Pendekatan Desain Arsitektur di Indonesia dalam menghadapi fenomena perkembangan teknologi di awal abad XXI disampaikan pada Kuliah Umum di Proditek Arsitektur, STTC Cirebon pada hari Jum’at 11 Maret 2016
Ir. FX.Budiwdodo Pangarso, MSP., IAP. Lektor Kepala (Associate Professor) pada bidang Arsitektur Kota Proditek Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan Ahli Utama Perencana Kota (Sertifikat Keahlian no. 1.5.502.1.034.09.1024197 (2014-2017)
J. Roni Sugiarto, ST., MT. Asisten Ahli Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
Anastasia Anindyasarathi sP, ST. “Project Architect” pada Konsultan Larascipta.
INTRODUKSI Desain arsitektur sejak awal atau sejak masa “pre-historis, as occasional caves and temporary tents” bertujuan untuk meningkatkan nilai kehidupan manusia dalam suatu bentuk kemasyarakatan. Jericho1 sebagai kota masa awal peradaban dikenali sekitar tahun 9000 sM, sementara tulisan awal mengenai arsitektur dibuat oleh Marcus Vitruvius Pollio2 sekitar tahun 20 sM., yang mengungkapkan mengenai “triple basis of architecture”, yaitu kenyamanan (“convenience”), kekokohan (“solid and lasting strength”), serta keindahan (“beauty”).3 Di Indonesia, desain arsitektur awal diilhami oleh perkembangan agama Hindu-Budha sekitar abad VIII–X, dengan adanya kerajaan Mataram-Kuna di masa wangsa Sanjaya-Syailendra4; walaupun kerajaan tertua di Indonesia adalah “Kutai” di Kalimantan (abad IV-V). Sosok monumentalnya desain arsitektur jaman Mataram-Kuna (Pikatan-Pramodhawardhani) itu adalah dengan dibangunnya Candi Plaosan (824), Candi Lara Jonggrang, dan Candi Borobudur (825).
Gambar – 1 Candi Plaosan, Candi Borobudur dan Candi Lara Jonggrang. Sumber : www.candi1001.blogspot.com/2014/09/candi-plaosan; www.1001malam.com/travel/candi-borobudhur-kemegahan-arsitektur; www.candi.web.id/candi-prambanan/
Fakta desain arsitektur dan lingkungan-binaan di Nusantara, selanjutnya dikenali sekitar tahun 1293 (akhir abad XIII), saat Baginda “Sri Kertaradjasa Djajawardhana” (Raden Widjaja) pendiri Kerajaan Majapahit membuka hutan Terik, tepatnya di area situs kota Trowulan saat ini.5 Desain lingkungan tersebut tampil dalam sejumlah obyek, yaitu : Kanal, Waduk, Kolam, Sumur, Candi, dan Gapura. Disamping penataan kotanya, maka tata bentuk arsitektur bangunan/gedung kerajaan dan kelengkapannya di pusat-kota didominasi bentuk geometrik, yang bercitra anggun, berwibawa dan semakin menjauhi pusat-kota didominasi tata bentuk arsitektur organik yang sangat “ramah” pada 1 http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?historyid=ab27#ixzz427pHkd7N The tent-like structures of earlier times evolve now into round houses. Jericho is usually quoted as the earliest known town. A small settlement here evolves in about 8000 BC into a town covering 10 acres. And the builders of Jericho have a new technology - bricks, shaped from mud and baked hard in the sun. In keeping with a circular tradition, each brick is curved on its outer edge. Most of the round houses in Jericho consist of a single room, but a few have as many as three - suggesting the arrival of the social and economic distinctions which have been a feature of all developed societies. The floor of each house is excavated some way down into the ground; then both the floor and the brick walls are plastered in mud. The roof of each room, still in the tent style, is a conical structure of branches and mud ('wattle and daub). 2 Roman author Vitruvius writes “De Architectura”, now generally known as The Ten Books of Architecture 3 Hamlin, Talbot, Forms and Functions of twentieth-century Architecture, The Principles of Composition., Columbia University Press, 1952. 4 Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi–Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Di Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu (di bagian utara), dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi, kedua dinasti dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan. 5 Majalah GATRA, 27 Maret 1999, hal.63; memberitakan hasil penelitian desertasi Dr.Ir.Bondan Hermanislamet, M.Sc.(alm), dosen Teknik Arsitektur, UGM, 1999.
