BUKTI DI DALAM BELAJAR MENGAJAR MATEMATIKA Sabri1 Abstrak: Bukti adalah perangkat matematika yang paling penting yang kadang, bagi beberapa kalangan, dianggap tidak perlu dikaji dan dipahami secara konseptual. Padahal, seseorang dianggap belum belajar matematika jika belum sampai mempelajari apa dan bagaimana bukti matematika itu. Bukti matematika memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan bukti dalam disiplin ilmu yang lain. Bukti matematika memiliki klasifikasi ditinjau dari beberapa perspektif dan peran yang dapat dimainkan oleh bukti di dalam matematika sangat beragam. Di dalam kelas, pengkajian tentang bukti dan penggunaannya di dalam pembelajaran matematika dapat disandingkan dengan beberapa pendekatan pelengkap. Pendekatan tersebut digunakan bersama guna memfasilitasi pengkonstruksian pemahaman konseptual mahasiswa tentang bukti dan ide matematika yang lain.
Kata kunci: Bukti matematika, pendekatan pelengkap.
Berbicara tentang bukti matematika, terkadang kita temui berbagai kalangan, umumnya siswa dan mahasiswa, yang cenderung berpikir bahwa bukti tidak begitu penting di dalam mempelajari matematika. Pendirian seperti ini kelihatannya, secara tidak sadar, memisahkan matematika dengan bukti yang sebenarnya adalah perangkatnya yang paling penting (Hanna, 2000a). Bahkan, Hanna (2000a) menegaskan bahwa bukti tidak bisa dipandang sebagai cabang dari matematika, karena bukti adalah inti dari matematika dan ini berarti bahwa seseorang tidak bisa dikatakan belajar matematika kecuali jika dia telah mempelajari apa dan bagaimana bukti matematika itu. Masalah yang lain adalah bahwa mahasiswa cenderung memiliki pemahaman yang kurang memadai tentang peran bukti di dalam pembelajaran matematika (Sabri, 2003). Pemahaman mereka umumnya terbatas hanya pada bahwa bukti adalah alat yang hanya
1
Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, Makassar Indonesia
1
2
digunakan, umumnya oleh matematikawan, untuk menjelaskan pernyataan matematika yang telah diketahui kebenarannya. Menyikapi hal tersebut di atas, ulasan tentang bukti matematika menjadi sangat penting. Di dalam tulisan ini, lebih awal akan dibahas sekilas tentang bukti dan pembuktian secara umum. Uraian akan dilanjutkan tentang bukti matematika, kedudukan dan klasifikasinya ditinjau dari beberapa perspesktif. Pembahasan kemudian diperluas mencakup beberapa peran yang dapat dimainkan oleh bukti matematika dan ditutup dengan kedudukan bukti matematika di antara pendekatan pelengkap yang lain.
BUKTI DAN PEMBUKTIAN Bukti di dalam matematika berbeda dengan bukti yang dikenal di dalam disiplin ilmu yang lain. Bukti, secara etimologis, mengandung beragam makna yang bersifat kontekstual bergantung pada bidang ilmu di mana bukti tersebut dibicarakan. Menurut Tall (1989), bukti bagi hakim dapat berimplikasi pada sesuatu yang tidak diragukan lagi; bukti bagi statistikawan berarti terjadi dengan probabilitas tertentu; dan bagi ilmuwan, bukti adalah hasil dari suatu eksperimen empiris. Namun, di kalangan matematikawan, bukti memiliki peran penting yakni sebagai suatu metode meyakinkan yang digunakan untuk menguji pengetahuan dan sangat berbeda dengan cara induksi di dalam kegiatan-kegiatan empiris (Hoyles, 1997). Karakteristik bukti yang demikian menjadi salah satu alasan mengapa matematika secara tradisional dipandang sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (sains) yang berlandaskan metode induktif. Mahasiswa matematika diposisikan dalam suatu wilayah di mana istilah bukti memiliki maksud yang beragam sehingga tafsiran makna yang dipahami mahasiswa mungkin saja
3
berbeda dengan tafsiran yang dimiliki oleh dosen; sama halnya bahwa tafsiran dosen tersebut bisa saja berbeda dengan tafsiran dosen yang lain (Tall, 1989). Mahasiswa sering diperhadapkan pada nuansa kata yang bervariasi, misalnya: tunjukkan, peragakan, perikan, buktikan, buktikan berdasarkan prinsip utama dan lain-lain. Tetapi pada dasarnya, menurut Tall (1989), bukti atau membuktikan berarti mereproduksi suatu urutan deduksi untuk mengembangkan suatu hasil yang penting.
