Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013 Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPs UHO
ULASAN KULTUR MIKROSPORA: ALTERNATIF, PELUANG, DAN PROSPEK PERBAIKAN GENETIK PADA POPULASI TANAMAN TEBU (SACCHARUM SPP.) Microspore Culture: Alternative, Opportunities, and Genetic Improvement Prospect of Sugarcane (Saccharum Spp.) Population Oleh: Suaib1), Woerjono MD.2), Mirzawan PDN.3), dan Ari Indrianto4*) 1)
2)
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari; e-mail:
[email protected] Guru Besar Pemuliaan Tanaman pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3) Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Pasuruan, Jawa Timur 4) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *) Alamat surat-menyurat, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. A preliminary study on the sugarcane haploid breeding through in vitro microspore culture has been initiating. Due to the length of the time that have to be used in the whole processes i.e. about nine stages needed until releasing a new haploid and or doubled haploids, in this article it was reported in only, till to the fourth stage. An embryo-like structure has been producing, and in the next as early as future the enthusiasm for sowing those microspore-derived plants in the field will be performing. A new superior clone of sugarcane in terms of the higher production in common may be synthesizing if the efficient microspore culture technique (protocol) obtained and the application of biotechnological processes through several ways including those techniques in the molecular level will easily be integrating. By the wider advantages of haploid and or doubled haploid plant, the new sugarcane clone obtained will also be facilitating in the assessment of several important traits in connection with the quantitative genetics aspects. Finally, the future prospects are also discussing in the end part of this article even only in the simple outlining. Keywords: Haploid and doubled haploid, haploid breeding, microspore culture, starvation, sugarcane ABSTRAK. Telah dilakukan penelitian pendahuluan mengenai pemuliaan haploid tanaman tebu melalui kultur mikrospora. Oleh karena panjangnya waktu yang diperlukan pada pemuliaan konvensional yaitu sekitar sembilan tahap hingga bisa melepas tanaman haploid atau haploid ganda baru, tulisan ini hanya melaporkan hingga tahap ke empat. Struktur seperti embrio telah dihasilkan dan diharapkan pada waktu tidak terlalu lama lagi tanaman tebu hasil kultur mikrospora segera akan diwujudkan. Klon unggul baru tanaman tebu dalam hal produksi akan dapat dibentuk jikalau protokol kultur mikrosporanya telah diinisiasi dan aplikasi bagi beragam proses bioteknologi tanaman tebu termasuk pada aras molekuler akan dengan mudah diintegrasikan. Dengan besarnya kelebihan tanaman haploid dan haploid ganda, klon baru tanaman tebu yang diperoleh akan memudahkan dalam pendugaan sifat-sifat penting berkaitan dengan aspek genetika kuantitatif. Akhirnya, prospek ke depan juga didiskusikan pada akhir tulisan ini meskipun hanya uraian singkat. Kata kunci: Haploid, haploid ganda, pemuliaan haploid, kultur mikrospora, starvasi, tebu.
PENDAHULUAN Meskipun telah ditemukan tanaman Bit (Stevia rebaudiana) sebagai sumber bahan pembuatan gula, tanaman tebu (Saccharum spp.) adalah tanaman utama yang belum dapat disubstitusikan peranannya secara paripurna dalam memenuhi kebutuhan manusia akan gula dan etanol khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena tanaman tebu merupakan tanaman budidaya yang sudah diusahakan secara turun temurun beberapa generasi di
Indonesia. Selain itu, pabrik gula yang telah eksis sejak zaman penjajahan Belanda, juga merupakan alasan lain mengapa tebu masih merupakan sumber utama pembuatan gula di Indonesia. Sementara itu, tanaman stevia merupakan tanaman pendatang baru bagi petani di Indonesia dan belum memiliki pabrik yang dapat mengolah umbi stevia menjadi gula. Tanaman tebu dari berbagai klon unggul yang dibudidayakan di seluruh daerah penanaman tebu di Indonesia dan bahkan di dunia, semuanya
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alernatif, Peluang, dan .................................................
