai kebohongan. Pemerintah tentu saja menjadi amat gerah, kalau bukan sesungguhnya amat marah, karena dituduh sudah berbohong. Pelbagai bantahan dilontarkan oleh para wakil dari Pemerintah. Presiden SBY pun, untuk pertama kalinya selama 2 periode pemerintahannya, menggelar pertemuan tertutup selama 4 jam dengan para tokoh agama pada tanggal 17 Januari 2011 malam hingga dini hari. Tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena percakapan tentang kebohongan nyaris dihindari oleh Pemerintah. Pemerintah pun kembali melontarkan janji tentang perlunya pertemuan lanjutan. Tetapi, sekali lagi, sudah cukup banyak janji Pemerintah yang tidak ditepati! Karena itu, sangat
156
mungkin, janji perlunya pertemuan lanjutan pun tidak akan ditepati. Apa yang dilakukan oleh para tokoh agama ini sesungguhnya hanyalah salah satu bukti dari sikap keberpihakan kepada kaum miskin yang seharusnya para agamawan/wati, teristimewa umat Kristen, selalu nyatakan di dalam hidupnya. Bagi umat Kristen sendiri, keberpihakannya kepada kaum miskin menemukan dasarnya dalam Alkitab, bahkan di dalam pengajaran dan teladan hidup Yesus sendiri. Pertama, Alkitab memang berbicara tentang perlunya kita memiliki sikap miskin secara rohani (“miskin di hadapan Allah”, Mat. 5:3), yaitu sikap jauh dari congkak di hadapan Allah, sehingga biar pun sudah melaksanakan apa yang wajib dilakukan, kita dengan rendah hati tetap berkata, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”? (Luk17:10). Tetapi, Alkitab juga jelas-jelas berbicara tentang orang yang betul-betul miskin harta benda seperti Lazarus yang menantikan remah-remah roti yang jatuh dari meja si kaya, namun ketika mati dibawa oleh para malaikat ke pangkuan Abraham (Luk 16:19). Dan, Allah selalu mau berpihak (atau – mungkin lebih baik – mendahulukan) kaum miskin harta benda, sebab biasanya mereka sekaligus menjadi orang-orang yang kurang beruntung, lemah, bodoh, tertindas, tak berdaya dan … tidak ada orang yang mau memperhatikan, apa lagi mau menolongnya, kecuali Allah sendiri! Seperti kata Pemazmur, “ia (= raja sebagai wakil Allah) akan melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas, dan orang yang tidak punya penolong”. Karena, “ia ... sayang kepada orang lemah dan orang miskin, (dan) ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin” (Mz 72:12-13). Kedua, Yesus sendiri memang pertama-tama dan terutama datang untuk kaum miskin (rohani-jasmani), ketika Ia katakan, ”(Roh) Tuhan telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk 4:18). Dan, kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya, Yesus mempercayakan ”tanggungjawab sosial”, berupa kepedulian dan keberpihakan kepada kaum miskin, seperti katanya, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan (atau tidak lakukan) untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya (atau tidak melakukannya) untuk Aku” (Mat 25:40,45). Karena itu, orang Kristen (teristimewa yang dikaruniakan dan dipercayakan banyak harta benda oleh Tuhan) di Indonesia harus berdiri di dalam solidaritas dengan kaum miskin, dan bertekad bulat untuk memerangi segala bentuk dan segala penyebab kemiskinan atau pemiskinan di negeri ini. Semoga gerakan yang telah dimulai oleh para tokoh lintas agama itu terus berlanjut, dan dilanjutkan oleh kita semua, kaum beragama di Indonesia! (RT) 157
KEBERAGAMAAN DAN KEADILAN dimuat di Warta Jemaat 30 Oktober 2011
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. (Matius 7:12)
B
erbicara tentang keadilan itu memang sungguh tidaklah mudah. Karena orang harus menyepakati dulu, apa arti keadilan itu baginya. Padahal ada banyak pengertian atau rumusan tentang keadilan. Sekedar menyebutkan saja beberapa di antaranya. Ada orang yang menyamakan keadilan itu dengan kesamaan atau persamaan. Baginya, keadilan itu berarti memberi kepada setiap orang jumlah yang sama, terlepas dari seberapa keras ia bekerja atau seberapa besar sumbangsihnya. Ada juga orang lain yang menyamakan keadilan itu dengan kewajaran. Baginya, keadilan itu berarti memberi kepada setiap orang sesuai dengan andil atau sumbangsih atau jasa yang sudah ia berikan sebelumnya. Karena itu, semakin keras dan semakin baik seseorang bekerja, semakin banyak imbalan yang akan ia peroleh dari pekerjaannya. Sebaliknya, semakin santai dan semakin buruk seseorang bekerja, semakin sedikit imbalan yang akan ia dapatkan dari pekerjaannya. Lain orang lagi menyamakan keadilan itu dengan kewajaran, namun dengan ada kesamaan minimum buat semua orang. Kesamaan minimum ini diperlukan untuk melindungi mereka yang tidak beruntung dan tidak berdaya, karena tidak dapat bekerja dan bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri, seperti orang cacat sejak kelahirannya, misalnya. Sebab, tanpa kesamaan minimum itu, bisa-bisa, mereka yang tidak beruntung dan tidak berdaya itu sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dalam hidupnya. Nah, sekarang bisakah dibayangkan, jika dua
158
orang saja berbicara tentang keadilan, tetapi dengan pemahaman masing-masing yang berbeda tentang keadilan, lalu apa jadinya? Hampir pasti, jadinya bukan kesepakatan, tetapi pertengkaran! Jika menemukan arti atau rumusan tentang keadilan yang bisa disepakati bersama saja seringkali sudah begitu sulitnya, apa lagi memberlakukan keadilan di dalam kehidupan pribadi atau pun bersama. Jauh jauh lebih sulit lagi! Namun, tokh, bagaimana pun melakukan keadilan itu harus dimulai dari satu pengertian atau rumusan yang disepakati bersama tentang keadilan. Dan, menurut hemat saya, salah satu pengertian terbaik tentang keadilan pernah dirumuskan (secara sadar atau tidak sadar) oleh Yesus, yaitu ketika Ia katakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12). Itulah keadilan menurut Yesus! Jika kita ingin mendapatkan segala yang baik, benar, dan menyenangkan dari orang lain, berbuatlah juga (bahkan sedapatnya pertamatama berbuatlah selalu) segala yang baik, benar dan menyenangkan kepada orang lain. Itu baru adil, namanya! Tetapi, sebaliknya, jika kita ingin mendapatkan segala yang baik, benar, dan menyenangkan dari orang lain, tetapi kita sendiri malah (pertama-tama) berbuat yang jahat, salah dan menyusahkan kepada orang lain , itu sih tidak adil namanya! Tapi keadilan pun berlaku dalam hubungan kita dengan Allah. Rasul Paulus pernah katakan, bahwa Allah itu telah pertama-tama menyerahkan segenap tubuh atau hidup Anak-Nya, Yesus, bagi kita manusia. Itulah sebabnya, adilnya, kita (yang percaya kepada Allah) pun harus menyerahkan segenap tubuh atau hidup kita kepada-Nya. Itu baru adil, namanya! Kurang dari itu, ya, tidak adil! Itulah maksud Rasul Paulus, ketika ia katakan, “Saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (baca: yang adil)” (Rom 12:1). Sejauh terkait erat dengan Allah yang kita kenal dan percaya dalam Yesus, benarlah jika dikatakan bahwa hidup keberagamaan kita itu sangat terkait erat juga dengan keadilan. Makanya, kita harus menyatakan hidup keberagama-an kita dalam perbuatan kita yang adil kepada sesama. Sebab, keadilan itu bukan hanya perintah (Mat 7:12), bahkan kesukaan Allah (“keadilan itu Kusukai”, Yer 9:24), tetapi juga teladan Allah bagi kita dalam Yesus (Rom 12:1). (RT). 159
MENGEMBANGKAN KEPEDULIAN dimuat di Warta Jemaat 8 Januari 2012
S
eorang pemuda yang duduk di tepi jalan berkali-kali tertawa, wajahnya tampak begitu cerah. Hal itu membuat penasaran seorang pria setengah baya yang melintas di depannya. Pria itu menyempatkan diri untuk berhenti dan menghampiri pemuda tersebut serta bertanya: “Aku memperrhatikanmu tertawa berulangulang, apa yang membuatmu tampak begitu bahagia?”. Demikian tanya pria tersebut, mendengar pertanyaan itu pemuda tadi segera mengarahkan tangannya, seolah menuntun pria yang bertanya itu untuk mengikuti arah telunjuknya sambil berkata: “Lihatlah batu di tengah jalan itu, sudah lebih dari tujuh orang tersandung dan hampir jatuh di buatnya – namun sampai sekarang tidak ada satu orangpun yang memindahkannya!”. Demikian balas pemuda tersebut. Betapa sulitnya kita mewujudkan keperdulian kita kepada sesama kita, bukankah pemuda yang selalu tertawa menyaksikan setiap orang yang tersandung dan terhuyung itu sebetulnya dapat berbuat sesuatu. Memindahkan sebuah batu yang selalu jadi sandungan banyak orang pastilah bukan sesuatu yang berat untuk dikerjakan, namun sayang niatan dan keperdulian itu tidak ada di dalam dirinya. Albert Einstein, pernah merasa galau dengan keadaan dunia ini – dan kegalauannya itu bukan karena kejahatan dunia ini yang semakin bertambah namun karena keperdulian banyak orang terhadap keadaan sekitarnya yang semakin berkurang. Ya…..semakin hari jangan-jangan kita menjadi pribadi yang semakin tidak perduli: kita tidak perduli dengan kesusahan dan penderitaan orang lain di sekitar kita, kita juga tidak perduli dengan kesedihan dan duka cita yang di alami oleh sesama kita, kita juga tidak perduli dengan apapun selama hal itu tidak bersinggungan dengan diri kita. Yang penting kita aman dan nyaman, itu sudah cukup buat kita. Saat kita bersikap demikian maka sesungguhnya kita sedang dikuasai oleh egoisme dan egosentrisme diri.
