Berkelit Dari Represi Bagito dan “Oporayam” dalam Siaran Radio Suara Kejayaan Pada Masa Orde Baru (1984-1992)
Tito Dwi Wirawan, Kasijanto Sastrodinomo Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan Ilmiah ini membahas mengenai Siaran Oporayam yang dibawakan oleh Bagito dalam Radio Suara Kejayaan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dimana rekaman siaran Oporayam, yang merupakan sumber utama, dikaitkan dengan situasi pada zaman itu. Terbelenggunya perkembangan radio pada pemerintahan Orde Baru memunculkan banyak acara kreatif dalam Radio Swasta, salah satunya adalah acara Oporayam yang berbentuk lawak. Dalam penyajiannya, Oporayam sering mengangkat permasalahan sekitar, yang merupakan dampak dari kebijakan pemerintah Orde Baru, sebagai materi acara. Berkat itu, Bagito, selaku pengisi acara Oporayam, terkenal karena lawakan kritiknya. Dimulai tahun 1984, Oporayam berhasil menarik banyak pendengar sehingga menimbulkan beberapa perubahan. Setelah 8 tahun bersiaran, Bagito meninggalkan Radio Suara Kejayaan sebagai tempatnya dalam berkarir. Kata Kunci
: Orde Baru, Oporayam, Radio Suara Kejayaan, Kritik.
Evading the Repression Bagito and “Oporayam” in Suara Kejayaan Radio at New Order’s Era (1984-1992)
Abstract This journal discusses Oporayam show by Bagito Group in Suara Kejayaan Radio. This research uses history method where oporayam recordings, which are the main source, is linked with situation at that time. The restricted radio development in the New Order regime brought up various creative program from private radios, one of them was Oporayam which was a comedy based program. In its performance, Oporayam often raised social problems, which was caused by the policy of New Order regime, as the main topic of the show. Therefore, as the host of that show, Bagito was popular with their humor satire. Began in 1984, Oporayam managed to attract many listeners until it created some changes. After eight years of broadcasting, Bagito left Suara Kejayaan Radio as their career place Keyword
: New Order, Oporayam, Suara Kejayaan radio, Criticism.
Pendahuluan Tulisan ini pada dasarnya merupakan studi mengenai sejarah media massa kontemporer yang fokus pada siaran sebuah radio swasta pada masa Orde Baru. Pada zaman tersebut siaran radio
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
swasta seringkali digunakan sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat sekitar. Dengan mengkaji siaran radio swasta pada zaman Orde Baru akan didapat sebuah fakta mengenai keadaan masyarakat tersebut. Siaran yang digunakan dalam tulisan ini adalah siaran Oporayam yang mengudara di daerah Jakarta. Isi acara Oporayam, yang disampaikan dalam bentuk lawakan kritik, tidak hanya menggambarkan keadaan masyarakat dan respon masyarakat terhadap suatu kebijakan tetapi juga menjadi wadah aspirasi masyarakat yang tidak dapat disampaikan. Selain sebagai studi mengenai media massa kontemporer, tulisan ini juga menjawab dari perubahan haluan historiografi sejarah sosial di Indonesia. Perkembangan kesadaran masyarakat Indonesia akan politik, sebagai salah satu reaksi dari penjajahan yang dilakukan kaum kolonial, menentukan keberadaan wacana dominan dalam historiografi pascakolonial. Alhasil, historiografi Indonesia didominasi oleh tulisan yang bersifat nasionalis, seperti menceritakan raja dan kerajaannya, orang besar, atau pahlawan untuk menunjukkan sebuah keagungan. Genre penulisan seperti itu mendapat kritik karena tidak dapat melihat dengan cermat konteks waktu, tempat, dan aktor dari masa lalu itu sendiri. Penulisan yang bergenre tersebut juga akan mudah mengundang anakronisme dan intersubjektivitas. Hal itu didasari oleh kepentingan untuk melakukan justifikasi atau pembenaran penulis terhadap sebuah ide besar yang telah dibangun secara subjektif, daripada merekonstuksi sejarah sebagai ilmu. Saat penulisan sejarah yang bergenre politik sedang diminati tinggi oleh para sejarawan Indonesia, muncul sebuah tulisan sejarah yang berbeda dari genre dominan tersebut. Tulisan itu adalah tulisan Sartono Kartodirjo yamg melakukan kajian sejarah sosial mengenai pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888. Melalui tulisan yang merupakan tesis doktornya di Universiteit van Amsterdam Belanda itu (1966), secara tidak langsung, Sartono Kartodirjo menciptakan kategori baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.1 Walaupun telah muncul sebuah kategori baru dalam genre sejarah, namun perkembangan penulisan sejarah Indonesia pascakolonial tidak memiliki perkembangan yang berarti. Hal itu terlihat dari kurangnya minat para sejarawan Indonesia terhadap sejarah sosial. Selain itu, sejarah sosial juga tidak memiliki perluasan makna. Sejarah sosial hanya dipahami sebagai sejarah para
1
Bambang Purwanto, “Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan kembali sejarah sosial Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptasari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor, 2008. hal. 265
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
petani di pedesaan yang termarginalkan namun mampu menujukkan jati diri mereka melalui gerakan-gerakan sosial.2 Permasalahan mengenai hal tersebut adalah kerancuan dan keterbatasan, baik secara epistimologis maupun metodologis. Para sejarawan Indonesia melupakan salah satu peran dari penulisan sejarah sosial, yaitu mengangkat kepermukaan persoalan atau kelompok yang tersembunyi, terpinggirkan, atau teraniaya. Tidak aneh apabila realitas masa lalu dari masyarakat miskin perkotaan atau kelompok minoritas lainnya belum banyak mendapat perhatian untuk dikaji dalam tulisan sejarah. Karena itu, perlu ada perubahan perspektif baru terhadap sejarah sosial agar tidak selalu membahas petani atau masyarakat marginal. Dengan adanya perubahan perspektif seperti itu akan membawa sejarawan kepada sumber-sumber sejarah yang terabaikan dan tidak konvensional, semacam karya sastra atau dokumen visual lain. Salah satunya ialah radio siaran yang dapat menggambarkan keadaan sekitar masyarakat pada saat itu. Radio siaran merupakan salah satu media massa karena dalam aktivitasnya