Karikatur: M.Handayani, Kokkang / Koleksi Pantau Pemilu THC
INDEKS Gambar Kulit: Lukisan Isnaeni MH Diolah dan disain.
Britney Spear di Beranda Kita
3
Good News Is Good News
4
Mengadili atau tidak Mengadili Soeharto
7
Gerbang Bahasa : Mengkoordinir atau Mengoordinasi
9
Mana yang Lebih Berbisa : Konglomerasi Asing, atau Konglomerasi Lokal?
12
Prof.Dr.Ichlasul Amal : “Si Kecil” yang Bernyali Besar
15
Mempraktikkan Jurnalisme Damai
19
Media Porno “Takut-Takut” dan Dewan Pers yang Mulai Berubah
21
Dari Monopoli ke Manufaktur
26
Wawancara : Titie Said, Ketua Lembaga Sensor Film
30
Ensiklopedi : Hegemoni (Dalam Pemikiran Gramsci)
34
MEDIA WATCH The Habibie CENTER Center & CONSUMER
Penerbit: Media Center/The Habibie Center Alamat Redaksi: Jl. Kemang Selatan No.98 Jakarta Selatan Telp.: (021)781-7211 Fax.: (021)781-7212 Email:
[email protected] Website:http://www.habibiecenter.or.id
Penanggung Jawab : Ahmad Watik Pratiknya, Dewan Redaksi : A. Makmur Makka (Ketua) Mustofa Kamil Ridwan, Doddy Yudhista. Redaktur Pelaksana : Afdal Makkuraga Putra, Redaksi : Wenny Pahlemy, Junarto Imam Prakoso, Fetty Fajriati, Kontributor : Intantri Kusmawarni, Ichsanto Wahyudi, Teguh Apriliyanto. Usaha / Distribusi: Hadi Kuntjara, Ghazali H. Moesa. Disain Grafis : A. Mudjazir Unde.
Jurnal MW The Habibie Center adalah publikasi bulanan di bawah naungan The Habibie Center. Redaksi menerima tulisan/artikel yang sesuai dengan visi dan misi jurnal ini.
2
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 / 15 Juni -15 Juli 2006
Catatan Redaksi
BRITNEY SPEAR DI BER AND A KIT A BERAND ANDA KITA
M
edia Asing mulai masuk di Indonesia, melalui penyertaan modal perusahaan media asing pada beberapa media lokal. Sebenarnya, hal ini bukan di luar perkiraan kita sejak dulu. Karena masuknya modal asing ke media lokal, sudah menjadi keniscayaan dalam globalasisasi sekarang ini. Namun, beberapa pelajaran bisa kita petik dari kenyataan ini. Pertama, lemahnya struktur permodalan media dalam negeri selama ini. Kedua, jumlah media yang tergolong banyak, membuat persaingan tidak bisa lagi terbendung. Ini yang membuat pemilik media lokal, terpaksa mencari pemodal lain. Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini di Indonesia, para pemilik modal dalam negeri, tidak tertarik memasuki bisnis media yang mengandung banyak resiko. Apa boleh buat, hanya modal asing kemudian yang tertarik. Inilah yang kita lihat sekarang dalam peta pemilikan modal asing dalam media kita, baik pada media cetak maupun media elektronik. Cara penyertaan mereka terangan atau tersamar. Ada dengan sistem “franchise”, media lokal, seperti terjadi melalui pembelian saham perusahaan , seperti yang elektronik.
bermacam-macam, terangdalam bentuk pemilikan lisensi melakukan sindikasi dengan pada media cetak Ada juga dan keikutsertaan dalam mulai terjadi di media Sumber : http//www.absoluturnow.com./
Kejadian-kejadian ini, menunjukkan bahwa telah terjadi “penguasaan phisik” modal asing pada media lokal kita. Ironisnya, bangsa Indonesia yang hanya selalu pandai khawatir, mulai memperhitungkan dampak negatif kehadiran modal asing dalam media lokal kita. Kata mereka, konten media lokal kita akan menuruti kehendak pemilik modal- yang tidak lain-, orang-orang asing itu. Kepentingan kapitalisme pasti akan terwakili melalui kepemilikan mereka atas media lokal. Karena itu, muncul kekhawatiran akan tersingkirnya kepentingan publik kita dan pengabaian budaya lokal kita. Semua ini, memang hanya salah satu kenyataan yang harus diterima. Tetapi buat apa lagi mengkhawatirkan kecenderungan ini. Kita lupa bahwa arus informasi global yang dahsyat sebetulnya sudah berada dalam beranda rumah kita. Arus infromasi itu, juga melalui media – media lokal kita dan teknologi informasi yang ada. Arus informasi ini, sudah mendobrak batasbatas negara, dan sekat-sekat geografi , dunia, kota dan desa. Kini tidak ada lagi, perbedaan antarberanda rumah di Mentawai, Bantul, Lok Ngah, Jayawijaya. Gaya binal Britney Spear di London, skandal Lawensky di Washington dengan Clinton, iklan produk baru Emporio Armani dan Cartier di Paris, pada saat yang sama juga bisa hadir diberanda rumah Mas Tukul di Tepus, Gunung Kidul. Jangan heran ada anak jalanan di Pekkabata Sulawesi-Selatan dan Hermanses calo angkot di Batu Merah Ambon, bercat rambut merah ala punk di New York. Ini bukti, mode mutakhir seperti ini pun sudah diadaptasi jauh di pelosok sana, tanpa harus melalui media Jakarta. Inilah arus informasi yang tanpa batas itu. Karena itu, kekhawatiran ada atau tidak adanya modal asing dalam media lokal kita, tidak banyak relevansinya lagi diperdebatkan.Kini, yang penting menyadarkan masyarakat bahwa kita sudah berada dalam putaran arus informasi, bahkan sudah hadir dalam beranda rumah kita. (amm) MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 / 15 Juni -15 Juli 2006
3
Telisik
GOOD NEWS IS GOOD NEWS Sejumlah stasiun TV membuat program dokumenter untuk melengkapi program beritanya. Beberapa diantaranya memperoleh rating yang baik dan memperoleh slot iklan yang signifikan. Pemimpin Redaksi ANTV Karni Ilyas mengatakan : “Setiap hard news, itu selalu ada soft news-nya yang dapat kita garap”.
K
erap kali kita mengeluhkan bentuk tayangan program televisi di Indonesia akhirakhir ini. Sering kita baca di kolom-kolom surat pembaca media tentang kualitas tayangan tv yang masih memprihatinkan. Sebagian besar waktu tayang TV dipenuhi sinetron “sabun”, minim nilai-nilai tinggi pembudayaan masyarakat. Cerita penuh dengan intrik tentang kebencian, dendam dan seringkali dipenuhi bumbu mistik, walau terkadang juga dibungkus dengan dalil dan bacaan ayat suci Alquran. Lalu, bagaimana dengan tayangan berita? Cerita kriminalitas seperti yang dimuat koran kuning tiap pagi dan gosip artis meluberi jam tayang TV kita, dari pagi, sore dan bahkan malam hari. Apakah semua ini memang potret bangsa Indonesia saat ini? Apakah memang kehidupan rakyat Indonesia saat ini dipenuhi dengan kekerasan, intriks dan gosip? Diantara banjir sinetron “sabun”, informasi kriminal penuh kekerasan dan gosip, sesungguhnya masih terselip sejumlah materi
4
acara yang dapat memunculkan inspirasi, kreativitas dan optimisme. Materi itu misalnya mengetengahkan produk baru, program penjelajahan, temuan inovasi dan kreativitas baru, cerita unik dan aneh, cerita pengusaha sukses dan sebagainya. Adalah sesuatu yang menenangkan dan memberikan inspirasi baru menyaksikan gambar-gambar indah di Savana Kenya Afrika, memperhatikan para manula di d a e r a h pedesaan yang masih bergairah membuat berbagai lukisan
Karni Ilyas
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
indah Wayang Srikandi, menyaksikan keunikan seorang pelukis komik yang dapat melukis dengan menggunakan dua tangan, atau menyaksikan seorang seniman yang dapat menghasilkan berbagai barang gerabah indah yang dilapisi kulit telor yang banyak terbuang di sekitar kita. Materi-materi semacam itu
umumnya dapat ditemui di program berita yang dimiliki semua channel TV yang ada. Hanya saja, untuk program berita reguler, berita-berita katagori “good news” seperti ini ini masih kalah pamor dibandingkan berita-berita yang dapat menyentakkan masyarakat luas, seperti bombardir tentara AS di bumi Irak, aksi saling bakar di Dili Timor Leste, bencana gempa yang meratakan kawasan Bantul Yogjakarta dan semacamnya. Sementara berita-berita “good news” biasanya menempati urutan terakhir dari urutan berita reguler yang ditayangkan televisi. Pengelola TV jelas harus tetap berpegang atas pakem sebuah news. Itu artinya, kriteria news mana yang paling menarik, adalah tetap sama. Berita yang menjadi buruan adalah peristiwa yang paling luas gaungnya atau magnitude-nya, berita yang paling hangat diperbincangkan masyarakat, berita tokoh yang lebih terkenal, atau berita yang pertama kali muncul. Jika memperhatikan programprogram TV lebih jauh, ternyata ada kecenderuangan menggembirakan di kalangan pengelola TV. Materimateri “good news” tersebut kini tidak lagi sekadar menjadi pelengkap berita reguler channel mereka. Bermacam-macam materi “good news” mereka kemas dalam berbagai program berita feature. TV 7 adalah stasiun yang sangat intens mengemas program penjelajahan untuk mengungkapkan keindahan dan keunikan flora dan fauna di Indonesia. Program semacam ini rupanya menarik minat penonton televisi. Program
“Jejak Petualang” selain tetap dipertahankan, selanjutnya terdiferensiasi menjadi sejumlah program sejenis yang lebih spesifik seperti “Petualangan Liar”, “Petualangan Bahari”, dan “Bocah Petualang. Pasaroan Simanjuntak -
Executive Producers News dan Current Affairs TV 7 mengungkapkan ide awal pembuatan program petualangan liar melalui program “Jejak Petualang” adalah untuk mengetahui kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pedesaan dan kampung-kampung terpencil di berbagai sudut di Indonesia. Selama melakukan kunjungan atau petualangan itu, lanjutnya, di lapangan ternyata banyak ditemui macam-macam binatang liar atau binatang air. Karena itu, tim kreatif memperluas program “ Jejak Petualang” menjadi prorgam “Petualangan Liar” untuk meng-cover flora dan fauna di alam liar serta petualangan bahari untuk program pengenalan biota dan flora
laut. TV 7 juga memunculkan program “Bocah Petualang” berisi bermacam-macam program permainan anak-anak di desa-desa dan kampung. Selain program petualangan, Pasaroan mengatakan stasiun TV nya juga memiliki program success story yang menyajikan kisah sukses pengusaha. Melalui tontonan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dari para masyarakat yang terjun dan akan menjadi pengusaha. Cerita sukses yang pernah diangkat antara lain mengisahkan bagaimana usaha “Ayam Goreng Suharti” bisa membesar dari modal awal usaha sebesar Rp 500 juta. Keindahan dan kekayaan flora, fauna, dan kehiduapan sosial budaya masyarakat di berbagai sudut terpencil Indonesia sesungguhnya tidak kalah dibandingkan kecantikan para pemain sinetron “sabun”. Channel TV lain juga mengeksplore objek-objek ini untuk menjaring pemirsa. Di tengah stasiun-stasiun lain berlomba menayangkan sinetron “sabun” pada jam tayang utama antara pukul 19.00 – 21.00 WIB, Lativi justru menayangkan acara flora dan fauna “Special Documentary” dan “Amazing Documentary”. Slot iklan program inipun tidak kalah penuhnya dibandingkan acara sinetron. Trans TV yang masih kalah dalam kecepatan dan keaktualan menyajikan berita “hard news”, rupanya sadar akan hal ini. Stasiun TV ini menyajikan sejumlah program alam liar seperti “Jelajah” dan program anak-anak “Surat untuk Sahabat” yang sempat mendapat
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
5
SUMBER FOTO: http.www.google.co.id/
Telisik
penghargaan dari Unesco. Dalam program berita reguler pun, Trans TV juga menyajikan berita-berita “good news”. Seperti teori pembuatan berita umumnya, macam-macam berita yang djadikan diangkat memiliki persyaratan lebih spesifik, yaitu kebaruan, unik dan aneh. Selain itu, stasiun ini juga jeli dengan mengangkat berbagai berita yang dapat lebih mendekatkan stasiun ini ke masyarakat. Tema berita yang diangkat, tidak harus berat. Pengelola justru memilih tema-tema simpel, semisal masalah pengobatan, tip-tip praktis, atau tema-tema yang mengundang adanya partisipasif langsung. Saat peresmian pengoperasian sistem bus way di Jakarta misalnya, maka reportase dilaksanakan secara langsung dengan melibatkan reporter bagaimana ia membeli karcis, masuk ke halte dan keluar dari halte. Dalam perkembangannya, bahkan lebih jauh ada kecenderungan untuk mengemas program berita khususnya berita katagori “good news” dengan hiburan. Trans TV mengemasnya dalam program “Good News” sementara AN TV dapat dilihat pada program “Om Farhan”. Apakah program semacam ini akan diminati penonton, waktu yang nanti akan membuktikan.
6
Pemimpin Redaksi AN TV Karni Ilyas kepada “ M W T H C ” menjelaskan ia hanya bertanggungjawab untuk menyuplai berita. M e n g e n a i kemasan acaranya sendiri, itu adalah produser acara tersebut. “Urusan saya bagaimana memberikan news-nya. Yang jelas, jika berita Anda keluarkan pada jam 12 malam, orang-orang kan sudah capek dan sudah mengantuk,’’ katanya.
dibandingkan first run. “Ratingnya cukup bagus sehingga perlu di rerun. Ratingnya 1,5. Itu artinya 7 -8 persen pada jam ditayangkan program Jejak Petualang menonton program itu,” katanya
Karena itu, jelas Karni, stasiun TV harus dapat membuat kreativitas bagaimana memberikan materi serius tanpa membuat penonton stress dan capek. “Jika materinya serius, presenternya muncul dengan tegang lagi. Males orang menonton. Kita coba memberikan berita dengan format yang santai. Apakah itu lebih baik atau tidak kita lihat ke depan,’’ katanya.
Arthur Hays Salzberger, tokoh pers Amerika Serikat, seperti dikutip dalam buku “Etika Media Massa” (William L. Rivers dan Cleve Mathews, 1998) mengatakan, seiring dengan adanya tuntutan surat kabar yang bertanggungjawab (di sini bisa diperluas dengan media TV, penulis), maka harus ada pembaca (penonton, penulis) yang bertanggungjawab.
Berdasarkan pengalaman mengelola SCTV sebelumnya, Karni yakin, apakah ada peristiwa politik atau tidak atau apakah berita hard news atau feature, rating program berita tetap tinggi. “Jadi, tidak tergantung dari ramai atau tidak ramai adanya berita yang yang menggemparkan. Setiap hard news, itu selalu ada soft news-nya yang dapat kita garap.”
Pendapat Salzberger tersebut sangat relevan dengan konsidi yang terjadi di Indonesia saat ini. Kita – selaku penonton, tidak cukup untuk terus mengeluh tentang rendahnya kualitas program TV. Kita tentu saja tidak cukup untuk terus menuntut sebuah tatanan media yang bertanggungjawab bila kita sendiri tidak merubah sikap dan menjadi penonton yang bertanggungjawab. Caranya pun mudah. Kita harus dapat memutuskan tayangan atau informasi apa yang sepantasnya kita lihat dan tontotan mana yang seharusnya diabaikan dengan mematikan TV kita. Siapkah kita melakukannya? (Teguh Aprilyanto)
Sinyalemen Karni bukan tanpa data. Pasaroan mengungkapkan acara “Jejak Petualang” rupanya mendapat sambutan cukup positif dari masyarakat maka selain first run juga dilakukan re-run yang ternyata penontonnya juga tidak kalah
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
Secara ekonomis, program Jejak Petualang telah mampu menjaring sponsor yang dapat membiayai produksi program itu. Budget produksi tertutup dari sponsor dan kerja sama dengan berbagai perusahaan yang produksinya digunakan dalam proses produsksi. Untuk masa tayang selama 30 menit Jejak Petualang, 21 menit berisi isi progam dan sembilan menit diisi macam – macam iklan.