APAKAH BUKTI MATEMATIKA ITU? Konsep tentang bukti sesungguhnya sangat mendasar di dalam matematika (Hoyles, 1997; Markel, 1994). Bukti dianggap sebagai bagian fundamental kegiatan matematika bahkan sejak zaman matematika kuno (Lee, 2002) dan menjadi pembeda matematika dari semua bidang kegiatan lain umat manusia (Reid, 2001). Keunikan sifat bukti matematika melekatkan status yang unik pula kepada matematika itu sendiri (Hanna, 2000b). Untuk itu, diperlukan suatu perhatian yang memadai terhadap cara mengkondisikan mahasiswa di dalam budaya membuktikan dan pada saat yang sama, gagasan dan pandangan mereka tentang bukti sebaiknya diperhatikan (Hoyles, 1997). Reid (2001) mengklasifikasikan beberapa istilah teknis yang berkenaan dengan gagasan bukti yang banyak digunakan dalam penelitian pendidikan matematika. Ada empat istilah yang diajukannya yaitu: konsep bukti, bukti, membuktikan dan pemeriksaan. Konsep bukti mengacu pada keyakinan bahwa bukti mengarahkan kita kepada ketentuan yang pasti. Sebuah bukti memberi atribut kesahihan universal yang bersifat a priori kepada pernyataan matematis yang dibuktikan. Bukti pada dasarnya adalah rangkaian tulisan yang dipublikasikan sesuai dengan harapan para matematikawan. Sementara itu, membuktikan berarti bernalar secara deduktif dan
4
pemeriksaan mengacu pada kegiatan penyelidikan di dalam matematika yang bersifat empiris semu. Knuth (2002a) menggunakan istilah bukti yang mengacu pada suatu argumen deduktif yang menunjukkan mengapa suatu pernyataan benar dengan menerapkan hasil matematis yang lainnya dan/atau pemahaman yang lain ke dalam struktur matematis yang terbentuk di dalam pernyataan itu. Lebih lanjut, Knuth (2002a) memperkenalkan tiga jenis bukti berdasarkan tingkat formalitasnya, yaitu: bukti informal, bukti kurang formal dan bukti formal. Ketiga jenis ini diajukan untuk dapat membedakan bukti sebagai suatu konsep yang digunakan dalam ranah matematika dengan bukti yang dikenal di dalam kehidupan sehari-hari. Bukti formal adalah suatu bukti yang mengikuti bentuk tertentu dan/atau menggunakan bahasa yang khusus dengan gaya yang bersifat ritual. Meskipun belum ada pembakuan dari bentuk yang dianggap memenuhi syarat sebagai bukti formal, tetapi suatu bukti formal memenuhi kaidah keketatan, ketelitian dan ketepatan yang sangat kuat. Bukti yang kurang formal adalah bukti yang tidak terstruktur secara ketat, juga cenderung kurang ketat ditinjau dari sudut pandang matematika. Jenis bukti ini digunakan lebih untuk menunjukkan kebenaran premis-premis yang dikembangkan untuk kasus-kasus yang relevan, sedangkan bukti informal adalah istilah yang digunakan untuk argumen yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah bukti. Berdasarkan perspektif perkembangan kognitif, Tall (1995) menjelaskan representasi bukti yang berkembang dari bukti tindakan, bukti visual, bukti simbolis dan bukti formal. Bukti tindakan adalah istilah yang dikenakan pada bukti yang berada pada level paling bawah (primitif) yang melibatkan penampilan sebuah kegiatan fisik untuk menunjukkan suatu kebenaran. Bukti visual adalah bukti yang melibatkan grafik atau gambar, sedangkan bukti simbolis adalah bukti yang menggunakan manipulasi simbol-simbol aljabar. Sejalan dengan
5
definisi bukti formal menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh Knuth (2002a), Tall (1995) mendefinisikan bukti formal sebagai bukti yang melibatkan logika deduktif aksiomatis. Di kalangan matematikawan profesional, klasifikasi lain yang dikemukakan oleh Reid (2001) membedakan tiga jenis bukti, yaitu: bukti pra-formal, bukti formal dan bukti postformal. Bukti pra-formal adalah bukti yang biasanya ditampilkan di dalam catatan harian dan percakapan sehari-hari yang melibatkan asumsi-asumsi tersembunyi, analogi dan bahasa dan notasi informal. Bukti formal adalah bukti yang biasanya dipresentasikan dalam publikasi ilmiah (misalnya: jurnal), meskipun terkadang bukti-bukti dalam artikel yang dipublikasikan pada dasarnya belumlah betul-betul formal karena keterbatasan ruang yang tersedia. Bagaimanapun, kita harus sadari bahwa formalisasi penuh atau bukti formal yang lengkap jarang dipraktekkan (Hersh, 1993). Sementara itu, bukti post-formal adalah bukti yang merepresentasikan analisis meta-matematika tentang sifat-sifat bukti formal.
