BADAN SENSOR FILM PADA MASA ORDE BARU: Kelembagaan dan Aktivitas (1967-1994) Djuliana, Kasijanto M.Hum
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas lembaga sensor film di Indonesia pada masa Orde Baru (BSF) yang lahir pada 1965, tetapi kinerjanya baru disahkan pada 1967. Lembaga ini muncul pada masa peralihan antara Orde Lama menuju Orde Baru dengan sistem penyensoran yang berbeda. Lembaga yang disahkan menjadi lembaga sensor pemerintah pada 1973 ini mencegah keberadaan film yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Berbagai respon datang kepada BSF yang sebagian menyatakan setuju terhadap kinerja BSF dan yang lain tidak. Muncullah UU Perfilman 1992 dan Peraturan Pemerintah No.7 tentang LSF sebagai solusi untuk mengurangi masalah perfilman nasional yang menyangkut dengan penyensoran.
Film Censorship on New Order Regime (Institution and Activity 1967 – 1994) Abstract This thesis explains film censorship in Indonesia on New Order Regime (BSF) which was born on 1965 but start legalized on 1967. This institution was formed between two regimes, are Old Order and New Order which both had different rules of censoring film. BSF became film censorship institution of government on 1973. It prevented showing film which threatened public and country. BSF got many responses which some were agree with BSF activity and the others not. Film constitution on 1992 and Government Rule on 1994 are solutions to decrease the problem of national film industry especially about censorship. Keywords: Censorship, Film, Government, Film-maker, Society
Pendahuluan Menurut Kamus Istilah Sastra, sensor adalah tindakan larangan peredaran atas dasar penilaian dan pengertian karya seni berdasarkan pertimbangan moral, etika agama, dan politik (Zaidin, 2004: 187). Lembaga sensor pertama kali diadakan di Roma pada 443 SM yang
1 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
digunakan untuk menghitung jumlah penduduk sekaligus memeriksa moral warganya. 1 Sensor melakukan pengawasan terhadap berbagai media seperti buku, film, dan lain-lain. Sineas menghindarkan intervensi pemerintah terhadap film melalui self censorship seperti yang dilakukan oleh Hays Code/Office di Amerika Serikat. Keberadaan lembaga sensor film di Indonesia pertama kali ada pada masa penjajahan Belanda yang dikenal dengan nama Komisi Sensor Film (KSF). Lembaga ini berusaha untuk menghindarkan film yang memberikan pengaruh negatif mengenai citra orang barat. Setelah kedatangan Jepang tahun 1942, kegiatan sensor film di Indonesia diambil alih oleh Jepang di bawah kendali Departemen Sendenbu. Pada masa ini film dijadikan sebagai alat propaganda Jepang dengan menggambarkan semangat nasionalisme, kehebatan Jepang, dan lainlain. Pasca kemerdekaan, Terdapat dua institusi sensor film di Indonesia yaitu Panitia Pemeriksaan Film (PPF) di bawah kendali Departemen Penerangan dan Departemen Keamanan Rakyat RI serta KSF yang hadir kembali di bawah kendali Belanda. Perbedaan fungsi diantara kedua sensor tersebut adalah PPF digunakan sebagai alat revolusi Indonesia sementara KSF digunakan untuk menarik perhatian rakyat agar tidak menyerang Belanda sebagai penjajah. Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan dari Belanda, adanya pengaruh politik terhadap peredaran film seperti yang terjadi pasca pemilu 1955. Adanya pergantian jabatan ketua PSF, Maria Ulfah Santoso oleh Utami Suryadharma disinyalir karena adanya usaha PKI beserta anteknya berusaha untuk melakukan berbagai cara untuk menghadapi lawan politiknya. Pada 21 Mei 1965 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/65 yang mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu lembaga yang disebut Badan Sensor Film (BSF). Setelah pembentukan BSF, Pemerintah menyerukan kepada film-film yang beredar di Indonesia dan belum mendapat surat izin peredaran dari Menteri Penerangan harus segera disensor kembali oleh BSF sebelum tanggal 31 Desember 1966. Apabila tidak melakukannya maka film tersebut akan dimusnahkan (Kompas, 1966). Karya ilmiah ini akan membahas tentang lembaga BSF serta menganalisis aktivitas BSF melalui pedoman yang digunakan dan praktik penyensoran pada masa Orde Baru. Diharapkan penulisan ini dapat menambah wawasan mengenai institusi sensor di Indonesia pada masa Orde Baru.
1
“The Long History of Censorship”, Beacon http://www.beaconforfreedom.org/liste.html?tid=415&art_id=475.
for
2 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Freedom
of
Expression,
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan beberapa tahapan yaitu heuristik berupa pengumpulan sumber-sumber baik lisan maupun non lisan. Setelah itu dilanjutkan dengan tahap verifikasi dengan menyeleksi berbagai sumber yang telah dikumpulkan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap interpretasi yaitu menafsirkan beberapa sumber yang telah diverifikasi. Tahap terakhir ialah historiografi merupakan tahap terakhir dengan melakukan penulisan mengenai Badan Sensor Film pada masa Orde Baru.