1/7
lingkungan natural. Komposisi komponen pusat-kotanya, sebagaimana kota yang memiliki budaya “monarkhikal”6, yaitu adanya kompleks Karaton, Alun-alun (Ruang Terbuka Publik), Sarana Peribadatan dan Pasar. Kondisi lingkungan seperti ini tentu harus dipahami sesuai situasi pada abad XIV, karena luas area perkotaannya hanya sekitar 80 km2 saja. Sementara itu penulisan aturan membangun tertuang pada naskah “asta kosala kosali” (abad XI-XIV) dan “serat kawruh kalang” (abad XIX). Oleh karenanya, desain arsitektur Indonesia masa lalu berada monumental di Jawa dan Bali. Ketika awal abad XVII (1602), para pedagang VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) mendarat di Banten, yang selanjutnya berkembang berupa penjajahan Belanda atas kepulauan Nusantara, maka secara arsitektural ditandai dengan kehadiran desain tipologis arsitektur “kolonial” dan lingkungan beragam gaya Eropa. Terkait dengan suasana ini, menurut catatan sejarah, arsitek pertama di Indonesia adalah Bapak Aboekasan Atmodirono (1860-1920)7.
Gambar – 2 Kiri, Masjid Banten, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682); Tengah, Museum Fatahillah, namun dulunya adalah Balai Kota (Stadhuis) Batavia atau Jakarta. Bangunan ini dibangun antara kurun waktu 1707-1710 sengaja dibangun menyerupai Istana Dam di Amsterdam; Kanan, Gedung Bank Indonesia (Cirebon) kantor cabang ke-5 De Javasche Bank yang dibuka pada 1 Juli 1866 Arsiteknya sama dengan arsitek Gedung BI Yogyakarta, yaitu F.D. Cuypers & Hulswit. Sumber : http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-kerajaan-banten.html. http://mengakubackpacker.blogspot.co.id/
Ketiga tahap waktu diatas, telah secara jelas menunjukkan bahwa eksistensi karya arsitektur, baik berupa bangunan gedung maupun tata lingkungan perkotaan, masing-masing menandai dan mewakili tingkat peradaban manusia pada masanya. Peradaban manusia tersebut tentu dapat di urai menjadi beberapa aspek yang mempengaruhinya. Salah satu aspek yang sampai saat ini berpengaruh besar adalah “cara-berpikir” yang di-elaborasi-kan kedalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara aspek yang melandasi kemampuan manusia berpikir, yaitu aspek “spiritual/normatif” seringkali tidak didudukkan pada tempat yang selayaknya. Aspek yang ketiga adalah “natural” atau alam semesta, dimana semua karya arsitektur dan lingkungan binaan berada. Relasi ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada Skema-1.
Skema – 1 Model keterkaitan antara tingkat peradaban manusia dengan karya arsitektur sebagai produk kebudayaan fisikspasial, (fxbwpangarso, 2015) 6
http://www.merriam-webster.com/dictionary/monarchical. Full Definition of monarchical: of, relating to, suggestive of, or characteristic of a monarch or monarchy; monarchical authority; a monarchical government http://www.vocabulary.com/dictionary/monarchy; A monarchy is a country that is ruled by a monarch, and monarchy is this system or form of government.; A monarch, such as a king or queen, rules a kingdom or empire. In aconstitutional monarchy, the monarch's power is limited by a constitution. But in an absolute monarchy, the monarch has unlimited power. Monarchy is an old form of government, and the word has been around a long time. It derives from Greek monarkhiā, from monarkhos "monarch." 7 https://esubijono.wordpress.com/2008/09/12/sejarah-arsitek-di-indonesia/ Ia lulus Sekolah Teknik Menengah Jurusan Bangunan (Middelbare Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja di Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum). Ia hadir di Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar calon ketua. Ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di tahun 1918, ia ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewakili Perhimpunan Pamong Praja Pribumi “Mangoenhardjo”.
