BIOFERTILIZER: SOLUSI TEKNOLOGI PENGEMBANGAN LAHAN SUB OPTIMAL
Gusti Ayu Kade Sutariati Andi Khaeruni R.
Muhidin
Gusti Ayu Kade Sutariati Andi Khaeruni R. Muhidin
BIOFERTILIZER: Solusi Teknologi Pengembangan Lahan Sub Optimal Editor Fransiscus Suramas Rembon La Ode Safuan
Unhalu Press Kendari, 2014
BIOFERTILIZER: Solusi Teknologi Pengembangan Lahan Sub Optimal Penulis : Gusti Ayu Kade Sutariati, Andi Khaeruni R. dan Muhidin Editor : Fransiscus Suramas Rembon La Ode Safuan Desain Cover dan Tata Letak La Mudi & Firmansyah Labir Diterbitkan pertama kali September 2014 oleh Unhalu Press Kampus Hijau Bumi Tridharma Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231 Email:
[email protected],
[email protected]
BIOFERTILIZER: Solusi Teknologi Pengembangan Lahan Sub Optimal Gusti Ayu Kade Sutariati, Andi Khaeruni R. dan Muhidin
xi + 149 hlm, 15,5 x 23 cm ISBN : 978-602-8161-67-1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR Indonesia
memiliki
biodiversitas
sangat
besar,
jutaan
mikroorganisme di bawah permukaan tanah yang seharusnya dapat meningkatkan martabat bangsa, belum tersentuh. Diperlukan solusi strategis dalam pengelolaan sumberdaya hayati tersebut untuk pengembangan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan. Buku “Biofertilizer: Solusi Teknologi Pengembangan Lahan Sub
Optimal” ini disusun sebagai upaya sharing informasi dan teknologi dalam bidang pertanian terkait dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan berbasis pemanfaatan mikroba rizosfer. Buku ini juga disusun sebagai bahan referensi mahasiswa khususnya, dan mereka yang berminat menggeluti bidang pertanian secara umum. Para peneliti pada berbagai lembaga penelitian pertanian dan para praktisi,
dapat
pula
memanfaatkan
buku
ini
dalam
rangka
memperlancar kegiatan penelitian terutama yang berkaitan dengan bidang
ini.
Buku
dengan
tema
ini,
masih
sangat
terbatas
ketersediaannya, sehingga akan sangat membantu mereka-mereka yang membutuhkan buku ini. Penyusunan materi dalam buku ini didasarkan pada berbagai sumber pustaka, pengalaman penulis dalam melakukan kegiatan Tridharma (Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat). Akhirnya penulis buku ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan segala jerih payahnya telah membantu dalam penyelesaian penulisan naskah buku ini. Harapan penulis, mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan dapat menambah khasanah buku di bidang pertanian, khususnya budidaya tanaman ramah
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
iii
lingkungan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan buku ini akan diterima dengan senang hati. Kendari,
September 2014
Penulis
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………....................... DAFTAR ISI………………………………………………………................... DAFTAR GAMBAR…………………………………..……......................... DAFTAR TABEL…………………………………..………….......................
v vii ix xi
BAGIAN 1 PENDAHULUAN …………………..…………...........……... 1.1 Sejarah Perkembangan Biofertilizer .................. 1.2 Pengertian Biofertilizer ………………………………… 1.3 Komponen Biofertilizer …………......................... 1.4 Jenis-jenis Biofertilizer...................................... 1.5 Keunggulan dan Kelemahan Biofertilizer ………… BAGIAN 2 BIOFERTILIZER PEMFIKSASI NITROGEN........... 2.1 Pendahuluan…………………………………................ 2.2 Rhizobium ..................................................... 2.2.1 Eksplorasi dan Isolasi 2.2.2 Mekanisme Fiksasi N dalam bintil akar 2.2.3 Produksi Massal dan Aplikasi 2.3 Azotobacter.................................................... 2.3.1 Eksplorasi dan Isolasi 2.3.2 Mekanisme Kerja 2.3.3 Produksi Massal dan Aplikasi 2.4 Azospirillum..................................................... 2.4.1 Eksplorasi dan Isolasi 2.4.2 Mekanisme Kerja 2.4.3 Produksi Massal dan Aplikasi 2.5 Azolla.............................................................. 2.5.1 Eksplorasi dan Isolasi 2.5.2 Mekanisme Kerja 2.5.3 Produksi Massal dan Aplikasi BAGIAN 3 BIOFERTILIZER PELARUT FOSFAT .................... 3.1 Pendahuluan…………………………………................ 3.2 Biofertilizer Kelompok Bakteri…………................. 3.2.1 Eksplorasi dan Isolasi 3.2.2 Mekanisme Kerja 3.3 Biofertilizer Kelompok Fungi …........................ 3.3.1 Eksplorasi dan Isolasi 3.3.2 Mekanisme Kerja 3.3.3 Produksi Massal dan Aplikasi
1 2 6 8 9 10 13 13 13 15 18 22 25 26 27 29 30 31 32 34 37 38 39 40 44 44 45 45 48 52 52 53 56
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
v
BAGIAN 4 BIOFERTILIZER FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA) .......................................... 4.1 Pendahuluan…………………..........………………...... 4.2 Tipe Fungi Mikoriza………………………………......... 4.3 Eksplorasi dan Isolasi ............................…....... 4.4 Mekanisme Kerja ............................................ 4.5 Produksi Massal dan Aplikasi............................. BAGIAN 5 BIOFERTILIZER PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) .................................. 5.1 Pendahuluan………………..........…………………...... 5.2 Eksplorasi dan Isolasi……...……………………......... 4.3 Mekanisme Kerja …......................................... 4.4 Produksi Massal dan Aplikasi............................. BAGIAN 6 PENGENDALIAN MUTU (QUALITY CONTROL) BIOFERTILIZER .................................................. 6.1 Syarat Mikroba Direkomendasikan sebagai Biofertilizer ..................................................... 6.2 Sifat Produk Mikroba……....……….....…............... 6.3 Manajemen Mutu………………….......................... BAGAIN 7 KENDALA DAN TANTANGAN TEKNOLOGI BIOFERTILIZER .................................................... BAGIAN 8
PENUTUP ............................................................
61 61 62 65 66 77 81 81 82 85 105 108 108 109 115 118 121
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………......................
125
INDEKS …………………………………….........................................
144
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 3.1.
Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4.
Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7.
Proses singkat isolasi Rhizobium dari bintil akar ...... Koloni Rhizobium................................................... Tahapan pembentukan nodul pada tanaman legum.. Koloni Azotobacter sp............................................ Prosedur isolasi dan pengujian mikroba sebagai pelarut P .............................................................. Contoh bakteri yang memiliki kemampuan melarutkan fosfat ................................................ Skema diagram pelarutan dan mobilisasi fosfat di dalam tanah oleh bakteri ..................................... Bahan pembawa inokulan mikroba alternatif ......... Struktur FMA pada akar tanaman Gimnosperma dan Angiosperma ...................................................... Penampang longitudinal akar yang terinfeksi fungi mikoriza ..................................................... Penyerapan P oleh tanaman melalui jalur tanaman dan jalur mikoriza ................................................. Ilustrasi efek mikoriza terhadap peningkatan ketahanan tanaman terhadap organisme pengganggu tanaman ......................................... Produksi IAA oleh PGPR ....................................... Performa hasil pengujian IAA dalam media dengan penambahan triftofan .......................................... Contoh pertumbuhan bibit cabai dengan atau tanpa perlakuan rizobakteri ........................................... Aktivitas peroksidase pada tanaman cabai yang mendapat perlakuan PGPR.................................... Produksi fitoaleksin pada buah cabai yang diberi perlakuan PGPR................................................... Performansi tanaman cabai: (a) mendapat aplikasi PGPR .................................................................. Performa pertumbuhan benih yang mendapat perlakuan PGPR ..................................................
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
vii
17 17 19 25 47 48 49 58 62 64 67 72
86 86 86 91 92 93 95
Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar 5.10. Gambar 5.11. Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 6.1
Performansi akar tanaman cabai yang berasal dari benih yang diinokulasi dengan PGPR ..................... Contoh hasil analisis aktivitas enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh isolat rizo-bakteri yang diuji . Contoh skoring produksi senyawa hidrogen sianida (HCN) oleh PGPR ................................................. Kemampuan PGPR yang diuji untuk mensintesis senyawa siderofor ................................................ Daya hambat rizo-bakteri terhadap pertumbuhan koloni dalam medium PDA ................................... Pengaruh negatif filtrat B. polymixa BG25 terhadap perkecambahan .................................................. Prosedur manajemen mutu biofertilizer .................
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
97 99 100 101 103 104 116
viii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Komposisi media biakan Rhizobium .......................
22
Tabel 2.2
27
Komposisi medium Ashby......................................
Tabel 2.3. Komposisi medium NFb .........................................
32
Tabel 2.4. Komposisi Media Pepton Agar ...............................
39
Tabel 2.5. Susunan hara Azolla (%) berdasarkan berat kering tumbuhan ........................................................... Tabel 3.1. Komposisi Media TSA, NA, King’s B dan PDA ........... Tabel 5.1. PGPR sebagai elisitor biotik untuk mengelisitor respon tanaman ................................................... Tabel 6.1. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Pembentuk Bintil Akar ........................................... Tabel 6.2. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Endomikoriza Arbuskular ........................................................... Tabel 6.3. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Ektomikoriza Arbuskular ........................................................... Tabel 6.4. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Non Simbiotik .............................................................. Tabel 6.5. Kriteria Pupuk Hayati Majemuk .............................. Tabel 6.6. Persyaratan Khusus Pupuk Hayati (Menurut Fungsi Pupuk Hayati) ......................................................
41
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
57 89 110 111 111 112 113 114
ix
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer |
x
BAGIAN 1 PENDAHULUAN Sebagai salah satu negara dengan biodiversitas sangat besar (baik yang berada di atas maupun di bawah permukaan tanah), Indonesia
seharusnya
sudah
memiliki
solusi
strategis
dalam
pengelolaan sumberdaya hayati tersebut untuk pengembangan pertanian
ramah
lingkungan
dan
berkelanjutan.
Dunia
telah
memulainya pada beberapa dekade yang lalu dan mereka bergerak sangat cepat, salah satu implikasinya mereka hanya menerima impor bahan pangan yang “bebas residu pestisida”. Sementara itu di negara yang sangat kita cintai ini, pembangunan pertanian berbasis pemanfaatan teknologi ramah lingkungan masih menjadi anganangan yang sangat diharapkan suatu saat akan menjadi kenyataan. Sesungguhnya telah ada upaya-upaya baik dari pemerintah maupun pribadi/kelompok masyarakat untuk mengembangkan hal tersebut, namun belum berjalan sesuai dengan harapan. Para petani kita telah terbiasa dengan cara-cara budidaya yang bersifat praktis memberi solusi (pupuk dan pestisida kimia), namun terkadang diluar kendali dan tidak bijaksana. Mereka baru sadar ketika diperhadapkan dengan masalah, misalnya saat ini di beberapa daerah telah terjadi levelling off produksi, tanah pertanian semakin padat dan rusak, hama/patogen semakin kebal dengan pestisida kimia, sehingga banyak petani gagal panen. Jika diperhadapkan dengan permasalahan seperti ini, barulah mereka sadar dan mau berubah. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
1
Teknologi
ramah
lingkungan
berbasis
pemanfaatan
sumberdaya hayati (mikroorganisme yang hidup di daerah rizosfer dan
berasosiasi
dengan
tanaman)
sebagai
agens
pemacu
pertumbuhan atau pengendali hayati, saat ini merupakan kajian yang sangat banyak mendapat perhatian dunia. Berbagai produk komersial dengan label “biofertilizer” atau “biopesticide” telah banyak beredar di pasaran, juga dikomersialkan secara luas melalui berbagai media sosial/dunia maya. Pembangunan pertanian dengan slogan “back to nature” sudah menjadi trend baru, tidak hanya bagi mereka yang menggeluti
bidang
pertanian,
tetapi
seluruh
manusia
yang
berkepentingan dengan makanan. Oleh karena itu, dengan komitmen yang kuat, mengacu pada besarnya potensi sumberdaya hayati kita yang belum terungkap dan terolah, dan kesiapsiagaan serta semangat pantang menyerah dalam mengeksplorasi dan mengembangkan berbagai potensi yang ada tersebut, maka kelak slogan itu benarbenar akan memberikan nilai positif yaitu kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dan kelestarian sumberdaya alamnya. 1.1 Sejarah Perkembangan Biofertilizer Biofertilizer (pupuk hayati) telah dikenal dan digunakan oleh para petani di berbagai belahan dunia sejak berabad-abad yang lalu. Petani padi Cina menggunakan Azolla sebagai biofertilizer tanaman padi sejak 1500 tahun yang lalu. Hal ini diketahui dari sebuah buku yang ditulis oleh Jia Ssu Hsieh (Jia Si Xue) pada 540 AD dengan judul “The Art of Feeding the People” (Chih Min Tao Shu). Pada akhir Dinasti Ming di awal abad ke-17, penggunaan Azolla sebagai “Green
compost” ditulis pada berbagai media lokal. Bangsa Romawi, Yunani Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
2
dan Israel mengetahui tentang biofertilizer dalam sistem pertanian organik (organic farming) bahkan sejak 1000 tahun sebelum Masehi. Berbagai referensi penggunaan biofertilizer dalam budidaya tanaman tertera dalam teks-teks gereja. Di Amerika Serikat, selama berabadabad
para
petani
tidak
menyadari
bahwa
mereka
telah
mempraktekkan kegiatan budidaya pertanian dengan memanfaatkan biofertilizer “Rhizobia”. Mereka hanya belajar dari pengalaman bahwa menginokulasi tanaman nonlegum dengan tanah yang diambil dari tanaman legum sebelumnya, dapat meningkatkan hasil tanaman mereka. Pada akhir abad ke- 19, pencampuran tanah (yang telah diinokulasi secara alami dengan tanaman legum) dengan benih tanaman, merupakan metode yang direkomendasikan dalam proses budidaya tanaman (Smith, 1992). Pengembangan
biofertilizer
untuk
tujuan
komersialisasi
pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1896. Dua orang ilmuwan Jerman, F. Nobbe dan L. Hiltner mendapatkan paten dari “Proses inokulasi benih dengan inokulan Rhizobium sp.”. Inokulan ini dipasarkan dengan nama Nitragin. Kemudian pada tahun 1930-an dan 1940-an berjuta-juta ha lahan di Uni Sovyet yang ditanami dengan berbagai tanaman diinokulasi dengan Azotobacter. Bakteri ini diformulasikan dengan berbagai cara dan disebut sebagai pupuk bakteri Azotobakterin. Sementara itu, di Eropa Timur, biofertilizer yang digunakan secara luas adalah Fosfobakterin.
Produk ini
mengandung bakteri Bacillus megaterium yang mampu menyediakan fosfat terlarut dari tanah ke tanaman (Bashan, 1998). Selama hampir 100 tahun, inokulan Rhizobium sp. telah diproduksi di seluruh dunia. Di Brazil, tanaman kacang-kacangan, Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
3
seperti kedelai (Glycine max L. (Merr.) tidak dipupuk dengan nitrogen, tetapi hanya diinokulasi dengan inokulan Rhizobium sp. Pemanfaatan biofertilizer ini memberikan dampak positif yang signifikan pada produksi kedelai dan kacang-kacangan lainnya di Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Amerika Utara, Eropa Timur, Mesir, Israel, Afrika Selatan, Selandia Baru, dan sebagian Asia Tenggara. Namun demikian di negara-negara kurang berkembang seperti Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan, teknologi
inokulan
tidak
berdampak
secara
signifikan
pada
produktivitas pertanian. Hal ini diduga karena inokulan tidak digunakan
sesuai rekomendasi
atau inokulan yang digunakan
berkualitas buruk (Bashan, 1998). Pengembangan biofertilizer di Indonesia baru dimulai pada tahun
1980-an,
meskipun
beberapa
penelitian
terkait
dengan
pembuatan inokulan rhizobia telah dimulai sejak tahun 1938 (Simanungkalit, 2006). Pembuatan inokulan rhizobia dalam skala komersial dimulai pada tahun 1981, berpusat di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, pengguna produk tersebut masih terbatas hanya untuk memenuhi permintaan para petani transmigran yang mendapat bantuan dana program intensifikasi kedelai (Jutono, 1982). Secara umum, komersialisasi produk inokulan di Indonesia tidak berkembang secara signifikan. Petani lebih memilih menggunakan pupuk kimia, karena praktis digunakan dan lebih mampu meningkatkan produksi dibandingkan dengan tanpa pemupukan. Apalagi pupuk mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harganya relatif murah. Namun demikian setelah perlahan-lahan subsidi pupuk mulai dikurangi, dan Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
4
bahkan dicabut, maka kesadaran petani tentang pupuk hayati mulai dibangun. Kesadaran petani untuk menggunakan biofertilizer terasa semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Intensifikasi pertanian melalui gerakan Revolusi Hijau sejak tahun 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, di satu sisi memang menyebabkan produktivitas pertanian mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun di sisi lain, penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara terus menerus dan tidak terkendali, mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan (tanah, air dan manusia). Saat ini kondisi lahan-lahan pertanian yang mendapatkan pupuk sintetis secara berlebihan dan terus menerus, sudah mulai menunjukkan gejala sakit. Pupuk sintetis yang dipercaya dapat meningkatkan
hasil,
ternyata
penambahannya
sudah
tidak
meningkatkan hasil lagi atau terjadi gejala leveling off produksi (Kasno, 2010). Mikroorganisme penyeimbang kondisi fisik, kimia dan biologi tanah
sudah
jarang
ditemukan.
Munculnya
berbagai
penyakit
degeneratif yang dipicu atau disebabkan oleh konsumsi bahan pangan yang tidak sehat (residu bahan kimiawi beracun terutama dari penggunaan
pestisida
kimia
yang
tidak
bijaksana),
semakin
menyadarkan masyarakat untuk segera beralih ke teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan. Berbagai
kajian
dan
pengembangan
pertanian
berbasis
teknologi ramah lingkungan, tidak hanya berkembang di Indonesia, trend ini bahkan telah berkembang lebih awal di berbagai belahan dunia. Berbagai negara seperti India, Thailand, Jepang, Cina, Brazil, Taiwan dan negara maju lainnya telah lama beralih dari pupuk kimia Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
5
ke
biofertilizer.
Permintaan
produk
pangan
organik
berbasis
biofertilizer juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dari
tahun
ke
tahun.
Sebagian
orang
lebih
memilih
untuk
mengkonsumsi produk-produk pangan organik walaupun dengan harga yang lebih mahal. Kondisi ini membuka peluang yang sangat besar untuk berbagai kajian dan pengembangan teknologi yang berorientasi pada dihasilkannya produk organik, karena memberi manfaat ekonomis sekaligus ekologis. Oleh karena itu teknologi biofertilizer sebagai salah satu faktor kunci untuk pencapaian tujuan tersebut,
perlu
terus
dikembangkan
dan
disebarluaskan
penggunaannya di seluruh negeri ini. 1.2 Pengertian Biofertilizer Biofertilizer (pupuk hayati) atau pupuk mikroba didefinisikan sebagai formulasi mikroorganisme atau organisme hidup yang bila diterapkan
pada
benih,
permukaan
tanaman
atau
tanah,
mengolonisasi rizosfer atau bagian dalam tanaman dan meningkatkan pertumbuhan dengan meningkatkan pasokan atau ketersediaan nutrisi utama untuk tanaman inang (Vessey, 2003). Beberapa Ilmuwan lainnya mendefinisikan biofertilizer sebagai sistem penyediaan nutrisi tanaman yang melibatkan proses biologis (Aggani, 2013), bahan yang mengandung mikroba hidup yang membantu dalam meningkatkan kesuburan tanah baik melalui fiksasi nitrogen atmosfer, pelarutan fosfor atau pengomposan limbah organik atau dengan menghasilkan hormon tumbuh melalui aktivitas biologisnya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Narula et al., 2005), produk yang mengandung pembawa (padat atau cair) berbasis mikroorganisme Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
6
hidup yang berguna dalam bidang pertanian misalnya sebagai pemfiksasi nitrogen, pelarut fosfor atau mobilisasi nutrisi, untuk meningkatkan
produktivitas
tanah
dan/atau
tanaman
(Simiyu–
Wafukho dan Masso, 2013). Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
biofertilizer adalah produk atau formulasi yang fungsi dan
prinsip penggunaannya sama seperti pupuk kimia yaitu menyediakan unsur hara N, P, K atau unsur hara dan substansi lainnya (hormon tumbuh) untuk meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman.
Masih berkaitan dengan definisi tersebut, di dalam Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011, dijelaskan bahwa
pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri atas mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah. Beberapa istilah lain terkait
dengan pupuk hayati, namun
bersifat lebih teknis (sebagai pedoman pengajuan produk untuk komersialisasi) antara lain: 1) Formula pupuk hayati adalah komposisi mikroba/mikrofauna dan bahan pembawa penyusun pupuk hayati. 2) Rekayasa formula pupuk hayati adalah serangkaian kegiatan rekayasa pupuk hayati, baik secara kimia, fisika, dan/atau biologi untuk menghasilkan formula pupuk hayati. 3) Pengujian mutu pupuk hayati adalah analisis kandungan jenis, populasi dan fungsi mikroba/mikrofauna, serta patogenisitas di laboratorium sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan. 4) Pengujian efektivitas pupuk hayati adalah kegiatan uji lapang atau rumah kaca untuk mengetahui pengaruh dari pupuk hayati
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
7
terhadap
pertumbuhan
dan
produktivitas
tanaman,
efisiensi
pemupukan, peningkatan kesuburan tanah atau kesehatan tanah. 1.3 Komponen Biofertilizer Komponen utama biofertilizer adalah mikroba yang memiliki keunggulan sesuai dengan label kemasannya, misalnya biofertilizer pemfiksasi
N
mengandung
Rhizobia
atau
Azzospirillum
atau
Azotobacter, atau campuran beberapa mikroba sekaligus. Komponen lainnya adalah carrier (bahan pembawa) berupa cairan atau bahan padatan dan bahan perekat. Jenis carrier yang banyak digunakan adalah bahan-bahan organik berasal dari limbah pertanian seperti kompos, pupuk kandang, serbuk sekam, serbuk tongkol jagung (Wang et al., 2014), serbuk bata merah atau serbuk arang sekam (Sutariati et al., 2011), vermicompost atau cascing (Gandhi dan Sivakumar, 2010; Packialakshmi dan Riswana, 2014), serbuk sekam padi, dedak gandum, tanah liat, gambut, dan campuran gambut dengan vermikulit (Abd El-Fattah et al., 2013), campuran gambut dan kompos (Danapriatna dan Simarmata, 2011). Sebagai bahan perekat umumnya digunakan sukrosa, pepton, gliserol dan molase (Saleh et
al., 2013), gum (Nandi et al., 2013), gum arabic dan jaggery (Suman et al., 1995), carboxymethylcellulose (Hameeda et al., 2008). Agar dapat dikomersialkan secara luas kepada masyarakat/pengguna, maka produk biofertilizer yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dalam bentuk SNI, atau yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Persyaratan Teknis Minimal (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
8
Beberapa
persyaratan
sebuah
produk
dapat
dinyatakan
sebagai produk biofertilizer antara lain: 1)
Mengandung mikroba efektif dengan jumlah populasi minimum sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
2)
Tidak mengandung kontaminan mikroba yang jumlahnya melebihi dari populasi maksimum yang diijinkan.
3)
Tidak
mengandung
organisme
patogen
yang
dapat
mengakibatkan penyakit pada tanaman, hewan atau manusia. 4)
Bahan pembawa (carrier) yang digunakan untuk formulasi biofertilizer harus memenuhi kriteria aman bagi lingkungan (tidak berbahaya), terutama bagi mikroba.
5)
Memiliki setidaknya salah satu kemampuan/keunggulan sebagai biofertilizer yaitu (a) fiksasi Nitrogen, (b) pelarut fosfat atau berbagai mineral lainnya, (c) memacu pertumbuhan tanaman, (d) kelebihan tambahan seperti menurunkan insiden organisme penggangu tanaman (OPT), ameliorasi tanah atau dekomposer.
6)
Penggunaan biofertilizer harus memperhitungkan keberadaan mikroba sebagai inokulan pada berbagai kondisi. Perbedaan komoditas, lokasi dan musim dapat mempengaruhi efektivitas biofertilizer yang digunakan.
1.4 Jenis-jenis Biofertilizer Beberapa jenis biofertilizer yang umum dijumpai di pasaran yaitu: (a) biofertilizer sumber nitrogen melalui kemampuannya mengikat nitrogen bebas untuk diubah menjadi amoniak yang selanjutnya
akan
dimanfaatkan
oleh
tanaman,
antara
lain
Azotobacter, Azospirillum, Herbaspirillum, Rhizobium, Clostridium, Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
9
Azolla, Cyanobacter dan lain-lain; (b) Biofertilizer sumber fosfat dan mineral lainnya (kalium, sulfur), seperti Bacillus, Pseudomonas, dan Mikoriza. Kelompok mikroba ini menyediakan fosfat atau mineral lainnya dengan cara melarutkan fosfat (P) atau kalium (K) yang tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga dapat diserap oleh tanaman; (3) Biofertilizer penyedia biohormon. Biohormon adalah hormon yang dihasilkan oleh mikroba untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Mikroba-mikroba
penyedia
biohormon
adalah Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas, dan Bacillus. Pada umumnya, biohormon dapat berupa auksin, sitokinin, dan giberelin. hormon-hormon ini sangat diperlukan oleh tanaman, baik untuk perkecambahan, pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan akar, pembungaan maupun pembuahan. 1.5 Keunggulan dan Kelemahan Biofertilizer Aplikasi pupuk mikroba dalam kegiatan budidaya pertanian menawarkan berbagai peluang untuk pengembangan pertanian yang lebih baik karena memberikan keuntungan dan manfaat secara langsung pada tanah dan berimbas pada peningkatan produksi tanaman. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam aplikasi pupuk hayati yang memerlukan studi/pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan solusi lebih baik dalam setiap kasus tertentu dalam kegiatan pertanian.
Keunggulan Biofertilizer Beberapa keunggulan penggunaan pupuk hayati: 1)
Pupuk
hayati meningkatkan ketersediaan unsur hara (nitrogen
dan fosfor) bagi tanaman dengan cara lebih alami dibandingkan Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
10
dengan pupuk kimia. Pupuk hayati juga dapat menambah dan memobilisasi nutrisi penting untuk pertumbuhan tanaman seperti hormon tumbuh, protein dan vitamin. Beberapa spesies mikroba juga dapat memproduksi senyawa anti mikroba (patogen) dan pestisida alami. 2)
Pupuk hayati mengembalikan kesuburan tanah secara normal melalui peningkatan aktivitas biologis mikroba penyusunnya dan asosiasinya
dengan
berbagai
mikroorganisme
lainnya.
Peningkatan aktivitas mikroba dapat meningkatkan jumlah bahan organik sehingga tekstur dan struktur tanah menjadi lebih baik. 3)
Pupuk hayati meningkatkan hasil hingga 50%. Pupuk hayati membantu tanaman mengembangkan sistem akar yang lebih kuat dan tumbuh lebih baik.
4)
Pupuk hayati mampu memproteksi mikroorganisme berbahaya dalam tanah, seperti fungi, bakteri
dan nematoda patogen.
Aplikasi pupuk hayati pada benih, memberikan
perlindungan
lebih awal terutama terhadap patogen terbawa benih. 5)
Mekanisme proteksi mikroba bersifat selektif, artinya mikroba yang terdapat dalam pupuk hayati hanya akan menyerang hama penyakit
target,
dan
tidak
menyerang
mikroorganisme/
organisme bermanfaat. 6)
Pupuk hayati tidak mencemari tanah atau lingkungan, sedangkan pupuk kimia sering mengakibatkan terlalu banyak fosfat dan nitrogen dalam tanah.
7)
Pupuk hayati lebih murah dan mudah digunakan, bahkan untuk petani pemula.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
11
8)
Pupuk hayati tidak membahayakan (tidak memiliki efek samping) bagi penggunanya.
9)
Penggunaan
pupuk
hayati
dalam
jangka
panjang
tidak
mengakibatkan resistensi hama atau penyakit. 10) Penggunaan pupuk hayati mengurangi ketergantungan pada sumberdaya alam (energi bumi tak terbarukan) yang merupakan bahan baku pupuk kimia.
Kelemahan Biofertilizer 1)
Secara umum efektivitas pupuk hayati lebih rendah dibandingkan dengan pupuk kimia. Mekanisme perbaikan pertumbuhan atau proteksi
terhadap
organisme
pengganggu
tanaman
(OPT)
berjalan lebih lambat, sehingga hal ini seringkali mengakibatkan petani
kembali
beralih
ke
pestisida
kimiawi,
dikarenakan
ketidaksabaran menunggu hasil aksi mikroba pupuk hayati. 2)
Dinamika perkembangan populasi mikroba di daerah rizosfer setelah aplikasi sulit diprediksi (memerlukan isolasi dan pengujian berkala untuk memastikan keberadaan dan kontribusinya bagi tanaman).
