PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Carlos Venansius Homba NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA JULI 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Carlos Venansius Homba NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA JULI 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERSEMBAHAN
Hidup itu mukjizat Sekali pun gunung terlampau tinggi membendung hasrat Kita tetap dapat menaklukkannya dengan mendaki
Karya ini kupersembahkan kepada orangtuaku Albertus Homba dan Florence Bani Saudara terkasihku Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba P. Jack,C.Ss.R. dan P. Rano, C.Ss.R. Serta semua orang yang saya cintai
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO
“Biarlah perkara kemarin menjadi alasan untuk tidak kembali berputus asa”
Kemerdekaan sejati terletak pada pilihan yang sejati pula. Dengan menyerah kepada Tuhan, manusia menjadi merdeka sejati. (Driyarkara, 1966)
Janganlah mengira kita sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai, berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat. (Ir. Soekarno)
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR Saya sungguh yakin bahwa penyelesaian skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci ini atas perkenanan Tuhan yang Mahakuasa. Ia hadir dalam hati semua orang yang selama ini telah mendukung saya dengan berbagai bentuk dan cara masing-masing. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak, skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh karena itu, dari hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. yang telah bersedia menjadi pembimbing I dan memberikan banyak masukan berharga. Penulis menyadari bahwa semangat beliau juga banyak mempengaruhi arah penulisan skripsi ini. 2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah menyempatkan diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan sekaligus merangkap sebagai Dekan Fakultas Sastra yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis. 4. Seluruh jajaran pejabat dan dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, S.E Peni Adji, M.Hum. selaku Kaprodi; Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.; Drs. Hery Antono, M.Hum. sebagai Wakaprodi yang juga telah banyak memberikan dukungan dan sokongan berharga; Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodorus,
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
M.Hum. yang telah memberikan banyak petuah kepada penulis; Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum.; Sony Christian Sudarsono, M.Hum. yang juga turut memberikan semangat kepada penulis. 5. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Sanata Dharma yang telah membantu penulis memperoleh referensi yang dibutuhkan. 6. Kedua orangtuaku, Bapak Albertus Homba dan Ibu Florence Bani yang telah memberikan dukungan doa, motivasi, dan materiil. 7. Kedua kakakku, Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis. 8. P. Jackobus Umbu Warata, C.Ss.R. dan P. Bartolomeus Farano Loja Nedy, C.Ss.R. dan para donatur yang telah memberikan pilihan, motivasi, dan dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis. 9. Teman terbaikku Desy Crissie Radja bersama ibunya Dra. Clara E.M. Talahatu yang secara langsung ataupun tidak langsung telah mendukung dan memberikan banyak kesempatan untuk belajar bersama. 10. Seluruh teman Prodi Sastra Indonesia dan secara khusus Angkatan 2012 dan teman baikku, Roby, Bella, Patrick, Santi, Willy, Venta, Lina, Dorce, Mei, Peng, Novia, Ovi, Reta, Gaby, Silvy, dan Ria Puji Utami. 11. Seluruh keluarga besar Bengkel Sastra yang telah memberikan banyak kesempatan kepada saya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi dan bersastra di luar kelas.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12. Keluarga besar Komuniatas Studi Kebangsaan (KSK) Universitas Sanata Dharma yang telah banyak menyemangati penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Bersama KSK, penulis diberi kesempatan untuk belajar mengenai organisasi, ilmu kepemimpinan, dan kepekaan sosial. 13. Keluarga besar Komunitas Belajar Anak Omah Pohon yang telah memberikan penyadaran kepada penulis akan pentingnya perhatian kepada perkembangan anak melalui pendidikan yang menyenangkan dan kreatif. Penulis menyadari bahwa banyak lagi yang belum sempat disebukan. Semoga semua orang atas jasa baik mereka diberkati oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap kiranya skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi perkembangan pendidikan Sastra Indonesia.
Penulis Carlos Venansius Homba
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka. Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic. Ada empat bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cara menerbitkan petisi dan aksi demonstrasi, 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat, menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri. 3) Perlawanan Humanistik yang dilakukan melalui negosiasi dengan penguasa, 4) Perlawanan Metafisik yang dilaksanakan melalui perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari wahyu tandingan melawan Soeharto. xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramsci’s Hegemony Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata Dharma University. This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1) Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of government with civil society and the role of intellectual as connector between the two entities. The method used in this research is description qualitative method. The data collecting technique are note-reading technique and library research technique . The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second, setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih, Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual. There are four forms of counter-hegemony was found in this research, that are 1) Strong Resistance that done by publish the petition and demonstration, 2) Passive Resistance that done by tapak tilas and tirakat, challenging death, and seeking solace in aboard, 3) Humanistic Resistance that done by negotiations with the authority, 4) Metaphysically Resistance that done by spiritual journey to the objects of shrine to seek match relevation against Soeharto.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi MOTTO ............................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii ABSTRAK ........................................................................................................... xi ABSTRACT ......................................................................................................... xii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1
Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3
Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4
Manfaat Hasil Penelitian ................................................................. 7 1.4.1
Manfaat Teoretis ................................................................. 7
1.4.2
Manfaat Praktis ................................................................... 7
1.5
Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
1.6
Landasan Teori ................................................................................ 12 1.6.1
Analisis Struktural .............................................................. 12
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.6.2
1.6.1.1
Tokoh dan Penokohan .......................................... 13
1.6.1.2
Latar ..................................................................... 18 1.6.1.2.1
Latar Tempat .................................... 19
1.6.1.2.2
Latar Waktu ...................................... 19
Sosiologi Sastra ................................................................... 20 1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci .................................. 21 1.6.2.1.1 Formasi Kaum Intelektual ................... 24 1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni .............................. 30
1.7
1.8
1.9
Metodologi Penelitian ..................................................................... 36 1.7.1
Pendekatan .......................................................................... 36
1.7.2
Metode Penelitian ............................................................... 37
1.7.3
Teknik Penelitian ................................................................ 38 1.7.3.1
Teknik Pengumpulan Data ................................... 38
1.7.3.2
Teknik Analisis Data ............................................ 38
1.7.3.3
Teknik Penyajian Data ......................................... 39
Sumber Data .................................................................................... 39 1.8.1
Sumber Data Primer ............................................................ 39
1.8.2
Sumber Data Sekunder ....................................................... 40
Sistimatika Penyajian ...................................................................... 40
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ........................................................ 42 2.1 Pengantar .......................................................................................... 42 2.2 Tokoh dan Penokohan ...................................................................... 45
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.2.1 Tokoh Utama ....................................................................... 45 2.2.2 Tokoh Tambahan ................................................................. 62 2.3 Latar ................................................................................................. 91 2.3.1 Latar Tempat ........................................................................ 92 2.3.2 Latar Waktu ......................................................................... 117 2.4 Rangkuman ....................................................................................... 121
BAB III FORMASI INTELEKTUAL DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ..................................... 126 3.1 Pengantar .......................................................................................... 126 3.2 Formasi Intelektual ........................................................................... 129 3.2.1 Intelektual Tradisional ............................................................ 129 3.2.2 Intelektual Organik ................................................................. 130 3.2.2.1 Intelektual Hegemonic ............................................. 133 3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemoni ................................ 143 3.3 Rangkuman ....................................................................................... 156
BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ...................................... 158 4.1 Pengantar .......................................................................................... 158 4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni .................................................. 163 4.2.1 Perlawanan Keras ................................................................... 163 4.2.1.1 Menerbitkan Petisi ................................................... 164 4.2.1.2 Aksi Demonstrasi .................................................... 165 4.2.2 Perlawanan Pasif .................................................................... 167
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat ........................................... 168 4.2.2.2 Menantang Maut ...................................................... 169 4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri ....................... 176 4.2.3 Perlawanan Humanistik .......................................................... 178 4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa ..................................... 178 4.2.4 Perlawanan Metafisik ............................................................. 179 4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik ................................. 181 4.3 Rangkuman ....................................................................................... 192
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 196 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 196 5.2 Saran ................................................................................................. 203
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 204
LAMPIRAN ........................................................................................................ 207
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
Diagram Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL.............................................. 124 Tabel 1 Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL ............................ 157 Tabel 2 Rangkuman Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel KdDL .... 195
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-perorang, antar-manusia, dan antar-peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang – yang sering menjadi bahan sastra – adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat (Damono, 1978: 1). Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan (Jabrohim, 2015: 215). Sebagai entitas yang memuat dimensi kehidupan masyarakat, karya sastra bukan hanya sekadar dinikmati. Karya sastra juga dapat diteliti dan dianalisis lebih jauh untuk menemukan gejala-gejala kehidupan masyarakat yang terkadung di dalamnya.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
Kisah mengenai kegelisahan masyarakat pada masa Orde Baru1 selalu layak untuk dilihat kembali. Ada banyak karya sastra (salah satunya novel) yang menggambarkan bentuk pergolakan batin dan perlawanan masyarakat pada rezim ataupun situasi kehidupan yang mengekang kebebasannya sebagai manusia. Kuil di Dasar Laut (selanjutnya disingkat “KdDL”) merupakan novel karya Seno Joko Suyono yang juga membahas persoalan rezim otoriter Orde Baru. Akan tetapi, karya ini tidak membahas secara spesifik seperti apa saja bentuk otoriter yang ditunjukkan oleh rezim dan persoalan sosial politik yang melilit kehidupan masyarakat Indonesia di akhir periode Orde Lama hingga menyongsong Reformasi tersebut. Seno Joko Suyono justru membahas lebih jauh mengenai sosok Soeharto; pimpinan rezim Orde Baru dengan segala kekuatan mistik yang membentenginya. Kekuatan tersebut yang menopang Soeharto selama puluhan tahun berkuasa. Banyak massa dan simpatisan yang sebelumnya mendukung Soeharto, kemudian berbalik melawannya karena kecewa dengan model kepemimpinan Seoharto. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan (1). (1) Pada mulanya mereka mendukung Soeharto, namun kemudian muncul kekecewaan besar terhadap jenderal itu. Mereka menganggap Soeharto salah jalan. Mereka menyesal telah memberikan sokongan moral kepadanya. Bapak-bapak itu adalah orang-orang yang merasa bersalah mendiamkan pengganyanganpengganyangan yang dilakukan Soeharto (Suyono, 2014: 353).
1
Salah satu kritik tajam yang dilontarkan kaum cendekiawan/intelektual terhadap Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto adalah sifat otoritarian dan militeristik yang sangat kuat dan secara berlebihan mengutamakan ketunggalan ideologi daripada kebhinekaan bangsa (Taum, 2015: 163).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
Diskursus politik Orde Baru sebelumnya memang bertahan cukup lama. Masyarakat berada di bawah sebuah kepatuhan buta. Tidak ada perlawanan seolah-olah rezim Orde Baru begitu perkasa. Dalam kasus perlawanan di atas, hegemoni integral (lih. Patria, 1999: 128) yang ditanamkan oleh Soeharto melalui aparat hegemoninya (salah satunya ABRI) tidak dapat berjalan dengan baik. Mulai muncul perlawanan di mana-mana meskipun tidak secara terbuka. Beberapa perlawanan di antaranya justru dipilih lewat jalur metafisik, yaitu dengan melakukan tirakat dan menyiksa diri berpuasa berhari-hari. Judul Kuil di Dasar Laut rupanya memberikan gambaran yang kaya makna sekaligus merujuk pada model perlawanan bawah tanah para anggota paguyuban. Tidak banyak yang tahu mengenai perang tidak kasatmata ini, tetapi cukup menggerogoti emosional Soeharto. Kutipan (2) berikut ini menunjukkan bentuk perlawanan metafisik yang dilakukan oleh salah satu tokoh dalam novel KdDL. (2)
Pak Sewaka semenjak 1996 “bersembunyi” di Solo..tak tahan. Ia keluar dari tempat pelariannya. Petilasan Banglampir adalah bekas tempat bermeditasi KiAgeng Pamanahan. Suryo mendengar ternyata sesampaian Pak Sewaka di sana, sudah banyak peziarah yang tidak dikenal. Mereka duduk mengambil posisi di pojok-pojok tertentu, juga di bangsal Prabayaksa. Mereka memperebutkan tusuk konde (Suyono, 2014: 361-362). Tindakan yang diambil di atas merupakan bentuk yang dalam istilah
Gramsci disebut sebagai strategi alternatif (Patria, 1999: 170). Topik seputar strategi alternatif serupa cukup banyak dinarasikan oleh Seno Joko Suyono disertai dengan data-data yang detail dan mempesona. Model perlawanan seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
di atas memang belum pernah diteliti atau dideskripsikan dalam berbagai karya sastra maupun risalah ilmiah lainnya. KdDL dipilih karena beberapa alasan. Pertama, sebagai novel yang belum lama beredar, masih sedikit yang meneliti KdDL. Sejauh ini, KdDL baru sebatas menjadi bahan resensi sastra oleh beberapa orang seperti Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. dalam kolom resensi Kompas Minggu, edisi 26 April 2015, Is Mujiarso – kontributor portal berita online “detik.com” – dalam kolom seni detik.com terbitan Rabu, 24 Juni 2015, dan beberapa orang lainnya. Dengan demikian, nilai novelty-nya bisa dipertanggungjawabkan. Kedua, peneliti cukup tertarik dengan model pendekatan Hegemoni Gramsci dan KdDL sangat cocok dianalisis dengan menggunakan pendekatan tersebut. Ada sekian banyak persoalan hegemonik yang terajut dalam alur cerita novel KdDL. Persoalan tersebut turut berkembang hingga melahirkan berbagai aksi perlawanan. Aksi perlawanan tersebut muncul oleh karena berbagai alasan. Kutipan (3) berikut menunjukkan salah satu aksi perlawanan masyarakat dalam novel KdDL dengan penyebabnya. (3)
“Tahun 1935 di daerah tambak Merang, Wonogiri, terjadi kerusuhan petani. Petani-petani itu melawan pejabat-pejabat desa karena masalah tanah (Suyono, 2014: 205). Tindakan menantang penguasa sebagaimana digambarkan dalam kutipan
(3) di atas akan menjadi fokus dari penelitian ini. Tindakan tersebut akan diistilahkan dengan sebutan counter-hegemoni. Secara khusus persoalan ini akan dibahas pada bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
Ketiga, KdDL sarat dengan data-data yang detail dan menarik mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni2. Keberadaan data tersebut kemudian menjadi penting bagi peneliti untuk menyimpulkan sebuah hipotesis mengenai bentukbentuk counter-hegemoni dalam suatu klasifikasi tertentu. Keempat, analisis mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni ini kemudian menjadi penting karena turut mengungkap bentuk perlawanan yang sejauh ini tidak banyak diketahui orang. Selama ini, ketika membahas mengenai kejatuhan rezim Orde Baru, pasti masyarakat hanya akan teringat mengenai aksi heroik perlawanan fisik ribuan mahasiswa yang turun ke jalan-jalan. Akan tetapi, ada juga bentuk perlawanan lain yang sebenarnya cukup digelisahkan Soeharto saat itu. Pembahasan penelitian ini dimulai dengan analisis struktur tokoh dan penokohan serta latar, deskripsi formasi intelektual, lalu kemudian bentuk-bentuk counter-hegemoni. Ketiga pokok bahasan di atas tentunya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Penelitian dimulai dengan menemukan struktur tokoh dan penokohan serta latar3 agar dapat menunjukkan secara logis latar belakang pemikiran dan karakter tokoh yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk perlawanan mereka. Data mengenai tokoh dan penokohan juga akan membantu-
2
Untuk menghindari kekeliruan, pada pembahasan selanjutnya akan sering disebutkan frasa (Intelektual) Counter-Hegemonic dan (Bentuk-bentuk) counter-hegemoni. CounterHegemonic merujuk pada kategori intelektual tertentu dan counter-hegemoni merujuk pada gerakan perlawanan. 3
Model penelitian ini merupakan penelitian struktural yang memegang peranan penting untuk membantu pembaca memahami struktur cerita sebuah karya (Nurgiyantoro, 1995: 32).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
peneliti mengklasifikasikan tokoh ke dalam formasi kaum intelektual pada bab III. Selanjutnya, pada bab IV, peneliti akan mendeskripsikan bentuk-bentuk counterhegemoni yang dilakukan oleh kaum intelektual. Penelitian akan diakhiri dengan bab V yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, ditemukan tiga masalah yang perlu dibahas dalam penelitian ini. Masalah tersebut adalah sebagai berikut. 1.2.1
Bagaimanakah struktur cerita dalam novel KdDL?