Mengadili atau tidak Mengadili
Soeharto
Silang pendapat mengenai apakah mengadili atau memaafkan mantan presiden Soeharto ramai di media massa. Kasus Soeharto ini
T
menghiasi halaman surat kabar nasional hampir sepanjang Mei 2006.
ak berapa lama setelah mantan presiden Soeharto masuk rumah sakit untuk ke sekian kali, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh mengumumkan keputusan penghentian penuntutan perkara mantan presiden tersebut (sebelumnya, Soeharto pernah dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan yang merugikan negara senilai Rp 1.7 triliun dan US$ 419 juta, namun dihentikan karena alasan kesehatan TEMPO, 21/05/2006). Dalam waktu yang ber-dekatan pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mengendapkan kasus mantan presiden itu. Segera saja kontroversi muncul di masyarakat menanggapi cara pemerintah menangani kasus mantan presiden Soeharto. Ada dua kelompok pendapat yang terdengar tentang kasus hukum itu. Pertama, mereka yang menginginkan Soeharto diadili. Suara kelompok ini ditunjukkan lewat protes beberapa kelompok mahasiswa di berbagai daerah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Alasan mereka antara lain demi menghormati amanat Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, atau demi persamaan hak dan kewajiban warga negara di muka hukum. Kelompok kedua tak ingin
Koran Tempo, Republika, dan Media Indonesia di masa Reformasi seperti sekarang ini menyangkut kasus Soeharto, mantan penguasa Orde Baru. Kompas: Pemerintah tidak Tegas
SUMBER FOTO: http.www.smh.com au/
Soeharto diadili. Mereka yang mewakili kelompok ini misalnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Agung Laksono, juga Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif. Alasan kelompok ini adalah bahwa Soeharto menderita sakit yang parah sehingga tidak bisa diadili. Media massa selalu tidak pernah bisa dipisahkan dari peristiwa yang terjadi di masyarakat, termasuk silang pendapat mengenai kasus mantan presiden Soeharto. Sebaliknya juga, media massa menjadi sumber informasi utama masyarakat terhadap isu-isu yang sedang berkembang. Menarik memperhatikan bagaimana media massa cetak memberitakan kasus Soeharto. Tulisan ini hendak mengamati orientasi pemberitaan Kompas,
Kompas pada dasarnya mendukung agar kasus Soeharto diteruskan hingga ke pengadilan. Hal ini bisa diamati dari komentarkomentar narasumber yang dikutip surat kabar ini. Sebagian besar mereka adalah berasal dari lembaga swadaya masyarakat. Dengan mengutip mereka, Kompas menulis bahwa pemerintah tidak berhak memaafkan Soeharto karena hak prerogatif untuk memberi maaf bukan pada pemerintah tetapi pada korban; atau komentar lain yang berpendapat bahwa proses pemaafan bisa tejadi kalau terbukti ada kesalahan lewat pengadilan karena sekarang ini belum jelas apa yang harus dimaafkan; atau pihak yang mengatakan bahwa keinginan pemerintah memafkan dan mengampuni Soeharto bisa menjadi preseden buruk terhadap upayaupaya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Namun dalam kolom editorialnya Kompas lebih banyak menyalahkan pemerintah atas kontroversi yang terjadi menyangkut penyelesaian kasus hukum Soeharto. Kompas menilai pemerin-
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
7
Telisik tah lamban mengambil keputusan padahal seperti yang tertulis dalam kolom editorialnya, Status Hukum Soeharto Ditunda (15/05), pertimbangan, rapat lengkap dengan para kepala lembaga negara telah digelar hingga larut malam. Kompas seperti hendak mengatakan bahwa kalau saja pemerintah Yudhoyono berani mengambil tindakan tegas, kasus Soeharto bisa segera selesai sehingga berbagai peristiwa unjuk rasa dan kekerasan tidak terjadi. Hanya Ada Satu Penyelesaian bagi Koran Tempo: Pengadilan Berbeda dengan pemberitaan Kompas, berita-berita Koran Tempo terlihat dengan jelas arahnya, yaitu menginginkan agar kasus Soeharto diselesaikan lewat pengadilan. Koran Tempo menempatkan kasus Soeharto sebagai issue of the month. Sejak mantan presiden Soeharto masuk rumah sakit awal Mei hingga minggu keempat, halaman depan surat kabar ini dipenuhi dengan berita seputar Soeharto. Koran ini dengan detil memuat antara lain kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru, perjalanan kasus hukum Soeharto, catatan sejumlah demo yang berlangsung di tanah air menentang penghentian perkara mantan presiden itu, serta catatan sejumlah keputusan manta presiden RI kedua itu yang berkaitan dengan keluarganya. Semuanya disajikan dengan gambar maupun grafik yang menarik perhatian sekaligus mengingatkan kembali pembaca atas “dosa-dosa” yang pernah dilakukan Orde Baru. Berita menyangkut Soeharto baru berkurang ketika gempa mengguncang Yogya tanggal 27 Mei 2006. Sikap Koran Tempo terhadap tampak jelas melalui artikel-artikel yang dimuat di halaman dalamnya. Simak judul-judulnya: Membongkar Soeharto File dan Soeharto dan
8
Rekonsiliasi Konstitusional (12/05); Blunder Politik Presiden (18/05); Menyelesaikan Kasus Soeharto: To Forgive But Not to Forget (19/05); Soeharto dan Kesangsian terhadap Sejarah. Pokok pikiran dari tulisantulisan tersebut adalah menekankan upaya proses pengadilan yang serius dan maksimal terhadap kasus mantan presiden Soeharto. Sikap koran yang satu grup dengan majalah TEMPO ini semakin jelas bila ditelisik lewat kolom editorialnya. Pada editorial berjudul Urgensi Mengadili Soeharto (11/05), koran ini memulainya dengan kalimat: ”Bagaimana cara paling bijak untuk memperlakukan seorang bekas diktator dan koruptor yang lengser dengan mewariskan luka-luka menganga di hati banyak orang? Sepanjang pengamatan penulis, hanya Koran Tempo yang segara tegas menyebut Soeharto sebagai dikatator dan koruptor. Penyebutan seperti ini menunjukkan sikap terang-terangan Koran Tempo memandang kasus hukum Soeharto. Harian ini berpendapat bahwa mantan presiden Soeharto harus diadili. Jika dihentikan akan menjadi kesalahan politik yang fatal. Amnesti boleh saja diberikan setelah Soeharto diadili dan kesalahannya didefinisikan dengan jelas. Republika: Sakit sehingga Maafkan Saja Berbeda dengan dua surat kabar nasional sebelumnya, Republika cenderung menyajikan berita yang positif sifatnya menyangkut Soeharto. Kunjungan Presiden Yudhoyono beserta Ibu Ani Yudhoyono disebut Republika sebagai hari istimewa bagi Soeharto. Berita-berita Republika lebih banyak mengabarkan kondisi kesehatan Soeharto yang semakin lama semakin memburuk, misalnya saja Jaringan Otak Soeharto Menciut
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
(19/05); Soeharto tak Punya Kemampuan Verbal (23/05), dan Soeharto Mengalami Darurat Medis (24/05). Berita-berita seperti ini berpotensi meraih simpati masyarakat Indonesia untuk nantinya setuju memafkan saja mantan presiden tersebut. Benar saja, di antara berita yang mengabarkan kondisi kesehatan mantan presiden itu, Republika mengutip pernyataan mereka yang mendukung pembatalan seluruh proses hukum terhadap Soeharto. Salah satu narasumber yang dikutip membeberkan hasil survei lembaganya yang mengatakan bahwa sikap publik sudah 50 persen positif terhadap Soeharto. Mereka (publik) menganggap, kehidupan semasa dia memimpin jauh lebih terjamin. Media Indonesia: Memaafkan Dibanding Koran Tempo yang pantang mundur meneriakkan pengadilan bagi Soeharto, Media Indonesia sebaliknya. Sepanjang pengamatan penulis, koran ini hanya satu kali menyoal kasus Soeharto dalam kolom editorialnya. Artinya, koran yang tergabung dalam Media Group di bawah pimpinan Surya Paloh ini tidak memandang kasus dugaan KKN Soeharto sebagai persoalan yang cukup penting untuk dibicarakan. Surat kabar Media Indonesia cenderung setuju pada keputusan penghentian perkara mantan presiden Soeharto. Simak beritaberita Media Indonesia berikut ini: Wapres: Tutup Kasus Pak Harto (9/ 05); Jaksa Agung Didesak Tutup Kasus Pak Harto (10/05); Agung Minta Pemerintah Hentikan Tuntutan Hukum (15/05); Permintaan Maaf dianggap Cukup (22/05) serta Jaksa Agung Nilai SKPP Sesuai Aturan (23/05). Bersambung ke hal: 24
Bahasa
GERBANG BAHASA
Zainal Arifin
MENGK OORDINIR A TAU MENGKOORDINIR AT MENGOORDINASI
1. Pengantar Dalam buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia karya Sutan Takdir Alisjahbana terdapat kaidah yang sudah turun-temurun atau sudah teradat dan terakar selama beberapa dekade (buku S.T.A. dicetak ulang 39 kali). Kaidah tersebut berbunyi bahwa konsonan k, p, t, s pada awal kata yang berasal dari bahasa asing tidak luluh menjadi bunyi sengau jika mendapat imbuhan me- atau pe-. Hingga saat ini aturan tersebut masih melekat pada pemikiran pengguna bahasa Indonesia walaupun sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada kaidah terbaru, yang merupakan penyempurnaan kaidah lama. Contoh penerapan kaidah St. Takdir tersebut, antara lain, adalah kata kalkulasi ditambah imbuhan me- menjadi mengkalkulasi; terjemahkan ditambah me- menjadi menterjemahkan; publikasi ditambah me- menjadi mempublikasi; sejahterakan ditambah me- menjadi mensejahterakan. 2. Pelambangan Imbuhan meng- dan pengTulisan ini tidak menggunakan nama awalan meatau meN- dan tidak mengikuti fatwa S.T.A., tetapi memilih nama awalan meng- seperti yang digunakan oleh Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) dengan alasan seperti berikut. a) Imbuhan ataupun kata dalam beberapa bahasa dapat mengalami variasi bentuk. Yang lazim dipilih dari sejumlah variasi bentuk yang ada itu adalah bentuk yang paling luas distrubusi pemakaiannya. Dalam kaitan itu, ternyata variasi bentuk meng- memiliki distribusi paling luas jika dibandingkan dengan variasi bentuk lainnya, yaitu mem-, men-, meny-, me-, dan menge-. Perhatikan uraian berikut. 1) Varian meng- muncul pada 11 tempat, yaitu di muka
bentuk dasar yang dimulai dengan vokal /a, e, o, u, e, i/ dan di muka bentuk dasar yang berawal dengan konsonan /g, k, kh, x, h/ contohnya sebagai berikut: meng+ambil menjadi mengambil, meng+ekor menjadi mengekor, meng+injak menjadi menginjak, meng+gergaji menjadi menggergaji dan meng+khwatirkan menjadi mengkhawatirkan. 2) Varian me- muncul pada 8 tempat, yaitu di muka bentuk dasar yang dimulai oleh bunyi awal /l, r, w, y, m, n, ng, ny/ seperti berikut: men+luruskan menjadi meluruskan dan men+riwayatkan menjadi meriwayatkan 3) Varian men- muncul pada 4 tempat, yaitu di depan bentuk dasar yang berawal dengan bunyi /d, t, sy, z/ seperti berikut: meng+duduki menjadi menduduki, men+tundukkan menjadi menundukkan dan meng+syiarkan menjadi mensyiarkan 4) Varian mem- muncul pada 4 tempat, yaitu di depan bentuk dasar yang berawal dengan bunyi /b, f, p, v/ seperti berikut: meng+bawa menjadi membawa, meng+fitnah menjadi menfitnah dan meng+pikir menjadi memikir. Akan tetapi, peluluhan itu tidak terjadi jika bunyi / p/ merupakan bentuk yang mengawali awalan per-. Misalnya: meng- + perjuangkan menjadi memperjuangkan; meng+perbaiki menjadi memperbaiki; meng+ perlihatkan menjadi memperlihatkan; meng+pertahankan menjadi mempertahankan. Contoh: a. Drajad wibowo mengatakan bahwa bisa saja nanti Bank Indonesia mempertahankan bobot risiko nol persen seperti saat ini. Kata dasarnya tahan, kemudian diberi imbuhan per-kan menjadi pertahankan. Jadi, pertahankan ditambah meng-
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
9
menjadi mempertahankan. Imbuhan per- tidak luluh. b. Pertamina memperhitungkan program substitusi minyak tanah dengan elpiji akan menghemat pemakaian minyak tanah hingga 30 ribu kiloliter pada tahun ini. Kata dasarnya hitung, kemudian diberi imbuhan per-kan menjadi perhitungkan. Jadi, perhitungkan ditambah mengmenjadi memperthitungkan. Imbuhan per- di sini juga tidak luluh. c. Seperti halnya Rooney, Owen pun baru sembuh dari cedera. Ia bahkan baru bisa memperkuat timnya, Newcastle di akhir musim Liga Primer setelah absen sejak Februari. Kata dasarnya kuat, kemudian diberi imbuhan per- menjadi perkuat. Jadi, perkuat ditambah meng- menjadi memperkuat. Imbuhan per- di sini juga tidak luluh. 5) Varian meny- muncul di depan bentuk dasar yang berawal dengan bunyi /s, c, c, j/ seperti; meny+ sapu menjadi menyapu, meny+ contoh menjadi mencontoh dan meny+jangkau menjadi menjangka 6) Varian menge- muncul di depan bentuk bersuku satu, seperti meng+bom menjadi mengebom, meng+cat menjadi mengecat, meng+las menjadi mengelas dan meng+rem menjadi mengerem
ada adalah mengebor dan memukul. Lalu, dari manakah muncul bunyi [nge]- pada mengebor dan bunyi [m] pada memukul? Secara linguistis, hal itu sulit untuk dijelaskan. Oleh karena itu, lebih masuk akal jika dipilih variasi dasar meng- yang kemudian meng- itu berubah menjadi menge- ketika harus diletakkan pada dasar yang berupa satu suku kata, seperti meng- + bor√ mengebor dan meng- + rem√ mengerem atau berubah menjadi mem- jika diletakkan pada dasar yang dimulai dengan fonem bilabial (bersuara, tidak luluh atau tak bersuara, luluh), seperti bawa dan pukul. Simaklah proses morfologis berikut ini. meng - + {vokal, g, k, h, kh, x} mem - + {b, f, p, v} meng-
men - + {t, d, sy, z} meny - + {s, c, j} me - + {I, r, w, y, nasal} menge - + kata ekasuka
Perhatikan bahwa variasi bentuk yang muncul selalu menunjukkan kesesuaian dengan bunyi awal dari bentuk yang dilekatinya (homorgan).
2) Penggunaan meN- untuk melambangkan awalan bukan merupakan pilihan yang tepat karena huruf N lazim digunakan untuk melambangkan nomina atau nominal. Jadi, dalam kaitan itu, bentuk meN- dapat ditafsirkan melambangkan dua tataran sekaligus, yaitu awalan dan kelas kata. Penggunaan meN- sebagai lambang awalan dapat diartikan bahwa bahasa Indonesia memiliki enam awalan, yaitu me-, men-, meny-, meng-, me-, dan menge-. Padahal, hanya ada satu awalan, yaitu meng-, tetapi awalan itu memiliki enam variasi bentuk.
Di dalam lingusitik, penjelasan tentang hilangnya bunyi ataupun hilangnya suku kata lebih berterima daripada penjelasan tentang bertambahnya bunyi ataupun bertambahnya suku kata. Misalnya, kata bekerja dapat diterangkan berasal dari ber- + kerja, yang kehilangan bunyi /r/ pada ber-, dan sapaan Nak berasal dari anak, yang kehilangan bunyi a (yang juga berfungsi sebagai suku pertamanya). Contoh lain ialah Nek, Pak, Bi, Kek yang berasal dari nenek, bapak, bibi, dan kakek. Bentuk lengkap itu bukan berasal dari bentuk pendek yang dilengkapkan, yakni bukan dari nek, pak, bi, dan kek yang mendapatkan tambahan suku awal ne, ba, bi, dan ka karena tentu saja sulit bagi pemakai bahasa untuk memprediksi bentuk suku awal yang seperti apa yang harus ditambahkan pada bentuk pendek itu.
Jika yang dipilih adalah bentuk variasi dasar medan awalan itu diletakkan pada dasar seperti bor dan pukul, seharusnya demi kecermatan serta kebersisteman berpikir, proses morfologis yang terjadi seharusnya adalah me + bor√ mebor atau me+pukul√ mepukul. Padahal, di dalam kenyataan bentuk mebor dan mepukul itu tidak ada. Bentuk yang
Jika awalan me- menghasilkan bunyi sengau ketika dilekatkan pada bentuk dasar, mengapa awalan lain, seperti awalan ke- dan se-, tidak menghasilkan bunyi yang sama? Bagaimana pula kita harus menjelaskan kata petinju, pegolf, pedagang, dan petenis yang tidak menghasilkan bunyi sengau? Bukanlah awalan pesejalan bentuknya dengan awalan me-? Tampaknya,
Bentuk pasif dari kata mengembom, mengecat, mengelas, dan mengerem adalah dibom, dicat, dilas, dan direm.