3)
Lebih optimal jika digunakan untuk preventif (melalui perlakuan pada
benih),
pertumbuhannya.
karena
membutuhkan
Keterlambatan
aplikasi
waktu pada
untuk tanaman
mengakibatkan pupuk hayati kurang efektif. 4)
Pupuk
hayati
memerlukan
aplikasi
berulang
untuk
mempertahankan populasinya pada kondisi seimbang.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
12
BAGIAN 2 BIOFERTILIZER PEMFIKSASI NITROGEN 2.1 Pendahuluan Nitrogen tersedia dalam jumlah yang melimpah di atmosfer dalam bentuk gas. Nitrogen atmosfer tersebut dapat diubah melalui serangkaian reaksi oleh bakteri tertentu menjadi senyawa organiK yang
dapat
digunakan
pertumbuhannnya.
oleh
tanaman
untuk
mendukung
Fenomena fiksasi nitrogen atmosfer tersebut
dikenal sebagai penambatan nitrogen secara biologis (biological
nitrogen fixation) sehingga mikroba yang mampu melakukan fiksasi nitrogen disebut diazotrof atau bakteri pemfiksasi nitrogen Mikroba yang mampu menyediakan unsur nitrogen melalui fiksasi nitrogen atmosfer dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : (1) mikroba yang melakukan hubungan simbiotik dengan tanaman tertentu, seperti Rhizobium yang bersimbiosis dengan kedelai sehingga dikenal sebagai kelompok pemfiksasi nitrogen secara simbiotik, dan (2) mikroba yang hidup bebas (free-living microbes), artinya mikroba ini tidak mempunyai asosiasi spesifik dengan tanaman tertentu, dan dikenal sebagai kelompok pemfiksasi nitrogen secara non-simbiotik 2.2 Rhizobium
Rhizobium adalah nama umum dari kelompok bakteri-bakteri pemfiksasi nitrogen melalui hubungan simbiotik dengan tanaman tertentu. Rhizobium merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat aerob, berbentuk batang dengan ukuran berkisar 0.5-0.9 µm x 1.2-3.0 Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
13
µm, tidak membentuk spora, memiliki flagella tunggal, dua atau beberapa
sebagai alat pergerakan aktif dalam lapisan air, secara
umum sel Rhizobium mengandung butiran poly-b-hydroxybutyrate. Pada media Yeast Mannitol Agar (YMA) Rhizobium memiliki karakter spesifik seperti bentuk, warna dan tekstur dari koloni dalam pertumbuhannya. Bentuk koloni umumnya datar, bulat dan cembung dalam petridish. Warna koloni bisa putih, warna susu atau translucen (putih agak keruh), sedangkan tekstur koloni biasanya agak lengket. Bakteri ini termasuk dalam famili Rhizobiaceae, dan banyak ditemukan di dalam daerah perakaran tanaman legum dan membentuk hubungan simbiotik dengan membentuk struktur khusus pada tanaman yang disebut bintil akar. Bakteri pembentuk bintil akar dibedakan atas: 1) Genus Rhizobium, yaitu kelompok bakteri yang tumbuh cepat. Spesies yang tergolong dalam kelompok ini adalah Rhizobium
leguminosarum dan R. meliloti. 2) Genus Bradyrhizobium, yaitu suatu kelompok bakteri yang tumbuh lambat. Spesies yang tergolong dalam kelompok ini adalah Bradyrhizobium japonicum, Bradyhizobium sp. 3) Genus Sinorhizobium, yaitu suatu kelompok bakteri yang tumbuh cepat yang membentuk bintik akar dengan kedelai. Bakteri ini dahulu disebut Rhizobium fredii. 4) Genus Azorhizobium, yaitu suatu kelompok yang hanya mempunyai
satu
spesies
yang
disebut
Azorhizobium
caulinodans, yang membentuk bintil batang pada tumbuhan Sesbania.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
14
2.2.1 Eksplorasi dan Isolasi Pengembangan dengan
biofertilizer
mengeksplorasi
berbahan
isolat-isolat
yang
dikembangkan di daerah-daerah tertentu.
Rhizobium
diawali
potensial
untuk
Aplikasi Rhizobium di
daerah yang lahan pertaniannya didominasi oleh tanah podzolik merah kuning (ultisol) tentu akan lebih efektif jika Rhizobium yang digunakan dapat beradaptasi pada kondisi lahan yang masam dan kering. Eksplorasi dapat dilakukan dengan menngunjungi sentrasentra pertanaman kedelai atau tanaman legum lainnya di daerah tertentu untuk mengambil sampel tanaman yang akan dibawa ke laboratorium
untuk
diisolasi
Rhizobiumnya.Pengambilan
sampel
tanaman sebagai sumber Rhizobium dapat dilakukan dengan memilih tanaman-tanaman
yang
kondisi
pertumbuhannya
sehat
dan
memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding tanaman lain di sekitarnya. Tanaman yang dipilih untuk dibawa ke laboratorium adalah tanaman leguminase seperti kedelai, harus dipilih tanaman yang memiliki bintil akar yang banyak dan sehat. Setelah didapatkan tanaman sampel yang sesuai, maka langkah selanjutnya adalah mengisolasi Rhizobium di laboratorium dari perakaran tanaman yang diperoleh dari lapangan. Selain dari perakaran tanaman, Rhizobium juga dapat diisolasi dari tanah sekitar perakaran (daerah rizosfer). Proses singkat isolasi Rhizobium dari bintil akar ditampilkan pada Gambar 2.1.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
15
Prosedur isolasi Rhizobium dari perakaran tanaman adalah sebagai berikut: 1)
Eksplorasi
dan
pengumpulan
akar
tanaman
legum
yang
membentuk bintil (peas, beans, locust, Mimosa), 2)
Bintil akar dibersihkan dari partikel-partikel tanah dan kotoran yang melekat,
3)
Nodul direndam dalam air steril semalaman,
4)
Dilakukan disinfektan dengan alkohol 70% atau NaOCl 2% selama 5 menit,
5)
Bintil akar dihancurkan di atas gelas obyek secara aseptik, dan ditetesi dengan 1-2 tetes akuades steril hingga terbentuk suspensi menyerupai larutan susu.
6)
Larutan digoreskan pada media YMA+Congo red dalam cawan petri
7)
Dilakukan inkubasi pada temperatur ruang (suhu 28o C) selama beberapa
hari dan amati pertumbuhan bakteri yang ada pada
media, ciri koloni berukuran kecil berwarna putih. Prosedur isolasi dari tanah dilakukan sebagai berikut: 1)
Tanah
dari
sekitar
perakaran
tanaman
legum,
ditimbang
sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam 100 ml akuades steril dan shaker selama 30 menit 2)
Suspensi digoreskan pada media Emerson Agar dalam cawan petri.
3)
Selanjutnya diinkubasi pada temperatur ruang selama satu minggu dan dilakukan pengamatan pertumbuhan bakteri pada media, ciri koloni berukuran kecil berwarna putih.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
16
Gambar 2.1. Proses singkat isolasi Rhizobium dari bintil akar Identifikasi awal isolat dapat dilakukan melalui penentuan reaksi melalui pewarnaan Gram atau pemberian larutan KOH 0,3% yang dilanjutkan dengan pengamatan bentuk sel dengan mikroskop, rihizobium bereaksi Gram negatif, berbentuk batang (Gambar 2.2).
a
b
c
Gambar 2.2. Bentuk koloni dan sel Rhizobium: (a) Pada media Emerson agar, (b) pengamatan mikroskop (pembesaran 1000x dengan pewarnaan Gram, dan (c) bentuk sel Rhizobium melalui pengamatan mikroskop electron (www.doctor.obregon) Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
17
2.2.2 Mekanisme Fiksasi Nitrogen di Dalam Bintil Akar Simbiosis antara Rhizobium dengan legum dicirikan oleh pembentukan struktur bintil akar pada tanaman inang (legum). Pembentukan bintil akar diawali dengan sekresi produk metabolisme tanaman ke daerah perakaran yang menstimulasi pertumbuhan bakteri. Stimulasi tersebut tidak hanya terjadi pada Rhizobium melainkan juga terjadi pada bakteri lain yang ada di rhizosfer. Jika di daerah rhizosfer terdapat bakteri Rhizobium maka bakteri tersebut akan tumbuh mencapai kerapan sel yang tinggi. Secara umum, tahapan pembentukan bintil akar pada tanaman legum terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Pengenalan pasangan yang sesuai antara tanaman dengan bakteri yang diikuti oleh pelekatan bakteri Rhizobium pada permukaan rambut akar tanaman. 2. Invasi rambut akar oleh bakteri melalui pembentukan benang infeksi (infection thread). 3. Perjalanan bakteri ke akar utama melalui benang infeksi. 4. Pembentukan sel-sel bakteri yang mengalami deformasi, yang disebut sebagai bakteroid di dalam sel akar tanaman. 5. Pembelahan sel tanaman dan bakteri sehingga berbentuk bintil akar. Pelekatan Rhizobium pada rambut akar dapat terjadi karena pada permukaan sel Rhizobium dan Bradyrhizobium terdapat suatu protein
pelekat (adhesin) yang disebut sebagai rhicadhesin.
Rhicadhesin adalah suatu protein pengikat kalsium pada permukaan rambut akar. Senyawa lain yang juga berperan dalam pengikatan Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
18
bakteri yaitu lectin (phytoagglutinin) yang merupakan protein yang mengandung karbohidrat. Lectin terdapat pada permukaan sel bakteri
Rhizobium/Bradyrhizobium maupun ujung rambut akar, meskipun peranan lectin dalam proses pengenalan dan pengikatan tidak lebih penting daripada peranan rhicadhesin. Tahapan pembentukan nodul dimulai dengan: (1) penetrasi sel bakteri ke dalam rambur akar melalui ujung rambut akar, (2) setelah melekat, rambut akar menggulung, disebabkan oleh senyawa yang dikeluarkan bakteri yang disebut sebagai faktor Nod, selanjutnya bakteri memasuki rambut akar dan menginduksi pembentukan benang infeksi lalu tumbuh kearah sel-sel akar, (3) bakteri kemudian tumbuh secara cepat dan mengalami perubahan bentuk menjadi struktur bercabang yang disebut bakteroid, perkembangan bakteroid menyebabkan terbentuknya bintil akar. Tahapan pembentukan nodul pada tanaman legum secara ringkas ditampilkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Tahapan pembentukan nodul pada tanaman legum (Sumber: Biswas dan Das, 1998) Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
19
Bakteroid dikelilingi oleh membran sel tanaman yang disebut membran peribakteroid. Penambatan nitrogen baru dapat terjadi setelah terbentuk struktur bakteroid. Jika tanaman mati maka bintil akar akan rusak sehingga bakteri terlepas keluar dari sel-sel akar tanaman. Bakteroid tidak mampu membelah lagi, namun biasanya diantara bakteri yang terlepas tersebut ada sebagian sel-sel dorman yang tidak mengalami perubahan bentuk menjadi bakteroid sehingga sel-sel ini nantinya dapat tumbuh lagi dan mampu mengifeksi akar tanaman legum atau tetap hidup bebas di dalam tanah. Bintil akar pada tanaman legum yang sehat berwarna kemerah-merahan seperti haemoglobin. Warna merah pada bintil akar disebabkan oleh adanya pigmen yang disebut leghaemaglobin (LHb) yang
mengandung
besi.
LHb
mempunyai
karakteristik
seperti
myoglobin yang ada pada hewan. Leghaemoglobin hanya ditemukan pada bintil akar yang sehat, sedangkan tanaman yang tidak sehat mempunyai bintil akar berwarna putih karena tidak mempunyai LHb sehingga penambatan nitrogen tidak dapat terjadi pada bintil akar yang tidak sehat semacam itu. LHb berada pada membran bakteroid. Penelitian menunjukkan bahwa membran bakteroid berperan dalam memisahkan bakteroid dari sistem penyangga oksigen. LHb berfungsi mengatur konsentrasi oksigen karena bakteroid bersifat aerobik dan mengkonsumsi oksigen. Perlu diketahui bahwa penambatan nitrogen bersifat sangat peka terhadap keberadaan oksigen. Oksigen pada aras di atas 0,5 atm menghambat penambatan nitrogen karena terjadi penon-aktifan kompleks nitrogenase. Dalam hal ini LHb berfungsi sebagai fasilator pengambilan oksigen oleh enzim oksidase terminal (terminal oxidases) dan meningkatkan produksi ATP untuk aktifitas Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
20
nitrogenase. Selain itu LHb juga berperan dalam menciptakan suasana anaerob di sekitar nitrogenase denngan cara bergabung dengan oksigen dan membentuk oxyhaemaglobin (OLHb) sehingga oksigen menjadi tersedia di permukaan membran sel bakteri. Dengan cara demikian
maka
LHb
membantu
proses
respirasi
bakteri
dan
menyediakan ATP untuk penambatan nitrogen sekaligus melindungi kempleks nitrogenase dari pengaruh oksigen. Konsentrasi LHb dapat digunakan
untuk
memperkirakan
efisiensi
bintil
akar
dalam
penambatan nitrogen (N2). Dalam proses penambatan nitrogen, baik nitrogenase (protein Mo-Fe) maupun nitrogenase reduktase (protein Fe) bersifat esensial dalam penambatan nitrogen. Protein Fe berinteraksi dengan ATP dan Mg++, sedangkan protein Mo-Fe mengkatalisis reduksi N2 menjadi NH3 H+
menjadi H2 dan mengubah asetilen menjadi etilen. Selama
penambatan nitrogen, sumber reduktan untuk transfer electron berasal dari ferredoxin atau flavodixin yang tereduksi. Feredoxin yang tereduksi memberikan elektron ke protein Fe sehingga mereduksi protein Mo-Fe dan diikuti oleh pelepasan phosphate anorganik (Pi). Konfleks enzim nitrogenase memperoleh energi dari ATP yang dihasilkan pada saat terjadi proses respirasi. Akhirnya, protein Mo-Fe memberikan elektron ke substrat yang dapat direduksi, misalnya N2. Secara umum reaksi penambat nitrogen pada bintil akar legum dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
Ammonia penambatan
adalah
nitrogen.
produk Setelah
stabil
pertama
terbentuk,
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
pada
ammonia
proses
kemudian 21
ditransfer
melalui
membran
bakteroid
ke
sel
tanaman
yang
selanjutnya akan digunakan dalam metabolisme tanaman. 2.2.3 Produksi Massal dan Aplikasi
Rhizobium
pada
umumnya
dipelihara
dengan
menumbuhkannya dalam medium padat Yeast Extract Mannitol Agar (YEMA).
Untuk
menjaga
kemampuan
fisiologisnya
agar
tidak
mengalami penurunan, maka Rhizobium harus diremajakan (disubkultur) secara berkala. Kultur yang dipelihara inilah yang digunaan sebagai “kultur induk” yang digunakan sebagai inokulum untuk perbanyakan Rhizobium yang akan diformulasi sebagai pupuk hayati. Komposisi media biakan sintetik untuk menumbuhkan Rhizobium adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Komposisi media biakan Rhizobium Komponen
Berat/volume
K2HPO4
0,5 g
MgSO4
0,2 g
NaCl
0,1 g
Mannitol*)
10,0 g
Yeast extract
1,0 g
Akuades Agar
1000 ml 20 g
*) Mannitol dapat diganti dengan sukrosa atau glukosa Selain medium dengan komposisi seperti diatas, beberapa peneliti atau produsen inokulan Rhizobium menggunakan medium dengan komposisi yang bervariasi. Perbanyakan Rhizobium dilakukan Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
22
dengan menumbuhkan bakteri dalam medium cair dalam skala volume yang disesuaikan dengan kapasitas produksi inokulan. Perbanyakan
dilakukan
dengan
menggunakan
fermentor
besar
dengan ragam alat pengaturan, misalnya pH, oksigen terlarut, suhu dan penggocok. Selain itu, perbanyakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan fermentor yang lebih sederhana yaitu menggunakan tabung Erlenmeyer meskipun tanpa peralatan pengaturan khusus. Jika perbanyakan dilaukan dengan menggunakan tabung Erlenmeyer, maka harus dilakukan penggocokan dengan alat penggocok (shaker) secara teratur yang dapat diatur kecepatannya. Medium yang digunakan untuk perbanyakan sama dengan yang digunakan untuk memelihara kultur tetapi tanpa menggunakan agar. Meskipun dengan media cair dengan komposisi seperti diatas sudah cukup untuk perbanyakan Rhizobium, namun pengalaman menunjukkan
bahwa
penggunaan
medium
menghasilkan biomassa sel yang lebih banyak.
biphasik
dapat
Medium biphasik
adalah medium yang terdiri atas dua fase yaitu medium fase padat (medium yang ditambah dengan agar) yang ada dibagian bawah tabung Erlenmeyer. Di atas medium pada lalu dituangkan medium fase cair dengan komposisi sama dengan medium padat tetapi tanpa agar. Medium biphasik hanya digunakan untuk perbanyakan sel menggunakan tabung Erlenmeyer, sedangan untuk fermentor besar dengan medium cair. Kultur selanjutnya diinkubasi selama beberapa hari, tergantung pada laju pertumbuhan Rhizobium yang digunakan. Setelah inkubasi, kultur dipanen tanpa harus memisahkan selnya dari medium karena nantinya kultur cair tersebut akan dicampur dengan bahan pembawa. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
23
Kultur cair Rhizobium yang sudah dibuat selanjutnya dicampur dengan
bahan
pembawa
(carrier
material).
Bahan
pembawa
Rhizobium idealnya memeiliki karakteristik: 1) Mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi 2) Tidak toksik terhadap mikroba 3) Mendukung pertumbuhan mikroba 4) Secara umum steril atau mudah disterilan 5) Bahan mudah diperoleh dengan harga murah 6) Mempunyai daya lekat terhadap benih 7) Secara kimiawi mempunyai komposisi yang seragam 8) Mudah diatur pH-nya 9) Mudah didegradasi, tidak mencemari lingkungan 10) Mudah melepaskan mikroba jika digunakan di tanah 11) Mudah dicampur dan dikemas. Beberapa bahan pembawa yang dapat digunakan untuk formulasi inokulan rhizobia antara lain gambut, lignit, arang, vermikulit, zeolit dan lain-lain. Di antara beberapa bahan pembawa itu, gambut adalah bahan pembawa yang paling banyak digunakan untuk produksi inokulan rhizobia karena berkarakteristik ideal. Selain bahan pembawa utama, biasanya juga ditambahkan beberapa bahan lain, misalnya kapur dan lempung yang fungsinya antara lain untuk mengatur pH-nya supaya sesuai dengan pH yang dibutuhan oleh rhizobia serta untuk memperoleh tekstur bahan inokulan yang baik dan mudah dikemas serta digunakan. Setelah dicampur dengan bahan pembawa, campuran kultur
Rhizobium dengan bahan pembawa tersebut kemudian dikemas dalam kantong yang kuat tetapi cukup lentur, tidak mudah sobek atau Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
24
bocor, misalnya digunakan kantong aluminium foil. Inokulan yang sudah dikemas selanjutnya dapat dibawah ketempat penggunaan atau dipasarkan. Dalam penggunaannya, inokulan tersebut dicampur dengan benih yang akan ditanam. Pencampuran dilakukan pada saat awal penanaman benih di lapangan. Dosis inokulan yang digunakan sangat bergantung pada jumlah sel Rhizobium yang ada dalam formulasi inokulan tersebut. Secara umum, banyaknya inokulan yang digunakan sekitar 4-6 g inokulan/kg benih. 2.3 Azotobacter
Azotobacter merupakan bakteri Gram negatif, bergerak dengan flagel peritrik, bersifat katalase positif, beberapa spesies seperti A. Chroococcum memiliki pigmen hitam-coklat yang tidak larut, pada medium padat koloni Azotobacter berbentuk bulat, convex, halus, semi opaque, kebasahan (moist), berwarna putih, bening sampai
keruh
dan
kadang-kadang
putih
kecoklatan.
Koloni
mempunyai diameter antara 0,5-4 mm.
Gambar 2.4. Koloni Azotobacter sp.: (a) pada media tumbuh Ashby, (b) bentuk sel dibawah pengamatan mikroskop (Sumber: http://inst.bact.wisc.edu) Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
25
Sel Azotobacter berukuran besar dengan bentuk batang, banyak isolat hampir seukuran khamir, dengan diameter 2-4 μm atau lebih, biasanya polimorfik. Pada media yang mengandung karbohidrat, kapsul tambahan atau lapisan lendir diproduksi oleh bakteri pengikat nitrogen yang hidup bebas ini. Meskipun Azotobacter adalah bakteri aerob obligat, enzim nitrogenase yang dimilikinya yaitu enzim yang mengkatalisis pengikatan N2, bersifat sensitif terhadap O2. Sehingga diduga bahwa karakteristik Azotobacter yang mempunyai kapsul lendir yang tebal membantu melindungi enzim nitrogenase dari O2. Kisaran pH untuk pertumbuhan dengan adanya nitrogen tambahan adalah 4,5-8,5 sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan dan pengikatan nitrogen adalah 7-7,5, dan bakteri ini terdapat di tanah dan di air.
Azotobacter dapat membentuk struktur sel istirahat yang disebut kista. Seperti halnya bakteri berendospora, kista Azotobacter resisten terhadap proses pengeringan, penghancuran mekanik, ultraviolet, dan radiasi. Namun, tidak seperti endospora, kista Azotobacter tidak resisten terhadap panas dan tidak mengalami dormansi secara lengkap. 2.3.1 Eksplorasi dan Isolasi
Azotobacter sp. dapat diisolasi dari perakaran dan tanah sekitar perakaran berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, sehingga pencarian sumber inoculum Azotobacter yang unggul dapat dilakukan eksplorasi dari berbagai daerah dengan kondisi lahan yang berbeda. Sampel akar dan tanah dari lapangan sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam media Ashby dan diinkubasi pada
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
26
30oC selama 4-7 hari hingga terbentuk pellicle pada permukaan media. Isolasi Azotobacter sp. dilakukan dari pellicle dengan metode gores pada media agar Ashby, kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 3-4 hari dan dilakukan pengamatan pertumbuhan koloni yang terbentuk, lalu dilakukan pemurnian isolat pada media yang sama. Tabel 2.2. Komposisi medium Ashby (Sumber: Rao, 1982) Komponen Mannitol K2HPO4 MgSO47H2O NaCl K2SO4 CaCO3 Agar Akuades
Berat/volume 20,0 g 0,2 g 0,2 g 0,2 g 0,1 g 5,0 g 15,0 g 1000 ml
2.3.2 Mekanisme Kerja
Azotobacter
Bakteri
sp.
dapat
ekstraseluler dalam kuantitas tinggi.
menghasilkan
senyawa
Produk ekstraseluler yang
dihasilkan beragam dari struktur dan komponen penyusunnya, mulai dari bentuk lendir (slime) sampai ke dalam bentuk cyste yang berupa alginat
dan
polisakarida.
mengekskresikan
Genus
senyawa-senyawa
Azotobacter biostimulan
juga
dapat
seperti
tiamin,
riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, nikotin, indole acetic acid, giberelin dan asam pantotenat (Subba Rao, 1987). Penambahan atau inokulasi Azotobacter sp. dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah telah sering dilakukan namun dengan hasil yang bervariasi, bahkan kadangSutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
27
kadang tidak meningkatkan hasil tanaman. Kondisi tersebut sangatlah logis mengingat kontribusi rhizobakteri hidup bebas pada nitrogen tanah hanya sekitar 15 kg N/Ha/tahun yang jauh lebih rendah daripada kontribusi bakteri pemfiksasi nitrogen simbiosis mencapai 24-584 kg/N/ton (Shantharam dan Matto, 1997). Namun demikian, upaya
untuk
mempertahankan
kesehatan
tanah
sekaligus
produktivitas tanaman dengan inokulasi Azotobacter sp. perlu dilakukan karena rhizobakteri ini berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman melalui produksi fitohormon yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Azotobacter sp. yang diberikan ke dalam tanah mampu mensintesis substansi yang secara biologis aktif, seperti vitamin B dan asam-asam indol asetat (Ahmad et al., 2005).
Azotobacter sp. merupakan salah satu rhizobakteri yang dikenal sebagai PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yaitu bakteri yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman karena mampu memfiksasi nitrogen dan memproduksi fitohormon, antara lain auksin (IAA), sitokinin, dan giberelin (GA) (Hindersah dan Simarmata, 2004). Salah satunya adalah Azotobacter chroococum AC04 mampu menggunakan berbagai jenis sumber karbon (dari mono sampai polisakarida), asam organik dari alifatik maupun aromatik asam lemak, etanol, manitol, aseton, dan beberapa asam organik volatil (Subba
Rao,
1987).
Bakteri
ini
juga
memilki
potensi
untuk
mengeskresikan berbagai senyawa eksopolisakarida (EPS) dan asam organik yang dapat berfungsi sebagai bioremediasi tanah yang tercemar logam berat (Hindersah dan Sudirja, 2010).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
28
2.3.3 Produksi Massal dan Aplikasi
Azotobacter dapat tumbuh pada berbagai jenis karbohidrat, alkohol, dan asam organik. Metabolisme senyawa karbon teroksidasi sempurna, sedangkan asam atau produk fermentasi yang lain jarang dihasilkan.
Semua
anggota
dapat
mengikat
nitrogen
tetapi
pertumbuhan dapat juga terjadi pada media dengan senyawa nitrogen sederhana seperti amoniak, urea, dan nitrat. Secara umum, prinsip dasar produksi inokulan Azotobacter serupa dengan teknik yang digunakan dalam produksi inokulan
Rhizobium. Azotobacter dapat ditumbuhkan dalam beberapa macam medium, antar lain medium Ashby, medium Jensen, dan lain-lain. Perbanyakan Azotobacter dapat dilakukan dengan medium cair (tanpa menggunakan agar) menggunakan fermentor standar atau dalam tabung Erlenmeyer biasa seperti yang digunakan untuk perbanyakan Rhizobium. Inokulan dapat dibuat dengan menggunakan bahan pembawa seperti halnya pada Rhizobium, misalnya gambut lignite.
Bahan
pembawa
yang
dibuat
bubuk
terlebih
dahulu
dinetralkan dengan menggunakan CaCO3 kemudian dicampur dengan kultur cair Azotobecter, selanjutnya dikemas. Jika menggunakan bahan pembawa maka inokulasi dibuat dengan mencampurkan bahan pembawa dengan sedikit air sehingga inokulan terbentuk seperti bubur. Benih yang akan diinokulasi dicampur dengan bubur inokulan tersebut kemudian dikeringkan dalam keadaan teduh dan akhirnya ditanam. Untuk beberapa tanaman yang menggunakan sistem pembibitan, misalnya padi maka inokulasi dapat dilakukan dengan cara mencelupkan akar bibit ke dalam bubur inokulan Azotobacter selama 10-30 menit dan kemudian segera ditanam. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
29
Selain menggunankan bahan pembawa, dalam skala kecil inokulan juga dapat dibuat dengan menggunakan kultur yang tumbuh pada medium agar yang kemudian dikerok dari agar. Sel-sel yang berasal dari medium agar tersebut kemudian disuspensikan dalam aquades steril dan digunakan langsung untuk menginokulasi benih. Suspensi inilah yang digunakan sebagai inokulum. Inokulasi dilakukan dengan cara serupa seperti inokulasi dengan menggunakan inokulan yang dibuat dengan menggunakan bahan pembawa. 2.4 Azospirillium
Azospirillum adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang dan berukuran 1µm, aerobik kemoorganotrop non-fermentatif, vibroid dan memproduksi fitohormon, terutama auksin,
dapat bergerak
dengan bantuan flagella polar. Mereka menggunakan beberapa sumber karbon terutama gula dan alkohol gula, termasuk dalam phylum alphaproteobacteria. Bakteri ini hidup pada lingkungan dan tanaman yang beraneka ragam, tidak hanya tanaman agronomi yang penting, seperti sereal, tebu, rumput, tetapi juga pada tanaman lain seperti kopi, buah-buahan dan bunga-bungaan. Sampai saat ini, setidaknya telah ditemukan 15 spesies Azospirillum. Namun demikian, dari sisi fisiologi dan genetik, ada dua spesies yang paling banyak dipelajari, yaitu A. brasilense dan A. lipoferum. Di dalam tanah, keduanya terdapat dalam jumlah yang banyak, khususnya di daerah tropis, yang berasosiasi dengan tanaman rumput, jagung, padi, sorgum, tebu, dan beberapa tanaman lainnya. Namun demikian, selain berasosiasi dengan tanaman, kedua bakteri ini juga berasosiasi
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
30
dengan kondisi lingkungan lainnya, di bawah suhu tinggi dan kontaminasi. 2.4.1 Eksplorasi dan Isolasi Eksplorasi dan isolasi Azospirillum spp. dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Akar tanaman sampel dan tanah rhizosfer diambil dari lapangan di mana tanaman tersebut telah tumbuh lama di sana. 2) Akar-akar tanaman dicuci dengan air steril dan kemudian digerus dalam larutan sukrosa 4% dengan menggunakan mortar dan pastel. Wadah kecil (sekitar 10 ml) yang mengandung 5 ml medium NFb semi-solid bebas nitrogen diinokulasi dengan larutan berseri dari gerusan akar atau suspensi tanah rhizosfer. 3) Larutan vitamin (dalam 100 mL) mengandung biotin (10 mg) dan pyridoxol-HCl (20 mg) dilarutkan pada 100o C dalam water bath. Larutan hara mikro terdiri dari bahan-bahan sebagai berikut (L-1):CuSO4.5H2O (40 mg), ZnSO4.7H2O (0,12 g), H2BO3 (1,4 g), Na2MO4.2H2O (1,0 g), MnSO4.H2O (1,175 g). 4) Setelah inkubasi 3 – 5 hari pada suhu 30o C, satu lup kultur ditransfer ke dalam medium semi-solid segar. Pemurnian lebih lanjut dilakukan pada NFb (diberi suplemen 50 mg ekstrak ragi per liter) dan medium DYGS setengah konsentrasi pada media agar. 5) Kultur ini dipelihara pada medium DYGS setengah konsentrasi yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut (L-1): glukosa
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
31
(1,0 g),malat (1,0 g), ekstrak ragi (2,0 g), pepton (1,5 g), MgSO4.7H2O (0,5 g), L-asam glutamat (1,5 g) dan pH disesuaikan menjadi 6,0. Tabel 2.3. Komposisi medium NFb Komponen Malat K2HPO4 MgSO4.7H2O NaCl CaCl2.2H2) Bromothymol blue Larutan vitamin filter steril Larutan hara mikro filter steril Larutan FeEDTA, 1,64 % KOH Keasaman (pH) Agar
Kebutuhan (L-1): 5,0 g 0,5 g 0,2 g 0,1 g 0,02 g 0,5% dalam KOH 0,2 M (2 mL) 1 mL 2 mL 4 mL 4,5 g 6,5 1,8 g
2.4.2 Mekanisme Kerja Fiksasi nitrogen adalah mekanisme pertama yang diusulkan untuk menjelaskan peningkatan pertumbuhan tanaman setelah diinokulasi dengan Azospirillum. Ini terutama karena ada peningkatan sejumlah senyawa nitrogen dan aktivitas enzim nitrogenase pada tanaman yang diinokulasi dengan Azospirillum. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, penelitian menunjukkan bahwa kontribusi fiksasi N2 oleh Azospirillum terhadap tanaman sedikit sekali, berkisar antara 5 sampai 18% dari total peningkatan tanaman. Secara umum, kontribusinya kurang dari 5%. Azospirillum mutan-Nif juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sama dengan tipe liarnya.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
32
Penemuan ini hampir saja membuat orang meninggalkan aspek fiksasi N2 ini dari Azospirillum, kecuali hanya untuk kajian genetik murni. Akhir-akhir ini, perhatian terhadap kajian Azospirillum pada aspek fiksasi N2 mulai meningkat. Ditemukan bahwa A. brasilense Sp7 tidak menyintesis enzim nitrogenase pada suhu 42o C dan juga enzim ini tidak stabil pada suhu tersebut. Akan tetapi, pada A.
brasilense Sp-9, aktivitas enzim nitrogenase stabil dan menunjukkan aktivitas asetilen reduksi tertinggi pada suhu 42o C. Aktivitas enzim nitrogenase Azospirillum ditemukan meningkat ketika ditumbuhkan dalam kultur campuran dengan bakteri lainnya, kendatipun mereka berasal dari habitat yang sangat berbeda. Contoh kasus adalah campuran A. brasilense Cd dengan bakteri Staphylococcus sp. yang meningkatkan fiksasi N2 dari A. brasilense. Pengaruhnya lebih kuat ketika supernatan Staphylococcus ditambahkan pada kultur A.
brasilense. Pada kajian lain, fiksasi N2 dari A. brasilense Sp-245 diperkuat oleh penambahan aglutinin kecambah gandum. Bashan dan Holguin (1997) menyatakan bahwa Azospirillum mempengaruhi tanaman dengan cara memberikan signal kepada tanaman inang. Adanya kenyataan bahwa Azospirillum mempengaruhi metabolisme sel tanaman dari luar sel mengindikasikan bahwa bakteri ini mampu mengekskresi dan memancarkan signal yang melewati dinding sel tanaman dan ditangkap oleh membran tanaman. Interaksi ini menginisiasi rantai peristiwa yang menghasilkan perubahan metabolisme pada tanaman yang diinokulasi. Karena membran tanaman sangat sensitif terhadap perubahan, maka responsnya dapat menjadi petunjuk akan adanya kegiatan Azospirillum pada tingkat seluler. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
33
Azospirillum dapat juga berperan sebagai agen biokontrol terhadap patogen tanaman dalam tanah. Ada beberapa bukti yang mendukungnya.