2/7
CARA BERPIKIR MENDESAIN Kerja desain adalah kerja berpikir kreatif dengan mendayagunakan otak bagian kanan (ekspresif dan keratif) dan bagian kiri (logika, analitis dan bahasa) secara simultan, berpikir rasionalistis sekaligus imajinatif. Kerja desain tidak hanya dilakukan oleh para arsitek, dan mahasiswa arsitektur saja, akan tetapi juga oleh para “desainer” dan mahasiswa bidang desain lainnya. Bryan Lawson8, seorang praktisi arsitek dan guru besar di The University of Sheffield, Western Bank, Sheffield, S10 2TN, UK; menuliskan dalam bukunya “How designers think”, bahwa “Town planning, urban design, architecture, industrial, graphic, and interior design, all involve elements which may seem both precise and nebulous, systematic and chaotic, mathematical and imaginative. These design fields all have to do with creation of objects or places which have a practical purpose and which are intended both to be looked at and used.” Cara berpikir simultan inilah yang seringkali menjadikan studi arsitektur sebagai suatu bidang kajian komprehensif sekaligus detail. Sebagaimana pada skema-1, maka perkara komprehensif ini pada umumnya dipelajari melalui pemahamanan dari ragam fenomena yang terjadi pada aspek spiritualnormatif dan aspek natural-alami; sedangkan perkara detail dipelajari melalui fenomena pada aspek logika-matematikal. Dengan pernyataan ini, pemikiran desain tidak dapat dipisahkan dengan pemikiran perencanaan sebelumnya, yang akan melibatkan perkara siapa, apa, dimana, kapan, dan bagaimana.
Secara singkat, arsitektur akan selalu terkait dengan perkara “planning & design” yang merupakan satu kesatuan utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertanyaan yang selalu menyertai proses berpikir simultan dalam desain arsitektur ini adalah, sulitkah berpikir simultan itu? Bagaimana caranya? Jawabannya adalah, berpikir simultan itu tidaklah sulit. Perkara ini akan terasa sulit bila dipersulit urusannya, dan akan terasa mudah bila dipermudah urusannya. Berpikir simultan arsitektural itu “rumit” (“higly complexity”), tetapi tidak sulit, tidak sukar. Kerumitan ini dapat diatasi dengan pemahaman normatif bahwa nilai kebaikan, nilai kebenaran akan bermuara pada rupa keindahan universal yang dapat diapresiasi publik. Cara atau metoda berpikirnya adalah dengan mengutamakan sikap disiplin tinggi, analitis dan sistematik. Ketika kerumitan dapat ditata dan dijelaskan secara analitis dan sistematis, maka pemikiran simultan itu akan tampak pada sosok rupa karya arsitektur yang menakjubkan dan bernilai keestetikaan tinggi. Metoda pemikiran skematik pada skema-1, dapat dikembangkan menjadi lebih kompleks (rumit), ketika ditambahkan “irisan” antara aspek normatif dan aspek natural, sekaligus dengan “irisan” fakta ilmu pengetahuan dan fakta teknologi. Perhatikan skema-2 dibawah ini.
8
www.sheffield.ac.uk/architecture/people/visiting-emeritus/bryanlawson, He practiced as an architect in both the private and public sectors and now consult with a number of international architectural practices. I studied both architecture and psychology and have specialised in the nature of the design process and in the impact of the designed environment on our quality of life. I have particular interests in healthcare and educational environments as well as the urban public domain. Academically he published around 200 books, papers and reports. I am probably best known for my major books including How Designers Think, What Designers Know, Design in Mind, The Language of Space and, most recently Design Expertise with Kees Dorst (Professor of Design at Sydney University of Technology). Most of my books have been translated into Chinese, Spanish, Portuguese, Bahasa Malaysia and Bahasa Indonesia.