160
Dan mereka yang dikuasai oleh egoisme dan egosentrisme dapat dipastikan akan kehilangan kebahagiaan di dalam hidupnya. Karena pada kenyataannya keberadaan diri kita tidak pernah dapat dilepaskan dari orang lain: ketika orang-orang di sekitar kita bahagia maka dapat dipastikan kitapun akan menikmati kebahagiaan, tetapi sebaliknya ketika orang-orang di sekitar kita menderita dan berduka maka kitapun akan mengalami hal yang sama. Segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita tidak dapat dilepaskan dari segala sesuatu yang dialami oleh orang-orang di sekitar kita. Ingat “aku ada karena orang lain ada” : seorang guru baru di sebut sebagai seorang guru hanya ketika dia memiliki murid – tanpa murid maka dia bukanlah siapa-siapa; seorang dokter baru bisa di sebut sebagai dokter hanya ketika ada orang-orang yang mempercayakan diri menjadi pasiennya – tanpa pasien maka dia bukanlah siapa-siapa. Demikianlah hakekat diri kita selalu terkait dengan sesama kita. Dengan semua itu maka menjadi jelaslah bagi kita bahwa mengabaikan sesama akan membuat diri kita kehilangan makna. Kita baru menjadi berarti hanya ketika kita memandang orang lain juga sebagai pribadi yang berarti bagi diri kita, di sanalah kita mengembangkan keperdulian kita baginya. Mengembangkan keperdulian jangan dibayangkan sebagaimana tindakan seorang super hero di dalam film-film fantasi yang tampak spektakuler dan dramatis. Mengembangkan keperdulian dapat dilakukan dan dimulai dari hal-hal sederhana yang tidak harus menguras energi besar. Memberikan senyum kepada sesama adalah sesuatu yang acapkali kita abaikan, padahal bukan tidak mungkin dari sekian banyak orang yang mendapatkan senyum dari kita bisa jadi ada diantaranya yang sedang merasa sendirian karena dikecewakan oleh orang-orang dekatnya. Senyuman dari kita membuat dia terbantu untuk melihat bahwa masih ada orang yang bisa bersikap ramah tanpa harus diminta. Melakukan perbuatan-perbuatan kecil secara spontan dan tanpa perencanaan mungkin akan menjadi sesuatu yang pas bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Jika hal itu yang kita lakukan maka dapat dipastikan kita akan menikmati kebahagiaan kita. Selamat mencoba. (IKM)
161
GADIS BERKEPALA BOTAK! dimuat di Warta Jemaat 22 Juli 2012
“Y
ah, aku mau rambutku dibotakin …,” rengek Mirta kepada ayahnya. “Mana boleh anak perempuan kepalanya botak?” kata sang ayah mencoba memberi pengertian kepada Mirta. “Tidak apa-apa Ayah, boleh ya?” Mirta terus memohon. “Temantemanmu itu cantik-cantik karena rambut mereka panjang. Kalau kamu botak, mana bisa dibilang cantik. Kamu mau seperti itu?” desak sang ayah lagi.”Tidak apa-apa, Yah … boleh ya? Mirta janji tak akan minta apa-apa lagi setelah ini,” sahut Mirta. Sang ayah pun akhirnya menyerah. Dengan berat hati ia berkata kepada gadis kecil kesayangannya itu,”Ya sudah kalau memang begitu…, tapi jangan menangis ya kalau kamu diejek teman-temanmu….” Keesokan harinya, sang ayah mengantar Mirta yang kepalanya sudah botak ke sekolah. Setelah sampai di sekolah, mata sang ayah menangkap sesosok gadis botak lainnya yang berdiri di bawah pohon. “Apa sekarang sedang tren berkepala botak ya?” pikir sang ayah dalam hati. “Mirta pergi dulu ya!” seru Mirta dengan wajah yang penuh keceriaan. Sang ayah memandangi gadis kecilnya yang kini menghampiri gadis botak yang berdiri di bawah pohon. Keduanya pun berjalan masuk ke dalam kelas dengan penuh tawa. Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang menghampiri sang ayah dan berkata,”Wah, anak Anda sungguh hebat! Anak saya menderita leukemia sehingga kepalanya menjadi botak. Ia malu pergi ke sekolah. Tetapi kemudian anak Anda berkata bahwa ia akan menggunduli kepalanya supaya anak saya punya teman yang samasama botak. Karena anak Anda, anak saya tidak lagi malu berangkat ke sekolah. Terima kasih banyak.” Kisah diatas hendak mengingatkan kepada kita bahwa bela rasa atau belas kasih tak sekadar cukup diekspresikan dalam kata-kata, namun dalam perbuatan nyata karena didorong oleh kepekaan dan keterbu-
162
kaan hati terhadap situasi keprihatinan yang sedang dihadapi orang lain. Yesus dalam sepanjang kisah pelayananNya mempraktekkan apa yang disebut dengan Compassion/Bela Rasa. Dia tak hanya berkeliling mengajar dan berkhotbah, tetapi dimana ada banyak orang kelaparan, Dia memberi makan. Dimana ada orang sakit, Dia segera bertindak. Dimana ada situasi yang sulit dan memprihatinkan, hatiNya selalu digerakkan oleh belas kasih untuk memberi pertolongan. Ditengah situasi masyarakat sekarang, barangkali bela rasa menjadi sesuatu yang langka. Masyarakat cenderung berlaku individualistis dan hedonis, padahal disekitar mereka terpampang situasi yang berbanding terbalik, yaitu mereka yang terhimpit tiada daya. Hari ini kita diingatkan bahwa bela rasa adalah sebuah kebutuhan yang harus dijawab sekaligus panggilan kita bersama sebagai perpanjangan tangan Kristus di tengah dunia yang membutuhkan belas kasihNya.
Love is giving for the world’s needs, Love is sharing as the Spirit leads, Love is caring when the world cries, Love is compassion with Christ like eyes
(FO)
163
KEAJAIBAN MEMBERI dimuat di Warta Jemaat 29 Juli 2012
Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan.” (2 Kor. 8:14-15)
A
khir tahun 2011 yang lalu, tepatnya 8 Desember 2011, dua orang wartawan Harian Pelita memaparkan data yang amat mengejutkan. Keduanya, Dwidjo Utomo dan Otto Sutoto menguraikan bahwa kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia ternyata setara (equivalen) dengan jumlah pendapatan 60 juta penduduk rata-rata di Indonesia. Data ini menegaskan betapa jurang kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya di Indonesia ini sangat menganga lebar. Kondisi ini merupakan bukti bahwa kesenjangan yang sangat tingi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding di Amerika. Kekayaan 400 orang terkaya di Amerika Serikat, setara dengan 9,4 persen PDB (produk domestik bruto). Di Indonesia sepersepuluhnya atau 40 orang terkaya sudah setara 10,3 PDB. Malangnya, menurut Dwidjo, pilihan orang miskin di Indonesia hanya tiga, yakni berutang, mengurangi makan, kemudian bunuh diri. Salah kah menjadi kaya ? Sama sekali tidak. Namun yang salah adalah mengapa kekayaan itu hanya menumpuk pada segelintir orang atau dikuasai oleh segelintir orang. Padahal menurut data kependudukan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Apakah yang pantas untuk menjadi kaya hanyalah sekolompok kecil orang tersebut ? Jika dianalisa lebih jauh, mungkin saja dapat ditemukan akar-akar kesalahan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang besar dalam masyarakat kita. Mungkin saja ada sistem politik, iklim dan regulasi
164
investasi yang keliru sehingga menciptakan kesenjangan tersebut. Terlepas dari penyakit struktural tersebut, mungkin saja yang tidak kalah berbahayanya adalah pada sisi spiritual. Ada keegoisan dan keserakahan yang teramat besar sehingga terjadi ketidakseimbangan. Seorang yang egois dan serakah, hanya akan mencari dan mengumpulkan bagi diri sendiri dan tidak peduli kepada yang lain. Paulus, jauh-jauh hari mengajarkan sebuah kearifan spiritual dalam menjaga sebuah keseimbangan. Memberi adalah salah satu cara yang ajaib dalam menjaga keseimbangan tersebut. Memberi tidak hanya bermakna karitatif yang menjadikan sesama yang berkekurangan semata-mata sebagai obyek belaskasihan. Memberi harus juga bermakna memberdayakan, yang membuat sesama menjadi subyek yang diberdayakan. Memberi kesempatan, memberi bimbingan atau pendampingan, adalah cara lain dalam memberi, yaitu memberi yang memberdayakan. Kepekaan memberi hanya akan dilakukan oleh pribadi yang sehat secara spiritual. Orang yang sehat secara spiritual adalah mereka yang memiliki cintakasih jauh lebih besar dari pada rasa memintingkan diri dan rasa untuk hanya mengumpulkan. Seseorang yang sehat secara spiritual, akan melihat kekayaan secara spiritual juga. Bahwa di dalam kekayaan yang dipercayakan Tuhan selalu mengandung tanggungjawab sosial. Semakin banyak seseorang diberi, semakin besar pula dari padanya dituntut. Memberi sesungguhnya bukan saja menjadi resep untuk memelihara sebuah keseimbangan masyarakat. Karena memberi adalah salah satu cara untuk menipiskan kesenjangan sosial. Namun memberi juga adalah cara untuk memelihara keseimbangan diri seseorang itu sendiri. Hidup dalam keseimbangan adalah hidup yang sehat dan indah. Memberi adalah sebuah kebutuhan seperti menerima adalah sebuah kebutuhan. Seseorang yang hanya mau menerima atau mengumpulkan tanpa kesediaan memberi maka ia akan hidup dalam ketidakseimbangan. Seseorang yang menerima akan merasa dirinya sungguh beruntung, namun seseorang yang memberi akan merasakan bahwa dirinya itu bermakna. Merasa beruntung dan merasa bermakna adalah sebuah keseimbangan yang perlu. Inilah keajaiban memberi. Dengan demikian, memberi bukanlah berarti kerugian, namun juga kekayaan. Selamat membuktikannya...(dav’s). 165
166
K R ISTEN
Negeri
YA N G P E D U L I
GENERASI SADRAKH, MESAKH, DAN ABEDNEGO dimuat di Warta Jemaat 17 Juli 2011
“Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” ( Daniel 3:16-18 ).