79
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
diperoleh melalui pemuliaan konvensional. Pemuliaan konvensional (persilangan, seleksi dan uji keturunan, dan pelepasan varietas), merupakan teknik perbaikan tanaman yang memerlukan waktu, lahan, biaya, sumber bahan tanaman dan tenaga kerja yang banyak. Apalagi, tanaman tebu adalah tanaman yang memerlukan waktu yang panjang karena menyelesaikan siklus hidupnya selama satu tahun sehingga secara praktis, setiap generasi diperlukan waktu satu tahun. Prosedur pembentukan klon/varietas baru tanaman tebu yang umum dilakukan yaitu melalui persilangan buatan (hands pollination) tetua unggul, dan keturunannya diseleksi dan diperbanyak secara vegetatif melalui penanaman kembali potongan batang atau bagal (setts). Biasanya, pelepasan suatu varietas/klon baru tanaman tebu dilakukan setelah 8-20 tahun sejak persilangan tetuanya (Skinner et al., 1987). Banyaknya waktu yang diperlukan bagi pelepasan suatu klon/varietas tebu disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang harus dilalui selama proses pembentukan klon/varietas baru tersebut. Kegiatankegiatan dimaksud adalah: (1) pemilihan individu tetua dan pasangan tetua persilangan, (2) pemilihan bibit dari benih F1 yang sangat banyak dengan keragaman yang sangat tinggi, (3) pemilihan/seleksi individu tanaman unggul dari individu tanaman yang sangat banyak selama beberapa generasi atau tahun, (4) pengujian famili-famili tanaman unggul selama beberapa generasi, (5) perbanyakan famili-famili unggul, dan (6) pelepasan varietas/klon baru. Melalui kulktur mikrospora, kegiatan pemilihan bibit dari benih F1 yang sangat banyak, dan pemilihan/seleksi individu tanaman unggul dari bibit yang terpilih hingga beberapa generasi bagi pemuliaan konvensional yang disebutkan di atas (kegiatan ke-2 dan ke-3), dapat dicapai hanya dalam satu generasi atau satu tahun. Dengan demikian, pembentukan klon/varietas baru tanaman tebu melalui pemuliaan haploid dengan kultur mikrospora, dapat dicapai kurang dari delapan tahun. Tahap-tahap kegiatan yang harus dilalui bagi pembentukan klon/varietas baru tanaman tebu melalui kultur mikrospora adalah: (1) pemilihan tetua atau tanaman donor unggul pada tahun pertama, (2) penanaman tanaman donor terpilih dan kultur mikrospora untuk mendapatkan tanaman haploid generasi awal (H0) atau haploid ganda (doubled-haploid) generasi awal (DH0) pada tahun ke dua, (3) penanaman dan pengujian: H0 H1 atau DH0 DH1 pada tahun ke tiga, (4) pengujian H1 atau DH1 terpilih untuk mendapatkan H2 atau DH2; bila populasi telah stabil setelah 3-4 generasi penanaman (H4/H5 atau DH4/DH5), maka tahap keempat
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
merupakan penanaman tahun ke empat hingga tahun ke tujuh, dan (5) tahun ke delapan merupakan tahun pelepasan varietas/klon baru. Kegiatan perbanyakan klon/varietas dapat dilakukan sejak tahun ke empat hingga pelepasan varietas karena famili-famili yang ditanam sejak tahun ke empat merupakan famili-famili yang sudah terpilih. Dalam tulisan ini tidak akan membahas mengenai lima tahap bagi pembentukan klon/ varietas tanaman tebu yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, uraian-uraian berikut akan mengemukakan beberapa informasi yang telah diperoleh, dan mendiskusikan berbagai aspek yang memungkinkan pencapaian pembentukan klon/ varietas unggul baru tanaman tebu melalui teknik pemuliaan haploid atau melalui kultur mikrospora. Pemuliaan Haploid pada Tanaman Tebu Pembentukan tanaman haploid beberapa tanaman budidaya utama melalui kultur antera atau kultur mikrospora, telah dilaporkan di Cina dan di beberapa negara lainnya. Tanaman wheat kultivar Jinghua No.1 (Hu, 1986), brassica kultivar Norin (), jagung varietas Huayu No.1 dan Qunhua (Wu, 1986), dan padi varietas Huahanzhao (Chen, 1986), masingmasing merupakan varitas hasil kultur antera atau mikrospora, dan telah dilepas sebagai varietas yang lebih unggul dari varietas yang sudah ada. Tidak mengherankan jika di Cina hingga tahun 1985, telah mencapai lebih dari 50 % areal penanaman padi hibrida berasal dari kultur antera/mikrospora (Chen, 1986). Hingga tahun 2009, belum ada laporan mengenai pelepasan klon/varietas tebu hasil kultur antera atau kultur mikrospora, meskipun kultur antera pada tanaman ini telah dimulai sejak tahun 1979 (Chen et al., 1979). Sementara itu, kultur mikrospora tanaman tebu hanya pernah dilaporkan oleh Fitch dan Moore (1983), Hinchee dan Fitch (1984), dan Hinchee et al. (1984). Chen et al. (1979), Fitch dan Moore (1983), dan Baksha et al. (2003) melaporkan bahwa melalui kultur antera telah menghasilkan tanaman tebu hingga pengujian di lapangan, meskipun masih pada skala penelitian. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada laporan mengenai perolehan individu tanaman tebu melalui kultur mikrospora karena ketiga kelompok peneliti di atas hanya mampu menghasilkan mikrospora multinukleat (proembryo). Dengan demikian, penelitian kultur mikrospora pada tanaman tebu sangat terbuka lebar untuk dilaksanakan, mulai dari penelitian dasar (pengujian dan penetapan prosedur) hingga aplikasi prosedur secara lebih luas. Berbagai penelitian aplikasi yang harus dilakukan seperti karakterisasi sifat agronomis dan fisiologis,
