BINAUS Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1.
Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72: 1.
2.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.0000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BINAUS Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI
Penyunting
Yulius Y. Ranimpi
Penerbit
Satya Wacana University Press
BINAUS: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI Cetakan pertama, November 2016
Penyunting Yulius Y. Ranimpi Penata Letak Jerry F. Langkun
Disain Sampul Vinchart D.B.J. Dundu
Foto-foto Dhanang Puspita, Christina D. Tauho, Ferry F. Karwur, Yulius. Y. Ranimpi
Diterbitkan oleh Satya Wacana University Press dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
BINAUS: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI / penyunting, Yulius Y. Ranimpi Salatiga: Fakultas Ilmu Kesehatani UKSW xx+253 hal; 17.5x24 cm ISBN: 978-602-1047-58-3
Sambutan Bupati Timor Tengah Selatan Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan tuntunan-Nya, buku “Rangkuman Hasil Penelitian tentang Kondisi Pendidikan, Kesehatan (khususnya kesehatan ibu dan anak) yang menggambarkan kondisi masyarakat Desa Binaus sebagai wajah pedesaan di Kabupaten Timor Tengah Selatan Masa Kini” dapat diselesaikan dan dipublikasikan oleh Tim Peneliti Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pembangunan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan suatu kesatuan pembangunan manusia di berbagai sektor yang saling bersinergi antara lain faktor pendidikan dan kesehatan di Desa Binaus memberikan gambaran kondisi aset manusia yang dimiliki Pemerintah Daerah secara umum. Modal aset inilah yang menjadi andalan tingkat kecerdasan dan kemampuan tenaga kerja untuk bersaing dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang menimbulkan beban tersendiri yang harus dipikul dan diperjuangkan oleh Pemerintah dalam membangun masyarakat. Disinilah peran Pemerintah melalui berbagai tingkat proses perencanaan untuk membangun manusia TTS menjadi penting dan mendesak serta memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistemik, terpadu dan menyeluruh dalam memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat. Untuk itu diperlukan berbagai kerjasama antar Pemerintah, Perguruan Tinggi, Swasta, LSM, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya melalui langkah-langkah strategis dan komprehensif. Untuk menyikapi dan mengkritisi kondisi di atas pemerintah daerah mengapresiasi kehadiran UKSW Salatiga melalui berbagai program kerjasama yang dirintis sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang antara lain: v
1. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi aparatur (PNS), masyarakat dan putra putri daerah asal kabupaten TTS dalam berbagai bidang studi. 2. Kerjasama penelitian dalam berbagai aspek. 3. Kerjasama dalam menyediakan tenaga guru dan dosen pada semua strata pendidikan (SD – PT). 4. Bersama Pemda merintis berdirinya Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan di SoE. Sejak tahun 2012 sampai 2016 Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW Salatiga telah membantu Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak untuk suksesnya Revolusi KIA antara lain dalam bentuk penelitian yang non intervensi dengan desain eksploratif dimana informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung bagi para narasumber di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah antara lain: Pemerintah Kecamatan/Desa, petugas Puskesmas, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat dan jejaring lainnya. Ternyata terdapat kondisi adat istiadat, budaya yang erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak sejak kehamilan sampai dengan melahirkan yang berdampak negatif atau beresiko tinggi bagi ibu dan anak. Penelitian ini memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat dimana ditemui sudah ada diskusi-diskusi yang cukup intensif dari masyarakat. Ini menggambarkan ada semangat yang tinggi dari masyarakat untuk memperbaiki derajat kesehatan di desanya. Sebagai contoh semua persalinan tidak lagi di rumah penduduk dan ditolong oleh dukun bersalin tetapi masyarakat mulai menggunakan fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga medis dan paramedis. Pemerintah Daerah sangat menghargai semua hasil penelitian FIK UKSW Salatiga yang dapat memberikan gambaran peran semua pemangku kepentingan tentang sejauh mana masing-masing menjalankan perannya dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak sehingga bagi Pemerintah Daerah dapat dijadikan sebagai informasi tambahan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pelayanan dan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menuju lingkungan sehat,
vi
cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, derajat kesehatan penduduk yang baik, perilaku sehat serta mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman sakit dan meningkatkan partisipasi aktif dalam gerakan masyarakat sehat. Melalui kesempatan ini ijinkanlah kami atas nama Pemerintah Daerah menghaturkan ucapan terima kasih kepada: 1. Rektor UKSW Salatiga Bapak Prof. Dr. Pdt. John A. Titaley., Th,D atas ijinnya penelitian dapat terlaksana dan terhimpun dalam karya ilmiah yang sangat berdampak positif bagi kebijakan pembangunan di daerah. 2. Dekan FIK UKSW Salatiga Ir. Ferry F. Karwur MSc., PhD beserta seluruh peneliti dan staf yang dengan ketekunan dan kesabarannya dapat menghasilkan sejumlah penelitian tentang kesehatan masyarakat dari berbagai aspek antara lain ekonomi, sosial dan budaya bersama masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS menjadi referensi yang sangat bermanfaat dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan.
3. Secara khsus ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Pemerintah desa dan masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah atas berbagai dukungan sehingga terlaksananya penelitian ini. Akhirnya kami menyadari bahwa selama kebersamaan kita tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu atas nama Pemerintah Daerah dan masyarakat TTS menghaturkan permohonan maaf. Demikian pula dengan adanya keterbatasan dan kelemahan yang kami hadapi dalam pembangunan kesehatan masyarakat maka melalui rangkuman penelitian ini dapat membangkitkan inspirasi, semangat dalam menunaikan tugas dan pelayanan kepada masyarakat. Tuhan Yesus memberkati. SoE, 5 November 2016
Ir. Paulus V. R. Mella MSi Bupati Timor Tengah Selatan
vii
Sambutan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Perbaikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah muara dari semua kegiatan yang dilakukan baik pemerintah daerah maupun perwakilan rakyat. Kehadiran kami bertujuan untuk mengawal seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan program kerja pemerintah agar benar-benar berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Untuk melakukan hal ini, maka pemahaman akan kondisi nyata masyarakat TTS serta seluruh dinamikanya mutlak diperlukan. Kedekatan dengan masyarakat merupakan salah satu syarat utama agar apa yang menjadi kebutuhan mereka dapat diidentifikasi untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar rujukan pengembangan program kerja. Pembangunan masyarakat khususnya bidang kesehatan merupakan pekerjaan besar yang senantiasa menjadi perhatian di TTS. Banyak faktor yang perlu dipelajari secara komprehensif agar roda pembangunan area ini dapat berputar lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan. Faktor ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai dan merata serta kehadiran tenaga kesehatan profesional merupakan salah satu tantangan yang dihadapi. Secara perlahan, penambahan jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan terus dilakukan dan meskipun belum mencukupi serta terdistribusi baik, namun saat ini pusat layanan kesehatan masyarakat telah menjangkau seluruh daerah TTS. Faktor lain yang juga berperan dalam pembangunan kesehatan adalah faktor masyarakat sebagai pembuat keputusan utama terkait kesehatan serta sebagai pengguna aktif layanan kesehatan. Berbicara tentang masyarakat tentu tidak bisa lepas dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga aspek ini merupakan penentu utama keputusan serta tindakan kesehatan yang diambil. Faktor ekonomi, misalnya, mempengaruhi apakah
viii
dalam menangani keadaan sakit yang dialami, seseorang akan mengakses fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia. Selain itu, berbagai kebijakan lokal yang ada terkait pengobatan sakit penyakit maupun praktek lokal terkait melahirkan, yang telah terjadi secara turun-temurun juga sangat berkontribusi terhadap keputusan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan modern. Kepercayaan masyarakat terkait penyebab sakit penyakit maupun bagaimana cara mengatasinya secara sosial budaya dan religi merupakan aspek yang perlu dicermati dengan baik dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Perumusan program kerja, kebijakan serta aturan bagi masyarakat perlu dilakukan dengan memperhatikan semua aspek yang berpengaruh agar hasilnya dapat bersifat tepat guna. Berbagai media dan forum terus digunakan oleh DPRD untuk mengetahui dengan jelas apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Forum pertemuan dengan rakyat, diskusi, jajak pendapat, reses dan kunjungan kerja (kunker) merupakan forum yang kami pakai untuk memperoleh masukan langsung dari masyarakat. Selain itu, sering juga kami mendapatkan saran dari lembaga-lembaga yang secara langsung terjun dan bekerja di masyarakat TTS melalui berbagai program kerjanya seperti perguruan tinggi (PT) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Masukan dari pihak PT maupun LSM sangat kami hargai karena pihak-pihak seperti ini memberikan pandangan yang objektif dan menyeluruh akan kondisi masyarakat kami. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) adalah salah satu PT yang memiliki reputasi sangat baik di tengah masyarakat TTS. Selaku Ketua DPRD, saya menyampaikan penghargaan atas apa yang telah dilakukan UKSW tidak hanya dengan menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas bagi putra-putri daerah tetapi juga melalui kegiatankegiatan lain yang berkontribusi baik dalam meningkatkan derajat kehidupan masyarakat TTS. Buku berisi tulisan hasil penelitian dari mahasiswa dan dosen di UKSW tentu sangat bermanfaat bagi banyak pihak, terutama pihak pemerintah. Buku ini dapat memberikan gambaran objektif bagi kami dan menjadi landasan pengembangan program-program yang tepat sasaran. Akhirnya saya, atas nama DPRD
ix
Kabupaten TTS dan masyarakat Kabupaten TTS, mengucapkan terimakasih bagi pihak
UKSW yang selama ini telah membantu kami dengan berbagai cara. Tuhan kiranya memberkati pelayanan kita semua. So’e, 5 November 2016
Jean E.M. Neonufa, SE. Ketua DPRD TTS
x
Sambutan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah melewati perjalanan panjang yang akhirnya membawa UKSW ke-usianya yang ke enam puluh (60) di tahun 2016 ini. Sepanjang sejarah, firman Tuhan serta visi dan misi adalah penuntun utama dalam melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang dianugerahkan Tuhan bagi UKSW. Dengan berlandaskan pada visi-misi, selama 60 tahun, UKSW senantiasa berusaha menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas serta bernafaskan iman Kristiani sebagai bentuk kontribusi bagi gereja, bangsa dan negara Indonesia. Sebagai institusi pendidikan tinggi, segitiga akademik atau Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pedoman UKSW dalam melangkah. Keseimbangan antara pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat senantiasa diupayakan dalam kehidupan sivitas akademika UKSW. Kami sangat menyadari bahwa keseimbangan antara 3 aspek inilah yang memampukan kami menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda gereja dan bangsa. UKSW telah berkomitmen untuk menjadi research university sejak paruh kedua usianya, yaitu tahun 2006. Penelitian haruslah menjadi landasan bagi pengembangan program pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya melalui penelitian yang baik dan berkualitas, 2 aspek segitiga akademik lainnya dapat diselenggarakan dengan tepat guna. Hasil-hasil penelitian baik oleh dosen maupun mahasiswa menjadi dasar bagi proses pengajaran yang realistis dan berbasis bukti. Demikian juga, program pengabdian kepada masyarakat akan menjadi lebih efektif dilakukan apabila identifikasi permasalahan atau kebutuhan masyarakat telah dilakukan terlebih dahulu melalui kegiatan penelitian. Oleh karena itu, melalui berbagai skema dan kebijakan, UKSW terus mendorong sivitas akademikanya untuk melakukan penelitian yang kemudian
xi
tercermin dalam pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Saya mengapresiasi usaha yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan, UKSW yang telah dengan setia melakukan berbagai program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di berbagai tempat, salah satunya Desa Binaus, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, NTT. Kehadiran buku berjudul Binaus: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI merupakan wujud nyata usaha FIK-UKSW dalam memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan masyarakat Desa Binaus melalui hasil-hasil penelitian di bidang kesehatan. Desa Binaus telah menerima kehadiran dosen dan mahasiswa FIK-UKSW dengan tangan terbuka dan untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh perangkat dan masyarakat Desa. Terimakasih juga saya sampaikan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan atas kerjasama yang telah terbina selama ini dengan UKSW. Saya berharap semua yang telah dilakukan dapat membawa kemajuan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Akhirnya, saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-10 bagi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana. Kiranya Tuhan memberkati semua karya yang dilakukan. Salatiga, 21 Oktober 2016
Pdt. Prof. John A. Titaley, Th.D
Rektor UKSW
xii
Kata Pengantar Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, saya menyambut baik usaha Panitia Peringatan Ulang Tahun Kesepuluh Fakultas ini, untuk menerbitkan dalam bentuk buku karya-karya penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di Desa Binaus Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan. Upaya-upaya yang dilakukan di Desa ini adalah bagian dari upaya UKSW khususnya FIK menerjemahkan konsep segitiga akademik: penelitian, pendidikanpengajaran, dan pengabdian masyarakat, yang dilakukan secara melembaga. Keterlibatan dan kerjasama yang erat telah diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Bapak Bupati, Kepala Bapppeda TTS, Kepala Dinas Kesehatan, Pihak Camat Mollo Tengah, Kepala Desa, Atoin Amaf dan para tua-tua adat yang lain di Desa Binaus, Ketua dan para anggota Kader Posyadu di Binaus. Untuk itu, kami selaku Dekan mengucapkan terima kasih. Disampaikan terima kasih juga kepada
Bapak Ared Billik, M.Si selaku Direktur STKIP Soe dan Bapak Simon Radja Pono atas bantuan-bantuan yang diberikan selama staf FIK atau para peneliti mahasiswa dari Jerman atau para peneliti/mahasiswa dari Jepang terutama Prof. Kanako Shinkawa yang beberapa kali berkunjung ke Desa Binaus. Disampaikan juga terima kasih atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah menopang baik kepakaran, pembiayaan, dan dorongan semangat sehingga para staf di Fakultas ini boleh mengerjakan tanggung jawab penelitian ini dengan sukacita. Untuk itu kami mengucapakn terima kasih kepada United Board for Higher Christian in
Asia (UBCHEA) untuk topangan pendanaan program pengabdian masyarakat di Desa Binaus, Terima kasih juiga kepada tim pakar dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan xiii
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (Surabaya), antara lain Profesor Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes; ProfesorA.A.Ngr. Anom Kumbara, MA, dan Profesor Dr. Wasis Budiarto, MS. Kami ucapkan terima kasih kepada Rektor UKSW yang selalu mendukung Fakultas dan para staf akademiknya dalam melaksanakan penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat di dan melalu keterlibatan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW di daerah Timor Tengah Selatan. Kepada tim persiapan buku ini, Bapak Yulius Yusak Ranimpi selaku Penyunting dan Ibu Tessa Messakh diucapkan pula terima kasih. Kepada semua peneliti/staf dan mahasiswa yang telah terlibat dalam program-program di Desa Binaus, diucapkan terima kasih.
Salatiga, Oktober 2016
Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc., PhD
Dekan FIK UKSW
xiv
Kata Pengantar Binaus adalah desa di wilayah Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang sudah lama saya dengar, terutama via teman-teman peneliti di Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur (PSKTI) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Perkenalan model dengar-dengaran itu lebih intens lagi ketika desa ini dijadikan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW sebagai salah satu laboratorium untuk kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dan ditambah dengan kisah yang menarik dari teman-teman yang pernah ke sana, terutama mengenai indah dan eksotiknya salah satu dusun di sana, yaitu dusun III, membuat saya semakin penasaran untuk juga memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Akhirnya waktu itupun tiba. Di awal tahun 2015, saya menjejakkan kaki di Desa Binaus.
Desa ini berjarak lebih kurang 10 km dari So’e, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Didukung tersedianya moda transportasi, seperti ojek dan angkutan kota membuat Desa Binaus mudah untuk dicapai. Desa Binaus, layaknya desa lain di daratan Timor - NTT, memiliki fisiografi yang berbukit dan bergunung. Indah, sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan kualitas pemandangan alam di sana. Belum lagi orang-orangnya. Ramah dan murah senyum. Semua itu cukup untuk menjadi alasan supaya tinggal di sana dalam waktu yang lama. Namun, di balik semua itu, sebagai Ibu Kota Kecamatan Mollo Tengah, Desa Binaus menyimpan banyak keterbatasan dalam hal pembangunan. Sebagai bagian dari Kecamatan yang baru otonom di tahun 2007 (sebelumnya menjadi bagian dari Kecamatan Mollo Selatan), keterbatasan tersebut terlihat dari masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, misalnya dalam aspek kesehatan. Persoalan tersebut semakin kompleks mengingat paradigma pembangunan di negeri ini, umumnya adalah generalisasi. Satu pendekatan untuk berbagai konteks, yang bergerak dari pusat ke daerah. Keberagaman dan kekhasan lokal kurang mendapat tempat untuk menjadi konsideran. Dan di sinilah
xv
persoalannya ketika pendekatan umum tadi bertemu dan bersentuhan dengan nilai dan keyakinan lokal. Tidak menutup kemungkinan konflik dapat lahir dari situ. Dalam konteks seperti itulah, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW hadir untuk menelaah secara obyektif, seturut dengan kaidah-kaidah keilmuan yang diusungnya. Telaah obyektif ini, tentu saja diharapkan tidak berhenti pada tataran kognitif saja, melainkan diteruskan pada tataran pragmatis. Tahun ini, dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 10, FIK UKSW menghadirkan buku ini sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakat dan Pemerintah Desa Binaus yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya kolaboratif serta partisipatif untuk mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan Pemerintah Desa Binaus, khususnya dalam isu kesehatan. Dalam buku ini disajikan berbagai tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh civitas akademik FIK UKSW dan kerjasamanya dengan kolega dari institusi di luar UKSW. Buku ini adalah bukti nyata kepedulian FIK - UKSW terhadap masyarakat dan Pemerintah Desa Binaus. Dan saya pastikan, ini belum berakhir. Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Yulius Yusak Ranimpi Penyunting
xvi
Ucapan Terima Kasih Terima kasih dan apresisasi yang tinggi dihaturkan kepada Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pemerintah Kecamatan Mollo Tengah dan terkhusus bagi Pemerintah dan masyarakat Desa Binaus yang selalu terbuka menerima kehadiran civitas akademika Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Untuk kemenjadian buku ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh panitia ulang tahun yang ke 10 Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW dan khususnya buat Saudara Jerry F. Langkun yang telah mendandani buku ini sehingga tampil sebagaimana mestinya dihadapan pembaca.
xvii
Daftar Isi Sambutan Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan ................................................. v Sambutan Ketua DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan .................................. viii Sambutan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana ................................................xi Kata Pengantar Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan...................................................... xiii Kata Pengantar ........................................................................................................................ xv Ucapan Terima Kasih.......................................................................................................... xvii Daftar Isi .............................................................................................................................. xviii
Pendahuluan: ...................................................................................................................... 1 Binaus Dalam Kerangka Kerja Kabupaten Timor Tengah Selatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan .................................................................................................... 3 Bagian I: Ume Kbubu, Neno Bo’Ha, Status Gizi Ibu-Anak, Perkembangan Kognitif dan Sosial Balita ..............................................................................................15 1. Ume Kbubu di Sepanjang Dusun II ........................................................................... 17 Ferry F. Karwur, Yamri F. Saekoko dan Kristiani D. Tauho 2. Kondisi Gizi Balita di Binaus dan Determinan-Determinannya....................... 33 Venti Agustina, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini, Sanfia T. Messakh, Ferry F. Karwur
xviii
3. Survei Dampak Rumah Bulat dan Status Gizi Terhadap Kapasitas
Vital Paru Pada Ibu Post-Partum Yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah NTT ...............................................................55 Angkit Kinasih 4. Konsumsi Pangan dan Status Gizi Ibu-Bayi Yang Mengikuti
Tradisi Neno Bo’Ha ......................................................................................................67 Christina E.H. Nuban, Ferry F. Karwur 5. Riwayat Gizi Kurang dan Perkembangan Kognitif dan Sosial Pada Balita ..... 77
Sepriyanti D. Kabnani, Dian Toar Y.G. Sumakul, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini, Ferry F. Karwur
Bagian II: Kesehatan Maternal dan Proses Modifikasi dalam Neno Bo’Ha ..................................................................................................................................................95 6. Persepsi Masyarakat Terhadap Ibu Prenatal dan Postnatal di Desa Binaus.97 Yulianty Katsia D. Bata, Kristiani D. Tauho, Arwyn W. Nusawakan 7. Tatobi dan Infeksi Post-Partum di Desa Binaus ................................................. 107 Maria A. Themone, Ferry F. Karwur, Kristiani D. Tauho 8. Kaji Tindak Partisipatif: Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan
Atoni Meto Untuk Meningkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi .................. 119 Ferry F. Karwur, Suharmiati, Sakti O. Batubara, Kristiani D. Tauho 9. Proses Modifikasi Tradisi Makan Jagung Bose Pada Ibu Post-Partum .......137 Ferry F. Karwur, Venti Agustina, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini
Bagian III: Binaus dan Tantangannya ................................................................. 151 10. Pos Pelayanan Terpadu Desa Binaus.................................................................... 153 Kristiani D. Tauho
xix
11. Empowerment of Women in Timor Tengah Selatan .......................................169 Natalie Stehle, Ferry F. Karwur 12. Binaus Dalam Lensa .................................................................................................. 189 Dhanang Puspita 13. Penyimpanan Jagung di Ume Kbubu ................................................................... 211 Yamri F. Saekoko, Kristiani D. Tauho, Ferry F. Karwur 14. A Methodological and Ethics Consideration on Mental Health,
Poverty and Indigenous Psychology Research ................................................ 223 Yulius Yusak Ranimpi 15. Menelusuri Benteng Binaus .................................................................................... 239 Dhanang Puspita, Kristiani D. Tauho, Yanto Aryanto Koko Kase Indeks ................................................................................................................................... 251
xx
PENDAHULUAN
Binaus Dalam Kerangka Kerja Kabupaten Timor Tengah Selatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur
A. PENDAHULUAN Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah satu dari 20 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, letak Kabupaten Timor Tengah Selatan sangat strategis karena berada di antara 4 Kabupaten Kota yang ada di Wilayah Timor Barat (Kota Kupang, Kabupaten Kupang di sebelah barat dan Kabupaten TTU dan Belu di sebelah Timur). Timor Tengah Selatan juga merupakan salah satu Kabupaten terdekat dengan Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur bila menggunakan alat transportasi darat. Jarak dari Kupang Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur ke SoE Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah 110 km, dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan roda 4 dan roda 2. Secara administratif, Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 32 Kecamatan, 12 Kelurahan dan 266 desa. Luas wilayah Kabupaten TTS adalah 3.955 km2. Adapun jumlah penduduk Kabupaten TTS pada Tahun 2014 adalah sebanyak 456.152 jiwa, terdiri dari Laki-laki: 225.095 dan Perempuan: 231.057; Jumlah rumah tangga adalah sebanyak 113.498 RT.
Secara fisik, Kabupaten TTS merupakan daerah pegunungan dengan proporsi kemiringan lahan antara 0% s/d di atas 40%. Wilayah tertinggi yaitu Puncak Gunung Mutis dengan ketinggian 2.472 m dpl. Suhu rata-rata di Kabupaten TTS adalah 24° C dan keadaan demikian membuat banyak orang mengidentikan SoE dengan Kota Dingin. Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten TTS
Dalam aspek ekonomi, produksi pertanian dari sub sektor tanaman pangan memberikan kontribusi utama bagi ketahanan pangan pada umumnya dan kesejahteraan petani pada khususnya, potensi-potensi lain yang ada dan di kelola masyarakat di Kabupaten TTS untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan sebagai sumber pendapatan adalah: 1. Tanaman pangan (Padi, jagung, kacang-kacang, ubi–ubian) 2. Tanaman sayuran (Bawang merah, bawang putih, kentang, wortel, kacang merah, kacang panjang, tomat, labu, dll.) 4
3. Tanaman perkebunan (Kelapa, kemiri, pinang, asam, dll.) 4. Ternak (Sapi, babi, ayam, kambing, dll.) 5. Bahan tambang (Marmer, gamping, mangan, pasir sungai, batu merah, sirtu, dll.)
B. ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN DI KABUPATEN TTS 1. Permasalahan Pembangan Daerah Untuk dapat menyelenggarakan tugas-tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat sebagaimana dinyatakan di atas, pemerintah daerah menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang dianggap penting adalah: a. Kualitas sumber daya manusia Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai dengan indikator sebagai berikut: 1. Mutu Pendidikan Bagian terbesar penduduk (82,62%) berada di bawah rata-rata pendidikan (rata-rata pendidikan 8 tahun). Artinya bagian terbesar penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan masih berpendidikan rendah, dan 17,38% berada di atas tingkat pendidikan rata-rata. Berdasarkan data di atas, maka titik berat pembangunan pendidikan di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah peningkatan mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, serta memberikan kesempatan belajar pada pendidikan menengah dalam rangka pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Pelatihan luar sekolah sebagai wadah untuk memberikan latihan terhadap tenaga kerja yang putus sekolah sebagai persiapan memasuki pasar kerja. 5
2. Derajat Kesehatan Derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan tergambar sebagai berikut: 1. Angka harapan hidup 65,45 tahun. 2. Prevalensi ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan menderita Anemi Gizi Besi (AGB) tinggi yaitu masing-masing 32,60% dan 22,94% dari total ibu hamil. 3. Bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mencapai 5,02%. 4. Prevalensi anak balita gizi buruk maupun kurang sangat tinggi yang mencapai 40,22% (gizi buruk 6,82% dan gizi kurang 33,40%).
5. Angka kematian ibu maternal maupun bayi relatif sangat tinggi, dimana rata-rata kematian maternal mencapai 435/100.000 persalinan. 6. Angka bayi lahir mati mencapai 26/1000 kelahiran hidup. 7. Angka kematian neonatal 15/1000 kelahiran hidup dan IMR sebesar 14/1000 kelahiran hidup. Data menunjukkan tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan oleh karena sebagian besar ibu-ibu hamil pada saat melahirkan ditolong oleh dukun bersalin terlatih (14,7%), ditolong oleh tenaga kesehatan 44,3% dan sisanya 41% ditolong oleh dukun tidak terlatih dan sanak saudara/keluarga. Keadaan ini membawa konsekwensi rendahnya derajat kesehatan masyarakat dan pada gilirannya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia. Derajat kesehatan masyarakat rendah menyebabkan tingkat produktivitas rendah, tidak bisa bekerja keras dan pada akhirnya berpengaruh pada ketahanan ekonomi keluarga atau rumah tangga.
6
3. Etos Kerja Sesuai Hasil Sensus Ekonomi Nasional tahun 2002 penduduk berusia 15 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan berjumlah 293.453 orang. Dari jumlah tersebut 77,37% atau 227.040 orang diantaranya termasuk angkatan kerja dan sisanya sebesar 22,63% atau 66.413 orang bukan angkatan kerja. Penduduk yang tidak termasuk angkatan kerja adalah mereka yang kegiatan utamanya adalah bersekolah (21.736 orang atau 7,41%), mengurus rumah tangga (40.303 orang atau 13,73%) dan lainnya (4.374 orang atau 1,49%) terhadap penduduk umur 15 tahun keatas. Angkatan kerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 293.453 orang tersebut terdiri dari mereka yang bekerja sebanyak 223.194 orang dan mereka yang sedang mencari pekerjaan sebanyak 3.846 orang.
Lapangan kerja utama penduduk yang bekerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagian besarnya adalah sektor primer/pertanian (73,27%). Sektor lain yang cukup menyerap tenaga kerja di Timor Tengah Selatan adalah sektor sekunder yaitu pertambangan, penggalian, industri, listrik, gas dan air serta konstruksi (8,91%) dan sektor tersier yaitu perdagangan, dan angkutan jasa (9,72%). Sektorsektor lainnya tidak lebih dari 8,1%. Salah satu ukuran untuk menilai aktivitas ekonomi dari seorang pekerja adalah jumlah jam kerja. Dengan memperhatikan jumlah jam kerja maka dapat diketahui berapa besar produktivitas tenaga kerja yang akan dikaitkan dengan jumlah upah yang akan diterimanya. Semakin banyak jam kerja seseorang biasanya semakin tinggi produktivitas yang akan dicapai dan upah yang diterimapun akan semakin besar.
Dari hasil susenas memperlihatkan mereka yang bekerja 34 jam ke bawah dalam seminggu tercatat sebesar 71,05%, yang bekerja selama 7
35-59 jam seminggu (26,11%) dan yang bekerja 60 jam ke atas (2,84%). Hasil susenas tersebut memberikan gambaran bahwa etos kerja masyarakat Timor Tengah Selatan rendah yang pada gilirannya berpengaruh terhadap produktivitas rendah, produksi rendah dan pendapatan yang diperoleh juga akan rendah. Rendahnya etos kerja itu ditandai dari jumlah penduduk yang bekerja di atas 35 jam per minggu 28,95%, beban tanggungan 66,64%, produktivitas rendah, serta produksi yang rendah pula.
2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara geografis bagian terbesar wilayah (57,18%) terletak pada bagian selatan Kabupaten ini dengan jumlah penduduk 64,78%, dan bagian utara dengan luas wilayah 34,1% dan dengan jumlah penduduk 33,8% sedangkan bagian tengah seluas 8,93% dengan jumlah penduduk 8,92%. Pembagian utara selatan cukup berarti dari segi iklim. Bagian utara relatif cukup lembab (mungkin juga basah) dari pada wilayah selatan. Hal ini terlihat dari jumlah vegetasi/kerapatan vegetasi antara utara dan selatan cukup jauh berbeda. Bahkan rata-rata curah hujan pada kedua wilayah ini cukup berbeda antara utara 1.569 mm/tahun dan Selatan 1.382 mm/tahun. Perbedaan-perbedaan tadi juga membawa konsekwensi ketersediaan pangan masyarakat. Perbedaan-perbedaan demikian membutuhkan pendekatanpendekatan bu-didaya pertanian, perkebunan, kehutanan yang berbeda-beda. Disain-disain perencanaan pembangunan di masing-masing wilayah sudah harus dimulai dari perbedaan-perbedaan diatas, sebagai contoh dari segi subsistensi pangan pada wilayah-wilayah selatan sudah harus dicari introduksi tanaman pangan tahan kering berupa gandum, jewawut dan lain-lain. Potensi desa-desa pesisir pantai selatan antara lain perikanan tangkap, perikanan budi daya perkebunan serta ternak. Sementara dari tengah ke utara lebih cocok dikembangkan tanaman sayuran, buah-buahan dan bunga. 8
3. Kinerja Ekonomi Rendahnya kinerja ekonomi ditandai dengan belum meratanya kepemilikan faktor-faktor produksi, yang menyebabkan produksi dan produksivitas rendah, daya beli rendah, pendapatan perkapita rendah. Walaupun dalam tahun 2002 pendapatan perkapita sebesar Rp.1.557.097,Masalah-masalah pembangunan sebagaimana sudah disebutkan masih terus berlanjut oleh karena kebijakan pembangunan kurang memihak kepada penduduk miskin, walaupun fasilitas pembangunan prasarana dan sarana selalu diadakan akan tetapi ternyata belum menyentuh inti permasalahan pokok.
Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan pokok yang ada, RPJMD Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2014-2019 merumuskan panca program prioritas pembangunan sbb: 1. Mempercepat Pemulihan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang meliputi: a. Penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. b. Pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai tulang punggung sistem ekonomi kerakyatan. c. Pengembangan produk unggulan daerah yang berbasis pertanian. d. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi, transportasi, dan irigasi. 2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia a. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesempatan memperoleh pendidikan serta peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. b. Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mengembangkan potensi daerah.
9
c. Melakukan kajian-kajian sosial-budaya sebagai bahan perencanaan dan pengambilan keputusan. 3. Peningkatan sarana dan prasarana pemerintah, termasuk didalamnya program perencanaan tata ruang daerah. a. Pengembangan prasarana pendukung pada wilayah strategis. b. Pengembangan jaringan perdagangan dan transportasi pada kawasan strategis dengan daerah sekitarnya yang mendukung akhir produksi dan distribusi antar desa dengan kota. c. Melakukan penelitian dan pendataan potensi daerah. d. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. e. Mengadakan evaluasi dan penyempurnaan Rencana Tata Ruang yang ada. f.
Peningkatan sarana dan prasarana perkotaan dan pedesaan seperti jalan, air bersih, pasar, listrik dan telepon.
4. Mewujudkan supremesi hukum dan pemerintahan yang baik (good governance) yang meliputi: a. Penerapan dan penegakan hukum dalam rangka otonomi daerah. b. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. c. Peningkatan kemampuan pemerintah kabupaten (capacity building). d. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik, Pemerintahan dan Pembangunan daerah. 5. Peningkatan kualitas kehidupan beragama, meliputi: a. Peningkatan kualitas pendidikan agama, kerukunan hidup antar umat beragama. b. Meningkatkan pelayanan dalam kesadaran bagi umat beragama, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan
10
pelayanan kehidupan beragama. c. Menyediakan sarana dan prasarana untuk kegiatan penerangan agama.
C. KECAMATAN MOLLO TENGAH Mollo Tengah merupakan salah satu kecamatan dari 32 Kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Secara administratif, luas wilayah Kecamatan Mollo Tengah adalah 99,69 km2, kecamatan Mollo tengah memiliki 6 desa. Sampai Tahun 2015 jumlah penduduk Kecamatan Mollo Tengah adalah sebanyak 7.375 jiwa yaitu laki-laki sebanyak 3.695 jiwa dan perempuan sebanyak 3.680 jiwa.
Gambar 2. Peta Kecamatan Mollo Tengah
Secara geografis Kecamatan Molo Tengah berada pada ketinggian 944 m dpl. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Kecamatan Mollo Tengah adalah sebagai petani. Kecamatan Mollo Tengah relatif cukup dekat dengan SoE, Ibu kota Kabupaten TTS. Secara administratif, Kecamatan Mollo Tengah memiliki
6 desa, yaitu:
11
1. Desa Binaus 2. Desa Oelbubuk 3. Desa Kualeu 4. Desa Pika 5. Desa Oelekam 6. Desa Nekemunifeto Secara geogerafis, Kecamatan Molllo Tengah memiliki wilayah berbukit dan pada beberapa bagian wilayah memiliki kemiringan yang cukup tinggi sehingga relatif sulit dijangkau terutama pada musim hujan. 1. Merupakan salah satu kawasan lindung yaitu kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya dan merupakan kawasan resapan air mutis 2. Merupakan kawasan rawan bencana geologi, rawan bencana gempa bumi 3. Termasuk dalam kawasan hutan produksi 4. Termasuk dalam kawasan peruntukan pariwisata memiliki air terjun Oehala sebagai salah satu obyek wisata alam di Kabupaten TTS 5. Kawasan strategis kabupaten untuk pertumbuhan ekonomi Molo tengah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan dan kawasan Agro ekowisata 6. Memiliki jumlah kematian ibu dan bayi yang relatif rendah 7. Jumlah kelahiran 96 8. Jumlah kematian neonatal 2 9. Jumlah kematian Ibu 0 10. Jumlah Pneumoni Balita 525 kasus 11. Jumlah diare 158 12. K1 60%; K4 74%; tolong nakes 74; jumlah ibu hamil: 185 13. Jumlah PUS 1.340 ; peserta KB aktif 59,4%
12
14. Jumlah bayi diberi Asi eksklusif 100% 15. Jumlah balita gizi buruk 24 16. Jumlah desa siaga 6 17. Jumlah dokter umum 1, bidan 5, perawat gigi 2,tenaga farmasi 1, tenaga gizi 1
D. DESA BINAUS Desa Binaus adalah salah satu dari 6 desa definitif di Kecamatan Mollo Tengah. Luas wilayah desa binaus adalah 16,61 km2. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan ke desa binaus adalah 500 m, sementara jarak dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 10 km. Gambar 3. Peta Desa Binaus
13
Jumlah penduduk Desa Binaus sebanyak 1072 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 538 jiwa dan perempuan sebanyak 534 jiwa. Sebagian besar penduduk desa binaus bekerja sebagai petani. Tingkat pendidikan masyarakat desa adalah sebagai berikut: tidak pernah sekolah: 70 orang; lulusan SD: 310 orang; lulusan SMP: 56 orang; lulusan SMA: 142 orang; Akademi: 10 orang; S1: 31 orang. Sarana dan prasarana yang ada di Desa Binaus antara lain, kantor desa (1 buah), Puskesmas (1 buah), Pustu (1 buah), Poskesdes (1 buah), Posyandu (1 buah), dan PAUD, TK , SD, dan SMP, masing-masing sebanyak satu buah. Terdapat sebuah gereja sebagai tempat ibadah di Desa Binaus. Selain itu, terdapat prasarana air bersih yang terdiri dari HU 15, PAH 3; PAMSIMAS 10; sumur gali 3, sumur pompa 1, dan tangki air 1. Tersedia juga 8 buah MCK umum dan 260 jamban sebagai prasarana sanitasi.
14
BAGIAN 1 Ume Kbubu, Neno Bo’Ha, Status Gizi Ibu-Anak, Perkembangan Kognitif dan Sosial Balita
1 Ume Kbubu Di Dusun II Desa Binaus Ferry F. Karwur1, Yamri F. Saekoko2 dan Kristiani D. Tauho1 1
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana 2Staf di Kantor Kecamatan Mollo Tengah Contact address:
[email protected]
Abstrak Di Desa Binaus terdapat 3 Lopo, yang mewakili 3 keluarga besar tradisional di desa ini. Sebaliknya, hampir setiap rumah tangga memiliki ume kbubu. Di Dusun II desa yang sama, terdapat 63 ume kbubu. Penelitian ini mendeskripsikan ume kbubu di Dusun II, khususnya pada 20 ume kbubu yang berada di jalan antara Op mauntaif – Nibulelo. Penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk rumah bulat di Dusun II Desa Binaus, yaitu lancip (50%), oval (25%) dan parabola (25%). Ukuran tinggi ume kbubu berkisar antara 2,8-4,8m, dengan presentase terbesar (45%) adalah kisaran 3,2-3,5m. Lingkaran ume kbubu berkisar antara 9,0-23m, dengan presentase terbesar adalah 14,117,0m (40%). Tinggi loteng dari tungku api, berada pada kisaran 1,7-2,6m dengan presentase terbesar adalah 1,7-1,8m (40%). Tinggi pintu masuk ume kbubu berkisar antara 0,5-1,4m dengan presentase terbesar adalah 0,9-1,0m (50%). Berdasarkan kapasitas penyimpanan jagung dalam satuan suku, ume kbubu di Dusun II dapat menampung jagung antara 50-230 suku dengan presentase terbesar adalah 90-120 suku (85%).
Kata kunci: ume kbubu, konstruksi ume kbubu, ukuran ume kbubu, Desa Binaus
A. PENGANTAR Ume kbubu atau juga dikenal dengan istilah rumah bulat adalah rumah tradisional orang Atoni Meto, yang adalah pusat aktivitas utama keluarga. Secara
tradisional, di rumah itu kehidupan dimulai, aktivitas keseharian ibu berlangsung, tata-aturan keluarga diatur, kehidupan ekonomi rumah tangga dikelola, pendidikan anak-anak berlangsung, serta peranan fundamental dan otoritas ibu ditegaskan. Dalam kehadiran bersama dengan ume kbubu, orang Timor memiliki rumah tradisional yang disebut lopo. Jika rumah bulat diasosiasikan dengan peranan perempuan dan sikap kerendahan hati, sebaliknya lopo dikaitkan dengan peranan lakilaki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Lopo merepresentasi kewibawan dan tanggung-jawab pria dalam konteks komunal. Peranan dan tanggung-jawab sosial laki-laki mungkin dapat digambarkan sebaliknya dengan ceritera lampau yang masih hidup di masyarakat bahwa di masa lampau, setiap lelaki penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.
Jika lopo letaknya di depan halaman rumah dan biasanya dipergunakan untuk menyimpan barang-barang yang berkaitan dengan adat istiadat setempat seperti gong dan alat tarian serta pengamanan barang-barang harta kekayaan (bale mnasi) milik bersama keluarga atau suku yang kadang kala disebut dengan bael nesaf (bernilai mahal), ume kbubu berada di belakang halaman, yang selain aktivitas memasak sehari-hari juga untuk menyimpan hasil-hasil pertanian. Di Desa Binaus terdapat 3 lopo. Ketiganya merupakan representasi keluarga besar di Binaus dan didirikan di tempat tua adat (Atoin Amaf) menurut alur keluarga pria. Ketiga Lopo tersebut berada di depan rumah (1) Bapak Bernadus Sanam yang adalah Usif, berasal dari rumpun keluarga Sanam, (2) Bapak Ayub Sanam, yang adalah Atoin Amaf dari rumpun keluarga Laisnima; dan (3) Bapak Dominggus Kase yang adalah Atoin Amaf dari rumpun keluarga Kase. Memperhatikan peranan kultural dan fungsional ume kbubu, maka dapat dipahami peranan penting ume kbubu bagi masyarakat Timor. Namun demikian, modernitas dan globalisasi tengah mengikis kebudayaan yang telah menjaga dan memelihara mereka itu. Tulisan ini melaporkan penelitian mengenai keberadaan, pembuatan, dan ragam bentuk ume kbubu yang ada di Dusun II, Desa Binaus.
18
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif ume kbubu yang ada di Dusun II Desa Binaus dengan tujuan untuk mendeskripsikan, bentuk luar ume kbubu, aspek konstruksi, dan cara pembuatannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September s/d Oktober 2009. Penelusuran dilakukan pada setiap keluarga di Dusun II didapati bahwa setiap keluarga selalu memiliki ume kbubu. Jumlah keseluruhan ume kbubu di
Dusun II Desa Binaus adalah 63 unit, dengan perincian, 15 unit di RT V, 26 unit di RT VI dan 22 unit di RT VII. Penelitian ini berfokus pada 20 ume kbubu yang terdapat di sepanjang jalan Op mauntaif sampai Nibulelo (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Peta Lokasi Ume Kbubu yang disurvei di Dusun II
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Ume Kbubu di Binaus Bentuk umum dan konstruksi ume kbubu sangat unik dan bervariasi. Atapnya menjurai sampai ke tanah berbentuk setengah oval dengan memiliki satu pintu masuk yang sangat rendah sehingga untuk masuk ke dalamnya harus menunduk. Dinding rumahnya melingkar dengan garis tengah umumnya 3–5 meter. Ume kbubu memiliki tinggi ±5–6 meter yang disesuaikan dengan perkiraan hasil dan luas ladang usahatani. 19
Umumnya rumah bulat terbagi atas 3 (tiga) ruangan yakni ruangan pertama sebagai tempat untuk melakukan aktivitas masak-memasak atau lainnya dengan tinggi ± 1,5 meter, ruangan kedua adalah para-para untuk menyimpan hasil pertanian (jagung) dengan tinggi ± 2 meter, dan ruang ketiga adalah ruang kosong di bawah atap dengan tingggi ± 2,5 meter.
Gambar 2. Ume Kbubu Ruangan pertama sebagai dapur ditandai dengan adanya tungku api sebagai tempat untuk aktivitas masak-memasak ±1,5 meter dari pintu masuk dan juga dengan tempat untuk menyimpan alat-alat makan dan memasak yang terletak di belakang tungku api. Aktivitas memasak terutama dilakukan oleh ibu dan anak-anak yang sudah bisa bekerja dilakukan 2–3 kali sehari. Aktivitas memasak dilanjutkan dengan makan di ruangan pertama rumah bulat. Masyarakat dengan rumah bulat lebih sering makan di dalam rumah bulat daripada rumah kotak, kecuali ada tamu.
Selain itu, di ruangan pertama ini dapat ditemukan juga tempat tidur yang biasanya diletakkan di bagian kiri atau kanan dari tungku api. Tempat tidur yang 20
tingginya sekitar 0,5m digunakan sebagai tempat beristirahat, terutama pada malam hari jika kondisi iklim lebih dingin. Terdapat tradisi bahwa orang lain selain ang-gota keluarga tidak boleh duduk ataupun tidur di tempat tidur yang ada, karena itu merupakan milik pribadi keluarga tersebut, sehingga jika dilanggar akan mendapatkan penyakit, tetapi tidak semua orang melakukan tradisi ini sekarang.
Aktivitas lain yang sering dilakukan di rumah bulat ialah beristirahat dan tidur. Aktivitas ini lebih cenderung dilakukan oleh para lansia, namun beberapa ibu juga tidur di rumah bulat, terutama pada masa 40 hari setelah persalinan. Selama masa tersebut, ibu dan bayi beraktivitas di dalam rumah bulat, termasuk memandikan bayi dan menyusui.
Gambar 3. Sketsa Pembagian Fungsional serta Ukuran Representatif Ume Kbubu
Ruangan kedua rumah bulat merupakan tempat penyimpanan jagung, hanya bisa diakses oleh ibu rumah tangga yang sah. Merupakan tradisi setempat bahwa ibu rumah tangga yang belum menikah secara adat (kaus nono) tidak boleh mengambil jagung di atas loteng karena akibatnya orang tersebut akan sakit. Suami hanya bisa naik ke loteng jika sudah mendapatkan ijin dari ibu, pada keadaaan tertentu seperti sakit atau sedang dalam masa nifas. 21
Pembuatan Rumah Bulat Ume kbubu di Dusun II memiliki bentuk dan konstruksi yang berbeda yang didasarkan dari bahan, ukuran dan kemampuan untuk menampung jagung maupun aktivitas lain seperti masak-memasak. Bahan-bahan yang dipakai untuk pembuatan ume kbubu umumnya adalah bahan-bahan lokal yang langsung diambil dari lokasi dalam Desa Binaus atau yang ada di Kecamatan Mollo Tengah dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi sesuai dengan ukuran dan bentuk dari rumah bulat. Bahan yang dipakai untuk pembuatan rumah bulat umumnya adalah kayu berbentuk bulat dan sebagian kecil menggunakan kayu berbentuk persegi. Tiang utama sebagai penyangga rumah dibutuhkan 4 batang kayu dengan ukuran tebal berbanding lebar kira-kira 20/20 atau 6/12, tergantung besar kecilnya rumah. Bahan penyangga pertama pada loteng tiang utama dibutuhkan 2 batang dengan ukuran 6/12 (cm) atau 5/10 (cm); bahan penyangga kedua pada loteng dibutuhkan 4 batang dengan ukuran 5/10 (cm); dan bahan penyangga ketiga pada loteng sebelum alas loteng dibutuhkan 6 batang dengan ukuran 5/7 (cm). Alas loteng biasanya dipakai bambu yang dibelah/dicincang atau papan (gambar 3).
Gambar 4. Balok penyangga loteng dan atap ume kbubu
22
Untuk tiang tengah yang letaknya di tengah-tengah loteng sebagai pembentuk atap dibutuhkan 1 batang kayu dengan ukuran 5/10 (cm). Untuk penyangga pembentukan atap yang disebut spar atau suaf dibutuhkan 20–24 batang dengan ukuran 5/7 (cm), untuk penyangga atap yang disebut lata sebagai tempat untuk mengikat alang-alang dibutuhkan 50–80 batang dengan ukuran ∅ 0,5–1 cm.
Gambar 5. Konstruksi rumah bulat sebelum diberi atap Tiang-tiang penahan dinding ume kbubu terbuat dari 20–24 batang kayu dengan ukuran 5/10 (cm). Dinding rumah terbuat dari bahan yang bervariasi, umumnya dari bambu yang dibelah atau dicincang. Namun demikian, ada pula yang menggunakan papan atau kulit papan. Jenis kayu yang digunakan umumnya dipakai yang kuat dan keras, yakni kayu kabesak dan kasuari. Lata atap menggunakan bambu atau bahan yang bisa lentur sehingga memudahkan saat diputar melingkar mengikuti bentuk rumah (Gambar 5). Atap rumah terbuat dari alang-alang atau sejenis rumput-rumputan yang mudah ditata dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi sedangkan bahan pengikat tiang-tiang digunakan tali dari kulit bambu muda atau dari pelepah daun gewang. Pembuatan ume kbubu dimulai dari penentuan tempat untuk dibangunnya ume kbubu, biasanya terletak di belakang rumah induk yang jarak dari ruah induk bervariasi 3– 6 meter. Tiang utama sebanyak 4 batang ditanam membentuk persegi empat dengan jarak yang bervariasi, tergantung ukuran ume kbubu yang akan dibangun.
23
Gambar 6. Bahan Bambu (kiri) dan Bahan Alang-alang (kanan)
Dua balok penyangga pertama dipasang pada tiang utama. Balok penyangga kedua sebanyak 4 batang disusun pada balok penyangga pertama secara berlawanan dengan jarak yang bervariasi sesuai bentuk rumah. Balok penyangga ketiga sekaligus tempat dasar loteng sebanyak 6 batang yang disusun sejajar dengan penyangga pertama dengan jarak yang bervariasi sesuai dengan ukuran rumah. Setelah itu di pasang tiang tengah sebagai penyangga atap dengan tinggi sesuai dengan bentuk atap yang akan dibuat, selanjutnya spar atau suaf sebanyak 20–24 batang dipasang dari puncak atap menjurai ke bawah dengan panjang bervariasi sesuai keinginan, umumnya ada yang sampai ke tanah ada juga yang tinggi 0,5–0,8 meter dari tanah. Selanjutnya loteng tempat penyimpanan bahan hasil pertanian dipasang dan dibuatkan pintu masuk ke ruang loteng. Dinding rumah bulat dipasang melingkar dan rapat pada tiang-tiang dengan ukuran 0,5–1 meter sehingga tidak ada ruang ventilasi kecuali pintu masuk. Kemudian lata tempat mengikat alang-alang dipasang secara melingkar dengan jarak 0,4–0,6 meter atau disesuaikan dengan panjang alang-alang yang akan dipakai. Pemasangan alang-alang dimulai dari bawah keatas dengan cara mengikatkan alang-alang itu pada lata bambu/kayu. Pekerjaan terakhir pembuatan ume kbubu adalah pembuatan pintu masuk yang tingginya sekitar 0,5-0,8 meter atau sesuai dengan keinginan, serta merapikan alang-alang pada pintu masuk.