168
T
egas, berani dan taat kepada Allah tanpa kompromi, inilah kira-kira gambaran yang pas untuk tiga orang muda yang bernama Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Mengagumkan! Mengapa? Sesungguhnya, mereka tidak memiliki banyak ruang untuk membuat pilihan-pilihan. Mereka menghadapi situasi yang tidak mudah karena mereka ditekan secara horizontal dan vertikal. Mereka menghadapi tantangan baik secara sosial maupun struktural! Pertama, Tekanan secara horizontal. Mereka adalah bagian dari umat Allah yang harus tinggal di negeri orang, Babilonia. Dalam kondisi bahwa mereka tinggal di negeri asing, maka mereka adalah kelompok minoritas. Mereka tinggal di lingkungan yang memiliki cara hidup, kebiasaan, budaya dan iman yang berbeda dengan mereka. Dalam situasi yang tidak mudah itu, mereka tidak menjadi larut atau ikut arus. Ketika mereka dibujuk untuk makan makanan yang haram dan minum minuman yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah, maka mereka menolak. Makanan yang disodorkan, kepada Daniel dan kawankawannya itu bukan sembarangan. Ini adalah makanan enak, makanan raja. Dalam kondisi sulit, siapa yang tahan untuk menolak makanan enak ? Soalnya bukan sekedar makanan, namun di balik semuanya itu adalah soal cara hidup. Alkitab mencatat bahwa Daniel dan kawankawannya berketetapan hati untuk tidak menajiskan dirinya dengan makanan dan minuman yang tidak berkenan kepada Allah. (Daniel 1: 8). Daniel dan kawankawannya, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, tidak ingin mengikuti cara hidup lingkungan mereka, sekalipun hal itu
kelihatannya enak. Untuk bertahan dari godaan yang enak, tidaklah mudah. Dunia ini hancur oleh karena banyak orang yang menduduki jabatan-jabatan tidak bisa dan tidak berkuasa untuk berkata TIDAK terhadap bujukan yang enak-enak. Kedua, Tekanan secara struktural. Mereka juga tinggal di bawah kekuasaan atau otoritas Nebukadnezar, Raja Babilonia. Ketegasan, keberanian dan ketaatanya pada Allah tidak saja diuji oleh derasnya pengaruh lingkungan secara horizontal, namun juga kuatnya tekanan penguasa yang memaksanya untuk meninggalkan Allahnya. Pada zaman itu, raja adalah hukum, Negara, bahkan tuhan. Kata-kata dan perintahnya adalah hukum dan kekuasaan. Oleh karena itu, berkata TIDAK terhadap perintah raja sama dengan kematian! Dalam Kitab Daniel pasal 3, Nebukadnezar membuat perintah agar seluruh penduduk yang berada dalam kerajaannya menyembah dewa buatannya yang dibuat dari emas. Barangsiapa yang tidak sujud menyembahnya, ancamannya tidak sembarangan, dibakar hidup-hidup dalam perapian yang menyala-nyala. Persoalannya bukan cuma kematian, namun yang mengerikan adalah proses bagaimana mereka harus mati! Jika, godaan dalam bentuk kenikmatan telah ditolak mentah-mentah oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego, maka apa jadinya dengan tekanan dalam bentuk ancaman kematian yang menyakitkan itu? Namun mereka tetap tegas, berani dan tanpa kompromi. Mereka tetap berkata TIDAK untuk melakukan perbuatan dosa yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Allah mereka, sekalipun yang memerintahkan adalah raja dan sekalipun mereka dibawah ancaman. “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18). Pribadi yang tegas, berani, dan takut kepada Allah tanpa kompromi inilah yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk membuat kehidupan ini menjadi pulih. Pribadi seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego ini, jika menjadi pejabat adalah pejabat yang berani dan tegas berkata TIDAK untuk segala bujukan untuk berbuat korupsi. Pejabat yang tidak mudah tunduk pada tekanan-tekanan dan ancaman dalam menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Pribadi seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego menempatkan sikap takut akan Tuhan diatas segalanya. Pribadi seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego adalah generasi harapan. (dav’s) 169
MEMBASUH TANGAN dimuat di Warta Jemaat 1 April 2012
Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri. ( Matius 27:24)
S
ecara umum membasuh tangan adalah kegiatan sanitasi. Jari-jari dibersihkan dan di basuh dengan air agar dapat dipergunakan dalam aktifitas yang memerlukan kebersihan, sehingga dengan aktifitas ini kesehatan seseorang dapat terpelihara dari sakit yang bersumber pada kuman yang menempel di tangan seseorang. Tapi bagi orang-orang Yahudi membasuh tangan bukan hanya berarti aktifitas sanitasi, bagi mereka membasuh tangan adalah kegiatan ritual yang dapat menyatakan seseorang itu najis atau tidak najis. Murid-murid Yesus sering dikritik oleh ahli Taurat dan orang Farisi oleh karena sering mengabaikan aktifitas yang satu ini sebelum mereka makan dan minum. Lain halnya bagi Pilatus dalam pembacaan alkitab hari ini. Membasuh tangan bukan sekedar aktifitas sanitasi, bukan juga aktifitas ritual, tetapi bagi Pilatus kegiatan yang satu ini adalah sebagai sebuah pernyataan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas hukuman yang sebentar hendak dijatuhkan kepada Yesus. Yang menjadi pertanyaan bagi kita bisakah seorang pemimpin memberikan pernyataan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas sebuah keputusan, ketika ia didesak oleh orang banyak, padahal sebenarnya ia adalah orang yang paling berhak untuk mengambil keputusan? Jawabannya jelas tidak! Sebab ketika seorang pemimpin melepaskan diri dari tanggungjawabnya maka ia sudah tidak layak lagi menjadi seorang pemimpin. Seorang
170
pemimpin ketika menyerahkan tanggungjawabnya kepada pihak lain yang tidak diberi kewenangan untuk itu maka ia tidak layak lagi untuk menempati kursi kepemimpinan. Seorang pemimpin akan diminta pertangung-jawabannya atas setiap keputusan yang diambilnya dan juga atas keputusan yang tidak diambilnya ketika ia seharusnya mengambil keputusan. Sebab berdiam diri juga adalah sebuah keputusan. Banyak para pemimpin tidak berani mengambil keputusan dan membiarkan keputusan yang seharusnya diambilnya ditentukan oleh orang banyak. Hal tersebut dapat kita lihat pada saat ini terjadi dalam kepemimpinan pemerintahan dan juga dalam kepemimpinan keagamaan; atau dalam kepemimpinan formal maupun kepemimpinan informal. Mereka berfikir sama seperti Pilatus dengan tidak mengambil keputusan mereka terbebas dari tanggungjawabnya. Oooo itu pandangan yang keliru! Tidak ada seorang pemimimpin di muka bumi yang dapat melepaskan diri dari tanggungjawabnya dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin yang menyerahkan tanggungjawabnya kepada pihak yang tidak bertanggungjawab adalah seorang pemimpin yang harus turun dari jabatannya, seorang yang tidak pantas untuk berada di posisi yang terhormat dan mulia. Apabila pada saat ini, kita menyaksikan kebaktian pelantikan Badan pelayanan, anggota jemaat yang diberikan tugas dan tanggungjawab kepemimpinan sesuai dengan ruang lingkupnya. Maka amanat firman Tuhan hari ini hendak mengingatkan kita bahwa di dalam diri saudara-saudara yang dilantik dipercayakan tugas kepemimpinan dan juga diserahkan tanggungjawab untuk mengambil keputusan. Dan setiap keputusan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah dan jemaat-Nya. Berdiam diri dan tidak mengambil keputusan juga adalah sebuah keputusan, dan oleh karena itu ketika seorang pemimpin berdiam diri harus mempertanggunjawabkan keputusannya. Tetapi firman Tuhan ini bukan hanya berlaku bagi saudara-saudara yang dilantik, tetapi berlaku bagi kita semua sebagai para pengikut Kristus. Sebab para pengikut Kristus pada hakekatnya adalah para pemimpin yang harus membawa setiap orang untuk berjalan di jalan kebenaran dan hidup. (STP) 171
TIADA YANG TERSEMBUNYI BAGI-NYA dimuat di Warta Jemaat 19 Agustus 2012
Yeremia 16 : 16 – 18
M
engapa tidak ada yang tersembunyi bagi Allah? Jawabannya adalah karena Allah yang tidak terbatas adalah pencipta alam semesta dan seluruh mahluk hidup ( Amos 4 : 12 -13 ). Allah adalah Allah yang imanen = yang dekat, tetapi juga Allah yang transenden = yang jauh, dengan demikian Allah memenuhi langit dan bumi sehingga tidak ada seorang pun yang dapat tersembunyi daripada-Nya, sebab Allah melihat semuanya ( Yeremia 23 : 23 – 24 ). Apabila kita sungguh mengakui kedaulatan Allah atau ke Mahakuasaan Allah tersebut, tentulah kita hidup di dalam perkenanNya, atau dengan kata lain setia melakukan kehendak-Nya bukankah Yohanes 1 : 12 berkata bahwa “ semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya (Yesus Kristus)” Setiap orang yang percaya kepadaNya akan memperjuangkan hidup yang diperkenan Allah (melakukan kehendak Allah) dalam hidup dengan penuh cinta, bukan dengan duka atau paksa, karena kita sudah terlebih dahulu memperoleh cinta yang sedemikian besar dari Tuhan (Yohanes 3 : 16). Tetapi sayang masih banyak diantara kita yang mengabaikan kekuasaan Allah tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Bangsa Israel dalam Yeremia 16:18 Tuhan berkata bahwa bangsa Israel menajiskan negeri Tuhan dengan bangkai dewa-dewa mereka yang menjijikan tersebut. Namanya bangkai tidak memiliki kemampuan apa-apa, kecuali menjadi sampah. Seperti apakah pada masa kini dewa-dewa yang menjijikan tersebut? Kita
172
mungkin sering mendengar tiga Ta, yaitu Tahta, harta dan wanita identik dengan seks, itulah dewa-dewa masa kini yang sangat menjijikan, yang banyak menghancurkan tokoh-tokoh dunia dan masyarakat bahkan gereja. Perbuatan-perbuatan manusia yang mendewakan hal-hal tersebut, untuk mencapainya mereka tidak segan melakukan berbagai perbuatan yang keji, bahkan dengan congkaknya mereka mengatakan seakan-akan mereka bersama Tuhan, atau Tuhan tidak melihat apa yang mereka perbuat dengan kata lain apakah ada Tuhan yang berkuasa selain mereka. Bad. Mazmur 73 : 6 – 11. Jangan sekali-kali cemburu dengan mereka, lalu kemudian mengikuti jalan hidup mereka karena lihat mata Tuhan melihat, tiada yang tersembunyi bagi-Nya. Tuhan sedang mengamat-amati, dosa dan kesalahan kita tidak terlindung dari mata Tuhan. Sesungguhnya mereka berada ditempat yang licin dan siap masuk ke jurang yang membinasakan dengan dahsyat Mazmur 73 : 18 – 20, sebab Tuhan sudah menyuruh banyak perangkap ikan dan banyak pemburu ke segala bukit dan celah-celah gunung memburu dan membinasakan mereka Yeremia 16 : 16 – 17. Dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan Negara kita Republik Indonesia yang ke-67 ini, marilah kita merenungkan bagaimana kita memaknai hari-hari hidup kita dalam kemerdekaan ini. Apakah kita menggunakannya untuk kesempatan hidup dalam dosa tiga Ta (tahta, harta, wanita=seksual), atau melayani sesama hidup dengan kasih? Galatia 5 : 13. Ingatlah tiada yang tersembunyi bagi-Nya – Merdeka !!!! (NG)
173
INGAT DAHULU KAMU ADALAH BUDAK dimuat di Warta Jemaat 14 Agustus 2011
Sebuah Refleksi menjelang HUT Kemerdekaan RI ke 66
P