1.2.2
Bagaimanakah formasi intelektual dalam novel KdDL?
1.2.3
Bagaimanakah bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam novel KdDL?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1.3.1
Mendeskripsikan struktur cerita novel KdDL. Struktur cerita yang dimaksudkan berkenaan dengan tokoh dan penokohan serta latar (tempat dan waktu). Pokok masalah ini akan dibahas pada bab II.
1.3.2
Mendeskripsikan formasi intelektual dalam novel KdDL. Pokok masalah ini akan dibahas pada bab III.
1.3.3
Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam novel KdDL. Hal ini akan dibahas pada bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Hasil dari penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan dan manfaaat praktis adalah menfaat penelitian untuk profesi atau pekerjaan tertentu.
1.4.1 Manfaat Teoretis 1.4.1.1 Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai model pendekatan Hegemoni Antonio Gramsci, khususnya mengenai upaya untuk melahirkan wacana/ideologi tandingan sebagai bentuk perang posisi terhadap kelas dominan yang dalam penelitian ini diwakilkan oleh rezim pemerintahan. Istilah perang posisi tersebut dalam penelitian ini disebut dengan counter-hegemoni. 1.4.1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan masyarakat terhadap rezim Orde Baru sehingga dapat ditumbangkan setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi siapa pun yang berprofesi dalam bidang sastra dan pendidikan untuk mengenal lebih jauh mengenai karya-karya yang memuat persoalan hegemonik. Guru bidang studi ilmu Sejarah juga dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk menambah wawasan bagi para siswa mengenai kehadiran dunia metafisik yang menyokong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
kekuasaan Soeharto dan bentuk-bentuk perlawanan metafisik terhadapnya. Memang di masa post-modernisme sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan mistis sudah dianggap sebagai persoalan yang musyrik. Akan tetapi, paling tidak wawasan ini menjadi penting sebagai sebuah pemahaman sejarah para siswa.
1.5 Tinjauan Pustaka Perbincangan mengenai counter-hegemoni dan persoalan rezim otoriter Soeharto telah banyak dituliskan, baik dalam bentuk risalah ilmiah, maupun karya sastra. Karya-karya tersebut antara lain, Sastra dan Politik (Taum, 2015), Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara (Yody, 2003), Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (Patria, 1999), dan Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Dhakidae, 2003). Buku Sastra dan Politik (2015) merupakan transformasi dari disertasi doktoral Yoseph Yapi Taum yang banyak memberikan perhatian pada persoalan Tragedi 1965 dan representasinya dalam karya-karya sastra, sinematografi, hingga program-program indoktrinasi pemerintah Orde Baru. Secara mendalam, Taum membongkar topik yang banyak dihindari oleh banyak orang pada masa Orde Baru. Uraian-uraian yang dipaparkan cukup lancar dan meyakinkan. Dalam membahas Tragedi 1965 itu, teks-teks yang dianalisis dibagi ke dalam 3 periode. Dalam setiap periode itu, pemerintah Orde Baru memiliki watak yang berbedabeda. Buku inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya sastra bukan merupakan abstraksi dunia alternatif, tetapi terlibat dalam kehidupan konkret masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
Hegemoni Antonio Gramsci menjadi salah satu perspektif yang digunakan oleh Taum. Tiga lokus pemikiran Gramsci, seperti hegemoni, ideologi, dan peranan intelektual banyak dibahas dalam buku ini. Studi ini berfokus pada posisi kaum intelektual dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan mereka. Buku Sosial dan Politik cukup membantu peneliti sebagai salah satu referensi analisis topik permasalahan rezim Orde Baru dengan pendekatan Hegemoni Gramsci. Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara (2003) merupakan sebuah artikel karya Wilfridus P. N. Yody yang dimuat di Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali. Dalam karya ini, Yody menilai proses penyebaran nilai-nilai oleh pemerintah tidak hanya melulu melalui kekerasan, tetapi dapat juga melalui hegemoni negara. Secara ringkas, Yody mengisahkan perjalanan Gramsci dan buah-buah pemikirannya yang mencuat selama perjalanan intelektualnya. Pokok-pokok pemikiran Gramsci yang ikut dibahas, yaitu hegemoni, negara (sebagai masyarakat sipil dan sebagai masyarakat politik), hegemoni negara, peran kaum intelektual, dan perang gerakan serta peran perang posisi. Semua pokok bahasan tersebut berkaitan erat dengan pokok penelitian ini. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (1999) merupakan buku yang cukup banyak membahas mengenai Antonio Gramsci. Dalam kalangan peneliti, karangan ini mengemukakan cetusan gagasan yang radikal dan tajam. Gramsci menjadi tema sentral dalam kaitannya dengan teori Hegemoni. Melalui buku ini, secara baik Patria menjabarkan saran yang diberikan oleh Gramsci bagi kalangan intelektual agar melebur dan mendorong wacana tanding. Buku ini menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
penting untuk menentukan di pihak mana tokoh dan ideologi apa yang mereka perjuangkan. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) merupakan buku serius yang banyak membicarakan cendekiawan Indonesia dalam hubungannya dengan Orde Baru. Kata cendekiawan ini merupakan istilah yang dipakai oleh Daniel Dhakidae yang juga merujuk pada istilah intelektual. Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai relasi cendekiwan dengan kekuasaan Orde baru, Dhakidae memulai bukunya dengan menyoal pendefenisian istilah cendekiawan tersebut. Setiap orang dapat saja menyebut dirinya sebagai intelektual, tetapi semua akan kembali pada penilaian masyarakat atas peran dan sumbangsinya
terhadap
kehidupan
masyarakat
luas.
Pada
pembahasan
selanjutnya, Dhakidae membahas cukup rinci berbagai strategi politik Orde Baru dan kekuatan-kekuatan yang bermain di belakangnya. Dengan data-data yang cukup lengkap, semua hal diungkapkan dengan pertimbangan akademis yang sangat matang. Novel KdDL menjadi salah satu karya yang turut mengangkat persoalan rezim Orde baru. Namun, persoalan yang diangkat bukan semata-mata berkenaan dengan bentuk-bentuk kekerasan dan penindasan yang dilakukan rezim penguasa. Novel KdDL menyinggung lebih jauh mengenai aktor utama dari kaos yang terjadi di masa Orde Baru tersebut. Dengan tokoh sentral seperti Jeanne dan Suryo, KdDL mengungkapkan banyak hal mengenai lingkar spiritual Soeharto beserta orang-orang di belakangnya, perlawanan yang dilakukan paguyuban spiritual Jawa, hingga kemegahan candi-candi di Kamboja, Laos, dan Vietnam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
Secara mendalam, KdDL mengeksplorasi berbagai perjalanan perlawanan orang-orang yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto. Mereka muncul sebagai gerakan yang berani menantang dengan berbagai cara. Sekian karya di atas membahas mengenai polemik selama kekuasaan Orde Baru berlangsung. Pendekatan Hegemoni Gramsci yang dikerucutkan pada topik seputar hegemoni, negara, dan peranan intelektual, berbagai gejala yang memicu perlawanan
hingga
bentuk-bentuk
perlawanan
(counter-hegemoni)
yang
dilakukan oleh kaum intelektual, baik melalui perlawanan keras, pasif, maupun humanis. Namun, novel KdDL membahas sisi lain kehidupan Soeharto dan bentuk perlawanan yang berbeda atasnya. Perlawanan tersebut ialah perlawanan kebatinan. Itulah sebabnya dalam penelitian ini kemudian muncul istilah metafisik. Perlawanan tersebut bukanlah melalui perlawanan fisik yang kasatmata, tetapi perlawanan tidak kasatmata yang hanya dimengerti dan dilihat oleh orangorang aliran kebatinan. Selain itu, dalam novel KdDL juga ada bentuk counter-hegemoni lainnya. Model counter-hegemoni tersebut bukanlah perlawanan politis yang secara jelas menampilkan kontradiksi yang khas bahwa ada yang menyerang dan ada yang diserang. Perlawanan tersebut berbentuk sebuah “pelarian diri” dari berbagai kondisi yang menekan dengan mencari ketenangan di luar negeri, sebagaimana dilakukan oleh Suryo dan Jeanne. Mereka berlari dari dampak aksi perlawanan mereka yang sebenarnya secara periodik tidak lagi berdampak pada mereka. Perlawanan terdahulu dilakukan selama masa kekuasaan Soeharto. Dampak dari perlawanan tersebut - berupa teluh - masih mengejar mereka meskipun telah 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
tahun Reformasi berlangsung. Dengan berada di luar negeri, Jeanne dan Suryo yakin bisa terhindar dari teluh tersebut, meskipun sebenarnya tidak. Mereka masih tetap melawan.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Analisis Struktural Pada tahap awal, penelitian ini menggunakan model objektif yang memberi perhatian khusus kepada karya sastra sebagai sebuah struktur. Metode ini menjadi penting karena sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai koherensi intrinsik; dalam keseluruhan itu; setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks: lingkaran hermeneutik (Teeuw dalam Sukada, 1987: 25). Untuk mengenal dan menganalisis karya sastra, maka pendekatan ini menjadi penting agar peneliti dapat memahami secara komprehensif “bangunan” karya sastra yang diteliti. Salah satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktur adalah adanya anggapan bahwa dalam dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo, dkk dalam Jabrohim, 2015: 69). Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri, kecuali dalam hubungannya dengan anasir lain sesuai dengan posisinya dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur merupakan sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah anasir yang di antaranya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141). Dalam lingkup karya fiksi, Stanton mengungkapkan dalam Jabrohim (2015: 72) perihal deskripsi unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas tokoh, alur, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas. Dalam studi ini, peneliti hanya membatasi struktur penceritaan pada tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan pertama, peneliti berupaya untuk melakukan studi yang efisien dan efektif maka perlu ada batasanbatasan yang tegas dari peneliti sesuai kebutuhan studi. Kedua, tokoh, latar tempat dan waktu yang terdapat dalam penelitian ini terbilang cukup kompleks sehingga perlu untuk dipilah dan disederhanakan. Ketiga, hasil dari analisis tokoh dan penokohan tersebut membantu peneliti untuk merumuskan formasi intelektual yang kemudian terlibat dalam counter-hegemoni. Kemudian latar tempat dan waktu melengkapi konteks perlawanan itu terjadi.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis sama atau paling tidak dalam konteks ini akan digunakan pengertian yang berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita dan atau “teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 164-166). Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi – karakterisasi juga sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan - menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (ibid., 165). Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian berbeda, yaitu sebagai tokohtokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 165). Dengan demikian, character dapat berarti „pelaku cerita‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟. Antara seorang tokoh dan perwatakan yang dimilikinya memang merupakan sebuah kepaduan yang utuh (ibid., 165).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (1981: 20) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Berkaitan dengan kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgoyantoro, 1995: 165-166). Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian dikotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek, yaitu isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak begitu penting selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh(-tokoh) tersebut (Jones dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
Nurgiyantoro, 1995: 167) atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokohtokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya (ibid.,167). Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno dalam novel KdDL sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1995: 198-211) ialah teknik dramatik. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata, maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Berhubungan dengan sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi tergolong sebagai tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri. Penampilan tokoh dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Mungkin sekali ada satu dua teknik yang lebih sering digunakan daripada teknikteknik yang lain tergantung pada selera atau kesukaan masing-masing pengarang. Tentu saja hal itu terlepas dari tujuan estetis dan keutuhan cerita secara keseluruhan. Berbagai teknik tersebut, yaitu melalui teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang mana itu dilakukan. Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, seperti tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan terakhir tokoh statis dan tokoh berkembang (ibid., 176-194). Pada studi ini, digunakan pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan saja. Pemilihan pembedaan tokoh tersebut digunakan karena dalam KdDL terdapat banyak sekali tokoh yang terlibat. Akan tetapi, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat cerita dan sekaligus penggerak alur cerita secara keseluruhan.
1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (ibid., 176-177). Oleh karena tokoh utama selalu disebutkan dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia/mereka sangat menentukan perkembangan alur. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari satu orang (ibid., 177). Di samping itu, tokoh tambahan hanya merupakan pelengkap dari suatu cerita. Tokoh tambahan selalu berada di sekitar tokoh utama. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
memang) tambahan. Peneliti hanya menggunakan dua kategori besar, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam studi ini, penelitian hanya dibatasi pada tokohtokoh yang terlibat pada kegiatan counter-hegemoni maupun tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar kepada tokoh utama. Pembatasan ini dilakukan dengan maksud untuk membatasi kompleksitas tokoh dan penokohan dalam novel KdDL.
1.6.1.2 Latar Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (ibid.,227). Dalam studi ini, peneliti membatasi pada latar tempat dan waktu saja dengan alasan yang telah disebutkan pada butir 6.1 tentang analisis struktural. Selain itu, latar sosial tidak diteliti secara terpisah karena dalam studi ini, diupayakan untuk sekaligus dibahas pada analisis latar tempat. Gambaran mengenai latar sosial juga akan ditambahkan dalam pembahasan bab IV. Tempat dan waktu yang dianalisis pun dibatasi pada lokasi dan waktu terjadinya counterhegemoni guna membatasi dan mengefisiensikan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
1.6.1.2.1 Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (ibid., 227). Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Dari sekian banyak tempat yang disebutkan, tentu saja tidak semuanya fungsional dan sama pentingnya (ibid., 229).
1.6.1.2.2 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (ibid., 230). Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, yaitu sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus sesuai dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi, dapat menyebabkan cerita menjadi tidak wajar, tidak masuk akal, dan pembaca akan merasa dibohongi. Hal inilah yang dikenal dalam karya fiksi sebagai anakronisme, tidak cocok dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
urutan (perkembangan) waktu (sejarah). Dengan demikian, anakronisme lebih menyaran pada hal-hal yang bersifat negatif (ibid., 231).
