“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari Puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.” (Hadits Riwayat Turmudzi) Hampir
setengah
bulan
sudah
kita
menjalankan
ibadah
puasa
Ramadhan. Sejauh ini, pertanyaan yang layak untuk diajukan adalah, apakah kita masih berpuasa? Pertanyaan mudah. Sebagian besar kaum muslim pasti akan menjawab: ya, tentu saja! Pertanyaan tersebut sejatinya adalah pertanyaan yang berada pada tingkatan paling bawah. Lalu, pertanyaan selanjutnya yang lebih tinggi adalah, apakah kita masih rajin beribadah? Apakah kita masih rajin sholat jamaah? Apakah kita masih rajin sholat tarawih, baik sendiri atau berjamaah? Apakah kita sudah mampu mengendalikan hawa nafsu? Atau justru sebaliknya? Apakah kita sudah boleh manahan amarah? Apakah kita sudah mampu menjaga panca indera dari hal-hal yang buruk? Apabila jawaban kita atas sebagian pertanyaan di atas adalah, ya, dan kita yakin boleh mempertahankannya selama bulan Ramadhan. Maka, selamat! Kita akan mendapatkan kebaikan puasa di dunia dan akhirat, tentu saja atas kehendak dan izin Allah. Namun, jika jawaban kita atas sebagian pertanyaan tersebut adalah tidak, maka, semoga tulisan ini boleh menjadi bahan evaluasi bagi, sampai dimanakah puasa kita selama ini? Selanjutnya, diharapkan
bulan Ramadhan ini dapat kita manfaatkan dengan sebaik-
baiknya. Sekali Lagi tentang Makna Puasa Ramadhan Bulan Ramadhan disebut sebagai syahrul ‘ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah dan semangat beribadah yang sangat tinggi. Selain itu, bulan ini juga disebut sebagai syahrul fath (bulan kemenangan). Umat Islam dulu pernah memperoleh kemenangan dalam “perang kecil”, perang Badar, pada bulan Ramadhan. Kini, kita memiliki kesempatan untuk memenangkan perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu. Di sebut juga
dengan syahrul huda (bulan petunjuk) karena pada bulan inilah petunjuk kehidupan yaitu Alquran turun untuk pertama kalinya. Bulan Ramadhan disebut juga sebagai syahrul ghufran (bulan penuh ampunan). Dengan segala kelebihannya, bulan Ramadhan boleh dimanfaatkan untuk membuka pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Selain itu, bulan Ramadhan disebut dengan syahrus salam (bulan keselamatan), bulan yang mengandung nilai-nilai yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai syahrul jihad (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari makan dan minum sebagai keperluan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kata – kata para ahli sufi. Namun, seringkali dibulan puasa, keperluan berbelanja dan tren konsumsi terkadang malah berlebihan. Ini berarti, secara kebiasaan dan kenyataan, puasa yang kita jalankan pada bulan Ramadan, masih sebatas tidak makan dan tidak minum di siang hari saja. Ketika malam, keperluannya justru
meningkat
berlebihan.
Begitulah
irama
puasa.
Mestinya,
puasa
mengekang tingkat konsumsi makanan. Dengan berpuasa, tingkat konsumsi kita menjadi turun. Itulah puasa yang dianjurkan. Tapi kenyataan yang kita lihat, puasa secara tradisi, yang dilakoni banyak dari kita, hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Puasa yang kita jalankan sekarang, justru bukan pada level haqîqah syar‘iyyah (substansi yang dikehendaki syariat), tapi haqîqah ‘urfiyyahI (sekedar tradisi).