erbudakan adalah bagian Integral dalam kehidupan masyarakat di Timur Tengah kuno. Seorang budak tidak berbeda dengan sebuah barang. Ia diperjual belikan dengan bebas di pasar budak. “ 30 dinar satu, kalau tuan beli lima dapat gratis satu” lalu calon majikan memilih dan memilah budak sesukanya. Kalau seorang budak berguna ia akan dipakai terus pemiliknya, tapi kalau tidak berguna ia bisa di jual kembali dengar harga diskon 30 % atau kalau pembeli menggunakan kartu kredit Bank HSBY diskon ditambah 10 % atau kalau menggunakan Bank Lokal misalkan Bank Miun diskon bisa mencapai 60 %, kalau tidak laku juga ya di buang saja sama seperti barang. Kira-kira itulah bahasa kontemporer untuk melukiskan keadaan budak di masa lalu. Para budak di dapat pada umumnya dari hasil tawanan perang atau orang-orang buangan, tapi juga ada di antara mereka yang diperjual belikan sebagai budak berasal dari anggota masyarakat yang kelibat utang yang besar. Betapapun zaman dahulu belum ada kartu Kredit tapi tukang Kredit selalu ada dari zaman ke zaman. Oleh karena itu hati-hati kalau tidak terlalu perlu jangan asal gesek apalagi kalau tidak ada penghasilan, bisa-bisa bukan barang yang hilang orang juga bisa hilang. Israel sebagai bagian dari masyarakat Timur tengah Kuno tidak terlepas dari realita yang satu ini. Tidak sedikit orang Israel yang memiliki budak dan tidak sedikit orang Israel yang jatuh miskin dan terlibat kredit menjadi budak. Betapapun praktek perbudakan terjadi dalam masyarakat Israel, Perjanjian Lama memberikan perlindungan yang memadai bagi para Budak melalui pengaturan-pengaturan
174
khusus, sesuatu yang tidak di dapat dalam kehidupan bangsa-bangsa sekitar Israel pada zamannya. Para budak diberikan hak dalam bidang sosio kultis, mereka diikutsertakan dalam upacara-upacara keagamaan. Mereka dapat di sunat dan turut serta dalam perjamuan Paskah (Keluaran 12:44) mereka dapat mengikuti perayaanperayaan besar (ulangan 16:12). Mereka juga mendapatkan hak sama untuk merasakan manfaat sabat dalam kehidupan umat Allah (ulangan 5:14-15). Para budak diberikan perlindungan dalam hukum perdata. Keluaran 21:20-21, 26-27 mengatur perlakuan majikan terhadap para budaknya. Dalam perundang-undangan di masyarakat sekitar ada banyak hukum mengenai pemukulan para budak atau pembunuhan atas budak-budak orang lain, tetapi tidak ada hukum yang melindungi budak itu sendiri, hanya Perjanjian Lama yang memberikan jaminan atas para budak. Dalam hukum Israel, jika seorang majikan memukul seorang budak hingga mati, maka kematiannya harus dibalaskan. Jika ia dilukai Tuannya maka ia harus dibebaskan. Bahkan setelah melayani selama enam tahun budak mendapat hak menjadi orang merdeka. Karena para budak itu tidak mempunyai tanah, sangat mungkin kebebasannya itu hanya dapat berarti berganti majikan. Maka Perjanjian Lama mengatur pemberian-pemberian yang berlimpah bagi para budak manakala mereka mendapatkan hak kemerdekaannnya (Ulangan 15:13-14). Bahkan Perjanjian Lama mengatur perlindungan bagi para budak yang mencari suaka (Ulangan 23:15). Seorang budak yang melarikan diri dari tuannya dan berlindung pada seorang Israel maka orang Israel itu harus memberikan perlindungan kepada mereka, dan tidak boleh budak ini dikembalikan kepada tuannya. Padahal di masyarakat sekitar Israel, budak yang melarikan diri mendapat hukuman yang keras dan orang yang melindunginya mendapatkan hukuman yang berat. Mengapa para pemuka agama Israel merumuskan kehendak Tuhan demikian? Mereka pernah merasakan pahitnya menjadi seorang budak mereka mengerti kejiwaan dari seorang korban penindasan sebab mereka pernah menjadi budak di tanah Mesir. Firman Tuhan berkata: sebab haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir (Ulangan 15:15) Kalau bangsa kita pernah ditindas selama 350 tahun, maka para pemimpin di segala lapisan baik di eksekutif, legislatif dan Yudikatif, para pemimpin formal maupun informal, para pelaku sosial politik dan ekonomi perlu berefleksi apakah kita menjadi pembela kaum tertindas ataukah kita malah menjadi penindas yang baru untuk saudara sebangsa dan setanah air (STP)
175
SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN dimuat di Warta Jemaat 19 Februari 2012
”Yusuf mengumpulkan segala bahan makanan ketujuh tahun kelimpahan ... Sebelum datang tahun kelaparan ...” (Kej 41:48,50)
K
isah ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Dwight David “Ike” Eisenhower (1890-1969), ketika perbudakan secara resmi dihapuskan di Amerika Serikat pada tahun 1865, tetapi tokh dalam praktiknya diskriminasi terhadap warga negara berkulit hitam mantan budak itu terus berlangsung. Di bagian Selatan Amerika Serikat, praktik segregasi (pemisahan orang berkulit hitam dari orang berkulit putih) bahkan disahkan melalui doktrin hukum equal but separate (sama tetapi terpisah). Inti doktrin itu menegaskan bahwa orang-orang kulit hitam (AfricanAmerican) dianggap sebagai warga negara yang sama dengan warga lain, tetapi mereka tidak diperbolehkan berbaur dengan warga lain itu, terutama yang berkulit putih. Dengan doktrin ini, orang-orang hitam tak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang kulit putih, dilarang masuk ke tempat-tempat umum di mana orang kulit putih ada di sana, seperti di restoran, pub, bar, bahkan toilet. Praktik pemisahan itu, termasuk di sekolah, kemudian dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) AS pada 1954. Keputusan MA menyatakan bahwa seluruh praktik pemisahan di AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Semua tempat umum – termasuk sekolah – harus menjadi tempat bersama atau berbaur semua orang berkulit hitam dan berkulit putih. Sebagai akibat dari keputusan MA itu, suatu peristiwa
176
yang menghebohkan seluruh Amerika Serikat terjadi pada tahun 1957. Peristiwa itu dipicu oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendaftarkan 9 murid berkulit hitam di Sekolah Little Rock, Arkansas, yang seluruh muridnya berkulit putih. Ketika akan masuk sekolah pada tanggal 4 September 1957 sekelompok orang kulit putih beramai-ramai berdemonstrasi di depan sekolah itu dan menghalanghalangi ke-9 murid tersebut untuk masuk gerbang sekolah. Gubernur negara bagian Arkansas sendiri, Orval Faubus, mendukung demonstrasi tersebut dengan mengirim pasukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dari Arkansas untuk mencegah 9 murid berkulit hitam itu memasuki halaman sekolah. Ke-9 murid berkulit hitam yang masih ingusan itu benar-benar dilecehkan dengan yel-yel, “Tak pernah berbaur! Tak pernah berbaur!”. Karena itu, mereka gagal untuk masuk sekolah tersebut Mendengar peristiwa yang menghebohkan itu, Presiden Eisenhower langsung turun tangan. Ia panggil dan perintahkan gubernur Orval Faubus untuk mematuhi keputusan MA. Dan, ketika gubernur tidak mengubris perintahnya, Presiden Eisenhower mengirim 1.200 pasukan Angkatan Darat Amerika ke Arkansas untuk melindungi 9 murid kulit hitam itu. Maka terjadilah peristiwa yang amat menyentuh dan mengharukan hati. Pada 23 September 1957, untuk pertama kali, 9 orang murid berkulit hitam berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika!. Bayangkan! Sejak itu juga, pasukan Satpol PP negara bagian (Arkansas) ditempatkan secara langsung dibawah komando presiden, supaya seorang gubernur tidak dapat lagi memakai Satpol PP untuk melawan Pemerintah Pusat. Betapa luar biasanya peristiwa itu, bukan hanya bagi semua orang di Amerika, tetapi juga bagi semua orang di dunia! Kebijaksanaan dan tindakan dari Presiden Eisenhower itu adalah salah satu contoh saja dari suatu kebijakan dan tindakan yang hatihati dan yang antisipasif (atau yang “sedia payung sebelum hujan”).
177
Ia mengantisipasi betapa tidak mungkinnya dapat diwujud-nyatakan suatu keadaan yang satu, damai dan sejahtera dalam negara, jika pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa pun dibiarkan, apa lagi dibiasakan, dan tidak segera ditindak tegas. Makanya, kita dengan amat prihatin menyaksikan dan mengalami, bahwa Pemerintahan kita di bawah Presiden SBY sekarang ini justru berbuat sebaliknya!. Tidak hati-hati, tidak antisipatif, tidak “sedia payung sebelum hujan”, dengan membiarkan dan membiasakan segala bentuk pelanggaran hukum di segala bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama dan beribadah (seperti pelarangan beribadah di GKI Taman Yasmin, di tanah dan gedung miliknya yang sudah sah secara hukum). Padahal, kita semua tahu, pembiaran dan pembiasaan itu dapat merusak kesatuan bangsa, bahkan mengancam kesatuan Negara. Belajar dari Presiden Eisenhower, dan dari Yusuf yang mengantisipasi hal-hal baik dan buruk yang dapat terjadi di masa depan, marilah kita biasakan diri untuk hidup dan berperilaku antisipatif, atau ”sedia payung sebelum hujan”. (RT)
178
K R ISTEN
Bersaksi YA N G
KUASA PERUBAHAN dimuat di Warta Jemaat 12 Juni 2011
(sebuah perenungan singkat atas Kisah Para Rasul 2 : 32)
Ketika aku masih muda dan imajinasiku tidak memiliki garis batasan, aku memiliki impian untuk mengubah dunia. Ketika aku bertumbuh dewasa dan lebih bijaksana, aku menemukan bahwa dunia tidak akan berubah, jadi aku memperkecil pandanganku dan memutuskan untuk mengubah negaraku. Tetapi kelihatannya, hal ini juga tidak mengubah apa-apa. Di masa tuaku, sebagai usaha terakhir, aku memutuskan untuk mengubah keluargaku saja, orang-orang yang terdekat denganku, tetapi apa daya, mereka juga tidak berubah. Dan sekarang saat aku terbaring dalam kematian, tiba-tiba aku menyadari bahwa kalau saja aku terlebih dahulu mengubah diriku, teladanku akan mengubah keluargaku, aku akan mampu untuk membuat negaraku menjadi lebih baik, dan siapa tahu, aku juga bisa mengubah dunia ini. (sebuah kutipan dari batu nisan seorang imam Anglikan di Wetminster Abby)
U
ntaian kata di atas mampu menyodorkan pada kita sebuah realita kehidupan, bahwa perubahan merupakan satu hal yang lahir dalam kesadaran diri seorang manusia untuk terlebih dahulu berubah, sehingga dampaknya begitu nyata bahkan mampu menggerakan dunia untuk juga berubah
180