1.6.2
Sosiologi Sastra Pragmatika adalah studi sastra yang menekankan aspek manfaat. Sastra
ditulis tentu ada manfaatnya. Sastra dilisankan, ada manfaatnya bagi audien. Begitu pula sosiologi sebagai ilmu bantu sastra, sering berupaya memanfaatkan sastra secara sosial. Sosiologi Sastra merupakan wilayah studi sastra yang menekankan aspek-aspek pragmatik sosial sastra. Aspek pragmatik itu perlu ditafsirkan, hingga memperoleh makna yang hakiki (Endraswara, 2013: 1). Esensi Sosiologi Sastra sebenarnya terletak pada sebuah cara pandang bahwa karya sastra merupakan produk sosial budaya dan bukan hanya hasil dari dari estetika semata. Ruang sosial selalu ada kaitannya dengan sejarah. Sejarah terjadinya apa saja, menjadi ruang penting dalam sastra. Ruang dan sejarah hanya ada dalam kesadaran yang dibangkitkan oleh permainan estetika. Seperti banyak bidang Sosiologi Sastra memiliki perbedaan dengan sejarah. Namun, keduanya saling membutuhkan (Endraswara, 2013: 28). Tekanan sosial dan politik yang terjadi di dalam masyarakat dapat menjadi bahan bagi sastrawan. Bahan tanggapan evaluatif merupakan sumber utama penciptaan karya sastra adalah tentu saja menyangkut berbagai masalah politik. Dalam skala besar, perubahan yang terjadi selama di antara budaya. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti pada masa Orde Baru hingga Reformasi telah menimbulkan masalah yang kemudian ditanggapi dan dievaluasi oleh pengarang. Masing-masing zaman mengalami perubahan sosial yang khas dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
mendapat tanggapan dan penelitian yang khas pula. Penelitian jenis ini memerlukan data yang tidak hanya dari buku yang merupakan sumber utama, tetapi juga informasi mengenai perubahan sosial yang ada pada zaman itu – yang perlu diintegrasikan dalam analisis. Untuk melihat fenomena yang terjadi pada zaman dalam konteks novel KdDL, peneliti menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci untuk menganalisis bebagai gejala zaman yang terjadi semasa Orde Baru, khususnya mengenai peran kekuasaan pemerintahan Soeharto dan dampak perlawanan atas kekuasaannya.
1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci Secara etimologi kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani “egemonia” atau “egemon”, yang berarti „pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang berhubungan dengan konteks kenegaraan (Yody, 2003: 111). Berdasarkan Mish (1993:538), kata “hegemoni‟ didefinisikan sebagai „preponderant influence or authority over others’. Dalam bahasa Indonesia, defenisi tersebut dapat dimaknai bahwa hegemoni merupakan sebuah kebijaksanaan atau pengaruh besar yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu terhadap seseorang atau kelompok lain. Akar pemikiran Hegemoni menurut Gramsci sebenarnya diambil secara dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto dan beberapa bagian lainnya diambil dari Lenin (Patria, 1999: 119). Konsepsi yang diambil tersebut berkaitan dengan kekuatan (force) dan persetujuan (consent). Selanjutnya, Gramsci mengatakan bahwa kelas sosial akan mendapatkan supremasi melalui dua cara, yaitu melalui dominasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
melalui peran kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini yang kemudian disebut sebagai hegemoni. Hegemoni yang dikembangkan Gramsci tidak sebatas pada bidang politik. Hegemoni menyangkut persoalan ideologi dan kebudayaan. Hegemoni sebagai konsep yang dikembangkan oleh Gramsci menggambarkan bahwa dominasi suatu kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek ideologipolitis. Meskipun paksaan politis selalu berperan, tetapi ideologi lebih signifikan mendapatkan persetujuan secara sadar dari kelas subordinat (Abercrombie dalam Kurniawan, 2012: 72). Namun demikian, persetujuan sadar ini lebih penting dalam suatu pemerintahan. Hegemoni inilah yang menjadikan kekuasaan suatu kelas terhadap kelas lainnya bisa berlangsung. Di sini, Gramsci lebih condong mengembangkan model dominasi kekerasan, seperti yang dikemukakan oleh Marx dan Lenin tentang kesadaran kelas sebagai basis revolusi kelas proletar terhadap kekuasaan pemerintahan yang dipimpin oleh kaum borjuis (Kurniawan, 2012: 72). Kesadaran kelas proletariat di atas sebenarnya menjadi titik awal pemikiran hegemoni Gramsci yang mempertanyakan ramalan Marx-Engels. Dalam Thucer, (1978:483) sebagaimana dikutip oleh Gramsci (Patria, 1999: 114) menyebutkan ramalan tersebut. (4)
Kemajuan industri yang secara tidak langsung dimotori oleh borjuis menggantikan isolasi kelas pekerja, karena kompetisi, serta kombinasi revolusionernya, karena perkumpulannya. Perkembangan industri modern, oleh sebab itu, menggeser kedudukan dasar-dasar berproduksi borjuis dan dasar-dasar kepemilikan produknya. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh borjuis adalah menjadi penggali liang kuburnya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
Kejatuhan borjuis dan kemenangan proletar adalah hal yang sama sekali tidak bisa dihindari. Akan tetapi, dalam kondisi masyarakat Gramsci waktu itu - mayoritas berprofesi sebagai buruh tidak muncul adanya indikasi revolusi. Mereka justru dengan tenang menerima dominasi kaum borjuis. Ia mempertanyakan bagaimana kaum borjuis mampu mempertahankan dan mengontrol dominasinya atas kaum proletar waktu itu. Pada akhirnya, Gramsci menyadari bahwa kaum pemilik modal saat itu menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara hegemoni. Hegemoni menjadi asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan mendefenisikan realitas bagi mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Karena kaum borjuis yang menguasai basis ekonomi dan menetapkan elemenelemen suprastruktur seperti musik, sastra, seni, dan sebagainya, maka mereka mendapat dukungan spontan dari kelas pekerja (Taum, 2015: 37). Kaum proletar akhirnya tidak lagi menyadari bentuk-bentuk kekuasaan yang meliputi kehidupan mereka. Segala kebijakan dan sikap pemilik modal diterima sebagai common sense. Titik tolak pemikiran Gramsci yang digunakan sebagai sebuah analisis sebenarnya
bertolak
dari
adanya
niat
untuk
menantang
hegemoni
negara/penguasa. Dalam studi ini, penelitian dipusatkan pada berbagai upaya yang digunakan oleh kaum intelektual untuk membangun kesadaran kritis masyarakat atas dasar ketidakpuasannya terhadap penguasa. Kesadaran kritis tersebut yang menggerakkan perlawanan-perlawanan (counter) terhadap hegemoni kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
Dalam
penelitian
ini,
bentuk-bentuk
counter-hegemoni
tersebut
akan
diklasifikasikan sesuai dengan yang terdapat dalam novel KdDL.
1.6.2.1.1 Formasi Intelektual Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke IV, kata “formasi” mengandung pengertian „susunan (pegawai, pengurus, kabinet, pesawat terbang, dsb)‟ (Sugono, 2008: 396). Sedangkan kata “intelektual” mengandung arti „(a) cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, (b) (yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan, (c) totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman‟ (Sugono, 2008: 541). Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka “formasi intelektual” dapat diartikan sebagai suatu susunan atau struktur orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran yang jernih atas ilmu pengetahuan. Diskursus mengenai formasi intelektual menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep pemikiran Gramsci. Prison Notebooks yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Catatan-catatan Penjara Antonio Gramsci (Utomo, 2013) membahas secara khusus formasi intelektual di bagian awal buku tersebut. Gramsci memang tidak mendefenisikan secara khusus mengenai formasi intelektual. Akan tetapi, ia menjabarkan bagaimana kemudian intelektual-intelektual terbagi ke dalam dua kategori intelektual berdasarkan hubungan seorang intelektual dengan kelompok sosial tertentu. Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Ketika membagi formasi intelektual, Gramsci menyadari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
bahwa gagasannya ini akan berhadapan dengan bahaya skematisasi dan kebutuhan akan analisis historis yang konkret (Patria, 1999: 159). Formasi intelektual kemudian menjadi sedikit kompleks karena kata “intelektual” sendiri memiliki makna yang cukup luas untuk dijelaskan dalam sebuah defenisi yang sederhana. Menurut Gramsci, semua manusia adalah intelektual, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa: namun tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual (Utomo, 2003: 12-13). Permasalahannya ialah seperti apa batasan-batasan yang jelas sehingga seorang masyarakat dikatakan sebagai intelektual, dan indikator apa yang menunjukkan bahwa seorang masyarakat telah menjalankan fungsi intelektualnya. Kesulitan memaknai intelektual juga dipersoalkan oleh Dhakidae (ia mengistilahkan intelektual dengan kata cendikiawan). Untuk memisahkan cendekiawan dengan bukan cendekiawan demikian cairnya sehingga menorehkan garis pemisah yang mustahil, bagaikan menggores garis di atas air yang mengalir. Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menghidupkan khayalan
tentang dirinya sebagai
dengan sendirinya
bagian dari kaum cerdik-
cendekia (Dhakidae, 2003: 1). Namun, tidak semua cendekiawan adalah lulusan universitas atau sebuah lembaga pendidikan tertentu4. 4
Sharif Shaary, dramawan terkenal Malaysia pernah mengungkapkan sebagaimana dikutip dari Wikipedia (dikutip pada 22 Juni 2016 ) bahwa "Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
Kesulitan pemisahan tersebut rupanya tidak melulu berakhir pada sebuah kebuntuhan. Dhakidae menyebutkan bahwa sebenarnya pemaknaan mengenai kecendekiaan seseorang berkenaan dengan suatu pola hubungan. Seorang cendekiawan ditentukan oleh suatu subjektivitas yang keras terutama dalam persepsi yang baik tentangnya, tetapi juga persepsi tersebut mendapatkan pengaruh dari posisi seseorang dalam medan sosial (Social Field). Seorang cendekiawan harus terlibat dalam sebuah diskursus publik. Kesepian dari seorang mistikus di puncak Gunung Merbabu tidak serta-merta memasukkannya ke dalam sebuah komunitas kaum cendekiawan sampai dia turun gunung dan melibatkan dirinya dalam diskursus publik. Keterlibatannya dalam mengolah modal sosial, modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model ekonomis memegang peran menentukan. Gramsci juga memberi batasan yang jelas berkaitan dengan pemaknaan atas kata intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tidak dalam pengertian yang biasa, melainkan suatu strata sosial yang menyeluruh menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian luas – entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Mereka meliputi kelompok-kelompok, misalnya dari pegawai junior dalam ketentaraan sampai pegawai yang lebih tinggi (Faruk, 2010: 150).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
Dalam
pengertian
Gramsci,
konteks
intelektual
berbeda
dengan
pemahaman intelektual yang dianut oleh filsuf-filsuf idealis5. Gramsci berpendapat bahwa intelektual berbeda dan muncul dari luar hubungan-hubungan produksi. Intelektual terlepas dari pemahaman yang melulu berdasarkan penafsiran ekonomistik dari realitas atas peran politik dari kaum intelektual. Mereka juga hadir dalam bidang sosial politik. Intelektualitas menurut Gramsci tidak selalu mengacu pada aktivitas berpikir. Istilah ini lebih merujuk pada sebuah defenisi yang lebih luas, yakni mencakup mereka yang memiliki kemampuan teknis atau mereka yang menjalankan kuasa dalam masyarakat. Istilah „organik‟ menurut Gramsci, sebenarnya mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan kemampuan kelas tertentu. Oleh karena itu, formasi intelektual berkenaan dengan pembagian intelektual ke dalam kategori intelektual berdasarkan indikator tertentu. Menurut Gramci, intelektual yang dimaksud bukan saja mereka terdidik dan mengacu pada aktivitas berpikir melulu. Namun, mereka juga memiliki kemampuan tertentu dan menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Dhakidae kemudian menambahkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai seorang intelektual apabila ia telah memiliki pola hubungan dalam suatu medan-
5
Patria (199: 155-156) menyebutkan beberapa filsuf-filsuf idealis yang masih berpegang teguh pada konsep mistifikasi pengerian intelektual. Mis, Croce hanya melanjutkan pendapat dalam jalur tradisi Plato yang memaknai intelektual bertanggung jawab untuk menghadirkan jenis baru dari “Negara Aristokrat”. Intelektual – dalam hal ini filsufharus berperan penuh untuk menegakkan moral atas individu-individu kelompok intelektualnya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
sosial. Menurut Gramsci, pola hubungan yang dibangun oleh para intelektual tidak melulu berdasarkan pernafsiran ekonomistik sebagaimana pemahaman gerakan sosialis. Bagaimana pun terlibatnya mereka dalam dunia produksi, hubungan mereka tidak seperti kelas kapitalis dan proletar, selalu ditunjukkan ada yang lebih besar atau kecil keterlibatannya. Dalam dunia superstruktur, kaum intelektual menampilkan fungsi “organisasional dan konektif” baik di dalam wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat politik atau negera (Gramsci dalam Patria, 1999: 157-158).
A. Intelektual Tradisional Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria: 163). Golongan ini merasa sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan kualifikasi khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai kelompok otonomis dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11). Golongan ini meliputi senua orang yang menunjukkan aktivitas intelektualnya. Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah rohaniwan, pengacara, notaris, dan dokter. Kelompok ini melakukan gerakan terbatas pada lingkungan kaum buruh dan borjuis kota yang kecil dan belum masuk kapitalisme. Di dunia modern, edukasi teknologis yang bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang paling primitif dan tak terkualifikasi harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual. Melihat posisinya yang demikian, menurut Gramsci, tugas intelektual tradisional segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas revolusioner. Kaum intelektual ini harus secara organis menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
bagian dari kelas buruh mengingat mereka memiliki kualifikasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menantang ideologi penguasa.
B. Intelektual Organik Intelektual Organik adalah intelektual yang berasal dari kelas borjuis ataupun kelas proletar. Mereka terbentuk secara organis dan berpenetrasi sampai ke massa. Mereka memberikan sebuah pandangan yang menghubungkan antara kelas atas (borjuis/penguasa) dan kelas bawah (proletar/masyarakat) (Patria, 1999: 163). Intelektual Organik yang dimaksudkan Gramsci adalah kaum intelektual kelas buruh atau kelas pekerja yang disebut dengan nama kaum intelektual “elit”. Kelompok ini memiliki bekal pendidikan dan ketrampilan khusus yang berhubungan dengan fungsi mereka dalam masyarakat, yakni sebagai pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Aktivitas intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori politik, maupun teori ekonomi sebagai sebuah pandangan dunia yang koheren untuk mencapai hegemoni tandingan dengan penguasa. Dalam kelompok intelektual organik, Taum (2015: 40) menambahkan dua istilah kelompok intelektual berkaitan dengan fungsi dan relasinya. Pertama, Intelektual Hegemonic. Kaum intelektual yang pertama ini bertanggung jawab untuk menjamin padangan dunia massa konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme yang telah diterima oleh semua kelas masyarakat. Kedua, Intelektual CounterHegemonic. Kategori yang kedua ini bertanggung jawab memisahkan massa dari kapitalisme dan membangun pandangan dunia sesuai perspektif sosialis. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada kaum Intelektual CounterHegemonic.
