Buku ini menjawab tulisan KH. Muhyiddin Abdusshomad dalam bukunya Fiqh Tradisionalis, Cet VI, 2007, Pustaka Bayan, Malang karena isinya yang cukup mengejutkan pembacanya. Di sini akan kita temui bahwa hal-hal yang sudah mentradisi sangat mewarnai kehidupan sehari-hari, bahkan terjalin berkelindan, merambah ranah agama. Banyak dijumpai adanya pembiaran, pembenaran, penambahan serta pengabaian yang bila tidak disadari dapat mengakibatkan hadirnya tuhan baru di dalam kehidupan, yaitu nafsu. Akan kita lihat bagaimana selera berperan di dalam peribadatan sehari-hari, yang pada akhirnya mengakibatkan banyaknya pembenaran atas amaliyah yang tidak berdasar pada sumber otentik yaitu al-Qur‘an dan Hadits Shahih. Misalnya salah satu manfaat dari dibolehkannya berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian. Bila kematian terjadi, maka hanya ada dua pilihan saja yang tinggal yaitu surga atau neraka. Kalau tujuannya adalah yang pertama, sudah yakinkah kita akan masuk surga sedang kita tidak bersungguhsungguh ingin menggapainya? Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum jelas bagi Allah orang-orang yang bersungguh-sungguh diantaramu dan belum jelas orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran: 142)
Ayat tersebut menegaskan bahwa surga merupakan barang mewah yang tidak akan pernah diobral dengan harga murah dan yang tidak akan mungkin dicapai dengan senda gurau dan acuh tak acuh melainkan dengan sungguh-sungguh dan kesabaran. Oleh karenanya Allah swt. mengingatkan: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. AtTahriim: 6) Ayat tersebut sudah sering kita dengar, namun biasanya hanya disampaikan sepenggal saja (yaitu yang tercetak tebal), padahal bila dilanjutkan, akan menginspirasi kita kepada pemahaman yang lebih luas; yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Mengapa Allah swt. memadankan manusia dengan batu bukan dengan tanah, padahal logika padanan manusia dengan tanah lebih mudah untuk dincerna, bukankah manusia diciptakan dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah lagi? Bukankah lava gunung berapi, magma bumi itu sebenarnya adalah tanah yang meleleh? Memang ada juga batuannya, tetapi bebatuan yang terjadi sebenarnya merupakan tanah jua yang menggumpal. Perhatikan ayat berikut: Maka ketika keputusan Kami datang, Kami jungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. (QS. Huud: 82)
2
Lalu apa maksud Allah memadankan manusia dengan batu? Hati yang tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah inilah yang diqiaskan bagai batu, yang sulit memahami maksud Allah swt., lebih sulit ketimbang memahami baik dan buruk, sebab baik dan buruk itu relatif tergantung dari sudut pandang masing-masing. Namun memahami maksud Allah memerlukan usaha yang sungguh-sungguh, yang tidak akan mungkin terujud oleh hati yang membatu. Batu saja meluncur jatuh karena takut kepada Allah, namun manusia yang berhati lebih keras ketimbang batu tidak takut kepada Allah. Kita takut kepada sesama tapi tidak takut kepada Allah, kita segan kepada sesama tapi tidak segan kepada Allah, kita menghormati orang lain tetapi tidak menghormati Allah karena kita mempunyai banyak dalih untuk itu, apakah demi ukhuwah, karena kebiasaan, sudah tradisi, menghargai, menghormati orang lain, dsb. Dan oleh karenanya kita menjadi berani kepada Allah swt. Tentu kita akan merugi bila mengatakan bahwa kita adalah orang yang beriman namun Allah mengatakan tidak. Dan di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 8) Takutlah kepada-Nya dengan takut yang benar yang tidak hanya keluar dari bibir, namun hendaknya keluar dari hati (qalbu). Hanya kepada-Nya sajalah kita berserah diri. 3
