Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A.
I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya akan disebut dengan “UU Arbitrase dan APS”), adalah merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara itu, perjanjian arbitrase sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase dan APS, merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Berdasarkan pengamatan penulis, para pelaku bisnis, baik pelaku bisnis nasional maupun pelaku bisnis internasional, memiliki kecenderungan untuk memilih forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi dikemudian hari. Kecenderungan para pelaku bisnis ini tidak terlepas dari pertimbangan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan, sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang sudah lama dikenal dan digunakan, seringkali memunculkan permasalahan yang diantaranya adalah: (i) lamanya proses beracara di persidangan perkara perdata; (ii) panjang dan lamanya tahap penyelesaian sengketa dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung; (iii) lama dan panjangnya proses penyelesaian melalui pengadilan membawa akibat pada tingginya biaya penyelesaian sengketa; (iv) persidangan dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan merupakan sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis; (v) hakim yang memeriksa sengketa bisnis tersebut seringkali diperiksa oleh hakim yang kurang menguasai substansi yang berkaitan dengan sengketa bisnis yang bersangkutan; dan (vi) adanya citra dunia peradilan yang tidak begitu baik. Para pelaku bisnis yang memilih forum arbitrase ini, harus telah sepakat dan menyetujui secara tertulis perjanjian arbitrase yang intinya para pihak sepakat memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan segala perselisihan yang terjadi ataupun yang akan terjadi di antara mereka. Adapun alasan para pelaku bisnis ini memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya, diantranya adalah: (1) para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri dan arbiter tersebut sama sekali tidak mewakili pihak atau menjadi konsultan bagi yang memilih; (2) proses pemeriksaan sengketa, oleh arbiter atau majelis arbitrase, dilaksanakan secara konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin kerahasiaan dari publisitas yang tidak dikehendaki oleh para pihak; (3) putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak, Hengki M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA &
PARTNERS, sekarang sedang menyelesaikan Program Magister Hukum Bisnis pada Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Jakarta. 1 Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase
merupakan putusan yang mempunyai sifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa; (4) tata cara pemeriksaan sengketa cepat, tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses di pengadilan. Hal ini sebagai konsekwensi dari sifat putusan arbitrase yang final dan mengikat; (5) tata cara pemeriksaan sengketa di forum arbitrase lebih informal dari tata cara pemeriksaan sengketa di forum pengadilan; (6) pemeriksaan sengketa melalui forum arbitrase memberi kesempatan yang luas bagi para pihak untuk meneruskan hubungan bisnis dikemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi para pengusaha asing, diciptakannya tata cara penyelesaian sengketa komersial secara damai (arbitrase), menurut Priyatna Abdurrasyid1, adalah merupakan akibat dari hal-hal sebagai berikut: (1) para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di peradilan nasional pihak lawan sengketa; (2) kekhawatiran selalu saja ada, apalagi kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan warga negara tersebut, bahwa peradilan negara yang bersangkutan tidak atau setidak-tidaknya akan terpengaruh oleh penguasaannya dan bersikap tidak independen (melalui “permainan” dana khusus; itulah sebabnya kini menjadi rahasia umum di lingkup nasional maupun internasional bahwa putusan pengadilan di Indonesia banyak ketergantungan kepada “penawar tertinggi”); (3) pihak asing kurang memahami tata cara/prosedur pengadilan negara tersebut dan merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan; (4) Peradilan negara menggunakan bahasa nasional yang tidak dimengerti oleh pihak asing tersebut (lain lagi pada sidang arbitrase yang boleh menggunakan bahasa asing yang dikuasai atau bahasa yang diterima dan dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa); (5) eksekusi putusan arbitrase pada umumnya lebih terjamin dengan telah berlakunya “United Nations Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958” dan yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara termasuk negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Terkait dengan judul tulisan ini, dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa: “Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.” Bergabungnya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa dalam perkara perdata, dapat terjadi karena atas inisiatif sendiri, dapat juga karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan sengketa perkara perdata tersebut. Sehubungan dengan turut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, UU Arbitrase dan APS tidak menjelaskan secara lebih jauh mengenai jenis turut serta atau bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Begitu juga dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia Yang Diperbarui: S.: 1848 No. 16, S. 1941 No. 44) dan Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg. atau 1 Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution – ADR/Arbitration) Suatu Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 6 volume 21, Oktober – November 2002.
