Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif: Triple Helix vs. Quadruple Helix Oleh: Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Anggota Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2012-2014, Tulisan ini ditujukan sebagai bahan tulisan untuk Buku Kumpulan Tulisan Nara Sumber, dengan judul buku “Branding Strategy Berbasis Industri Kreatif Fashion”. Publikasi buku adalah bagian penelitian “Branding Strategy Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Potensi Pusat Pariwisata”, Penelitian Prioritas Nasional MP3EI (Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025, (PENPRINAS MP3EI 2011-2025).
Dibiayai oleh Direktorat Penelitiandan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian dan Kebudayaan Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian MP3EI Nomor : 290/SP2H /PL/DIT.LITABMAS/VII/2013, TANGGAL : 15 JULI 2013.
1
Branding strategy Berbasis Ekonomi Kreatif : Triple Helix vs. Quadruple Helix Popy Rufaidah Pengantar
Membangun citra wilayah tidaklah mudah bila tidak dimiliki identitas dan penciri wilayah yang dikenal oleh masyarakat. Contoh citra wilayah yang dikenal saat ini baru Bali. Ingat Bali ingat sebagai pulau Dewata. Namun, ingat Jawa Barat, ingat sebagai apa? Itulah tantangan bagi setiap wilayah untuk membangun citra wilayahnya perlu memiliki sejumlah identitas khas yang dikenang publiknya. Salah satu keunggulan Jawa Barat adalah dari aktivitas ekonomi kreatif berbasis produk fashion. Beberapa kota di Jawa Barat seperti Bandung dikenal sebagai salah satu pusat penghasil produk fashion yang menjadi rujukan masyarakat nasional bahkan internasional. Tulisan ini menyajikan pembahasan konseptual mengenai pendekatan merek, pemerekan (branding), branding strategy jawa barat berbasis ekonomi kreatif, membangun merek yang kuat (building strong brands), pengukuran branding strategy berbasis ekonomi kreatif, triple helix vs. quadruple helix, penerapan triple helix vs. quadruple helix berbasis ekonomi kreatif. Semoga tulisan awal ini menjadi inspirasi dalam pengembangan strategi pemerekan berbasis ekonomi kreatif dengan menggunakan pendekan triple helix vs. quadruple helix. 1
Pendekatan Merek
erek atau brand telah didefinisikan oleh banyak ahli melalui tiga pendekatan, yaitu secara visual, secara verbal dan secara perilaku. Ahli yang masuk pada kategori pertama yang mengartikan merek secara visual adalah dari Kotler & Amstrong (2013:255) dan Fantanariu (2012:1); secara verbal adalah dari Clow and Baack (2007:55); dan secara perilaku adalah dari Afzal, Khan, Rehman, Ali, dan Wajahat (2010:44); dan Wheeler (2009:2); Kotler dan Armstrong (2012:267)
M
Pandangan visual mengatakan bahwa merek merupakan sebuah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, ataupun sebuah kombinasi elemen tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa seorang atau beberapa penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa yang dimiliki pesaing (Kotler & Amstrong 2013:255) dan merek adalah nama, simbol, logo, kata kunci, atau tanda apapun yang mengidentifikasikan sebuah tempat (Fantanariu 2012:1). Sedangkan pandangan verbal mengatakan bahwa merek merupakan sebuah nama yang umumnya diberikan kepada sebuah barang atau jasa atau sebuah kumpulan barang pelengkap Clow and Baack (2007:55). Terakhir, pandangan berbasis perilaku mengatakan bahwa merek dianggap sebagai refleksi dari semangat dan jiwa sebuah organisasi (Afzal et all 2010:44); merek merupakan sebuah perasaan mendalam yang dimiliki seseorang terhadap sebuah produk, jasa, atau perusahaan (Wheeler 2009:2); merek dikatakan lebih dari sekedar nama dan simbol, sebagai elemen kunci dalam hubungan perusahaan dengan pelanggan, merek mewakili persepsi dan perasaan konsumen tentang produk dan segala kinerjanya yaitu produk atau layanan yang berarti untuk konsumen, dan merek ada di dalam benak konsumen (Kotler dan 2
Armstrong 2012:267). Merujuk pada ketiga pandangan tersebut, Undang-Undang No. 15, Tahun 2001, pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa merek merupakan sebuah “tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan barang dan jasa.” Berdasarkan dimensi merek yang disebutkan pada UU 15/2001 terlihat konsep merek lebih mengarah pada aspek visual saja. Pemerekan (branding)
Pemerekan (branding) dapat dikatakan sebagai satu atau kombinasi dari nama, terminologi, simbol, desain atau tampilan yang berasosiasi dengan produk atau jasa. Pemerekan modern melibatkan campuran dari suatu nilai baik elemen tangible maupun intangible yang relevan terhadap konsumen dan yang mampu membedakan antara produk perusahaan yang satu dengan yang perusahaan yang lainnya (Murphy 1987 dikutip Lincoln & Willilams 1995:6). Proses pemerekan suatu objek secara umum terlihat menawarkan sejumlah keunggulan yang dirasakan dan manfaat baik untuk pembeli dan penjual termasuk menyediakan sejumlah citra dan informasi atas kualitas; menawarkan suatu pengenalan (rekognisi), penyakinan (reassurance), keamanan dan eklusivitas; berkontribusi pada citra merek dan identitas; segmentasi pasar; pengembangan mutualisme dan penguatan hubungan perdagangan dan perlindungan hukum (Jones, Shears, Hillier, Clarke-Hill 2002). Proses pemerekan memberikan manfaat yang sangat nyata dalam membentuk pembeda produk atau jasa. Manfaat tersebut antara lain adalah membantu pembeli mengidentifikasi produk 3
yang disukai dan tidak disukai pasar; membantu proses keputusan membeli atau tidak membeli suatu produk atau jasa; membantu pembeli mengevaluasi kualitas produk; mengurangi resiko pembelian, mendorong pembelian berulang; memfasilitasi usaha promosi, dan membantu mencipkatan loyalitas pelanggan (Jones et. al 2002). Untuk melakukan pemerekan pada suatu objek seperti produk dan perusahaan merupakan suatu hal yang sangat umum dan telah banyak dilakukan hampir empat dekade lamanya. Literatur mengenai product brand dan corporate brand merupakan salah satu bidang ilmu yang sangat berkembang. Namun, melakukan pemerekan pada suatu lokasi atau wilayah atau yang dikenal dengan istilah city branding atau regional branding merupakan suatu hal baru berkembang beberapa dekade ini. Bidang ilmu ini banyak ditemukan pada literature pemasaran pariwisata, karena berhubungan dengan memasarkan suatu lokasi atau tempat atau suatu destinasi. Pemerekan pada suatu wilayah seperti Branding Jawa Barat merupakan suatu hal yang menantang. Perlu diketahui apa yang diketahui dan dikenal masyarakat atas Jawa Barat. Bila suatu objek (misal merek, produk atau perusahaan) memiliki identitas atas sejumlah elemen visual atau verbal atau perilaku maka diasumsikan merek, produk atau perusahaan tersebut memiliki suatu nilai atau yang dikenail dengan istilah brand equity. Ekuitas merek dapat diciptakan dan dikelola dengan memahami tujuh pendekatan pemerekan (Heding et al 2009 dikutip Grundey 2009). Pertama, melalui pendekatan ekonomi (merek sebagai bagian dari bauran pemasaran tradisional yang terdiri dari komponen produk, harga, tempat dan promosi; dan bagaimana keempat unsur bauran pemasaran tersebut digunakan 4