Dalam buku ini akan dinukilkan beberapa contoh yang sebagian besar diambil dari buku Fiqh Tradisionalis karangan KH. Muhyiddin Abdusshomad (selanjutnya disebut Abdusshomad saja), Cet VI, 2007, Pustaka Bayan, Malang. Buku ini merupakan satu dari beberapa buku yang cukup “mengejutkan” karena keberanian pengarangnya dalam menyampaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan fiqh yang menjadi acuan banyak orang dalam mencari kebenaran, tanpa melakukan penyelidikan dan penelitian yang cukup atas sumber-sumber hukum yang akan dijadikan rujukan. Mengejutkan karena penulisnya adalah pengasuh Pondok Pesantren yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang salah satu organisasi massa, jabatan yang cukup tinggi bagi seorang ulama’ dan yang telah menghasilkan banyak buku namun ulasanulasannya dalam mengupas sumber rujukan terlihat begitu dangkal. Ternyata bukan saya saja yang terkejut, bahkan pengarangnya sendiri pun terkejut: Sungguh, saya tidak mengira bila sambutan terhadap buku ini semakin luas.” (Fiqh Tradisionalis, h. x) Agak mengherankan bahwa buku seperti ini bisa mendapat sambutan sedemikian besar hingga dicetak ulang sebanyak 6 kali sejak diterbitkan untuk pertama kalinya di bulan Agustus 2004, bahkan Majelis Pendidikan Menengah Departemen Agama RI telah me4
mesan ribuan eksemplar (h. ix). Hal yang sangat mencengangkan. Berikut adalah dukungan dari beberapa kyai atas buku tersebut: Kyai-kyai sepuh di lingkungan NU juga menyambut baik atas terbitnya buku ini. KH. M. Bashori Alwi misalnya, pengasuh Pesantren Ilmu alQur‘an (PIQ) yang dikenal “allaamah” pemegang teguh tradisi keagamaan ulama’ salaf, serta cagar paham Islam “Ala Ahlus Sunnah wal Jama’ah” itu sampai-sampai menggelar acara “Bedah Buku Fiqh Tradisionalis ini pada 1 Mei 2005 lalu di Malang. Bedah buku itu diikuti oleh para santri dan alumninya, juga dosen-dosen dari daerah Malang dan Surabaya. (h. x) Ustadz Habib Hasan Baharun, Mutasyar Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pusat dalam Taqdimnya mengatakan: Menurut hemat saya buku al-Akh KH. Muhyiddin Abdusshomad yang berjudul “Fiqh Tradisionalis” ini sudah memenuhi kriteria untuk masuk sebagai buku wajib santri di Pondok Pesantren, disamping buku wajib yang sudah ada. (h. xxi) Keterkejutan pengarangnya mungkin juga disebabkan oleh kesadaran bahwa apa-apa yang ditulis sebenarnya tidak berhak mendapatkan apresiasi sedemikian besar. Bagaimana tidak, sedang hampir keseluruhan isinya mengambil rujukan Kitab-Kitab yang isinya tidak selalu sejalan dengan al-Qur‘an dan Hadits, karena hanya merupakan ijtihad ulama’, bahkan ada 5
nukilan kitab yang mengutip ayat al-Qur‘an dengan tidak sempurna, yaitu terlewatkan satu suku kata; celakanya kata yang terlewatkan adalah kata “tidak” sehingga simpulan yang diperoleh menjadi terbalik. Ironisnya keterbalikan tersebut justru dijadikan landasan argumentasi. (h. 270) Ada pula kutipan kitab yang paragrafnya sangat panjang, demikian panjangnya sampai-sampai dipahami secara keliru oleh penulisnya (FT, h. 268). Juga ada ketetapan yang disandarkan kepada sebuah syair, dan untuk itu Abdusshomad “terpaksa” merekayasa Hadits. (h. 104) Abdusshomad mengatakan: “… buku ini bukan bermaksud untuk melakukan aksi ofensif, tetapi merupakan aksi defensif dari beragam gugatan yang ditujukan kepada tradisi keagamaan dan keyakinan kalangan tradisionalis (FT, h. xii). Buku ini sengaja diberi judul “Fiqh Tradisionalis” sebagai bentuk jawaban komunitas Islam tradisional terhadap anggapan para modernis, yang memandang perilaku keagamaan mereka menyimpang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam, sebab amaliyah yang mereka lakukan adalah bid‘ah, tahayul dan khurafat. Pendapat kaum modernis tersebut seolah-olah meragukan landasan teologis, bahkan cenderung meragukan kemurnian ajaran Islam yang tumbuh dan berkembang, bahkan telah menjadi tradisi yang menyatu dengan masyarakat muslim Indonesia.”
