Berikut gambar dari kincir angin, ebor dan silinder yang diambil sewaktu observasi.
Gambar 1. Kincir angin
Gambar 2. Ebor
Gambar 3. Silinder
Namun kincir angin ini hanya beroperasi pada siang hari saja karena hanya angin laut yang dapat menggerakkan kincir angin pada siang hari. Air laut di “waduk” harus mengalir terus ke “winihan” untuk proses air konsentrate sebelum dialirkan secara silang ke “genthongan” dan diambil menggunakan “Ebor” untuk mengisi air konsentrate ke “meja – meja garam” untuk proses pengkristalan garam. Mengambil air laut tua menggunakan “Ebor” cukup berat sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengalirkan air laut dari “Genthongan” ke “meja – meja garam”. Satu Ebor dapat mengambil air sebanyak ± 20 liter untuk mengisi tambak garam seluas 15 m x 20 m dengan kedalaman ± 0,1 meter – 0,15 meter. Kendala lain dari kincir angin yang telah ada yakni sudu dari kincir angin yang berat maka diperlukan kecepatan angin tinggi untuk menggerakannya dan bongkar pasang kincir angin yang berat ketika musim produksi garam telah selesai. (berdasarkan wawancara dan survei dari petani tambak garam Bapak Bayan dan Lurah Desa Kaliori Bapak Rasmani. Rembang, 3 April 2011; 12 Mei 2011). 2
Gambar dibawah ini merupakan bentuk diagram dari proses aliran silang dan proses pembuatan garam.
CAREN WADUK
WINIHAN
= Arah a rus a liran silang Gambar 4. Proses aliran silang
Waduk Meja garam
Winihan
Caren
Genthonga n Gambar 5. Proses pembuatan garam
Kondisi geografis dari Desa Kaliori merupakan daerah pesisir pantai dengan rata – rata kecapatan angin 5 – 25 km/jam (sumber data : Stasiun Klimatologi Semarang, 20 Desember 2010). Berdasarkan data kecepatan angin tersebut, Desa Kaliori memiliki kecepatan angin yang memadai dan baik untuk menunjang penggunaan kincir angin sebagai alat irigasi tambak garam. Sebagai salah satu sumber energi terbarukan, energi angin dapat dikonversikan menjadi energi mekanik maupun listrik tergantung pada tujuan pemakaian dan sistem pemompaan yang digunakan [10]. Penelitian ini dilakukan untuk mencari sebuah solusi alternatif membantu masalah masyarakat setempat yakni memperbaiki kincir angin yang sudah ada dengan membuat kincir angin bambu dan kain, serta memperkaya model kincir angin. Kincir angin dibuat dari bambu dan kain (jeans dan terpal), mengingat bahwa masih banyak terdapat tumbuhan bambu di Kabupaten Rembang. Selain itu bambu juga cepat tumbuh, dalam jangka waktu 5 tahun untuk tumbuh sebagai tumbuhan dewasa; sifatnya yang kuat dengan kekerasan batang yang baik [9]. Bambu juga tidak mudah patah daripada kayu. Kain (jeans dan terpal) yang lebih ringan akan lebih mudah bergerak ketika terkena terpaan angin dan lebih mudah menyesuaikan pergerakan arah angin. Dalam kinerjanya kincir angin bambu dan kain ini dibuat agar dapat menghasilkan daya rotor (P) dan debit air tertentu. Menurut Albert Betz tidak ada kincir angin yang dapat merubah energi kinetik dari angin lebih dari 59,3% ke dalam energi mekanik penyusun rotor (Betz Limit atau Betz Law). Secara teoritis daya koefisien maksimum untuk berbagai desain kincir
3
angin adalah
16 atau Cp 27
max=
0.59, tetapi nilai Cp dari masing – masing tipe kincir berbeda