24
Bentuk Morfologi Ume Kbubu Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun II Desa Binaus, didapati bahwa bentuk ume kbubu dapat diklasifikasi kedalam 3 bentuk yaitu bentuk lancip sebanyak 10 unit (50 %), bentuk oval sebanyak 5 unit (25
%) dan bentuk parabola sebanyak 5 unit (25 %). Tabel 7. Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan Bentuk No Bentuk
Frekuensi
Persentase
1
Bentuk I (Oval)
5
25
2
Bentuk II (Lancip)
10
50
3
Bentuk III (Parabola)
5
25
Jumlah
20
100
Konstruksi rumah bulat (ume kbubu) berpengaruh pada tinggi dari tanah, besar lingkaran, tinggi loteng dari tungku api, tinggi pintu masuk dan bentuk atap serta isi rumah bulat dengan demikian ada perbedaan khas dari tiap bentuk terhadap beberapa hal di atas.
Gambar 7. Rumah bulat Bentuk I (Oval)
25
Gambar 8. Rumah bulat Bentuk II (Lancip)
Gambar 9. Rumah bulat Bentuk III (Parabola) Hasil wawancara dengan warga diperoleh informasi bahwa bentuk rumah bulat sangat bergantung dari selera masing-masing akan tetapi mereka lebih menyukai bentuk lancip karena dapat menampung jagung lebih banyak dan lebih luas. Bentuk oval daya tampungnya kurang dan lebih sempit, sedangkan bentuk parabola cukup luas tetapi terlalu pendek jadi tidak bebas untuk bergerak.
26
Ukuran Ume Kbubu Tabel 1 menunjukkan bahwa ada variasi dari ukuran (tinggi dari dari tanah, besar lingkaran, tinggi loteng), bentuk atap (oval, lancip dan parabola) dan volume/isi rumah bulat (suku) pada ume kbubu di Dusun II Desa Binaus. Keragaman ukuran, bentuk atap dan isi ume kbubu disebabkan tiap Kepala Keluarga membuat/mendisain ume kbubu mengikuti luas lahan usahatani, jumlah keluarga dan rencana pemanfaatannya.
Tabel 1. Hasil Identifikasi ukuran ume kbubu di Dusun II Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Pemilik ume kbubu
Tinggi ume kbubu (m)
Besar
Tinggi
Tinggi
Isi ume
Lingkaran (m)
loteng dari tungku api
pintu masuk (m)
kbubu (suku)
Bentuk ume kbubu
Joni Kase
3.12
14.0
1.7
0.9
100
Lancip
Obet Songe
4.00
13.0
2.5
0.8
200
Lancip
Herman Lolomsait
3.30
16.3
1.9
1.2
100
Lancip
Yafet Kase
3.00
15.0
1.8
1.0
100
Lancip
Adam Tanesib
4.80
10.0
2.5
1.2
100
Oval
Zakeos Lolomsait
4.00
19.5
2.5
0.6
90
Parabola
L. A. Sanam
3.30
14.5
1.8
1.2
120
Oval
Yohana Tuan
3.30
16.0
1.8
1.0
100
Lancip
Thimotius Neken
4.00
18.2
2.5
1
150
Lancip
Roby Lolomsait
3.30
16.3
1.9
1.2
100
Oval
Cornelis Hauteas
3.30
17.2
1.8
1.0
100
Oval
Alexander T
3.40
15.3
1.9
0.5
100
Lancip
Paulus Tlaan
4.00
21.0
2.5
1.0
100
Parabola
Marthen Sanam
4.00
18.0
2.5
1.0
100
Oval
Bernadus Tuke
2.80
9.0
1.8
0.7
50
Lancip
Ayub Sanam
3.40
17.0
1.8
1.0
120
Parabola
Eben Sanam
4.00
10.6
1.9
1.0
100
Lancip
Yosina Sanam
4.00
19.0
2.5
1.0
100
Parabola
Yeskial Kase
3.40
16.0
1.8
0.6
100
Lancip
Yopiter Sanam
3.30
17.2
1.9
0.8
100
Parabola
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan petani menyatakan bahwa saat membuat rumah bulat tidak ada ukuran baku yang dapat dipakai oleh tiap Kepala Keluarga untuk keseragaman, kecuali dari sisi tiang utama 2 batang, balok penyangga
27
pertama 2 batang, balok penyangga kedua 4 batang, balok penyangga ketiga 6 batang dan bentuk atap yang umumnya lancip. Menurut mereka hal ini disebabkan masing-masing keluarga memiliki tanggungan dan luas lahan yang berbeda-beda.
Ukuran Tinggi Ume Kbubu Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun II Desa Binaus menunjukkan bahwa tinggi ume kbubu dari tanah lebih dominan 3,2-3,5 meter sebanyak 9 unit (45%), tinggi 3,6-4,0 meter sebanyak 7 unit (35%), tinggi 2,8-3,1 meter sebanyak 3 unit (15%) dan tinggi 4,5-4,8 meter sebanyak 1 unit (5%). Ukuran tinggi rumah bulat yang umumnya berkisar antara 3,2-3,5 m. Hal ini mungkin terkait dengan keberadaan pemukiman masyarakat di Dusun II yang terletak di area miring dan selalu rentan terhadap angin kencang. Menurut warga, tinggi rumah bulat biasanya disesuaikan dengan tempat berdiri misalnya tanah datar, kemiringan dan di atas gunung, disamping faktor antropometrik ibu, antara lain tinggi badan dari seorang ibu. Tabel 2. Kategori ume kbubu berdasarkan tinggi No
Ukuran Tinggi dari
Frekuansi
Presentase
tanah (m) 1
2.8 – 3.1
3
15
2
3.2 – 3.5
9
45
3
3.6 – 4.0
7
35
4
4.1 – 4.4
0
0
5
4.5 – 4.8
1
5
20
100
Jumlah
Ukuran lingkar ume kbubu Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun II Desa Binaus, menunjukkan bahwa ukuran lingkaran rumah bulat dapat dikategorikan sbb: (a) besar lingkaran rumah bulat 14,1-17,0 meter sebanyak 8 unit (40%), besar
28
lingkaran 17,1–20,0 meter sebanyak 6 unit (30%), besar lingkaran 9.0–11.0 sebanyak 3 unit (15%), 11,1–14,0 meter sebanyak 2 unit (10%) dan 20,1–23,0 meter sebanyak 1 unit (5%). Sebaran data ini memberikan gambaran bahwa rumah ume kbubu memiliki ukuran yang hampir seragam di semua unit yang diamati dengan kisaran pada ∅ 4.5 ∅ 11.0. Besarnya lingkaran ume kbubu ditentukan oleh volume atau isinya.
Tabel 3. Kisaran dan Frekuensi ume kbubu berdasarkan besar lingkaran No
Besar Lingkaran (m)
Range
Frekuansi
Presentase
1
9.0 – 11.0
2
3
15
2
11.1 – 14.0
2
2
10
3
14.1 - 17.0
2
8
40
4
17.1 – 20.0
2
6
30
5
20.1 – 23
2
1
5
20
100
Jumlah
Gambar 10. Pengukuran lingkaran rumah bulat
29
Tinggi loteng dari tungku Hasil pengamatan dan identifikasi sebagaimana terlihat pada Tabel 4, menunjukkan bahwa tinggi loteng dari tungku api 1,7–1,8 meter sebanyak 8 unit (40%), tinggi 2,3–2,4 meter sebanyak 7 unit (35%), tinggi 1,9–2,0 meter sebanyak 5 unit (25%). Sebaran data ini mengindikasikan bahwa tinggi loteng ume kbubu mengikuti tinggi orang dewasa, sehingga saat masuk ke dalam dan menaikkan jagung ke atas loteng serta menurunkan jagung masih ada ruang gerak, hal ini sejalan dengan pendapat dari masyarakat saat diwawancarai yang menyatakan bahwa tinggi loteng disesuaikan dengan tinggi orang dewasa. Tabel 4. Kisaran dan Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan Tinggi Loteng dari Tungku Api No
Tinggi Loteng dari tungku api (m)
Frekuansi
Presentase
1
1.7 – 1.8
8
40
2
1.9 – 2.0
5
25
3
2.1 – 2.2
0
0
4
2.3 – 2.4
7
35
5
2.5 – 2.6
0
0
20
100
Jumlah
Ukuran pintu masuk ume kbubu Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa tinggi pintu masuk dari tanah 0,9 – 10 meter sebanyak 10 unit (50 %), tinggi 1,1 – 1,2 meter sebanyak 4 unit
(20%), tinggi 0,5 – 0,6 meter dan tinggi 0,7 – 0,8 meter masing-masing sebanyak 3 unit (15%). Sebaran data ini menggambarkan bahwa rata-rata tinggi pintu masuk 0.5 – 1,2 meter sehingga setiap pemilik rumah harus menunduk ketika akan masuk ke dalam, hal ini disebabkan konstruksi dari rumah bulat yang dirancang untuk memfokuskan asap dari kegiatan memasak tidak keluar melalui pintu tetapi lang-sung pada jagung dalam ume kbubu sehingga ventilasi udara hanya dari pintu masuk.
Ketika memasak, biasanya pintu ume kbubu juga ditutup rapat sehingga asap hanya bergerak di dalam ruangan. 30
Tabel 5. Kisaran dan frekuensi ume kbubu berdasarkan tinggi pintu masuk dari tanah
No
Tinggi Pintu masuk dari tanah (m)
Range
Frekuansi Presentase
1
0.5 – 0.6
0.1
3
15
2
0.7 – 0.8
0.1
3
15
3
0.9 – 1.0
0.1
10
50
4
1.1 – 1.2
0.1
4
20
5
1.3 – 1.4
0.1
0
0
20
100
Jumlah
Ukuran ume kbubu berdasarkan kapasitas penyimpanan jagung Wawancara dan pengamatan terhadap kapasitas penyimpanan jagung 20 unit ume kbubu di Dusun II Desa Binaus didapati bahwa isi rumah bulat (ume kbubu) 90–120 suku sebanyak 17 unit (85%), 50–80 suku, 130– 60 suku, 170–200 suku masing-masing sebanyak 1 unit (5%). Suku adalah satuan banyaknya jagung yang dipanen, satu suku setara dengan 38 bulir jagung. Tabel 6. Kisaran dan Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan Kapasitas Menyimpan Jagung (Dalam Satuan Suku) No
Isi Rumah Bulat (suku)
Range
1
50 – 80
30
1
5
2
90 – 120
30
17
85
3
130 – 160
30
1
5
4
170 – 200
30
1
5
5
210 – 230
30
0
0
20
100
Jumlah
Frekuansi
Presentase
Hasil tersebut menggambarkan bahwa isi dari rumah bulat bervariasi, tergantung pada hasil panen yang didapat dan luas lahan usaha tani. Beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa rata-rata hasil panen saat hujan kurang baik 50–80 suku, akan tetapi saat hujan baik perolehan petani 100–150 suku. 31
D. KESIMPULAN Di Binaus, rumah tradisional orang Atoni Meto terdiri atas Lopo dan Ume Kbubu. Lopo hanya ditemukan di 3 rumah Tua Adat (Usif dan Atoin Amaf) yang mewakili 3 keluarga besar di Binaus, sedangkan Ume Kbubu terdapat di hampir setiap keluarga. Khususnya di Dusun II, terdapat 63 Ume Kbubu, yang terletak di belakang ‘rumah kotak” mengikuti arah jalan. Rumah-rumah bulat tersebut memiliki struktur umum yang mirip namun dengan bentuk yang bervariasi (lancip, oval, dan “parabola”). Ukurannya pun beragam, dan umumnya dalam pembuatannya disesuaikan dengan kepentingan lumbung pangan (banyaknya jagung yang disimpan).
DAFTAR PUSTAKA Anonim., 2001. NTT dalam angka tahun 2001. BPS Propinsi Nusa Tenggara Timur Anonim., 2003. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka. Penerbit Biro Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan. Anonim. 2004., Sistim Informasi Tata Guna Lahan Kecamatan Mollo Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan dan UKSW Salatiga, Penerbit Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Widyatmika, M. 1996. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Penerbit Pusat Penelitian UNDANA. Dima, T. K, Antariksa, A. M. N. Konsep Ruang Ume Kbubu Desa Kaenbaun Kabupaten Timor Tengah Utara. Jurnal RUAS, Volume 11 No 1, Juni 2013, ISSN 1693-3702 Saraswati, T. The occurrence of “empathiced, modern” buildings inside traditional environment in Boti village, Timor island. Dimensi − Journal of Architecture and Built
Environment, Vol. 42, No. 1, July 2015, 9-14 DOI: 10.9744/dimensi.42.1.9-14 ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online) Situmeang, V. S. N. 2013. Ume kbubu: household granary and food security in Timor Ten-gah Selatan. A Thesis. Department of International Studies and the Graduate School of the University of Oregon.
32
2 Kondisi Gizi Balita di Binaus dan Determinan-Determinannya Venti Agustina, Kristina D. Tauho, R.L.N. K Retno Triandhini, Sanfia T. Messakh, Ferry F. Karwur Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Contact address:
[email protected]
Abstrak Kurang gizi masih menjadi persoalan kesehatan utama di Pulau Timor, terutama pada anak dengan usia di bawah lima tahun. Kekurangan gizi tersebut mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial yang bersangkutan. Walaupun manisfestasi klinis keadaan kurang gizi, misalnya kurangnya asupan kalori dan protein, adalah mirip (antara lain kehilangan berat badan secara ekstrem, stunted, marasmus, kwashiorkor, dan/ atau maramuskwashiorkor), namun akar-akar masalah dan faktor-faktor penyebabnya dapat berbeda satu dengan lain daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan status gizi pada semua Balita pada Juli s/d Agustus 2014 di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan menganalisis faktor-faktor lokal yang diduga kuat menentukan kejadian kurang gizi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survey dan observasi, serta pengukuran antropometri yang kemudian dianalisa dengan menggunakan z-skor untuk menentukan status gizi pada semua (108) Balita di desa tersebut. Penelitian ini menemukan status gizi Balita berdasarkan Berat Badan/Umur pada bulan Juli 2014 sebanyak 86 Balita (87%) masuk dalam kategori gizi baik. Meskipun demikian masih ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita (13%), gizi buruk 1 Balita (1%). Balita dengan status gizi baik, gizi lebih dan gizi kurang didominasi oleh laki-laki dan status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan. Jika penilaian status gizi didasarkan pada Tinggi Badan/ Umur sebagian besar Balita masuk dalam kategori status panjang badan tidak normal yaitu pendek sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat pendek sebanyak 10 Balita (11,5%) dan
tinggi sebanyak 2 Balita (2,3%) dan Balita dengan status panjang badan tidak normal lebih banyak pada laki-laki, yakni 27 Balita (55,1%). Adapun faktor-faktor penting yang diduga mempengaruhi gizi Balita di desa ini adalah (a) pendapatan keluarga yang rendah dan tidak pasti, (b) pola pemberian makan terkait dengan faktor adat-istiadat setempat, serta (c) kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau. Determinan-determinan utama dari kondisi di atas adalah faktor (a) faktor kebijakan pembangunan, (b) kondisi iklim kering dengan sumberdaya air hujan terbatas, yang berimplikasi pada
kualitas tanah –khususnya ketersediaan hara—, (c) faktor sosial ekonomi (kemiskinan), dan (d) faktor sosio-kultural. Kata kunci: Status Gizi, Balita, Binaus
A. PENDAHULUAN Kurang gizi masih menjadi persoalan kesehatan utama di negara berkembang terutama di Asia dan Afrika. Pada tahun 2014 s/d 2016, Food and Agricultural Organization of United Nation - FAO (2015) memperkirakan terdapat 780 juta orang mengalami kasus kurang gizi. Angka ini menurun dibandingkan dengan data tahun 2012 s/d 2014 yaitu 805 juta jiwa. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan populasi penduduk terbanyak ke empat setelah Cina, India dan Amerika Serikat ikut menyumbang persoalan kurang gizi yang signifikan secara global. Global Nutrition Report (GNR) melaporkan Indonesia termasuk 17
dari 117 negara yang memiliki masalah stunting (37,2%), wasting (12,1%) dan overweight (11,9%). Di Indonesia, terdapat variasi prevalensi kurang gizi yang tinggi antar daerah/propinsi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2007, 2010 dan 2013 melaporkan bahwa terdapat enam propinsi di Indonesia yang selalu memiliki prevalensi kurang gizi tertinggi. Keenam propinsi dimaksud adalah: Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua Barat, Maluku, Aceh, Gorontalo,
dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan NTT menempati urutan pertama dari 18 provinsi yang memiliki prevalensi berat badan kurang/underweight dibanding dengan rata-rata nasional (Kemenkes, 2013).
34
Persoalan gizi di NTT sudah berlangsung lama. Pada tahun 1989 s/d 2007 ILO/WFP/UNICEF/Food Security Offices (World Food Program, 2010) melaporkan bahwa prevalensi stunting, underweight, dan wasting di NTT berada di atas prevalensi nasional, yakni berturut-turut sebesar 52%, 39,7%, dan 15,4%. Keadaan ini jauh lebih tinggi dari keadaan rata-rata nasional, dengan persentasi stunting, underweight, dan wasting berturut-turut sebesar 36,8%,18,4%, dan 13,6%
(Kemenskes, 2008). Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti UKSW-Pemda TTS tahun 2003 (Bappeda TTS - UKSW, 2003) menemukan bahwa dari 23.939 Balita yang ditimbang, 34,0% dalam kategori gizi kurang, dan 7,52% berada dalam kategori gizi buruk. Penelitian Riskesdas 2010 dan 2013 melaporkan bahwa di tahun 2010 prevalensi wasting dan underweight di NTT sebesar 9% dan 20,4%. Gizi kurang/buruk di tahun 2013 sebesar 33,1%. Prevalensi ini berada di atas prevalensi nasional yakni 17,9% pada tahun 2010 dan 19,6% pada tahun 2013 (Kemenkes 2010; 2013). Keadaan kurang gizi pada Balita jika dibiarkan dan tidak ditangani secara serius dapat mempengaruhi perkembangan fisik (stunted), mempengaruhi kemampuan intelektual, anak sulit beradaptasi dan menarik diri dari lingkungannya (Brown & Pollitt,1996). Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat berakibat pada kematian (Muller & Krawinkel, 2005). Selain itu kurang gizi pada fase awal kehidupan, dapat menyebabkan persoalan sindroma metabolik di kemudian hari
(Barker & Hales, 2001). Faktor-faktor penyebab gizi buruk pada Balita, dapat berupa kondisi kemiskinan, pendidikan, budaya, serta faktor alam (Anugraheni & Martha 2012; Brown & Pollitt, 1996; Deolalikar, 2005; Manongga dkk, 2008; Martianto dkk, 2008; Palekahelu dkk, 2008), asupan kalori dan protein yang kurang dari ibu menyusui, bayi dengan berat badan lahir rendah (Kusharisupeni, 2002), kebiasaan makan Balita, status kesehatan Balita, keadaan rumah, hygiene dan sanitasi rendah (Humprey, 2009; Desti & Dadang, 2012), pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, serta asupan kolostrum dan ASI yang kurang (Rahayu, 2011).
35
Mempertimbangkan begitu banyak dan luasnya faktor kurang gizi pada Balita dan menilai pentingnya konteks lokal dari keadaan kurang gizi, maka adalah penting melakukan penilaian dan analisis determinan-determinan yang signifikan bagi kejadian kurang gizi Balita di tingkat lokal/grass-root di NTT. Konteks lokal ini diharapkan dapat membantu dalam menginterpretasi data trend yang bersifat makro, baik itu di aras provinsi dan nasional. Penelitian ini adalah penelitian deskripsi status gizi Balita di Desa Binaus serta menganalisis mengapa persoalan gizi Balita masih bersifat persisten. Penilaian status gizi Balita yang dilakukan di Binaus ini menilai semua Balita yang terdaftar di Posyandu Desa Binaus. Dilakukan pula analisis konteks lokal mengapa kurang gizi masih terjadi secara berulang.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan antara bulan Juli hingga Agustus 2014 di Desa Binaus, Kec. Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan.Penelitian ini menggunakan metode survey dengan teknik pengukuran antropometri pada Balita yang melakukan penimbangan pada bulan Juli-Agustus2014. Untuk menggali faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi menggunakan kerangka pikir UNICEF’s Food and Nutrition Model tahun 1996 (UNICEF, 2013) dengan membandingkan hasil penelitian sekarang dan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan. Populasi dalam penelitian adalah semua Balita yang tercatat di buku register Posyandu sampai dengan bulan Juli 2014 yaitu sebanyak 108 Balita. Dari 108 Balita yang tercatat, hanya 100 Balita yang datang pada saat Posyandu bulan Juli 2014 dan dari 100 Balita ini hanya 87 Balita saja yang dapat diukur berat badan dan tinggi badan, karena 13 Balita lainnya menolak dan menangis saat hendak diukur tinggi badannya. Berdasarkan informasi dari kader dan ibu Balita lainnya, 8 Balita yang tidak datang dikarenakan 2 Balita sedang dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh dibawa keluar rumah dan 6 Balita lainnya diajak orang tuanya pulang kampung
36
serta diajak ke ladang. Tigabelas Balita yang tidak dapat diukur TB pada bulan Juli
2014, satu diantaranya telah keluar dari Posyandu Binaus dikarenakan pindah rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk dan 12 Balita lainnya didapatkan pengukuran TB di bulan Agustus 2014 sedangkan 8 Balita yang tidak datang saat Posyandu bulan Juli 2014, 7 diantaranya didapatkan pengukuran BB dan TB pada bulan Agustus 2014 dan 1 Balita telah keluar dari Posyandu Binaus dikarenakan pindah rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk. Pengumpulan
data
dilakukan
melalui
pengukuran
antropometri,
wawancara dan observasi secara langsung. Status gizi anak Balita didasarkan pada pengukuran antropometri yakni tinggi, berat dan umur. Data mengenai faktorfaktor penting penyebab kurang gizi dikumpulkan melalui participatory observation dan wawancara formal maupun informal pada orang tua Balita dan kader saat penimbangan Posyandu, kunjungan rumah pada orang tua Balita. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kategori status gizi (normal/kurang) ditentukan berdasarkan z-skor BB/U, TB/U. Anak dengan z-skor lebih rendah dari minus tiga standar deviasi (<-3SD) dikategorikan sebagai gizi buruk, lebih dari minus tiga standar deviasi sampai dengan minus 2 standar deviasi (>-3SD sampai -2SD) dikategorikan sebagai gizi kurang dan jika nilai zskor lebih dari minus dua standar deviasi sampai dengan plus dua standar deviasi (>-2SD sampai +2SD) dikategorikan normal, sedangkan lebih dari plus dua standar deviasi (>+2SD) dikategorikan gizi lebih.
C. HASIL PENELITIAN Layanan Posyandu untuk Balita di Binaus Di Desa Binaus terdapat 2 Posyandu. Posyandu I letaknya di Dusun I tepat di belakang kantor Desa Binaus dan Posyandu II berada di dusun II. Aktivitas penimbangan dan pengukuran tinggi badan Balita dari tiga dusun yang ada di
Binaus [yakni Dusun I (Aneotob), dusun II (Tofle’u) dan dusun III (Nishala)]
37
semuanya dilakukan di 2 Posyandu tersebut. Posyandu I letaknya di pinggir jalan utama ke Soe dan beraspal sehingga memudahkan Balita dan orang tuanya datang dibandingkan Posyandu II yang letaknya di pertengahan antara dusun II dan III, jauh dari jalan utama serta kondisi jalan yang naik turun dengan batu lepas. Ada satu Balita bersama ibunya yang berasal dari dusun III harus menempuh perjalanan kaki sepanjang ±2-3 km untuk sampai ke Posyandu II. Pada saat penelitian, Posyandu
I melayani 85 Balita dengan komposisi 44 laki-laki dan 41 perempuan. Mereka tinggal di RT 1,2,3,4,5 dan 9. Posyandu II melayani 23 Balita, 17 laki-laki dan 6 perempuan Balita yang tinggal di RT 6,7 dan 8. Umumnya Balita-Balita di Binaus datang ke Posyandu bersama dengan ibunya, namun dalam periode penelitian, ada dua Balita yang berada di Posyandu I dan II datang dengan ayahnya karena ibunya sedang bekerja di luar Soe. Sebagian besar Balita yang ikut Posyandu tidak pernah absen dari penimbangan setiap bulannya karena kader memberlakukan sistem denda berupa uang sebesar Rp.5000.- per bulan pada orangtuanya yang tidak membawa anaknya menimbang saat Posyandu. Selain itu, jika ada pembagian makanan tambahan (misal MP-ASI, biskuit), Balita yang tidak datang Posyandu tidak memperoleh makanan tambahan tersebut. Sampai bulan Juli 2014 di Binaus ada 108 Balita yang tercatat di buku register Posyandu dari umur 0 bulan hingga 60 bulan yang terbagi di dua Posyandu yaitu 85 Balita di Posyandu I dan 23 Balita di Posyandu II. Berdasarkan umur, mereka didominasi oleh Balita pada kelompok umur 25-60 bulan, yakni sebanyak 69 Balita (Gambar 1). Mereka berasal dari tiga dusun yaitu dusun Aneotob, dusun Tofle’u dan dusun Nishala. Sebagian besar Balita yang ada di Desa Binaus tinggal di sekitar dusun Aneotob dan dusun Tofle’u sehingga mereka melakukan penimbangan ke Posyandu I Sakteo, namun ada juga Balita yang tinggal di dusun Tofle’u ikut penimbangan di Posyandu II Sanbala mengingat jarak rumahnya lebih dekat ke Posyandu II Sanbala. Balita yang tinggal di dusun Nishala melakukan penimbangan di Posyandu II Sanbala, walaupun jaraknya ± 45 km, dengan jalan setapak yang berbukit dan bergunung. 38
Gambar 1. Karakteristik Balita di Desa Binaus Berdasarkan (a) Jenis Kelamin dan (b) Umur
1a
1b
Jumlah Balita yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan Balita perempuan (Gambar 1a) dan berdasarkan umur didominasi oleh Balita kelompok umur 25-60 bulan (Gambar 1b).
Status Gizi Balita Berdasarkan BB/U Dari total 108 Balita yang terdaftar di buku register Posyandu Binaus sampai bulan Juli 2014, hanya 100 Balita yang melakukan penimbangan pada bulan
Juli 2014. Dari 8 Balita yang tidak datang tersebut, diantaranya 2 Balita sedang dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh dibawa keluar rumah dan 6 Balita lainnya menurut keterangan dari kader dari ibu Balita lainnya diajak orang tuanya pulang kampung serta diajak ke ladang. Penelusuran terhadap ke-8 Balita didapatkan hasil bahwa 1 diantara 8 Balita tersebut telah keluar dari Posyandu Binaus karena pindah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oelbubuk dan 7 Balita menimbang pada bulan Agustus 2014. Status gizi dari 100 Balita berdasarkan data penimbangan bulan Juli 2014 didapatkan hasil bahwa 86 Balita memiliki status gizi baik, 13 Balita dengan status kurang gizi yang terdistribusi hampir merata antara kategori Balita kurang dari
39
2 tahun dan mereka yang berumur lebih dari 3 tahun. Ditemukan pula 1 Balita dengan status gizi buruk (Gambar 2a). Mereka yang bergizi kurang lebih dominan pada lakilaki, namun status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan (Gambar 2b).
Gambar 2. Status Gizi Balita Menurut Indeks BB/U Berdasarkan (a) Kategori Umur dan (b) Jenis Kelamin.
2a
2b
Status gizi berdasarkan TB/U Pengukuran status gizi juga dilakukan berdasar indikator TB/U. Jumlah Balita yang diukur tinggi badannya pada saat penimbangan Posyandu bulan Juli
40
2014 sebanyak 87 Balita dari 100 Balita yang menimbang. 13 Balita lainnya tidak diukur tinggi badannya karena ada yang menangis sambil meronta-ronta dan ada yang takut serta menolak saat dilakukan pengukuran tinggi badan. Gambar 3. Status Gizi Balita Menurut Indeks TB/U Berdasarkan (a) Kategori Umur dan (b) Jenis Kelamin
3a
3b
Gambar 3a menunjukkan bahwa sebagian besar Balita masuk dalam kategori status tinggi badan tidak normal yaitu, pendek sebanyak 32 Balita, sangat pendek sebanyak 10 Balita dan tinggi sebanyak 2 Balita. Terlihat pula bahwa Balita
41
dengan kategori status gizi pendek didominasi oleh mereka pada kategori umur 25-
60 bulan, ketimbang mereka yang berumur 0-24 bulan. Status gizi berdasar TB/U menurut jenis kelamin, didominasi oleh Balita lakilaki. Untuk status panjang badan pendek, sangat pendek dan tinggi terjadi lebih banyak pada Balita laki-laki dengan prosentase pendek 18 Balita, sangat pendek 7
Balita dan tinggi 2 Balita (Gambar 3b). Hal ini menggambarkan status gizi pada Balita laki-laki lebih bervariasi. Untuk mengetahui dinamika perubahan status dalam 2 periode waktu, yakni antara Juli dan Agustus 2014, dilakukan pengukuran status gizi berdasar BB/U dan TB/U pada Balita yang telah menimbang di bulan Juli 2014 dan menimbang kembali di bulan Agustus 2014 yakni sebanyak 87 Balita (Gambar 4). Gambar 4a menunjukkan perbandingan hasil penilaian gizi Balita berdasarkan BB/U pada bulan Juli dan Agustus 2014. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Juli terdapat 76 Balita berada dalam kategori gizi baik, namun pada bulan Agustus 2014 jumlahnya menurun menjadi 74 Balita. Dengan demikian terdapat pertambahan 2
Balita gizi kurang di bulan Agustus 2014. Pada bulan Agustus 2014, 76 Balita dapat diukur tingginya. Mereka yang pendek sebanyak 32 Balita dan yang sangat pendek 7 Balita. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya yakni 31 orang yang pendek dan 8 orang yang sangat pendek (Gambar 4b).
Status Gizi Balita Yang Tidak Melakukan Penimbangan Karena hanya 100 Balita yang ditimbang pada bulan Juli 2014, ada 8 Balita yang tidak berkunjung ke Posyandu. Penelusuran kepada 8 Balita yang tidak datang pada bulan Juli 2014 didapatkan bahwa penimbangan pada bulan Agustus 2014 dengan hasil sebagai berikut: 1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah desa mengikuti orang tuanya ke Desa Oelbubuk, 6 Balita dalam status gizi baik dan 1 Balita masuk kategori gizi kurang. Selain data BB/U peneliti juga melakukan penelusuran terhadap 13 Balita yang tidak bisa diukur TB pada bulan Juli 2014, namun melakukan penimbangan pada bulan Agustus 2014. Diperoleh data bahwa 1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah Desa mengikuti orang tuanya ke
42
Gambar 4. Perbandingan Status Gizi Balita di Binaus berdasarkan BB/U (4a) dan berdasarkan TB/U (4b) Berdasarkan Data Bulan Juli dan Agustus 2014
4a
4b
Desa Oelbubuk, 3 Balita pendek, 4 Balita sangat pendek, 1 Balita normal, 1 Balita tinggi dan 3 Balita tidak diukur tinggi badannya.
Peranan Lembaga Non Pemerintah Dalam Perbaikan Gizi di Binaus Masih ditemukannya kasus kurang gizi di Desa Binaus, mengundang keprihatinan Pemerintah dan beberapa LSM seperti World Food Program (WFP) dalam program pemberian makanan tambahan di sekolah bagi anak usia sekolah
43
dan biskuit bagi anak-anak di Posyandu. Pada tahun 2013 juga pernah diadakan program pengentasan gizi kurang pada anak usia di bawah lima tahun dimana kader merancang menu makanan, mengolah dan menyajikannya selama satu bulan berturut-turut. Oleh warga hal ini dipandang tepat. Namun di sisi lain program dari LSM ini bersifat “charity” dan berlangsung sementara tanpa ada kelanjutan, serta tidak adanya monitoring atas sejauh mana program ini berdampak pada status gizi Balita dan anak. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi bergantung pada bantuan dari luar.
Pengamatan Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Pengamatan terhadap faktor-faktor penyebab masalah gizi di Desa Binaus diperoleh dari kader dan orang tua Balita yang hadir pada saat penimbangan Posyandu serta saat kunjungan ke rumah kader atau orang tua Balita. Dari hasil wawancara dan observasi kepada ibu-ibu Balita, masalah gizi kurang dan buruk yang ada di Binaus disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi pada Balita yang disebabkan oleh pola pemberian makanan pada Balita yang sama jenisnya dengan orang dewasa dan lebih banyak mengandung karbohidrat (jagung bose), adanya kejadian penyakit infeksi, dan tradisi mengkonsumsi jagung bose (pen bose) pada ibu menyusui sehingga mempengaruhi asupan nutrisi bayi yang disusui. Dari hasil wawancara dan observasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah stunting pada Balita di Desa Binaus terutama disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah terkait dengan jenis pekerjaan dari orang tua Balita yang relatif kurang pasti (seperti tukang ojek, tukang kayu, tukang batu, tukang tambal ban dan bercocok tanam di kebun), pola pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum enam bulan (seperti pemberian jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau) sehingga ASI yang diberikan tidak lagi eksklusif, kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau sehingga keluarga harus menghemat sumber pangan dan mengkonsumsi makanan apa yang ada hal ini juga akan berimbas pada konsumsi
Balita yang ada di keluarga tersebut.
44
D. PEMBAHASAN Berdasarkan Gambar 2, bahwa dari 100 Balita yang ditimbang sebagian besar Balita berada pada status gizi baik sebanyak 87 Balita meskipun demikian masih ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita, gizi buruk 1 Balita. Kondisi gizi buruk juga pernah dilaporkan oleh Palekahelu dkk (2008) di daerah yang tidak jauh dari Binaus, yakni di Kec. Pollen. Pada tingkat yang lebih makro, data tingkat Desa ini ditopang oleh data keseluruhan keadaan di TTS bahwa terdapat 1.605 kasus gizi kurang dan 50 kasus gizi buruk (Depatemen Kesehatan RI, 2014). Dilihat dari jenis kelamin, penelitian ini menunjukkan bahwa variasi status gizi pada Balita laki-laki cenderung lebih bervariasi ketimbang pada Balita perempuan. Studi yang lebih cermat perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi data ini.
Status gizi Balita berdasarkan TB/U menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah Balita di Desa Binaus masuk dalam kategori status panjang badan tidak normal yaitu, pendek/stunted sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat pendek/very stunted sebanyak 10 Balita (11,5%) dan tinggi 2 Balita (2,3%) (Gambar 3) dan 11 Balita yang diukur pada bulan Agustus 2014 menunjukkan lebih dari setengah me-miliki panjang badan tidak normal, 6 Balita memiliki panjang badan pendek/stunted, 1 Balita sangat pendek/very stunted dan satu Balita memiliki panjang badan yang tinggi/tall. Dari hasil wawancara penyebab langsung kejadian kurang gizi pada Balita di Desa Binaus diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu asupan nutrisi gizi yang tidak adekuat. Hal ini didukung oleh wawancara dengan ibu Balita yang menyatakan bahwa selama ini anaknya tidak bermasalah dengan makan, apa yang disediakan pasti dimakan dan apa yang dimakan oleh anak sama dengan yang dimakan oleh orang tuanya seperti nasi, jagung bose (jagung katemak yang kulit bijinya dibuang dan dimasak dengan air) dan sayur-sayuran lainnya. Tidak ada menu dengan pengolahan khusus yang diberikan kepada Balita sehingga menu makanan setiap hari
45
bisa dipastikan hampir sama dan terutama bersumber dari karbohidrat saja. Selain konsumsi makanan yang berbasis karbohidrat, berdasarkan hasil observasi peneliti dan wawancara dengan ibu-ibu yang memiliki anak Balita khususnya di atas 1 tahun didapatkan hasil bahwa variasi konsumsi zat gizi dalam satu hari khususnya protein sangat sempit karena Balita mengonsumsi protein hanya dari kacang-kacangan saja yang dicampur dengan sayur atau dibuat sayur dan porsi konsumsinya belum tentu tiap hari. Adapun jenis kacang yang biasa dikonsumsi Balita di Desa Binaus adalah kacang arbila, kacang turis, kacang nasi yang dibuat sayur atau dicampur pada jagung bose. Padahal asupan protein yang disarankan adalah 10% sampai 20% dari asupan energi harian (Sharlin & Edelstain, 2011). Dengan melihat kondisi di atas, Balita di Binaus memiliki asupan energi yang cukup yang berasal dari makanan berbasis karbohidrat namun di sisi lain kemungkinan kekurangan asupan berbasis protein (dan kemungkinan juga kekurangan asupan lipid). Hal ini jika berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan tinggi badan dikarenakan anak mengalami kekurangan asupan protein meskipun konsumsi energinya cukup (Cahyono, Manongga, Picauly, 2016). Kecukupan protein pada anak juga dipengaruhi oleh konsumsi pada tingkat rumah tangga. Menurut Palekahelu dkk (2008), proporsi rumah tangga di Kecamatan Pollen (TTS) yang mengalami defisit protein berdasarkan tingkat konsumsinya adalah sebanyak 66,66%. Hal ini juga didukung oleh hasil Riskesdas tahun 2010 yang menyatakan bahwa provinsi yang penduduknya mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 80% dari angka kecukupan bagi orang Indonesia) adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (56,0%) (Kemenkes, 2010). Sebenarnya keterbatasan variasi bahan pangan yang dikonsumsi seperti yang terjadi di Binaus yang bersumber karbohidrat saja dapat dimodifikasi pengolahannya sehingga mampu meningkatkan zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh (Rimbawan & Nurbayani, 2013). Jika saja ibu-ibu Balita diberikan pendidikan kesehatan atau pelatihan bagaimana mengolah bahan makanan untuk meningkatkan nilai gizi seperti jagung yang bisa diolah menjadi kue dengan dikukus, ubi-ubian tidak hanya diolah dengan cara digoreng saja namun bisa dikukus, ditambah santan menjadi
46
bubur atau dibuat kue, hal ini besar kemungkinan dapat membantu meningkatkan asupan gizi Balita. Jenis makanan dan kandungan gizi mikro yang beragam dalam penyediaan makanan pada anak terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Ramakrishnan et al. 2009) Selain menu makan, pemberian makan yang tidak memadai pada 2 tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting seperti kurangnya proses menyusui, menyapih, praktik pemberian makanan tambahan (Eastwood, 2003). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada ibu-ibu yang pernah memiliki Balita menyatakan bahwa ada kebiasaan dari nenek moyang mereka saat bayi menangis menunjukkan bahwa bayi tersebut lapar dan menurut mereka ASI itu hanya minuman saja sehingga tidak cukup mengenyangkan oleh karena itu bayi harus diberi makanan padat seperti jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau padahal bayi belum waktunya diberi makanan tambahan. Dengan pemberian makanan tambahan ini praktek menyusui tidak lagi ASI eksklusif. Dengan kata lain bayi sudah diberikan makanan tambahan sejak umur 3 bulan. Kejadian ini juga sama terjadi pada Balita di Merauke yang sudah diberikan MP ASI sebelum 6 bulan (Wibowo, Santika, Harmiko, 2012) hanya saja Balita di Binaus MP-ASI dalam bentuk makanan padat seperti jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau.
Keadaan gizi kurang dan gizi buruk terkait erat dengan penurunan daya tahan tubuh dan oleh sebab itu gangguan penyakit infeksi. Hal ini ditopang oleh data penyakit infeksi di Puskesmas Binaus yang menunjukkan bahwa penyakit infeksi saluran pernafasan masih menduduki peringkat nomor satu pada anak-anak seperti batuk, pilek; diikuti dengan penyakit dengan gejala demam atau panas, serta gatal-gatal. Keadaan kurang gizi disebabkan oleh banyak faktor yaitu faktor ekonomi keluarga, ketahanan pangan keluarga, pengetahuan keluarga terhadap praktek pengasuhan anak, sanitasi kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar (UNICEF, 2013). Pokok permasalahan gizi terkait pengetahuan orang tua ialah persoalan pengetahuan tumbuh kembang anak. Orang tua Balita umumnya tidak mengetahui
47
bahwa anaknya mengalami masalah stunting (tinggi badan Balita lebih pendek dari yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu), mereka menganggap bahwa anak mereka dalam keadaan sehat. Salah satu orang tua menuturkan bahwa selama ini anaknya dalam keadaan sehat dan tidak ada keluhan penyakit apapun, namun dulu saat hamil banyak memantang makanan seperti ikan dan daun singkong, karena takut mengalami kesulitan ketika melahirkan pada saat menyusui mentabukan makan cabai karena takut anak akan mencret, tidak makan buah dan daun pepaya karena takut anak mereka akan mengalami gatal-gatal saat habis melahirkan. Jika ibu yang sedang hamil tidak terpenuhi asupan nutrisinya secara maksimal maka akan ada kemungkinan anak yang dilahirkannya akan mengalami BBLR, dan anak yang memiliki berat badan lahir rendah 20-40% akan menyebabkan terjadinya stunting (Lewit & Kerrebrock, 1997). Demikian juga saat ibu dalam proses menyusui asupan nutrisinya kurang akan membawa dampak kurangnya nurisi pada bayinya sehingga akan mengganggu proses tumbuh kembangnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramli et al. (2009) di Maluku bahwa prevalensi stunting anak usia 12–59 bulan adalah 38,4 % sedangkan untuk anak usia 0–11 bulan prevalensi stunting adalah 29%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian stunting pada Balita ada kemungkinan sudah dimulai pada saat janin dalam kandungan sampai dengan usia perkembangan. Faktor pendapatan keluarga menjadi faktor resiko yang mempengaruhi stunting Balita di Desa Binaus. Hasil pengamatan peneliti bahwa sebagian besar orang tua dari Balita yang mengalami stunting di Binaus ini bekerja sebagai tukang ojek, tukang kayu atau tukang batu, tukang tambal ban bahkan ada keluarga yang hanya mengandalkan hasil kebunnya saja untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal kondisi lingkungan yang kering hanya
memungkinkan aktivitas pertanian pangan
berlangsungantara November dan April. Dilihat dari jenis pekerjaan di atas dapat diperkirakan bahwa pendapatan keluarga masih rendah karena pendapatan keluarga bersifat tidak menentu. Dengan pendapatan keluarga yang rendah dan tidak menentu akan mempengaruhi apa yang dimakan karena terbatasnya daya beli keluarga terhadap bahan makanan yang dikonsumsi sehingga tak jarang keluarga hanya makan nasi atau jagung bose tanpa ada menu lain atau lauk-pauk lain karena
48
hanya ada bahan pangan itu saja yang bisa diolah. Lagi pula, hasil pendapatan rendah dipergunakan untuk keperluan lain seperti arisan, kolekte kegiatan agama dan sosial sehingga untuk kebutuhan makan sehari-hari benar-benar hanya mengandalkan cadangan pangan atau hasil panen. Hal ini yang menjadikan pendapatan keluarga menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan kejadian stunting di Binaus. Temuan ini didukung hasil penelitian Riyadi dkk (2006), Astri dkk (2006), dan
Ulfani dkk (2011) yang menemukan bahwa ciri rumah tangga anak stunted adalah pendapatan dan pengeluaran untuk pangan yang rendah dan status ekonomi yang rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas. Pendapatan keluarga yang rendah menjadi faktor penyumbang angka kemiskinan dan kemiskinan sendiri menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercukupinya asupan gizi pada anak. Keadaan ini terjadi di NTT (Rugadi dalam Kompas 23 Desember 2006). Hal lain yang harus menjadi perhatian serius adalah dampak dari stunting dikemudian hari yang menyebabkan anak mengalami ketidakmaksimalnya fungsi kongnitifnya (Brown & Pollitt, 1996). Seperti penelitian Picauly & Toy (2013) di Kupang dan Sumba Timur, NTT yang menunjukkan bahwa anak dengan stunting memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak yang non stunting. Tidak hanya secara kognitif, stunting juga menyebabkan masalah kematian pada masa-masa kanak-kanak dan mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh (Victoria et al, 2008). Selain masalah kemiskinan yang disebabkan oleh pendapatan yang rendah, Depkes (2008) menyampaikan bahwa masalah stunting juga dapat dipengaruhi oleh budaya keluarga. Desa Binaus masih adanya tradisi budaya Neno Bo’ha menjadi faktor yang mempengaruhi kondisi gizi Balita.Tradisi Neno Bo’ha adalah salah satu tradisi mayarakat suku Timor yang dilakukan secara turun temurun pada ibu menyusui selama 40 hari. Selama 40 hari ibu menyusui akan melakukan masa perawatan masa nifas di rumah bulat (Ume kbubu) dengan melakukan kompres panas (tatobi), panggang (se’i), dan mengonsumsi jagung bose (pen bose). Jagung bose yang dikonsumsi ibu menyusui, pada hari pertama sampai hari ke-7 tidak menambahkan
49
makanan lain. Makanan lain dapat ditambahkan pada jagung bose setelah melewati hari ke-7. Hasil penelitian Nuban & Karwur pada tahun 2013 (dalam buku ini yang berjudul Konsumsi pangan dan status gizi ibu-bayi yang mengikuti tradisi neno bo’ha) menyatakan bahwa sumber pangan yang dikonsumsi ibu menyusui/pasca melahirkan sebelum 40 hari didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein pada dua ibu yang menjalankan tradisi Neno Bo’ha di Desa Binaus. Jika ibu yang menyusui tidak terpenuhinya asupan gizinya akan berimbas pada asupan gizi bayi/anaknya sehingga kecukupan gizi pada bayinya juga akan rendah. Penyebab tidak langsung masalah gizi di Binaus yaitu kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau. Secara geografis iklim di NTT sebagian besar “semiarid”, dengan musim kemarau panjang (8–9 bulan) dan musim hujan pendek (3-4 bulan). Musim hujan yang pendek inilah yang berpengaruh pada pola tanam masyarakat di TTS yang juga berdampak pada kualitas tanah itu sendiri. Masa kemarau yang panjang mengakibatkan bencana kekeringan dan kegagalan penen di propinsi NTT bahkan hampir terjadi tiap tahunnya (Maryoto dalam Kompas, 2004). Bahkan bencana kekeringan menyebabkan ancaman kelaparan yang disebabkan ketidaktersediaan bahan makanan pokok seperti jagung, padi gogo dan kacangkacangan yang puso akibat kekeringan. Pada musim hujan masyarakat akan mulai menanam sehingga pada bulan-bulan tersebut masyarakat memiliki persediaan makanan yang cukup, namun pada musim kemarau, masyarakat akan dihadapkan dengan masa paceklik atau kekurangan pangan, karena masih menunggu saat panen tiba. Kekurangan pangan inilah yang diduga menyebabkan adanya bencana kelaparan dan habisnya persediaan pangan keluarga. Kurangnya stok pangan keluarga berpengaruh pada konsumsi pangan keluarga termasuk juga Balita yang ada di dalamnya ikut terkena imbasnya karena keluarga akan menghemat persediaan pangan selama musin kemarau sampai tiba saatnya musim panen berikutnya. Jika kondisi ini berlangsung lama dan terus menerus Balita akan mengalami kekurangan gizi dan pada akhirnya akan menimbulkan stunting. Hasil penelitian Deolalikar (2005) menemukan bahwa ada perbedaan yang cukup besar kejadian malnutrisi pada anak secara wilayah geografis.
50
Proporsi balita kurang gizi berdasarkan TB/U yang masih tinggi di Desa Binaus memberikan indikasi masalah gizi yang dihadapi bersifat kronis. Pada tataran faktor-faktor fundamental di daerah ini, faktor iklim kering (musim hujan yang pendek) yang menentukan hasil pertanian tahunan yang rendah, pendapatan keluarga yang rendah (kesempatan aktivitas off-farm yang terbatas) dan pendidikan keluarga yang rendah, diduga kuat bekerja secara simultan pada kemiskinan dan oleh sebab itu mempengaruhi keadaan gizi jangka panjang. Kebijakan Pemerintah yang tepat dengan memfokus pada peningkatan keadaan sosial ekonomi keluarga dan wilayah secara konsisten, serta tidak terperangkap pada pengerjaan proyek atau program yang bersifat sementara, sangatlah diperlukan.
E. KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan indikator status gizi berat badan, rata-rata Balita di Posyandu I dan II, Desa Binaus pada bulan Juli dan Agustus 2014 umumnya mempunyai status gizi baik. Meskipun demikian masih ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita (13%), gizi buruk 1 Balita (1%) 2. Berdasarkan indikator status gizi tinggi badan, jumlah Balita dengan ukuran tubuh pendek masih berada dalam jumlah yang signifikan, dengan persentasi Balita pendek sebesar 36,8% dan sangat pendek sebesar 11,5%. 3. Variasi status gizi Balita laki-laki lebih luas ketimbang variasi status gizi Balita perempuan. 4.
Penyebab masalah kurang gizi dan gizi buruk Balita di Desa Binaus disebabkan secara langsung pada kurangnya asupan nutrisi pada Balita yang disebabkan oleh pemberian makanan yang lebih banyak mengandung karbohidrat (mis:jagung bose), penyakit infeksi yang berlangsung lama, tradisi mengkonsumsi jagung bose
(pen bose) pada ibu menyusui. 5. Aspek penyebab masalah stunting pada Balita di Desa Binaus yaitu pendapatan keluarga yang rendah dan kurang menentu, kurangnya pengetahuan orang tua
51
terkait tumbuh kembang anak, kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau, dan faktor budaya. 6.
Kebijakan pemerintah seharusnya didorong pada program-program penguatan fundamental ekonomi dan pendidikan keluarga, yang dilaksanakan secara konsisten.