ia mampu menjangkau penerima pesan secara banyak dan juga serempak. Sebagai salah satu alat komunikasi massa, tidak heran apabila corak radio siaran sangat bergantung dari corak rezim yang berkuasa. Seperti pada zaman kolonial belanda, dimana radio berfungsi sebagai alat komunikasi dan hiburan. Sedangkan pada zaman Jepang, Radio justru digunakan sebagai media propaganda. Rezim Orde Baru memang mendambakan kestabilan nasional yang sebagaimana tertuang dalam Trilogi Pembangunan. Oleh sebab itu, segala hal yang bersifat menganggu kestabilan nasional terpaksa dilarang. Salah satunya adalah kritik. Situasi yang represi ini justru tidak menghilangkan keinginan masyarakat untuk mengkritik, tetapi justru membuat kritik tersebut disampaikan dengan kiat-kiat tertentu agar terhindar dari sensor. Salah satu cara untuk berkelit dari situasi tersebut adalah menyampaikan kritik dengan menyertakan unsur humor.3 Humor adalah salah satu cara yang tepat untuk menyampaikan kritik tanpa mengundang rasa marah ataupun kesal dari mereka yang dikritiknya. Menurut Taufik Abdullah dan James Danandjaja, dalam buku Humor itu Serius, sebagaimanapun hebatnya humor hanya akan berhenti sebagai humor. Tidak ada sakit hati atau perasaan buruk lainnya, sebab humor ialah bahan canda 2
Ibid., hal 270 Virginia Matheson Hooker, Ekspresi: Kreatif Biarpun Tertekan, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Suharto Negara Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Hal. 512
3
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
tawa bersama. Kuatnya represi yang dilakukan oleh Orde Baru akan membuat humor politik yang beredar di masyarakat semakin populer.4 Dunia siaran juga mengalami dampak dari kebijakan pemerintah Orde Baru dalam mencegah kritik, yaitu dilarangnya untuk menyiarkan berita dengan versi sendiri. Fase matinya sistem jurnalistik dalam radio ini merupakan salah satu alasan bagi radio swasta untuk lebih fokus kepada siaran hiburan. Selain itu, iklan sebagai pilar utama dalam mempertahankan eksistensi radio swasta yang berjenis komersial juga menjadi faktor perubahan radio swasta tersebut. Kreasi para radio swasta komersial dalam sektor hiburan menjadi lebih beragam. Salah satunya seperti Radio Suara Kejayaan yang menerapkan format humor dalam radionya. Walaupun dilarang, kritik itu justru menjadi hal yang dinantikan oleh masyarakat, terutama masyarakat perkotaan.Selain masalah yang benar-benar pelik, hal ini juga didasari oleh banyaknya jumlah remaja Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi.Golongan remaja ini juga sedang mengalami tingkat pengangguran yang tinggi sehingga menyebabkan frustrasi dan berujung pada dukungan kritik sebagai medium mereka dalam menyampaikan kekecewaan terhadap sistem yang ada.5Acara Oporayam di Radio Suara Kejayaan adalah salah satu acara yang ditunggu oleh masyarakat berkat kiatnya dalam mengeluarkan kritik. Berdasarkan alasan tersebut, sekiranya menarik apabila melihat bagaimana cara Oporayam melancarkan kritiknya ditengah kondisi represi Orde Baru dan melihat respon dari masyarakat terhadap acara tersebut. Situasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Orde Baru Kepemimpinan Orde Baru dibekali dengan pengalaman dimasa Orde Lama. Berbagai permasalahan dijadikan pelajaran bagi sehingga memunculkan tujuan dalam Orde Baru yang sebagaimana tertuang dalam Trilogi Pembangunan. Adapun isi dari Trilogi Pembangunan adalah: Terciptanya stabilitas politik yang mantap dan memungkinkan kelangsungan jalannya pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk memperbesar kue nasional, pemerataan hasil pembangunan untuk memenuhi prinsip keadilan sosial.6 Berdasarkan ketiga hal itu, Soeharto memimpin Indonesia dengan otoriter yang secara tidak langsung menerapkan represi kepada masyarakat. Represi yang dilakukan Orde Baru terlihat dari kebijakan yang diambilnya di sektor politik, ekonomi, dan sosial 4
Agus Suhadi, Humor itu Serius: Pengantar Ilmu Humor, Jakarta: Pustakakarya Grafikatama, 1989. Hal. 58 Virginia Matheson Hooker, Op. Cit., hal 506 6 Sulastomo, Hari-hari yang Panjang, Transisi Orde Lama ke Orde Baru, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008. Hal 192 5
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Pada tahun 1974, Soeharto menerapkan format politik yang berupa penyederhanaan jumlah partai. Semua partai pada saat itu harus berfusi kepada salah satu dari tiga partai yang ada. Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golkar. Langkah ini bertujuan untuk menjadikan Golkar sebagai mayoritas tunggal dalam sistem politik Indonesia, yang selanjutnya melancarkan kepemimpinan presiden.7 Skenario untuk memenangkan Golkar pada setiap pemilu merupakan salah satu upaya agar dominasi Soeharto tetap terjaga. Hal itu terlihat dari Konsep “Monoloyalitas” yang diperkenalkan terhadap PNS dan ABRI. 8 Selain itu, aktivitas politik kedua partai lainnya juga dibatasi dengan aturanaturan pemerintah. Segala aktivitasnya, mencakup pertemuan di tingkat desa, naskah pidato politik, dan kegiatan yang harus berkaitan dengan isi-isu kepemimpinan harus disetujui oleh penguasa setempat, dimana para penguasa tersebut secara hukum merupakan anggota Golkar. Soeharto juga menempatkan para perwira ABRI sebagai jabatan-jabatan penting dalam birokrasi nasional dan daerah, dimana jabatan tersebut seharusnya diisi oleh masyarakat sipil. Pada pertengahan 1970, sekitar 20.000 personil ABRI dipersiapkan untuk berbagai jabatan, mulai dari menteri, duta besar, anggota MPR dan DPR, pejabat BUMN, gubernur, bupati, bahkan ditunjuk sebagai kepala desa di daerah-daerah terpencil.. Hal ini dimaksudkan agar birokrasi dapat berjalan sesuai dengan ABRI dan juga Golkar.9 Pada tahun 1976, Soeharto menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus /Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Langkah ini adalah respon dari demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, salah satunya adalah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari). Mahasiswa harus menyalurkan aspirasi politiknya melalui tiga partai yaitu, PDI, PPP, dan Golkar, tanpa harus turun ke jalan. Bagi Orde Baru, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dapat mengganggu kestabilan politik yang menjadi bahaya bagi posisi rezim Orde Baru. Pembentukan Kopkamtib, pada tahun 1965, juga menggambarkan bahwa Orde Baru sangat anti terhadap kritik. Pasalnya, Kopkamtib mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas untuk menangkap bagi mereka yang mengganggu kestabilan politik di Indonesia. Pada tahun 1978, Orde Baru mengenalkan Implementasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tujuan utama dari P4 adalah merasionalisasikan Pancasila sebagai 7