Sensor Film di Indonesia Sebelum Orde Baru Kemunculan film barat di Hindia Belanda (HB) yang memperlihatkan adegan seks dan kekerasan memicu kekhawatiran orang eropa akan adanya pandangan buruk penonton terhadap mereka. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah HB segera mengadakan kebijakan untuk menyeleksi film-film barat yang akan ditayangkan di HB melalui Komisi Sensor Film (KSF) berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch Indie No.276 tahun 1916. KSF melarang peredaran film jika melanggar norma susila dan menganggu ketertiban umum. Terdapat beberapa masalah dalam proses penyensoran yaitu kriteria penyensoran film cenderung berbeda karena pemeriksaan film dilakukan pada masing-masing pemeriksa film. Hasil pengguntingan film yang tidak lulus sensor tidak dimusnahkan oleh anggota KSF sehingga para pemilik film dapat meminta kembali bahkan potongan film tersebut disatukan dan ditayangkan kembali pada bioskop kecil dan dikenal dengan film sortie (Biran, 2009: 42). Pelanggaran tersebut mudah dilakukan karena denda yang cenderung kecil sebesar f 100. Pada SvNI 1925, KSF hanya berpusat di Batavia dan di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Anggota KSF hanya diperbolehkan untuk melakukan penyensoran film di dalam gedung (Arief, 2009: 63). Ditentukan adanya gaji tetap per bulan bagi ketua sebesar f 150, sekretaris sebesar f 100, dan keseluruhan tenaga administratif sebesar f 300 per bulan. Importir film dikenakan biaya pemeriksaan film sebesar f 10 dan apabila ingin mendapatkan duplikat surat lulus sensor dikenakan biaya f 5.
3 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Kriteria penyensoran menetapan batasan umur penonton minimal berumur 17 tahun. Namun, tidak ada ketentuan yang sah mengenai kriteria film berdasarkan umur karena kriteria tersebut berasal dari kesepakatan anggota KSF (Arief, 2009: 64). Potongan film yang tidak lulus sensor akan dibinasakan dan importir film diberikan waktu terbatas untuk mengajukan keberatan atas hasil kinerja sensor. Pada 1940, pemerintah HB hanya bisa membantu produsen film dengan mengurangi tekanan sensor melalui SvNI 1940, yaitu mereka dapat meminta kembali film yang tidak lulus sensor dan waktunya dibatasi tiga bulan pasca penolakan. Apabila tidak diambil, film tersebut dapat dimusnahkan. Selain itu, untuk film lokal, tidak ada pembatasan umur seperti film impor. SvNI 1940 juga memberikan hukuman kurungan penjara paling lama enam bulan atau denda f 5.000 bagi yang melanggar peraturan yang ditetapkan oleh KSF, Kepala Daerah, dan Jaksa Agung dalam mengedarkan film mengenai batas umur bagi penonton, dan lain-lain. Pada masa pendudukan Jepang, film dijadikan alat propaganda di bawah kendali Departemen Sendenbu yang dimulai tahun 1942. Sendenbu menetapkan beberapa kriteria film yang ingin diedarkan yaitu seluruh film harus memberikan dukungan bagi strategi pemerintah pendudukan Jepang untuk mendapatkan hati dan sokongan penduduk Indonesia, film yang menggambarkan persahabatan Jepang dengan masyarakat di Asia, semangat nasionalisme, film yang menekankan bahwa tema-tema dari barat ataupun Hollywood adalah tema yang buruk. Sumber lain menyatakan bahwa Hodo-Han adalah lembaga institusi sensor Jepang yang telah menggantikan KSF untuk menangani sensor film dan bernaung di bawah oleh Sendenbu (Yusman, dkk., 1995: 186). Keimin Bunka Shidosho (Badan Persiapan Pusat Kesenian Indonesia) yang anggotanya terdiri dari beberapa sineas Indonesia juga turut menyensor pemutaran film-film nonproduksi Jepang (Arief, dkk., 1997: 95). Pada masa revolusi ini, terdapat dua pemerintah yang menyebabkan terdapat dua lembaga sensor di Indonesia yaitu PPF yang dikendalikan oleh pemerintah Indonesia sementara KSF dikendalikan oleh Belanda. Kedua institusi tersebut masih menggunakan SvNI 1940. PPF yang di bawah kendali Departemen Penerangan bertugas untuk memeriksa film sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan tidak mengandung provokasi, kekacauan, melemahkan perjuangan bangsa, dan lain-lain. Ketika pusat pemerintahan berada di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono turut memegang andil dalam bagian merumuskan film serta mengumumkan garis-garis kerja Panitia Pemeriksaan Film (PPF) beserta fungsinya untuk tidak melemahkan perjuangan bangsa (Kurnia, 2004: 51). Pada masa ini, kinerja PPF tidak maksimal karena 4 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
pemerintah lebih memfokuskan terhadap beberapa kekacauan seperti gerakan separatis. Sementara itu, Belanda kembali meresmikan KSF sejak tahun 1948 berdasarkan atas Staatsblad No. 155 di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Peraturan KSF memberlakukan kembali peraturan film 1940. Pengawasan film oleh KSF ini berfungsi untuk menghindari adegan yang dapat mendorong rakyat untuk melawan. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1951, secara resmi PSF yang dipimpin oleh Maria Ulfah dan di bawah kendali Departemen Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan menggantikan Departemen Dalam Negeri. PSF juga masih berpedoman dengan SvNI 1940 dan hanya beberapa yang diubah seperti ditambahnya biaya imbalan bagi pemeriksa film. Pada 1954, anggota PSF terdiri dari departemen, swasta, dan pihak yang ahli dalam bagian tertentu. PSF terdiri atas PSF pusat dan PSF daerah. Pelaksanaan sensor juga diawasi oleh beberapa departemen seperti Departemen Penerangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, dan Departemen Agama. Film nasional yang pernah terkena sensor seperti film hasil karya Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Doa yang menceritakan tentang perjuangan Divisi Siliwangi dalam menghadapi Pemberontakan Madiun, gerakan DI/TII Jawa Barat, dan Belanda. Aksi penyensoran ini disebabkan adanya tuntutan masyarakat dan tentara karena film tersebut menggambarkan DI/TII sebagai pengkhianat dan peran Siliwangi yang terlalu ditonjolkan (Said, 1991: 66). Beberapa sineas pernah melakukan aksi protes terhadap kinerja PSF seperti Usmar Ismail dan Armijn Pane menyatakan bahwa sensor hanya menjauhkan perfilman nasional yang menggambarkan realitas sosial Indonesia (Kristanto, 2004: 465).2 Walaupun menimbulkan aksi kritis oleh beberapa pihak, tetapi pada 1952, ketika Kongres Kebudayaan II dilaksanakan dan membahas isu sensor, ternyata tidak ada pihak yang ingin sensor diakhiri. Pasca dikeluarkannya Konsepsi Presiden 1957 dan Dekrit Presiden 1959, posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin kuat dan PKI mulai melakukan cara apapun untuk menghadapi lawan politik. Utami Suryadharma yang dianggap sebagai simpatisan PKI, memimpin PSF sejak tahun 1963. Ia telah melakukan penyensoran terhadap beberapa film nasional, seperti film Tauhid yang disutradarai oleh Asrul Sani dan hampir dilarang jika tidak ada campur tangan dari Soekarno. Ia juga menyensor film Impian Bukit Harapan karya Wahyu Sihombing. Film tersebut berhasil dilarang karena dianggap telah menghina kaum buruh. 2
Usmar Ismail mendapatkan inspirasi untuk membuat film yang bertemakan realitas sosial berasal dari Gerakan Realisme Italia. Gerakan Realisme Italia muncul sebagai reaksi terhadap film Hollywood yang hanya menekankan sisi hiburan.