Bicara soal perubahan membuat kita juga bicara soal alasan seseorang ingin berubah serta bagaimana perubahan itu bisa terjadi? Pada umumnya perubahan adalah tindakan mengubah hal-hal yang tidak baik untuk menjadi baik (cat: itu terbukti dalam peradaban manusia yang terus berkembang karena perubahan dilakukan dalam rangka mengoreksi realita). Untuk itu, perubahan adalah sebuah daya kreatitvitas mengubah yang lama menjadi baru. Disinilah kita berjumpa dengan suatu perubahan yang dikerjakan Allah dalam karya Yesus Kristus dan gereja-Nya. Kita tengah dipertontonkan sebuah parade kemuliaan Allah saat kuasa dosa dipatahkan dalam pengorbanan Yesus, Sang Anak Domba Allah, yang kemudian dibangkitkan dengan penuh kemuliaan. Kita juga menjadi saksi Yesus yang bangkit itu naik ke Sorga dengan meninggalkan Roh Kudus hadir untuk terus berkarya dalam hidup manusia. Karya Pembaharuan Ilahi itu telah menyentuh dan mengubahkan hidup manusia sedemikian rupa, karena kita tidak saja hanya melihat tapi juga mengalami dampak dari perkerjaan Allah itu. Maka jelaslah bahwa perubahan dalam hidup manusia tidak lain terjadi karena kuasa pembaharuan yang dikerjakan Allah dalam hidup manusia sehingga lahirlah orang-orang percaya yang menghidupi nilai-nilai Ilahi dalam hidupnya yang insani. Kuasa Perubahan tersebut membuat manusia insani berperilaku Ilahi tidak lain menjadi bagian usaha Allah mengoreksi realita hidup manusia yang terus bergelut dengan dosa agar menjadi baik adanya. Atau dengan kata lain, Allah hadir dalam diri orang-orang percaya dan menjadikan mereka sebagai saksi nyata akan karya pembaharu-Nya yang membebaskan dan memulihkan. Disinilah kita menemukan makna Pentakosta bagi orang percaya. Untuk itulah kita dipanggil dan diperlengkapi untuk menjadi saksi-Nya demi kebaikan diri sendiri dan dunia yang kita kasihi. Selamat berkarya bersama Allah. (MRM)
181
LADANG YANG MENGUNING dimuat di Warta Jemaat 10 Juli 2011
Sebuah Refleksi tentang Panggilan Misioner Gereja
D
alam persidangan WWC (Dewan Gereja Dunia) di Porto Alegre tahun 2006 dimunculkan sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa: “GerejaGereja mainstream semakin tua dan anggotanya semakin berkurang, sebaliknya kristianitas tampil dengan wajah baru dengan berdirinya konggregasi-konggregasi non denominasi, organisasi para church dan mega church” Semua itu menghasilkan polarisasi yang semakin kuat dalam kehidupan gereja di satu sisi dan kebingungan di sisi yang lain. Ketika saya masih kecil, tinggal di kota kecil (Cirebon) ketika menyebut gereja maka saya hanya mengenal tiga nama gereja saja, yaitu: Gereja Roma Katolik, Gereja Protestan (GKI) dan Gereja Pantekosta. Tetapi jika sekarang saya kembali ke Cirebon, maka nama gereja menjadi sangat beragam, akibatnya tidak sedikit orang yang dibingungkan harus ke gereja mana? Itu jugalah mungkin yang menyebabkan gereja semakin kehilangan makna kehadiran dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua gereja tampak berlomba untuk meningkatkan jumlah anggota jemaatnya, dan gereja yang dianggap berhasil adalah gereja yang mampu melipat gandakan jumlah anggotanya, Semakin besar gerejanya maka semakin besarlah penghargaannya, dan gereja yang semakin besar dianggap semakin diberkati - jadilah ‘megachurch” yang tampak bergengsi dan megah. Panggilan misioner gereja tidak lebih hanyalah untuk semakin memperbesar gerejanya sendiri, dan lebih memprihatinkan lagi ketika gereja besar terus melancarkan
182
propagandanya untuk menarik anggota jemaat dari gereja-gereja kecil, tanpa terlalu perduli akan nasib gereja-gereja kecil; membuat anggota jemaat dari gereja lain mulai berpaling dari kehidupan gerejanya, meragukan ajarannya dan kemudian atastasi pindah keanggotaan meninggalkan gerejanya dan menyatukan diri dengan gereja barunya yang lebih megah dan indah. Business is common. Dalam kehidupan jemaat kita sendiri, sebagian dari anggota kita memilih menjadi simpatisan di gereja lain (termasuk yang tidak seazas), sementara simpatisan dari gereja-gereja lain juga datang ke tempat kita. Semua itu karena mobilitas penduduk yang sangat tinggi di satu sisi tetapi juga karena “iklan dan worship-tainment” yang juga menggejala dalam kehidupan gereja. Hasil dari semua itu adalah campur-baurnya ajaran dan tradisi dari satu gereja dengan gereja lain, dan hal itu hanya akan menambah kebingungan bagi para pemercayanya. Sekali waktu seorang mantan Penatua datang kepada saya dan kemudian menyodorkan sebuah buku yang ditulis oleh seorang Pendeta (yang memiliki jabatan Pendeta tanpa pendidikan formal, dan tidak jelas kelembagaan pelayanannya) sambil berkata: “Coba Pak Im baca, masa buku ini kog di bilang sesat, dimana sesatnya…? Semuanya kan berdasarkan Alkitab, pakai ayatayat dari Alkitab!” Kalau yang bertanya itu orang Kristen baru mungkin saya dapat memahaminya, tetapi jika yang bertanya adalah mantan Penatua maka soalnya menjadi lain. Karena memang dari segi ajaran buku tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan. Hal lain yang hendak saya sampaikan adalah kenyataan bahwa disamping kemegahan ‘mega-church’ selalu saja bisa dijumpai gerejagereja kecil yang miskin dan akan tetap tampak miskin, tanpa terlalu diperdulikan masa depannya. Saat itulah gereja tampak menjadi komunitas yang egois. Nigel Biggar, seorang professor di Oxford University dalam tulisannya “Good Life: Reflection on What We Value Today” mengungkapkan: “Jika orang tidak dapat mengasihi saudara yang dekat, bagaimana ia dapat mengasihi saudara yang jauh?” Pernyataan Biggar baik untuk menjadi refleksi bagi kita dalam mewujudkan panggilan missioner kita. Panggilan misioner kita bukanlah pertama-tama untuk mengupayakan 183
menjadikan diri kita besar secara kuantitas (namun jika hal itu terjadi maka semua itu terjadi karena kita menjadi gereja yang semakin di sukai, dan kita mensyukurinya) – tetapi panggilan misioner kita adalah menjadikan gereja kita besar secara kualitas, yang kehadirannya dapat mendatangkan berkat bagi banyak orang di sekitarnya. Tidak tergoda untuk menjadikan gereja kita menjadi gereja nomor satu dalam penampilan, tetapi menjadikan gereja kita menjadi gereja yang mempertemukan banyak orang dengan Kristus lewat program-program yang kita rencanakan. Ladang yang menguning adalah kesempatan yang Tuhan berikan bagi kita untuk menghadirkan diri kita menjadi berkat bagi mereka yang membutuhkannya. C.S. Song dalam tulisannya Tells Us Our Name pernah menuliskan relasi antara teologi dan kemanusiaan: “Therefore, humanity to theology is something like water to fish. Fish die when taken out of water. Theology dies when divorced from human life and history”. Itu berarti, kesaksian dan pelayanan gereja yang paling kongkret dan efektif adalah ketika gereja bersedia terlibat dalam pergumulan dan sejarah manusia. Itulah model kesaksian dan pelayanan yang menekankan kepada presensia (kehadiran) yang memberikan sumbangan kepada peningkatan mutu kehidupan. Selamat menjadi gereja yang misioner dan sadar akan panggilan dan kehadirannya di dunia ini. (IKM)
184
BERITAKANLAH INJIL SAMPAI KE UJUNG BUMI dimuat di Warta Jemaat 5 Juni 2011
“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Markus 16:15 )
J
ohn Sung adalah salah seorang penginjil terbesar abad ke-20 yang sudah membuat bayak orang bertobat dan mengenal Yesus Kristus, terutama di Cina, Taiwan, dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Menurut beberapa catatan, pendeta ini berpenampilan unik. Ia kurus dan kecil. Rambutnya pendek dan selalu terurai di dahi. Mukanya pucat dan selalu menunduk. Ia selalu berpakaian kemeja putih sederhana model Tiongkok kuno. Ia tidak suka tersenyum sana-sini atau berbasa-basi. Ia pemalu. Tapi kalau berkotbah, tiba-tiba ia menjelma menjadi nabi yang berapi-api. Orang datang berduyunduyun sampai gedung gereja melimpah ruah. Itulah Dr. John Sung dari Tiongkok yang membuat ratusan ribu orang Indonesia pada tahun 1935-1939 menerima Injil Kristus. Lahir dengan nama Sung Siong Geh pada tahun 1901 di sebuah desa miskin di propinsi Fukien di Tiongkok Tenggara. Ayahnya pendeta Gereja Metodis. Ibunya buruh tani. Mereka sekeluarga bertubuh lemah dan sering sakit. Saat kecil, Sung adalah seorang anak yang nakal, keras kepala dan pemarah, ia tidak pernah menangis ketika dicemeti oleh ayahnya karena kenakalanya. Bahkan ayahnya yang malahan menangis setelah memukulnya. Tetapi Sung adalah anak yang jenius. Ia hafal kitab Mazmur, Amsal dan kitab-kitab Injil. Ia suka menulis karangan yang menetang Jepang. Sung yang baru 12 tahun sudah bisa mengantikan ayahnya menjelaskan Alkitab dari mimbar. Karena itu ia sering dijuluki dengan sebuatan pendeta kecil. Sung sangat pandai sehingga ia meraih beasiswa bintang 185
pelajar seluruh propinsi pada usianya yang ke 18 tahun, dengan beasiswa tersebut ia belajar kimia di Weleyan University di Ohio. Saat itu ia membiaya hidupnya bekerja sebagai tukang sampah dan pembersih mesin di pabrik. Surat kabar di Amerika dan Eropa melaporkan kelulusan dan kejeniusanya sebagai mahasiswa nomor satu. Studinya di lanjutkan di Ohio State University dan berhasil meraih Master of Science hanya alam waktu sembilan bulan, lalu Sung mengambil program doktor, sekali lagi kejeniusannya terbukti. Persyaratan bahasa Prancis dan Jerman dipenuhinya dengan belajar sendiri selama satu bulan, ia lulus dengan gemilang menjadi doktor ilmu kimia hanya dalam tiga semester. Kembali surat kabar Amerika dan Eropa mencatat rekor jenius ini, sehingga banyak perusahaan raksasa menawarkan lowongan kepada Sung bahkan pemerintah Jerman membunjuknya untuk mengembangkan riset teknologi roket di Jerman. Sung menolak semua tawaran itu. Lalu ia masuk sekolah teologi. Namun, sementara itu tubuhnya semakin lemah dengan penyakit asma, paru-paru, jantung, dan khususnya mata. Di sekolah teologi Sung membuat keputusan untuk mengkristalkan pergumulan spiritualitasnya dalam bentuk meninggalkan ilmu kimia lalu menyerahkan jari tangan dan kaki, serta kedua telinga, mata, tangan, dan kakinya untuk memperkenalkan Injil di Asia. Ia tahu bahwa sebagai kimiawan pun bisa menjadi saksi Kristus, namun ia memilih jalan lain. Pada tahun 1939, ia beberapa kali datang ke Indonesia. Acara pemberitaan Injil ini disebut “Serie Meeting” yang terdiri dari 22 pemahaman Alkitab atau khotbah tiap pagi, petang, dan malam selama tujuh hari. “Serie Meeting” ini diadakan di Surabaya, Madiun, Solo, Magelang, Purworejo, Yogyakarta, Cirebon, Bandung, Bogor, Jakarta, Makasar, Ambon, dan Medan. Kekuatan tubuh Sung semakin rapuh. Perang dunia dan kemiskinan yang melanda Tiongkok menekan dia. Berkali-kali ia masuk rumah sakit untuk pengobatan dan pembedahan. Pada tahun 1944 dalam usia 42 tahun Sung meninggal dunia. Di kalangan akademik ia dikenang sebagai kimiawan jenius calon pemenang hadiah Nobel untuk ilmu kimia. Namun, di hati banyak orang lain, ia dikenang sebagai pembawa berita Injil. 186
Kisah DR. Sung ini menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan bisa bekerja, baik dalam kekuatan kita maupun juga di dalam kelemahan kita. Ia mengutus murid-murid-Nya untuk pergi ke seluruh dunia membawa kabar gembira. Injil atau kabar gembira dapat kita bawa tidak selalu melalui perkara-perkara besar. Kita bisa menjadi pembawa kabar baik melalui perbuatan-perbuatan biasa yang menjadi berkat bagi sesama. Kita telah menerima cinta kasih Allah yang teramat besar, maka Ia mengutus kita menghadirkan cinta-kasih Allah itu di manapun kita berada. Keberhasilan Injil tidak ditentukan oleh seberapa besarnya kehebatan kita, namun terletak pada seberapa besarnya cintakasih yang kita berikan pada setiap hal yang kita kerjakan. Selamat memberitakan Injil. (davs).