Ucapan Terima Kasih United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA), Pemerintah Kabupaten TTS, Bapak Ared Bilik, Bapak Nahor Tasekeb selaku Kepala Desa Binaus, Mama Lydia Peninean selaku Ketua PKK, Kader Posyandu I Sakteo dan Posyandu II Sanbala Desa Binaus dan semua warga Desa Binaus yang sangat berjasa dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anugraheni., Hana, S., Martha, I. K. (2012). Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Journal of Nutrition Collage. Vol. 1(1):30 Astri, LD., Nasution, A., dan Dwiriani, CM. (2006). Hubungan konsumsi ASI dan MP-ASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor. Me-dia Gizi dan Keluarga, 30(1),15-23 Bappeda TTS dan UKSW. (2003). Laporan Proyek Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Daerah Kabupaten TTS, Propinsi NTT. Pemda TTS dan UKSW, Hal.156 Brown, J.L. and Pollitt, E. (1996). Malnutrition, poverty and intellectual development. Sci. Am. 274(2),38-42 Cahyono, F., Manongga, S., Picauly, I. (2016). Faktor penentu stunting anak Balita pada berbagai zona ekosistem di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi dan Pangan, 11(1), 9-18
Cal dan Irn. (2005). Krisis Pangan di NTT Meluas ke 10 Kabupaten. Kompas, 14 Maret 2005 Deolalikar, AB. (2005). Poverty and child malnutrition in Bangladesh. Journal of Devel-oping Societies, 21 (1-2),55-90 Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa Teng-gara Timur Tahun 2007.www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_ NTT_ 2007.pdf (15 Desember 2011).
52
Departemen Kesehatan RI. (2014). Komunikasi Data Gizi dan KIA Terintegrasi. (internet). www.gizikia.depkes.go.id/data Desti, S.P., dan Dadang, S. (2012). Keadaan rumah, kebiasaan makan, status gizi dan status kesehatan Balita di Kecamatan Tamansari, Kab. Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan,7(3),163-168 Eastwood, M. (2003). Principle of Human Nutrition Second Edition, Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing Company, 643-654
Food and Agricultural Organization of United Nation (FAO). (2015). The State of Inse-curity in the World. Rome. Humphrey, JH. (2009). Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets and handwashing. Lancet, 37,1032-1035 Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429 Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429
Kusharisupeni. (2002). Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti 23,73-80. Lewit, E.M., and Kerrebrock, N. (1997). Population based growth stunting. Future Child, 7(2),149-156 Manongga, S.P., Raja Pono S.O., Palekahelu D., dan Karwur F. (2007). Status gizi dan kesehatan masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Jurnal Kritis, 20(2), 135-156 Martianto, D., Hadi, R., Dwi, H., Mien, R. O., Edi, D. S., dan Saleh, A. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB
den-gan PLAN Indonesia Maryoto, A (2004). Membaca Peta Rawan Pangan. Kompas 14 Januari 2004 Muller, O and Krawinkel, M. (2005). Review: malnutrition and health in developing countries. CMAJ, 173 (3),279-286 Palekahelu D., Manongga S.P., dan Karwur F., (2008). Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kritis, 19(3), 170-188 Picauly, I dan Yoy, S. (2013). Analisis determinan dan pengaruh stuntingterhadap pres-
53
tasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(1),55-62 Rahayu, LS. (2011). Associated of Height Of Parents With Changes Of Stunting Status From 6-12 Months To 3-4 Years [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Ramakrishnan U., Nguyen P., Martorell, R. (200). Effect of micronutrients on growth of children under 5 years of age: Meta-analyses of single and multiple nutrient interventions. Am. J.Clin Nutr, 8(9), 191-203 Ramli, Kingsley, EA., Inder, KI., Bowe, SJ., Jacobs, J., and Dibley, MJ. (2009). Prevalens and Risk Factors forStunting and Severe Stunting Among Under Five in North Maluku Province of Indonesia.NBMC Pediatric (internet). (Retracted from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov) Rimbawan dan Nurbayani, R. (2013). Nilai indeks glikemik produk olahan gembili (dis-corea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan, 8(2),145-150 Riyadi, H., Khomsan, A., Sukandar, D., Faisal, A., dan Mudjajanto, ES. (2006). Studi tentang status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin.Jurnal Indonesia Food, 29(1),33-46 Rugadi. (2006). Kemiskinan Berbuah Gizi Buruk di Nusa Tenggara Timur. Kompas 23 Desember 2006 Sharlin, J and Edelstein, S. (2001). Essesial of Life Cycle Nutrition, Jones and Bartlett Publisher, LLC. Ulfani, DH., Martianto, D., Baliwati, YF. (2011). Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stuntingdan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal Gizi dan Pangan, 6, 59-65.
UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition. New York: USA Victoria, C. G., Adair, L., Fall, C., Hallal, PC., Martorel, R., Richtere, L., Sachdev, HS., 2008. Maternal and child undernutrition: Consequences for adult health and
human capital. The Lancet,371(9609),340-357 World Food Program. (2010) Nutrition Security and Food Security in Seven Districs in NTT Province, Indonesia: Status, Causes and Recommendations for Response. Final Report. Jakarta and Rome. Downloaded from http://documents.wfp.org/ stellent/groups/public/documents/ena/wfp236825.pdf Wibowo, L., Santika, O., Harmiko, M. (2012). Survei dasar gizi dan kesehatan di wilayah kerja World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia di Kabupaten Merauke. Jurnal Gizi dan Pangan, 7(1),11-18
54
3 Survei Dampak Rumah Bulat dan Status Gizi Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Ibu Postpartum Yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah NTT Angkit Kinasih Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Contact address:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak rumah bulat dan status gizi terhadap kapasitas vital paru terhadap ibu post partum yang menggunakan kompres panas di Kecamatan MolloTengah. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode survei. Informasi dikumpulkan melalui wawancara yang ditujukan kepada 9 orang ibu post partum di Kecamatan Mollo Tengah. Kondisi rumah bulat diketahui dengan observasi dan pengukuran terhadap status gizi dilakukan dengan tes kapasitas vital paru. Hasil penelitiannya adalah responden yang memiliki kapasitas vital paru pada kategori restriktif ringan 44,4% dan normal 55,6%. Kondisi rumah bulat sebanyak 55,6% dalam kategori kurang baik, 44,4% pada kategori baik dan 0,0% dalam kategori sangat baik. Sedangkan kondisi ibu post partum sebanyak 55,6% mengalami resiko kurang energi kronis dan sebanyak 44,4% bukan merupakan resiko kurang energi kronis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tradisi tatobi pada ibu post partum di Kecamatan Mollo Tengah yang dilakukan di rumah bulat membawa dampak negatif terhadap kapasitas vital paru ibu. Hasil uji pengaruh menunjukkan ada pengaruh secara simultan kondisi rumah bulat dan status gizi terhadap kapasitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas sebesar 89,7%. Rendahnya kapasitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas di rumah bulat disebabkan buruknya kualitas udara dalam rumah bulat dan pengaruh panas akibat pemakaian kompres panas serta adanya pantangan makan pada ibu saat pasca melahirkan. Saran
yang diajukan hendaknya mengurangi waktu pelaksanaan tradisi tatobi dalam rumah bulat, petugas kesehatan hendaknya menggunakan pendekatan budaya dan adat istiadat setempat dalam peningkatan pelayanan kesehatan. Kata Kunci: rumah bulat, status gizi, kapasitas vital paru, kompres panas
A. PENDAHULUAN Kondisi yang terkait dengan kematian ibu di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup memprihatinkan. Tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) di sana adalah
306/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Secara khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), sebagai kabupaten penyumbang tertinggi angka kematian ibu di provinsi NTT yaitu berjumlah jumlah 46 orang, dengan angka kematian ibu hamil berjumlah 3 orang, kematian ibu bersalin berjumlah 11 orang, kematian ibu nifas 9 orang, dan kematian ibu 23 orang (Dinkes NTT, 2014). Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat tempat tinggalnya. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan bu-daya seperti konsep berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan reproduksi ibu dan kesehatan anak. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola ma-kan pada ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu, misalnya makan makanan yang mengandung sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting (Karwur dkk., 2012). Ibu post partum secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan wanita dewasa biasa (Supariasa dkk, 2002). Asupan nutrisi yang cukup untuk mengembalikan keadaan fisik seperti sebelum hamil juga dibu-tuhkan pada ibu post partum. Nutrisi yang dikonsumsi ibu post partum tinggi kalori dan protein. Nutrisi dibutuhkan oleh ibu post partum sebagai sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur tubuh supaya pertumbuhan dan perkembangan bayi
56
yang diberi ASI dapat tumbuh dengan sehat dan memperlancar ASI serta dapat mempertahankan kesehatan. Mollo Tengah merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih menjalankan kebiasaan tradisi pengasapan. Tradisi ini oleh masyarakat setempat biasa disebut “se’i” (Rachmalina dkk, 2013). Pada tradisi di daerah ini adalah ketika seorang ibu setelah melahirkan, ibu dan bayinya harus duduk dan tidur di atas tempat tidur dan di bawah kolong tempat tidur itu terdapat bara api yang harus tetap menyala. Lalu ibu post partum memanaskan bagian luar jalan lahir dengan asap dan mengkompres badan (tatobi) di dalam rumah adat selama 40 hari. Penyediaan kayu bakar dilakukan oleh suami ibu post partum yang nantinya dipergunakan sebagai bara agar api tetap selalu menyala dan mengeluarkan asap (Tauho, 2012). Maksud dari tradisi ini, agar badan dari ibu dan bayi cepat kuat. Selama melakukan se’i, ibu maupun bayi selalu menghirup udara tercemar mengingat bara api yang digunakan biasanya adalah bahan bakar biomasa (kayu bakar) (Athena dkk, 2014). Pembakaran kayu bakar biasanya mengeluarkan bahan pencemar berupa partikel debu (supended particulate matter) dan gas berupa karbondioksida (CO2), formaldehid (HCHO), oksida nitrogen (NOx), oksida belerang (SOx). Terhirupnya bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa iritasi saluran pernafasan sampai gangguan paru-paru (Rachmalina, dkk, 2013). Menurut WHO (2004), lebih dari dua juta penduduk miskin di dunia masih tergantung pada penggunaan biomassa (kayu, arang, kotoran hewan, ampas kelapa) dan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energi rumah tangga. Penggunaan bahanbahan tersebut berdampak pada meningkatnya polusi udara dalam ruang yang melebihi standar kualitas udara internasional yang berlaku. Keterpaparan ibu dan anak dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas dapat meningkatkan risiko penyakit seperti pneumonia, ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan kanker paru-paru dan diperkirakan dapat membuat meningkatnya proporsi penyakit berbahaya. Hal tersebut juga dapat meningkatkan terjadinya beberapa risiko kesehatan termasuk tinggi badan bayi lahir dan berat badan yang rendah.
57
Masyarakat di Kabupaten TTS-NTT percaya bahwa kompres panas (tatobi) bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa darah kotor dari rahim dan mengembalikan kekuatan tubuh ibu agar tidak mengalami sakit serta menutup kembali jalan lahir anak pada ibu. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan se’i dan tatobi dapat mengembalikan kondisi ibu pada keadaan yang seimbang. Proses pemberian kompres panas (tatobi) dilakukan di salah satu rumah tradisional yang disebut dengan istilah rumah bulat (Themone, 2014), dalam bahasa lokal disebut ume kbubu. Tatobi dilakukan selama 40 hari setelah ibu melahirkan dengan menggunakan kain tenun Timor (sarung, selimut, selendang) dan air panas lalu dikompreskan ke sekujur tubuh ibu. Ume kbubu merupakan bangunan berbentuk bulat, dengan atap yang berbahan alang-alang dan hampir menyentuh tanah. Lantai berbasis tanah, tidak ada jendela atau ventilasi serta perapian ada didalamnya (Karwur dkk, 2012). Dinding rumah bulat melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter dan terbuat dari kayu dan bambu. Pintunya berbentuk setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter (Gambar 1).
Gambar 1 Ume Kbubu (rumah bulat)
58
Mengingat resiko kesehatan yang mungkin timbul, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana bahaya yang dapat ditimbulkan sebagai akibat dari adanya kebiasaan dan perilaku masyarakat yang melakukan se’i dan tato-bi, termasuk untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan pengobatan penyakit akibat tradisi tersebut yang telah dilakukan. Hal tersebut penting untuk menentu-kan pola pembinaan, pelayanan serta pemberian sarana pendukung. Di samping data tersebut, juga dijajaki kemungkinan sumber daya dan jalur-jalur yang dapat dijadikan media intervensi bagi program kesehatan.
B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif pada umumnya menarik para peneliti, karena bentuknya yang sederhana dan mudah dipahami dengan tanpa memerlukan teknik statistika yang kompleks (Sukardi, 2007). Desain penelitian yang digunakan adalah etnografi. Menurut Mantja (2007) penelitian atau kajian etnografi bersifat holistik, artinya bahwa penelitian ini tidak hanya mengarahkan perhatian pada salah satu atau beberapa variabel tertentu yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu pengkajian. Pemilihan sampel penelitian ini secara purposif atau pengambilan subjek sampel yang didasarkan pada tujuan tertentu. Prosedur pengambilan sampel seperti itu mempunyai ciri sebagai berikut : (1) Sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu; (2) Pemilihan sampel secara berurutan dengan menggunakan teknik snowball sampling (3) Penyesuaian berkelanjutan dari sampel pada mulanya setiap sampel dapat sama kegunaannya, pada saat informasi semakin banyak diperoleh dan semakin mengembangkan hipotesis kerja, sampel dipilih atas dasar fokus penelitian; (4) Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring maka penarikan sampel dihentikan. Berdasarkan pedoman tersebut, subjek penelitian ini terdiri dari mereka yang memiliki beragam karakteristik, unsur dan nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek pokok penelitian ini. Subjek yang dimaksud terdiri atas kepala keluarga, ibu post partum, kader posyandu, dan kepala desa. 59
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Rumah Bulat terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisi rumah bulat yang digunakan dalam tradisi kompres panas (tatobi) adalah kurang baik yaitu sebesar 55,6%. Sebesar 66,7% rumah responden tidak memiliki sirkulasi udara yang baik, 88,9% rumah responden tidak memiliki penerangan yang baik dan sebesar 77,8% rumah responden memiliki tata letak ruangan yang tidak teratur dan tidak memiliki sekat permanen. Sirkuasi udara diperoleh melalui pintu kecil yang juga adalah akses keluar dan masuk ke rumah. Selain itu, bahan dinding rumah bulat yang terbuat dari bahan kayu dan bambu memungkinkan pertukaran udara dapat terjadi di seluruh permukaan dinding. Meskipun demikian pertukaran udara itu tidak optimal. Adanya aliran udara di rumah bulat dapat memberi pengaruh baik terhadap kualitas udara di dalamnya. Sebaliknya, aliran udara dapat memperburuk kualitas udara di dalam ruang rumah apabila udara di luar ruangan lebih tercemar. Kualitas pencahayaan alami yang diobservasi di rumah bulat cenderung rendah, bahkan satu rumah bulat terlihat sangat gelap. Ini berarti sinar matahari sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan tersebut. Rendahnya pencahayaan alami selain dapat menyebabkan ketidaknyamanan karena gelap, juga berisiko terhadap kesehatan karena mikroorganisme yang telah berada di ruangan akan tetap mencemari ruangan. Hal ini kemungkinan menjadi faktor penyebab tidak nyamannya ruangan dan tingginya proporsi ibu maupun bayi yang mengalami gangguan saluran pernafasan. Dilihat dari tata letak atau pembagian ruang di dalam rumah bulat, tidak beraturan karena semua kegiatan mulai dari memasak, tidur, dan proses tatobi jadi satu, dengan hanya berbatasan dengan selembar kain. Partikel debu yang berasal dari asap pembakaran kayu pada memasak dan kegiatan se’i, akan berbahaya
60
terhadap kesehatan karena apabila terhirup akan langsung masuk ke dalam paruparu dan mengendap di rongga kosong pada paru-paru (alveoli) (Yulaekah, 2007) .Tingginya kadar partikel debu di rumah bulat kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya proporsi ibu maupun bayi yang mengalami gangguan saluran pernafasan. Ditemukan bahwa ada dampak negatif rumah bulat terhadap kapastitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi). Hasil pengujian hipotesis menggunakan uji parsial diperoleh nilai t konstanta sebesar 9,145 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 dan t hitung sebesar 5,887 dengan nilai probabilitas sebesar 0,001. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari level of signifikan (0,05), yang berarti secara parsial ada pengaruh kondisi rumah bulat terhadap kapastitas vital paru. Nilai R square sebesar 0,832 yang berarti bahwa sumbangan efektif dari variabel kondisi rumah bulat (X1) terhadap kapastitas vital paru (Y) sebesar 83,2%, sedangkan 16,8% disebabkan oleh faktor lain.
Dampak Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum yang
Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 9 responden, 4 diantaranya memiliki bukan resiko Kurang Energi Kronis (KEK). Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada masyarakat Mollo Tengah, ibu setelah melahirkan harus menjalani tradisi se’i dan tatobi dalam rumah bulat. Pada tradisi ini terdapat beberapa larangan-larangan yang berkaitan dengan konsumsi makanan atau tradisi tidak boleh makan makanan tertentu dengan alasan-alasan tertentu. Perempuan yang baru saja melahirkan diharuskan taat terutama terhadap jenis makanan, aturan menyusui, aturan mandi dengan air yang cukup panas dan tinggal di rumah bulat. Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi, karena saat menyusui ibu sedang mengalami pemulihan, menstruasi dan menyusui bayi. Pada ibu menyusui banyak kehilangan zat-zat gizi mikro maupun makro seperti zat besi dan kalsium yang dikeluarkan melalui Air Susu Ibu (ASI).
61
Dengan demikian, pantangan makanan, baik dalam jenis, jumlah dan frekuensi akan berdampak negatif pada pemenuhan zat gizi pada ibu nifas. Hasil penelitian menunjukkan perawatan nifas yang dilakukan selama pelaksanaan budaya se’i bertujuan menunjang proses pemulihan dan mengembalikan bentuk tubuh ibu pada keadaan sebelum hamil. Pemenuhan zat gizi ibu pada pelaksanaan budaya se’i tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan ada pengaruh status gizi terhadap kapastitas vital paru. Dengan nilai R square sebesar 0,626 yang berarti bahwa sumbangan efektif dari variabel status gizi (X2) terhadap kapastitas vital paru (Y) sebesar 62,6%, sedangkan 37,4% disebabkan oleh faktor lain. Kondisi Rumah Bulat dan Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah
Kapastitas vital paru dapat diartikan sebagai kemampuan melanjutkan atau bertahan melakukan aktivitas fisik tertentu berkaitan dengan kelompok otot yang besar pada periode waktu tertentu yang menggambarkan kemampuan dari sistem sirkulasi dan respirasi untuk menyesuaikan atau memulihkan diri dari efek kerja atau latihan seluruh tubuh. Pada wanita pasca melahirkan terjadi perubahan fisiologis yang meliputi perubahan sistem reproduksi dan perubahan sistemik, serta perubahan psikologis. Perubahan sistemis meliputi perubahan sistem kardiovaskuler, urinaria, gastrointestinal dan laktasi (Pillitteri, 1999). Dalam penelitian ini ditemukan 4 dari 9 orang ibu post partum mengalami restriktive ringan. Ini berarti responden telah mengalami gangguan kerja paru yang dimungkinkan akibat menjalani tradisi se’i dan tatobi di rumah bulat. Tradisi se’i dan tatobi menyebabkan polusi udara dan mengganggu konsumsi oksigen ibu post partum. Hal ini diperparah dengan kondisi bahwa perempuan yang baru melahirkan harus dikompres dengan air yang cukup panas dengan harapan agar air susunya lancar mengalir. Selain itu, ibu harus tahan panas api yang tetap hidup di bawah tempat tidurnya (balai-balai) atau tempat duduknya (bangku) selama masa tertentu.
62
Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi fisik seseorang. Lingkungan tempat tinggal seperti temperatur, iklim, ketinggian tempat tinggal, akan berdampak terhadap perubahan fisiologis seseorang, wilayah tempat tinggal akan berpengaruh terhadap adaptasi fisiologis seseorang (Farida, 2015). Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa dijadikan perbandingan dengan adanya berkurangnya tekanan parsial oksigen (PO2), yang diakibatkan oleh menurunnya tekanan di dataran rendah dan dataran tinggi (Waani, 2014). Selain itu, Guyton (2000) membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari suhu udara dan kadar oksigen (O2) juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari permukaan air laut maka kadar oksigenya (O2) semakin sedikit, dengan adanya perbedaan tekanan parsial oksigen (PO2) yang terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh juga pada jumlah hemoglobin (Hb) dalam butir-butir sel darah merah. Dataran tinggi atau di daerah pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan menurun. Agar tubuh tetap mendapat jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang diperbanyak, yakni jumlah hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah akan bertambah. Pada daerah yang tinggi seperti di pegunungan, kadar oksigen (O2) dan tekanannya lebih kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau dataran rendah.
Adaptasi fisiologis atau aklimatisasi diperlukan bagi orang yang tinggal di dataran tinggi atau di pegunungan. Salah satu adaptasi fisiologis yang terjadi yakni kapasitas paru lebih besar dan kadar hemoglobin (Hb) darah menjadi banyak (Nala, 1992 dalam Sudiana, 2013). Dalam konteks di Kecamatan Mollo Tengah, berdasarkan pengujian statistik diketahui bahwa ada pengaruh secara simultan kondisi rumah bulat dan status gizi terhadap kapastitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas.
Nilai adjusted R square sebesar 0,897 menunjukkan bahwa secara simultan kondisi rumah bulat memberikan pengaruh sebesar 89,7% terhadap kapastitas vital paru dan selebihnya 10,3% dipengaruhi oleh faktor yang lain di luar kedua faktor tersebut.
Hingga saat ini di Kecamatan Mollo Tengah NTT, khususnya di daerah yang sulit dijangkau, masih berlaku tradisi bagi ibu yang baru melahirkan dan bayinya harus tinggal di rumah bulat sampai masa nifasnya berakhir. Mereka 63
diharuskan taat terutama terhadap jenis makanan, aturan menyusui, aturan mandi dengan air yang cukup panas dan tinggal di rumah bulat. Pantangan makanan tertentu pada ibu pasca melahirkan menyebabkan ibu menjadi kekurangan gizi, sehingga dimungkinkan daya tahan tubuhnya akan turun dan mudah terserang penyakit. Didukung dengan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat menjadikan ibu dan bayi memiliki resiko kematian lebih tinggi. Perempuan yang baru melahirkan harus dikompres dengan air yang cukup panas dengan harapan agar air susunya lancar mengalir. Ia pun harus tahan panas dari bara api yang tetap menyala di bawah tempat tidurnya atau tempat duduknya. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan otot-otot yang renggang selama masa kehamilan
dan
melahirkan.
Suaminya
berkewajiban
secara
tradisional
mempersiapkan batang kayu besar yang dibakar untuk pendiangan istrinya yang baru melahirkan. Meskipun demikian, menurut masyarakat setempat para ibu di sini sudah biasa, tak sesak nafas, sehat, demikian pula bayinya.
D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Rumah bulat membawa konsekuensi negatif terhadap kesehatan, khususnya ka-pasitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi).
2. Status gizi pada ibu post partum mengalami resiko KEK sehingga mempunyai dampak negatif terhadap kapasitas vital paru. Pantang makan pada masa nifas dapat menurunkan asupan gizi sehingga berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan produksi air susu. 3. Kondisi rumah bulat dan status gizi mengalami gangguan kerja paru akibat menjalani se’i dan kompres panas di rumah bulat didukung dengan konsumsi makanan pada ibu post partum hanya mengkonsumsi jagung bose saja tanpa ada tambahan lauk dan sayur. 64
DAFTAR PUSTAKA Athena, A dan Soerachman, R. (2014). Kesehatan Ibu Dan Bayi Yang Melakukan Tradisi Sei Dan Gambaran Kesehatan Lingkungan Rumah Bulat (Ume “Kbubu) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol.5 No. 1 April 2014:59-66.
Dinas Kesehatan NTT. (2014). Profil Kesehatan Tahun 2014. Hal: 21 & Tabel 6, Tersedia dalam:http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/ PROFIL_KES_PROVINSI_2014/19_NTT_2014.pdf SDKI. (2007). Demograpic and Health Survey. Farida. (2015). Perbedaan Volume Oksigen Maksimal (VO2Maks) pada Perempuan Usia 40-60 Tahun di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Dalam http://eprints.ums.ac.id/36855/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi. Ja-karta. EGC Karwur, F.F., dkk. (2012). Kaji Tindak Partisipasif. Salatiga: Fakultas Ilmu Kes-ehatan Universitas Kristen Satya Wacana
Mantja. (2007). Etnografi; Desain Penelitian Kualitatif Pendidikan dan Manaje-men Pendidikan. Malang: Elang Mas Themone, M. A. (2014). Gambaran Kejadian Infeksi Post Partum Pada Ibu yang Menggunakan Kompres Panas (tatobi) di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kes-ehatan. Tidak Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wa-cana. Pillitteri, A. 1999. Maternal and Childbearing Nursing: care of theChildbearing and cildbearing family. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Rachmalina, S dan Wiryawan, Y. (2013). Persepsi Dan Sikap Masyarakat Desa Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tentang Melahirkan. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 4 No 1, April 2013: 16-22. Sudiana. (2013). Dampak Adaptasi Lingkungan terhadap Perubahan Fisiologis. Procc FMIPA UNDIKSHA Vol. 3, No 1: 211-218 dalam http://ejournal. undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/viewFile/2708/2288 Sukardi. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara. Supariasa, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal
65
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Tidak Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Waani, Engka, Supit. (2014). Kadar Hemoglobin pada Orang Dewasa yang Tinggal di Dataran Tinggi dengan Ketinggian yang Berbeda. Jurnal e-Biomedik (eBM), Vol 2 No2 WHO. Comparative Quantification of Health Risks: Air Pollution from Household Use of Solid Fuels. Global and Regional Burden of Disease Attributable to Selected Major Risk Factors. WHO. Geneva 2014; 2:1435
Yulaekah. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur (studi di desa Mrisi Kecamatan Tanggung-harjo Kabupaten Grobogan). Thesis. UNDIP dalam https://core.ac.uk/ download/pdf/11717890.pdf
66
4
Konsumsi Pangan dan Status Gizi Ibu-Bayi Yang Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha Christiana E.H.Nuban, Ferry F. Karwur Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana Contact address:
[email protected]
Abstrak Tradisi 40 hari atau yang dikenal dengan Neno Bo’ha pada suku Timor merupakan salah satu tradisi yang dikenakan kepada ibu post-partum. Dalam tradisi ini, selama 40 hari ibu post-partum biasanya hanya mengkonsumsi jagung bose, karena diyakini mempunyai nilai gizi yang baik dan dapat merangsang produksi ASI lebih banyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi ibu post-partum dan bayi dalam tradisi Neno Bo’Ha di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang pengumpulan datanya menggunakan teknik recall makanan selama 24 jam dan pengukuran antropometri untuk mengetahui status gizi ibu dan bayi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang ibu post-partum dan 5 orang bayi usia neonatal (1–28 hari). Hasil penelitian menunjukan nilai asupan gizi (kalori, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1 dan C) yang diperoleh ibu setiap hari selama 40 hari adalah berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jumlah dan frekuensi makan serta jenis makanan yang dikonsumsi ibu. Status gizi ditemukan ibu post-partum memiliki berat badan rendah tingkat ringan pada minggu ke-2 hingga ke5. Sedangkan pada bayi ditemukan bayi diberikan susu formula, bubur instan dan bubur ulek pada saat berusia 14 hari. Selain konsumsi, status gizi bayi mengalami gizi buruk pada hari ke-1 hingga ke-9 dan gizi kurang pada hari ke-11 hingga ke-19. Kata kunci: status gizi ibu post-partum dan bayi, tradisi Neno Bo’ha
A. PENDAHULUAN Salah satu praktek budaya yang masih menjadi tradisi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah tradisi yang berhubungan dengan proses melahirkan. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Neno Bo’ha. Dalam tradisi ini, selama 40 hari ibu post- partum biasanya mengonsumsi jagung bose (makanan dari biji jagung tanpa kulit ari yang direbus), karena diyakini mempunyai nilai gizi yang baik dan merangsang produksi ASI menjadi lebih banyak. Dilakukannya tradisi ini karena sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun sehingga sulit untuk ditiadakan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi ibu post-partum dan bayi dalam konteks pelaksanaan tradisi Neno Bo’Ha.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten TTS. Partisipan penelitian terdiri dari 4 orang ibu post-partum dan 5 orang bayi usia neonatal (1-28 hari). Penelitian menggunakan penelitian kuantitatif deskriptif dan teknik pengumpulan datanya menggunakan recall makanan selama 24 jam. Kunjungan rumah dilakukan setiap hari ke rumah partisipan selama 40 hari. Pada kunjungan tersebut dilakukan recall makanan yang terdiri dari jenis, jumlah dan waktu makan 24 jam sebelumnya. Dilakukan pula observasi setiap 2 hari sekali mengenai cara pengolahan dan penyajian makanan, sedangkan pada bayi dilakukan observasi untuk mengetahui frekuensi dan durasi bayi mendapatkan air susu ibu (ASI). Hasil recall makanan tersebut kemudian dijadikan data dasar untuk menghitung nilai gizi pada bahan makanan yang dikonsumsi ibu dan bayi.
Selanjutnya untuk mengetahui status gizi ibu dan bayi, dilakukan pengukuran dan analisis antropometri. Data-data pengukuran antropometri tersebut sebagai berikut: 1. Berat badan (BB) dan lingkar lengan atas (LILA) ibu diukur 7 hari sekali,
68
2. Tinggi badan (TB) ibu diukur pada awal penelitian, 3. BB bayi diukur 2 hari sekali, 4. TB dan lingkar kepala (LK) bayi diukur 7 hari sekali. Data pendukung lain diperoleh melalui teknik wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara mendalam sesuai pertanyaan yang telah disiapkan sedangkan observasi dilakukan setiap hari selama 40 hari pada ibu post-partum dan bayi. Hasil wawancara diterjemahkan dan dibuat dalam bentuk verbatim, kemudian dianalisa data disajikan secara deskriptif.
E. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pangan Ibu Post-partum 1. Jenis Makanan Makanan yang selalu dikonsumsi selama 40 hari oleh ibu post-partum di Desa Binaus adalah jagung bose. Jagung bose adalah jagung pipil yang sudah dikeluarkan kulit arinya. Jagung bose dikonsumsi dengan cara direbus terlebih dahulu tanpa menambahkan atau mencampurkan bahan makanan lain selain kacang hijau dan kacang tanah. Ibu berpendapat bahwa ketiga makanan ini dapat meningkatkan produksi ASI. Makanan yang tabu dikonsumsi oleh ibu, yaitu kacang polong karena takut bayi mengalami diare. Selain kacang polong, garam dan lombok juga tidak dikonsumsi oleh ibu. Garam dan lombok tidak dikonsumsi dengan alasan akan menyebabkan perlukaan di perinium. Penelitian ini hampir mirip dengan hasil penelitian di Sudan, selama masa nifas ibu tidak mengkonsumsi bawang, lombok, dan kacang-kacangan karena adanya kepercayaan menganai mitos-mitos tertentu secara turun temurun (Elneim, 2014).
69
Dilihat dari konteks budaya, keyakinan yang didasarkan pada nilai budaya setempat mempunyai pengaruh terhadap jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu post-partum. Oleh karena praktek budaya ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Menurut Foster (1973) pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal, dapat berlanjut dan mempengaruhi proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan. Sesuatu yang diyakini atau dipelajari sejak masih kecil akan terbawa hingga usia dewasa.
2. Nilai Asupan Gizi Ibu Post-Partum Nilai asupan gizi yang dikonsumsi oleh ibu post-partum selama 40 hari yang diperoleh dari hasil recall makanan dihitung berdasarkan jumlah kalori, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1 dan C. Berdasarkan analisis mengenai nilai kecukupan gizi, diperoleh nilai kecukupan gizi kalori, protein, lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C pada ibu tidak mencapai nilai standar yang ditentukan. Hal ini mempengaruhi status gizi ibu sehingga mengalami kekurangan berat badan tingkat ringan selama 8– 40 hari. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian di Vientine. Penelitian yang dilakukan oleh Barennes dkk (2007), menemukan 25 orang ibu yang mengalami kekurangan berat badan karena kurangnya nilai asupan kalori, lipid, vitamin A, B1 dan C. Penelitian ini menunjukan nilai kecukupan asupan zat karbohidrat mencapai nilai standar yang ditentukan. Namun pada status gizi ibu ditemukan, berat badan yang rendah. Hal ini diakibatkan karena makanan yang dikonsumsi ibu walaupun mempunyai nilai gizi karbohidrat yang tinggi, tetapi kandungan zat gizi protein dan lemak rendah, bahkan tidak mencukupi nilai standar yang direkomendasikan untuk ibu post-partum. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan di Sudan yang menunjukkan 50% ibu mengalami obesitas karena mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori (Elneim,
2014).
70
Asupan vitamin A pada salah satu orang ibu, ditemukan sangat tinggi yakni 5590 mg pada hari ke-20. Hal ini disebabkan yang bersangkutan mengkosumsi 54 gram sayur singkong. Sayur singkong mengandung nilai gizi yang tinggi vitamin A dalam setiap 100 gramnya. Namun untuk hari-hari lainnya, kecukupan asupannya di bawah nilai standar yang direkomendasikan. Hal ini disebabkan ibu jarang mengkonsumsi makanan sumber vitamin A seperti sayur-sayuran. Haileslassie, dkk. (2013), mengungkapkan intake asupan gizi yang didapatkan melalui makanan yang dikonsumsi dan berada di bawah nilai rekomendasi, memungkinkan ibu dapat mengalami gizi buruk. Asupan nutrisi yang dikonsumsi ibu post-partum, pada penelitian ini dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat diperlukan asupan gizi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Sedangkan menurut Haileslassie, dkk (2013), untuk menghindari adanya gizi buruk maka ibu perlu mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam dan meningkatkan konsumsi vitamin A dan C. 3. Status Gizi Ibu Post-Partum Berdasarkan hasil perhitungan indeks masa tubuh ibu (IMT) serta berdasarkan tinggi dan berat badan, ditemukan status IMT ibu < 18,5 sehingga dapat dikatakan mengalami kekurangan berat badan tingkat ringan. Selain IMT, berdasarkan hasil pengukuran LILA, sehingga ibu termasuk pada kategori 89% berat badan kurang. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Laos. Penelitian yang dilakukan oleh Barennes, dkk (2007), mengatakan ibu post-partum yang mengalami penurunun berat dan memiliki nilai IMT < 18.5, dikarenakan tidak adanya akses ke tempat perawatan kesehatan dan tidak ada kerja sama antara tenaga kesehatan dengan ibu setelah post-partum yang berhubungan dengan gizi buruk. Penelitian lain yang dilakukan di Kamerun ditemukan 3,28% ibu yang mengalami masalah gizi berat badan rendah dikarenakan pengetahuan yang buruk pada praktik makan, pendidikan rendah dan status sosial ekonomi ibu (Mananga, dkk. 2014).
71
Berdasarkan hasil observasi, kekurangan berat badan ibu selama 40 hari disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai asupan nutrisi yang rendah, adanya praktek budaya yang diikuti selama masa perawatan nifas, konsumsi ibu yang tidak beraneka ragam, dan rendahnya pendapatan ibu. Selama 40 hari ibu hanya mengkosumsi ikan sebanyak 2 kali. Minimnya konsumsi ini disebabkan keterbatasan ekonomi. Temuan di atas menunjukkan kesamaan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Atmawakarta (2007) bahwa status gizi ibu dipengaruhi oleh kurangnya asupan gizi dari makanan, kurangnya pengetahuan ibu, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, perilaku dan budaya dalam pengelolaan makanan yang dikonsumsi.
Konsumsi Bayi Penelitian ini menunjukan bahwa bayi sudah diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada usia 14 hari. Jenis makanan yang diberikan adalah bubur beras yang diulek. Dalam konteks waktu pemberian MP-ASI, temuan ini hampir mirip dengan penelitian yang di lakukan di Nias. Penelitian yang dilakukan oleh Inayati, dkk (2012) menemukan 144 ibu telah memberikan MP-ASI pada bayi mereka, sebelum usia 6 bulan. Bayi yang sudah mendapatkan MP-ASI disebabkan karena keterbatasan pengetahuan ibu. Pada saat bayi menangis, ibu berpikir bahwa tangisan tersebut disebabkan oleh rasa lapar. Oleh karena itu, dengan memberikan MP-ASI, ibu mencoba memberikan rasa nyaman kepada bayinya. Faktor lain adalah karena memiliki saudara kembar. Berdasarkan hasil wawancara, ibu mengatakan merasa kewalahan jika keduanya menangis pada waktu yang sama. Menurut Muiz dan Hernanto (1998), ibu yang berpendidikan kurang yang memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat berusia 1–2 minggu setelah lahir. Sedangkan kelompok ibu yang berpendidikan cukup, memberikan makanan tambahan setelah bayinya berusia 1 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, maka ibu lebih mudah menyerap informasi tentang MP-ASI. Ibu akan
72
lebih tahu tentang makanan pendamping ASI, lebih mengerti manfaat dan cara pemanfaatannya sehingga MP-ASI diberikan tepat pada waktunya. Selain MP-ASI, pada hari pertama bayi dilahirkan sudah diberikan air putih sebagai makanan pralakteal. Alasan diberikan air putih sebagai makanan pertama bayi adalah adanya anggapan bahwa hal ini akan membuat bayi tidak merasa kaget ketika mendapat ASI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wadde dan Yadav di Lokhan di Sawargaon (2011). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan 40,2% ibu yang memberikan makanan pralakteal terhadap bayinya. Makanan pralakteal yang diberikan yakni susu sapi, kambing dan madu. Penelitian tersebut didukung juga oleh Leggese, dkk (2014), yang menemukan praktek pemberian makanan pralakteal pada bayi di Ethiophia, dilakukan karena kebiasaan secara temurun dan adanya keyakinan-keyakinan tertentu.
Status Gizi Bayi Berdasarkan hasil antropometri BB/U ditemukan bayi mengalami gizi buruk pada hari ke-1-9, dan gizi kurang pada hari ke-11-19. Hal ini disebabkan bayi mempunyai riwayat BBLR. Berdasarkan TB/U terdapat 2 orang bayi yang status gizinya sangat pendek dan pendek selama 40 hari. Hal ini disebabkan karena ibu mengkonsumsi makanan yang nilai asupan gizinya tidak mencapai nilai yang dianjurkan. Hasil penelitian di Ethiopia menemukan faktor yang berbeda dengan penelitian ini. Pada anak usia 6-59 bulan, terdapat 47,6% mengalami stunted, 30.9% underweight dan 16,7% wasted. Hal ini disebabkan faktor ekonomi dan pemberian makanan pralakteal pada saat lahir (Mengisthu, 2013).
Berdasarkan BB/TB terdapat 1 orang bayi yang overweight (gemuk) pada hari ke-3-39, hal ini disebabkan selama 40 hari bayi tersebut selalu mengkosumsi ASI dengan rata-rata frekuensi 9 kali sehari dan durasi 5 menit. Berdasarkan temuan di atas peneliti berpendapat bahwa pemberian ASI mempengaruhi berat badan anak. Faktor kurang makanan tambahan yang kaya karbohidrat mungkin ikut mempengaruhi.
73
D. KESIMPULAN Jenis makanan yang dikonsumsi ibu post-partum selama 40 hari, dipengaruhi oleh praktek budaya, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga. Sedangkan
kecukupan kalori, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1 dan C pada ibu yang kurang dari nilai standar disebabkan jenis makanan yang dikonsumsi ibu mempunyai nilai kecukupan gizi yang kurang. Ditemukan juga status gizi ibu berdasarkan IMT adalah <18,5 sehingga memiliki berat badan yang kurang, makanan yang dikonsumsi ibu tidak mengandung nilai tinggi dan tidak beraneka ragam. Di samping itu kecukupan gizi ibu kurang dari nilai standar yang direkomendasikan. Bayi yang telah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan disebabkan kurangnya pengetahuan ibu dan adanya praktek budaya yang diyakini dan dilakukan secara turun temurun. Status gizi bayi yang mengalami gizi kurang diduga karena makan yang dikonsumsi ibu tidak mengandung kandungan gizi yang cukup,
sedangkan jika dilihat dari status TB/U bayi termasuk sangat pendek karena diduga faktor keturunan dari ibu.
DAFTAR PUSTAKA Atmawkarta, A. (2007).Sasaran Pembangunan Nasional dan Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang pada Balita sampai dengan tahun 2025. Pertemuan Pembahasan Dampak Pembangunan Kesehatan sampai dengan 2025 Jakarta, 8 Mei 2007. Barennes,H., Simmala, C.,Odermatt, P., Thaybouavone, T., Vallee, J., Martinez-Ussel,B., Newton, P & Strobel, M. (2007). Postpartum traditions and nutrition practices among urban Lao women and their infants in Vientiane, Lao PDR.Department of Epidemiology, Institut Francophone pour la Me´decineTropicale, Vientiane, Laos. European Journal of Clinical Nutrition.1–9. Elneim, E.A.A. (2014). Dietary habits during the postpartum period among a sample of lactating women in Sudan. Department: Nutrition and Food Science University of Hail, Saudi Arabia. Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS).3.1. ISSN: 2320–1959.p- ISSN: 2320–1940. 01-06.
74
Foster, G.M. (1973). Traditional societies and technologies change. New York: Harper & and Row. Haileslassie., Mulugetas., &Girmana.(2013).Feeding Practices, Nutrional Status and Associated Factors of Lactacing Women in SamreWoreda, South Eastern Zone of Tigray, Ethiopia. Nutrition Journal. 12:28. Inayati, DA, et al. 2012. Infant Feeding Practices Among Mildly Wasted Children: A Retrospective Study on Nias Island, Indonesia. Int Breastfeed J. 2012; 7: 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). MakananSehat Ibu Menyusui. Jakarta: Direktorat Bina Gizi. Legesse,M., Demena,M., Mesfin, F &Haile.D. (2014). Prelacteal feeding practices and associated factors among mothers of children aged less than 24 months in Raya Kobo district, North Eastern Ethiopia: a cross-sectional study. International Breastfeeding Journal. 9:189. Mananga., M-J., Kana, M.M.,Nolla, N. P.,Ekoe, T&Gouado,G.I. (2014). Feeding Practices, Food and Nutrition Insecurity of infants and their Mothers in Bangang Rural Community, Cameroon. Nutrition & Food Sciences.J Nutr Food Sci. 4:2. Mengisthu,K., Alemu,K. & Destaw,B. (2013).Prevalence of Malnutrition and Associated Factors Among Children Aged 6-59 Months at Hidabu Abote District, North
Shewa, Oromia Regional State. J Nutr Disorders. 1-15. Muiz, Fatimah dan Hernanto. (1998). Pengetahuan ibu terhadap pesan-pesan mengenai pertumbuhan anak dalam kartu menuju sehat. Semarang: Majalah Kedokteran Diponegoro. Wade, S.,K & Yadav, B., V. (2011). Prelacteal Feeding Practices in a Rural Community. Indian Medical Gassete.337-341.
75
76
5 Riwayat Gizi Kurang dan Perkembangan Kognitif dan Sosial Pada Balita (Studi Kasus di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan) Sepriyanti D. Kabnani¹, Dian Toar Y.G Sumakul², Kristiani D. Tauho¹, R.L.N.K Retno Triandini¹, Ferry F. Karwur¹ ¹Fakultas Ilmu Kesehatan, ²Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected] Abstrak
Usia awal 0–24 bulan mendasari kehidupan seseorang, sehingga apa yang terjadi pada usia ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pemenuhan gizi sebagai salah satu kebutuhan dasar Balita terutama usia 0–24 bulan sebagai pendukung pertumbuhan maupun perkembangan, jika tidak terpenuhi akan mempengaruhi perkembangannya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan terhadap Balita usia 3–5 tahun yang memiliki riwayat gizi kurang atau buruk pada usia 0–24 bulan. Tujuannya untuk mengetahui status gizi dan status kesehatan saat ini, perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka pendek, memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosialnya (kecerdasan interpersonal). Penelitian ini adalah studi kasus yang dilakukan di Desa Binaus, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2013 terhadap 10 Balita sebagai kelompok kasus dan dan 6 Balita sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, berdasarkan indikator Tinggi Badan/Umur, 2 partisipan memiliki status gizi sangat pendek dan 1 partisipan memiliki status kurus (Berat Badan/Tinggi Badan), sedangkan pada kelompok kontrol semuanya memiliki status gizi baik. Berdasarkan Berat Badan/Umur, semua partisipan memiliki status gizi baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kecerdasan kognitif maupun interpersonal dengan status gizi pada kelompok kasus
maupun kontrol, karena rata-rata semua partisipan memiliki kecerdasan kognitif dan interpersonal yang baik. Kata kunci: Gizi kurang, kecerdasan kognitif, kecerdasan interpersonal
A. PENDAHULUAN Secara global, populasi anak dibawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang sebagaimana ditunjukkan oleh data berat badan rendah, pertumbuhan yang terhambat (stunted) dan wasting, masih sangat tinggi. Di Indonesia, prevalensi gizi kurang pada Balita (BB/U<-2SD) sebesar 18,4% (2007) dan 17,9% (2010) serta 19,6 % (tahun 2013) (Riskesdas, 2013). Provonsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bahkan memiliki prevalensi gizi kurang yang jauh lebih tinggi (bahkan tertinggi), yakni >50% (Departemen Kesehatan, 2013). Malnutrisi merupakan kejadian umum pada kelompok masyarakat miskin dan pada mereka yang memilik akses yang kurang terhadap pendidikan kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Malnutrisi meningkatkan risiko penyakit, risiko kematian awal, dan mempengaruhi semua kelompok umur. Masa pertumbuhan dan perkembangan pada usia awal (0–24 bulan) adalah masa-masa penting yang mendasari kehidupan seseorang. Apa yang terjadi pada usia awal akan mempengaruhi apa yang terjadi di usia-usia selanjutnya. Implikasinya gizi kurang di usia awal bukan saja akan mempengaruhi kesehatannya saat itu tetapi juga perkembangan ke depan. Anak dengan gizi kurang, memiliki perkembangan motorik, mental (kognitif, bahasa, perilaku), dan perkembangan sosial yang dinilai lebih jelek (Argawal et. al., 1992). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi dan status kesehatan saat ini, untuk mengetahui perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka pendek, memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosial (kecerdasan interpersonal) Balita yang memiliki sejarah gizi kurang.
78
B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan pada Tahun 2013, dengan partisipan 10 anak dengan riwayat gizi kurang atau buruk pada pada usia 0-24 bulan (kelompok kasus) dan
6 anak tanpa riwayat gizi kurang atau buruk (kelompok kontrol), dan pada waktu penelitian berusia antara 3-5 tahun. Riwayat gizi kurang dan anak gizi baik pada masa lalu diketahui melalui buku register penimbangan Balita dari Puskesmas dan KMS (Kartu Menuju Sehat). Dilakukan 4 jenis pengukuran data dalam penelitian ini, yaitu a) penentuan status gizi sekarang dan riwayat status gizi sebelumnya, b) pengukuran kecerdasan memori, c) pengukuran kecerdasan bahasa dan d) pengukuran kecerdasan interpersonal. Persetujuan didapatkan melalui inform consent yang ditandatangani oleh orangtua partisipan.
Penentuan Status Gizi Sekarang dan Status Kesehatan Status gizi sekarang dari setiap responden diukur melalui pengukuran antropometri meliputi Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) menggunakan zscore untuk mengetahui status gizi berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB. Teknik pengukuran yang dilakukan menggunakan alat bantu berupa timbangan dan meteran. Indeks Massa Tubuh (IMT) menggunakan kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks WHO tahun 2005. Status kesehatan anak saat peneliti mulai melakukan penelitian meliputi kondisi sehat-sakit yang ditanyakan peneliti kepada orang tua dan peneliti juga melakukan observasi, penyakit yang sedang diderita dan pengobatan yang sedang dijalani.
Pengukuran kecerdasan memori jangka pendek Kecerdasan memori jangka pendek (short-term memory atau working memory) yakni dapat menyimpan informasi selama 15 hingga 30 detik atau lebih, dengan asumsi tidak ada latihan atau pengulangan. Untuk mengukurnya, peneliti menunjukkan gambar buah-buahan (Mangga, Pepaya, Pisang, Apel, Nangka, Jeruk,
79
dan Jambu). Peneliti menyebutkan nama-nama buah yang ditampilkan dan anak diminta mengucapkan nama-nama buah yang ditampilkan satu persatu. Untuk mengetahui hasil memori jangka pendek peneliti menanyakan kembali (30 detik kemudian) nama buah yang tadi disebutkan untuk mengetahui berapa gambar yang masih diingat anak. Kemudian peneliti mencatat dan melakukan penilaian, anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang kuat jika anak usia 3-4 tahun mampu mengulang kembali 3-4 item dan anak usia 4-5 tahun mampu mengulang kembali 5-7 item. Anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang lemah, jika anak tidak mampu mengulang kembali semua nama-nama buah yang dtampilkan dengan benar atau tidak mampu mengulang sesuai jumlah item berdasarkan usia.
Pengukuran kecerdasan memori jangka panjang Kecerdasan memori jangka panjang (long term memory) adalah suatu proses memori atau ingatan yang bersifat permanen, artinya informasi yang disimpan sanggup bertahan dalam waktu yang sangat panjang. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penilaian setelah 3 minggu. Alat dan bahan yang digunakan yaitu buku, pensil dan contoh gambar. Peneliti menunjukan gambar segitiga, persegi pendek, lingkaran dan persegi panjang kepada anak, kemudian peneliti mengajak anak menggambar (segitiga, persegi pendek, lingkaran dan persegi panjang). Peneliti dan anak menyebutkan kembali gambar-gambar tersebut dan peneliti meminta anak menyebutkan kembali gambar dengan tepat dan benar. Untuk mengetahui kemampuan memori jangka panjang anak peneliti melakukan evaluasi dengan meminta anak menyebutkan kembali gambar-gambar yang telah diajarkan 3 minggu sebelumnya. Anak dikatakan memilik kecerdasan memori jangka panjang jika anak mampu mengulang kembali gambar yang sudah pernah diajarkan dengan benar. 3. Pengukuran kecerdasan bahasa Kecerdasan bahasa (linguistik) yaitu kecerdasan dalam mengolah kata, atau kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis.