5 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Dikeluarkan Penetapan Presiden No.1 tentang pembinaan perfilman dan No.12 tahun 1964 menyatakan bahwa Dep. PP & K menyerahkan tanggung jawabnya dalam penyensoran film kepada
Departemen
Penerangan.
Penetapan
Presiden
ini
berdasarkan
Ketetapan
No.II/MPRS/1960 dalam Lampiran A angka 1: Bidang Mental Agama/ Kerohanian/ Penelitian Sub 16 menyatakan: “Film bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat penelitian dan penerangan”. Peraturan baru ini menimbulkan kekecewaan bagi PKI dan simpatisannya karena mereka menginginkan Pembinaan Film berada di bawah kendali Dep. PP & K yang pada saat itu dipimpin oleh simpatisan PKI, Dr. Prijono (Said, 1991: 82). PKI dan simpatisannya pernah memboikot film Hollywood di Indonesia dan mulai meresmikan organisasi Papfias (Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis AS) pada 9 Mei 1964. Papfias yang diketuai oleh Utami Suryadharma berhasil dalam melakukan pemboikotan film Hollywood dan menggantikannya dengan film-film dari negeri sosialis yang ternyata tidak disukai oleh penonton (Said, 1991: 67).3 Aksi ini mengakibatkan merosotnya jumlah bioskop yang semula berjumlah 850 pada 1960 menjadi 350 buah pada 1966.
Badan Sensor Film sebagai Lembaga Sensor Resmi di Indonesia Sejak
bulan
Mei
1965
berdasarkan
Keputusan
Menteri
Penerangan
No.46/SK/M/65, BSF mulai didirikan. Alasan penggantian nama dari PSF menjadi BSF adalah institusi sensor tersebut lebih dilembagakan dan adanya pergantian departemen dari Departemen PP & K menjadi Departemen Penerangan (Sekretariat BSF, 1979: 20). Setelah tragedi G30S PKI, anggota BSF yang merupakan perwakilan dari PKI dan antek-anteknya segera disingkirkan dan beberapa anggota lain masih ada yang dipertahankan. Pada 18 Februari 1966, BSF mengeluarkan peraturan terkait dengan peraturan sensor dan izin peredaran film. Mereka menyatakan bahwa izin sensor yang telah dikeluarkan oleh PSF sudah tidak berlaku lagi. Sejak awal Januari 1967, film yang yang tidak memiliki surat izin dari BSF akan dimusnahkan sesuai pasal 13 Penetapan Presiden No.1 tahun 1964 (Kompas, 1966). BSF merupakan lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Penerangan. BSF masih
3
Film dari negeri sosialis tidak diterima oleh orang Indonesia karena kebanyakan film tersebut berisikan mengejek agama yang tidak sesuai dengan nilai pancasila. Film dari negeri sosialis juga memperbarui pola film Indonesia dengan wanita sebagai tokoh utama. Salah satu film nasional yang terpengaruh adaIah “Maju Tak Gentar” karya Turino Djunaidi tahun 1964.