Azospirillum lipoferum
menghasilkan
catechol
siderophores pada kondisi kekurangan besi, yang menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap beberapa isolat bakteri dan jamur. Contoh lain, dua puluh isolat Azospirillum ditemukan menghasilkan bakteriosin yang menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Namun demikian, ada juga penelitian yang melaporkan bahwa beberapa strain Azospirillum tidak menghasilkan senyawa anti patogen. 2.4.3 Produksi Massal dan Aplikasi
Azospirillum dapat bersinergi dengan mikroorganisme lain. Koinokulasi didasarkan pada campuran inokulan berupa kombinasi beberapa mikroorganisme yang berinteraksi secara sinergi, atau ketika Azospirillum berfungsi sebagai bakteri “pembantu” untuk memperkuat penampilan mikroorganisme berguna lainnya.
Azospirillum dapat berasosiasi dengan bakteri perombak gula atau polisakarida. Kokultur dapat dianggap sebagai suatu asosiasi metabolik di mana bakteri perombak gula menghasilkan produk rombakan atau fermentasi yang dapat digunakan oleh Azospirillum. Pada kokultur Bacillus dan Azospirillum, rombakan pektin oleh Bacillus dan fiksasi N2 oleh Azospirillum menjadi meningkat. Kokultur A.
brasilense dengan Enterobacter cloaceae atau A. brasilense dengan Arthrobacter giacomelloi menghasilkan fiksasi N2 yang lebih efisien dibanding bila mereka sendiri-sendiri. Ketika Azospirillum sp DN64 dikoinokulasi
dengan
campuran
jamur
selulotik,
aktivitas
nitrogenasenya meningkat 22 kali lipat.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
34
Dual inokulasi tanaman legum dengan Azospirillum dan
Rhizobium ditemukan meningkatkan beberapa peubah pertumbuhan tanaman dibanding dengan inokulasi tunggal. Azospirillum dianggap sebagai pembantu Rhizobium dengan cara menstimulasi nodulasi, fungsi nodulasi, dan kemungkinan metabolisme tanaman. Fitohormon yang dihasilkan oleh Azospirillum memacu diferensiasi sel epidermis pada rambut akar yang kemudian meningkatkan jumlah tempattempat yang berpotensi bagi infeksi Rhizobium. Hasilnya, lebih banyak nodul terbentuk. Pada percobaan lapangan, inokulasi kultur campuran
Azospirillum dengan Rhizobium secara nyata meningkatkan jumlah total nodul, berat kering nodul, dan jerami, serta memberikan peningkatan hasil biji. Interaksi ini lebih jauh diperkuat oleh adanya bahan organik pada media tumbuh tanaman (Cassa´n, 2011). Aplikasi Azosprillum dibidang pertanian masih sangat terbatas. Di banyak Negara aplikasi Azospirillum masih dalam skala kecil. Namun demikian, di beberapa negara di Amerika Latin, Azospirillum telah mulai digunakan secara komersial dan dalam skala yang luas. Berikut Bashan dan Holguin (1997) dan Reis et al. (2011) menjelaskan perkembangan aplikasi Azospirillum di beberapa belahan dunia. Inokulum Azospirillum generasi pertama dalam skala kecil diintroduksi secara perlahan kepada pasar pertanian. Faktor utama yang menghalangi introduksi Azospirillum dalam skala besar adalah hasil yang tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi. Kelemahan ini telah diketahui sejak awal dari aplikasi Azospirillum dan menyurutkan minat dari pengguna komersial. Dua puluh tahun evaluasi dari data percobaan lapangan menunjukkan bahwa 60 – 70% dari seluruh percobaan berhasil dengan peningkatan hasil yang nyata, berkisar Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
35
antara 5 sampai 30%. Faktor keberhasilan utama adalah aplikasi sel hidup secara hati-hati dan perawatan percobaan dengan benar. Selsel bakteri haruslah diambil dari fase eksponen, bukan dari inokulum pada fase stasioner. Walaupun, inokulasi lapangan belum menjadi area utama dari penelitian Azospirillum saat ini, beberapa percobaan lapangan dan rumah kaca akhir-akhir ini, khususnya pada sereal, sekali lagi menunjukkan potensial yang menjanjikan (Bashan dan Holguin, 1997). Teknologi ini juga didasarkan pada produk Rhizobium yang diaplikasikan pada penyelubung benih dalam campuran dengan peat atau menggunakan bermacam formulasi larutan yang berbeda. Pada mulanya, hanya A. brasilense dipilih sebagai inokulan. Di Amerika Serikat, satu produk yang disebut Azo-GreenTM, yang diproduksi oleh perusahaan yang bernama Genesis Turfs Forages, direkomendasikan diberikan pada benih untuk meningkatkan perkecambahan, sistem akar, tahan kekeringan, dan kesehatan tanaman. Di Italia, Jerman, dan Belgia, produk lain yang mengandung campuran A. brasilense (strain Cd) dan A. lipoferum (strain Br17) diformulasikan dalam campuran vermikulit atau formula larutan. Nama komersialnya adalah Zea-NitTM
dan
diproduksi
oleh
Heligenetics
dan
mereka
merekomendasikan pengurangan 30 – 40% pupuk N bagi tanaman. Di Prancis, AzoGreenTM lain digunakan pada jagung dengan kenaikan hasil 100%. Di Meksiko, satu produk yang bernama “Fertilizer for Maize” dikembangkan oleh Universitas Puebla dan diaplikasikan pada 5000 ha lahan pada tahun 1993. Lebih baru lagi, pada tahun 2008, produk inokulan lain yang berbasis
Azospirillum dikembangkan untuk
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
36
tanaman kopi di Meksiko dan aplikasinya menunjukkan adanya penurunan waktu siklus penologi tanaman. Uruguay juga mempunyai produk yang diberi nama GraminanteTM yang dikomersialkan dalam bentuk tepung yang dicampur dengan kalsium karbonat. 2.5 Azolla
Azolla adalah tumbuhan air yang mampu besimbiosis dengan Anabaena azollae yang dapat memfiksasi nitrogen bebas di udara yang banyak tumbuh di lahan sawah yang bersifat menguntungkan.
Azolla selama hidupnya bersimbiosis mutualistis dengan cyanobacteria pemfiksasi N2 yaitu Anabaena azollae, yang mampu memfiksasi nitrogen (N2) (Nurani et al., 2012; Indarmawan et al., 2012). Ada
beberapa
microphylla,
jenis Azolla, antara lain A. pinnata, A.
A. filiculoides, dan A.
caroliniana. Azolla microphylla
awalnya menyebar di Amerika serikat, Amerika Tengah, dan India Barat. Dibanding spesies yang lain, Azolla microphylla lebih toleran terhadap
temperatur
agak
tinggi
sehingga
sangat
baik
bila
dibudidayakan pada kondisi iklim tropis seperti di Indonesia. Selain itu, spesies ini dapat menghasilkan biomassa dalam jumlah banyak dengan kemampuan memfiksasi N2 dari udara yang tinggi (Arifin, 1996).
Anabaena azollae sebagai mikrosimbion Azolla - Anabaena azollae merupakan salah satu jenis mikroalga. Anabaena azollae termasuk
azollae
alga untuk
hijau – biru. menghasilkan
Unsur
mikro
diperlukan Anabaena
pertumbuhan
yang
optimum
terutama unsur Co dan Mo. Selain itu unsur P dan Zn, Ca, Na dan Cu mempunyai korelasi yang tinggi (Rasyid, 2002). Pada simbiosis Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
37
Azolla - Anabaena azollae keduanya bekerjasama pada simbiosis yang
saling
menguntungkan
memberikan perlindungan kekurangan
Anabaena
oksigen mampu
antara
kepada
sama
lain. Azolla
mikrosimbion (Anabaena)
akibat pengaruh menyediakan
satu
lingkungan
nitrogen
dari
sedangkan
untuk pertumbuhan
Azolla dan tanaman (Anand, 2006). Anabaena azollae merupakan koloni bentuk benang yang terdiri atas sel-sel bulat dan memiliki sel khusus heterokista dengan
sedikit
lapisan
lendir (Rasyid, 2002; Wardiyono, 2009;
Mulyandari, 2008). Menurut Djojosuwito (2000), Anabaena azollae mampu menambat nitrogen dari udara dalam jumlah yang banyak, melebihi kebutuhannya. Azolla dengan bantuan simbionnya Anabaena
azollae mampu memfiksasi 62 kg-150 kg N/ha tiap tahun, yang dicapai dalam pertumbuhan aktif selama 6 minggu sebanyak 40 ton60 ton biomassa Azolla segar. 2.5.1 Eksplorasi dan Isolasi Isolasi Anabaena azollae dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Sebanyak satu ml air dari perakaran Azolla diencerkan 108 kali. Satu ml air yang sudah diencerkan tersebut dibiakkan pada media pepton agar dengan cara taburan dan diinkubasikan selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan penghitungan koloni bakteri sesuai dengan ciri khas masing-masing, yaitu berdasarkan pada warna koloni dan morfologi koloni. Wakil dari masing-masing koloni dibuat kultur murni dengan cara memindahkannya ke media pepton agar miring dan diinkubasikan selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengecatan gram
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
38
untuk mengetahui sifat dan morfologi bakteri. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop menggunakan perbesaran kuat (Jutono, 1973). Tabel 2.4. Komposisi Media Pepton Agar Kebutuhan (L-1):
Komponen Bacterial peptone
10,0 g
Sodium Chloride
5,0 g
Keasaman (pH)
7,3
Agar
14,0 g
2.5.2 Mekanisme Kerja
Azolla yang bersimbiosis dengan A. Anabaena, untuk mereduksi nitrogen dari atmosfer menjadi amonia melalui enzim denitrogenase telah dibuktikan cukup efektif dibandingkan jenis simbiotik lain pada kadar nitrogen lingkungan air yang rendah. Jumlah unsur nitrogen yang dapat ditambat melalui simbiosis Azolla - A. azollae cukup tinggi. Pengukuran
besarnya
aktivitas
penambatan
gas
nitrogen
menunjukkan bahwa simbiosis Azolla - A. azollae dapat menambat N2 sebesar 7,2 - 7,8 mg N2 per gram berat kering. Pada kondisi pertumbuhan Azolla yang baik dapat dihasilkan 335 - 675 kg N2/Ha/Thn setara dengan 333 ton berat basah Azolla sp., dengan kandungan nitrogen sebesar 840 kg per hektar luas tanah (Sugiharto
dalam Maftuchah, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses fiksasi N2 terjadi pada mikrosimbion Anabaena azollae, dengan sebagian besar energi yang disuplai dari tanaman inang Azolla sp. Nitrogen diikat oleh mikro simbion dan diberikan kepada tanaman inang, selanjutnya tanaman inang mengubah nitrogen tersebut dalam bentuk Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
39
asam amino. Diduga sebagian asam amino tersebut disuplaikan kembali dari tanaman (Ladha dan Watanabe, 1987) 2.5.1 Produksi Massal dan Aplikasi Pertumbuhan Azolla sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dari lingkungan tumbuhnya, terutama ketersedian air, sinar matahari, temperatur, kelembapan udara, keharaan tanah, kegaraman dan pH media
tumbuh
(Khan,
1988).
Temperatur
optimum
untuk
pertumbuhan Azolla berkisar 26 – 35o C (Tung dan Shen, 1981), kelembapan optimum 85 – 90%, cukup unsur hara kecuali N, kadar
garam
tidak
lebih
dari
0,3%
atau
optimal
pada
konsentrasi garam mineral 90 – 150 mg/l pada medium biakan dan pH 4,5 – 7.
Azolla dapat berkembang biak dengan beberapa cara yaitu secara vegetatif dan secara generatif. Pada perbanyakan secara vegetatif, cabang-cabang sisi memisahkan diri dari cabang utama atau batang induk, diikuti oleh pembentukan lapisan penutup luka akibat pemisahan. Selanjutnya cabang-cabang sisi yang memisah tumbuh menjadi tanaman dewasa yang bisa membentuk cabangcabang baru. Perbanyakan secara vegetatif ini sangat cepat dengan waktu ganda (doubling time) biomassa sekitar 4-5 hari. Dari tumbuhan
yang
memisahkan
diri
ini
sampai
menjadi
Azolla,
memerlukan waktu 10-15 hari. Secara morfologi Azolla dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu akar, rhizoma dan daun. Akar terdiri dari seberkas akar yang kecil-kecil, rhizoma merupakan generasi sporofit, sedang daun terdiri dari dua lobi yaitu lobus dorsal
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
40
dan lobus ventral. Daun berongga, di dalamnya hidup Anabaena
azollae (Ladha dan Watanabe, 1985). Azolla banyak dimanfaatkan sebagai pupuk organik maupun sebagai pupuk hijau. Hal ini dikarenakan Azolla banyak mengandung nutrisi yang sangat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah terutama unsur N karena mampu bersimbiosis dengan Anabaena
azollae. Berikut disajikan susunan hara Azolla berdasarkan berat kering tanamam. Tabel 2.5. Susunan hara Azolla (%) berdasarkan berat kering tumbuhan (Sumber: Maftuhchah, 1998) Unsur Abu Lemak Kasar Protein Kasar Nitrogen Fosfor Kalium Pati
Kandungan 10,50 3.0-3,30
Unsur Magnesium Mangan
Kandungan 0,5-0,65 0,11- 0,16
24-30
Zat Besi
0,06-0,26
4,5 0,5-0,9 2,0-4,5 6,54
Gula Terlarut Kalsium Serat Kasar Klorofil
3,5 0,4-1,0 9,1 0,34- 0,55
Dalam aplikasinya Azolla banyak dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Hal ini dikarenakan Azolla mudah terdekomposisi karena mengandung
banyak
unsur
N,
sehingga
lebih
efektif
dalam
penggunaannya. Pupuk organik Azolla telah di coba dan mampu meningkatkan produksi padi sawah (Sudadi dan Sumarno, 2011; Mujiyo, 2011). Metode perbanyakan Azolla dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
41
1) Pembuatan stok Azolla (dapat dilakukan di dekat rumah dengan bak plastik atau di kolam yang tidak ada ikannya). 2) Stok disemprot setiap 3 bulan sekali dengan pupuk P (1 sendok makan SP-36 /l air). Sebaiknya SP-36 digerus halus agar mudah larut dalam air. Stok ini digunakan untuk bibit yang akan ditanam di lapang. 3) Untuk perbanyakan di lapangan, petak sawah dibatasi dengan bambu seluas 1 m2, lalu Azolla ditebar sebanyak 200 g/m2. 4) Azolla sangat cepat perkembangannya, petak seluas 1 m2 sudah
tertutup
penuh
pada
hari
ke-5,
hari
ke-10,
perkembangannya menjadi 2 kali lipat, hari ke-15, menjadi 4 kali lipat, hari ke-20, menjadi 8 kali lipat, demikian seterusnya. Aplikasi Azolla dapat dilakukan secara langsung pada tanaman atau diolah menjadi pupuk organik. Jika digunakan secara langsung maka dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Azolla ditebar bersamaan atau 1 minggu sebelum penanaman. 2) Setelah lahan penuh dengan Azolla, lahan dibajak agar Azolla terbenam 3) Selanjutnya dilakukan penamanan padi dan Azolla yang tidak terbenam dibiarkan tumbuh. Pemanfaatan Azolla sebagai pupuk, dapat digunakan dalam bentuk segar ataupun kering dan kompos. Pada umumnya Azolla dibuat menjadi kompos dan dimanfaatkan sebagai media tanam aneka jenis tanaman hias mulai dari bonsai, suplir, kaktus sampai mawar. Untuk media tanaman hias, selain digunakan secara langsung, kompos Azolla dapat dicampur dengan pasir dan tanah
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
42
dengan perbandingan 3:1:1. pembuatan kompos Azolla dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu buat lubang berukuran (pxlxt) 3x2x2 meter. Kemudian Azolla segar dimasukkan ke dalam lubang. seminggu kemudian Azolla dibongkar. Untuk mengurangi kadar air menjadi 15%, Azolla yang sudah terfermentasi dijemur, setelah agak kering dikemas dalam kantong plastik atau langsung digunakan sebagai media tanam.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
43
BAGIAN 3 BIOFERTILIZER PELARUT FOSFAT 3.1 Pendahuluan Seperti halnya unsur Nitrogen, tanaman juga membutuhkan unsur P (fosfat) dalam jumlah banyak (karenanya disebut unsur makro) agar pertumbuhan dan perkembangannya optimal. Sampai dengan saat ini kebutuhan para petani terhadap pupuk P, masih mengandalkan pupuk kimia yaitu TSP atau SP36.
Ketika terjadi
kelangkaan pupuk di pasaran, para petani terpaksa menanam tanpa pupuk, akibatnya produksi rendah dan tidak sesuai harapan. Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan bahan pangan untuk kebutuhan konsumsi, bahan baku industri atau kebutuhan lainnya, di satu sisi petani dituntut untuk terus meningkatkan produktivitas tanaman yang diusahakannya, namun di sisi lain ketersediaan pupuk sangat langka. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi tanah dan tanaman, mendapatkan formula biofertilizer berbasis mikroba yang dapat menyediakan f o s f a t untuk pertumbuhan tanaman. Kelompok mikroba pelarut fosfat tersebut berasal dari kelompok bakteri (Pseudomonas, Bacillus,
Brevibacterium dan Serratia)
dan
dari
kelompok fungi (Aspergillus, Penicillium, Culvularia, Humicola, dan
Phoma).
Salah
dikembangkan
satu untuk
contoh komersial
produk adalah
biofertilizer
yang
telah
Fosfobacterin
yang
mengandung inokulan Bacillus megaterium. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
44
3.2 Biofertilizer Pelarut Fosfat Kelompok Bakteri 3.2.1 Eksplorasi dan Isolasi Untuk mendapatkan isolat yang beragam dan berkualitas, pengambilan sampel tanah dilakukan di beberapa lokasi yang memiliki karakteristik lahan suboptimal atau lokasi dengan kondisi agroklimat relatif kurang ideal untuk budidaya (curah hujan tinggi atau kekeringan). sampel tanah diambil dari sekitar perakaran (rizosfer) tanaman sehat dengan kedalaman ± 5-10 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label lalu dibawa ke laboratorium. Proses isolasi dimulai dengan metode pengenceran. Sebanyak 10 g sampel tanah dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi 100 ml air akuades steril (pengenceran 10-1) dan dikocok dengan pengocok (rotary shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Suspensi yang diperoleh kemudian diencerkan menjadi 10-2 sampai 10-10 dan dari setiap tahapan pengenceran dihomogenisasi berulang-ulang dengan vorteks. Suspensi yang diperoleh disemaikan dalam medium Pikovskaya dengan penambahan tri-calcium phosphate (TCP) sebagai sumber fosfat. Kultur bakteri diinkubasi dalam ruangan bersuhu 27o C selama 48 jam. Kemampuan melarutkan fosfat dari koloni bakteri dievaluasi secara kualitatif berdasarkan terbentuknya halo (zona bening) disekitar lubang yang berisi suspensi bakteri, semakin luas halo yang terbentuk maka semakin tinggi kemampuan bakteri tersebut melarutkan fosfat. Setiap koloni yang membentuk halo, diisolasi dan dibuat biakan murninya (Thakuria et al., 2004). Selanjutnya dilakukan karakterisasi morfologi, biokimia dan molekuler isolat untuk mengidentifikasi spesiesnya menggunakan prosedur uji standar (Schaad et al., 2001). Pengujian lanjutan dilakukan untuk Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
45
mengetahui keefektifan isolat tersebut sebagai mikroba pelarut P. Pengujian menggunakan tanaman indikator dimulai dari tingkatan laboratorium, rumah kaca dan lapangan. Prosedur isolasi dan pengujian mikroorganisme berpotensi sebagai pelarut P ditampilkan pada Gambar 3.1. Secara umum karakteristik morfologi bakteri pelarut fosfat antara lain sel berbentuk batang dengan diameter 1,1-2,2 μm, reaksi Gram untuk Bacillus positif, sedangkan Pseudomonas negatif. Beberapa Genus bakteri yang memiliki kemampuan melarutkan fosfat adalah
Pseudomonas,
Achromobacter,
Bacillus,
Agrobacterium,
Rhizobium, Microccocus,
Burkholderia, Aerobacter,
Flavobacterium dan Erwinia, namun Genus yang paling umum dilaporkan adalah Pseudomonas dan Bacillus (Mishra et al., 2013). Beberapa Genus bakteri lainnya yang juga dilaporkan mampu melarutkan fosfat adalah Rhodococcus, Arthrobacter,
Serratia,
Chryseobacterium, Gordonia, Phyllobacterium, Delftia (Chen et al., 2006), Azotobacter (Kumar et al., 2001), Xanthomonas (De Freitas
et al., 1997), Enterobacter, Pantoea, dan Klebsiella (Chung et al., 2005). Beberapa jenis bakteri pemfiksasi N juga dilaporkan dapat melarutkan P. Sebagai contoh, Trifolii (Abril
Rhizobium
et al., 2007), dan
leguminosarum
Rhizobium
sp.
bv.
yang
bersimbiosis dengan Crotalaria sp.
(Sridevi et al., 2007)
mampu
oleh
meningkatkan
menyerapan
P
tanaman
melalui
mobilisasi P organik dan anorganik.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
46
Sampel tanah
Pengenceran berseri
Kultur pada media selektif (Pikovskaya)
Membentuk halo (zona bening)
Pemurnian isolat
Karakterisasi morfologi, biokimia dan molekuler
Pengujian keefektifan mikroba menggunakan tanaman uji pada tingkat laboratorium, rumah kaca dan lapangan
Standarisasi (Quality control)
Komersialisasi biofertilizer
Gambar 3.1. Prosedur isolasi dan pengujian mikroba sebagai pelarut P Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
47
3.2.2 Mekanisme Kerja Beberapa
spesies
bakteri
telah
dilaporkan
memiliki
kemampuan memineralisasi dan melarutkan fosfor organik dan anorganik (Hilda dan Fraga, 2000; Khiari dan Parent, 2005, Avinash et
al., 2013). Kegiatan pelarutan fosfor ditentukan oleh kemampuan mikroba untuk melepaskan metabolit seperti asam organik, yang dilakukan melalui pengkelatan kation terikat fosfat dengan kelompok hidroksil dan karboksil mereka, yang kemudian diubah menjadi bentuk larut (Sagoe et al., 1998). Kemampuan bakteri melarutkan fosfat dalam media uji ditandai dengan terbentuknya halo (zona bening di sekitar suspensi bakteri) pada media uji (Gambar 3.2).