PERANAN BUKTI MATEMATIKA Di dalam proses belajar mengajar matematika, kita sebaiknya memperhatikan peran yang dimainkan oleh bukti (Hanna, 2000a) dan tiap peran tersebut seharusnya mendapatkan penekanan yang proporsional (Hersh, 1993). Ada sepuluh peran bukti dan/atau pembuktian yang telah diidentifikasi, yaitu: verifikasi, penjelasan, sistematisasi, penemuan, komunikasi, explorasi, konstruksi, inkorporasi, estetis, dan aktualisasi diri (de Villiers, 1990; Hanna & Jahnke, 1996, Hanna, 2000b; Knuth 2002b). Hanna (1995) mengatakan bahwa peran utama bukti di dalam praktek matematika adalah verifikasi dan pembenaran, tetapi di dalam pendidikan bidang pendidikan matematika, bukti lebih banyak digunakan untuk penjelasan. Penjelasan tentang setiap peran bukti tersebut dibahas pada bagian berikut ini. Namun, lebih
6
awal, perlu diketahui bahwa di antara kesepuluh peran tersebut, terdapat peran yang terkait sangat erat dengan peran lainnya sehingga uraiannya ditampilkan secara menyatu. Hanna (2000a) menegaskan bahwa sepertinya, kebanyakan mahasiswa memasuki dunia matematika dengan pemahaman yang terbatas hanya pada peran bukti yang fundamental, yakni verifikasi dan penjelasan. Verifikasi dipandang sebagai peran tradisional dan paling utama dari bukti (Hanna, 1983; de Villiers, 1990) yang kadangkala disandingkan dengan aspek keyakinan dan kesahihan yang masing-masing merupakan aspek personal dan aspek sosial dari bukti (Segal, 2000). Namun, de Villiers (1990) kembali menegaskan bahwa masalah keyakinan tidak memerlukan keberadaan bukti; keyakinan tersebut hanyalah prasyarat untuk menkonstruksi sebuah bukti. Di dalam kelas, pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh bukti adalah ‘mengapa’ (Hanna, 2000a; Hanna, 2000b). Sejalan dengan hal tersebut, fungsi bukti sebagai penjelasan dan sebagai penunjukan dibedakan di kalangan matematikawan (Steiner, 1978). Bukti yang berfungsi sebagai penjelas membantu kita memahami mengapa suatu pernyataan benar (Hanna, 1995; Hersh, 1993). Bukti yang demikian memiliki daya penjelas dan makna personal yang terkadang tidak muncul dalam suasana pembelajaran di kelas (Schoenfeld, 1994). Peran bukti dalam sistematisasi hasil-hasil kegiatan matematis ke dalam suatu sistem deduktif (definisi, aksioma, postulat, teorema dan lain-lain) dapat dianggap sebagai fungsi paling matematis dari bukti (Knuth, 2002a). Knuth (2002a) menduga bahwa banyak mahasiswa memandang suatu teorema yang dibuktikan tidaklah terkait dengan teorema yang lain dan tidak terstruktur dalam suatu sistem deduktif aksiomatis. Sebagaimana yang biasa ditemukan di dalam proses pembelajaran, mahasiswa cenderung harus diingatkan tentang teorema terdahulu guna membantu mereka untuk memahami teorema yang sedang dihadapi. Guna menjamin
7
kekonsistenan struktur aksiomatis matematika, bukti merupakan alat yang ampuh karena sistem semi-empiris dan intuisi murni tidak akan cukup untuk menampilkan sistematisasi deduktif tersebut (de Villiers, 1990). Terdapat banyak contoh dalam sejarah matematika yang menunjukkan hasil karya matematika yang ditemukan melalui cara-cara deduksi murni (de Villiers, 1990). Bukti sebagai alat penemuan pada dasarnya sangat terkait dengan perannya dalam kegiatan eksplorasi. Knuth (2002a) mengatakan bahwa penemuan bisa bermula dari pembuatan sebuah dugaan berdasarkan eksplorasi; dugaan tersebut kemudian diverifikasi dengan membuktikannya. Dalam hal ini, bukti digunakan untuk (membantu) menciptakan suatu karya matematika yang baru. Dalam kenyataannya, sebagaimana yang diidetinfikasi oleh Knuth (2002a), fungsi bukti dalam kegiatan penemuan dan sistematisasi hasil matematika kadangkala dipadukan oleh mahasiswa. Berbicara tentang kesahihan, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bukti mengalami proses pensahihan yang sangat ketat di kalangan matematikawan. Bukti seharusnya tidak hanya diperiksa di dalam kelompok matematikawan tertentu yang memang kegiatannya hanya memeriksa kesahihan bukti. Menurut Wheeler (1990), sebagai sebuah bentuk wacana, bukti