6 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
tetap berpedoman dengan Penetapan Presiden No.1 tahun 1964 dan Film Ordonanntie 1942 dengan adanya beberapa perubahan sesuai dengan kepentingan rezim Orde Baru. Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Penerangan No.58 tahun 1973 pasal 11 poin kesatu menyatakan bahwa Ketua Ex Officio (penanggung jawab) dijabat oleh Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (RTF) dan ketua pelaksana BSF merangkap sebagai anggota. Kemudian poin kedua menyatakan bahwa Menteri Penerangan memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan ketua, ketua pelaksana, dan anggota. Surat Keputusan Menteri Penerangan No.58 tahun 1973 pasal 15 berisikan syarat-syarat untuk menjadi ketua beserta anggota BSF, yaitu harus berumur lebih dari 21 tahun, memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang perfilman terutama berkenaan dengan penyensoran film, bukan karyawan film ataupun pihak yang sedang berkepentingan dengan produksi film, dan persyaratan lain yang berlaku dalam persyaratan rekrutmen pegawai negeri. Jangka waktu keanggotaan BSF adalah tiga tahun pada dua periode, yaitu periode tahun 1965-1968 dan 1968-1971. Namun sejak tahun 1971, masa keanggotaan BSF diperkecil menjadi dua tahun (Sen, 2009: 88).4 Pada masa jabatan pertama, ketua beserta anggota BSF diberikan masa tugas selama satu tahun. Walaupun pemerintah memberikan kebijakan mengenai masa jangka waktu dua tahun, jabatan pertama diberikan masa tugas selama satu tahun. Setelah satu tahun masa tugas dilalui, Menteri Penerangan akan melakukan pembaharuan terhadap anggota BSF baik yang diganti atau masih tetap dipertahankan. Sebelum anggota BSF melaksanakan tugasnya, mereka diberikan pelatihan terlebih dahulu agar dapat melaksanakan kinerja BSF dengan baik. Keanggotaan BSF berasal dari berbagai golongan masyarakat seperti ahli di bidang media massa, purbakala, kebudayaan, dan ilmu jiwa. Perwakilan partai politik seperti PNI, NU, PSII, Partai Katolik, dan lain-lain. Kemudian perwakilan militer seperti Kepolisian dan ABRI; Perwakilan pemerintah seperti Dep. Luar Negeri, Dep. Dalam Negeri, Dep. Agama, dan Dep. Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Departemen Pertahanan Nasional dan Keamanan, serta Kantor Sekretariat Negara. BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen) juga ada dalam keanggotaan BSF. Kepemimpinan BSF sejak tahun 1965 hingga 1994 seluruhnya diduduki oleh pria. Penempatan wanita dalam keanggotaan BSF cenderung sedikit dan ditempatkan khusus dalam organisasi wanita (Irawanto, 1999: 94).
4
Pada periode 1971-1973 mengalami perubahan struktur keanggotaan BSF yang mendapatkan saran dari DFN.
7 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Pada 1968, Budiarjo selaku Menteri Penerangan mengurangi perwakilan pemerintah dalam keanggotaan BSF dengan alasan ingin menjadikan BSF sebagai wadah pengawasan film demi kepentingan masyarakat (Sen, 2009: 118). Namun, pada 1973, perwakilan pemerintah kembali menduduki BSF. Hal ini berkenaan dengan BSF mulai ditetapkan sebagai badan penyensor pemerintah. Periode tahun 1971-1972, keanggotaan perwakilan partai di BSF dihilangkan karena melemahnya partai-partai politik di Indonesia dan keanggotaan BSF hanya berisikan seniman dan intelektual.5 Peran aparat keamanan mengalami peningkatan dalam BSF ketika Menteri Penerangan dijabat oleh Ali Murtopo (Irawanto, 1999: 94). Terdapat beberapa pihak yang telah membantu BSF baik internal seperti kepala sekretariat yang membantu BSF dalam hal administrasi untuk mengurusi upah BSF, dan lain-lain maupun eksternal seperti Badan Penasehat.6 Sejak tahun 1971, BSF mulai menetapkan Badan Penasehat yang bertugas untuk menampung pendapat rakyat terhadap film yang akan diedarkan. Dewan Arbitrase yang diangkat oleh Menteri Penerangan juga membantu BSF untuk memberikan putusan terakhir terhadap film yang diajukan kembali oleh pemilik film karena filmnya yang telah ditolak serta film yang telah memberikan pengaruh terhadap masyarakat ketika film tersebut beredar. Dewan Arbitrase akan mengajukan film-film tersebut untuk ditinjau kembali oleh instansi yang lebih tinggi (Kompas, 1971). Departemen memberikan kebijaksanaan untuk membiayai penyensoran kepada BSF. Biaya penyensoran juga dipungut dari pemilik film, importir, dan produser. Tunjangan kerja dan imbalan ketua, ketua pelaksana, dan anggota BSF ditetapkan oleh Menteri Penerangan. Selain BSF sebagai lembaga pengawas beserta pemeriksa film, terdapat beberapa lembaga struktural yang berfungsi sebaga lembaga pengawas film. Direktorat Perfilman yang dibentuk pada 1965, memiliki tujuan untuk membantu Menteri Penerangan dalam pembuatan, peredaran, pengawasan film, dan lain-lain sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam pengawasan film, lembaga ini melakukan prasensor dengan maksud dapat menolak film yang bertema kontrapolitik pemerintah, seks, dan sadistis.