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
80
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
genetika kuantitatif dan genetika populasi, dan berbagai aspek pemuliaan tanaman konvensional yang bisa diintegrasikan sebagaimana lazim diterapkan dalam program pemuliaan konvensional. Penelitian Pendahuluan Kultur Mikrospora pada Tanaman Tebu di Indonesia Sejak Juli 2004 hingga Juli 2007, telah dilaksanakan percobaan kultur mikrospora lima klon tebu unggul yang banyak dibudidayakan untuk kebutuhan pabrik gula dan etanol di Indonesia. Kelima klon dimaksud adalah dua klon Saccharum officinarum L. (52OC2, dan 52OC4), dan tiga klon hibrida kompleks (POJ3025, PS58, dan PS862). Berhubung belum ada protokol umum kultur mikrospora bagi tanaman tebu, pelaksanaan penelitian ini dimulai dari hal yang paling dasar (basic) hingga yang agak maju (advanced). Ini meliputi: (1) tahap-1, penentuan ciri morfologi malai yang mengandung mikrospora pada perkembangan yang sesuai bagi kultur mikrospora dalam jumlah yang lebih banyak; (2) tahap-2, penentuan metode pewarnaan inti mikrospora untuk menentukan perkembangan/ pembelahan inti; (3) tahap-3, penentuan praperlakuan malai, cabang malai, bulir, antera, dan mikrospora bagi pembentukan mikrospora embriogenik; (4) tahap ke-4, penentuan teknik penggandaan kromosom bagi pembentukan embrio dan tanaman
A
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
haploid ganda; (5) tahap-5, penentuan medium dasar induksi embrio mikrospora; (6) tahap-6, penentuan medium regenerasi plantlet; (7) tahap-7, penentuan metode pemeriksaan ploidi regeneran; (8) tahap-8, penentuan cara aklimatisasi dan penanaman sementara plantlets dan penanaman untuk produksi, dan (9) tahap-9, penanaman dan seleksi regeneran terpilih, dan uji produksi dan sifat-sifat unggul lainnya melalui percobaan lapangan (field experiment) secara berulangan dengan menggunakan disain eksperimen tertentu. Oleh karena setiap tahap kegiatan memerlukan satu generasi penanaman, maka kesembilan tahap yang telah disebutkan di atas belum dapat dirampungkan hingga artikel ini dipublikasikan. Akan tetapi, beberapa informasi yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut. Dari aspek ciri morfologi malai, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistika antara malai dengan cabang yang masih terbungkus di dalam kelopak daun bendera (unsheathed flower) dan malai dengan cabang yang telah muncul (sheathed flower) berdasarkan jumlah mikrospora uninukleat (uninucleate microspore) lebih dari 50 %. Akan tetapi, penggunaan malai yang masih menutup cabangnya (Gambar 1) adalah pilihan yang paling tepat karena bulir akan terhindar dari kontaminan (spikelet-born contaminant) pada awal kultur in vitro (Suaib et al., 2005).
B
Gambar 1. Dua macam morfologi malai tanaman tebu. Malai dengan cabang yang masih terbungkus di dalam kelopak daun bendera, juga menunjukkan jarak antara lidah (auricle) daun bendera dengan satu lidah daun di bawahnya masih dapat di amati (A), sedangkan malai dengan cabang yang telah muncul mengindikasikan semakin panjangnya jarak antara lidah daun bendera dengan satu lidah daun (tidak tampak) di bawahnya (B).
Dalam menentukan morfologi malai yang mengandung mikrospora berinti satu pada frekuensi yang lebih tinggi, mikrospora uninukleat akhir (late uninucleate) merupakan tahap perkembangan mikrospora yang sangat penting dan menentukan bagi perkembangan sporofit selama kultur in vitro beberapa spesies dan kultivar tanaman budidaya. Oleh karena itu, efisiensi kultur mikrospora bagi banyak tanaman budidaya menunjukkan tingkatan yang masih rendah. Hal ini menguatkan pendapat Custers et al. (1994), Segui-Simarro (2001), Tashpulatov et al. (2003), dan Segui-Simarro et al. (2006) bahwa tidak semua individu mikrospora dapat diinduksi menjadi embrio mikrospora.
Penentuan metode pewarnaan inti dan plasma sel mikrospora segar maupun yang telah mendapat praperlakuan tertentu, menunjukkan bahwa mikrospora segar dapat diamati morfologi sitoplasmanya dengan sempurna melalui pewarnaan metode FDA, Fluoroscein diacetate (HeslopHarrison dan Heslop Harrison, 1970). Pewarnaan inti bagi mikrospora yang telah mendapat praperlakuan stres, menggunakan metode DAPI, 4’-6-Diamidino2-phenylindole-HCl (Vergne et al., 1987) yang dimodifikasi melalui penambahan sebanyak 80 μl ml-1 larutan kerja (working solution) dari larutan dasar (stock solution) Ferric chloride (FeCl3) 4 %, adalah metode yang mampu menampilkan dengan sem-
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
81
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
purna perkembangan pembelahan inti (Gambar 2). Sementara itu, metode Aceto-orcein (Gonzalez dan Jouve, 2005) dan metode Aceto-carmine (Ziauddin
A1
C
A2
D
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
et al., 1997) yang dimodifikasi, keduanya belum mampu menampilkan inti mikrospora dengan jelas (Suaib, 2009).