Sulastomo, Op. Cit., Hal. 93 Monoloyalitas memiliki arti yaitu kesetiaan yang tidak terbagi; kesetiaan tunggal. Maksud monoloyalitas disini memiliki arti loyal terhadap satu instansti tertentu saja. PNS dan ABRI diharuskan untuk loyal terhadap kekuatan yang menjamin kelangsungan Orde Baru, yaitu Golkar. Ibid., Hal.197 9 Ibid, Hal. 49 8
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
ideologi nasional melalui partai politik yang ada. Dengan dipilihnya Pancasila sebagai asas tunggal, hal ini juga bermaksud untuk menandakan partai yang memiliki pandangan yang saling bersebrangan. P4 juga berfungsi kepada masyakarat atas ajarannya yang memiliki nilai-nilai luhur atas kehidupan berbangsa. Hanya saja, P4 dinilai gagal dalam menerapkan nilai-nilai luhur dalam berkehidupan, justru hanya ingin mengenalkan bahwa rezim Orde Baru juga memiliki sifat humanis dan tujuan yang ideal. Dalam bidang ekonomi, Soeharto memulai masuknya modal asing di Indonesia. Hasilnya, Orde Baru dinilai cukup sukses menumbuhkan ekonomi semasa kepemimpinannya Hal tersebut dapat terbukti dari pertumbuhan PDB10 semasa Orde Baru yaitu peningkatan rata-rata 6,8 persen dalam satu tahun selama repelita. Walaupun angka menunjukkan nilai positif, namun yang terjadi sebenarnya adalah masih adanya kemiskinan dan semakin terlihatnya kesenjangan ekonomi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta kecurangan lainnya juga marak terjadi pada kepemimpinan Orde Baru. Kecurangan tersebut menyebar hingga tingkat desa. Para pejabat pemerintah desa, yang berasal dari perwira ABRI, terbiasa menerima sogokan, upeti, ataupun melindungi pungutan rutin yang dilakukan oleh oknum. Orde Baru juga masih menerapkan undian berhadiah dalam pemerintahannya. Kegiatan perjudian ini, yang sudah dilakukan sejak zaman Orde Lama, menimbulkan berbagai ekses, terutama judi di masyarakat lapisan bawah, sehingga mendapat pelarangan pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru kembali menerapkan kegiatan serupa dengan nama yang berbeda yaitu Football Forecasting atau yang populer disebut Porkas pada tahun 1985.11 Kegiatan ini diharapkan tidak menimbulkan ekses judi seperti sebelumnya. Kegiatan undian dalam olahrga di Indonesia mengalami polemik sehingga kerap kali berganti nama. Setelah Porkas, kegiatan ini berganti menjadi Kupon Sumbangan Undian Berhadiah (KSOB) dan setelah itu berganti lagi menjadi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Pada tahun 1993, pemerintah pada akhirnya melarang kegiatan ini. Dalam aspek sosial, masyarakat juga mengalami perubahan semasa pemerintahan orde baru. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi menimbulkan golongan baru dalam masyarakat, yaitu golongan kelas menengah. Pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, khususnya setelah 10
PDB adalah jumlah (nilai uang) dari semua barang dan jasa “final” yang dihasilkan selama satu tahun di dalam batas-batas Negara Republik Indonesia. T. Gillarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, Yogyakarta: Kanisius. 2004. Hal 185 11 “Undian Porkas Sepak Bola Beredar Hari Ini", Pos Kota, 28 Desember 1985 hlm. 1
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
tragedi oil boom, juga menimbulkan budaya baru terutama di golongan menengah, yaitu budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme juga didukung oleh Orde Baru yang kebijakan ekonominya lebih memihak sektor swasta. Upaya terhadap penanggulangan ledakan penduduk juga sudah dilakukan oleh Orde Baru, yaitu program Keluarga Berencana. Pada tahun 1968, berdasarkan laporan panitia ad hoc, yang ditugaskan untuk meneliti apakah kebijakan tersebut efektif apa tidak, menyebutkan bahwa program keluarga berencana memang sudah seharusnya dilakukan, terutama di Jawa dan Bali. Kepadatan penduduk di keduanya menjadi alasan utama mengapa hanya Jawa dan Bali yang diutamakan.12 Perubahan sosial yang lain adalah munculnya ketakutan masyarakat Sipil terhadap Pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menggunakan kekerasan sebagai alat untuk menstabilkan keadaan negara, atau lebih tepatnya menghadapi kritik dari masyarakat sipil. Kondisi tersebut digambarkan oleh Taufik Rahzen dalam potongan orasinya pada saat demonstrasi di Universitas Gadjah Mada. Kita berdiri di sini, dipersatukan oleh keprihatinan yang mendalam. Prihatin, karena kita hidup dalam suatu lingkungan di mana kekerasan, kecemasan, dan ketakutan semakin mennjol dalam pikiran kita dan semakin ampuh sebagai cara untuk mengatasi permasalahan. Kepirhatinan kita berkembang, dan kita sekarang berada tahapan di mana kita hampir menyerah. Kita merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan di sekitar kita tidak mungkin diabaikan. Kekerasan terhadap akal sehat. Kekerasan terhadap pikiran dan tubuh. Banyak orang menggunakan amarah, perilaku yang aneh, dan senjata sebagai pilihan pertama ktika mereka menghadapi perbedaan pendapat atau hal-hal yang menganggu. Kekerasan menguasai jalanan. Keributan massal, perampokan, pembunuham, dan perasaan tidak aman berlangsung dimana-mana. Kerusahan sosial dan menurunnya ambang batas toleransi membantu memperkuat kekerasan yang dilembagakan. Kekerasan telah menjadi bagian dari kebijakan ekonomi. Monopoli, persaingan bebas, penyuapan, penguasaan pribadi atas aset public, penggusuran secara paksa dan korupsi dalam pasar kerja mencerminkan perluasan langsung budaya kekerasan. Judi secara keji dipamerkan di bawah nama 13 sumbangan dan keberuntungan, mengejek dan membohongi rakyat miskin dengan harapan palsu.