untuk mempengaruhi konsumen. Kedua, pendekatan identitas, dimana merek dikaitkan dengan identitas perusahaan. Pemasar (sebagai perusahaan) berperan dalam pengkreasian nilai merek. Proses budaya organisasi dan konstruksi perusahaan atas identity adalah kunci utamanya. Ketiga, pendekatan berbasis konsumen dimana merek dikaitkan pada asosiasi konsumen. Merek dirasakan sebagai suatu versi kognitif (cognitive construal) di benak konsumen. Diasumsikan bahwa merek kuat menancap di benak konsumen, unik dan berasosiasi menyenangkan. Keempat, pendekatan kepribadian dimana merek dianggap sebagai suatu karakter manusia (the brand as a human-like character). Pendekatan kepribadiaan adalah suatu prasarat untuk dan diasosiasikan dengan pendekatan hubungan (relational approach). Kelima, pendekatan hubungan (relational approach) dimana merek sebagai suatu mitra nyata yang saling berhubungan (the brand as a viable relationship partner). Keenam, pendekatan komunitas dimana merek sebagai poin utama interaksi sosial (the brand as the pivotal point of social interaction). Pendekatan komunitas berdasarkan penelitian antropologi yang disebut merek komunitas (brand communities). Nilai merek diciptakan melalui komunitas dimana merek berperan sebagai pusat interaksi sosial antar konsumen. Ketujuh, pendekatan budaya dimana merek sebagai pabrik budaya yang lebih luas (the brand as part of the broader cultural fabric). Pendekatan ini menjelasan pemerekan melalui budaya dan bagaimana mengintegrasikan merek dalam kekuatan budaya untuk menciptakan ikon merek. Branding Strategy Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif
Jawa Barat adalah suatu nama wilayah, suatu nama provisi, suatu simbol dan memiliki asosiasi atas sejumlah hal. Sehingga, bila Jawa Barat dianggap sebagai suatu merek, maka menarik 5
untuk dikaji bagaimana persepsi masyarakat atas nama Jawa Barat. Selain itu, perlu diketahui bagaimana nama Jawa Barat sebagai suatu merek berkembang memiliki suatu citra tersendiri berdasarkan elemen identitas yang dibentuknya. Berdasarkan skenario pembangunan 10 (sepuluh) Common Goals berbasis tematik sektoral Jawa Barat (sumber: RPJMD Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013-2018), salah satu program dalam meningkatkan ekonomi non-pertanian Jawa Barat adalah mengembangan industri kreatif dan wirausahawan muda kreatif. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu strategi pemerekan untuk Jawa Barat. Branding strategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif dapat dimulai dari produk yang diproduksi dan diperdagangkan di wilayah tersebut dan yang dirasakan oleh konsumennya. Produk yang paling banyak dirasakan dan dikonsumsi masyarakat Jawa Barat salah satunya adalah produk fashion. Sehingga, pendekatan branding strategy yang sesuai untuk melakukan branding strategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif produk fashion. Menurut Heding et al (2009), dari sekitar tujuh pendekatan untuk membangun ekuitas merek, maka pendekatan ekonomi lebih sesuai diterapkan untuk meneliti branding strategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif. Strategi pemerekan adalah sejumlah cara yang dilakukan suatu organisasi atau perusahaan atau instansi untuk membentuk pembeda antara yang satu dengan yang lainnya melalui elemen visual (desain), verbal (alat komunikasi) dan perilaku (aktivitas). Sehubungan dengan penelitian Branding strategy Jawa Barat berbasis Ekonomi Kreatif dikhususkan pada produk fashion berbahan tekstil, maka strategi pemerekan Jawa Barat yang diteliti adalah melalui sejumlah elemen visual dan verbal yang digunakan para pelaku usaha industri kreatif produk fashion di wilayah Jawa Barat sebagai pembeda dengan wilayah lainnya. 6
Dimensi untuk membangun merek suatu wilayah atau regional branding, dilakukan melalui dua elemen, yaitu: Pertama, elemen visual. Visual diasosiasikan sebagai simbol dari sebuah perusahaan (Melewar 2002:8) dan direfleksikan melalui elemen desain perusahaan (yaitu sejumlah isyarat visual yang terkait dengan sebuah organisasi tertentu; Melewar & Karaosmanoglu 2006:7). Elemen visual tersebut terdiri dari nama organisasi atau nama usaha, slogan, logo/simbol, warna dan tipografi. Elemen visual dapat diterapkan melalui produk perusahaan, lokasi, arsitektur bangunan, kendaraan, dan desain interior kantor. Kedua, Elemen verbal. Verbal direfleksikan melalui aktivitas komunikasi perusahaan yang mencakup semua cara di mana organisasi berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan (Melawar, et al. 2006:7). Elemen verbal adalah semua pesan yang berasal dari organisasi untuk membentuk persepsi pemangku kepentingan dengan menggunakan sejumlah media komunikasi (seperti media elektronik dan non-elektronik). Sehubungan, elemen visual tidak hanya terdiri dari element nama organisasi, tipe logo, tata huruf, warna, dan unsur visual lainnya; namun mencakup tampilan suasana dan kondisi lingkungan fisik (seperti rancangan lingkungan tempat melakukan usaha) dan harga produk/jasa yang ditawarkan. Maka konsep strategi pemerekan untuk suatu wilayah lebih sesuai menggunakan elemen visual, verbal dan suasana dan kondisi lingkungan fisik. Untuk itu, konsep definisi yang sesuai digunakan untuk branding strategy suatu wilayah (misal seperti Branding strategy Jawa Barat, Branding strategy Jakarta, Branding strategy Menado, dll) adalah “sejumlah cara yang dilakukan untuk membentuk kekhasan merek melalui rancangan produk/jasa (seperti element nama organisasi, tipe logo, tata huruf, warna, dan unsur visual lainnya), sejumlah 7
alat-alat komunikasi (seperti media cetak, media elektronik, dan media sosial), suasana dan kondisi lingkungan fisik (seperti rancangan lingkungan tempat melakukan usaha)”. Gambar 2. Peta Industri Unggulan Kabupaten / Kota di Jawa Barat
Sumber: RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018; Hal II-5.
Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia yang terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota, sehingga memiliki total sekitar 27 kabupaten dan kota. Setiap kabupaten dan kota di masing-masing wilayah pengembangan (WP) memiliki industri unggulan spesifik sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. Namun, bila dilihat berdasarkan peta sentra komoditi ekspor potensial Jawa Barat, ternyata beberapa kabupaten dan yang ada di Jawa Barat tersebut menghasilkan tekstil dan produk tekstil, yaitu berada di Wilayah Purwakarta, Bogor, Priangan dan Cirebon. 8
Sehingga, sangat memungkinkan meneliti persepsi masyarakat atas brand Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion. Adapun, produk yang dihasilkan setiap wilayah tersebut ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Peta sentra komoditi ekspor potensial Jawa Barat BKPP WIL. PURWAKARTA -Tekstil & Produk Tekstil -Elektronik -Alas Kaki - Kertas & Produk Kertas - Otomotif & Komponennya -Kerajinan Pulp & Kertas Kota (Bekasi) dan Kabupaten (Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang)
BKPP WIL. BOGOR
BKPP WILL. PRIANGAN
-Tekstil & Produk Tekstil - Alas Kaki
-Tekstil & Produk Tekstil -Teh & Kopi Furniture - Karet & Produk Karet -Produk Coklat -Makanan Olahan Kerajinan -Komponen Obat - obatan
- Furniture -Karet & Produk Karet -Makanan Olahan Kerajinan -Alat Kesehatan
BKPP WIL. CIREBON -Furniture Rotan -Batik -Gentteng - Makanan Olahan - Kerajinan
Kota (Depok, Bogor) dan Kabupaten (Bogor, Sukabumi, Cianjur)
Kota (Bandung, Kota (Cirebon) Cimahi, dan Kabupaten Tasikmalaya, (Indramayu, Banjar) dan Majalengka dan Kabupaten Kuningan) (Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran) Sumber: File Presentasi Kepala Bappeda Jawa Barat, Rancangan RPJMD Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013-2018 (dimodifikasi) Membangun merek yang kuat (building strong
brand)
Untuk membangun suatu merek yang kuat dilakukan melalui empat keputusan (Kotler & Amstrong 2012:268-274) yaitu brand positioning (pemosisian merek), brand name selection (seleksi nama 9
merek), brand sponsorship (dukungan merek) dan brand development (pengembangan merek). Pertama, brand positioning adalah suatu cara terstruktur untuk memosisikan suatu merek pada benak konsumennya. Usaha untuk melakukan pemosisian merek di benak pikiran konsumen dilakukan pada tiga tingkat, yaitu melalui atribut produk, manfaat produk dan keyakinan serta nilai-nilai (values). Misalnya, Jawa Barat dikenal karena variasi produk fashion yang ditawarkan di pasar (atribut produk); Jawa Barat dikenal karena harga produk fashion yang ditawarkannya sesuai dengan nilai uang yang dibelanjakan (manfaat produk); Jawa Barat dikenal karena pelayanan ramah yang dilakukan wiraniaga produk fashion. Kedua, seleksi nama merek merupakan salah satu keputusan penting untuk membangun merek yang kuat. Memilih nama yang terbaik untuk suatu produk, suatu nama usaha, adalah suatu hal yang sangat penting dan sulit dilakukan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan melakukan penilaian atas produk dan manfaat yang ditawarkan produk, pasar sasaran, dan strategi pemasaran yang akan digunakan. Hasil penelitian Branding strategy Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Potensi Pusat Pariwisata (2013), menunjukkan ada lima kluster pelaku usaha industri kreatif berbasis produk tekstil berdasarkan strategi pemerekan (branding strategy) yang diterapkannya. Kelima kluster tersebut adalah kluster kategori fashion, sablon, sulaman, batik dan jasa boutique. Hasil analisis nama-nama merek yang digunakan mereka (para pelaku industri kreatif dari lima kluster tersebut) adalah: Nama merek usaha menggunakan nama orang, Nama merek usaha menggunakan nama benda, Nama merek usaha menggunakan nama tempat, Nama merek usaha menggunakan nama kata kerja, Nama merek usaha menggunakan nama-nama dari kota kasa bahasa asing, nama-nama dari kata sifat baik bahasa asing maupun bahasa indonesia, dan 10
Nama merek usaha menggunakan nama-nama dari bahasa lokal/ bahasa sunda. Hasil analisis atas nama merek usaha yang digunakan para pelaku usaha kluster industri kreatif produk fashion berbahan tekstil di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Peta profil nama merek yang digunakan pelaku usaha Kluster industri kreatif produk fashion berbahan tekstil Kluster
Nama
Nama
Nama
Usaha
Orang
Benda
Tempat
Sablon
21
21
7
Sulaman
6
16
Batik
7
12
Boutique
116
Fashion Total
Nama
Nama Nama
Nama
Asing
Sifat
Lokal
1
21
18
5
94
3
5
18
10
9
67
6
0
2
4
1
32
23
18
6
111
6
18
298
158
62
33
19
144
24
38
478
421
167
81
34
379
67
101
1250
Kata Kerja
Total
Sumber: diolah dari Buku Directory Industri Kreatif Jawa Barat, 2012
Ketiga, pendukungan merek (brand sponsorship) adalah keputusan ketiga membangun merek yang kuat. Sebuah merek yang akan diluncurkan ke pasar dapat diluncurkan sebagai manufacturer’s brand (national brand), private brand (store brand), licensing, atau co-branding. Keempat keputusan tersebut tergantung atas keputusan perusahaan dalam pilihan strategi pemposisian yang dilakukan. Penerapan merek produsen atau manufaktur (merek nasional) misalnya di industri tekstil Jawa Barat (yang terdiri dari 352 pabrik tekstil) beberapa perusahaan menamakan produknya sama dengan nama perusahaannya seperti Adetex, Kahatex, Alena Textile, dan Chandratex. 11
Penerapan merek toko atau merek pribadi (private brand) dilakukan oleh operator departemen store terbesar Indonesia (dalam hal nilai penjualan ritelnya) yaitu Matahari Department Store. Produk fashion berbahan tekstil yang ditawarkan di gerainya menggunakan nama privat tersebut, seperti Nevada, Cole, Connexion, Stanley Adam, dll. Merek-merek tesebut adalah merek yang diciptakan dan diproduksi oleh perusahaan tersebut. Bahkan 28% merek produk Nevada berkontribusi terhadap 28% dari total kotor Direct Purchase dan 8% total penjualan kotor perusahaan pada tahun 2012 (Laporan Matahari Departement Store 2013:3). Gambar 1. Matahari Departemen Store Private Label Brands
Sumber: Laporan Matahari Department Store, 15 May 2013, halaman 4; Maybank Kim Eng Research Pte. LTd