B1
B2
E
Gambar 2. Metode FDA bagi pengamatan morfologi sitoplasma mikrospora segar, dan tiga metode pewarnaan inti mikrospora setelah mendapat praperlakuan stres. A1-A2 = mikrospora viabel (berpendar) dan mikrospora non-viabel (tidak berpendar) dengan mikroskop cahaya (A1) dan mikroskop fluorescence (A2); B1-B2 = mikrospora viabel dengan mikroskop biasa (B1) dan mikroskop fluorescence (B2); C = reaksi pewarna Aceto-orcein menyebabkan seluruh bagian mikrospora berwarna merah dengan intensitas penyerapan warna yang lebih kuat pada lapisan luar (exine-intine), D = reaksi pewarna Aceto-carmine tidak mampu menimbulkan reaksi warna pada inti maupun sitoplasma sel mikrospora, dan E = reaksi pewarna DAPI menunjukkan penyerapan warna oleh inti sel mikrospora yang sangat jelas.
Mikrospora embriogenik adalah mikrospora yang berada pada kondisi siap untuk melanjutkan perkembangan sporofitik membentuk proembrio embrio plantlet melalui kultur in vitro. Ciri morfologi mikrospora embriogenik (Indrianto et al., 2001) dapat diketahui melalui pengamatan bentuk sitoplasma dan letak inti mikrospora, yakni: (1) sitoplasma dengan vakuola yang sangat besar sehingga mendorong inti berada dekat dinding intine-exine mikrospora dan biasanya terletak berlawanan dengan porus tumbuh (germ pore); (2) inti mikrospora berada relatif menjauhi dinding intine-exine dengan vakuola yang terfragmentasi, dan (3) inti mikrospora terletak relatif pada bagian tengah dan dengan vakuola yang terfragmentasi. Kondisi ini umumnya dapat dicapai melalui praperlakuan stres induk tanaman, bunga/malai atau cabang malai, antera dan mikrospora. Akan tetapi, mikrospora embriogenik juga dapat diperoleh dari induk tanaman, bunga/malai atau cabang malai, antera dan mikrospora yang belum mendapat praperlakuan stres (Indrianto, komunikasi pribadi). Percobaan stres pada mikrospora melalui inkubasi bulir dan cabang malai di dalam kombinasi perlakuan medium starvasi gula dan nir-nitrogen medium B (Kyo dan Harada, 1986) dan 0,3 M
Mannitol (Kasha et al., 2001), pada suhu rendah (4 o C) dan suhu tinggi (34 oC), selama 0, 2, 4, dan 7 hari menghasilkan mikrospora embriogenik pada frekuensi yang beragam. Hasil penelitian dimaksud menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan inkubasi bulir di dalam medium B dan larutan 0,3 M Mannitol pada suhu 4 oC selama 2 hari dapat mempertahankan viabilitas mikrospora dengan rerata persentase berturut-turut sebesar 51 % dan 69 %. Inkubasi bulir di dalam medium B dan larutan 0,3 M Mannitol pada suhu 34 oC selama 4 hari dapat mempertahankan viabilitas mikrospora dengan rerata persentase berturut-turut sebesar 70 % dan 66 %. Inkubasi cabang malai di dalam medium B pada suhu 4 oC selama 4 hari dapat menghasilkan mikrospora berinti dua simetris dengan rerata persentase yang lebih tinggi yakni 70 %, sedangkan induksi cabang malai di dalam medium B pada suhu 34 oC selama 2 hari dapat menghasilkan mikrospora berinti dua simetris dengan rerata persentase sebesar 79 %. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa tanaman monokotil melewati pembelahan inti secara asimetris pada awal induksi embrio mikrospora (Goralski et al., 2006; Testillano et al., 2006), fenomena tersebut juga diamati pada penelitian ini meskipun frekuensinya lebih rendah. Besar kemung-
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
82
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
kinan, perkembangan sporofit selama kultur in vitro mikrospora pada tanaman tebu akan melewati jalur2 menurut Bhojwani dan Razdan (1983) apabila populasi embrio yang terbentuk menunjukkan frekuensi yang tinggi sebagai implikasi dari tingginya mikrospora binukleat simetris yang dicapai pada penelitian ini. Akan tetapi, bila populasi embrio mikrospora yang terentuk hanya dalam frekuensi yang rendah maka besar kemungkinan pembentukan embrio tersebut melewati jalur-1 Bhojwani dan Razdan (1983) karena frekuensi mikrospora asimetris yang dicapai pada percobaan ini lebih rendah
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
dari mikrospora binukleat simetris. Kedua anggapan ini dapat dikuatkan melalui pelaksanaan beberapa percobaan dengan jumlah ulangan yang memadai dan dengan hasil yang relatif sama (reproducible). Morfologi perkembangan mikrospora setelah mendapat kombinasi praperlakuan stres berdasarkan jumlah inti pada penelitian pendahuluan ini dapat dibedakan dalam empat katergori, yaitu: (1) mikrospora mati–nonviabel, (2) mikro-spora viabel uninukleat, (3) mikrospora viabel binukleat asimetris, dan (4) mikrospora viabel binukleat simetris (Gambar 3).