Untuk memperoleh Surat Izin
Produksi skenario harus diperiksa terlebih dahulu oleh Direktorat Film. Sebelum diedarkan dan diperiksa oleh BSF, pembuat harus menyerahkan film yang belum diedit (rush copy) kepada Direktorat Film kembali untuk mendapatkan saran bagian mana yang harus diedit (Irawanto,
5
Menurut Johan Tjasmadi, perwakilan partai yang menjadi anggota BSF cenderung mengedepankan kepentingan partai dan hal ini dikhawatirkan menjadi tidak objektif. Wawancara langsung dengan Johan Tjasmadi di Hotel Twin Plaza tanggal 20 Maret 2014. 6 Wawancara langsung dengan Djamalul A. Ass di Hotel Twin Plaza tanggal 20 Maret 2014
8 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
1999: 90). Salah satu kasus skenario serta judul yang dilarang oleh Direktorat Film seperti film Atheis yang disutradarai oleh Sjumandjaya pada 1974. Alasan pihak Direktorat Film melarang skenario adalah isi dan judul bertentangan dengan nilai Pancasila khususnya pada sila pertama dan dapat mempengaruhi masyarakat untuk memusuhi Tuhan. Dewan Film Nasional (DFN) yang dibentuk pada 1970, memiliki tugas mendampingi Menteri Penerangan dalam merumuskan kebijaksanaan umum dalam perfilman, menampung serta menanggapi pendapat masyarakat umum terhadap suatu film, dan merumuskan serta mengawasi pelaksanaan norma-norma etik di bidang perfilman. Misbach Yusa Biran mengatakan bahwa DFN ini dianggap sebagai lembaga pemikir yang pendapatnya dapat diterima atau tidak oleh pemerintah. Oleh karena itu, orang-orang film menyampaikan pertimbangan tidak melalui DFN, tetapi langsung kepada pemerintah (Kompas, 1991). Pada 1979, fungsi DFN berubah menjadi lembaga yang berkepentingan di birokrasi dan bisnis dalam industri film. Hal tersebut terlihat pada instruksi yang diberikan sama dengan Departemen Penerangan dan BSF (Sen, 2009: 92). Semenjak operasional BSF ditetapkan, Panitia Sensor daerah dihilangkan dan pada 1975, didirikanlah Badan Pengawas Film Daerah (Bapfida) oleh pemerintah pada tingkat propinsi. Bapfida diketuai oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan. Lembaga ini ditugaskan untuk mengawasi film dalam hal pembuatan, peredaran, dan lain-lain. Lembaga ini dapat menolak suatu film yang tidak sesuai dengan budaya daerah setempat, tetapi tidak dapat memotong dan mengubah film. Lembaga ini juga turut melakukan pengawasan terhadap reklame. Salah satu kasus film nasional yang pernah bermasalah dengan Bapfida Sumatera Utara yaitu film yang berjudul Menyibak Kabut Cinta yang diproduksi oleh Inem Film. Film tersebut dilarang karena dinilai telah mengumbar adegan hangat (Arief, dkk., 1977: 176). Sebelum film dapat dipertunjukkan di suatu daerah, sebelumnya harus melalui Pengedar Film Daerah (Darfida) dengan membawa Surat Pengakuan Perusahaan dari Direktorat Film. Setelah itu, Darfida mendaftarkan film tersebut ke Bapfida setempat unuk mendapatkan Surat Izin Edar Wilayah (SIEW). Gubernur juga memiliki kewenangan untuk melarang film tersebut apabila film tersebut dianggap mengancam wilayahnya (Yusman, dkk., 1995). Namun, kebijakan ini tidak berlaku ketika PT Perfin mulai didirikan dan dapat langsung berhubungan dengan bioskop.7
7
PT Perfin ialah Perusahaan Nasional yang khusus menyelenggarakan peredaran film-film nasional. Sahamnya dimiliki oleh PPFI dan GPBSI dan kebijakan ini diputuskan oleh tiga Menteri yaitu Menpen, Mendagri, dan Menpenbud RI pada 1975. Nasution Yusman, dkk., Radio, Televisi, dan Film, hlm. 236 (lihat juga PPFI, 20 Tahun PPFI, hlm. 133)
9 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Aktivitas BSF Pada 1968, berdasarkan Surat No.44/SK/M/1968, BSF memiliki tugas menyensor semua film baik dari segi jenis maupun ukuran yang akan dipertunjukan di Indonesia dan di luar Indonesia serta melakukan penyelidikan terhadap dampak film terhadap masyarakat dan bangsa. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No.120 tahun 1989, fungsi BSF dikembangkan tidak hanya melakukan penyelidikan terhadap film, melainkan juga melindungi masyarakat atas pengaruh buruk dari film. Berdasarkan Surat No.25/Kep/Menpen/1971, BSF juga diberi tugas untuk memberikan pengawasan dan penilaian terhadap reklame film yang dimiliki oleh pemilik film nasional maupun importir sebelum dipublikasikan baik di dalam negeri maupun di ekspor. Dalam surat No.778/BSF/71 dan No.: 852/BSF/71, reklame film diperiksa oleh BSF dengan hanya menyerahkan salinannya saja minimal rangkap dua yang berukuran maksimal 18x24 cm2. Salah satu salinan reklame akan ditahan oleh BSF sedangkan yang lain diserahkan kepada pemilik reklame. Reklame yang sudah disetujui akan diberikan cap BSF dan tanda tangan. Salinan reklame yang telah disetujui dapat menjadi sebuah bukti apabila reklame tersebut memiliki masalah dengan pihak berwajib. BSF akan memberikan sanksi administratif terkait dengan reklame dan film. Jika reklame berisi gambar serta teks yang memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat, judul film diganti ketika sudah diberikan Surat Izin Produksi, dan tidak memiliki Surat Izin Peredaran maka film dan reklame tersebut akan ditahan dan diperiksa oleh BSF. Sanksi juga diberikan kepada perusahaan subtitle apabila proses terjemahannya tidak diketahui oleh BSF. Berdasarkan Surat No. 58/B/Kep/Menpen/1973, BSF ditetapkan sebagai badan sensor pemerintah dan berpedoman pada Pancasila, UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara, Ketentuan Perundang-undangan yang ada, Kebijaksanaan Pemerintah, tata nilai kepribadian bangsa, dan kepentingan nasional. Menteri Penerangan juga memberikan wewenang kepada BSF untuk dapat meluluskan suatu film, memotong bagian film, menarik film yang telah beredar di masyarakat, serta menolak film untuk diedarkan di dalam negeri maupun ke luar negeri. Pada tahun ini, BSF bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk untuk memberikan sanksi terhadap importir dan produser film nasional yang melakukan pelanggaran. 