10 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
Bahasa pilihan terhadap meng- sebagai bentuk varian dasar dapat menjadi solusi yang terbaik. Lagi pula, kata kerja berawalan meng- berkaitan bentuk dan maknanya dengan kata benda berawalan peng- dan kata benda dengan konfiks peng-…-an, sedangkan kata kerja berawalan ber- berkaitan bentuk dan maknanya dengan kata benda berawalan per- (pe-, pel-) dan kata benda berkonfiks (per-…-an, pe-…an, pel…an). Perhatikan urutan berikut.
tinju
bertinju
√petinju √pertinjuan
meninju
√peninju √peninjuan
memiliki kata kerja menglepas, mengrusak, menglariskan. Awalan meng- yang dihubungkan dengan kaji, diberi toleransi, ada yang menghasilkan mengaji (memperdalam pengetahuan tentang agam Islam dengan belajar kepada guru agama) dan ada yang menghasilkan mengkaji (memikirkan secara mendalam Teori Relativitas Einstein, misalnya).
√tinjuan tani
bertani
√petani √pertanian
? menani (kan)√ ? ...√?
tambang
bertambang √ pertambang √ pertambangan menambang √ penambang √ penambangan
√hasil tambang tulisan
bertulis
√petulis √pertulisan
menulis
√penulis √penulisan √tulisan
Dari deretan itu dapat diketahui bahwa kata benda pertinjuan dan petinju berkaitan bentuk dan maknanya dengan kata kerja bertinju. Perhatikan bahwa pertinjuan berarti ‘hal bertinju’ dan petinju ‘orang yang bertinju’, sedangkan kata benda peninjuan dan peninju berkaitan dan maknanya dengan kata kerja meninju. Perhatikan bahwa kata peninjuan berarti ‘proses, perbuatan, atau cara meninju’, sedangkan peninju berarti ‘orang yang meninju’. Akan tetapi, lihat pula di dalam kenyataan sehari-hari, bukanlah bahasa Indonesia tidak memiliki kata benda *penani karena memang tidak ada kata kerja yang berkaitan bentuk dan maknanya dengan *penani, yaitu *menani ataupun *menanikan. Yang ada adalah kata kerja petani, yang memiliki kaitan bentuk dan maknanya dengan kata kerja bertani. Sehubungan dengan kenyataan seperti itu, seharusnya hanya terdapat kata pelepasan, perusakan, pelaris, yang berkaitan bentuk dan maknanya dengan kata kerja melepaskan, merusak, melaris(kan), bukan penglaris, acara penglepasan, kapal pengrusak karena bahasa Indonesia tidak
Sudah dinyatakan di muka bahwa awalan meng- memiliki perwujudan enam macam. Perbedaan wujud imbuhan meng-, mem-, men-, meny-, me-, dan menge- ditentukan oleh awalan pertama yang mengawali kata dasar. Keenam bentuk tersebut merupakan alomorf atau anggota satu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi mempunyai fungsi dan makna sama, yaitu {meng-}. Kini silakan Anda membentuk kata turunan dari kata dasar berikut yang berkonsonan awal /k/, /p/, /t/, /s/ dengan menambahkan prefiks meng- atau meng-kan dan meng-i serta peng- atau peng-an.
Khusus mengenai kata mengkoordinir, di dalam pemakaian sehari-hari masih sering diijumpai pemakaian kata tersebut, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tertulis, padahal itu salah. Di samping menkoordinir, sering juga dijumpai kata mengkoordinasi, bentuk ini juga salah. Bentuk yang benar adalah mengoordinasi. Kata koordinasi diserap dari kata benda coordinatie (Belanda) atau dari kata benda coordination (Inggris). Jika kata koordinasi ditambah imbuhan meng- atau di-, hasilnya adalah mengoordinasi (bukan mengkoordinasi) dan dikoordinasi. Perhatikan penggunaannya dalam kalimat. 1. Agung Laksono meminta pemerintah untuk memerhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang anggaran pendidikan 20% yang harus dilaksanakan. 2. Kepala Divisi BBM Djaelani Sutomo mengatakan hasil pelaksanaan program substitusi minyak tanah akan sangat memengaruhi kebijakan ekspor minyak tanah Pertamina. 3. Permainan mengilat pemuda berusia 22 tahun asal Madrid, Fernando “El nino’ Torres yang berasal dari klub Atletico Madrid dan bermain di Liga Spanyol menjadikannya incaran klub-klub besar
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
11
di Eropa. 4. Setelah memarkir kendaraan, wartawan menanti matahari terbit pukul 5.38. 5. Timor Leste kembali porak-poranda setelah sekitar 600 kawanan prajurit pembangkang meneror Kota Dili sejak April lalu. 6. Sekjen Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI) PBNU, Zis Muzahid, mengatakan bahwa saat ini tim Malaysia sudah menyurvei sasaran tempat ibadah yang akan dibantu. 7. Robert Kovac sependapat dengan Niko soal peluang Kroasia, asalkan bisa memeragakan permainan seperti babak kedua ketika Kroasia melawan Breasil. 8. Kepala kantor menugasi saya untuk mengoordinasi kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra tahun ini. Demikian juga, silakan Anda membuat kata turunan dari kata dasar dalam daftar itu dengan menggunakan imbuhan peng- yang mempunyai enam alomorf, yaitu
pem-, pen-, peny-, peng-, dan pe-, dan penge. Catatan: Kata-kata dasar yang bergugus konsonan kr, pr, tr, dan sr tidak luluh menjadi bunyi sengau jika ditambah imbuhan meng-. Misalnya: 1. Kepala Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Hadi Mochtar, mengaku, pihaknya sedang sibuk mempromosikan pariwisata Kota Gudeg dengan mendekati beberapa biro perjalanan wisata. 2. Bintang Real Madrid, David Beckham, mengaku menerima kritik orang terdapnya, tetapi tidak bisa dan tidak menerima jika ada orang mengkritik ibunya, saudaranya, bahkan anaknya atas kurang gregetnya pertandingan Inggris melawan Paraguay. 3. Agar beroleh laba yang besar, tidak sedikit pengusaha yang nekat memproduksi rokok putih alias rokok tanpa cukai.
Diskusi Mana yang L ebih Berbisa: Lebih
Konglomerasi Asing, atau Konglomerasi L okal? Lokal? Ulasan terhadap Diskusi ‘Pers Asing di Indonesia: Kekuatan Modal, Peredaran, dan Pendiriannya “Dewan Pers”, Jakarta, 31 Mei 2006
P
asca kejatuhan Orde Baru, Indonesia menikmati liberalisme pers. Jika sebelumnya pendirian perusahaan pers harus memenuhi enam belas syarat untuk memperoleh SIUPP, penerbitan sebuah media berdasarkan Undangundang No.40/1999 menjadi hak setiap warga negara dengan catatan lembaga penerbitan itu berbadan hukum (ada akta notaris),
penanggung jawab atau pengelola dan alamat jelas, serta tentu saja visi dan misi tidak bertentangan dengan peraturan, kode, etik, dan perundangan yang berlaku. Akan tetapi, menurut R.H. Siregar, Wakil Ketua Dewan Pers, regulasi baru menimbulkan ketidakjelasan tentang modal asing dan bertentangan dengan perundangan sebelumnya. Undangundang No.11 Tahun 1966 pasal 13
12 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
ayat 2, umpamanya, menegaskan bahwa perusahaan pers harus seluruhnya modal nasional, sedangkan para pendiri dan pengurusnya harus seluruh warga Indonesia. Adapun ayat 3 menyebutkan bahwa perusahaan pers dilarang memberikan atau menerima jasa/bantuan/sumbangan/ kepada/dari pihak asing, kecuali dengan persetujuan pemerintah setelah mendengar pertimbangan
Diskusi
SUMBER FOTO: Tito Kokkang,Koleksi Pantau Pemilu THC
poisitif maupun negatifnya. Globalisasi media massa yang merambah banyak negara lebih banyak disebabkan oleh kekuatankekuatan modal perusahaanperusahaan media massa di Amerika yang sering disebut sebagai ‘amerikanisasi media massa.’ Perusahaan media massa besar Amerika Serikat, sebagai contoh, melakukan ekspansi dengan membeli saham, menjual produk, dan menjadi mitra media massa di pelbagai negara.
Dewan Pers. Sebaliknya, Undang-undang No.40/1999 memungkinkan masuknya modal asing dalam perusahaan pers di tanah air, tapi tidak ada pengaturan yang jelas sejauh mana pers asing bisa beredar di Indonesia termasuk bagaimana wartawan asing bisa melakukan tugas-tugas mereka di sini. Selain itu, pasal 1 ayat 7 tidak secara tegas mengatur badan hukum perusahaan yang bersangkutan. Seharusnya, menurut R.H. Siregar, harus ditegaskan bahwa perusahaan pers asing itu harus berbadan hukum Indonesia supaya dengan begitu ada kejelasan pada istilah ‘pers asing’ dengan ‘perusahaan asing.’ Di samping itu, muncul persoalan lembaga apa yang memiliki kewenangan mengawasi masuknya modal asing melalui pasar modal itu. Kemudian, institusi atau
badan mana yang mengontrol agar penambahan modal asing pada perusahaan pers tidak mencapai saham mayoritas. Selain itu, Undang-undang Pers yang berlaku sekarang belum secara jelas mengatur keberadaan pers asing yang diterbitkan berdasarkan lisensi dan waralaba. Kemudian perlu ditegaskan, lembaga mana yang mengurus dan mengatur hal ini, sehingga ada keteraturan dan tidak terjadi tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lain. Persoalan yang dikhawatirkan adalah kepemilikan modal asing dalam perusahaan media menimbulkan intervensi pada pemberitaan. Gati Gayatri, seorang akademisi dari Universitas Moestopo Beragama, menyebutkan bahwa fenomena kepemilikan media asing adalah sesuatu takterhindarkan, berikut dampak
Jejaring televisi global pertama, CNN, yang dikembangkan Ted Turnuer pada awal 1990-an, misalnya, mampu menyiarkan berita Perang Teluk I selama 24 jam ke seluruh dunia dengan memanfaatkan satelit dan jaringan televisi kabel. Keberhasilan CNN pun mendorong perusahaanperusahaan media siaran lain seperti BBC, NBC dan Star mengikuti jejaknya mengembangkan jejaring mendunia. Yang jelas, kata Gati Gayatri, jaringan televisi global pada 1990-an mengubah modus komunikasi global dan relasi-relasi internasional seperti teknologi, ekonomi, politik, budaya. hukum, opini publik, diplomasi, serta isuisu kesejahteraan, terorisme, hak asasi manusia, kerusakan ligkungan, pengungsi, dan kesehatan. Di sini kita bisa melihat persoalannya, yaitu bahwa jejaring televisi global didominasi oleh para pemodal dari negara-negara Barat yang selain mempunyai banyak uang juga menguasai teknologi jurnalistik. Dengan demikian, terjadilah ketimpangan arus informasi, lantaran arus informasi cenderung mengalir dari negaranegara maju ke negara-negara berkembang. Atau, persoalan-
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
13
persoalan di negara berkembang diukur dengan standar nilai-nilai Barat. Dengan begitu, yang mengemuka adalah imperialisme budaya melalui media yang mempromosikan budaya Barat sebagai sebuah standar universal. Misalnya, isu tentang perdagangan bebas, atau kebebasan bicara. Padahal, yang paling diuntungkan dari situasi yang timpang ini adalah negara-negara maju yang berkepentingan menjadikan negaranegara berkembang sebagai wilayah yang nyaman untuk dieksploitasi oleh industri-industri mereka. Menurut Gati Gayatri, penerapan model praktik jurnalistik yang berasal dari konsep jurnalistik profesional Amerika dan Eropa telah mengabaikan atau tidak sepenuhnya menganalisis perkembanganperkembangan global penting seperti implikasi-implikasi politik, sosial, dan budaya konsentrasi korporasi internasional perusahaanperusahaan media massa. Akibatnya, kata Gati Gayatri, khalayak mendapatkan isi berita yang generik, dan lebih menekankan pada hal-hal kecil, peristiwaperistiwa sensasional, dan topiktopik yang jauh dari per-soalanpersoalan politik. Sebab, kata Gati Gayatri, konsentrasi internasional media massa mempengaruhi cara-cara berita maupun produk-produk budaya lain dibuat dan didistribusikan di seluruh dunia. Pertama, konsentrasi kepemilikan dan privatisasi media massa biasanya disertai komsersialisasi berita dan produk-produk budaya lain. Kedua, aliansi antara raja-raja media seperti Rupert Murdoch dengan kekuatan-
kekuatan konservatisme politik telah mendorong media massa bersikap lunak terhadap struktur, sehingga status quo pun jarang dipertanyakan. Sebaliknya, media pada akhirnya mengedapankan berita-berita yang sensasional tapi remeh-temeh, tanpa analisis peristiwa yang menyeluruh dan mendalam. Di samping itu, Gati Gayatri juga mengutip beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kepemilikan media oleh pihak asing bisa mempengaruhi karya jurnalistik para wartawan lokal karena kapitalisme global mendorong penulisan berita yang tidak berpihak kepada kepentingan publik dan budaya lokal. Memang, katanya ada dampak positif kehadiran media asing seperti meluasnya wawasan pengetahuan masyarakat tentang isu-isu global, sehingga hal ini bisa mencerdaskan mereka. Tetapi, budaya asing, tambahnya, bisa menimbulan persoalan baru bagi masyarakat yang tasiap menghadapi globalisasi informasi. Akan tetapi, menurut saya, yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa sesungguhnya konglomerasi media lokal merupakan sesuatu yang nyata dan juga suatu bentuk kezaliman. Kepemilikan media massa di negeri ini dinikmati oleh bebarapa orang atau kelompok saja, ataupun keluarga-keluarga kaya, yang sebelum dan sesudah kejatuhan Orde Baru adalah kroni penguasa. Seorang redaktur berita di televisi, umpamanya, bercerita kepada saya, bahwa media televisi seringkali dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menyuarakan
14 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
kepentingan bisnis ataupun yang berkaitan dengan kekuasaan, ataupun untuk mendelegitimasi lawan-lawan bisnis atau politik mereka. Jadi, sebuah isu, tidaklah serta-merta muncul secara independen, melainkan ia dipilih atas dasar pertimbangan-pertimbangan ekonomi maupun politik tertentu. Seorang pemilik stasiun berita di tanah air, contoh lain, bahkan terang-terangan memanfaatkan jejaring medianya untuk kepentingan kampanye politiknya. Padahal, gelombang elektroma-gentik televisi adalah langka, terbatas dan merupakan milik publik. Dengan demikian, taktis jika ia digunakan untuk kepentingan pribadi. Arief Suditomo, dalam diskusi itu boleh saja mengatakan bahwa para jurnalis televisi di negeri ini punya semangat idealisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah idealisme seorang wartawan pada akhirnya toh akan membentur struktur media tempat ia bekerja. Dengan kata lain, seorang awak media, tidak lebih daripada seorang buruh belaka. Pendek kata, jangan sampai isu konglomerasi media asing malah dijadikan sebagai instrumen industri media lokal untuk mengalihkan masalah guna mempertahankan privilese yang mereka nikmati secara eksklusif. Sebab, baik konglomerasi asing maupun lokal, sama-sama bermasalah. Oleh sebab itu, hendaknya kalangan masyarakat sipil terus-menerus bersikap kritis terhadap media tanpa mempedulikan apakah ia dimiliki asing ataupun lokal (Junarto Imam Prakoso).