1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni Berdasarkan Mish (993: 264), kata “counter” didefenisikan sebagai „to act in opposition: in a opposite: opposite direction.’ Apabila dimaknai dalam bahasa Indonesia, kata counter mengandung pengertian tindakan untuk berseberangan: dalam posisi berseberangan: atau perintah yang berseberangan. Oleh karena itu, apabila disandingkan dengan kata hegemoni, maka counter-hegemoni dapat diartikan sebagai perlawan terhadap hegemoni. Dalam tulisan Gramsci mengenai hegemoni, tidak disebutkan secara jelas seperti apa bentuk-bentuk counter-hegemoni. Bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat di dalam penelitian ini berlandaskan pada beberapa literatur yang juga menggunakan perspektif Antonio Gramsci. Perspektif tersebut menjadi titik tolak peneliti untuk menggali lebih jauh perihal bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam KdDL. Pada periode tertentu, Gramsci mengatakan bahwa dapat terjadi krisis atas hegemoni. Ketika banyak solusi kekerasan dipakai sebagai alat kekuasaan Orde Baru untuk menjaga hegemoninya sebagaimana dipraktekkan dalam kasus Santa Cruz. Kondisi ini disebutkan oleh Gramsci dengan istilah “krisis hegemoni”. Dalam kondisi demikian, pemegang kekuasaan akan merespon ini dengan berbagai cara, dengan tujuan agar tetap menjaga kekuasaanya melalui aparatus hegemoni. Kegagalan dalam hal ini akan memacu aktivitas revolusioner yang meluas. Novel KdDL tidak menyebutkan secara jelas apa yang mengakibatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
anggota Paguyuban Anggoro Kasih kemudian melakukan aktivitas perlawanan kepada Soeharto. Mereka hanya digambarkan sebagai orang tua pensiunan yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto dan kemudian berniat untuk menjatuhkannya dari kursi kekuasaan. Pada akhirnya, mereka pun melakukan sebuah tindakan counter-hegemoni. Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan perjuangan menentang kelas dominan (counter-hegemoni) (Patria, 1999: 167). Agar revolusi terwujud maka masyarakat seharusnya bertindak. Sebelum mereka bertindak, mereka harus mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan mereka dalam suatu sistem yang sedang dijalani. Gramsci mengakui arti penting faktor struktural, khususnya ekonomi, tetapi ia tidak percaya hanya faktor-faktor inilah yang mengakibatkan masyarakat melakukan perlawanan. Gramsci mengatakan perlu ada ide revolusioner yang mampu menggerakkan massa. Ide revolusioner ini tidak hanya muncul dari masyarakat, tetapi harus ada yang mengembangkan dan menyebarkannya. Inilah peran yang diemban oleh kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya berada di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Dengan berlatarbelakangkan konteks kepribadian, latar, dan motivasi tokoh, memungkinkan counter-hegemoni termanifestasikan ke dalam beragam bentuk. Masing-masing bentuk tersebut muncul dari kesadaran para tokoh perlawanan terhadap kekuasaan dan dominasi yang mereka hadapi. Kesadaran tersebut digerakkan dan dilakukan oleh kaum Intelektual Counter-Hegemonic
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
untuk menemukan tujuan dan motivasi masyarakat yang terhegemoni. Berikut ini merupakan penjelasan dari bentuk-bentuk counter-hegemoni.
A. Perlawanan Keras Perlawanan keras merupakan perlawanan „berhadap-hadapan‟ dengan kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan yang paling keras antara lain dengan mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟ yang berlaku pada waktu itu (Taum, 2015: 98). Contoh perlawanan keras dapat dilihat dalam contoh (3) di atas. Secara fisik, para petani melakukan perlawanan secara berhadap-hadapan dengan pejabat-pejabat desa. Perlawanan tersebut sampai terjadi karena masalah tanah. Petani-petani tersebut masuk dalam gerakan komunis yang menantang.
B. Perlawanan Pasif Perlawanan pasif merupakan perlawanan dengan cara tidak melaksanakan kehendak mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri sebagai bentuk protes tehadap kekuasaan dan mainstream itu (Taum, 2015: 102). Berikut contoh bentuk perlawanan pasif dalam novel KdDL dalam kutipan (5). (5)
“Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup harum bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negara ini, saya bersedia menunaikan misi ini. Saya bersedia menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apapun (Suyono, 2014: 288).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
Dalam kutipan di atas, Pak Darsono bersama Pak Djayeng bersedia untuk melawan ketakutan mereka sendiri terhadap bahaya yang akan dihadapi. Mereka tidak peduli dengan resiko tersapu gelombang besar, atau pun ditelan pusaran air. Mereka mengorbankan diri untuk disiksa oleh ketakutan mereka sendiri dan bahaya yang mungkin akan menimpa mereka. Hal tersebut diambil demi kebaikan banyak
orang.
Dipercaya
bunga
tersebut
memiliki
kekuatan
untuk
mempertahankan kekuasaan siapa pun, termasuk Soeharto. Oleh karena itu, mereka mengambil
keputusan
yang
berat
agar jangan sampai
bunga
wijayakusuma jatuh di tangan orang suruhan Soeharto.
C. Perlawanan Humanistik Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan tindakan mainstream sudah dipandang tepat (Taum, 2015: 104). Berikut ini contoh perlawanan humanis yang dilakukan oleh Romo Dijat terhadap Soeharto dalam kutipan (6). (6)
Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun 1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh leluhur bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara roh itu. Ia memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya menjadi presiden lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar bersiarah dari petilasan ke petilasan leluhur lain untuk meminta restu. Bila perlu, sampai leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,” kata Pak Sungkono, diikuti anggukan dari rombongan Yogya (Suyono, 2014: 235). Romo Dijat sebenarnya merupakan salah satu orang kepercayaan
Soeharto. Ialah yang membantu Soeharto dalam banyak hal yang berkaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
dengan spiritual. Akan tetapi, dalam konteks ini, Romo Dijat telah melakukan sebuah perlawanan terhadap Soeharto dengan cara meminta Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kepemimpinannya. Tindakan Romo Dijat tersebut dikatakan sebagai sebuah perlawanan karena menentang keinginan Soeharto yang masih ingin menduduki kursi pemerintahan. Memang dalam perlawanan tersebut, pada akhirnya Romo Dijat kalah karena tetap mengikuti keinginan Soeharto, tetapi paling tidak telah ada sebuah pertentangan yang terjadi antara keinginan Romo Dijat dan Soeharto.
D. Perlawanan Metafisik Landasan pemikiran dari perlawanan spiritual sebenarnya bertolak dari konsep metafisika. Pada mulanya metafisika hanya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari asal atau hakekat objek di dunia. Cabang utama metafisika adalah ontologi – studi mengenai kategorisasi benda-benda alam dan hubungan antara satu dengan lainnya (Bagus, 1991: 28). Penggunaan istilah metafisika telah berkembang untuk merujuk pada hal-hal yang berada di luar fisik. Salah satu tafsiran dalam metafisika berkenaan dengan hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal yang lebih kuasa dari alam nyata (Metafisik dalam Wikipedia, 18 April 2016). Konsep mengenai metafisika dalam hubungannya dengan dunia kebatinan juga ditambahkan oleh Clifford Geertz. Ia mengatakan bahwa mistik kebatinan yang berkembang di Jawa adalah metafisika terapan, serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin yang didasarkan pada analisis intelektual atau pengalaman. Meskipun setiap orang atau sekte mempunyai posisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
yang agak berbeda dari analisis yang sama, tidak satu pun yang mempersoalkan premis-premis dasar dari analisis itu (lih. Susetya, 2007: 35). Pada periode Orde Baru khususnya dalam rentang waktu 1981-1998, kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berbicara sangat dibatasi. Berbagai tindakan represif yang melanggar HAM semakin banyak terjadi, kebebasan pers semakin dibatasi, penangkapan dan penghilangan para aktivis dan kaum intelektual semakin banyak dilakukan (Taum, 2015: 163). Tidak ada perlawanan fisik yang terjadi karena banyak orang yang takut diburu oleh para penembak misterius. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi berbagai perlawanan alternatif yang tidak banyak orang lakukan. Perlawanan tersebut ialah perlawanan melalui jalur metafisik seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Anggor Kasih. Aktivitas paguyuban ini memang berlangsung di rentang waktu tahun 1981-1998. Berikut ini merupakan contoh perlawanan metafisik yang terdapat dalam kutipan (7). (7)
Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Mahapahit yang dipercayainya belum turun. Wahyu itu satu-satunya kekuatan yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto (Suyono, 2014: 208). Perlawanan metafisik di atas dilakukan oleh Sawito, orang yang paling
ditakuti oleh Soeharto. Bentuk perlawanan di atas memang tidak termasuk dalam kategori perlawanan keras, pasif, maupun humanis, melainkan perlawanan yang dilakukan melalui jalan metafisik. Sawito mempercayai bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menentang lapisan spiritual Soeharto ialah dengan mendapat wahyu penerus Mahapahit. Siapa pun yang dipercayakan menjadi penerus Majapahit, dipercaya memiliki kekuasaan spiritual yang besar untuk menentang Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
1.7
Metodologi Penelitian Metodologi penelitian mencakup pendekatan, metode, dan teknik
penelitian.
1.7.1
Pendekatan Pendekatan merupakan cara-cara menghadapi objek yang dikaji (Ratna,
2004: 53). Studi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Studi ini akan dimulai dengan analisis stuktural terlebih dahulu. Pendekatan struktural dilakukan untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar-unsur intrinsik fisik yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1995: 37). Dalam studi ini, kajian dengan pendekatan struktural dibatasi pada kajian tentang tokoh dan penokohan serta latar tempat dan latar waktu saja. Pendekatan Sosiologi Sastra ini dilakukan untuk melihat posisi karya sastra di tengah masyarakat. Teori yang dipakai untuk ini ialah Hegemoni Antonio Gramsci merupakan pendekatan yang menelaah mengenai sejauh mana pemegang kekuasaan/kelas dominan menjalankan pengaruhnya terhadap kelas di bawahnya. Pengaruh tersebut secara spontan diterima oleh kelas bawah karena sisi kesadaran dan ideologi mereka telah dikuasai oleh nilai-nilai kelas penguasa melalui kaum intelektualnya. Kaum intelektual di sini berperan sebagai penghubung antara kelas penguasa dengan kelas di bawahnya untuk membahasakan dengan cara-cara yang bisa diterima kelas bawah tentang semua kehendak dan keyakinan kelas penguasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
Dalam studi ini, peneliti melihat gejala yang timbul setelah hegemoni kelas penguasa tersebut mengalami sebuah krisis. Kondisi ini memicu kesadaran baru orang-orang yang sebelumnya tunduk di bawah pengaruh hegemoni kelas penguasa
untuk
kemudian
menciptakan
sebuah
wacana
tandingan.
Memperjuangkan wacana tandingan berarti melakukan sebuah counter atas hegemoni yang sedang berlangsung. Terjadi sebuah perang posisi yang kemudian menentukan apakah kelas penguasa tersebut kemudian tumbang atau pelaksana counter-hegemoni yang takluk dalam perjuagannya. Bentuk-bentuk counterhegemoni itulah yang menjadi fokus studi ini.
1.7.2
Metode Penelitian Metode penelitian sastra adalah sebuah metode yang dipilih oleh peneliti
untuk membantu memudahkan jalannya penelitian dengan memperhatikan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian (Endraswara, 2006: 08). Sesuai dengan model pendekatan di atas, metode studi ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif adalah metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi yang dikaitkan dengan hakikat penafsiran. Metode yang memberi perhatian terhadap data ilmiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, akan dilibatkan keberadaan pengarang, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2004: 46-47).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
1.7.3 Teknik Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, (iii) dan penyajian hasil analisis data. Berikut ini akan diuraikan masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.3 .1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan proses pengambilan data, sehingga data yang banyak diambil mampu mewakili subjek penelitian dan memudahkan proses analisis pada sebuah penelitian (Endraswara, 2003: 8). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu teknik baca dan teknik studi pustaka. Teknik baca catat digunakan oleh peneliti untuk membaca isi novel KdDL dan semua teori yang berkaitan dengan penelitian kemudian dicatat untuk mendapatkan data. Catatan tersebut merupakan poin-poin yang berkenaan dengan tokoh dan penokohan serta latar, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counterhegemoni perspektif Antonio Gramsci. Teknik studi pustaka guna mendapatkan data serta referensi yang akurat untuk analisis teks sesuai dengan teori yang digunakan. Pelaksanaan teknik ini, yaitu dengan menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian, yakni bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut.
1.7.3.2 Teknik Analisis Data Data yang dianalisis berupa deskripsi tokoh, penokohan, latar, dan bentukbentuk perlawanan. Data berkaitan tokoh dan penokohan tersebut dirumuskan ke dalam formasi intelektual. Setelah data terklasifikasi, kemudian data tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
dirumuskan dalam hubungan antara kaum intelaktual dan bentuk-bentuk counterhegemoni. Analisis mengenai latar tempat dan waktu penting untuk membantu mengaitkan bentuk perlawanan yang ada dengan konteks tempat dan waktu.
1.7.3.3 Teknik Penyajian Data Setelah metode analisis data, tahap berikutnya adalah penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data berupa deskripsi tokoh dan penokohan serta latar, formasi kaum intelektual, dan gambaran bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan oleh kaum intelektual dalam KdDL.
1.8
Sumber Data Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua sumber
tertulis yang memuat infotmasi berkatian dengan topik penelitian. Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder.
1.8.1
Sumber Data Primer Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sastra, maka sumber
datanya berupa karya sastra (novel). Berikut ini rincian sumber data primer. Judul Novel
: Kuil di Dasar Laut
Pengarang
: Seno Joko Suyono
Penerbit
: Lamalera
Tahun Terbit : 2014 Tebal Buku
: 612 halaman
Cetakan
: Pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
1.8.2
Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi jurnal, majalah sastra,
dan karangan ilmiah akademis baik yang dipublikasikan dalam bentuk buku maupun daring. Semua data sekunder tersebut berkaitan dan mendukung topik penelitian ini.