187
IKAN DAN KAIL dimuat di Warta Jemaat 6 November 2011
Amsal 2 : 1 - 6
I
stilah kuno yang berbunyi “lebih baik memberi kail daripada ikan” atau “jangan beri ikan tetapi kail” adalah filosofi dalam memberi pertolongan kepada orang yang berkekurangan. Konon asal usul istilah ini adalah berasal dari negara tirai bambu. Mengandung makna dalam memberi kepada orang berkekurangan, tidak saja mensuplai makanan dan sejenisnya tetapi berilah dia kemampuan, kecakapan, kepandaian yang kemudian membuatnya mampu melanjutkan hidupnya mencari makanan sendiri. Dalam keadaan/situasi tertentu tidak cukup memberi kailnya saja (kecakapan, kepandaian dan sejenisnya), tetapi juga seseorang memerlukan makanan sampai dia dapat mencari makanannya sendiri dengan kecakapan dan kepandaian yang ia miliki. Tindakan seperti diataslah yang dimaksud dengan ”pemberian yang mengubah masa depan” dan dapat ditambahkan masa depan yang penuh harapan (membangun) = pemberian yang konstruktif bukan yang destruktif (merusak), sebab jika demikian pemberian tersebut mengubah masa depan menjadi masa depan yang suram (madesu).’ Seperti apa pemberian yang destruktif yang membuat masa depan suram? yaitu pemberian kepada anakanak yang sifatnya hanya membuatnya bersenangsenang, menyuap anak-anak dengan berbagai fasilitas yang menyenangkannya, agar orangtua juga bebas melaksanakan kegiatan yang menyenangkannya, tanpa gangguan anak-anak tersebut. Anak-anak yang terdidik dengan cara demikian pada masa depan menjadi orang dewasa yang tidak mampu
188
berjuang untuk kehidupan, karena sudah terbiasa dengan yang serba ada sehingga yang terjadi adalah gemar menyuap, untuk mencapai keberhasilannya, yang menghasilkan banyak penderitaan, penindasan dan kemiskinan (madesu). Contoh pemberian yang penuh harapan adalah pemberian dana pendidikan sampai seseorang mampu mencari penghidupannya sendiri dengan bekal pendidikan yang dia peroleh atau modal usaha bagi mereka yang mampu mengelolanya dengan baik. Untuk mencapai kondisi yang sedemikian rupa perlu dukungan banyak pihak termasuk orangtua dari anak-anak yang mendapat bantuan pendidikan tersebut, juga para guru sekolah minggu, atau pengurus dari kelompok/lembaga/ instansi yang mengelola pemberian tersebut. Dengan mendidik anak tersebut takut akan Tuhan dan mencintai FirmanNya sebab hanya dengan memperoleh pengenalan akan Tuhan anak tersebut memiliki hikmat yang membuatnya memiliki masa depan yang penuh harapan (konstruktif) Amsal 2 : 1 - 6. Kebenaran yang sama berlaku bagi seseorang yang menerima modal usaha sehingga usahanya dapat memberi masa depan yang penuh harapan. Seorang pengusaha bersaksi bahwa pada awalnya dia lahir dari keluarga yang kurang mampu, tetapi karena dukungan dari pelayanan kasih gereja ia dapat melanjutkan studinya keperguruan tinggi yang bergengsi dan mencapai kesarjanaannya dengan nilai yang baik, yang membuatnya memiliki pekerjaan yang baik dan akhirnya menjadi pengusaha yang cukup berhasil. Itulah sebabnya ia selalu peduli dalam memberi dukungan dana pendidikan untuk anak-anak yang datang dari keluarga yang tidak mampu. Akhirnya marilah kita merefleksi pada diri sendiri apakah kita sudah memberi kontribusi dalam pemberian masa depan yang penuh harapan tsb? Selamat berjuang dalam ambil bagian dengan sukacita !!! (NG)
189
“AHA! EUREKA! EUREKA!” dimuat di Warta Jemaat 11 Desember 2011
(sebuah refleksi sederhana atas Yohanes 15 : 18–25)
J
ika saudara bertanya pada saya apa arti kata “AHA” yang menjadi bagian judul karya tulis ini, maka saya akan menjawab “saya tidak tahu”. STOP !!! Saya harap saudara tidak berhenti membaca sampai di sana, karena saya punya penjelasan atas jawaban nampak nyeleneh itu. Untuk itu mari lanjutkan ! Tidak tahu sebab pada dasarnya “AHA” adalah sebuah kata yang sulit dijelaskan secara etimologi (tidak percaya? coba lihat di kamus Bahasa Indonesia!), tapi bukan berarti tidak dimengerti. Hampir semua orang pernah mengalami “AHA” hingga saya pikir semua orang menjadi mengerti bahwa “AHA” lahir dari bibir orang yang tengah dibanjiri perasaan senang dan bersemangat juga sekaligus merasa heran sebab tiba-tiba saja ia menemukan sebuah solusi atas hal yang mengganjal pikirannya. Gelombang perasaan yang dasyat mendorong spontanitas seseorang yang dikenal sangat pemalu atau penganut totokromo sekalipun bisa berjingkrak kegirangan seperti Archimedes yang berseru-seru Eureka ! Eureka ! atau sudah kutemukan! sudah kutemukan!” kala ia menemukan prinsip matematis tuas. Dengan demikian maka secara sederhananya “Aha! Eureka!” menyodorkan pada kita pengalaman seorang yang tercerahkan pemikirannya, di mana semula benaknya kosong dan gelap dalam ketidak mengertian terhapus seketika saja saat kebenaran sekonyong-konyong menyeruak menyibak misteri alam pikir. Orang yang mengalami pencerahan semacam ini biasanya tidak lagi sama alias berubah; mereka yang semula bimbang dalam ragu menjadi sangat percaya diri. Sebab
190
mereka telah bertemu dengan kebenaran yang esensial yang tak terbantahkan, benar yang paling benar sehingga tidak mungkin salah hingga tidak perlu meragu. Pencerahan semacam itulah yang Yesus sampaikan pada para muridNya, ketika Ia menjelaskan siapa diri-Nya dan identitas baru para pengikut-Nya. Yesus menjelaskan dengan gamblang kehadiran-Nya sebagai Firman Allah yang hidup; Firman yang akan menuntun banyak orang berjumpa dengan Allah Bapa Sang Penggagas karya keselamatan yang Yesus laksanakan. Kebenaran siapa Yesus itulah yang kemudian membuat para murid menjadi orang-orang yang berbeda; orang-orang yang siap melawan arus serta menanggung konsekuensinya sebagai yang teraniaya akibat kebencian yang lahir dalam hati orang-orang yang memposisikan diri berseberangan (walau tanpa alasan yang jelas selain ketidaksukaan belaka). Para murid yang telah mengalami pencerahan itu (mengetahui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru selamat) adalah orang yang penuh semangat seperti Archimedes yang kegirangan memberitakan penemuannya pada setiap orang sehingga apa yang diketahuinya menjadi sebuah temuan yang mengubah dunia (yang membuat semua orang menjadi tahu dan meniru perbuatannya) sehingga mengusir kegelapan dengan terang-Nya yang mengubahkan. (MRM)
191
HENDAKLAH TERANGMU SEMAKIN BERCAHAYA dimuat di Warta Jemaat 13 Mei 2012
S
ebuah kata bijak mengatakan demikian: Terkadang Tuhan mengijinkan kita mengalami keajaiban, namun dilain waktu Tuhan juga memakai kita menjadi keajaiban itu sendiri. Namun dalam kenyataannya banyak manusia memilih untuk meminta keajaiban terjadi dalam hidupnya dan sedikit di antara mereka meminta dirinya dipakai menjadi alat keajaiban di tangan Tuhan bagi kehidupan di bumi ini. Ketika kita merayakan HUT ke 75 GKI Gunung sahari IV/8 Jakarta Pusat dan sejenak kita menengok kebelakang, tak terhitung keajaibankeajaiban yang Tuhan ijinkan terjadi dalam gereja kita dan juga Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupan pribadi lepas pribadi. Gereja yang pada awalnya harus berpindah-pindah tempat lalu Tuhan ijinkan untuk tinggal menetap. Dan kalau kita mau hitung keajaiban- keajaiban yang Tuhan ijinkan terjadi di tengah-tengah kita maka tidak terhitung jumlahnya. Ketika kita sebagai gereja maupun sebagai pribadi mengalami keajaiban yang berasal dari Tuhan, mestilah kita cepat tersadar bahwa di dalamnya pasti ada pihak-pihak yang Tuhan pakai menjadi alat keajaiban itu sendiri. Gereja yang semakin bercahaya bukanlah gereja yang tinggal diam menanti keajaiban terjadi di dalamnya. Gereja yang bercahaya adalah gereja yang siap dijadikan alat untuk menghadirkan keajaiban-keajaiban/ perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam kehidupan ini. GKI Gunung Sahari ada bukan karena ada orang duduk diam menanti sebuah keajaiban, tetapi gereja ada karena ada orang-orang yang rindu dipakai Tuhan menghadirkan keajaiban. Ada hamba-hamba Tuhan dari negeri Belanda dan dan hamba-hamba Tuhan setempat yang mau mengerjakan pelayanan yang tidak menarik, pelayanan yang
192
mungkin dianggap tidak mungkin berhasil, ada keluarga- keluarga yang mau dipakai menjadi alat di tangan Tuhan untuk menopang bentuk pelayanan yang dianggap tidak lazim pada zamannya. Memulihkan para pemadat pada waktu itu bagaikan sebuah pekerjaan yang sia- sia. Tetapi berkat ketekunan anak-anak Tuhan yang rindu dipakai menjadi alat keajaiban di tangan Tuhan maka pelayanan yang dianggap sia-sia pada zamannya membuahkan karya ilahi melalui kehadiran gereja di tengah masyarakat. Ketika kita, sebagai jemaat Tuhan, merayakan hari ulang tahun yang 75 dan menyongsong perjalanan panjang ke depan apa yang akan kita lakukan? Duduk diam menantikan mujizat terjadi di tengah-tengah kita ataukah kita menyingsingkan lengan dan menyiapkan hati agar apabila Tuhan berkenan memakai kita menjadi alat di tangan-Nya kita siap dipakai untuk menghadirkan perbuatan-perbuatan Allah yang besar. Rasul Paulus mengingatkan kepada jemaat di kota Korintus bahwa Allahlah yang membuat terangnya bercahaya di dalam diri setiap orang percaya: Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita... (2 Korintus 4:6) dan terang itu semakin bercahaya ketika setiap anak Tuhan dan gereja-Nya tetap teguh di dalam pelbagai tantangan kehidupan sebagaimana dialami oleh Paulus dalam pelayanannya: Dalam segala hal kami ditindas namun tidak terjepit; kami habis akal namun tidak putus asa; kami dianiaya namun tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempaskan namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Korintus 4:8-10) (STP)
193
MEMBERITAKAN PERBUATAN BESAR DARI ALLAH dimuat di Warta Jemaat 22 Mei 2011
”Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; Atau setidaktidaknya, percayalah karena pekerjaanpekerjaan itu sendiri. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaanpekerjaan yang lebih besar dari itu.” Yohanes 14:11-12.
