Boks 1. Analisis Efektivitas APBD dalam Upaya Mempercepat Pembangunan Daerah: Simulasi Menggunakan Tabel Input-Output (IO) Setelah kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diimplementasikan pada tahun 2001, pelaksanaan pembangunan di daerah memiliki peran yang semakin penting dan bahkan menjadi ujung tombak bagi keberhasilan pembangunan nasional. Perluasan kewenangan daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan, memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan mememilih sektor-sektor ekonomi secara lebih selektif sebagai sektor unggulan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang optimal berbasis potensi sumber daya lokal pada berbagai daerah, secara simultan pada gilirannya akan menghasikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara agregat di tingkat nasional. Provinsi Jambi termasuk daerah yang masih berada dalam tahap awal proses pembangunan sehingga pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan momentum untuk menata fondasi ekonomi melalui pemanfaatan potensi sumberdaya yang dimiliki secara lebih tepat dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Pengalaman menunjukkan pengelolaan sumberdaya kehutanan dan pertambangan migas yang dilakukan secara sentralistik ternyata tidak memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat Provinsi Jambi. Selama periode 1993-2000 perekonomian daerah ini hanya tumbuh pada tingkat 1,67% per tahun, lebih rendah dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera sebesar 2,54% (BPS, 1997 dan 2001). Setelah hampir sepuluh tahun perluasan otonomi daerah, percepatan aktivitas perekonomian Provinsi Jambi ternyata belum dapat diwujudkan, padahal potensi sumber daya yang dimilikinya masih cukup besar. Pasca booming industri perkayuan, perekonomian daerah ini sesungguhnya telah mulai menggeliat dengan laju pertumbuhan mencapai 5,59% per tahun pada periode 2000-2007, menempati urutan tertinggi ketiga di Sumatera setelah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau (BPS, 2009). Pada tahun 2008 dan 2009 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi mencapai 7,16% dan 6,37%, lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi nasional, namun capaian laju pertumbuhan tersebut ternyata belum berhasil mengejar ketertingalannya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Tingkat PDRB per kapita Provinsi Jambi masih tergolong sangat rendah hanya sebesar
i
Rp 5.486.040,35 pada tahun 2008 berada pada urutan terendah ketiga di Pulau Sumatera setelah Provinsi Bengkulu dan Lampung. Sumber utama pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi masih berasal dari sektor primer. Secara rata-rata, selama periode 2001-2008 kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB mencapai lebih dari 30% dengan sumbangan terbesar berasal dari sub sektor perkebunan 13,07%. Peningkatan aktivitas ekplorasi pertambangan migas dan nonmigas dalam beberapa tahun terakhir meningkatkan kontribusinya mencapai 12,78% pada periode yang sama. Pertumbuhan sektor ini bahkan mencapai angka tertinggi sebesar 14,70% pada tahun 2008 menempati urutan kedua setelah sektor keuangan. Sub sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit cenderung padat lahan, sementara sektor pertambangan bersifat enclave sehingga peningkatan nilai tambah kedua aktivitas ekonomi ini tidak menyentuh sebagian besar kehidupan masyarakat. Sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan dan perikanan yang potensinya sangat besar dan melibatkan lebih banyak tenaga kerja mulai dari aktivitas budi daya hingga pemasarannya, pemanfaatannya