1.9
Sistematika Penyajian Laporan hasil penelitian ini disusun dalam tiga bab. Bab I adalah
pendahuluan. Dalam bab I ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistimatika penyajian. Latar belakang berisi pernyataan tentang gambaran secara umum mengenai kedudukan sastra dan masyarakat. Masalah yang terdapat dalam masyarakat itu yang kemudian menjadi bahan munculnya sebuah karya sastra. Dalam konteks ini, masalah dalam masyarakat yang diambil adalah perihal penerimaan masyarakat terhadap hegemoni kekuasaan yang melingkupi berbagai aspek kehidupan mereka. Selanjutnya penerimaan tersebut berubah menjadi sebuah perlawanan karena ada rasa tidak percaya lagi terhadap para penguasa dan situasi yang melingkupi kehidupannya. Rumusan masalah berisi paparan masalahmasalah terkait topik penelitian ini. Tujuan penelitian memuat deskrpsi tentang tujuan diadakan penelitian ini. Manfaat hasil penelitian berisi mengenai uraian tentang hasil penelitian, manfaat teoretis, dan manfaat praktis. Tinjauan pustaka berisi paparan tentang hasil kajian pustaka yang berkenaan dengan topik penelitian ini. Landasan teori berisi kerangka berpikir yang digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
memecahkan masalah. Metodologi penelitian memaparkan pendekatan, metode dan teknik penelitian pada tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Sistimatika penyajian berisi tentang bab beserta bagian-baiannya, urutan bab, dan penejelasan secara garis besar mengenai isi penelitian ini. Bab II berisi mengenai deskripsi tokoh dan penokohan, latar (tempat dan waktu) KdDL. Bab III berisi mengenai formasi kaum intelektual. Formasi intelektual berkaitan dengan pembagian kelompok intelektual oleh Antonio Gramsci ke dalam dua kelompok, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Kategori Intelektual Organik dibagi lagi menjadi dua subkategori berupa Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Bab IV berkaitan pembagian bentuk-bentuk couter-hegemoni yang terdapat dalam KdDL. Bentukbentuk tersebut berupa Perlawanan Keras, Perlawanan Pasif, Perlawanan Humanistik, dan Perlawanan Metafisik. Bab V berupa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
2.1 Pengantar Pada bab ini, akan dikaji tokoh dan penokohan serta latar. Dalam analisis tokoh dan penokohan pada novel KdDL, ditemukan beberapa tokoh utama dan tokoh tambahan yang terlibat dalam kegiatan counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel KdDL terdiri dari dua orang, yaitu Jeanne dan Suryo. Mereka dikategorikan sebagai tokoh utama oleh karena intensitas kemunculan mereka cukup banyak dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu, dengan mengacu pada pengertian tokoh utama pada poin 1.6.1.1.1, mereka menjadi penggerak keseluruhan alur cerita dalam novel KdDL. Di samping tokoh utama, beberapa tokoh lainnya masuk dalam kategori tokoh tambahan. Tokoh tambahan ini diisi oleh anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih – paguyuban yang dalam novel KdDL melakukan banyak perlawanan terhadap legitimasi Soeharto. Mereka adalah Pak Sinaga, Pak Burhan, Abah Moertopo, Pak Darsono, Pak Koentono, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Djayeng Koesoemo, Pak Sewaka, Pak Begja, Bante Purnomo, Gus Mutaqqin, dan Meneer Widjinarko. Di luar anggota dan simpatisan paguyuban, ada pula tokoh yang menjadi kiblat paguyuban melakukan aksi metafisik, yaitu Pak Sawito dan Mr. Soedjono. Juga ada pula dua tokoh yang berjasa terhadap Jeanne dan Suryo selama
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
perjalanan mereka di luar negeri. Mereka adalah Phu Tram, Mualim Satu, Souvanna, dan Phhoung. Tokoh tambahan dalam novel KdDL terbilang cukup banyak. Dalam analisis ini, tidak akan diteliti semua tokoh tambahan. Tokoh tambahan yang dianalisis adalah tokoh-tokoh yang terlibat dan mempunyai peranan dalam berbagai tindakan counterhegemoni. Sebagian besar dilakukan oleh anggota dan simpatisan paguyuban, Pak Sewaka, dan Mr. Soedjono. Selain itu, Phu Tram, Mualim Satu, dan Phhoung ikut dianalisis karena mereka berpengaruh secara penuh terhadap berbagai peristiwa yang dialami oleh Jeanne dan Suryo selama di luar negeri. Phu Tram yang mengajak Jeanne melihat situs-situs kebudayaan di Vietnam dan menceritakan perjalanan hidupnya memperjuangkan hak kebebasan suku Champa. Mualim Satu menjadi orang yang menawarkan bubuk pembayang untuk masuk dalam kuil ketiga. Selanjutnya, Phhoung merupakan pemandu wisata Suryo yang membawa Suryo mengelilingi situs-situs kebudayaan dan bekas kebengisan Khemer Merah di Kamboja. Mahasiswa dan demonstrasi simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG) di Timor-Timur juga akan dianalisis karena turut melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Di samping tokoh-tokoh yang melakukan counter-hegemoni, pada bab ini juga akan ikut dianalisis tokoh-tokoh yang menjadi bagian organik dari Soeharto. Mereka adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan Soedjono Hoemardani. Selain analisis tokoh dan penokohan, pada bab ini juga akan dianalisis latar. Latar yang dianalisis oleh peneliti hanyalah latar tempat dan latar waktu. Hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
analisis yang dibatasi tersebut memang sesuai kebutuhan peneliti untuk melengkapi data pada penelitian dua rumusan masalah selanjutnya. Berkaitan dengan latar tempat, peneliti membatasi pada latar tempat yang dilalui oleh anggota paguyuban, tempat terjadinya kerusuhan masa Orde Baru, dan tepat pelarian Jeanne dan Suryo selepas tidak lagi aktif dalam paguyuban. Latar tempat tersebut, Jakarta (Glodok, Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Marga Satwa Ragunan, dan Kawasan Cipete), Cilacap (Jambe Lima dan Jambe Pitu), Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Yogyakarta (Telaga Titis), Padang Lawas (Bairo Bahal), Ngawi (Alas Ketonggo), Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey, Bayon, Siem Reap, Cafe Red Piano), Vietnam (Hoi An, Café Champa, Da Nang, My Son, dan Nha Trang), Laos (Luang Prabang dan Kafé Pastri), Samudra Laut Cina Selatan, dan Kuil di Dasar Laut. Selain latar tempat, dalam studi ini juga dianalisis latar waktu. Hasil analisis dari latar waktu menjadi penting dalam penelitian ini untuk mengaitkan berbagai kejadian perlawanan terhadap penguasa dengan konteks waktu. Latar waktu yang dimaksudkan, yaitu tahun 1961 (waktu bertemunya Soeharto dengan guru spiritualnya yang kemudian hari menyokong sisi metafisik Soeharto), tahun 1991 (berkaitan dengan perlawan para simpatisan Sebastiao Gomez terhadap para tentara di Santa Cruz, Timor Timur), tahun 1996 (waktu Romo Dijat mendengarkan nasihat dari roh-roh yang diundang kepada Soeharto, 28 April Ibu Tien meninggal, 27 Juli terjadi penyerangan Markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro), dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
tahun 1998 (penjarahan besar-besaran di Jakarta pada 13 Mei dan tahun lengsernya Soeharto).
2.2 Tokoh dan Penokohan Secara umum, teknik pelukisan tokoh yang dihadirkan oleh Seno menggunakan teknik dramatik. Hal tersebut terjadi karena sebagaian besar gambaran sifat, sikap, dan perilaku para tokoh digambarkan tidak secara langsung. Pembaca diberikan kesempatan untuk menemukan dan merumuskan sendiri seperti apa gambaran seorang tokoh. Gambaran mengenai para tokoh dalam KdDL dijelaskan dengan berbagai teknik yang tersedia. Baik menggunakan teknik pelukisan fisik seperti yang terjadi pada penjelasan menganai ciri-ciri Souvvana, teknik pelukisan latar untuk menjelaskan karakter Mualim Satu yang hobi mengoleksi barang-barang Champa, ataupun dengan teknik tingkah laku untuk menjelaskan karakter Phu Tram yang tidak mudah menyerah pada keadaan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tersebut selanjutnya dapat dikategorikan berdasarkan pembedaan sudut pandang atau tinjauan ke dalam dua bentuk, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan.
2.2.1
Tokoh Utama Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin 1.6.1.1.1 bahwa tokoh utama
merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel bersangkutan. Ia/mereka merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dalam novel KdDL, tokoh utama terdiri dari 2 orang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
yaitu Jeanne dan Suryo. Mereka dikategorikan sebagai tokoh utama karena sering muncul dalam alur cerita. Dalam studi ini, tidak ditinjau lebih jauh mengenai alur/plot, maka pembuktian mengenai frekuensi kehadiran tokoh utama dapat dijelaskan secara sederhana. Dalam KdDL, penceritaan dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, penceritaan yang berlatarkan Siem Reap dan Hoi An di tahun 2012. Kedua, berlatarkan Jakarta di tahun 1994 sampai 1998. Ketiga, berlatarkan Luang Prabang dan Siem Reap di tahun 2012. Keempat, berlatarkan Hoi An dan Siem Reap di tahun 2012. Dari keempat pembagian waktu tersebut, Jeanne dan Suryo sebagai tokoh utama hadir secara intens. Mereka menjadi bagian dari cerita dan sekaligus menjadi penggerak alur. Berikut ini penjelasan lebih jauh mengenai siapa Jeanne dan Suryo dan seperti apa karakter yang dimiliki oleh mereka.
2.2.1.1 Jeanne Jeanne merupakan salah satu tokoh utama dalam novel KdDL. Hal tersebut didasari oleh frekuensi juga intensitas keterlibatannya kemunculannya yang cukup banyak dalam cerita. Jeanne menjadi salah satu penggerak alur, yang menentukan arah penceritaan. Jeanne merupakan wanita kelahiran Malang yang tumbuh dan besar dalam lingkungan dan disiplin militer. Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah seorang kolonel Angkatan Darat. Pamannya yang bernama Witono menjadi dokter Angkatan Darat. Itulah sebabnya, Jeanne telah dibiasakan oleh ayahnya untuk disiplin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
dan bertanggung jawab sejak kecil. Sikap disiplin tersebut dituntut oleh ayahnya sedetail-detailnya, sehingga sebagian besar aktivitas Jeanne saat kecil selalu diawasi oleh ayahnya. Berikut ini adalah gambarannya pada kutipan (8). (8) Amarah sang ayah bisa meledak bila menyaksikan sampah bau yang berjejal-jejal di tong halaman depan terlambat setengah hari saja diangkut petugas. Papanya jarang bicara. Tapi sangat memperhatikan hal-hal kecil. Ke mana saja Jeanne pergi seolah mata ayahnya mengikutinya. Telinga ayahnya mendengar apa saja. Bahkan saat saat sakit lantaran agak terlambat mens, ayahnya pun dirasa Jeanne menguping detik demi detik, mengawasi gerak-gerik diri Jeanne seteliti-telitinya (Suyono, 2014: 61). Berbeda dengan Ayahnya, ibu Jeanne yang bernama Selvi Arum
justru
mewarisi sikap yang lebih rileks dan lembut. Ia menjadi salah satu anggota keluarga Jeanne yang mengerti masa perkembangan Jeanne. Mengerti bahwa Jeanne yang masih dalam masa pertumbuhan perlu untuk belajar menemukan dirinya sendiri tanpa di bawah tekanan dan tuntutan perfeksi. Warisan karakter ibunya ini yang menbentuk kecintaan Jeanne di kemudian hari terhadap alam dan sebuah kebebasan diri. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan (9) dan (10). (9) Ibunda Jeanne mewarisi sikap lebih rileks. Sang ibu, Selvi Arum adalah wanita Banten. Ia lembut. Ia tenggang rasa. Ia seolah mengerti dunia remaja Jeanne, anak semata wayangnya, tengah tumbuh. Dari ibundanyalah mungkin Jeanne mewarisi sifat menyukai kehidupan alam terbuka. Jeanne melewati masa SD sampai SMP di Serang, kota kelahiran ibunya. Tahun-tahun itu sang ibunda sering membawa Jeanne ke reruntuhan istana Kaibon. Membiarkan Jeanne kecil berlarian, mencabuti rerumputan, memetik bunga-bunga (Suyono, 2014: 62). (10) Bila begitu, ibunya akan menunggu dengan sabar di bawah beringin. Sang mama duduk menggelar tikar sembari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menyiapkan roti selai, apel, dan susu bila Jeanne lapar. Oh ya, saat itu, Jeanne selalu melihat ibunya merokok (Suyono, 2014: 62). Jeanne kecil itu kemudian tumbuh dengan berbagai karakter yang melekat pada dirinya. Tumbuh dalam lingkungan militer juga membentuk karakter ambisius Jeanne. Sejak kecil, karakter tersebut telah terbiasa dituntut lebih oleh ayahnya sehingga wajar apabila Jeanne terbiasa untuk selalu mendahului orang lain. Ia pernah sekali punya persaingan dengan mantan kekasihnya bernama Suryo untuk mengenal lebih banyak situs kebudayaan ketika berada di luar negeri. Berikut dalam kutipan (11). (11) Jeanne gelisah. Tiba-tiba ingin mengetahui sebanyak mungkin cerita mengenai kapal karam harta karun Champa serta kuil kudus di dasar laut tersebut. Ia ingin masuk ke labirin kuil-kuil tersebut. Ia bertekad bisa membantu si buntung untuk membayangkan lapis-lapis denah kuil tersebut. Ia bertekad menembus sampai kuil besar kedua, bahkan kuil besar ketiga. Ia tak mau kuil yang dimiliki imajinasinya tersebut direbut oleh Suryo (Suyono, 2014: 133). Karakter bebas menemukan jati diri yang ia dapatkan dari ibunya sangat berseberangan dengan apa yang dituntut oleh ayahnya. Itulah sebabnya jika ada beberapa sifat Jeanne yang dikemudian hari tidak menggambarkan bahwa ia adalah seorang anak militer yang biasanya lebih disiplin dan wawas diri. Ia tumbuh ke arah kebebasan yang liar dan binal. Ia tidak peduli dengan hal-hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tabu. Jeanne nyaman dengan apa yang diinginkan dan diperbuat olehnya. Meskipun harus telanjang ataupun mengisap bubuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
