STUDI SERAPAN P TANAMAN JAGUNG BERMIKORIZA DENGAN PEMBERIAN BAHAN ORGANIK DAN BATUAN FOSFAT PADA TANAH ULTISOL
.
Budi Prasefya Fakultas Pertanian, UNIBRAW, Malang
Abstrak Rendahnya ketersediaan fosfor (P) pada tanah Uliisol menjadi kendala utama bagi pertumbuhan tanaman. S,umber sumber P pada tanah ini umumnya rendah sampai sangat ;endah baik organik tuufun anorganik, Oleh karpna itu diperlukan tambahan sumber P. Pengikatan P terlarut oleh mineral-mineral yang ada dapat menyebabkan jumlah P tersedia menjadi rendah, dan hal ini tidak cukup efektif diatasi dengan penambahan bahan-bahan yang mengandung P saja,
Pada tanaman-tanaman
peftanian,
-
mikoriza-Arbuskular (CMA) terbukti mampu
meningkatkan serapan P, pertumbuhan, dan produksi lanaman. Penambahan P organik atau
untlk
mengatasi permasalahan masih perlu digabungkan dengan penerapan tanaman bermikoriza. Kendala pada Ultisol adalah pH, kandungan bahan organik, potensi
mineral
dan ketersediaan P rer,dah, kapasitas tukar kation rendah dan Aluminium (Al) tertukar sangat tinggi dan dapat meracun tanaman.
Rancangan acak lengkap digunakan pada penelitian
ini dengan kombinasi dosis
bahan
organik dan batuan fosfat. Dosis bahan organik 0, 5, 10, dan 15 ton/ha dan batuan fosfat
(diameter butir < 0.2 mm) 0, 3, 6, dan 9 ton/ha. Tanalr yang telah disterilisasi diberi perlakuan tersebut, masing-nrasing diulang 3 kali, :liinkubasi selama 25 hari, Analisis P tersedia dilakukan paela akhir inkubasi, dilanjutkan pcnanaman dua biji jagung beserta inokulasi spora mikoriza (CMA) 3tgaspora margartLa pcr pot. Ketersediaan P tanah meningkat dengan kombinasi pcnambahan bahan organik dan batuan
fosfat. Pemberian bahan organik atau batuan fosfat bcrpengaruh nyata terhadap persentase infeksi CMA pada akar, dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata pada serapan P dan bobot kering tajuk. Persentase infeksi berhubungan erat dengan serapan P tanaman jagung dan bobot kering tajuk. Pendahuluan Fosfor (P) ryerupakan unsur utama dalam perkemban'3an hidup tanaman. Oleh karena itu ketersediaannya bagi tanaman menjadi sangat pentirlq terutanta terkait dengan berbagai kentlala yang sering dijunrpai pada tanah-tanah utama di Indonesia, Ultisol, utamanya yang
dahulu disebut Podzolik Merah Kuning, adalah salah satu jenis tanah yang luas dan bermasalah dalam jumlah dan ketersediaan P bagi tanaman. Pada Ultisol, sumber P organik ataupun inorganik sangat terbatas, P yang terlarut dari mineral ataupLrn bahan organik dapat terikat kuat oleh aluminium (Al), besi (Fe) dan mangan (Mn) hingga menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman.
Bahan organik dan batuan fosfat yang ditambahkan pada tanah Ultisol dapat menjadi sumber unsur hara terutama P yang menjadi masalah utama dalam hal ini. P yang terlarut
dari bahan organik ataupun batuan fosfat pada tanah ini masih mungkin terhambat oleh aktivitas Al dan menjadi tidak larut atau mengalami penyematan ol€h mineral-mineral yang ada. Penambahan bahan organik dan batu fosfat yang dapat mencukupi kebutuhan agar tanah mampu menyediakan hara yang cukup khususnya P pada tanah ini sangat terbatas, Peran mikoriza-VA pada tanah Ultisol yang telah ditambah bahan organik dan batuan fosfat
untuk meningkatkan serapan P tanamin sangat mungkin diterapkan. Sumber hara khususnya P organik ataupun anorganik (mineral) dengan tingkat ketessediaan lambat sangat mendukung pembentukan dan perkembangan CMA (Sieverding, 1991; Harinikumar dan Bagyaraj, 1988). Pembentukan dan perkembangan CMA yang baik clapat diharapkan mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena tanaman bermikoriza lebih efisien dalam menggunakan P dari batuan fosfat dari pada tanaman tanpa CMA, Hal
ini disebabkan oleh perkembangan yang ekstensif miselium CMA di luar akar yang mampu menjangkau partikel batuan fosfat maupui tempat P yang terjerap di luar jangkauan bulubulu akar (Howeler et a/., 1987).