untuk fungsi dari kecepatan angin dari pengoperasian kincir [3]. Sehingga agar dapat beroperasi dengan baik maka kincir angin kain dan bambu ini setidaknya dapat menghasilkan daya koefisien rotor mendekati daya koefisien maksimum rotor tiga sudu Cp max= 0.59. Pada penelitian ini membahas 1bagaimana mengembangkan teknologi kincir angin bambu dan kain untuk memompa air dengan memanfaatkan arah pergerakkan angin, 2 bagaimana cara mendapatkan besarnya daya rotor (P) yang dihasilkan dari kincir angin bambu dan kain ini agar dapat memompa air di tambak garam dengan hasil debit air tertentu dan 3 bagaimana cara mendapatkan koefisien daya rotor yang dihasilkan oleh kincir angin bambu dan kain ini. Teknologi terapan kincir angin bambu dan kain ini diharapkan dapat beroperasi menyesuaikan pergerakan arah angin serta menghasilkan daya rotor (P) dan debit air tertentu. Koefisien daya rotor (Cp) yang dihasilkan oleh kincir angin bambu dan kain dapat dihitung menggunakan teori Betz – Limit yang dikemukakan oleh Albert Betz. Batasan penelitian pada pengoperasian kincir angin bambu dan kain ini dapat bergerak menyesuaikan pergerakan arah angin, besarnya daya rotor (P) dan debit air yang dihasilkan oleh kincir angin bambu dan kain, dan bagaimana besarnya koefisien daya rotor (Cp) yang dihasilkan dari kincir angin bambu dan kain ini berdasarkan teori Betz - Limit. Penelitian kincir angin bambu dan kain ini bertujuan memberikan solusi alternatif dari permasalahan irigasi petani tambak garam dan pembelajaran pada masyarakat setempat mengenai model kincir angin bambu dan kain untuk memompa air pada tambak garam. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada dasarnya proses pembuatan garam dari air laut terdiri dari 2 proses fisika yaitu evaporasi (penguapan) dan kristalisasi [8]. Evaporasi merupakan pengeringan yang digunakan pada bahan cair untuk memekatkan larutan dengan cara menguapkan ataupun mendidihkan pelarut. Evaporasi dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Untuk dapat menyebabkan perubahan – perubahan tersebut, evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah besarnya suhu, lama evaporasi dan tekanan yang digunakan. Kristalisasi adalah proses pembentukan fase padat (kristal) komponen tunggal dari fase cair (larutan atau lelehan) yang multi komponen, dan dilakukan dengan cara pendinginan, penguapan dan atau kombinasi pendinginan dan penguapan. Proses pembentukan kristal dilakukan dalam tiga tahap, yaitu 1) pencapaian kondisi super/lewat jenuh (supersaturation). 2) pembentukan inti kristal (nucleation). 3) pertumbuhan inti kristal menjadi kristal (crystal growth).
4
Gambar 6. Bagan proses pembuatan garam dari pemompaan air ke waduk
[8]
Bila terjadi kristalisasi komponen garam tersebut diatur pada tempat-tempat yang berlainan secara berturut-turut maka komponen garam dapat terpisah relatif lebih murni. Proses kristalisasi demikian disebut kristalisasi bertingkat. Untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida yang kemurniannya tinggi harus ditempuh cara kristalisasi bertingkat, yang menurut kelakuan air laut, tempat kristalisasi garam (disebut meja garam) harus mengkristalkan air pekat dari 25°Be sehingga menjadi 29°Be, sehingga pengotoran oleh gips dan garam-garam magnesium dalam garam yang dihasilkan dapat dihindari/dikurangi. Tahapan Proses Pembuatan Garam [8] a. Pengeringan Lahan Pengeringan lahan “winihan” dilaksanakan pada awal bulan April. Pengeringan lahan kristalisasi (meja garam). b. Pengolahan Air Peminihan/Waduk Pemasukan air laut ke peminihan. Pemasukan air laut ke lahan meja garam. Pengaturan air di peminihan. Pengeluaran air konsentrate ke meja garam dan setelah habis dikeringkan selama seminggu. Pengeluaran air konsentrate ke meja garam dan setelah habis dikeringkan, untuk pengeluaran air konsentarte selanjutnya dari peminihan tertua melalui “genthongan”. Pengembalian air laut tua ke waduk. Apabila air peminihan cukup untuk memenuhi meja garam, selebihnya dipompa kembali ke waduk.
