1
UNIVERSITAS INDONESIA
BRAINWASH SEBAGAI BENTUK STRATEGI KOMUNIKASI PERSUASI DALAM UPAYA PEREKRUTAN ANGGOTA NII
MAKALAH NON-SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Dea Fitria Anasty 1006710565
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI INDUSTRI KREATIF PENYIARAN
DEPOK 15 JANUARI 2014
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
2
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
3
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
4
Brainwash sebagai Bentuk Strategi Komunikasi Persuasi dalam Upaya Perekrutan Anggota NII Dea Fitria Anasty dan Askariani Kartono
1. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Sejak tahun 2011, NII melakukan perekrutan ke sekolah dan kampus untuk menjerat banyak korban guna mendirikan sebuah negara. Tujuan dibutuhkannya banyak anggota adalah karena NII membutuhkan biaya operasional yang besar, maka semua anggota nantinya akan menyetorkan sejumlah uang setiap bulannya. Fenomena ini meresahkan sebab kebanyakan target sasaran NII adalah pelajar dan mahasiswa yang belum punya penghasilan sendiri, sehingga mereka harus bekerja, melupakan pendidikan dan pergaulan, dan jika terpaksa, mereka harus mencuri. Strategi yang digunakan NII untuk merekrut anggota adalah dengan strategi komunikasi persuasi dengan cara brainwash, melalui tahapan-tahapan yaitu selective exposure, fear appeals, repetition, dan commitment. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini yaitu melalui telusuran dokumen yang terkait dengan NII. Hasil analisis ditemukan bahwa dengan metode brainwash, NII berhasil mempengaruhi calon korban. Tahapan dari strategi tersebut yaitu dengan menghadirkan teman terdekat/kerabat (selective exposure), lalu melakukan fear appeals dalam bentuk ancaman-ancaman jika korban tidak bergabung dengan NII, dan yang paling penting dari keberhasilan strategi ini adalah dengan dilakukan berulang-ulang (repetition), sampai korban bergabung dengan NII dan melakukan komitmen seumur hidup dan patuh pada aturan-aturan yang ada di NII.
Kata Kunci Cuci otak dan komunikasi persuasi
Brainwash as a Form of Persuasive Communication Strategies on The Recruitment of NII's New Victims
Abstract
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
5
Since the year 2011, the NII phenomenon in recruiting new victims from many campuses and schools to establish a state has getting troubling. The idea is to gather a big mount of money to fulfil their operating costs. Many students have been trapped in the dark circle of NII and abandoned their education to deposit targeted money every month. There’s must be some particular strategies in persuading adolescent and young adults to join a religion cult. Concerning this issue, I try to describe those strategies NII did to recruit new victims. The theory used in this paper is Persuasive Communication with brainwash method. This method requires several stages such as selective exposure, fear appeals, repetition, and commitment. The results of this analysis is that with the brainwash method, NII was able to persuade potential new victims. The stages are to bring the new victims’ closest friends / relatives (selective exposure), then do the fear appeals in the form of threats if they don't join the NII, and the most important thing is to be done repeatedly (repetition) until the victim join the NII and make a lifetime of commitment in it.
Keywords: Brainwash and persuasive communication
PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Islam Indonesia atau NII adalah gerakan yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewiryo pada tahun 1949. Setelah beliau wafat dan digantikan oleh beberapa orang, kini NII dipimpin oleh Abu Toto. Dibawah kepemimpinannya, NII menjadikan Islam sebagai landasan hukumnya. Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, NII mengalami perubahan pada dasar-dasar akidahnya. Hal ini disebabkan karena konsep dasar NII dicampur dengan aliran Lembaga Kerasulan dan Isa Bugis1. NII bertujuan untuk mendirikan sebuah negara berdasar atas konsep khilafah Islamiyah. Para penggeraknya juga ingin menjadikan hukum Islam sebagai hukum negara. Namun demikian, cara mereka mewujudkan cita-cita tersebut sangat bertolak belakang dengan akidah Islam yang sebagaimana tertulis di kitab suci. Semua anggota harus menyetor sejumlah uang untuk mendanai terciptanya Negara Islam Indonesia. Memang harus diketahui bahwa ujung dari proses ini adalah adanya keinginan untuk memperoleh pendanaan bagi gerakan NII. Tetapi yang mengkhawatirkan adalah petinggi NII menyamakan tindakan 1
Alia Prima Dewi dalam skripsi “Fenomena NII di Kalangan Mahasiswa”, (Universitas Indonesia, 2007), xii abstrak
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
6
meminta uang kepada anggota dengan shadaqah dan infaq. Padahal jelas-jelas itu tidak ada hubungannya dengan shadaqah dan infaq. Mereka mengerti bahwa memperoleh uang tidaklah mudah. Maka mereka melakukan komunikasi persuasi kepada semua calon anggotanya agar tetap mendapat uang itu, meskipun dengan cara berbohong. Berbohong menurut mereka jauh lebih bermanfaat dari pada membiarkan negera dalam keadaan jahiliyah. NII juga menganggap bahwa harta orang lain adalah harta fai’ atau harta rampasan. Bahwa artinya harta tersebut bisa diambil dengan cara apapun untuk kepentingan mendirikan dan menegakkan NII. Fenomena NII ini sudah sangat meresahkan masyarakat Indonesia karena jaringannya sudah sampai ke kampus-kampus. Mereka ditengarai mencuci otak untuk mengindoktrinasi sebuah keyakinan tertentu. Berbagai cara dan strategi dilakukan untuk membangun negara NII guna mendapatkan sejumlah dana. Oleh karena itu diperlukan banyak orang yang harus direkrut untuk menjadi anggota untuk dapat menghimpun dana dalam jumlah yang besar setiap bulannya. Salah satu strategi yang dilakukan adalah strategi cuci otak. Strategi ini dipilih mengingat sasaran calon anggota NII sebagai korban adalah meliputi semua lapisan, baik yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Untuk golongan yang berpendidikan, membutuhkan suatu strategi khusus mengingat mereka memiliki pola pikir dan pertimbangan yang lebih logis. Jadi, strategi cuci otak dianggap suatu pilihan yang tepat. Cuci otak secara konseptual sering kali disebut "teori robot."2 Ini adalah sebuah konsep dimana orang dapat dibuat menjadi robot, sehingga mereka akan melakukan tindakan atau berperilaku sesuai yang diperintahkan dan dalam cara yang sama sekali berbeda dengan keyakinan dan nilai-nilai yang sebelumnya mereka anut. Bentuk cuci otak dipopulerkan dalam sebuah buku terbitan tahun 1959 dan film The Manchurian Candidate (1962), dimana seorang tentara Amerika di Korea diprogram oleh penculik komunis untuk melakukan pembunuhan. Melalui fenomena NII inilah penulis berusaha menggali lebih dalam dengan menggunakan teori Psikologi Sosial sebagai acuan untuk mendeskripsikan permasalahan yaitu proses brainwash yang terjadi pada individu sebagai korban NII.
