PANDUAN TEKNIS PEMBENIHAN IKAN NILEM SECARA INTENSIF
Oleh:
Gratiana E. Wijayanti Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman
PENDAHULUAN Salah satu ikan air tawar yang sangat potensial
untuk dikembangkan
menjadi
produk unggulan perikanan budidaya adalah ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.). Ikan nilem sebagai komoditi perikanan memiliki beberapa keunggulan baik dari aspek ekonomi, budidaya maupun kelestarian lingkungan (Samsudin,2009). Nilai ekonomis semakin meningkat sejak diperkenalkannya produk olahan misalnya baby
ikan
fish
nilem
goreng,
dendeng dan pindang nilem, nilem yang diasap dan dikalengkan (Rahardjo dan Marliani 2007). Telur ikan nilem digemari masyarakat karena rasanya yang lezat dan mempunyai
peluang sebagai komoditas ekspor sebagai caviar (Soeminto,
2010). Dari
aspek
budidayanya ikan nilem mudah dipelihara, memiliki kelangsungan hidup dan reproduksi yang tinggi (Cholik et al. 2005) serta tahan terhadap penyakit (Subagja et al. 2006a). Sedangkan
dari aspek lingkungan ikan nilem berperan sebagai biocleaning agent
sifatnya yang suka memakan detritus, plankton dan perifiton sehingga ikan
digunakan untuk membersihkan kolam ataupun danau (Syandri,
2004).
karena
ini
bisa
Dengan
keunggulan-keunggulan tersebut maka ikan ini layak untuk dikembangkan sebagai komoditas potensial bagi peningkatan ekonomi masyarakat.
Potensi budidaya ikan nilem di Pulau Jawa sangat besar. Beberapa wilayah seperti Eks Karesidenan Priangan Timur dan Eks Karesidenan Banyumas merupakan sentra produksi
ikan nilem yang memiliki perkembangan produksi cukup baik (Pusat Riset Perikanan Budidaya,
20ll).
Data Dinas Petemakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, menunjukkan
bahwa produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas pada tahun 2006 sebesar 399.296 kg dan
bio.unsoed.ac.id
tahun 2007 sebesar 44t.98I kg (Pusat Riset Perikanan Budidaya,2009). Pada tahun 2010,
produksi ikan nilem meningkat menjadi 529.450 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, 20 1 0).
Meskipun produksi ikan nilem meningkat dari tahun ke tahun, tetapi sebagian besar budidaya ikan nilem
di Kabupaten Banyumas masih tradisional;
sehingga produksi benih
belum optimal baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal
ini
terlihat dari masih
didatangkannya benih ikan nilem dari Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan benih untuk
pembesaran. Sehubungan dengan kondisi tersebut, perlu dikembangkan teknologi perbenihan untuk meningkatkan produksi ikan nilem (IPTEKMAS, 2010).
Keberhasilan budidaya nilem memerlukan ketersediaan benih yang berkualitas baik
dalam jumlah cukup secara berkesinambungan. Benih nilem dihasilkan oleh usaha perorangan dan pemerintah melalui Balai Benih ikan (BBI), akan tetapi benih yang dihasilkan masih belum mencukupi permintaan pasar (IPTEKMAS, 2010). Hal ini antara lain
disebabkan benih-benih tersebut diproduksi melalui pembenihan tradisional sehingga ketersediaannya masih tergantung pada musim. Dengan kondisi
pada beberapa tahun terakhir
iklim yang tidak menentu
ini maka ketersediaan benih menjadi
kurang terjamin.
Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah menuju pembenihan nilem secara semi
intensif ataupun intensif perlu segera dilakukan. Tulisan
ini
disusun dengan tujuan
menyediakan informasi untuk pelaksanaan pembenihan ikan nilem secara intensif.
II.
PEMILIHAN INDUK DAN INDUKSI PEMIJAHAN
Pemilihan Induk
Induk yang baik adalah induk yang memiliki fekundits tinggi dengan kualitas sel telur yang baik. Hasil penelitian Wijayanti dan Sulistyo (2011) menunjukkan bahwa induk nilem dengan kisaran berat tubuh 50-909 pada saat memijah sempuma dalat menghasilkan telur sebanyak 14.T19,78+6.369,89 butir, induk dengan kisaran berat 100-150g menghasilkan sel
telrn sebanyak 31.611,58+15.726,99 butir, induk dengan kisaran berat tubuh 160-2009 menghasilkan sel telur sebany ak
65
.87 6,66+9 .89 7,44
butir.