Gambar 7. Proses pembuatan garam
5
[8]
Komponen Turbin Angin a. Rotor Rotor merupakan kumpulan dari beberapa sudu yang saling dihubungkan dengan lengan dan poros. Dimana rotor merupakan bagian yang menangkap energi kinetik angin. Daya yang dihasilkan oleh rotor sebuah kincir angin sebagai fungsi kecepatan angin yang disimbolkan dengan P, didapatkan dari persamaan perubahan energi kinetik dari suatu benda yang memiliki massa dan kecepatan yang besarnya sama dengan usaha yang dilakukan untuk memindahkan sebuah benda dari keadaan diam ke jarak tertentu [11]. Permodelan matematika untuk kincir angin adalah sebagai berikut. Angin dengan massa m yang bergerak dengan kecepatan v akan mempengaruhi energi kinetik sebesar
E
1 2 mv 2
(1)
Namun demikian besaran massa angin bukanlah besaran yang tepat untuk permodelan, oleh karena sistem yang terbuka, yaitu bahwa massa angin pada volume tertentu akan berubah – ubah terhadap waktu, dan tidak ada cara yang mudah untuk mengukur massa angin dalam sistem terbuka. Besaran yang lebih mudah di ukur dalam kasus ini adalah kerapatan massa udara ρ. Jika diasumsikan bahwa kecepatan udara konstan, maka massa angin yang menembus luasan sebesar A dan bergerak sejauh dx dalam waktu dt, sehingga daya sebesar
P
dE dt 1 dm 1 2 d ( x) v2 v A 2 dt 2 dt
(2)
Diasumsikan bahwa ρ juga konstan sehingga diperoleh :
P
1 Av 3 2
(3)
Menurut ahli ilmu fisika Jerman, Albert Betz, menyimpulkan bahwa tidak ada kincir angin yang dapat mengubah energi kinetik dari angin lebih dari 59,3% ke dalam energi mekanik penyusun rotor, ini dikenal dengan Betz Limit atau Betz Law dan dilambangkan dengan symbol Cp. Secara teoritis koefisien daya maksimum untuk berbagai desain kincir angin adalah
16 atau 27
0.59. Sehingga secara teoritis nilai Cpmax=0.59. Nilai Cp dari berbagai tipe kincir berbeda untuk fungsi dari kecepatan angin dari pengoperasian kincir [3]. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh F. W Lanchester atau disebut Lanchester – Betz Limit [5], rasio kecepatan angin dibelakang kincir angin vD terhadap kecepatan angin didepan kincir v adalah :
vD 1 a v
(4)
a adalah faktor induksi aliran dalam rotor. Berikut merupakan gambar aliran kecepatan angin ketika melewati bagian depan kincir angin v dan bagian belakang kincir angin vD menurut Jamieson.
6
Vd = V(1-a )
V
Gambar 8. Pipa aliran kecepatan angin pada rotor
[5]
Daya yang dihasilkan oleh kincir menurut teori tersebut adalah :
P 4a(1 a) 2
1 Av 3 2
(5)
yang berbeda dengan daya ideal seperti pada persamaan (3). Dari teori diperoleh juga a teoritis sebesar
1 , sehingga 4a(1 a) 2 0,59 yang disebut Limit Betz. 3
Menurut Jamieson[5] untuk mengetahui aliran angin pada rotor maka dapat dilihat melalui grafik perbandingan koefisien daya rotor Cp terhadap faktor induksi aliran dalam rotor a.