Permasalahan 2
Michael Haag, “Does Brainwash Exist?”. www.jonestown.sdsu.edu.com, 2012. Diakses pada 3 Januari 2014 pukul 16.50
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
7
Setiap
tahun,
ribuan
remaja
dan
young
adults
di
seluruh
dunia
meninggalkan/melupakan nilai-nilai ajaran yang telah mereka anut sejak kecil bersama dengan keluarga dan teman-teman mereka, untuk menjadi anggota perekrutan agama dan politik3. Di Indonesia, ini sudah terjadi sejak tahun 2001. Sejak tahun tersebut, NII mulai merekrut mahasiswa sebagai tambang emas untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk kegiatan NII. Gerakan NII membuat resah karena mahasiswa yang sudah menjadi anggota biasanya bermasalah dengan bidang akademis dan pergaulannya sehari-hari, sebab mereka sibuk bekerja untuk menutupi uang infaq biaya pembangunan negara yang harus disetor tiap bulan4. Diantara para korban, ada yang terkena jerat program Qiradh dan lddikhar (tabungan), sampai sebanyak 250 gram emas, bahkan salah seorang pejabat Bank Indonesia (sekarang mantan) sampai rela menyerahkan 2,5 kg emas dan dua orang putranya pun, sempat pula menjadi perampok, yang untuk itu mereka harus merelakan tulang iganya putus lantaran demi untuk menyelamatkan diri dari kejaran masa, hanya karena mengejar target setoran yang harus dibayarkan kepada jama’ah. Dana umat yang disedot oleh NII struktural sudah lebih dari satu triliyun yang kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan mewah Ma’had Al Zaytun. Untuk bisa mencapai nilai yang begitu tinggi tersebut, dibutuhkan banyak sekali anggota. Jumlah anggota NII sendiri dari tahun 1993 s/d tahun 2000 adalah sebanyak 60.000 orang, sekalipun banyak keterangan dari mantan NII yang menyatakan bahwa jumlah anggotanya sekarang lebih dari 100.000 orang, namun diperkirakan terjadi banyak pula yang keluar ataupun yang masuk5. NII sadar mereka butuh strategi untuk menjerat banyak orang agar mau masuk ke dalam jaringannya, yaitu dengan cuci otak. Fenomena cuci otak seperti yang dilakukan NII merupakan suatu hal yang bisa saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tentunya dengan intensitas yang berbeda-beda. Cuci otak bisa terjadi setiap saat tanpa disadari oleh orang yang mengalami. Berdasarkan fenomena tersebut, yang menjadi fokus permasalahan jurnal ini adalah pada proses komunikasi persuasi yang dilakukan pihak NII dengan cara brainwash terhadap calon anggota NII. Juga pada bagaimana individu anggota warga negara bisa terpersuasi selama proses perekrutan NII. Apa saja pesan-pesan yang disampaikan, juga bagaimana cara 3
James Brian Stiff, Persuasive Communication, (The Guilford Press, 2003), hal. 8 Alia Prima Dewi dalam skripsi “Fenomena NII di Kalangan Mahasiswa”, (Universitas Indonesia, 2007), xii abstrak 5 Al-Ustadz Hartono Ahmad, “Bukti Kesesatan Negara Islam Indonesia”, http://moslemsunnah.wordpress.com, 2011. Diakses pada 3 Januari 2014, pukul 17.03 4
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
8
penyampaiannya, sehingga individu bisa terpersuasi. Dengan fakta bahwa “korban” NII adalah siswa dan mahasiswa, tentunya ada teknik dan strategi tertentu yang digunakan, serta alasan-alasan mendasar mengapa korbannya adalah remaja umur 15-22 tahun.
TINJAUAN TEORITIS 1. Brainwash Brainwash atau cuci otak adalah sebuah invasi privasi dimana pelaku berusaha untuk mengendalikan bukan hanya bagaimana orang lain bertindak, tetapi juga apa yang mereka pikirkan. Hal tersebut membangkitkan rasa takut yang terdalam akan hilangnya kebebasan dan bahkan identitas. Istilah itu sendiri mengacu pada program politik di Komunis Cina dan Korea. Cuci otak dilakukan diberbagi aspek kehidupan, diantaranya agama, politik, iklan dan media, pendidikan, kesehatan mental, militer, sistem peradilan pidana, kekerasan dalam rumah tangga, dan penyiksaan6. Menurut Edward Hunter, tujuan brainwash adalah untuk mengubah pikiran secara radikal sehingga korban menjadi boneka hidup atau robot manusia. Brainwash dilakukan untuk menciptakan keyakinan baru dan proses berpikir baru yang diajarkan ke dalam pikiran korban agar menjadi mekanisme yang mendarah daging.