3/7
FENOMENA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI AWAL ABAD XXI Cara berpikir simultan dalam desain arsitektur adalah “lestari, tidak musnah dan abstrak ”, Perubahan atau perkembangan yang terjadi adalah pada perkara fakta teknologi yang akan berdampak pada sikap dan cara pandang terhadap aspek normatif dan natural. Fakta perubahan tersebut dapat disimak pada perkembangan metoda kerekayasaan pada pola perpaduan unsur-unsur kimiawi dan pola mekanikafisikawi dalam upaya pemenuhan kebutuhan peri-budaya “kemudahan” kerja manusia, akibat kepunahan alamiah elemen-elemen ragawi. Teknik menggambar, teknik konstruksi, teknik informasi dan teknik produksi material dsb, telah mengalami revolusi besar2-an, yang secara langsung akan berpengaruh pada proses desain arsitektural. Fakta kecepatan dan percepatan mendesain dan membangun merupakan dampak langsung dalam realisasi atau perwujudan sosok fisik-spasial, yang bagi sementara manusia merupakan kebanggaan karya atas pola desain berbasis perkembangan teknologi tersebut diatas. Beberapa fakta perkembangan teknologi, yang secara langsung mempengaruhi desain arsitektur, diantaranya adalah: 1) Teknologi “air-conditioning”, 2) Teknologi transportasi barang & manusia (kendaraan bermotor, “lift”, “escalator”, dsb), 3) Teknologi konstruksi ringan, 4) Teknologi pencahayaan-buatan, 5) Teknologi “sub-struktur”, 6) Teknologi material bangunan, 7) Teknologi informasi mekanikal-elektrikal, 8) Teknologi tata-audial, 9) Teknologi pemeliharaan bangunan; dan sejumlah teknologi lainnya.
Gambar – 3 Ilustrasi sistem teknologi “air-conditioning”, karakteristik lapisan tanah untuk teknologi “sub-struktur” dan model perilaku struktur & sub-struktur bangunan-gedung tinggi Sumber : http://www.mobitekno.com/; http://www.ilmukonstruksi.com/ ; http://www.sukamta.com/service/view
Sementara karakteristik dasar aspek spiritual-normatif dan aspek natural-alami, berada pada ketetapan alamiah yang perkembangannya ditandai dengan pola “gradual-berkeseimbangan”. Bahkan, beberapa elemen alamiah, seperti “sumber air, tanah, vegetasi, angin, dan sinar matahari, berada pada kondisi/situasi relatif “konstan”, berlangsung sesuai dengan “hukum-alam” yang ada. Demikian kondisi
4/7
ini berlangsung terus menerus, dalam percepatan tertentu, perkembangan teknologi yang bersifat “parsial” ini selalu akan mempengaruhi proses desain arsitektur, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Problematikanya adalah, bagaimanakah sikap “desainer” dalam menghadapi dua paradigma alamiah antara fenomena kecepatan dan percepatan teknologi di awal abad XXI dan fenomena konstanta “hukumalam” yang berlaku. Terkait dengan perkembangan teknologi ini, rupanya ada baiknya disimak ulang yang disampaikan oleh FL.Wright pada awal abad XX ini, (kuliah bagi arsitek muda di The Chicago Art Institute, 19319.) sebagai berikut : 1. Forget the architecture of the world except as something good in their way and in their time. 2. Do none of. you go into architecture to get a living unless you love architecture as a principle at work, for its own sake – prepared to be true to it as to your mother, your comrade, or yourself. 3. Beware of architectural school except as the exponent of engineering. 4. Go into the field where you can see the machines and methods at work that make the modern buildings, or stay in construction direct and simple until you can work naturally into building design from the nature of construction. 5. Immediately begin to form the habit of thinking “why” concerning any effects that please or displease you. 6. Take nothing for granted as beautiful or ugly, but take every building to pieces, and challenge every feature. Learn to distinguish the curious from the beautiful. 7. Get the habit of analysis – analysis will in time enable synthesis to become your habit of mind. 8. “Think in simples”, as my old master used to say – meaning to reduce the whole to its parts in simplest terms, getting back to first principles. Do this in order to proceed from generals to particulars and never confuse or confound them or yourself be confounded by them. 9. Take time to prepare. Ten years preparation for the preliminaries to architectural practice is little enough for any architect who would rise “above the belt” in true architectural appreciation or practice. 10. Then go as far away as possible from home to build your first buildings. The physician can bury his mistakes, but the architect can only advise his client to plant vines. 