dapat digunakan sebagai alat mengkomunikasikan matematika kepada pihak lain, misalnya: mahasiswa. Teorema atau dugaan yang baru memerlukan suatu proses sosial untuk kemudian diterima oleh kalangan matematikawan (Hanna, 1990) dan proses demikian bisa berlangsung dalam bentuk debat kritis dan komunikatif (de Villiers, 1990). Eksplorasi sebagai suatu fungsi bukti mengandung makna yang lebih mengarah kepada kajian yang lebih lanjut dari suatu definisi untuk menggali makna yang dikandungnya secara lebih menyeluruh. Menurut Lakatos (1976), kajian yang cermat dari suatu definisi dibutuhkan manakala kita ingin memeriksa teorema yang diturunkan dari definisi yang dimaksud. Lakatos
8
kemudian menunjukkan bahwa makna dan akibat dari suatu asumsi yang terdapat dalam suatu definisi sangat penting untuk memberikan landasan yang kuat untuk penurunan sebuah teorema, pembuatan suatu dugaan atau pembuktian suatu teorema. Peran bukti sebagai suatu alat eksplorasi juga akan tampak jelas pada saat suatu teorema yang telah dibuktikan kemudian mengarahkan kita kepada penemuan gagasan matematis yang baru. Dalam hal ini, proses ekplorasi mencakup serangkaian proses pengkajian ulang, perenungan, perbaikan dan penyempurnaan guna menciptakan suatu karya matematika yang lebih baik. Bukti juga memainkan peran penting di dalam rekonstruksi entitas (ide, gagasan) matematika. Fungsi tersebut akan optimal di dalam konteks epistemology dan ontology dimana matematika dipandang sebagai suatu hasil konstruksi sosial (Ernest, 1991). Proses saling mempengaruhi antara bukti dan penolakan di dalam Lakatos (1976) adalah sebuah manifestasi proses konstruksi matematika, meskipun proses tersebut cenderung berlangsung dalam bentuk semi-empiris (bukan empiris murni). Berdasarkan hal tersebut, sebuah karya matematika bukanlah sebuah hasil akhir karena konstruksi dan rekonstruksi masih akan berlangsung. Berbicara tentang suatu sistem matematika, setiap entitas matematika yang tidak konsisten dengan entitas yang lain dalam sistem itu dapat mengarahkan kepada konstruksi suatu sistem baru (Bell, 1978). Hanna dan Jahnke (1996) menyatakan bahwa inkorporasi adalah pengaturan suatu fakta ke dalam kerangka baru yang akan menciptakan ruang bagi perspektif yang segar dalam memandang sistem tersebut. Proses inkorporasi juga mengandung makna menempatkan suatu fakta ke dalam kerangka alternatif. Sebagai contoh, sebagai alternatif pengkonstruksian bukti suatu teorema dalam kerangka topologis, bukti yang lain dapat dikembangkan di dalam kerangka geometris. Proses inkorporasi erat kaitannya dengan proses sistematisasi yang
9
biasanya diimplementasikan pada objek matematika yang baru guna menempatkannya di dalam sistem pengetahuan matematis yang diterima dan diakui. Lakatos (1976) memberikan suatu contoh yang sangat bagus tentang bagaimana suatu sistem matematika mengalami proses pengaturan kembali dan sistematisasi sebagai hasil debat yang berkelanjutan. Dari tinjauan estetika, pengamatan sepintas menunjukkan bahwa karakteristik keanggunan matematika berbeda dengan karakteristik keanggunan artistik (Rota, 1996). Memang, matematikawan memiliki rasa seni (estetis) dan nilai keanggunan yang berbeda. Rota (1996) menambahkan bahwa keanggunan suatu bukti muncul pada saat bukti tersebut membuka tabir rahasia sebuah teorema; pada saat bukti tersebut mengarahkan kita kepada pemahaman akan keniscayaan suatu pernyataan yang dibuktikan. Sebagai contoh adalah bukti dari Teorema Akhir Fermat yang dibuat oleh Andrew Wiles dari Princeton University, Amerika Serikat yang terdiri atas ratusan halaman. Matematikawan tidak hanya berusaha untuk membuat bukti yang tak terbantahkan, tetapi juga menampilkannya dalam gaya yang jelas, menarik dan dibalut dengan paduan rasa estetika dan ketajaman logika. Matematikawan juga berusaha memperbaiki dan mengatur suatu suatu teorema sehingga memiliki struktur yang koheren dan anggun (Peterson, 1990), misalnya menampilkan Hipotesis Riemann dalam sebuah film berjudul A Beautiful Mind (Mackenzie, 2002). Kesuksesan Andrew Wiles mengkonstruksi bukti yang demikian tentunya telah memberikan kepuasan yang berasal dari pengakuan yang diberikan oleh kalangan matematikawan. Alibert dan Thomas (1991) mengemukakan bahwa mengembangkan suatu bukti adalah salah satu cara dimana matematikawan memperoleh kepuasan dan aktualisasi diri. Lebih lanjut, de Villiers (1990) menambahkan bahwa kegiatan membuktikan merupakan