Profil
Prof .Dr of.Dr .Dr.. Ichlasul Amal (K etua Dewan P ers) (Ketua Pers)
“Si K ecil” Y ang Ber nyali Besar Kecil” Yang Bernyali
D
itemui di kantornya, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih Jakarta, laki-laki bertubuh “kecil” ini tersenyum ramah dan akrab menerima kedatangan “Media Watch THC”. Ichlasul Amal yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, semula menolak untuk dijadikan Profil, karena ia merasa belum membuat suatu karya yang membanggakan bagi dunia pers. Ichlasul Amal, memang dikenal sebagai orang yang senang berkarya tanpa memiliki target atau vested interest atas apa yang ia lakukan. Bagi laki-laki berdarah Madura kelahiran Jember 1 Agustus 1942 ini, segala yang ia lakukan semata adalah tanggung jawabnya sebagai mahluk Tuhan yang diberikan kemampuan dan nalar untuk berbuat hal yang terbaik bagi masyarakatnya. Oleh karena itu Doktor Ilmu Politik lulusan Monash University Australia ini, selalu berusaha memberikan yang terbaik, tidak hanya di dunia pendidikan tetapi juga di dunia pers. Rektor Reformasi Pada tahun 1998, saat mahasiswa dari pelbagai Perguruan Tinggi turun berdemonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto saat itu, Ichlasul Amal dilantik Pak H a r t o menjadi Ichlasul Rektor
Amal
Universitas Gajah Mada (UGM) untuk periode 19982002. Malah, di ujung kekuasaannya, Pak Harto pernah menawarkan Ichlasul, jabatan sebagai Mendikbud di Kabinet Pembangunan Reformasi yang diniatkan menggantikan Kabinet Pembangunan VII. “Saya diminta langsung oleh Pak Harto. Dua kali malah, langsung ke handphone saya,” kata Ichlasul, sebagaimana dirilis Jawa Pos pada tahun 1998. Tapi tawaran itu terpaksa tak dipenuhi, karena prinsip dan merasa tidak enak terhadap mahasiswa dan lingkungan sekitarnya Dan kepercayaan yang diberikan Pak Harto untuk memimpin UGM ini pun, tidak membuat ia memilih berseberangan dengan mahasiswa yang tengah menyuarakan reformasi dan menuntut turun Pak Harto. Sebaliknya, Ichlasul malah memfasilitasi unjuk rasa mahasiswa dengan menyediakan panggung lengkap dengan pengeras suaranya, dan memberikan jaminan kepada para mahasiswa bahwa selama unjuk rasa berada di dalam kampus, aparat tidak bisa menangkap mereka. Bukan itu saja, k e t i k a tuntutan reformasi i t u
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.46 / 15 Juni - 15 Juli 2006
15
SUMBER FOTO: Najib Kokkang, Koleksi Pantau Pemilu THC
Ketika mengakhiri tugasnya sebagai Rektor UGM tahun 2002, Alumni S1 Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM angkatan 1967 ini, dilepas sejumlah karyawan dan mahasiswa dengan mengendarai andong di seputar kampus, sambil mengenakan ikat kepala bertuliskan “reformasi”. Ketua Dewan Pers yang tidak berasal dari kalangan Pers
sudah sangat meruncing, Ichlasul pun ikut turun berunjuk rasa bersama mahasis-wanya. Karena keberpihakannya yang tegas pada gerakan reformasi itu, dia pun dijuluki mahasiswanya sebagai Rektor reformis. Oleh para aktivis mahasiswa, Ia dianugerahi Bintang Jasa Utama Tokoh Reformasi Damai 1999. Tak hanya mahasiswa, almamaternya, Monash University Australia, juga mendaulatnya sebagai penerima Distinguished Alumni Award periode 1997/ 98 atas kepemimpinannya saat reformasi bulan Mei 1998. Namun, penghargaan-penghargaan semacam ini, tidak membuat Ichlasul bangga. Ichlasul menganggap itu adalah pilihan yang harus ia ambil meski pun gerakan mahasiswa dituduh pemerintah saat itu, sebagai politik praktis. Dia menilai unjuk rasa mahasiswa itu murni menyuarakan keinginan dan kepentingan rakyat. Maka tak heran bila dalam buku “50 Tahun UGM di Seputar Dinamika Politik Bangsa”, Ichlasul dijuluki sebagai “lelaki kecil dengan nyali besar”. Ia dianggap sebagai figur yang tepat pada saat
yang tepat. Ichlasul muncul dengan berani untuk menegakkan demokrasi yang sehat di negeri ini. Dan sikap dan prinsipnya yang selalu berusaha menyuarakan kepentingan rakyat, kembali teruji, saat B.J. Habibie menjadi Presiden ke-3 RI. Ichlasul menolak tawaran Habibie untuk menduduki jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet saat itu. Dan ketika kemudian berbagai partai politik muncul di Indonesia, pakar ilmu politik ini pun menolak tawaran bergabung dalam partai politik dengan dalih sebagai pegawai negeri. Namun ia memelopori acara “Dialog antarpartai tentang Pemilu” di Kampus UGM. Lalu, dia juga mencetuskan ide pemantau pemilu sebagai ganti kuliah kerja nyata bagi mahasiswanya. Selama menjabat sebagai Rektor UGM, Ichlasul membangun hubungan yang tidak kaku dengan segenap jajaran di kampusnya. Dia juga mengimplementasikan kebebasan berpikir. Menurutnya, berpikir untuk berbuat sesuatu yang berbeda bukanlah hal yang salah.
16 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.46 / 15 Juni - 15 Juli 2006
Ichlasul Amal mengakui, ia tidak pernah berpikir untuk menjadi Ketua Dewan Pers seperti sekarang ini. Ia pun tidak pernah terpikir akan diterima di Universitas Gajah Mada, dan akhirnya menjadi Rektor di almamaternya ini. Amal mengecap pendidikan SD, SMP dan SMA di kota kelahirannya, Jember. Dia selalu mendapat ranking pertama. Ketika lulus SMA, ia mendaftar pada dua universitas, yakni UGM Jogyakarta dan Unair Surabaya. Dan kedua Universitas itu pun menerimanya sebagai mahasiswa. Meski ia tidak mengetahui jelas apa itu Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, ia memilih untuk menekuni dan mengikuti kuliah di jurusan itu. Selama jadi mahasiswa di UGM, Ichlasul aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jogyakarta. Dalam masa lima tahun, Ichlasul menyelesaikan kuliahnya di UGM, yakni pada tahun 1967, dan Ia pun langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya, tanpa melamar. Ketika itu, UGM mengalami kekosongan pengajar karena banyak dosen terlibat G30S/PKI dan dikeluarkan. Pada tahun itu juga, Ichlasul menjadi Ketua IPMI cabang
Profil Jogyakarta periode 1967-68. Meski tidak pernah terjun menjadi wartawan secara profesional, Ichlasul merasa banyak hal yang bisa ia sampaikan di media kampus yang dibuat oleh IPMI. Karena pada masa itu, surat kabar resmi tidak bisa memberitakan persoalan yang banyak muncul di tahun itu, seperti keburukan kronikroni Soekarno, PKI, dan lain-lain. Koran kampus menjadi media alternatif bagi masyarakat untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya, karena ada berita lengkap yang tidak bisa ditemukan di media atau surat kabar resmi. Usai menjabat Ketua IPMI, di tahun berikutnya, yakni 1969, Ichlasul menikah dengan Ery Hariati, adik kelasnya waktu kuliah. Mereka dikaruniai tiga anak, namun satu meninggal dunia akibat leukemia. Pada tahun 1974, ia pun berkesempatan melanjutkan studi ilmu politik di Northern Illinois University, Illinois, Amerika Serikat, atas beasiswa Fullbright, meraih gelar MA. Saat kuliah ini lah, Ichlasul merasa ketinggalan banyak tentang isu-isu politik di Indonesia, misalnya Peristiwa Malari. “Jika saya saat itu ada di Indonesia, pasti saya ikut turun pada peristiwa Malari dan ditahan juga. Sayangnya, saya cuma kebagian sisa2 peristiwa itu”, kenang Ichlasul. Lalu pada tahun 1977, sambil merawat anaknya yang sakit di Australia, Amal melanjutkan S3 di Monash University, Melbourne, Australia. Dia pun menggondol gelar doktor (PhD) pada tahun 1984, dengan disertasi mengenai politik dalam negeri dalam kaitan hubungan pusat dengan daerah. Meski ilmu dan jurusan yang
didalaminya tidak ada yang berbau jurnalistik, tetapi Ichlasul mengaku sebagai orang yang peduli dengan dunia pers. Selama tinggal di Australia ia banyak memerhatikan
Selebihnya mereka hidup dari berbagai cara, misalnya membuat berita sensasi, menjadi aliansi partai atau pemerintah, dan bahkan ada yang hidup dengan mengandalkan
Hanya 30 persen dari 700 media, yang secara ekonomi bisa dibilang baik. Selebihnya mereka hidup dari berbagai cara, misalnya membuat berita sensasi, menjadi aliansi partai atau pemerintah, dan bahkan ada yang hidup dengan mengandalkan amplop.
kebebasan pers di sana. Ia pun banyak menulis untuk media Australia mau pun Indonesia. Saat menjadi Rektor di UGM, Ia memberlakukan kebebasan pers bagi mahasiswa. lewat tulisantulisan di majalah atau koran kampus. Dengan jabatannya sekarang, ia berusaha memperbaiki kinerja Dewan Pers. Pers Indonesia masih tidak profesional. Selama menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, mulai tahun 2003 lalu, ia menganalisa bahwa sebenarnya kebebasan pers di Indonesia cukup tinggi. Ini terbukti dengan banyaknya pers yang bermunculan saat Reformasi mulai bergulir tahun 1998. Saat itu ada sekitar 1500 media yang terbit dengan atau tanpa Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP). Kini sejalan dengan waktu, tinggal 700 media yang masih bertahan, meski pun tidak semua media kondisinya bagus. Dalam penilaian Ichlasul, hanya 30 persen dari 700 media, yang secara ekonomi bisa dibilang baik.
amplop. Hal ini, jelas membuat wartawan yang bekerja pada media tersebut tidak profesional. Oleh karena itu tidak bisa disalahkan bila banyak kekerasan atau pun gugatan yang ditujukan kepada wartawan. Selain karena faktor ekonomi, ketidakprofesionalan wartawan, terjadi karena situasi politik yang mendukung. Ia memberikan contoh, pada saat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Langsung), banyak media terbit hanya dalam waktu 3 bulan, yang tujuannya untuk mendukung calon tertentu selama Pilkada. Media tersebut mengintimidasi masyarakat, sehingga masyarakat marah, dan melakukan kekerasan kepada wartawan dari media tersebut. Selain pers yang beraliansi, pemberian amplop kepada wartawan juga merupakan distorsi bagi kebebasan pers di Indonesia. Dewan Pers menemukan bahwa hampir di setiap kabupaten, ada dana untuk wartawan. Artinya, setiap wartawan yang meliput
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.46 / 15 Juni - 15 Juli 2006
17
kegiatan di Kabupaten, menerima amplop. Untuk hal ini, Ichlasul mengaku Dewan Pers tidak bisa melakukan apa-apa. Ia berharap, pemerintah daerah mau membantu meningkatkan peran pers sesuai dengan kode etik yang berlaku. Bila pers di Indonesia bisa profesional, maka masalah kekerasan, pornografi, dan pencemaran nama baik di media tidak akan marak terjadi. Memang, saat kekerasan terhadap wartawan atau amuk massa terjadi, Dewan Pers tidak bisa berbuat apa-apa, seperti pada kasus majalah “Play Boy”. Karena, hal itu adalah kewenangan Polisi, bukan Dewan Pers. Kepolisian lah yang harus memberantas pornografi di media, bukan Dewan Pers. “Juga, kalau ada kekerasan terhadap wartawan, Dewan Pers hanya bisa menggalang solidaritas sesama wartawan untuk mendukung penegakan hukumnya. Yang harus menangani kasusnya tetap Kepolisian, bukan Dewan Pers”, ujar Ichlasul. Lantas apa yang bisa dilakukan Dewan Pers? Ichlasul mengatakan, “Dewan Pers menjalankan perannya berdasarkan UU Pers No. 40, misalnya, bila ada kesalahan dalam isi pemberitaan, maka itu menjadi urusan Dewan Pers. Seperti, pemberitaan yang mengarah pada fitnah, berita bohong, dan caci maki. Itu pun Dewan Pers tidak bisa memberikan sangsi, karena Dewan Pers bukan lembaga yang berwenang memberi sangsi. Dewan Pers hanya menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah antara media yang digugat dengan pihak yang menggugat”, papar Ichlasul. Namun, bukan berarti tidak ada hal yang dapat dilakukan oleh Dewan Pers untuk meningkatkan profesionalisme wartawan. Meski dana yang dimiliki Dewan Pers terbatas, Dewan Pers tetap
memberlakukan program pelatihan untuk mensosialisasikan kode etik jurnalistik kepada wartawan di seluruh Indonesia, baik melalui training mau pun kunjungan Dewan Pers ke berbagai media di daerah. Dengan demikian, wartawan paling tidak mengerti bagaimana seharusnya menulis berita berdasarkan kode etik yang ada. Inilah yang ingin Ichlasul dan
Pengaduan Dewan Pers menerima 500 pengaduan masyarakat terhadap media. Ini menandakan kepercayaan masyarakat kepada Dewan Pers cukup tinggi. “Tapi bisa dikatakan banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan Pers kita memang masih belum profesional”, tegas Ichlasul. Tetapi, Ichlasul tidak menutup mata, bahwa banyak wartawan yang
“ Banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan Pers kita memang masih belum profesional”
“ teman-teman di Dewan Pers lakukan, sebelum masa kepemimpinan mereka berakhir bulan September 2006 mendatang. “Target saya selama jadi ketua Dewan Pers, adalah berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya. Di Dewan Pers kan ada tiga komponen yakni komponen Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Jurnalis dan Public figure. Nah, saya harus menjaga solidaritas dan kekompakan anggota Dewan Pers yang bekerja di tiap komponen. Selain itu saya juga bertugas menjaga citra Dewan Pers. Dulu orang bilang, Dewan Pers hanya membela kepentingan pers. Sekarang tidak. Saya juga membela orang yang menjadi korban pers”. Dan bukanlah omong kosong, bila Ichlasul mengatakan banyak permasalahan yang berkaitan dengan pencemaran nama baik atau fitnah, bisa diselesaikan oleh Dewan Pers. Meski pun tidak semua bisa tertangani, namun Dewan Pers mencatat, dari tahun 2003 hingga sekarang, Divisi
18 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
bekerja secara professional begitu juga dengan institusi media. Ia mencontohkan kasus Pak Harto. “Saya melihat media cukup imbang memuat suara yang pro dan kontra tentang perkara hukum Pak Harto, dan itu bagus”,kata Ichlasul. Tentang wartawan yang jadi tim sukses calon Pemain di Pemilu atau Pilkada, Ichlasul juga mengomentari sebagai hal yang wajar saja. “Asalkan pemberitaannya bersifat fair, kalau pun tidak imbang dan cenderung membela suatu nominator, yang penting argumennya tidak bersifat emosional, dan menyerang pihak lain. Harus logis”, kata Ichlasul. Selanjutnya Ichlasul menghimbau masyarakat, bila ada masalah dengan isi berita pers, maka sebaiknya melapor ke Dewan Pers. “Kita akan menyelesaikan dengan menggunakan UU Pers No. 40. Dan kita usahakan tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, sehingga ada win-win solution”, tandas Ichlasul. (Fetty Fajriati/ Afdal Makkuraga)
Resensi
Mempraktikkan Jur nalisme Jurnalisme
Damai
B
agaimana seharusnya wartawan memberitakan konflik? Ini pertanyaan yang tidak mudah karena situasi konflik biasanya menjebak wartawan dalam tarikmenarik ke salah satu pihak berkaitan dengan latar belakang subyektif dirinya dalam komunitas etnis, agama, ataupun kebangsaan tertentu. Jawabannya pun bukan dengan obyektivitas. Sebab, prinsip obyektivitas pada dasarnya lebih dekat dengan mitos alih-alih konsep yang dapat dipraktikkan. Adalah absurd kalau kita percaya bahwa wartawan atau media massa mampu mengangkat realitas tanpa memasukkan sudut pandang subyektif mereka. Apalagi jika mereka berinteraksi dengan kelompokkelompok yang bertikai yang berusaha mempengaruhi media massa agar membuat pemberitaan yang menguntungkan mereka.