11. Regard it as just as desirable to build a chicken house as to build a cathedral. The size of the project means little in art, beyond the money matter. It is the quality of character that really counts. Character may be large in the little or little in the large. 12. Enter no architectural competition under any circumstances except as a novice. No competitio ever gave to the world anything worth having in architecture. The jury itself is a picked average. The first thing done by the jury is to go through all the designs and throw out the best and the worst ones, so, as an average, it can average upon an average. The net result of any competition is an average of the averages. 13. Beware of the shopper for plans. The man who will not grubstake you in prospecting for ideas in his behalf will prove a faithless client. Berdasar ketiga-belas ulasan Wright tersebut, para mahasiswa arsitektur diingatkan untuk selalu kembali pada tujuan awal perencanaan arsitektural yang hakiki, agar karya desainnya dapat menempati bagian yang tak terpisahkan dari alam selaras dengan tempatnya (“genius-loci”). MODEL PENDEKATAN DESAIN ARSITEKTURAL Perkembangan teknologi yang tidak dapat di-“bendung” keberadaannya bukan merupakan suatu kriteria yang harus selalu menjadikan pemikiran desain terkendala olehnya, melainkan menjadi suatu kondisi faktual dan aktual yang harus dijadikan pertimbangan potensial dalam proses desain arsitektur dan lingkungan binaan. Perkaranya adalah bagaimana para desainer menyikapi perkembangan ragam teknologi tersebut, demi tetap berlanjutnya keseimbangan ekologis yang berlangsung selaras dengan hukum-alam tang relatif konstan adanya. Sikap ini merupakan substansi pendekatan terhadap model penugasan desain arsitektural yang akan diambil sebagai suatu “keputusan” desain dalam membangun sarana gedung atau desain lingkunganbinaan. Pendekatan tersebut harus dirunut melalui aspek normatif-spiritual dan aspek natural-alami, dengan berbagai ragam fakta-aktualnya yang bermuara pada “genius-loci” atau elaborasi karakteristik tempatnya. Problematik yang dihadapi pada awal abad XXI ini adalah problem “ketidak-seimbangan” antara fakta ekologis-alamiah dengan fakta percepatan ragam perkembangan teknologi yang memberikan 9
Wright, FL., The Future of Architecture, New American Library, 1953, 1970.
5/7
“kemudahan” terkait dengan kebutuhan “kenyamanan” manusia. Oleh sebab itu perkara utama dalam pendekatan desain arsitektural adalah terpeliharanya keberlangsungan sistem ekologis lingkungan arsitektural, atau yang sering dikatakan sebagai “environmental-sustainability”. Apabila demikian, maka bertolak dari cara berpikir sebelumnya, model pendekatan desain arsitektural yang pada awal abad XXI ini dapat dikembangkan adalah seperti pada skema-3 dibawah ini.
Skema – 3 Model skematik pendekatan desain arsitektur dan desain lingkungan-binaan berbasis substansi “environmental-sustainability” (fxbwpangarso, 2016)
Perkara “environmental-sustainability” itu merupakan perkara yang dihadapi secara global dan berdampak secara komprehensif dalam berbagai pembangunan sarana-prasarana lingkungan, dimana desain arsitektur secara langsung akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Beberapa perkara menurut “UN-Habitat, 2010” yang harus dijadikan pendekatan desain dalam “Planning Sustainable Cities identifies the factors shaping 21st century” adalah : 1. 2.
The environmental challenge of climate change and cities’ dependence on fossil fuels. The demographic challenge of rapid urbanisation (particularly the growth of small and medium size cities), the shrinking, ageing population in some countries, and the youth bulge, as well as the increasing multicultural composition of cities. 3. The economic challenges linked to the uncertainty of future economic growth, the new doubts on marketled approaches and the expanding informality of urban activities. 4. The challenges linked to social and spatial inequality, urban sprawl and unplanned urbanization. 5. The challenges and opportunities of increasing democratisation, awareness of social and economic rights and consequent political renegotiation of power. Strategic Spatial Planning has provided the needed alternative since it : • Is more process oriented and contains broader spatial ideas. • Prioritizes plans according to participation and consensus building among stakeholders. • Aims to provide a spatial dimension to sectoral interventions as a means of integrating them. • Is implemented through the empowerment of different actors, as opposed to regulation and enforcement.