10
semacam kawah candradimuka bagi matematikawan sekaligus media menguji kreativitas dan kemampuan penemuan. Bagaimanapun juga, pemahaman sebagai salah satu aspek fundamental dari pendidikan (Nickerson, 1985) dipandang sebagai salah satu tujuan akhir yang ingin dicapai sebagai hasil proses belajar mengajar (Hiebert & Carpenter, 1992). Dengan demikian, proses pembelajaran seharusnya menggunakan bukti matematika untuk mencapai tujuan tersebut (Hersh, 1993). Di samping itu, dengan pemahaman konseptual tentang bukti matematika, mahasiswa diharapkan memiliki dan meningkatkan apresiasinya terhadap matematika. Pemahaman konseptual tentang bukti matematika yang memadai mencakup pemahaman tentang bagaimana setiap peran yang dibahas di atas dimainkan (Knuth, 2002b). Ini berarti bahwa untuk mencapai tingkat pemahaman yang memadai tentang bukti matematika, mahasiswa disyaratkan untuk memahami setiap peran bukti tersebut dan bahkan seharusnya memiliki pengalaman belajar dimana peran tersebut terfungsikan. Selain itu, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan bukti matematika, apa yang merupakan (yang bisa dijadikan) bukti matematika dan macam-macam serta tingkatan bukti matematika seharusnya bisa dijawab dengan tepat oleh mahasiswa. Semua aspek tersebut turut mempermantap pemahaman konseptual tentang bukti matematika.
MENGAPA BUKTI? Bukti akan paling bermanfaat pada saat kita bisa menggunakannya untuk mencapai pemahaman dan pada saat kita dapat menggunakannya untuk membantu berpikir matematis dengan lebih jelas dan efektif (Thurston, 1994). Ada beberapa pendekatan lain yang diterapkan oleh para pendidik di dalam kelas sebagai pelengkap bagi dan/atau alternatif dari bukti. Pada dasarnya, pendekatan lain tersebut bukan untuk menggantikan posisi penting bukti melainkan
11
untuk digunakan secara bersama-sama dengan bukti demi pencapaian tujuan proses belajar mengajar yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, pada berbagai kesempatan, penggunaan pendekatan lain tersebut cenderung difungsikan sebagai pesaing dari bukti dan pada gilirannya menjadi lebih dominan. Keadaan seperti ini kadangkala mengarahkan para pendidik untuk kemudian berpikir bahwa bukti tidak perlu lagi diajarkan atau digunakan (Hanna, 2000b). Pelengkap yang pertama adalah pendekatan heuristik. Beberapa pendidik percaya bahwa mereka perlu memilih antara mengembangkan kemampuan dan keterampilan investigasi dan pemecahan masalah dan menanamkan pemahaman tentang dan keterampilan yang dibutuhkan dalam mengkonstruksi suatu bukti (Simon & Blume, 1996). Terdapat kecenderungan untuk menganggap bukti sebagai sesuatu yang sulit dan hanya bisa dikuasai oleh segelintir mahasiswa, sedangkan pendekatan heuristik kelihatannya lebih mudah dipahami oleh lebih banyak mahasiswa (Hanna, 2000b). Kecenderungan untuk menganggap pendekatan heuristik lebih penting daripada bukti tersebut disebabkan oleh pemahaman yang tidak menyeluruh tentang apa dan bagaimana sifat matematika. Di tengah dilema antara pendekatan heuristik dan bukti, Jaffe dan Quinn (1993) mengemukakan perbedaan antara matematika yang berasal dari penalaran intuitif dan spekulatif dan matematika yang dibangun melalui sistem deduktif aksiomatik dengan prinsip-prinsip yang terbuktikan secara ketat. Beragam tanggapan bermunculan terhadap pendapat tersebut. Sebagai contoh, James Glimm (Atiyah et al., 1994) menegaskan bahwa jika matematika dimaksudkan untuk mencakupi hal-hal spekulatif, matematika harus memuat standar mutlak penalaran logis yang benar sebagai sumbangan unik matematika terhadap budaya sains. Dalam pada itu, meskipun ada kesepakatan tentang kemungkinan digunakannya pendekatan heuristik dan bukti