justeru belum diupayakan secara lebih optimal (underutilization). Kondisi Infrastruktur Transportasi Optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya alam di Provinsi Jambi terkendala oleh berbagai faktor, diantaranya adalah keterbatasan infrastruktur pendukung khususnya transportasi. Ketersediaan infrastruktur transportasi seperti jaringan jalan menuju sentra produksi berbagai komoditas unggulan daerah masih sangat terbatas dan kualitasnya pun sangat kurang memadai. Sebagian wilayah sentra produksi tanaman bahan makanan dan perkebunan seperti Jangkat di Kabupaten Merangin dan Renah Pemetik di Kabupaten Kerinci masih terisolasi dengan kondisi infrastruktur jalan yang sangat tidak layak. Pada musim kemarau ruas jalan di kedua wilayah tersebut terputus dan tidak dapat dilalui sama sekali sehingga berbagai produk yang dihasilkan petani tidak memiliki nilai ekonomi. Panjang keseluruhan ruas jalan kabupaten, provinsi dan nasional di Provinsi Jambi pada tahun 2007 mencapai 2.387,08 km. Jenis permukaan jalan beraspal kurang setengah dari total panjang jalan, selebihnya masih berupa jalan berpermukaan kerikil dan tanah. Ruas jalan berpermukaan aspal sebagian besar merupakan jalan nasional dan provinsi, sedangkan ruas jalan yang berpermukaan kerikil dan tanah merupakan jalan kabupaten. Jalan kabupaten berhubungan langsung dengan wilayah-
ii
Tabel 1. Jenis permukaan jalan dirinci menurut kabupaten di Provinsi Jambi, Tahun 2007 (%)
wilayah sentra produksi berbagai jenis produk
terutama
produk-produk
Jenis Permukaan Aspal Kerikil Tanah 74,22 8,01 17,77 48,97 35,95 15,08 26,81 40,94 32,24 38,29 22,54 39,16 41,66 22,17 36,17 54,78 45,22 42,70 14,82 42,48
pertanian sehingga kualitasnya yang
29,08
30,54
40,38
yang memiliki jalan berpermukaan
17,02
20,96
62,02
aspal
41,29
26,75
31,96
Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Sumber: Jambi dalam angka 2007 (BPS, 2008)
Pada kabupaten ini proporsi jalan
Kabupaten Kerinci Merangin Sarolangun Tebo Bungo Batang Hari Muaro Jambi Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Rata-rata
kurang
memadai
berdampak
langsung terhadap inefisiensi biaya transportasi
berbagai
input
yang
diperlukan dan pengangkutan output ke lokasi pasar. Bila dicermati per kabupaten, masih terdapat wilayah
kurang
dari
20%
yaitu
berpermukaan tanah lebih separoh
dari total panjang jalan. Kabupaten yang memiliki jalan beraspal di atas 50% hanya Kerinci dan Batanghari (Tabel 1). Ketidakmemadaian kualitas infrastruktur jalan dalam lingkungan
wilayah
Jambi
ditunjukkan
juga
Provinsi oleh
kondisinya yang sebagian besar berada dalam keadaan rusak dan rusak
berat.
Secara
rata-rata
proporsi jalan yang berada dalam kondisi rusak dan rusak berat mencapai
hambir separoh dari
total ruas jalan yang ada. Ruas jalan yang benar-benar berada
Tabel 2. Kondisi Jalan dirinci per Kabupaten di Provinsi Jambi, Tahun 2007 (%) Kabupaten Baik Sedang Rusak Rsk.Berat Kerinci 27,30 46,20 11,69 14,82 Merangin 32,08 26,26 29,24 12,42 Sarolangun 22,53 36,99 16,44 24,05 Tebo 36,72 20,72 14,07 28,49 Bungo 38,98 9,32 21,55 30,15 Batang Hari Muaro Jambi 26,64 19,07 41,23 13,06 Tanjung 15,46 35,24 31,71 17,59 Jabung Barat Tanjung 17,37 38,26 36,12 8,25 Jabung Timur Rata-rata 26,30 29,67 25,62 18,41 Sumber: Jambi dalam angka 2007 (BPS, 2008)
dalam kondisi baik sesuai dengan yang dipersyaratkan bagi kelayakan berlalu lintas hanya sekitar seperempat bagian, sementara kondisi jalan dalam keadaan sedang hampir mencapai 30%. Seiring dengan kualitas permukaannya, kondisi jalan yang berada dalam keadaan baik proporsinya relatif sangat kecil di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten ini bersama kabupaten Kerinci termasuk daerah terisolasi yang tidak dilalui oleh jaringan jalan Negara. Proporsi paling rendah kondisi jalan