Penerapan licensing brand adalah pemberian ijin penggunaan nama merek produk yang sudah terkenal kepada suatu produsen atas seijin pemilik merek. Praktek tersebut dilakukan oleh nama merek yang sudah mendunia, seperti merek Stella McCartney diproduksi dan didistribusikan oleh Luxottica. Luxottica Group adalah perusahaan yang memproduksi , mendistribusikan frame kacamata dengan resep doktor (prescription frames) dan kacamata pelindung matahari berkualitas tinggi dan bergaya. Luxocitta memperoleh ijin dari Brook Brothers, Bvlgari, Burberry, Chanel, 12
Chaps, Coach, Dolce & Gabbana, DKNY, Donna Karan, Emporio Armani, Giorgio Armani, Miu Miu, Polo Ralph Lauren, Paul Smith Spectacles, Prada, Ralph Lauren, Reed Krakoff, Stella McCartney, Tiffany & Co, Tony Burch, Versace. Sejak Januari 2013, Luxottica memperoleh hak eksklusif dengan Armani Group selama sepuluh tahun untuk merancang, memproduksi dan mendistribusikan ke seluruh dunia produk kacamata merek Giorgio Armani, Emporio Armani and A/x Armani Exchange. (http://www.luxottica.com/ en/brands/license-brands). Penerapan co-branding atau pengunaan dua nama merek ternama dari dua perusahaan berbeda digunakan pada suatu produk. Misalnya, suatu hotel menyediakan air minum dalam kemasan botol yang diberi label nama hotel tersebut, tetapi diproduksi oleh suatu produsen air minum. Keempat, penerapan brand development (pengembangan merek) adalah keputusan untuk mengembangkan merek melalui line extension, brand extension, multibrands, atau new brands. Bila nama suatu produk, perusahaan atau wilayah sudah begitu terkenal, maka merek utamanya dapat diperkuat dengan meluncurkan sejumlah lini produk baru dengan menggunakan nama tambahan pada nama merek utama. Misalnya, Shafira, perusahaan yang memproduksi busana muslim, menamba lini produk baru dengan meluncurkan kelengkapan untuk beribadah. Pengukuran branding strategy berbasis ekonomi kreatif
Berdasarkan konsep membangun merek yang kuat (building strong brands), para pelaku industri kreatif yang meliputi : (1) Jasa periklanan; (2) Arsitektur; (3) Seni Rupa; (4) Kerajinan; (5) Desain; (6) Mode (fashion); (7) Film; (8) Musik; (9) Seni pertunjukan; (10) Penerbitan; (11) Riset dan Pengembangan; (12) Piranti lunak; 13
(13) Televisi-radio; (14) Mainan; dan (15) Video game; selayaknya mengoptimalkan penggunaan brand strategy dalam meningkatkan nilai dari produknya. Dalam rangka meningkatkan nilai dari produk tersebut, melalui branding strategy, perlu dilakukan dengan membangun diferensiasi atau pembeda antara produk yang satu dengan produk lainnya. Untuk mengukur Branding strategy Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion Jawa Barat, maka diterapkan konsep strategi pemerekan yang memiliki arti sebagai : “sejumlah cara yang dilakukan untuk membentuk kekhasan merek melalui rancangan produk/jasa (seperti element nama organisasi, tipe logo, tata huruf, warna, dan unsur visual lainnya), sejumlah alat-alat komunikasi (seperti media cetak, media elektronik, dan media sosial), suasana dan kondisi lingkungan fisik (seperti rancangan lingkungan tempat melakukan usaha)”. Berdasarkan konsep tersebut, maka dimensi strategi pemerekan pertama diukur dengan menggunakan rancangan produk/jasa, alat-alat komunikasi pemasaran yang digunakan dan suasana dan lingkungan fisik tempat berjualan produk. Konsep rancangan produk/jasa (product/service design) diadopsi dari Rufaidah., Razzaque & Walpole (2003:2423) yaitu sejumlah elemen rancangan produk yang membuat khas/unik/berbeda dengan produk pesaing lainnya seperti elemen nama merek, logo, tata huruf, warna, style, dan unsur lainnya. Berdasarkan konsep tersebut diidentifikasi sekitar 20 item yang merefleksikan pemerekan Jawa Barat dari dimensi tersebut. Dimensi tersebut merefleksikan kinerja visual branding Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion, yaitu dari Kekhasan brand produk ciri khas produk, Kekhasan produk yang unik, Kualitas disain produk, Kekhasan produk fashion, Nama merek refleksi kekhasan produk, Keunikan nama merek, Kualitas nama merek produk, Kemenarikan disain grafis iklan, Kemenarikan 14
disain grafis brosur, Ke-up-to-date-an produk, Tempat mudah dijangkau, Kemenarikan logo, Kemudahan dikenali logo, Kekhasan logo refleksi kualitas produk, Keunikan tata huruf label, Kekhasaran tata huruf, Keunikan tata huruf berbeda, Variasi warna, Kekhasan keragaman warna, Keragaman warna sebagai nilai tambah. Sedangkan, konsep alat-alat komunikasi pemasaran didefinisikan sebagai sarana yang digunakan perusahan dalam upaya untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen – langsung atau tidak langsung – tentang produk dan merek yang mereka tawarkan melalui sejumlah media (seperti media cetak, elektronik, dan media sosial). Berdasarkan konsep tersebut diidentifikasi sekitar 8 item yang merefleksikan pemerekan Jawa Barat dari dimensi tersebut. Dimensi tersebut merefleksikan kinerja komunikasi pemasaran atau verbal branding Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion, yaitu dari Media koran sebagai media promosi, Media majalah dan tabloid sebagai media promosi, Media internet seperti blogs dan website sebagai media promosi telah diketahui, Media internet sebagai media promosi telah dikenal, Sosial media seperti facebook sebagai media promosi, Sosial media seperti twitter sebagai media promosi, Media radio sebagai media promosi, Media TV sebagai media promosi. Terakhir, konsep suasana dan kondisi lingkungan fisik yang didefinisikasn sebagai sejumlah elemen rancangan spasial yang berbentuk fisik lingkungan perusahaan, tata ruang, keadaan ruangan, keadaan lingkungan sekitarnya dan unsur fisik lainnya. Berdasarkan konsep tersebut diidentifikasi sekitar 8 item yang merefleksikan pemerekan Jawa Barat dari dimensi tersebut. Adapun, dimensi tersebut merefleksikan kinerja visual branding Jawa Barat Berbasis Ekonomi Kreatif Produk Fashion, dikarenakan elemen pemerekan yang digunakan merefleksikan simbolisasi visual dari pemerekan 15