Batuan fosfat terbukti lebih bark clalam mencapai efisiensi inokulasi MVA cjaripada sumber yang lain utamanya pupuk fosfat btratan pabrik. Dari sisi kemampuan CMA menyerap P dari sumber P yang lambat larut, keberadaan CMA pada akar tanaman kemampuan menyerap P lebih baik pada tanaman bermikoriza daripada tanaman tanpa mikoriza (Manjunath dkk,, 1989; Sieverding, 1991; Metting, 1993). Pemberian bahan organik clan batuan fosfat pada tanah Ultisol dengan tanaman jagung bermikoriza juga nrampu nrenurunkan aktivitas sebagian Al dapat ditukar (Prasetya, 1998).
Fungsi bahan organik tampak lebih menon;ol pada pembentukafl dcrn perkembangan mikoriza daripada pengkel.ttan terlradap Al (Pr.rsetya, 1997). Hal ini 3uga ditunjukkan bahwa terbentuknya asam lturnat dan asanr fulvat tidak berhubungan dengan perubahan Al tertukar yang diamati.
Bahan Dan Metode Tanah Ultisol yang digunakan dianrbil dari desa Kentrong, Kecamatan Rangkas Bitung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebelum diberi perlakuan, tanah disterilisasi dengan
autoclave (Mefting, 1994). Analisis tanah dilakukan scbelum dan setelah inkubasi terhadap kandungan P-tersedia.
CMA yang digunakan adalah Gigaspora
ntargarita. inokulum diberikan
bersama-sama
dengan penanaman jagung. Dua benih jagung varielas Arjuno ditanam pada setiap pot. Bahan organik yang digunakan adalah kotoran kambinr: eJan batuan fosfat dari Gunung Kidul berdiameter butiran
< 0.2 nrnr.
Ditanrtrahkan pupLrk basal yang meliputi nitrogen (N), kalium (K) dan unsur lainnya Ca, B, Zn, Cu, dan Mo.
pot di rumah kaca ini dilaksanakan denqan menggunakan rancangan acak (RAL). Bahan organik (0) diberikan dengan clc:;is 0 (On, kontrol), 11,35 (Os),22.70
Percobaan lengkap
(016), dan 34.05 gram/pot (O1s) yang masing-masing s{rtara dengan 0, 5, 10, dan 15 ton/ha. Pemberian bahan organik ini dikombinasikan dengan b;rtuan fosfat (P) dengan dosis 0 (P6),
6.81 (P3), 13.62 (P6), atau 20.45 gram/pot (Pe) yang trerturut-turut setara dengan 0, 3, 6, dan 9 ton/ha. Untuk setiap pot percobaan digunakarr tanah sebanyak 5 kg (setara kering oven) dari tanah yang telah disterilisasikan, percobaan clrlakukan dalam 3 ualangan, PelakEanaan oer:cobaan oot Dilakukan pencampuran baltan organik, batuan fosfai., dan tanah yang telah disterilisasi sesuai dengan perlakuan dan ditambahkan air sehingrll tcrcapai kondisi kapasitas lapangan. Setelah 25 hari diinkubasi, dilakukan sedikit pengaclukan untuk penanaman jagung dan inokulasi CMA dari lenis GigasparcT fiEreortr,,? yang l;urasal dari biakan dalam pot berupa campuran tanah, spora nriseltum dan potongan-polonqan akar sebanyak 15 gram per pot terdapat dengan 1: 30 spora, Sebagian inokulurn ditcnrpatkan didasar lubang tanam, dan benih Jagjng ditanam yang kemudian ditutup dengan sebagian inokulum dan tanah dari sekitar lubang tanam. Pemeliharaan/perawatan tanaman jagung dilakukan sampai 52 hari setelah tanam (HST) di dalam rumah kaca. Sejumlah tertentu berat akar segar diambil untuk pengamatan inieksi i,
CMA (Kormanik
&
McGraw, 1982). Analisis tanah dilakukan untuk menentukan kandungan
P-tersedia sebelum tanam atau setelah inkubasi iS frari, Bobot kering tanaman (B0oC, 48 jam) ditentukan pada 52 HST. Kadar P tanaman ditentukan dengan menggunakan metode pengabuan basah. Berdasarkan berat kering tajuk dan kadar P-taJuk selanjutnya dihitung serapan P-tajuk. Analisis ragam pada aras 5o/o dan 10/o, dilanjutkan dengan uji jarak rerata Duncan 5olo terhadap parameter tanah dan tanaman yang diamati di atas.