Gambar 9. Grafik Cp – a aliran dalam rotor
[5]
Pada persamaan (3), luasan A adalah luas sapuan rotor turbin angin (m3). Daerah luas sapuan rotor turbin/kincir angin dapat dihitung dengan dari panjang sudu menggunakan persamaan luas lingkaran :
A r 2
7
Kelajuan perputaran rotor secara konvensional dinyatakan dengan bilangan tak berdimensi yang dikenal dengan nama tipspeed ratio λ , yang merupakan perbandingan kelajuan rotor pada radius r ketika berputar pada ω rad/detik terhadap kecepatan angin v [6], adalah:
r v
atau
Dn 60v
Dengan D=2r dan n=ω/2π , n = putaran baling – baling per menit. Menurut Lemmer[6] setiap model kincir angin menghasilkan koefisien daya rotor yang berbeda – beda pada kelajuan perputaran rotor tertentu. Di bawah ini merupakan grafik perbandingan koefisien daya rotor Cp terhadap kelajuan perputaran rotor λ.
Gambar 10. Grafik λ - Cp untuk desain kincir angin yang berbeda
[6]
b. Sudu (Blade) Sudu pada kincir angin yang sering digunakan dalam rotor poros horisontal adalah tiga sudu dan banyak sudu. Kecepatan kincir angin saat berputar dipengaruhi oleh jumlah sudu. Berikut merupakan karakteristik rotor berdasarkan jumlah sudu yang digunakan [7] : Tabel 1. Perbandingan karakteristik tipe horizontal axis rotor
[7]
Tipe Rotor Poros Horisontal
Kecepatan
Tenaga putar/torsi
Cp
Tiga sudu (Tree Blade) Banyak sudu (Multi Blade)
Tinggi
Rendah
Diatas 0,45
Kepadatan blade/solidity (%) Kurang dari 5
Rendah
Tinggi
0,25 – 0,4
50 – 80
8
Solidity/kerapatan kincir adalah prosentase dari daerah rotor yang mana berisi bahan dibanding udara. Banyaknya jumlah sudu pada kincir menentukan kerapatan/solidity pada kincir. Kincir dengan kerapatan/solidity tinggi digunakan dalam kondisi kecepatan angin rendah untuk torka yang besar. Kecepatan angin yang tinggi bagaimanapun juga pada jumlah sudu tinggi akan membatasi aliran udara melalui luasan area sudu dan menyebabkan daya guna kincir sangat turun. Kincir dengan kerapatan/solidity rendah memiliki daya guna tinggi pada keadaan kecepatan angin tinggi karena sedikitnya jumlah sudu memberikan aliran angin yang baik. Daya yang diberikan angin untuk luasan area akan meningkatkan volume kecepatan angin. Kincir kerapatan/solidity rendah digunakan dalam daerah dengan kecepatan angin sedang hingga tinggi karena daya tinggi memberikan angin dan daya guna/efisiensi yang tinggi untuk kincir. 3.
RANCANGAN KINCIR DAN EKSPERIMENTAL
Kincir angin bambu dan kain dibuat dari plat besi sebagai poros putar/rotor sedangkan sudu terbuat dari kerangka bambu dan diselubungi kain (jeans dan terpal) dengan jumlah sudu 3 buah. Digunakannya kain bertujuan sebagai layar yang menangkap arah pergerakan angin, karakteristik kain fleksibel (tidak kaku) akan lebih mudah ketika terkena tiupan angin, sedangkan bambu berfungsi sebagai kerangka pada sudu. Kain lebih mudah melengkung menyesuaikan datangnya pergerakan arah angin serta didukung dengan kerangka sudu dari bambu yang tidak mudah patah ketika kain melengkung. Prinsip kerjanya akan memanfaatkan pergerakan angin darat dan angin laut.