Judul Buku : Meliput Pertikaian Penulis: Lukas Luwarso Penerbit: SEAPA Tebal: ix + 100 halaman Tahun terbit: 2000
Teknik jurnalistik yang konvensional yang seolah-olah obyektif kadangkadang justru menjadi pemicu konflik yang lebih besar karena konflik dijadikan sebagai komoditas. Ia memusatkan perhatian pada perang atau akibat perang itu sendiri dan mereduksi konflik secara simplistis menjadi persoalan dua belah pihak yang berhadap-hadapan. Dengan begitu, yang terjadi adalah provokasi terhadap kedua belah pihak untuk melakukan aksi pembalasan sehingga semakin mengarahkan konflik ke tindakan yang
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.46 / 15 Juni - 15 Juli 2006
19
lebih brutal. Fakta yang ditampilkan media massa bisa jadi benar, tapi mungkin berpotensi membahayakan keselamatan jiwa manusia yang lain. Menurut Indonesian Alert for Peace and Conflict Resolution (IAPCR), siaran berita RRI dan TVRI Ambon tentang peristiwa terbakarnya Gereja Silo, gereja tertua di Ambon, umpamanya, akhirnya menyebabkan ‘subuh berdarah’ tiga kecamatan di Halmahera, Maluku Utara pada tanggal 26 Desember 1999 sehingga 500 sampai 1000 warga sipil tewas (h.20). Begitu juga Gabriela Mischkowski yang meneliti peran media dalam proses disigentrasi Yugoslavia menemukan bahwa media mengubah hubungan sosial antarwarga yang tadinya rukun menjadi bermusuhan. Menurut Mischkowski, berita-berita di pelbagai media massa nasional Yugoslavia menghasut pembaca untuk melakukan kekejaman balasan (h.22). Di sinilah sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sebuah konsep jurnalistik yang berusaha mencegah membesarnya sebuah konflik, yaitu konsep jurnalisitk yang berpihak pada perdamaian. Konsep yang ditawarkan Lukas Luwarso dan Solahudin itu adalah ‘jurnalisme damai.’ Jurnalisme damai’ (peace jorunalisme) mempromosikan agenda perdamaian sebagai alternatif agenda perang. Jurnalisme damai, kata Lukas dan Solahudin, memetakan konflik prakekerasan, mengidentifikasikan banyak pihak dan pelbagai penyebab, sehingga membuka jalan bagi dialog untuk menciptakan perdamaian (h.9). Pada prinsipnya, jurnalisme
damai berperan sebagai conflict diminisher (penghilang konflik). Misalnya tidak mengelompokkan secara terang-terangan pihak-pihak yang saling bertentangan (Islam versus Kristen dalam konflik di Ambon, atau Dayak lawan Madura dalam pertikaian di Kalimantan Barat). Dengan menganonimkan pihak-pihak yang bertikai, media massa mencegah dirinya untuk tergiring atau terjebak oleh potongan gambar yang bisa jadi bukan realitas sebenarnya (h.12) karena itu mungkin merupakan bagian sebuah skenario politik yang lebih besar. Dalam kasus Ambon, sebagai contoh, media massa jarang memberitakan bagaimana di tengah konflik yang berlangsung, ada kelompok yang justru melindungi kelompok lain yang berseberangan. Misalnya penduduk Muslim yang melindungi keluarga-keluarga Kristen di kampung mereka, atau sebaliknya penduduk Kristen yang menjaga keselamatan warga Muslim di rumah-rumah mereka. Dengan kata lain, konflik yang tergambarkan oleh media massa pada dasarnya tidaklah identik dengan realitas yang sebenarnya. Akan tetapi, Lukas dan Solahudin tidak menjawab secara tegas bagaimana jurnalisme damai harus berhadapan dengan kenyataan tentang persoalan hidup-mati sebuah keberlangsungan suatu bangsa dan negara ataupun etnis wartawan atau media massa yang bersangkutan. Apakah jika eksistensi negara dalam keadaan terancam, jurnalisme damai harus mempertahankan posisinya tanpa tanya? Baik di Ambon ataupun di
20 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.46 / 15 Juni - 15 Juli 2006
Yugoslavia, umpamanya, media massa terpecah berdasarkan garis etnis atau agama. Dalam pandangan jurnalisme damai tentu saja sikap itu tidak benar. Tapi, bisa jadi mereka menganggap bahwa keberpihakan menjadi lebih penting demi keberlangsungan eksistensi kelompok mereka. Dalam konteks ini sepertinya jurnalisme damai lebih mudah dipraktikkan bila wartawan atau media massa yang meliput konflik berada di luar garis pertikaian. Yang jelas buku ini sepertinya memang tidak berpretensi menjawab semua persoalan tentang bagaimana media massa atau wartawan memberitakan konflik. Buku ini hanya mengemukakan gagasan umum tentang bagaimana ‘jurnalisme yang seharusnya’ dipraktikkan dalam konflik. Oleh sebab itu, buku ini juga memuat beberapa petunjuk tentang bagaimana wartawan meliput konflik. Mulai bagaimana mempersiapkan diri, bekerja di lapangan, menghindari bahaya, berada di tengah bahaya, dan menulis liputan konflik (35-50). Buku ini juga mengingatkan hakhak wartawan dan kewajiban media dalam peliputan konflik (51-55). Selain itu, ia juga menampilkan daftar lembaga-lembaga lokal maupun mancanegara yang memberikan advokasi bagi wartawan yang menjadi sasaran penculikan (55-58). Pendek kata, buku ini lebih cocok dijadkan sebagai pengetahuan awal bagi wartawan lapangan yang hendak meliput dan memberitakan konflik dengan menerapkan prinsip jurnalisme damai (Junarto Imam Prakoso).
Lensa
Media Porno
“ Tak ut-tak ut” dan Dewan P ers yang akut-tak ut-takut” Pers Mulai Ber ubah Berubah Sekitar lima tahun silam, media pornografi sangat mudah ditemukan dan banyak jumlahnya. Di lapak-lapak, halte, terminal dan tempat-tempat lainnya. Namun sampai seminggu lalu, ketika kami mengunjungi agen-agen penjualan media cetak yang terletak di bilangan Senen Jakarta Pusat berkurang keberadaannya.
S
ejak kepolisian merazia media-media porno Bulan Maret 2006 lalu, serta ramai-ramainya pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), dan gencarnya penolakan Majalah Playboy dari berbagai ormas masyarakat, membuat para pedagang suratkabar dan majalah kian ciut menjual media-media porno. Tetapi bukan berarti hilang sama sekali. Sebab masih ditemukan media berbau seks itu di antara media cetak lainnya. Sebut saja: Majalah ME, Popular, X Men’s Magazine, Matra, FHM, Suratkabar Pos Metro, dan Tabloid Star Lipstik Kami pun menanyakan Majalah Playboy edisi Juni (edisi kedua) yang tidak ikut diletakkan di pelataran kios. Salah satu pedagang menjawab: “Kalau mau beli saya ambilkan tapi kalau mau liat-liat dulu tidak boleh,” ujar pedagang itu sembari memandang kami was-was dan penuh selidik. Berbeda dengan kios koran yang ada di Stasiun Gambir. Majalah Playboy dijual terang-terangan. Disejajarkan dengan media cetak lainnya. Setelah dibuka dan dilihat isinya sejenak. Tak ubahnya seperti
Playboy sebelumnya. Ada foto-foto seksi, dan artikel-artikel dengan topik yang bervariasi, padat dan serius. Jauh dari unsur seksualitas. Sehingga terlontar seketika dari mulut seorang pembeli lain, “Ah masih belum berani porno dia. Isinya biasa saja!”, ujarnya kecewa. Setelah itu kami pulang dengan membawa beberapa media yang kami anggap ada materi pornografi di dalamnya. Tak lupa kami menyisipkan Men’s Health dan
Cosmopolitan untuk menjadi obyek pengamatan kami. Kabarnya, kedua majalah itu kerap memunculkan artikel-artikel seputar seksualitas. Kami perhatikan, media-media yang berhasil kami kumpulkan semua mencantumkan bahwa media itu untuk orang dewasa. Namun dengan pemasaran yang seperti itu tidak ada jaminan media itu tidak dibeli oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, di tengah pro kontra RUU APP dan pasca
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli
21
penerbitan Majalah Playboy yang masih memicu protes keras sejumlah kalangan, menyisakan dampak tersendiri bagi Playboy khususnya ataupun bagi mediamedia porno lainnya. Uraian di bawah ini akan menjawab pertanyaan, bagaimana bentuk ‘kepedulian’ mereka terhadap isu kontroversial tersebut, atau sebaliknya. Jalan terus seolah tidak terpengaruh isu tersebut. Berikut hasil pengamatan MWTHC: Majalah Playboy Seolah insiden Playboy I hanya dianggap angin lalu saja oleh pengelola media berlogo kelinci berdasi. Majalah ini terbit untuk kali yang kedua, edisi Juni 2006. Sampul muka memajang seorang model gadis muda asal Perancis bernama Doriane. Gadis ini memakai busana berwarna hitam, mini, namun Playboy mengakali perwajahan majalah itu dengan meletakkan judul-judul besar mengumpul menutupi tubuh Doriane pada bagian bawah. Ditambah warna majalah edisi ini sengaja diberi nuansa coklat gelap keemasan. Sehingga cukup mengurangi kevulgarannya. Media Entertainment For Men edisi Juni 2006 ini memuat beragam topik antara lain; Interview Playboy dengan terpidana mati Fabianus Tibo, Hidup Bersama Ranjau Kamboja, Generasi Penenggak Arak, dan Pengantin Pesanan (Dari Taiwan ke Singkawang). Serta masih banyak lagi rubrik-rubrik informatif yang jauh dari kesan porno. Mengenai foto-foto. Demi kesan ketelanjangan yang selama ini telah melekat, Playboy yang dijual harga Rp 39.000 - 40.000 ini pun menampilkan foto-foto seksi dan vulgar di dalamnya. Jumlahnya
tidak banyak. Sementara modelmodel yang berani difoto seksi itu adalah Xochitl Priscilla alias Fla, Doriane dan Joanna Alexandra. Selebihnya ada foto-foto kecil yang diadopsi dari luar yang menampilkan perempuan-perempuan bule berpakaian minim dalam Rubrik News & Notes. Di Playboy kami menemukan juga sejumlah halaman putih kosong hanya dihiasi satu logo Playboy dan beberapa deret kalimat. Setelah dibaca, baru diketahui halaman-halaman itu ternyata untuk para pemasang iklan yang takut terkena dampak penolakan Playboy. Bunyinya begini:”Halaman kosong ini didedikasikan untuk klien-klien loyal kami yang diancam karena memasang iklan di majalah ini”, halaman ini milik produk rokok/ telepon seluler dll”. Pasca perusakan kantor Playboy yang terletak di Jl. Simatupang, Cilandak Jakarta-Selatan oleh Front Pembela Islam (FPI) itu tampaknya menimbulkan luka mendalam bagi seluruh awak redaksi Playboy. Di dalam rubrik Editorial, Pemimpin Redaksi, Erwin Arnada mengeluarkan unek-uneknya tentang alasan kepindahan markas Playboy ke Bali dan menjelaskan keterlambatan terbitnya edisi kedua. Baca sekelumit penuturan-nya dalam tulisan berjudul ‘Demokratis + Bali’; Kemunculan kami pada awal April silam memang ditandai antusisme, prasangka, ketakutan, dan beragam asumsi. Kami sadar sepenuhnya kalau ini memang ciri dari kehidupan demokrasi dalam masyarakat kita yang begitu plural. Kami menyikapinya dengan membuka diri terhadap semua pandangan dan harapan kepada kami dalam upaya mewujudkan kewajiban jurnalistik
22 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
yang lebih bermakna... ...kami melihat menariknya menerbitkan media berskala internasional bukan dari sentral kegiatan seperti Jakarta. Membuka ruang bisnis baru dan ikut meyakinkan betapa damainya di Bali kepada dunia luar adalah satu perspektif yang kami ingin presentasikan...Menemukan kehidupan dan suasana bekerja yang lebih empatis memang butuh waktu, bukan?... ...kami memang mendapat himbauan untuk tidak terbit (dulu) di Bulan Mei. Dem suasana yang kondusif. Keamanan dan keselamatan semua pihak adalah alasan utama kami mengulur jadwal terbit kami... Tampaknya nasib baik belum berpihak kepada Playboy. Belum lama ini masyarakat Bali — utamanya kalangan tokoh-tokoh pemuka adat dan agama— keberatan dengan Playboy berkantor di sana. Alasannya, Bali takut nanti dianggap sebagai pulau yang suka porno. Penolakan itu disampaikan oleh sejumlah tokoh agama Hindu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, I Gede Nurjaya, Kakanwil Agama I Gusti Made Ngurah, Kadis Kebudayaan Nyoman Nikayana, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Cokorde Ardana Sukawati, serta kalangan akademisi Prof. Dr Putra Agung, dan I Dewa Ngurah Swastha. Tokoh yang datang secara pribadi ini tergabung dalam pemerhati Hindu. Belakangan Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha juga khawatir pemindahan kantor majalah Playboy akan merusak citra Pulau Bali sebagai daerah wisata yang berbasiskan budaya. “Playboy itu kesannya pornografi. Jadi seolaholah kami menerima pornografi,” ujarnya di Denpasar
Lensa (Tempointeraktif, 13/6) X! Men Magazine Harga per eksemplar majalah ini Rp 34.000-36.000. Media ini masih tergolong baru. Suguhan wajah majalah edisi No.7 Bulan Juni 2006 kali ini menampilkan tiga perempuan seksi. Model yang posisinya berada di tengah terlihat memakai pakaian minim mengumbar paha yang dibalut stoking. Sengaja tampilan muka majalah dibuat redup dan buram. Agar tidak terkesan vulgar. Ada apa? Ternyata dari Stoppress (semacam editorial) diketahui kalau majalah X! ceritanya tengah ‘berhati-hati’ menyikapi kontroversi RUU APP : ...Terus terang para pembaca, perubahan konsep penampilan foto-foto X! Kami lakukan dengan harapan dapat ikut meredam isu pornografi yang kini sedang menghangat di masyarakat. Bagaimana pun RUU APP masih dalam perdebatan. Kontroversi masih terus bergulir. Demo dan perang argumentasi antara yang mendukung dan menolak masih terus berlangsung. Dan kami tidak ingin memperkeruh suasana. Atau lebih-lebih lagi kami tidak ingin menjadi korban atas belum jelasnya rambu-rambu dan sikap masyarakat mengenai hal ini... ...Jadi kalau pun ada perubahan itu tidak lebih dari sebatas penampilan foto semata. Mengapa? Karena kami menghormati pro-kontra RUU APP yang masih berlangsung. Karena kami tidak mau konyol. Jika majalah ini ditutup, sahabat-sahabat kami, para sastrawan, akan kehilangan salah satu media tempat mereka menyalurkan uneg-uneg dan
aspirasi mereka. Pada edisi ini kebetulan melibatkan para sastrawan untuk mengisi sejumlah artikel di majalah ini, antara lain: Ayu Utami, Seno Gumirah Adjidarma, Arswendo Atmowiloto, Butet Kartaredjasa dll. Sayangnya arah perbincangan beberapa sastrawan itu tak jauh dari
Girls, Girls ini banyak memuat fotofoto seksi dan vulgar. Meski X! berupaya membuatnya terlihat ‘sopan’, misalnya gambar dibuat agak gelap dan buram, tetapi tetap saja tampak jelas bagian-bagian tubuh yang semestinya ditutup. Dan setiap foto ada wawancara singkat dengan modelnya. Alhasil pertanyaan pun kebanyakan mengarah pada hal-hal seputar kehidupan seks mereka. Termasuk apa yang dilakukan sang model dengan pacarnya. Lihat saja contoh pertanyaan yang diajukan X! kepada salah satu model yang bernama Andien : X! : Hal yang paling gila yang pernah kamu dan pacar lakukan?