2. Persuasive communication Komunikasi persuasi sebagai pesan yang ditujukan untuk membentuk, menguatkan, atau mengubah respons seseorang7. Keefektifan persuasi sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya adalah kualitas dari sumber atau komunikator yang menyampaikan pesan, kemudian konten yang disampaikan, bagaimana cara menyampaikan pesan persuasi tersebut, dan terakhir adalah tujuan dan kemampuan dari objek sasaran. 3. Credibility Kredibel didefinisikan secara luas sebagai kualitas atau kebenaran bukti8. Seorang komunikator yang dinilai kredibel, dalam artian, dapat dipercaya pesan-pesan yang disampaikan, akan jauh lebih bisa mempengaruhi objeknya. Suatu kredibilitas dapat dicapai 6
preface
Kathleen Taylor, Brainwashing: The Science of Thought Control, (Oxford University Press Inc., 2004),
7
James Brian Stiff, Persuasive communication, (The Guilford Press, 2003), hal. 4 Brown/Campbell, The Cambridge Handbook of Forensic Psychology, ( Cambridge University Press, 2010), hal. 155 8
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
9
dengan banyak cara, misalnya gelar pendidikan, cara penyampaian, dan lain sebagainya. Expertise dan trustworthiness adalah contoh dari aspek kredibel. Beberapa aspek kredibilitas menurut Johnson adalah sebagai pribadi dia dapat menunjukkan sifat-sifat yang bisa diandalkan, bisa diharapkan, dan konsisten. Seseorang juga harus memiliki intensi atau motif yang baik. Ungkapannya bersikap hangat dan bersahabat. Memiliki predikat atau cap yang telah diberikan masyarakat menyangkut sifat-sifatnya yang bisa dipercaya. Bersifat dinamis, yaitu proaktif, agresif, dan empatik9. 4. Expertise Expertise atau keahlian didefinisikan secara berbeda-beda di berbagai disiplin ilmu. Di dalam ilmu Psikologi keahlian didefinisikan sebagai kemampuan kognitif manusia yang diperoleh dengan cara berulang kali melakukan tugas-tugas. Orang-orang yang memiliki keahlian dalam suatu topik tertentu disebut ahli atau expert. Seorang individu dapat memiliki berbagai tingkat keahlian dalam topik atau subjek yang berbeda-beda10. Komunikator yang berwawasan luas dan mengerti betul tentang apa yang mereka sampaikan, mampu dengan mudah mentransfer pesan tersebut kepada pendengarnya dan tak jarang berujung pada perubahan sikap. Berbeda dengan orang-orang yang hanya asal bicara tanpa mengacu pada suatu sumber tertentu. Seseorang yang melakuan rapid speech dan dapat dengan cepat mengungkapkan inti-inti dari pesan yang hendak disampaikan, memberikan efek pengaruh yang lebih besar dibanding orang-orang dengan slower speech atau pengutaraan pesan yang bertele-tele. Sebab, slower speech dinilai kurang meyakinkan, kurang usaha yang kuat untuk mencapai makna pesan, dan bodoh11. 5. Trustworthiness Trust atau kepercayaan mutlak diperlukan agar suatu relasi tumbuh dan berkembang. Untuk membangun sebuah relasi, dua orang harus saling mempercayai. Hal ini dilakukan pada saat menentukan dimana mereka harus mengambil resiko dengan cara saling mengungkapkan lebih banyak tentang pikiran, perasaan, dan reaksi mereka terhadap situasi yang tengah mereka hadapi, atau dengan cara saling menunjukkan penerimaan, dukungan, dan kerja sama. 9
A. Supratiknya, Tinjauan Psikologis: Komunikasi Antarpribadi, (Penerbit Kanisius, 1995), hal. 35 Jun Zhang dalam disertasi “Understanding and Augmenting Expertise Networks”, (The University of Michigan, 2008), hal. 3 11 Ann L. Webber, Social Psychology, (Harpercollins, 1992), hal. 138 10
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
10
Trustworthy atau dapat dipercaya berarti rela menanggapi orang lain yang mengambil resiko dengna cara yang menunjukan jaminan bahwa orang lain tersebut akan menerima akibat-akibat yang menguntungkan12. Seorang komunikator akan lebih dinilai kredibel jika dia memiliki karakteristik trustworthy atau bisa dipercaya. Sumber yang terpercaya adalah mereka yang dianggap tulus dan jujur dalam menyampaikan pesan. Karena value atau nilai dari kepercayaan tersebut, seseorang yang sebenarnya nonexpert atau tidak ahli, dapat menjadi komunikator yang kredible13. 6. Fear Appeal Fear atau rasa takut umumnya terangsang ketika situasi dianggap sebagai sesuatu yang mengancam fisik atau psikologis seseorang dan berada diluar kendali seseorang14. Fear appeal adalah upaya menakut-nakuti komunikan untuk melakukan perilaku yang diinginkan komunikator15. Strategi yang menjadi faktor penting untuk bisa mempersuasi seseorang adalah emotional appeal. Konsep ini menggambarkan bahwa pesan dapat lebih efektif mempengaruhi penerima jika pesan itu membangkitkan respon emosional yang kuat pada penerima. Rasa takut merupakan suatu bentuk emosi. Pesan yang memperingatkan akan bahaya atau kesulitan jika objek tidak mengikuti apa yang ditawarkan oleh komunikator, akan menimbulkan ketakutan di diri objek yang membuat mereka berpikir untuk menerima tawaran si komunikator16.
Gambar 1.1
Diagram tersebut menunjukkan bahwa pesan yang mengandung ancaman terhadap rasa takut lawan bicara, akan berpengaruh pada perubahan perilaku17.