80
Aspek kecerdasan bahasa yang diukur dalam penelitian ini adalah morfem. Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Alat dan bahan yang digunakan yaitu catatan daftar pertanyaan. Pengukuran perkembangan bahasa dalam penelitian ini dilakukan dengan metode, yaitu Mean Length of Utterance (MLU). MLU ditentukan melalui pengukuran jumlah morfem dari kalimat yang diucapkan. Nilai MLU berbanding lurus dengan kemampuan bahasa. Rumus perhitungan MLU adalah: Total jumlah morfem MLU =
Total jumlah kalimat/ucapan Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak, pertanyaannya adalah (1) Nama lengkap anak? (2) Nama panggilan anak? (3) Apa cita-cita anak jika sudah besar? (4) Apa yang dilakukan anak setiap kali bangun tidur? (5) Siapa yang memandikan anak? Sendiri/ dibantu? (6) Pekerjaan yang dilakukan anak saat berada dirumah? (7) Dengan siapa anak bermain? (8) Permainan apa yang biasanya dimainkan bersama teman-temannya? (9) Berapa kali anak makan dalam satu hari? (10) Apa makanan kesukaan anak? (11) Apa minuman kesukaan anak?. Peneliti mencatat pertanyaan dan jawaban anak karena pertanyaan dan jawaban
Kecerdasan interpersonal dengan keluarga Kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga menggunakan alat ukur membuat instrumen berupa daftar pertanyaan dengan mengadaptasi indikator penilaian kemampuan interpersonal anak mengacu pada teori Gardner (1993) yang diajukan kepada orang tua, antara lain: (1) Apakah anak mampu berkomunikasi dengan baik (memahami maksud yang dikomunikasikan) waktu berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah? (2) Apakah anak mampu membantu pekerjaan dirumah tanpa paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan makan kepada ternak, mencabut rumput, mencuci piring dll, (3) Apakah anak menunjukan rasa empati kepada orangtua atau saudara di rumah? dan serta dilakukan observasi untuk mengetahui apakah data yang disampaikan orang tua valid atau tidak.
81
Kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya Untuk menilai kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya peneliti mengadaptasikan indikator penilaian kecerdasan interpersonal menggunakan
Gardner (1993) yaitu, dikatakan anak anak memiliki kecerdasan interpersonal, apabila (1) Anak mudah berinteraksi dengan teman saat bermain, (2) Anak mampu bekerjasama dengan teman saat bermain, dan (3) Anak mudah menjalin persahabatan dengan teman sebaya. Peneliti mengajak anak bermain dengan teman-temannya yaitu bermain memasukan pensil kedalam botol dan bermain menggunakan balon kedua permainan ini mengharuskan anak berpasangan dengan teman yang lain. Peneliti melakukan penilaian dengan mengobservasi anak saat bermain dan mencatat perbincangan mereka.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Status Gizi Partisipan 1. Riwayat gizi masa lalu Sejarah gizi masa lalu berdasarkan data penimbangan Posyandu yang terdokumentasi di buku register posyandu dan Kartu Menuju Sehat (KMS) setiap partisipan bisa dilihat pada Grafik 1 dan 2. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus,15 orang anak yang memiliki riwayat gizi kurang. A1 mengalami gizi kurang usia 6 bulan (BB: 5,7) sampai usia 22 bulan (BB: 8,5). A2 mengalami gizi kurang usia 6 bulan (BB: 5,7) sampai 14 bulan (BB : 6,5) dan usia 15 bulan (BB: 6,4) status gizi A2 menjadi gizi buruk sampai sekarang usia 41 bulan (BB: 8,5) A2 masih mengalami gizi buruk. A3 mengalami gizi kurang usia 21 bulan (BB: 8,1) sampai usia 27 bulan
(BB: 9,2). A4 mengalami gizi kurang usia 10 bulan (BB: 6,6) sampai sekarang berusia 42 bulan (BB: 11,8). A5 mengalami gizi kurang usia 12 bulan (BB: 6,9) sampai 45 bulan (BB: 12,1). A6 mengalami gizi kurang usia 23 bulan (BB: 8,7) sampai sekarang usia 53 bulan (BB:12,3). A7 mengalami gizi kurang usia 1,1 bulan (BB: 7) sampai usia 36 bulan (BB: 9,9). A8 mengalami gizi kurang pada
82
usia 17 bulan (BB: 7,2), A8 juga tamat dari posyandu usia 60 bulan (BB) dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A9 mengalami gizi kurang pada usia 3 bulan, A9 juga tamat dari posyandu (usia 60 bulan) dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A10 mengalami gizi kurang usia 22 bulan (BB: 8,5) sampai tamat dari posyandu usia 60 bulan (BB: 12,7) dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang, usia 65 bulan (BB: 13,3) jadi status gizi A10 sekarang masih tergolong gizi kurang.
Gambar 1. Status Gizi Masa Lalu Kelompok Kasus
Gambar 2. Grafik Status Gizi Masa Lalu Partisipan Kelompok Kontrol Gambar 2 menunjukan anak dengan gizinya baik atau tidak memiliki riwayat gizi kurang (kelompok kontrol) dalam sejarah gizinya selalu baik atau mengalami peningkatan berat badan setiap bulannya. 83
2. Status gizi sekarang Untuk mengetahui status gizi anak berdasarkan KMS dan Z-Score. Tabel
1 menunjukkan bahwa status gizi sekarang pada kelompok kasus berdasarkan warna grafik KMS ditemukan 1 anak dengan gizi buruk, gizi kurang terdapat 4 anak dan gizi baik terdapat 5 anak. Sementara itu, pada kelompok kontrol semuanya memiliki status gizi baik. Berdasarkan Z-Score untuk indeks BB/U yaitu anak yang memiliki riwayat gizi kurang dan gizi baik semuanya mendapat indeks gizi baik, indeks TB/U untuk anak yang memiliki riwayat gizi kurang yang memiliki postur tubuh normal 8 anak dan postur tubuh sangat pendek 2 anak sedangkan kelompok kontrol semuanya memiliki postur tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi kurang dan anak yang dijadikan kontrol semuanya normal. Tabel 1. Status gizi berdasarkan KMS dan Nilai Z-Score Partisipan
JK
A1
P
A2 A3
BB (kg) TB (cm)
Nilai Z – Score
Warna grafik KMS
BB/U
TB/U
BB/TB
11,8
84,9
38 bln Hijau (GB)
P
8,5
72,4
41 bln Merah (GB) -3,5 (GB) -6,9 (sangat pendek) -0,4 (Normal)
P
12,5
88,2
42 bln Hijau (GB)
-1,3 (GB) -2,7 (normal)
-0,8 (Normal)
A4
P
11,8
89,5
42 bln Kuning (GK) -1,7 (GB) -2,7 (normal)
-0,7 (Normal)
A5
P
12,9
94,2
44 bln Hijau (GB)
-0,8 (Kurus)
A6
L
12,3
89
53 bln Kuning (GK) -2,3 (GB) -3,9 (sangat pendek) -0,3 (Normal)
A7
P
13,6
95
57 bln Hijau (GB)
-1,7 (GB) -2,8 (normal)
-0,6 (Normal)
A8
L
13,1
97,1
60 bln Hijau (GB)
-2,3 (GB) -2,7 (normal)
-1,5 (Normal)
A9
P
13,1
96,5
60 bln Kuning (GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal)
-1 (Normal)
A10
P
14,6
98,8
62 bln Kuning(GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal)
-1 (Normal)
B1
L
14,2
95,5
43 bln Hijau (GB)
0,6 (GB)
1,2 (normal)
0 (normal)
B2
P
14,3
96,2
43 bln Hijau (GB)
0,5 (GB)
0,9 (normal)
0,3 (normal)
B3
P
12,3
88,1
46 bln Hijau (GB)
1,7 (GB)
3,2 (normal)
0,2 (normal)
B4
L
13,9
93,5
49 bln Hijau (GB)
1,3 (GB)
2,5 (normal)
0,2 (normal)
B5
L
15
95,8
59 bln Hijau (GB)
1,4 (GB)
3 (normal)
0,6 (normal)
B6
P
16,1
105,8
59 bln Hijau (GB)
0,8 (GB)
0,7 (normal)
0,3 (normal)
Keterangan:
84
Umur
•
GB = Gizi Baik,
•
GK = Gizi Kurang
-1,4 (GB) -2,9 (normal)
-1,3 (GB) -1,5 (normal)
-0,6 (Normal)
3. Status kesehatan Tabel 2 menunjukan bahwa status kesehatan anak dengan riwayat gizi kurang usia 3-5 tahun yaitu 8 anak sehat dan 2 anak sakit yaitu A2 dan A5. Peneliti berkunjung kerumah A2 pada hari kamis 8 Oktober dan A2 sakit demam sejak 2 hari yang lalu dan orang tua sudah melakukan penanganan dengan membawa A2 ke Puskesmas. Sedangkan A5 peneliti berkunjung kerumahnya pada hari Sabtu 12 Oktober dan A5 juga mengalami sakit demam sejak 4 (empat) hari yang lalu dan orang tua sudah melakukan penanganan dengan membawa A5 ke Puskesmas. Tabel 2. Status Kesehatan Sekarang
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Status Kesehatan Sakit Inisial Hari / tanggal Sehat Jenis Sejak penyakit kapan Penanganan A1 Kamis, 10 Okt 2013 2 hari Ke A2 Kamis, 10 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas A3 Jumat, 11 Okt 2013 A4 Jumat, 11 Okt 2013 4 hari Ke A5 Sabtu, 12 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas A6 Kamis, 10 Okt 2013 A7 Jumat, 11 Okt 2013 A8 Kamis, 10 Okt 2013 A9 Jumat, 11 Okt 2013 A10 Sabtu, 12 Okt 2013 B1 Senin, 14 Okt 2013 B2 Senin, 14 Okt 2013 B3 Selasa, 15 Okt 2013 B4 Selasa, 15 Okt 2013 B5 Senin, 14 Okt 2013 B6 Senin, 15 Okt 2013
85
Kecerdasan memori jangka pendek Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara riwayat gizi anak dengan kecerdasan memori jangka pendek yang dimiliki oleh anak tersebut. Pada penelitian ini, hasil antara kelompok kasus dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang sama, sehingga tidak menunjukkan adanya pengaruh antara status gizi anak dengan kecerdasan memori jangka pendek anak. Keseluruhan hasil tes memori menunjukan semua anak yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki kecerdasan memori jangka pendek yang baik. Tabel 3. Analisa Hasil Tes Memori Jangka Pendek dan Memori Jangka Panjang Tes Memori Jangka Pendek Inisial Umur (bln) A1 38 bln
Tes Memori Jangka Panjang
Hasil
Ket
Inisial
Mengingat 4 gambar
KMK
A1
41 bln
Hasil
Ket
Mengingat 2 gambar
KML
Mengingat 1 gambar
KML
A2
41 bln
Mengingat 1 gambar
KML
A2
A3
42 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
A3
42 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A4
42 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
A4
42 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A5
44 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A5
44 bln
Mengingat 2 gambar
KML
A6
53 bln
Mengingat 6 gambar
KMK
A6
53 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A7
57 bln
Mengingat 6 gambar
KMK
A7
57 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A8
60 bln
Mengingat 6 gambar
KMK
A8
60 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
A9
60 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
A9
60 bln
Mengingat 2 gambar
KML
A10
62 bln
Mengingat 7 gambar
KMK
A10
62 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
B1
43 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
B1
43 bln
Mengingat 2 gambar
KML
B2
43 bln
Mengingat 6 gambar
KMK
B2
43 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
B3
46 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
B3
46 bln
Mengingat 2 gambar
KML
B4
49 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
B4
49 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
B5
59 bln
Mengingat 4 gambar
KML
B5
59 bln
Mengingat 2 gambar
KML
B6
59 bln
Mengingat 5 gambar
KMK
B6
59 bln
Mengingat 4 gambar
KMK
Keterangan:
86
Umur (bln) 38 bln
•
KMK = Kemampuan Memori Kuat
•
KML = Kemampuan Memori Lemah
Menurut Visu-Petra et. al., (2008), memori jangka pendek distimulus oleh proses recall. Pada hasil tes responden tidak dapat mengingat jenis buah yang tidak pernah mereka lihat atau jenis buah yang tidak ada di Desa Binaus seperti buah apel. Tetapi pada jenis buah lainnya yang sudah mereka lihat sebelumnya, responden dapat mengingat dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan hal tersebut tidak berhubungan dengan riwayat gizi pada responden tetapi berhubungan dengan kebiasaan seperti yang dikemukakan oleh Watson dalam Alwisol (2005). Menurut teori Behaviorisme, apa yang diperoleh seseorang pada saat ini adalah sesuatu yang telah dilakukannya secara berulang-ulang (berdasarkan pengalaman). Anak-anak yang mengalami kurang gizi memperoleh perhatian yang lebih dari orang tua. Walaupun tingkat penghasilan keluarga masuk dalam kategori rendah karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga diperoleh dari hasil kebun yang dijual ke pasar. Keluarga mengupayakan makanan yang bergizi untuk memperbaiki status gizi anak. Kramer et al., (1995) dengan menggunakan data The Third National Healt and Nutrition Examination Survey (NHANES III) menemukan adanya hubungan independen antara tingkat penghasilan keluarga yang rendah dengan skor kognitif anak yang rendah termasuk dalam skor tes memori jangka pendek. Tingkat penghasilan keluarga dalam penelitian ini masuk dalam kategori rendah karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga diperoleh dari hasil kebun yang dijual ke pasar.
Kecerdasan memori jangka panjang Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh antara riwayat gizi anak dengan kecerdasan memori jangka panjang yang dimiliki oleh anak. Pada penelitian ini, hasil tes antara kelompok kasus dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang sama, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara keduanya. Pada saat melakukan penelitian dengan cara mewawancarai para orang tua untuk mengecek memori jangka panjang anak, jawab orang tua yaitu “dia sonde belajar kaka, dia bermain sa terus” “Dia sonde belajar kaka setiap hari dia ambil buku ko coret-coret sa” (Dia tidak pernah belajar. Dia selalu bermain setiap hari. Dia tidak
87
pernah belajar dia hanya mencoret-coret buku). Menurut Gathercole (2005), mengenal kembali menunjukan hasil yang lebih baik daripada mengingat kembali, karena mengingat kembali menuntut seseorang untuk bekerja dua kali yaitu membangkitkan kembali itemitem informasi yang mungkin sesuai, atau mengenalinya sebagai item yang sebelumnya sudah disimpan. Sementara dalam mengenal kembali, informasi yang akan dipanggil akan langsung dikenali melalui penelusuran isyarat terhadap pilihan item yang disajikan. Menurut Tulving dan Thompson (1973), item informasi tersebut merupakan suatu isyarat penelusuran (retrieval cues) yang memudahkan seseorang dalam mengenali kembali suatu stimulus.
Beberapa anak baik dari kelompok anak dengan riwayat gizi baik maupun dari kelompok anak dengan riwayat gizi kurang yang menunjukkan nilai kemampuan memori lemah (KML) adalah mereka yang tidak melakukan recall (memanggil kembali / mengenal kembali), jadi bukan disebabkan karena riwayat gizi yang dimiliki anak. Jika dilihat dari prespektif lingkungan sosial anak usia dini jika sejak awal sudah diajarkan untuk mengenal kembali apa yang sudah dipelajari sebelumnya, hal ini akan sangat membantu anak meningkatkan kecerdasan memori jangka panjangnya.
Kecerdasan linguistik (bahasa) Hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat gizi kurang dengan kecerdasan linguistik (bahasa). Dari 14 orang anak yang menjadi responden dalam penelitian ini, hanya 3 orang anak dengan riwayat gizi kurang yang memiliki tingkat kecerdasan linguistik yang rendah, namun ada 11 orang anak lainnya yang menunjukkan tingkat kecerdasan linguistik (bahasa) yang baik. Hal serupa juga ditunjukkan oleh anak dari kelompok kontrol. Dari 12 orang anak yang memiliki status gizi yang baik, terdapat 2 orang anak yang menunjukkan tingkat kecerdasan linguistik (bahasa) yang rendah, sedangkan 10 orang anak lainnya memiliki tingkat kecerdasan linguistik (bahasa) yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat gizi kurang dengan tingkat kecerdasan linguistik anak. 88
Gambar 3 a) Grafik hasil tes linguistic kelompok kasus, b) Grafik hasil tes linguistic kelompok kontrol Bahasa pada manusia adalah fenomena innate sekaligus culture (Hauser et. al., 2002; Everett, 2012), input bahasa ini bisa didapatkan dari aspek budaya di mana anak itu berkembang. Selain input melalui membaca (Krashen, 2011), interaksi sosial dalam percakapan informal sehari-hari adalah bagian dari kultur yang merupakan salah satu bentuk pajanan di mana seorang anak belajar bahasa (Stivers et. al., 2009), yang secara tidak langsung akan berperan dalam perkembangan kognitif. Walaupun hidup dalam lingkungan kemiskinan dengan riwayat gizi kurang, dalam keseharian mereka, anak banyak terpajan kepada berbagai aktifitas budaya kolektif lewat cerita, permainan, maupun nyanyian bersama. Ini bisa menjadi bukti bahwa bahasa dapat menjadi salah satu alat intervensi budaya yang sensitif terhadap perkembangan kognitif.
Kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat gizi anak dengan kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya hasil yang sama antara anak dengan riwayat gizi kurang dan anak dengan riwayat gizi baik. Sebagian besar hasil menunjukkan anak-anak yang menjadi partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan interpersonal dengan keluarga yang baik. 89
Tabel 4. Penilaian kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga No 1.
Keterangan
Inisial Kelompok Inisial Kelompok Kasus Kontrol
P1 : Anak mampu berkomunikasi dengan baik (mampu A1, A2, A3, A4, memahami maksud dari yang dikomunikasikan) waktu A5, A6, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B5, B6 berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah A9, A10 P2 : Anak mampu membantu pekerjaan dirumah tanpa A1, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B4, paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan A6, A7, A8, A9, B5, B6 makan ternak, mencabut rumput, mencuci piring dll A10 P3 : Anak dapat menunjukan rasa empati kepada orang tua atau saudara dirumah
2.
A1, A2, A3, A4, A5, A6, A7, A8,
A9, A10 P1 : Anak tidak berkomunikasi dengan baik (tutur katanya halus, tidak mengeluarkan kata-kata kotor) waktu berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah P2 : Anak tidak membantu pekerjaan dirumah tanpa paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan A2 makan ternak, cencabut rumput, mencuci piring dll P3 : Anak tidak dapat menunjukan rasa empati kepada orang tua atau saudara dirumah
B1, B2, B3, B4, B5, B6 -
-
Berdasarkan penelitian ini, pola asuh yang dilakukan orangtua di NTT yang cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang lebih mandiri, seperti membiasakan anak-anak melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil (contoh: membeli keperluan dapur, mengambil barang yang ringan) menyebabkan anak lebih senang membantu pekerjaan orang tua tanpa paksaan dan memfasilitasi proses komunikasi informal.
Kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya Hasil penelitian kecerdasan sosial anak dengan teman sebaya di Desa Binaus menunjukan bahwa baik anak yang memiliki riwayat gizi kurang maupun gizi baik memiliki kecerdasan sosial yang baik. Kelompok kasus maupun kontrolsesuai hasil observasi pada saat bermain, didapati bahwa mereka semua mampu bekerjasama dengan teman, mampu berkomunikasi dengan baik dan mudah menjalin persahabatan.
90
Tabel 5. Penilaian Kecerdasan Interpersonal anak denga teman sebaya No 1.
Keterangan
Inisial kelompok kasus
Inisial kelompok kontrol
P1 : Anak mudah berinteraksi A1, A2, A3, A4, A5, B1, B3, B4, B5, B6 dengan teman saat bermain A6, A7, A8, A10 P2 : Anak mampu bekerjasama A1, A2, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B4, B5, dengan teman saat bermain A6, A7, A8, A10 B6 P3 : Anak mudah menjalin A1, A2, A3, A4, A5, B1, B3, B4, B5, B6 persahabatan dengan teman sebaya A6, A7, A8, A10
2.
P1 : Anak tidak mudah berinteraksi A9 dengan teman saat bermain
B2
P2 : Anak tidak mampu bekerjasama A9 dengan teman saat bermain P3 : Anak tidak mudah menjalin persahabatan dengan teman sebaya A9
-
B2
Adanya perbedaan hasil penelitian dengan penelitian yang terjadi di tempat lain (Brown & Pollitt, 1996) bisa disebabkan oleh pola asuh orangtua di NTT yang cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang lebih mandiri. Anak-anak sering dibiarkan bermain sendiri pada saat orang tua sedang bekerja. Hal ini mengakibatkan anak-anak sudah terbiasa beradaptasi dengan teman-teman sebayanya, sehingga mereka mampu bekerja sama dan membangun komunikasi dengan baik.
D. KESIMPULAN Status gizi sekarang pada kelompok kasus berdasarkan grafik KMS ditemukan 1 anak dengan gizi buruk, 4 anak dengan gizi kurang dan 5 anak dengan gizi baik. Sementara itu, pada kelompok kontrol semuanya memiliki status gizi baik. Berdasarkan Z-Score untuk indeks BB/U yaitu anak yang memiliki riwayat gizi kurang dan gizi baik semuanya mendapat indeks gizi baik, indeks TB/U untuk anak yang memiliki riwayat gizi kurang yang memiliki postur tubuh normal 8 anak
91
dan postur tubuh sangat pendek 2 anak, sedangkan kelompok kontrol semuanya memiliki postur tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi kurang dan anak yang kontrol, semuanya normal. Analisa hasil tes memori jangka pendek, memori jangka panjang dan kecerdasan linguistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan status gizi, baik pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol. Demikian juga hasil penilaian kecerdasan interpersonal
anak dengan keluarga dan teman sebaya yang tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak pada kelompok kasus maupun kontrol. Studi untuk mengetahui kemungkinan adanya aspek-aspek stimulasi sosial positif pada anak-anak yang kurang beruntung dari segi status gizi, sebagai suatu “sociocognitive safety-net”, perlu dipelajari lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Alwisol. (2005) Psikologi Kepribadian. Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang. Argarwal, D.K., Awasthy, A., Singh, P., Kumar, J., Agarwal, K.N. 1992. Growth, Behavior, Development And Intelligence In Rural Children Between 1-3 Years Of Life. Indian Pediatrics, volume 29 : 467-480 Brown J.L. & Pollitt E, 1996. Malnutrition, Poverty and Intellectual Development. Scientific American February 1996 : 26-31 Gardner, Howard. (1993). Multiple Intelligencies. Jakarta, PT Gramedia Pustaka. Gathercole, S. (2003) The development of memory. Journal of Child Psychology and Psychiatry. vol. 39 (1) : 3-27 Hauser M.D., Chomsky N., & Fitch W.T., 2002. The Faculty of Language: What Is It, Who Has It, and How Did It Evolve? Science. Vol 298: 1569-1579. Kramer RA, Allen LR, Gergen PJ. 1995. Health and social characteristic and children’s cognitive functioning: results from a national cohort. Am J Public Health. Krashen, S. D. (2011). Principles and Practice in Second Language A c q u i s i t i o n . Pergamon Press Inc. Stivers, T., Enfield, N. J., Brown, P., Englert, C., Hayasho, M., Helnemann, T., et al. (2009). Universals and cultural variation in turn-taking in conversation. PNAS, 106 (26) : 10587-10592. 92
Tulving, Endel, Donald M. Thomson. (1973). Encoding Specificity and Retrieval Processes in Episodic Memory. PsychologicalReview. Vol. 80(5):352-373 Visu-Petra, L., Benga O., & Cheie, L. (2008). Short-term memory performance and metamemory judgments in preschoolers using theSpence Preschool Anxiety Scales. Cognition, Brain, Behavior. An Interdisciplinary Journal. Vol 14 : 159-182.
93
94
BAGIAN I1 Kesehatan Maternal dan Proses Modifikasi dalam Neno Bo’Ha
6 Persepsi Masyarakat Terhadap Ibu Prenatal dan Postnatal di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yulianty Katsia Diantry Bata, Kristiani D. Tauho, Arwyn W. Nusawakan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Contact address:
[email protected]
Abstrak Persepsi masyarakat lokal adalah kumpulan tanggapan atau tafsiran mengenai suatu informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan melalui panca indera yang berkaitan dengan cara hidup dan masih dijaga dari generasi ke generasi. Ibu hamil di Nusa Tenggara Timur harus tunduk pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Ibu yang memasuki masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah proses melahirkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap ibu prenatal dan postnatal di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur yang hasilnya disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian mendapatkan 4 tema yaitu: aktifitas fisik selama kehamilan, pola makan ibu pada saat hamil dan setelah bersalin, kepercayaan selama hamil, dan sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Binaus memiliki pemahaman yang beragam terhadap ibu hamil dan ibu setelah bersalin. Kata kunci: persepsi, masyarakat, ibu hamil, ibu bersalin.
A. PENDAHULUAN Dalam rangka mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) untuk mengurangi tiga per empat jumlah perempuan yang meninggal selama hamil dan melahirkan pada tahun 2015, penurunan angka kematian ibu di Indonesia per 100.000 kelahiran bayi hidup masih dianggap terlalu lamban. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan Angka Kematian Ibu (AKI) yang cukup drastis dari 228 per 100.000 kelahiran menjadi 359 per 100.000 kelahiran. Dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, disebutkan penyebab kematian ibu antara lain perdarahan, infeksi dan tekanan darah tinggi (eklampsi). Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tingkat kematian ibu masih merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia dalam skala Nasional, Provinsi NTT merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang angka kematian ibu masih tinggi, yakni 300 per 100.000 jumlah kelahiran, dari total 230 per 100.000 jumlah kelahiran di Indonesia (Profil Kesehatan NTT, 2013). Berbagai terobosan berupa kebijakan telah dilakukan Pemerintah setempat untuk mengatasi kematian ibu seperti: Revolusi KIA, kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak di bawah lima tahun (Kibla), rumah tunggu persalinan dan berbagai program antisipasi lainnya. Namun, kasus kematian ibu dan anak, khususnya di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) masih tergolong tinggi. Hingga November 2014, kasus kematian ibu dan anak yang terekam di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten TTS berjumlah 20 orang, sementara pada tahun 2013 kasus kematian ibu dan anak berjumlah 24 orang (Profil Kesehatan Kabupaten TTS, 2013). Untuk mengantisipasi kasus tersebut, Pemkab TTS pada pertengahan November tahun 2014 mendeklarasi 7 aksi KIA yakni ibu hamil wajib melakukan pemeriksaan di sarana kesehatan, pemberian tablet tambah darah, imunisasi tetanus toksit, persalinan di sarana kesehatan, perawatan bayi baru lahir, imunisasi dan KB
98
pasca persalinan. Melalui 7 aksi itu, diharapkan dapat menurunkan kasus kematian ibu dan anak di Kabupaten TTS (Wulaningsih & Batubara, 2012) Tingkat kematian ibu dan anak mencakup beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang belum memadai baik dari segi jumlah dan kualitas, sumber daya manusia maupun sarana penunjang. Untuk faktor non teknis berhubungan dengan aspek sosial atau tingkah laku masyarakat (Saptono, 2013). Kemiskinan, akses terhadap pembangunan yang belum merata, serta faktor budaya yang menyangkut pemanfaatan sarana kesetahan yang tersedia serta adanya mitos dan tabu pun mempengaruhi masalah ini. Ibu hamil di NTT harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Sebagai contoh, di Kabupaten Kupang, ibu yang memasuki masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah proses kelahiran. Ibu yang sedang hamil dilarang mengkonsumsi ikan, dengan alasan air susu ibu akan berbau amis. Di Kabupaten TTS ibu yang baru melahirkan hanya diberi makan jagung bose tanpa garam. Jagung bose adalah salah satu makanan khas Nusa Tenggara Timur khususnya daratan Timor, yang di dalamnya banyak mengadung karbohidrat dan dapat dijadikan sebagai pengganti nasi. Jagung bose mengandung protein 9,6 gram dari 100 gram bahan baku. Kandungan energi (kalori) jagung lebih besar dari beras. Kandungan kalori pada setiap 100 gram beras 360 kalori, sedangkan jagung 368 kalori (Mahmud dkk, 2009). Ada juga larangan yaitu untuk tidak memberikan air susu pertama kepada bayi, karena dianggap kotor. ASI yang keluar pertama kali dan berwarna agak kuning itu dinilai kotor oleh masyarakat. Mitos-mitos dan kepercayaan lokal ini mengalahkan informasi-informasi kesehatan yang datang dari luar (Saptono, 2013). Fenomena-fenomena di atas mengisyaratkan bahwa terdapat perbedaan cara pandang terhadap ibu prenatal (masa sebelum melahirkan/hamil) dan postnatal
(masa setelah melahirkan) yang telah terbangun pada masyarakat setempat. Hal ini membuat studi mengenai memahami persepsi masyarakat lokal tersebut menjadi sangat menarik untuk dilakukan. 99
B. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, selama 1 minggu, dari tanggal 17 Juli sam-pai dengan 25 Juli 2015. Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat di Desa Binaus yang pernah melayani ibu hamil, ibu bersalin, dan pernah atau sedang hamil. Secara spesifik partisipan penelitian ini adalah kader posyandu, nenek urut (dukun beranak), ibu hamil, ibu pasca bersalin, dan ibu yang telah berpengalaman dalam proses prenatal hingga postnatal lebih dari satu kali. Partisipan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan purposive sampling dengan pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Untuk memperoleh data digunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi partisipasif. Langkah dalam menganalisa data yaitu hasil wawancara dibuat dalam bentuk verbatim, lalu disusun tema dan ditampilkan secara deskriptif. Peneliti juga melakukan observasi terhadap informasi yang telah dikatakan oleh partisipan dengan terlibat dalam aktifitas harian partisipan, khususnya mengamati makanan yang dikonsumsi oleh ibu bersalin.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bagian ini akan dipaparkan tema-tema yang diperoleh dari proses reduksi data. Adapun tema-tema tersebut meliputi: 1. Aktifitas fisik selama kehamilan 2. Pola makan ibu pada saat hamil dan setelah bersalin 3. Kepercayaan selama hamil 4. Sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil dan ibu bersalin
100
Aktifitas fisik selama kehamilan Aktifitas fisik ibu selama kehamilan berpengaruh terhadap kesehatan dirinya dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Aktifitas fisik selama kehamilan dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, menurunkan berat badan kehamilan dan menurunkan risiko preklampsia (Manuaba,1998). Aktifitas fisik pada ibu hamil akan meningkatkan proses metabolisme tubuh. Peningkatan metabolisme ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan selama proses metabolisme itu sendiri (Muhimah dan Safe’, 2010). Jenis aktifitas yang dapat ibu hamil lakukan seperti: senam hamil, jalan santai, dan berenang. Hal ini juga yang dianjurkan untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan di Desa Binaus kepada ibu hamil yang ada agar dapat melakukan senam atau olahraga untuk meminimalisir gangguan kehamilan yang muncul misalnya kelelahan, mudah sakit punggung dan pusing. Akan tetapi, persepsi yang dibangun oleh masyarakat di Desa Binaus bahwa aktifitas fisik atau olahraga selama kehamilan dapat dipenuhi melalui kegiatan seharihari yang mereka lakukan, seperti pergi ke kebun dan mengambil air di sungai. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa aktifitas tersebut akan memudahkan ibu hamil di saat proses persalinannya nanti. Hal ini sependapat dengan Andrew dan Boyle (2008) tentang perilaku suku Indian bahwa ibu yang aktif secara fisik selama kehamilan dapat membantu pernapasan bayi (Andrews & Boyle, 2008).
Fakta ini ingin menunjukan bahwa konsep aktifitas fisik dipahami oleh masyarakat umum tidak harus sebagai olahraga atau exercise, namun bisa dipahami sebagai aktifitas fisik yang dapat dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.
Pola makan ibu pada saat hamil dan setelah bersalin Salah satu faktor yang akan menentukan kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Mitayani, 2010). Status gizi merupakan hal penting untuk diperhatikan selama masa kehamilan karena berpengaruh terhadap status kesehatan ibu serta pertumbuhan dan perkembagan janin yang dikandung. Bila gizi ibu normal pada masa sebelum 101
dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat dengan berat badan yang normal. Secara medis, gizi pada saat kehamilan adalah zat makanan yang dibutuhkan oleh ibu hamil setiap hari dan mengandung zat gizi seimbang dengan jumlah sesuai kebutuhan yaitu energi, kalori, zat besi, protein, mineral, kalsium dan vitamin (Kusmiati, 2008; Almatsier, 2009; Mitayani, 2010; Aritonang, 2010). Persoalan makan bukanlah hanya tentang asupan biologis saja. Makan dan makanan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek termasuk psikis, spiritual, dan sosial budaya (Koentjaraningrat, 2009). Pada konteks di Desa Binaus, masyarakat meyakini bahwa tidak semua makanan yang kaya nutrisi dapat dikonsumsi oleh ibu hamil maupun ibu setelah bersalin. Mereka yang sudah bersalin hanya diperbolehkan untuk makan makanan khas Masyarakat Timor yaitu jagung bose yang tidak boleh dicampur dengan bahan makanan lain. Namun, dengan adanya perkembangan ilmu dan kebijakan pemerintah saat ini khususnya di bidang kesehatan mengenai gizi ibu hamil dan ibu setelah bersalin, maka ada beberapa hal yang membuat pergeseran pola makan. Salah satu contoh adalah adanya kebijakan yaitu Revolusi KIA. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu prenatal
dan
postnatal
tidak
hanya
makan
jagung
bose,
tetapi
sudah
mengkombinasikan makanan mereka dengan minum susu, makan kacang hijau, dan makan daging. Secara umum, penelitian ini mau menegaskan bahwa kepercayaan terhadap pantangan makanan pada ibu hamil maupun ibu setelah bersalin di sebuah budaya akan mempengaruhi apa yang di makan oleh ibu tersebut.
Kepercayaan selama hamil Keyakinan adalah sesuatu yang dianggap aktual atau benar atas dasar-dasar pemikiran tertentu atau model jelas (Andrews dan Boyle, 2008:94). Kepercayaan yang dimiliki masyarakat lokal dan masih diteruskan ke generasi selanjutnya menunjukan bahwa kepercayaan tersebut masih dipandang relevan untuk dijalani. Sebab, sebagaimana menurut Parsons (1968), tradisi merupakan hasil dari kebiasaan
102
manusia yang telah dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berfungsi sebagai penuntun dalam melakukan apa yang dapat diterima atau sesuai dengan kehidupan masyarakat dimana individu itu berada. Pada ibu hamil di Vietnam misalnya, Andrews dan Boyle (2008) mengatakan tidak diperbolehkan berjalan di siang hari atau pada jam 5 sore karena dapat membuat roh marah, sedangkan pada masyarakat kulit hitam di Amerika, tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar atau foto saat hamil karena dapat menyebabkan “stillbirth” atau lahir mati. Sedangkan pada masyarakat Filipina ada kepercayaan bahwa ibu hamil yang mandi setiap hari dan menggunakan shampoo, mengakibatkan bayi yang dilahirkan akan bersih Dalam konteks Masyarakat Binaus, masih terdapat kepercayaan bahwa ibu hamil ketika mereka pergi ke luar rumah harus selalu membawa benda tajam, misalnya pisau, kunci atau paku. Hal ini bertujuan untuk melindungi bayi dan dirinya mereka dari kuasa roh jahat/setan. Untuk ibu bersalin diwajibkan untuk menjalankan tradisi tatobi (mengompres) dan dipanggang di atas bara api. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini merupakan tradisi turun temurun yang diteruskan dari nenek moyang. Tradisi ini tetap ada karena disampaikan dan dipahami oleh generasi selanjutnya sebagai sesuatu yang perlu dipercayai karena diyakini sebagai suatu yang akan membuat mereka aman.
Sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil dan ibu bersalin Bagian ini berkaitan dengan pemilihan atau keputusan ibu menggunakan layanan kesehatan ketika hamil dan bersalin yang dalam kebijakan pemerintah para ibu di dorong untuk mengikuti layanan kesehatan yang disediakan pemerintah. Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik (Suharto, 2008). Pada tahun
2011 Pemerintah Pusat meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan ( JamPersal),
103
yang memberikan pelayanan kepada para ibu hamil dan bersalin secara gratis. Hal serupa juga dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Program Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (Revolusi KIA) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 42 tahun 2009 yang isinya mewajibkan ibu hamil supaya melahirkan di Rumah Sakit atau Puskesmas, Jika peraturan ini dilanggar maka yang bersangkutan akan dikenakan denda (Profil Kesehatan NTT,
2013) Di Desa Binaus, sebagian partisipan memandang hal ini sebagai sesuatu yang baik, karena dengan mengikuti peraturan yang ada mereka akan mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan menghindarkan mereka dari denda yang menurut mereka itu cukup membebani. Sejak adanya Revolusi KIA ibu hamil yang akan melahirkan akan segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit yang ada.
E. KESIMPULAN Masyarakat Desa Binaus memiliki pemahaman yang beragam terhadap ibu hamil dan ibu setelah bersalin, seperti aktifitas fisik selama hamil diterjemahkan dengan melakukan kegiatan atau rutinitas sehari-hari yang dimaknai atau dipahami sebagai olahraga; pola makan yang berubah dari hanya makan jagung bose saja hingga ke makan makanan apa saja; kepercayaan untuk melindungi diri dan bayi agar sehat dan selamat; dan sikap terhadap kebijakan pemerintah terkait penyediaan layanan kesehatan pada ibu hamil yang dipandang baik oleh masyarakat.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa dalam persepsi masyarakat Binaus telah terjadi perjumpaan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai yang modern. Hal ini berarti bahwa budaya dan masyarakat setempat bersifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan, selama hal tersebut membawa kebaikan.
104
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Andrews, M.M., Boyle, J.S. (2008). Transcultural Concepts in Nursing Care (5nded). New York: Lippincott, Williams, & Wilkins. Aritonang E. (2010). Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor: IPB Press. Badan Pusat Statistik. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. BPS: Jakarta Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. (2013). Profil Kesehatan Nusa Tenggara Timur 2012. Kupang: Dinkes NTT. Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2013). Profil Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan 2012. Soe: Dinkes TTS. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Kusmiati, dkk. (2008). Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Yogyakarta: Fitramaya.
Mahmud, M.K, Hermana, dkk. (2009). Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Manuaba, I.B.G. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Penelitian Bidan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Mitayani. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Tim Muhimah, N., Safe’i, A. (2010). Panduan Lengkap Senam Sehat Khusus Ibu Hamil. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Power Books. Parsons, T. (1968). Knowledge and Society – American Sociology. New York: Basic Books. Saptono, I. (2013). Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu. Jakarta: INFID. Suharto, E. (2008). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Wulaningsih, I., dan Batubara, S. O. (2012). Bendera dan Rumah Singgah Persalinan Aman, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam http://igi.fisipol.ugm.ac.id/ index.php/id/persalinan-aman?sobi2Task=sobi2Details&sobi2Id=62
105
106
7 Tatobi dan Infeksi Postpartum di Desa Binaus Maria A. Themone, Ferry F. Karwur, Kristiani D. Tauho Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Alamat kontak:
[email protected]
Abstrak Kematian maternal di negara-negara berkembang masih mengkuatirkan, termasuk di Indonesia. Salah satu Provinsi yang menyumbangkan Angka Kematian Ibu terbesar adalah provinsi Nusa TenggaraTimur, yaitu sebesar 306/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas angka nasional yakni 248/100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian ibu tersebut adalah infeksi postpartum. Di daerah miskin di pedesaan Nusa Tenggara Timur faktor klinis, akses wilayah, akses fasilitas kesehatan, bersama-sama dengan keadaan sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural berinteraksi secara simultan dan menciptakan keadaan-keadaan kritis bagi terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan kematian ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan kenyataan empirik dari faktor-faktor klinis, akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan postpartum dari ibu yang mengalami infeksi postpartum. Penelitian dilaksanakan di Desa Binaus, salah satu desa di dataran Timor, selama 4 bulan, dari bulan Agustus sampai dengan November 2012 dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam tentang riwayat persalinan, postpartum, serta kejadian infeksi postpartum yang dialami oleh 9 ibu dari 25 orang ibu yang melahirkan pada periode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua riset partisipan, baik yang bersalin di rumah atau di fasilitas kesehatan dengan penolong bidan, dokter, keluarga atau dukun bersalin melakukan perawatan postpartum tradisional yaitu tatobi dan se’i. Dari 25 orang ibu yang melahirkan, 9 ibu menunjukan gejala-gejala terinfeksi di daerah jalan lahir. Tatobi dilakukan bukan hanya karena tradisi, tetapi karena beberapa ibu yang melahirkan di rumah tidak bisa melakukan kunjungan nifas dengan alasan kebijakan kesehatan di daerah ini yang mengharuskan ibu membayar
denda, serta adanya sanksi bahwa ibu tidak akan mendapat pelayanan kesehatan. Faktor ekonomi menjadi aspek lain yang mempengaruhi ibu untuk melakukan kunjungan nifas ke tenaga kesehatan. Kata kunci: Ibu bersalin, infeksi postpartum, tradisi Timor, tatobi
A. PENDAHULUAN Kematian maternal di banyak negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia, masih mengkuatirkan. Di antara Negara ASEAN, Indonesia masih merupakan negara yang tinggi tingkat kematian maternal. Sebelas tahun lalu (2005) Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebanyak 307/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007) dan menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan tingkat kematian maternal tertinggi seASEAN (AntaraNews.com, 2006). Di negara ASEAN lain, AKI jauh lebih rendah: Malaysia sebesar 36/100.000 kelahiran hidup, Singapura sebesar 6/100.000 kelahiran hidup, dan Vietnam 160/100.000 kelahiran hidup (Depkes, 1998). Salah satu Provinsi di Indonesia yang menyumbangkan AKI terbesar adalah Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT), dengan 306/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008/2009. Angka ini jauh di atas angka nasional yakni
248/100.000 kelahiran hidup. Secara klinis telah diketahui faktor-faktor utama kematian maternal, yakni: perdarahan, gangguan hipertensi, infeksi, aborsi yang tidak aman, persalinan lama dan penyebab langsung maupun tidak langsung lainnya, termasuk anemia dan HIV/AIDS (Khan et al., 2006). Namun demikian, faktor-faktor non-klinis merupakan determinan penting apakah kematian maternal masih dapat dihindari. Kematian maternal paling banyak terjadi pada daerah yang memiliki kesulitan akses daerah, seperti di pedesaan, di mana wanita tidak dapat mengakses bidan terlatih atau memperoleh pelayanan fasilitas yang memadai, pada saat terjadi komplikasi melahirkan (Fortney et al., 1988; Tauho dkk, 2012, belum dipublikasikan).
108
Di pedesaan NTT, kematian maternal yang tinggi tidak dapat dijelaskan hanya oleh faktor klinis, akses wilayah, dan fasilitas kesehatan saja. Faktor-faktor tersebut bersama-sama dengan keadaan sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural berinteraksi secara simultan dan menciptakan keadaan-keadaan kritis bagi terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan kematian ibu. Tulisan ini secara khusus melaporkan kenyataan empirik dari faktor-faktor klinis, akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan postpartum dari 9 ibu yang mengalami infeksi postpartum di Desa Binaus.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Binaus selama 4 bulan, dari bulan Agustus sampai November 2012. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan mempelajari secara retrospektif aspek sejarah kehamilan, kejadian kelahiran, praktek post-partum, serta kejadian infeksi post-partum. Subjek penelitian dipilih berdasarkan status penyakit/outcome, kemudian dilakukan pengamatan apakah subjek mempunyai riwayat yang dipengaruhi oleh faktor medis dan atau faktor lain. Penelitian dilakukan melalui kajian secara kualitatif dengan metode wawancara mendalam (indepth interview) terhadap ibu-ibu postpartum untuk melengkapi informasi mengenai kronologi terjadinya infeksi pada ibu postpartum. Jumlah ibu postpartum diperoleh dari data Posyandu Desa Binaus, sebanyak 25 orang wanita post-partum. Kepada riset partisipan tersebut dilakukan wawancara awal untuk mengetahui di antara mereka yang menunjukkan adanya kejadian infeksi postpartum. Dari mereka diperoleh data 9 ibu yang diduga mengalami kejadian infeksi, sehingga wawancara mendalam dilakukan terhadap ke-9 ibu tersebut. Data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi seperti rekam medis pasien, catatan asuhan keperawatan/kebidanan dan foto, setelah memperoleh persetujuan.
109
C. HASIL PENELITIAN Gambaran Partisipan Dalam Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 ibu yang mengalami infeksi postpartum berada dalam rentang usia 22-49 tahun. Lima diantaranya hanya menamatkan pendidikan dasar, dan hanya 1 orang yang menamatkan pendidikan menengah, sedangkan selebihnya menamatkan pendidikan atas. Seluruh partisipan penelitian yang mengalami infeksi bekerja sebagai ibu rumah tangga, dengan riwayat obstetrik terbanyak gravida dua, sebanyak 5 orang, gravida satu sebanyak 2 orang dan gravida tiga dan empat masing-masing 1 orang. Tabel 1. Identitas ibu dengan infeksi postpartum No
Inisial
Usia
Pendidikan
(thn)
terakhir
Pekerjaan
Riwayat Obstetri G
P
A
1
Ny.SOB
22
SMP
IRT
2
2
0
2
Ny. RT
31
SD
IRT
2
2
0
3
Ny. DO
24
SD
IRT
2
2
0
4
Ny. MT
32
SMA
IRT
2
2
0
5
Ny. DL
22
SD
IRT
1
1
0
6
Ny. IB
33
SD
IRT
3
3
0
7
Ny. MTs
27
SD
IRT
2
2
0
8
Ny. ES
49
SMA
IRT
4
4
0
9
Ny. EO
27
SMA
IRT
1
1
0
Riwayat Persalinan dan Postpartum Tabel 2 menunjukkan riwayat persalinan dan postpartum ibu yang mengalami infeksi postpartum di Desa Binaus. Terdapat 7 orang ibu yang bersalin secara spontan, baik di rumah, di RSUD Soe maupun di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Binaus. Sementara itu, 2 orang ibu lainnya melahirkan dengan cara
110
operasi sectio cesarean di RSUD Soe. Empat orang ibu yang melahirkan di rumah tidak ditolong oleh tenaga kesehatan mempengaruhi perawatan postpartum mereka. Perawatan postpartum yang dimaksud adalah tatobi, se’i dan kunjungan nifas.
Tabel 2. Riwayat persalinan dan postpartum ibu dengan infeksi postpartum Riwayat persalinan No
Nama
Riwayat Postpartum
Penolong
Luka jalan lahir
Tatobi
Se'i
Kunjungan nifas
Jenis
Tempat
1 Ny.SOB
Spontan
Rumah
Bidan
Episiotomi
2x/hari
Dimodifikasi
Kunjungan bidan setiap minggu
2 Ny. RT
Spontan
Rumah
Ibu mertua
Tidak ada
4x/hari
Dimodifikasi
Tidak dilakukan
3 Ny. DO
Spontan
Rumah
Dukun bersalin
Tidak ada
10x/hari
Murni
Tidak dilakukan
4 Ny. MT
Spontan
RSUD
Bidan
Episiotomi
2x/hari
Dimodifikasi
2x di RSUD 2x di Pustu kemudian dirawat selama 1 minggu di RSUD karena benang jahitan terlepas
5 Ny. DL
SC
6 Ny. IB
Spontan
7 Ny. MT
SC
8 Ny. ES
Spontan
9 Ny. EO
Spontan
RSUD
Dokter dan bidan
SC
1x/hari
Dimodifikasi
Pustu
Bidan
Episiotomi
2x/hari
Dimodifikasi
2x di Pustu
RSUD
Dokter dan bidan
SC
3x/hari
Dimodifikasi
1x di RSUD
Rumah
Dukun bersalin
Tidak ada
3x/hari
Murni
Kunjungan mantri 2x
Rumah
Dukun bersalin
Tidak ada
4x/hari
Murni
Tidak dilakukan
Tatobi merupakan tradisi dari Suku Timor bagi ibu postpartum. Masyarakat lebih cenderung memilih menggunakan tatobi sebagai pengobatan ibu postpartum secara turun temurun. Kegunaan tatobi pada ibu postpartum antara lain untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit pada daerah vagina, mengeluarkan sisa darah kotor dari dalam tubuh, dan menjaga agar tubuh tetap kuat. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua ibu postpartum, entah itu di Rumah Sakit atau bukan, melaksanakan praktek tatobi, walaupun dengan frekuensi yang sedikit beragam dalam sehari. Alat dan bahan yang digunakan ibu saat tatobi adalah kain tenun Timor seperti kain selimut, sarung, selendang. Tatobi dilakukan selama 40 hari 40 malam yaitu pada pagi dan sore hari setelah ibu melahirkan di rumah tradisional masyarakat Timor yang disebut sebagai ume kbubu. Tatobi dilakukan dengan menggunakan air mendidih, yang kemudian dikompreskan ke tubuh ibu yang sebelumnya sudah dilumuri minyak kelapa murni terlebih dahulu sebagai cara untuk menghindari efek panas yang berlebihan dari air mendidih yang digunakan.
111
Praktik tatobi yang dilakukan oleh 9 ibu postpartum di Desa Binaus pada umumnya sama yaitu kompres dimulai dari tubuh bagian perut, belakang dan berakhir pada bagian jalan lahir. Praktik ini dilakukan secara terus-menerus yaitu 2 sampai 10 kali sehari didalam rumah bulat. Praktik tatobi secara terus menerus akan mengenai jaringan yang dapat merusak sel-sel epitel, menyebabkan kemerahan, rasa perih, bahkan kulit menjadi melepuh hingga mengeluarkan nanah. Selain itu infeksi juga terjadi karena praktik tersebut dilakukan didalam rumah bulat yang mana kondisinya penuh dengan debu dari tungku api dengan berbagai macam kuman patogen sehingga partisipan lebih mudah terinfeksi saat diberikan tatobi. Tradisi se’i adalah tradisi menghangatkan tubuh ibu dan bayi di ume kbubu selama 40 hari. Bahan bakar yang digunakan di rumah bulat ini adalah bahan bakar kayu, sehingga walaupun bisa menghangatkan tubuh ibu dan bayi, bisa juga menimbulkan asap pekat yang sangat mengganggu pernapasan ibu terlebih bayi.