Induk yang siap dipijahkan adalah induk yang telah menyelesaikan
tahap
vitelogenesis. Evaluasi perkembangan sel trlur pada sat seleksi intuk dapat dilakukan dengan
mengambil sampel sel telur menggunakan kanula (Wijayanti dan Sulistyo, 2011) dan mengevaluasi posisi inti sel telur menggunakan larutan penjemih (Rotmann et a1.,1991) dan
bio.unsoed.ac.id
diamati di bawah mikroskop. Induk dengan sebagian sel telur telah memiliki inti dengan posisi migrasi memiliki peluah terinduksi lebih baik disbending indul dengan inti seluruh sel telur masih berasa di tengah sel (Wijayanti dan Sulistyo, 2011).
2.2. In&rksi Pemijahan Induksi pemijahan dapat dilakukan dengan pemberian sediaan hormon baik yang alami maupun sintetis. Hormon alami yang biasa digunakan untuk induaksi pemijahan adalah
ekstrak hipofisis sehingga pemijahan induksi menggunakan
teknik ini
dikenal dengan
hipofisissi. Hipofisis yang sering digunakan adalah hipofisis ikan mas. Salam pelaksanaan hipofisissi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu persyaratan ikan donor hipofisis, ketepatan dosis ekstrak hipofisis dan kematangan gonad induk resipien. Ikan donor yang digunakan haruslah ikan yng sehat dan sudah matang kelamin serta tidak bahis mijah.
Hal ini perlu diperhatikan agar kadar hormon gonadotropin yang ada di dalam kelenjar hipofisis mencukupi untuk mengindukasi matutasi dan pemijahan. Berat tubuh ikan donor sekurang-kuraflgnya sama dengan berat tubuh
ikan resipien. Cara pengambilan
dan
penyuntikan kelenjar hipofisis adalah sebagai berikut:Ikan donor ditimbang dahulu untuk
mengetahui apakah ikan
itu memiliki bobot yang hampir
sama dengan induk lele
sangkuriang. Bila ya, potong ikan tepat pada batas antarakepala dan badan.
l. Kepala ikan ditopong melintang tepai di belakang operculum. Kepala ikan diposisikan dengan mulut menghadap ke atas dan dipotong dengan orientasi anterior-posterior di ats nostril. 2.
Ambil bagian atasnya dan bersihkan dari darah dan lender.
Dengan hati-hati buka bagian yang menutupi kelenjar hipofisis dengan menggunakan
pinset (penjepit) dan pisau stainless tajam. Kelenjar hipofisis berbentuk bulatanbulatan kecil berwarna putih kemerah-merahan. 3.
Ambil kelenjar hipofisis itu kemudian hancurkan di dalam tabung reaksi. Jika tidak ada tabung reaksi, gunakan gelas kecil. Tambahkan akuades atau akuabides (dapat
dibeli di apotik) sebanyak 1-2 ml (kira-kira % sendok teh), aduk-aduk hingga rata. Agar larutan lebih merata, sebaiknya diaduk menggunakan sentrifugal (bila ada) 4.
Ambil larutan hipofisis menggunakan alat suntik berukuran kecil (5 ml) lalu suntikkan pada bagian punggung ikan indukan.
5.
Dosis pemberian larutan hipofisis yang terbaik adalah dan
Yz
I
bagian untuk induk betina
bagian untuk induk jantan. Satu bagian berarti seluruh hipofisis yang berasal
bio.unsoed.ac.id
dari ikan donor dengan bobot sama dengan induk. Namun, bila tidak memungkinkan, dosis dapat diturunkan menjadi Y" bagian unutk induk betina dan % bagian untuk induk jantan.
Ikan yang sudah disuntik kemudian dilepaskan kembali pada kolam induk.