10 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Mengenai tata kerja pelaksanaan, BSF menjalankan peraturan sesuai dengan perkembangan zaman baik dari segi sosial dan politik. BSF memiliki kriteria dalam melakukan penyensoran film dari berbagai faktor yaitu keagamaan, kebudayaan, kesusilaan, sosial dan politik, serta keamanan. Kemunculan teknologi perekaman suara, gambar dan teks (video) mengakibatkan bertambahnya tugas dari BSF untuk mengawasi peredaran tersebut yang disiarkan melalui pesawat televisi atau monitor. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No.13 tahun 1983, Surat Keputusan Menteri Penerangan No.194 tahun 1984, dan Direktorat Jenderal RTF No.5 tahun 1984. Ketiga keputusan tersebut intinya menyatakan bahwa video yang akan dipertunjukkan di Indonesia ataupun di luar negeri harus disensor terlebih dahulu oleh BSF baik berupa teks, gambar, dan dialog. Dalam melakukan penyensoran, Menteri Penerangan juga turut memberikan kebijakan dengan menetapkan upah penyensoran kepada pemilik film sesuai dengan ukuran dan jumlah copy film serta reklame film dan video yang mulai ditetapkan pada 1980. BSF meminta bantuan dari masyarakat untuk mengawasi adanya penyelundupan film yang beredar luas di masyarakat. BSF dapat menarik kembali film yang telah diluluskan apabila film tersebut merugikan negara dan melanggar etika penyensoran. Tata cara kerja penyensoran untuk film nasional, pertama melalui tahap prasensor yaitu dengan melakukan pemeriksaan terhadap skenario oleh Direktorat Film (Arief, dkk., 1997: 161).8 Setelah disetujui, proses produksi akan diajukan kepada organisasi perfilman seperti PPFI, KFT, dan Parfi untuk proses pembuatan film. Ketika proses produksi telah selesai, rush copy diajukan kembali ke Direktorat Film untuk memperoleh saran dalam pengeditan film. Hal tersebut dilakukan berguna untuk menghemat biaya produksi film yang dikhawatirkan akan terbuang jika disensor oleh BSF. Setelah mendapat rekomendasi dari Direktorat Film, film tersebut dikirimkan ke BSF untuk diperiksa. Film tersebut kembali disensor karena dikhawatirkan hal-hal yang tertulis di skenario berbeda dengan hasil produksi film.9 Pada 1980, pemerintah membuat kebijakan yang ditujukan kepada pemilik film untuk memberikan upah kepada BSF dalam melakukan penyensoran film sesuai dengan ukuran lebar film. Ukuran lebar film yang semakin kecil dikenakan biaya lebih besar dibandingkan dengan ukuran besar.
8 9
Adanya kekhawatiran tumpang tindih mengenai kebijakan sensor antara Direktorat Film dengan BSF. Wawancara langsung dengan Johan Tjasmadi di Hotel Twin Plaza tanggal 20 Maret 2014.
11 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Untuk melaksanakan penyensoran dilakukan oleh panitia kecil. Ketua dari panitia kecil memiliki tugas untuk mencatat hasil diskusi penyensoran dalam formulir berita acara sensor. Setelah diskusi penyensoran selesai berdasarkan musyawarah dari seluruh anggota, ketua dari panitia ini segera menandatangani keputusan yang terdapat dalam formulir tersebut. Apabila panitia kecil tidak mampu memutuskan suatu film disensor atau tidak, permasalahan akan diselesaikan melalui sidang pleno dengan izin dari Ketua Pelaksana BSF. Sidang pleno ini juga berlaku bagi pemilik film yang filmnya telah ditolak oleh panitia kecil (Sekretariat BSF, t.t: 18).10 Film yang telah diperiksa akan diberikan ketetapan lulus sensor dengan potongan atau tanpa potongan sama sekali dan tidak lulus sensor. Film nasional dan impor yang telah lulus sensor oleh BSF akan diberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dan ditetapkan batas umur penonton. Film yang telah lulus sensor dan ditentukan batas umur dapat diedarkan di Indonesia dan di luar negeri dengan batas waktu selama tiga bulan pasca tanggal lulus sensor. Jika film yang sudah diizinkan beredar tiba-tiba ditarik dari peredaran, STLS-nya akan dibekukan.11 Potongan-potongan film atau kaset video ilegal yang telah digunting oleh BSF dan film yang telah lewat dari masa edaran dihilangkan dengan pembakaran. BSF pernah melakukan kunjungan keliling ke beberapa daerah dan mengadakan pertemuan diskusi untuk menunjukkan beberapa guntingan film yang dipotong oleh BSF (Kompas, 1972). Hal tersebut bertujuan agar pihak yang menyaksikan pertunjukkan dapat menghargai kinerja BSF dalam pengawasan film. Pada masa kepemimpinan Martono (1965-1968) di BSF, BSF mulai mencoba untuk memberikan kelonggaran bagi film-film dan reklame yang bertemakan seks dan meluluskan sebagai film seks dengan tetap melakukan pengguntingan secara sedikit demi sedikit sesuai dengan penerimaan film tersebut kepada masyarakat apakah berguna atau menganggu (Kompas, 1970).12 Namun, pada 1972, pemerintah mengetatkan film yang bertemakan seks dan kekerasan sehingga produksi film nasional yang beberapa menggunakan tema tersebut menjadi lemah peredarannya (Biran, 1982: 44). Peraturan BSF yang longgar dilanjutkan oleh Soemarmo (19731979) yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia harus terbiasa untuk menonton film secara bebas. Hal tersebut berguna untuk mengapresiasi karya pembuat film dan membantu dalam persaingan film impor. Dalam keadaan luar biasa, film yang telah lulus sensor oleh BSF dapat 10
Pemilik film sebelumnya harus meninjau film tersebut apakah layak untuk diuji kembali oleh BSF dengan kemungkinan bagian dari film tersebut dihilangkan atau ditambahkan. Pengujian ini juga dikenakan biaya sensor. 11 Naskah sambutan Harmoko pada Upacara Pelantikan Anggota BSF Periode 1989-1991 tanggal 11 Juli 1989, hlm. 4. 12 Kebijaksanaan untuk melonggarkan penyensoran dimaksudkan untuk menjadikan industri film nasional sukses dan menjadi tuan rumah di rumah sendiri atas munculnya film impor. Sebab lain karena belum adanya UU perfilman dan perkembangan masyarakat yang dinamis.