Hasil Dan Pembahasan
A. P-tersedia Pemberian bahan organik yang dikombinasikan denctan batuan fosfat berpengaruh nyata
terhadap kandur gan P tersedia dalam tanah setclah diinkubasi selama 25
hari,
Ada
kecenderungan pengaruh batuan fosfat lebih dominan daripada bahan organik terhadap ketersediaan P (Tabel 1). Tanpa penambahan bahan organik atau batuan fosfat (kontrol), diperoleh P tersedia 5.05 ppm, sedang pada penambahan bahan organik 15 ton/ha tanpa batuan fosfat diperoleh 6.13 ppm atau terjadi kenaikan P tersedia 1.08 ppm. Kenaikan ini lebih kecil dibanding dengan ketersediaan P pada penambahan batuan fosfat 9 ton/ha tanpa penambahan bahan organik yakni diperoleh 10.00 ppm atau terjadi kenaikan 4.05 ppm. Hal
ini dapat dimaklumi karena kandungan P bahan organik dan P tersedia pada batuan fosfat berturut-turut diperoleh B.18 ppm dan 75,5 ppm. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa P tersedia dalam tanah jauh lebih sedikit daripada
yang diberikan melalui bahan organik ataupun batuan fosfat. Diduga sebagian besar P tersedia dalam bahan menjadi tidak tersedia di dalam tanah karena fiksasi atau presipitasi selama inkubasi, Pengikatan P terlarut oleh Al aktif di dalam tanah sangat mungkin terjadi,
Hal ini didukung dari hasil pengamatan (Prasetya, 1998) yang menyatakan bahwa pembentukan asam humat dan asam fulvat tidak berhubungan dengan perubahan Al tertukar. Tabel
1.
Pengaruh Pemberic-ln Balt.rn Orgarrik dan B.rtuctn Fosfat
Tcrhadap Kctcrsecliaan
P
tanah Setelah 25 hari lnkubasi
Uatuan -l---P,-l-n, -l=-t-% 'fosfat
Perlakuan
P-tersedicr
B. Organik Oe
Os Oro
ors Pengaruh
6.32 cd 6,26 cd
5.24 de 6,13 de
7.10
c
6.81 c 6.58 c 8.50 b
7,25
c
6.73
--
Q:-ol-g!-$
(ppm)
5.05 de 4.56 e
5.24
Pengaruh
10.00
a
7.04 6.68
B.86 ab
9.33 ab 9.33 ab 9.28 ab
7.69
9.49
7.54 7,BB
+)
B. fosfat
Keterangan
:
B. Infeksi
CMA
Rata yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata
(DMRT,
p < 0.05)
Persentase infeksi dipengaruhi oleh penambahan bahan organik atau batu fosfat, tetapi
interaksi bahan organik dan batu fosfat tidak menunjukkan pengaruh nyata (Tabel 2). Pemberian bahan organik sampai dengan pemberian tertinggi ( 15 ton/ha) masih meningkatkan jumlah infeksi, walaupun mulai terjadi kecenderungan peningkatannya berkurang. Pada pemberian batuan fosfat, setiap peningkatan pemberian sampai dosis 9 ton/ha masih terjadi peningkatan infcksi.
Tabel
2.
Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Batuan Fosfat
Terhadap
Persentase
Infeksi
Batuan
Perlakuan Po
P3
Infeksi
B. Orqanik
Fosfat P5
Pengaruh Pe
b. orqanik
(oto
Oe
29,63
25,67
30.07
35.50
O5
32.23
35.50
44.23
33.27
30.34 c 36.31 b
oro
30.90
40,43
42.33
55.23
42.23 a
Or.
39.47
43.00
49,47
46.97
44,73 a
33,06 c
36.15 bc
41.78 a
42.62
Pengaruh B. fosfat
Keterangan
:
Rata yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata (DMRT,
p < 0.05) Peningkatan kandungan P tersedia, sampai tingkat tertinggi yang dicapai masih berpengaruh
positif terhadap pehingkatan infeksi CMA.
C.
Bahan Kering Tajuk dan Serapan P Pengaruh pemberian bahan organik dan batuan fosfat terhadap produksi bahan kering tanaman ditunjukkan dalanr Tabel 3, Bobot kering tajrrk sangat dipengaruhi oleh kombinasi pemberian bahan organik dan batuan fosfat.
l0 ton/ha dan batuan yakni fosfat 9 ton/ha sebesar 1.79 9. Bobot kering tajuk cenderung menurun pada pemberian bahan organik 5 tonlha untuk semua komt:inasi dengan batuan fosfat , Hal ini diduga berkaitan dengan penurunan ketersediaan P dalarn tanah setelah diinkubasikan. Penurunan P tersedia pada penambahan bahan organik 5 ton/ha boleh jadi ada peningkatan jasad mikro pada aras tersebut sehingga banyak P tersedia dalanr tanah yang Produksi bahan kering tertinggi dicapai pada kombinasi bahan organik
digunakannya.