GnRH analog
GnRH yang paling sering digunakan pada saat ini adalah salmon analog GnRH yang dikombinasikan dengan antidopamin, domperidon, Produk ini dikeban dengan bama dagang Ovaprim (Syndel. Laboratory, Vancouver, Canada). Dosis yang dianjurkan oleh perusahaan penghasilnya adalah 0,5ml.lkg sebesar 0,5mK/kg
BB.
Pada ikan nilem, dosis Ovaprim untuk induk betina
BB sedangkan pada ikan jantan dapat diturunkan hingga 0,3ml/kg BB.
Dengan dosis tersebut, induk yang telah matang gonad dapat memijah antara 8-12
jm
setelah
pemberian induksi (Simanjuntak dan Wijayanti, 2005).
III.
INKUBASI DAN PERAWATAN EMBRIO
Ikan nilem termasuk ikan ovipar, oleh karenanya selain kualitas sel telur
dan
spermatozoa, perkembangan embrio sangat diperngaruhi oleh faktor lingkungan baik fisik maupun kimiawi. Beberapa parameter media inkubasi yang menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup embrio dan larva bebas (Wijayanti et
a|.,2010).
ikan meliputi temperatur, 02 terlarut, pH dan
CO2
Pada temperatur rendah (23-25"C), metabolisme dan proses
enzimatik yang memediasi diferensiasi embrio berjalan dengan lambat
sehingga
perkembangan embrio juga lambat. Perkembangan embrio semakin lambat setelah memasuki stadium gastrula. Pada temperature tinggi (30-31'C) cleavage berjalan dengan cepat namun
segera setelah memasuki tahap gastrula hampir seluruh embrio mengalami kematian. Temperatur yang mendukung perkembangan embrio nilem dengan baik berkisar antara 26-
29"C.
Pada kisaran temperatur
ini embrio menetas sekitar 24 jam setelah pencampuran
sel
telur dan milt (Wijayarfii et a1.,2010). Kisaran pH yang tidak mengakibatkan kematian ikan secara langsung adalah 5-9 (Lagler
et al., 1979). Perubahan pH dapat mempengaruhi senyawa di perairan sehingga merubah karakter senyawa tersebut. pH asam dapat membebaskan COz dari bikarbonat di dalam air sehingga dapat bersifat toksik (Alabaster dan Lloyd, 1980). Pada ikan mas, penurunan pH
mengakibatkan menurunnya persentase swelling sedangkan peningkatan
pH
berakibat
sebaliknya. pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya
bio.unsoed.ac.id
deformasi padatahat cleavage dan pembentukan blastula serta memperlambat perkembangan embrio (Jezierska dan Bartnicka, 1995). Embrio ikan nilem dapat berkembang pada kisaran
pH 4-9 namun pH optimum untuk mendukung perkembangan embrional nilem berkisar antara 6-9
(Wijayanti dan Habibah, 20IT).
Selain temperatur dan pH, embrio yang sedang berkembang membutuhkan oksigen secara terus
menerus. Konsumsi oksigen pada tahap awal rendah tetapi terus meningkat
sejalan dengan perkembangan
embrio. Kebutuhan oksigen ini berkaitan dengan proses
respirasi dan metabolisme yang berlangsung selama perkembangan embrional hingga penetasan (Wijayanti et a1.,2010). Telur ikan nilem dapat berkembang dan menetas dengan
baik pada media dengan kandungan oksigen terlarut sebesar 4,0-4,2 ppm hingga 6,0-7,7 ppm (Wrjayanti et al., 1995). Pada pembenihan intensif, inkubasi embrio dilakukan dalam wdah atau tempat yang
terkontrol. Dalam skala kecil, inkubasi embrio dapat dilakukan dengan menggunakan baskom, bak plastic atau pun akuarium yang dilengkapi dengan sistem aerasi. Dalam skala yang lebih besar, inkubasi embri dapat dilakukan dalam bak terpal, bak fiber ataupun corong penetasan.
IV. PEMELIHARAAN BENIH Pada saat menetas, larva ikan nilem masih
memiliki cadangan makanan berupa Yolk.