iii
dalam keadaan baik ditemukan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang sebagian wilayahnya dilalui jalan lintas timur Sumatera. Seluruh jalan Negara yang melalui daerah ini telah beraspal dan barada dalam kondisi baik dan sedang. Ini berarti kondisi jalan dalam kondisi rusak dan rusak berat di kabupaten ini mencerminkan kondisi infrastruktur jalan kabupaten dan jalan provinsi. Investasi Infrastruktur Transportasi Infrastruktur transportasi khususnya jalan, merupakan urat nadi perekonomian yang intensitas pemakaiannya sangat tinggi sehingga tingkat penyusutannya juga tinggi. Konsekuensinya peningkatan investasi pada infrastruktur ini mencakup dua komponen yaitu pengalokasian dana untuk peningkatan penyediaannya dan pembiayaan pemiliharaan infrastruktur jalan yang telah ada. Kegiatan investasi dalam kedua komponen tersebut memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap aktivitas perekonomian suatu daerah. Investasi infrastruktur memiliki efek penggandaan (multiplier effect) terhadap pengeluaran agregat regional dalam jangka pendek, sementara akumulasi stok kapital infrastruktur yang ditimbulkannya, meningkatkan kapasitas produksi yang akan mendorong peningkatan output, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam jangka panjang. Besarnya
dampak
yang
ditimbulkan
investasi
infrastruktur
terhadap
perekonomian masih menjadi perdebatan dikalangan peneliti. Munnell (1992) telah merangkum berbagai studi yang telah dilakukan selama periode 1973-1992 pada berbagai tingkatan perekonomian. Pada tingkat perekonomian nasional, studi HolzEakin (1988), Aschauer (1989) dan Munnell (1990) telah menemukan bahwa dampak kapital publik agregat terhadap output dan produktivitas sektor swasta di Amerika Serikat sangat besar. Pada tingkat perekonomian negara (state) studi mengenai peran kapital sektor publik terhadap produktivitas telah dilakukan oleh Martin (1987), Munnel (1990), dan Eisner (1991) untuk Amerika Serikat serta Mera (1973) untuk perekonomian wilayah di Jepang yang menemukan koefisien elastisitas output terhadap kapital sektor publik sebesar 0,20, 0.15, 0.17 dan 0.20. Munnell juga menemukan adanya hubungan kausalitas antara investasi publik dan investasi swasta. Kapital sektor publik mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan output, investasi, dan kesempatan kerja sehingga ketersediaannya berperan sebagai stimulus bagi investasi swasta. Berbeda dengan studi-studi di atas, hasil penelitian Duffi-Deno dan Eberts (1989), Eberts (1986 dan 1990) dan Morrizon dan Schwartz (1996) menunjukkan
iv
bahwa kapital infrastruktur justeru mempunyai produk marginal yang lebih rendah dibanding kapital swasta. Senada dengan temuan ini, studi Baffes dan Shah (1998) dan Wangs (2002) juga menunjukkan peran yang relatif lebih kecil dari stok kapital infrastruktur bila dibandingkan dengan peran yang dimiliki stok kapital hasil akumulasi investasi swasta. Penilaian dampak infrastruktur terhadap kinerja perekonomian selanjutnya berkembang lebih jauh seperti yang dilakukan Burman dan Rietveld (1999) yang memfokuskan studinya pada infrastruktur transportasi dan dampaknya terhadap lokasi industri di Thailand. Chandra dan Thompson (2000) memfokuskan studinya pada infrastruktur jalan raya antar negara di perdesaan dan melihat efeknya terhadap aktivitas ekonomi di Amerika Serikat, sementara Hulten at al (2003) secara lebih spesifik melakukan