Di sisi lain, asap pekat menurut mereka merupakan pengawet yang baik untuk bahan makanan yang terdapat dalam lumbung rumah bulat tersebut. Hal ini yang menjadi permasalahan sehingga oleh motivasi dari tenaga kesehatan dan kesadaran masyarakat, tradisi se’i ini dimodifikasi oleh 6 orang ibu, dengan cara tidak tinggal di dalam rumah bulat, tetapi di dalam rumah kotak dan sumber penghangat didapatkan dari tumpukan arang yang diletakkan di kolong tempat tidur dan diganti secara berkala. Ketiga orang ibu yang secara murni melakukan tradisi se’i berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa mereka hanya mengikuti apa kata dukun bersalin dan keluarga. Hasil penelitian juga menemukan bahwa 3 orang ibu tidak melakukan kontrol kesehatannya di fasilitas kesehatan. Mereka mengaku takut dengan adanya peraturan pemerintah yang ditetapkan bahwa setiap ibu hamil yang melakukan persalinan di rumah dibantu oleh dukun bersalin tidak akan mendapatkan pelayanan kesehatan di Pustu. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada menggunakan fasilitas kesehatan yang ada,
112
sebagaimana kesaksian salah satu partisipan penelitian: “Tidak bisa nona, nanti tidak dilayani karena su ada peraturan baru kalo melahirkan dirumah ko ada apa-apa bidan tidak tolong. Itu waktu saya melahirkan di dapur bukan di pustu atau rumah sakit jadi saya tidak berani ketemu ibu bidan.”(Ibu DO) Walaupun begitu, hal ini tidak berarti ibu-ibu yang melakukan kunjungan nifas tidak mengalami infeksi. Tujuh orang ibu yang melakukan kunjungan nifas, baik yang pergi ke bidan ataupun dikunjungi oleh bidan mengalami infeksi dengan tanda dan gejala yang tidak berbeda jauh dengan ibu yang tidak melakukan kun-jungan nifas. Menurut hasil wawancara, ibu-ibu pada umumnya mengalami infeksi karena proses tatobi yang dilakukan, seperti yang dikatakan beberapa ibu berikut:
“Iya nona saya hanya tatobi selama 2 minggu sa, itu saya pung jahitan talepas baru sakit minta ampun. Dokter deng bidan su larang ko jang tatobi tapi nenek deng mama dong paksa harus tatobi supaya darah kotor dong keluar dan pas anak su besar kita tidak sakit-sakit. Jadi saya ikut sa nenek deng mama pung omong”(Ibu DL). “Saya takut stengah mati nona ko tidak bisa tidur malam-malam nona. Itu waktu dokter yang periksa saya di RSU. Dokter bilang itu karna saya kompres pake air panas andia ko dia pung jahitan sonde kuat lai ko sampe bengkak. Tapi untung bidan dong berobat baru kasih saya obat ko minum andia ko sampe sekarang saya pung jahitan tidak sakit lai”(Ibu MT).
Kejadian infeksi postpartum Hasil penelitian pada tabel di bawah menunjukkan bahwa kejadian infeksi pada jalan lahir mulai menunjukkan tanda dan gejala pada hari ke-5 hingga hari ke-21 postpartum. Tanda yang muncul pada umumnya adalah peningkatan suhu tubuh, terjadi pembengkakan pada vagina, dan rubor (vagina berwarna kemerahan), hingga keluar nanah berwarna kuning kehijauan, orange dan lochea (keputihan). Sedangkan gejala
113
yang muncul yaitu dolor (vagina terasa nyeri atau perih ketika disentuh), kalor (vagina terasa panas ketika disentuh) dan terasa gatal pada vagina. Tanda fungsio laesa yang merupakan perubahan atau penurunan fungsi vagina tidak bisa diukur, karena vagina sebagai liang senggama belum difungsikan pada periode 40 hari. Tabel 3. Kejadian infeksi pada ibu postpartum di Desa Binaus Waktu No
Nama
diketahui
Dolor
1
Ny.SOB
21 hari
Terasa perih
2
Ny. RT
5 hari
Terasa nyeri
3
Ny. DO
21 hari
Tidak ada
4
Ny. MT
7 hari
Terasa perih
5
Ny. DL
14 hari
Terasa nyeri
6
Ny. IB
21 hari
Terasa nyeri
7
Ny. MT
7 hari
Terasa perih
8
Ny. ES
5 hari
Tidak ada
9
Ny. EO
12 hari
Terasa perih
Gejala dan tanda infeksi yang muncul Fungsio Tumor Kalor Rubor Lain-lain laesa Keluar nanah berwarna kuning Ya Tidak Tidak Tidak kehijauan bercampur darah Ya Ya Ya Tidak Tidak ada Pusing, demam, terasa gatal Ya Ya Ya Tidak pada jalan lahir, keluar lochea Ya Ya Ya Tidak Tidak ada Keluar nanah berwarna kuning Ya Tidak Tidak Tidak dan ibu mengalami demam Ya Ya Ya Tidak Tidak ada Terasa gatal dan ibu mengalami Ya Ya Tidak Tidak demam Keluar nanah berwarna orange Ya Ya Ya Tidak bercampur putih Ya Ya Ya Tidak Tidak ada
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi postpartum Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi postpartum antara lain pelaksanaan kebijakan kesehatan, kondisi sosial-ekonomi, aspek sosial-budaya dan faktor lingkungan fisik.
1. Pelaksanaan kebijakan kesehatan Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat beberapa partisipan yang tidak melakukan kontrol kesehatannya di fasilitas kesehatan karena adanya peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan bahwa bagi partisipan yang memilih untuk melakukan proses persalinan dengan bantuan dukun maka tidak diijinkan untuk melakukan kontrol kesehatannya di Pustu bersama Bidan
114
selama menjalani masa postpartum. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada menggunakan fasilitas kesehatan yang ada. 2. Kondisi Sosial-Ekonomi Keadaan sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan (Koentjaraningrat, 1981:35).Tingkat ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam kesehatan dimana dengan alasan tidak mempunyai biaya (penghasilan rendah) masyarakat yang lebih memilih pengobatan tradisional dengan biaya relatif murah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 ibu yang mengalami tandatanda infeksi cenderung menggunakan pengobatan tradisional yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun dari pada ke tenaga kesehatan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi. Tingkat ekonomi mempengaruhi ibu dalam mengakses layanan kesehatan termasuk untuk membayar obat yang diresepkan dokter untuk dibeli di Apotik Soe. Oleh sebab itu partisipan memutuskan untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada mengakses layanan kesehatan yang ada. 3. Aspek Sosial-Budaya Menurut seorang ahli antropologi, Tylor (1871) budaya atau peradaban adalah kesatuan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (dalam Kuper, 1999). Menurut Koetjaraningrat (1981), kebudayaan adalah seluruh gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi karyanya. Hal itu akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Perilaku
115
seseorang dalam kebudayaan terbentuk akan berbeda dengan orang yang hidup pada kebudayaan lainnya (Depkes RI, 1990). Seorang ahli psikologi yang terkenal Burrhus Frederic Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang (Pierce, 2013). Hayati (2011) dalam penelitiannya menemukan diantara kebudayaan maupun adat-istiadat dalam masyarakat ada yang menguntungkan, ada pula yang merugikan, seperti perawatan postpartum yang dilakukan oleh Suku Minang. Tradisi Atoni Meto yang mengharuskan ibu untuk tatobi dan se’i merupakan tindakan/praktik yang sulit dihilangkan karena merupakan tradisi yang sudah berjalan lama secara turun temurun. Tindakan ini dilakukan ibu karena saran orangtua hingga mereka menemukan tanda-tanda infeksi dan menghentikannya. 4. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik merupakan segenap faktor fisik yang bersama-sama merupakan suatu suasana fisik yang meliputi suatu tempat kerja (Gie, 2000). Lingkungan fisik merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat mempengaruhi kondisi fisik seseorang seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan dan lain-lain (Sedarmayanti, 2001:21). Penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi perawatan diri selama menjalani masa postpartum, ibu-ibu berada dalam lingkungan yang berdampak negatif terhadap kesehatan yaitu didalam rumah bulat, yang penuh dengan debu dari tungku api yang dicurigai terdapat berbagai macam mikroorganisme patogen sehingga partisipan lebih mudah terinfeksi saat mengikuti praktek tatobi.
Persepsi yang baik terhadap kesehatan dan kebersihan dapat menciptakan penampilan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan, sehingga mampu memberikan rasa nyaman. Selain itu juga dapat mempertahankan kelelahan, mencegah infeksi, gangguan sirkulasi darah dan mempertahankan integritas pada jaringan (Hidayat, 2006). 116
D. KESIMPULAN Dari 25 orang ibu yang melahirkan selama periode penelitian, 9 ibu menunjukkan gejala-gejala terinfeksi di daerah jalan lahir. Mereka semua melaksanakan tradisi postpartum selama 40 hari, yakni praktek tatobi dan panggang
tubuh (se’i). Apakah ada hubungan antara tradisi tatobi dengan kejadian infeksi perlu dilakukan penelitian lanjut. Penelitian ini memberi perhatian pada pentingnya faktor kebersihan lingkungan rumah untuk menguragi kejadian infeksi jalan lahir ibu-ibu pasca melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA AntaraNews.com. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Tertinggi di ASEAN. Indonesia. Chamberlain, G dan Dewhurst, SJ. (1994). Obstetri dan Ginekologi Praktis. Jakarta: Widya Medika. Depkes. (1998). Perbandingan AKI dengan Negara Lain, diakses 15 Juli 2007 Depkes RI. (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Fortney, JA., Susanti, I., Gadall, S., Saleh, S., Feldblum, PJ., Potts, M. (1998). Maternal mortality in Indonesia and Egypt. International. Journal of Gynecology & Obstetrics, 26(1):21–32. Gie, The Liang. (2000). Administrasi Perkantoran. Yogyakarta: Modern Liberty Hayati, R. (2011). Perspektif Budaya Minang terhadap Perawatan Ibu Postpartum. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/27208/9/Cover.pdf Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Koentjaraningrat. (1981). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Khan, KS., Wojdyla, D., Say, L., Gulmezoglu, AM., Van Look, PF. (2006). WHO analysis of causes of maternal death: a systematic review. The Lancet. 367(9516):1066–74.
117
Kuper, A. (1999). Culture, The Anthropologists’ Account. England: Havard University Press Pierce, W. D. (2013). Behavior Analysis and Learning, Fifth Edition. New York: Psychology Press. Sedarmayanti. (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
118
8 Kaji Tindak Partisipatif: Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto Untuk Meningkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur Ferry F. Karwur¹, Suharmiati², Sakti O. Batubara³, Kristiani D. Tauho¹ ¹Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ²Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI ³STIKES Citra Husada Mandiri Kupang
Abstrak Secara nasional, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi dengan masalah kesehatan ibu-anak yang tinggi. Penyumbang terbesar masalah kesehatan ini berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki tradisi tersendiri dalam proses persalinan dan masa postpartum (tradisi Neno Bo’ha). Selama 40 hari postpartum ibu dan bayi tinggal di dalam rumah bulat (ume kbubu) dengan berbagai aturan yang dari segi kesehatan dapat memberikan dampak buruk bagi ibu dan bayi, antara lain pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat seadanya (gunting atau pisau), mengompres tubuh ibu dengan air mendidih, menghangatkan ibu dan bayi dengan bara, ibu harus makan jagung bose saja dan membuang ASI pertama yang berwarna kekuningan. Penelitian ini bertujuan memodifikasi tradisi atoni meto yang beresiko bagi kesehatan ibu dan anak. Metode penelitian yang digunakan adalah kaji-tindak partisipatif terhadap 11 orang ibu hamil di Desa Binaus sebagai riset partisipan selama bulan April hingga November 2012. Hal-hal yang dimodifikasi merupakan hasil persepakatan bersama tim peneliti partisipatif (peneliti, pemerintah, tenaga kesehatan, tokoh adat, tokoh masyarakat, kader
Posyandu, dukun bersalin dan keluarga partisipan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi persalinan atoni meto sudah mengalami perubahan, sehingga selama 40 hari ibu
dan keluarga menjalani tradisi tersebut dengan modifikasi yang disepakati bersama, yaitu medesinfeksi alat potong tali pusar, mengompres tubuh ibu dengan menggunakan air hangat, mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan, menggunakan mau ana (selendang adat) sebagai kain pembalut, memberikan ASI pertama kepada bayi dan setelah hari ke-5 postpartum ibu sudah boleh keluar dari rumah bulat.
Kata kunci: tradisi melahirkan, atoni meto, KIA
A. PENDAHULUAN Derajat kesehatan masyarakat Indonesia masih rendah, jika dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan status gizi. Dibandingkan dengan angka nasional, AKI dan AKB di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terbilang tinggi, dan menempatkan NTT sebagai propinsi penyumbang AKI dan AKB di Indonesia. Pada tahun 2014, AKI di NTT sebesar 169/100.000 kelahiran hidup (KH), lebih tinggi dari AKI nasional yaitu sebesar 126/100.000 KH. Penyumbang AKI tertinggi di provinsi ini adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dengan AKI sebesar 290/100.000 KH. Selain AKI dan AKB, masalah kesehatan lain di NTT yang juga penyumbang tertingginya di Kab. TTS yaitu status gizi kurang dan gizi buruk. Pada tahun 2013, persentasi balita gizi buruk berdasarkan berat badan per umur (BB/U) dan tinggi badan per umur (TB/U) di TTS adalah yang tertinggi di NTT, yaitu sebesar 46,5% dan 70,5%. Sementara itu, rata-rata provinsi adalah 33% dan 51,7% (Ompusunggu, 2013) yang merupakan prevalensi tertinggi secara nasional (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013).
Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah salah satu dari 5 kabupaten di NTT yang terletak di daratan Timor. Penduduk asli Pulau ini disebut Atoni Meto atau atoni pah meto yang berarti orang dari daerah kering. Masyarakat ini memiliki tradisi melahirkan dan perawatan post-partum hingga 40 hari di rumah bulat, yakni rumah tradisional Atoni Meto yang merupakan pusat kegiatan keluarga inti orang Timor. Ibu dan bayi akan menjalani perawatan intra dan postpartum di dalam rumah bulat iniselama 40 hari (neno bo’ha) dengan berbagai aturan yang dari segi kesehatan dapat memberikan dampak buruk bagi ibu dan bayi. 120
Dalam proses persalinan ini, ibu ditolong oleh dukun bersalin (amahonet) yang pada pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat seadanya (gunting atau pisau). Kemudian ibu akan dikompres dengan air mendidih di seluruh tubuh, terutama di payudara dan jalan lahir. Tindakan ini bisa mendorong terjadi vasodilatasi dan terkadang berakibat perlukaan kulit. Menurut hasil penelitian Martianto dkk (2008), salah satu tetua adat menerangkan bahwa dalam tradisi ini terdapat aktivitas menghangatkan ibu dengan bara yang diletakkan di bawah tempat tidur. Hal ini didasarkan pada keyakinan akan mempercepat keringnya darah nifas dan rahim cepat tertutup kembali. Menurut para tetua adat dalam penelitian tersebut, para ibu di sini sudah biasa dengan praktik tersebut, tak sesak nafas, sehat, demikian pula bayinya. Proses pengompresan yang dilakukan di dalam rumah bulat dan kegiatan memandikan ibu menyebabkan lantai rumah bulat becek, sehingga mengakibatkan kelembaban yang tinggi. Selain itu, tingginya kadar asap dan gas bakaran dapat mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dibutuhkan tubuh. Dalam hal pemberian ASI, terdapat keyakinan kultural bahwa Air Susu Ibu (ASI) pertama yang berwana kekuningan sudah terkena angin dan basi sehingga dalam prakteknya ASI tersebut diperas dan dibuang, padahal penelitian membukti-kan bahwa kolostrum mengandung zat imunitas yang melindungi bayi dari berbagai kemungkinan penyakit (Roesli, 2008; Purwanti, 2004). Dalam masyarakat Binaus, pemberian ASI terjadi 2-4 hari setelah melahirkan karena ASI-nya belum keluar atau warnanya belum putih. Dalam keadaan demikian, ASI harus diperas keluar sampai berwarna putih, sehingga kolostrum pada periode yang kritikal tersebut dibuang. ASI yang berwarna kuning dianggap kotor sehingga tidak boleh diminum oleh bayi yang baru lahir. Dalam hal ini, bayi diberi teh atau madu atau air tajin atau disusui oleh perempuan lain (kerabatnya) yang sedang menyusui (Tefa, 2011; Nenometa, 2011; Martianto dkk, 2008). Praktek yang dipaparkan di atas juga ter-gambar dalam laporan Dinas Kesehatan Prov. NTT, bahwa jumlah bayi yang diberi
ASI eksklusif di kabupaten ini pada tahun 2014 adalah52,5%, dan terendah kedua di NTT yang mencapai 70,1% (Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 2015).
121
Pada tradisi Atoni Meto, ibu postpartum juga tidak boleh makan makanan yang mengandung sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting. Makanan ibu hanya jagung bose (jagung yang dikeluarkan kulit arinya dengan cara ditumbuk, kemudian direbus dengan perbandingan air 3:1) dan atau bubur beras. Menurut mereka, ibu yang mengonsumsi makanan yang bermacam-macam dapat me-nyebabkan sakit perut pada bayi. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada kesehatan ibu dan bayi, jika dilihat dari sudut pandang gizi dan kesehatan, karena dapat memungkinkan imunitas ibu rendah dan mempengaruhi produksi ASI (Bobak dan Jensen, 2005). Melihat tradisi Atoni Meto di atas, selain kekuatannya yang merupakan identitas kultur serta sistem adaptasi yang diperankan oleh rumah bulat, tradisi melahirkan di rumah bulat dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan yang perlu diperbaiki dalam perspektif indikator kesehatan modern. Untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut, perlu dilakukan riset-aksi partisipatif yang melibatkan para pemangku adat, tokoh pemerintahan dankeluarga dengan tujuan untuk memodifikasi rasionalitas tindakan, proses, dan perangkat konkret dalam tradisi melahirkan Atoni Meto di rumah bulat selama 40 hari untuk meningkatkan kesehatan maternal dan bayi. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus, 2. Mengidentifikasi perawatan ibu bersalin dalam tradisi Atoni Meto yang dapat dimodifikasi 3. Melakukan intervensi individual dan kelompok.
B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan bulan April hingga November 2012 di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kab. TTS, NTT dengan metode penelitian kualitatif
122
kaji-tindak partispatif (participatory action research). Dalam hal ini, tim peneliti melibatkan pihak sasaran yang diteliti dan unsur subjektif peneliti ikut terlibat dalam mendesain bersama-sama anggota masyarakat. Penggunaan metode ini memberi ruang kepada masyarakat sasaran terlibat dalam memodifikasi kebudayaannya sendiri, dan oleh sebab itu modifikasi yang mungkin berkonsekuensi pada risiko yang muncul akibat modifikasi tersebut dapat diantisipasi dan dapat berterima.
Kerangka konsep kaji-tindak partisipatif melibatkan komponen rencana, aksi, dan refleksi. Desain penelitian didasari adanya isu-isu kesehatan maternal yang bisa diintervensi, melalui persiapan sosial yang mantang kemudian dilakukan rencana, aksi, dan refleksi bersama masyarakat yang tujuan akhirnya meningkatan kesehatan ibu dan anak di komunitas tersebut. Selama pelaksanaan dilakukan dokumentasi proses secara cermat. Penelitian partisipatif ini melibatkan 2 bentuk pengumpulan data: 1. Penelitian Deskriptif: a. Pengumpulan data awal untuk memperoleh base-line data sebagai titik berangkat untuk mengukur perubahan sebelum intervensi. Data-data yang dimaksudkan adalah data kesehatan ibu dan bayi, data kehamilan, data jumlah rumah dan ibu meninggal. b. Pengukuran data akhir program setelah intervensi. 2. Dokumentasi Proses Dokumentasi proses dilakukan untuk setiap bentuk program, pertemuan, dan kontak dengan kelompok masyarakat, lembaga formal, maupun informal, dan keluarga. Riset partisipan dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang terdaftar di Posyandu Desa Binaus dan diperkirakan akan melahirkan pada bulan Mei sampai November 2012, berjumlah 11 orang ibu. Data riset partisipan diperoleh dari
123
register ibu hamil Posyandu dan Kartu Menuju Sehat (KMS) setiap ibu. Selanjutnya dilakukan kunjungan individual secara rutin kepada riset partisipan untuk membina hubungan dan meminta kesediaan mereka menjadi riset partisipan. Pada tahap intervensi, 2 dari 11 orang riset partisipan tersebut didampingi oleh tim peneliti partisipatif selama 40 hari. Identitas ke-11 riset partisipan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Identitas Riset Partisipan No. Inisial 1 Ibu LN
Pendidikan SMA
Paritas G2P1A0
Alamat RT 9
2
Ibu YT
SD
G2P1AH0
RT 9
3 4
Ibu EO Ibu FO
SMU PT
G1P0A0 G1P0A0
RT 4 RT 2
5
Ibu IH
SMA
G1P0A0
RT 4
6
Ibu IS
SD
G2P1AH1
RT 4
7
Ibu YO
SMA
G1P0A0
RT 4
8
Ibu RT
SMA
G2P1A0
RT 9
9
Ibu RK
SD
G3P2A0
RT 6
10
Ibu SS
SMP
G4P1A2
RT 6
11
Ibu MT
SMA
G2P1AH1
RT 7
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dibahas berdasarkan proses penelitian ini, sebagai berikut:
Persiapan sosial Persiapan sosial berhasil dilakukan dengan membangun relasi dengan pemimpin formal (pemerintah Kab. TTS, Kec. Mollo Tengah, Ds. Binaus, Bappeda, Dinkes) dan informal (ketua kader posyandu, tokoh adat, tokoh masyarakat, dukun bersalin). Hal ini tak lepas dari adanya kerjasama sebelumnya yang telah terjalin antara Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dengan pemerintah Kab. TTS (sejak tahun 2000, pemerintah Kab. TTS telah melakukan kerjasama terutama dalam
124
mengirimkan mahasiswa asal daearahnya untuk berkuliah di UKSW). Penerimaan warga desa Binaus terhadap peneliti lokal yang tinggal di lokasi penelitian selama proses penelitian ini menunjukkan adanya keterbukaan terhadap pihak luar yang memungkinkantimbulnya perubahan yang lebih baik terutama untuk kesehatan Ibu dan anak. Persiapan sosial juga dilakukan terhadap data dasar warga Desa Binaus. Data demografi desa sebagai data dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini telah teridentifikasi oleh peneliti walaupun prosesnya memakan waktu yang lama karena dilakukan bersamaan dengan sensus penduduk.
Tim peneliti partisipatif Tim peneliti partisipatif yang dipilih adalah individu yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mampu memberi pengaruh kepada masyarakat. Hal ini penting karena pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat akan diikuti oleh pengagumnya. Tim peneliti partisipatif terdiri dari berbagai unsur di masyarakat, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. TTS, Kec. Mollo Tengah, pemerintah Desa Binaus, Tenaga Kesehatan dari Puskesmas Mollo Selatan, kader Posyandu, tokoh adat, tokoh masyarakat dan dukun bersalin di Desa Binaus.
Identifikasi tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus Tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus merupakan hasil studi deskriptif terhadap 11 orang ibu yang melahirkan pada bulan April hingga November 2012. Sejumlah temuan dan koreksi terhadap data dan asumsi-asumsi budaya mengalami perbaikan, antara lain: a.
Keteguhan menggunakan 40 hari untuk tinggal di dalam rumah bulat tidak selamanya diikuti. Dari 11 orang ibu yang melahirkan sejak April sampai Oktober 2012, 7 orang memiliki rumah bulat, ada 3 ibu yang melakukan tradisi di dalam rumah bulat, selama 40 hari, sedangkan sisanya melakukan tradisi di dalam rumah besar selama 40 hari, dengan modifikasi.
125
b. Ditemukan juga tradisi lebih dari 40 hari bayi tinggal di rumah bulat, karena menunggu kegiatan upacara berdoa. Dengan demikian, nampak bahwa untuk hal-hal tertentu tradisi ini sudah mulai mengalami perubahan. Kondisi ini dimungkinkan karena pertimbangan rasional yang semakin meningkat, misalnya soal efek negatif asap. Sehubungan dengan kebijakan Revolusi KIA berupa peraturan yang dikeluarkan Gubernur Provinsi NTT tahun 2009 bahwa semua ibu maternal harus bersalin di tempat pelayanan kesehatan, sehingga tradisi pemotongan tali pusat oleh dukun bersalin menggunakan gunting/silet yang belum disterilkan tidak banyak ditemukan lagi (hanya 2 dari 11 orang ibu, karena mereka melahirkan di rumah). Semua ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibantu oleh tenaga kesehatan, sehingga kolostrumnya juga langsung diberikan pada bayi. Modifikasi lain yang dilakukan oleh ibu yang menghabiskan masa nifas di rumah besar adalah menghangatkan tubuh ibu dan bayi dengan hanya meletakkan bara di kolong tempat tidur, sehingga tidak menimbulkan asap. Tradisi mengompres perineum menggunakan kain adat Timor yang diletakkan di bawah perineum ibu masih tetap dijalankan. Hal ini karena ibu-ibu meyakini bahwa dengan mengompres daerah perineum akan mempercepat proses pemulihan alatalat reproduksi kembali ke bentuk sebelum hamil. Mengompres ibu dengan menggunakan kain adat yang dicelupkan langsung pada air mendidih kemudian diperas masih ditemukan pada warga. Tradisi mengkonsumsi jagung bose murni selama masa postpartum masih tampak pada beberapa keluarga. Modifikasi konsumsi jagung bose yang dicampur dengan lauk lain sejak hari pertama pasca persalinan ditemukan pada 5 orang ibu. Hasil perbincangan dengan ibu-ibu bersalin yang mengkonsumsi jagung bose dicampur dengan lauk lain mengatakan bahwa alasan mereka mencampur jagung bose tersebut adalah agar gizi mereka seimbang sehingga produksi ASI juga baik. Dari 11 ibu maternal selama penelitian, 3 orang ibu menggunakan kain pembalut modern dengan alasan lebih praktis. 126
Intervensi individual dan kelompok 1. Intervensi Individual Intervensi individual dilakukan terhadap ibu maternal dengan tujuan mengikuti perkembangan kehamilan dan persalinan semua ibu tersebut. Bagi ibu yang menghabiskan masa nifas di rumah bulat, dalam kunjungan tersebut peneliti lokal berdiskusi dengan keluarga tentang bagaimana cara mengurangi asap jika berada di rumah bulat. Didapatkan kesepakatan bersama bahwa api di dalam rumah bulat hanya akan menyala pada malam hari. Oleh karena itu, kayu yang dipakai adalah kayu kering yang tidak banyak menimbulkan asap seperti kayu pohon kasuari dan kesambi. Arang dari kayu-kayu ini dapat bertahan hingga berjam-jam, sehingga kondisi di dalam rumah bulat tetap hangat, tetapi asap dapat diminimalisasi. Selain itu, peneliti lokal, ibu maternal dan keluarga juga mendiskusikan mengenai perawatan nifas (perawatan tali pusat, perawatan payudara), konsumsi obat-obatan yang diberikan petugas kesehatan dan makanan yang harus dikonsumsi ibu dan bayi (jumlah, frekuensi dan jenis makanan). Bagi ibu hamil yang pertama kali hamil atau ibu maternal yang pertama kali melahirkan, diskusi lebih banyak ditekankan pada persiapan persalinan dan bagaimana melakukan perawatan nifas.
2. Intervensi Kelompok Intervensi kelompok dilakukan oleh tim peneliti partisipatif dalam beberapa pertemuan dengan menyepakati intervensi-intervensi yang akan dilakukan, memilih ibu hamil yang akan didampingi selama 40 hari dan melaksanakan
intervensi yang disepakati. Pertemuan
beserta
pokok
pembicaraan dan hasilnya tersaji sebagai berikut: a. Pertemuan I Merupakan pertemuan sosialisasi penelitian yang dilaksanakan pada tanggal
127
7 Mei 2012. Pada pertemuan tersebut, Bapak MS, Bapak BS, Bapak HS dan
Mama NDL mewakili masyakat Desa Binaus menyatakan menerima dan akan mendukung tim peneliti partisipatif untuk membantu meningkatkan kesehatan ibu dan anak di desa itu. b. Pertemuan II Dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2012, dengan agenda pembentukan tim peneliti partisipatif. Hasil pertemuan tersebut terbentuk tim peneliti partisipatif dan ditetapkannya 2 orang ibu hamil sebagai model untuk didampingi selama 40 hari pasca persalinan, yaitu Ibu MT dan Ibu SS. c. Pertemuan III Terlaksana pada tanggal 7 September 2012 karena sepanjang bulan Agustus, semua masyarakat sibuk untuk merayakan hari ulang tahun kemerdekaan RI. Pada pertemuan ini tim peneliti partisipatif menyepakati 6 poin intervensi yang diusulkan peneliti, yaitu: 1) Pisau/silet yang digunakan untuk memotong tali pusat, terlebih dahulu dipanaskan di dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Hal ini dilakukan jika dengan terpaksa ibu tidak dapat melahirkan di fasilitas kesehatan. 2) Untuk mengompres ibu, air mendidih dituang ke dalam bokor atau ember. Kedua ujung selendang dipegang oleh tangan kiri dan kanan, dan bagian tengahnya dicelupkan ke dalam air mendidih kemudian diperas. Selanjutnya kain tadi dibentangkan melilit pada bagian tubuh ibu sambil mengompres. 3) Ibu tidak harus berada di dalam rumah bulat sepanjang waktu selama 40 hari, tetapi sudah dapat keluar-masuk dari rumah pada hari ke-4. 4) Selendang adat (mau ana) sebagai kain pembalut bisa digunakan kembali setelah dicuci dengan sabun dan dibentangkan di bawah tempat duduk ibu agar uap air panas tersebut bisa menghangatkan ibu. 128
5) Makanan ibu postpartum dapat dicampur dengan daging sapi tanpa urat dan tulang yang dipanggang hingga benar-benar kering. Selain daging sapi, kacang dan sayur dapat ditambahkan ke dalam jagung bose sesuai dengan kemampuan keluarga. 6) Untuk menghindari becek di dalam rumah bulat, maka ibu mandi di bagian rumah bulat yang berada dekat dinding yang bagian bawahnya dibuat saluran air sehingga air bekas mandi ibu bisa langsung mengalir keluar. d. Pertemuan IV Dilakukan pada tanggal 18 September 2012. Pertemuan lebih banyak membahas mengenai intervensi yang sedang dan akan dilakukan terhadap ibu yang menurut beberapa kader merupakan hal yang sulit dilakukan karena menyangkut persoalan biaya. Ada usulan agar pertemuan melibatkan masyarakat luas, terutama ibu hamil dan suami serta PUS (pasangan usia subur). e. Pertemuan V
Adalah pertemuan evaluasi bersama para anggota tim peneliti partisipatif, dengan kesepakatan: 1) Intervensi yang sudah dilakukan antara lain kompres dengan uap air, panggang dengan bara baik di rumah persegi maupun dalam rumah bulat dengan membuat api hanya pada malam hari, menggunakan selendang adat yang direbus pada air mendidih sebagai alas di tempat tidur maupun menggunakan kain pembalut modern, makan makanan lain selain jagung bose yang dicampur sayuran dan daging memberikan efek yang baik bagi ibu bersalin dan bisa dilakukan terhadap ibu bersalin yang lain. 2) Peserta pertemuan bersepakat bahwa mereka akan melakukan intervensiintervensi yang sudah disepakati, baik secara pribadi (bagi peserta yang berusia produktif, maupun dalam keluarga besar (peserta yang sudah 129
tidak produktif lagi) sehingga harapannya mereka bisa menjadi contoh di masyarakat. Peserta juga harus menjadi penyalur informasi bagi ibu-ibu yang sedang hamil dan bersalin, kader memberikan dorongan dan motivasi di Posyandu maupun dalam kegiatan apa saja. Untuk mengatasi masalah keuangan, bisa dilakukan arisan antar ibu hamil dan bersalin saja, atau menghidupkan kembali tabungan ibu bersalin (tabulin) yang sempat macet. Hal ini akan ditindaklanjuti di Posyandu oleh para kader.
3) Hal lain yang dikaji dan diangkat sebagai isu penting adalah pentingnya mendorong pihak keluarga agar membawa ibu yang akan melahirkan ke fasilitas kesehatan di Soe. Kendala utama yang muncul sebenarnya, terutama lebih pada kendala ekonomi. Walaupun pertolongan persalinan ditanggung oleh pemerintah, namun akses yang jauh serta alat transportasi yang jarang membuat keluarga harus memiliki cukup uang tunai untuk dapat mencapai rumah sakit dan tinggal di rumah sakit selama ibu dirawat.
3. Hasil Intervensi Kelompok a. Melakukan tindakan desinfeksi terhadap alat potong tali pusat Hal ini hanya dilakukan jika ibu melahirkan di rumah. Alat potong yang digunakan adalah alat yang mudah ditemui di rumah, yaitu gunting atau pisau, direbus dalam air mendidih sebelum digunakan. Pada tahap implementasi, desinfeksi alat potong pusat bayi tidak dilakukan, karena Ibu MT dan Ibu SS melahirkan di RSUD Soe sehingga tali pusat bayi mereka dipotong oleh petugas kesehatan. Selain kedua ibu yang disepakati untuk didampingi, hasil kesepakatan mengenai tindakan desinfeksi alat potong pusar bayi dilakukan oleh salah seorang bapak di RT 9, bernama Bapak AS. Tindakan tersebut dilakukan ketika akan memotong tali pusat bayinya. Bapak AS menggunakan gunting yang direbus ke dalam air mendidih, kemudian membungkus tali pusat bayi tersebut menggunakan kasa.
130
b. Menyarankan praktek mengompres menggunakan air mendidih yang dihangatkan terlebih dahulu Intervensi ini dinegosiasikan dengan atasat (orang yang mengompres ibu) dan atoni amaf (tokoh adat). Rasionalnya, suhu yang melampaui batas toleransi panas dapat menyebabkan perlukaan pada tubuh. Kain yang dicelupkan ke dalam air mendidih dan digunakan mengompres ibu maternal, dapat menimbulkan kulit melepuh dan rasa tidak nyaman. Tujuan penelitian menyarankan penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu sebelum digunakan mengompres dapat dilaksanakan kepada keluarga. Tidak terlihat ibu sakit-sakitan ataupun lesu seperti anggapan warga apabila tidak melakukan pengompresan dengan air mendidih.
Gambar 2. Ibu SS memberikan contoh cara mengompres tubuh Proses pengompresan yang dimulai dengan menuangkan air mendidih ke dalam bokor atau ember, kemudian dibiarkan sekitar 5 menit sebelum digunakan untuk mengompres. Ibu kemudian mengoleskan sedikit minyak kelapa ke telapak tangannya lalu mencelupkan selendang adat ke dalam 131
air panas dengan memegangnya di kedua ujung. Selendang adat tersebut kemudian diperas dan langsung ditekan-tekan ke seluruh tubuh. c. Meningkatkan pemahaman mengenai kolostrum Pemahaman
mengenai
kolostrum
diberikan
kepada
orang
yang
mendampingi ibu selama masa postpartum melalui kunjungan individual oleh peneliti lokal. Suami Ibu MT yang didampingi selama 40 hari pada pertemuan evaluasi tanggal 16 November mengatakan bahwa anaknya diberi kolostrum, tetapi tidak menimbulkan efek negatif. Bapak BS (tua adat) juga mengatakan bahwa selama anaknya melahirkan, pada bulan April 2012, kolostrumnya langsung diberikan, sehingga tim peneliti partisipatif sepakat agar semua ibu bersalin memberikan kolostrum kepada bayi, segera sesudah lahir. d. Memberikan pemahaman tentang mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan Pemahaman tentang mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan diberikan kepada ibu hamil dan keluarga bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi Ibu akan mempengaruhi produksi ASI yang berarti kecukupan gizi bagi bayi. Mengonsumsi jagung bose saja kadar
gizinya
tidak
mencukupi,
sehingga
disarankan
untuk
mencampurkannya dengan sayuran, kacang-kacangan atau lauk. Jagung bose yang dicampur tersebut memberikan efek positif pada status gizi ibu dan bayi, bukan penyebab feses berwarna kehitaman dan sakit perut pada bayi seperti yang diyakini masyarakat. Anggota tim peneliti partisipatif yang juga para tokoh sentral di Desa Binaus telah sepakat akan menguji coba pencampuran jagung bose pada semua ibu maternal yang bersedia melakukannya. Hal ini karena terbukti, Ibu SS yang mencampur jagung bose dengan lauk yang lain, tidak mengalami kekurangan ASI pada bayinya. Ibu SS mengonsumsi makanan lain selain jagung bose, yaitu nasi dan bubur nasi yang dicampur dengan kacang, sayur dan daging, 132
kecuali cabai dan garam. Ibu MT sendiri makan makanan selain jagung bose, hanya masih pantang makan makanan dengan rasa pedas dan garam. Atasat mempunyai peran penting dalam merawat dan mengatur makanan serta kebutuhan sehari-hari ibu maternal. Atasat juga memberi pengaruh kuat terhadap setiap perilaku ibu. Untuk itu, meningkatkan pemahaman atasat mengenai kegunaan kolostrum akan mempengaruhi ibu yang akan menyusui bayinya merupakan hal yang sangat penting. Pada penelitian ini beberapa atasat dan keluarga ibu terkadang masih ada selisih paham soal kolostrum. Usaha yang terus-menerus dengan berbagai bukti perlu ditekankan berulang-ulang kepada atasat dan ibu serta keluarganya agar tidak membuang kolostrumnya. e. Mendorong praktek penggunaan mau ana (selendang adat) sebagai kain pembalut (reusable) Ide menggunakan mau ana (selendang adat) sebagai kain pembalut selain karena telah menjadi tradisi, juga alasan ekonomis. Diketahui bahwa warga
Ds. Binaus termasuk desa dengan warga miskin yang cukup besar, sehingga penggunaan kain pembalut modern tentu akan membebani beban hidup keluarga. Mau ana yang digunakan sebagai kain pembalut adalah mau ana yang bersih. Sebelum digunakan kembali mau ana tersebut dicuci terlebih dahulu menggunakan sabun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibu SS menggunakan kain pembalut modern selama 40 hari postpartum, sedangkan Ibu MT menggunakan selendang yang dicuci terlebih dahulu, dicelupkan ke dalam air mendidih kemudian diperas dan dibentangkan di atas tempat tidur. f.
Melakukan negosiasi agar ibu bisa keluar dari rumah sebelum 40 hari Tradisi untuk berada di dalam rumah bulat selama 40 hari sudah tidak sering dilakukan lagi, karena setelah 1 minggu dalam rumah bulat, ibu sudah bisa keluar. Rumah bulat yang didalamnya digunakan untuk memasak dengan
133
menggunakan kayu bakar menghasilkan asap yang dapat mengganggu saluran pernafasan. Selain itu ibu yang melahirkan dengan normal, perlu mobilisasi untuk melancarkan peredaran darah dan proses mempercepat pengembalian alat-alat reproduksi pada kondisi sebelum hamil. Apabila ibu tinggal selama 40 hari bahkan lebih dalam rumah bulat, akses akan udara segar, sinar matahari dan sosialisasi alam akan terganggu. g. Melakukan negosiasi pembuatan rumah bulat dalam ukuran yang besar untuk mengurangi kepekatan asap Pembuatan rumah bulat ukuran besar sekarang belum bisa dilakukan, karena pertimbangan biaya. Walaupun demikian, tim peneliti partisipatif sepakat bahwa hal ini akan dipertimbangkan ketika mereka membangun rumah bulat lagi.
D. KESIMPULAN Tradisi persalinan Atoni meto yang dikenal dengan tradisi neno bo’ha sudah mengalami perubahan, baik dengan intervensi pihak luar, maupun karena keterbukaan masyarakat Atoni meto sendiri untuk menerima pengaruh luar. Selama 40 hari ibu dan keluarga menjalani tradisi neno bo’ha dengan modifikasi yang disepakati bersama. Pendampingan dilakukan oleh kader Posyandu dan tim peneliti lapangan. Dukungan sepenuhnya diberikan oleh dukun bersalin, kader posyandu, para tetua adat, pemerintah desa dan tenaga kesehatan, sehingga ibu yang menjadi riset partisipan dijadikan contoh di desa. Tindakan terkait kesehatan ibu maternal yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara lain: 1. Desinfeksi terhadap alat potong tali pusar dengan merebus gunting sebelum digunakan,
134
2. Penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu menjadi lebih hangat sebelum digunakan untuk mengompres tubuh ibu, 3. Mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan dengan dicampur sayuran, kacang-kacangan dan lauk, 4. Penggunaan mau ana (selendang adat) sebagai kain kain pembalut dengan mencuci kembali (reuseable), 5. Ibu yang menjalani masa nifas di rumah bulat sudah bisa keluar dari rumah bulat pada hari ke-lima postpartum, 6. Kolostrum, air susu pertama kali yang berwarna kuning yang mengandung zat gizi bagi bayi langsung diberikan kepada bayi segera setelah lahir, dan
7. Pembuatan rumah bulat dalam ukuran yang besar untuk mengurangi kepekatan asap belum bisa dilakukan saat ini karena terkendala biaya.
DAFTAR PUSTAKA Balitbangkes Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. (2015). Profil Kesehatan Tahun 2014. Kupang: Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo, Ahmad Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta. Nenometa, W. I. (2011). Hubungan antara Kunjungan Anggota Masyarakat dan Keluarga dengan Kesehatan Bayi selama 40 hari di Rumah Bulat (Ume Kbubu). Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
135
Ompusunggu, S. S. (2013). Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013 Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Purwanti, S. H. (2004). Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta: EGC. Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Ekslusif. Jakarta: Pustaka Bunda. Tefa, S. O. (2011). Ekologi Manusia: Aktifitas Melahirkan Selama 40 hari Suku Timor di Rumah Bulat (ume kbubu) di Desa Putun. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
TTS, D. K. (2010). Profil Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2010. Soe: Dinkes TTS.
136
9 Proses Modifikasi Tradisi Makan Jagung Bose Pada Ibu Postpartum di Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur Ferry F. Karwur¹, Venti Agustina¹, Kristiani D. Tauho¹, R.L.N.K. Retno Triandhini¹, Herman Sudirman² ¹
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana
²Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI
Abstrak Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan persentase masalah gizi tertinggi di Indonesia. Selain gizi kurang pada balita sebesar 33% (BB/U) dan 51,7% (TB/U), gizi kurang juga terjadi pada wanita hamil dengan prevalensi kurang energi kronik (KEK) sebesar 32,4%. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya masalah gizi di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi perawatan ibu melahirkan. Pada masyarakat Atoni Meto yang tinggal di Pulau Timor, tradisi Neno Bo’ha mengharuskan ibu mengonsumsi jagung bose sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein, lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan modifikasi tradisi konsumsi jagung bose dengan melakukan pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan metode participatory action research yang melibatkan 11 riset partisipan di 3 desa. Hasil penelitian ditemukan bahwa selama 40 hari semua keluarga partisipan melakukan modifikasi pangan dengan menambahkan bahan makanan lain pada jagung bose dan mengonsumsi bahan makanan yang bervariasi dengan kisaran 2–9 jenis bahan makanan. Bahan pangan selain jagung bose yang dikonsumsi ibu antara lain bubur beras, kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang, kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya, sayur jantung pisang dan daun singkong, telur ayam, daging ayam, daging sapi, ikan kering dan ikan mentah. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi
umumnya berada di atas angka kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam 40 hari yang masih mengalami kekurangan. Kata Kunci: jagung bose, ibu postpartum, tradisi Neno Bo’ha
A. PENDAHULUAN Gizi kurang di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu persoalan penting di Indonesia. Hasil penelitian riset kesehatan dasar (2013) menempatkan NTT sebagai propinsi dengan status gizi underweight dan stunting tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 33% (BB/U), 51,7% (TB/U). Sementara itu, status gizi secara nasional hanya sebesar 19,6% (BB/U) dan 37,2% (TB/U). Demikian juga dengan prevalensi kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil di Provinsi NTT sebesar 32,4% yang merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia (Sandjaja, 2009). Persoalan gizi masyarakat di NTT terutama dipengaruhi oleh faktor kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga serta juga faktor budaya (Karwur, dkk., 2007), faktor sosial (termasuk pendidikan) dan ekonomi (Depkes RI, 2008).
Rendahnya kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga ditentukan oleh tingginya kemiskinan, serta rendahnya sumberdaya pertanian. Rendahnya daya dukung pertanian disebabkan oleh kondisi geologis tanah yang tersusun atas karang, kondisi iklim kering pola curah hujan dengan bulan basah dan bulan lembab yang pendek, yang berujung pada produktivitas pertanian yang rendah. Di daerah persawahan TTS yang semestinya memiliki daya dukung pertanian pun separuh rumah tanggah mengalami kekurangan pangan dalam musim tertentu. Faktor sosial (termasuk pendidikan) dan faktor ekonomi memberi sumbangan pada persoalan gizi di NTT. Penelitian Fangidae, dkk (2012) menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak-anak di daerah Amanuban Selatan Kab. TTS, antara lain disebabkan karena buruknya pola asuh anak, termasuk pola makan di dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang masih
138
rendah, yang berimbas pada praktek pengasuhan kesehatan dan pemberian makan pada anak, perilaku kesehatan sehari-hari, sanitasi lingkungan rumah, pendidikan ayah dan ibu tentang gizi, serta rendahnya pengetahuan ibu dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Kondisi di atas diperburuk dengan ketersediaan air bersih yang minim. Sejumlah persoalan budaya dan tradisi yang terkait gizi ikut menyumbangkan pada persoalan gizi keluarga di NTT. Persoalan-persoalan tradisi dimaksudkan antara lain tradisi Neno Bo’ha dan konsumsi jagung bose selama periode 40 hari, membeli pinang dan siri ketimbang mengalokasikan sumberdaya ke konsumsi ibu dan bayi, dan beberapa keyakinan akan efek negatif dari makanan pada ibu menyusui dan ibu hamil (Martianto dkk, 2008). Persoalan-persoalan tersebut ditemukan di masyarakat Atoni Meto yang tinggal di Pulau Timor (Manongga dkk, 2008; Karwur dkk, 2007; Manongga dkk, 2008). Persoalan gizi tersebut diduga lebih buruk pada ibu dan anak yang berada dalam periode neonatal karena tradisi melahirkan Neno Bo’ha, yang dipraktekkan secara ketat (Nuban dan Karwur, 2013).
Persoalan penting lain adalah makanan yang dikonsumsi selama 40 hari di rumah bulat/Ume Kbubu. Dalam perkembangan kontemporernya, ada sejumlah ibu menyusui yang mengkonsumsi jagung bose pada hari pertama sampai hari ke7 tidak menambahkan makanan lain, dengan alasan takut diare, atau bahkan meninggal karena perut masih terluka, atau supaya darah kotor keluar dengan lancar. Jagung bose adalah pipilan jagung yang telah dikeluarkan kulit arinya, dan dimasak tanpa garam, sehingga berbentuk bak bubur jagung, walaupun buliran jagungnya masih kelihatan. Sisa waktu sampai 40 hari ibu sudah bisa mengonsumsi jagung bose yang telah dicampur dengan bahan makanan lain. Pemahaman masyarakat tersebut merugikan karena dapat mengakibatkan gizi kurang pada ibu pasca melahirkan seperti ibu yang hanya boleh makan jagung bose, tidak boleh makan buah pepaya (buah di sayur). Apa yang menjadi praktek pangan dalam tradisi Neno Bo’ha sejalan dengan konteks pangan di Masyarakat Timor. Sumber pangan yang dikonsumsi oleh penduduk Atoni Meto didominasi
139
oleh pangan sumber karbohidrat seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Sumber pangan protein dan vitamin seperti kacang-kacangan dan buah-buahan konsumsi masih relatif rendah. Secara lebih spesifik, studi yang dilakukan oleh Nuban dan Karwur (2013) menemukan bahwa konsumsi gizi ibu menyusui/pasca melahirkan selama 40 hari dalam tradisi Neno Bo’ha didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein, lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Akan tetapi, penelitian terdahulu (Karwur dkk, 2012) di Desa Binaus Kec. Mollo Tengah juga menemukan hal menarik bahwa ada sebagian kecil warga yang melakukan tindakan mengkonsumsi bubur beras padi selain jagung bose, serta menambahkan kacang-kacangan ke dalam jagung bose yang diperuntukkan ibu pasca melahirkan. Hal ini memberikan petunjuk bahwa tradisi mengkonsumsi jagung bose merupakan tradisi yang dapat dimodifikasi, dan tindakan itu belum/tidak menemukan adanya sangsi sosial yang nyata ataupun konsekuensi medik yang merugikan. Oleh karena itu, penelitian participatory action research ini bertujuan untuk melakukan modifikasi tradisi mengkonsumsi jagung bose dengan melakukan pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha, pada ibu-ibu yang melahirkan dalam periode tertentu di 3 desa (Binaus, Oelbubuk, dan Oel‘ekam) di
Kecamatan Mollo Tengah, Kab. TTS, NTT.
B. METODE PENELITIAN Penelitian modifikasi budaya Neno Bo’ha untuk peningkatan gizi dan bayi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun tipe penelitiannya adalah kajitindak partispatif yang melibatkan pihak sasaran yang diteliti, dan unsur subjektif mereka untuk ikut terlibat dalam mendesain bersama-sama anggota masyarakat rancangan intervensi modifikasi jagung bose dengan penambahan bahan makanan, baik yang diberikan pihak luar (peneliti luar) maupun pihak keluarga.