Walaupun berbagai upaya dilakukan untuk menahan kritik namun ekspresi yang sifatnya mengkritik tetap menjadi favorit dalam masyarakat, khususnya terhadap golongan remaja. Kritik tidak hanya berupa aksi turun ke jalan. Kritik justru menjadi fitur utama dalam berbagai hal, seperti dalam dunia hiburan dan seni. Tulisan sastra atau pertunjukkan seni merupakan wadah penyampaian kritik yang umum digunakan pada zaman Orde Baru. Namun, ada pula wadah penyampaian kritik yang selain melalui kedua medium tersebut, yaitu kritik melalui humor. Salah 12
Anne booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru, Malaysia: Oxford University Press, 1981. Hal. 351 David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (ed.), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1962-1999, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2006. hal. 226 13
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
satunya adalah humor kritik yang disampaikan oleh Bagito dalam acara Oporayam di Radio Suara Kejayaan. Radio Suara Kejayaan dan Oporayam Dunia siaran radio juga menjadi praktik kebijakan politik Orde Baru yang mengesampingkan ekspresi berbentuk kritik. Radio swasta yang dikatakan boleh berkembang bukan berarti radio swasta tersebut dapat berekspresi sebebas-bebasnya. Orde Baru mencoba mengendalikan perkembangan radio swasta agar tidak menimbulkan sesuatu yang menggoyahkan stabilitas nasional, melewati peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 1970 memperlihatkan bagaimana Orde Baru sangat memperhatikan radio swasta, dimana radio tersebut dilarang untuk berafiliasi terhadap pihak tertentu. Usaha untuk mendirikan radio siaran swasta juga lebih diperketat. Radio swasta komersial juga dilarang untuk memiliki jaringan radio atau yang disebut juga jejaring radio.14 Aturan lain pemerintah yang terlihat menjaga stabilitas nasional adalah adalah pelarangan berita di dunia siaran radio. Radio swasta dilarang untuk menyiarkan berita dengan versinya sendiri.15 Hal ini mematikan jurnalisme dalam radio pada masa Orde Baru karena segala berita yang berada di radio hanya boleh disiarkan melalui siaran ulang dari RRI. Dengan dilarangnya berita dan berbagai aturan lain, pemerintah mengaharapkan bahwa radio swasta akan mengalihkan terhadap siaran yang bersifat mendidik dan memiliki corak kebudayaan. Namun kenyataannya, radio swasta lebih memilih untuk menambah siaran hiburan dan menjadi lebih kreatif, Selain itu, munculnya banyak radio membuat suasana persaingan antar radio swasta semakin ketat. Demi menciptakan pendengar yang setia terhadap radionya, radio swasta menciptakan radio style16 bagi pendengar yang mereka tuju. Tujuannya membuat pendengar lebih mudah mengingat atau menyebut radio tersebut. Seperti Radio Suara Kejayaan yang menyebut dirinya sebagai radio humor. Radio Suara Kejayaan adalah radio yang didirikan oleh Eppy Supriadi dan Yan Patrawijaya, yang berstatus pelajar, sejak tahun 1967. Pada saat itu Radio Suara Kejayaan masih bernama Suara Kemenangan dan bersifat amatir. Mendirikan sebuah radio amatir sudah menjadi 14
Istilah konsep dalam radio untuk membuka cabang di daerah lain, dengan tujuan memperluas daerah siarannya. Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: LKiS, 2004. Hal. 163 15 “Tidak Ada Berita di Swasta”, Tempo, 12 Januari 1985, hal. 22 16 Sebuah karakteristik tersendiri bagi radio untuk menunjukkan identitas yang berbeda dengan radio lainnya. Onong Uchjana, Op. Cit.,
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
budaya anak muda pada saat itu. Nama Radio Kemenangan pada akhirnya diganti di tahun 1971, tepatnya pada saat pembuatan akta kelahiran berbadan hukum.17 Sebelum menjadi radio humor, Radio Suara Kejayaan dirasa cukup sukses dalam mengudarakan programnya. Pada tahun 1978, acara yang memiliki popularitas tinggi adalah acara Sit-Sid. Acara ini merupakan acara interaktif antara penyiar dengan pendengar, dimana penyiar tersebut menjawab pertanyaan yang diajukan pendengar melewati surat yang dikirim. Bukti tingginya popularitas Radio Suara Kejayaan dapat dilihat dari respon pendengar terhadap acara kuis yang diadakannya. Dalam sehari, penelpon yang masuk ke dalam studio Radio Suara Kejayaan mencapai 130 orang.18 Radio Suara Kejayaan sebagai Radio Humor berlaku pada tahun 1989, tepatnya pada saat radio tersebut beralih ke jalur Frequency Modulation (FM). Pada saat itu, beralih ke jalur FM membutuhkan modal yang besar sehingga hanya beberapa radio di Jakarta yang diperbolehkan beralih ke jalur FM. Alasan ini menjadi penyebab Radio Suara Kejayaan beralih ke FM, pasalnya persaingan radio swasta di jalur FM tidak seketat persaingan di jalur Amplitudo Modulation (AM). Ide untuk menjadi radio humor sudah dipersiapkan sejak tahun 1985. Awalnya, pada 1984, masuknya grup lawak Bagito yang mengisi acara Oporayam, mendapat perhatian yang besar dari para pendengar Radio Suara Kejayaan. Hal ini juga menginspirasi beberapa jajaran petinggi untuk mengambil langkah menjadikan Radio Suara Kejayaan sebagai radio humor guna meraup keuntungan yang lebih tinggi. Sosok Temmy Lesanpura, yang sebelumnya adalah staf siaran di Radio Prambors, bersama Kasino Hadiwibowo, anggota grup Warung Kopi (Warkop) DKI, adalah penggagas dalam menjadikan Radio Suara Kejayaan menjadi Radio Humor. Temmy Lesanpura mengundang Bagito grup untuk bersiaran di radio tersebut. Kedekatan Bagito dengan Warkop DKI menjadi alasan dipilihnya Bagito untuk bersiaran di Radio Suara Kejayaan. Sebagai bentuk mengenalkan radio humor terhadap para pendengar, Radio Suara Kejayaan mengganti beberapa hal. Seperti slogan Radio Suara Kejayaan yang pada awalnya “SK846 – Untuk Tengah Usia dan Tengah Selera” berganti menjadi “Radio SK: Radio Humor yang Pertama dan Satu-satunya di Indonesia”. Angka 846 merupakan frekuensi Radio Suara Kejayaan semasa bersiaran di jalur AM, diganti karena SK memiliki frekuensi yang berbeda pada 17 18
Tertera dalam akte 15 Februari 1971 no. 15 dengan notaris Jony Frederik Berthold Tumbelaka Sinjal. “Acara-acara Radio yang Digemari: Membangun Kontak Hangat Antar Pribadi” Kompas, 26 Juni 1983, hal. 5
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