studi dampak infrastruktur jalan raya dan listrik terhadap industri manufaktur di berbagai daerah di India. Studi Chandra dan Thompson menunjukkan bahwa investasi infrastruktur jalan raya hanya dapat mendorong peningkatan aktivitas ekonomi pada negara-negara bagaian yang dilalui secara langsung, tetapi negara bagian yang areal yang lokasinya lebih jauh dari jalan raya terutama daerah-daerah non metropolitan, aktivitas ekonominya ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Investasi infrastruktur dapat dilakukan oleh pemerintah atau pihak swasta, namun pada tahap awal proses pembangunan investasi infrastruktur lebih banyak berperan sebagai promoting sector bagi tumbuh dan berkembangnya aktivitas sektor ekonomi lainnya, dibanding perannya sebagai servicing sector yang menyediakan jasa transportasi bagi kegiatan bisnis dan rumah tangga. Konsekuensinya pemerintah harus berperan aktif menyediakan infrastruktur transportasi pada perekonomain yang sedang memulai proses pembangunan melalui alokasi anggaran baik pemerintah pusat maupun daerah. Provinsi Jambi tergolong sebagai daerah yang sedang
memulai
proses pembangunan sehingga membutuhkan penyediaan infrastruktur dalam jumlah yang mencukupi dan kualitas lebih baik. Implikasinya diperlukan pengalokasian dana APBD yang lebih besar untuk meningkatkan penyediaan dan pemiliharaan infrastruktur transportasi baik ditingkat pemerintah kabupaten maupun Provinsi. Pada tingkat pemerintah Provinsi Jambi, pengalokasian dana untuk infrastruktur masih relatif kecil dan kenaikannya cenderung menurun (Tabel 3). Nilai nominal alokasi APBD untuk belanja modal sebagai pencerminan dari efektivitas anggaran belanja daerah meningkat pada periode 2004-2008, namun turun drastis pada tahun 2009. Bila diamati lebih jauh, tingkat kenaikannya cenderung
v
melambat hingga mengalami kontraksi pada tahun 2009. Seiring dengan peningkatan belanja modal, nilai nominal pengalokasiannya untuk belanja infrastruktur transportasi jalan
Tabel 3. Perkembangan alokasi belanja infrastruktur transportasi jalan/jembatan dan total belanja modal pada realisasi APBD Provinsi Jambi, Tahun 2004-2009. Tahu n
Belanja Modal (Juta Rp)
Pertbhn . (%)
(1) 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(2) 105080,49 208417,93 333832,01 422441,97 560254,72 445681,36
(3) 98,34 60,17 26,54 32,62 -20,45
Belanja Jalan dan Jembatan (Juta Rp) (4) 41492,00 111047,14 214404,84 195200,47 285873,62 282023,89
Pertb. (%)
tahun
sebelumnya.
Fakta
peningkatan.
Pola nya
searah
dengan total belanja modal
Rasio
yang
melambat
hingga
tahun 2007 dan mencatat
(5) (6)=(4:2) 39,49 167,64 53,28 93,08 64,23 -8,96 46,21 46,45 51,03 -1,35 63,28
ini
mengalami
peningkatan-
angka negativ pada tahun 2009
setelah
mengalami
peningkatan kembali pada tahun 2008. Pada tahun
Sumber: Laporan realisasi penjabaran anggaran pendapatan dan belanja daerah, berbagai tahun penerbitan (Biro Keuangan Provinsi Jambi)
dibanding
juga
2010, alokasi APBD untuk belanja infrastruktur kembali menurun
memperlihatkan
sekitar bahwa
19%
efektivitas
pengalokasian dana APBD cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan proporsi belanja modal disebabkan meningkatnya proporsi belanja tidak langsung yang bersifat non produktiv dan belanja langsung non modal lainnya. Pada tingkat pemerintah kabupaten, pengalokasian dana APBD untuk penyediaan infrastruktur fisik semakin sulit diharapkan. Sebagian besar dana APBD tersedot untuk belanja tidak langsung terutama belanja pegawai dan belanja barang serta belanja untuk meningkatkan pelayanan jasa publik berskala lokal seperti pendidikan
dan
kesehatan.