140
Penelitian dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel‘ekam
Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sejak bulan Juli hingga bulan November 2015. Jumlah riset partisipan sebanyak 11 orang ibu postpartum (5 orang di Desa Binaus, 2 orang di Desa Oelbubuk dan 4 orang di Desa Oelekam). Aspek kritis keberhasilan kaji-tindak partisipatif adalah dukungan pemangku kepentingan dimana persoalan yang akan dipecahkan bergantung kepada kehendak para pihak untuk berubah. Dalam hal ini, prakondisi sosial dan kelembagaan dilakukan dengan membawa pokok persoalan ke dalam pembahasan dan persetujuan pihak pemangku kepentingan. Pelaksanaan prakondisi sosial dan kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan dengan (a) menjalin hubungan dengan pihak otoritas Kabupaten TTS (b) memperoleh persetujuan dan pelibatan otoritas kecamatan dan desa (c) melakukan pembicaraan dan mendapatkan persetujuan pihak pemerintah desa (d) pelibatan Puskesmas Binaus (e) perolehan persetujuan sosial kultural atas rencana intervensi di tiap desa dengan melibatkan tokoh adat, masyarakat, kader Posyandu, pemerintah dan tenaga kesehatan desa.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Jagung bose merupakan makanan pokok bagi masyarakat Timor dan sudah menjadi bagian tradisi lokal untuk dikonsumsi setiap hari di samping beras. Pun pada ibu hamil diharuskan mengkonsumsi jagung bose selama 40 hari tanpa dicampur bahan makanan lain dengan alasan dapat memberi tenaga yang lebih sehingga mempercepat proses pemulihan ibu, mempercepat proses penyembuhan luka pasca persalinan dan meningkatkan produksi Air Susu Ibu (ASI). Namun seiring perkembangan jaman, terjadi perubahan pemikiran sehingga ibu postpartum yang hanya mengkonsumsi jagung bose saja sudah jarang dan jika masih adapun hanya 1 atau 2 ibu. Hal ini dikarenakan masih adanya pengaruh nenek atau kakek sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga tersebut.
141
Bahan pangan yang dikonsumsi ibu bersalin selama menjalankan tradisi Neno Bo’ha Sebelum melakukan intervensi, dilakukan identifikasi tradisi Neno Bo’ha dalam hal konsumsi jagung bose yang hingga sekarang masih diterapkan dalam keluarga 11 ibu hamil yang menjadi riset partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada persalinan terakhir, ibu masih melakukan tradisi mengonsumsi jagung bose murni hingga hari ke-40. Walaupun begitu, ada seorang ibu di Desa Oelekam yang mengatakan bahwa dia mengonsumsi bahan makanan apa saja yang ada di dapur, jadi tidak harus mengonsumsi jagung bose saja.
Sejak anak pertama sampai ketiga setiap setelah persalinan diharuskan makan jagung bose saja tanpa dicampur dengan bahan makanan lainnya selama 40 hari (Ibu SS, Binaus) Kalau saya apa yang ada di dapur itu yang saya masak, kalau ada jagung bose tanpa ada bahan lain ya saya makan kalau ada bahan lain ya. Saya masak jadi satu (Ibu NT, Oelekam) Persetujuan yang diberikan ke-11 ibu atas kesediaannya untuk memodifikasi jagung bose menjadi poin penting bahwa konsumsi jagung bose sebagai tradisi dalam Neno Bo’ha mempunyai peluang untuk diubah dan dimodifikasi dan tentunya ibu-ibu partisipan menyadari untung ruginya konsumsi jagung bose saja atau dicampur dengan bahan makanan lain. Dengan membandingkan pengalaman tradisi konsumsi jagung bose oleh Ibu SS, Ibu EL, Ibu NB, Ibu MO pada kelahiran anak sebelumnya dengan kelahiran anak sekarang menunjukkan perubahan yang berbeda bahwa mereka sudah tidak mengkonsumsi jagung bose saja selama 40 hari dan sudah mencoba mengkonsumsi jagung bose dengan tambahan bahan makanan lain meski dalam jumlah dan jenis yang masih terbatas, yaitu bubur beras, kacang tanah, telur. Penjelasan terkait zat gizi yang terkandung dalam jagung bose disisipkan saat peneliti dan kader mengunjugi ibu partisipan meminta persetujuan partisipatif dalam penelitian kaji tindak ini. Terdapat tiga bentuk tanggapan/reaksi pihak keluarga terhadap pemberian penjelasan tersebut: 142
1. Semua keluarga memiliki pemahaman yang positif bahwa jagung bose yang dikonsumsi oleh ibu bisa ditambahkan bahan makanan tertentu. 2. Ada 3 ibu dari 11 ibu tidak mengonsumsi bahan makanan tertentu yang dicampurkan ke dalam jagung bose. Ibu FS dan Ibu SS tidak mengonsumsi kacang turis, kacang merah dan kacang nasi karena menurut kepercayaan mereka bahan makan tersebut dapat menyebabkan bayi kembung. Selain 2 orang ibu tersebut, Ibu EL juga berpantang mengkonsumsi daging merah dan sayur sawi. Kepercayaan mereka yang sudah turun temurun untuk tidak mengkonsumsi bahan makanan tersebut membuat peneliti memberikan pilihan kepada keluarga untuk menggantinya dengan bahan makan lain seperti telur atau ikan. 3. Ke-11 keluarga partisipan penelitian ini menerima kegiatan peningkatan gizi untuk ibu dan bayi melalui penambahan stimulan bahan makanan yang diberikan kepada ibu.
Persepakatan mengenai bahan makanan yang dapat disediakan oleh partisipan dan yang ditambahkan oleh peneliti Peneliti mendiskusikan dengan keluarga mengenai bahan makanan apa yang tersedia di rumah dalam jumlah banyak atau cukup selama 40 hari dan yang dapat diambil dari kebun supaya peneliti tinggal menambahkan bahan makanan yang keluarga tidak bisa sediakan. Dalam rangka peningkatan status gizi baik pada ibu hamil maupun pasca melahirkan, peneliti bekerja sama dengan Puskesmas Binaus dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan pengolahan/memasak bahan makanan. Kegiatan penyuluhan dan pengolahan/masak bersama bahan makanan yang dicampurkan ke jagung bose dilaksanakan pada tanggal 5-6 Agustus 2015 di Kantor Desa Binaus dengan mengundang kader posyandu 6 desa di Kecamatan Mollo Tengah yaitu Desa Binaus, Desa Oelbubuk, Desa Oel‘ekam, Desa Pika, Desa Nekemunifeto, Desa Kualeu. Bahan makanan yang dipakai untuk ditambahkan pada jagung bose atau yang dipakai untuk intervensi modifikasi ini berasal dari bahan pangan lokal yang ditanam oleh masyarakat sendiri seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang, 143
kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya, sayur jantung pisang dan daun singkong. Peneliti memberikan stimulan bahan makanan seperti telur ayam, daging ayam, daging sapi, ikan kering, ikan mentah atau kacang-kacangan yang memang tidak bisa disediakan oleh keluarga.
Pemberian bahan makanan tambahan selama 40 hari Pemberian bahan makanan tambahan yang diberikan peneliti berupa kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang turis, kacang nasi, daging ayam, daging sapi, ikan kembung, ikan teri, telur, tahu dan tempe. Hampir semua jenis bahan makanan yang diberikan kepada semua ibu sama, hanya ada 5 ibu yang berbeda dari 11 ibu yang lain, yaitu Ibu NB yang mengkonsumsi kacang merah, Ibu NT dan Ibu DM mengkonsumsi kacang turis, Ibu GB mengkonsumsi kacang arbila dan Ibu MO mengkonsumsi kacang nasi. Pemberian kacangkacangan disesuaikan dengan apa yang ibu konsumsi selama ini. Peneliti membagi kebutuhan bahan makanan yang diberikan selama 40 hari dalam 6 minggu dan didistribusikan setiap 2 hari sekali kepada masing-masing ibu. Kebutuhan bahan makanan untuk 2 hari pertama diberikan saat pertama ibu sudah pulang dari Puskesmas atau Rumah Sakit selanjutnya peneliti atau kader atau keluarga dari ibu mengambil bahan makanan ke rumah peneliti lapangan atau ke kader yang mendampingi di tiap-tiap desa. Dalam proses distribusi bahan makanan ini, peneliti melibatkan kader Posyandu sehingga peneliti sudah menimbang setiap bahan makanan yang diberikan dan tinggal menyerahkan ke kader untuk diberikan ke masing-masing ibu. Pengolahan terhadap bahan makanan disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing ibu, seperti Ibu SS mengolah jagung bose dengan menambahkan kacang tanah, kacang hijau kemudian ditambahkan air dan dimasak sampai jagung dan kacang matang atau empuk sedangkan Ibu SP mengolah jagung bose dengan cara jagung bose dimasak dengan air terlebih dahulu, jika jagung sudah setengah matang baru dimasukkan kacang tanah dan kacang hijau kemudian dimasak lagi sampai jagung dan kacang matang. 144
Pemantauan pengolahan bahan makanan di rumah partisipan Pemantauan terkait pengolahan bahan makanan dilakukan oleh kader dan peneliti saat melakukan kunjungan ke rumah partisipan. Kader yang sudah dibagi di tiap-tiap desa saat melakukan pengukuran antropometri pada ibu dan bayi juga membantu untuk mendistribusikan bahan makanan dari peneliti kepada masingmasing partisipan dan juga mengecek bahan makanan apa yang sudah diolah pada hari tersebut. Pada awal pemberian bahan makanan, peneliti dan kader juga mengajarkancara perhitungan ukuran bahan makanan yang harus dimasak dengan menggunakan ukuran rumah tangga kepada ibu dan keluarga, yaitu jagung bose 1 gelas belimbing ditambahkan 5 sendok makan kacang tanah atau kacang hijau saat memasak jagung bose. Untuk memantau apakah bahan makanan yang diberikan diolah sesuai dengan porsinya, waktu kunjungan peneliti dan kader disesuaikan dengan jadwal memasak ibu. Jika kunjungan dilakukan tidak bertepatan dengan jadwal memasak ibu, peneliti meminta ibu untuk menunjukkan hasil olahan bahan makanan yang sudah dimasak.
Konsumsi bahan pangan selama 40 hari Konsumsi bahan pangan ke-11 riset partisipan, baik jumlah, frekuensi maupun jenis diperoleh melalui food recall yang dicatat oleh ibu atau kader dalam buku food recall. Semua ibu partisipan melakukan penambahan bahan makanan pada jagung bose, baik itu yang diadakan oleh pihak luar - peneliti - maupun yang diadakan oleh pihak keluarga sendiri. Diketahui bahwa dari 11 ibu tersebut 7 orang di antaranya sudah pernah menjalani tradisi Neno bo’ha sebelumnya. Makanan yang dikonsumsi oleh ke-7 ibu tersebut adalah jagung bose, bubur nasi, nasi, sayur sawi dan ikan. Hasil pembicaraan dengan mereka menunjukkan bahwa bahan makanan tambahan lain khususnya kacang-kacangan (kacang hijau dan kacang tanah) dapat ditambahkan dalam pembuatan jagung bose, karena diyakini kacang yang ditambahkan dapat memperlancar ASI, kecuali kacang tanah, kacang hijau dan kacang polong.
145
Empat orang ibu lainnya baru pertama kali menjalani masa nifas, sehingga tidak terpengaruh oleh tradisi Neno Bo’ha (makan jagung bose murni hingga 40 hari), sehingga dari hari pertama pasca persalinan ibu sudah mengonsumsi berbagai jenis bahan pangan, seperti jagung bose, bubur beras, telur, susu, sayuran dan daging atau ikan. Jagung bose yang dikonsumsi adalah jagung bose yang sudah dicampur den-gan kacang hijau, kacang tanah dan sayur.
Jumlah keragaman bahan makanan setiap partisipan selama menjalankan tradisi Neno Bo’ha Penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman bahan pangan per hari berkisar antara 2 s/d 9 jenis bahan pangan, dengan kisaran utama 4 s/d 7 jenis. Variasi rumah tangga dalam hal keanekaragaman pangan menunjukkan bahwa pada minggu pertama pasca melahirkan ada ibu-ibu yang menunjukkan variasi pangan yang lebih terbatas (Ibu FS dan NB) dengan 3 s/d 5 jenis bahan makanan pada minggu pertama. Sebaliknya, Ibu NT, DM, EL, SP dan MT mengkonsumsi bahan makanan yang tinggi pada minggu pertama. Adapun ragam jenis bahan makanan yang ditambahkan oleh keluarga sendiri lebih banyak/lebih beragam dari yang diberikan pihak luar. Penambahan jenis bahan makanan ini berimplikasi pada inovasi pembuatan bahan pangan, yang sebelumnya memiliki variasi terbatas.
Kecukupan zat gizi Kandungan dan nilai zat gizi yang direkomendasikan untuk ke-11 ibu riset partisipan yakni: kalori untuk (2580 kkal), karbohidrat (354 g), protein (78 g), lemak (71 g), kalsium (1400 mg), fosfor (700 mg), zat besi (32 mg), vitamin A (850 mcg), vitamin B1 (1,4) dan vitamin C (100). Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun kandungan zat gizi yang dikonsumsi ke-11 ibu telah melebihi dibutuhkan (terutama karbohidrat dan protein), tetapi masih terdapat kejadian dalam 40 hari tersebut, konsumsinya belum mencukupi. Banyak kejadian konsumsi lemak lebih rendah dari kebutuhan dan ada juga ibu tertentu yang kekurangannya lebih sering dari ibu yang lain.
146
Kecukupan zat gizi berdasarkan nilai tertinggi dan terendah selama 40 hari
untuk ke-11 partisipan akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Kalori Berdasarkan analisis kecukupan zat gizi pada ke 11 ibu, ditemukan bahwa nilai kecukupan kalori ke-11 ibu partisipan bervariasi setiap hari. Nilai zat gizi kalori pada Ibu EL menunjukkan jumlah kalori yang paling rendah dibandingkan dengan ibu lainnya dan dibawah jumlah kalori yang direkomendasikan yaitu 619 kkal (pada hari ke-3), diikuti oleh Ibu MO sebesar 866,1 kkal (pada hari ke-26). Sementara itu, nilai kalori tertinggi, 3x lebih besar dari yang direkomendasikan sebesar 7797 kkal didapatkan Ibu
ML pada hari ke-19. 2. Karbohidrat Konsumsi zat gizi karbohidrat pada ibu sebagian besar diperoleh dari jagung bose, bubur nasi dan nasi putih. Dalam periode 40 hari tradisi Neno Bo’ha, nilai karbohidrat tertinggi adalah 10 x lipat dari jumlah yang direkomendasikan sebesar 3704 gr (Ibu NB, pada hari ke-3) dan jumlah konsumsi karbohidrat paling rendah yaitu 96 gr (Ibu MO, pada hari ke-2). 3. Protein Konsumsi dan nilai zat gizi protein pada ibu berasal dari bahan makanan yakni kacang-kacangan yakni kacang tanah, kacang turis, kacang merah, kacang arbila maupun kacang panjang serta daging, tahu dan tempe. Kebutuhan protein yang dianjurkan pada ibu pasca melahirkan adalah 78 gr/hari, dilihat dari tabel tersebut nampak semua ibu mengalami kekurangan protein pada hari-hari tertentu dan jumlah konsumsi protein paling rendah pada ibu MO yaitu sebesar 7,8 gr dibandingkan dengan ibuibu lainnya. Ada 7 ibu yang mengalami konsumsi kekurangan protein pada minggu I dan sisanya pada minggu II dan minggu VI.
147
4. Lemak Lemak konsumsi dan nilai zat gizi lemak pada ibu berasal dari bahan makanan yakni daging dan susu yang jumlahnya masih terbatas. pada hari-hari tertentu konsumsi lemak ke-11 ibu tidak lebih besar dari 18 gr/hr atau hanya 1/5 dari total kebutuhan lemak yang dianjurkan.
D. KESIMPULAN 1. Semua keluarga partisipan melakukan modifikasi pangan dengan melakukan penambahan bahan pangan, baik yang diusahakan sendiri atau yang diadakan pihak peneliti. Dengan demikian, tradisi mengkonsumsi jagung bose adalah tradisi yang termodifikasi melalui intervensi, yang berimplikasi pada peningkatan keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi. Peningkatan pemahaman lebih luas yang tidak terbatas pada ibu dan keluarga memegang peranan penting.
2. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi umumnya berada di atas angka kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam 40 hari yang masih mengalami kekurangan. Ada Ibu tertentu yang kekurangannya lebih sering dan ada ibu yang lain. 3. Keinginan masyarakat untuk memperbaiki kualitas zat gizi dalam tradisi Neno Bo’ha sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini terbatas pada tiga desa. Diusulkan suatu program perbaikan gizi ibu dan bayi dalam pelaksanaan tradisi Neno Bo’ha secara berkelanjutan dan lebih mencakup seluruh daerah di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
148
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan R.I. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Fanggidae, Helen S., Ferry F. Karwur, Wilson M.A Therik. (2012). Pengasuhan, Gizi dan Kesehatan Anak Umur 1-3 Tahun Penderita Gizi Buruk di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS. Skripsi (Unpublished). Karwur, Ferry F., S.O Radja Pono, Dharma Palekahelu, B. Manongga. (2007). Food Se-curity and Rural Development in South Central Timor Based on Case Studies in Pollen and Kualin Subdistricts. Workshop to Identify Sustainable Rural Liveli-hoods. Kupang: ACIAR Proceedings No. 126. Karwur, Ferry F., Suharmiati, Sakti Oktaria Batubara, Kristiani D. Tauho. (2012). Kaji-tindak Partisipatif Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto untuk Men-ingkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah,
Kab. TTS, NTT. Surabaya: Balitbangkes Kemenkes RI. Manongga SP., Simon O Radjapono, Dharma Palekahelu, Ferry F. Karwur. (2008). Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kritis, 3:170-188. Manongga, SP., Dharma P. Palekahelu, Simon R. Radjapono, Ferry F. Karwur. (2008). Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Kritis, 20(2):135-155. Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo, Ahmad Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Ka-bupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Fakultas
Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta. Nuban, Christiana E. H., Ferry F. Karwur. (2013). Konsumsi dan Status Gizi Ibu Menyusui yang Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha pada Orang Timor. Salatiga: Skripsi, Unpublished.
Sandjaja. (2009). Resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Ibu Hamil di Indonesia. Gizi Indonesia, 32(2):128-138.
149
150
BAGIAN I1I Binaus dan Tantangannya
10 Pos Pelayanan Terpadu Desa Binaus Kristiani D. Tauho Department of Nursing, Faculty of Health Sciences, Satya Wacana Christian University
Contact address:
[email protected]
Abstrak Pos pelayanan terpadu yang dilaksanakan di tingkat desa atau kelurahan merupakan upaya yang dilakukan untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Posyandu sangat penting dalam usaha peningkatan kesehatan melalui tindakan preventif dan promotif yang dilaksanakan oleh kader dan anggota masyarakat secara sukarela. Tulisan ini mendeskripsikan pelaksanaan Posyandu yang ada di Desa Binaus yang merupakan pengalaman peneliti tinggal dan melakukan aktivitas bersama kader Posyandu antara tahun 2012–2016. Pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus dilakukan secara rutin sekali sebulan oleh 12 orang kader dengan sistem 5 meja. Sebelum hari buka Posyandu, kader melakukan persiapan (mengundang masyarakat, persiapan materi penyuluhan, pembagian tugas 5 meja, mengkoordinir pemberian makanan tambahan dan berkoordinasi dengan petugas kesehatan). Sedangkan di luar hari Posyandu kader mengunjungi ibu hamil, nifas, melakukan rujukan dan membuat laporan-laporan. Kegiatan-kegiatan tambahan yang di Posyandu Desa Binaus yaitu Bina Keluarga Balita, Pos Gizi, kelas ibu hamil. Kata kunci: Posyandu, kader, Binaus
A. PENDAHULUAN Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Tujuannya adalah
untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. Kementerian Kesehatan (2011) juga membagi Posyandu menjadi 4 tingkatan berdasarkan perkembangannya, yaitu Posyandu pratama, madya, purnama dan mandiri. Posyandu pratama adalah Posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh kegiatan bulanan Posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat terbatas yakni kurang dari 5 (lima) orang. Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin bulanan Posyandu, di samping karena jumlah kader yang terbatas, dapat pula karena belum siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah memotivasi masyarakat dan menambah jumlah kader. Posyandu madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, tetapi cakupan kelima kegiatan utamanya masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Lima kegiatan utama dimaksud adalah kesehatan ibu - anak (ibu hamil, nifas, menyusui, bayi, balita), KB (Keluarga Berencana), imunisasi, gizi dan penanggulangan serta pencegahan diare. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah meningkatkan cakupan dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator serta lebih menggiatkan kader dalam mengelola kegiatan Posyandu.
Posyandu purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan lima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan
program
tambahan,
serta
telah
memperoleh
sumber
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih terbatas yakni kurang dari 50% kepala keluarga (KK) di wilayah kerja Posyandu. Sementara itu, Posyandu mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber 154
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih dari 50% KK yang bertempat tinggal di wilayah kerja Posyandu. Manfaat Posyandu bagi masyarakat yaitu: a) memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak balita, b) dapat memantau pertumbuhan balita sehingga tidak menderita gizi kurang atau gizi buruk, c) bayi dan anak balita mendapatkan kapsul Vitamin A, d) bayi memperoleh imunisasi lengkap, e) ibu hamil terpantau berat badannya dan memperoleh tablet tambah darah (Fe) serta imunisasi Tetanus Toksoid (TT), f) ibu nifas memperoleh kapsul Vitamin A dan tablet tambah darah (Fe), g) apabila terdapat kelainan pada bayi, anak balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui dapat segera diketahui dan dirujuk ke Puskesmas dan h) dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang kesehatan ibu, bayi dan anak balita (Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2012). Kader Posyandu yang selanjutnya disebut kader adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan Posyandu secara sukarela. Kader mempunyai peran yang besar dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader ikut membina masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik di Posyandu
(Suhartini, 2009). Pemilihan pengurus dan kader Posyandu dilakukan melalui rapat desa dan dilakukan secara musyawarah mufakat sesuai dengan tata cara dan kriteria yang berlaku. Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengurus dan kader terpilih diberikan orientasi dan pelatihan yang dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai dengan pedoman orientasi dan pelatihan yang berlaku. Pelaksanaan kegiatan Posyandu secara rutin berpedoman pada panduan yang berlaku. Secara berkala kegiatan Posyandu dipantau oleh Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai masukan untuk perencanaan dan pengembangan Posyandu selanjutnya secara lintas sektoral (Kemenkes RI, 2011). 155
Begitu pentingnya sebuah Posyandu bagi masyarakat menuntut pelayanan yang diberikan oleh kader maupun tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Posyandu juga perlu ditingkatkan terus menerus. Tulisan ini adalah deskripsi pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus selama 4 tahun (2012-2016), salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang telah menjalankan Posyandu sejak tahun 1984.
B. GAMBARAN UMUM POSYANDU DESA BINAUS Terdapat 2 buah Posyandu mandiri di Desa Binaus yaitu Posyandu I Sakteo dan Posyandu II Sanbala. Posyandu I terletak di RT 2, Dusun I dan melayani masyarakat RT 1, 2, 3, 4, 5 dan 9, sedangkan Posyandu II terletak di RT 7 Dusun II (kurang lebih 3 km dari Posyandu I) dan melayani masyarakat RT 6, 7 dan 8. Posyandu I maupun II telah memiliki gedung permanen yang pembuatannya merupakan bantuan dari pemerintah. Masyarakat secara sukarela melepaskan tanahnya untuk dijadikan tempat dibangunnya Posyandu. Setiap gedung Posyandu memiliki 1 ruang tertutup berukuran ± 3x3 m, dengan emperan seluas ± 5x3 m.
Emperan tersebut yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan Posyandu, sedangkan ruang tertutup yang digunakan jika ada pelayanan KB atau pemeriksaan ibu hamil. Dalam ruangan tersebut segala macam fasilitas Posyandu seperti meja, lemari, kursi, spanduk dan buku-buku disimpan. Terdapat juga sebuah tempat tidur bagi ibu hamil yang akan diperiksa. Posyandu di Desa Binaus diadakan sekali sebulan, yaitu setiap tanggal 18 untuk Posyandu I Sakteo dan setiap tanggal 20 untuk Posyandu II Sanbala. Terdapat kesepakatan administratif yang ditetapkan di Posyandu, yaitu biaya administrasi sebesar 2 ribu rupiah setiap peserta Posyandu per bulan. Peserta Posyandu yang baru mendaftar, baik bayi maupun ibu hamil juga diwajibkan untuk membayar uang administrasi sebesar 5 ribu rupiah per orang. Semua biaya administrasi dari peserta Posyandu digunakan untuk kelancaran kegiatan Posyandu, seperti dana untuk makanan tambahan. Bagi ibu yang tidak membawa bayi dan balita-nya untuk di timbang di Posyandu, akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 5 ribu rupiah.
156
Kebijakan-kebijakan mengenai biaya administrasi dan denda ini merupakan hasil kesepakatan antara kader dan disetujui masyarakat
Gambar 1. Gedung Posyandu I Sakteo (atas), Posyandu II Sanbala (bawah)
157
Berdasarkan surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Tahun Anggaran 2010–2014, diketahui bahwa setiap Posyandu di Desa Binaus memiliki struktur organisasi yang jelas, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Ketua Posyandu bertugas mengkoordinir setiap kegiatan Posyandu, termasuk setiap anggota kader yang ada dan memastikan bahwa semua program Posyandu yang dibuat sendiri atau merupakan turunan dari Puskesmas dapat dijalankan di Desa, bendahara mengelola dan membuat laporan keuangan, sekretaris membuat notulensi dan mengarsipkan semua jenis administrasi, sedangkan para anggota bertugas menjalankan kegiatan Posyandu, baik sebelum, pada saat dan setelah hari Posyandu. Tabel 1. Struktur Organisasi Posyandu Desa Binaus Jabatan Ketua Bendahara Sekretaris
Posyandu I Sakteo Lidya Peninaen Herudia Banunu Yosrafina Tasekeb
Posyandu II Sanbala Yacomina Kase Dortia Kune Nonia Sanam
Anggota
Yacoba Sanam Nehemia Neken Selfina Tanesib Yosefina Hauoni
Anaci Sanam Sefnat Lo’o
Kader Posyandu Desa Binaus Secara keseluruhan, jumlah kader di Desa Binaus adalah 12 orang (Tabel 2). Awalnya masing-masing Posyandu di Desa Binaus mempunyai 5 orang kader, diantaranya 4 orang kader perempuan dan 1 orang kader laki-laki, namun sejak tahun 2014, Posyandu I Sakteo menambahkan 2 orang kader lagi untuk menyiasati luasnya wilayah binaan Posyandu sebanyak 6 RT, serta banyaknya peserta Posyandu
(78 balita). Sementara itu, Posyandu II yang mencakup 3 RT memiliki hanya memiliki sasaran sebanyak 24 orang balita, sehingga jumlah kader tetap 5 orang. Identitas para kader Posyandu dapat dilihat pada tabel 2. 158
Tugas Kader Posyandu Desa Binaus Tugas-tugas para kader Posyandu dilakukan sebelum hari buka Posyandu, pada hari buka Posyandu dan di luar hari buka Posyandu. Sebelum hari buka Posyandu, kader menyebarluaskan hari buka Posyandu melalui pertemuan warga setem-pat (biasanya melalui warta jemaat di gereja), mempersiapkan tempat pelaksanaan
Posyandu, mempersiapkan sarana Posyandu, termasuk membersihkan Posyandu bersama masyarakat, melakukan pembagian tugas antar kader, berkoordinasi dengan petugas kesehatan dan petugas lainnya dan mempersiapkan bahan makanan tambahan dan penyuluhan. Di Desa Binaus, persiapan tempat Posyandu dilakukan bersama-sama orangtua bayi-balita dengan membagi jadwal secara bergilir per RT, demikian juga dengan persiapan bahan makanan tambahan. Tabel 2. Identitas Kader Posyandu Desa Binaus Nama Lengkap
Umur
Lidya Peninaen Yosrafina Tasekeb Herudia Banunu Yacoba Sanam Nehemia Neken Selfina Tanesib Yosefina Hauoni Yacomina Kase Dortia Kune Nonia Sanam Anaci Sanam Sefnat Lo’o
48 41 42 70 52 47 41 63 54 37 49 48
Pendidikan terakhir SMA SMEA SMA SD SMEA SMA SD SD SD SD SD SD
Suku
Pekerjaan
Flores Mollo Amanuban Mollo Mollo Mollo Mollo Mollo Mollo Mollo Mollo Mollo
IRT IRT IRT IRT Petani IRT IRT IRT IRT IRT IRT Petani
Pada hari buka Posyandu, kader melaksanakan kegiatan dengan pola lima (5) meja, antara lain: (a) pendaftaran pengunjung Posyandu (b) melaksanakan penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita dan ibu hamil serta melakukan pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) pada ibu hamil dan WUS (Wanita 159
Usia Subur), (d) membantu petugas kesehatan dari Puskesmas Binaus dan Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (BPPKBKS) Kecamatan Mollo Tengah memberikan pelayanan kesehatan dan KB sesuai kewenangannya dan bersama petugas kesehatan melengkapi pencatatan dan membahas hasil kegiatan serta tindak lanjut setelah pelayanan Posyandu selesai, (e) melaksanakan kegiatan penyuluhan dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil penimbangan serta memberikan PMT. Para kader membagi tugas sehingga semuanya bisa berperan dalam kegiatan 5 meja ini. Pembagian tugas tersebut nampak pada Tabel 3 dan Gambar 2.
Gambar 2. Aktifitas di meja pengisian KMS (kiri atas), kader mengukur LILA ibu hamil (kanan atas), Kegiatan penimbangan bayi (kiri bawah), pembagian makanan tambahan (kanan bawah)
160
Tabel 3. Jenis pelayanan di Posyandu dan penanggungjawabnya Penanggungjawab Meja
Jenis pelayanan
1
Pendaftaran
Posyandu I Sakteo Lidya P
Posyandu II Sanbala Dortia K
2
Penimbangan
Nehemia N, Yosefina H Nonia S
3
Pengisian KMS
Yosrafina T, Herudia B
Yakomina K
4
Pelayanan kesehatan
Selfina T
Anaci H
5
Penyuluhan
Yacoba S, Lidya P
Sefnat L
Di luar hari buka Posyandu kader mengadakan pemutakhiran data sasaran Posyandu: ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui serta bayi dan anak balita, mem-buat laporan SKDN tentang jumlah semua balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja Posyandu, jumlah balita yang mempunyai Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku KIA, jumlah balita yang datang pada hari buka Posyandu dan jumlah balita yang timbangan berat badannya naik, melakukan tindak lanjut terhadapsasaran yang tidak datang dan yang memerlukan penyuluhan lanjutandan menghadiri pertemuan rutin kelompok masyarakat atau organisasi keagamaan. Kader di Desa Binaus juga secara berkala melakukan rapat dengan tenaga kesehatan, yaitu Kepala Puskesmas Pembantu (Pustu) maupun Bidan Desa. Kader juga bertugas memantau perkembangan ibu hamil, mengantar ibu hamil ke fasilitas kesehatan yang memadai dan mengunjungi ibu bersalin. Kegiatan tambahan yang dilakukan di Posyandu I Sakteo maupun Posyandu II Sanbala adalah Bina Keluarga Balita (BKB), kelas ibu hamil dan tabungan ibu bersalin (Tabulin).
Pos gizi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari Posyandu. Setiap balita yang memiliki berat badan di garis kuning ke bawah dalam grafik KMS, diundang untuk mengikuti kegiatan demo masak dari bahan pangan lokal secara bersama di rumah salah satu kader selama 10 hari berturutturut. Adanya kegiatan ini membuat ibu-ibu saling membagi pengalaman maupun resep makanan sehingga ibu lebih kreatif dalam memberikan makanan bagi anak.
161
Bagi masyarakat Desa Binaus, kader adalah pemimpin. Kader dipercaya menjadi perwakilan di organisasi-organisasi pemerintahan maupun gereja. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara selama ini, terlihat bahwa masyarakat selalu menyetujui setiap usulan yang diberikan oleh kader Posyandu, meskipun dalam pelaksanaannya tidak semua melakukan seperti yang sudah disetujui. Salah satu contohnya adalah kesepakatan agar keluarga ibu hamil segera memberitahu kader jika ada tanda persalinan, sering tidak dilakukan atau terlambat dilakukan sehingga ibu bisa melahirkan di rumah. Kesepakatan untuk tidak boleh mengunjungi ibu bersalin jika tidak bersalin di fasilitas kesehatan menyebabkan kader terkadang mendapatkan ancaman dari masyarakat yang merasa tidak bersalah dan diberlakukan dengan tidak adil. Kader juga selalu tidak sependapat dengan dukun bersalin mengenai persalinan, baik di rumah maupun di fasilitas kesehatan yang memadai. Jika terjadi kematian bayi atau keguguran, kader dan dukun bersalin saling menyalahkan. Dukun bersalinpun selalu tidak mengikuti pertemuan bersama yang membahas mengenai kesehatan ibu anak jika pesertanya ada kader, karena sering merasa tersinggung dengan sikap kader.
Dalam pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus juga terdapat beberapa kelemahan, yaitu tingkat pendidikan kader yang kebanyakan hanya tamat SD, sehingga terkadang sangat sulit untuk memahami bagaimana melakukan proses dokumentasi kegiatan. Beberapa kader juga usianya sudah lanjut, sehingga berpengaruh terhadap ketepatan pencatatan di KMS maupun dalam laporanlaporan. Tidak semua kader aktif melakukan penyuluhan (biasanya hanya ketua kader Posyandu I) dan beberapa kader sering mengeluh bahwa semua yang dilakukan tidak mendapat respon dari masyarakat dan mengatakan tidak mau menjadi kader lagi. Melakukan penetapan kader baru yang berusia muda merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena pada umumnya ibu-ibu muda menamatkan pendidikan atas dan memiliki wawasan yang lebih luas sehingga lebih banyak ide dalam memecahkan suatu masalah. Peluang terbesar yang dimiliki oleh Posyandu Binaus adalah banyaknya LSM maupun organisasi pemerintahan yang masuk. Hal ini adalah kesempatan 162
yang bisa digunakan oleh kader-kader Posyandu dalam meningkatkan kapasitas mereka melalui pelatihan-pelatihan sehingga pelayanan yang ada bisa semakin baik.
C. KESIMPULAN Terdapat 2 Posyandu mandiri di Desa Binaus yaitu di Dusun I (Posyandu I Sakteo) dan Dusun II (Posyandu II Sanbala). Pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus dilakukan secara rutin sekali sebulan oleh 12 orang kader dengan sistem 5 meja pada setiap tanggal 18 dan 20 pada bulan berjalan. Struktur organisasi Posyandu ditetapkan dalam SK Kepala Desa Binaus dan pelaksanaannya didampingi oleh petugas Puskesmas Binaus dan BPP-KBKS Mollo Tengah. Sebelum hari buka Posyandu, kader melakukan persiapan (mengundang masyarakat, persiapan materi penyuluhan, pembagian tugas 5 meja, mengkoordinir pemberian makanan tambahan dan berkoordinasi dengan petugas kesehatan). Sedangkan di luar hari Posyandu kader mengunjungi ibu hamil, nifas, melakukan rujukan dan membuat laporan-laporan. Kegiatan-kegiatan tambahan yang di Posyandu Desa Binaus yaitu Bina Keluarga Balita, Pos Gizi, kelas ibu hamil.
Pelaksanaan Posyandu mengalami tantangan tidak hanya dari dalam diri para kader yang kebanyakan sudah masuk dalam kategori lanjut usia sehingga berpengaruh terhadap kemampuan melakukan dokumentasi Posyandu, tetapi juga karena masyarakat tidak selalu menerima dan melakukan setiap keputusan yang disepakati dan masih terdapat perbedaan pendapat maupun sikap dengan dukun bersalin. Walaupun demikian, masuknya LSM-LSM ke Desa Binaus dan perhatian dari Pemerintah setempat merupakan peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh para kader dalam meningkatkan kapasitas mereka.
DAFTAR PUSTAKA Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
163
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2012). Buku Pegangan Kader POSYANDU. Jakarta: Promkes Kemenkes RI Suhartini. (2009). Petunjuk Teknis Kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui PNPM Mandiri Perdesaan Surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Tahun Anggaran 2010 – 2014
LAMPIRAN Profil Kader Posyandu Binaus Mama Lidya Peninaen, istri bapak Kepala Desa Binaus lahir di Geliting (Flores) tanggal 19 Mei 1968. Mama Lidya Peninaen, adalah seorang ibu berketurunan Cina dan sudah menjadi kader selama 10 tahun, semenjak suaminya menjabat sebagai Kepala Desa Binaus. Mama Lidya memiliki 2 orang putra dan seorang putri yang saat ini sudah menyelesaikan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor. Sebagai Ketua Kader dan juga Ketua Tim Penggerak PKK Desa Binaus, Mama Lidya Peninaen selalu memberikan penyuluhan dan motivasi kepada para peserta Posyandu dan keluarga mereka tentang bagaimana meningkatkan kesehatan tidak terbatas di Posyandu saja, tetapi juga gereja, kelompok kaum ibu, kelompok PKK dan dalam pertemuan apa saja seperti acara syukuran. Hal yang paling sering Mama Lidya Peninaen tekankan adalah agar persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai, yaitu di Puskesmas atau RSUD Soe. Dia selalu membantu keluarga yang datang melapor jika ibu hamil akan melahirkan, dengan menyiapkan fasilitas untuk mengantar ibu ke rumah sakit.
164
Mama Yosrafina Boimau adalah kakak ipar dari Mama Lidya Peninaen (saudara perempuan dari Kades Binaus). Mama Yosrafina lahir di Sakteo, tanggal 17 Juli 1975 dan merupakan kader sejak awal Posyandu didirikan pada akhir tahun 1980-an. Mama Yosrafina menikah dengan suaminya yang berasal dari suku Amanuban dan mereka mempunyai 4 orang anak perempuan. Anaknya yang sulung Mama Yosrafina sudah menamatkan kuliahnya dan sekarang menjabat sebagai salah satu kepala urusan (kaur) di Kantor Desa Binaus Mama Yosrafina Boimau selalu bisa ditemui dalam kegiatan kaum ibu, maupun kegiatan Posyandu.
Mama Ndunloe adalah orang asli Binaus yang menikah dengan suaminya yang berasal dari suku Rote dan memiliki 8 anak yang hidup. Dua diantaranya meninggal. Anak yang ke-4 meninggal ketika berusia 23 tahun, sedangkan anaknya yang bungsu meninggal ketika umurnya masih beberapa bulan. Mama Ndunloe yang lahir di Upheum pada tanggal 04 Januari 1946 juga merupakan kader yang masa pelayanannya paling lama di Desa Binaus (sejak awal berdirinya Posyandu di Binaus). Setiap hari Mama Ndunloe bergantian dengan menantunya menjual makanan ringan buatan sendiri di depan SD N Sakteo. Suaminya adalah seseorang yang memiliki keterampilan membangun rumah, dulu merupakan pendeta di Gereja Syalom Sakteo.
165
Mama Herudia Banunu adalah orang Amanuban Selatan, dari Noebeba yang lahir pada tanggal 18 Mei 1974. Mama Herudia menikah dengan Bapak Yorhans Tapatab dan memiliki 2 orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Rumah mereka terletak di Dusun II, tetapi mereka tinggal di rumah mertuanya sebagai rumah tua keluarga yang terletak di RT 3, Dusun I. Rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat memasak untuk kegiatan Pos Gizi. Rumah Mama Herudia Banunu setiap hari selalu dikunjungi oleh orang-orang, mungkin karena letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur ke Dusun II maupun ke Dusun I.
Bapak Nehemia Neken lahir di Sakteo tanggal 7 November 1964, merupakan kader yang menggantikan posisi istrinya yang sudah bertahun-tahun mengabdi sebagai kader Posyandu. Bapak Nehemia memiliki 3 orang putra dan 2 orang putri. Anak sulungnya sekarang sedang duduk di bangku SMA, sedangkan anak bungsunya baru duduk di Kelas 2 SD. Selain menjadi kader Posyandu balita, Bapak Nehemia juga merupakan koordinator untuk Posyandu lansia yang baru berjalan tahun 2015. Keterampilan lain yang dimiliki adalah keterampilan dalam membuat bangunan dan memperbaiki barang-barang yang rusak seperti payung dan berbagai macam barang elektronik. Tipitap (alat cuci tangan) yang ada di Posyandu I Sakteo adalah buah tangan Bapak Nehemia Neken, dari yang terbuat dari jerigen dan tali. Di Posyandu, Bapak Nehemia Neken biasanya bertugas di meja penimbangan.
166
Mama Yacomina Kase adalah istri dari Bapak Bernadus Sanam, salah seorang tua adat di Desa Binaus yang pernah memerintah Desa Binaus selama 20 tahun. Mama Yacomina Sanam dengan pendidikan terakhir SD lahir di Binaus tanggal 19 Desember 1953 dan telah menjadi kader selama 32 tahun, sejak suaminya menjabat sebagai kepala Desa pada tahun 1984 hingga sekarang. Mama Yacomina Sanam adalah ketua kader Posyandu II Sanbala, di RT 7, Dusun II, walaupun rumahnya jauh di RT 2, Dusun I. Mama Yacomina Sanam sangat aktif dalam kegiatan kaum ibu di Gereja Syalom Sakteo dan kegiatan pemerintahan di desa. Setiap kali Posyandu, Mama Yacomina akan berjalan kaki ke Posyandu yang berjarak sekitar 3 km dari rumahnya dan mengkoordinir semua kegiatan Posyandu, dari penimbangan hingga penyuluhan dan pemberian makanan tambahan.
Mama Nonia Sanam lahir di Biloto, tanggal 7 Desember 1979. Mama Nonia Sanam mempunyai 4 orang putra dan tinggal di depan Posyandu II Sanbala. Suaminya bernama Bapak Welem Na’u. Rumahnya selalu dijadikan tempat untuk menyiapkan makanan tambahan setiap kali Posyandu. Biasanya setelah melakukan penimbangan dan pelayanan kesehatan, peserta Posyandu akan datang dan makan di rumahnya. Kegiatan demo masak di Posyandu II juga selalu dilakukan di rumah Mama Nonia Sanam. Bahkan ketika terjadi konflik kepemilikan tanah Posyandu dan gedung Posyandu II disegel selama lebih dari 2 tahun, mama Nonia dan suami menyediakan rumahnya sebagai tempat pelaksanaan Posyandu.
167
Mama Dortia Oematan lahir di Sakteo, tanggal 2 Desember 1962, dengan pendidikan terakhir SD. Mama Dortia menikah dengan Bapak Obed Kune dan tinggal di RT 6. Mereka mempunyai 3 orang anak, 2 putri dan 1 putra. Di Posyandu, Mama Dortia Kunelah biasanya berada pada meja register atau penimbangan. Mama Dortia juga sering membantu tenaga kesehatan melakukan pencatatan hasil Posyandu. Mama Dortia pernah menjabat juga sebagai majelis di Gereja Syalom Sakteo sebagai penatua. Mama Anaci Sanam adalah satu-satunya kader dari 10 orang kader Posyandu yang sangat pendiam. Mama Anaci Sanam lahir di Kuantunan, pada tanggal 4 April 1967. Mama Anaci Sanam mempunyai 2 orang anak, seorang putri yang sekarang sudah bekerja di Surabaya dan seorang anak laki-laki yang masih berumur 10 tahun. Ketika anaknya berumur 6 tahun, setiap hari Mama Anaci Sanam mengantar anaknya ke sekolah yang berjarak sekitar 3 km dari rumah dan menunggunya hingga pulang ke rumah. Rumah Mama Anaci Sanam terletak di RT 7, sekitar 100 m ke
dalam dari jalan menuju Dusun III. Bapak Sefnat Lo’o lahir di Sakteo, tanggal 1 September 1968, dengan tingkat pendidikan terakhir SD. Bapak Sefnat memiliki 5 orang anak, seorang putri dan 4 orang putra. Bapak Sefnat Lo’o sama seperti Bapak Nehemia Neken merupakan kader laki-laki satunya di Posyandu II Sanbala. Selain membantu dalam penimbangan, dalam setiap kali Posyandu, Bapak Sefnat Lo’o yang selalu memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Bapak Sefnat Lo’o hanya bisa ditemui di Posyandu atau pada pertemuan –pertemuan di desa, karena merupakan petani yang setiap hari bekerja di kebun. 168
11 Empowerment of Women in Timor Tengah Selatan Natalia Stehle¹, Ferry F. Karwur² ¹ Evangelische Hochschule Ludwigsburg, ²Health Sciences Faculty, Satya Wacana Christian University
Preamble “We can end poverty by 2015” (United Nation 27.01.2015). With the above statement, the United Nations gained a worldwide attention in year 2000 as they established the Millennium Development Goals. The international targets aimed to improve the development of countries throughout the world by the year 2015. Therefore, goals such as “Improve Maternal Health”, “Reduce Child Mortality” as well as “Promote Gender-Equality and Empower Women” have been setted (Hadikusumah, 2013, p. 54-55). The UN reported in year 2014 about great developments, as well as about difficulties which the countries still have to struggle with. Though Indonesia still did not reach the targets of the MDG’s completely, the country is heading to improve the national situation and consequently to contribute to global development (Hadikusumah, 2013, p. 55-56). However, the results of the achievements are general and according to the country as a whole, not to its single regions and remote villages which still place values on traditional customs. This statement is supported by the fact that “some areas remain far behind, particularly in eastern Indonesia where child mortality rates in several provinces are more than double the national average” (Hadikusumah, 2013, p. 56).
The following paper aims to uncover the situations of women from a village in Timor Tengah Selatan - the eastern part of Indonesia. Because most of the women in the Binaus Village are housewives who manage the household, take care of their children and support their husbands in tasks such as farming, the main survey will analyse women who shortly became mothers. Due to limited capacities of the present paper, as well as to lacking language skills and English literature, a representative number of women from Hamlet 1 will be interviewed. The conditions of Timorese women will be analysed through further interviews within the village. Referring to the results of the survey and having regard to the status as well as to the possibilities of the women within the community, the aspects of empowerment will be discussed and evaluated. Through visualizing the needs of the women from Binaus, the following seminar paper aims to contribute to community development in Nusa Tenggara Timur.
A. BACKGROUND INFORMATION ON TIMOR TENGAH SELATAN AND THE BINAUS VILLAGE In terms of geographic position, Timor Tengah Selatan (TTS) is a regency in Nusa Tenggara Timur (NTT). NTT is a province which covers the area of Indonesia’s eastern Islands, bordering to the State of East Timor. The boundary of Timor Tengah Selatan to the North is Timor Tengah Utara which spreads out up to the eastern side of the regency and meets there the Belu Regency. To the West, Timor Tengah Selatan is bordering to Kupang Regency which is the capital of NTT, while the southern part is situated at the Timor Sea (BPS TIMOR TENGAH SELATAN 2013, p. 3). Since 2007, the Timor Tengah Selatan Regency consist administratively of 32 district which are divided into 228 villages and 12 urban areas (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 13). Its capital is SoE, a town that consists of 40,313 residents (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 33). In year 2012, the population of TTS was 453,386 out of which 229,436 residents were female (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 34). The highest percentage in 2012 represents the number of population between the age 0-4 years
170
with 13.40 %. This amount increased by 1.03 % compared to the year 2011. With 12.25 %, the age-group between 5-9 years follows, accompanied by the number of children aged from 10 to 14 years (11.13 %). In all age categories, male residents in TTS are the majority, except the higher number of female community members in the age groups between 20 and 49 years, as well as 60-64 years (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 37). The Badan Pusat Statistik (BPS) measures poverty by using the concept of basic needs approach. BPS views poverty as an economic inability to fulfil food and non-food basic needs. Those needs are measured by consumption and expenditure, for which a poverty line has been calculated. Consequently, a person whose monthly expenditure is below the poverty line, is considered to be poor (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 303). In year 2006, 39.93 % of people in Timor Tengah Selatan has been renowned as “poor”. The percentage reduced every year constantly until 26.96 % in year 2011. In the following year, the number of people below the poverty line increased again up to 27.53 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 307). In year 2012, maize (67.086 ha) and cassava (17.583 ha) counted as food crops that have been mostly harvested in TTS (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 147). In the same year, most of people used oil lamps (52.79 %) as a source of lighting and firewood (91,19 %) as main energy for cooking (BPS Timor Tengah Selatan,
2013, p. 128, 127). 63.97 % of the households in TTS used in 2012 public facilities for drinking water and 26.04 % were sharing it (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 117). Most of the households own a cellular phone (53.62 %) for technological communication and only 0.93 % possess a PC (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 115). One of the districts of TTS is Mollo Tengah. The district consists of 6 villages, having Sakteo as its capital (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 7, 17). The total number of residents in Mollo Tengah consisted of 7,328 in year 2012, out of which 1,749 households have been counted. That means averaging 4 people in a household (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 33). Conspicuous is that the
171
relation between the number of male (3,676) and the one of female (3,652) residents in Mollo Tengah are almost equal to each other (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 34). While in year 2012 the fertility rate in Timor Tengah Selatan was 6,679, infant mortality reached the number 127 which increased by 61 since 2011. The fertility rate in Mollo Tengah accounted for 136 in the same year, whereby the total infant mortality came to 3 children (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 43). Located in Mollo Tengah, Binaus is a village which consists currently of 534 females and 538 male residents. According to the interview with the Head of the Village, there are 508 male and 498 female workers in Binaus who are mostly involved into work in the household, farming and selling. Despite the usual age of first working experience which is 19 years, school children are already involved into work, helping their parents at home. This fact is visible on the total number of the villagers which is 1,072 compared to the number of workers, namely 1,016. From that comparison, it follows that there are 56 residents who do not work. At the same time the number of children in the age of 5 years and below is already 107. As it can be also observed on the data from year 2012 of Timor Tengah Selatan (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 67), the higher the educational grade, the lower is the number of pupils in the Binaus Village. While there are 148 children enrolled at Primary School, only 39 pupils continue with Junior High School and
29 carry it off to Senior High School. There are 2 boys and 2 girls in the village aged 7 to 8 years who cannot join the Primary School due to lacking finances for school equipment.