pembayang – sejenis sabu-sabu. Itu merupakan ekspresi dirinya yang paling alami. Berikut gambaran mengenai keliaran Jeanne dalam kutipan (12), (13), dan (14). (12) Dan terjadi-terjadilah. Tatkala berjalan di atas meja bar, tanpa sehelai benang pun. Jeanne ingat ia begitu deg-degan (Suyono, 2014: 83). (13) Bukan sekali itu Jeanne mau dipotret telanjang. Sebelumnya saat di Ratu Boko, Candi Ijo, dan Candi Arjuna Dieng, Jeanne juga melakukan tindakan berani demikian. Jeanne tak tahu apakah Suryo masih menyimpan ratusan foto telanjangnya atau sudah dibuangnya semua. Satu yang menurutnya paling mengesankan dan paling nekat adalah tatkala ia berjalan di Candi Ijo. Jeanne muncul dari belakang candi, melangkah di antara candi induk dan candi perwara, tanpa sehelai benang pun. Kemunculan Jeanne membuat terperangah satu-dua wisatawan di halaman depan candi. Tangan kiri Jeanne mengucel-ucel rambut panjangnya. Jemari panjangnya memegang Marlboro dan ia mengisapnya, mengepul-ngepulkan asap. Sungguh jalang. Amat binal (Suyono, 2014: 593). (14) Jeanne menggeleng. “Terima kasih.” “Coba sekali saja, Jeanne.” “Tidak, terima kasih.” “Sekali saja, kamu pasti suka.” Jeanne ragu-ragu. Tapi kemudian ia mengulurkan tangan, menyambut lintingan itu (Suyono, 2014: 559). Jeanne memiliki seorang kekasih bernama Suryo. Mereka saling mencintai. Jeanne dan Suryo saling memanjakan diri satu dengan yang lain bahkan tidak jarang mereka tak sungkan untuk bercinta, entah di kamar kos Suryo atau pun di kawasan candi-candi. Kehidupan percintaan mereka cukup “liar”. Hampir tak ada sekat di antara mereka. Mengenal dengan detail lekak-lekuk tubuh adalah hal yang biasa bagi mereka mereka. Berikut digambarkan dalam kutipan (15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
(15) Dan bila melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok dusun seperti itu, Jeanne dan Suryo dulu menjadi sepasang kekasih yang liar. Di candi mana pun, bila ada kesempatan, mereka selalu berciumciuman. Suryo menggelinjangkan lidahnya ke lidah Jeanne. Jeanne menyambut dengan kuluman-kuluman bibir yang mematikan. Sering saat di perjalanan, entah naik carteran mobil entah membawa trail sendiri, Jeanne mengajak turun sebentar dari kendaraan dan mencari rerimbunan. Mereka bergelut di semak, bahkan bila sungguh-sungguh sepi, mereka berani bergulung-gulung. Keterlaluan memang (Suyono, 2014: 191). Kedekatan Jeanne dan Suryo yang demikian intim itulah yang menjadi alasan mengapa kemudian ia masuk ke dalam Paguyuban Anggoro Kasih yang berniat untuk melawan kekuatan spiritual di balik kekuasaan Soeharto. Sebagai anak tentara, tentunya Jeanne juga sedikit memiliki simpati dengan kekuasaan Soeharto. Itulah mengapa kemudian Jeanne merasa gelisah dan takut bila terus terlibat lebih dalam dengan berbagai aktivitas penumbangan legitimasi Soeharto. Jeanne menyadari mengenai bahayanya paguyuban ini setelah beberapa kali mendengarkan topik pembicaraan para anggota paguyuban yang menurutnya sudah mengarah pada makar. Akibat kekuatiran Jeanne tersebut, beberapa kali ia mengajak Suryo untuk keluar dari aktivitas paguyuban tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak dimengerti sendiri oleh Jeanne, ia akhirnya tetap terlibat dalam perjalanan spiritual paguyuban untuk menentang Soeharto. Berikut ini beberapa kutipan (16), (17) dan (18) yang menggambarkan kekuatiran Jeanne. (16) “Sur, kelompok bapak-bapak ini berbahaya.” Jeanne akhirnya merasa pertemuan paguyuban tersebut semakin mengarah ke makar. Diskusi yang bergilir dan penuh camilan itu bukan lagi sekadar forum obrolan pensiunan biasa, namun sudah menjurus menyusun sebuah agenda aksi (Suyono, 2014: 223).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
(17) Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban (Suyono, 2014: 230). (18) Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu. Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di sidang paguyuban (Suyono, 2014: 247-248). Kesetiaan cinta Jeanne pada Suryo memang ada batas. Melalui berbagai pengalamannya dengan kegiatan-kegiatan paguyuban, membawa Jeanne pada sebuah kekecewaan yang mendalam terlebih pada saat kematian Bu Tien. Ia menghubungkan kematian Bu Tien dengan aktivitas paguyuban. Kekecewaannya terhadap paguyuban juga sama melekat pada Suryo. Ia terus membenci Suryo karena kekasihnya itu selalu ringan hati untuk melayani permintaan para bapak-bapak paguyuban. Seringkali memang Jeanne terpaksa diabaikan oleh Suryo. Jeanne akhirnya berpisah dengan Suryo setelah peristiwa Sabtu Kelabu di Jakarta pada 27 Juli 1996. Semenjak itu, mereka tidak bertemu lagi hingga belasan tahun kemudian. Berikut ini gambaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
amarah Jeanne pada Suryo yang masih melekat pada perasaannya pada kutipan (19) dan (20). (19) Suryo sialan! Sudah tiga kali mantan kekasihnya tersebut mengirim pesan pendek. Betul-betul mengganggu. Lebih dari 16 tahun mereka tak bertemu. Entah mengapa bisa berjumpa dengan Suryo di Kamboja… Jeanne berusaha dingin… Berkali-kali Suryo mengirimkan SMS menanyakan ada di mana dirinya dan mengajaknya bertemu lagi. Tak satu pun dibalasnya (Suyono, 2014: 8-9). (20) Jeanne saat itu menyesal terlibat dalam paguyuban. Ia menyesal terbujuk Suryo ikut dalam perjalanan yang dipimpin Pak Sinaga dan Pak Djayeng. Ia memaki-maki Suryo. Jeanne sadar saat itu ia berada dalam komunitas yang salah. Ia ketakutan. Bisa saja satu persatu anggota paguyuban diciduk, termasuk dirinya. Ia melihat Suryo juga panik (Suyono, 2014: 295). Setelah Jeanne tidak lagi dengan Suryo, Jeanne kembali ke Malang, di rumah orangtuanya. Ia kembali ke Malang untuk keluar dari kondisi karut-marut di Jakarta dan juga lari dari Suryo. Di Malang, Jeanne diperkenalkan dengan seorang pria bernama Tubagus Zulkifli. Jeanne pun merasa sosok Tubagus adalah sosok yang bisa melindunginya saat itu, meskipun mesti menjadi istri kedua. Dan setahun setelah kepulangannya ke Malang, ia kembali lagi ke Jakarta. Berikut ini kutipan (21) yang menggambarkan pertemuan Jeanne dengan sosok Tubagus. (21) Saat bertemu, Jeanne merasa sosok Tubagus adalah sosok yang bisa melindunginya. Ia keturunan pendekar-pendekar Banten. Jeanne langsung ingin bersandar di bahu sang jawara. Ia merasa aman dalam naungan Tubagus. Tubagus Zulkifli katanya memiliki istri. Tapi Jeanne tidak peduli. Ia menerima pinangan Tubagus. Ia rela menjadi istri kedua. Dan kemudian pada 1997 ia ikut pindah ke Jakarta lagi, ke rumah yang baru di Cipinang yang dibelikan Tubagus (Suyono, 2014: 295-296).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Pertemuan dan keputusan Jeanne untuk hidup bersama dengan Tubagus membawa banyak perubahan pada sifat Jeanne. Terbatasnya ruang gerak Jeanne semenjak di Jakarta, menjadikannya orang rumahan. Ia pun berubah drastis menjadi gadis yang lebih agamais setelah dulu berkarakter liar dan binal. Kutipan (22) berikut ini menggambarkan perubahan karakter Jeanne. (22) Semenjak itu, ia jadi orang rumahan. Ia mengubah penampilan. Ia memutuskan berhijab. Ia aktif mengikuti pengajian-pengajian. Bahkan pengajian di Serang. Ia sering bolak-balik SerangJakarta (Suyono, 2014: 296). Hubungan Jeanne dan Tubagus dikaruniai satu orang anak bernama Meyra. Akan tetapi, hubungan Jeanne dan Tubagus Zulkifli juga tidak berlangsung lama. Rumah tangga mereka akhirnya harus kandas di tengah jalan. Di tengah kegalauannya, Jeanne ditawari oleh ibunya untuk berlibur sekaligus mengunjungi sepupunya yang di Vietnam. Dalam perjalanannya ini, Jeanne mengunjungi banyak tempat. Sebelum ke Vietnam, ia berniat untuk mengunjugi Kamboja dulu. Banyak hal yang ia temukan, Suryo kekasihnya juga pengalaman menakutkan yang masih ada hubungannya dengan para bapak paguyuban. Jeanne masih tetap dikejar dengan ketakutan masa lalunya itu. Berikut ini kutipan (23) yang menggambarkan ketakutan Jeanne bertemu bayangan para bapak Paguyuban Anggoro Kasih. (23) Jeanne ketakutan dengan penglihatannya. Adakah bapak-bapak itu disiksa? Dianiaya oleh orang-orang tak dikenal? Kuatkah bapak-bapak itu menahan gebukan dan sayatan? Ataukah bapakbapak itu mati kemudian? Ia langsung meninggalkan Angkor (Suyono, 2014: 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
2.2.1.2 Suryo Suryo merupakan salah satu tokoh utama selain Jeanne. Intensitas kehadirannya dalam keseluruan cerita juga cukup banyak. Pengalamannya bersama kekasihnya, Jeanne, menjadi poros penceritaan. Suryo adalah anak dari Yohanes Liem Hardjosusilo dan Yohana Kurniasih Marsudirini. Masa kecil Suryo dihabiskan di Semarang. Hidup mereka pada awalnya bahagia dalam kesederhanaan. Bapaknya adalah seorang Katolik Cina yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ibunya adalah seorang penyulam bertalenta yang bekerja di sebuah perusahaan konfeksi. Sebagai anak tunggal, Suryo sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Terkadang Suryo kecil selalu diajak jalan oleh ayahnya untuk diperkenalkan berbagai kebudayaan Cina. Berikut ini kutipan (24) dan (25) yang menggambarkan profesi orangtua Suryo dan kehidupannya saat kecil. (24) Suryo ingat masa kecilnya di Semarang bersama bapaknya, Yohanes Liem Hardjosusilo, adalah seorang Katolik Cina. Sang ayah sering membawa Suryo ke klenteng untuk menonton latihan silat atau pementasan wayang potehi. Ayahnya itu sebenarnya jebolan Seminari Mertoyudan. Namun, ia tak ingin menjadi seorang pastor (Suyono, 2014: 400). (25) Sosok Yohanes Liem Hardjosusilo seingat Suryo adalah sosok serius. Ia suka mengenakan kaus singlet putih dan celana pantolan hitam. Bapaknya itu terlambat kawin. Ia menikahi ibunya, Yohana Kurniasih Marsudirin, saat umurnya sudah 50 tahun, sementara ibunya berumur 30-an. Ibunya juga terlambat menikah bagi orang Jawa. Ibunya asli Semarang. Ibunya adalah seorang penjahit yang bekerja di sebuah perusahaan konfeksi. Suryo adalah anak tunggal. Suryo ingat di masa kecil ia suka sekali bila melihat ibunya pulang naik becak membawa dua-tiga karung berisi perca-perca kain. Suryo pasti akan menyongsong karung itu, menyeretnya masuk rumah dan mengaduk-aduk, mengudal-udal isinya, melihat warna-warna potongan-potongan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
kain bekas itu. Ia tahu pasti perca-perca itu akan dijahit ibunya menjadi selimut atau syal-syal yang lucu (Suyono, 2014: 401). Semenjak dewasa, Suryo merantau dan bekerja di Jakarta. Suryo memang dikenal sangat ringan tangan dan mau melakukan pekerjaan apa pun yang baik demi mendapatkan uang. Dalam bekerja, Suryo memang seringkali bersama-sama dengan kekasihnya, Jeanne. Itulah mengapa, Suryo kemudian menjadi orang kepercayaan di Paguyuban Anggoro Kasih. Ia dipercaya sebagai pengurus paling muda di paguyuban tersebut. Jeanne juga ikut kena cipratannya. Memang terlalu sering Suryo dimintai tolong oleh bapak-bapak anggota paguyuban – salah satunya Pak Sinaga. Itulah awal dari keterlibatan mereka di paguyuban yang kemudian hari merencanakan dan melawan
kekuasaan
Soeharto.