1a
1b
2a
3a
3b
3c
2b
4a
2c
4b
Gambar 3. Empat macam perkembangan mikrospora melalui pewarnaan inti dengan metode DAPI menggunakan mikroskop fluorescence. 1a & 1b=mikrospora non-viabel; 2a, 2b & 2c=mikrospora viabel uninukleat dengan variasi letak inti; 3a, 3b & 3c=mikrospora viabel binukleat simetris dengan ukuran inti yang berbeda; dan 4a & 4b=mikrospora viabel binukleat asimetris.
Mikrospora mati atau nonviabel tidak dapat menampakkan intinya (ghost) melalui pewarnaan DAPI atau mikrospora mengalami plasmolisis atau rusak secara fisik. Mikrospora viabel uninukleat memiliki satu inti dengan posisi yang berbeda-beda. Mikrospora viabel binukleat asimetris memiliki dua inti dengan intensitas penyerapan pewarnaan DAPI yang tidak sama dan dengan visualisasi ukuran inti yang tidak sama pula. Inti generatif berukuran lebih kecil tetapi dengan intensitas penyerapan warna yang lebih tinggi, sedangkan inti vegetatif berukuran yang lebih besar tetapi dengan intensitas penyerapan warna yang rendah. Sementara itu, mikrospora viabel binukleat simetris mempunyai ukuran inti yang relatif sama dan dengan intensitas penyerapan warna yang tinggi. Mikrospora viabel binukleat simetris diharapkan dalam proporsi yang lebih tinggi karena tipe ini memiliki resiko negatif yang lebih rendah bagi perkembangan lebih lanjut embrio mikrospora. Pengujian respon mikrospora embriogenik yang dicapai pada tahap percobaan sebelumnya
menjadi embrio mikrospora pada enam macam media dasar induksi embrio yang masing-masing mengandung zat pengatur tumbuh sintetik (2 mgl-1 2,4-D [2,4-Dichlorophenoxyacetic-acid] atau NAA [Napthaleneacetic-acid]) dapat menghasilkan struktur seperti embrio (ELS, embryo-like structure). Oleh karena tingginya kontaminasi, rendahnya ulangan karena keterbatasan explant dan dengan singkatnya waktu ketersediaan explant, frekuensi mikrospora embriogenik yang rendah, dan belum sesuainya komposisi medium yang diujikan, mengakibatkan minimnya medium dasar yang dapat menghasilkan ELS dan rendahnya frekuensi ELS yang terbentuk. Akan tetapi, dengan terbentuknya ELS (Gambar 4) dapat memberi peluang yang besar untuk memperbaiki prosedur yang telah dilakukan melalui banyak modifikasi sehingga bisa mencapai embrio dan tanaman pada frekuensi yang lebih tinggi. Medium yang dapat menghasilkan ELS pada percobaan ini adalah medium B5 (Gamborg et al., 1968) menggunakan maltosa 120 gl-1 sebagai sumber karbohidrat dan difortifikasi dengan 2 mgl-1 NAA.
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
83
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
ISSN: 2089-9858
A1
A2
A3
B1
B2
B3
® PS AGRONOMI PPs UHO
Gambar 4. Perkembangan struktur seperti embrio (embryo-like structure). A1=mikrospora embriogenik sesaat setelah praperlakuan stres suhu 34 oC, A2=mikrospora embriogenik setelah beberapa hari di dalam medium induksi embrio, A3=mikrospora mulai membesar, dan B1, B2, dan B3=struktur seperti embrio setelah satu bulan dalam medium induksi embrio mikrospora.