Gambar 3.2. Contoh bakteri yang memiliki kemampuan melarutkan fosfat, ditunjukkan oleh zona bening (tanda panah) Bakteri melepaskan P terikat melalui produksi asam organik yang memiliki berat molekul rendah terutama glukonat dan asam keto glukonat (Goldstein, 1995; Deubel et al., 2000), disamping itu juga melalui penurunan pH rizosfer. PH rizosfer diturunkan melalui Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
48
produksi proton atau pelepasan bikarbonat (keseimbangan anion/ kation) dan perubahan gas (O2/CO2). Kemampuan pelarutan P oleh mikroba memiliki korelasi langsung dengan pH medium. Pelepasan eksudat akar seperti asam-asam organik juga dapat mengubah konsentrasi P dalam larutan tanah (Hinsinger, 2001). Asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroba, melarutkan fosfat tidak larut dengan menurunkan pH, mengkelat kation dan bersaing dengan fosfat yang terserap dalam tanah (Nahas, 1996). Asam-asam anorganik misalnya asam hidroklorik juga dapat melarutkan fosfat tetapi mereka kurang efektif dibandingkan dengan asam organik pada pH yang sama (Kim et al., 1997). Dalam kasus-kasus tertentu pelarutan fosfat diinduksi oleh kelaparan fosfat di dalam tanah (Gyaneshwar et al., 1999). Skema diagram pelarutan dan mobilisasi fosfat di dalam tanah oleh bakteri, ditampilkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Skema diagram pelarutan dan mobilisasi fosfat di dalam tanah oleh bakteri (Sumber: Khan, 2009)
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
49
Pelarutan P dari Fe dan Al terjadi melalui pelepasan proton oleh bakteri dengan mengurangi muatan negatif permukaan untuk memfasilitasi penyerapan ion P bermuatan negatif. Pelepasan Proton juga dapat menurunkan serapan P pada kondisi asam yang meningkatkan H2PO4- dalam kaitannya dengan HPO42- memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk permukaan tanah reaktif (Whitelaw, 2000). Asam karboksilat terutama melarutkan Al-P dan Fe-P (Khan et
al., 2007.) melalui pelepasan langsung fosfat mineral sebagai hasil dari pertukaran anion dari PO43- oleh anion asam, atau dengan mengkelat kedua ion Fe dan Al yang terikat dengan fosfat (Omar, 1998). Melalui kolonisasi pseudomonad dengan akar yang memiliki sistem penyerapan zat besi afinitas tinggi berdasarkan pelepasan Fe3+molekul pengkelat yaitu siderofor. Selain itu, anion karboksilat menggantikan fosfat dari kompleks serapan dengan pertukaran ligan (Whitelaw, 2000) dan mengkelat kedua ion Fe dan Al yang terikat dengan fosfat, dan melepaskan fosfat yang tersedia untuk diserap oleh tanaman setelah transformasi. Kemampuan asam organik untuk mengkelat kation logam sangat dipengaruhi oleh struktur molekul, terutama jumlah kelompok karboksil dan hidroksil. Jenis dan posisi ligan selain kekuatan asam menentukan efektivitas dalam proses pelarutan (Kpomblekou dan Tabatabai, 1994). Potensi pelepasan fosfor dari anion karboksilat yang berbeda menurun dengan penurunan konstanta stabilitas Fe- atau Alkompleks asam organik (log KAl atau log KFE) dalam urutan: sitrat> oksalat> malonat / malat> tartrat> laktat> glukonat> asetat> formiat (Ryan et al., 2001).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
50
Fosfat tanah terutama apatit dan metabolit pupuk fosfat berada dalam bentuk kalsium fosfat pada kondisi basa. Banyak kalsium fosfat, termasuk biji batuan fosfat (fluoroapatite, francolite), tidak larut dalam tanah sehubungan dengan pelepasan P anorganik (Pi) pada kisaran yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kultur murni bakteri tanah dapat meningkatkan nutrisi P tanaman melalui peningkatan kelarutan Ca-fosfat. Kelarutannya meningkat dengan penurunan pH tanah. Pelarutan fosfat adalah hasil dari efek gabungan antara penurunan pH dan produksi asam organik (Fankem et al., 2006). Mineralisasi P organik tanah (Po) memainkan peran penting dalam siklus fosfor pada sistem pertanian. P organik menduduki 4% sampai dengan 90% dari total P tanah. Hampir setengah dari mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman memiliki potensi mineralisasi P melalui asam fosfatase (Tarafdar et al., 1988). Alkaline dan asam fosfatase menggunakan fosfat organik sebagai substrat untuk mengubahnya menjadi bentuk anorganik. Mekanisme utama untuk mineralisasi P organik tanah adalah produksi asam fosfatase (Hilda dan Fraga, 2000). Porsi terbesar dari fosfatase ekstraseluler tanah berasal dari populasi mikroba rhizobakteri Genus Bacillus,
Streptomyces, dan Pseudomonas dilaporkan paling efektif dalam mineralisasi fosfat organik (Dodor dan Tabatabai, 2003).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
51
3.3 Biofertilizer Pelarut Fosfat Kelompok Fungi 3.3.1 Isolasi dan Karakterisasi Pertumbuhan
mikroorganisme
pelarut
fosfat
sangat
dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroorganisme didominasi oleh kelompok fungi sebab pertumbuhan optimum fungi pada pH 5 - 5,5. Sebaliknya, pertumbuhan kelompok optimum pada pH netral dan basa adalah bakteri, walaupun rentang kisaran hidup bakteri adalah pada pH 4 - 10,6 (Ginting et al., 2006). Oleh karena itu untuk mendapatkan kelompok fungi yang berpotensial sebagai biofertilizer, eksplorasi dilakukan pada tanah-tanah yang memiliki pH relatif rendah. Prosedur isolasi untuk mendapatkan strain fungi yang mampu melarutkan fosfat hampir sama dengan prosedur untuk bakteri pelarut P. Proses isolasi dimulai dengan metode pengenceran seperti halnya pada metode isolasi bakteri. Suspensi yang diperoleh disemaikan dalam medium Pikovskaya dengan penambahan tri-calcium phosphate (TCP) sebagai sumber fosfat. Kultur fungi diinkubasi dalam ruangan bersuhu 27o C selama 5-7 hari. Kemampuan melarutkan fosfat oleh fungi dievaluasi secara kualitatif berdasarkan terbentuknya halo (zona bening) disekitar koloni fungi. Setiap koloni yang membentuk halo, diisolasi dan dibuat biakan murninya menggunakan medium PDA (Potato Dextrose Agar) (Pradhan dan Sukla, 2005). Selanjutnya dilakukan karakterisasi morfologi, biokimia dan molekuler isolat untuk mengidentifikasi spesiesnya menggunakan
prosedur
uji
standar
(Watanabe, 2002). Pengujian lanjutan dilakukan untuk mengetahui keefektifan isolat tersebut sebagai mikroba pelarut P. Pengujian
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
52
menggunakan tanaman indikator dimulai dari tingkatan laboratorium, rumah kaca dan lapangan. Pradhan
dan
Sukla
(2005)
melaporkan
beberapa
hasil
penelitian yang berkaitan dengan mikroba pelarut P dari kelompok fungi, antara lain studi Sethi dan Subbarao (1968) yang mendapatkan bahwa kelompok fungi Genus Aspergillus, Penicillum, Cladosporium,
Fusarium, dan Pacecilomyces secara signifikan efektif melarutkan tri kalsium fosfat dan kalsium fosfat dalam media kultur. Studi lainnya oleh Metha dan Bhide (1970) yang mendapatkan bahwa Genus yang paling efisien dalam melarutkan fosfat adalah Aspergillus, Penicillum,
Pythium, Curvularia, Chaetomium dan Humicola. 3.3.2 Mekanisme Kerja Secara garis besar, fungi meningkatkan penyerapan P melalui 3 mekanisme yaitu: 1)
Infeksi
fungi
pada
akar
tanaman
dapat
membantu
pengambilan fosfor melalui perluasan permukaan/ruang jelajah akar (mekanisme fisik), 2)
Fungi menghasilkan asam organik (asam sitrat dan asam oksalat) yang dapat menyebabkan penurunan pH perakaran, sehingga P yang terikat pada kondisi basa dengan mudah dapat terlepas dari ikatan tersebut (mekanisme kimiawi),
3)
Fungi menghasilkan hormon auksin, sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga memperpanjang masa penyerapan unsur hara (mekanisme fisiologi).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
53
Kelompok
fungi
Genus
Penicillium
dan
Aspergillus
menunjukkan kemampuan mengubah fosfat yang tidak larut dalam tanah ke dalam bentuk larut dengan mengeluarkan asam organik seperti asam format, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam organik ini menyebabkan pH lebih rendah dan memutus ikatan yang mengikat fosfat (Rao, 1982). Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4. Fungi pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik dibanding bakteri pada kondisi masam. Lestari dan Saraswati (1997) melaporkan bahwa fungi pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 27-47% di tanah masam. Penelitian Goenadi (1994) menunjukkan fungi pelarut fosfat mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari AlPO4. Lingkungan gambut yang khusus dan sesuai bagi
pertumbuhan
fungi
pelarut
fosfat
menjadi
peluang
pengembangannya di daerah tropis (Premono, 1998). Studi Pradhan dan Sukla (2005), membuktikan mekanisme pelarutan fosfat oleh fungi melalui penurunan pH medium. Aspergillus sp. melarutkan 480 µg/ml fosfor dari 0,5% trikalsium fosfat dengan penurunan pH dari 7.0 menjadi 4,0 dalam 4 hari. Sementara itu,
Penicillium sp. melarutkan 275 µg/ml fosfor dalam 3 hari dengan pH 4,7 dari pH awal 7,0. Aspergillus sp. menunjukkan penurunan pH lebih tinggi bila dibandingkan dengan Penicillium sp. Pengujian lapangan
pengaruh
Aspergillus awamori, dan
Penicillium citrinum yang diisolasi dari rizosfer berbagai tanaman, menunjukkan bahwa kedua fungi tersebut secara nyata dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman kacang merah. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
54
Kedua isolat dapat diaplikasikan bersama-sama (kompatibel), uji awal menunjukan keduanya mampu memproduksi IAA dengan konsentrasi yang berbeda-beda (Mittal et al., 2008). Selain mekanisme pelarutan fosfat yang dijelaskan oleh Premono (1998), Reyes et al., (1999) menemukan mekanisme pelarutan fosfat oleh fungi melalui ekstrusi proton yang terkait dengan asimilasi amonium atau sekresi asam fosfatase dan fitase yang memiliki peran penting dalam pelarutan fosfat. Chakraborty et al. (2010) menguji kemampuan Aspergillus
niger, A. melleus dan A. clavatus melarutkan fosfat secara in vitro menggunakan
TCP
menunjukkan
bahwa
dan
Rock
isolat
Phosphate.
fungi
Hasil
melarutkan
TCP
pengujiannya lebih
kuat
dibandingkan dengan Rock Phosphate. Uji lanjutan di lapangan (in vivo) pada tanaman kedelai menunjukkan hasil yang relevan dengan uji in vitro. Mikroba membutuhkan fosfat dalam bentuk tersedia untuk aktivitas metabolisme dan sintesa protoplasma. Mikroba pelarut fosfat memiliki mekanisme khusus yang mampu memanfaatkan fosfat terikat dalam tanah. Fosfat yang telah berhasil dilarutkan dimanfaatkan kembali oleh mikroba pelarut fosfat atau mikroba lainnya. Selain mengasimilasi
fosfat
yang
dibebaskannya,
mikroba
tersebut
melepaskan sejumlah besar fosfat terlarut yang merupakan kelebihan dari pasokan nutrisinya ke dalam larutan tanah. Hara fosfat yang larut akan masuk kedalam akar tanaman secara difusi. Kondisi ini akan meningkatkan fosfat tersedia yang dapat diserap akar tanaman. Jika mikroba mati maka P-organik yang terdapat dalam jaringan mikroba akan lepas kembali dalam bentuk P-anorganik (Ginting, 2006). Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
55
3.3.3 Produksi Massal dan Aplikasi Pupuk hayati adalah formulasi berbasis bahan pembawa (carrier material) yang mengandung strain mikroba yang efektif dan efisien memfiksasi N atau melarutkan P. Bahan pembawa dapat berupa cairan (pupuk hayati formulasi cair) atau bahan padatan (pupuk hayati formulasi padat). Jika dibandingkan antara formulasi cair dan padat, maka formulasi padat lebih efektif digunakan sebagai bahan pembawa inokulan bakteri. Inokulan padat membawa lebih banyak jumlah sel bakteri dan mendukung kelangsungan hidup sel-sel untuk waktu yang cukup lama (Sutariati dan Safuan, 2012). Produksi massal pupuk hayati berbasis bahan pembawa dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: 1) Kultur mikroba (strain bakteri atau fungi), 2) Pengolahan bahan pembawa, 3) Mencampur bahan pembawa dengan suspensi mikroba, kemudian mengemasnya.
Kultur Mikroba Media yang digunakan untuk kultur mikroba disesuaikan dengan jenis mikrobanya. Bacillus spp., Serratia spp. menggunakan media TSA (Tryptic Soy Agar) atau NA (Nutrient Agar), Pseudomonas
fluorescens menggunakan media King’s B, sementara hampir semua jenis fungi menggunakan media PDA (Potato Dextrose Agar). Kultur diinkubasi selama 2 hari (bakteri) dan 7 hari (fungi). Setelah inkubasi, kultur dipanen lalu dibuat suspensinya. Komposisi media TSA, NA, King’s B dan PDA ditampilkan pada Tabel 3.1.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
56
Tabel 3.1. Komposisi Media TSA, NA, King’s B dan PDA Jenis Media TSA
NA
King’s B
PDA
Komponen
Berat/volume
Tripthic Soy Broth (difco) Agar Akuades Tripthic Soy Broth (difco) Agar Akuades Protease pepton Glycerol K2HPO4 MgSO4.7H2O Agar Akuades Kentang Agar Akuades
30,0 g 20,0 g 1000 ml 30,0 g 20,0 g 1000 ml 20 g 15ml 2,5g 6g 20,0 g 1000 ml 200 g 20 g 1000 ml
Pengolahan bahan pembawa Pada prinsipnya bahan pembawa yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan seperti telah dijelaskan pada materi sebelumnya. Beberapa bahan pembawa yang dapat digunakan untuk formulasi inokulan mikroba pelarut fosfat juga telah dijelaskan sebelumnya, antara lain gambut, lignite, arang, vermiculite, zeolite, pupuk kandang dan campuran tanah. Namun demikian beberapa bahan pembawa alternatif seperti serbuk arang sekam atau serbuk bata merah, juga dapat digunakan. Hasil penelitian Sutariati et al. (2011), menunjukkan bahwa perbedaan bahan pembawa dapat mempengaruhi
efektivitas
menggunakan
serbuk
mikroba.
bata
merah,
Bacillus
sp.
sementara
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
lebih
efektif
Pseudomonas 57
fluorescens lebih efektif menggunakan serbuk arang sekam. Performa serbuk arang sekam dan bata merah sebagai bahan pembawa, ditampilkan pada Gambar 3.4.
Serbuk bata merah
Serbuk arang sekam
Gambar 3.4. Bahan pembawa inokulan mikroba alternatif
Pencampuran dan Pengemasan Bahan pembawa yang akan digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Selanjutnya suspensi mikroba (hasil kultur dalam media atau dari fermentor) dicampur dengan bahan pembawa. Campuran diaduk menggunakan sarung tangan steril atau mikser mekanik. Campuran suspensi dan bahan pembawa mengandung kadar air 40-50% bergantung pada populasi. Setelah dicampur dengan bahan pembawa, campuran suspensi mikroba dengan bahan pembawa tersebut kemudian dikemas dalam kantong yang kuat tetapi cukup lentur, tidak mudah sobek atau bocor, misalnya kantong aluminium foil atau plastik polyethylene. Ketebalan pengemas sekitar 50-75 mikron. Berat kemasan disesuaikan dengan tujuan
dan sasaran pengguna, umumnya dibuat 200 g/kemasan.
Inokulan yang sudah dikemas selanjutnya disegel dengan sealer listrik dan di label. Label kemasan setidaknya memuat nama produsen, Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
58
nama produk, nomor strain, tanaman yang direkomendasikan, metode
inokulasi,
kadaluwarsa,
tanggal
harga,
alamat
pembuatan,
nomor
batch,
tanggal
lengkap
produsen
dan
instruksi
penyimpanan. Kemasan harus disimpan di tempat yang sejuk jauh dari panas atau sinar matahari langsung. Kemasan dapat disimpan pada suhu kamar atau dalam kondisi cold storage. Populasi inokulan dalam bahan pembawa dapat dievaluasi setiap 15 hari. Biofertilizer setidaknya mengandung lebih dari 109 sel/g inokulan pada saat pengemasan, dan minimal 107 sel/g sebelum tanggal kadaluwarsa dan dipasarkan. Aplikasi biofertilizer dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1) Perlakuan Benih Satu kemasan inokulan dicampur dengan 200 ml tepung kanji untuk membuat adonan seperti bubur. Benih yang dibutuhkan untuk satu hektar dicampur dalam adonan bubur secara merata sehingga seluruh benih tertutupi oleh adonan tersebut. Campuran adonan dikeringanginkan selama 30 menit, kemudian harus segera ditanam dalam waktu 24 jam. Satu kemasan inokulan (200 g) cukup untuk men-treatment 10 kg benih. 2) Perendaman bibit Metode ini digunakan untuk bibit tanaman dari perbanyakan vegetatif. Dua kemasan inokulan dicampur dalam 40 liter air. Bagian akar bibit yang diperlukan untuk satu hektar dicelupkan dalam campuran selama 5 sampai 10 menit dan kemudian ditanam.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
59
3) Aplikasi langsung di lapangan Empat kemasan inokulan dicampur dengan 20 kg pupuk kandang dan kemudian disebarkan dalam satu hektar lahan sebelum penanaman.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
60
BAGIAN 4 BIOFERTILIZER FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA) 4.1 Pendahuluan Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara fungi (myces) dengan perakaran (rhiza) tumbuhan tinggi. Mikoriza pada hakikatnya adalah struktur yang terbentuk oleh akar dan fungi secara simbiotik.
Kedua simbion
mendapat
manfaat.
Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara mineral dari dalam tanah. Sedangkan fungi memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan (Hadi, 2001). Pada suatu
dasarnya
asosiasi
mikoriza
terbentuk
sebagai
hubungan simbiosis mutualistik antara fungi pembentuk
mikoriza
dengan
perakaran
tanaman.
Akar
tanaman
akan
mengeluarkan cairan karbohidrat, dan hal ini akan dimanfaatkan oleh
fungi
Kemudian berbagai
pembentuk fungi
mikoriza
pembentuk
hara mineral
yang
sebagai
sumber
energi.
mikoriza
akan
menyerahkan
diperlukan
untuk
pertumbuhan
tanaman. Akar-akar bermikoriza tanpa tudung akar, tidak bercabang dan tanpa akar-akar rambut. Hifa fungi bertindak sebagai akar-akar rambut dan berfungsi menyerap air serta hara dalam tanah, kemudian memberikannya kepada tanaman (Fakuara, 1988).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
61
Gambar 4.1. Struktur fungi mikoriza arbuskular pada akar tanaman Gimnosperma dan Angiosperma (Sumber: Bucking et al., 2012)
4.2 Tipe Fungi Mikoriza Secara
umum
berdasarkan terbentuk
mikoriza atau
digolongkan
tidak
ke
terbentuknya
dalam
3
tipe
selubung
hifa
pada mikoriza, yaitu (1) Ektomikoriza, (2) Ektendomikoriza dan (3) Endomikoriza. Perbedaan anatomi dan morfologi ketiga tipe mikoriza tersebut adalah: 1) Ektomikoriza, bila pada permukaan luar akar terbentuk selubung jalinan hifa mikoriza, akar yang terinfeksi membesar dan bercabang, tidak terdapat rambut-rambut akar, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel pada
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
62
jaringan korteks membentuk struktur seperti pada jaringan hartig. 2) Ektendomikoriza, bila fungi korteks
dan
permukaan
juga
terdapat di
terbentuk selubung
dalam hingga
sel-sel pada
akar, selubung akar tipis berupa jaringan hartig,
hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteksnya, penyebaran mikoriza tipe ini umumnya hanya terbatas pada tanah-tanah hutan sehingga kajian-kajian tentang mikoriza tipe ini belum banyak dikembangkan. 3) Endomikoriza, bila fungi pembentuk mikoriza berkembang hanya di sel-sel korteks saja dan tidak terbentuk selubung hifa pada akar, akar yang terinfeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut vesikula dan sistem percabangan hifa dikotom yang disebut arbuskula. Dari ketiga tipe tersebut, Endomikoriza merupakan tipe yang paling banyak dikembangkan. Endomikoriza lebih dikenal dengan nama mikoriza vesikular arbuskular. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa intraseluler yaitu hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel ke sel yang lain. Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula. Pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang berbentuk oval disebut vesikula. Menurut Abbott dan Robson (1982), vesikula berbentuk globosa dan berasal dari menggelembungnya hifa internal dari fungi mikoriza. Vesikula ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
63
korteks parenkim. Penampang
longitudinal
akar
yang
terinfeksi
fungi mikoriza ditampilkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Penampang longitudinal akar yang terinfeksi fungi mikoriza (Brundrett et al., 1994) Tidak semua fungi mikoriza membentuk vesikula dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora. Arbuskula merupakan tempat pertukaran metabolit antara mikoriza dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman, sedangkan vesikula merupakan organ penyimpan makanan dan berfungsi sebagai organ reproduktif (Delvian, 2003).
Beberapa Genus
fungi mikoriza yang dapat
membentuk arbuskula yaitu Glomus, Acaulosporae, Entrophospora,
Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora (Delvian, 2003).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
64
4.2 Eksplorasi dan Isolasi Mikoriza dapat ditemukan pada profil tanah dengan kedalaman 20-30 cm tetapi mikoriza masih terdapat pada kedalaman 70-100 cm. Fungi mikoriza arbuskular tersebar secara aktif dan pasif melalui angin, air atau mikroorganisme dalam tanah (Delvian, 2006). Mikoriza tersebut dapat ditemukan pada hampir sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Namun tingkat populasi dan komposisi jenis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan sejumlah faktor lingkungan seperti suhu, pH, kelembapan tanah, kandungan fosfor dan nitrogen. Suhu terbaik untuk perkembangan FMA adalah pada suhu 30° C, tetapi untuk kolonisasi miselia yang terbaik adalah pada suhu 28-35° C. Isolasi mikoriza dilakukan dengan cara sampel tanah diambil pada daerah rhizosfer pada kedalaman ± 0-20 cm (lapisan top soil), kemudian dikeringanginkan hingga tidak terlalu basah. Isolasi spora mikoriza dilakukan menggunakan metode Wet sieving and Decanting (Brundreet et al., 1996). Sampel tanah yang diperoleh dtimbang ± 250 g dan dibasahi dengan air ± 500 ml dan dicampur rata pada botol lalu didiamkan selama 10 menit sampai partikel-partikel mengendap. Selanjutnya dituang ke dalam saringan bertingkat dengan pori paling besar diatas dan pori paling kecil berada di bawah. Hasil penyaringan yang terakhir dipindahkan kedalam tabung sentrifuge sebanyak 5 ml dan ditambahkan larutan glukosa 60% sebanyak 5 ml kemudian disentrifugasi selama 7 menit pada 2000 rpm. Supernatan yang terbentuk dituang pada saringan terakhir dan dibilas dengan air untuk menghilangkan sukrosa, kemudian spora hasil penyaringan yang
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
65
terakhir dipindahkan ke dalam cawan petri kemudian diamati dibawah mikroskop stereo pada dan dilakukan proses identifikasi manual dengan menggunakan website INVAM (2006). Pengamatan spora dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 400x. Identifikasi mikoriza dilakukan berdasarkan karakter morfologi spora mikoriza meliputi bentuk spora, serta warna spora (Brundret et
al., 1994). 4.3 Mekanisme Kerja Keberadaan fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, K, Fe dan Mn yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan akar terutama di daerah yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan kurang air. Akar tanaman bermikoriza dapat meningkatkan penyerapan seng dan sulfur dari dalam tanah lebih cepat daripada tanaman yang tidak bermikoriza (Abbot dan Robson 1984). Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin hara atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peran fungi ini tidak begitu nyata (Setiadi, 2001). Mekanisme kerja dan peranan mikoriza sebagai
pendukung
pertumbuhan
tanaman
dijabarkan
sebagai
berikut: 1) Meningkatkan Ketersediaan P dan unsur hara lainnya Peran utama dari FMA adalah mensuplai akar tanaman yang terinfeksi dengan fosfor, yang merupakan unsur tidak mobil dalam tanah (Bucher, 2007). FMA diketahui efektif dalam meningkatkan serapan hara, terutama fosfor dan akumulasi biomassa pada tanaman Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
66
terutama pada tanah yang memiliki kadar fosfor rendah (Osonubi et
al., 1991). Hifa eksternal FMA dapat menjangkau ruang perakaran lebih jauh dibandingkan dengan akar tanaman, sehingga sistem akar yang membentuk jaringan mikoriza akan memiliki luas permukaan yang lebih besar dan efektif dalam menyerap nutrisi dan menjelajahi volume yang lebih besar dari tanah dari akar non mikoriza. Volume 100 kali lebih besar dengan asosiasi mikoriza dibandingkan dengan tanpa mikoriza. Selain itu, kolonisasi mikoriza dapat menyebabkan pembentukan akar lateral meningkat (Lambers et al., 2008). Berbagai bukti kemampuan mikoriza meningkatkan ketersediaan P membuat para peneliti di seluruh dunia, mengusulkan mikoriza sebagai komponen integral dan tak terpisahkan dari sistem pengelolaan hara terpadu (Adesemoye, 2009; Khan et al., 2010). Ilustrasi penyerapan P oleh mikoriza ditampilkan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Penyerapan P oleh tanaman melalui jalur tanaman dan jalur mikoriza. Hifa ekternal (ERM), vesikel (V) and spora (S) mikoriza (Sumber: Bücking et al., 2012) Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
67
Secara umum mikoriza mengambil nutrisi dari tanah melalui dua jalur yaitu jalur yang melibatkan penyerapan langsung nutrisi dari tanah oleh epidermis akar dan rambut akar, dan jalur mikoriza yang melibatkan penyerapan nutrisi melalui hifa mikoriza. Dampak positif dari jalur mikoriza dalam proses penyerapan nutrisi fosfat (P) berkaitan dengan: 1) Eksplorasi volume tanah yang lebih luas oleh hifa mikoriza untuk mendapatkan ortofosfat (Pi) dan mengirimnya ke sel-sel korteks melalui jalur serapan P oleh tanaman. 2) Diameter
hifa
mikoriza
berukuran
kecil
yang
memungkinkannya untuk menembus ke celah-celah tanah sempit untuk mendapatkan P, dan laju masuknya P lebih tinggi per unit permukaan. 3) Kemampuan mikoriza untuk menyimpan P dalam bentuk polifosfat, yang memungkinkannya untuk menjaga Pi internal pada konsentrasi yang relatif rendah, dan lebih efisien dalam mentransfer P dari hifa eksternal ke hifa internal. 4) Produksi dan sekresi asam fosfatase dan asam-asam organik yang memfasilitasi pelepasan P dari kompleks organik. Mikoriza
memainkan
peran
yang
cukup
besar
dalam
perubahan lingkungan biokimia dan karakteristik fisiologis rhizosfer, yang dapat meningkatkan ketersediaan P di rizosfer. Asam sitrat dan siderofor
yang
dihasilkan
oleh
mikoriza
dapat
meningkatkan
ketersediaan P dalam tanah terutama dalam kasus P terikat oleh Fe-P atau Al-P pada tanah asam (Simpson, 2011). Selain itu, mikoriza menghasilkan fosfatase alkali, yang dapat memobilisasi P dari sumber
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
68
organik, dan hal ini berdampak jangka panjang pada memobilisasi fosfat
(Tarafdar,
1994).
Hidrolisis
P
organik
oleh
fosfatase
ekstraseluler yang disekresikan oleh mikoriza, ekskresi proton, hidroksil dan anion organik dan modifikasi potensial redoks sekitar miselium dan akar dari asosiasi mikoriza, diduga turut mempercepat pelepasan ion P dari tanah (Hinsinger, 2001). Perubahan pH rizosfer juga terkait dengan kegiatan mikrob dan genotipe tanaman. Perbedaan mekanisme ini memainkan peran penting, terutama dalam mobilisasi fosfor (Lambers et al. 2011). Eksudat anion organik dalam lingkungan rizosfer memainkan peran penting dalam ketersediaan P tanah (Hinsinger 2001). Mikoriza melepaskan anion organik seperti sitrat, malat dan oksalat, yang dapat menempati posisi penyerapan untuk memobilisasi P, atau mengganti posisi P yang terikat pada aluminium, besi dan kalsium. Dengan terlepasnya
P dari kompleks tak larut tersebut, maka
ketersediaan P dalam larutan tanah akan meningkat (Richardson et
al., 2011). Selain meningkatkan ketersediaan unsur P bagi tanaman, mikoriza juga meningkatkan serapan N, K, Zn, Cu, S, Fe, Ca, Mg dan pasokan Mn ke akar tanaman inang. Kemampuan penyerapan lebih banyak unsur hara oleh mikoriza berhubungan dengan kemampuan hifa memperluas zona nutrisi hingga ke tempat yang tidak terjangkau oleh akar (Smith et al., 1994). 2)
Peningkatan Ketahanan terhadap Kekeringan Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan
dari pada yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
69
kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air, akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa fungi mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat (Anas, 1997). Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hipa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. 3) Peningkatan Ketahanan terhadap Patogen Beberapa hasil penelitian menunjukkan efek perlindungan dari kolonisasi jamur mikoriza terhadap infeksi oleh mikroba patogen pada berbagai komoditas tanaman. Sebagian besar laporan ini fokus pada patogen tanah seperti kelompok fungi dari Genus
Fusarium,
Rhizoctonia, Macrophomina, atau Verticillium; bakteri seperti Erwinia carotovora; atau Oomycetes seperti Phytophthora, Pythium, dan Aphanomyces. Pada beberapa kasus, efek perlindungan tidak hanya berhubungan dengan pengurangan terhadap kerusakan, tetapi sering mengakibatkan penurunan infeksi patogen dalam jaringan tanaman (Whipps, 2004). Pada kasus lain, tanaman bermikoriza menunjukkan
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
70
penurunan yang jelas dari efek yang merugikan oleh nematoda endoparasit seperti Pratylenchus dan Meloidogyne (Vos et al., 2011). Perubahan
eksudat
akar
mempengaruhi
efek
mikoriza
terhadap interaksi tanaman dengan tumbuhan parasit. Mikoriza terbukti menghambat perkembangan akar tumbuhan parasit dengan cara melemahkan sinyal yang menyebabkan terjadinya interaksi tanaman-parasit (López-Ráez et al., 2011). Keberadaan sinyal ini juga mempengaruhi mekanisme pertahanan tanaman terhadap patogen dan organisme pengganggu tanaman lainnya. Sinyal peringatan (priming) terhadap adanya bahaya eksternal, lebih cepat aktif pada tanaman yang bermikoriza (Walters dan Heil, 2007). Kemampuan tanaman mengekspresikan pertahanan terhadap OPT melalui aktivasi priming, merupakan hasil kinerja molekul-molekul kecil yang bertindak sebagai transduser sinyal dan mengkoordinasikan ekspresi gen yang mengkode sintesis protein yang berhubungan dengan pertahanan. Molekul-molekul yang memegang peranan sangat penting dalam sinyal pertahanan antara lain asam jasmonat (JA), asam salisilat (SA), asam absisik (ABA), dan etilen (ET) (Pieterse et al., 2009). Ilustrasi peningkatan ketahanan tanaman terhadap organisme pengganggu tanaman ditampilkan pada Gambar 4.4. Tidak
adanya
kolonisasi
akar
oleh
FMA
(tanaman
a)
menyebabkan tanaman mengalami sakit (nekrosis) atau rusak oleh gigitan serangga. Tidak demikian dengan tanaman bermikoriza (tanaman b), peningkatan perolehan nutrisi mineral melalui jaringan hifa, mendorong perubahan komunitas mikroba tanah, yang diduga dapat meningkatkan aktivitas mikrob antagonis patogen. Aktivasi
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
71
priming juga mengakibatkan penurunan kejadian penyakit atau kerusakan oleh OPT.