Tingkatan Puasa Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin membagi puasa dalam tiga tingkatan: 1) puasanya orang awam, 2) puasanya orang khusus, dan 3) puasanya orang super khusus. Tingkatan pertama, yaitu puasa orang awam, adalah puasa yang hanya menahan perut (dari makan dan minum) dan kemaluan dari memperturutkan syahwat, namun masih tetap (dan tidak mampu) melepaskan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Imam al-Ghazali pernah berkata: “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan dari puasanya itu selain lapar dan haus. Sebab, hakikat puasa itu adalah menahan hawa nafsu, bukanlah sekedar menahan lapar dan haus. Boleh jadi orang tersebut memandang yang haram, Ghibah dan berdusta. Maka yang demikian itu membatalkan hakikat puasa.” Golongan ini adalah orang-orang yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai golongan orang-orang yang merugi, karena mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Jumlah golongan ini sangat banyak, bahkan minoriti di antara orang-orang yang berpuasa. Seboleh mungkin kita berusaha agar tidak termasuk golongan ini dengan mengamalkan puasa tingkatan kedua, yaitu puasanya orang-orang yang sholeh. Puasa orang-orang sholeh adalah puasa yang selain menahan perut dan kemaluan, juga menahan semua anggota badan dari berbagai dosa dan maksiat. Menurut Imam al-Ghazali, kesempurnaannya ada 7 perkara. Pertama, menundukkan pandangan dan menahannya dari memandang hal yang
diharamkan, dicela dan dibenci (makruh) oleh agama dan norma, dan dari setiap hal yang dapat menyibukkan diri dari mengingat Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Lima hal yang dapat membatalkan puasa: berkata dusta, ghibah (menggunjing orang), memfitnah, sumpah dusta dan memandang dengan syahwat.” (HR. Al-Azdiy). Kedua, menjaga lisan dari membual, dusta, ghibah, perkataan kasar, pertengkaran, perdebatan yang tidak berguna dan mengendalikan lisan dengan diam, dzikir dan membaca Al-qur’an. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa adalah
perisai
(tabir penghalang
dari
perbuatan dosa). Maka apabila
seseorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan sesuatu yang keji dan janganlah ia berbuat jahil.” (HR. Bukhari - Muslim). Dalam riwayat yang lain, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan kotor dan dusta selama berpuasa, maka Allah SWT tidak berhajat kepada puasanya.” (HR. Bukhari) Ketiga, menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci karena setiap hal yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarnya. Keempat, menjaga semua anggota badan seperti tangan dan kaki dari dari berbagai dosa dan hal-hal yang dibenci, menahan perut dari memakan makanan yang subhat (meragukan) pada saat berbuka. Kelima, tidak memperbanyak makanan pada saat berbuka sampai penuh perutnya, karena tidak ada wadah yang dibenci oleh Allah kecuali perut yang penuh dengan
makanan (meski makanan tersebut halal).
Bagaimana puasa boleh bermanfaat untuk menundukkan musuhnya (setan) dan mengalahkan syahwatnya, jika orang yang berpuasa pada saat berbuka tidak mampu menahan nafsu perutnya? Keenam, mengurangi tidur. Banyak orang yang termakan oleh hadits dhaif (lemah) “tidurnya orang berpuasa adalah ibadah”, padahal telah
menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, apabila bulan Ramadhan tiba, beliau melipat alas tidurnya (mengurangi
tidur), mengetatkan sarungnya (yakni
bersungguh-sungguh dalam ibadah), serta mengajak keluarganya berbuat seperti itu pula. (HR. Bukhari-Muslim). Ketujuh, cemas dan harap karena takut kepada Allah. Hendaklah hatinya dalam keadaan ”tergantung” dan “terguncang” antara cemas dan harap karena tidak tahu apakah puasanya diterima dan termasuk golongan yang muqorrobin atau puasanya ditolak sehingga termasuk orang
yang
merugi. Keadaan ini akan menjaga kita dari rasa riya’ dan takbur, merasa kebaikan yang dilakukan diterima oleh Allah SWT, padahal belum tentu demikian. Dengan memiliki sifat ini, kesinambungan (istiqomah) ibadah puasa dan amalan sholih selama Ramadhan akan tetap terjaga. Tingkatan puasa yang terakhir adalah, puasanya orang super khusus, yaitu puasa yang disertai dengan puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga, juga menjaga hati dari selain Allah secara keseluruhan. Puasa ini akan menjadi ”batal” karena pikiran selain Allah (segala pikiran tentang dunia, apapun bentuknya). Ini adalah puasanya para Nabi dan Rasul Allah SWT. Kalau gitu, bagaimana dengan puasa Anda ????? Semoga kita berjaya dalam menghadai ujian ini…Amin Ya Rabbal’alamin Dialih Bahasa dari : www.geocities.com/ustaz_safwan/index1.html