Perbaikan Aspek Genetika Populasi Tanaman Tebu Melalui Teknik Haploid dan atau Haploid Ganda Secara genetik, tanaman haploid hanya memiliki separuh pasangan alel dan atau alel-alel di dalam kromosom dari sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif yang dimiliki oleh tanaman tebu. Dengan hanya separuh pasangan alel yang dimiliki oleh tanaman haploid, akan berimplikasi pada kegagalan membentuk biji sehingga malai hanya mengandung bulir yang hampa. Sementara itu, tanaman haploid ganda memiliki pasangan alel dan atau alel-alel yang lengkap bagi sifat-sifat yang dimilikinya sehingga malai yang dihasilkan akan fertil dan mampu membentuk biji. Bagi tanaman haploid ganda akan mengekspresikan sifat atau sifat-sifatnya secara optimal karena setiap sifat akan disandikan oleh alel-alel homozigot, baik dominan maupun resesif. Pada konstitusi alel yang homozigot, tidak akan memungkinkan terjadinya interaksi alel dominan-resesif sehingga sifat yang diekspresikan akan maksimal. Oleh karena itu, sifat yang disandikan oleh alel dominan akan mudah dibedakan dari sifat yang disandikan oleh alel resesif. Suatu sifat yang disandikan oleh alel resesif dan letal akan segera tereliminasi pada generasi awal. Persilangan dua tetua atau lebih tanaman menyerbuk silang seperti tebu, secara teoritis diperlukan 6-7 generasi seleksi melalui persilangan sendiri (selfing) untuk mendapatkan individu tanaman dengan konstitusi genetik homosigot. Namun, prosedur di atas tidak lazim diaplikasikan pada
tanaman tebu karena individu ketu-runan yang dihasilkan ditanam secara terus-menerus melalui cara vegetatif atau penanaman dengan potongan batang, “bagal”. Dengan demikian, individu keturunan terpilih akan memiliki sifat yang disandikan oleh alel-alel heterozigot. Sifat-sifat yang disandikan oleh alel-alel heterozigot akan terekspresi melalui penampakan fenotipis secara tidak optimal karena adanya interaksi kedua alel yang berbeda. Oleh karena itu, secara kuantitatif, keunggulan tanaman homozigot (haploid ganda, galur murni) dari tanaman heterozigot dapat diuraikan sebagai berikut. Menurut Griffing (1975) dan Snape (1989), keunggulan populasi tanaman haploid ganda dari populasi tanaman heterozigot dilihat dari aspek keragaman (variance) dan perubahan rerata kedua populasi bagi seleksi secara individu dan seleksi daya gabung umum (General Combining Ability, GCA) diekspresikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Pendugaan varians fenotipe bagi populasi tanaman berserbuk acak (random mating) dan populasi tanaman haploid ganda (doubled haploid)
Populasi Berserbuk acak Haploid ganda
Varians
AR DR EI 2 A EP
Keterangan:
AR
atau
A = varians aditif; DR = varians dominan; EI atau EP = varians lingkungan.
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
84
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
Tabel 2. Perubahan rerata populasi bagi seleksi individu dan seleksi daya gabung umum
Metode Seleksi Individu
Genotipe Konvensional
Haploid Ganda
i. AR
i.2 AR 1/ 2 2 A EP i. A
AR DR i.1 / 2 AR ( n 3) 1/ 2 AR DR EP 1/ 2 EI
Daya Gabung Umum
4n
Keterangan :
Tabel 3. Perbandingan rasio fenotipe antara populasi F2 tanaman menyerbuk acak dengan populasi haploid ganda (Pauls, 1996)
1 2 3 n
n
AR atau A = varians aditif; DR = varians dominan; EI atau EP = varians lingkungan;
Seleksi individu dari suatu populasi tanaman menyerbuk acak akan dihadapkan kepada besarnya frekuensi fenotipe yang harus dipilah jika dibandingkan dengan seleksi individu dari suatu populasi tanaman haploid ganda. Pauls (1996) menguraikan bahwa suatu sifat yang disandikan oleh gen (alel) tunggal akan menghasilkan tiga macam fenotipe pada populasi menyerbuk acak, sedangkan pada populasi haploid ganda hanya menghasilkan dua macam fenotipe. Semakin banyak gen (alel) yang menyandikan suatu sifat akan semakin banyak pula macam fenotipe yang dihasilkan pada populasi tanaman menyerbuk acak jika dibanding dengan populasi haploid ganda seperti disajikan pada Tabel 3.