12
A. Supratiknya, Tinjauan Psikologis: Komunikasi Antarpribadi, (Penerbit Kanisius, 1995), hal. 26 Ann L. Webber, Social Psychology, (Harpercollins, 1992), hal. 138 14 James Price Dillard, Michael Pfau, The Persuasion Handbook: Developments in Theory and Practice, (Sage Publications, 2002), hal. 291 15 Ibid, hal. 49 16 Ann L. Webber. Op.Cit. hal. 142 17 James Brian Stiff, Persuasive communication, (The Guilford Press, 2003), hal. 33 13
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
11
7. Channel: Personal Contact Channel adalah sarana atau media yang digunakan sender untuk menyampaikan pesan kepada receiver18. Ada tiga jenis channel yang digunakan untuk menyampaikan pesan, diantaranya interpersonal, non-verbal, dan mass media (baik elektronik, ataupun nirkabel). Di dalam channel interpersonal terhadap komunikasi satu lawan satu antara sender dan receiver. Saat penyampaian pesan secara interpersonal, termasuk juga di dalamnya komunikasi verbal dan non-verbal. Ini adalah bentuk pertama dari komunikasi antarmanusia. Ada pula yang disebut Channel Noise, yaitu gangguan atau hambatan yang terjadi ketika penyampaian pesan. Noise banyak terjadi di komunikasi massal, sehingga terkadang pesan yang sender berusaha sampaikan, tidak sesuai dengan apa yang receiver terima. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menyampaikan pesan adalah dengan kontak personal langsung dengan receiver. Proses persuasi akan lebih terjamin tingkat keefektivannya jika komunikator melakukan kontak langsung atau secara personal dengan objek atau penerima. Teknik ini termasuk juga ke dalam salah satu teknik marketing yang disebut door to door marketing19. Dinilai akurat untuk mempersuasi objek karena dengan menggunakan teknik kontak personal ini, akan sulit bagi objek untuk menolak atau menyanggah pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dijelaskan bahwa “Door to door marketing shows that ‘turning off the radio’ is easier than ‘turning away a living person’.” 8. Selective Exposure & Needs Selective exposure adalah perilaku yang sengaja dilakukan untuk mencapai dan mempertahankan kontrol persepsi dari stimulus tertentu20. Exposure terjadi ketika salah satu dari lima stimuli berada di dalam jangkuan penerimaan utama dari objek atau penerima pesan. Stimuli-stimuli tersebut adalah penglihatan, pendengaran, indra perasa, peraba, dan penciuman. Jika komunikator bisa menguasai setidaknya satu dari kelima stimuli tersebut, maka keempat lainnya akan dilupakan sejenak oleh objek, dan akan fokus menerima pesanpesan yang mengenai salah satu stimuli tadi21. Dengan menguasai stimuli yang dimiliki oleh lawan bicara, maka komunikator akan mampu menyampaikan pesan dengan baik dan lawan bicara pun akan bisa menerima pesan tersebut juga. Kemudian berhubungan dengan selective 18
Uma Narula, Communication Models, (Atlantic Publishers, 2006), hal. 5 Ann L. Webber, Social Psychology, (Harpercollins, 1992), hal. 145 20 Dolf Zillmann, Jennings Bryant, Selective Exposure to Communication, (Routledge, 2008), ch. 1 21 Johan Botha, Cornelius Bothma, Annekie Brink, Introduction to Marketing, (Paarl Printing, 2004), 19
hal. 44
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
12
exposure adalah needs atau kebutuhan. Sebuah pesan akan lebih persuasif dipihak objek apabila objek merasa membutuhkan pesan tersebut, bisa tawaran, jasa, atau barang. Ada satu kebutuhan yang dimiliki oleh objek, sehingga mempengaruhinya untuk menggunakan atau memakai jasa/barang yang ditawarkan. Beberapa pesan persuasif juga bisa diciptakan untuk membangkitkan kebutuhan, menghubungkan mereka ke masalah sederhana, dan menjanjikan solusi dengan produk/tindakan tertentu. 9. Age “Popular culture often portrays children and remaja as gullible dan labil, quickly changin their loyalties, open to new ideas.”22. Kriteria umur ini digunakan seseorang untuk mengidentifikasi objek yang ingin dipersuasi. Jika mau berhasil, maka kriteria umur harus dikuasi betul. Seorang komunikator harus tau siapa target objeknya dengan menyesuaikan dengan cara dia menyampaikan pesan. Remaja dan young adults memiliki sifat yang labil dan perilaku cenderung berubah-ubah. Sedangkan orang dewasa lebih konservatif dan cenderung menolak inovasi. Dengan mengetaui hal ini, maka agar bisa merubah perilaku seseorang dan melakukan persuasi, bijaknya dilakukan kepada remaja dan young adults. Sementara itu, ada pula konsep yang dinamakan impressionable years hypothesis yang menjelaskan bahwa anak-anak dan young adults dengan kisaran umur 18 sampai dengan 25 memiliki sikap atau attitude yang tidak stabil dibanding individu dengan range umur lain. Ini artinya, attitude mereka lebih cenderung sering berubah untuk menanggapi pengalaman-pengalaman baru, sama halnya dengan pengaruh sosial, seperti persuasi. 10. Repetition Repetisi adalah suatu informasi yang diulang-ulang, cepat atau lambat, bila kita tidak hati-hati dan sadar, akan kita terima sebagai suatu kebenaran. Cara ini paling banyak digunakan untuk menanam bibit pikiran dan belief suatu produk. Tujuan repetisi atau pengulangan adalah menembus filter mental yang ada di pikiran sadar, sehingga unit informasi bisa masuk ke pikiran bawah sadar23. Manusia dibombardir dengan pesan-pesan persuasi dari media atau perorangan untuk mempromosikan barang, jasa, ataupun orang. Penelitian menunjukan bahwa pesan persuasi adalah bagian dari komunikasi persuasif. Dan jika pesan-pesan tersebut diulang dengan frekuensi yang terus menerus, maka lambat laun
22 23
Ann L. Webber, Social Psychology, (Harpercollins, 1992), hal. 147 Adi W. Gunawan, The Secret of Mindset, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 37
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
13
subjek pun akan terpengaruh untuk mengikuti apa yang komunikator inginkan 24. Repetisi sangat penting karena merupakan salah satu upaya terbaik untuk bisa merubah perilaku seseorang. Tanpa repetisi, pesan yang berbobot sekalipun tidak akan memberi efek berarti pada objek. Dengan melakukan repetisi penyampaian pesan, perlahan-lahan terbentuklah sebuah pola diotak objek sesuai dengan apa yang komunikator inginkan. Dan saat itulah attitude change dapat tercapai. 11. The Power of Commitment Komitmen didefinisikan sebagai tindakan mengikat diri sendiri, baik secara intelektual maupun emosional, pada serangkaian kegiatan yang bermakna25. Komitmen tidak bergantung pada keadaan. Apapun situasi dan kondisinya, seseorang akan terus berjalan karena adanya komitmen26. Tidak semua komunikator mengetahui pentingnya melakukan sebuah komitmen untuk menegaskan perubahan perilaku. Semua proses perubahan perilaku akan sia-sia jika tidak ditutup dengan sebuah komitmen. Sebuah komitmen mengikat komunikator dengan objek terhadap suatu hal yang sudah disepakati bersama. Tanpa adanya komitmen, objek yang sudah terpengaruh dan berubah perilakunya, bisa kembali lagi ke perilaku semula. Tetapi dengan dilakukannya komitmen, sudah dipastikan komunikator akan bisa mengikat objek pada kesepakatan yang sudah dibuat27.