YOHANES 14:1-14
A
da seorang sales yang sedang menawarkan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan di mana ia bekerja. Ia nampaknya begitu sangat menguasai dan tahu secara mendetail, sehingga ia dengan sangat mahir dan piawainya menjelaskan tentang kualitas, manfaat dan keuntungan bila menggunakan barangbarang yang diproduksi oleh perusahaannya tersebut. Ia rupanya sudah cukup berpengalaman, hal itu nampak dari jawaban-jawaban yang ia berikan atas setiap pertanyaan yang diajukan oleh para calon pembeli dengan penuh percaya diri. Tetapi ada satu pertanyaan yang nampaknya membuat ia agak terhenyak. Pertanyaan itu: ’Apakah anda sendiri sudah menggunakan semua barang-barang itu?’. Dan ia menjawabnya dengan sambil tersipu-sipu: ’belum!’ Dalam dunia perdagangan, hal seperti itu mungkin sudah biasa dan orang bisa melakukannya: menawarkan sesuatu untuk dijual ke orang lain, yang ia sendiri belum pernah merasakan manfaat dan keuntungannya, dan mungkin juga yang ia sendiri merasa tidak perlu dan penting untuk merasakannya. Yang penting barang terjual! Kalau hal tersebut diberlakukan juga di dalam ’menawarkan’ berita Injil Kerajaan Allah (dhi: memberitakan perbuatan besar dari Allah) itu namanya KLISE! Yang ujung-ujungnya ’berita perbuatan besar dari Allah’ benar-benar hanya akan menjadi sebuah klise belaka. Dalam nas alkitab, Yohanes 14, khususnya ayat 8-12, Tuhan Yesus – sehubungan dengan tegurannya kepada salah seorang murid-Nya, Filipus – menunjukkan hal yang hakiki. Dimulai dengan pernyataan tentang kesatuanNya
194
dengan Sang Bapa (Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku). Itu menunjukkan bahwa Ia mengenal Sang Bapa bukan sekedar dari kitab suci atau dari apa yang dikatakan oleh orang-orang sejaman-Nya; tetapi pengenalan-Nya itu melalui sebuah hubungan atau persekutuan yang mendalam antara Dia dan Sang Bapa. Kemudian, Ia menyampaikan bahwa Ia tidak hanya sekedar memberitakan perbuatan besar dari Allah, melainkan memberlakukannya melalui seluruh tindakan dan perbuatan-Nya. Bahkan Ia menjadikan diri-Nya, seluruh tindakan-Nya dan seantero perbuatan-Nya adalah wujud nyata dari perbuatan besar dari Allah itu sendiri, yakni keselamatan bagi dunia; Keselamatan yang tidak hanya untuk kehidupan kelak di seberang sana, tetapi juga keselamatan untuk kehidupan kini dan di sini. Inilah perbuatan besar dari Allah yang terpurna. Tegurannya kepada Filipus: ’Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa ...’ adalah juga merupakan teguran kepada kita semua! Melalui teguran itu sebenarnya kepada kita diperhadapkan pertanyaan-pertanyaan berikut: Sungguhkah kita sudah mengenal Dia? Sungguhkah kita sudah mengalami persekutuan yang mendalam dengan Dia? Sungguhkan kita sudah menghayati dan merasakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia? Ini bukan pertanyaanpertanyaan gugatan atau sinisme yang mau memojokkan kita semua, tetapi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mau menggugah kita semua, yaitu betapa pentingnya mengenal, mengalami & merasakan keberadaan Tuhan Yesus dan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Sebab penghayatan itulah yang akan menjadi dasar, bukan cuma sekedar memberitakan, tetapi juga menunjukan dan memberlakukan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Tanpa penghayatan seperti itu, kita hanya sekedar akan menjadi ’sales’ yang klise! (SDJ)
195
TERANG-NYA TETAP BERSINAR dimuat di Warta Jemaat 25 Desember 2011
K
egelapan adalah keadaan yang membutuhkan terang. Kegelapan oleh dosa sedang menguasai kehidupan manusia. Berbagai perbuatan kegelapan yang begitu meraja lela menguasai hidup manusia antara lain: Percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, perecideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan dan pesta pora dansebagainya, yang berakhir dengan maut. Maut bukan saja berarti penderitaan (kemiskinan, kebodohan, dan sakit penyakit) serta kematian jasmani, tetapi yang paling menakutkan adalah kematian yang kedua (kematian kekal) Wahyu 21 : 8. Manusia yang berdosa dapat lolos dari kematian kekal teresebut hanya oleh rahmat dan belas kasihan Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Yohanes 3 : 16 dan di dalam Lukas 1 : 78 rahmat dan belas kasihan Allah tersebut digambarkan seperti “Surya Pagi dari tempat tinggi”, yang sedemikian terang sehingga mampu mengenyahkan kegelapan dosa manusia dan manusia yang berdosa dapat bebas dari akibat dosa yaitu maut. Arah perjalanan hidup manusia diarahkan kepada damai sejahtera, kasih, suka cita, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri yang sempurna dalam kekekalan (kehidupan kekal). Menjadi pernyataan yang sangat mendasar, mengapa kegelapan dosa tersebut pada masa kini semakin pekat? Apakah gereja yang menjadi penyalur terangNya yang dahsyat tersebut telah disusupi kegelapan? Sehingga kelihatannya tidak berdaya untuk mengalahkan kegelapan dosa tersebut? Masihkah ada pertobatan bagi seorang bapa yang begitu kemaruk dengan kekuasaan, harta (kekayaan) menjadi seorang yang rela berkorban bagi sesama yang menderita dengan penuh kasih? Masihkah ada pertobatan seorang wanita yang begitu rupa hanya ingin
196
menikmati berbagai kesenangan dunia (kemewahan dalam setiap aktivitasnya) dan tidak pernah peduli akan penderitaan orang banyak, selain memanfaatkan mereka menjadi seorang penuh kemurahan dan kelembutan untuk menolong mereka yang telah jatuh dalam dosa? Bukankah siapa dalam Kristus adalah ciptaan baru; 2 Korintus 5 : 17 Ditengah keadaan yang hampir putus asa melihat ketidak berdayaan gereja mengalahkan kegelapan, timbul harapan ketika menyaksikan seorang ibu setengah baya yang mengalami banyak penderitaan seperti pepatah berkata “sudah jatuh ditimpa tangga”, tetapi keadaan tersebut tidak cukup untuk mengoyahkan imannya dan berpaling dari terang kasih Tuhan serta hidup dalam kegelapan, sebaliknya dia semakin bertambah setia serta semakin mencintai Tuhan. Bukankah Yohanes 1 : 5 berkata: Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. Jikalau demikian adanya, mengapa gereja seakan-akan tidak berdaya mengalahkan kegelapan? Jangan-jangan di dalam gereja ada banyak orang yang belum berjumpa dengan terang sesungguhnya (yang terjadi adalah perjumpaan palsu=imitasi), sehingga tidak mampu menerangi kegelapan dosa disekitarnya. Marilah kita merefleksi dan mengevaluasi diri kita masing-masing apakah kita sudah berjumpa dengan terang yang sesungguhnya pada natal ini? Seperti yang dialami oleh tokoh drama yang bernama Kairos. Marilah kita berdoa agar terang yang sesungguhnya menerangi hati kita, agar kita mampu memantulkan terang itu kepada dunia disekitar kita (terangNya tetap bersinar dalam hidup kita). “Selamat natal, Selamat menyambut terang yang sesungguhnya” (NG)
197
BERPEGANG TEGUH PADA TUGAS DAN PANGGILAN ALLAH dimuat di Warta Jemaat 26 Agustus 2012
Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.Maka kata Yesus kepada kedua belas muridNya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga? (Yohanes 6:66-67)
P
ada waktu itu banyak orang mengikut Yesus oleh karena mijizat-mujizat yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus. Mereka mengikut kemana saja Yesus pergi. Tetapi ketika Tuhan Yesus mulai mengajar hakekat dan tugas panggilan setiap murid Kristus, satu persatu orang banyak mulai bersungut-sungut dan meninggalkan Yesus. Ini adalah sebuah realitas yang terjadi bukan hanya pada zaman dahulu tetapi juga terjadi pada masa kini. Banyak orang datang mencari Tuhan hanya sekedar untuk memuaskan hasrat melihat dan menikmati keajaiban; banyak orang mencari Tuhan supaya Tuhan memenuhi keinginan-keinginan mereka. Ketika mereka tahu bahwa Tuhan tidak selalu memenuhi keinginan mereka, ketika mereka tahu bahwa keinginan Tuhan berlawanan dengan keinginan mereka. Ketika mereka tahu bahwa mereka mulai ditegur dan diajar dan mungkin dihajar dengan kata-kata yang keras, lalu mereka mulai meninggalkan Tuhan. Tidaklah heran apabila ada gereja yang tidak terlalu memperhatikan administrasi keanggotaan, sebab jemaatnya datang dan pergi. Jemaatnya tidak pernah tetap, sebab yang datang hanya sekedar ingin memuaskan hasrat akan keajaiban. Jemaat yang tidak memperhatikan administrasi keanggotaan bisa jadi adalah jemaat-jemaat yang mengeksploitasi hasrat akan keajaiban. Mereka tidak peduli siapa yang datang minggu ini yang penting
198
setiap hari minggu kursi gereja penuh terisi. Gereja tidak lebih hanya sebagai sebuah ajang pertunjukan, dimana setiap orang datang untuk menyaksikan pertunjukan keajaiban. Ketika yang mereka harapkan tidak mereka dapatkan maka mereka berkeliling terus untuk memuaskan dahaga yang pernah terpenuhi. Ketika orang banyak mulai meninggalkan Tuhan Yesus, dan sekarang yang berada di hadapan-Nya tinggalah murid-murid-Nya, Yesus bertanya dengan pertanyaan singkat tapi begitu tajam dan mendalam: Apakah kamu tidak mau pergi juga? Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan untuk murid-murid pada waktu itu, tapi pertanyaan ini juga ditujukan untuk murid-murid masa kini. Ketika ada banyak orang datang ke gereja hanya sekedar untuk memuaskan hasrat melihat dan mengalami sensasi keajaiban apakah kita juga mau seperti mereka? Sanggupkah kita menjawab pertanyaan Tuhan Yesus seperti Simon: kepada siapa kami akan pergi? Tidak ada alternatif lain untuk memperoleh hidup yang kekal selain datang menghampiri hadirat Tuhan. Betapapun ketika kita mengikut Kristus kita mengalami pelbagai tantangan dan pencobaan, mengalami aniaya dan sakit penyakit, mengalami pelbagai persoalan dan kesulitan, tidak sekalipun kita beranjak dari hadirat Tuhan. Oleh karena itu gereja yang Proporsional adalah gereja yang selain menyaksikan perbuatan-perbuatan Allah yang besar ia juga memberitakan pengajaran-pengajaran Allah yang dalam. Sehingga setiap orang yang berkumpul di dalamnya tiudak hanya ingin mengalami keajaiban-keajaiban Tuhan tetapi juga siap untuk memikul salib dan berjalan di jalan yang sudah Tuhan tetapkan kepada muridmurid-Nya. (STP)