Yolk dapat mendukung kehidupan larva hingga 5-6 hari pertama setelah penetasan. Setelah yolk habis larva perlu diberi pakan baik pakan alami maupun pakan buatan. Pakan alami berupa plankton. Pada minggu-minggu pertarna setelah penetasan larva nilem menyukai
zooplankton dan larva cristacea sedangakan pada minggu selanjutnya lawa nilem mulai menyukai fitoplankton (Frandy, 2009). Padan buatan dpat berupa emulsi kuning telur ayam rebus ataupun pellet komersial dalam bentuk serbuk (Wijayanti et al., 1998;
20lI).
Masa
transisi dari pola pemanfaatan pakan intemal ke pakan eksternal merupakan periode kritis dalam perkemnangan larva ikan nilem. Apabila larva telah berhasil melewati periode kritis tersebut pada umumnya akan bertahan hingga periode selanjutnya (Wijayanti et al., 1995). Pada saat menetas, larva berukuran panjang 4,258+0,09cm dan meningkat menjadi 9 cm pada satu bulan pertama
(Wijayanti dan Simanjuntak, 2005).
Perkembangan larva nilem dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kualitas
induk, kedalaman air pemeliharaan (Winarlin et a1.,2008), temperatur (Wijayanti et al.,
bio.unsoed.ac.id
2010) dan kecukupan pakan (Wijayanti et al.,20TT). Benih ikan nilem dapat tumbuh dengan
baik dalam jaring apung pada kepadatan
4-I2llA0L
(Wicaksono, 2005). Pada kondisi
laboratorium, panjang tubuh benih umur dua bulan yang dipelihara dengan kepadatan seragam (100 ekor/6l) mencapa 21,9L1,38 mm sedangkan benih yang dipelihara dengan kepadatan tak seragam hanya mencapai 16,7+5,89 mm (Wijayanti et a1.,2012).
l
V. PENUTUP Pengetahuan dan teknologi yang tersedia pada saat pelaksanaan pembenihan ikan nilem secara
ini
sangat
,
memungkinkan untuk
intensif. Pembenihan intensif memiliki beberapa
kelebihan disbanding pembenihan tradisional arfiara lain, rasio induk jantan dan betina lebih efisien, pelaksanaannya dapat. terjadwal, relative terhindar dari predator sehingga sintasan larva tinggi dan kondisi pemeliharaanhingga benih siap dapat diatur. Kendala yang mungkin
timbul adalah kemampuan stripping secara tetap waktu dengan cara yang tepat pula. Kendala tersebut dapat diatasi dengan mengkondinasikan pemijahan induksi diikuti oviposisi spontan.
Teknik ini menghasilkan lebih namual jumlah sel telur yang dioviposisikan dengan FR yang lemih tinggi pula. Pengetahuan dan teknik pembibitan intensif perlu disebarluaskan kepada para petani ikan terutama pembenih agar para petani tersebut dapat meningkatkan produksi benihnya.
DAFTAR PUSTKA Alabaster, J.S. and Lloyd, R. 1980. Water quality criteriafor Freshwater Fish. Butterworth.
London
Anomin. 2013. Cara BudidayaLele I Teknik Pemijahan Semi-Intensif (bagian 1). http://perikananindonesia.com/cara-budidaya-lele-teknik-pemijahan-semi-intensifb agian- l / #ixzz2 dHo Q qlZb, diakse s tanggal 1 Juli 2 0 1 3 . Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Banyumas. 2010. Profil dan Potensi Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Purwokerto Frandy, Y.H.E. 2009. Dinamika Kominitas Plankton dan Potensinya Sebagai Pakan Alami di Kolam PemeliharaanLava lkan Nilem (Osteochilus hasselti C. V.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor Lagler, K.F., Bardach J.E.,. Miller R.R and. Passino R.R.M. 1979. Iclrtyology. John Wiley and Son. New York
Pusat fuset Perikanan Budidaya. 2009. Dukungan Hasil Riset Terhadap Peningkatan Produktivitas Nilem. Bali Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Showcase IPTEKMAS, Purwokerto 9 Desember 2009
bio.unsoed.ac.id
Simanjuntak, S.B.I dan G.E., Wijayanti. 2005 Penggunaan Hormon untuk Induksi Pemijahan Ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Prosiding Seminar Nasionol Biologi dsn Akuakultur B er ke I anj ut an. F akultas Biologi. IINSOED, Purwokerto.