Reglemen Daerah Seberang: S. 1927 No. 227) yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, tidak mengatur mengenai bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Mengacu pada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan2, terdapat 3 (tiga) jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara, yaitu: pertama, voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau Tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi permohonan voeging yang diajukan oleh pihak ketiga tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut. Kedua, intervensi (tussenkomst) yaitu ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. Apabila permohonan intervensi (tussenkomst) ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan gugatan intervensi ke dalam perkara pokok. Ketiga, vrijwaring yaitu penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat tersebut. Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Dalam Reglement Recht Vordering (RV) disebutkan terdapat dua macam bentuk intervensi yaitu: (1) Intervensi yang merupakan inisiatif sendiri dari pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara perdata, yaitu: a) voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata untuk membela salah satu pihak yaitu penggugat atau tergugat (Pasal 279 RV); dan b) tussenkomst, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata, akan tetapi tidak memihak salah satu 2 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan, Buku II, Edisi 2007, hlm. 60-‐62, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2009.
pihak baik penggugat atau tergugat kepentingannya sendiri (Pasal 282 RV).
tetapi
demi
membela
(2) Intervensi yang terjadi karena adanya pihak ketiga yang ditarik masuk oleh salah satu pihak yang berperkara yaitu Vrijwaring, atau penjaminan, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan sengketa perdata karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya. Vrijwaring diatur dalam Pasal 70 RV sampai dengan Pasal 76 RV. Mengacu pada 3 (tiga) jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses perkara sebagaimana yang penulis uraikan diatas, dan dihubungkan dengan bunyi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS yang menyebutkan “Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan ……………”, maka penulis menyimpulkan bahwa jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), dikarenakan ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara tersebut adalah atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Prosedur atau tata cara dalam intervensi yang tidak memihak salah satu pihak ini, yang dalam hukum disebut dengan tussenkomst, dapat mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk melawan penggugat dan tergugat3. Kehadiran tussenkomst dari pihak ketiga ini, Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim yang memeriksa atau mengadili akan menetapkan apakah gugatan untuk ikut serta pihak ketiga tersebut dapat diterima atau ditolak. Jika diterima maka pihak ketiga dilibatkan dalam proses pemeriksaan sengketa perdata yang sedang berlangsung4. Manfaat dari tussenkomst itu sendiri adalah agar proses pemeriksaan sengketa perdata tersebut berjalan lebih mudah dan juga untuk menghindari kemungkinan adanya putusanputusan yang saling bertentangan5. Selanjutnya, persyaratan agar pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, haruslah disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Oleh karena itu penulis dapat menyimpulkan bahwa kesepakatan para pihak yang bersengketa dan persetujuan dari arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan, mengenai turut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, haruslah satu kesatuan atau harus dipenuhi secara kumulatif. II. Permasalahan Berdasarkan uraian yang penulis sampaikan di atas, maka timbul pertanyaanpertanyaan yang menggelitik intelektualitas penulis mengenai: 1.
Apakah dengan para pihak yang bersengketa sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan menyetujui pihak ketiga 3 Mertokusumo, S. 1992. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 4 Kalo, S. 2005. Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Hukum Bisnis 24(1). 5 Harahap, Y. 1989. Segi-‐Segi Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita. Jakarta.
2. 3.
dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka proses pemeriksaan akan diulang sebelum arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan memberikan putusan atas sengketa? Pada tahap apa pihak ketiga dapat bergabung atau turut serta dalam proses penyelesaian sengketa melalu arbitrase tersebut? Bagaimana implikasi dari turut sertanya dan bargabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut terhadap prinsip kerahasiaan yang dianut oleh arbitrase dalam penyelesaian sengketa?