199
PENGADILAN MILIK ALLAH dimuat di Warta Jemaat 5 Februari 2012
Ulangan 1 : 16 – 17
A
khir-akhir ini melalui media massa elektronik sering kita mendengar istilah yang demikian : “Pedang pengadilan tajam untuk rakyat kecil sementara tumpul untuk mereka yang berduit atau pejabat”. Kalimat tersebut ditafsirkan sebagai berikut : Begitu mudahnya vonis dijatuhkan kepada rakyat kecil yang ditemukan mencuri hal-hal kecil (mis : beberapa buah semangka, cocoa, kapuk, pisang, piring dst). Sementara kasus-kasus besar korupsi milyaran bahkan trilliunan banyak yang tidak jelas akhirnya. Resi Bisma, menterjemahkan bahwa “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan” yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti : (1) tidak berat sebelah, (2) sepatutnya; tidak sewenangwenang yang berarti pengadilan harus memenuhi syarat-sayarat : netralitas atau ketidak berpihakan dan atau dasar-dasar pertimbangan yang patut. Ulangan 1 : 17 mengatakan bahwa pengadilan adalah milik Allah oleh karena itu tidaklah benar apabila seseorang berlaku tidak adil dan pandang bulu, tetapi haruslah memperhatikan semua perkara baik besar maupun kecil dan tidak perlu gentar untuk memperjuangkan kebenaran. Pelajaran apakah yang perlu kita perhatikan dari kebenaran Firman Tuhan tersebut? Meskipun kita bukan seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam lembaga peradilan, tetapi berlaku adil terhadap siapapun adalah tanggung jawab kita bersama sebagai orang yang sungguh mencintai Tuhan, sudahkah kita berlaku adil terhadap istri, suami,
200
anak, orangtua, adik, kakak, teman-teman dan rekan sekerja, karyawan, majikan, bahkan masyarakat yang luas yang mungkin perjumpaan kita dengan mereka hanyalah dalam waktu yang singkat. Banyak orang yang berlaku tidak adil karena memberhalakan diri sendiri, sehingga egois, hawa nafsu lebih menguasai diri, dan seseorang cenderung memandang bulu, orang yang lemah akan ditindas dan yang kuat tetap benar meskipun sebenarnya melakukan kesalahan. Keadilan dapat terjadi ketika semakin banyak orang mempercayakan hidupnya kepada Tuhan, sehingga ia sadar bahwa pengadilan adalah milik Allah, karena hanya dengan mengenal Tuhan lebih baik, kita dimampukan melakukan kehendak-Nya yaitu keadilan. Yohanes 15:7 Alangkah indahnya ketika seseorang yang memiliki otoritas dalam lembaga peradilan, yaitu: Polisi, Jaksa, Pengacara, Hakim adalah orang yang takut (mencintai) Tuhan, tentu lembaga peradilan yang sepak terjangnya saat ini sangat memprihatinkan, mengecewakan (menyedihkan) akan diubah membawa kelegaan dan damai sejahtera. Marilah kita bersama memulihkannya dengan kesadaran “Pengadilan Milik Allah” (NG)
201
ELISABETH dimuat di Warta Jemaat 9 Desember 2012
(sebuah renungan singkat atas Lukas 1)
“T
erima kasih untuk Elisabeth.” Hal itu yang mungkin akan Maria tulis dihalaman dedikasi jika ia membuat autobiografi. Nama Elisabeth akan disebut karena bagi Maria perannya cukup penting sehingga membuatnya berani terlibat dalam karya Ilahi. Elisabeth adalah saudara sepupu Maria yang cukup dekat hubungannya. Tidak jarang Maria berkunjung ke rumahnya di daerah Yudea walaupun harus menempuh jarak yang cukup jauh dari Galilea tempat ia tinggal. Elisabeth dikenal sebagai seorang perempuan baik walaupun hidupnya berbeban karena tidak memiliki keturunan. Sejak muda ia dengan setia mendukung pelayanan suaminya Imam Zakharia di bait Allah. Dicatat dalam Injil, Elisabeth bersama dengan suaminya hidup sebagai orang benar di hadapan Allah; bahkan disebutkan sebagai yang tidak bercacat. Olah karena itulah maka tidak aneh jika mereka dipanggil untuk terlibat dalam karya Allah. Dan lihatlah bagaimana Zakharia dan Elisabeth yang sudah tua tapi ‘toh tetap bersedia menjadi rekan kerja Allah. Bahkan dikatakan mereka bersyukur pada Tuhan atas pekerjaan-Nya . Tentu bukan hal yang mudah bagi Elisabeth untuk mengandung pada saat usianya sudah lanjut. Bahkan Injil Lukas mengisyaratkan ia perlu beristirahat total selama 5 bulan sampai kandungannya kuat. Elisabeth sungguh perempuan yang hebat karena mau mengalami itu semua. Elisabeth inilah yang kemudian juga menginspirasi Maria saat ia bergumul.
202
Maria terteguhkan saat melihat Elisabeth. Ia yang baru saja mendengar panggilan Tuhan untuk terlibat dalam karya-Nya menemukan kekuatan saat bertemu dengan Elisabeth. Hati Maria tergugah saat melihat seorang perempuan bersedia untuk mengandung anak diusianya yang lanjut. Iman Maria terteguhkan melihat pekerjaan Allah dalam diri Elisabeth. Maria dapat melihat dengan jelas bagaimana segala kemustahilan ditepiskan Allah lewat karya-Nya. Maria terteguhkan oleh sosok hamba yang setia seperti Elisabeth. Maria memuji Tuhan karenanya. Sebab Elisabeth saudara sepupunya memberikan teladan menjadi seorang hamba Tuhan. Untuk itu jika kita boleh menambahkan kata dalam lembar dedikasi Maria di autobiografinya mungkin tidak salah jika kita menambahkannya menjadi “Terima kasih untuk Elisabeth yang telah membuatku melihat perbuatan Tuhan lewat kesetiaanmu mengikut jalan-Nya. Engkau menularkan keberanian dalam hidupku” (MRM)
203
BERITAKAN KARYA-NYA dimuat di Warta Jemaat 23 Desember 2012
(renungan singkat atas Matius 2 : 4-6)
A
khir-akhir ini, saya seperti banyak orang lain sering mendapatkan kartu ucapan yang kita kenal sebagai kartu Natal. Kartu Natal adalah sebuah kartu yang cantik dengan gambar menarik berisikan tulisan singkat seperti Merry Christmas with all good wishes for the New Year atau Selamat Natal dan Tahun Baru dan sebagainya. Kartu-kartu inilah yang membawa saya berefleksi. Sebuah pengalaman yang hendak saya bagikan dalam masa Adven empat ini. Menerima kartu Natal telah membuat saya tertegun; bukan karena keindahannya akan tetapi kehadirannya mengingatkan bahwa Natal telah tiba. Tentu arti Natal disini bukan Big sale (baca: waktunya untuk berbelanja) tetapi Natal adalah kabar baik bahwa Tuhan telah lahir ke dunia. Itulah yang membuat kartu-kartu itu special karena dari sekedar kartu ucapan telah berubah wujud menjadi pemberita karya Allah dalam hidup manusia. Berita tentang karya Allah di dunia tentu saja tidak hanya sekedar berita bagi kita semua, tetapi suatu kabar yang mengajak tiap orang untuk bersukacita dan kemudian terlibat dalam karya-Nya. Sebab bukankah Tuhan bekerja manusia ikut serta?! Untuk itu timbul keironisan dalam hati saat membaca Matius 2 : 4 – 6. Di sana diungkap sutu sikap Imam kepala dan Ahli Taurat yang tidak sesuai dengan panggilan hidupnya. Sebab bukankah para imam dan ahli Taurat mengetahui benar nubuatan rencana Allah tentang Juru Selamat? dan bukankah mereka juga telah mendengar kabar kehadiran-Nya? akan tetapi mengapa sikapnya seolaholah
204
menunjukkan bahwa mereka tidak merasa terpanggil terlibat didalamNya? lihat saja bagaimana mereka memilih tetap diam dan melakukan rutinitas sehari-harinya saat mendengar kabar yang dibawa para Majus. Matius 2 : 4 - 6 mencatat imam dan ahli Taurat tidak memberitakan karya Allah dalam pilihan sikapnya. Padahal, seharusnya kehadiran seorang berpengetahuan ditengah-tengah kehidupan membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memberitakan atau memberitahukan dan menegakkan kebenaran Ilahi yang diamininya. Bercermin dari pengalaman para imam dan ahli kitab itu, kemudian munculah pertanyaan demi pertanyaan menghampiri saya : “Bagaimana dengan kita saat ini? perbuatan apa yang menandai bahwa kita memilih sikap yang berbeda dengan para imam di Matius 2? adakah kita sudah memberitakan karya Allah?” Tentu menjawab pertanyaan di atas tidak cukup hanya mengirimkan sekedar kartu Natal kemudian merasa cukup. Sebab, masih ada banyak hal yang perlu kita kerjakan sebagai wujud pemberitaan karya Allah di dunia. Memberitakan karya Allah adalah sebuah pekerjaan panjang yang terus kita kerjakan dalam tiap kesempatan sebab kita mencintai pemberitaan tersebut. Seperti kesaksian yang dinyatakan lewat syair “Aku serahkan diri penuh, dalam Tuhanku hatiku teduh” yang artinya semua itu akan terus dikerjakan sebab kita adalah gerejaNya yang dihadirkan di dunia untuk membawa terang dan menggarami kehidupan. Kita adalah saksi-saksi Tuhan yang tidak akan berhenti mewartakan sampai seluruh dunia mengenal karya-Nya. Maka dari itu dalam susah maupun senang kita akan memberitakan; dalam sehat atau sakit kita akan tetap memberitakan; dalam hidup ataupun mati kita juga tetap memberitakan karya-Nya. Kiranya semangat memberitakan karya Allah terus berkobar dalam dada sehingga kita tidak akan sekedar mengingat karya-Nya di Natal kali ini tetapi terlibat dalam karya-Nya sepanjang kehidupan ini. Tuhan memberkati. (MRM)
205
Penulis
Pdt. Imanuel Kristo
Pdt. Royandi Tanudjaya
Pendeta GKI Gunsa
Pdt. Nurhayati Girsang
Pdt. David Sudarto
Pdt. Suta Prawira
Pendeta GKI Gunsa
Pendeta GKI Gunsa
Pendeta GKI Gunsa
Pnt. Febe Oriana
Pdt. Sheph Davidy Jonaz
Irwanto Hartono
calon Pendeta GKI Gunsa
Rachmayanto Surjadi
Tulus Gunawan
Hidup
KRISTEN Kumpulan bahan renungan yang diterbitkan dalam
WARTA JEMAAT 2011-2012
Pendeta GKI Gunsa
Pdt. Merry Malau
Pendeta GKI Gunsa
Magdalena Lesmana
Debora R.Simanjuntak
: GKI Gunung Sahari : @gkigunsa
www.gkigunsa.or.id