12 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
ditarik kembali oleh Departemen Penerangan, Jaksa Agung dan Kepala Negara jika hal tersebut sudah dipertimbangkan oleh BSF. Apabila pelaku tetap melakukan pelanggaran pada peraturan BSF, Menteri Penerangan akan mencabut pengakuan perusahaan film yang bersangkutan. Ancaman atau sanksi tidak hanya ditujukan kepada pemilik film, melainkan juga pengedar dan exhibitor. Walaupun BSF sudah mengeluarkan ancaman bagi yang melakukan pelanggaran, masih saja terdapat beberapa oknum yang menayangkan film secara keseluruhan (termasuk adegan yang dipotong) dan adanya tindakan penyuapan yang dilakukan pemilik film terhadap anggota BSF untuk meluluskan peredaran film (Supardi, dkk., 2011: 193).
Tanggapan dan Masa Akhir BSF Beberapa masyarakat mengeluh karena menganggap BSF kinerjanya kurang ketat dengan menampilkan adegan vulgar dan kekerasan. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat. Pihak lainnya merasa tidak keberatan terhadap adegan seks dan kekerasan karena sudah terbiasa dengan adegan erotis dan sadis bahkan mereka merasa kecewa dengan BSF karena telah memotong adegan tersebut dan menganggap kinerja BSF terlalu ketat. Soemardjono selaku mantan anggota DKJ mengatakan bahwa BSF tidak bersifat demokratis karena terlalu membawa aspirasi pemerintah sehingga tidak mempedulikan suara masyarakat (Kompas, 1991). Sementara itu, Marselli Sumarno sebagai kritikus film memberikan penilaian kepada BSF bahwa kinerja BSF era 1990-an lebih longgar dibandingkan dengan era 1970-an (Kompas, 1992). Pada 1993, pihak MUI memberikan saran kepada BSF agar penyensorannya lebih ketat lagi terhadap siaran televisi (Kompas, 1993). Para produser film nasional mengeluhkan bahwa BSF terlalu melonggarkan seks terhadap film impor dibandingkan film lokal (Sen, 2009: 284). Sineas lainnya menyatakan bahwa sistem BSF terlalu kuat dan penuh pertimbangan politik-hankamnas (Kompas, 1992). Pendapat ini diperkuat juga oleh Marselli Sumarno selaku kritikus film bahwa tidak leluasa dalam memproduksi film yang memiliki tema tentang masalah sosial politik cenderung mendorong produser untuk membuat film yang mengandung tema kekerasan dan seks (Kompas, 1994). Pada 1967, Sarino selaku Menteri PP & K memberikan saran bahwa seharusnya BSF berada di bawah kendali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Arief, dkk., 1997: 158). Hal ini disebabkan karena kekhawatirannya akan film nasional yang membuat tema seks dan 13 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
kekerasan seperti film impor khususnya film barat. Menurut DFN, kinerja BSF memungkinkan subjektif karena tidak pernah mengadakan penelitian secara intensif pengaruh film kepada penonton (DFN, 1980: 44). Pada 1979, Bakolak Inpres memberikan penilaian mengenai terhadap BSF bahwa BSF memiliki kelemahan dalam hal kriteria penyensoran, penempatan keanggotaan, dan lain-lain Kinerja BSF cenderung hanya melakukan fungsi teknis penyensoran semata tanpa melakukan koordinasi dengan lembaga yang berhubungan dengan masyarakat. Tanggapan BSF atas berbagai penilaian tersebut adalah adanya perbedaan pendapat ketika melakukan proses penyensoran antara anggota sensor film dari berbagai sudut pandang karena di dalam keanggotaan BSF tidak hanya terdiri dari unsur pemerintah, melainkan juga pers, psikologi, dan lain-lain. BSF merasakan dilema untuk menentukan hasil penyensoran yang di satu sisi ingin melindungi masyarakat dengan memberikan kebijakan yang ketat, tetapi di sisi lain ingin menghargai hasil cipta karya seni pemilik film nasional dan meningkatkan peredaran film nasional dengan memberikan kelonggaran peraturan sensor (Supardi, dkk., 2011: 192).13 Martono mengatakan adanya tindakan pelanggaran yang dilakukan oknum tertentu seperti memasukkan kembali potongan adegan yang dilarang, membuat surat izin sensor palsu agar filmnya dapat beredar, dan mengizinkan anak dibawah umur untuk menonton film yang dikhususkan untuk orang dewasa. BSF dalam melaksanakan penyensoran, melakukan koordinasi dengan lembaga yang berkaitan dengan masyarakat, mengumpulkan berbagai informasi dari surat kabar, serta melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah. (Sekretariat BSF, 1979: 1). UU Perfilman No.8 tahun 1992 pada 30 Maret 1992 mengaplikasikan peraturannya mengenai sensor film yaitu PP No.7 Tahun 1994 tentang LSF. Hal ini mengakibatkan adanya pergantian nama BSF menjadi LSF dengan maksud untuk mengembangkan metode dan kinerja sensor. Ada beberapa ketentuan yang membedakan dengan BSF, yaitu Ketua dan Wakil Ketua LSF dipilih dari anggota LSF oleh seluruh anggota LSF dan kedua jabatan tersebut sedang tidak menduduki lembaga pemerintahan. Pengangkatannya dilakukan oleh SK Presiden dengan masa keanggotaan selama tiga tahun (Kompas, 1994).14 Anggota dari LSF terdiri dari wakil pemerintah dan masyarakat. Penggantian anggota LSF harus meminta izin dari presiden dengan alasan yang 13