usaha tersebut yang berada di Jawa Barat. Indikator tersebut yaitu Kestrategisan lokasi tempat penjualan produk, Kualitas fasilitas tempat penjualan produk refleksi pelayanan bermutu, Kemudahan akses angkutan kota ke lokasi tempat penjualan produk, Tata ruang tempat penjualan produk memudahkan mendapat pelayanan, Kenyamanan tempat penjualan produk, Kebersihan tempat penjualan Produk, Keterjagaan Lingkungan sekitar tempat penjualan produk, Keterjagaan fasilitas umum terjaga baik. Triple Helix vs. Quadruple Helix
Pendekatan Triple Helix untuk pengembangan wilayah berawal di Boston yang mengalami depresi besar pada periode 1930an; dan sejak periode tersebut pendekatan ini menyebar luas di Amerika Serika dan memasuki Eropa, Asia dan Amerika Latin melalui kolaborasi dinamis antar universitas, industri dan pemerintah (Etzkowitz 2002, Rebernik 2009:12, Etzkowitz & Ranga 2010:1). Setelah itu, pendekatan triple helix semakin berkembang melalui pengoptimalan potensi pihak-pihak tersebut. Perkembangan pendekatan triple helix menghasilkan beberapa konfigurasi (Etzkowitz & Ranga 2013:1, Rebernik 2009:13), yaitu pada Tahap Triple Helix-1, disebut statist regime, dimana pemerintah memainkan peran sebagai pengarah yang mendorong akademisi dan industri. Tahap Triple Helix-2, disebut laissez-faire regime, dimana industri adalah kekuatan pendorong dengan dua pihak lainnya sebagai struktur pendukung pelengkap (ancillary support structure). Tahap Triple Helix-3, disebut sebagai balance model yaitu melibatkan peran ketiga pihak sehingga tercipta masyarakat berbasis pengetahuan; universita dan institusi lainnya memerankan peran aktif dalam kemitraan dengan industri dan pemerintah, bahkan dalam pembentukan inisiatif bersama (joint initiatives). 16
Hasil kajian literatur yang dilakukan untuk penulisan buku ini, dilakukan dengan mengidentifikasi peran triple helix dari periode tahun 1990 sampai dengan tahun 2013, dan dapat ditemukan pada publikasi beberapa ahli yang melakukan penelitian di negara berkembang dan negara maju. Antara lain adalah publikasi dari Nedeva, Georghiou, Halfpenny & Peter (1999 di Inggris); Kaukonen & Nieminen (1999 di Finlandia); Bunders, Broerse & Zweekhorst (1999 di Bangladesh); Mets (2006 di Estonia); Wong (2007 di China); Johnson (2007 di Amerika Serikat); Zhou (2008 di China); Brundin, Wigren, Isaacs, Friedrich, & Visser (2008 di Afrika Selatan); Pei-Lee & Chen-Chen (2008 di China); Meredith & Burkle (2008 di Mexico); Hu & Mathews (2009 di Taiwan); Bjerregaard (2009 di Denmark); Li (2013 di Jepang); Lind, Styhre & Aaboen (2013 di Swedia); Buerkler (2013 di New Zealand). Hasil pemikiran para ahli yang dipublikasikan pada konferensi internasional dengan topik triple helix dapat dipelajar pada situs www.triplehelixconference.org yang telah terselenggara sejak tahun 1996. Situs lainnya, yang dikembangkan seorang Belanda bernama Louis André (Loet) Leydesdorff, kelahiran Jakarta tahun 1948, dapat diakses pada www.leydesdorff.net berisi beragam publikasi tentang triple helix. Tabel 3. Kajian Pustaka Triple Helix Periode 1990 - 2013 Nedeva, Georghiou, Halfpenny & Peter (1999 di Inggris)
Penelitian mengenai peran industri serta pelibatan persepsi, opini dan posisi universitas, pemerintah dan industri dalam penggunaan infrastruktur akademik, khususnya peralatan penelitian universitas. Posisi pemerintah berusahaa menarik perhatian industri untuk dukungan dalam peralatan penelitian di universitas dan pembahasan pandangan industri perihal demarkasi antara tanggung jawab pemerintah dan swasta.
17
Kaukonen & Nieminen (1999 di Finlandia)
Menyarankan penerapan Triple Helix berdasarkan integrasi institusi perlu mengandalkan aktivitas yang komplementer antar pihak.
Bunders, Broerse & Zweekhorst (1999 di Bangladesh)
Menyimpulkan bahwa pihak terkait tidak menghasilkan kegiatan yang saling membentuk walaupun ada manfaat yang diperoleh masing-masing pihak.
Mets (2006 di Estonia)
Mengevaluasi keseimbangan pengembangan triple helix melalui kasus sektor bioteknologi di Estonia; yang menemukan bahwa pengembangan kemitraan triple helix adalah suatu proses menyeimbangkan biaya-biaya penelitian dan pengembangan, pendukungan proses inovasi dan transfer teknologi.
Wong (2007 di Singapura)
Mengkaji perubahan signifikan dalam hubungan universitas, pemerintah dan industri pada bidang sains (life science) di Singapura serta dampaknya dalam hal komersialisasi bidang sains (life science).
Johnson (2007 di Amerika Serikat)
Penelitian mengenai proses keterlibatan dalam kolaborasi bagi manajer rekayasa (engineering managers) yang menunjukan kesulitan mencapai efektivitas yang dihadapi antar mitra dalam triple helix dikarenakan perbedaan budaya dan organisasi. Solusinya adalah dengan menerapkan pilar keempat organisasi sebagai solusi mengelola projek triple helix, yaitu pihak ketiga yang dapat memfasilitasi kelancaran integrasi pihakpihak dalam triple helix.
Zhou (2008 di China)
Mengusulkan penerapan triple helix melalui linkage kewirausahaan universitas, industri and teknologi tinggi melalui pembentukan perusahaan pemula (start up firm). Langkah pertama bagi kewirausahaan universitas adalah berkomitmen dari kolaborasi industri-universitas menuju kolaborasi universitasindustri. Evolusi menjadi kewirausahaan university dapat difasilitasi melalui kebijakan pemerintah dengan didorong kebutuhan industri dan berkembang bersama dengan perkembangan regional.
18
Brundin, Wigren, Isaacs, Friedrich, & Visser (2008 di Afrika Selatan)
Pei-Lee & ChenChen (2008 di China)
Hasil studinya menyimpulkan ketika kerjasama antar tiga pihak disepakati h anya dua pihak yang terlibat; ditemukan missing link dalam triple helix model yaitu kefokusan wirausahawan; kerjasama antar tiga pihak terjadi secara insidental dibandingkan terencana dan tidak terdapatnya yang jelas.suatu model peran dan Meneliti dan struktur mengembangkan fungsi yang dilakukan universitas dalam mendukung bisnis ventura dalam pengembangan wirausaha berbasis teknologi (technopreneur).
Meredith & Burkle (2008 di Mexico)
Mengkaji tingkat manfaat pembelajaran sampai pengembangan keterkaitan yang kuat antara universitas dan industri; dan menyarankan metodologi untuk membangun penjembatanan universitas dan industri dalam menyediakan pengalaman pembelajaran penuh bagi mahasiswa.