Gambar 11a. Sudu lengkung
Gambar 11b. Sudu segitiga
Sistem pemompaan menggunakan pipa paralon yang didalamnya diberi dua buah klep terbuat dari ban luar bekas yang dipotong seukuran dengan pipa paralon. Dua buah klep ini dipasang pada pipa sambungan siku/pipa L tempat masuk air dan pada pipa sambungan T/pipa T tempat keluaran air. Untuk alat pemompanya menggunakan alat penghisap toilet yang ditumpuk dengan silicon rubber yang dipotong seukuran dengan diameter pipa paralon. 9
Silicon rubber
Karet penghisap toliet Gambar 12. Rancangan pipa saluran air
Gambar 13. Rancangan piston
Cara kerja kincir angin pemompa air yaitu ketika siang hari pergerakkan angin dari arah laut maka sudu akan melengkung ke arah selatan memutar rotor ke kanan begitu pula ketika menjelang sore hari angin mulai bertiup dari darat maka blade akan melengkung ke arah utara memutar rotor ke kanan. Pergerakan rotor akan menggerakkan batang as naik – turun, pergerakkan batang as mempengaruhi gerak piston ketika pompa ditarik ke atas maka klep pada pipa sambungan bagian bawah akan membuka sehingga air terpompa masuk kedalam pipa paralon dan klep pada pipa sambungan bagian atas juga menutup. Sebaliknya saat piston menekan ke bawah, klep yang terletak pada pipa sambungan bagian bawah akan menutup kemudian pipa piston menekan air yang berada di dalam pipa paralon naik ke atas, tekanan dari piston ini membuat klep pada pipa sambungan atas membuka dan air mengalir keluar melalui pipa keluaran air.
Gambar 14a. Piston bergerak turun
Gambar 14b. Piston bergerak naik
10
Setelah kincir angin bambu dan kain dapat beroperasi dengan baik, selanjutnya yaitu meneliti untuk mendapatkan daya pompa yang dihasilkan kincir angin bambu dan kain. Kecepatan angin didaerah sekitar kincir dihitung terlebih dahulu menggunakan Anemometer, setidaknya sebanyak 20 kali pengambilan data untuk mendapatkan kecepatan angin rata – rata. Ini juga berlaku untuk pengukuran kecepatan angin di depan dan di belakang kincir angin karena ketika angin melewati luasan kincir angin maka kecepatan angin akan mengalami perubahan yang mengakibatkan perbedaan kecepatan angin antara dibelakang kincir dengan didepan kincir. Dari rasio kecepatan angin didepan dan dibelakang kincir angin ini akan didapatkan faktor induksi aliran di sekitar poros a dari kecepatan angin ketika melalui luasan rotor, sedangkan luas sapuan rotor A dihitung menggunakan persamaan (6) dengan mengukur jari – jari dari sudu bambu pada kincir angin. Data – data yang telah diperoleh dapat digunakan untuk menghitung daya pompa kincir angin bambu dan kain. Ada dua faktor yang harus dihitung untuk mengetahui koefisien daya rotor turbin angin bambu dan kain, yaitu : 1. Kelajuan perputaran rotor/tipspeed ratio λ 2. Koefisien daya rotor CP Pada penelitian ini menggunakan Anemometer untuk mengukur kecepatan angin. Untuk mengetahui besarnya kelajuan perputaran rotor maka perlu diketahui jumlah putaran sudu per menit. Stopwatch digunakan dalam pengambilan data ini sebagai penanda waktu putaran sudu, pengambilan data dilakukan sedikitnya 10 kali untuk mendapatkan jumlah putaran sudu rata – rata per menit. Data yang telah diperoleh dapat digunakan pada persamaan (7) atau persamaan (8). Nilai koefisien daya rotor CP dapat dihitung melalui persamaan
C P 4a(1 a) 2 berdasarkan data yang telah didapatkan melalui penelitian sebelumnya. Pengolahan data untuk koefisien daya rotor ini menggunakan Microsoft Excel, hasil pengolahan data ini menunjukkan nilai koefisien daya rotor pada kincir angin bambu dan kain yang didapatkan dari teori Betz – Limit. Debit air diukur dengan cara menampung air yang telah dipompa oleh kincir angin ke dalam wadah dan mencatat waktu yang diperlukan untuk mengisi wadah hingga penuh. Kemudian hasil pengukuran volume air dihitung per detiknya.