Potensi
penerimaan
pemerintah
kabupaten
dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif sangat kecil karena pajak-pajak kabupaten berbasis sempit, sementara itu jumlah dana perimbangan yang diterima pemerintah kabupaten berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan bagi hasil pajak dan non pajak kurang berimbang dengan tugas administrativ yang harus diselenggarakan. Akibatnya hanya sebagaian kecil dana APBD yang dapat disisihkan untuk belanja modal khususnya infrastruktur transportasi. Penurunan belanja infrastruktur di satu sisi dan memburuknya kondisi infrastruktur transportasi di sisi lainnya menyebabkan Provinsi Jambi terjebak pada krisis infrastruktur dan sangat berpotensi menmbulkan stagnasi aktivitas ekonomi dalam jangka panjang. Peningkatan alokasi dana APBD provinsi dan kabupaten untuk
vi
mengkompensir
penurunan
kondisi
infrastruktur
transportasi
yang
ada
dan
peningkatan penyediaannya untuk mengakomodir perkembangan berbagai aktivitas ekonomi menjadi mutlak dilakukan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan investasi infrastruktur transportasi terhadap aktivitas ekonomi hanya akan menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar bila didasari oleh pemilihan secara lebih tepat lokasi yang akan dilalui jaringan infrastruktur transportasi sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap wilayah dan komoditas unggulan yang akan dikembangkan. Secara
teoritis,
kontribusi
marginal
yang
dihasilkan
dari
penyediaan
infrastruktur lebih kecil untuk daerah yang tingkat produktivitasnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah yang tingkat produktivitasnya lebih rendah. Ini berarti penyediaan infrastruktur transportasi yang melalui berbagai daerah potensial yang tertinggal dan terisolasi akan menghasilkan tingkat pengembalian investasi (return of public invesment) yang lebih tinggi (Takahasi, 1998). Hal tersebut terutama dapat dicapai apabila mobilisasi sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur tidak menimbulkan kelangkaan sumberdaya di sektor swasta yang memiliki produktivitas tinggi (Kondo, 2004). Sebagai daerah potensial yang memiliki berbagai keunggulan dari sisi letak goegrafis, peningkatan alokasi dana untuk belanja infrastruktur diperkirakan akan dapat menstimulasi peningkatan investasi swasta baik berskala lokal dan nasional maupun internasional. Salah satu keunggulan spesifik Provinsi Jambi adalah letak lokasinya yang berdekatan dan berhadapan langsung dengan pusat pertumbuhan ekonomi dunia yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Penyediaan infrasruktur transportasi secara lebih memadai akan dapat merangsang limpahan investasi dari kawasan tersebut ke wilayah sekitarnya termasuk Provinsi Jambi. Terkait dengan hal tersebut pengalokasian dana untuk pembangunan jaringan infrastruktur juga harus didasari atas pertimbangan orientasi pengembangan ekonomi sektoral yaitu pilihan antara aktivitas budidaya di bagian hulu atau industri pengolahannya di bagian hilir. Dampak Investasi Infrastruktur Terhadap Output Sektoral Infrastruktur berperan sebagai fasilitas pendukung bagi berbagai aktivitas ekonomi. Peningkatan alokasi dana untuk penyediaannya, hanya akan menghasilkan mafaat yang optimal jika diikuti oleh peningkatan investasi oleh pihak swasta pada berbagai aktivitas ekonomi. Untuk melihat besarnya dampak peningkatan investasi infrastruktur
terhadap
perubahan
output
vii
sektoral
telah
dilakukan
simulasi