Tabel
3.
Pengaruh Pemberian Bdhan Organik dan Batuan Fosfat
Terhadap Produksi
Bobot
Kering Tajuk
Batuan fosfat
Perlakuan Ps
Pr
P3
Bobot kering
B. Orqanik Oo
0.87 cd
0.81 cd
O5
0.83 cd
oro
0.72 d 0.93 cd
Ors
0.88 cd
0.79 d 0.86 cd
0.Bs
0.82
Pengaruh
Pengaruh
b. organik
P
Tajuk (q) 1.33 b 0.75 d 1.00 cd 1.37 b 1.1
1.31 b 1.09 bc 1.96 a 2.05 a
1.08
0.85
t.r7 1.29
1.6
1
B. fosfat
Keterangan
:
Rata yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata
(DMRT,
p < 0.05)
Pengaruh perlakuan terhadap serapan P tajuk ditunjukkan dalam tabel 4, Dari tabel tersebut tampak bahwa pemberian bahan organik yang meningkat pada batuan fosfat 3
ton/ha, cenderung diperoleh serapan P yang menurun. Peningkatan pemberian bahan organik mulai tampak meningkatkan serapan P tajuk pada kombinasinya dengan 9 ton/ha batuan Tabel
fosfat.
4.
]
Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Batuan Fosfat Terhadap Serapan P-tajuk Tanaman Jagung
Batuan fosfat
Perlakuan
Pengaruh
b. organik
Pe
P5
Po
Serapan P (mg/pohon)
B. Organik
2.45 cb 1.04 c
c
1.52
2.33 bc
1.31
0.96 c 0.99 c
1.69 c 1.25 c 0.97 c 0.98 c
1.93 c
3.99 b
1.56
2.30 bc
5.57 a
2.t4
0.84
1.00
2.48
2.48
Oo
0.93
c
Os
1.20
c
oro Ors
Pengaruh
2.23
B, fosfat
Keterangan
:
Rata yang didampingi huruf Yang sama tidak berbeda nyata
(DMRT,
p < 0.05J
Kesimpulan
1.
Tanah Ultisol memiliki masalah dalam ketersediaan pertumbuhan tanaman,
i
P yang dapat
menghambat
2.
Penambahan batuan fosfat dapat meningkatkan P lersedia dalam tanah, namun belum mampu diserap tanaman secara maksimal.
3.
Infeksi mikoriza dipengaruhi oleh dosis pemberian bahan organik atau batuan fosfat, tetapi kombinasi keduanya tidak menunjukkan pengaruh nyata.
tustaka Acuan
,
..
& Bagyaraj, 1988. Effect of intercropping and organic soil amendments on native VAM. In Mahadevan, A., N. Raman & K. Natarajan (penyunting) 1988.
Harinikumar
Mycorrhizae for Green Asia, Proceeding of the first Asian Conference on Mycorrhizae. Madras, India, 207-208,
& SR Saif. 1987. Practical aspects of mycorrhizal technology in some tropical crops and pastures, Plant and Soil, 100: 249-283 pp.
Howeler, R..
l-1., Sieverding, E.
Kormanik & McGraw, 1982. In Schenck
(ed.); 1982.
Methods and Principles of Mycorrhizal
Research. University of Florida, The American Phytopathological Society, 37-46 pp.
1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. Deutsche Gesellchaft fuer, Technische Zusammenarbeit (GTZ) German, Technical
Sieverding,
Coopertion. Federa Republic of Germany Manjunath, A. N. V. Hue & M. Habte. 1989. Response of Leucaena leucocephala to Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Colonization and rock phosphate fertilization in an Oxisol. Plant and Soil 114: 127-133. Metting, Jr. B. 1993. Soil nricrobial Ecology. Marcel Dekker, Inc. New York, 359 halaman. Prasetya,
B. 1997. Detoksifikasi Al dari Tanah Ultisol
pada Tanaman Jagung Bermikorlza
dengan Pemberian Bahan Organik dan Batu fosfat. Agritech
2t t22-L27,
Prasetya, B. 1998. Pengaruh bahan organik dan batu fosfat terhadap pembentukan asam humat dan fulvat pada tanah lahan kering beriaksi masam (Ultisol) dengan tanaman jagung Bermikoriza, Agritech 2: I22-I27.