masalah seks. Belum lagi Moammar Emka yang hobby menulis perihal dunia esek-esek turut menceritakan pengalamannya dalam “V” Lapdance. Yakni istilah penjaja seks yang menari dan meliuk seksi dan panas tanpa selembar pakaian di atas pangkuan ‘korbannya’. Kemudian Ayu Utami menulis soal 10+1 cara Memperbaiki Rasa Mani. Selebihnya ada artikel serius yang mengupas tentang: pornografi dalam wacana, berjudul Pandangan dari Menara Gading yang ditulis Seno Gumirah Ajidarma. Isinya mengupas perdebatan pornografi dan perseteruan soal label porno. Lalu ada Butet Kartaredjasa yang menulis tentang gaya hidup sekspulsa dalam “Kirimkan Pulsa Kau Kuperkosa”, dan masih ada beberapa lagi lainnya. Edisi X! yang berjudul : “Girls,
A : Bercinta di sebuah kolam renang di sebuah vila di Bali sambil ditungguin petugas yang berniat nganterin makanan ke kamar. Dia nungguin sampai kita selesai... X! : Penting nggak bersuara saat berhubungan seks? A : Penting banget! Itu bisa bikin aku dan pacar bergairah. Cobain deh! X! : Pernah belajar variasi seks lewat film bokep nggak? A : Nggak, menurutku, cowokku udah cukup pandai..hahaha...dll Majalah Popular Media ini juga menobatkan dirinya sebagai majalah Khusus Dewasa dan Entertainment For Men. Hanya dengan Rp 32.500 media ini sudah dapat dibeli di lapak-lapak koran di mana saja. Untuk edisi Juni 2006 kali ini menampilkan foto Yeyen Lidya dengan pose seksi dan menantang.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli
23
Yakni mempertontonkan belahan payudaranya. Judul besar yang merupakan Liputan Utama majalah ini : “Servis Tiga Pilihan, BungaBunga ABG”. Yakni informasi tentang penjual jasa seks pijat plusplus yang dilakukan oleh anak-anak ABG. Ilustrasi artikel ini cukup vulgar. Sepasang manusia yang tengah berciuman di atas tempat tidur. Popular kali ini memang lebih banyak memuat artikel yang terkait dengan “World Cup 2006”. Meski begitu tidak berarti foto dan gambar seksi tidak ada. Justru setelah dilihat pada halaman dalam, akan ditemukan banyak gambar-gambar perempuan yang memperlihatkan separuh payudaranya berikut pahapaha yang tidak tertutup selembar benang pun. Apalagi ketika sampai pada rubrik Liputan Khusus, mirip dengan acara Fenomena Trans TV yang kerap menyajikan fenomena seputar seks. Judulnya; Bisnis Hedonis di ‘Rute 60’, Mal-HotelKlub, menyajikan liputan tempattempat yang mengumbar jasa seks dll. Artikel di Popular terlihat lebih semarak dengan adanya rubrik rekomendasi film, video dan Sport, rubrik selebriti. Namun tak dapat dipungkiri majalah ini tetap andil dalam menyebarkan materi-materi yang mengandung pornografi. Majalah Male Emporium (ME) Ini adalah salah satu media porno yang menjadi incaran razia polisi Maret lalu. Pengalaman itu tidak membuatnya jera. Pada edisi No.65 bulan Juni ini ME menampilkan foto seorang perempuan seksi. Hanya dibalut kain berwarna kuning yang menutup sebagian tubuhnya. Sehingga belahan payudara dan salah satu pahanya terlihat jelas. Pada cover-nya tidak ditemukan tulisan peringatan majalah ini untuk
dewasa. Media yang dijual seharga Rp 32.000-34.500 ini di dalamnya sarat dengan foto-foto perempuan berbikini dan berpakaian minim. Seperti yang ada di Rubrik Gallery. Lokasi pemotretan dilakukan di Bali, kebanyakan di pantai dan kolam renang. Boleh jadi ini adalah salah satu trik pengelola majalah agar dapat berkilah, “Masa berenang pakai baju tertutup rapat?”. Sementara untuk artikel yang mengandung unsur sensualitas hanya ada 2 judul : “Peran Ganda Para Model”. Tulisan ini mengupas kisah model yang sekaligus merangkap sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Kemudian artikel, “Meraih Orgasme Lewat Ciuman”. Selebihnya adalah beragam artikel yang sifatnya informatif, baik dari para selebritis atau seputar gaya hidup. Majalah ini pun berkomentar dengan adanya isu kontroversi RUU APP, seperti yang dituangkan dalam rubrik Terrace berjudul “Inikah Demokrasi?” : Akhir-akhir ini kenapa negeri tercinta kita banyak dirundung persoalan, dari urusan bencana alam, korupsi, perumusan undangundang perburuhan, undangundang anti pornografi dan pornoaksi dll yang banyak menimbulkan pro kontra...Apakah ini pertanda bahwa kita semua telah lupa akan pendidikan moral dan apakah kita lupa akan dasardasar agama yang mengajarkan kasih, bahwa Sang Pencipta menciptakan manusia di dunia ini agar dapat hidup damai dan saling menghormati? Kami merasa terkejut dan sedih manakala kami melihat kelompokkelompok tertentu berteriak-teriak karena ada di antara mereka yang
24 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
merasa tidak sependapat dengan pemikiran dan kehendak kelompoknya. Ada lagi sweeping majalah porno, sehingga membuat pengecer dirundung rasa takut dengan dampak pemasukan mereka yang berkurang...Apakah ini yang dinamakan demokrasi?Masih adakah hukum di negeri tercinta ini?... Dalam hal ini demokrasi memang harus dijunjung tinggi. Utamanya dalam menyikapi perbedaan. Namun ada perasaan yang mengganggu tatkala ME bicara moral dan agama, tetapi perwajahan majalah ini masih mengumbar paha dan dada. Tabloid Star Lipstik Tabloid yang dulunya bernama Lipstik kini telah mencapai edisi yang ke-287. Sangat jauh berbeda dengan lima tahun lalu, atau sebelum dilakukan razia terhadapnya. Media ini belakangan berisi beragam artikel yang kebanyakan informatif. Dari soal gosip artis, liputan kemanusiaan; seperti tragedi gempa di Yogya, beternak ikan lele sampai soal pemburu hantu. Yang menarik adalah, tabloid edisi 15-21 Juni 2006 ini mengangkat isu : Dibalik Pro-Kontra RUU APP, FBR (Fudholy) – Bhinneka Tunggal Ika (ratna Sarumpaet). Judul besarnya: “Berubah Saling Ancam”. Sayangnya Starlipstik hanya berhasil memperoleh narasumber dari pihak yang kontra RUU. Media yang dijual seharga Rp 4000 – 4.500 ini ternyata mengurangi sajian foto-foto syur. Namun masih mengandung artikelartikel seputar seks; antara lain judul-judul seperti : “Balada Tarmuji dan Segitiga Pengaman Sang Bibi”, “Tawaran Mesum di Kereta Api Ekonomi”. Lalu kasus kriminal; “Siswi SD Diperkosa Tetangganya 10 Tahun Baru
Lensa Terungkap”. Ada juga Rubrik Tips Seks yang mengangkat soal : “Kekuatan Pikiran Bisa Menciptakan Ereksi Lebih Lama, Ala Rama – Shinta”. Sementara di rubrik Desah; “Pergaulan Bebas Membuat Masa Remajaku Siasia”. Sementara untuk Majalah Men’s Health, pada edisi Juni 2006 ini mengangkat salah satu tema artikel yang tertulis di halaman muka majalah berjudul : Seks Instan : Rangsang Si Dia Dalam 15 Detik. Ilustrasi atau foto pelengkap yang terletak di sebelah tulisan ini adalah seorang perempuan bergaya seksi yang memperlihatkan belahan payudara dan paha. Majalah ini tampaknya sepakat bahwa perempuan itu akan membangkitkan nafsu birahi laki-laki. Lihat saja kalimat pada lead artikel tersebut : “Membuat pria terangsang, sih, mudah –suruh saja pandang foto di sebelah...” Beralih ke Cosmopolitan. Majalah dengan tampilan perempuan bule seksi ini juga mengandung materi seksualitas. Tepatnya Rubrik Love and Lust, yakni : Big Bang Bash, penjelasan judulnya : Mau “ledakan” asmara lebih dari tiga kali semalam? Bisa! Ilustrasinya adalah sepasang manusia bule tengah bercumbu. Terlihat sangat intim. Dan tidak pantas dilihat anak berusia di bawah umur. Pada edisi Juni 2006 ini fotofoto yang modelnya perempuan dari negara asing itu rata-rata terlalu vulgar. Langkah Besar Setelah sekian lamanya Dewan Pers ikut terbawa arus pro kontra apakah media cetak porno (khususnya Playboy) termasuk pornografi atau bukan, akhirnya
pada tanggal 21 April 2006 lalu dewan pers mengambil suatu langkah besar. Yakni mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal, isinya: ...Dengan dasar pemikiran UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal : 1, 3, 9, 12, 15 dan Kode Etik
segmentasi yang dituju. Pemerintah diminta segera melahirkan peraturan pemerintah menyangkut distribusi produk media bagi kalangan dewasa dengan mengacu kepada UU Perlindungan anak. Penutup
Meski belakangan ini kuantitas media cetak porno berkurang. Namun sikap waspada terhadap ancaman penyakit pornografi tidak boleh hilang. Justru harus kian terasah.
Jurnalistik (KEJ) Pasal 4, maka dewan pers menyatakan : 1. Majalah Playboy Indonesia dapat dikategorikan sebagai produk pers yang dapat melanggar UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Karena itu penilaian atas isi dari penerbitan tersebut harus didasarkan kepada UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. 2. Distribusi Majalah Playboy Indonesia edisi pertama yang terbit April 2006, tidak sesuai dengan segmentasi yang disebutkan dalam sampul depan majalah tersebut, yakni sebagai majalah hiburan untuk pria dewasa, maka majalah tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik, dalam konteks perlindungan anak dan remaja. 3. Dewan Pers mendesak penerbit dan pengelola Majalah Playboy Indonesia mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan menjaga distribusinya sesuai dengan
Meski belakangan ini kuantitas media cetak porno berkurang. Namun sikap waspada terhadap ancaman penyakit pornografi tidak boleh hilang. Justru harus kian terasah. Dan dengan bertambahnya armada (dewan pers) yang turut menjunjung tinggi perlindungan anak dan remaja, harapannya adalah; membuat pengelola media cetak porno semakin sadar untuk tidak mementingkan segi bisnis semata. Tapi lebih memprioritaskan dampak negatif yang diakibatkan oleh media yang bersangkutan. Sebagai salah satu bentuk upaya mengusung kebebasan pers yang bertanggung jawab. Dalam hal ini patut diacungi jempol bagi para aparat kepolisian yang Bulan Maret lalu berhasil menyita dan menindak tegas penerbit media porno. Semoga pemberantasan terhadap pornografi dilakukan secara simultan dan berkesinambungan (Intantri Kusmawarni)
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli
25
Wacana
Dari Monopoli ke Manufaktur Oleh : Ibnu Hamad* Tak terkecuali di Indonesia, kini sudah basi mengatakan bahwa dalam industri media telah terjadi monopoli. Bahkan satu dekade sebelum reformasi, konglomerasi media sudah terjadi di Indonesia. Kelompok Kompas Gramedia (KKG), Jawa Pos Grup, Media Indonesia Grup, Pos Kota Grup sudah menjadi konglomerat media.
D
i satu sisi kehadiran Peraturan Menteri Penerangan No. 1/1984 tentang SIUPP menjadi momok terhadap kehidupan dunia pers ketika itu. Banyak koran yang menemui ajal di tangan Permenpen ini. Namun, penerbitan pers yang mengharuskan adanya SIUPP telah melahirkan dua fonomena: (1) sebuah perusahaan media yang memiliki uang dapat membeli SIUPP lagi dan lagi; (2) banyak pengusaha yang tidak memiliki latar belakang wartawan membeli SIUPP.
Lahirnya kelompok-kelompok KKG, Jawa Pos Grup, Media Indonesia Grup, Pos Kota Grup adalah cermin dari fenomena yang pertama dimana umumnya mereka adalah industri media cetak. Sedangkan fenomen kedua diwakili antara lain oleh RCTI, SCTV, TPI, Global TV, Indosiar, ANTV, LaTV, Global TV, dan industri TV lainnya, dimana para konglomerat nonmedia masuk ke industri media. Adanya kebebasan pers menyusul gerakan reformasi hanya memperkuat gejala konglomerasi
media. Dalam dunia media cetak, kehadiran UU No. 40/1999 bersifat menyempurnakan sistem pasar dalam industri pers nasional yang sangat berorientasi pada ekonomi. Dalam semangat yang sama dengan Permenpen No.1/1984 tentang SIUPP, dengan bentuk yang berbeda bahkan secara hukum lebih kuat UU No. 40/1999 memberi peluang yang amat besar kepada para pemodal (pengusaha) pers baik yang berasal dari kalangan media atau bukan kalangan media. Sekadar mengingatkan, cukup banyak pasal/ayat dalam UU 40/90 yang mendorong pers menjadi perusahaan pers yang berorientasi pada kepentingan ekonomi, antara lain bab I, pasal 1 (ayat 2, 3, 5, 6, dan 7). Sedangkan pasal 3 ayat 2 menyebut pers nasional sebagai lembaga ekonomi. Dengan adanya UU ini peran pers nasional sebagai lembaga ekonomi mendapat penguatan yang dahsyat, yang semula pura-pura pada masa Orba, kini menjadi kapitalis sesungguhnya pasca reformasi (Lihat juga Gambar 1). Lantas dimanakah aspek-aspek
26 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
idealisme pers kita dalam UU No. 40/99 seperti memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, HAM, mengutamakan supremasi hukum, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran? Ternyata dalam praktiknya barulah sebatas wacana karena dalam kenyataanya UU ini lebih bersifat melindungi kepengusahaan media. Harus diakui, bahkan kemerdekaan pers yang dijanjikan oleh UU ini telah menjadi dalih untuk melakukan apa saja, bahkan di tangan beberapa pengelola media porno aspek ini telah dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara, demi memperoleh keuntungan. Dalam dunia penyiaran juga tak jauh berbeda. Jika sebelum reformasi tangan penguasa yang di atas, maka setelah reformasi tangan pengusahalah yang berkuasa. Terdapat pergeseran wacana dalam pergantian UU Penyiaran No. 24/ 1997 ke No. 32/2002. (Lihat juga gambar 2). Dalam pergeseran itu kepentingan negara tepatnya kepentingan pemerintah digantikan
Gambar 1 : Pergeseran Peran Pers Nasional Masa Orde Baru - UU No. 21/1982 - Pers adalah Alat Perjuangan Nasional, Alat Pembangunan Bangsa - Untuk penerbitan pers, harus ada SIUPP dari pemerintah; kapitalisme pura-pura - Campur tangan penguasa ciri dominan - Berorientasi stabilitas politik - Keseragaman politik - Kepentingan penguasa
Masa Reformasi - UU No. 40/1999 - Pers adalah Lembaga Sosial dan Lembaga Ekonomi - Untuk penerbitan pers harus mendirikan badan usaha; kapitalisme murni - Mekanisme pasar sebagai gerak dasar media - Berorientasi keuntungan - Keberagaman politik - Kepentingan pengusaha
Sumber: Ibnu Hamad (2004)
oleh kepentingan publik dalam hal ini para pemilik modal. Sifat dan tujuan penyiaran tak lagi berkaitan dengan wacana kenegaraan melainkan wacana pasar. Ideologi negara sudah dibuang dan diganti dengan ideologi kapital. Dengan struktur UU tersebut, tak heran kemudian “wajah asing” terkesan dominan dari industri TV kita, mulai dari modalnya hingga mata acaranya. Lebih-lebih dalam stasiun yang mengusung tema gaya hidup (life style) macam O-Channel dan Global TV. Oleh karena industri TV itu padat modal, padat teknologi, dan padat SDM, maka komersialisasi acara menjadi ciri utama kegiatan industri penyiaran kita. Di tangan stasiun TV, semua hal dikomodifikasi mulai dari jenis hingga pengisi acaranya. Dampak Monopoli Atas nama kebebasan, di dalam sistem media yang liberal setiap orang berhak mengelola media bahkan lebih dari satu media. Karenanya dalam sistem yang liberal juga muncul konglomerasi media. Tapi ternyata, terkonsentrasinya kepemilikan media ke tangan beberapa gelintir konglomerat media telah menurunkan kebebasan pers, komersialisasi yang