PEMBAHASAN Persuasi secara harafiah berarti hal membujuk, hal mengajak, atau hal meyakinkan28. Persuasi adalah influence yang dibatasi dengan hanya komunikasi, baik komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), maupun komunikasi non-verbal (dengan menggunakan gerakan atau bahasa tubuh)29. Kebanyakan perilaku individu dipengaruhi oleh lingkungannya. Meski demikian, tidak mudah untuk mempengaruhi, apalagi merubah perilaku seseorang. Perubahan perilaku terjadi karena individu menerima informasi dan pengalaman-pengalaman baru. Selain itu, 24
Ann L. Webber, Social Psychology, (Harpercollins, 1992), hal. 148 Fidelis E.Waruwu, Membangun Budaya Berbasis Nilai, (PT Alex Media Computindo, 2010), hal. 129 26 Madaliem Lembong H, Treasure: Secret Mining Hidden Potensials, (Penerbit Kanisius, 2006), hal. 98 27 Ann L. Webber. Op.Cit. hal. 151 28 Onong Uchjana Effendy, Human Relations dan Public Relations, (Mandar Maju, 1993), hal. 103 29 Purnawan E.A, Dynamic Persuasion: Persuasi Efektif dengan Bahasa Hipnosis, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 15 25
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
14
perubahan perilaku juga termasuk hasil dari persuasi komunikasi, merupakan bentuk dari pengaruh yang ditujukan untuk merubah kepercayaan, perasaan, dan perilaku seseorang. Untuk mampu merubah kepercayaan dan perilaku seseorang, haruslah melalui suatu proses persuasi komunikasi. Teknik inilah yang digunakan pihak NII dalam membujuk dan mengajak calon korban untuk menjadi anggota. Dalam sebuah artikel berita berjudul “Beginilah Cara NII Merekrut Saya”30 seorang mantan calon korban NII menguraikan detail prosesi dia direkrut oleh NII, mulai dari awal bertemu dengan agen NII, sampai perjumpaannya dengan Presiden NII. Peristiwa tersebut terjadi pada HD, inisial samaran, pada tahun 2006, sesaat sebelum dia resmi menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di kawasan Depok, Jawa Barat. HD bertemu dengan salah seorang dari agen NII di sebuah toko buku. Agen itu menegur HD, mengajak berbincang dan kemudian meminta HD menjadi responden dari sebuah penelitian tentang mahasiswa baru yang menurutnya sedang ia lakukan. Dewi, demikian agen itu memperkenalkan diri, mengaku sebagai mahasiswi dari kampus yang hendak HD masuki. Mereka bertukar nomor telepon dan janjian bertemu lagi keesokan harinya. Besoknya, mereka kembali bertemu di sebuah tempat makan di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Depok. Awalnya, Dewi memperlakukan HD layaknya responden penelitian. Ia menanyakan sejumlah pertanyaan sesuai kuesioner. Setelah pertanyaan kuesioner habis, Dewi membuka pembicaraan tentang hal lain. Ia bercerita tentang seorang kawannya yang mengikuti seminar agama di Malaysia. Kepada Dewi, temannya itu bercerita, seminar tersebut membahas seputar penerjemahan kitab suci Al Quran. Berdasarkan cerita temannya, tutur Dewi, kaum Islam akan kembali bangkit pada suatu hari. Kebangkitan Islam dimulai dari sebuah negara yang dilintasi garis khatulistiwa. Negara itu, kata Dewi, adalah Indonesia. Sejak inilah, HD lantas tertarik dengan cerita Dewi dan kerap bertanya terus. Dewi akhirnya melakukan penawaran untuk bertemu dengan teman Dewi yang mengikuti seminar itu. Teman Dewi menjelaskan sambil membuka-buka Al Quran lengkap dengan terjemahannya. Awalnya, ia menceritakan kebangkitan Islam. Ujungnya, ia bercerita tentang konsep hijrah. Dengan menggunakan penggalan ayat-ayat Al Quran, ia menjelaskan konsep hijrah. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad, katanya, hijrah itu diperlukan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Lalu, bagaimana caranya hijrah di zaman sekarang? Dengan gaya lugas dan meyakinkan, lelaki itu melanjutkan, hijrah dapat 30
Heru Margianto dalam artikel “Beginilah Cara NII Merekrut Saya”, Kompas, 2011. Diakses pada 28 Desember 2013 pukul 20.39
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
15