menggunakan pendekatan model Input-Output. Simulasi diformulasikan dalam dua skenario yaitu: (1) peningkatan investasi infrastruktur jalan yang diikuti oleh peningkatan investasi swasta di bagian hulu dan (2) peningkatan investasi infrastruktur jalan yang diikuti oleh peningkatan investasi swasta pada industri pengolahan di bagain hilir. Besaran pengguncang (shock) peningkatan investsi infrastruktur didekati dari alokasi dana untuk belanja modal yang mencapai Rp326.005,4 milyar dan belanja infrastruktur jalan sebesar Rp169.603,6 milyar per tahun selama periode 2004-2008. Apabila belanja infrastruktur transportasi yang dilakukan pemerintah kabupaten ikut diperhitungkan jumlahnya akan lebih besar. Pada Table I-O Provinsi Jambi, tidak seluruh lajur pembentukan modal tetap domestik bruto atau investasi terisi sementara data total investasi pada berbagai sektor ekonomi dibagian hulu dan hilir juga tidak tersedia Tabel 4. Besaran nilai Pengguncang (Shock) pada Skenario Simulasi Peningkatan Investasi Infrastruktur Skenari Simulasi 1. Peningkatan investasi infrastruktur dan aktivitas budi daya di bagian hulu: a. Infrastruktur jalan b. Infrastruktur transportasi lainnya c. Komoditas karet d. Komoditas kelapa sawit e. Komoditas kentang f. Komoditas-komoditas non unggulan 2. Peningkatan investasi infrastruktur dan aktivitas budi daya di bagian hulu: a. Infrastruktur jalan b. Infrastruktur transportasi lainnya c. Industri pengolahan karet d. Industri pengolahan kelapa sawit e. Industri makanan dan minuman f. Industri lainnya (kayu, kertas dan lainnya)
Nilai Investasi (Milyar Rp)
dengan
lengkap.
Oleh sebab itu, peningkatan investasi
pada
sektor
berbagai
lainnya
secara
ditetapkan
arbitrer
dengan
peningkatan investasi pada sektor unggulan di bagian
300 250 25 25 25 10
hulu dan hilir ditetapkan lebih besar dari sektor-sektor non unggulan. Berdasarkan pertimbangan besarnya
nilai
tersebut guncangan
peningkatan investasi pada ketiga
kelompok
skenario
simulasi yang telah disusun 300 250 25 25 25 10
ditunjukkan pada tabel 4. Hasil
simulasi
skenario memperlihatkan
pada
pertama bahwa
peningkatan investasi pada infrastruktur
transportasi
yang disertai dengan peningkatan investasi pada aktivitas budi daya dibagian hulu menghasilkan peningkatan output yang lebih tinggi pada aktivitas budi daya.
viii
Peningkatan output tertinggi ditemukan pada komoditas perkebunan pinang diikuti oleh kentang, kelapa dalam, perkebunan lainnya, jagung, tanaman bahan makanan lainnya, kopi dan kelapa sawit, kehutanan, padi, karet dan komoditas lainnya. Peningkatan output pada kelompok industri pengolahan justeru mencatat angka tertinggi pada industri lainnya, sementara peningkatan output pada industri pengolahan karet, bahan makanan dan kelapa sawit relatif sangat rendah (Tabel 5 dan grafik 1). Pada skenario simulasi 2, peningkatan investasi infrastruktur transportasi disertai oleh peningkatan investasi pada industri pengolahan di bagian hilir menghasilkan peningkatan output yang lebih tinggi pada aktivitas industri di bagian hilir dari pada peningkatan output aktivitas budi daya dibagian hulu. Akan tetapi kenaikan output industri pengolahan karet, kelapa sawit dan bahan makanan sebagai komoditas unggulan Provinsi Jambi ternyata tetap lebih rendah dari kenaikan output industri lainnya dan industri kertas dan barang dari kertas. Tabel 5. Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Investasi Infrastruktur terhadap Peningkatan Output Sektoral dan PDRB di Provinsi Jambi (%) No.