6
Bukankah sebaiknya beragam gugatan tersebut dijadikan sarana introspeksi untuk mencari kebenaran; apalagi melihat bahwa aneka gugatan tersebut cukup keras. Akan kita lihat kemudian bahwa anggapan dan keraguan mereka para modernis tersebut memang beralasan. Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban KH. Abdullah Faqih dalam Kata Sambutannya berkata: Kitab ini menjelaskan kebenaran amalan jama’ah kita, setidak-tidaknya kaum mu’taridin (orangorang yang menentang amalan tersebut) tahu bahwa jama’ah Nahdliyyin melakukan amalan tersebut tidak taqlid buta kepada pendahulunya. Karena itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Mereka punya pendapat sendiri, juga kita punya pendapat yang menjadi pedoman kita … Apabila dari pihak mu’taridin itu masih berbeda pendapat dan menolak, maka silakan menempuh jalannya sendiri setelah ini. (h. xviii) Apakah sudah tertutup pintu perbaikan? Apakah sudah sempurna pemahamannya sehingga tidak memerlukan koreksi, bagaimana jika terdapat kesalahan? Padahal satu-satunya yang berhak menyatakan kesempurnaan hanya Allah swt. saja seperti firman-Nya di dalam surat al-Maaidah: 3. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu. (Penggalan QS. Al-Maaidah: 3) 7
Oleh karenanya, benar bahwa Islam tidak perlu diperdebatkan lagi, kalau itu murni dari Allah swt. dan Rasulullah saw., karena Islam telah sempurna diturunkan, sehingga tidak memerlukan tambahan apaapa lagi. Perdebatan biasanya muncul manakala terjadi penyimpangan dari pokok. Di sinilah permasalahan itu terjadi. Misalnya “hadiah pahala”. Kalau itu memang penting untuk diamalkan, niscaya Rasulullah saw. sampaikan kepada para sahabat. Betapa tidak, masalah pahala adalah masalah yang besar, dimana kita semua saling berlomba untuk mendapatkannya sebanyak mungkin demi kebahagiaan akhirat. Tidak sedikit Allah swt. menghubungkan amalan-amalan ibadah dengan pahala secara langsung sebagai perangsang. Apakah Rasulullah saw. lupa menyampaikan? Kalau kita mengimani bahwa Islam sudah sempurna diturunkan, maka kita tidak akan mengatakan bahwa Beliau lupa menyampaikan perlunya hadiah pahala. Dan kalau Rasulullah saw. tidak lupa, maka tidak ada berita akan sahnya hadiah pahala yang bersumber dari Beliau karena masalah peribadatan hanya memerlukan al-Qur‘an dan Hadits saja, sedang alQur‘an mengatakan: Tiada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhan-lah mereka akan dihimpun. (QS. Al-An‘aam: 38)
8
Kemudian jika mereka mendebat kamu, maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku” Dan katakanlah kepada orangorang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam.” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah maha melihat akan hambahamba-Nya. (QS. Ali Imran: 20) Memang benar apa yang dikatakan KH. Abdullah Faqih: “Apabila dari pihak mu’taridin itu masih berbeda pendapat dan menolak, maka silakan menempuh jalannya sendiri setelah ini.” Benar, karena al-Qur‘an mengatakan: “dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan.” Bukankah kewajiban kita hanyalah saling mengingatkan dalam kebenaran? Oleh sebab itu, hal ini berlaku pula sebaliknya. Dalam hal mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama Islam agar tetap sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat Beliau, Abdusshomad membuat sebuah catatan kaki yang sangat bagus di hlm. 7 seperti kutipan berikut: Komitmen untuk mendapatkan ajaran yang murni itu, dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pertama, keinginan yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan ajaran yang benar-benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. 9
dan para sahabatnya. Kedua, berhati-hati menerima suatu pendapat atau penafsiran dengan meneliti kebenaran dan kesinambungan jalur dan salurannya sampai kepada Rasulullah saw. Tidak hanya dengan membaca sepotong naskah dari satu dalil saja. Ketiga, berusaha mempelajari Islam seutuh mungkin dengan mempelajarinya secara ijmaalii (global) dan tafshiilii (terperinci/ mendetail) dengan memahami garis-garis kecilnya (mikro). Keempat, berusaha keras mengamalkan Islam sebaik mungkin dengan selalu menyadari kelemahan diri, sehingga tidak merasa dirinya paling benar dan paling taqwa. (h. 7) Sayang, kalimat yang indah tersebut hanya ada dalam angan-angan. Tidak tercermin dalam Kata Pengantar, Kata Sambutan atau Taqdimnya, terlebih lagi tidak tercermin dalam isinya. Keempat butir pemikiran tersebut justru sulit ditemukan di dalam buku Fiqh Tradisionalis.
10