jalur FM, yaitu 101,6 FM. Suara Kejayaan juga membuat semboyan, yaitu Empat Senyum Lima Ketawa,. Dalam upaya untuk lebih mengakrabkan diri terhadap pendengar, antara penyiar Radio SK dan pendengar menciptakan panggilan tersendiri. Para penyiar biasa menyebut dirinya sebagai “Eskader” dan pendengar biasa dipanggil sebagai “Eskawan”. Sebagai radio humor, Radio Suara Kejayaan beberapa kali mengadakan lomba lawak, salah satu contoh ialah lomba lawak Zebra Gerr. Lomba lawak yang diselenggarakan bersama Satuan Lalu Lintas ini menghasilkan 6 nama pemenang, 5 grup dan 1 perseorangan. Adapun nama-nama tersebut ialah Gideon, Domaz, Kelik (Pelawak tunggal), Seboel, Boom ’88, dan Lestari.19 Para pemenang ini mendapatkan jam panggung tersendiri di Radio Suara Kejayaan. Sebuah acara yang bernama Haha-Hihi, yang tayang setiap hari di jam 5-7, merupakan acara yang dikhususkan untuk para pelawak yang belum memiliki popularitas di tanah air. Dalam mencirikan sebagai radio humor, Radio Suara Kejayaan juga membuat beberapa jingle20 maupun bumper21 selama bersiaran. Salah satu bumper dalam Radio Suara Kejayaan adalah: Terjadi percakapan antara Supir Bajaj dengan Wisatawan Aksing di Jakarta Supir Bajaj : Mister Mister Wisatawan Asing : Oh yaa? Supir Bajaj : Kalo di Jakarta suka denger radio apa yah? Wisatawan Asing : Di Jakarta, hmm, saya suka denger 3 radio. Supir Bajaj : Radio apa aja yah? Wisatawan Asing : Hm…. Radio SK, Radio Humor, dan Radio 101,6 FM Supir Bajaj : Lha, kalo itu sih padha bae Wisatawan Asing : Hm… kalo padha baek belum pernah dengar tuch
Selain bumper, ada pula jingle yang mengcirikan radio Suara Kejayaan sebagai radio humor. Jingle Radio Suara Kejayaan yang dibawakan oleh K-Basah seperti: “Gembira bersama SK, tersenyum bersama SK, tertawa bersama SK, hilangkanlah segala duka satukan suka citamu, 101,6 FM”.22 19
Herry Gendut Janarto, Bagito: Trio Pengusaha Tawa, Jakarta: Grasindo, 1995 hal. 39 Jingle adalah sebuah lagu pendek yang memiliki ciri khas tertentu dan digunakan dalam dunia siaran. Jingle biasanya dimaksudkan untuk iklan dengan diikuti sebuah slogan, pengulangan nama dan slogan dengan ritme tertentu. Randy Bobbitt, Exploring Communication Law: A Socratic Approach in e-Study Guide for, Cram101 2012. Diunduh di https://bookshout.com/ebooks/e-study-guide-for-exploring-communication-law-a-socratic-approach-byrandy-bobbitt-isbn-9780205462315 21 Bumper adalah sebuah pengumuman yang singkat berisi suara yang berdurasi biasanya 2 hingga 15 detik dan terletak diantara kedua acara. Joseph R. Dominick, Broadcasting, Cable, the Internet and Beyond: Introduction to Electronic Media in e-Study Guide for, Cram101 2012. Diunduh di https://bookshout.com/ebooks/e-study-guide-forbroadcasting-cable-the-internet-and-beyond-introduction-to-electronic-media-by-joseph-r-dominick-isbn9780073135809 22 Rekaman yang diunggah oleh fans Radio Suara Kejayaan. Rekama tersebut diunduh dari www.4shared.com/audio/AGk-PcBI/Bumper_Radio_SK_-_Parto_Dono_K.html pada 25 Juni 2013 20
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Keseriusan Radio Suara Kejayaan dalam mengembangkan format humornya tidak terlepas dari acara Oporayam, dibawakan oleh Bagito Grup, yang memiliki respon sedemikian rupa sehingga berpengaruh terhadap radio tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Oporayam memiliki muatan yang menarik disamping humornya untuk menarik para pendengar, yaitu muatan kritik. Kritik tersebut mengacu kepada keseharian masyarakat ibukota Jakarta, terutama menggambarkan sikap masyarakat terhadap isu-isu yang berkembang. Oporayam merupakan paket acara lawak pertama yang disiarkan oleh Radio Suara Kejayaan. Dimulai pada tahun 1984, tujuan radio Suara Kejayaan menyiarkan Oporayam adalah agar dapat bersaing dengan radio-radio swasta lainnya. Dipilihnya Bagito Grup ialah karena kedekatan grup Warkop dengan manajemen Radio Suara Kejayaan, dimana Bagito Grup adalah murid dari mereka. Oporayam, kepanjangan dari Obrolan Pos Ronda Anak Muda yang Ambisi, adalah program humor Bagito grup yang menyeritakan kejadian sehari-hari dengan latar belakang sebuah pos ronda. Begitu juga dengan karakter yang umumnya adalah warga dan petugas anggota hansip. Dalam acara obrolan santai ini, Dedy dan Hadi memiliki peran lebih dari satu. Dedy berperan sebagai Miing, Aki Biran, Ina, dan Pak RT. Hadi berperan sebagai Unang dan Kardiman. Sedangkan Didin hanya memiliki peran sebagai anggota hansip. Adapun Eman dan Yanto, semasa bersiaran di Oporayam berperan sebagai anggota hansip. Nama ‘Miing’ dan ‘Unang’, yang ditemukannya dalam acara ini, selanjutnya menjadi nama populer bagi Dedy dan Hadi. Masing-masing peran memperlihatkan bagaimana wataknya ketika melawak. Karakter yang dimainkan oleh Dedy memiliki watak yang saling berbeda. Ina yang memperlihatkan gadis centil lebih banyak berceloteh ke arah humor porno. Aki Biran sebagai kakek tua yang memiliki sifat bijak sehingga sering menasehati para pemuda di perkampungan. Pak RT yaitu pria setengah baya yang sangat membanggakan kekuasaannya. Sedangkan Miing, yang terkadang muncul sebagai anggota hansip ataupun pedagang, adalah pemuda ibukota yang sedang mencari jati diri seperti remaja pada umumnya. Didin sebagai anggota hansip yang selalu menyombongkan dirinya sendiri, sedangkan karakter Unang, ia berperan sebagai pembantu yang berwatak polos. Adapun selain Bagito, Oporayam terkadang juga mengundang bintang tamu dalam siarannya.
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Bintang tamu tersebut umumnya diisi oleh pelawak-pelawak yang sudah memiliki nama di Tanah Air.23 Oporayam terdiri dari empat segmen, masing-masing berdurasi 30 menit, sehingga acara ini berlangsung selama 2 jam. Oporayam yang disiarkan pada kamis malam merupakan siaran ulang yang sebelumnya sudah direkam terlebih dulu. Karena mediumnya radio, dimana hanya pendekatan auditif saja yang berlaku, maka permainan kata dalam humor menjadi andalan utamanya. Peran Didin sangatlah penting dalam Oporayam yaitu selain sebagai pembuat konsep lawak, ia juga berperan sebagai pemancing dan pembatas dalam permainan kata yang dimainkan oleh kedua personel lainnya. Sedangkan peran Dedy biasanya memegang kendali dalam permainan kata yang sedang berlangsung. Lawakan kritik Bagito pun umumnya keluar dari mulut Dedy. Adapun Unang, yang memanfaatkan suara kecilnya, sering menjadi bahan tertawaan dari lawakan yang dilontarkan Bagito. Acara Oporayam tidak menggunakan efek tertawa dalam siarannya. Hal itu disebabkan oleh keberadaan penonton dalam proses pembuatan rekaman. (Mengenai para penonton ini akan dibahas di dalam bab berikutnya.) Rekaman Oporayam dilakukan pada Selasa