B. THE WOMEN OF A TIMORESE COMMUNITY Though Indonesia ratified the “Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women” in 1984, there are still gaps in the country’s legacy as well as in the policy concerning gender and social aspects. In year 2011, Indonesia ranked 100th out of 187 countries in the Gender Inequality
172
Index of IUN, which measures gender inequality aspects in: reproductive health, empowerment and the labour market. In terms of women’s economic empowerment, the country ranked in year 2012 position 85 out of 128. Those facts show that gender disparities in Indonesia are still high (MCA-Indonesia Social and Gender Integration Plan 2013, p. 8). Though gender gaps in educational aspects, such as school enrolments, are on the way to disappear in Indonesia, disparities still exist in Timor Tengah Selatan Regency. The average of female community members who never or not yet attended school was in year 2012 with 17.85 % higher than the one of male residents with 13.47 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 80). Remarkable is the number of female community members in the age between 19 and 24 years who never attended school. The percentage of 8.16 was almost double as high as the one of male residents of the same target group, which was 4.90 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 84-87). Further investigations in the same year revealed that the illiteracy quote of women was with 20.72 % higher than the one of men 15.95 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 82). According to school enrolments in year 2012, the numbers of girls not only in Primary (86.53 %) but also in Senior High Schools (42.21 %) were lower than the ones of boys (91.16 % and 51.51 %). In spite of that, the number of female students in TTS was with 2,33 % higher than the one of male university members who did not enrolled at university in year 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 83). As to the BPS-data of 2012, among the population aged from 10 years, 54.76 % female TTS-residents were married, 2.29 % divorced and 8.59 % widowed. The remaining 34.35 % were considered as single (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 35). In the same year, women aged between 19 and 24 years married to 53.78 % for the first time and to 25.63 % from the age of 25. while those numbers lessened since the year 2011, first marriages of the 15 and less aged girls have more than tripled from 1.07 % to 3.36 %. Also, girls in the age of 17 to 18 years married remarkable more frequently in year 2012 (14.39
173
%) than in the previous year (9.80 %) (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 40). Early marriages have a great impact not only on educational attainment of girls but also on their future economic potentials (MCA-Indonesia Social and Gender Integration Plan 2013, p. 10). 22.92 % of women from TTS who are 10 years and above and who ever married, had 3 children in year 2012. That is 3.19 % more than in year 2011. Furthermore, since the previous year the number of 6 children per woman increased up to 5.50 % and the amount of 9 children per woman mounted up to 0.53 % from 0.44 % in year 2011. Contrary, in the same year the quote of women without children has decreased since 2011 by almost 1 % to 8.00 %. Also, the percentage of women having 10 or more children lessened within a year to 0.63 in 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 41). In year 2012, 97.156 women in TTS have been considered as economically active, out of which 95.915 were employed. In terms of economic activities of male community members, 122.835 men out of 123.673 counted as employees. Not economically active were 51.441 female residents whereby 36.289 of them were involved into housekeeping. On the opposite, those were 17.781 male residents who did not count as economically active, out of which 1.578 were involved into activities in the household (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 47). Out of the total number of 9.154 in year 2011, there were 3.031 female official employees in Timor Tengah Selatan Regency. While in the same year the total amount of male civil servants was 685, there were 153 women involved as workers into civil services (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 19-21). From the population of the age 15 and above, 69.356 workers were unpaid, including 49.117 female labourers. Most women in TTS work 15 to 34 hours per week, while the total working hours of men are usually 35 and more hours weekly (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 48, 49). The average of people working in labour force in TTS increased in the year 2012 in rural areas up to 207,180. Compared to urban areas, which counted in the same year 13,649 labourers, forced labour conditions in rural places are remarkable higher (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 54). The data of 2012 shows that the number of female residents in the age of 15 or above who never attended a formal 174
education and who were participating on labour force was with 18,343 larger than the one of men which came to 12,570. It strikes that the higher the educational grade, the lower is the number of female forced labourers: While in the primary educational level 28,838 girls and women were working under forced conditions, there was no female forced labourer on the university-level (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 55). Except of forced labour in the sector of Diploma I, II and III, in all educational sectors forced labour is far higher in rural than in urban areas (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 56). In terms of participation on making political decisions and represent leading positions, the rate of women is limited in the Timor Tengah Selatan Regency. The total number of the representatives of political parties amounts to 40, out of which 5 are female (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 18).
The Role of Women in Binaus As from the interview with Bapak Desa, the women in Binaus are mainly involved into work in the household, farming and selling. In accordance to the information of Posyandu, the contemporary total number of children in the age of 5 years and below is 107. Furthermore, 7 pregnant women are currently registered in the village. There are 19 men and 10 women in Binaus who are officially employed. Out of these, women in the age of 24 and 37 years who work in the village office are 3 in number, whereby another 2 female employees are active in the village committee (cf. ANNEX 1, p. 21-22). The female workers in Puskesmas come daily from SoE since there is a lack of “skilled workers” within Binaus. Nevertheless, out of 12 cadres who work for Posyandu, 10 are female village residents. Their function in the health institution is to assist the midwife, whereby their tasks are comprised of supporting pregnant women as well as mothers and their children through data-collection, filling in the health-cards and providing practical health services. Furthermore, the cadres inform other village residents on health and nutrition of the mentioned target group. The 175
workers who are in the age between 40 and 68 years earn IDR 300,000.00 yearly, what is sufficient as a side job. Though there are 5 women from Binaus employed as teachers, the female headmaster of the Primary School as well as the woman leading Puskesmas are from SoE. In respect of leading positions within the community, those are 45 out of which Mama Desa is the only female leader. After her husband became the Head of the Village 9 years ago, Lidya Tasekeb got into her present position. The Head-Woman of the Village is furthermore the leader of the cadres as well as of the farmer group in Binaus. She also supports the church committee in the position of a council and is responsible for her “small shop”, as well as for her family in the role of a housewife. After she graduated from Senior High School, she married in the age of
19 years. The interviewee states of never having been supported by any organizations in educational or other skills, neither her children have ever been. All the 3 children were born in the Hospital of SoE. The woman did not stay in a traditional house after delivering because she does not view it as the right place for a mother and her newborn. The leading woman manages the numerous tasks outside as well as inside the house on her own. At home her position in decisionmaking is equal to the one of her husband. 1. Methodology
The method of the data collection is qualitative, based on narrative interviews with a representative number of women from Binaus who recently became mothers. The target group results from the widespread and common mindset within the community about the role of women, which is the one of a housewife and mother. The data for the following survey has been collected on 2nd February 2015 in Hamlet 1 of the Binaus
Village. One of the women stays in a traditional house after delivering, another one lives with her baby in the house of her grandmother. The interviewed women are two in number due to the limited time-frame for data collection. 176
The interviews consist of personal questions which are related to the background of the previous course of education, the current living and working situation, as well as of personal impression referred to the current position as a female community member in the Timorese village. The question concerning the stay in a traditional house after delivering is insofar as essential, as the target group refers to mothers and the decision about staying in a traditional confronts the women with cultural values. The indicators of the interview serve as an introduction to the target group for to illustrate who the women are and what they do. The ensued interviews vary between 20 and 22 questions since they have proceeded individually. The data collection happened to unannounced times. In both cases, the interviews have been accompanied by other community members who were present in the rooms for the duration of the data collection and even intervening into the conversations. Since it would be “impolite” to remain alone with the interviewed women, the dialogues have been continued in the presence of other family members. The observations during the interviews, on which the other attendees participated as well, have been included into the survey and turned out to be essential for the results. Due to language disparities between the interviewer and the surveyparticipants, the dialogues have been translated by a third person from Indonesian into English. The interviews have been put down on paper and later on transcribed. For data protection, the names of the women will not appear in the following survey results. 2. Results of the Survey The age of the interviewed women is 17 and 24 years. While the older one finished Junior High School, the younger interviewee graduated from Senior High. Both women who shortly became mothers are currently housewives, whereby the 17 years old woman plans to continue education in studying English. She aims to become a teacher. The teenager is not married 177
yet to the father of the 2 months old baby. As the grandmother explains, the 21 years old boy is still learning in High School and therefore not able to support the child financially. Neither the mother nor the baby have been backed by any institutions or organizations in Binaus yet. Although, since the baby has been born in Puskesmas Binaus, it has been checked up monthly at the health institution Posyandu. Since her childhood, the teenager lives at her grandmother’s place who retired from being a civil servant, wherefore she would have enough money to support her grandchild, as she claims. The elder lady who represents the leading position in making decisions at home, often speaks for the interviewee during the conversation. Answers like “we don’t support this tradition” make clear that she does not agree to the custom of staying in a traditional house for 40 days after delivering. It can be said that the mindset of the grandmother is distant from traditional thinking. The care giver of the interviewee is strongly directed towards the future of her grandchild and seems to place high values on education. Moreover, the term “we” speaks for high authority and a strong influence of the grandmother on the young woman. The lady supports and encourages her grandchild to continue in education for a “better future”. According to the interviewee, she has “no needs” to improve her current situation. Contrary to the 17 years old woman, the second interviewee is already married since one and a half years. The husband graduated from Senior High School, as he adds, and works currently as a farmer. At the time of the data ascertainment, the woman is mother of 2 children out of which one is 14 months and the second born one day old. The woman delivered in the hospital of SoE and in Puskesmas Binaus. Currently, she stays for the second time in a traditional house for 40 days. Though she wishes to get out of the hut, where firewood is burning next to the bed during the interview, she is not allowed to move into the “big house”. In terms of intervention in that case, the woman claims of not being able to vent her wish due to the traditional mindset. Nevertheless, she left the house monthly for checking up her first baby at Posyandu. Furthermore, as it comes to the question about continuation of the tradition for the next 178
generation, the woman hesitates shortly and answers, it would depend on the future situation of her children. In case, they would live in SoE, her daughters would not have obligatory to stay in a traditional house after having delivered. If the children would stay in Binaus, the interviewed woman would leave the decision up to them. Her opinion disagrees to the one of her husband, who proved to be strict in his traditional believes and their practice. Neither the 24 years old woman, nor her children have ever been supported by any institutions or organizations in Binaus. After hesitating for a while, the interviewed utters the wish of an own small shop to support her family financially. This answer responds to the question about feeling comfortable in the current position of a housewife. Next, the woman admits to the need of financial support for her own small business. Concerning the question of feeling more independent when being the owner of a kiosk, after a short look to the man, no answer follows. It can be observed during the interview that the answers of the interrogated woman come delayed. Before she replies to some questions, she keeps on thinking for a while. In her answers, she seems scared, shy, nervous and speechless, as if she would not dare to respond to the questions autonomous. Her manner becomes clear as the interviewee explains that in terms of making decisions at home, she would “listen” to her husband.
C. WAYS TO EMPOWER Several organizations are supporting the women in Binaus. One of these is Sanggar Suara Perempuan (SSP) which empowers women in TTS when it comes to issues in the process of divorce or the like. Bapak Desa mentioned among others the CWS which teaches women how to provide healthy food out of local resources. Through education, the organization aims to improve the health of pregnant women, mothers and their children. Furthermore, the organization HKI informs about planting in the own house yard, whereby PNPM helps 15 farmers in Binaus financially. The Head of the Village also mentioned the PLAN-organization which
179
backs children. Additionally, the interviewed person from Posyandu designated the
World Food Programme as a supporting organization for women in Binaus. By reference to the aims of those organizations, the position of women as housewives can be established and their tasks such as farming, cooking and taking care of children conjectured. In view of those results it becomes clear that the connection between mother and child strongly correlates in Binaus. As from the survey, it seems to be common in the village that marriages follow after pregnancies. The 24-year woman married as she was already pregnant and the teenage-mother plans to marry after the father of the baby finishes school. In terms of marriages or pregnancies in the age below 18 years, the village office demands payments in the amount of IDR 2,000,000.00 from the couple as a punishment. In year 2014 there were 2 such cases in Binaus. Although the penalties invest into the child’s future, the future of the mother changes aggravating, since in most cases the pregnant girls drop out of school because they feel” ashamed”. In terms of sexual education, only pupils in Senior High School know the facts, what means that young people with lower education remain on their own within a community for which the topic is a taboo. In this context, education about contraceptive methods and early information from an independent institution such as Posyandu should be provided, especially for young girls. Instead of financial penalties, preventive methods could decrease unexpected pregnancies and consequently avoid early marriages. On this way, girls could continue longer in school. In accordance to NTA early education not only “lowers fertility rates” but also “reduces maternal mortality, and improves the health of their children”. In terms of lacking food, the spectre of malnutrition is increasing and can unfavourable affect maternal health. Since organizations like CWS and WFP or institutions such as Posyandu help to improve understanding about health and nutrition, there is a better common understanding about health, especially that of pregnant women in Binaus Village. For medical treatment, people in Timor Tengah Selatan use mostly (75.53 %) Community Health Centres such as Puskesmas or Pustu (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 102). The main supporting institution for pregnant 180
women, mothers and their children is Pos Pelayanan Terpadu or short “Posyandu”. The health institution exists since 1986 in Binaus and not only provides health services but also informs the community on health and nutrition. Posyandu aims to improve the knowledge of women about healthy life for them and their families and contributes to combating the main health problem in Binaus which is malnutrition. The registration in Posyandu is obligatory for each pregnant women, mother and children until the age of 5 years. Even those women who stay in a traditional house after delivering for 40 days are obligated to the monthly visits with their babies
(cf. ANNEX 3, DESCRIPTION 2, p. 28). This fact is a good example for the development which currently happens in the Binaus Village. The regular check-up in health takes place, though the tradition is still kept. Since the residents of Hamlet 3 rely on the services of the Posyandu in Hamlet 2, it is difficult not only for the mothers and their babies to reach the place monthly but also for pregnant women to manage the journey. Due to the far distanced and onerous way from the remote area, some of the families from Hamlet 3 are not able to reach the health institution, particularly in times of rainfall. In this coherence, the government should undertake efforts to develop a better way of transportation, so that the residents of Hamlet 3 have a better access to the other part of Binaus where they can get provisions and health services, especially in emergencies or urgent cases such as delivering. The cadres who support the midwife at Posyandu are principally female. The workers are not only involved into administrative tasks such as collecting data or filling in the health-cards but also face numerous challenges when it comes to midnight-calls or irregular check-ups on children’s health. Such difficulties require not only great efforts but purposefulness and a high responsibility. The women bear witness to their administrative skills and abilities since almost 30 years but still work in a part-time job. Though “favourable and flexible working conditions for women” can be supporting in their function as housewives, their hard efforts should be recognized as such and paid suitable, so that the women are motivated to continue and even to develop in the work. 181
From the interview with Bapak Desa, as well as from those with the women, it follows that the position of a housewife is considered as the working place of a woman in Binaus. Furthermore, as it results from the survey, the position of young women in Binaus is subordinate in the household, be it to the position of the husband or to the one of the grandmother. Handayani Pinta is convinced that empowerment serves as “an effort to give opportunity and capability toward community groups to have voice and choice” (Handayani, 2013, p. 123). The empowerment of women aims mainly to improve the quality of their status within the community, among others through promote the women’s independence and to question gender-based issues (Handayani, 2013, p. 124). Because those women have less authority and influence in terms of choosing their working conditions or making decisions on their own, empowerment is necessary for to extend the women’s horizon and consequently to enable them in participation on decision-making processes. But as long as the women stay silent at home and do not appear in public, it is difficult for them to gain any attention in terms of empowerment or protection. Another point is that there is a lack of economical access for the residents of Binaus. As it becomes clear from the interview with Bapak Desa, there is a lack of “skilled” women in Binaus for officially registered jobs like the ones in Puskesmas or as head teacher in a school. To achieve skilled workers, it is necessary to provide suitable education. Nevertheless, on the school enrolments in Binaus, it can be observed that the higher the educational grade, the less children are enrolled. Furthermore, and as already stated in the first chapter, school children are involved into the work of their parents at home and count as workers, seemingly already before reaching the age of Primary School. It is important for the residents of Binaus to become aware, how important the education for their children’s future is. The 17-years old girl hesitates in answering the question whether she would like to teach in future in the Binaus Village. Also, the second interviewee takes into consideration that her children could move to SoE one day. Even the age of the cadres which is 40 to 68 years, testifies the lack of young people in this sector. Migration into cities seems common in Binaus. Because children and youths
182
constitute the future of each community, it is important to empower young people to stay in Binaus. If the new generations would show adequate skills for jobs in schools or in institutions such as Puskesmas, there would be no need to draw on staff from places out of the village. Consequently, the need of young people to emigrate from Binaus due to lacking employment-opportunities would lessen. According to NTA “gender equality is central to economic and human development”. The organization which empowers women is of the opinion that equal opportunities for both female and male community members support the economic growth and contribute to reduce poverty. Both, men as well as women should have an access to economic opportunities, so that their families can prosper and the country’s economy can keep on growing. Although, the amount of female and male residents in Binaus is almost equal to each other, 44 men feature on leading positions in the village, while there is only one female leader. The intention of Bapak Desa to elect a woman as a future leader of the village is a huge step towards women empowerment. Though no specific efforts have been undertaken yet, it is planned to intensify the participation of women on discussions about governmental issues, as well as to involve women into the organization of the village. The women in Binaus should be involved into those tasks and taught early enough for to provide administrative and other needful skills for the leading position. During the interview, the leading woman of Binaus first claims to feel comfortable as she undertakes responsibility and tries “the best” she can on her own, without anybody’s help. In the next moment, however, she confesses of being overwhelmed with the numerous tasks and wishes to “stop everything and focus on being just a housewife”. Involving other women or job-sharing could be a solution for the leading woman to maintain her tasks in work and at home. According to the interviewee, even if they work and no matter in which position, women in the Binaus Village do not earn money for themselves but for their families. Even though she is the leading woman in the village and has the same position with her husband in making decisions at home, Mama Desa shows confusion when it comes to the question about feeling “independent”. It can be concluded that the woman 183
–despite her leading position— is for the family and not for her own. Although the interviewee could not say that she feels independent in her current position, the woman seems to long for independence as she declines any help in her tasks and tries to manage them on her own. What stands out is that the interviewed women tend to “listen” to the leading decision-makers at their homes. Moreover, the women let those people speak for them as established during the conversations. Even when it seemed disturbing, the presence, moreover the intervention of other family members could not have been avoided since it would be “impolite” to interrogate the interviewee in privacy. While the first interviewed seemed unsure and nervous, searching several times for answers in other people in the room, numerous answers of the second young woman came from her grandmother. It seemed as if it would be of a matter of course that the questions are answered by other family members. While the grandmother of the secondly interviewed seems to play the role of a paragon and to have a great influence on her grandchild towards advanced reasoning, the husband of the other woman places values on traditional mindset. Nevertheless, the 24 years old interviewee showed courage in being of another opinion than her husband and even to voice it in his presence. On the other side, due to the power of the man in the house in terms of making decisions, the developed attitude of the woman which she gained from her own experience, will probably not be heard in future. In this case, the women should have an equal position at home when it comes to undertake essential decisions. As to own observations as well as to the results of the carried-on interviews, particularly of the interview with Mama Desa, it becomes clear that the women from Binaus need adequate education and “courage to speak”. Furthermore, it is of great relevance that not only the women themselves but also the leading relatives should be enlighten, since those authorities seem to dispose of vast power within the society. The access to leading positions for women can be achieved as soon as the traditional mindset opens up to equality between female and male community members.
184
D. CONCLUSION Since steps towards understanding on health and nutrition have been undertaken by numerous organizations in Timor Tengah Selatan, the regency is well on the way to combat poverty. And still, the role of Timorese women in the society and in economics is based on cultural attitudes. Particularly in places such as the Binaus Village, male as well as elder community members lead and make decisions within the society and even lead the households, although the primary role of female residents in the village is the one of a housewife. The women’s tasks are mostly to maintain the household and to take care of children, eventually to support the husband in farming or undertaking a side-job as a financial support for the family. Appropriate to the mindset of the society, the women keep away any kind of individualism and concentrate on the needs of their families. It seems as if their participation on labour is accepted by the community and compatible with the cultural values only then, when it does not interfere with the primary role of a woman as wife and mother. Because the women are for their families and not for themselves, it is probably why it is difficult for the women to speak for themselves. The women may prefer to stay in the well-known and since generations practised role as a housewife. Consequently, it is difficult to imagine a woman as a leader within a community that keeps on placing values on traditional mindset of the role of a woman. Therefore, it is important to make aware the authoritative members of the society about the importance of women empowerment, since they represent the leading positions and have the power to decide for other community members. Although the interviewed women seemed open for being heard, as they were talking about their life-situations in front of a foreign interviewer, the women themselves seem not to be aware of their capabilities and other possibilities beyond their role as housewives. Even the leading woman of the village, despite her equal position at home to the one of her husband, shows confusion when it comes to the sense of
185
feeling independent. At this point it becomes clear that the participation on making decisions at home is not enough for the women to achieve a higher position within the community. Since there is still a lack of official economical involvement of female residents in places such as the Binaus Village, possibilities for women to work outside their homes are necessary. The women should use their hidden potentials and have the courage to show them. Only when the women themselves are motivated and able to speak on their own, they will gain courage and have possibilities to access to leading positions which are equal to the ones of men. They should become leaders independently on the position of the husband, which should be not based on biological or gender-aspects but on skills and abilities. And that is where education and training become inevitable. Through education, the skills of female community members would increase and employment of female staff would contribute to economic growth of the regency. Education and enlightenment serves moreover to become aware about the issues of a community. To facilitate empowerment, it is important to talk and not to keep calm. Furthermore, the data collection for the preceding research proved as difficult due to lacking English literature concerning the topic, as well as difficulties in communication for the interviews in the village. From that it follows that there is no or little chance for international awareness, in other words, the above topic is still invisible for abroad. To make it visible, people from Timor Tengah Selatan should be encouraged to learn the English Language to enable international dialogue and consequently international cooperation for development. All in all, there are two relevant involved parties for empowering women. Firstly, appropriate regulations and possibilities should be provided which strengthen the women’s position within the community –what the Head of the Binaus Village is already willing to do— and secondly, the awareness of the women themselves is necessary. The access to education could help to make the women aware of their rights and possibilities. Only when the women themselves are willing to achieve a stronger position within the community, only then, empowerment can begin. 186
Therefore, the women in Timor Tengah Selatan should be encouraged to gain a stronger voice within the community.
REFERENCES BPS Timor Tengah Selatan: Timor Tengah Selatan dalam Angka. SoE, 2013. Hadikusumah, Ratna Y/Lundine, John/Sudrajat, Tata: Strategic Review Indonesia. Indonesia’s Progress on the 2015 Millennium Development Goals. 2013. Handayani Pinta, Sarah Rum: Empowerment of Female Batik Worker on the Development of Batik Industry in Sragen. Case Study at Wisata Kliwonan Village Subdistrict Masaran. In: International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 3 2013, No. 11., p. 122-129. MCA-Indonesia Social And Gender Integration Plan: Millennium Challenge Account – Indonesia. 2013. NTA: East Indonesia Aid. Gender Equality Policy. http://www.nta.org.au/gender_ equality_policy. 27.01.2015. United Nations: The Millennium Development Goals Report 2014. New York, 2014. United Nations: We can end poverty. Millennium Development Goals and Beyond 2015. http://www.un.org/millenniumgoals/. 27.01.2015.
187
188
BINAUS DI BALIK LENSA
12
Sapi Bali menjadi salah satu hewan ternak yang dipelihara masyarakat yang tinggal di Pulau Timor. Sapi jenis ini sudah teradapatasi dengan kondisi lingkungan Timor yang kering dan panas. Sapi-sapi di Pulau Timor biasanya tidak dikandangkan tetapi dilepas liarkan untuk mencari makan sendiri dan cukup ditandai untuk identitas kepemilikan. Seorang gadis kecil dalam foto
ini sedang menunjukan sapi peliharaannya dengan latar belakang rumah kotak.
Dhanang Puspita
190
Ume Kbubu Rumah tradisional Timor diberi nama ume kbubu yang artinya rumah bulat. Rumah tipe ini mirip dengan yang ada di Papua yang disebut dengan pilamo atau honai laki-laki. Rumah bulat dahulu digunakan sebagai rumah tunggal yang diperuntukan untuk tempat tinggal anggota keluarga, memasak, dan menyimpan hasil panen di atas parapara. Saat ini rumah bulat ada yang masih dijadikan sebagai rumah tunggal ada juga yang hanya dijadikan sebagai tempat untuk memasak dan menyimpan hasil panen. Untuk tempat tinggal sudah dibangun rumah sehat atau rumah kotak.
191
Dapur Ume Kbubu
Rumah bulat/ume kbubu yang berfungsi sebagai tempat tinggal sudah ditinggalkan karena penghuninya pindah di rumah kotak, tetapi tidak untuk aktivitas memasak dan berkumpul. Rumah bulat masih memiliki fungsi utama sebagai dapur. Menjelang malam, suhu di luar akan turun, maka dapur juga akan bertambah fungsinya sebagai tempat untuk menghangatkan diri dari suhu dingin sembari menunggu makanan di masak.
192
193
194
Teknologi Pengawetan Bahan Pangan Untuk menyimpan hasil panen berupa jagung, kacangkacangan, umbi-umbian, dan lain sebagainya masyarakat Timor menggunakan para-para yang ada di dalam rumah bulat/ume kbubu. Penyimpanan hasil pangan ini adalah model pengawetan bahan pangan secara tradisional. Prinsip pengawetannya adalah dengan pengasapan dari tungku perapian yang tepat ada di bawah para-para. Perapian akan menimbulkan panas yang berfungsi untuk mengeringkan bahan pangan. Dengan kadar air yang berkurang akibat pengeringan akan menurunkan aktivitas air (water activity), sehingga mikroorganisme pembusuk tidak bisa hidup. Asap yang timbul dari perapian berfungsi untuk mengusir oksigen yang ada dalam makanan yang merupakan metode pengawetan model kuno. Ketiadaan oksigen akan menekan reaksi oksidasi dan keberadaan bakteri aerob, sehingga bahan pangan akan terhindar dari kerusakan dan bisa disimpan dalam jangka waktu yang berbulan-bulan. (Gambar atas) Jagung (Zea mays) bisa dikatakan sebagai makanan pokok orang Timor. Di Pulau Timor sendiri ada bermacam varietas jagung, dan yang familiar adalah jagung lokal yang diberi nama jagung putih, kuning, dan jagung bunga. Oleh masyarakat Timor biasanya mengolah jagung dengan cara di titi (pipihkan), katemak (direbus) dan bose (dihilangkan kulit arinya), dan uk (dijadikan tepung). Pada gambar ini adalah jagung bunga. Dinamakan demikian karena jagung ini memiliki biji yang kecil dan cara mengolah-nya dengan cara disangrai untuk dijadikan berondong atau pop corn. Agar bertahan lama, jagung bunga disimpan dalam para-para dengan cara diasap dari tungku. (Gambar bawah) 195
196
Benteng Binaus Lokasi ini bisa dikatakan sebagai lokasi tertinggi di desa Binaus karena berada di ketinggian 677 m dpl. Lokasi yang strategis sebagai menara pandang untuk melihat sekitarnya. Pada jaman dahulu lokasi ini dijadikan benteng oleh penduduk Binaus yang merupakan suku Molo untuk menghindari serangan dari suku Amanuban dan Amanatun. Sisa-sisa Benteng Binaus atau ada yang menyebut dengan Benteng Oematan masih terlihat dari tumpukan-tumpukan batu yang kini sudah penuh dengan semak belukar dan pepohonan. Lokasi ini menjadi saksi bisu tentang perang suku pada masa lalu. (Gambar kiri) Pulau Timor memiliki lansekap yang unik dan salah satu buktinya adalah ditemukannya fosil-fosil hewan laut. Fosil-fosil ini menjadi bukti jika Pulau Timor pada waktu lampau adalah dasar lautan yang karena aktivitas tektonik kemudian terangkat ke permukaan dan menjadi daratan. Permukaan tanah yang berasal dari dasar lautan, kemudian terjadi suksesi dan membentuk lansekap baru tidak sepenuhnya stabil. Longsor acapkali terjadi terutama akibat aliran permukaan yang menghantam lapisan atas/top soil. Lokasi ini adalah longsoran di perbukitan di desa Binaus yang tepatnya di dusun 3 yang berbatasan dengan kecamatan Mollo Utara. Longsor tanah karena permukaan yang tidak stabil menjadikan salah satu ancaman ekologis, sehingga acapkali penduduk enggan bercocok tanam di daerah tersebut. (Gambar bawah)
197
Hulu Hasil
Pengucapan Syukur Orang Timor
Hulu hasil, demikian orang Timor menyebut salah satu kebiasaan spiritual di sana. Makna dari hulu hasil adalah sebuah pengucapan syukur atas hasil panen dengan mempersembahkan 10% dari hasil panen yang terbaik kepada gereja. Gereja yang menerima hulu hasil kemudian akan melelang persembahan ini untuk diuangkan. Hulu hasil dilakukan per keluarga dengan hasil panen berupa kacang, jagung, umbi, buah, ayam dan lain sebagainya. Bentuk persembahan ini di Jawa disebut dengan unduh-unduh. (Gambar kiri) 198
Pelelangan hulu hasil atau persembahan panen pertama akan dilelalang oleh pejabat gereja (syamas/diaken). Siapa saja bisa ikut dalam pelelangan ini. Uang hasil pelelangan ini akan masuk dalam kas gereja. Persembahan ucapan syukar acapkali tidakhanya saat musim panen, bagi masyarakat Timor setiap ada berkat harus sebagian disisihkan untuk persembahan di Gereja. Demikianlah cara masyarakat Timor memaknai hasil panen pertama mereka untuk dijadikan persembahan. (Gambar kanan) 199
200
Musyawarah Hingga Tut Fatu Pada waktu-waktu tertentu aparat pemerintah lewat kepala desa akan mengundang warga desa untuk melakukan pertemuan dengan beragam agenda. Perwakilan warga seperti; ketua RT dan RW, Kaur, Kader Posyandu, Tua-tua atau tokoh adat, Perwakilan dari ibu-ibu PKK, dan Organisasi Kepemudaan (karang taruna) akan diundang. Musyawarah di kantor desa ini biasanya dilakukan untuk sosialisasi program pemerintah, pengumuman, dan penampungan aspirasi dari warga. (Gambar atas) Titi Batu atau dalam bahasa Dawan adalah tut fatu adalah sebuah ritual rekonsiliasi dari dua pihak yang sedang bertikai. Secara etimologis titi/tut artinya menumbuk/memecah dan batu/fatu artinya batu. Jika ada sebuah permasalahan, maka tua-tua adat dan kepala desa akan mengundang kedua belah yang bertikai kemudian akan mendamaikan mereka guna menyelesaikan masalahnya. Rekonsiliasi dilakukan dengan perjanjian antara kedua belah pihak bahwa kejadian tersebut tidak akan diulangi lagi. Memecah batu/ tut fatu sebagi simbol yang artinya masalah yang keras seperti batu sudah dipecahkan dan tidak bisa dikembalikan lagi. Demikian tut fatu menjadi media rekonsiliasi dari pertikaian masyarakat yang diselesaikan secara adat dan disaksikan oleh aparat pemerintah. (Gambar bawah)
201
Ume Kbubu & Lopo Pada mulanya rumah adat orang Timor adalah rumah bulat seperti yang terlihat di samping kiri gambar. Rumah bulat kurang representatif dalam perkembangan budaya maka masyarakat mulai mengembangkan rumah kotak. Tata letak rumah bulat lazimnya berada di belakang rumah kotak. Tata letak bangunan ini menjadi bagian dari adat. Pada gambar ini rumah bulat dari rumah kotak bukan yang ada di sebelah kiri, tetapi tepat di belakang rumah kotak, terlihat dari adanya pagar pembatas dan undakan. Rumah bulat yang ada disebelah kiri pada gambar ini adalah rumah adat milik satu keluarga yang belum memiliki rumah kotak. (Gambar atas, halaman sebelah) Rumah adat di Pulau Timor tidak hanya ume kbubu/ rumah bulat dan rumah kotak, tetapi juga lopo. Lopo adalah bangunan rumah yang hanya beratap tanpa ada dinding dan sekatnya. Tidak sembarang orang bisa membangun lopo. Lopo adalah randevous atau tempat berkumpulnya orang untuk bermusyawarah atau diskusi. Lopo hanya dibangun di depan rumah Usif dan Atuin Amaf (Raja atau tua-tua adat). Sebelum lopo dibangun, maka tua-tua adat akan melakukan ritual dan berdoa. Ume Kbubu (rumah bulat) dan Lopo memiliki rangka konstruksi yang tidak jauh berbeda. Ada 4 tiang pancang utama, jika di Jawa disebut tiang saka (saka guru). Di bagian atas saka guru akan ada kolong yang berbentuk melingkar dengan jari-jarinya yang menumpang. Di atas kolong akan ditumpangkan lagi tiang sebagai kerangka atap. Untuk membangun lopo secara adat ada ritual khususnya. Pada gambar di samping adalah pembangunan lopo tepat di samping kiri gedung kantor desa Binaus. Lopo bisa dikatakan lebih istimewa keberadaannya dibandingkan ume kubu/rumah bulat. Pada gambar ini, lokasi lopo tepat di samping kantor desa dan masyarakat sedang berkumpul untuk melakukan ritual dan selanjutnya bergotong royong mendirikan lopo. 202
203
204
Spiritualitas Masyarakat Timor yang mayoritas beragama Kristen menjadikan gereja sebagai tempat untuk saling bertemu pada saat usai ibadah gereja. Kesempatan inilah yang biasanya dipakai oleh pemerintah atau tua-tua adat untuk memberikan pengumuman. Begitu juga jika ada warga baru atau tamu, akan diperkenalkan saat usai ibadah. Dengan dikenalkan di gereja, maka masyarakat akan diberitahu jika ada warga baru atau yang akan tinggal di sana. Gereja menjadi cara yang efektif dalam menyampaikan pesan atau pengumuman karena semua warga akan datang. (Gambar bawah) Masyarakat Timor yang mayoritas memeluk agama kristen selalu menyempatkan waktu untuk beribadah. Ibadah tidak hanya dilakukan di gereja tetapi juga di rumah penduduk. Secara bergilir akan dilakukan kunjungan dari rumah ke rumah setiap satu minggu sekali sesuai dengan jadwal giliran. Mereka yang mendapat tempat sebagai tuan rumah akan menyediakan tempat dan beberapa makanan kecil seadanya dan tanpa memberatkan. Ibadah ini sebagai wujud spiritual sekaligus mempererat jalinan ikatan sosial yang sudah terbentuk. (Gambar atas kiri)
205
206
Jalan Menuju Dusun III Untuk menuju Dusun III hanya ada 1 jalan yang bisa diakses. Jalan tersebut masih berupa tatanan batu/makadam. Jalan makadam ini hanya sampai pada Dusun II dan orang menyebutnya sebagai ujung aspal dan selanjutnya adalah jalan setapak melewati tepian sungai Noel Leke. Buruknya akses menuju Dusun III karena jalan yang belum baik acapkali menjadi penghambat mobilitas masyarakat yang hendak dan dari Dusun III. (Gambar atas, halaman sebelumnya) Sungai Noel Leke menjadi pembatas antara Dusun II dan Dusun III. Sungai ini juga menjadi akses menuju Dusun III. Warga yang hendak menuju Dusun III harus melewati tepian sungai Noel Leke dan jika perlu harus menyeberanginya. Pada musim penghujan debit air akan meningkat dan bisa menghentikan mobilitas antar desa, sebab belum ada jalan penghubung sekaligus jembatan. Rintangan ekologis inilah yang menjadi salah satu penghambat menuju Dusun III sehingga bisa dikatakan sebagai dusun terisolir pada waktu-waktu tertentu. (Gambar bawah, halaman sebelumnya dan gambar atas). 207
Sirih Pinang Budaya orang austronesia tidak lepas dari sirih dan pinang, begitu juga dengan orang Timor. Di beberapa tempat di Indonesia, budaya sirih pinang adalah suatu hal biasa tetapi di Timor, sirih pinang dijadikan simbol selamat datang, penghormatan, dan kekeluargaan. Sirih pinang dijadikan sebagai alat transaksi sosial agar diterima, dihormati dan masuk menjadi bagian masyarakat adat. Sirih pinang sepertinya tidak bisa lepas dari genggaman tangan dan tas rajut selempang bermotif timor yang selalu dibawa kemana saja. 208
Simbol Budaya Orang Timor Raskin (beras miskin) dibagikan kepada mereka yang masuk katogori miskin. Standar kemiskinan di masing-masing daerah berbeda-beda. Untuk daerah Timor, dikatakan miskin dilihat dari indikator tempat tinggal/rumah, pendapatan, konsumsi makanan, dan pakaian. Raskin seharga Rp 1.600,00 per kilogram akan didistribusikan kepada warga yang masuk kategori miskin dengan jatah 25 kg per kepala keluarga. 209
210
13 Penyimpanan Jagung di Ume Kbubu Adakah Hubungan Antara Bentuk Ume Kbubu dan Kerusakan Jagung Akibat Fufuk?
Yamri F. Saekoko1, Kristiani D. Tauho2 dan Ferry F. Karwur2 1Staf 2Fakultas
di Kantor Kecamatan Mollo Tengah Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected]
Abstrak Salah satu fungsi utama ume kbubu bagi Orang Timor adalah tempat menyimpan dan pengawetan hasil panen tanaman pokok, terutama jagung. Fungsi pengawetan jagung merupakan suatu kesatuan dengan fungsinya sebagai tempat memasak, yang memanfaatkan asap dan panas dari tungku api. Namun, dalam pengawetan tersebut kerusakan jagung akibat serangan hama gudang (fufuk) masih sangat signifikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemungkinan peranan desain ume kbubu dalam pengawetan jagung terutama terhadap fufuk. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif desktriptif menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Sampel yang diambil sebanyak 100 biji jagung secara acak dari bentuk ume kbubu oval, lancip dan parabola. Hasil penelitian ditemukan bahwa kerusakan biji jagung yang terjadi pada ume kbubu bentuk parabola, oval dan lancip adalah sebesar 3,17%, 9,5% dan 12,83%. Dapat disimpulkan bahwa ume kbubu sebagai tempat penyimpanan jagung lokal (pen muti) memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang yang relatif kecil. Kata kunci: Ume kbubu, pen muti, pengawetan jagung, hama gudang, fufuk
A. PENDAHULUAN Salah satu fungsi utama ume kbubu adalah untuk menyimpan hasil panen pertanian, dan karena jagung merupakan tanaman makanan pokok di Timor maka
ume kbubu dijadikan tempat menyimpan hasil panenan jagung dari kebun mereka. Mengingat iklim yang kering yang memungkinkan panenan jagung setahun sekali maka penyimpanan hasil panen dan pengelolaan stok pangan di ume kbubu merupa-kan sistem manajemen stok pangan keluarga (Palekahelu dkk, 2007). Menyimpan jagung di ume kbubu bertujuan agar hasil panenannya awet dan kualitas jagung tidak menurun saat dijual, dimakan maupun untuk benih. Setelah jagung dipanen biasanya dilakukan pemilahan berdasarkan berat, ukuran (besar/ kecil) sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Penyimpanan jagung umumnya dalam bentuk ikat dengan mengikatkan tongkol jagung yang satu dengan tongkol jagung yang lainnya, dan diletakkan atau digantung di para-para. Sebagai kesatuan dari pengawetan bahan hasil pertanian, ume kbubu dijadikan pula sebagai tempat memasak, yang dari tungku api menghasilkan asap dan panas, yang penting bagi pengawetan jagung sepanjang tahun. Biasanya, jumlah tungku api akan ditambah saat proses pasca panen jagung dengan jumlah bervariasi tergantung banyaknya jagung untuk membantu proses pengasapan sehingga semua sudut ruangan terasapi. Sumber utama asap biasanya petani menggunakan kayu kabesak, daun kabesak, daun kafui dan daun-daun hijauan lainnya. Proses pengasapan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut, setelah itu pengasapan hanya berlangsung saat memasak yakni 2–3 kali sehari. Namun demikian, persoalan-persoalan seperti kerusakan jagung yang disimpan akibat serangan hama gudang sangat signifikan. Kerusakan ini secara lokal disebut fufuk. Kumbang bubuk (Sitophillus zeamays) merupakan hama gudang yang paling dominan dan berkontribusi mempengaruhi kerusakan biji selama masa penyimpanan jagung. Inang utama dari spesies ini adalah jagung, padi, gandum, kacang-kacangan serta beberapa produk olahan lainnya (Hussain et al., 1985 dalam Bernard de Rosari et al., 2003). Serangga dewasa dapat hidup sangat lama antara beberapa bulan sampai satu tahun. Seekor betina dapat meletakkan telurnya 150 butir yang diletakkan pada minggu ke empat sampai minggu ke lima. Telur tersebut diletakkan pada lubang 212
biji jagung secara terpisah, kemudian lubang tersebut ditutup dengan cairan yang berasal dari induknya dengan masa inkubasi kira-kira enam hari. Setelah menetas larva mulai makan pada biji bagian dalam dan berkembang di dalam biji tersebut. Semasa hidup larva memiliki empat instar (tiga kali pergantian kulit). Masa pupa kira-kira 25 hari, bila telah menjadi dewasa mereka keluar dari dalam biji dan meninggalkan lubang yang sangat khas. Total perkembangan telur menjadi dewasa antara 35–100 hari tergantung kondisi lingkungan.
Pada jagung umumnya kehilangan hasil akibat serangan hama Sitophillus zeamays 4–5 %, namun pada jagung yang terserang berat dapat menyebabkan susut bobot 30-40%. Pengendalian dengan cara memanen tepat waktu, kebersihan gudang, penyimpanan, menyingkirkan hasil panen yang telah terinfeksi hama, pengasapan dan penjemuran berkala.
Gambar 1. Jagung yang digantung pada ume kbubu Untuk melihat kemungkinan peranan desain ume kbubu dalam pengawetan jagung yang disimpan di dalamnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ume kbubu di Desa Binaus sebagai tempat penyimpanan jagung
213
lokal (pen muti), dengan maksud untuk mengetahui keragaman bentuk ume kbubu yang dipakai untuk penyimpanan jagung lokal (pen muti) di Dusun II Binaus dan kerusakan jagung akibat hama gudang.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif desktriptif yang dilakukan di Dusun II Desa Binaus pada bulan September sampai Oktober 2009 pada 20 ume kbubu di sepanjang jalan Op mauntaif – Nibulelo. Pengumpulan data menggunakan observasi terhadap ume kbubu dan wawancara terstruktur serta wawancara tidak terstruktur tentang fungsi ume kbubu sebagai tempat penyimpanan jagung dan masalah-masalah yang ditemui. Data pengamatan terhadap kerusakan akibat hama gudang diperoleh dengan mengumpulkan sampel kemudian dicatat sesuai dengan parameter yang dipakai. Pengambilan sampel menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan rancangan penelitian sebagai berikut: 1. Jagung A : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk Oval, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai sampel 2. Jagung B : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk Lancip, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai sampel 3. Jagung C : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk
Parabola, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai sampel. Sampel diambil langsung dari ume kbubu milik petani setelah melakukan observasi dan identifikasi terhadap tempat penyimpanan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 3 tongkol tiap bentuk ume kbubu dan diulangi pada ume kbubu yang bentuknya sama, masing-masing 6 sampel ume kbubu. Sampel yang telah diseleksi ditimbang dan dimasukkan ke dalam plastik transparan, selanjutnya diberi tanda label. 214
Penghitungan persentasi kerusakan biji jagung dari setiap sampel dari tiap bentuk ume kbubu berdasarkan pengamatan dan perhitungan 100 biji jagung dari 3 tongkol per sampel rumah bulat secara acak. Dari 100 biji itu diamati banyaknya biji jagung yang terserang dan yang tidak terserang fufuk.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Jagung di Mollo Tengah Sebagai makanan pokok, jagung memiliki makna yang sangat penting dalam tiap penyajian makanan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kecamatan Mollo
Tengah pada khususnya. Varietas jagung lokal pen muti dan pen kikis adalah varietas yang dipilih oleh masyarakat berhubungan dengan kondisi lahan dan jenis tanah serta karena budaya petani setempat, selain karena lebih mudah dalam budidaya, lebih tahan disimpan lama dan lebih enak dari nilai rasa sehingga penggunaan varietas unggul belum menjadi kebutuhan utama. Kondisi lahan kering yang mendominasi Kab. TTS menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya jagung di seluruh kecamatan, termasuk di Mollo Tengah. Pada tahun 2015, luas panen jagung di Kecamatan Mollo Tengah adalah 1.402 ha, dengan rata-rata produksi jagung 28 kw/ha (BPS Kab. TTS, 2015). Hasil wawancara dengan tokoh adat, tokoh masyarakat mengenai luas lahan garapan tiap kepala keluarga tani seluas 0,5–1 Ha, dengan hasil panen sekitar 100–150 suku dalam keadaan hujan yang memadai, dan sekitar 80–100 suku jika curah hujan kurang memadai. Waktu panen yang beragam dilakukan pada bulan April– Juni setiap tahun. Penelusuran melalui observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tempat penyimpanan jagung yang telah dilakukan secara turun-temurun dalam masyarakat Mollo umumnya pada ume kbubu yang letaknya di belakang rumah induk dengan konstruksi bulat. Ume kbubu diibaratkan sebagai istri, sehingga dalam budaya setempat yang boleh mengambil jagung untuk 215
dimakan, dijual atau dibarter adalah istri. Jika dilakukan oleh orang lain, menurut kepercayaan mereka kelak akan dapat masalah/musibah dalam keluarga.
Gambar 2. Jagung dengan dan tanpa kelobot digantung di langit-langit loteng Ume Kbubu
Pasca Panen dan Metode Penyimpanan Setelah jagung dipanen, biasanya jagung diikat dan dihitung sebelum dimasukkan ke ume kbubu. Cara menghitung jagung untuk wilayah Amanatun dan Amanuban adalah dengan mengikat 8 tongkol jagung menjadi 1 tali (aisat mese). Kumpulan 10 tali membentuk setengah kuda (bikaes aobiafes), kemudian jumlah 20 tali biasanya disebut satu kuda (bikase mese). Sedangkan untuk wilayah Mollo termasuk Desa Binaus, jagung dihitung dengan cara mengikat 6 tongkol jagung membentuk 1 ikat (aistes). Kumpulan 2 ikat membentuk 1 tali (aina tes) yang setara 12 tongkol, jumlah 3 tali membentuk 1 Suku yang terdiri dari 36 tongkol.
216
Jagung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam loteng dengan memprioritaskan jagung bibit di bagian pusat loteng. Hal tersebut dimaksudkan agar jagung yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari dengan mudah diambil, karena berada di bagian pinggir. Selebihnya bersama dengan jagung yang tidak berkelobot dan kacang-kacangan digantung di langit-langit loteng.
Gambar 3. Jagung Lokal (pen muti) dari ume kbubu
Gambar 4. Jagung Lokal (pen muti) saat ditimbang
217
Menurut tokoh masyarakat di Dusun II Desa Binaus, masyarakat Mollo lebih suka menyimpan makanan seperti jagung dalam ume kbubu dengan pertimbangan lebih aman dan tahan terhadap serangan hama gudang atau fufuk. Tempat penyimpanan jagung selain ume kbubu adalah dapur yang oleh masyarakat setempat disebut dapur sehat dengan konstruksi persegi empat, pintu masuk yang lebih tinggi sehingga terasa adanya ventilasi udara yang lebih terbuka dibanding dengan ume kbubu. Beratnya jagung setelah berada di loteng di ume kbubu selama 6-9 bulan berkisar antara 3-3,5 kg jagung pipilan untuk setiap 1 suku (yang setara dengan 3 tali, 6 ikat, atau 36 tongkol).
Kerusakan Jagung Akibat Fufuk Fufuk tidak hanya menyerang jagung yang disimpan di luar loteng ume kbubu, tetapi juga menyerang jagung yang tersimpan di loteng ume kbubu. Kerusakan bulir jagung akibat fufuk bisa terjadi karena jagung yang dimasukkan ke dalam loteng ume kbubu belum waktunya untuk dipanen. Jagung yang belum waktunya dipanen masih mengandung kandungan air yang cukup tinggi dan bahkan dapat saja cukup lunak untuk diserang fufuk. Berawal dari terserangnya sebiji jagung, maka hama akan menyerang biji jagung lain yang sehat juga. Selain itu, fufuk juga bisa disebabkan oleh kurangnya asap dan panas di dalam ume kbubu. Semakin banyak asap dan panas di dalam ume kbubu, jagung di loteng akan semakin kering, sehingga tidak akan terkena fufuk. Jika asap dan panas tidak konsisten, maka ada kemungkinan jagung akan mengalami fufuk juga. Itulah sebabnya masyarakat selalu menyalakan api di ume kbubu sepanjang waktu.