12
yang bergantung pada konteks, Hanna (2000b) menegaskan bahwa kesahihan suatu pernyataan matematika pada akhirnya dilandaskan pada bukti. Pendekatan kedua yaitu eksplorasi. Perlu diketahui bahwa eksplorasi ini memiliki makna kurang lebih sama dengan eksplorasi yang dibahas lebih awal pada peran bukti, tetapi pada bagian ini, eksplorasi diposisikan sebagai pelengkap bukti. Khususnya di dalam geometri, eksplorasi didukung oleh ketersediaan perangkat lunak dengan kemampuan grafik dinamis yang membantu mahasiswa memahami dalil-dalil dengan kemampuannya menampilkan konstruksi geometris dengan akurasi dan ketelitian yang tinggi. Perangkat lunak dinamis tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk mendorong kegiatan eksplorasi dan pembuktian, karena perangkat tersebut memudahkan kita dalam proses pembuatan dan pengujian suatu dugaan (Hanna, 2000b). Ada suatu masalah yang muncul karena beberapa pendidik cenderung mengabaikan perlunya bukti dan menganggap eksplorasi sudah cukup di dalam matematika. Ketimbang mengganti bukti dengan eksplorasi, Hanna (2000b) mengemukakan bahwa apa yang sesungguhnya kita perlukan adalah menggunakan keduanya: eksplorasi mengarahkan kita pada penemuan dan bukti digunakan untuk penegasan. Mahasiswa perlu mengetahui bahwa eksplorasi berguna di dalam memformulasikan dan menguji dugaan, tetapi tidak membuktikannya. Eksplorasi masih memerlukan pembenaran yang dapat ditunjukkan (Giaquinto, 1994). Kegiatan untuk memecahkan suatu masalah mengimplementasikan penalaran deduktif bersama-sama dengan bukti statistik, induktif dan bergantung pada keadaan (situasional) (Polya, 1957). Matematikawan dan logikawan masih meneliti penggunaan representasi visual, khususnya, sumbangan potensialnya kepada bukti matematika. Mereka menyadari bahwa ada
13
beberapa diagram yang kurang tepat yang kadang digunakan sebagai representasi visual di dalam pengajaan matematika (Hanna, 2000b). Pertanyaan pokok yang diangkat oleh berbagai kajian tentang visualisasi adalah apakah visualisasi dapat digunakan untuk membenarkan pernyataan matematika tertentu. Diagram dan alat bantu visual yang lain telah lama digunakan untuk memfasilitasi pemahaman, dan alat bantu tersebut dianggap sebagai pelengkap heuristik bagi bukti yang dapat mengilhami pembuktian teorema (Hanna, 2000b). Francis (1996) mengakui kemampuan komputer grafik dalam hal visualisasi, tetapi hal tersebut tidaklah menafikan pentingnya keketatan dalam verifikasi. Lebih lanjut, dia juga menambahkan bahwa eksperimentasi komputer seharusnya tidak menggantikan bukti yang ketat karena penalaran visual jelas tidak setara dengan penalaran yang dituliskan dalam bentuk rangkaian kalimat. Sejalan dengan itu, Palais (1999) berpendapat bahwa representasi visual dapat menunjukkan jalan menuju pembuktian, tetapi bukan untuk menggantikannya. Menyangkut bukti visual (Tall, 1995; Nelsen, 1993), terdapat kriteria yang diperlukan untuk suatu visualisasi sedemikian sehingga dapat ditetapkan sebagai sebuah bukti, yakni, andal, konsisten dan dapat diulangi (Hanna, 2000b). Bukti visual dapat dibuat karena kita dapat memformalisasi penalaran yang menggunakan diagram dan dimungkinkan juga untuk membangun argumen yan logis dan ketat berdasarkan representasi visual tersebut. Pengaruh pendekatan heuristik atau eksploratif lebih mengemuka, contohnya, di dalam ilmu pengetahuan alam, dan pada gilirannya, secara tidak sadar. keduanya mempengaruhi jalan pikiran mahasiswa tentang apa dan bagaimana bukti matematika itu. Kajian tentang pelengkap bukti tersebut penting karena dalam kenyataannya, saya menemukan di dalam kelas beberapa mahasiswa yang cenderung percaya bahwa pendekatan
14