siang. Sebelum proses rekaman, para personel Bagito sudah berkumpul terlebih dulu untuk membahas apa yang akan dibawakan. Didin, sebagai penulis naskah, memberi garis besar mengenai cerita yang akan dibawanya. Setelah mengetahui garis besar cerita, maka para personel berdiskusi mengenai ke arah mana cerita dan isi dari tiaptiap segmen. Setelah mengetahu hal tersebut, selanjutnya bergantung pada improvisasi tiap-tiap personel.24 Penuhnya studio akibat banyak penonton memaksa mereka berganti baju, yang pada awalnya memakai kemeja menjadi kaos oblong. Hal ini juga dimaksudkan agar para penonton merasa lebih dekat dengan Bagito. Acara Oporayam diawali dengan musik pembuka yang menggambarkan keadaan Pos Ronda dan sekitarnya. Cerita ini ada di pos ronda Sang anak muda di sebuah kota Kami selalu dalam waspada Jaga lingkungan di setiap masa Jaga malam jaga lingkungan Kalo siskamling harus keliling Biar aman ga ada maling Jangan anggota hansip kena tuding
23
Seperti dalam edisi Festival Cinta, acara Oporayam mengundang Timbul dari grup lawak Srimulat. Dalam edisi Kakiku Kakimu Kakilima, Bagito mengundang Indro dari grup Warkop. Sumber rekaman Oporayam 24 Wawancara dengan Tb. Dedy Gumilar, Ibid.,
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Semua warga, ikut pusing Jangan nakal jangan badung Nanti kamu kena pentung Kami pasukan, berani bingung
Dapat dikatakan acara Oporayam terinspirasi oleh acara humor Radio Prambors yang bernama “Obrol Santai di Warung Kopi”. Acara ini diisi oleh grup lawak Warkop Prambors, yang berganti nama menjadi Warkop DKI, dari tahun 1972 hingga 1976. Nama Temmy Lesanpura berperan dalam kedua acara ini. Ada beberapa persamaan antara acara Warkop dengan Oporayam. Kedua acara ini mempunyai latar belakang yang seragam, yaitu tempat terjadinya obrolan santai. Secara teknis, Oporayam juga seragam dengan acara Warkop. Dalam acara Warkop, mereka pun memiliki pembuka sebuah musik humor yang khas. Begitu juga dengan jumlah peran dimana setiap personel Warkop memiliki peran lebih dari satu.25 Pada tahun 1990, Acara Oporayam berganti nama menjadi Bagito Show (Ba-sho). Format kedua acara ini sama, karena sandiwara humor masih menjadi menu utama. Perbedaan hanya terletak pada nama acara, tidak adanya judul acara di awal, dan peranan anggota hansip yang tidak lagi diunggulkan. Penggantian nama ini dilakukan agar publik lebih mengenal nama Bagito yang pada saat itu sedang disibukkan dengan acara-acara di luar Radio Suara Kejayaan. Selain itu, Bagito juga ingin membawakan cerita tidak lagi berlatar pos ronda. Acara ini hanya bertahan hingga tahun 1992, ketika Bagito sudah keluar dari Radio Suara Kejayaan. Kritik dalam Oporayam Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Oporayam memiliki muatan kritis didalamnya. Muatan kritis yang dibalut dengan nuansa humor tersebut menjadikan acara ini terkenal di ibukota Jakarta. Bagito grup seringkali mengambil bahan humor mereka dari surat kabar ataupun sekedar berdiskusi dengan para pendengar. Hal ini secara tidak langsung membuat para pendengar, terutama yang berdomisili di sekitar Jakarta, ikut merasakan apa yang dihumorkan oleh Bagito Grup. Dalam tulisan ini penulis memilah kritik tersebut dalam tiga bagian, yaitu politik, ekonomi, dan sosial. Dalam bagian politik, Bagito menghumorkan kebijakan Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4). Program tersebut dimulai pada tahun 1978, yang bertujuan untuk mendorong keseragaman ideologi semua warga negara, yaitu ideologi Pancasila. Adapun kursus 25
“Warung Kopi Prambors: Yang Mereka Anggap Lucu Sering Tak Ada Reaksi”, Kompas, 19 Juni 1983, hal. 4.
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
itu bernama Penataran P4. Program ini wajib dilakukan di setiap instansi formal mulai dari departemen pemerintahan, tempat-tempat kerja, sekolah, dan tempat-tempat lainnya.26 Penataran P4 dinilai gagal karena menggunakan pendekatan formal dan cenderung represif. Bagi anak muda, program ini bukan hanya gagal membuat mereka menjunjung tinggi dan mengamalkan ideologi Pancasila yang sebagaimana menjadi tujuan, tetapi juga membuat popularitas ideologi Pancasila menurun. Permasalahannya terletak pada sosok figur penatar yang dinilai munafik. Tidak heran apabila partisipasi masyarakat mengenai program tersebut sangat rendah. Seperti yang digambarkan oleh bagito dalam dialog berikut: Eman Unang Eman Unang Eman Didin Eman
: Kemaren jawabannya apa sih nang, P4 nang? : Gatau… : Singkatan P4? : Gatau, lupa.. : Masa Eman disalahin.. padahal bener kan ya P4, Pinggang Pegel Pantat Panas. : Ah lu tukang pijit : eeeeeeeeeeeeee… Emang waktu lagi Penataran P4, ada penataran begitu. Diajarin ama gurunya, tapi udah ngomong begitu, pinggang pegel pantat panas, dipanggil, trus digampar.. Unang : Diborgol lu, ga boleh… (Oporayam: Ina Wanita Terlarang)
Sedangkan dalam bagian ekonomi, bagito sering menggunakan kritiknya untuk menggambarkan mereka yang terpinggirkan di Ibukota Jakarta. Seperti terjadinya praktik suap terhadap pedagang kaki lima yang tergambar dalam lawakan ini: Didin : Dia kemaren mau nyogok saya Pak Pak RT : Siapa Didin : Itu.. yang kaki lima.. 20.000.. saya tolak Pak Pak RT : Bagus ! Didin : Saya konsekuen dengan tugas saya Pak RT : Bagus! Itu, namanya pimpinan atau pejabat atau aparat yang terpuji Didin : Siap Pak ! Tapi kalau dia berani nambah 10.000, saya bolehin Pak ! Pak RT : Eeeee…. JaDidin : 20 mana cukup Pak RT : 20 ribu kamu disogok kamu tolak kamu minta 10 ribu.. hmph, pejabat anggota hansip yang tidak punya konsekuensi dan tidak punya tanggung jawab.. malu-maluin RT… Didin : Baik Pak Pak RT : Bilangin, kurang kan gua juga masih ada Din.. belom Unang.. Didin : Si Unang, Pak yah.. Pak RT : Unang belom (Oporayam: Kakiku Kakimu Kakilima)
Pada kenyataannya, praktik suap banyak terjadi antara pedagang kaki lima dengan oknum aparat membuat para pedagang ini lebih memilih untuk menjadi pedagang liar ketimbang berjualan di pasar inpres. Dalam artikel Kompas 11 November 1984 yang berjudul “Sektor 26
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2009, hal. 637