Berikut
ini
kutipan
(26)
dan
(27)
yang
menggambarkan sikap ringan tangan Suryo untuk mengerjakan banyak hal demi mendapatkan uang. (26) Palugada. Apa lu mau, gue ada. Itulah ungkapan yang tepat dari zaman sekarang untuk menyebut profesi Suryo. Seingat Jeanne, saat Suryo masih menjadi kekasihnya, ia tak memiliki pekerjaan tetap. Loncat sana loncat sini. Apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, meski sekadarnya, diterima Suryo. Penghasilan Suryo setahu Jeanne terutama didapat dari komisi mengantar penjualan barang-barang antik (Suyono, 2014: 139). (27) Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang samurai. Pedang itu sepasang…. Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan. Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20 juta rupiah (Suyono, 2014: 139-140). Suryo selain dikenal sebagai pemuda yang sangat dinamis, mampu mengerjakan banyak hal, ia juga terkadang menjadi orang yang misterius. Barangkali karena sibuk, ia seringkali hilang dari rutinatasnya dengan orang-orang terdekat seperti teman atau rekan kerja. Perginya Suryo tersebut bukan berarti Suryo ketinggalan informasi atau perkembangan. Ia malah masuk kembali ke dalam kelompok yang ia tinggalkan dan terlibat dalam pembicaraan seolah ia tidak melewatkan satu pun. Berikut ini kutipan (28) yang menggambarkan sosok misterius Suryo. (28) Mantan pacarnya itu adalah orang yang tidak bisa diduga. Suryo itu misterius. Ia bisa hilang tanpa kabar. Ia bisa muncul sekonyong-konyong. Dan begitu berkumpul lagi dengan sahabatsahabatnya, ia ternyata langsung bisa ikut membahas materi yang dibicarakan para sehabatnya dengan sedemikian dalam. Bahkan apabila materi itu sebelumnya disembunyikan darinya (Suyono, 2014: 132). Selama di Jakarta, selain bekerja, Suryo juga pernah mencoba untuk studi di beberapa perguruan tinggi. Bukan hanya satu, tapi lebih dari satu. Tak satu pun yang pernah diselesaikannya. Pekerjaan dan keterlibatannya di paguyuban bisa menjadi alasan yang paling masuk akal dari sekian kegagalan studi Suryo. Di bawah ini, kutipan (29) mengenai kegagalan studi Suryo. (29) Gara-gara sering menjadi mayat tersebut, Suryo cabut kuliah di tengah jalan. Suryo sepengetahuan Jeanne pernah kuliah macammacam. Konon, pacarnya itu pernah mengambil diploma komputer. Pernah mencoba-coba kursus paket teologi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
filsafat. Semuanya itu putus. Tak ada yang tamat. Saat berpacaran dengan dirinya, Suryo mengaku mengambil studi di akademi farmasi. Mau menjadi apoteker, katanya. Namun, sejak jadi mayat itu, entah kenapa, dia elergi bau obat tertentu dan karbol. Ia pernah mual-mual waktu di laboratorium praktek meracik puyer (Suyono, 2014: 183). Sebagai pemuda yang paling dipercaya di paguyuban, Suryo telah memiliki ikatan yang begitu erat dengan bapak-bapak paguyuban. Selain itu pula, Suryo memang telah menerima banyak perhatian dan kebaikan yang besar sehingga Suryo seolah memiliki banyak utang budi kepada mereka. Tak sungkan, Suryo bahkan rela menjadi mayat dan menikmati aktivitas anggota paguyuban yang terkesan cukup aneh. Bahkan ia rela meninggalkan Jeanne di kamar kosnya saat istirahat untuk mengantarkan Pak Sinaga di Kawitan. Jeanne ditinggal sekitar 8 hari di Jakarta. Pilihan Suryo tersebut bahkan mengorbankan kebersamaan dengan kekasihnya. Berikut gambarannya dalam kutipan (30) dan (31) di bawah ini. (30) Suryo manut saja disuruh berbaring terbujur seolah dia jenazah. Ya, Allah, Suryo kok mau. Goblok banget (Suyono, 2014: 162). (31) Jeanne ingat malam itu 28 April 1996. Besoknya Idul Adha. Malam itu Suryo seperti orang yang tersepak-sepak. Kekasihnya itu sempat cuci muka. Jeanne ingat ia duduk terpekur di kasurnya hanya berbelit selimut. Ia melihat Suryo mengepakngepak pakaian seadanya ke dalam ransel. Jeanne hanya mengingatkan agar Suryo tak lupa membawa sikat gigi. Selanjutnya ngungun. Matanya mulai sembap. Ajudan Pak Sinaga menunggu di luar pintu, seolah tahu tak elok melongok ke dalam karena Jeanne masih dalam keadaan tanpa busana. Jeanne merasa seluruh tubuhnya gugup. Saat Suryo pamit, air matanya berurai. Suryo mengelus-elus rambutnya dan mencium keningnya (Suyono, 2014: 242-243).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Kebiasaan Suryo yang bersedia mengerjakan banyak hal bukan berarti ia melewatkan banyak hal. Itulah nilai tambah dari Suryo yang menjadikannya orang kepercayaan anggota paguyuban. Suryo dikenal sebagai orang yang detail dalam menilai dan mengerjakan sesuatu. Selain detail, Suryo memang memiliki banyak pengetahuan mengenai situs-situs candi dan selalu melayangkan ide dengan sudut pandang yang berbeda dan mengejutkan. Hal tersebut disadari oleh Jeanne dalam perjalanan bersama Suryo saat mengunjungi candi-candi. Berikut ini bukti kutipannya (32). (32) Harus diakui, Suryo selalu memiliki perspektif sendiri bila memahami candi. Jeanne ingat, Suryo peka terhadap hal-hal kecil. Ia bisa menjelaskan sesuatu yang sepele dan tampak remeh-temeh (Suyono, 2014: 461). Kebiasaan Suryo bergaul dengan banyak orang, berkerja dengan banyak orang, menuntut Suryo untuk memiliki sikap luwes dengan banyak orang. Itulah mengapa Suryo cukup mudah untuk mendapatkan banyak teman dan banyak kepercayaannya. Para bapak-bapak paguyuban pun senang pada Suryo bukan saja karena ringan tangan dan selalu siap dimintai bantuan, tetapi juga karena mereka merasa nyaman dan percaya dengan keberadaan Suryo. Berikut ini kutipan (33) yang menggambarkan sikap luwes Suryo dengan orang-orang. (33) Meskipun baru bertemu, Suryo cepat akrab dengan murid-murid Romo Dijat dan Romo Marto (Suyono, 2014: 225). Barangkali akibat sering bergaul dengan para bapak paguyuban, selera Suryo menurut hemat Jeanne buruk sekali. Bagaimana tidak, Suryo mengumpulkan dan senang melantunkan lagu-lagu lawas. Apalagi koleksi Suryo terbilang cukup lengkap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Sesekali lagu tersebut disetel besar sehingga membuat Jeanne gusar. Padahal Jeanne telah lama berkiblat pada musik-musik Eropa. Itulah perbedaan yang paling mencolok antara Jeanne dan Suryo. Berikut ini kutipan (34) tentang hobi Suryo yang tidak biasa tersebut. (34) Dari sekian banyak barang yang paling dibenci Jeanne adalah koleksi kaset Suryo. Suryo memiliki banyak kaset Indonesia lawas terbitan Remaco, Musika Studio, Purnama Record, Sky Record, dan sebagainya.Heran sungguh mengherankan. Ternyata pacarnya itu penyuka Lilis Suryani, Dara Puspita, Ernie Djohan, Djatu Parmawati, Grace Simon, Iin Parlina, Ajie Bandy, Sam Saimun, Mochtar Embut, dan semua penyanyi baheula lainnya (Suyono, 2014: 184-185). Setelah Pak Sinaga mengistruksikan kelompok paguyuban memencar dulu agar tidak tertangkap orang-orang Soeharto, paguyuban tersebut tidak lagi hidup. Mereka pergi dan melaksanakan pekerjaannya masing-masing dengan tujuan yang masih bulat, yaitu menggulingkan Soeharto. Melawan Soeharto secara metafisik memang sulit juga karena ia memiliki orang-orang terlipilih di balik kekuatannya. Seluruh anggota paguyuban yang telah diketahui melawan Soeharto dari sisi metafisik, kembali diserang dan dikejar teluh. Satu persatu anggota paguyuban meninggal secara tidak wajar – kecuali Pak Priyambodo. Suryo pun selalu dibayangbayangi akan teluh tersebut. Ia tambah ketakutan saat mendengar ayahnya kembali kerasukan. Suryo menduga itu adalah teluh yang harusnya ia terima tapi ternyata salah sasaran kena ayahnya. Berikut itu kutipan (35) dan (36) yang menggambarkan kegelisahan Suryo. (35) Suryo tak ingin menghubungkan kematian ayahnya dengan kematian Pak Sinaga dan kawan-kawan. Tapi Suryo selama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
bertahun-tahun didera perasaan bersalah. Ia diburu-buru suatu bisikan bahwa sesungguhnya dialah pembunuh ayahnya. Ayahnya yang mantan guru agama Katolik itu di hari-hari terakhir hidupnya, entah karena teluh entah karena apa, sering kesurupan. Yohanes Liem Hardjosusilo merasa menjadi inkarnasi seorang pemberontak di Keraton Kartosuro (Suyono, 2014: 304). (36) Di tengah kecemasan ada frekuensi-frekuensi tertentu memasuki ruangan kamarnya, pada tahun 1998 itu ia menerima kabar agar segera pulang. Ayahnya kerasukan. Sesampai di rumah, ia melihat kerasukan ayahnya menjadi-jadi. Ayahnya bahkan tak mengenal dia. Ayahnya menceracau luar biasa dan memiliki tenaga “iblis” sampai-sampai seluruh perabot rumah porakporanda. Ayahnya merasa dipendam di sebuah alun-alun dan disepak-sepak kaki kuda. Ayahnya akhirnya meninggal memeluk sebuah patung yang dicampakkan di Borobudur (Suyono, 2014: 310). Dalam paguyuban, Suryo memang dianggap anak bawang. Ia terlibat di dalam paguyuban karena berawal dari sering membantu Pak Sinaga menjual barang antik. Itulah mengapa pada awalnya Suryo memang tidak berniat untuk masuk lebih dalam ke paguyuban. Ada banyak rahasia paguyuban yang ia tidak ketahui. Suryo hanyalah orang yang terlibat di permukaan. Akan tetapi, karena ia telah beberapa kali mengikuti perjalanan spiritual dengan para anggota paguyuban, maka Suryo ikut dikejar teluh, sama seperti bapak-bapak paguyuban. Berikut ini kutipannya (37). (37) Suryo ketakutan sendiri setelah satu demi satu bapak-bapak paguyuban meninggal, ia yang dicari-cari. Keterlibatannya di paguyuban sesungguhnya hanyalah sebagai anak bawang. Masih banyak rahasia lain yang tak diketahuinya dari perkumpulan itu. Bapak-bapak itu telah puluhan tahun saling mengenal dan melakukan perjalanan mistis bersama sebelum ia bertemu dengan mereka. Suryo sesungguhnya hanyalah orang kepercayaan Pak Sinaga untuk membantu menjual-beli barang antik. Tetapi ia telanjur dicap sebagai bagian dari paguyuban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
karena turut mengikuti beberapa perjalanan terakhir mereka (Suyono, 2014: 413-414). Merasa sering dikejar teluh, Suryo berusaha untuk kembali berdoa dan aktif di berbagai kegiatan kerohanian. Ia memang telah lama meninggalkan gereja. Ia berupaya aktif pada kegiatan-kegiatan gereja agar ia benar-benar terhindar dari ketakutannya itu. Meskipun masuk dengan nama yang berbeda, Suryo terlihat terbuka dan cukup dekat dengan bapak-bapak paroki. Berikut ini kutipannya (38). (38) Di lingkungan gereja, Suryo memperkenalkan diri dengan nama Bartolo. Itu dari nama baptisnya Bartolomeus. Sudah lama ia tak mencantumkan nama itu. Hanya disingkat B. Sedikit-sedikit ia mulai membuka dirinya, bergaul dengan orang-orang gereja. Di tengah bapak-bapak Paroki ia merasa tenteram. Bapak-bapak dan ibu-ibu Paroki memanggilnya Bartolo. Suryo mulai aktif membantu-bantu kegiatan jemaat. Ia menyerahkan diri pada kegiatan karismatik. Ia setiap hari meminta perlindungan Maria. Hampir setiap hari ia menggumamkan doa:…..(Suyono, 2014: 311). Ia akhirnya keluar negeri atas sebuah tugas yang diberikan kepadanya atas mandat Kementrian Pariwisata, Suryo berangkat untuk mengambil berbagai foto mengenai candi-candi yang ada di sekitaran Asia Tenggara. Perjalanannya keluar negeri tersebut bukan berarti Suryo terhindar dari teluh yang telah megejarnya sejak lama. Sampai di sana pun ia mengalami hal yang serupa dengan Jeanne, ia kembali dihantui. Berikut ini kutipannya (39) dan (40). (39) Kedatangannya ke Luang Prabang dan Siem Reap ini atas biaya Kementrian Pariwisata. Percetakannya mendapat job dari Kementrian membuat buku mengenai candi-candi di Asia Tenggara (Suyono, 2014: 312).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(40) Suryo tentu tak bisa menceritakan kepada Phhoung bahwa dirinya didera kekhawatiran dikejar-kejar teluh. Ia bisa ditertawai jika mengatakan ada teluh dari Jawa yang menyeberang sampai ke Kamboja memburunya. Ia tak bisa menceritakan bahwa kawan paguyubannya satu persatu hilang. Mungkin tewas karena sambetan teluh. Dan kini teluh yang mematikan sahabat-sahabatnya mencari-carinya. Energi teluh itu berputar-putar di antara arca-arca Budha lepra dan terus memburunya ke Bayon. Badannya sangat lemas. Badannya menggigil (Suyono, 2014: 521-522).
2.2.2 Tokoh Tambahan Tokoh tambahan merupakan tokoh-tokoh yang berada di lingkaran tokoh utama. Secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan tokoh utama. Berikut ini pemaparan beberapa tokoh tambahan dalam novel KdDL.
2.2.2.1 Pak Sinaga Pak Sinaga merupakan tokoh tambahan yang cukup dekat dengan Suryo dan Jeanne di paguyuban. Pak Sinaga adalah orang Batak kelahiran Madiun. Rambutnya kelabu. Logat Bataknya masih belum hilang. Pak Sinaga lama bekerja di Jepang sebagai staff Kedutaan Besar Indonesia. Bahasa Jepangnya masih fasih. Setelah pensiun, ia memiliki sebuah lembaga persahabatan Indonesia-Jepang. Di Tokyo, Pak Sinaga bergaul dengan perwira-perwira Jepang yang pernah bertugas di Jawa. Ia adalah seorang duda. Dia tinggal di sebuah rumah besar di kawasan Cibubur. Ia tinggal sendiri ditemani dua orang jongos, seorang pembantu, dan seekor bulldog besar. Sebagai salah satu orang yang paling tua di paguyuban, Pak Sinaga memiliki karakter kebapaan yang membuat Jeanne dan Suryo merasanya nyaman bersamanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Ia pula yang kemudian dipercaya untuk memimpin gerakan melawan legitimasi Soeharto lewat jalan metafisik. Karakternya yang kuat, membakar semangat perjuangan semua anggota paguyuban. Berikut ini kutipan (41) dan (42) yang menggambarkan karakter Pak Sinaga. (41) Pak Sinaga adalah orang yang sangat baik. Jika berada di dekat Pak Sinaga, Jeanne selalu merasa ada energi hangat…Kepribadiannya lembut, penuh perhatian (Suyono, 2014: 140). (42) Sejak hari itu, Pak Sinaga seperti dipercaya resmi bapak-bapak memimpin gerakan. Pak Sinaga terlihat siap menerima tanggung jawab. Masa-masa diskusi yang panjang dan dan melelahkan telah selesai. Masa-masa aksi sudah saatnya dimulai. Pak Sinaga adalah anggota paguyuban yang paling sepuh. Ia bekas seorang manajer. Ia juga banyak bergaul dengan kalangan tentara. Ia mengetahui banyak tempat petilasan (Suyono, 2014: 247). Sebagai orang yang paling kuat di paguyuban, Pak Sinaga merupakan salah satu orang yang ikut kena teluh dari orang-orang Soeharto. Selepas seluruh anggota paguyuban sengaja berpencar untuk menghindari penyergapan orang-orang Soeharto. Pak Sinaga juga tewas tak wajar kerena ditusuk menggunakan belati oleh juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, Desa Kanigoro. (43) “Pak Sinaga ditusuk di Blitar. Pak Sinaga mengunjungi Desa Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Pak Sinaga berusaha mencari pusaka-pusaka yang masih disimpan oleh keluarga Pak Sawito, tapi agaknya diikuti…” Suryo syok. “Ia ditikam juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, di Desa Konigoro (Suyono, 2014: 308-309).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
2.2.2.2 Pak Darsono Pak Darsono merupakan salah satu anggota paguyuban. Ia merupakan mantan orang kuat di Dinas Pekerjaan Umum. Ia yang pernah menangani waduk di seluruh Jawa. Rumah Pak Darsono di Pamulang. Rumahnya mewah bergaya mediteranian. Marmer-marmernya terlihat masih baru. Istrinya berdarah Manado, tampak muda dan cantik, namun terlihat sungkan bergaul dengan sahabat-sahabat Pak Darsono. Salah satu karakter Pak Darsono yang cukup berkesan bagi Jeanne adalah sifat kebapaannya. Tidak sungkan dalam suatu pertemuan, ia memeluk dan mencium Jeanne seperti anak sendiri. Berikut ini tergambar dalam kutipan (44). (44) Pak Darsono tak seperti biasanya. Melihat Jeanne datang, langsung ia memeluk dan mencium keningnya. Napasnya bau rokok (Suyono, 2014: 248). Sebagai anggota paguyuban, Pak Darsono merupakan salah satu orang berani. Dalam suatu kali perjalanan ke Jambe Pitu. Anggota paguyuban mendapat dawuh bahwa mereka harus memetik bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti. Bunga tersebut merupakan salah satu sumber kekuatan dari kekuasaan Soeharto. Apabila bunga tersebut jatuh ke tangan orang-orang Soeharto, maka kekuasaan Soeharto dipercaya akan tetap bertahan. Namun, apabila bunga tersebut jatuh ke tangan anggota paguyuban, maka kekuasaan Soeharto bisa ditumbangkan.
Mengambil
bunga wijayakusuma memang tidak mudah. Saat bunga tersebut mekar, laut akan menjadi ganas, seolah melarang siapa pun untuk menyeberang ke Pulau Biru Majeti dan mengambil bunga itu. Pak Djayeng sebagai salah seorang yang pernah ke Jambe Pitu mengambil inisiatif untuk tetap mengambil bunga tersebut entah apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
terjadi. Saat itu, Pak Darsono pun berinisiatif untuk menemani Pak Djayeng. Berikut ini tergambar dalam kutipan (45). (45) “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288).