Bentuk Ume Kbubu dan Kerusakan Biji Jagung Akibat Fufuk Hasil analisis kerusakan biji jagung akibat fufuk di setiap bentuk ume kbubu ditampilkan pada Tabel 1, 2 dan 3. Data penelitian menunjukkan terdapatnya biji yang sudah terinfeksi/rusak di semua bentuk ume kbubu. Namun, tidak semua sampel ditemukan hama. Ume kbubu bentuk oval sama sekali tidak ditemukan hama
218
pada semua sampel yang diambil. Sementara itu, ume kbubu parabola dan lancip ditemukan hama dengan jumlah 3 dan 1 ekor. Tabel 1. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Oval Rumah
Sampel 100 biji jagung
%
Bentuk Oval
Jumlah Hama
Jumlah Biji Sehat
Jumlah Biji terinfeksi
Kerusakan Biji
Sampel 1
-
83
17
17
Sampel 2
-
94
6
6
Sampel 3
-
97
3
3
Sampel 4
-
94
6
6
Sampel 5
-
75
25
25
Jumlah
0
443
57
57
Rata-rata
0.00
73.83
9.50
9.5
Sampel 6
Tabel 2. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Lancip Rumah Bentuk Lancip
Sampel 100 biji jagung Jumlah Jumlah Jumlah Hama Biji Sehat Biji terinfeksi
% Kerusakan Biji
Sampel 1
-
95
5
5
Sampel 2
2
63
37
37
Sampel 3
-
96
4
4
Sampel 4
1
85
15
15
Sampel 5
-
81
9
9
Sampel 6
-
93
7
7
Jumlah
3
513
77
77
Rata-rata
0.50
85.50
12.83
12.83
219
Tabel 3. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Parabola Rumah Bentuk Parabola Sampel 1
Sampel 100 biji jagung Jumlah Jumlah Biji Sehat Biji terinfeksi 97 3
% Kerusakan Biji 3
Jumlah Hama -
Sampel 2 Sampel 3
1 -
82 97
8 3
8 3
Sampel 4
-
98
2
2
Sampel 5
-
97
3
3
1 0.17
471 78.50
19 3.17
19 3.17
Sampel 6 Jumlah Rata-rata
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kerusakan biji jagung terbanyak terjadi pada ume kbubu bentuk lancip (12,83%), kerusakan sebesar 9,5% terjadi pada ume kbubu bentuk oval dan 3,17% pada ume kbubu bentuk parabola. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa penyimpanan jagung lokal (pen muti) pada ume kbubu memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang yang relatif kecil. Kerusakan biji jagung atau fufuk yang terjadi dapat disebabkan oleh kerusakan fisik yang terjadi pada saat panen, karena jagung terkena tetesan air hujan. Ketika menyusun atau menata jagung pada loteng secara tidak teratur jagung yang basah akan rusak karena kelembaban yang tinggi sehingga menyebabkan fufuk.
D. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data hasil penelitian, hasil analisis dan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa rumah bulat (ume kbubu) bentuk parabola sebagai tempat penyimpanan jagung lokal (pen muti) memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang relatif kecil, yakni 3,17%, bentuk oval 9,5% dan bentuk lancip 12,83% dari sampel 100 biji jagung (yang diambil secara acak dari 3 tongkol jagung) dengan masa simpan 6–9 bulan setelah panen.
220
Penelitian lebih jauh dan mendalam diperlukan untuk mengenai tingkat kerusakan jagung akibat hama fufuk dengan sampel yang lebih banyak, pada rentang waktu yang panjang sejak masa penyimpanan. Diperlukan juga analisis pengaruh waktu panen dan tingkat kerusakan hama fufuk. Secara praktis, Berdasarkan penelitian ini disarankan agar dilakukan pengeringan secara maksimal sebelum jagung dimasukkan dalam loteng ume kbubu sehingga dapat mengeliminir tingkat kerusakan akibat kelembaban yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2015). Statistik Pertanian Kabupaten Timor Tengah Selatan 2015. Soe: Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan Palekahelu, D., Manongga, S.P., Karwur, F.F. (2007). Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kab. Timor Tengah Selatan. Jurnal Kritis 19:170-188. de Rosari, B., Meke, D.B. dan Murdolelono, B. (2003). Upaya Menekan Kerusakan Jagung yang disimpan pada Rumah Bulat Timor dengan Teknologi Infus Asap (TIA). Penerbit BPTP Nusa Tenggara Timur - Naibonat - Kupang.
221
222
14
A methodological and ethics consideration on mental health, poverty and indigenous psychology research in Binaus Village, West Timor, East Nusa Tenggara - Indonesia1 Yulius Yusak Ranimpi Faculty of Health and Sciences Satya Wacana Christian University Contact address:
[email protected]
Abstract In Indonesia, mental health issues have received limited attention at the levels of policy and practice due to limited resources. Moreover, concepts of mental health are contextualised within broader cultural, spiritual, socio-economic and regional factors that may alter perceptions of mental health and poverty and any relationship between them. This study was motivated by the lack of health and mental health services in the region and the limited understanding of local conceptions of mental health and poverty in developing nations. To examine these issues, Indigenous Psychology was applied as a perspective and lifeworld phenomenology as the associated research method. This paper describes the methodological and ethical considerations which apply to this research.
Keywords: mental health, poverty, phenomenology, psychology indigenous, lifeworld, ethical considerations
1 This is an up-dated article from the original article by Ranimpi, Yulius Yusak, Hyde, M B, Oprescu, F I (2014), Mental Health, Poverty and Indigenous Psychology Research in East Nusa Tenggara-Indonesia: Methodological and Ethical Considerations. Proceedings of the 3rd Hong Kong International Conference on Education, Psychology and Society, Hong Kong, China, 29-31 December 2014, pp.330-341.
Introduction In his 2001 address to the World Health Assembly, UN Secretary General Kofi Annan said: “the biggest enemy of health in the developing world is poverty”. Globally, there is a stark relationship between poverty and poor health in the least developed countries.
In their latest publication on the global burden of disease, Whiteford and others (2010) cited that 400 million people suffer from bipolar disorder and 24 million from schizophrenia, 140 million are affected by alcohol and drug use disorders and 80 million children have behavioural disorders (conduct disorder or attention deficit hyperactivity disorder). These mental health and substance use disorders, in 2010, accounted for 7.4% of the global burden of disease, which is defined as premature death combined with years lived with disability. Mental health in Indonesia has long been neglected. The effects of environment (social, political, climatic, ecological and economic) on the psychosocial well-being of a population are complex and multiple. In many parts of Indonesia, and over many decades, populations have endured deprivation and hardship, whether because of social conflict, poverty or natural disasters. A large number of people in Indonesia suffer from mental health conditions, ranging from mild psychological distress to acute mental disorders. As noted by Good, DelVecchio-Good & Grayman (2013), effort to develop sustainable services for persons with mental health problems have come face to face with the limitations of the country’s mental health system. Indonesia has among the smallest number of psychiatrists and mental health specialists, as well as psychiatric beds, per population of any country in Southeast Asia, ranking only ahead of Papua New Guinea, Cambodia and Laos. Physicians and other health professionals who work in general medical services often lack training in how to diagnose and treat mental health problems, and the country lacks community mental health services. Psychology was developed in the Western world within largely positivist and individualist frameworks. Throughout the history of the evolution of psychology, the major theories and their proponents all originated from the Americas and 224
Europe. These approaches presuppose social phenomena as being relatively exact and universal. However, this approach is problematic in its application with many indigenous or native communities in developing countries, as it may not be relevant or applicable in health policy or understandable within the indigenous communities themselves. As Cohen (1999) suggests, indigenous perceptions of human behaviour not only differ from Western classifications of mental health, but some conditions that warrant special attention in Western contexts may have positive connotations in an indigenous society. From another perspective, the human rights of indigenous people should be recognized because of their inherent dignity and because they make a significant contribution to the development and plurality of society in general (Cohen, 1999). Therefore, from the more recent perspective of indigenous psychology, it would appear relevant to examine the interrelationships among sociocultural environments, poverty and mental health. In this approach, mental health can be considered as being deeply enmeshed within economic, social, cultural, spiritual and ethnographic contexts such as poverty, hunger and malnutrition, social change, violence and dislocation. Kim and Berry (1993) suggest that indigenous psychology questions the universality of existing psychological theories and attempts to discover psychological universals within social, cultural and ecological contexts. Indigenous psychology advocates examining knowledge, skills, and beliefs people have about themselves and how they function in their familial, social, cultural and ecological contexts. As psychological and social phenomena, mental health and poverty will be the starting point in this study for building theories, concepts and methods to address the research questions. For example, there are several studies (Buckner, Beardslee & Bassuk, 2004; Fitzpatrick, Piko, Wright & LaGory, 2005) that have examined the relationship between mental health and poverty or other social phenomena.
The perspective of indigenous psychology has the capacity to reflect the diversities and differences found among communities in developing countries, to better identify their conceptions of poverty and mental health and any relationships between them in an indigenous context and setting. 225
A. RESEARCH LOCATION AND SETTING This research project is located in Binaus village, West Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia. This village is representing minimal natural and social conditions in East
Nusa Tenggara province. Based on available data from the NTT Statistical Office (BPS NTT, 2013), the rate of poverty in this region is 20.4% (12.2% in urban areas, 22.4% in rural areas) out of a total population of 4,776,485. This figure is higher than the national average, which is 11.7% (8.6% in urban areas, 14.7% in rural ar-eas). The measurement of poverty BPS adopted is based on the ability of people to fulfil their basic needs using and the average of people’s expenditure per month. This approach was introduced by the International Labour Organization in 1976 (ILO,
1976). In accordance with this situation, other relevant indicators related to poverty include:
School participation Table 1.1. School participation (in %) in East Nusa Tenggara Province and Indonesia, 2010-2012 East Nusa Tenggara
Indonesia
Years Ages
Years
2010
2011
2012
2010
2011
2012
7-12 y/o
96.5
96
96.1
98
97.6
98
13-15 y/o
81.2
86
88.7
86.2
87.8
89.6
16-18 y/o
49.2
60.2
62.2
56
58
61.
19-24 y/o
14.4
15,4
18.4
13.8
14.3
16
Note. Retrieved from “Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012,” BPS NTT, 2012. Table 1.1 shows there was an increase of school participation for every age group from 2010 to 2012. However, this was limited, especially in the age groups of
226
16-18 years and 19-24 years. This outcome is influenced by poverty, in that many school-age children need to seek work (in their own region or outside the region). In 2012, from 2.1 million workers, there were still 17.1 per cent of people aged 15-24 years who were eligible to be in school. There are no more recent data available through Indonesian or associated sources.
Illiteracy rate Table 1.2. Illiteracy rate (in %) in East Nusa Tenggara Province and Indonesia, 2010-2012 East Nusa Tenggara
Indonesia
Years Ages
Years
2003
2011
2003
2011
15 y/o
15.1
12.4
10.2
7.2
15-44 y/o
7
6
4
2.3
45 y/o and over
35
26
25.4
18
Note. Retrieved from “Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012,” BPS NTT, 2012. As an implication of the lower rate of school participation, especially for those 15 years and older, the rate of illiteracy in this group is still high with
12.4% in 2011. This is significantly higher than the national average (7.2%). The other relevant factor is readiness to work. In 2012, the percentages of workers in NTT by level of education were: 1. 66.3% not educated or having only completed elementary school 2. 11.9% having completed junior high school 3. 14.8% having completed senior high school, and only 4. 7.1 having completed education from a university.
227
In summary, more than 70% of the workforce in NTT has lower than the national level of education (BPS NTT, 2012). In addition, public health data in NTT indicate a range of poor living conditions such as a lack of nutrition for babies (9.0%, compared to a national average of 4.9%) and a lack of nutrition among adults (19.7% compared to a national average of 12.6%) (Ministry of Health, 2010).
Negative associations between level of poverty and incidence of mental health conditions in developing countries has been previously documented. Such research generally shows that low levels of income, education, assets and lower social class are correlated with higher probability of mental health problems (Lund et al., 2010). However, evidence about the nature and direction of any causal effect between the two measures remains limited in developing countries. While some previous study support the notion that there is a negative correlation between levels of poverty and mental health (Hanandita & Tampubolon, 2014), more recent statistical analyses of the coincidence between poverty and mental health have not shown a consistently inverse relationship in developing countries (Tampubolon & Hanandita, 2014). Where a correlation has been observed is not clear whether the relationship is having causal features. Further, such statistical studies use conventional measures and concepts of mental health, as established in developed nations, and are not open to examining the potential for different conceptions of mental health among poor and remote communities.
B. RATIONALE, QUESTIONS AND OBJECTIVE OF RESEARCH In addition to the need to fully understand the nature of the relationship, if any, between poverty and mental health, there is also a need to better position future research designs within the cultural and social lives of participants in poor and remote communities. For example, in whose conceptual paradigm is the research positioned
– the communities or that of the researchers? Most previous studies ((Lund et al, 2010; Hanandita & Tampubolon, 2014) have used quantitative approaches to
228
analysis of existing statistical data framed within conventional Western models of pathology, sociology and psychology. The study positions its research design within the paradigm of an indigenous psychology and to use a qualitative approach to eliciting the perspectives of the participants themselves on their conceptions of poverty and mental health and the nature of any relationship between these dimensions. Within such a research design ethical considerations are of critical importance.
C. METHODS This research is qualitative in orientation. Through qualitative research, it is possible to describe the understanding of participants on certain phenomena based on their lived experiences and their perceptions of those experiences. In order to achieve its specific research aims, this study combined the perspective of indigenous psychology with phenomenology as a research method. Both of these approaches have a number of key features in common. They both eschew a positivist research orientation and participants are positioned, not as an object of study, but as engaged subjects in study. In term of its application in research, phenomenology is a study of phenomena, their nature and meanings. The focus is on the way things appear to us through experience or in our consciousness where the phenomenological researcher aims to provide a rich textured description of lived experience (Finlay, 2008). The main responsibility of researchers is to return to things themselves. The things here refer to the world of experience as lived. As cited by Finlay (2008), Merleau-Ponty outlined, “to return to the things themselves is to return to that world which precedes knowledge, of which knowledge always speaks”. Phenomenological research is concerned primarily with first person accounts of life experience and seeks to describe these accounts and arrive at an understanding of the meanings and essences (or fundamental structure) of experience. In other words, within phenomenological methodology, therefore, the present research attempted to allow the participants to describe their lived experiences in term of their own words.
229
In this research, an approach of descriptive phenomenology based on the Sheffield School (Ashworth, 2003) will be employed. This method builds on the Duquesne School, especially on Giorgi’s work (Langdridge, 2007). The focus is on a description of the participant’s lifeworld, as is the case with all descriptive phenomenology, but the analytical process also entails examination of seven structures or ‘fractions’ considered to be essential features of the lifeworld: selfhood, sociality, embodiment, temporality, spatiality, project and discourse (Ashworth, 2003; Langdridge, 2007). These fractions come from the work of phenomenological and existential philosophers, including Husserl, Heidegger, Merleau-Ponty and Sartre. In fact, Merleau-Ponty’s major work, the Phenomenology of Perception act as the primary inspiration for the seven fractions, and Ashworth (2003) has described each fraction through quotations from his work (as cited in Langdridge, 2007). According to Ashworth (2003), the seven fractions should be taken as heuristic guidelines and not applied rigidly. The researcher cannot treat these fractions separately, they should be seen as a larger set of perspectives that is situated in the embodiment of the human experiences witnessed (Ashworth, 2003).
D. DATA COLLECTION Sampling and research participants. The method of sampling in this research will be a combination of maximum variation sampling and snowball sampling. Participants who have a common experience but who vary on as wide a variety of demographic characteristics as possible (Langdridge, 2007), such as age, gender, level of formal education and economic status, will be sought. To facilitate good communication, research participants need to speak the Indonesian language, or translator maybe considered if they cannot. The principle underpinning this approach to sampling is that with such variation, it should become possible (in the analytical stage) to ascertain those aspects of the experience that are invariant across perception (the essence(s) of the phenomenon) and those that vary across perception. Sample sizes are usually very small due to the time-consuming
230
nature of the analytical process (Langdridge, 2007). Recruitment of participants was conducted by the researcher in the community up until the fifth month of his stay. The researcher used daily social or cultural activities as an opportunity to introduce himself and engage with the community in these contexts. The main goal of the engagement activity was to get a good welcome and connection within the community. After the period of cultural permission was perceived to be sufficient, the researcher started seeking people who might be willing to be involved in the study as research participants. After determining the prospective participants, the researcher visited their houses to describe the purposes of the research as stated in Research Project Information Sheet (RPIS). The researcher made sure that prospective participants understood the RPIS. After that, the researcher formally sought their consent to be a research participant. They were also advised that they could ask further questions, throughout the process of the study, to clarify any aspects that they not understand or agree with, and they could withdraw at any time. If they agreed, the researcher provided the informed consent form to be signed. Once signed, the researcher and participant discussed the project further and determined the most suitable time for interviews. Based on these agreed appointments, the researcher visited individual or family groups to meet and interview the potential participants. All processes of interaction and communication in this research were conducted in Indonesian language and in face-to-face contexts. Data collection methods. Of the many methods of gathering qualitative data, some are more suited to phenomenology than others. The most common methods used are narratives in interviews, diaries and protocols, participant observations, and reflective diaries or the researcher’s own field notes. The important thing to be noted in the process of data gathering by a phenomenologist researcher is the establishment of the concreteness of the phenomena (Wertz, 2005 as cited by Finlay, 2008). To collect the data, this research applied observation. In order understand the life context of the people interviewed, observation was essential. Observation tends
231
to take place in natural settings (e.g., work places, homes, church, social gatherings and markets), where the observer can be known as a ‘researcher’ (Willig, 2008). In order to seek information in depth, researcher used semi-structured interview. The construction of the interview covered topics informed by the principles of indigenous psychology, such as the local people’s beliefs (and experiences) of conceptions and experiences of health, mental health, and poverty. Semi-structured interviews based on principles of indigenous psychology and phenomenology provide a significant opportunity for the participants to explore their understanding of poverty and mental health, based on their own daily experiences and their own perception of those experiences. Another important source of data and discourse that needs to be utilized in phenomenological research is official documents and reports (Langdridge, 2007), especially from legislation, tracing its transitions through policy and procedures, departmental reports and guideline documents from the national, provincial and local governments. These documents provide information about both the profile and reported status of Binaus village and its community. While the foundations of these official documents may be significantly different from the experiences and the perceptions of local people, the documents and their implementations have political, legal, economic and social force and influence that needs to be incorporated into understandings about the research.
E. DATA ANALYSIS The first stage requires the analyst to read (and re-read several times) the individual descriptions of participants’ experience that is the focus of the analysis, to grasp an overall sense of the interviews. In the second stage the texts are broken down into smaller units of meaning, systematically, in order to discern discrete meaning-units. The third stage involves assessing the meaning units for their psychological significance. This stage may or may not involve translation into psychological units of meaning, depending on the study and wishes of the analyst (Langdridge, 2007).
Further, using this selected phenomenological process, described by
232
Ashworth’s framework, the third stage involves the use of the seven fractions of lifeworld. This approach as described by Ashworth is based on Merleau-Ponty’s Phenomenology of perception (Ashworth, 2003; Langdridge, 2007). Selfhood refers to that aspect of experience that might impact on a person’s sense of agency, presence and voice. Here, selfhood is not something individual, but rather something inextricably social or that which emerges among people in interaction. Sociality concerns with the way in which a situation affects a person’s relations with others, as all situations are intrinsically intersubjective. Embodiment relates to how the body features in experience, including consideration of gender, sexuality, disabilities, etc. Temporality refers to the way in which we are always living in time and how a person’s sense of time might serve to underpin the experience being described. Spatiality concerns with a person’s understanding of space and place. Project is that aspect of a situation that relates to a person’s ability to carry out activities that they have committed to and that they believe are central in their life. Finally, discourse concerns with the set of terms (discourses) drawn on from the wider culture in order to describe an experience. The focus is, therefore, on description of the participant’s lifeworld, as is the case with all descriptive phenomenology, but the analytical process also entails examination of the seven structures or ‘fractions’ considered to be essential features of the participants’ lifeworlds.
F. STRATEGIES TO VALIDATE FINDINGS In this study, to enhance the quality of the research and findings and to reduce the prospect of subjectivity by the researcher, several validation strategies suggested by Creswell (2007) were employed:
a. Prolonged engagement with participants and persistent observation in the field, including building trust with participants, learning the local cultural traditions and practices, and checking for misinformation that stems from any distortions of participants’ information introduced by the researcher. 233
b. Peer review or debriefing to provide an external check of the research processes, much in the same spirit as interrater reliability in quantitative research. Lincoln and Guba (1985, as cited by Creswell, 2007), define the role of the peer debriefer as a ‘devil’s advocate’, an individual who keeps the researcher honest, asks hard questions about methods, meanings, and interpretations, and provides the researcher with the opportunity for catharsis and feedback by sympathetically listening to the researcher’s feelings and interpretations. In this study, the researcher was able to engage with two trusted research colleagues, at his home university in Indonesia, who were familiar with the Binaus region and its people. These colleagues could critique his interpretations and findings throughout the study. Further, the researcher gave a number of university and professional presentations and submitted publications and conference papers, receiving detailed feedback on the processes planned and implemented through the study. c. The researcher always provided participants with written copies of his transcripts and an oral summary of his interpretations and asked the participants to assure him regarding the accuracy and validity of the descriptions of interpretations and the situations involved. Stake (1995) said that participants should “play a major role directing as well as acting in case study” research (as cited by Creswell, 2007, p. 208-209). This technique is considered by Lincoln and Guba (1985) to be ‘the most critical technique for establishing credibility’ (as cited by Creswell, 2007, p. 208). G. ETHICAL CONSIDERATIONS In a qualitative approach, particularly in phenomenological research that tries to seek perspectives on mental health and poverty issues in a remote area from participants with a different culture to the researcher, some ethical points must be
234
considered. The first step was to obtain permission from the local government or local community leader for that area of research. One advantage for the research was that Satya Wacana Christian University Salatiga, already has a partnership agreement (MoU) with the local government, for this field of research, so that could be the legal entry point for asking cultural permission to undertake this line of enquiry. However, to directly receive cultural approval is more complex than obtaining legal permission. Thus, it is vital for the researcher to stay in the community for a reasonable period of time, i.e., five months in the current study. Following cultural approval, the situation was more conducive to the data collection process, including finding research participants. To protect participants’ identity and to gain their personal approval and full participation, it was essential to provide a clear and understandable informed consent whereby participants need first to comprehend and second to agree voluntarily to the nature of their research and their role within it (Israel & Hay, 2006). In most circumstances, Faden and Beauchamp (1986) suggested that researchers need to provide potential participants with information about the purpose, methods, demands, risks, inconveniences, discomforts and possible outcomes of the research, including whether and how results might be disseminated and researchers must invite participants to engage actively in the exchange of information (as cited by
Israel & Hay, 2006). In general, participants’ agreement to take part was recorded, either by asking them to sign a form, return a survey, or give consent on audio- or videotape (Israel & Hay, 2006). In this research an explanation about this research and the kind of participation sought was given, and probable risks and how to deal with them were described. In this case participants were asked to sign the informed consent form and return it after they fully understand these aspects of this research project. They were reminded about the chance to withdraw from the research with no explanation. If the participants were illiterate or cannot speak the Indonesian language, a significant person in their family or community was asked to translate and explain the content of the informed consent procedures to seek agreement 235
through a voice recorder. As a legal document, the informed consent was available in the Indonesian language. In the context of a remote part of Indonesia these concerns may seem ephemeral, but trust was the basic issue to be developed by this protocol, which was also cultivated by personal encounters with participants with the regular visits to the community and appearances at regular community events. Another important consideration in this research was beneficence. At a micro level, this research was also an attempt to provide practical descriptions and recommendations for the Indonesian health authorities and to better inform health policy and practice, especially in mental health issues and their possible relationship with poverty. Therefore, this research was designed with serious attention to minimize negative impact and maximize beneficial impact. The principal researcher was aware of the possibility of negative impacts experienced by the participants. To anticipate that and to optimize the beneficial aspects of this research, participants had right to read, re-read, revise and add to the information given to the researcher. After the research, participants and the community were to be offered empowerment training resources to establish their coping and social support strategies around mental health and poverty issues, and arrangements were made to establish an institutional network in case of emerging mental health problems requiring treatment from health workers when the researcher is not on-site.
H. CONCLUSION In conclusion, this paper proposes a methodological and ethical framework in which the researcher can explore the conceptions of poverty and mental health within a poor and remote community and be able to reveal new insights that may influence existing theoretical and practical ways of understanding and responding to these challenges in such communities in Indonesia. Such theoretical and practical implications can benefit future research in similar settings and paradigms.
236
REFERENCES Ashworth, P. (2003). An approach to phenomenological psychology: The contingencies of the lifeworld. Journal of Phenomenological Psychology 34(2), 145-156.
Buckner, J. C., Beardslee, W. R., & Bassuk, E. L. (2004). Exposure to violence and low income children’s mental health: Direct, moderated, and mediated relations. American Journal of Orthopsychiatry, 74, 413–423. BPS NTT. (2012). Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012. Kupang: BPS NTT. BPS NTT. (2013). Nusa Tenggara Timur dalam angka. Kupang: BPS NTT. Cohen, A. (1999). The Mental Health of Indigenous People: An International Overview. Department of Mental Health-World Health Organization: Geneva. Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches. 2nd edition. London - New Delhi: Sage Publications. Fitzpatrick, K., Piko, B., Wright, D., & LaGory, M. (2005). Depressive symptomatol-ogy, exposure to violence, and the role of social capital among African American adolescents. American Journal of Orthopsychiatry, vol. 75(2), 262–274. Finlay, L. (2008). Introducing phenomenological research. Accessed 19 April 2012. http://www.linda.finlay.com/introducingphenomenologicalresearch.doc Good, B., DelVecchio Good, M.J., &Grayman, J.H. (2013). A new model for mental health care? Inside Indonesia, Edition 111, Jan-Mar. In http://www.insideindo-nesia.org/anew-model-for-mental-health-care-2 Hanandita, W., & Tampubolon, G. (2014). Does poverty reduce mental health? An instrumental variable analysis. Social Science and Medicine, 113, 59-67. Israel, M., Hay, I. (2006). Research ethics for social scientists: Between ethical conduct and regulator y compliance. London-California-New Delhi: Sage Publications.
International Labour Organization. (1976). Employment, growth and basic needs: A oneworld problem. ILO: Geneva. Kim, U., & Berry, J. W. (1993). Indigenous Psychologies: Experience and Research in Cultural Context.: Newbury Park, CA: SAGE Publications Ltd. Langdridge, D. 2007, Phenomenological psychology: theory, research and method. Harlow: Pearson Education. Lund, C., et al. (2010). Poverty and common mental disorders in low and middle in-come countries: a systematic review. Social Science and Medicine, 71, 517-528.
237
Ministry of Health. (2010). Report on result of national basic health research. Jakarta: Indonesia Ministry of Health. Tampubolon, G., & Hanandita, W. (2014). Poverty and mental health in Indonesia. Social Science and Medicine, 106, 20-27. Whiteford, H.A., et al. (2010). Global burden of disease attributable to mental and substance use disorders: findings from the Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet, 2013, 382(9904):1575-1586. Willig, C. (2008). Introducing qualitative research in psychology: Adventures in Theory and Methods. Berkshire: McGraw Hill-Open University Press.
238
15
Menelusuri Benteng Binaus Dhanang Puspita¹, Kristiani Desimina Tauho¹, Yanto Aryanto Koko Kase² ¹ Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana ² Kepala Dusun II, Ds Binaus, Kec. Molo Tengah, Kab.TTSNTT Contact address:
[email protected]
Abstrak Benteng Binaus adalah tempat dan bangunan bersejarah yang terletak di Dusun III, Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Benteng Binaus menyimpan cerita tentang peperangan 3 suku di Pulau Timor yakni; Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang Benteng Binaus. Sejarah Benteng Binaus hanya diceritakan oleh penduduk sekitar yang menjadi penutur berdasar cerita turun-temurun dari leluhurnya. Sangat penting untuk menuliskan tentang sejarah Benteng Binaus, karena menjadi cikal bakal nama Desa Binaus. Kata kunci:Amanuban, Amanatun, Benteng Binaus, Binaus, Mollo, Mollo Tengah.
A. PENDAHULUAN Tempat atau bangunan bersejarah selalu dimiliki oleh setiap daerah di seluruh penjuru dunia sebagai salah satu warisan budaya. Tempat atau bangunan bersejarah merupakan cermin akar budaya sejarah masa lampau dan warisan dari perjalanan yang panjang hasil jerih payah penduduknya. Kebudayaan merupakan istilah kunci untuk menyebut seluruh karya cipta yang dihasilkan oleh manusia sejak manusia ada di dunia (Koentjaraningrat. 2002). Bangunan-bangunan kuno bersejarah merupakan
asset nasional sebagai warisan budaya bangsa karena termasuk karya peninggalan bersejarah yang memiliki nilai historis tinggi, nilai seni dan arsitektural yang kaya, juga nilai sosial dan budaya yang membentuk karakter bangsa. Salah satu tempat dan bangunan bersejarah di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah Benteng Binaus yang menjadi cikal bakal Desa Binaus yang terletak di Kecamatan Molo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Menurut Marihandono (2007) istilah ‘benteng’ mengingatkan pada suatu konteks pertahanan dan peperangan, khususnya yang terjadi pada masa lalu. Sesuai tujuan pembangunannya, benteng memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Begitu juga dengan peruntukan Benteng Binaus sebagai tempat pertahanan, perlindungan, dan tempat tinggal warga Binaus pada awal mulanya.
Sejarah Kerajaan Timor Secara historis pulau Timor terdapat 3 kerajaan besar yakni; Oenam/ Swapraja Fatuleu, Banam/Swapraja Amanuban, dan Onam/Swapraja Amanatun (Krisdyatmiko dalam Ainaf, 2016). Kerajaan Oenam meliputi swapraja Fatuleu, Mollo, Meomafo, Insana sampai Biboki (Krisdyatmiko dalam Ainaf, 2016). Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki pemerintahannya sendiri dengan pola pemerintahan adat yang feodal. Masuknya kolonial Belanda pada abad ke XVI merubah tatanan sosial, politik, dan budaya. Pola pemerintahan lokal diubah oleh Belanda yang semula adalah kerajaan tradisional yang merdeka menjadi swapraja yang tunduk pada kekuasaan kolonial. Dalam ranah budaya terjadi perubahan pola aliran kepercayaan tradisional yang semula anismime dan dinamisme menjadi kepercayaan kristen. Untuk tatanan pemerintahan yang telah menjadi swapraja, Pemerintah kolonial Belanda membagi 3 kabupaten yakni Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara (TTU). Kabupaten Kupang memiliki wilayah administrasi
Amarasi, Fatuleu, dan Amfoan. Kabupaten TTS memiliki wilayah Molo, Amanuban, dan Amanatun. Kabupaten TTU memiliki Wilayah Miomafo, Insana, dan Biboki (Ainaf, 2016). 240
Wilayah Mollo secara adminstratif merupakan wilayah yang ada di Kabupaten TTS dan terbagi atas 3 kecamatan, yakni; Mollo Selatan, Mollo Utara, dan Mollo Tengah. Mollo sebagai nama suatu wilayah berasal dari kata molo yang merupakan salah satu etnis dari suku Dawan. Suku Dawan sendiri di Pulau Timor ada 3 etnis yakni Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Sebagian besar etnis Mollo tinggal di daerah dataran tinggi yakni di sekitar Gunung Mutis. Desa Binaus yang berada di Kecamatan Molo Tengah penduduknya berasal dari etnis Mollo. Daerah Mollo adalah area yang strategis karena berada di dataran tinggi yang diapit oleh 3 gunung yakni; Mutis, Kekneno, dan Mollo. Daerah ini sangat subur dan kaya akan sumber daya alam. Menurut Soleman Kase (Wawancara, 2013), Binaus menjadi perebutan oleh etnis Amanuban dan Amanatun berkaitan dengan kekayaan sumber daya alamnya.
Pulau Timor Saat Ini Secara historis, nama Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah terjemahan dari penamaan dari bahasa Belanda yakni Zuid Midden Timor (ZMT). Secara administratif wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu dari 5 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang beribukota di So’e secara geografis mempunyai luas 3.955,36 km2 dengan 32 kecamatan, 266 desa dan 12 kelurahan (BPS TTS, 2014). Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Abemanu Timor Leste (sisi utara), Samudera Hindia (sisi selatan), Kabupaten Belu (sisi timur) dan Kabupaten Kupang
(sisi barat). Kecamatan Mollo Tengah (Gambar 1) adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kecamatan ini berjarak sekitar 8 km dari So’e yang merupakan ibu Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kecamatan Mollo Tengah merupakan satu dari 32 kecamatan yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kecamatan Mollo Tengah memiliki 6 desa yakni; Pika, Kualeu, Nekemunifeto, Oel’ekam, Oelbubuk, dan Binaus.
241
Gambar 1. Peta Kecamatan Mollo Tengah-Kab. Timor Tengah Selatan Binaus menjadi salah satu desa di Kecamatan Mollo Tengah yang memiliki arti penting karena memiliki tempat yang dianggap bersejarah yakni Benteng Binaus yang menjadi cikal bakal desa tersebut. Dari cerita beredar di masyarakat Desa Binaus, menganggap Benteng Binaus menjadi salah satu tempat pertahanan dan perlindungan warga dari serangan musuh. Tidak ada literatur yang menjelaskan secara pasti dan benar tentang sejarah Benteng Binaus. Penuturan warga yang mendapat cerita turun-temurun menjadi satu-satunya informasi yang bisa diperoleh. Hal senada juga di ungkapkan Banamtuan (2016), Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai bagian dari wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat berbeda. Jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan khususnya adat istiadat, cukup banyak budayanya, tetapi tidak dikembangkan dan tidak dipertahankan oleh generasi masa kini. Berkaitan dengan sejarah Benteng Binaus perlu digali informasi untuk menuliskan sejarah lokal, setidaknya ada makna di balik tempat dan bangunan bersejarah di Binaus yang bernilai sejarah. Tujuan
242
dari riset ini adalah untuk mendapatkan informasi seputar Benteng Binaus, di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan – Nusa TenggaraTimur.
B. METODE PENELITIAN Untuk mendapatkan informasi tentang Benteng Binaus dilakukan dengan wawancara dengan pemangku adat dan perangkat desa yang dijelaskan secara deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan gambaran fisik Benteng Binaus dilakukan dengan survei lokasi, penandaan lokasi dengan Global Positioning System (GPS), dan pemotretan. Analisa data GPS menggunakan GPS Visualizer untuk mendapatkan gambaran; ketinggian, jarak dan luas. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 2013.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mencapai Benteng Binaus, perjalanan dimulai dari kota Soe menuju Desa Binaus. Jarak yang ditempuh dari Soe menuju Binaus sekitar 10 km dengan melalui jalan jurusan Soe – Kapan. Dari Desa Binaus (950 mdpl) perjalanan dilanjutkan menuju Dusun II (668 mdpl) dengan jarak 3,99 km. Untuk menuju Dusun II
(Ujung Aspal) bisa dilakukan dengan kendaraan bermotor roda dua atau empat. Perjalanan selanjutnya yakni dari Dusun II menuju Dusun III (754 mdpl) yang berjarak 4.03 km. Perjalanan dari Dusun II menuju Dusun III akan melewati jalan setapak, dan 2 kali menyeberang sungai yang berada di ketinggian 336 mdpl. Dari Dusun III perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit di sisi barat laut dusun dengan melewati jalan setapak untuk menuju Benteng Binaus. Jarak tempuh menuju Benteng Binaus adalah 2,13 km di ketinggian 677 mdpl. Untuk menuju tempat perlindungan (669 mdpl) berjarak sekitar 600 m dari Benteng Binaus. Semua akses dilakukan hanya dengan berjalan kaki di jalan setapak, seperti terlihat pada gambar 2.
243
Gambar 2. Peta perjalanan dari Binaus menuju Benteng Binaus. Daerah Mollo adalah daerah yang strategis dan subur sehingga sangat baik untuk lahan pertanian. Setidaknya ada 2 sungai yang mengalir dan beberapa anak sungai, sehingga menjadikannya sebagai daerah yang subur. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat yang salah satunya adalah Soleman Kase (Wawancara, 2013), membenarkan jika di daerah Mollo pertanian sangat baik karena lahannya yang subur. Kemungkinan, lahan subur inilah yang menjadi pertimbangan untuk diperebutkan oleh etnis Amanuban dan Amanatun. Benteng Binaus berada di Dusun III (Nishala) yang secara topografi adalah daerah berbukit. Untuk menuju Dusun III hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki karena, jalan aspal hanya bisa sampai di sebagian wilayah Dusun II (Tofle’u). Total jarak tempuh dari Dusun I (Aneotop) hingga Dusun III adalah 8,02 km dengan waktu tempuh sekitar 2–3 jam perjalanan normal. Dusun III menjadi dusun yang cukup subur karena terletak di pinggir sungai besar, walau pada musim kemarau sungai mengering (Gambar 3). Dusun III menjadi dusun yang terjauh di Desa Binaus, dan pada tahun 2013 ada 18 KK. Yanto Kase adalah kepala Dusun III pada saat itu, yang menyertai perjalanan ini dan banyak menceritakan tentang Dusun III.
244
Gambar 3. Jalan menuju Dusun III berupa sungai yang mengering saat musim kemarau. Menurut Yanto Kase, nama Binaus merujuk pada suatu tempat yang dulu dijadikan benteng pertahanan dan perlindungan yang diberi nama Benteng Binaus. Nama Binaus inilah yang kemudian disematkan menjadi nama desa yang ada di Kecamatan
Mollo Tengah. Cikal bakal orang Binaus dari suku Mollo berasal dari Dusun III. Pada suatu saat perang pun pecah. Soleman Kase bersama Otris Tafui begitu bersemangat menceritakan tentang perang Binaus. Mereka berdua sambil duduk di tatanan batu gamping yang disusun sebagai benteng pertahanan menceritakan tentang kisah heroisme orang-orang Mollo dalam mempertahankan daerahnya. Untuk mempertahankan dirinya, orang-orang Mollo diungsikan ke suatu daerah yang sulit dijangkau oleh musuh yang disebut dengan benteng perlindungan. Daerah ini menjadi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Tidak jauh dari lokasi perlindungan, yakni di bukit yang sedikit lebih tinggi dibangun benteng dari susunan batu-batu gamping. Bangunan ini kemudian diberi nama Benteng
Binaus (Gambar 4).
245
Gambar 4. Benteng Binaus yang masih menyisakan tumpukan batu-batu yang disusun membentuk dinding.
Gambar 5. Grafis penampang melintang (topografi) Benteng Binaus Pemilihan lokasi yang cukup strategis untuk membuat benteng pertahahan dan perlindungan. Benteng pertahanan berlokasi di bibir jurang yang curam dengan ketinggian 677 mdpl (gambar 5). Dari tempat ini bisa memandang ke arah Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, dan Barat. Musuh yang datang dari arah-arah tersebut dengan mudah bisa diawasi. Daerah Utara adalah perbukitan yang menjadi daerah kekuasaan etnis Mollo. 246
Gambar 6. Benteng perlindungan, di tempat inilah para kaum lansia, wanita, dan anak-anak tinggal.
Gambar 7. Benteng Perlindungan yang berbentuk tebing batu vertikal. Benteng perlindungan digunakan untuk tinggal anak-anak, kaum perempuan, dan lansia (Gambar 6). Daerah ini berupa bukit batu cadas yang curam dan sangat susah dijangkau. Untuk naik ke benteng perlindungan dapat dengan cara memanjat dinding tebing dengan tinggi sekitar 20 m atau mengambil jalan memutar (Gambar 7). Benteng perlindungan ini terletak tidak jauh dari sungai sehingga dapat dengan mudah untuk mendapatkan air. 247
Gambar 8. Soleman Kase (tengah) dan Otris Tafui (berdiri) menjadi narasumber untuk menjelaskan sejarah Benteng Binaus dan mereka berpose tepat di puncak Benteng Binaus. Tidak ada yang tahu persis kapan perang yang yang terjadi di Benteng Binaus ini. Soleman Kase (Gambar 8) hanya mampu mengingat musuhnya saja yakni orang Amanuban dan Amanatun, itu pun mendapat warisan cerita dari orang tuanya. Yang masih terlihat jelas adalah tumpukan-tumpukan batu di Benteng Binaus. Batu-batu ini disusun menjadi dinding dengan beberapa lobang untuk mengintip. Para kaum lelaki akan berjaga secara bergantian untuk mengawasi musuh yang datang. Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang sejarah Benteng Binaus. Para penutur yang saat ini menceritakan hanya mendapat cerita turun-temurun dari leluhurnya. Yanto Kase sebagai kepala Dusun III saat itu juga kurang tahu persis tentang ceritanya tetapi dia menunjukan orang-orang yang bisa menjadi penuturnya. Dalam akhir perjalanan dari Benteng Binaus, Yanto Kase menunjukan sebuah makam tua yang terletak di tepi sungai. Dia mengatakan jika makam ini adalah kuburan yang berisikan jasad leluhur mereka yang tewas dalam peperangan, begitu juga dengan musuhnya. Tidak diketahui secara pasti secara spesifik siapa saja yang dimakamkan, tetapi sampai saat itu makam masih diurus dengan baik oleh warga. Sebagai penanda yakni jika makam itu ada nisan artinya yang dikuburkan adalah orang Mollo, jika hanya tumpukan dari batu saja itu adalah makam musuh (Gambar 9). 248
Gambar 9. Yanto Kase sedang menunjukan makam musuh yang ditandai dengan tumpukan batu, sedangkan makam orang Mollo khusus dibuat nisan yang utuh.
D. KESIMPULAN Benteng Binaus terletak di Dusun III (Nishala) yang merupakan tempat dan bangunan bersejarah tentang peperangan antara etnis Mollo dengan Amanuban dan
Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis berkaitan dengan sejarah Benteng Binaus. Informasi tentang Benteng Binaus hanya berasal dari penduduk sekitar yang menjadi penutur berdasarkan cerita turun-temurun dari leluhur mereka.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan banyak terimkasih kepada Yanto Kase selaku kepala Dusun III yang menemani perjalanan menuju Benteng Binaus dan memberikan catatan tentang Benteng Binaus. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Soleman Kase dan Otris Tafui yang sudah menjadi narasumber.
249
DAFTAR PUSTAKA Ainaf, AP. (2016). Sejarah Dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Banamtuan, M.F. (2016). Upaya Pelestarian Natoni (Tuturanadat) Dalam Budaya Timor Dawan (Atoni Meto). Paradigma Jurnal Kajian Budaya. Vol.6, No.1 (2106): 74 - 90 Badan Pusat Statistik TTS. (2014). Timor Tengah Selatan dalam Angka 2014. Soe: BPS Timor Tengah Selatan. Marihandono, D. (2007). Perubahan peran dan fungsi benteng dalam tata ruang kota. Seminar Kebudayaan Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar. Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta
250
Indeks A
D
Amanatun 216, 239, 240, 241, 244, 248, 249 Amanuban 138, 149, 159, 165, 166, 216, 239, 240, 241, 244, 248, 249
Desa Binaus 12, 13, 14, 17, 18, 19, 22, 25, 27, 28, 31, 33, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 77, 79, 87, 90, 97, 100, 101, 102, 104, 107, 109, 110, 112, 114, 119, 122, 123, 124, 125, 128, 132, 140, 141, 143, 153, 156, 158, 159, 161, 162, 163, 170, 172, 175, 176, 178, 179, 180, 182, 183, 185, 186, 213, 214, 216, 218, 223, 239, 240, 241, 242, 243, 244
Aneotob 37, 38 Angka Kematian Bayi 6, 120 Angka Kematian Ibu 6, 56, 98, 105, 107, 108, 117, 120, 154 Antropometri 28, 33, 36, 37, 67, 68, 73, 79, 145
Desa Kualeu 12, 143
ASI 13, 35, 38, 44, 47, 57, 61, 67, 68, 69, 72, 73, 99, 119, 120, 121, 122, 126, 132, 141, 145 Atasat 131, 133
Desa Nekemunifeto 12, 143
Atoin Amaf 18, 32
Desa Pika 12, 143
Desa Oelbubuk 12, 37, 39, 42, 43, 140, 141, 143 Desa Oelekam 12, 140, 141, 142, 143
Atoni Amaf 131 Atoni Meto 17, 32, 116, 119, 120, 122, 125, 134, 137, 139, 149, 250
F Fakultas Ilmu Kesehatan 17, 33, 55, 77, 97, 107, 119, 137, 239
B
Fufuk 211, 215, 218, 221
Balita 6, 12, 13, 15, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 74, 77, 78, 79, 120, 137, 153, 154, 155, 158, 159, 161, 163, 166
BB 68, 79 BBLR 73 BB/TB 79, 84, 92 BB/U 40, 42, 73, 79, 84, 91, 120, 137, 138 Benteng Binaus 239, 240, 242, 243, 244, 245, 246, 248, 249
G Gizi 33, 35, 43, 44, 47, 49, 50, 64, 70, 74, 77, 86, 87, 101, 102, 126, 132, 137, 138, 139, 140, 143, 146, 147, 148, 153, 160, 163 Gizi buruk 6, 13, 33, 35, 37, 40, 45, 47, 71, 73, 84, 91, 155 Gizi kurang 33, 34, 35, 36, 39, 43, 45, 47, 77, 78, 79, 82, 88, 89, 91, 138
C
I
Cadre/Cadres 175, 176, 181, 182
Ibu hamil 6, 12, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 112, 124, 130, 132, 139, 141, 142, 153, 155, 156, 159, 160, 161, 163
Indeks Masa Tubuh 71, 74, 79
251
indigenous psychology 223, 225, 229, 232 ISPA 57
J Jagung bose 44, 45, 49, 50, 51, 64, 67, 69, 102,
104, 119, 120, 122, 126, 129, 132, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148 Jagung titi 47
mental health 223, 225, 228, 229, 232, 234, 236 Mental health 224 Millennium Development Goals 98, 169 Molllo Tengah 11, 12, 13, 17, 22, 33, 36, 57, 60, 61, 63, 67, 68, 77, 79, 97, 100, 119, 122, 124, 125, 137, 140, 141, 143, 158, 160, 172, 215, 239, 240, 241, 242, 243
Mollo Selatan 125, 241 Mollo Utara 241
K Kapasitas Vital Paru 55, 56, 60, 61, 63, 64 Kartu Menuju Sehat 79, 82, 124, 161 Kecerdasan bahasa 80 Kecerdasan interpersonal 78, 81, 82, 89, 90 kecerdasan kognitif, 78
Neno Bo’ha 15, 49, 50, 67, 68, 95, 119, 134, 137, 138, 139, 140, 142, 145, 146, 147, 148 Neonatal 67
Kecerdasan memori jangka panjang 80,
Nibulelo 19 Nifas 49, 63, 69, 107, 111, 113, 126, 127, 135, 161, 163
87 Kecerdasan memori jangka pendek 79,
Nishala 37, 38, 249
86 Kerajaan Oenam 240
NTT 223, 226, 228
KMS 84, 91, 160
Nusa Tenggara Barat 34
Kolostrum 132, 133
Nusa Tenggara Timu 227
Kumbang bubuk 212
Nusa Tenggara Timur 34, 35, 36, 46, 49, 50,
Kecerdasan linguistik 88
Kupang 170
56, 57, 58, 63, 77, 90, 91, 97, 98, 99, 104, 107, 108, 119, 120, 121, 122, 126, 137,
L
138, 141, 170, 239, 240, 241, 243
LILA 68, 71, 159 LK 69
252
N
O
Long term memory 80
Op mauntaif 19
Lopo 17, 18, 32
P
M
Participatory action research 123, 137,
Malnutrisi 78 maramus-
140 Pen kikis 215
kwashiorkor 33
Pen muti 211, 214, 215, 217, 220
marasmus 33
Perineum 126
Maternal 6, 95, 108, 119, 126, 127
Perkembangan Kognitif 15
Mau ana 120, 128, 133, 135
PLAN 179
Mean Length of Utterance 81
Pollen 45, 46
Postnatal 97, 99, 100, 102 Postpartum 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 67, 69, 70, 71, 74, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 120, 122, 126, 129, 132, 133, 135, 137, 138, 141 Posyandu 36, 37, 38, 39, 40, 42, 44, 51, 82, 109, 119, 123, 125, 130, 134, 141, 144, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 161, 162, 163, 175, 178, 180, 181 poverty 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 232, 234, 236 Pralakteal 73 prenatal 99, 100, 102 Prenatal 97 Pulau Timor 33, 49, 58, 67, 99, 107, 108, 111, 120, 126, 137, 139, 141, 211 Puskesmas 79, 85, 104, 110, 125, 141, 144, 155, 160, 161, 175, 178, 180
R Revolusi KIA 98, 102, 104, 126 Riskesdas 34, 35 Rumah bulat 17, 18, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 49, 55, 56, 60, 61, 62, 63, 64, 112, 120, 121, 122, 126, 127, 128, 129, 133, 134, 135, 139, 220 Rumah kotak 20, 32, 112
S Sakteo 157, 163 Sanbala 157, 163 Sanggar Suara Perempuan 179 schizophrenia 224
SoE 3, 11, 38, 110, 111, 130, 175, 176, 179, 182, 241, 243 Status gizi 15, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 43, 45, 50, 51, 55, 56, 61, 63, 67, 68, 71, 72, 73, 74, 77, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 101, 132, 138
stunted 33, 35, 45, 49, 73, 78 stunting 34, 35, 44, 47, 48, 49, 50, 51 Suku 31, 216
T Tatobi 49, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 103, 107, 108, 111, 112, 113, 115, 116, 117
TB 69, 79 TB/U 40, 42, 45, 51, 73, 74, 79, 84, 91, 137, 138 Timor 223 Timor Tengah Selatan 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 33, 35, 36, 45, 46, 50, 52, 56, 57, 58, 67, 68, 77, 79, 97, 98, 99, 100, 119, 120, 122, 124, 125, 137, 138, 141, 148, 156, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 179, 185, 187, 215, 239, 240, 241, 242, 243 Tofle’u 37, 38, 244
U UBCHEA 52 Ume Kbubu 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 49, 58, 111, 112, 119, 139, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221 Underweight 34, 35, 73
W
Sectio cesarean 111
wasted 73 wasting
Se’i 49, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 107, 111, 112, 117
34, 35, 78
Semi-arid 50 Short-term memory 79
working memory 79
Z
Sindroma metabolik 35
Z-Score 84, 91
Sitophillus zeamays 212
Zuid Midden Timor 241
253