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Informal Mereka Itu Pejuang Tapi Digusur-gusur”, disebutkan sebuah pedagang yang berkali-kali barangnya diangkut kamtib27 akibat berjualan secara liar. Namun, hal itu tidak terjadi lagi ketika mereka membayar sejumlah uang kepada pihak kamtib. Pada tahun 1990, menurut PD Pasar Jaya28: Tidak selesainya permasalahan kaki lima di Jakarta karena banyaknya oknum aparat wali kota yang ‘memproyekkan’ pedagang kaki lima itu. Biasanya pihak wali kota ‘meminta’ dana penertiban dari PD Pasar Jaya untuk menertibkan kaki lima itu. Operasi penertiban itu tidak dilanjutkan dengan penyelesaian selanjutnya. Akibatnya pedagang kaki lima kembali ke lokasi sebelumnya. Kemudian diadakan operasi lagi, terus berulang seperti lingkaran setan.29
Sedangkan dalam bagian sosial, Bagito sering menggambarkan perilaku masyarakat perkotaan Jakarta. Perilaku ini dinilai negatif dan muncul akibat dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu perilaku yang muncul dalam masyarakat perkotaan ialah perilaku konsumerisme. Perilaku konsumerismenya tergambar dalam peran Didin yang selalu menyombongkan diri, seperti berikut: Didin: Waduh payah nih mobil yang satu dibawa ama mamah… Didin tugas pake apaan nih, masa pake sepeda mini… ga lucu anggota hansip pake sepeda mini… payah nih mamah padahal mobil ada 16.. sekali pake tiga mamah gw.. yang dua dituntun yang satu dinaekin, susah sih gw aduh bosen jadi orang kaya gimana caranya biar miskin ya.. (Oporayam: RT Sendu Hansip Termangu)
Pada kenyataannya, didukungnya pertumbuhan industri besar pada zaman Orde Baru menimbulkan sebuah perilaku baru yaitu perilaku konsumerisme. Untuk menurunkan tingkat konsumerisme, pemerintah melakukan beberapa langkah. Seperti pelarangan iklan di TVRI pada tahun 1982,30 ataupun kebijakan uang ketat pada tahun 1990. Pada dasarnya, arti konsumerisme adalah ‘konsumsi yang mengada-ada’.31 Pengaruh Oporayam Kritik-kritik semacam itulah yang membuat Oporayam menjadi acara utama di Radio Suara Kejayaan32. Selain berpengaruh terhadap Radio Suara Kejayaan, seperti yang dijelaskan 27
Kepanjangan dari Petugas Keamanan dan Ketertiban, KBBI lampiran ke IV PD Pasar Jaya adalah perusahaan daerah milik DKI Jakarta yang dibentuk pada tanggal 23 Desember 1967 dengan maksud peningkatan efisiensi umum di bidang perpasaran di lingkungan Jawatan Perekonomian Rakyat DKI Jakarta dilihat di http://pasarjaya.co.id/about/detail/Profile-Pasar-Jaya diakses tanggal 11 Mei 2014. 29 “Pedagang Pasar Enjo Jaktim Resah karena Kaki Lima Liar”, Kompas, 13 Juni 1990 30 Agus Sudibyo, Op. Cit., Hal. 287 31 Definisi tersebut dikeluarkan oleh Herry Priyono, dikutip dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Purwanto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, Hal 267 32 Di dalam laporan PRSSNI, acara Basho merupakan acara terpopuler no. 1. Pengurus Pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, Op. Cit., hal. 120 28
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
sebelumnya, kepopuleran Oporayam juga berpengeraruh terhadap karir Bagito grup itu sendiri dan para penggemar Radio Suara Kejayaan. Berkat Oporayam, Bagito seolah menemukan cara melawak yang menjadi pembeda dengan pelawak-pelawak lain, yaitu lawakan kritisnya. Cara melawak tersebut juga digunakan oleh Bagito di panggung lainnya. Alhasil, lawakan yang pada awalnya hanya menjadi favorit bagi para pendengar Radio Suara Kejayaan, berubah menjadi lawakan favorit bagi masyarakat luas. Popularitas Bagito pun terus menanjak, hingga membuatnya menjadi artis ibu kota. Berbagai tawaran melawak pun datang, mulai dari merekam lawakannya di kaset, melawak di panggung luar negeri, tampil di layar kaca, hingga diberi kepercayaan untuk membawakan acara Obtik (Obrolan Politik) pada tahun 1992. Bagito sempat mengisi hiburan lawak yang direkam dalam kaset dan dijual secara komersial. Sepanjang karirnya, mereka merekam empat buah kaset, yaitu Konsultan Bingung (1985), Pasukan Berani Bingung (1987), Bagito Ketemu Emon (1987), Uang Ketat (1992)33. Dengan popularitas yang begitu tinggi semasa Radio Suara Kejayaan, tidak heran jika Bagito sering dipanggil untuk mengisi acara-acara di luar radio Suara Kejayaan, terutama TVRI. Pada tahun 1985, walaupun saat itu mereka baru tampil sebanyak tiga kali di TVRI, mereka sudah diperhitungkan sebagai grup lawak yang cerdas dan berbeda dengan pelawak lainnya. Dalam acara Kamera Ria TVRI misalnya, grup lawak ini tidak menampilkan peran banci, celana komprang, kepala botak, dan lawakan fisik lain yang sebagaimana sering dilakukan oleh pelawak lainnya.34 Hal tersebut menunjukkan potensi grup Bagito, yang pada saat itu masih terbilang muda, untuk mampu bersaing dengan pelawak lainnya. Tidak heran jika setelah itu, Bagito menjadi langganan pelawak untuk mengisi acara-acara humor khusus di TVRI, seperti paket lebaran ataupun tahun baru. Kepopuleran Oporayam juga membuat Radio Suara Kejayaan memiliki sebuah fans yang belakangan disebut SKAK (Senyum Ketawa Asal Kreatif). Awalnya, perkumpulan ini bernama Suara Kejayaan (SK) Fans Club. Perkumpulan ini sudah muncul sebelum acara Oporayam bersiaran, tepatnya pada saat acara Cerita Kota (yang dibawakan oleh Dedy Gumilar dan Ary Pribadi). Pada saat itu, sering adanya temu sapa antara pendengar maupun para penyiar dalam Radio Suara Kejayaan, membuat sebuah kedekatan, entah itu sesama pendengar radio Suara 33 34
Herry gendut Janarto, Op. Cit. hal. 51 “Melawak memendekkan Umur”, Kompas, 22 Maret 1987,
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Kejayaan atau pendengar dengan penyiarnya. Anggota Fans Club ini pun terus bertambah, hingga pada akhirnya mencapai 150 orang. Sejak saat itu, perkumpulan ini berubah menjadi fanbase dari Radio Suara Kejayaan yang bernama SK Fans Club. Dengan keberadaannya Oporayam, maka jumlah pendengar Radio Suara Kejayaan terus bertambah hingga mencapai angka 32.000 pendengar untuk area Jabotabek.35 Seiring dengan hal itu, jumlah anggota SK Fans Club juga ikut bertambah. Para pendengar setia ini memiliki kebiasaan yang unik, yaitu menonton langsung proses rekaman acara Oporayam di studio Radio Suara Kejayaan, yang berlokasi di Jalan Pakubuwono daerah Kebayoran Baru Jakarta Selatan Pada dasarnya, selain materi Oporayam memiliki humor bergenre kritik, fenomena datang menonton proses rekaman ini secara tidak langsung juga membantu peningkatan popularitas Radio Suara Kejayaan. Banyaknya karakter yang dibawakan oleh personel Bagito, terutama oleh Mi’ing dengan karakter Ina-nya, mampu mengundang rasa penasaran kepada pendengarnya. hal ini menyebabkan para pendengar ingin melihat langsung penyiar yang mampu membawakan bermacam-macam karakter tersebut. Ditambah lagi, Bagito, dengan