Hu & Mathews (2009 di Taiwan)
Mengkaji kapasitas inovasi melalui hubungan triple helix dan menyimpulkan bawha kapasitas inovasi Taiwan sangat tergantung pada kapabilitas UMKM dan berlanjut tergantung pada kepemimpinan pemerintah melalui kapabilitas teknologi dalam memperkuat institusi.
Bjerregaard (2009 di Denmark)
Hasil kajiannya menunjukan bahwa mitra memilih menerapkan strategi yang berbeda untuk jangka pendek atau jangka panjang dalam mengoptimalkan proses dan hasil kolaborasi universitas dan industri.
Li (2013 di Jepang)
Model transfer teknologi organisasi pada universitas di Jepang dipelajari dari praktek yang telah dilakukan di Amerika Serikat, dan terbukti ada perbedaan dan persamaan antara kedua negara tersebut dalam pengarahan operasi umum untuk transfer teknologi organisasi.
19
Lind, Styhre & Aaboen (2013 di Swedia)
Pemikiran peneliti menambah pemahaman yang spesifik atas kontribusi kolaborasi universitas dan industri yang dilaksanakan dalam bentuk pusat riset yang melibatkan tiga pihak seperti universitas, perusahaan-perusahaan dan institusi penyandang dana. Kontribusi utamanya adalah teridentifikasinya empat bentuk kolaborasi selama kasus dikembangkan dalam tahap analisis dan perancangan, yaitu distanced collaboration, translational collaboration, specified collaboration and developed collaboration
Buerkler (2013 di New Zealand).
Peneliti beragumentasi bahwa dukungan pemerintah untuk keterlibatan aktif dalam platform inovasi dengan bebera peserta independen dimungkinkan terlaksana bila ada ketertarikan publik, ketertarikan peserta dalam inovasi terencana, ada kepercayaan antar berbagai pihak, dan sumberdaya yang cukup dan komplementer (baik sumber daya manusia maupun keuangan) untuk kemitraan pembelajaran dan pengembangan.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Pada penelitian tersebut, tidak satupun meneliti pada industri kreatif. Namun, yang dapat dipelajari dari hasil penelitian mereka adalah adanya komitmen sejak penerapan triple helix dilakukan dalam suatu projek sampai dengan terlaksana projek serta berkesinambungan. Komitmen dari pihak pemerintah adalah dalam bentuk dukungan regulasi berbentuk peraturan pemerintah (baik di tingkat nasional, regional dan lokal; misalnya inpres, kepmen, pergub, perda); dari akademisi adalah fasilitasi penelitian dan pengembangan; dan dari industri adalah dalam bentuk fasilitasi komersialisasi. Konsep Quadruple Helix merupakan suatu konsep yang berkembang. Pelibatan pihak keempat yang disampaikan para ahli yang dikaji, ada beberapa konsep sangat mirip dengan salah satu pihak dalam triple helix (seperti manajer yang dinyatakan Rebernik 2009) dan ada beberapa pihak sangat berbeda (seperti 20
masyarakat, pengguna). Pihak keempat yang terlibat adalah pihak yang menghubungkan antara pihak-pihak dalam triple helix yaitu seringkali disebut sebagai “4th pillar of organization” atau “intermediate organizations as innovation-enable organization” (Liljemark 2004 dalam Rebernik 2009:14) Penerapan triple helix menarik perhatian pemerintah provinsi Jawa Barat yang mengembangkannya menjadi Quadruple Helix yaitu dengan menambahkan peran komunitas; dan memberi nama model tesebut dengan sebutan Jabar Masagi (2013). Konsep Quadruple Helix bukan sesuatu yang baru, Rebernik (2009) menuliskannya dalam suatu tulisan berjudul Quadruple Helix of Entrepreneurship and Management Education. Namun, pihak keempat yang dilibatkan dalam proses tersebut adalah melibatkan manajer untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dalam merangsang kreativitas dan inovasi mahasiswa. Model inovasi quadruple helix yang dinyatakannya adalah model kerjasama inovasi atau lingkungan inovasi dimana pengguna, perusahaan, universita dan otoritas publik bekerjasama dalam menghasilkan inovasi (segala sesuatu yang bermanfaat bagi mitra dalam kerjasama inovasi seperti inovasi teknologi, sosial, produk, jasa, komersial dan non-komersial). Carayannis & Campbell (2009) membahas penekanan quadruple helix dalam kepentingan mengintegrasikan perspektif berbasis media dan publik berbasis budaya; dan hasilnya adalah berkembangnnya pengetahuan fraktal dan ekosistem inovasi yang terkonfigurasi untuk ekonomi pengetahuan dan masyarakat. Selanjutnya publikasi mereka pada tahun 2012, menyatakan bahwa model quadruple helix, melalui pemerintah, akademisi, industri dan masyarakat sipil dilihat sebagai pelaku yang mempromosikan pendekatan demokratis untuk inovasi melalui pengembangan strategi dan pengambilan keputusan yang 21
terekspos untuk menghasilkan umpan balik dari para pemangku kepentingan kunci yang menghasilkan kebijakan dan praktek yang dapat dipertanggungjawabkan secara kemasyarakatan. Afonso, Monteiro & Thompson (2010) mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul A Growth Model of the Quadruple Helix Innovation Theory; yang menekankan investasi dalam mekanisme transmisi inovasi dalam pertumbuhan ekonomi dan pencapaian produktivitas, pada sektor one-high-technology, dengan menekankan peran aktif para helix dalam dalam Quadruple Helix Innovation, yaitu akademisi dan infrastruktur teknologi, perusahaan dan inovasi, pemerintah dan masyarakat sipil. Mereka menyatakan bahwa dalam literatur, huhungan antara helix dan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlihat nyata. Namun, dinyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi diperoleh dari hasil peningkatan sinergitas dan kesalingmelengkapi antar unit produktif yang berbeda, atau peningkatan pengeluaran pemerintah yang produktif. Füzi (2013) memiliki pendapat yang sama dengan para penulis quadruple helix sebelumnya (rebernik 2009, Carayannis & Campbell 2009, Afonso et al 2010) bahwa konsep ini belum terbentuk dengan baik dan banyak digunakan dalam penelitian inovasi dan kebijakan inovasi; quadruple helix adalah model kerjasama inovasi atau lingkungan inovasi dimana pengguna, perusahaan, universitas dan otoritas publik bekerjasama untuk menghasilkan inovasi. Hasil pemikiran Füzi (2013:22) adalah ada tiga tipe berbeda model quadruple helix yang dapat digunakan untuk kerjasama inovasi yaitu Academia-driven Living Lab Model (fokus penyediaan fasilitas dan konsultasi untuk peneliti dan perusahaan), the Firm-driven Living Lab model (fokus pengembangan komersialisasi inovasi), dan the Public Sector-drive Living Lab model (fokus pengembangan organisasi publik dan pelayanan). 22
Penerapan Triple Helix vs Quadruple Helix berbasis Ekonomi Kreatif