Jumlah Gen (alel)
n
( n 1) 1/ 2 AR DR EP 2n n n
Jumlah Fenotipe Populasi F2 Berserbuk Acak 1:2:1 1:4:6:4:1 1:6:15:20:15:6:1 2n + 1
Jumlah Fenotipe Populasi Haploid Ganda 1:1 1:2:1 1:4:6:4:1 n+1
Selain jumlah fenotipe yang lebih banyak pada populasi berserbuk acak, juga diperlukan individu tanaman dalam jumlah yang tinggi untuk mendapatkan individu tanaman dengan sifat yang diinginkan. Sebagai contoh, suatu sifat yang disandikan oleh 3 macam alel, diperlukan minimal 64 individu tanaman untuk mendapatkan satu individu dengan sifat yang ketiga alelnya adalah homozigot. Sebaliknya, bagi populasi haploid ganda dengan sifat
yang disandikan oleh 3 alel, hanya diperlukan 16 individu tananaman untuk mendapatkan individu yang memiliki sifat dengan alel homozigot. Ini berarti penggunaan teknik kultur antera dan atau kultur mikrospora dalam menghasilkan tanaman haploid ganda bagi tanaman tebu, jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan teknik pemuliaan inkonvensional lainnya. Prospek Penggunaan Tanaman Tebu Haploid dan atau Haploid Ganda di Masa Datang Berhubung biji/benih bukan merupakan komponen produksi dan tidak diperlukan dalam perbanyakan tanaman tebu, penggunaan tanaman haploid bagi tujuan produksi gula dan etanol tidak menjadi masalah yang serius karena yang diperlukan adalah bagian vegetatif tanaman (batang). Apalagi, jika tanaman haploid ganda yang digunakan memungkinkan untuk memiliki sifat unggul tertentu yang berhubungan dengan produksi gula dan alkohol. Dengan keunggulan sifat yang dimiliki oleh tanaman haploid dan atau haploid ganda, pembentukan tanaman haploid dan atau haploid ganda bagi tanaman tebu merupakan kebutuhan yang perlu diwujudkan. Selain itu, dari keunggulan teknis pembentukan tanaman haploid dan haploid ganda akan dapat menghemat sangat signifikan kebutuhan waktu, tenaga kerja, biaya, dan area atau luas lahan yang diperlukan bagi inisiasi populasi dasar individuindividu tanaman unggul. Apabila teknik kultur antera dan atau kultur mikrospora pada tanaman tebu telah mencapai keberhasilan yang mendekati sempurna, yakni tercapainya produksi embrio mikrospora yang semakin memadai, maka penerapan teknik pemuliaan tanaman yang lebih rumit seperti teknik transformasi sifat pada tingkat molekuler akan dapat
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
85
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
dilakukan. Pembentukan embrio mikrospora pada frekuensi yang tinggi, akan memberi peluang yang lebih besar bagi perolehan tanaman hingga penanaman di lapangan. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan penggunaan teknik kultur antera dan atau kultur mikrospora akan dapat menggantikan teknik perbanyakan benih secara inkonvensional yang memerlukan areal perbanyakan benih yang sangat luas sebagaimana yang dipraktekkan pada institusi atau lembaga-lembaga perbanyakan benih, baik milik pemerintah maupun swasta. KEPUSTAKAAN Baksha, A.K.M.R., R. Alam, Z. Karim, S.K. Manan, A.B.M.M. Rahman, dan S. Gupta, 2003. Anther culture and plant regeneration in sugarcane (Saccharum officinarum). Plant Cell Biotechnology and Molecular Biology, 4 (3/4): 179-184. Bhojwani, S.S., dan M.K. Razdan, 1983. Plant tissue culture: Theory and Practice. Elsevier Amsterdam – Oxford – New York – Tokyo. Chen, Y., 1986. Anther and pollen culture of rice. Dalam: Hu, H. dan Yang, H., (eds.). Haploids of Higher Plants in Vitro. Pp. 1-25. China Academic Publishers, Beijing. SpringerVerlag, Berlin, Heidel-berg, New York, Tokyo. Chen, Z.H., C. Qian, M. Qin, C. Wang, C. Suo, F. Chen, dan Z. Deng, 1979. The induction of pollen plants of sugarcane. Annual Report Institute of Genetics Academia Sinica, 91-93. Custers, J.B.M., J.H.G. Cordewener, Y. Nollen, J.J.M. Dons, dan M.M. Van Lookeren Campagne, 1994. Temperature controls both gametophytic and sporophytic development in microspore cultures of Brassica napus. Plant Cell Reports, 13: 267-271. Fitch, M.M., dan P.H. Moore, 1983. Haploid production from anther culture of Saccharum spontaneum L. Zeitschrift fur Pflanzenphysiol, 109: 197-206. Gamborg,O.L., R.A. Miller, dan K. Ojima, 1968. Nutrient requirements of suspension cultures of soybean root cells. Experimental Cellular Research, 50: 150-158. Gonzalez, J.M., dan N. Jouve, 2005. Microspore development during in vitro androgenesis in triticale. Biologia Plantarum, 49(1): 2328. Goralski, G., F. Rozier, E. Matthys-Rocon, dan L. Przywara, 2005. Cytological features of various microspore derivatives appearing during culture of isolated maize micro-
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
spores. Acta Biologica Cracovensia Series Botanica, 47(1): 75-83. Griffing, B., 1975. Efficiency changes due to use of doubled haploids in recurrent methods. Theoretical and Applied Genetics, 46: 367386. Heslop-Harrison, J., dan Y. Heslop-Harrison, 1970. Evaluation of pollen viability by enzymatically induced fluorescence: intracellular hydrolysis of fluorescein diacetate. Stain Technology, 45: 115-120. Hinchee, M.A.W., dan M.M.M. Fitch, 1984. Culture of isolated microspores of Saccharum spontaneum. Zeitschrift fur Pflanzenphysiol, 113: 305-314. Hinchee, M.A.W., A. Dela Cruz, dan A. Maretzki, 1984. Developmental and biochemical characteristics of cold treated anthers of Saccharum spontaneum. Journal of Plant Physiology, 115: 271-284. Hu, D., 1986. Junghua no.1 a winter wheat variety derived from pollen sporophyte. Dalam: Hu, H. dan Yang, H., (eds.). Haploids of Higher Plants in Vitro. Pp. 137-148. China Academic Publishers, Beijing. SpringerVerlag, Berlin, Heidel-berg, New York, Tokyo. Indrianto, A., I. Barinova, A. Touraev, dan E. Heberle-Bors, 2001. Tracking individual wheat microspores in vitro : identification of embryogenic microspores and body axis formation in the embryo. Planta, 212: 163174. Kasha, K.J., E. Simion, R. Oro, Q.A. Yao, T.C. Hu, dan A.R. Carlson, 2001. An improved in vitro technique for isolated microspore culture of barley. Euphytica, 120: 379-385. Kyo, M., dan H. Harada, 1986. Control of the development pathway of tobacco pollen in vitro. Planta, 168: 427-432. Pauls, K.P., 1996. The utility of doubled haploid populations for studying the genetic control of traits determined by recessive alleles. Dalam: Jain, S.M., S.K. Sopory, dan R.E. Veilleux (eds.) In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol.1. Fundamental Aspects and Methods, pp.125-144. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Boston, London. Segui-Simarro, J.M., 2001. Embryogenesis induction in pollen: cellular characterization and expression of stress proteins. PhD Doctoral Thesis. Complutense University of Madrid, Madrid, Spain.