Gambar 4.4. Ilustrasi peningkatan ketahanan tanaman bermikoriza terhadap OPT: (a) tanaman tanpa mikoriza, (b) tanaman bermikoriza Selain mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa mekanisme lain yang diduga terjadi dalam interaksi antara tanaman dengan mikoriza dalam meningkatkan ketahanan terhadap infeksi patogen atau OPT (baik secara langsung maupun tidak langsung) antara lain (1) perbaikan pertumbuhan tanaman akibat ketersediaan berbagai
nutrisi
penting
oleh
aktivitas
mikoriza
menyebabkan
tanaman lebih sehat dan vigor sehingga lebih tahan terhadap serangan OPT; (2) perkembangan hifa yang relatif cepat dan mendominasi
ruang
perakaran,
menyebabkan
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
mikroorganisme 72
(patogen) memiliki ruang gerak terbatas. Selain kompetisi terhadap tempat (ruang), juga sumber nutrisi, dan umumnya kedua kompetisi ini selalu dimenangkan oleh mikoriza; (3) Mikoriza dapat memproduksi senyawa antibiotik yang dapat mematikan patogen. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit. Mikoriza sangat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cenamoni. Demikian pula mikoriza telah dilaporkan dapat mengurangi serangan nematode. Jika
terhadap
jasad
renik
berguna,
FMA
memberikan
sumbangan yang menguntungkan, sebaliknya terhadap jasad renik penyebab penyakit FMA justru berperan sebagai pengendali hayati yang aktif terutama terhadap serangan patogen akar (Huang et al., 1997). Interaksi sebenarnya antara FMA, patogen akar, dan inang cukup kompleks dan kemampuan FMA dalam melindungi tanaman terhadap serangan patogen tergantung spesies, atau strain fungi FMA dan tanaman yang terserang (Mosse, 1981). 4) Mikorizoremediasi Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat. Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa fungi. Selanjutnya dinyatakan bahwa VAM dapat terjadi secara alami pada tanaman
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
73
pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik (Killham, 1994). Mekanisme toleransi tanaman terhadap logam berat terjadi melalui imobilisasi logam dalam biomassa FMA. Akar mikoriza berperan sebagai penghalang terhadap transportasi logam berat (de Andrade dan da Silveira, 2008). Logam berat ditransfer ke dinding hifa, karena pada dinding hifa terdapat kitin yang memiliki kapasitas pengikat logam. Studi lain pada kondisi tanaman terkontaminasi logam berat, ada fenomena pembentukan glomalin, suatu glikoprotein yang diproduksi oleh FMA, yang diduga memiliki fungsi khelating logam, dan mengurangi ketersediaan logam untuk tanaman (Khan et
al., 2006; Saleh dan Saleh, 2006). Mekanisme lain terkait toleransi terhadap logam termasuk pengenceran konsentrasi logam dalam jaringan tanaman akibat pemacu pertumbuhan tanaman oleh FMA, pencucian oleh curah hujan atau khelating dalam rhizosfer. Peran FMA dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam menyebabkan logam berat terakumulasi dalam akar dalam bentuk non-toksik terutama di dalam dinding sel hifa atau dikomplekskan menjadi bahan fosfat dalam sel (Andarde dan Silveira, 2008). 5) Produksi Hormon dan zat Pengatur Tumbuh Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa fungi mikoriza dapat memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman. Di samping kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan nutrisi yang
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
74
dibutuhkan oleh tanaman, mikoriza juga melakukan perbaikan melalui kemampuan mikoriza dalam menghasilkan hormon seperti auksin sitokinin dan giberelin (Barea et al., 1982), auksin dan asam absisat (Murakami-Mizukami, 1991). 6) Perbaikan Struktur Tanah Mikoriza berkontribusi dalam memperbaiki struktur tanah melalui
pertumbuhan
hifa
eksternal
ke
dalam
tanah
untuk
menciptakan struktur kuat yang memegang partikel tanah bersamasama. Hifa eksternal menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembentukan mikro-agregat, untuk membentuk makro agregat yang bermanfaat bagi perkembangan perakaran tanaman. Struktur tanah yang baik akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah, yang pada akhirnya akan meningkatkan
pertumbuhan
tanaman.
Dengan
demikian
fungi
mikoriza tidak hanya simbion bagi tanaman, tapi juga bagi tanah. Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik tanah yang lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur tanah yang baik seperti perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta perbaikan dari pada tata udara tanah. Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan akar tanaman. Pada lahan kering dengan makin
baiknya
perkembangan
akar
tanaman,
akan
lebih
mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena memang pada lahan kering faktor pembatas utama dalam peningkatan
produktivitasnya
adalah
kahat
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
unsur
hara
dan 75
kekurangan air. Akibat lain dari kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan organik. 7) Perbaikan Fungsi Lahan Marginal Luas lahan kritis di Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahunnya sebagai akibat dari adanya degradasi lahan oleh erosi atau banjir. Lahan kritis-kering Indonesia saat ini mencapai 51.4 juta hektar, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering dengan pemanfaatan yang sekedarnya atau bahkan cenderung diterlantarkan (Manuwoto, 1991). Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka selamanya Indonesia akan menjadi negara pengimpor bahan makanan, apalagi saat ini pengalihan fungsi lahan produktif menjadi lokasi perumahan atau kawasan
industri
cenderung mengalami peningkatan. Teknologi pemanfaatan mikoriza sebagai biofertilizer dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan lahan marginal tersebut. Menurut Prihastuti, (2007), lahan kering masam di Lampung Tengah banyak mengandung FMA, yang diindikasikan dengan tingginya tingkat infeksi akar, yaitu mencapai 70,50–90,33%. Lahan kering masam merupakan lahan yang kurang produktif, namun sangat luas ketersediaannya dan berpotensi untuk dikembangkan. Lahan kering masam merupakan lahan yang perlu diupayakan kesuburannya untuk digunakan sebagai areal tanam komoditi pangan. Mikoriza mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba tanah lainnya. Semakin banyak tingkat infeksi akar yang terjadi, memungkinkan jaringan hifa eksternal yang dibentuk semakin Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
76
panjang dan menjadikan akar mampu menyerap fosfat lebih cepat dan lebih banyak. Mikoriza mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas tanaman di lahan marginal maupun dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan demikian inokulasi mikoriza diharapkan dapat membantu dalam merehabilitasi lahan kritis, yang sampai saat ini belum ada usaha pelestarian lahan kritis secara maksimal. Hubungan timbal balik antara fungi mikoriza dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (Halis et al., 2008). 4.4 Produksi Massal Dan Aplikasi Produksi massal mikoriza untuk pembuatan pupuk hayati dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Sterilisasi media perbanyakan mikoriza Media perbanyakan mikoriza seperti pasir, pupuk kandang atau zeolit harus disterilisasi sebelum digunakan. Sterilisasi bertujuan untuk meningkatkan tingkat kolonisasi mikoriza (>80 %),
dan
mengurangi persaingan mikoriza dengan fungi/bakteri patogen, karena pertumbuhan fungi mikoriza lebih lambat pertumbuhannya pada media buatan dibandingkan dengan fungi penyebab penyakit. Teknik
sterilisasi
dapat
menggunakan:
(1)
sinar
matahari,
menggunakan tempat penjemuran beratapkan seng plastik dengan kondisi agak menyungkup, sehingga terjadi pengaruh rumah kaca yang suhunya dapat meningkat sampai 50-60o C, penjemuran dilakukan selama lima jam); (2) autoclave dengan suhu 121o C pada tekanan 1 atmosfer selama 60 menit; (3) penyanggraian (penggorengan tanpa minyak) di atas api selama tiga jam, atau Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
77
pengukusan selama lima jam. Setelah steril, media perbanyakan dimasukkan kedalam pot-pot plastik, media perbanyakan siap untuk digunakan. 2) Sterilisasi permukaan benih Sterilisasi
bertujuan
untuk
mengurangi
kontaminasi
atau
persaingan dengan fungi bersifat patogen. Bahan sterilant yang dapat digunakan adalah: (1) Sodium hypochlorit (NaOCl) 5% selama 10 menit,; (2) Hydrogen peroxide (H202) 30% selama 5 menit. Setelah sterilisasi, benih harus dibilas dengan air sampai bersih. 3) Penanaman (inokulasi) Teknik inokulasi merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan perbanyakan mikoriza. Prosedur inokulasi dimulai dengan menanam benih tanaman inang Benih
dikecambahkan
terlebih
dahulu
(jagung atau sorgum). untuk
meningkatkan
persentase pertumbuhannya karena media tanam yang digunakan miskin unsur hara. Selanjutnya benih ditanam pada media perbanyakan, yang sebelumnya telah diisi dengan starter mikoriza sebanyak 1 g per lubang tanam. 4) Inkubasi dan pemeliharaan Inkubasi mikoriza pada media perbanyakan dilakukan pada tempat yang cukup mendapatkan sinar
matahari. Agar tanaman inang
dapat tumbuh secara optimal, maka perlu dilakukan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan penyiangan serta pengendalian OPT.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
78
5) Stressing tanaman inang Stressing bertujuan agar mikoriza
segera
membentuk spora,
dengan menghambat atau menekan pertumbuhan tanaman inang agar mikoriza yang bersimbiosis dengan akar tanaman juga mengalami tekanan. Stressing dilakukan dengan pengeringan atau pemaparan pada sinar matahari. Pada kondisi tercekam, simbiosis antara akar tanaman dengan mikoriza akan berjalan optimal, hifahifa
mikoriza akan memanjang untuk membantu akar mencari
sumber air, hifa-hifa ini selanjutnya akan membentuk spora untuk mempertahankan hidupnya. 6) Topping tanaman inang. Topping bertujuan untuk memotong tajuk tanaman inang dan menyisakan batang bawahnya kira-kira ¾ saja. Dalam kondisi ini tanaman inang dan mikoriza mengalami kondisi tekanan sangat tinggi. Tanaman inang akan mati dan mikoriza akan berusaha mempertahankan diri dimana hifa-hifa mikoriza akan mengerut dan membentuk spora. 7) Pemanenan. Pemanenan dilakukan setelah tanaman inang mengalami stressing, panen dilakukan dengan cara membongkar tanaman inang lalu media tanaman
tanam dicampur dipotong
dan
diaduk secara merata,
kecil-kecil menggunakan
dicampur dengan zeolit
kemudian
dikemas
akar
gunting, lalu dalam
kantong
plastik. Kemasan mikoriza sudah dapat dipasarkan. Mikoriza juga dapat dikemas dalam berbagai bentuk produk teknologi. Kemasan yang paling sederhana dan praktis adalah bentuk Tablet atau Kapsul spora. Pembuatannya cukup mudah, biomassa Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
79
fungi (akar tanaman terinfeksi) yang terdiri atas benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit fungi dicetak menjadi batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 cm (Tablet), atau dimasukkan ke dalam selongsong Kapsul. Tablet atau kapsul spora mikoriza ini sangat cocok untuk diaplikasikan pada benih tanaman, aturan pakainya satu tablet atau satu kapsul untuk satu benih. Tablet/kapsul juga dapat dihancurkan, kemudian dicampurkan dengan tanah yang akan digunakan untuk menumbuhkan bibit tanaman. Mikoriza lebih efektif jika diaplikasikan pada benih saat pembibitan/pesemaian. Setelah diaplikasikan pada benih, mikoriza akan segera menginfeksi jaringan akar muda dan melakukan berbagai peran positifnya dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman. Saat ditanam di lapangan, bibit telah memiliki perakaran yang kuat, sehingga terlindungi
dan terhindar dari
serangan patogen. Dosis
aplikasi yang dianjurkan minimal 15-20 g per bibit dan diaplikasikan pada sore hari.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
80
BAGIAN 5 BIOFERTILIZER PLANT GROWTH PROMOTING
RHIZOBACTERIA (PGPR) 5.1 Pendahuluan Rizosfer adalah lingkungan (zona) perakaran tanaman yang merupakan habitat berbagai jenis mikroorganisme. Keberadaan berbagai jenis mikroba ini, menyebabkan adanya interaksi antara mikroba dengan tanaman atau antara jenis mikroba yang satu dengan jenis mikroba lainnya. Asosiasi yang terjadi pada zona rizosfer ini dapat bersifat positif, netral atau negatif (Nadeem et al., 2006; Khalid
et al, 2004). Salah satu kelompok mikroorganisme yang dapat melakukan asosiasi dengan akar tanaman dan terbukti mampu memacu pertumbuhan tanaman dikelompokkan sebagai rizobakteri pemacu pertumbuhan atau Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Kloepper et al., 1986). Kelompok
PGPR
ini
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara melepaskan zat pengatur tumbuh atau zat aktif biologis lainnya,
mengubah
tingkat
hormon
endogen,
meningkatkan
ketersediaan dan penyerapan nutrisi melalui fiksasi atau mobilisasi unsur hara, mengurangi efek merugikan dari mikroorganisme patogen pada tanaman dan menggunakan berbagai mekanisme untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nadeem et al., 2006). Beberapa kelompok bakteri termasuk Genus Rhizobium, Bradyrhizobium, Pseudomonas,
Azospirillum,
Azotobacter,
Bacillus,
Klebsiella,
Enterobacter,
Xanthomonas, Serratia dan beberapa Genus lainnya, telah terbukti
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
81
memfasilitasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme aksi (Khan, 2005; Akhtar dan Siddiqui, 2009). Dalam beberapa tahun terakhir, PGPR telah memberikan manfaat yang sangat penting bagi dunia untuk pengembangan pertanian
berkelanjutan.
Hasil-hasil
penelitian
menunjukkan
peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian baik di bawah kondisi rumah kaca maupun lapangan setelah mendapat aplikasi PGPR (Zhuang et al, 2007; Contesto et al, 2008). Selain memacu pertumbuhan tanaman, PGPR menjamin ketersediaan unsur hara dan meningkatkan efisiensi penggunaan hara, dan mengurangi cekaman biotik dan abiotik (Saleem et al., 2007; Ahmad
et al., 2008; Masoud dan Abbas, 2009). 5.2 Eksplorasi dan Isolasi PGPR Pada prinsipnya kegiatan eksplorasi dan metode isolasi yang digunakan untuk mendapatkan isolat rizobakteri yang memiliki kemampuan PGPR, sama dengan metode isolasi pada poin 3.2.1. Setelah mendapatkan isolat yang berpotensi melarutkan fosfat (pelarut fosfat juga merupakan bagian dari peran bakteri sebagai PGPR), dilakukan beberapa pengujian lanjutan yang berhubungan dengan perannya sebagai PGPR, yaitu kemampuan memproduksi hormon tumbuh (IAA, giberelin, sitokinin atau etilen), produksi siderofor, HCN, dan memfiksasi N. Metode pengujian yang digunakan antara lain sebagai berikut: 1) Produksi Hormon Asam Indol Asetat (IAA): Kemampuan masing-masing isolat rhizobakteri (contoh Bacillus
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
82
spp., Pseudomonas spp. dan Serratia spp.) untuk memproduksi IAA dianalisis dengan metode Glickman & Dessaux (1995). Isolat
Pseudomonas spp. ditumbuhkan selama 24 jam dalam medium King’s B cair sedangkan Bacillus spp. dan Serratia spp. dalam
Nutrient Broth (Schaad et al., 2001). Untuk memacu sintesis auksin, ke dalam masing-masing media ditambahkan asam amino triptofan 0.5 g/l. Kultur bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dipisahkan dari endapan
bakteri,
berporositas
0.2
disaring m,
dan
dengan dianalisis
membran
nitroselulosa
kandungan
IAA-nya.
Kandungan IAA dalam filtrat kultur bakteri dideteksi dengan menggunakan pereaksi FeCl3 12 g/l dalam 7.9 M H2SO4. Pereaksi FeCl3 (1 ml) dan filtrat kultur bakteri (1 ml) ditambahkan ke dalam tabung eppendorf (volume 2 ml), dan campuran diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu 26 oC selama 30 menit. Setelah periode inkubasi, nilai absorban campuran dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva standar berdasarkan nilai absorban larutan IAA murni dengan konsentrasi 0, 6.25, 12.5, 25, 50, 75, 100, 150, dan
200 g/ml digunakan untuk menghitung
kandungan IAA dalam filtrat kultur bakteri 2) Kemampuan Menghasilkan Senyawa HCN: Produksi senyawa HCN secara kualitatif dianalisis menggunakan metode yang dikembangkan Bakker & Schipper (Munif, 2001). Isolat rhizobakteri yang diuji ditumbuhkan pada media glisin dalam cawan petri. Pada bagian tengah tutup cawan petri ditempelkan potongan kertas saring yang telah direndam dalam larutan untuk Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
83
mendeteksi HCN (asam pikrat 2 g dan natrium karbonat 8 g, dalam 200 ml air). Kultur bakteri diinkubasikan selama 4 hari pada suhu 24
o
C dan perubahan warna kertas saring digunakan sebagai
indikator terbentuknya senyawa HCN. Warna kertas saring yang tetap kuning mengindikasikan isolat yang diuji tidak memproduksi HCN sedangkan warna coklat muda, coklat tua dan merah bata mengindikasikan produksi HCN yang semakin meningkat. 3) Kemampuan Memproduksi Siderofor: Untuk analisis produksi siderofor, isolat rhizobakteri yang diuji ditumbuhkan dalam media uji. Komposisi per liter media yang digunakan terdiri atas sukrosa (20 g), L-asparagin (2 g), K2HPO4 (1 g), MgSO47H2O (0.5 g) dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27 oC. Suspensi rhizobakteri disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 30 menit. Supernatan yang didapat disaring dengan membran nitroselulosa berporositas 0.2 m. Untuk mendeteksi siderofor, absorbansi supernatan (3 ml) dengan atau tanpa penambahan 1 ml FeCl3 0.01 M diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm (Dirmawati, 2003). 4) Kemampuan Memfiksasi N: Pengujian kemampuan rhizobakteri memfikasasi N menggunakan larutan pepton. Isolat rhizobakteri yang masih segar diinokulasikan ke dalam 10 ml larutan pepton dalam tabung reaksi, kemudian diinkubasi selama 48-72 jam pada suhu 28 ± 2° C. Setelah inkubasi setiap tabung ditambahkan Reagen Nessler 0,5 ml. Perubahan warna coklat menjadi kuning menunjukkan bahwa isolat Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
84
yang diuji mampu memfiksasi N (Cappuccino dan Sherman, 1992). Setelah mendapatkan isolat rhizobakteri yang memiliki satu atau beberapa keunggulan tersebut, maka dilanjutkan dengan karakterisasi
morfologi,
biokimia
dan
mengidentifikasi spesiesnya menggunakan
molekuler prosedur
isolat uji
untuk standar
(Schaad et al., 2001). Pengujian lanjutan dilakukan untuk mengetahui keefektifan isolat tersebut sebagai PGPR melalui uji pertumbuhan dan hasil tanaman indikator dimulai dari tingkatan laboratorium, rumah kaca dan lapangan. 5.3 Mekanisme Kerja Mekanisme PGPR sebagai pemacu pertumbuhan tanaman tidak sepenuhnya
dipahami,
akan
tetapi
beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa kelompok PGPR memiliki kemampuan: 1) Menghasilkan hormon tumbuh PGPR dapat memperbaiki pertumbuhan akar dan memacu pertumbuhan tanaman dengan memproduksi fitohormon seperti IAA (Sutariati, 2006; Sutariati & Wahab, 2010), asam giberelat dan sitokinin (Kloepper et al., 2007). Kemampuan
PGPR memproduksi
IAA ditampilkan pada Gambar 5.1. Hasil penelitian tentang sintesis auksin oleh rhizobakteri sebagai penghasil fitohormon menunjukkan bahwa
rhizobakteri
mensintesis IAA dari triptofan dengan jalur yang berbeda, meskipun mekanisme umum sintesis auksin adalah melalui jalur triptofanindependen (Spaepen et al., 2007). Studi yang dilakukan Sutariati et
al., (2006), menunjukkan bahwa beberapa jenis rhizobakteri yang diuji (dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas spp., dan Serratia Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
85
spp.) terbukti mampu memproduksi IAA dalam media dengan penambahan asam amino triptofan.
Kandungan IAA Total (ug/ml)
120 100 80 60
40 20 0
Bakteri Rizosfer
Gambar 5.1. Produksi IAA oleh Rhizobakteri (Sumber: Sutariati, 2006) Studi yang dilakukan Sutariati et al., (2006), menunjukkan bahwa beberapa jenis rhizobakteri yang diuji (dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas spp., dan Serratia
spp.) terbukti mampu
memproduksi IAA dalam media dengan penambahan asam amino triptofan. Diantara isolat rizo-bakteri yang dievaluasi, isolat P.
fluorescens mampu memproduksi IAA lebih banyak dibandingkan isolat Bacillus spp. atau Serratia spp. (Gambar 5.2).
Suspensi Rizobakteri yang direaksikan dengan triptofan
Gambar 5.2.
Performa hasil pengujian IAA dalam media dengan penambahan triftofan (Sumber: Sutariati et al., 2006)
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
86
Kemampuan rhizobakteri dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman juga dibuktikan oleh Sutariati et al., (2006). Dibandingkan dengan tanpa perlakuan rhizobakteri sebagai standar, inokulasi dengan isolat Pseudomonas spp., Serratia spp., dan Bacillus spp. nyata meningkatkan tinggi bibit cabai dan jumlah daun bibit cabai. Contoh pertumbuhan bibit cabai dengan atau tanpa perlakuan rhizobakteri dapat dilihat pada Gambar 5.3.
a
b
c
d
Gambar 5.3. Contoh pertumbuhan bibit cabai dengan atau tanpa perlakuan rhizobakteri. Bibit cabai (a) tanpa perlakuan rhizobakteri, (b) diinokulasi Bacillus spp., (c) Pseudomonas spp., dan (d) Serratia spp. (Sumber: Sutariati et al., 2006) 2) Pelarut Fosfat Kemampuan bakteri kelompok PGPR dalam melarutkan fosfat telah dijelaskan pada materi sebelumnya. Perlu dipahami bahwa tidak semua PGPR memiliki kemampuan yang sama sebagai penghasil Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
87
hormon, atau pemfiksasi N atau pelarut P dan sebagainya. Meskipun Genus sama, seperti Bacillus atau Pseudomonas, namun spesies bakteri yang berbeda, menampilkan karakteristik keunggulan yang berbeda pula. 3) Elisitor Biotik Elisitor adalah bahan kimia atau biofaktor dari berbagai sumber yang dapat memicu respon fisiologis dan morfologi serta akumulasi fitoaleksin pada tanaman. Di alam terdapat jenis elisitor abiotik seperti ion logam atau senyawa anorganik dan elisitor biotik, yang umumnya berupa kelompok bakteri, virus, fungi, komponen dinding sel tanaman dan bahan kimia yang dilepaskan karena reaksi antagonis tanaman terhadap bakteri patogen atau serangan herbivora (Bhattacharyya dan Jha, 2012). Kajian perlakuan tanaman dengan elisitor biotik dapat menyebabkan berbagai reaksi pertahanan termasuk akumulasi berbagai molekul bioaktif defensif seperti fitoaleksin. Oleh karena itu, elisitasi saat ini banyak digunakan untuk menginduksi ekspresi gen yang bertanggung jawab untuk sintesis metabolit antimikroba. Menurut Sekar dan Kandavel (2010), bakteri rizosfer merupakan kelompok mikroba yang paling dikenal dapat berperan sebagai elisitor biotik, yang dapat menginduksi sintesis metabolit sekunder pada tanaman. Sinyal merupakan kunci adanya elisitor biotik jalur transduksi pada tanaman. Asam jasmonic dan metil ester merupakan transduser sinyal
dalam
berbagai
jaringan
tanaman
yang
konsentrasinya
meningkat dengan cepat ketika kultur suspensi dari Rauvolfia
canescens L. dan Eschscholtzia californica Cham. diperlakukan dengan Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
88
elisitor ragi (Roberts dan Shuler, 1997). Beberapa contoh PGPR yang dilaporkan sebagai elisitor biotik ditampilkan pada Tabel 4. Ajmalisin, serpentine, picrocrocin, crocetin, hiosiamin dan skopolamin, senyawa safranal dan tanshinone tercatat sebagai metabolit penting yang diproduksi oleh PGPR sebagai tanggap fisiologis dan morfologi tanaman terhadap gangguan faktor biotik atau abiotik. Tabel 5.1. PGPR sebagai elisitor biotik untuk mengelisitor respon tanaman (Sumber: Bhattacharyya dan Jha, 2012) PGPR species
Plant
Metabolite induced in plant Ajmalicine
Jaleel et al. (2007)
P. fluorescens Catharanthus roseus (L.) G.
Serpentine
Jaleel et al. (2009)
P. putida and Hyoscyamus P. fluorescens niger L.
Hyoscyamine Ghorbanpour et al. and (2010) Scopolamine
Pseudomonas Catharanthus fluorescens roseus (L.) G.
Sample references
Don
Don
Bacillus subtilis B. cereus
Crocus sativus L
Picrocrocin, Sharaf-Eldin et al. Crocetin and (2008) Safranal Salvia miltiorrhiza compounds Tanshinone Zhao et al. (2010) Bunge
4) Penginduksi Ketahanan Sistemik terhadap Patogen Selain beberapa peran yang telah dijelaskan sebelumnya, PGPR juga telah banyak dilaporkan mampu berperan sebagai agens pengendali hayati berbagai patogen tanaman.
P. fluorescens
dilaporkan efektif mengendalikan penyakit layu fusarium pada tomat Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
89
yang
disebabkan
(Ramamoorthy
oleh
Fusarium
et al.,
2002),
oxysporum
f.sp.
lycopersici
B. subtilis efektif
sedangkan
mengendalikan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Aspergillus
niger dan penyakit layu fusarium pada kacang gude yang disebabkan oleh Fusarium udum (Podile dan Laxmi, 1998). Salah satu mekanisme pengendalian patogen oleh bakteri PGPR adalah melalui induksi ketahanan. Sebagai indikator adanya induksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen antaralain terjadinya peningkatan aktivitas enzim peroksidase dan produksi senyawa fitoaleksin. Beberapa hasil penelitian serupa melaporkan adanya induksi ketahanan sistemik pada tanaman yang mendapat perlakuan PGPR melalui peningkatan aktivitas enzim peroksidase, fenilalanin amonia-liase (PAL) dan polifenol oksidase (Chen et al., 2002),
peroksidase, PAL dan lipoksigenase (Silva et al., 2004)
peroksidase
dan
kitinase
serta
produksi
senyawa
fitoaleksin
(Nandakumar et al., 2001) pada tanaman. Sutariati (2006) juga melakukan analisis aktivitas enzim peroksidase pada tanaman cabai yang mendapat perlakuan benih dengan B. polymixa BG25, P. fluorescens PG01. Hasil analisis menunjukkan
bahwa
benih
yang
mendapat
perlakuan
PGPR
memperlihatkan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan benih dengan Dithane, benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi. Perlakuan benih dengan B. polymixa BG25, P.
fluorescens PG01 atau campuran keduanya mampu meningkatkan aktivitas peroksidase dan berbeda nyata dengan perlakuan benih dengan Dithane, benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi (Gambar 5.4). Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
90
Aktivitas Peroksidase (U/mg protein)
0.14 0.12 0.10
a
a
a b
b
b
Dithane
Benih terinfeksi
Benih tidak terinfeksi
0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 BG25
PG01
BG25+ PG01
Perlakuan Benih
Gambar 5.4. Aktivitas peroksidase pada tanaman cabai yang mendapat perlakuan PGPR. BG25 (Bacillus polymixa BG25), PG01 (Pseudomonas fluorescens PG01). (Sumber: Sutariati, 2006) Selain mampu meningkatkan aktivitas peroksidase, perlakuan PGPR juga dapat meningkatkan akumulasi senyawa fitoaleksin (phytuberin, solavetivone dan rishitin) pada buah cabai, dibandingkan dengan perlakuan benih dengan Dithane, benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi (Gambar 5.4). Perlakuan
PGPR pada benih dengan
campuran B. polymixa BG25 + P. fluorescens PG01 mampu meningkatkan kandungan phytuberin dan solavetivone buah cabai, sementara itu kandungan rishitin tertinggi terdapat pada perlakuan benih dengan P. fluorescens PG01. Hanya perlakuan benih dengan B.
polymixa BG25, P. fluorescens PG01 dan campuran keduanya serta Dithane yang mampu menginduksi pembentukan solavetivone pada buah cabai, sedangkan pada benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi hampir tidak dapat menginduksi solavetivone (Gambar 5.5).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
91
Kandungan Fitoaleksin (g/g)
4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 BG25
PG01
Jenis Fitoaleksin: Phytuberin
Solavetivone
BG25 + PG01
Dithane
Benih terinfeksi
Benih tidak terinfeksi
Perlakuan Benih Rishitin
Gambar 5.5. Produksi fitoaleksin pada buah cabai yang diberi perlakuan PGPR Bacillus polymixa BG25, Pseudomonas fluorescens PG01 (Sumber: Sutariati, 2006) Kemampuan bakteri PGPR menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen sangat berkorelasi dengan tingkat kejadian penyakit dan performa pertumbuhan dan hasil tanaman. Perlakuan benih dengan campuran B. polymixa BG25 + P. fluorescens PG01 mampu menurunkan tingkat kejadian penyakit antraknosa dan pengaruhnya berbeda nyata dengan perlakuan tunggal keduanya, perlakuan Dithane, benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi. Tingkat kejadian penyakit tertinggi terdapat pada benih terinfeksi. Efek perlakuan benih dengan agens biokontrol terhadap performansi pemunculan gejala penyakit antraknosa di lapangan dapat dillihat pada Gambar 5.6.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
92
a
b
Gambar 5.6. Performansi tanaman cabai: (a) mendapat aplikasi PGPR, tanaman sehat (b) tanpa aplikasi PGPR, tanaman menunjukkan sakit antraknosa (Sumber: Sutariati, 2006) Sampai saat ini, belum ditemukan solusi yang tepat dan efektif untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus. Namun demikian hasil penelitian Elbadry et al., (2006) membuktikan bahwa aplikasi campuran P. fluorescens dan Rhizobium leguminosarum pada benih, mampu menginduksi ketahanan sistemik
tanaman terhadap
kacang kuning mosaik potyvirus (BYMV). 5) Fiksasi Nitrogen Nitrogen merupakan nutrisi utama tanaman, yang dapat menjadi faktor pembatas dalam proses budidaya pertanian jika tidak tersedia bagi tanaman. Fiksasi biologis N tidak hanya dapat dilakukan melalui simbiosis dengan tanaman inang, berbagai mekaisme fiksasi lainnya juga dapat dilakukan oleh kelompok bakteri PGPR. Azoarcus sp., Beijerinckia sp., Klebsiella pneumoniae, dan Pantoea agglomerans dilaporkan mampu memfiksasi N2 atmosfer dalam tanah (Riggs et al., 2001.)
dan
membuatnya
tersedia
bagi
tanaman.
Studi
lain
membuktikan bahwa P. fluorescens mampu meningkatkan jumlah Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
93
nodul tanaman kacang. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PGPR dapat melakukan fiksasi N baik secara langsung maupun tidak langsung (Parmar dan Dadarwal, 1999). 6) Pemacu Pertumbuhan Sejak saat ini umat manusia di seluruh dunia hendaknya lebih serius
berupaya
untuk
meningkatkan
kualitas
lingkungan.