Komoditas
Sim 1
Sim 2
No.
Komoditas Pertambangan dan Penggalian Ind. Minyak Kelapa Sawit Ind. Makanan & Minuman Lain
1
Padi
1,556
0,628
17
2
Jagung
6,397
0,446
18
3
Kentang
11,394
0,06
19
4
Sayuran
1,454
0,008
20
5
1,244
0,012
21
6
Buahan Tan. Bhn. Mkn. Lainnya
3,914
0,352
22
7
karet
1,519
0,425
23
Ind. Barang Lainnya
5,462
4,978
8
kelapa sawit
2,177
0,26
24
Listrik dan Air Bersih
0,433
0,432
9
kelapa dalam
Ind. Perkayuan Ind. Brg dr Karet & Plastik Ind. Kertas & Brg dr Krts
Sim 1
Sim 2
0,167
0,151
0,005
1,186
0,155
0,747
0,127
0,485
0,420
1,237
1,112
4,391
9,629
0,371
25
Bangunan
0,126
0,088
126,029
0
26
Perdagangan
0,664
0,637
kopi
2,680
0,072
27
Hotel dan Restoran
0,355
0,342
Kayu manis
1,254
0
28
Angkutan Jalan Raya
13,998
13,907
10
Pinang
11 12 13
Perk.lainnya
6,606
0,174
29
Angkutan Lainnya
10,812
10,765
14
Peternakan
1,420
0,064
30
1,612
1,555
15
Kehutanan
1,790
0,572
31
Komunikasi Bank, Lbg Keu, Sw & Js Prsh
1,154
1,005
16
Perikanan
1,475
0,058
32
Jasa-jasa dan Lainnya
0,148
0,108
1,832
1,611
PDRB
Hasil
simulasi
di
atas
memperlihatkan
bahwa
peningkatan
investasi
infrastruktur cenderung berdampak lebih besar terhadap aktivitas budi daya di bagian hulu bila dibandingkan dengan dampaknya terhadap aktivitas industri pengolahan di
ix
bagian hilir. Lebih jauh ditunjukkan bahwa peningkatan output aktivitas budi daya di bagian hulu ternyata lebih rendah pada komoditas yang diunggulkan pemerintah daerah yaitu perkebunan karet dan kelapa sawit. Peningkatan output komoditas unggulan yang cukup tinggi terjadi pada komoditas tanaman kentang. Pada kelompok komoditas lainnya peningkatan output tertinggi terjadi pada komoditas tanaman pinang diikuti oleh kelapa dalam, perkebunan lainnya, jagung dan tanaman bahan makanan lainnya. Temuan ini memperlihatkan bahwa komoditas yang kurang diunggulkan pemerintah daerah sesungguhnya memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan melalui pembukaan akses transportasi ke sentra produksi. Tidak jauh berbeda dengan dampaknya terhadap peningkatan output aktivitas budidaya dibagian hulu, peningkatan output pada kelompok industri pengolahan ternyata juga lebih rendah pada komoditas unggulan daerah. Kenaikan output industri pengolahan kelapa sawit, pengolahan karet dan industri makanan dan minuman justeru lebih rendah dari peningkatan output yang terjadi pada industri kertas dan barang dari kertas dan industri barang lainnya.