berlebihan terhadap kebudayaan, hegemoni dalam kebijakan redaksional, robohnya pelayanan publik dalam bidang penyiaran, serta berlangsungnya evolusi First Amendement menjadi alat proteksi hak-hak istimewa perusahaan media. Konglomerasi media hanya membuat perusahaan-perusahaan media berlimpah uang sementara kehidupan demokrasi menjadi kering kerontang.( Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democarcy, Communication Politics in Dubious Times, (The New Press, New York, 2000). Selain McChesney, pakar media yang menyoroti dampak konglomerasi media terhadap demokrasi adalah Ben H. Bagdikian melalui bukunya yang terkenal The Media Monopoly (Beacon Press, 1997). Mengamati perkembangan konglomorasi media di AS, Bagdikian menyebut lahirnya fenomana “new communications cartel” di negeri Paman Sam tersebut dan mengancam akan masa depan demokrasi. Ini akibat dari keinginan menguasai kue iklan dan pemasukan lain dari industri media. Tentu saja hal ini tak diinginkan mengingat secara normatif fungsi media dalam alam demokrasi begitu
banyak (Brian McNair, 1995: 20): 1. Media massa harus menginformasikan (inform) dalam pengertian “surveilence” atau “monitoring” mengenai apa yang terjadi di sekitar masyarakatnya. (:Media massa memberitakan berbagai kejadian yang penting dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, sehingga kualitas kehidupan masyarakat berdemokrasi bertambah baik) 2. Media massa harus mendidik (educate) mengenai makna dan manfaat fakta-fakta (facts) dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta itu. (:Media massa menafsirkan berbagai kejadian yang penting dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, sehingga masyarat dapat manfaatnya untuk peningkatan kualitas kehidupan berdemokrasi) 3. Media massa harus menyediakan satu platform untuk publik mengenai wacana politik, memfasilitasi pembentukan opini publik, dan m 4. enyiapkan opini balikan dari mana saja datangnya. (:Media massa menjadikan dirinya sebagai ruang publik {public sphere} untuk peningkatan kehidupan berdemokrasi) 5. Memberikan publisitas kepada pemerintah dan instusi lainnya. Di sini media massa berperan sebagai “watchdog”. (:Media massa melakukan pengawasan terhadap apa saja yang dilakukan lembaga-lembaga publik agar masyarakat tahu dengan cara mempublikasikan kinerja lembaga-lembaga publik itu baik yang positif maupun
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
27
Wacana Gambar 2: Pergeseran Peran Penyiaran Masa Orde Baru - UU No. 24/1997 - Penyiaran sebagai bagian integral dari pembangunan nasional - Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 - Penyiaran berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, kemanfaatan, pemeratan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kemandirian, kejuangan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi - Isi siaran: 70% siaran lokal, 30% siaran asing - Dilarang menerima modal asing
negatif). 6. Media massa dalam masyarakat demokratis melayani masyarakat sebagai suatu saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang politik. (:Media massa menjadikan dirinya sebagai wadah bagi berbagai pihak di masyarakat untuk menjamin tiap kelompok di masyarakat itu berdaya secara politik) Lebih Berbahaya Kalau “Manufacturing Consent” Kalau saja “Raja-Raja Media” seperti Rupert Murdoch dari Australia atau perusahaan-perusahan besar media dari AS seperti Time Warner, Disney, Viacom, News Corporation Limited (Murdoch), Sony, Tele-Communications, Inc., Seagram (TV, movies, cable, books, music), Westinghouse, Gannett, dan General Electric yang bertujuan dagang, mencari laba sebagaimana niat awalnya, masih “dapat dipahami”. Kita juga bisa mengerti dalam rangka mengejar keuntungan, mereka bahkan berani menanam modalnya ke industri media di luar negara mereka, seperti manuver raja media Rupert Murdoch
Masa Reformasi - UU No. 32/2002 - Penyiaran sebagai manifestasi kemerdekaan menyampaikan pendapat - Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan asas manfaat adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab - Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa sebagai media informasi, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial - Isi siaran: 60% siaran lokal, 40% siaran asing - Menerima modal asing maksimal 20%
mengambil alih sebagian kepemilikan saham keluarga Bakrie di ANTV. Jiwa pedagang memang adalah mencari keuntungan. Namun, kita menjadi harus berhati-hati jika monopoli media itu mengarah kepada apa yang disebut oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky dengan “Manufacturing Consent” sebagaimana mereka uraikan dalam bukunya Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988). Jika diterjemahkan secara bebas, “manufacturing consent” adalah “persetujuan yang rekayasa”. Dalam hal ini raksasa-raksasa media membangun opini publik atau tepatnya propaganda untuk menciptakan kesepakatan atas sebuah masalah sehingga khalayak menerima begitu saja apa yang diberitakan media. Jika ini yang terjadi bukan saja monopoli media itu berbahaya terhadap demokrasi melainkan merusak salah satu sendi HAM yaitu kebebasan untuk berbeda pendapat… Dalam praktiknya, tatkala media melakukan propaganda
28 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
secara halus (subtle) dan sistematis ini, raja-raja media terlibat kerjasama (bersekongkol) secara ekonomi politik dengan penguasa. Untuk dua kepentingan sekaligus ini, media yang mereka kuasai dijadikan sebagai agen dari kekuatan politik dan ekonomi mereka. Terhadap komunisme, seperti menjadi kajian Herman dan Chomsky, media AS melakukan manufacturing consent dengan cara selalu memberitakan keburukankeburukannya secara terus menerus dan sistematik. Sehingga masyarakat AS pun percaya bahwa komunisme adalah buruk, jahat, dan sebagainya. Sejalan dengan teori ini, tindakan itu pula tampaknya yang ditempuh media AS dalam memberitakan terorisme terutama jika pelakunya diduga orang atau kelompok Islam. Melihat terbukanya peluang monopoli media di Indonesia yang begitu besar sebagaimana dipaparkan di awal baik secara legal maupun secara actual, bukan mustahil ke depan prilaku “manufacturing consent” dilakukan juga oleh sejumlah media di sini. Apalagi beberapa “raja media” di Indonesia dekat dengan kekuasaan seperti Surya Paloh dari Media Indonesia Group yang dekat Wapres Jusuf Kalla dimana JK adalah Ketua Umum Golkar sementara Surya Paloh adalah Ketua Dewan Penasihat Golkar. Demikian pula Grup Jawa Pos terutama melalui Alwi Hamu memiliki kedekatan dengan JK. Adapun ANTV memiliki hubungan bisnis dengan Ketua DPR Agung Laksono, tokoh Golkar yang memiliki saham di ANTV. Memang belum ada penelitian
yang khusus mengenai praktik “manufacturing consent” di Indonesia; tetapi mungkin ada di antara pembaca yang bekeinginan membuktikan dugaan tersebut melalui riset yang dapat dipertanggungjawabkan entah terhadap Media Indonesia Group, Jawa Pos Group, dan lain-lain media yang dianggap memiliki kedekatan secara ekonomi politik dengan kekuasaan. Menarik juga meneliti masalah ini terhadap media di daerah mengingat profil media daerah yang acapkali dekat dengan pemerintah daerah. Dalam kasus media yang sebagian sahamnya dimiliki modal asing, patut dicermati pula apakah media tersebut ikut serta dengan manufacturing consent yang dilakukan kelompok medianya yang berada di luar negeri. Kalau itu yang terjadi maka media itu telah menjadi agen dari propaganda asing di tanah airnya sendiri. Secara hakikat kebebasan informasi, jelas hal itu tidak sehat seandainya hal itu benar-benar terjadi. Secercah Harapan Di tengah-tengah kecenderungan adanya monopoli dan modal asing, di dunia media dewasa ini berkembang pula kecenderungan media personal melalui blog. Itulah media interaksi melalui internet. Dengan perkembangan internet yang semakin murah, mudah dan berkecepatan tinggi telah menarik sebagian orang yang melek internet untuk membangun “media massa”nya sendiri. Salah satu model media massa yang satu ini, telah berkembang di Korea Selatan bernama Ohmy News. Media ini memili 41.000 “wartawan” yang
merupakan pewarta warga blog ini. Ohmy News sudah menerbitkan edisi Ohmy News International berbahasa Inggris, Ohmy News Japan untuk edisi bahasa Jepang dan Ohmy News edisi bahasa China. Untuk edisi aslinya di Korea Selatan, Ohmy News dikunjungi
dilengkapi umpan balik dan panel (jendela) untuk percakapan (chat) di bawah sebuah berita yang ditayangkan. Maksudnya tidak lain agar para pengunjung blog tersebut dapat berinteraksi dan berdiskusi mengenai suatu peristiwa. (Pepih Nugraha, Kompas 24 Mei 2006).
Kalau itu yang terjadi maka media itu telah menjadi agen dari propaganda asing di tanah airnya sendiri. Secara hakikat kebebasan informasi, jelas hal itu tidak sehat seandainya hal itu benar-benar terjadi.
sedikitnya 700.000 orang setiap harinya. Potensi yang amat menggiurkan untuk menarik pemasang iklan. Ohmy News didirikan pada 22 Februari 2000 oleh Oh Yeon-ho. Oh adalah pendiri koran tanpa kertas (paperless). Ohmy News sampai saat ini merupakan blog berita tersukses di dunia. Dengan adanya media ini, tentu para peserta dalam blog ini tak perlu tergantung pada media besar (konglomerat media) bahkan mungkin tak perlu teracuni oleh manufacturing consent. Yang menarik Ohmy News mau tidak mau membuka percabangan di dalam industri media massa Korea Selatan. Malahan Ohmy News mendorong para media konvensional menyesuaikan diri sebagaimana Ohmy News. Beberapa koran di Korea Selatan, misalnya, sekarang sudah
Di dunia kecenderungan media massa berjenis blog ini sudah menggejala. Mungkin sebagai tandingan atas media monopoli dan manufacturing consent. Bagaimana dengan kesiapan masyarakat kita: ini adalah tantangan sekaligus peluang untuk membebaskan kembali informasi dari kepentingan ekonomi-politik...(*) Dr. Ibnu Hamad, MSi adalah Direktur Institute for Democracy and Communication Research (INDIDACTOR). Disamping, mengajar “Pengantar Analisis Wacana” dan “Etika dan Filsafat Komunikasi” di Program S-1 Ilmu Komunikasi UI, “Teori dan Analisis Wacana” di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI. Sejumlah tulisannya dimuat di Kompas, Republika, dan Suara Pembaruan. Alamat e-mail:
[email protected]
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
29
Wawancara Wawancara : T itie Said, K etua L embaga Sensor F ilm Titie Ketua Lembaga Film
“LSF Ibarat Makan Buah Simalakama Digunting Salah, Diloloskan Diprotes Masyarakat” Lembaga Sensor Film belakangan ini mendapat sorotan. Setelah heboh dengan film Apa Dengan Cinta dan Virgin, kini muncul lagi kontroversi dengan film “The Davinci Code.” Publik mempertanyakan mengapa sejumlah dialog dalam film tersebut tidak diterjemahkan. Lembaga yang berwenang menentukan lulus tidaknya sebuah film memiliki tugas yang tidak gampang. Lembaga ini layaknya sebuah “portal” yang menyaring beredar tidaknya sebuah film. “Ibaratnya makan buah simalakama bila diloloskan kami dihujat masyarakat, bila dipotong kami dihujat oleh masyarakat seni,” kata Titie Said Ketua LSF. Di tengah membanjirnya program-program “sampah” di televisi, lembaga ini kembali dituduh memiliki andil, karena meloggarkan gunting sensornya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini banyak program sinetron yang tidak disensor dengan alasan kejar tayang. Untuk membahas persoalan tersebut, Afdal Makkuraga Putra dari Media Watch Habibie Center mewawancarai Titie Said, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF). Saat wawancara dilakukan, Titie Said didampingi oleh anggota LSF lainnya yakni H. Johan Tjasmadi, Djamalul Abidin Ass, dan Cipto. Beberapa pertanyaan dijawab bergantian. Berikut petikannya: Apa dasar filosofis mengapa harus ada Sensor? Titie Said
Kita memang menyadari bahwa film adalah media yang memerlukan kebebasan yang luas, di setiap negara bukan hanya di Indonesia, tentu ada batas-batas tertentu yang bisa diterima oleh masyarakat negara yang bersangkutan, ada juga yang tidak bisa. Misalnya saja di Amerika hal-hal yang menyangkut komunisme tentu dilarang, sebaliknya juga di negara komunis menyangkut kapitalisme juga dibatasi. Nah, kita mempunyai falsafah Pancasila, maka hal-hal yang bertentangan
30 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
dengan Pancasila tentu harus dihindarkan untuk disebarkan ke masyarakat ramai. Sekarang kan konteksnya kebebasan berekpresi, apakah LSF tidak dianggap penghambat kebebasan berekspresi? Memang diakui bahwa kebebasan berekpresi itu adalah hak asasi setiap manusia, tetapi hak itu harus dilindungi sesuatu kekuatan lain. Inilah yang kita sebut sebagai kebebasan yang bertanggung jawab. Di dunia tidak ada kebebasan yang lepas tak terkendali. Tentu ada batasannya. Misalnya saja atas dasar kebebasan berkespresi, masyarakat seni mengatakan Blue film adalah seni. Tentu saja masyarakat luas tidak menerima itu sebagai bagian kebebasan berekspresi. Mereka menolak. Nah masyarakat yang menolak Blue film itulah yang dilindungi oleh LSF. Dalam konteks inilah LSF diperlukan. Lalu LSF berada di posisi mana? LSF itu berada ditengah, di satu sisi berhadapan dengan masyarakat seni, di sisi lain berhadapan dengan masyarakat. Ini memang seperti makan buah simalakama. Apa visi dan misi LSF ? Visi LSF adalah terwujudnya masyarakat yang memiliki daya saring informasi yang diarahkan untuk pelestarian tata nilai dan pengembangan budaya. Sedangkan misinya adalah melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul akibat peredaran, pertunjukan dan atau penayangan film dan reklame film. Selain itu menjadi garda budaya bangsa, memasuki era perubahan yang tetap menghargai nilai moral dan kultural bangsa Apa yang Anda maksud daya saring informasi?