Penggunahan bahan-bahan kimia beracun dalam berbagai aspek kehidupan manusia hendaknya mulai dikurangi. Solusi perbaikan kualitas hidup manusia melalui pemanfaatan PGPR harus secara terus menerus digunakan dan disebarluaskan. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan peran penting dari PGPR dalam memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman, sehingga penggunaan bahan kimia dapat diminimalisasi. Esitken et al. (2003) mengkaji pengaruh aplikasi rhizobakteri pada daun murbei dan aprikot, dan mengamati peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang sangat signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Beberapa strain PGPR seperti
Achromobacter xylosoxidans, Bacillus subtilis, B. licheniformis, B. pumilus, Brevibacterium halotolerans dan Pseudomonas putida dilaporkan memiliki peran penting dalam proses pemanjangan sel, peningkatkan aktivitas deaminase ACC dan pemacu pertumbuhan tanaman. Total panjang akar, luas permukaan dan volume akar tomat dan mentimun mengalami peningkatan setelah diinokulasi dengan
Pseudomonas fluorescens 92rk dan P190r. Aplikasi PGPR melalui perlakuan benih, mampu memperbaiki viabilitas dan vigor benih berbagai komoditas tanaman budidaya Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
94
(Sutariati, 2009; Sutariati et al., 2010; Sutariati et al., 2011; Sutariati dan Khaeruni, 2013; Sutariati et al., 2014). Performa inokulasi benih dengan PGPR ditampilkan pada Gambar 5.7.
Kontrol
PGPR
Gambar 5.7. Performa pertumbuhan benih yang mendapat perlakuan PGPR Khalid et al., (2004) yang mengamati respon pertumbuhan gandum setelah diinokulasi dengan rhizobakteria menyarankan agar dalam budidaya gandum menggunakan PGPR sebagai perlakuan standar. 7) Rizoremediasi Teknologi rizoremediasi berbasis pemanfaatan bakteri PGPR saat ini sedang intensif dikaji, karena dianggap cukup efektif, karena inokulasi PGPR dapat membantu peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kondisi agroklimat terkontaminasi. Rhizobakteri dapat langsung membantu proses remediasi melalui aktivasi perannya dalam memproduksi IAA, memfiksasi nitrogen Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
95
secara biologis, melarutkan P dan mensekresi siderofor (Denton, 2007). Di samping itu, PGPR strain pseudomonad dan Acinetobacter dapat meningkatkan penyerapan Fe, Zn, Mg, Ca, K dan P oleh tanaman (Esitken et al., 2006). PGPR yang diaplikasikan bersama-sama dengan FMA juga menjadi alternatif perbaikan tanah pertanian yang miskin unsur hara di samping untuk meningkatkan kelarutan logam berat. Aplikasi strain PGPR
dapat
mengurangi
bioavailabilitas
toksisitas
untuk
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih baik pada kondisi tanah terkontaminasi logam berat melalui daur ulang nutrisi, menjaga struktur tanah, detoksifikasi bahan kimia dan efektivitas pengendalian hama (Denton, 2007). Studi rhizobakteri dalam penyerapan Ni menunjukkan bahwa kelompok bakteri dapat melepaskan logam dari fase non-larut dengan menurunkan pH lingkungan (Zhuang et al., 2007). 8) Memperbaiki Pertumbuhan Akar Perlakuan nonpatogenik,
benih seperti
atau
stek
tanaman
Agrobacterium,
dengan
Alcaligenes,
bakteri Bacillus,
Pseudomonas, Streptomyces mampu menginduksi pembentukan akar (Esitken et al., 2003). Fenomena ini mungkin dikaitkan dengan produksi auksin, penghambatan sintesis etilen atau mineralisasi nutrisi oleh PGPR (Steenhoudt dan Vanderleyden, 2000). Studi yang dilakukan oleh Erturk et al. (2010), membuktikan bahwa PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman yang dibuat dari stek. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PGPR berpotensi untuk menggantikan penggunaan auksin sintetis dalam pembibitan. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
96
Performansi akar tanaman cabai yang berasal dari benih yang mendapat perlakuan PGPR dan benih yang tidak mendapat perlakuan PGPR dapat dilihat pada Gambar 5.8. Pertumbuhan akar lebih panjang, akar lateral lebih banyak pada benih yang mendapat perlakuan PGPR dibandingkan dengan perlakuan benih menggunakan Dithane, benih terinfeksi dan benih tidak terinfeksi (Sutariati, 2006).
Kontrol
Dithane Kontrol
Dithane
a
PGPR
b
PGPR
Gambar 5.8. Performansi akar tanaman cabai yang berasal dari benih yang diinokulasi dengan PGPR: (a) kultivar Lokal Brebes, (b) kultivar Tit Super (Sumber: Sutariati, 2006) 9) Pemeliharaan Kesuburan Tanah dan Serapan Hara PGPR dapat mengubah fisiologi tanaman, nutrisi penting dan sifat fisik tanah di daerah rizosfer dan secara tidak langsung berpengaruh pada pola kolonisasi mikroorganisme tanah di wilayah tertentu. Inokulasi rhizobakteri meningkatkan penyerapan unsur hara seperti Ca, K, Fe, Cu, Mn dan Zn oleh tanaman melalui stimulasi pompa proton ATPase (Mantelin dan Touraine, 2004). Peningkatan serapan hara oleh tanaman dilakukan melalui produksi asam organik oleh tanaman dan PGPR serta penurunan pH tanah di rizosfer (Glick, 1995).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
97
10) Ketahanan terhadap stres air Cekaman pertumbuhan
kekeringan
tanaman
dan
menyebabkan produktivitas
keterbatasan
tanaman
pertanian
khususnya di daerah kering dan semi-arid. Inokulasi tanaman dengan PGPR dapat meningkatkan toleransi kekeringan yang mungkin disebabkan karena produksi IAA, sitokinin, oksidan anti dan ACC deaminase (Figueiredo et al., 2008). Basan et al. (2008), yang menginokulasi
asplenii,
bibit
Australis phragmites dengan Pseudomonas
mendapatkan bahwa terjadi peningkatan perkecambahan
dan tanaman terlindungi dari penghambatan pertumbuhan. PGPR juga dilaporkan sangat
membantu memperbaiki pertumbuhan tanaman
tomat dan paprika yang ditanam di tanah defisit air agar lebih toleran terhadap stres air (Aroca dan Ruiz-Lozano, 2009). 11) Aktivitas antagonis dari PGPR Rhizobakteri dapat menekan pertumbuhan berbagai patogen dalam berbagai cara seperti bersaing untuk nutrisi dan tempat sehingga
pasokan
Fe
tersedia
melalui
produksi
siderophores,
memproduksi enzim litik dan antibiosis (Sutariati, 2006; Jing et al., 2007). Di antara PGPR, Pseudomonas yang telah dilaporkan memiliki spektrum luas dalam aktivitas antagonistik terhadap berbagai jenis patogen. Efektivitas rhizobakteri sebagai agens antagonis ditentukan oleh kemampuannya untuk menghasilkan senyawa siderofor dan hidrogen
sianida
(HCN)
atau
mensekresikan
berbagai
enzim
ekstraseluler (kitinase, protease, dan selulase). Enzim ekstraseluler kitinase dan selulase yang disekresikan isolat rhizobakteri mampu mendegradasi dinding sel patogen yang menginfeksi sehingga Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
98
perkembangan patogennya terganggu (Sutariati, 2006); Singh et al. 1999; Chatterjee et al. 1995), sedangkan protease yang disekresikan isolat rhizobakteri berperanan dalam menghancurkan berbagai enzim pendegradasi dinding sel tanaman yang diproduksi oleh patogen dalam proses infeksi, seperti selulase, pektinase, dan silanase (Ryder
et al. 1994). Performa aktivitas antagonis oleh rhizobakteri melalui ekskresi enzim ekstraseluler ditampilkan pada Gambar 5.9.
a
a
b
c
Gambar 5.9. Contoh hasil analisis aktivitas enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh isolat rizo-bakteri yang diuji. Hasil positif untuk aktivitas (a) kitinase dari isolat Bacillus spp., (b) protease dari isolat Pseudomonas spp., (c) selulase dari isolat Bacillus spp. (Sumber: Sutariati et al., 2006) Senyawa HCN yang dihasilkan rhizobakteri bersifat toksik terhadap sejumlah patogen tanaman. Senyawa HCN umumnya diproduksi oleh rhizobakteri dari kelompok Pseudomonas spp. (Sutariati, 2006), Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. (Munif, 2001). Hasil pengujian Sutariati (2006) mendapatkan bahwa diantara lima isolat P. fluorescens, isolat PG01 memproduksi HCN dalam jumlah
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
99
tinggi, PG04 – sedang, PG07 – rendah, PG25 tidak mampu memproduksi senyawa HCN (Gambar 5.10).
a
b
Gambar 5.10.
c
d
Contoh skoring produksi senyawa hidrogen sianida (HCN) oleh rizo-bakteri. Warna kertas saring berubah menjadi (a) merah bata (skor +++), (b), coklat tua (skor ++), (c) coklat muda (skor +), dan (d) kuning (skor -) (Sumber: Sutariati, 2006)
Kemampuan rhizobakteri menghasilkan senyawa siderofor berkaitan dengan upaya mengeliminasi populasi patogen karena Fe menjadi tidak tersedia bagi patogen, akibatnya patogen akan mati karena mengalami defisiensi Fe (Zhang, 2004).
Senyawa siderofor
umumnya diproduksi oleh rhizobakteri dari kelompok Pseudomonas spp. (Dwivedi dan Johri, 2003). Namun demikian hasil pengujian Sutariati (2006), mendapatkan bahwa dari tiga kelompok rhizobakteri yang diuji (Pseudomonas spp., Bacillus spp. dan Serratia spp.), semua memiliki kemampuan menghasilkan siderofor, akan tetapi kuantitas senyawa siderofor yang dihasilkan berbeda antar rhizobakteri yang diuji (Gambar 5.11). P. fluorescens PG01. S. liquefaciens SG01, dan B.
polymixa
BG25
menghasilkan
senyawa
siderofor
lebih
tinggi
dibandingkan dengan rhizobakteri lainnya, yang diindikasikan dengan tingginya nilai absorbansi yang diamati (Gambar 5.11).
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
100
1.0
0.5
SG02
Isolat Rizo-bakteri
Gambar 5.11. Kemampuan isolat rizo-bakteri yang diuji untuk mensintesis senyawa siderofor, yang secara kualitatif ditentukan berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang λ 410 nm. Kode isolat rizo-bakteri, BG – Bacillus spp., PG – Pseudomonas spp., dan SG – Seratia spp. (Sumber: Sutariati, 2006) 12) PGPR sebagai Agens Biokontrol Persaingan nutrisi, induksi resistensi sistemik dan produksi metabolit anti-fungi merupakan mekanisme PGPR yang berhubungan dengan aktivitas biokontrol terhadap patogen (Bloemberg dan Lugtenberg 2001). Di antara PGPR, Pseudomonas adalah agens biokontrol terbaik,
P. fluorescens galur, WCS374 terbukti mampu
menekan layu Fusarium pada lobak dan mampu meningkatkan hasil rata-rata 40% (Bakker et al. 2007). Aktivitas biokontrol Streptomyces spp. oleh Kumar et al. (2009) menunjukkan potensi yang luar biasa
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
101
SG03
SG01
SG04
PG25
PG04
PG07
PG22
BG23
PG01
BG12
BG13
BG21
BG14
BG27
BG16
BG07
BG11
BG18
BG33
BG20
BG25
BG05
BG35
0.0 BG03
Nilai absorbansi ( 410 nm)
1.5
dari PGPR sebagai alternatif dalam mengendalikan penyakit tanaman pertanian daripada fungisida konvensional. Sutariati (2006) melakukan pengujian efektivitas rhizobakteri sebagai pengendali patogen melalui uji penghambatan rhizobakteri terhadap beberapa jenis patogen secara in vitro. Colletotrichum
capsici. Hasil uji penghambatan in vitro terhadap pertumbuhan koloni beberapa
cendawan
patogen
menunjukkan
bahwa
rhizobakteri
kelompok Bacillus spp. memiliki kemampuan penghambatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Pseudomonas spp. Perbedaan efektivitas penghambatan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan efektivitas senyawa anti-mikrob yang disekresikan oleh kedua kelompok bakteri tersebut. Senyawa anti-mikrob yang dihasilkan oleh
Bacillus spp. antara lain kanosamine (Milner et al. 1996), zwitermisin (Silo-Suh et al. 1998), iturin (Bernal
et al. 2002), mikosubtilins,
basilomisin, fengimisin, mikobasilin dan mikoserein (Hornby, 1993), sedangkan dari kelompok Pseudomonas spp. antara lain pioluteorin, pirolnitrin, fenazines, fusarisidin (Beatty dan Susan 2002) dan 2,4diasetil
floroglusinol
(Dwivedi
dan
Johri
2003).
Hasil
uji
penghambatan rhizobakteri terhadap pertumbuhan koloni patogen ditampilkan pada Gambar 5.12
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
102
Cc
B
B
Fo B
a
c
b P
dd
An
S
Rs
e
Sr
Gambar 5.12. Daya hambat rizo-bakteri terhadap pertumbuhan koloni dalam medium PDA dari lima patogen yang menyerang tanaman. Daya hambat (a) Bacillus sp. (B) terhadap pertumbuhan koloni C. capsici (Cc), (b) Bacillus sp. terhadap F. oxysporum (Fo), (c) Bacillus sp. terhadap A. niger (An), (d) Pseudomonas sp. terhadap R. solani (Rs), dan (e) Serratia sp. terhadap S. rolfsii (Sr). Tanda panah: zona penghambatan pertumbuhan hifa cendawan patogen. Hasil uji pengaruh filtrat bakteri terhadap perkecambahan konidia C. capsici menunjukkan bahwa filtrat bakteri dapat menekan secara nyata perkecambahan konidia C. capsici dan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan hifa (Gambar 5.13). Malformasi hifa C.
capsici diduga juga disebabkan oleh aktivitas senyawa anti-mikrob yang dikeluarkan oleh bakteri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa senyawa anti-mikrob yang dikeluarkan
rizobakteri
kelompok
Pseudomonas
spp.
mampu
menghambat pertumbuhan Macrophomina phaseolina dan Sclerotinia Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
103
sclerotiorum secara in vitro. Hifa patogen mengalami lisis dan pertumbuhannya tidak sempurna (malformasi) (Gupta et al. 2001). Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa senyawa anti-mikrob yang dikeluarkan oleh rizo-bakteri kelompok Pseudomonas spp. berperan secara langsung dalam menekan pertumbuhan patogen di daerah perakaran tanaman.
a
b
Gambar 5.13. Pengaruh negatif filtrat B. polymixa BG25 terhadap perkecambahan konidia C. capsici. (a) perkecambahan normal dari konidia C. capsici dalam media tanpa penambahan filtrat kultur bakteri dan (b) pembengkakan hifa (tanda panah) sebagai indikator daya hambat filtrat kultur bakteri B. polymixa BG25 terhadap perkecambahan konidia C. capsici. Beberapa strain PGPR yang dilaporkan efektif sebagai agens biokontrol terhadap sejumlah besar bakteri patogen dan serangga yang mempengaruhi tanaman antara lain Bacillus, Enterobacter,
Paenibacillus,
Pseudomonas,
Streptomyces
Azospirillum,
dan
Azotobacter. Aplikasi beberapa kelompok mikroba memiliki efisiensi maksimum dalam pengendalian penyakit, melalui perbaikan kondisi fisiologis tanaman seperti peningkatan kandungan klorofil, jumlah daun, tinggi tanaman dan hasil panen secara keseluruhan daripada ketika diinokulasi tunggal. Namun, aplikasi strain PGPR ini tidak Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
104
mempengaruhi populasi bakteri rizosfer indigenos menguntungkan termasuk P. fluorescens dan strain bakteri yang mampu memproduksi siderofor. 5.4 Produksi Massal dan Aplikasi Metode
perbanyakan
(produksi
massal)
PGPR
sebagai
biofertilizer tidak dibahas lagi dalam Bab ini (mengacu pada Bab III, poin 3.3.3). Sementara itu aplikasi PGPR sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dilakukan melalui perlakuan benih, perendaman bibit atau aplikasi langsung di lapangan. Aplikasi rhizobakteri sebagai biofertilizer pupuk hayati (baik berupa formulasi cair maupun padat), yang paling umum digunakan adalah inokulasi pada benih. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi mikroba pada benih sebelum tanam
dapat
meningkatkan
perkecambahan
benih,
sekaligus
memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman di lapangan (Sutariati dan Wahab, 2010; Sutariati dan Wahab, 2012; Sutariati et al. 2012). Metode/teknik
yang
digunakan
dalam
proses
inokulasi
rhizobakteri pada benih yang bertujuan untuk memperbaiki viabilitas dan vigor benih disebut teknik invigorasi. Teknik invigorasi benih dilakukan untuk mengatasi rendahnya produktivitas yang disebabkan penggunaan benih bervigor rendah. Salah satu perlakuan invigorasi adalah seed priming atau seed conditioning yang bertujuan untuk mempercepat dan menyeragamkan pertumbuhan serta meningkatkan persentase pemunculan kecambah dan bibit (Wahid et al., 2008, Moradi and Younesi, 2009). Menurut Desai et al., 1997, prinsip seed
priming adalah memobilisasi sumber daya yang dimiliki benih (internal)
ditambah
sumberdaya
dari
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
luar
(eksternal)
untuk 105
memaksimumkan perbaikan pertumbuhan dan hasil tanaman. Seed
priming
merupakan
perbaikan
fisiologis
dan
biokimiawi
yang
berhubungan dengan kecepatan dan keserempakan, perbaikan dan peningkatan
potensial
perkecambahan
dalam
benih
selama
penundaan perkecambahan oleh media potensial matriks rendah (matriconditioning) atau oleh media berpotensial osmotik rendah (osmoconditioning) (Khan et al., 1992). Teknik invigorasi benih terbukti efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas et al., 2002; Sutariati et al., 2006a; Sutariati et
al., 2006b, Moradi and Younesi, 2009). Integrasi teknik invigorasi priming dengan agens hayati disebut biopriming, sedangkan integrasi dengan matriconditioning disebut biomatriconditioning. Penggunaan teknologi biopriming secara signifikan memacu pertumbuhan awal benih dan terbukti mampu melindungi benih dari cendawan tular benih dan
tular tanah pada fase penting di awal pertumbuhannya
(Bennett and Whipps, 2008;
Gholami et al., 2009; Sutariati dan
Wahab, 2010). Aplikasi
rhizobakteri
pada
benih
menggunakan
teknik
biomatriconditioning benih, dilakukan dengan cara memasukkan 20 g benih ke dalam botol kultur kemudian dicampur 150 ml suspensi PGPR lalu ditambahkan 10 g serbuk arang sekam atau serbuk bata merah (sebagai media matriconditioning) yang lolos saringan 0.5 mm. Pada kondisi ini nisbah benih:media:air adalah 2:1.5:1. Perlakuan benih dengan biopriming rizobakteri dilakukan dengan merendam 20 g benih dalam 100 ml suspensi masing-masing rhizobakteri yang digunakan. Suspensi rhizobakteri dibuat dengan cara memasukkan air steril 50 ml pada cawan petri ( 9 cm) yang mengandung rizobakteri Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
106
(B. polymixa BG25, P. fluorescens PG01, atau S. liquefaciens SG01). Air steril dan rizobakteri dihomogenisasi hingga tercampur dan siap digunakan dalam perlakuan benih. Benih yang telah mendapat perlakuan (dalam wadah botol atau baskom) kemudian ditutup plastik dan diikat dengan karet gelang. Untuk mencegah kondisi anaerob, plastik penutup dilubangi dengan jarum pentul sebanyak tiga lubang. Selanjutnya wadah diletakkan pada suhu kamar selama 48 jam (untuk benih cabai, lama inkubasi dapat berbeda untuk benih tanaman yang lain). Setelah perlakuan, benih dibersihkan dari media yang melekat kemudian dikering-anginkan hingga mendekati kadar air benih sebelum perlakuan (untuk benih cabai diperlukan waktu 5 jam, lama kering-angin dapat berbeda untuk benih tanaman yang lain). Pengembalian kondisi benih pada kadar air awal dilakukan untuk tujuan penyimpanan benih, namun demikian jika benih akan langsung ditanam, maka setelah masa inkubasi, benih dapat langsung ditanam. Aplikasi rhizobakteri PGPR secara langsung di lapangan dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi/formulasi cair pada permukaan tanah atau mencampur formulasi padat dengan media tanam atau pupuk organik seperti kompos, pupuk kandang, sekam padi atau lignit (gunakan 1 kg formula PGPR per 25 kg bahan organik) dan kemudian langsung ditebarkan ke permukaan tanah. Agar rhizobakteri PGPR dapat berperan secara maksimal, tanah yang telah diaplikasi
PGPR
digemburkan
dan
disiram
untuk
menjaga
kelembapannya. Aplikasi biofertilizer berbahan PGPR juga dapat dicampur dengan mikronutrien, namun dalam konsentrasi yang tidak membahayakan mikroba PGPR.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
107
BAGIAN 6 PENGENDALIAN MUTU (QUALITY CONTROL) BIOFERTILIZER Sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
biofertilizer
adalah
produk yang mengandung mikroorganisme hidup yang berkolonisasi tanaman dan mendorong pertumbuhan, meningkatkan ketersediaan hara
primer
dan/atau
stimulus
pertumbuhan
tanaman,
diterapkan pada benih, permukaan tanaman, atau tanah.
ketika Apakah
keberadaan mikroorganisme meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan membuat nutrisi lebih tersedia atau mengganti nutrisi tanah atau meningkatkan akses tanaman untuk mendapatkan nutrisi, sepanjang status nutrisi telah ditingkatkan oleh mikroorganisme, bahan mengandung mikroorganisme yang diaplikasikan pada benih atau tanaman atau tanah, dapat dicirikan sebagai pupuk hayati. Definisi ini memisahkan pupuk hayati dari pupuk organik yang mengandung bahan-bahan organik. 6.1 Mikroba
yang
Dapat
Direkomendasikan
sebagai
Biofertilizer Banyak spesies bakteri tanah yang berkembang di rhizosfer tanaman, tetapi hanya beberapa jenis yang tumbuh pada atau di sekitar jaringan tanaman yang memiliki kemampuan memacu pertumbuhan tanaman. Bakteri ini secara kolektif dimasukkan ke dalam kelompok (PGPR). Saat ini peran PGPR sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (biofertilizer) atau lebih spesifik sebagai pengendali hayati penyakit tumbuhan (biopestisida) merupakan kajian yang sangat pesat perkembangannya. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
108
Peranan utama PGPR termasuk memfiksasi N, melarutkan fosfat, meningkatkan ketersediaan unsur hara mikro di daerah rhizosfer yang
secara positif mampu memperbaiki morfologi dan
pertumbuhan akar, serta memacu simbiosis yang menguntungkan antara tanaman dengan mikroba, di samping kemampuannya mengendalikan penyakit tanaman, menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam program pengembangannya secara luas sebagai biofertilizer untuk komersialisasi (Vessey, 2003). 6.2 Sifat Produk Mikroba Mikroorganisme yang umum digunakan untuk produk mikroba antara lain Bacillus, Pseudomonas, Lactobacillus, Serratia, bakteri fotosintetik, bakteri pengikat nitrogen, Fungi Mikoriza Arbuscular, dan
Trichoderma. Di antara mikroba tersebut, spesies utama yang digunakan untuk inokulan adalah Bacillus (dalam bentuk endospora). Biasanya,
beberapa
spesies
mikroba
yang
digunakan
sebagai
biofertilizer dapat bertahan hingga 1 - 2 dan / atau 2 - 3 tahun. Produk Mikroba dapat berbentuk padat atau cair, dengan bahan pembawa berupa mineral tanah liat, tanah diatom, serbuk arang sekam atau bahan-bahan organik. Namun, mineral tanah liat dan serbuk arang sekam padi yang paling sering digunakan sebagai bahan pembawa. Kualitas pupuk hayati merupakan salah satu faktor yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan penerimaan formulasi yang ditawarkan atau penolakan oleh pengguna akhir, petani. Pada dasarnya, kualitas berarti jumlah mikroorganisme dalam bentuk aktif per gram atau mililiter pupuk hayati. Kualitas standar hanya tersedia
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
109
untuk Rhizobium di berbagai negara. Spesifikasi pupuk hayati dapat saja berbeda dari satu negara ke negara lain, karena perbedaan kepadatan mikroba pada saat pembuatan, kepadatan mikroba di waktu berakhirnya, masa kadaluwarsa, kontaminasi, pH, kelembapan, strain mikroba, dan bahan pembawa. Kualitas harus dikendalikan pada berbagai tahap produksi (selama tahap produksi inang, pemilihan bahan pembawa, perbanyakan suspensi, pencampuran suspensi dan isolat, pengepakan dan penyimpanan). Beberapa kriteria persyaratan teknis minimal yang harus dipenuhi dalam produk pupuk hayati
sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 dijelaskan berikut ini (Tabel 6.1-6.6). Tabel 6.1. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Pembentuk Bintil Akar PARAMETER
Total sel hidup*) Bakteri :
a) Sinorhizobium
b) Bradyrhizobium
SYARAT TEKNIS MENURUT JENIS METODE CARIER PENGUJIAN Tepung/Serb Granul/Pele Cair uk t > 107cfu/g > 107cfu/g > TPC (BK) (BK) 107cfu di medium /ml YEMA
c) Azorhizobium dan
lainnya Kontaminan E.coli
dan Salmonella sp. Kadar Air (%) pH
Nol pada pengenceran 10-3
< 35 5-8
< 20 5-8
3-8
MPNDurham ADBB pH-meter
*)Sesuai jenis bakteri yang terdapat dalam pupuk hayati (spesifikasi pupuk) Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
110
Tabel 6.2. Kriteria Pupuk Arbuskular PARAMETER
Total propagul/g *)
Hayati
Tunggal untuk Endomikoriza
SYARAT T EKNIS
METODE PENGUJIAN
MPN
Mikoriza Arbuskular (MA): a) Gigaspora
> 50 per g BK) 25 - 30 spora per g (BK) > 50 spora per g (BK) > 10 spora per g (BK)
Kontaminan E.coli dan Salmonella sp.
Nol pada pengenceran 10-3
MPN - Durham
margarita b) Glomus manihotis c) Glomus agregatum
Stereomikroskop
*)Propagul terdiri dari spora, akar terinfeksi, fragmen miselia; Sesuai jenis bakteri yang terdapat dalam pupuk hayati (spesifikasi pupuk) (BK= Berat Kering, MPN = Most Propable Number) Tabel 6.3. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Ektomikoriza
PARAMETER Kepadatan spora*) Mikoriza Arbuskular (MA): a) Sceloderma
columnnare b) Pisholitus tintorius Kontaminan E.coli dan Salmonella sp.
SYARAT TEKNIS
METODE PENGUJIAN
5% dari berat bahan pembawa
Stereomikroskop
Nol pada pengenceran 103
MPN - Durham
*)Sesuai jenis MA yang terdapat dalam pupuk hayati (spesifikasi pupuk)
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
111
Tabel 6.4. Kriteria Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Non Simbiotik PARAMETER Total sel hidup *) a). Bakteri b). Aktinomiset c). Fungi Mikroba : a) Azospirillum b) Azotobacter c) Bacillus d) Pseudomonas e) Streptomyces f) Aspergillus
SYARAT TEKNIS MENURUT JENIS BAHAN PEMBAWA Tepung/Serb Granul/Pele Cair uk t >107 cfu/g (BK) >106 cfu/g (BK) >105propag
>106 cfu/g >107 (BK) cfu/ml 5 >10 cfu/g >105 (BK) cfu/ml 4 >10 >105
ul/g (BK)
propagul/g (BK)
Patogenisitas Kontaminan E.coli
Negatif Nol pada pengenceran 10-3 < 35 5-8
< 20 5-8
TPC NA TPC-SCNA PDA
propag ul/ml
dan Salmonella sp. Kadar Air (%) pH
METODE PENGUJI AN
3-8
Infeksi ke daun tembakau MPN Durham ADBB pH-meter
*)Sesuai jenis mikroba yang terdapat dalam pupuk hayati (spesifikasi pupuk)
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
112
Tabel 6.5. Kriteria Pupuk Hayati Majemuk PARAMETER Total sel hidup *) a). Bakteri b). Aktinomiset c). Fungi Mikroba Majemuk: a) Rhizobium+
Bacillus
SYARAT TEKNIS MENURUT JENIS BAHAN METODE PEMBAWA Tepung/Serbuk Granul/Pelet Cair PENGUJIAN >105 cfu/g >105 cfu/g (BK)>105 cfu/ml TPC NA (BK) >104 cfu/g (BK)>104 cfu/ml TPC-SCNA 4 >10 cfu/g >104 propagul/g >104 PDA (BK) (BK) propagul/ml >104 propagul/g (BK)
b) Azotobacter+
Rhizobium+
Kadar @ Pb, Cd, Streptomyces Hg,+As **) Penicillium Patogenisitas
< 50, < 10, < 1, < 10 ppm
Kontaminan
Nol pada pengenceran 10-3
E.coli dan Salmonella sp. Kadar Air (%) pH
Negatif
< 35
< 20
-
5-8
5-8
3-8
SNI, Balit Tanah Infeksi ke daun tembakau MPN Durham ADBB pH-meter
*) Sesuai jenis mikroba yang terdapat dalam pupuk hayati (spesifikasi pupuk) **) Khusus untuk pupuk hayati dengan dosis >50 kg per ha
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
113
Tabel 6.6. Persyaratan Khusus Pupuk Hayati (Menurut Fungsi Pupuk Hayati) No. 1.
2.
3. 4. 5.
6.