radio Suara Kejayaan, mengundang sekaligus menerima para pendengar yang ingin datang langsung ke studio. Kedatangan pendengar ini membawa pengaruh positif terlihat dari perkembangan SK Fans Club. Karena dari perkembangannya, acara Oporayam menjadi waktu berkumpul sekaligus mengenalkan SK Fans Club terhadap pendengarnya. Hal ini terbukti dari jumlah anggota yang terus bertambah di SK Fans Club hingga hampir mencapai 1000 orang.36 Pada tahun 1988, manajemen beserta pengurus SK Fans Club, mengganti nama SK Fans Club menjadi Senyum Ketawa Asal Kreatif, atau yang disingkat SKAK. Kata SKAK ini berasal dari permainan catur, dimana permainan tersebut membutuhkan pemikiran, ketekunan, dan keseriusan. Sehingga secara arti, SKAK ialah wadah bagi para fans Radio Suara Kejayaan, dimana anggotanya dituntut untuk berkarya secara serius dengan hasil yang mampu membuat senyum dan ketawa atas kreativitas karyanya37. Aktivitas SKAK tidak terhenti dari menonton rekaman Oporayam ataupun sekedar nongkrong di Radio Suara Kejayaan saja. Umumnya, kegiatan SKAK terdiri dari dua jenis, yaitu kegiatan internal dan kegiatan eksternal. Kegiatan internal dalam artian acara tersebut hanya boleh diikuti oleh anggota SKAK saja, seperti acara rutin anggota SKAK, sedangkan kegiatan 35
Herry gendut Op. Cit., Hal. 39 Herry Gendut Janarto, Op. Cit., 37 Dalam Arsip Berita hari ini: SKAK, Pionpun Melangkah, Arsip Pribadi 36
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
eksternal sebaliknya. Organisasi ini mencoba menyalurkan bakat dari para anggotanya melalui bidang-bidang yang telah direncanakan. Ada enam macam bidang yang masing-masing memiliki aktivitas rutin setiap minggunya, yaitu Bengkel Humor, Bengkel Audio Visual, Bengkel Dance, Bengkel Musik, Bengkel Teater, dan Bengkel Olahraga.38 Segala kegiatan ini difasilitasi oleh Radio Suara Kejayaan. Kesimpulan Pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kritik merupakan kunci kesuksesan acara Oporayam di Radio Suara Kejayaan. Faktor kemunculan Kritik tersebut adalah akibat situasi politik di Indonesia pada zaman Orde Baru. Begitu juga dengan kemunculan Radio Suara Kejayaan. Sikap anti kritik pemerintah Orde Baru juga terlihat dalam dunia siaran. Pada akhirnya, menjadi kreatif adalah kunci bagi kesuksesan sebuah radio di zaman itu. Salah satunya dengan membuat style tersendiri bagi radio seperti yang dilakukan oleh Radio Suara Kejayaan dengan mengidentitaskan dirinya sebagai radio humor yang dilakukan pada tahun 1989. Namun, kesuksesan format humor tersebut tidak terlepas dari siaran Oporayam yang menjadi siaran andalan bagi Radio Suara Kejayaan. Oporayam merupakan acara humor di Radio Suara Kejayaan yang disiarkan sejak tahun 1984. Faktor kemunculan Oporayam ialah ketatnya persaingan antar radio di Jakarta, sehingga dibutuhkan sebuah acara kreatif yang baru. Pengisi acara dari Oporayam adalah Bagito Grup, sebuah grup lawak yang berisikan Dedy Gumilar, Didin Gumilar, dan Hady Prabowo. Dalam acara ini, Bagito sering membawakan materi humor yang aktual di masyarakat, sehingga terkesan mengkritik keadaan. Pada dasarnya Bagito sendiri tidak memiliki keinginan untuk mengkritik. Mereka juga tidak mempunyai pengalaman dalam humor mengkritik sebelum di Radio Suara Kejayaan. Acara Oporayam tidak hanya berpengaruh terhadap Radio Suara Kejayaan, tetapi juga kepada grup Bagito terutama dalam mengubah cara melawaknya. Beberapa hal dinilai menjadi faktor dalam berubahnya gaya lawak Bagito. Seperti kedekatannya dengan grup Warkop DKI, Fans Radio Suara Kejayaan yang umumnya adalah remaja, kondisi yang mengharuskan berhumor dengan medium radio, dan budaya di dalam Radio Suara Kejayaan itu sendiri.
38
Struktur organisasi SKAK, Arsip Pribadi
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Daftar Referensi Arsip yang tidak diterbitkan Koleksi dokumen PRSSNI-Radio Suara Kejayaan Akte PT Radio Suara Kejayaan. 15 Februari 1971 No. 15 di Jakarta dengan notaris Jony Frederik Berthold Tumbelaka Sinjal. Koleksi dokumen Organisasi SKAK 17 Rekaman paket Humor Oporayam/Basho di Radio Suara Kejayaan Surat Kabar dan Majalah: Kompas, Jakarta, 26, 19, Juni 1983 Kompas, Jakarta, 13 Juni 1990 Kompas, Jakarta, 28 Juni 1992 Tempo, Jakarta, 26 Juni 1985 Tempo, Jakarta, 23 Juli, 3 Septermber, 17 Desember 1988 Suara Pembaruan, Jakarta, 11 Juni 1999 Buku Booth, Anne. 2001. Pembangunan: Keberhasilan dan Kekeluargaan dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia beyond Suharto Negara Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi (hal. 185-234) Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hooker, Virginia Matheson. 2001. Ekspresi: Kreatif Biarpun Tertekan dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia beyond Suharto Negara Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi (hal. 463-517) Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Janarto, Harry Gendut. Bagito: Trio Pengusaha Tawa. Jakarta: Grasindo. 1995 ORARI. Buku Pegangan Amatir Radio Pemula & Siaga Versi 20070809. Jakarta: ORARI. 2007 Purwanto, Bambang. 2008. Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan kembali sejarah sosial Indonesia dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptasari (Eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (hal. 265) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Jakarta: Serambi. 2004 Suhadi, M. Agus. Humor itu Serius: Pengantar Ilmu Humor. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama. 1989. Uchana, Onong. Radio Siaran: Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju. 1990. Sulastomo, Hari-hari yang Panjang, Transisi Orde Lama ke Orde Baru, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008. Sutrisno, Mudji dan Hendar Purwanto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Jakarta: Serambi. 2004 Artikel Setiawan, Arwah,”Yang “pop” dan “tinggi” dalam Humor,” Prisma. 6 Juni 1977. Alwi, Des“Bing Slamet dalam Dunia Lawak Indonesia,” Prisma. Juni 1988
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014
Wawancara Wawancara dengan Dedet R Brur, Bogor, 1 Maret 2014, pukul 15:41 Wawancara dengan Andika Widianto, Depok, 18 November 2013 pukul 13.30 Wawancara dengan Andri Williardi, Jakarta, 5 Maret 2014 pukul 20:21 Wawancara dengan Tubagus Dedy Gumilar, Jakarta, 12 Mei 2014 pukul 14:31 Wawancara dengan Yasser Fikri, Jakarta, 03 April 2014 Pukul 10.39
Berkelit dari Represi Bagito dan..., Tito Dwi Wirawan, FIB UI, 2014