11
4.
HASIL PENELITIAN
Hasil pengambilan data dari kincir angin bambu dan kain Data yang diperoleh dari kincir angin model sudu lengkung dan sudu segitiga adalah sebagai berikut : Tabel 2. Perbandingan hasil pada sudu lengkung dan sudu segitiga.
Variabel Jari - jari (r) a rata – rata Ralat Koefisien daya rotor (Cp) Luas sapuan rotor (A) Kecepatan angin rata - rata (v) Kecepatan rata - rata putaran blade (v blade) Jumlah putaran blade per menit (RPM) Kelajuan putaran rotor (λ) Daya rotor (P) Debit air (Q)
Sudu Lengkung 1.715 m 0.05 10% 0.19 9.23 m² 14.03 m/s
Sudu Segitiga 1.305 m 0.06 5% 0.2 5.35 m² 14.17 m/s
7.18 m/s
10.11 m/s
40 0.51 2904.5 watt 0.28 lt/s
74 0.71 1929.4 watt 0.12 lt/s
Dari data tabel di atas dapat dibandingkan antara faktor induksi di sekitar poros/axis kincir angin (a rata – rata) dari kedua model sudu terhadap koefisien daya rotor (Cp) yang dihasilkan masing – masing sudu dengan teori maksimum dari koefisien daya rotor Cp = 0.59 untuk faktor induksi di sekitar poros a = 1/3 untuk kincir angin poros horisontal yang ideal.
Gambar 15. Posisi Cp – a kincir angin bambu dan kain pada grafik Cp – a [5] menurut Jamieson P ( : koefisien daya rotor terhadap faktor aliran induksi poros pada kincir angin sudu segitiga, : koefisien daya rotor terhadap faktor aliran induksi poros pada kincir angin sudu lengkung)
12
Grafik menunjukkan bahwa nilai a dari sudu lengkung dan sudu segitiga berada pada sistem aliran terbuka tidak pada aliran tetap. Aliran tetap (flow stationary) pada kincir angin memiliki karakteristik tekanan angin kecil, gaya gesekan antara sudu dan angin kecil serta mengikuti aliran atas dan aliran bawah dari rotor. Kincir angin sudu lengkung (gambar 16a) dan sudu segitiga (gambar 16b) ini kemungkinan pada saat percobaan mengalami gaya gesekan dan tekanan yang besar dari angin. Kondisi sudu yang fleksibel dan ujung – ujung dari sudu yang bebas tidak ada pengait antar ujung – ujung sudu mengakibatkan ujung sudu bergerak – gerak ketika angin bertiup agak kencang. Kecepatan angin yang cukup tinggi mengakibatkan sudu sedikit melengkung ke belakang. Tekanan dan gesekan besar antara angin dan sudu ini mengakibatkan kinerja dari kincir berkurang. Hal ini juga berpengaruh pada kecepatan angin di depan dan di belakang sudu kincir angin sehingga faktor induksi aliran di sekitar poros kincir angin menjadi lebih kecil.