tersebut dapat menggantikan atau dapat dipandang sebagai bukti yang sahih. Menurut Mappamadeng (1994), konsepsi mahasiswa dapat diteliti melalui kemampuan mereka mengidentifikasi hubungan antara suatu konsep dengan konsep lainnya. Dalam hal konsepsi tentang bukti, kemampuan mahasiswa untuk melihat hubungan antara bukti dan pendekatan heuristik, eksplorasi dan visualisasi seharusnya dikaji lebih mendalam. Di samping itu, kemampuan mahasiswa untuk mengidentifikasi dan menjelaskan keunikan bukti matematika dibandingkan dengan bukti di dalam disiplin ilmu yang lain seharusnya diperhatikan jika kita ingin memperoleh gambaran yang komprehensif tentang konsepsi mereka tentang bukti matematika.
PENUTUP Proses belajar mengajar bukanlah semata untuk menanamkan pemahaman di dalam pikiran mahasiswa, tetapi lebih pada bagaimana memfasilitasi mereka sedemikian sehingga mereka bisa mengkonstruksi pemahaman tersebut di bawah arahan dan bimbingan para pendidik. Sebagaimana diungkapkan oleh Gibran (2001) yang dikutip di awal tulisan ini bahwa guru tidak memberikan hikmahnya tetapi semata menanamkan keyakinan dan memberikan cintanya. Mendidik bukan untuk mengajak seseorang mengikuti alam pemikiran pendidik, tetapi membimbing seseorang di dalam alam pikirannya sendiri. Demikian halnya dengan bukti matematika, proses pembelajaran tentang bukti matematika seharusnya ditampilkan dalam bentuk kegiatan yang memfasilitasi proses konstruksi dan rekonstruksi pemahaman konseptual mahasiswa. Diharapkan bahwa melalui kegiatan belajar mengajar yang efektif, mahasiswa mampu memahami konsep bukti matematika secara memadai yang mencakup aspek-aspek tentang apa dan bagaimana bukti matematika itu
15
serta apa dan bagaimana peran dan kedudukan bukti di dalam matematika. Dengan pengalaman belajar yang demikian, apresiasi dan keterampilan pembuktian yang dimiliki oleh mahasiswa diharapkan dapat terbangun atau menjadi lebih meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Alibert, D., & Thomas, M. 1991. Research on Mathematical Proof. Dalam D. O. Tall (Ed.), Advanced Mathematical Thinking (pp. 215-230). The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.Atiyah, M., et al. 1994. Responses to “theoretical mathematics”: Towards a Cultural Synthesis of Mathematics and Theoretical Physics", by A. Jaffe and F. Quinn. Bulletin of the American Mathematical Society, 30(2), 178–207. Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers. de Villiers, M. 1990. The Role and Function of Proof in Mathematics. Pythagoras, 24, 17-24. Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press. Francis, G. (1996). Mathematical Visualization: Standing at the Crossroads. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2003 dari http://www.cecm.sfu.ca/projects/PhilVisMath/vis96panel.html. Giaquinto, M. 1994. Epistemology of Visual Thinking in Elementary Real Analysis. British Journal for the Philosophy of Science, 45, 789–813. Gibran, K. 2001. The Prophet Collection. Stepney, South Australia: Axiom Publishing. Hanna, G. 1983. Rigorous Proof in Mathematics. Toronto, Ontario: OISE Press. Hanna, G. 1995. Challenge to the Importance of Proof. For the Learning of Mathematics, 15(3), 42-49. Hanna, G. 2000a. A Critical Examination of Three Factors in the Decline of Proof. Interchange, 31(1), 21-33. Hanna, G. 2000b. Proof, Explanation and Exploration: An Overview. Educational Studies in Mathematics, 44, 5-23. Hanna, G., & Jahnke, H., N. 1996. Proof and Proving. Dalam A. J. Bishop, K. Clements, C. Keitel, J. Kilpatrick, & C. Laborde, International Handbook of Mathematics Education (Part 2, 877-908). Dordrecht, The Netherland: Kluwer Academic Publishers. Hersh, R. 1993. Proving is Convincing and Explaining. Educational Studies in Mathematics, 24, 389-399. Hiebert, J., & Carpenter, T. P. 1992. Learning and Teaching with Understanding. Dalam D. A. Grouws (Ed.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning: A Project of the National Council of Teachers of Mathematics (65-97). New York: Macmillan. Hoyles, C. 1997. The Curricular Shaping of Students' Approaches to Proof. For the Learning of Mathematics, 17(1), 7-16. Jaffe, A., & Quinn, F. 1993 “Theoretical Mathematics”: Towards a Cultural Synthesis of Mathematics and Theoretical Physics. Bulletin of the American Mathematical Society, 29(1), 1– 13.