dilakukan dengan berpindah negara. Dari negara Republik Indonesia ke Negara Islam Indonesia. HD mengaku makin penasaran dengan penjelasannya itu. Apalagi saat si lelaki itu bercerita bahwa NII itu berada di dalam NKRI. Namun, ideologi negara itu, katanya, bukan Pancasila. Jika ingin hijrah, maka harus berpindah ideologi dari Pancasila ke ideologi Islam. HD sempat memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan. "Kalau begitu, hijrah ini gerakan ekstrem kanan, dong? Berusaha mengubah ideologi? Bagaimana bisa di dalam suatu negara ada negara lain? Seperti apa negaranya? Bagaiamana warganya? Enggak masuk akal." Lelaki itu menjawab, "Ibaratnya goa yang gelap, jika ingin melihat apa yang ada di dalam goa, maka Anda harus masuk dulu ke dalam goa."Dalam pertemuan itu, tak habis-habis pertanyaan HD ungkapkan kepadanya. Lelaki itu pun memutuskan untuk mengajak HD bertemu langsung dengan Kepala Negara Islam Indonesia. Kepala negara tersebut, kata dia, akan menjelaskan lebih jauh tentang konsep hijrah. Hijrah dilakukan tidak sekedar pindah tempat dari Makkah ke Madinah, bahkan tidak sekedar mendapatkan tujuan duniawi, tapi ada tujuan utama yaitu untuk mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya31. NII mengadaptasi konsep ini untuk menggambarkan perpindahan kewarganegaraan dari Indonesia ke NII. Semua warga NII harus sudah hijrah, karena kalau tidak, amal ibadahnya akan percuma. NII mempercayai dan menakut-nakuti korban (fear appeals) bahwa sebesar apapun amalan yang dilakukan di “negara Indonesia”, tidak akan diijabah atau diterima oleh Yang Maha Kuasa, karena negara tersebut sudah “kotor” dan dipenuhi dosa-dosa. Jadi, kalau mau amal ibadahnya diterima, harus pindah ke negara yang masih suci. Setelah setuju dengan konsep tersebut, selanjutnya calon warga negara harus mengganti namanya dengan nama islami. Terakhir, jika sudah benar-benar yakin akan bergabung, calon tersebut harus membayarkan sejumlah uang, sekurang-kurangnya dua juta rupiah, untuk pendanaan negara. Jika calon tidak punya uang, maka bisa dilakukan proses negosiasi harga. Lalu petinggi NII menawarkan program cicilan tiga bulan. Tetapi jika calon masih juga tidak menyanggupi, petinggi NII menyarakan untuk mengambil uang dari keluarga, saudara, kerabat, atau intinya orang lain. Keberhasilan seseorang (dalam hal ini pihak NII), untuk mempengaruhi calon korban sampai pada tahap perubahan perilaku membutuhkan suatu analisis bukan saja dari pihak
31
Shobahussurur dalam artikel “Islam dan Perobahan”, Jakarta, 2011. Diakses pada 3 Januari 2014 pukul 18.46
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
16
korban namun juga analisis dari sisi pelakunya. Dampak yang ditimbulkan pada korban itu merupakan hasil dari strategi komunikasi persuasi yang dilakukan pelaku. Ketika tujuan dari pelaku adalah melakukan cuci otak, maka perlu suatu strategi khusus agar bisa efektif. Proses cuci otak yang dialami setiap individu tidak sama dan akan berbeda dengan individu lain tergantung dengan latarbelakang sasaran korbannya. Kriteria yang menjadi acuan sasaran adalah antara lain dari segi umur, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan. Kemudian dari sisi calon korban, ada suatu proses pula yang dialami sampai pada tahap perubahan perilaku dan sikap. Tahapan-tahapan tersebut mulai dari channel, atau media, yang digunakan pelaku sebagai kontak person, misalnya menggunakan orang terdekat dari calon korban atau yang dekat dengan lingkungan sosial calon korban, seperti anggota keluarga, teman dari lingkungan kampus, kerabat, atau teman sepermainan. Setelah mendapatkan orang yang tepat sebagai perantara, tahapan selanjutnya adalah melakukan pendekatan melalui hobi atau kegiatan yang sering dilakukan korban (selective exposure). Pembicaraan dari pihak NII ini akan selalu mengaitkan dengan hobby korban, sehingga obrolan berlangsung santai dan korban tidak curiga. Dengan melakukan selective exposure, sekaligus aspek atensi atau perhatian calon korban untuk menjadi anggota baru NII juga dapat tercapai. Semua itu tidak akan berhasil kalau hanya dilakukan sekali, tetapi harus berkali-kali, sesuai dengan konsep persuasive communication agar bisa mencapai suatu perubahan perilaku pada diri korban. Kalau pelaku bisa berhasil merubah perilaku korban, dengan sendirinya korban menjadi anggota baru NII. Disitulah, korban harus melakukan komitmen. Tujuan komitmen dilakukan diawal perekrutan ini karena pihak NII tahu betul bahwa komitmen berperan sangat besar. Seseorang yang sudah melakukan komitmen masuk ke dalam anggota NII, maka tidak bisa keluar lagi. Berdasarkan dari semua konsep tersebut diatas, maka kasus tersebut dapat dianalisis lebih dalam lagi.