Gambar 16a. Kincir angin bambu dan kain jeans dengan sudu lengkung
Gambar 16b. Kincir angin bambu dan terpal dengan sudu segitiga
13
Kesalahan dalam pengukuran juga dapat mempengaruhi hasil kecepatan angin yang diukur, kecepatan angin yang selalu berubah – ubah ketika mengukur mengakibatkan selisih yang cukup besar dari hasil pengukuran kecepatan angin antara di depan dan di belakang sudu. Jeda waktu dalam pengukuran antara kecepatan angin di depan dan belakang sudu juga mempengaruhi ketepatan pengukuran. Semakin lama jeda waktu pengukuran maka semakin berbeda selisih kecepatan angin yang terukur atau mungkin dengan jeda waktu yang lama dan kecepatan angin yang berubah – ubah mengakibatkan kecepatan angin yang terukur hampir sama besar. Kemudian posisi pengukuran kecepatan angin pada poros kincir angin, semakin menjauhi poros kincir angin maka kecepatan yang terukur semakin kecil. Koefisien daya rotor yang dihasilkan oleh kincir angin bambu dan kain (jeans dan terpal) belum dapat mencapai Betz – Limit kincir angin yang ideal. Besarnya faktor induksi aliran di sekitar poros mempengaruhi koefisien daya rotor yang dihasilkan C P 4a(1 a) 2 , dengan faktor induksi aliran yang kecil di sekitar poros kincir angin maka koefisien daya rotor yang dihasilkan juga kecil. Dengan kecepatan angin yang berbeda maka kelajuan perputaran rotor (λ) untuk setiap tipe kincir angin juga berbeda. Berdasarkan grafik perbandingan koefisien daya rotor Cp terhadap kelajuan perputaran rotor (λ) yang dikemukakan oleh Lemmer C. E, kincir angin ideal yang mampu mengubah energi kinetik menjadi energi mekanik secara maksimum pada tipe kincir angin three blade adalah yang memiliki kelajuan perputaran rotor mendekati 5.3.
Gambar 17. Posisi Cp – λ dari kincir angin bamboo dan kain pada grafik Cp – λ [6] menurut Lemmer ( : koefisien daya rotor terhadap kelajuan putaran rotor pada kincir angin sudu segitiga, : koefisien daya rotor terhadap kelajuan putaran rotor pada kincir angin sudu lengkung)
Kelajuan perputaran rotor pada kincir angin bambu dan kain hanya dapat berputar pada kelajuan 0.51 dan 0.71 untuk sudu lengkung dan sudu segitiga. Kemungkinan rendahnya kelajuan putaran rotor pada kincir angin bambu dan kain ini disebabkan karena kecepatan angin yang relatif kecil untuk dapat mencapai Betz – Limit, semakin rendah kecepatan angin maka
14
putaran baling – baling per menit yang dihasilkan juga sedikit sehingga kelajuan perputaran rotor pada kincir angin bambu dan kain rendah.
Gambar 18. Besi dan laker kincir angin
Daya rotor yang dihasilkan oleh kedua kincir angin ini berbeda pada kecepatan angin yang hampir sama saat pengoperasian. Kincir angin bambu dan kain jeans memiliki daya rotor yang besar dibandingkan kincir angin bambu dan terpal. Luas sapuan rotor yang besar pada kincir angin bambu dan jeans menghasilkan daya rotor yang lebih besar. Diamati dari model kedua sudu ketika beroperasi model sudu segitiga berputar lebih optimal daripada sudu lengkung, ini tampak pada kelajuan perputaran rotor yang dihasilkan oleh sudu segitiga. Sudu segitiga memiliki luasan lebih besar sehingga dapat lebih mudah menangkap pergerakan angin, selain itu bahan terpal yang digunakan pada sudu segitiga jauh lebih ringan daripada jeans. Namun debit air yang dihasilkan oleh sudu segitiga jauh lebih sedikit dibanding sudu lengkung. Dengan kelajuan perputaran rotor yang lebih besar seharusnya sudu segitiga lebih banyak memompa air. Kemungkinan ini disebabkan saat pengoperasian sudu segitiga pada hari keempat, pompa yang terbuat dari silicon rubber yang ditumpuk dengan karet penyedot toilet (gambar 19a) telah digunakan selama beberapa hari mengalami pengecilan. Sehingga terdapat rongga antara pipa paralon dan pompa (gambar 19b) ini mengakibatkan saat pompa menghisap maupun menekan air keluar tidak bekerja secara optimal.