FUNGSI
PARAMETER UJI
Penambat N2 a) Terbentuknya a) simbiotik lendir eksopolisakharida pada medium karbohidrat b) hidup b) Pembentukan bintil bebas akar c) Pembentukan pelikel/gelang pada Pelarut P dan a) Zona pelarutan medium JNFB P Fasilitator P b) Pelarutan P c) % infeksi/ kolonisasi tanaman Produksi inang hormon
Pemacu Tumbuh Penghasil Terbentuknya zona anti mikroba hambatan Perombak a). Aktivitas Selulase Bahan Organik
KRITERIA Positif Bereaksi asam/basa pada medium YEMA+ congored./BTB Positif Pembentukan bintil akar pada Siratro Positif Positif Membentuk zona terang pada Agar Pikovskaya Positif > 10%, selisih P tersedia pada 0-48 jam Positif > 50%) Positif Positif
Positif a) Terbentuknya terang pada media agar CMC b) > 0,3 unit Fp-ase per b). Aktivitas Ligninase ml Positif a) Terbentuk koloni merah pada media agar Indulin b) > 1,0 unit lakase per ml, atau > 0,05 unit mangan peroksidase per ml, atau Pengakumula a) Akumulasi Pb dalam Positif > 0,01 unit lignin si logam sel Sel bakteri menjadi peroksidase per ml berat berwarna hitam b) Penurunan Positif kandungan logam berat
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
METODE PENGUJIAN
Plating
Inokulasi tanaman siratro Medium Jnfb
Plating
Spektrofoto -meter Pewarnaan fuchsin Spektrofoto -meter
Plating Plating
Spektrofoto -meter
Plating
Spektrofoto -meter
Plating AAS
114
6.3 Manajemen mutu Manajemen mutu sangat penting, dan harus dilakukan terussecara terus menerus untuk mengontrol produk mikroba dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh produsen produk biofertilizer dalam menjaga kualitas produk adalah uji verifikasi produk sesuai dengan label pada kemasan yaitu kepadatan populasi mikroba dan kemampuannya bertahan hidup dalam bahan pembawa. Pengujian lain yang juga harus dilakukan untuk
memberikan
jaminan
bahwa
keunggulan
mikroba
yang
dituliskan dalam kemasan produk (misalnya mampu melarutkan fosfat atau memfiksasi nitrogen atau berperan sebagai pemacu pertumuhan atau memproteksi hama/penyakit), adalah uji plot menggunakan paket formula produk termasuk bahan pembawa dan hanya bahan pembawa saja tanpa mikroorganisme yang diinokulasi. Performa hasil uji harus berbeda antara paket formula+mikroorganisme dan bahan pembawa. Jika hasil akhir dari dua plot adalah sama atau tidak dapat dikonfirmasi secara statistik, maka produk ini hanya bahan pembawa saja. Ini berarti bahwa harus ada jaminan bahwa produk mikroba mampu memberikan efek yang signifikan terhadap indikator uji yang digunakan. Tahapan evaluasi dan uji verifikasi untuk mengendalikan mutu produk biofertilizer yang akan didaftarkan secara resmi ditampilkan pada Gambar 6.1.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
115
Identifikasi Strain (Genus, Spesies) Pengujian Rutin untuk Pengendalian Mutu Produk
Kepadatan Populasi (cfu)
Pengujian Efektivitas Biofertilizer Sesuai Karakter Yang Diunggulkan Pada Label (Pelarut P, Fiksasi N, PGPR)
Evaluasi Efektivitas Biofertilizer dengan Tanaman Indikator
Standarisasi Mutu Produk
Registrasi Produk Sesuai dengan Aturan yang Berlaku
Gambar 6.1. Prosedur manajemen mutu biofertilizer Biofertilizer, teknologi
dalam
sebagai
produk
pengembangan
mikroba,
lahan-lahan
merupakan
solusi
bermasalah
atau
suboptimal. Fungsi utamanya adalah sebagai pensuplai unsur hara (fungsi kimiawi), meningkatkan aktivitas mikroorganisme di rizosfer (fungsi biologis) dan memperbaiki struktur optimum
untuk
mendukung
pertumbuhan
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
tanah pada kondisi tanaman
(fungsi 116
fisik/mekanis). Kondisi tanah yang baik sangat penting untuk peningkatan
pertumbuhan
dan
produksi
tanaman,
serta
keberlangsungan kehidupan mikroorganisme penghuni rizosfer dalam suatu bentuk keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, agar semua sistem
dapat
biofertilizer
berfungsi
yang
sebagaimana
direkomendasikan
mestinya, harus
maka
melalui
produk
mekanisme
pengujian yang tepat. Pengendalian mutu harus menjadi pedoman para produsen agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan target/sasaran yang ingin dicapai. Setiap kemasan produk biofertilizer dapat memberikan efek yang berbeda antara satu dengan lainnya, meskipun keunggulan yang dituliskan pada labelnya sama. Hal ini tentu saja dapat terjadi dimanapun,
dan
beberapa
faktor
yang
mungkin
berpengaruh
terhadap perbedaan tersebut antara lain perbedaan jenis strain yang digunakan, perbedaan waktu aplikasi (musim tanam), kondisi iklim dan tanah. Hal yang terpenting adalah bahwa biofertilizer merupakan amanah untuk keberlangsungan hidup seluruh makhluk di bumi ini. Oleh karena itu semua pihak harus bertanggungjawab dalam pengembangannya sesuai dengan keahlian dan bidang tugas masingmasing.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
117
BAGIAN 7 KENDALA DAN TANTANGAN TEKNOLOGI BIOFERTILIZER Abad 21 sangat identik dengan abad pertanian organik, masyarakat dunia semakin sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam budidaya pertanian. Munculnya berbagai penyakit degeneratif sebagai akumulasi dari pola konsumsi makanan tidak sehat, berimplikasi pada semakin meningkatnya kesadaran mereka tentang pentingnya memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan. Gaya hidup sehat ini telah menjadi trend dunia, namun demikian bukan hal yang mudah untuk
mewujudkannya
dalam waktu singkat. Diperlukan berbagai upaya dan kerja keras untuk menghasilkan produk pertanian yang bebas residu bahan-bahan kimia berbahaya. Tanah sebagai media pertumbuhan tanaman saat ini telah mengalami degradasi, sehingga fungsi daya dukungnya semakin menurun. Solusi terpenting untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pemanfaatan mikroorganisme rhizosfer tanaman, baik yang bersimbiosis secara langsung dengan tanaman ataupun yang hidup bebas. Berbagai peran positif yang diberikan oleh mikrobamikroba tersebut telah terbukti mampu memperbaiki kondisi tanah yang rusak. Dari aspek ekonomi, hal ini membuka peluang yang sangat baik dan positif untuk pengembangan berbagai produk biofertilizer yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi pertanian organik. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, namun pengembangan produk biofertilizer khususnya di Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
118
Indonesia masih berada dalam tahap perkembangan awal. Meskipun teknologi biofertilizer memerlukan biaya yang lebih murah, teknologi bersifat lebih ramah terhadap lingkungan, namun beberapa kendala membatasi pengembangan teknologi biofertilizer ini, antara lain: 1)
Kendala teknologi: a) Peralatan untuk produksi massal biofertilizer memerlukan penanganan secara khusus, karena harus selalu dalam kondisi aseptik untuk menghindari kontaminasi dengan mikroba lain. b) Strain kurang efisien untuk produksi. c) Kurangnya tenaga teknis yang berkualitas di unit produksi. d) Produksi inokulan tidak berkualitas karena teknisi kurang memahami teknik mikrobiologi dasar. e) Inokulan memiliki umur simpan pendek.
2)
Kendala Infrastruktur a) Tidak tersedianya fasilitas yang cocok untuk produksi. b) Kurangnya peralatan penting, power supply. c) Tidak tersedianya ruang untuk laboratorium, produksi, penyimpanan. d) Kurangnya fasilitas untuk cold storage paket inokulan.
3)
Kendala Keuangan a)
Tidak tersedianya dana yang cukup dan masalah dalam mendapatkan pinjaman bank
b) 4)
Penjualan produk tidak memenuhi harapan produsen.
Kendala Lingkungan a)
Permintaan produk bersifat musiman untuk pupuk hayati
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
119
b)
Kondisi lingkungan yang tidak stabil dan sangat fluktuatif dapat mempengaruhi efektivitas biofertilizer
c)
Sifat
tanah
seperti
salinitas,
keasaman,
kekeringan,
genangan air, juga berpengaruh terhadap efektivitas biofertilizer 5)
Sumber daya manusia dan kendala kualitas a)
Kurangnya staf teknis yang memenuhi syarat dalam unit produksi.
b)
Kurangnya pelatihan yang sesuai untuk teknik produksi.
c)
Ketidaktahuan pada kualitas produk oleh produsen
d)
Tidak
tersedianya
spesifikasi
kualitas
dan
metode
pengendalian kualitas yang cepat e)
Tidak ada peraturan atau tindakan pada kualitas produk
f)
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan biofertilizer karena menganggap produk biofertilizer kurang praktis dan efeknya lambat
g)
Kurangnya
pemahaman
konsumen
tentang
manfaat
biofertilizer h)
Masalah adopsi teknologi masih kurang dipahami oleh petani karena metode aplikasi yang berbeda.
i)
Efek
penggunaan
biofertilizer
terhadap
pertumbuhan
tanaman tidak segera nampak secara visual seperti penggunaan pupuk anorganik.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
120
BAGIAN 8 PENUTUP
Penggunaan
pupuk anorganik dan
pestisida kimia yang
dilakukan secara intensif dan tidak bijaksana dalam proses produksi pertanian, tidak saja menyebabkan kerusakan tanah dan lingkungan, efek yang lebih besar adalah terakumulasinya bahan-bahan kimiawi dalam produk yang dipanen.
Jika manusia mengkonsumsi produk
tersebut secara terus menerus, maka dapat dipastikan bahwa senyawa kimia beracun tersebut akan terakumulasi dalam tubuh dan dapat mengakibatkan munculnya berbagai penyakit degeneratif yang sulit diobati. Efek pada tanah dan lingkungan akan mengakibatkan kerusakan tanah dan ketidakseimbangan ekosistem di sekitar wilayah pertanian karena banyak populasi musuh-musuh alami yang mati. Akibatnya populasi hama/patogen semakin meningkat, tidak hanya karena kompetitornya sudah tidak ada, tetapi juga banyak muncul hama/patogen baru yang lebih kebal dengan pestisida. Kondisi ini memacu petani untuk menggunakan dosis pestisida yang lebih tinggi agar tanaman mereka dapat menghasilkan produksi, namun di sisi lain produk yang dihasilkan tentu saja sangat tidak aman untuk kesehatan. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka tentu akan berakibat fatal bagi kita semua. Solusi teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut telah berkembang jauh di berbagai belahan dunia, namun untuk di Indonesia gaungnya belum terlalu nyaring, sehingga diperlukan komitmen dan kerjasama semua pihak agar teknologi
pertanian
berbasis
pemanfaatan
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
mikroorganisme 121
menguntungkan yang berasosiasi secara alami dengan tanaman (teknologi biofertilizer) dapat dikembangkan secara luas di bumi nusantara
tercinta.
Pengembangan
produk
biofertilizer
sangat
menjanjikan karena selain bernilai ekonomis, juga sangat ramah lingkungan sehingga diharapkan peningkatan produktivitas hasil pertanian dapat terus berkesinambungan dan lestari selamanya. Pengembangan produk biofertilizer juga merupakan solusi untuk mengembangkan lahan-lahan sub optimal yang memiliki banyak keterbatasan pengembangan, terutama dari sisi teknis, antara lain kondisi tanah yang bermasalah (misalnya tanah Ultisol atau tanah salin), dapat diatasi dengan pemanfaatan produk biofertilizer. Beberapa jenis mikroba yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai biofertilizer antara lain Rhizobium, Azospirillum, Azotobacter,
Bacillus,
Burkholderia,
Cellulomonas,
Enterobacter,
Erwinia,
Flavobacterium, Gluconacetobacter, Microbacterium, Micromonospora, Pseudomonas, Serratia, Streptomyces. Habitat mikroba tersebut adalah di daerah rizosfer, sehingga diberi nama rizobakteri. Ada pula fungi mikoriza yang saat ini sudah banyak dikembangkan dan memberi manfaat yang sangat positif bagi perbaikan fungsi tanah sekaligus
tanaman.
Penggunaan
teknologi
biofertilizer
dapat
mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan pupuk kimia (Urea, SP36, KCl, NPK), sehingga dapat menghemat biaya. Di samping itu penggunaan pestisida kimia dapat diminimalisasi bahkan ditiadakan, sehingga beban petani untuk pengadaan pupuk dan pestisida kimia dapat dikurangi hingga 100%. Pengembangan teknologi biofertilizer seharusnya menjadi program pemerintah yang tidak dapat ditawar-tawar, karena fungsi Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
122
dan manfaatnya sangat jelas. Namun demikian perlu dipahami oleh para pengembang teknologi ini, bahwa agar dapat beredar di pasaran atau dapat dimanfaatkan secara besar-besaran oleh masyarakat, maka produk biofertilizer harus memenuhi berbagai persyaratan standar mutu yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian RI berupa Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011. Peningkatan
permintaan
dunia
terhadap
produk-produk
pangan yang diproduksi secara organik (dengan standar mutu tertentu), merupakan peluang bisnis yang harusnya disambut dengan sukacita, karena tentu berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian bagi sebagian masyarakat terutama yang
memiliki
mengembangkan
usaha
kecil
teknologi
menengah, ini
mereka
dikarenakan
masih
beberapa
ragu
kendala
sekaligus tantangan yang harus diupayakan pemecahannya, antara lain kendala teknologi (peralatan untuk produksi massal harus terkontrol dengan baik, perlu tenaga teknis khusus yang memahami mikrobiologi), kendala Infrastruktur (tidak tersedianya fasilitas yang cocok untuk produksi, memerlukan ruangan khusus), kendala Keuangan (keterbatasan modal), kendala lingkungan (permintaan hanya musiman, produk mudah mengalami kerusakan), kendala sumber daya manusia dan kualitas (pengelola teknis harus memahami syarat untuk unit produksi dan mematuhi standar operasional prosedur dalam proses produksi biofertilizer agar kualitasnya terjamin hingga ke konsumen), dan kendala alih teknologi (petani sebagai pengguna kurang memahami cara aplikasi biofertilizer sehingga menjadi tidak efektif, atau efek penerapan produk biofertilizer sangat
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
123
lambat sehingga petani beralih kembali ke pupuk kimia yang efeknya lebih cepat terlihat). Berbagai kendala tersebut tentu ada solusinya karena lebih banyak
bersifat
teknis.
Jika
pemerintah
berkomitmen
mengembangkan teknologi biofertilizer ini, maka dapat dimulai dari pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat yang memiliki usaha kecil menengah. Program pendampingan dapat melibatkan Perguruan
Tinggi
sebagai
penghasil/penyedia
teknologi.
Jika
pengembangan teknologi biofertilizer dapat mengatasi masalah dan memberi manfaat demikian besar dan berkelanjutan, mengapa harus terkendala hanya karena masalah teknis?
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
124
DAFTAR PUSTAKA Abbott LK, Robson AD. 1982. The role of vesicular-arbuscular rnycorrhizal fungi in agriculture and the selection of fungi for inoculation. Aust. J. Agric. Res. 33:389-408. Abd El-Fattah DA, Eweda WE, Zayed MS, Hassanein MK. 2013. Effect of carrier materials, sterilization method, and storage temperature on survival and biological activities of Azotobacter chroococcum inoculant. Annals of Agricultural Science, 58(2), 111–118. Abril A, Zurdo-Pineiro JL, Peix A, Rivas R, Velazquez E (2007) Solubilization of phosphate by a strain of Rhizobium leguminosarum bv. Trifolii isolated from Phaseolus vulgaris in El Chaco Arido soil (Argentina). In: Velazquez E, RodriguezBerrueco C (eds) Developments in Plant and Soil Sciences. Springer, The Netherlands, pp 135–138. Adesemoye AO, Kloepper JW. 2009. Plant–microbes interactions in enhanced fertilizer-use efficiency. Appl Microbiol Biotechnol (2009) 85:1–12. Aggani SL. 2013. Development of Bio-Fertilizers and its Future Perspective. Scholars Academic Journal of Pharmacy (SAJP), Sch. Acad. J. Pharm., 2(4):327-332. Ahmad F, Ahmad I, Khan MS. 2005. Indoleacetic acid production by the indigenous isolates of Azotobacter and fluorescent pseudomonad in the presence and absence of tryptophan. Turk J Biol 29:29-34. Ahmad R, Arshad M, Khalid A, Zahir ZA. 2008. Effectiveness of organic-/bio-fertilizer supplemented with chemical fertilizers for improving soil water retention, aggregate stability, growth and nutrients uptake of maize (Zea mays L.). J Sust Agri 31:57–77. Akhtar MS, Siddiqui ZA. 2009. Effects of phosphate solubilizing microorganisms and Rhizobium sp. on the growth, nodulation, yield and root-rot disease complex of chickpea under field condition. African J. Biotechnol., 8: 3489-3496.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
125
Anand T. 2006. Azolla as Biofertilizer in Coffee Plantations. International of Poultry Science, 5: 137-141. Anas I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arifin Z. 1996. Azolla Pembudidayaan dan Pemanfaatan pada Tanaman Padi. Penebar Swadaya. Jakarta. Aroca R, Ruiz-Lozano JM. 2009. Induction of plant tolerance to semiarid environments by beneficial soil microorganisms-a review. In: Lichtouse E (ed) Climate change, intercropping, pest control and beneficial microorganisms, sustainable agriculture reviews. Springer, The Netherlands 2:121–135. Avinash R, Sumit R, Rakshit A. 2013. Mycorrhiza-mediated phosphorus use efficiency in plants. Department of Soil Science and Agricultural Chemistry, Institute of Agricultural Science, Banaras Hindu University, Varanasi, UP-221005, India. Bakker PAHM, Pieterse CMJ, van Loon LC. 2007. Induced systemic resistance by fluorescent Pseudomonas spp. Phytopathology 97(2):239–243. Barea JM, Azcon-Aguilar C. 1982. Production of plant growthregulating substances by vesicular arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae. Appl. Environ. Microbiol., 43, 810813. Bashan
Y, Holguin G. 1997. Azospirillum-plant relationships: environmental and physiological advances (1990-1996). Can. J. Microbiol. Vol. 43, 1997: 103-121.
Bashan Y. 1998. Inoculants of Plant Growth-Promoting Bacteria for Use In Agriculture Biotechnology Advances, Vol. 16 (4): 729770. Bashan Y, Puente ME, de-Bashan LE, Hernandez JP. 2008. Environmental uses of plant growth-promoting bacteria. In: Barka EA, Clement C (eds) Plant-microbe interactions. Trivandrum, Kerala, India, pp 69–93. Beatty PH, Susan EJ. 2002. Paenibacillus polymyxa produces fusaricidin-type antifungal antibiotics active against Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
126
Leptosphaeria maculans, the causative agent of blackleg disease of canola. Can Microbiol 48: 159-169.
Bennett AJ, Whipps JM. 2008. Beneficial Microorganism Survival On Seed, Roots And In Rhizosphere Soil Following Application To Seed During Drum Priming. Biological Kontrol 44: 349–361. Bernal G, Illanes A, Ciampi L. 2002. Isolation and partial purification of metabolite from a mutant strain of Bacillus sp. with antibiotic activity against plant pathogenic agents. Elect J Biotech 5:1220. Bhattacharyya P N dan. Jha DK. 2012. Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR): emergence in agriculture. World J Microbiol Biotechnol (2012) 28:1327–1350. Biswas BB, Das HK. 1998. Plant- Microbe Interactions (Sub-cellurer biochemistry). New York : Plenum Press. 440 p. Bloemberg GV, Lugtenberg BJJ. 2001. Molecular basis of plant growth promotion and biocontrol by rhizobacteria. Curr Opin Plant Biol 4:343–350. Brundrett M N, Bougher B, Dell T, Groove, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian centre for international Agricultural Research; GPO box 1571. pp 141-183. Brundrett M, Melville L, Peterson L. 1994. Practical methods in mycorrhiza research. Mycologue Publications Ltd. Bucher M. 2007. Functional biology of plant phosphate uptake at root and mycorrhiza interfaces. New Phytol 173: 11–26 Bücking H, Liepold E, Ambilwade P. 2012. The Role of the Mycorrhizal Symbiosis in Nutrient Uptake of Plants and the Regulatory Mechanisms Underlying These Transport Processes. http://dx.doi.org/10.5772/52570. Cappuccino JC, Sherman N. 1992. In: Microbiology: A Laboratory Manual, New York, pp. 125-179. Cassa´n F, Perrig D, Sgroy V, Luna V. 2011. Basic and Technological Aspects of Phytohormone Production by Microorganisms: Azospirillum sp. as a Model of Plant Growth Promoting Rhizobacteria. In Bacteria Agrobiology: Plant Nutrient Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
127
Management. D.K. Maheshwari (ed.). DOI 10.1007/978-3-64221061-7_7, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Chakraborty BN, Chakraborty U, Saha A, Dey PL, Sunar K. (2010). Evaluation of phosphate solubilizer from soil of North Bengal and their diversity analysis. World J. Agric. Sci. 6(2):195-200. Chatterjee A, Cui Y, Liu Y, Dumenyo CK, Chatterjee AK. 1995. Inactivation of rsmA leads to overproduction of extracellular pectinases, cellulases, and proteases in Erwinia carotovora subsp. carotovora in the absence of the starvation/cell densitysensings signal, N-(3-oxohexanoyl)-L-homoserine lactone. App Environ Microbiol 61:1959-1967. Chen X, Schauder S, Potier N. 2002. Structural identification of a bacterial quorum-sensing signal containing boron. Nature 415:545–549. Chen YP, Rekha PD, Arun AB, Shen FT, Lai WA, Young CC. 2006. Phosphate solubilizing bacteria from subtropical soil and their tricalcium phosphate solubilizing abilities. Appl Soil Ecol 34:33– 41 Christine V, Van Den Broucke D, Lombi FM, De Waele D, Elsen A. 2011. Mycorrhiza-induced resistance in banana acts on nematode host location and penetration. Soil Biology and Biochemistry. Volume 47, April 2012, Pages 60–66. Chung H, Park M, Madhaiyan M, Seshadri S, Song J, Cho H, Sa T. 2005. Isolation and characterization of phosphate solubilizing bacteria from the rhizosphere of crop plants of Korea. Soil Biol Biochem 37:1970–1974. Contesto C, Desbrosses G, Lefoulon C, Bena G, Borel F, Galland M, Gamet L, Varoquaux F, ouraine B. 2008. Effects of rhizobacterial ACC deaminase activity on Arabidopsis indicate that ethylene mediates local root responses to plant growthpromoting rhizobacteria. Plant Sci 175:178-189. Danapriatna N, Simarmata T. 2011. Viabilitas Pupuk Hayati Penambat Nitrogen (Azotobacter dan Azospirillum ) Ekosistem Padi Sawah pada Berbagai Formulasi Bahan Pembawa. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah, 3 (1): 1-10.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
128
de Andrade SAL, da Silveira APDB. 2008. Mycorrhiza influence on maize development under Cd stress and P supply . J. Plant Physiol., 20(1):39-50, De Freitas JR, Banerjee MR, Germida JJ. 1997. Phosphate-solubilizing rhizobacteria enhance the growth and yield but not phosphorus uptake of canola (Brassica napus L.). Biology and Fertility Soils 24: 358-364. Delvian, 2006. Optimalisasi Daya Tumbuh Tanaman terhadap Daya Dukung Perkembangbiakan Jamur Mikoriza. Institut Teknologi Surabaya. Surabaya. Delvian. 2003. Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai. Disertasi Doktor. IPB Bogor Denton B (2007) Advances in phytoremediation of heavy metals using plant growth promoting bacteria and fungi. MMG 445 Basic Biotechnol 3:1–5. Desai BB, Kotecha PM, Salunkhe DK. 1997. Seeds Handbook, Biology, Production, Processing and Storage. USA: Marcel Dekker Inc. Deubel A, Gransee, Merbach W. 2000. Transformation of organic rhizodeposits by rhizoplane bacteria and its influence on the availability of tertiary calcium phosphate. J. Plant Nutr. Soil Sci. 163:387-392. Dirmawati SR. 2003. Kajian komponen pengendalian ramah lingkungan penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Djojosuwito S. 2000. Azolla Pertanian Organik dan Multiguna. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta. Dodor DE, Tabatabai AM. 2003. Effect of cropping systems on phosphatases in soils. J.Plant Nutr. Soil Sci. 166:7–13. Dwivedi D, Johri BN. 2003. Antifungals from fluorescens pseudomonads: biosynthesis and regulation. Curr Sci 85:16931703. Eckert B, Weber OB, Kirchhof G, Halbritter A, Stoffels M, Hartmann A. 2001. Azospirillum doebereinerae sp. nov., a nitrogen-fixing Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
129
bacterium associated with the C4-grass International Journal of Systematic and Microbiology 51, 17–26.
Miscanthus.
Evolutionary
Elbadry M, Taha RM, Eldougdoug KA, Gamal-Eldin H. 2006. Induction of systemic resistance in faba bean (Vicia faba L.) to bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) via seed bacterization with plant growth promoting rhizobacteria. J Plant Dis Protect 113(6):247-251. Erturk Y, Ercisli S, Haznedar A, Cakmakci R. 2010. Effects of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on rooting and root growth of kiwi fruit (Actinidia deliciosa) stem cuttings. Biol Res, 43: 91-98. Esitken A, Karlidag H, Ercisli S, Turan M, Sahin F . 2003. The effect of spraying a growth promoting bacterium on the yield, growth and nutrient element composition of leaves of apricot (G L. cv. Hacihaliloglu). Aust J Agric Res 54(4):377–380. Esitken A, Pirlak L, Turan M, Sahin F (2006) Effects of floral and foliar application of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on yield, growth and nutrition of sweet cherry. Sci Hort 110:324– 327. Fakuara, Y. 1988. Mikoriza. Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Institut Pertanian Bogor. Bogor Fankem H, Nwaga D, Deubel A, Dieng L, Merbach W, Etoa FX. 2006. Occurrence and functioning of phosphate solubilizing microorganisms from oil palm tree (Elaeis guineensis) rhizosphere in Cameroon. African J. Biotech. 5:2450-2460. Figueiredo MVB, Burity HA, Martinez CR, Chanway CP. 2008. Alleviation of drought stress in the common bean (Phaseolus vulgaris L.) by co-inoculation with Paenibacillus polymyxa and Rhizobium tropici. Appl Soil Ecol 40:182–188. Gandhi, Sivakumar K. 2010. Impact Of Vermicompost Carrier Based Bioinoculants On The Growth, Yield And Quality Of Rice (Oryza Sativa L.) C. V. Nlr 145. The Ecoscan (An International Quarterly journal of Environmental Sciences) 4 (1): 83-88. Gholami A, Biari A, Nezarat S. 2008. Effect Of Seed Priming With Growth Promoting Rhizobacteria At Different Rhizosphere Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
130
Condition On Growth Parameter Of Maize. International Meeting On Soil Fertility Land Management and Agroclimatology. Turkey P: 851-856. Ginting, R. C. B., R. Saraswati dan E. Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat (dalam Simanungkalit, 2006). Glick BR. 1995. The enhancement of plant growth by free living bacteria. Can J Microbiol 41:109–117. Goenadi DH, Saraswati R. 1994. Kemampuan Melarutkan Fosfat dari Beberapa Isolat Fungi Pelarut Fosfat. Menara Perkebunan 61(3):61-66. Goldstein AH. 1995. Recent progress in understanding the molecular genetics and biochemistry of calcium phosphate solubilization by Gram-negative bacteria. Biol. Agri. Hort. 12:185-193. Gyaneshwar P, Parekh LJ, Archana G, Podle PS, Collins MD, Hutson RA, Naresh KG. 1999. Involvement of a phosphate starvation inducible glucose dehydrogenase in soil phosphate solubilization by Enterobacter asburiae. FEMS Microbiol. Lett. 171:223-229. Hadi. 2001. Mikroba dan Kesuburan Tanah. Bioteknologi Pertanian. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB, Bogor. Halis, Murni P, Fitria AB. 2008. Pengaruh Jenis dan Dosis Cendawan Mikoriza Arbuskular Terhadap Pertumbuhan Cabai (Capsicum annuum L.) pada Tanah Ultisol. Biospecies Volume 1 No 2, Juni 2008 hlm 59-62. Hameeda B, Harini G, Rupela OP, Wani SP. 2008. Growth promotion of maize by phosphate solubilizing bacteria isolated from composts and macrofauna. Microbiological Research, 163:234242. Hilda R, Fraga R. 2000. Phosphate solubilizing bacteria and their role in plant growth promotion. Biotech. Adv. 17:319-359. Hinderdsah R, Simarmata T. 2004. Kontribusi rizobakteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah melalui fiksasi N2 dan produksi fitohormon di rizosfir. Jurnal Natur Indonesia 6: 127133.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
131
Hindersah R, Sudirja R. 2010. Suhu dan Waktu Inkubasi untuk Optimasi Kandungan Eksopolisakarida dan Fitohormon Inokulan Cair Azotobacter sp. LKM6. Jurnal Natur Indonesia 13(1): 67-71. Hinsinger P. 2001. Bioavailability of soil inorganic P in the rhizosphere as affected by root- induced chemical changes: a review. Plant Soil 237:173-195. Holguin G, Patten CL, Glick BR. 1999. Genetics and molecular biology of Azospirillum. Biol Fertil Soils 29: 10–23 Q Springer-Verlag. Hornby D. 1993. Biological Control of Soil-borne Plant Pathogens. Wallingford, UK: CAB International. Huang
JWW, Chen JJ, Berti WR, Cunningham SD. 1997. Phytoremedian of lead contaminated soils ± role of synthetic chelates in lead phytoextraction. Environ. Sci. Technol. 31, 800-805.
Ilyas
S, GAK Sutariati, FC Suwarno, Sudarsono. 2002. Matriconditioning improved quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. Seed Technol. 24:65-75.
Indarmawan T, Mubarak AS, Mahasri G. 2012. Pengaruh konsentrasi pupuk Azolla pinnata terhadap populasi Chaetoceros sp. Journal of Marine and Coastal Science, 1(1): 61 – 70. INVAM
(International Collection of Arbuscular and VesicularArbuscular Mycorrhizal). 2006. Classification. Diakses dari http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonomy.
Jing YD, He ZL, Yang XE. 2007. Role of soil rhizobacteria in phytoremediation of heavy metal contaminated soils. J Zhejiang Univ Sci 8(3):192–207. Jutono. 1973. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Mikrobiologi, F. Pertanian UGM. Yogyakarta.