III. Pembahasan Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 30 UU Arbitrase dan APS yang menyebutkan bahwa “Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan”, maka penulis telah menyimpulkan bahwa jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), dikarenakan ikut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian perkara tersebut adalah atas alasan adanya kepentingan pihak ketiga yang terganggu. Persyaratan agar pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut haruslah, secara kumulatif, disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Proses pemeriksaan sengketa melalui arbitrase telah diatur secara jelas di dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51. Melalui Bab IV tersebut, para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui forum arbitrase diberikan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase. Sehubungan dengan proses pemeriksaan sengketa tersebut, apabila, ternyata, ada pihak ketiga diluar dari perjanjian arbitrase mengetahui ada kepentingannya yang terganggu sebagai akibat dari sengketa pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian arbitrase, maka pihak ketiga tersebut dapat bergabung dan turut serta dalam proses penyelesaian sengketa tersebut untuk membela atau mempertahankan kepentingannya. Bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), yang artinya pihak ketiga tersebut bergabung bukan untuk membela pihak tergugat maupun pihak penggugat, akan tetapi semata-mata untuk mempertahankan dan membela kepentingannya yang terganggu akibat sengketa yang terjadi antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Artinya pihak ketiga ini berdiri sendiri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut. Agar pihak ketiga dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, permohonan pihak ketiga tersebut haruslah
disepakati oleh pihak penggugat dan pihak tergugat serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Setelah pihak penggugat dan pihak tergugat sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase menyetujui pihak ketiga tersebut bergabung dalam proses penyelesaian sengketa, maka, sesuai dengan prinsip intervensi (tussenkomst), arbiter atau majelis arbitrase memutuskannya melalui putusan sela dan hal ini dicatat dalam Berita Acara Persidangan. Berdasarkan pada putusan sela tersebut, selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan gugatan intervensi ke dalam perkara pokok. Dengan disepakatinya dan disetujuinya pihak ketiga bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka, menurut penulis, berlakulah semua ketentuan yang tercantum di dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase tersebut yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase. Artinya, apabila misalnya: ternyata proses penyelesaian sengketa antara penggugat dan tergugat tersebut akan memasuki tahap putusan, dengan diijinkannya pihak ketiga bergabung dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, maka arbiter atau majelis arbitrase harus memberikan kesempatan kepada pihak penggugat dan pihak tergugat untuk menanggapi hal-hal yang dikemukakan oleh pihak ketiga tersebut. Dan untuk mempertahankan kepentingannya dan/atau argumen-argumen yang disampaikan oleh pihak ketiga tersebut, arbiter atau majelis arbitrase wajib memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk membuktikannya baik melalui bukti dokumen, saksi-saksi dan ahli. Selanjutnya untuk menguatkan tanggapan-tanggapan yang diajukan penggugat dan tergugat, serta untuk membantah pembuktian dari pihak ketiga tersebut, maka arbiter atau majelis arbitrase juga wajib memberikan kesempatan kepada pihak penggugat dan tergugat untuk membuktikannya melalui dokumen, saksi-saksi dan ahli. Berdasarkan hal tersebut maka penulis dapat mengatakan bahwa pihak ketiga yang mempunyai kepentingan, kapan saja sebelum arbiter atau majelis arbitrase memberikan putusan atas sengketa yang sedang diperiksa, dapat bergabung atau turut serta dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dengan ketentuan telah disepakati oleh pihak penggugat dan tergugat serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. Apabila pihak ketiga yang berkepentingan tidak mengetahui akan adanya proses pemeriksaan sengketa perkara perdata yang bersangkutan, sehingga pihak ketiga tersebut tidak mengajukan “intervensi“ atau tidak bergabung dalam proses pemeriksaan perkara perdata yang bersangkutan, maka pihak ketiga tersebut masih dapat mempertahankan kepentingannya dalam suatu proses tersendiri. Namun akan lebih mudah dan akan dapat dihindari putusan-putusan yang saling bertentangan, apabila pihak ketiga tersebut langsung bergabung dan ikut serta dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, artinya seorang dapat mempertahankan hak-haknya atau membela kepentingannya lewat Pengadilan Negeri melalui proses yang berdiri sendiri, akan tetapi bila ia masuk dalam intervensi sebagai pihak ketiga, proses penyelesaiannya akan lebih mudah karena perkara yang disidangkan sama dan dapat menghindarkan putusan (penyelesaian) yang tidak sesuai dengan keinginannya bila ia
memilih membela hak-haknya atau membela kepentingannya dengan cara tersendiri dan yang jelas akan dapat menghemat biaya6. Proses yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut sejalan dengan yang digariskan oleh asas audi alteram partem yang menyebutkan bahwa pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang. Pengadilan atau majelis yang memimpin pemeriksaan persidangan, wajib memberikan kesempatan yang sama (to give the same opportunity to each party) untuk mengajukan pembelaan kepentingan masing-masing, sesuai dengan acuan berikut7: 1. mendapat kesempatan untuk mengajukan pembelaan, merupakan hak yang diberikan hukum kepada para pihak. Oleh karena kesempatan mengajukan pembelaan kepentingan dalam proses pemeriksaan adalah hak, pengadilan tidak boleh mengesampingkannya tanpa alasan yang sah; 2. persidangan harus mendengarkan kedua belah pihak (must hear each party) secara proporsional, jika hal itu mereka minta. Kesempatan untuk mengajukan atau mengemukakan pembelaan kepentingan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) HIR, sehingga hakim harus memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab gugatan dan sebaliknya, kepada penggugat diberi kesempatan untuk didengar keterangannya. Oleh karena mengajukan dan menyampaikan pembelaan kepentingan merupakan hak, maka tergantung dan terserah kepada para pihak yang bersangkutan untuk mengemukakan dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa kewajiban hakim untuk memberi kesempatan yang wajar kepada para pihak yang bersengketa demi tegaknya asas audi alteram partem tersebut. Asas audi alteram partem ini, dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51, ternyata juga telah secara tegas dinyatakan, antara lain: 1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing (Pasal 29 ayat (1)); 2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut (Pasal 37 ayat (4)); 3) Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon (Pasal 39); 6 Sutantio, R. dan Oeripkartawinata, I. 1982. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Fakultas Hukum Unpad Bandung. 7 Yahya Harahap, 2013, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ketiga belas, hlm. 72-‐73, Sinar Grafika, Jakarta.
4) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat (2)); 5) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat (3)). Berdasarkan uraian-uraian mengenai asas audi alteram partem sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) HIR dan juga digariskan dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51 tersebut, maka penulis berpendapat bahwa dengan para pihak yang bersengketa sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan menyetujui pihak ketiga dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka seluruh proses pemeriksaan yang sudah dilakukan akan diulang kembali sebelum arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan memberikan putusan atas sengketa tersebut. Kyriaki Noussia juga menyebutkan: “a fundamental basis for agreeing to arbitration rather than to litigation in public courts is to preserve privacy and confidentiality to the greatest extent possible”.8 Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keunggulan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menyelesaikan sengketa adalah proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilaksanakan secara tertutup atau konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin kerahasiaan dari publisitas yang tidak dikehendaki oleh para pihak. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 27 UU Arbitrase dan APS, yaitu “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup”. Penjelasan Pasal 27 UU Arbitrase dan APS juga dengan jelas menyebutkan bahwa ketentuan pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Sifat kerahasiaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini juga dengan sangat jelas disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2) Bab V Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Rules and Procedures) tentang Pemeriksaan Arbitrase, yang menyebutkan: “Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukkan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusanputusan, harus dijaga kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan BANI, kecuali oleh peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa”. 8 Kyriaki Noussia, 2010, Confidentiality in International Commercial Arbitration, A Comparative Analysis of the Position under English, US, German and French Law, hlm. 22, Springer Heidelberg Dordrecht London, New York.
Kerahasiaan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini merupakan subjek yang sangat kontroversial, baik dalam forum arbitrase nasional dan internasional, yang belum terpecahkan sampai saat ini. Sifat kontroversial tersebut ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan, dalam tulisan ini, sehubungan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS dihubungkan dengan bunyi Pasal 27 UU Arbitrase dan APS dan Pasal 13 ayat (2) BANI Rules and Procedures tersebut adalah dari mana pihak ketiga tersebut, yang merupakan pihak diluar perjanjian arbitrase, mendapatkan informasi dan bahan-bahan terkait dengan materi-materi yang diperiksa dalam persidangan arbitrase sehingga pihak ketiga tersebut mengetahui ada kepentingannya yang terkait dalam proses persidangan tersebut dan oleh karenanya pihak ketiga tersebut meminta untuk turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut? Bukankah semua sidang pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan tertutup untuk umum? Bukankah para pihak yang bersengketa, para arbiter dan BANI diharuskan untuk menjaga kerahasian dari seluruh proses persidangan? Apakah arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mengijinkan pihak ketiga tersebut turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa, mempunyai kewenangan untuk mencari tahu sumber atau dari mana pihak ketiga tersebut mendapatkan informasi dan bahan-bahan yang terkait dengan materi pemeriksaan sengketa? Apa konsekwensi yang dapat diberikan oleh arbiter atau majelis arbitrase ketika pihak ketiga tersebut memberi tahu bahwa dia mendapatkan informasi dan bahan-bahan terkait dengan materi pemeriksaan sengketa tersebut dari pihak penggugat atau tergugat? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut baik UU Arbitrase dan APS maupun BANI Rules and Procedures tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar UU Arbitrase dan APS maupun BANI Rules and Procedures harus diperbaharui lagi untuk mengatur hal-hal tersebut. Memang hal ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi, akan tetapi bukankah jauh lebih baik untuk mencegah sebelum hal-hal tersebut terjadi?