Hal tersebut juga ditanggapi oleh Ketua BSF Martono (1965-1968). Menteri Penerangan memiliki hak prerogatif untuk menyusun keanggotaan LSF berdasarkan saran dari berbagai pihak, setelah itu baru diusulkan kepada Presiden. 14
14 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
jelas.15 Menurut Djamalul selaku anggota LSF, perbedaan antara LSF dengan BSF adalah BSF dikaitkan sebagai merupakan badan hegemoni pemerintah sementara LSF merupakan lembaga nonstruktural yang keanggotaannya tidak didominasi oleh pemerintah, Pemerintah hanya menduduki enam belas kursi dari empat puluh lima kursi.16 Keanggotaan yang berasal dari unsur agama dan perfilman dalam LSF banyak dibandingkan dengan BSF serta pembagian tugas dalam LSF lebih jelas dibandingkan dengan BSF (Forum Keadilan, 1995). Terdapat dua komisi dalam LSF, yaitu komisi A yang bertugas untuk memantau perkembangan budaya pada masyarakat dan komisi B yang bertugas untuk memantau tanggapan masyarakat atas tontonan film yang telah diluluskan sensor oleh LSF. LSF merupakan salah satu lembaga penyensoran karena adanya peraturan untuk menghapuskan Surat Izin Peredaran Film dari Direktorat Film sehingga pemilik film hanya melampirkan sinopsis untuk ditujukan kepada LSF agar mendapatkan Tanda Pendaftaran Pembuatan Film (TPPP).17 Hal ini tentu memberikan kesan untuk mengurangi birokrasi dalam usaha perfilman. Berdasarkan atas penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Institusi Sensor Film yang ada di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda hingga masa orde baru memberikan gambaran bahwa masing-masing dari institusi sensor tersebut digunakan sebagai alat pendukung pemerintah atau rezim yang sedang berkuasa. BSF merupakan badan sensor pemerintah sehingga badan ini akan berusaha untuk melindungi ancaman bangsa dan negara atas film. Untuk itu, BSF memiliki pedoman yang berasal dari negara dan peraturan pemerintah.
Daftar Acuan Dokumen Pemerintah Naskah Sambutan Harmoko pada Upacara Pelantikan Anggota BSF Periode 1989 – 1991 tanggal 11 Juli 1989 Surat Kabar dan Majalah Kompas. (1966, Februari 22). “Semua Film Akan disensor Kembali”. ─────. (1970, September 4). “BSF Mulai Luluskan Film-Film Seks Seperti Apa Adanja”. ─────. (1971, Mei 4). “Pembentukan Dewan Arbitrase BSF”.
15
Menurut Johan Tjasmadi, alasan yang kuat perlu ada karena Presiden tidak hanya berfokus pada LSF saja sehingga mengakibatkan Presiden tidak mengetahui seluk beluk permasalahan LSF. Hasil wawancara langsung dengan Johan Tjasmadi di Hotel Twin Plaza tanggal 20 Maret 2014. 16 Wawancara langsung dengan Djamalul A. A di Lembaga Sensor Film tanggal 8 Januari 2014. 17 Sinopsis saja yang dilampirkan cenderung tidak menampilkan cerita film secara keseluruhan karena kemungkinan adanya perubahan ketika dilakukannnya proses syuting dan sinopsis cenderung menampilkan kisah awal.
15 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
─────. (1991, Desember 21).“Pertemuan Pansus Perfilman dengan DKJ Pembinaan Perfilman dipertanyakan”. ─────. (1992, April 8). “Situasi Perfilman Indonesia Potensi Pasar Ada, Namun Produksi Terus Melesu”. ─────. (1992, September 13). “Menengok Kembali Masalah Sensor Film”. ─────. (1994, Juli 9). “Sejumlah Mahasiswa Tuntut BSF Agar Memperketat Sensor Film”. ─────. (1994, November 12). “Terbit, SK Menpen Tentang Perfilman”. Buku Arief, M. S., dkk. (1997). Permasalahan Sensor dan Pertanggungjawaban Etika Produksi. Jakarta: BP2N. ———————. (2009). Politik Film di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu. Biran, Misbach. Y. (1982). Selintas Kilas Sejarah Film Nasional. Jakarta: Badan Pelaksana FFI. ———————. (2009). Sejarah Film 1900-1950. Depok: Komunitas Bambu. Dewan Film Nasional. (1980). Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional. Jakarta: DFN. Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer. Yogyakarta: Media Pressindo. Kurnia, Novi. (2004). Menguak Peta Perfilman di Indonesia. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kristanto, J.B. (2004). Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Kompas. PPFI. (───). 20 Tahun PPFI dalam Perjalanan Sejarah Indonesia. Jakarta: PPFI. Said, Salim. (1991). Pantulan Layar Putih. Jakarta: Sinar Harapan. ──────. (1991). Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama. Sekretariat BSF. (−−−−). Kriterium Penyensoran Film Ordonnantie Film 1940 dan Pengumuman Lain-Lainnya. Jakarta: BSF. ———————. (1979). Dialoog Bakolak Inpres No.6/1971 Badan Sensor Film. Jakarta: BSF. Sen, Krishna. (2009). Kuasa Dalam Sinema (Terj.). Jakarta: Ombak. Supardi, Nunus, dkk. (2011). Sejarah Sensor Film di Indonesia 1916- 2011. Jakarta: Lembaga Sensor Film RI. Yusman, Nasution, dkk. (peny.). (1995). Radio, Televisi, dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Zaidin, Abdul R., dkk. (2004). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 16 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014
Wawancara Djamalul A. Ass. Ketua LSF. Mantan anggota Dir.Film. Jakarta, 8 Januari 2014. ———————, Jakarta, 20 Maret 2014. Johan Tjasmadi. Anggota LSF. Mantan ketua GBPSI. Jakartsa, 20 Maret 2014.
17 Badan sensor..., Djuliana, FIB, 2014