Umum.
Dep.
Kasno A. 2010. Nutrient Balance at Integrated Nutrient Management on Lowland Rice Which Is Dominated By 1:1 Clay Mineral for High Potential Rice Yields. Jurnal Tanah Tropika 15(2):119126.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
132
Khalid A, Arshad M, Kahir ZA. 2004. Screening plant growthpromoting rhizobacteria for improving growth and yield of wheat. Appl Soil Ecol 96:473-480. Khalid A, Tahir S, Arshad M, Zahir ZA. 2004. Relative efficiency of rhizobacteria for auxin biosynthesis in rhizosphere vs. nonhizosphere soil. Aust J Soil Res 42:921–926. Khan AA, Jilani G, Akhtar MS, Naqvi SMS, Rasheed M. 2009. Phosphorus Solubilizing Bacteria: Occurrence, Mechanisms and their Role in Crop Production. J. agric. biol. sci. 1 (1): 48-58. Khan AG. 2005. Role of soil microbes in the rhizospheres of plants growing on trace metal contaminated soils in phytoremediation. J Trace Elem Med Biol 18:355–364. Khan AG. 2006. Mycorrhizoremediation: an enhanced form of phytoremediation, J. Zhejiang Univ. Sci. B 7, 503–514. Khan MS, A. Zaidi, Wani PA. 2007. Role of phosphate-solubilizing microorganisms in sustainable agriculture - A review. Agron. Sustain. Dev. 27:29-43. Khan MS, Zaidi A, Ahemad M, Oves M, Wani PA. 2010. Plant growth promotion by phosphate solubilising fungi – current perspective. Arch. Agron. Soil Sci. 56: 73–98. Khiari L, Parent LE. 2005. Phosphorus transformations in acid lighttextured soils treated with dry swine manure. Can. J. Soil Sci. 85:75-87. Killham. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Kim
KY, Jordan D, GA McDonald. 1997. Solubilization of hydroxyapatite by Enterobacter agglomerans and cloned Escherichia coli in culture medium, Biol. Fert. Soils 24:347352.
Kloepper JW, Gutierrez-Estrada A, Mclnroy JA. 2007. Photoperiod regulates elicitation of growth promotion but not induced resistance by plant growth-promoting rhizobacteria. Can J Microbiol 53(2):159–167. Kloepper JW, Scher FM, Tripping B. 1986. Emergence promoting rhizobacteria: description and implication for agriculture. In: Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
133
Swinburne TR (ed) Iron, siderophores and plant diseases. Plenum, New York, pp 155-164. Kpomblekou K, Tabatabai MA. 1994. Effect of organic acids on release of phosphorus from phosphate rocks. Soil Sci. 158:442-453. Kumar A, Salini P, Shrivastava JN. 2009. Production of peptide antifungal antibiotic and biocontrol activity of Bacillus subtilis. Ind J Exp Biol 47:57–62. Kumar V, Behl RK, Narula N. 2001. Establishment of phosphate solubilizing strains of Azotobacter chroococcum in the rhizosphere and their effect on wheat cultivars under greenhouse conditions. Microbiol Res 156:87–93 Kusnadi P, Syulasmi A, Purwianingsih W, Diana. 2003. Mikrobiologi. Jurusan Pendidikan Biologi. FPMIPA-UPI. IMSTEP Ladha JK, Watanabe I. 1987. Biocemical Basis of Azolla-Anabaena azollae simbion. In. Proceeding; of The Workshop on Azolla Use. Fuzhou, Fujian,China. IRRI. Manila. Philippines: 47-57. Lambers H, Finnegan PM, Laliberte E, Pearse SJ, Ryan MH, Shane MW, Veneklaas EJ. 2011. Phosphorus nutrition of Proteaceae in severely phosphorus-impoverished soils: Are there lessons to be learned for future crops? Plant. Physiol. 156: 1058–1066. Lambers H, Raven JA, Shaver GR, Smith SE. 2008. Plant nutrientacquisition strategies change with soil age. Trends Ecol Evol 23: 95–103 Lestari Y, Saraswati R. 1997. Aktivitas Enzim Fosfatase Jamur Pelarut Fosfat pada Tanah Podzolik Merah Kuning dalam Prosiding Seminar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menyongsong Era Globalisasi, Banjarmasin. López-Ráez JA, Charnikhova T, Fernández I, Bouwmeester H, Pozo MJ. 2011. Arbuscular mycorrhizal symbiosis decreases strigolactone production in tomato. Journal of Plant Physiology 168: 294–297. Maftuchah, 1994. Asosiasi Azolla dengan Anabaena sebagai sumber nitrogen alami dan manfaatnya sebagai bahan baku protein.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
134
Pusat Bioteknologi Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang. Mantelin S, Touraine B. 2004. Plant growth-promoting bacteria and nitrate availability: impacts on root development and nitrate uptake. J Exp Bot 55:27–34. Manuwoto. 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan Daerah. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991. Masoud A, Abbas ST (2009) Evaluation of fluorescent pseudomonads for plant growth promotion, antifungal activity against Rhizoctonia solani on common bean, and biocontrol potential. Biol Control 48:101-107. Meshram SU. Shende ST, 1993. Total nitrogen uptake by maize with Azotobacter inoculation. Plant and Soil.,69: 275-280. Miller, A.J. and M.D. Cramer. 2004. Root nitrogen acquisition and assimilation. Plant Soil 274:1-36. Milner JL, Silo-Suh L, Lee JC, He H, Clardy J, Handelsman J. 1996. Production of kanosamine by Bacillus cereus UW85. App Environ Microbiol 62:3061-3065. Mishra DJ, Rajvir S, Mishra UK, Kumar SS. 2013. Role of Bio-Fertilizer in Organic Agriculture: gum arabic, methylethylcellulose, sucrose solutions, andvegetable oils. Research Journal of Recent Sciences. Vol. 2: 9-41 . Mittal V, Singh O, Nayyar H, Kaur J, Tewari R. 2008. Stimulatory effect of phosphate-solubilizing fungal strains (Aspergillus awamori and Penicillium citrinum) on the yield of chickpea (Cicer arietinum L. cv. GPF2). SOIL BIOLOGY & BIOCHEMISTRY. 40(3):718-727. Moradi A,Younesi O. 2009. Effects Of Osmo- And Hydro-Priming On Seed Parameters Of Grain Sorghum (Sorghum Bicolor L.). Australian Journal of Basic And Applied Sciences 3(3): 16961700. Mosse B. 1981. Ecology of mycorrhizae and mycorrhizal fungi. Advances in microbial ecology. 5: 137 – 210. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
135
Mujiyo, Sunarminto BH, Hanudin E, Widada J. 2011. Pemanfaatan Azolla untuk budidaya padi Organik. Jurnal Agromika, 11(2): 167-178. Mujiyo, Sunarminto BH, Hanudin E, Widada J. 2011. Pemanfaatan Azolla untuk Budidaya Padi Sawah Organik. Agronomika Vol. 1 (2):167-178. Mulyandari W. 2008. Anabaena azollae. http://anabaenaazollae.blog.friendster.com. Diakses: 20 September 2014. Munif A. 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the biological control of the root-knot nematode Meloidogyne incognita on tomato [Dissertation]. Bonn, Germany: Institute for Plant Diseases, University of Bonn. Murakami-Mizukami Y, Yamamoto Y, Yamaki S. 1991. Analyses of indole acetic acid and absclsic acid contents in nodules of soybean plants bearing VA mycorrhizas, Soil Science and Plant Nutrition, 37:2, 291-298. Nadeem SM, Zahir ZA, Naveed M, Arshad M, Shahzad SM. 2006. Variation in growth hizobacteand ion uptake of maize due to inoculation with plant growth promoting rria under salt stress. Soil Environ 25:78-84. Nahas E. 1996. Factors determining rock phosphate solubilization by microorganism isolated from soil. World J. Microb. Biotechnol. 12:18-23. Nandakumar R, Babu S, Viswanathan R, Sheela J, Raguchander T, Samiyappan R. 2001. A new bio-formulation containing plant growth promoting rhizobacterial mixture for the management of sheath blight and enhanced grain yield in rice. Biocontrol 46(4):493-510. Nandi RG, Shrivastava K, Khemuka SI. 2013. Synergistic Effect of Coinoculating Gum Liquid Inoculums of Rhizobium japonicum and Azotobacter chroococcum. Biosciences Biotechnology Research Asia, 10(2): 759-765 Narula
N, Kumar V, Singh B, B h a t i a R, Lakshmnarayana K. 2005. Impact of Biofertilizer on grain yield in spring wheat under varying fertility condition and wheat cotton rotation. Archiv. Agron. and Soil Sci. 51:79-89.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
136
Nurani FR, Masithah ED, Mubarak AS. 2012. Pengaruh konsentrasi pupuk Azolla pinata terhadap pertumbuhan populasi Spirulina platensis. Media Jurnal Ilmiah Perikanan & Kelautan, 4 (1). Omar SA. 1998. The role of rock-phosphate-solubilizing fungi and vesicular–arbuscular mycorrhiza (VAM) in growth of wheat plants fertilized with rock phosphate. World J. Microbiol. Biotechnol. 14:211-218. Osonubi O, Mulongoy K, Awotoye OO, Atayese MO, Okali DUU. 1991. Effects of ectomycorrhizal and vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi on drought tolerance of four leguminous woody seedlings. Plant Soil 136:131–143 Packialakshmi N, Aliya Riswana T. 2014. Comparative study of vermicast and charcoal used as a carrier noculums to the biofertilizer preparation. BioMed Research Biotechnology. 1 (1): 1-6 Parmar N, Dadarwal KR .1999. Stimulation of nitrogen fixation and induction of flavonoid like compounds by rhizobacteria. J Appl Microbiol 86:36-44. Patten CL, Glick BR. 2002. Role of Pseudomonas putida indoleacetic acid in development of the host plant root system. App Environ Microbiol 68: 3795-3801. Pieterse C M J, Leon-Reyes A, Van Der Ent S, Van Wees SCM. 2009. Networking by small-molecule hormones in plant immunity. Nat. Chem. Biol. 5:308–316. Podile AR, Laxmi VDV. 1998. Seed bacterization with Bacillus subtilis Af 1 increase phenylalanin ammonia-lyase and reduces the incidence of fusarial wilt in pigeonpea. J Phytopathol 146:255-259. Pradhan N, Sukla LB. 2005. Solubilization of inorganic phosphate by fungi isolated from agriculture soil. African J. Biotechnol. 5:850-854. Premono EM. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Premono EM. 1998. Ulas Balik: Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengefisienkan Pupuk Fosfat dan Prospeknya di Indonesia Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
137
(Enhancement of Phosphate-Fertilizer Efficiency by phosphate Solubilizing Microbes and Its Prospect in Indonesia). Hayati
5(4):89-94.
Prihastuti, 2007. Isolasi dan karakterisasi Mikoriza VesikularArbuskular di Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk.Penel.Hayati 12:99-106. Rahmatika W. 2009. Pengaruh persentase N (Azolla dan Urea) terhadap hasil panen tanaman padi (Oryza sativa L.) serta kadar protein dan nitrat pada beras. Cendekia, 72-75. Ramamoorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria in crop plants against pests and diseases. Crop Prot 20:1–11. Rao S. 1982. Biofertilizers in Agriculture. Oxford & INH Publishing Co. New Delhi, Bombay, Calcutta. Rasyid. 2002. Pengaruh Pemberian Unsur Mikro Cu dan Macam Media terhadap Kadar Protein dan Biomassa pada Mikroalgae Anabaena azollae. http://digilib.itb.ac.id. Diakses: 20 Agustus 2014. Reis VM, Teixeira KRdS, Pedraza RO. 2011. What Is Expected from the Genus Azospirillum as a Plant Growth-Promoting Bacteria? In Bacteria in Agrobiology: Plant Growth Responses. D.K. Maheshwari (ed.). DOI 10.1007/978-3-642-20332. Reyes
I, Valery A, Valduz Z. 2007. Phosphate solubilizing microorganisms isolated from rhizospheric and bulk soils of colonizer plants at an abandoned rock phosphate mine. In: E. Velázquez and C. Rodríguez-Barrueco (eds.), First International Meeting on Microbial Phosphate Solubilization. pp. 69-75.
Richardson AE, Lynch JP, Ryan PR, Delhaize E, Smith FA. 2011. Plant and microbial strategies to improve the phosphorus efficiency of agriculture. Plant Soil 349: 121–156. Riggs PJ, Chelius MK, Iniguez AL, Kaeppler SM, Triplett EW. 2001. Enhanced maize productivity by inoculation with diazotrophic bacteria. Aust J Plant Physiol 28:829-836. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
138
Roberts SC, Shuler ML. 1997. Large scale plant cell culture. Curr Opin Biotechnol 8:154–159. Ryan MH, Graham JH. 2002. Is there a role for arbuscular mycorrhizal fungi in production agriculture? Plant and Soil 244: 263-271. Ryan PR, Delhaize E, Jones DL. 2001. Function and mechanism of organic anion exudation from plant roots. Annl. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 52:527-560. Ryder MH, Stephens PM, Bowen GD. 1994. Improving Plant Productivity with Rhizosphere Bacteria. Proc. Third International Workshop on Plant Growth-Promoting Rhizobacteria. Adelaide, South Australia. March 7-11, 1994. Sagoe C I, Ando T, Kouno K, Nagaoka T. 1998. Relative importance of protons and solution calcium concentration in phosphate rock dissolution by organic acids. Soil Sci. Plant Nutr. 44:617625. Saleem M, Arshad M, Hussain S, Bhatti AS. 2007. Perspectives of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) containing ACC deaminase in stress agriculture. J Indust microbiol Biotechnol 34:635-648. Saleh AM, Zaman Sr, Kabir G. 2013. Nodulation of black gram as influenced by Rhizobium inoculation using different types of adhesives. Nature and Science;11(7): 152-157. http://www.sciencepub.net/nature. Saleh M, Saleh Al-Garni. 2006. Increased heavy metal tolerance of cowpea plants by dual inoculation of an arbuscular mycorrhizal fungi and nitrogen-fixer Rhizobium bacterium, Afr. J. Biotechnol. 5, 132–144. Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. St Paul, Minnesota: APS Press. Setiadi Y. 2001. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi. Seminar Nasional Mikoriza. 15-16 November 1999. Bogor.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
139
Shantharam S, Mattoo AK. 1997. Enhancing Biological Nitrogen Fixation: An Appraisal of Current and Alternative Technologies for N Input into Plants. Plant and Soil 194; 205-216. Sharma SB, Riyaz Z, Sayyed, Mrugesh, Trivedi H, Gobi TA. 2013. Phosphate solubilizing microbes: sustainable approach for managing phosphorus deficiency in agricultural soils. http://www.springerplus.com/content/2/1/587. Silo-Suh L, Stabb EV, Raffel SJ, Handelsman J. 1998. Target range of zwittermicin A, an aminopolyol antibiotic from Bacillus cereus. Curr Microbiol 37:6-11. Silva HSA, Romeiro RSR, Macagnan D, Vieira BAH, Pereira MCB, Mounteer A. 2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants: non-specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control 29:288-295. Silva HSA, Romeiro RSR, Macagnan D, Vieira BAH, Pereira MCB, Mounteer A. 2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants: non-specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control 29:288-295. Simanungkalit R.D.M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 313 p. Simiyu–Wafukho S, Masso C, Nang‟ayo N. 2013. Guidelines for Registration of Biofertilizers in Sub Saharan Africa 2013, The African Agricultural Technology Foundation (AATF). Simpson RJ, Oberson A, Culvenor RA, Ryan MH, Veneklaas EJ. 2011. Strategies and agronomic interventions to improve the phosphorus-use efficiency of farming systems. Plant Soil 349: 89–120. Singh PP, Shin YC, Park CS, Chung YR. 1999. Biological control of fusarium wilt of cucumber by chitinolytic bacteria. Phytopathology 89:92-99. Smith SE, Dickson S, Morris C, Smith EA. 1994, Transfer of phosphate from fungus to plant in arbuscular mycorrhizas in Allium porrum L., New Phytol.,127:93-99.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
140
Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal symbiosis. London: Academic Press. Spaepen S, Vanderleyden J, Remans R. 2007. Indole-3-acetic acid in microbial and microorganism-plant signaling. In: Unden F (ed) FEMS microbiol rev. Blackwell Publishing Ltd., New York pp 1– 24. doi:10.1111/j.1574-6976.2007.00072.x. Sridevi M, Mallaiah KV, Yadav NCS. 2007. Phosphate solubilization by Rhizobium isolates from Crotalaria species. J Plant Sci 2:635– 639. Steenhoudt O, Vanderleyden J. 2000. Azospirillum, a free-living nitrogen-fixing bacterium closely associated with grasses: genetic, biochemical and ecological aspects. FEMS Microbiol Rev 24:487–506. SubbaRao NS. 1982 Advances in agricultural microbiology. Oxford and IBH Publications Company, India, pp 229–305. SubbaRao NS. 1988. Phosphate solubilizing micro-organism. In: Biofertilizer in agriculture and forestry. Regional Biofert. Dev. Centre, Hissar, India. pp. 133-142. Sudadi, Sumarno. 2011. Pengaruh Saat Pemupukan Urea pada Sistem Ganda Azolla-Padi Sawah terhadap N-Kapital Tanah dan Hasil Padi di Entisol. Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah Dan
Agroklimatologi 8(2):99-104.
Sugiharto B. 1985. Pemanfatan Azolla pinnata sebagai Pupuk Hijau dan Sumber Unsur Nitrogen pada Budidaya Tanaman Padi sawah dalam Seminar on Development of Tropical Resourch and effective Utilization of Energy in Agricultural Yogyakarta. Suman M, RC Dogra, Dudeja SS. 1995. Guar Gum: An Alternate Adhesive for Cereals Azotobacter Inoculation in cereals. Annals of Biology 11 (1): 129-133. Department of Microbiology, CCS Haryana Agricultural University, Hisar-125 004, India. Sutariati GAK, Khaeruni A, Madiki A. 2011. Bio-Matriconditioning benih dengan rizobakteri untuk meningkatkan mutu fisiologis benih sorgum (Sorghum bicolor L.). Jurnal Agroteknos, 1(1): 21-26. Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
141
Sutariati GAK, Khaeruni A, IM Guyasa, 2011. Analisis Pertumbuhan Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Varietas Numbu dan Kawali pada Berbagai Perlakuan Biomatriconditioning Benih . Jurnal Agroteknos Volume 1(2):57-64. Sutariati GAK, Safuan LO. 2012. Perlakuan Benih dengan Rizobakteri Meningkatkan Mutu Benih dan Hasil Cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 40(2): 125-131. Sutariati GAK, Wahab A. 2010. Isolasi dan Uji Kemampuan Rizobakteri Indigenus sebagai Agensia Pengendali Hayati Penyakit pada Tanaman Cabai. J. 20(1): 86-95. Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006a. Pengaruh perlakuan Plant Growth Promoting Rhizobacteria terhadap pertumbuhan bibit tanaman cabai. Buletin Agronomi 34(1):4654. Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006b. Efektivitas agens biokontrol untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil cabai serta mengendalikan penyakit antraknosa di rumah kaca. Agriplus 16:103-111. Sutariati GAK. 2006. Perlakuan Benih dengan Agens Biokontrol untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa, Peningkatan Hasil dan Mutu Benih Cabai. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutariati GAK. 2009. Conditioning benih dengan rizobakteri untuk meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih cabai pratanam. Warta-Wiptek 17(1):7-16. Suyana
J, Sudadi, Supriyadi. 1998. Laju Pertumbuhan dan Penambatan N2 Azolla Pada Berbagai Intensitas Penyinaran dan Tinggi Genangan. Laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas Pertanian UNS, Surakarta.
Tarafdar JC, Claasen N. 1988. Organic phosphorus compounds as a phosphorus source for higher plants through the activity of phosphatases produced by plant roots and microorganisms. Biol. Fert. Soils 5:308-312. Tarafdar JC, Marschner H. 1994. Phosphatase activity in the rhizosphere and hyphosphere of VA-mycorrhizal wheat Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
142
supplied with inorganic and organic phosphorus. Soil Biol. Biochem. 26: 387–395. Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC, Khan MR. 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. Curr Sci 86:978-985. Tung HF, Shen TC. 1981. Studies Of The Azolla Pinnata-Anabaena Azollae Symbiosis, Growth and Nitrogen Fixation. New Phytol. 87, 743-749. Vessey JK. 2003. Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer. Plant and Soil, 255: 571-586 Wahid A, Noreen A, Shahzad MA, Basra, Gelani S, Farooq M. 2008. Priming-Induced Metabolic Changes In Sunflower (Helianthus Annuus) Achenes Improve Germination and Seedling Growth. Botanical Studies 49: 343-350. Walters D, Heil M. 2007. Costs and trade-offs associated with induced resistance. Physiol. Mol. Plant Pathol. 71, 3-17. Wang HY, Liu S, Zhai LM, Zhang JZ, Ren TZ, Fan BQ, Liu HB. 2014. Preparation and Utilization of Phosphate Biofertilizers Using Agricultural Waste. Journal of Integrative Agriculture Advance. Online Publication Doi:10.1016/S2095-3119(14)60760-7. Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi, Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species, 2nd Edition. USA: CRC Press Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can. J. Bot., 82: 1198-1227. Whitelaw MA. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate solubilizing fungi. Adv. Agron. 69:99-151. Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada Univ. Press. 281p. Zhuang X, Chen J, Shim H, Bai Z. 2007. New advances in plant growth promoting rhizobacteria for bioremediation. Environ Int 33:406-413.
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
143
INDEKS A absorbansi, 144 achromobacter, 144 agens, 2 alifatik, 28 alphaproteobacteria, 30 anabaena azollae, 37, 38, 41 antagonis, 71, 88, 91.99
azotobacter, 25, 26, 27, 28, 29, 46
B bioremediation, 143 bakteroid, 18, 19, 20, 21, 22 basilomisin, 102 bintil akar, 14, 17, 18, 19, 20, 21, 114
asam absisik, 71
biofertilizer, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 44, 45, 52, 59, 61, 76, 81, 105, 107, 108, 109, 115, 116, 119, 120, 122, 123, 124
asam fosfatase, 51, 55, 68
biohormon, 10
asam jasmonat, 71
biomatriconditioning , 106
asam organik, 28, 29, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 68, 97
biopesticide, 2
asam salisilat, 71
bioremediasi, 28
iaa, 28, 55, 82, 83, 85, 86, 95,98
bradyrhizobium, 14, 18, 19, 81, 110
aspergillus, 44, 53, 54, 55, 90, 112
brevibacterium, 44, 94
antibiosis, 98 arbuskular, 61, 62, 65, 111 archaeospora, 64
atmosfer, 6, 13, 39, 77, 93 auksin, 28, 75, 85, 96 azolla, 37, 40 azospirillum, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 81, 104, 112, 122
biopriming, 106
C ca-fosfat, 51 carboxymethylcellulose, 8 carrier material, 24, 56 cekaman, 82. 98
clostridium, 9
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
144
curvularia, 53
fitoaleksin, 88, 90, 91
cyanobacter, 10
flagella, 14, 30
D
flavobacterium, 46
decanting, 65
FMA, 65, 66, 67, 71, 73, 74, 96
dedak gandum, 8
formula pupuk hayati, 7
degeneratif, 5, 118, 121
fosfat, 11, 44, 45, 46, 48, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 68, 74, 77, 82, 87, 115
dekomposer, 9 diazotrof , 13
E eksopolisakarida, 28
free-living microbes, 13
elisitor biotik, 88, 89
fungi, 11, 44, 52, 53, 54, 55, 56, 56, 61, 62, 63, 63, 64, 78, 8, 88, 101, 102, 109, 113, 122
endomikoriza 62, 63, 111
fusarisidin, 102
enzim litik , 98
fusarium, 53, 70, 89, 90, 101
enzim peroksidase, 90
G
erwinia 46, 70, 122
giberelin, 27, 28, 53, 75
etilen 71, 96
gigaspora, 64, 111
F
H
fenazines, 102
herbaspirillum, 9
fengimisin, 102
hifa, 61, 62, 63, 66, 67, 68, 69, 69, 70, 72, 73, 75, 79, 103, 104
ektendomikoriza, 62.63 ektomikoriza, 62, 111
fenilalanin amonia-liase (PALl), 90 fermentor, 23, 29 fiksasi, 6, 7, 8, 9, 13, 18, 32, 33, 34, 39, 81, 93, 94, 131 filtrat bakteri, 103
humicola 44, 53
K kanosamine, 102 kapsul spora, 80 kitinase, 90, 98, 99
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
145
konidia, 103, 104
pirolnitrin, 102
L
polifenol oksidase, 90
leghaemaglobin 20
poly-b-hydroxybutyrate, 14
M
priming, 72, 105, 106
Mikoriza, 66, 72, 79,
61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 75, 76, 77, 78, 80, 109, 111, 122
mikorizoremediasi, 73 mikoserein, 102 mikosubtilins, 102 mikrofauna, 7
N nitragin, 3 nitrogenase, 20, 21, 26, 32, 33, 34 nodul, 19, 19, 35, 94
O osmoconditioning, 106 oxyhaemaglobin, 21
P pacecilomyces, 53 pektinase, 99 penicillum, 53 pepton, 8, 32, 39, 57, 84 peribakteroid, 20 phoma, 44 pioluteorin, 102
propionat, 54 protease, 57, 99 pseudomonas, 46, 51, 56, 57, 83, 85, 86, 87, 89, 91, 91, 92, 94, 98, 99, 100, 101, 103, 104 phytuberin, 24 pythium, 53, 70
R revolusi hijau, 5 rhicadhesin, 18 rhizobia, 4, 4,8, 24 rhizobium, 3, 4, 9, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 22, 23, 24, 25, 29, 35, 46, 81, 93, 110, 113, 122 rishitin, 91 rizoremediasi, 95 rizosfer, 2, 6, 48, 54, 69, 81, 88, 97, 105, 116, 117
S Scutellospora, 64 seed conditioning, 105 seed priming, 105, 106 selulase, 98,99, 104
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
146
serratia, 44, 46, 56, 81, 83, 85, 86, 87, 100, 103, 109, 122
V
siderofor, 50, 68, 82, 84, 96, 98, 100, 101, 105
vesikula, 63, 64
silanase, 99
Z
simbiotik, 13, 14, 39, 61, 112, 114
zeolit 24, 77, 79
sitokinin, 10, 28, 53, 75, 82, 85, 98
vermikulit 8, 36 vigor 72, 94, 105, 106
zwitermisin 102
solavetivone, 91
T topping, 79 tri-calcium phosphate (TCP), 45, 52
Sutariati, Andi Khaeruni, Muhidin, 2014| Biofertilizer
147
Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si lahir di Kendari Sulawesi Tenggara, 6 Juni 1969. Program Sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, lulus tahun 1991. Program Magister (lulus tahun 1998) dan Doktor (lulus tahun 2006) bidang Agronomi (minor Ilmu dan Teknologi Benih) ditempuh di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasinya berjudul: “Perlakuan Benih dengan Agens Biokontrol untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa, Peningkatan Hasil dan Mutu Benih Cabai”. Dosen Fakultas Pertanian UHO ini aktif melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan sumber dana kompetitif nasional dari Litbang Deptan (KKP3T), Kemenneg. Ristek dan Ditlitabmas Dikti. Fokus kegiatan penelitiannya adalah menemukan paket teknologi ramah lingkungan dalam proses budidaya pertanian, melalui pemanfaatan mikroorganisme yang dieksplorasi dari rizosfer tanaman, kemudian diinokulasikan kembali pada tanaman asal melalui aplikasi pada benih. Ia telah menghasilkan produk pupuk organik yang diperkaya dengan mikroorganisme indigenus Sulawesi Tenggara bertajuk “Pupuk Organik Plus GAKSI”. Tugas utamanya sebagai pengajar dilakoninya dengan penuh tanggungjawab. Mata kuliah yang diampu berkaitan dengan keahliannya dibidang Ilmu dan Teknologi Benih baik pada level S-1, S-2, maupun S-3. Saat ini ia dipercaya menjadi Ketua Program Studi Agronomi Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo. Dr. Ir. Andi Khaeruni R, M.Si lahir di Sengkang Sulawesi Selatan, 27 Juni 1967. Program Sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus 1991. Program Magister (lulus 1998) dan Program Doktor (lulus 2005) bidang Fitopatologi ditempuh di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan judul disertasi “Analisis Keragaman Genetik dan Pengembangan Metode Deteksi Cepat Penyakit Pustul bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. glycines) pada Tanaman Kedelai”. Dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UHO dan Pengurus Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sulawesi Tenggara ini aktif melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan sumber dana kompetitif nasional dari Ditlitabmas Dikti, Deptan (KKP3T), dan Kemenneg. Ristek. Fokus kegiatan penelitiannya adalah pengembangan metode deteksi patogen tanaman, dan pengembangan agens hayati berbasis rizobakteri untuk pengendalian patogen tular tanah, menginduksi ketahanan tanaman, meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, khususnya di lahan marjinal ultisol. Beberapa hasil penelitian telah dipublikasikan di jurnal internasional dan nasional terakreditasi. Mata kuliah yang diampu berkaitan dengan keahliannya dibidang Ilmu Penyakit Tumbuhan, baik pada level S-1, S-2 dan S-3. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Bioteknologi Universitas Halu Oleo. Ir. Muhidin, M.Si., lahir di Teluk Betung (Bandarlampung) pada tanggal 25 Desember 1965. Pendidikan sarjana S-1 diperoleh dari Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (lulus 1990). Kemudian melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Agronomi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Sejak tahun 1993 hingga saat ini, menjadi tenaga pengajar tetap pada Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Bidang Ekofisiologi Tanaman menjadi minat utama, terutama yang berkaitan dengan kegiatan perbanyakan tanaman. Sampai saat ini menjadi peneliti aktif pada berbagai bidang, yang terkait dengan perbanyakan bahan tanaman dan budidaya tanaman perkebunan.
ISBN 978-602-8161-67-1