Pada bagian penutup tulisan ini, penerapan konsep triple helix dan atau quadruple helix berbasis ekonomi kreatif perlu melibatkan empat pihak (lihat Gambar 3). Hal yang perlu dicermati, penelitian yang melibatkan peran empat pihak secara simultan dalam pengembangan ekonomi kreatif belum pernah ditemukan dalam publikasi ilmiah. Pada tulisan ini dikemukakan pihak-pihak yang dapat dilibatkan dalam penelitian dan atau aktivitas bersama dalam suatu projek dengan pendekatan triple helix maupun quadruple helix yang berbasis ekonomi kreatif. Gambar 3 Quadruple Helix: Branding Strategy Berbasis Ekonomi Kreatif
Akademisi
Perusahaan
-Pendidikan & Pengajaran -Penelitian -Pengabdian pada masyarakat
-Perusahaan-perusahaan pada industri genetik, ekstraktif, manufaktur dan jasa
Quadruple Helix: Branding Strategy
Pemerintah
Asosiasi (Komunitas)
-Tingkat kementrian -Tingkat Provinsi -Tingkat Kota dan Kabupaten -Tingkat kecamatan dan kelurahan
-Asosiasi -Perhimpunan -Ikatan -Komunitas
Pihak pertama adalah para akademisi yang menerapkan tri dharma perguruan tinggi yaitu pengembangan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat bidang Ekonomi Kreatif. Pihak kedua adalah perusahaan sebagai pelaku dalam industri di bidang ekonomi kreatif (lihat Tabel 4). Pihak ketiga adalah 23
pemerintah yang berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam pengembangan ekonomi kreatif, dalam hal ini pemerintahan di tingkat kementrian, provinsi, daerah dan kota, serta tingkat kecamatan dan kelurahan. Pihak keempat adalah masyarakat asosiasi sebagai wadah yang menyatukan kepentingan para pelaku usaha dalam industri untuk memenuhi keinginan para pemangku kepentingan. Tabel 4. Daftar Asosiasi sebagai pihak pelaku dalam Ekonomi Kreatif KLUSTER
ASOSIASI
INDUSTRI KREATIF Periklanan (kreasi dan produksi iklan)
Asosiasi Praktisi Periklanan Media (APPM), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Asosiasi Komunitas Periklanan Mahasiswa Indonesia (AKPMI)
Arsitektur (tata kota, pertamanan, dll)
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Pasar Barang Seni
Asosiasi Pedagang Seni dan Antik (APSA), Asosiasi Museum Indonesia (AMI), Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia (AGSI)
Kerajinan
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI), Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Tangan Indonesia (ASMINDO), Asosiasi Kerajinan Kulit Indonesia (AKPI)
Desain (interior, eksterior, grafis)
Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI), Asosiasi Desainer Produk Indonesia, Himpunan Desainer Interior Indonesia
Fashion (tata busana)
Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)
Video
ASIREVI (Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia, AIVI (Asosiasi Industri Video Indonesia),
24
Film
Indonesian Motion Picture Associations (IMPAS; terdiri dari 9 Asosiasi yaitu: Indonesian Film Directors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesia Motion Picture and Audio Association (IMPAct), Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR), Asosiasi Produser Sinema Indonesia (APSI), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Indonesian Production Designer (IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI); Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI); Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI); ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia; Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Penyalur Daya Kreasi Artis Film Pertunjukan Film Keliling); Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika; APFII (Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia).
Fotografi
Asosiasi Fotografer Indonesia, Asosiasi Fotografer Profesional, Asosiasi Fotografer Forensik Indonesia
Permainan Interaktif
Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI), Asosiasi Game Indonesia (AGI)
Musik
Asosiasi Penerbit Musik Indonesia (APMINDO), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia (APMI), Ikatan Pendidik dan Pengelola Pendidikan Musik Indonesia (IPPPMI), Koperasi Seniman Musik Indonesia (KOSMINDO), Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI), Asosiasi Komunitas Musisi Indie Indonesia (ASKOMINDO), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI),
Seni Pertunjukan
Asosiasi Seni Pertunjukan Pariwisata Indonesia (ASPPI), Asosiasi Pendidik dan Praktisi Seni Pertunjukan Indonesia
Penerbitan
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Asosiasi Penerbitan Majalah Print Media Indonesia, Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI),
Percetakan
PPGI, Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI), Asosiasi Perusahaan Percetakan Indonesia, Asosiasi Pengusaha Photocopy & Percetakan; Asosiasi Pengusaha Mesin Cetak
25
Layanan Komputer
Asosiasi Pengusaha Komputer (APKOMINDO), Asosiasi Industri Informatika Indonesia (AiTI)
Piranti Lunak
ASPILUKI, Indonesia.
Televisi
Asosiasi Stasiun Televisi di Indonesia, ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), Asosiasi Pengusaha TV Kabel Indonesia (Aptekindo), Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ASTVKI), Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVISI)
Radio
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI); Asosiasi Radio Model Indonesia (ARMI), Asosiasi Pengarah Berita Radio-Televisi, AMRI (Asosiasi Marketing Radio Indonesia); Penggiat Jaringan Radio Komunitas Indonesia (PJRKI )
Asosiasi
Peranti
Lunak
Indonesia Teknologi Telematika
Riset & Pengembangan Persatuan Konsultan Indonesia (PERKINDO), Asosiasi Konsultan Nasional Indonesia. Kuliner
Asosiasi Pengusaha Pengadaan Barang & Jasa Indonesia (ASPANJI), APJI (Asosiasi Pengusaha Jasa Boga Indonesia) atau Asosiasi Catering Seluruh Indonesia
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Berdasarkan keterlibatan empat pihak untuk menerapkan strategi pemerekan berbasis ekonomi kreatif, beberapa langkah yang dapat dilakukan bersama secara simultan adalah, pertama, identifikasi sejumlah elemen identitas pembentuk kekhasan suatu objek (produk, perusahaan, wilayah). Strategi pemerekan berbasis ekonomi kreatif bagi suatu wilayah, misalnya Provinsi Jawa Barat, dapat menggunakan kekhasan atas produk fashion yang diproduksi di wilayah Jawa Barat. Identitas pembentuk kekhasan suatu wilayah dapat didukung melalui suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah setempat, misalnya melalui peraturan daerah setempat. Kedua, tetapkan positioning wilayah dengan 26