Credibility: Expertise dan Trustworthiness Agen-agen yang diturunkan NII ke lapangan untuk merekrut dan menjerat calon korban memiliki tingkat keahlian dan tingkat kepercayaan yang tidak perlu diragukan lagi. Agen-agen ini dalam menyampaikan pesannya selalu merujuk pada ayat-ayat Al-Quran sehingga sulit bagi calon korban untuk menyanggah ajakan untuk bergabung dalam NII. Bahkan, jika perlu, Presiden NII sendiri yang turun tangan langsung menghasut calon korban. Seperti penggalan lanjutan artikel berikut:
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
17
HD berada seorang diri di kamar, menunggu sang kepala negara mengetuk pintu. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tanpa menoleh, HD berdiri, menyambut kedatangan sang kepala negara. Kemudian tampak di hadapan HD seorang lelaki muda sekitar 30 tahun mengenakan safari, berdasi, dan memakai peci hitam. Sekilas penampilannya tampak seperti mantan Presiden Soekarno. Lelaki yang berkulit agak gelap dan bermata sayu itu adalah sang kepala negara. Tak heran, calon korban tunduk dan menurut pada presiden NII. Baru dari sisi pakaiannya saja, komunikator sudah menimbulkan efek segan dan percaya. Sudah dipastikan isi pesan yang disampaikan oleh komunikator juga berbobot dan kredibel. Dengan aksesoris peci hitam yang bernuansa Islamiyah, apapun yang komunikator bicarakan berkenaan dengan ajaran agama Islam, yang juga mengacu pada Al-Quran, bisa dengan cepat diterima oleh objek. Apalagi objek cuma mahasiswa biasa yang notabene tidak lebih berpengalaman dibanding komunikator untuk urusan agama Islam. Objek pun terpengaruh karena merasa bahwa komunikator adalah orang yang ahli dibidangnya, sehingga argumennya tak perlu diragukan lagi. Dalam tahap ini saja, objek mendapati dirinya terpengaruh oleh komunikator.
Fear Appeals Respon emosional yang diterima oleh HD sebagai objek adalah mengetahui bahwa seluruh kegiatan ibadah yang dia selama ini lakukan di “negara Indonesia” sia-sia dan tidak akan terhitung sebagai amalan ibadah, sebab negara Indonesia sudah “kotor” dan tempat berbuat maksiat semua warganya. Apalagi, kalau HD tidak hijrah ke NII, maka kegiatan ibadahnya sampai akhir hayat juga tidak akan dianggap sah. Di sini jelas HD mengalami disonansi, yaitu dimana ketika informasi dari luar pendiriannya mempengaruhi pendiriannya. HD merasa apakah benar-benar perlu untuk hijrah ke NII. Hal sensitif mengenai agama ini jelas memberi pengaruh emosional yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan logika. Ditambah lagi, Dewi sebagai agen komunikator NII terus menginformasikan dampak-dampak negatif dan kerugian jika tidak bergabung dengan NII, membuat HD takut. Dia kemudian berpikir bahwa apa yang agen NII katakan adalah benar. Terlebih, persuasi agen NII dengan strategi ini diikuti dengan rekomendasi saran dan solusi, yaitu hijrah ke NII. HD merasa bahwa ada solusi bagi ketakutan dan kekhawatirannya (amal ibadahnya tidak diijabah Tuhan), maka dia pun terpengaruh untuk menerima tawaran itu.
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
18
Channel: Personal Contact Ini dipraktikan oleh agen NII yang benar-benar mendatangi langsung calon korban mereka. Perkara usaha mereka berhasil atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting mereka melakukan kontak personal dengan calon korban tersebut. Jadi, tidak salah kalau banyak korban berjatuhan dibawah teknik persuasi NII ini. Hubungan langsung dengan korban akan sangat jitu untuk mempersuasi mereka. Seperti yang dijelaskan di tinjauan teori, akan lebih sulit untuk melawan orang secara langsung, dibanding membuang flyer atau mematikan radio. Agen NII yang diterjunkan pun tidak semata-mata orang asing (selective exposure). Terkadang ada dari mereka yang teman dekat atau tempat satu tempat kuliah sang calon korban, sehingga pesan yang disampaikan akan lebih bisa diterima oleh calon korban. NII mengerti betul bahwa menggunakan channel seperti media massa tidak akan bisa berhasil merekrut banyak anggota karena banyaknya channel noise, sehingga cara yang ditempuh adalah interpersonal communication.
Selective Exposure Cara NII untuk mempersuasi korban adalah dengan melakukan pendekatan selective exposure dimana hanya hal-hal yang terkait dengan kegiatan dan kegemaran korban saja yang akan diekspos oleh mereka. Misalnya menggunakan pendekatan hobi dan minat dari korban. Sehingga ketika mengobrol, agen NII dan calon korban tidak canggung dan bisa langsung akrab. Kegemaran dan kegiatan calon korban pun menjadi refrensi agen NII untuk mempersuasi. Kalau calon korban suka datang ke seminar-seminar, maka agen NII akan menawarkan calon korban untuk ikut ke seminar. Dan dalam kasus HD, HD yang mahasiswa diajak mengisi kuisioner yang notabene tugas sehari-hari anak kuliahan. HD tidak sadar bahwa itu adalah jembatan bagi agen NII untuk menjeratnya.
Kriteria Umur Calon Korban NII mengerti betul target objek yang akan dia jaring untuk menjadi anggota NII. Korban NII rata-rata anak sekolahan dan kuliahan dengan rentang umur 18-24. Umur tersebut mengidentifikasi kelabilan dan keterbukaan akan pengalaman-pengalaman baru. Remaja
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
19
cenderung suka eksplorasi dan memiliki keingintahuan yang tinggi. Itu sebabnya, ketika agen NII melakukan persuasi untuk bergabung, mereka secara terbuka mengiyakan. Agen NII tidak menjaring orang dewasa sebagai korbannya, bukan karena alasan lain, tetapi sematamata karena usaha tersebut akan sia-sia. Sebab orang dewasa tertutup pada invoasi dan pengalaman baru.
Repetition NII mengerti bahwa untuk bisa mencapai sebuah perubahan perilaku, penyampaian pesan harus secara terus menerus, tidak bisa hanya sekali. Maka agen-agen NII pun setelah mendapat kontak calon korban, langsung membuntuti sang korban agar tidak lolos dari jeratan. Secara berkala, agen NII berkomunikasi dan mengajak bertemu. Terkadang hanya untuk dimintai tolong mengisi kuisioner, sampai datang ke seminar tertentu. Pada intinya, agen NII ingin meningkatkan keakraban kepada calon korban agar calon korban merasa nyaman berada di dekat agen NII. Dengan demikian, dapat dengan mudah agen NII mengajaknya bergabung. Pesan-pesan repetisi ketika sudah diterima oleh calon korban, akan sangat sulit untuk ditolak.