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
86
Berkala PENELITIAN AGRONOMI April 2013
Vol. 2 No. 1 Hal. 79 - 87
Segui-Simarro, J.M., I. Barany, R. Suarez, B. Fadon, P.S. Testillano, dan M.C. Risueno, 2006. Nuclear bodies domain changes with microspore reprogramming to embryogenesis. European Journal of Histochemistry, 50(1): 35-44. Skinner, J.C., D.M. Hogarth, dan K.K. Wu, 1987. Selection methods, criteria, and indices. Dalam : Heins DJ, (ed.). Sugarcane Improvement Through Breeding, pp.409-453. Developments in Crop Science 11. Elsevier, Amsterdam, New York, Oxford, Tokyo. Snape, J.W., 1989. Doubled haploid breeding: theoretical basis and practical applications. Dalam: Mujeeb-Kazi, A., dan L.A. Sitch (eds.). Review of Advances in Plant Biotechnology 1985-88: Second International Symposium on Genetic Manipulation in Crops. Pp. 19-30. International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT), Mexico, D.F. Mexico-International Rice Research Institute (IRRI), Manila, Philippines. Suaib, W. Mangoendidjojo, PDN. Mirzawan, dan A. Indrianto, 2006. Populasi mikrospora uninukleat berdasarkan letaknya pada malai tiga klon tebu (Saccharum spp.) sebagai informasi awal bagi pemuliaan haploid secara in vitro. Agriplus, 16: 80-88. Suaib, A. Indrianto, PDN. Mirzawan, dan W. Mangoendidjojo, 2006. Viabilitas mikrospora tanaman tebu (Saccharum spp.) klon POJ3025 pada suhu dan lama inkubasi bulir yang berbeda di dalam medium B dan mannitol untuk pemuliaan haploid secara in vitro. Habitat, 17(4): 293-304. Suaib, PDN. Mirzawan, W. Mangoendidjojo, A. Indrianto, 2007. Proporsi mikrospora uni-
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UHO
nukleat pada empat klon tebu (Saccharum spp.). Berkala Penelitian Hayati (Journal of Biological Research), 12: 145-152. Suaib, 2009. Induksi mikrospora embriogenik pada tanaman tebu (Saccharum spp.). Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tashpulatov, A., A. Indrianto, I. Barinova, H. Katholnigg, S. Akimcheva, E. Heberle-Bors, dan A. Touraev, 2003. Microspore embryogenesis. Dalam: Vasil, I.K. (ed.). Plant Biotechnology 2002 and Beyond. Proceeding of the 10th IAPTC&B Congress, June 23-28, 2002. Orlando, Florida, USA. Kluwer Academic Publishers. Testillano, P., S. Georgiev, H.L. Mogensen, M.J. Coronado, C. Dumas, M.C. Risueno, dan E. Matthys-Rochon, 2004. Spontaneous chromosome doubling results from nuclear fusion during in vitro maize induced microspore embryogenesis. Chromosoma, 112: 342-349. Vergne, P., I. Delvallee, dan C. Dumas, 1987. Rapid assessment of microspore and pollen development stage in wheat and maize using DAPI and membrane permeabilization. Stain Technology, 72: 299-304. Wu, J., 1986. Breeding haploid corn by anther culture. Dalam: Hu, H. dan Yang, H., (eds.). Haploids of Higher Plants in Vitro. Pp. 149161. China Academic Publishers, Beijing. Springer-Verlag, Berlin, Heidel-berg, New York, Tokyo. Ziauddin, A., M. Peng, dan D.J. Wolyn, 1997. Improved nuclear stainning of asparagus microspores for cytological analysis. HortScience, 32(4):735-736.
Suaib et al., 2013. Kultur Mikrospora: Alternatif, Peluang, dan ...............................................................
87