menggunakan sejumlah alat komunikasi pemasaran tradional (iklan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, pemasaran langsung) dan non-tradisional (sosial media seperti facebook, twitter, dll). Pemerintah dan industri dapat bekerja bersama untuk mengoptimalkan strategi positioning suatu wilayah melalui komunikasi pemasaran terintegrasi sehingga membentuk citra wilayah berbasis ekonomi kreatif. Ketiga, melakukan pengukuran atas kesan yang dipersepsikan
27
DAFTAR PUSTAKA ., 2012., Buku Directory Industri Kreatif Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat ., 2013., Laporan Matahari Department Store, 15 May, halaman 4; Maybank Kim Eng Research Pte. LTd ., 2013., RPJMD Pemerintah Provinsi Jawa Barat 20132018 Aaker, David, 1991. Managing Brand Equity : capitalizing on the value of a brand name. New York : The Free Press Aaker, David, 1997. Manajemen Ekuitas Merek. Cetakan Pertama. Jakarta : Mitra Utama Aaker, David A. 2004. Leveraging The Corporate Brand. California Management Review. Vol. 46. no. 3. page. 6-18. Arnkil, Robert; Järvensivu, Anu; Koski, Pasi; & Piirainen, Tatu; 2010. Exploring Quaduple Helix: Outlining user-oriented innovation model. Working Papers. Työraportteja 85/2010. Final report on quadruple helix research for the CLIQ Project. Co-Finance by European Regional Development Fund. Bjerregaard, Toke. (2009) Universities-industry collaboration strategies: a micro-level perspective. European Journal of Innovation Management 12.2 : 161-176. Brundin, Ethel; Wigren, Caroline; Isaacs, Eslyn; Friedrich, Chris; Visser, Kobus. (2008) Triple Helix Networks In A Multicultural Context: Triggers And Barriers For Fostering Growth And Sustainability. Journal of Developmental Entrepreneurship 13.1 (Mar): 77-98. Buerkler, Erich. (2013) Critical success factors for joint innovation: Experiences from a New Zealand innovation platform. The Innovation 28
Journal 18.2 : 0_1,1-23. Carayannis, Elias G & David F.J. Campbell, 2009., ‘Mode 3’ and ‘Quadruple Helix’: toward a 21st century fractal innovation ecosystem. International Journal Technology Management, Vol. 46, No.3/4 Carayannis, Elias G & David F.J. Campbell, 2012. Mode 3 Knowledge Production in Quadruple Helix Innovation Systems, Springer Briefts in Business 7, Rebernik, Miroslav., 2009., Quadruple Helix of Entrepreneurship and Management Education. Review of International Comparative Management., Vol 10, Issue 5, December. Etzkowitz, Henry. 2002. MIT and the Rise of Entrepreneurial Science. London: Routledge. Etzkowitz, Henry & Ranga, Marina. 2010. A Triple Helix System for Knowledge-Based Regional Development: From “Spheres” to “Spaces”. http://www.triplehelixconference.org/th/8/downloads/ Theme-Paper.pdf Fantanariu, Andra Maria. 2012. Greece, The Image Of A Successful Brand?. Alexandru Ioan Cuza University. page 1-8. Grundey, Dainora. (2009). Branding strategies during economic crisis: avoiding the erosion. Economics & Sociology. Vol 2 Issue 2 : 9-22,127. Heding, T., Knudtzen, C.F., Bjerre, M. (2009). Brand Management: Research, Theory and Practice. - Oxon: Routledge. Hu, Mei-Chih; Mathews, John A. (2009) Estimating the innovation effects of university-industry-government linkages: The case of Taiwan. Journal of Management and Organization 15.2 (May): 138154. Jones, Peter; Shears, Peter; Hillier, David; Clarke-Hill, Colin. (2002). Customer perceptions of services brands: A case study of J.D. Wetherspoons; British Food Journal 104.10/11 pp: 845-854. 29
Johnson, William H A. (2007). Managing Collaborations of Engineering Management With Academia and Government in Triple Helix Technology Development Projects: A Case Example of Precarn From the Intelligent Systems Sector. Engineering Management Journal 19.2 (Jun): 12-22. Joske F. G. Bunders; Broerse, Jacqueline E W; Zweekhorst, Marjolein B M. (1999) The Triple Helix Enriched with the User Perspective: A View from Bangladesh. Journal of Technology Transfer 24.2-3 (Aug): 235-246. Kaukonen, Erkki; Nieminen, Mika. (1999) Modeling the Triple Helix from a Small Country Perspective: The Case of Finland. Journal of Technology Transfer 24.2-3 (Aug): 173-183. Kotler, Philip, dan Gary Armstrong. 2013. Principles of Marketing. Fourteenth Edition. Pearson Education Limited. Kotler, Philip, dan Kevin Keller. 2012. Marketing Management, Fourteenth Edition. Pearson Education Limited. Kotler, Philip & Armstrong, Gary, 2012. Principles of Marketing. 14th edition. Boston : Pearson Education Prentice Hall Kotler, Philip & Kevin, L. Keller, 2012. Marketing Management. 14th edition. Boston : Pearson Education Prentice Hall Kotler, Philip & Pfoertsch, Waldemar, 2010. Ingredient Branding : Making The Invisible Visible. Evanston : Springer Li, Xiaoli. (2013). Enlightenment on the Construction of American and Japanese University Technology Transfer Organizations Based on Triple Helix Model, Journal of Applied Sciences 13.15 : 2909-2913. Lincoln, Guy; Williams, Clare Elwood. (1995). Branding pubs - can it work?; International Journal of Wine Marketing. Vol 7, Issue 2 pp: 5-20. Lind, Frida; Styhre, Alexander; Aaboen, Lise. (2013) Exploring university-industry collaboration in research centres. European Journal of Innovation Management 16.1 : 70-91. 30
Melewar, T.C. and Saunders, J. 1998, “Global corporate visual identity systems: standardisation, control and benefits”, International Marketing Review, Vol. 15 No. 4, pp. 291-308. Meredith, Sandra; Burkle, Martha. (2008) Building bridges between university and industry: theory and practice. Education & Training 50.3 : 199-215. Mets, Tonis., 2006., Creating a knowledge transfer environment: The case of Estonian biotechnology., Management Research News., Vol. 29 No. 12, pp. 754-768 Nedeva, Maria; Georghiou, Luke; Halfpenny, Peter. (1999) Benefactors or Beneficiary--The Role of Industry in the Support of University Research Equipment. Journal of Technology Transfer 24.2-3 (Aug): 139-147. Pei-Lee, Teh and Yong Chen-Chen., 2008., Multimedia University’s experience in fostering and supporting undergraduate student technopreneurship programs in a triple helix model., Journal of Technology Management in China., Vol. 3 No. 1, pp. 94-108 Wheeler, Alina. 2009. Designing Brand Identity. Third Edition. Wiley Publishing. Wong, Poh-Kam., 2007., Commercializing biomedical science in a rapidly changing ‘‘triple-helix’’ nexus: The experienceof the National University of Singapore., Journal of Technology Transfer ., 32:367–395 www.triplehelixconference.org/th/8/downloads/Theme-Paper.pdf www.leydesdorff.net Zhou, Chunyan., 2008., Emergence of the entrepreneurial university in evolution of the triple helix: The case of Northeastern University in China, Journal of Technology Management in China, Vol. 3 No. 1, pp. 109-126
32