Soeminto, Wijayanti G.E., Simanjuntak S.B.I, Sudarwoso dan Chilmiati. R.1995. Pengaruh Kombinasi PMSG dan Human Crionic Gonadotropin (HCG) terhadap Pertumbuhan Telur Ikan Nilem. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto ( Tidak dipublikasikan ).
Subagja, J., Sularto dan Slembrouck J.. 2003. Rasio Spermatozoa dengan Telur pada Pembuahan Buatan Pangasius (Pangasiidae) Setelah di Suntik dengan Salmon Gonadotropin Realising Hormon Analog (SGNRH-A) dan Dopamin. Laporan Hasil Riset Proyek Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor
Sunarma A., Hastuti, D.W.B. dan Sistina Y. 2007. Penggunaan ekstender madu yang dikombinasikan dengan krioprotektant berbeda pada pengawetan sperma ikan nilem (Indonesian shark nimow, Osteochilus hasselti Valenciennes, 1842). Konferensi Akuakultur Indonesia Surabaya. Syandri, H. 2004. Penggunaan Ikan Nilem (Osteochilus haselti CV) dan Ikan Tawes (Puntius javanicus CV) sebagai Agen Hayati Pembersih Perairan Danau Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Natur Indonesia 6(2):87-90
Wicaksono, P. 2005. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Perhrmbuhan Dan Kelangsungan Hidup Ikan Nilem Osteochilus hasselti C.V. Yang Dipelihara Dalam Keramba Jaring Apung Di Waduk Cirata Dengan Pakan Perifiton. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor Wijayanti G.E., Simanjuntak S.B.I. dan Sugiarto. 2005. Optimalisasi Potensi Reproduksi Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) melalui Kajian Gametogenesis. Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, IINDIP Semarang. Wijayanti G.E., Soeminto, Simanjuntak, S.B.I., Susatyp P., dan Pulungsari A.E. 1995. Studi Pendahuluan untuk peningkatan mutu benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) melalui seleksi induk dan penetasan dalam akuarium. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi Unsoed. Wijayanti, G.E. dan Simanjuntak, S.B.I. 2005. Fertilisasi Telur Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) setelah Penyimpanan pada Temperatur 27oC. Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Akuakultur . Fakultas Biologi. LINSOED, Purwokerto. Wijayanti, G.E. dan A.N.Habibah.20ll. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio ikan nilem pada berbagai pH. Prosiding Seminar Nasional Perikanan. 19 Juli 2011. Universitas Gajahmada Yogyakarta.
Wijayanti, G.E. dan Sugiharto. 2006. Perkembangan Testis Ikan Nilem (Osteochilus hasselti CV) Selama Satu Siklus Reproduksi. Omni Akuatikn I (2):37-a3. Wijayanti, G.E., Soeminto, S.B.I. Simanjuntak, P. Susatyo dan Anastasia E.P. 1995. Studi Pendahuluan untuk Peningkatan Mutu Benih Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.Y ) melalui Seleksi Induk dan Penetasan dalam Akuarium. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto ( Tidak dipublikasikan ).
bio.unsoed.ac.id
Wijayanti, G.E., Sugiarto, P. Susatyo dan A. Nuryanto. 2010. Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Nilem yang Diinkubasi pada Media dengan Berbagai Temperatur. Prosiding Semnas Basic Science VII Vol III hal 180-187
dan I. Sulistyo. 20II. Peningkatan Produksi Ikan Nilem Di Kabupaten Wiiayanti, Banyumas Melalui Penerapan Biotekbologi Reproduksi. Laporan Penelitian. LPPM Unsoed Purwokerto.
I.
Sulistyo dan E.S. Palupi. 2012. Peningkatan Produksi Ikan Nilem di Kabupaten Banyumas Melalui Penerapan Bioteknologi Reproduksi. Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Sumberdaya Pedesaan Secara Berkelanjutan. KPPM. Unsoed
Wijayanti, G.W.
Purwokerto.
Winarlin, H. Djayasewaka, R. Samsudin dan I. Taufik. Pengaruh Tingkat Kedalaman Air Terhadap Perhrmbuhan Dan Sintasan Benih Ikan Nilem (Osteochilus hasselti, C.V.). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
bio.unsoed.ac.id