Peningkatan penyediaan infrastruktur di Provinsi Jambi ternyata berdampak lebih besar terhadap aktivitas pertanian on farm dari pada aktivitas off farm terutama industri pengolahan. Temuan ini membuktikan bahwa peningkatan efektivitas APBD kabupaten melalui peningkatan alokasi dana untuk belanja modal khususnya transportasi jalan sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan aktivitas budidaya berbagai komoditas di bagian hulu. Bila dilihat dampaknya terhadap peningkatan PDRB atau pertumbuhan ekonomi, skenario simulasi 1 juga menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Peningkatan alokasi dana untuk penyediaan
x
infrastruktur transportasi yang berhubungan langsung dengan wilayah-wilayah sentra produksi dengan demikian juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi daripada peningkatan investasi infrstruktur yang ditujukan untuk memfasilitasi industri pengolahan. Lemahnya daya pendorong infrastruktur transportasi dan peningkatan investasi pada industri pengolahan terhadap peningkatan outputnya erat kaitannya dengan terbatasnya rantai pengolahan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi. Prosesing bahan mentah karet dan kelapa sawit masih terbatas pada karet lembaran dan minyak sawit yang merupakan barang setengah jadi atau bahan baku bagi berbagai industri turunannya. Pengolahan lanjutannya kedua produk tersebut lebih banyak dilakukan di luar Provinsi Jambi. Peran Provinsi Jambi sebagai pensuplai bahan baku khususnya kelapa sawit cenderung dipertahankan oleh pemilik perkebunan besar yang sekaligus pemilik industri pengolahan kelapa sawit. Struktur pasar kelapa sawit mengarah pada oligopoly yang dikuasai hanya oleh lima investor besar. Posisi tawar petani dan pemerintah daerah relatif sangat rendah. Selain itu, pengolahan kelapa sawit dan karet tergolong
ke
dalam
weight
loosing
industry
sehingga
lokasi
pabrik
lebih
menguntungkan di dekat lokasi perkebunan, sedangkan prosesing lanjutan minyak kelapa sawit dan karet olahan cenderung bersifat foot loose industry dimana lokasi pabrik lebih menguntungkan mendekati pasar. Konsekuensinya tidak mudah bagi investor untuk merelokasi industri pengolahan lanjutan minyak sawit dan karet lembaran (SIR 20 dan 50) ke lokasi bahan baku seperti halnya yang terjadi pada relokasi industri perkayuan dari pusat pasarnya di negara maju ke lokasi bahan baku pada tahun 1990-an. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1.
Peningkatan alokasi dana APBD untuk belanja modal khususnya infrastruktur transportasi berdampak lebih besar terhadap perkembangan aktivitas budi daya di bagian
hulu
bila
dibandingkan
dengan
kemampuannya
menstimulasi
perkembanngan aktivitas industri pengolahan di bagian hilir. 2.
Peningkatan output aktivitas budi daya di bagian hulu lebih rendah pada komoditas yang diunggulkan pemerintah daerah yaitu perkebunan karet dan kelapa sawit bila dibandingkan dengan komoditas non unggulan, kecuali output komoditas kentang yang keniakan outputnya relatif lebih tinggi.
3.
Peningkatan output industri pengolahan komoditas unggulan yaitu industri pengolahan kelapa sawit, karet dan makanan dan minuman lebih rendah dari kenikan output industri kertas dan barang dari kertas dan industri lainnya.
xi
4.
Peningkatan alokasi dana pembangunan infrastruktur transportasi ke sentra produksi yang diikuti investasi pada aktivitas budi daya berdampak lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dibanding peningkatan investasi infrastruktur yang diikuti investasi pada industri pengolahan.
Rekomendasi 1.
Mengingat besarnya dampak peningkatan penyediaan infrastruktur transportasi pada wilayah sentra produski terhadap peningkatan output dan pertumbuhan ekonomi daerah, perlu dilakukan reformulasi pengalokasian dana APBD kabupaten dengan meningkatkan proporsi belanja modal khusunya belanja infrastruktur melalui peningkatan efisiensi belanja tidak langsung dan peningkatan pendapat daerah.
2.
Industri pengolahan berbasis sumber daya lokal ternyata memiliki respon yang relatif rendah terhadp peningkatan alokasi dana untuk infrastruktur transportasi. Oleh sebab itu, diperlukan reformulasi penetapan komoditas unggulan daerah yang lebih responsiv terhadap kebijakan daerah sisi penawaran yaitu penyediaan infrastruktur dan memiliki prosfek yang lebih baik dipasar domestik dan luar negeri.
xii