16
Knuth, E. J. 2002a. Secondary School Mathematics Teachers’ Conceptions of Proof. Journal for Research in Mathematics Education, 33(5), 379-405. Knuth, E. J. 2002b. Teachers’ Conceptions of Proof in the Context of Secondary School Mathematics. Journal of Mathematics Teacher Education, 5, 61-88. Lakatos, I. 1976. Proof and Refutations. Cambridge: Cambridge University Press. Lee, J. K. 2002. Philosophical Perspective on Proof in Mathematics Education. Philosophy of Mathematics Education Journal, 16. Diakses tangga; 14 Mei 2003, dari from http://www.ex.ac.uk./~PErnest/pome16/docs/lee.pdf. Mackenzie, D. 2002. Beautiful Mind’s Mathematics Guru Makes Truth = Beauty: As Mathematics Consultant to the Hit Film about a Troubled Genius, Dave Bayer Learned to Balance a Whole New Set of Equations. Science, 295(5556), 789-790. Mappamadeng, M. D. 1994. Hubungan antara Persepsi Mahasiswa terhadap Efektivitas Pengajaran Dosen, Sikap terhadap Kalkulus, dan Penguasaan Logika Elementer dengan Tingkat Pemahaman Konsep Kalkulus di FPMIPA IKIP Ujungpandang. Tesis. Malang, Indonesia: IKIP Malang. Markel, W. D. 1994. The Role of Proof in Mathematics Education. School Science and Mathematics, 94(6), 291-295. Nelsen, R. B. 1993. Proofs without Words: Exercises in Visual Thinking. Washington, D.C.: Mathematical Association of America. Nickerson, R. S. 1985. Understanding Understanding. American Journal of Education, 43(2), 201239. Palais, R. S. 1999. The Visualization of Mathematics: Toward a Mathematical Exploratorium. Notices of the AMS, 46(6), 647–658. Peterson, I. 1990. Equation in Stone: A Mathematician Turns to Sculpture to Convey the Beauty of Mathematics. Science News, 138(10), 152-154. Polya, G. 1957. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. New York: Doubleday. Reid, D. 2001. Proof, Proofs, Proving and Probing: Research Related to Proof. Makalah yang didasarkan pada Short Oral Presentation pada the Twentieth-Fifth Annual Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Utrecht, the Netherlands. Rota, G. 1996. Indiscrete Thoughts. Boston: Birkhauser. Sabri, 2003. Prospective Secondary School Teachers’ Conceptions of Mathematical Proof in Indonesia. Tesis. Perth: Curtin University of Technology. Schoenfeld, A. 1994. What do We Know about Mathematics Curricula?. Journal of Mathematics Behavior, 78(6), 448-456. Segal, J. 2000. Learning about Mathematical Proof: Conviction and Validity. Journal of mathematical Behavior, 18(2), 191-210. Simon, M., & Blume, G. 1996. Justification in the Mathematics Classroom: A Study of Prospective Elementary Teachers. Journal of Mathematical Behavior, 15, 3-31. Steiner, M. 1978. Mathematical Explanation. Philosophical Studies, 34, 135-151. Tall, D. O. 1989. The Nature of Mathematical Proof. Mathematics Teaching, 127, 28-32. Tall, D. O. 1995. Cognitive Development, Representations, and Proof. Makalah ditampilkan dalam konferensi Justifying and Proving in School Mathematics, Institute of Education, London, Desember 1995. Thurston, W. P. 1994. On Proof and Progress in Mathematics. Bulletin of the American Mathematical Society, 30(2), 161–177. Wheleer, D. 1990. Aspects of Mathematical Proof. Interchange, 21(1), 1-5.