1. 2. 3. 4.
Sementara itu indikator pembangunan berkelanjutan (“sustainability”)10 adalah : Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable-resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources). Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan.
Proses desain arsitektur dan lingkungan-binaan saat in, secara “universal” ada yang harus dipertimbangkan secara serius sebagai fakta utama dalam era abad XXI ini, “mumpung” masih berada di
10
Buletin Tata Ruang, ISSN 1978-1571; edisi Februari 2009.
6/7
awal abad ini, yaitu perkara keberlangsungan ekosistem atau “sustainability”11. Terkait dengan prinsip “keberlanjutan ekosistem” ini, tokoh “sustainism” Schwarz menyampaikan begini “…Designers and architects have been among the first to see the fundamental shifts we associate with sustainism — for example, how perceptions of place have changed. The internet in particular has given a new meaning to the local: almost every place in the world is globally connected, 24/7. We live in local worlds, but we are also global citizens….” Tentu bila disimak, ketetapan substansial yang tersurat maupun tersirat pada serangkaian peraturan-perundangan di negeri ini sudah secara sengaja memasukkan perkara keberlanjutan ekosistem itu, akan tetapi seringkali pada aplikasi di lapangan tidak diterapkan atau pengawasan kurang ditegakkan. Apabila seluruh warga negara negeri ini patuh terhadap ketentuan tersebut, sebagai bagian kecil dari warga dunia tentu dapat secara pro-aktif menjaga kelestarian alam semesta. Jadi benar sungguh, apa yang disampaikan Schwarz menjadi teguran keras bagi para desainer, arsitek dan perencana-perkotaan, agar mengecek kembali dokumen perencanaan maupun desainnya dapat menjamin keberlangsungan ekosistem. Perkara “sustainability” ini memang menjadi dilematis dalam proses desain arsitektur dan lingkungan, oleh karena pada saat ini semua manusia telah di “manja”kan oleh perkembangan teknologi apapun, yang akan berdampak pada “keterpaksaan” menggunakan atau menyediakannya semata untuk memenuhi aktivitas yang disyaratkan sebagai “profesionalitas”. Dari skema-3 diatas terasa bahwa menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada desain arsitektur dan lingkungan-binaan, dapat di dekati melalui analisis fakta spasial dan fungsional yang secara aktual eksis serta memiliki potensi baik untuk di kembangkan. Kedua fakta tersebut seolah bersaing satu sama lain, walaupun keduanya dalam kesatuan. Problematika akan muncul ketika keduanya tidak dapat didudukan secara proporsional, yang ditandai dengan kehilangan harmoni dinamika totalitas kegiatan pada area terkait. Kedudukan fakta spasial dan fakta fungsional, terhadap dinamika aktivitas atau kegiatan lingkungan arsitektural atau lingkungan perkotaan dapat di simak dari matriks di samping ini ini. Terimakasih, Bandung 10 Maret 2016. FX Budiwidodo Pangarso, dan rekanrekan.
11
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/sustainability., Meaning of “sustainability” in the English Dictionary ENVIRONMENT, NATURAL RESOURCES - the idea that goods and services should be produced in ways that do not use resources that cannot be replaced and that do not damage the environment: the ability to continue at a particular level for a period of time. --- Michiel Schwarz & Joost Elffers.,:In the 20th century, our world was designed around modernist ideas and values. This could be seen in our architecture, product design, business models, urban planning, and much more. With modernism came a fascination with technology, modes of industrial production, a focus on material goods, underpinned by a particular idea of progress. But this century heralds a cultural shift. Sustainism, in our view, represents a new mind-set that, like modernism before it, will turn out to define how we see our world, what we value, and how we shape our living environment. It will become the new operating context for all of us.
7/7