The Power of Commitment Dan semua tahapan di atas tidak akan sempurna tanpa adanya komitmen dari HD untuk bergabung dengan NII. Dalam kasus ini, HD menolak. Karena dia mulai merasa adanya ketidaklogisan dalam negara tersebut dan cara-caranya yang menghalalkan perbuatan tercela. Berikut adalah komitmen yang ditawarkan oleh NII sebelum HD bergabung: 1. Mengganti nama HD dengan nama islami. 2. HD harus membayar sejumlah uang untuk biaya pembangunan negara. 3. HD harus menandatangi surat-surat perjanjian anggota. HD menolak untuk berkomitmen dan dia berhasil lolos sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam jerat NII. Seperti yang dijelaskan di tinjauan teori bahwa seberhasil apapun semua tahapan untuk merubah perilaku seseorang, jika tidak diakhir dengan sebuah komitmen dari kedua belah pihak, maka usaha tersebut akan sia-sia.
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
20
KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa teknik perekrutan anggota NII adalah dengan menggunakan teknik persuasi komunikasi, yaitu brainwash dengan tahapan-tahapan selective exposure, fear appeals, repetition, dan commitment. Agen-agen yang diturunkan untuk melakukan personal contact dengan calon korban dipilih yang kredibel secara trustworthiness dan expertise, misalnya perempuan-perempuan berhijab rapi, atau laki-laki dengan pakaian muslim lengkap, dan selalu mereferensikan ucapannya dengan kalimat-kalimat yang ada di dalam kitab suci, sehingga mengobrol dengan agen NII saja sudah mampu membuat subjek penasaran. Rasa penasaran inilah yang berkembang menjadi rasa ingin tahu dan akhirnya menenggelamkan calon korban ke dalam lembah perekrutan NII yang kelam dan menyesatkan. NII menjerat korban dengan kisaran umur 18-25 tahun bukanlah tanpa alasan. Rentang umur tersebut adalah fase dimana remaja dan mahasiswa sedang mencari jati diri dan mempertanyakan tentang banyak hal. Mereka terbuka akan inovasi, hal-hal baru, dan pengalaman-pengalaman baru, sehingga sangat mudah bagi NII untuk masuk ke dalam idealisme mereka. Calon korban juga biasanya yang tidak memiliki latarbelakang agama yang kuat. Ini semakin memudahkan NII untuk bisa mempersuasi calon korban. Apalagi NII tetap mengutamakan trustworthiness dengan mengumbar ayat-ayat Al-Quran. Otomatis calon korban akan percaya dan mengikuti prosesi perekrutan NII. NII mendekati korban dengan teknik fear appeals dimana mengumbar hal-hal menakutkan tentang agama dan amal ibadah yang tidak diterima di akhirat kepada korban. Dengan meningkatnya rasa takut korban, disitulah NII menawarkan solusi berupa perekrutan sebagai anggota. Cara ini dilakukan berulang kali. Pihak NII tidak segan mengikuti calon korban dan membombardirnya dengan tawaran untuk bergabung. Sehingga lambat laun, calon korban membenarkan informasi dan pesan-pesan dari NII dan bersedia bergabung. Dan tahapan persuasi diakhiri dengna sebuah komitmen dari korban untuk berjanji dan mengabdi pada NII sampai akhir hayat.
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
21
DAFTAR PUSTAKA BUKU Botha, Johan, Cornelius Bothma, Annekie Brink. Introduction to Marketing. Republic of South Africa: Paarl Printing, 2004. Campbell, Brown. The Cambridge Handbook of Forensic Psychology. USA: The Cambridge University Press, 2010. Dillard, James Price, Michael Pfau. The Persuasion Handbook: Developments in Theory and Practice. United Kingdom: Sage Publications, Inc., 2002. E. A., Purnawan. Dynamic Persuasion: Persuasi Efektif dengan Bahasa Hipnosis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Effendy, Onong Uchjana. Human Relations dan Public Relations. Jakarta: Mandar Maju, 1993. Gunawan, Adi W. The Secret of Mindset. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. H, Madaliem Lembong. Treasure: Secret Mining Hidden Potensials. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006. Narula, Uma. Communication Models. New Delhi: Atlantic Publishers, 2006. Stiff, James Brian. Persuasive communication. United States of America: The Guilford Press, 2003. Supratiknya, A. Tinjauan Psikologis: Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995. Taylor, Kathleen. Brainwashing: The Science of Thought Control. United States: Oxford University Press, Inc., 2004. Waruwu, Fidelis E. Membangun Budaya Berbasis Nilai. Jakarta: PT Alex Media Computindo, 2010. Weber, L. Ann. Social Psychology. United Kingdom: Harpercollins, 1992. Zillmann, Dolf, Jennings Bryant. Selective Exposure to Communication. New York: Routledge, 2008.
SKRIPSI DAN DISERTASI Alia Prima Dewi. Fenomena NII di Kalangan Mahasiswa. Depok: Universitas Indonesia, 2007. Jun Zhang. Understanding and Augmenting Expertise Networks. United States: The University of Michigan, 2008.
WEBSITE
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014
22
Haag, Michael. Does Brainwash Exist? http://jonestown.sdsu.edu/AboutJonestown/JonestownReport/Volume10/Haag.htm, 2012. Ahmad, Al-Ustadz Hartono. Bukti Kesesatan Negara Islam Indonesia. http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/04/25/bukti-kesesatan-nii-negara-islamindonesia/, 2011. Margianto, Heru. Beginilah Cara NII Merekrut Saya. Kompas, 2011. Shobahussurur. Islam dan Perobahan. Jakarta, 2009.
Brainwash sebagai ..., Dea Fitria Anasty, FISIP UI, 2014