15
Gambar 19a. Pompa dari silicon rubber dan karet penyedot toilet
Gambar 19b. Pipa pemompa air
Dapat disimpulkan bahwa sudu segitiga lebih dapat beroperasi dengan baik, menghasilkan kelajuan perputaran rotor lebih besar dan koefisien daya rotor mendekati Betz – Limit daripada sudu lengkung. Untuk dapat mengoptimalkan kerja dari kincir angin bambu dan kain model sudu segitiga ini diperlukan perbaikan pada sistem pompa dan memperkuat bagian ujung antar sudu agar tidak mudah goyang ketika angin bertiup kencang. Ujung – ujung antar sudu yang kuat akan mengurangi gaya gesekan dan tekanan pada sudu. Kelebihan dari kincir angin bambu dan kain ini dapat beroperasi pada kecepatan angin rendah. Model kincir angin sebelumnya yang digunakan untuk memompa air di tambak garam terbuat dari papan kayu sepanjang 1 meter untuk setiap sudu dan terdiri dari empat sudu tentunya akan sangat berat untuk menggerakkan kincir angin dengan kecepatan angin rendah. Adanya alternatif model kincir angin bambu dan kain ini dapat menjadi pilihan bagi petani tambak garam. 5.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan bahwa model sudu segitiga lebih dapat beroperasi secara optimal dibanding model sudu lengkung, luasan sudu mempengaruhi kemampuan sudu untuk menangkap pergerakan arah angin. Kincir angin bambu dan kain ini (jeans dan terpal) belum dapat mencapai Betz – Limit untuk kincir angin tiga sudu. Namun kincir angin bambu dan terpal dapat menghasilkan koefisien daya rotor mendekati Betz – Limit dengan kelajuan perputaran rotor yang baik daripada kincir angin bambu dan kain jeans. Agar dapat mencapai Betz – Limit maka gaya gesek angin dan sudu, tekanan angin pada sudu harus diperkecil sehingga kincir dapat beroperasi secara optimal. Masih diperlukan perbaikan pada kekuatan sudu ketika kecepatan angin tinggi dan keawetan pompa penyedot air.Karena kecepatan angin
16
yang berubah – ubah ketepatan pengukuran, posisi pengukuran di depan dan di belakang sudu sangat berpengaruh pada hasil faktor induksi aliran di sekitar poros. Untuk mendapatkan kincir angin yang beroperasi lebih baik masih diperlukan penelitian lebih lanjut dalam pengembangan model sudu dan sistem pompanya. Kincir angin bambu dan kain ini dapat menjadi alternatif bagi petani tambak garam karena dengan kecepatan angin rendah kincir angin bambu dan kain telah dapat memompa air. 6. REFERENSI [1] http://07312244097ipa07.files.wordpress.com/2009/06/microsoft-word-teori-asam-basagaram.pdf [2] http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-industri/teknologi-proses/asam-basa-dangaram/ [3] Corten, Gustave .P. 2001. Novel Views on the Extraction of Energy from Wind. Energy Centre of Netherland. Copenhagen.
[email protected] [4] Hansen, Marten O. L. 2000. Aerodynamics of Wind Turbines. Technical University of Denmark. Denmark : James&James Publisher [5] Jamieson, P. Beating Betz – Energy Extraction Limits in a Uniform Flow Field.
[email protected] [6] Lemmer, C. E. 2009. Wind – Electric Pump System Design. Stellenbosch University. Department of Electrical and Electronic Engineering. [7] Mosimanyane et al. 1995. Wind Pumping. Practical Action. [8] Purbani, D. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. [9] Teksam. 2009. Bamboo as Potential Material Used for Windmill Turbine Blades. [10] Soeripno, Pakpahan, S. Optimasi Pemanfaatan Sistem Pemompaan Tenaga Angin Untuk Sumber – Sumber Air Dalam Dengan Turbin Angin Listrik Sudu Majemuk Sebagai Penggerak Pompa. Pusat Teknologi Dirgantara Terapan Lapan. [11] Anonymous. Wind Turbine Calculations. RWE npower renewables.
17