Begini, masyarakat kita itu kadang-kadang shock menerima informasi. Daya saring informasi artinya memiliki ketahanan dan kemampuan dalam menolak informasi yang bersifat negatif. Sehingga kalau masyarakat kita menonton suatu film mereka mampu memilah mana yang sesuai dengan budaya kita dan mana yang tidak. Yang sesuai dengan budaya kita itu yang kita terima, yang tidak itu yang kita tolak. Kami bahkan bercita-cita suatu saat nanti, kalau masyarakat kita sudah memiliki daya saring informasi yang kuat maka lembaga sensor tidak dibutuhkan lagi. Bagaimana mekanisme sensor itu dilakukan? Beradasarkan UU No. 8/1992, semua film sebelum dipertunjukkan dan ditayangkan harus di sensor. Mulai dari format 70 mm sampai keping video. Setelah film didaftar lalu diukur, untuk pita seluoid menggukan meter, sedang-kan video menggunakan detik. Setelah itu pemilik film harus membayar biaya sensor. Tentu uang itu bukan untuk ketua LSF, tetapi disetorkan ke rekening negara. Lalu dibentuk kelompok penyensor. Setiap kelompok penyensor itu terdiri dari 5 orang. Satu orang merangkap ketua, satu wakil ketua merangkap anggota dan tiga orang anggota. Setelah mereka menyensor mereka lalu rapat untuk memutuskan lulus tidaknya suatu film, kalau terjadi ketidak kesepakatan antara anggota tim penyensor, maka rapat ditingkatkan statusnya yang dihadiri oleh pelaksana harian LSF (yang terdiri Ketua, Wakil Ketua) dan peserta rapat menjadi 10 orang. Bila rapat dengan dengan pelaksana harian belum berhasil mengambil keputusan maka status rapat dinaikkan ke sidang pleno LSF yang
dihadiri oleh seluruh anggota LSF yang berjumlah 45 orang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak serial-serial sinetron yang tidak sensor karena alasan kejar tayang? Yah, itu kendala kita. Ada produser yang patuh, ada juga produser yang nakal. Cuma yang patuh itu tidak diperhatikan orang, sementara yang nakal itu diperhatikan orang. Kenapa terjadi kejar tayang itu? Karena TV kita itu sangat tergantung pada rating. Nah bisa saja satu jam sebelum shooting skenario diubah hanya karena alasan rating rendah atau tinggi. Karena perubahan skenario itu maka jadwal shooting pun berubah. Kadang sinetron itu baru selesai dibuat satu jam sebelum ditayangkan. Kapan disensornya oleh LSF? Alasan lainnya, kadang ada produser yang pura-pura lupa, kadang pula menganggap sebagai programnya siaran langsung. Lalu apa yang Anda lakukan terhadap produser-produser nakal tersebut? Yah kami surati, mereka minta maaf. Tapi tetap saja ada yang membandel Kenapa tidak dituntut di pengadilan, bukankah dalam pasal 40-41 UU No. 8/1992 tentang perfilman diancam dengan denda Rp 500 juta atau pidana dua tahun penjara? Sekarang sudah mulai bekerjasama dengan Bareskrim, untuk menyosialisasikan kembali UU tersebut. Walaupun UU tersebut begitu dicatat di Lembaran Negara maka seluruh warga negara dianggap tahu. Jadi kita memang akan mencoba memberitahukannya lagi, barulah setelah itu kita akan tindak tegas. Kita juga sudah melaporkannnya ke KPI yang kita tembuskan ke polisian. Memang
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
31
Wawancara LSF bukan lembaga penindak. Baru-baru ini LSF mengadakan rapat pleno, disana diputuskan merevitalisasi peran LSF. Kita memang merasakan antara tahun 1998-2002 peran LSF tidak terlalu menggaung diakibatkan oleh eforia reformasi. Nah sekaranglah saatnya merevitalisasi kembali LSF, kita akan mengundang dan sounding semua produser dan pengelola stasiun untuk kami beritahu lagi kembali kewajiban-kewajiban sensor tersebut. Setelah itu diharapkan tahun depan sudah ada perubahan-perubahan. Sebab walau bagaimanapun kita tidak bisa berlaku semena-mena terhadap produser-produser, kita tahu mereka juga menampung sejumlah tenaga kerja disana. Menurut data tahun 2005 terdapat 95.946 judul film yang masuk ke LSF. Kalau jumlah tersebut dibagi dengan jumlah hari dalam setahun maka LSF harus menyensor 263 judul dalam sehari. Sementara anggota LSF beranggotakan 45 orang. Kalau 45 orang tersebut dibagi menjadi 5 orang maka terdapat sembilan tim yang menyensor tiap hari, maka setiap hari tim harus menyensor rata-rata 29 judul. Apakah optimal dan masih cukup waktu untuk menyensornya? Iyah optimallah, kita memiliki teknik menyensor yang akurat. Yah kita kan sudah lama mengerjakan ini. Bagaimana dengan TV lokal yang jumlahnya mencapai sekitar 80 stasiun, apakah programnya juga sudah disensor? Selama ini memang programprogram TV lokal belum disensor. Kita memang sedang merencanakan akan berbicara dengan Menteri Dalam Negeri dan para Gubernur se Indonesia untuk membentuk semacam Badan Pefilman Daerah
(BAFIDA). Lembaga ini akan menjadi perpanjangan tangan LSF di daerah. Hanya saja kita juga harus hati-hati agar lembaga tersebut tidak menjadi raja-raja kecil di daerah. Kita menyadari bahwa kebutuhan untuk membentuk lembaga semacam itu mendesak. Kita tidak menutup mata bahwa terdapat beberapa produser dan pengelola TV lokal yang di daerah, kalau mereka membuat program dan mengirimkannya ke Jakarta tentu mahal. Sebaliknya kalau LSF yang ke daerah selain jumlah anggotanya terbatas, juga biayanya tidak sedikit. Kami sudah berbicara dengan Gubernur Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara mengenai ide ini, kelihatannya mereka cukup antusias. Mengingat antara peran KPI dan peran LSF yang bekerja pada area yang sama, apakah sudah ada singkronisasi peran? KPI itu mengawasi sementara LSF menyensor. KPI mengawasi mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sementara LSF mengacu pada PP No. 7/1994. Tetapi masingmasing pedoman itu memiliki banyak persamaan. Jadi singkronnya tetap ada. Kami menyensor, KPI mengawasi. Apa kendala yang Anda hadapi selama memimpin LSF? Yah itu tadi kejar tayang. Sebetulnya kalau semua taat pada aturan, ya tidak ada kendala. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa informasi (film) itu disampaikan secara bebas, tidak boleh ada hambatan apa pun. Di sisi lain, ada masyarakat yang menganggap bahwa itu harus diawasi. Nah, kita berada di tengah-tengah. Bagaimana memuaskan semua pihak. Itu yang paling sulit. Selain itu, kesulitan LSF sekarang ini dibandingkan dengan BSF, dulu
32 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
bioskopnya banyak, lebih 3000, televisinya satu. Sekarang ini terbalik. (Stasiun) TV 14, TV lokal lebih dari 62, TV komunitas sudah tidak ketahuan lagi, terus TV kabel sudah ada, ada internet. Seperti TV kabel, bagaimana saya menyensor kalau yang langsung dari luar negeri. Oleh karena itu saya sangat berterima kasih kalau ada TV yang menolak film yang tidak memiliki surat lulus sensor. Bagaimana dengan produser yang berkilah bahwa mereka sudah melakukan swa sensor (self censorship)? Iya tapi program mereka khan juga diprotes oleh masyarakat. Jadi kita bilang “udahlah disensor LSF aja”. Apakah ada perbedaan kriteria sensor antara film layar lebar dengan film televisi? Sebenarnya tidak ada, tetapi longgar-ketatnya yang beda. Untuk film layar lebar yang diputar di bioskop memang agak longgar karena film layar lebar tempatnya pemutaranya terbatas, tertutup dan akses masuknya juga ketat. Artinya anak-anak di bawah umur tidak boleh masuk tampa didampingi orang tuanya dan harus membayar. Sedangkan untuk TV, karena menggunakan ranah publik, dimana setiap orang, dari lapisan sosial ekonomi yang beragam dapat menontonnya, maka untuk sensor TV lebih ketat. Bagaimana dengan film The Davinci Code? Begini pada tanggal 18 Mei 2006 pemilik film The Davinci Code tersebut datang ke LSF untuk disensor filmnya, dengan alasan kalau tidak diputar tanggal 19 Mei maka akan ketingalan, karena tanggal 19 itu serentak diputar dibeberapa kota utama dunia. Maka Bersambung ke hal: 35
Mengadili... sambungan dari hal: 24 Dalam berita yang berjudul Soeharto, Media Indonesia malah Wapres: Tutup Kasus Pak Harto, menyalahkan pemerintah YudhoMedia Indonesia mengutip nara- yono yang dianggap tidak berani sumber yang semuanya setuju mengambil keputusan politik terhadap penghentian perkara menyangkut perkara hukum mantan hukum mantan presiden Soeharto. presiden tersebut. Setengah putus Mengutip pendapat narasumber-nya, koran ini menulis bahwa saat ini tidak ada lagi kelompok yang menginginkan Pak Harto diadili, terutama setelah Yudhoyono menjadi presiden, mendesak Kejaksaan Agung agar menghenti-kan perkara hukum Pak Harto karesna saat ini Pak Harto sudah uzur sehingga pemulihan kesehat-annya sangat kecil dan bahkan potensial menderita SUMBER FOTO: http:www.socsci.kun.nl penyakit tua lainnya. Berita Media Indonesia konsisten asa, koran ini menyindir bangsa menyebut Soeharto dengan sebutan Indonesia yang tidak lagi memiliki “Pak Harto”. Ini menunjukkan kebesaran hati yang tiada bertepi penghargaan yang luar biasa pada untuk memaafkan seorang pemimmantan presiden kedua RI tersebut. pin yang jasanya besar dan kesalahannya juga besar. Kecenderungan untuk mengSikap media massa terhadap hentikan kasus perkara hukum mantan presiden Soeharto atau kasus mantan presiden Soeharto dengan kata lain memaafkannya terentang antara mereka yang tidak semakin jelas terbaca pada kolom setuju penghentian kasus tersebut editorial Media Indonesia yang hingga mereka yang cenderung berjudul Permintaan Maaf Keluarga untuk memafkan. Koran Tempo Pak Harto (22/05). Di situ, harian bersikeras meneruskan proses ini mendorong pembaca untuk pengadilan. Pengalaman masa lalu memaafkan saja kesalahan- (majalah Tempo yang satu grup kesalahan mantan presiden dengan koran ini pernah dibredel Soeharto. Apa pun jawabannya, di masa Orde Baru) membuat koran sangat jelas, tidak boleh ada ini tidak bisa melupakan begitu saja permintaan maaf yang dikabulkan apa yang telah dilakukan Orde Baru karena terpaksa. Namun, juga terhadap kebebasan pers. “Dosa” layak dipertanyakan, moral Soeharto terlalu banyak hingga kata subjektif dan moral kolektif yang maaf saja tidak cukup tetapi harus bersikeras, yang membatu sehing- melalui proses pengadilan terlebih ga tiada pernah mau memaafkan. dahulu. Media Indonesia yang Alih-alih mengusulkan penyelesai- pemberitaannya mengenai Soeharto an perkara dugaan korupsi sangat minim tampak jelas sikapnya
yaitu memaafkan tanpa proses hukum. Sikap ini diambil mengingat Surya Paloh, pimpinan Media Group yang membawahi harian Media Indonesia, harian Lampung Pos dan stasiun Metro TV, itu dikenal menjalin hubungan bisnis dengan salah satu anak mantan Presiden Soeharto. Menggugat Soeharto berarti sama dengan mempertaruhkan bisnis yang selama ini dijalaninya. Kelanjutan kasus mantan presiden Soeharto hingga kini belum ada titik terang. Kabar terakhir menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa ketetapan penghentian penuntututan perkara yang dikeluarkan Jaksa Agung tidak sah. Artinya, proses hukum terhadap mantan presiden Soeharto tersebut harus dimulai lagi. Namun, apakah Soeharto akan diusut secara hukum masih harus menempuh proses yang cukup panjang. Media massa masih akan terus berpolemik mengenai kasus Soeharto dan masyarakat pun akan pula terus bersilang pendapat. Namun, yang perlu dicatat adalah bila di era Orde Baru isu mengenai Soeharto dan kroninya adalah sesuatu yang tabu dan ditutup-tutupi dari masyarakat, kini media bisa menyampaikan isu ini dengan bebas dan kebutuhan masyarakat akan informasi yang bersangkutan terpenuhi. Harapannya, media massa tetap menjalankan prinsip jurnalistik dalam setiap pemberitaannya, termasuk menyangkut kasus mantan presiden Soeharto. (Wenny Pahlemy).
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
33
Ensiklopedi
HEGEMONI SUMBER FOTO: http:www.aftonbladet.se/
(DALAM PEMIKIRAN GRAMSCI)
S
ebenarnya kata hegemoni ini sebelum digunakan Antonio Gramsci telah dipakai oleh Plechanov, Lenin, Axelrod, dan Lukács untuk menunjuk pada kepemimpinan politik proletariat, misalnya apabila berkoalisi dengan kaum tani. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno dan di situ dipakai untuk menunjuk pada kedudukan lebih kuat yang dimiliki oleh kota Athena dan kemudian Sparta (sesudah mengalahkan Athena) di antara kota-kota Yunani yang semua secara formal samasama berdaulat. Hegemoni adalah suatu konsep ideologi untuk menjelaskan dominasi politik yang dibangun berdasarkan keunggulan ide, intelektual dan kultural. Bukan sekadar mempergunakan kekuatan militer. Hegemoni ini merupakan konsep penting dalam tulisantulisan Gramsci, meski kerap dipakai dalam beragam pengertian. Pertama-tama yang bisa dikatakan adalah Gramsci menggunakan istilah ini sebagai konsep yang netral. Tidak bersifat baik atau buruk. Artinya dia menggunakan konsep hegemoni ini dalam kerangka realitas perjuangan kelas
dalam sebuah masyarakat. Namun tak jarang filsuf Italia ini mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan. Dan sebagai suatu kaidah dia juga membedakan dua konsep itu sehingga hegemoni lebih menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan. Dengan konsep ini Gramsci menyadari pentingnya peran kebudayaan tersebut dalam revolusi sosialis. Faktor yang tidak pernah diperhatikan dalam analisis Marxisme Ortodoks, yang terlalu mengacu pada kerangka basissuprastruktur. Kerangka ini menyimpan satu pengertian ekonomistik, di mana revolusi sosialis dianggap bergantung seratus persen pada perkembangan perekonomian kapitalistik. Dan dalam konteks ini, Gramsci sebenarnya mengikuti apa yang telah dilontarkan Lenin bahwa tanpa tekad revolusioner segala perkembangan ekonomis dengan sendirinya tidak pernah akan menghasilkan revolusi apapun. Karena itu Lenin memandang perlu hadirnya sebuah partai revolusioner pada khazanah pemikiran Marxis. Dengan partai ini Lenin telah membuktikan bahwa revolusi sosialis bisa dijalankan di Rusia. Namun, tampaknya bagi Gramsci peran partai dan intelektual saja tidaklah cukup untuk menggerakkan revolusi di negaranya, Italia, dan umumnya di negara-negara
34 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
barat. Di barat masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks, kaum borjuis tidak hanya menguasai namun juga menyokong dan menjamin kedudukannya. Tampaknya inilah alasan mengapa revolusi sosialis pada kenyataannya tidak juga terjadi. Kelas borjuis berhasil menguasai kelas-kelas di bawahnya melalui hegemoni. Dengan demikian krisis ekonomi tidak secara langsung melahirkan revolusi. Sebab krisis ekonomi tidak sekaligus membawa krisis nilai di dalam masyarakat. Salah satu kekuatan hegemoni adalah kemampuannya untuk menciptakan suatu cara berfikir atau wacana tertentu yang dominan sehingga dianggap benar, sementara yang lain dianggap minoritas, dan salah. Dengan kata lain, hegemoni bekerja melalui proses dan cara-cara yang halus, tampak wajar, logis dan bernalar (common sense). Sehingga tidak ada upaya untuk mempertanyakan kebenarannya. Menurut Kilminster (1979, 134) seperti yang dikutip Franz Magnis menjelaskan : “begitu hegemoni sudah berkembang melalui sejarah dan tercapai atas seluruh masyarakat, hegemoni meresapi seluruh tatanan sosial; hegemoni adalah inti proses sosial sendiri yang tertanam dalam praktek-praktek bebas seharihari, praktek biasa-biasa dari orangorang yang hidup, yang merupakan masyarakat sipil, kegiatan mana oleh Gramsci disebut “konsensus spontan”. Karena hegemoni borjuasi
atas masyarakat, kelas-kelas bawah pun menyetujui tatanan kehidupan sosial yang sesuai dengan kepentingan borjuasi itu. Jadi, upaya pelestarian kekuasaan melalui kekerasan, akan menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi nilai-nilai yang diterapkan oleh pihak penguasa. Sementara upaya pelestarian kekuasaan yang dilakukan melalui konsep hegemoni menekankan kepatuhan secara sukarela melalui penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Yakni suatu kultur di mana nilainilai kaum borjuis menjadi ‘common sense values’ semua orang. Secara bersamaan pula berkembang sebuah kultur konsensus di mana masyarakat kelas pekerja mengidentifikasikan kebutuhan mereka sama dengan kebutuhan kaum borjuis yang secara tidak langsung justru mempertahankan status quo. Oleh sebab itu Gramsci menyatakan bahwa kelas pekerja harus mengembangkan kulturnya sendiri yang mampu mematahkan nilai-nilai yang dianggap “normal” dan “alami” oleh masyarakat. Teoritisi asal Italia ini menganggap hal itu mampu membuat kelas
intelektual dan kelas-kelas yang ditindas lainnya untuk memihak pada kepentingan kaum proletar. Hegemoni di Indonesia Konsep hegemoni di Indonesia dapat dilihat pada masa Pemerintahan Orde Baru. Selama 32 tahun masyarakat terninabobokan oleh konsep-konsep “pembangunan” berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Tak ayal banyak gerakan rakyat yang harus berakhir di penjara atau bahkan tidak jelas rimbanya karena tidak sejalan dengan keinginan pemerintah tersebut. Gema reformasi akhirnya “menjatuhkan” fisik Orde Baru. Tapi konsep hegemoni penguasa kepada rakyatnya tetap berlangsung. Bedanya, penguasa tidak memakai kekuatan militer. Fenomena menarik terjadi pada Pemilu 2004. Para aktor politik berlomba tampil bak festival iklan di layar televisi. Silih berganti mereka tampil di hadapan jutaan pemirsa televisi lewat tayangan debat calon atau iklan-iklan program partai berdurasi lima menit. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla tampil sebagai pemenang pemilu. SBY-JK berhasil memengaruhi kesadaran
masyarakat. Melalui slogan “Bersama Kita Bisa” SBY-JK mampu meredam kekuatan lawanlawannya. Padahal, program-program yang dilancarkan SBY-JK tidak berbeda dengan pasangan lain seperti MegaHamzah. Semuanya meneriakkan slogan atas nama kepentingan rakyat dan keadilan sosial. Semua berteriak akan meningkatkan gaji buruh, guru dan meningkatkan anggaran pendidikan. Para pemimpin “pintar” memanipulasi kesadaran masyarakat. Mereka berhasil memanfaatkan jaringan media massa (televisi, internet) untuk memengaruhi kesadaran berpikir masyarakat. Perangkat media massa telah meningkatkan citra para aktor politik melalui serangkaian rekayasa. Ruang politik tidak lagi berada dalam materi sesungguhnya, tapi berada pada suatu ruang digital. Para aktor dan masyarakat telah masuk ke dunia yang disebut transpolitika. Dunia yang tidak mencerminkan kemurnian.(Intantri Kusmawarni) Rujukan: Lenin; 2005, Transpolitika ; 2005 dan dari berbagai sumber.
Titie Said,... sambungan dari hal: 30 segera kita membuat rapat, kita mengundang wakil-wakil umat Kristiani dan Katolik. Lalu kita putarkan. Mereka mengatakan tidak ada masalah. Walaupun ada sebagian yang kurang puas. Maka film tersebut diluluskan,
kalau itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dikhawatirkan tidak pas lalu menyingung perasaan umat Kristiani. Terus kita tulis jelasjelas bahwa cerita ini adalah fiksi. Walaupun produser filmnya mengatakan bahwa ini bukan fiksi.
Lalu mengapa ada bagian yang tidak diterjemahkan?
Bagaimana dengan Sembilan Naga?
Kami beranggapan bahwa penonton film tersebut tentu sudah paham bahasa Inggris. Nah memang ada bagian yang tidak diterjemahkan. Kita beranggapan
Film itu yang bermasalah cuma posternya. Oleh karena itu posternya yang kita sensor. Di situ ditulis bahwa “Manusia terbaik di Indonesia adalah seorang penjahat”.
film
Bagaimana pandangan Anda tentang UU No. 8/1992 tentang perfilman? Undang-undang itu dibuat di era orde baru dan dimana TV swasta baru satu dan bisokopnya yang banyak. Saat ini sedang dipersiapkan naskah untuk merevisi UU tersebut. Jaman juga sudah berkembang, dulu belum ada otonomi daerah sekarang ada. Jadi kita memandang perlu bahwa UU tersebut perlu diperbaharui.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. 46 /15 Juni -15 Juli 2006
35