2.2.2.3 Pak Djayeng Pak Djayeng Koesoemo merupakan pengusaha ekspor-impor yang pernah menguasai peti-peti kemas di pelabuhan. Pak Djayeng tinggal di Tebet. Ia memiliki kebiasaan untuk mengoleksi kayu-kayu bertuah. Ia menyimpan berbagai macam kayu langkah seperti kayu cendana, kayu drini sentigi, kayu kelor, kayu pamrih, bambu buntet, asam jawa, kayu nagasari, kayu timaha, kayu walikukun, kayu krangeyan. Semua jenis-jenis kayu tersebut memiliki khasiatnya masing-masing. Sama seperti Pak Darsono, ia pula tidak kalah berani dengan Bapak-bapak yang lain. Keberanian
tersebut
nampak
dalam
perjalanan
memburu
bunga
wijayakusuma. Saat ditanya oleh Pak Sinaga bahwa siapa yang bersedia bertolak ke Pulau Biru Majeti, dengan tanpa ragu, Pak Djayeng langsung menawarkan diri. Memang lokasi Jambe Pitu ini pernah dikunjungi dan dimengeri oleh Pak Djayeng,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
sehingga ia telah terbiasa dengan deburan ombak laut di tempat tersebut. Berikut kutipan (46) yang menggambarkan keberanian Pak Djayeng. (46) “Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287) Kematian Pak Djayeng bersama rekannyaa Pak Darsono diawali oleh sumpah mereka berdua untuk mengambil bunga wijayakusuma. Mereka berdua memang keras kepala. Meskipun telah diperingatkan bahwa menjelang bunga wijayakusuma mekar, laut di sekitaran pulau tempat ia tumbuh akan sangat ganas, tidak dihiraukan oleh mereka. Pada perjalanan mereka yang pertama, perahu mereka tidak bertahan hingga 20 menit. Mereka terseret ombak, mengalami sesak napas, dan di rawat di rumah sakit di Cilacap. (47) Seluruh peritiwa menyedihkan ini dimulai dengan kematian Pak Djayeng dan Pak Darsono. Masih hangat dalam benak Suryo saat akhir April 1996 ia dan Jeanne setelah kemarian Bu Tien, mengikuti paguyuban ke Jambe Pitu di Pantai Cilacap. Di situ Pak Djayeng dan Pak Darsono bersumpah memetik bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti. Seminggu kemudian, di awal Mei, mereka melaksanakan niat tersebut. Menurut kabar, mereka tak peduli ombak ganas. Baru 20 menit melaju, ombak membalikkan perahu mereka. Tubuh mereka terlempar-lempar. Susah payah mereka berenang ke pantai (Suyono, 2014: 305). Kegagalan di perjalanan yang pertama tidak sedikit pun menggetarkan hati Pak Djayeng dan Pak Darsono.
Sepuluh hari kemudian, mereka kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
melaksanakan keinganan mereka tersebut. Kembali dengan motivasi yang sama, mereka tidak ingin bunga itu jatuh di tangan yang salah. Mereka ingin untuk mengamankan bunga tersebut sebelum didahului utusan Soeharto. Pada perjalanan mereka yang kedua tersebut, cuaca cukup cerah dan ombak pun tenang. Mereka berdua di lepas oleh Pak Sinaga dari atas bukit. Akan tetapi, perjalanan kedua ini memang betul merenggut nyawa mereka. Niat untuk mengambil bunga wijayakusuma pupus tanpa hasil. Berikut ini gambaran kecelakaan yang dialami Pak Djayeng dan Pak Darsono dalam kutipan (48). (48) Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas mereka. Mulanya perahu mereka berjalan lancar. Tapi begitu perahu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran gelombang seperti angin lesus berputar-putar kencang memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang berbeda. Mayat mereka tak ditemukan. Hanya pecahan lambung perahu yang dilihat penduduk pantai (Suyono, 2014: 306).
2.2.2.4 Pak Sewaka Pak Sewaka merupakan pensiunan ahli radar. Pak Sewaka tinggal di kawasan Cibubur. Dia salah satu anggota paguyuban yang memiliki cukup banyak wawasan mengenai latar belakang kekuatan Soeharto. Kecerdasannya ini yang mewarnai sekian banyak diskusi mengenai Soeharto. Dari dialah muncul wacana bahwa kekuatan Soeharto sebenarnya juga disokong wahyu Bu Tien. Letak kekuatan Bu Tien terletak pada tusuk kondenya. Gambarannya mengenai masa kecil Bu Tien dan hubungan dengan Soeharto digambarkan cukup detail. Gambaran cerita Pak Sewaka ini terdapat pada halaman 197-206 (Suyono, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Pengetahuan Pak Sewaka mengenai wahyu Bu Tien yang tersimpan di tusuk konde, membawanya untuk ikut terlibat dalam perburuan tusuk konde tersebut. Bersaing dengan banyak orang di petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Dalam perburuan tusuk konde tersebut, Pak Sewaka menjadi salah satu yang tidak pernah menyerah untuk bertahan. Ia bahkan menyewa sebuah tenda milik warga untuk tetap bertahan di sana. Perburuannya ini yang kemudian merebut nyawa Pak Sewaka. Berikut ini kutipannya (49). (49) Pak Sewaka tak pantang menyerah. Ia bahkan sampai menyewa sebuah bilik milik warga di sekitar Banglampir. Tiap hari sampai menjelang subuh, ia keluar dan memilih tempat konsentrasi di dekat patung-patung yang ada di situ. Tapi, suatu hari, setelah dua minggu berturut-turut bersemadi, ia ditemukan meninggal di antara pepunden-pepunden batu. Sama sekali tidak ada tandatanda ia dianiaya. Tubuhnya bersih, tak ada darah atau torehan luka. Dokter yang memeriksanya menyatakan ia meninggal seperti sesak napas karena kehabisan oksigen (Suyono, 2014: 362).
2.2.2.5 Pak Radjiman Pak Radjiman adalah ahli kartografi, pernah bekerja di Jawatan Topografi TNI AD. Sebagai mantan pegawai topografi, ia dikenal sebagai kolektor peta tua dan litografi Nusantara. Ia mengumpulkan peta dan gambar saring cetak dari pasar-pasar loakan dan balai lelang di Eropa. Rumahnya yang di Kelapa Gading seperti museum. Ia memigura peta-peta itu dan memasangnya di hampir setiap sudut rumah, dari lantai pertama hingga lantai kedua. Sebagai seorang kolektor, Pak Radjiman memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
banyak koleksi-koleksi langkah. Berikut kutipan (50) yang menggambarkan koleksi Pak Radjiman. (50) Pak Radjiman juga secara spesial memiliki 50-an litografi kutrano yang menggambarkan sudut-sudut Jembatan Besar, Glodok, Taman Falatehan, sehingga bila dideretkan orang bisa utuh membayangkan bagaimana kawasan Kota di masa lalu (Suyono, 2014: 146). Suatu ketika, Pak Radjiman berniat untuk menapak tilas di Situ Panjalu, salah satu lokasi yang belum pernah dikunjungi paguyuban selama masih aktif melakukan perlawanan secara bersama-sama. Situ Panjalu merupakan pulau yang lembab dan dingin, banyak dihuni oleh harimau, ular, dan babi hutan, baik yang asli maupun yang jadi-jadian. Tempat ini memang banyak dikunjungi oleh banyak pertapa akan tetapi jarang yang bertahan hingga seminggu. Pak Radjiman memang bertahan di hutan tersebut selama seminggu, meskipakun pada akhirnya ia hilang tak berbekas. Berikut gambaran Situ Panjalu pada kutipan (51). (51) Udara di dalam Situ Panjalu sangat lembap dan dingin. Di situ teradapat ratusan cungkup makam tua. Para peziarah yang berani bermalam di hutan biasanya akan bertapa di cungkup-cungkup. Di dalam hutan masih ada berseliweran harimau, ular, dan babi hutan, baik asli maupun jadi-jadian. Suara nafas geram harimau yang mendekati tubuh dan seringainya yang seolah-olah digoreskan ke leher bukan hal yang asing bagi peziarah. Mereka tahu itu harimau jadi-jadian. Mereka yang nyalinya tinggi bisa bertahan berhari-hari. Namun biasanya tak lebih dari seminggu. Mereka berharap di antara waktu itu menemukan jimat di celahcelah cungkup (Suyono, 2014: 363). Sebagai salah satu anggota paguyuban, Pak Radjiman juga tidak luput dari teluh, seperti teman-temannya. Saat paguyuban cooling down, Pak Radjiman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
berinisiatif untuk menapaktilasi Situ Panjalu. Kebetulan tempat tersebut memang belum pernah dikunjungi oleh kelompok paguyuban, maka niat Pak Radjiman untuk mengunjungi Situ Panjalu semakin kuat. Perjalanannya kali ini juga merenggut nyawanya. Berikut gambaran kematian Pak Radjiman dalam kutipan (52). (52) Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak Radjiman keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia membeli rokok, mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakapcakap dengan para penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih tapi bersinar-sinar. Ia kemudian membungkus makanan dan diminta diantar kembali ke Situ Panjalu. Namun, setelah seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di dalam hutan Panjalu. Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa peziarah sempat menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong panas bergerak di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar (Suyono, 2014: 363).
2.2.2.6 Pak Priyambodo Pak Priyambodo adalah bekas Direktur Departemen Pajak. Pak Priyambodo tinggal di daerah Taman Margasatwa, Ragunan. Nasib Pak Priyambodo sama seperti Pak Sinaga, ia juga duda. Meskipun demikian, penggambaran karakter Pak Priyambodo dalam novel KdDL tidak begitu banyak. Ia juga melakukan banyak perjalanan spiritual dengan para anggota paguyuban lainnya. Sebagai anggota paguyuban, Pak Priyambodo juga tidak luput dari kejaran teluh. Berbeda dengan teman-temannya, nasib Pak Priyambodo tidak berakhir tragis dengan kematian, tetapi cacat mental. Ia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa Porong, meski sebelumnya ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
telah dirawat di Penang, Malaysia. Kondisi Pak Priyambodo amat parah. Berikut ini gambaran mengenai nasib Pak Priyambodo pada kutipan (53). (53) Tiap hari pasien tersebut ingin masuk ke dalam tong. Sustersuster di situ terpaksa membawa sebuah tong besar ke kamarnya. Pasien bernama Priyambodo itu mengurung diri di dalam tong. Meringkuk sendirian. Bahkan kencing dalam tong. Bila lapar baru ia menyembulkan kepalanya dari dalam tong. Dan kemudian perawat-perawat itu menyuapinya. Tim dokter mengira kebiasaan itu akan lenyap bisa ia menelan pil-pil penenang. Namun keliru. Ia makin menjadi-jadi. Saat perawatperawat memaksa dia berbaring di tempat tidur, dia merontaronta, berteriak-teriak keras kepada para pasien lain, mengajak mereka memberontak. Semua pasien sakit ingatan yang mendengar kalimat-kalimat Pak Priyambodo bertepuk tangan, bersorak-sorak, menari kegirangan (Suyono, 2014: 368-369).
2.2.2.7 Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono Sawito Kartowibowo adalah pegawai Departemen Pertanian di Bogor. Iamerupakan orang di luar paguyuban. Meskipun demikian, Sawito sangat ditakuti oleh Soeharto. Itulah mengapa kemudian anggota paguyuban ikut menapaktilasi semua tempat yang pernah didatangi oleh Sawito agar mendapat wahyu sepertinya untuk menandingi Soeharto. Ia adalah sahabat seperguruan dengan Meneer Widjanarko – salah satu orang yang juga sangat dihormati para bapak paguyuban. Sawito sebenarnya bukan tentara, bukan juga anggota partai politik. Ia sebenarnya hanyalah seorang pegawai negeri biasa asal Blitar. Ketakutan Soeharto semakin menjadi-jadi setelah mengetahui bahwa Pak Sawito merupakan murid dari R.M. Panji Trisirah, putra dari Pakubuwono X di Solo – R.M. Panji Trisirah juga teman baik dari T.H. Sumoharmoyo, bapak tiri Soeharto. Pak Sawito bahkan satu kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
pernah ditahan atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dengan alasan melakukan perencanaan kudeta terhadap Soeharto. Berikut ini kutipan (54) dan (55) yang menunjukkan mengapa sampai Soeharto begitu menakutinya. (54) Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Majapahit yang dipercayainya belum turun.Wahyu itu satu-satunya kekuatan yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto. Hutan dan gunung yang didatangi Sawito bahkan jauh lebih banyak daripada yang pernah dikunjungi Soeharto semasa muda. Soeharto ketakutan. Pada tahun 1976, atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Sekretaris Negera Sudharmono, Sawito diambil dari rumahnya, disel dengan tuduhan merencanakan penggulingan Soeharto (Suyono, 2014: 208). (55) “Soeharto menjadi tambah ketakutan, apalagi saat mengetahui bahwa Sawito adalah murid dari R.M. Panji Trisirah, putra dari Pakubuwono X di Solo (Suyono, 2014: 210).” Keberanian Sawito terhadap Soeharto justru dilakukan secara terang-terangan. Ia membuat cukup banyak petisi yang mengkritik kebijakan-kebijakan Soeharto. Tidak sedikit pula yang mendukung petisinya, termasuk Bung Hatta dan pemukapemuka agama, Kardinal Yustinus Darmoyuwono, Buya Hamka, T.B. Simantupang. Berbagai bentuk perlawanan berani Sawito akan dipaparkan lebih lanjut pada bab IV penelitian ini. Mr. Soedjono adalah sahabat dekat Pak Sawito. Sebagai sahabat, Mr. Soedjono banyak menemani perjalanan spiritual Pak Sawito. Ia adalah orang yang jujur. Ketika bersaksi di pengadilan dalam gelar sidang perkara Pak Sawito, Mr. Soedjono dengan yakin bersaksi menepis semua dugaan orang yang salah tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
bahwa Pak Sawito berbohong. Berikut ini kutipan (56) yang menggambarkan pendapat Pak Priyambodo tentang kejujuran Mr. Soedjono. (56) ”Tidak, Meneer! Mr. Soedjono bukan penipu! Saya saat itu juga ada di persidangan!” tiba-tiba menyeruak dari paling pojok suara Pak Pariyambodo (Suyono, 2014: 212). Mr. Soedjono memiliki pengalaman akademis dan karier yang cukup mapan. Itulah mengapa banyak orang yang tidak meragukan sosok Mr. Soedjono. Kesaksiannya di pengadilan meyakinkan banyak orang bahwa peristiwa metafisik yang dialami Pak Sawito bukan persoalan naïf belaka. Seorang intelektual sekelas Mr. Soedjono pun mempercayainya. Kutipan (57) berikut ini menggambarkan jejak pendidikan Mr. Soedjono. (57) ”Terima kasih, Pak Priyambodo. Mr. Soedjono itu memang orang yang sangat berpendidikan. Mustahil ia mengatakan hal yang ngawur. Ia menempuh sekolah hukum di Universitas Leiden. Bahasa Belandanya fasih. Dia menyandang gelar meester inde rechten. Dia pernah berpraktik sebagai advokad bersama tokoh pergerakan Mr. Sunario.” (Suyono, 2014: 213).
2.2.2.8 Meneer Widjinarko Meneer Widjinarko merupakan salah satu simpatisan paguyuban. Secara keanggotaan ia memang bukan seperti Pak Sinaga atau Pak Djayeng. Akan tetapi, ia merupakan orang yang sangat disegani oleh para anggota paguyuban. Ciri fisiknya masih tegap walaupun sudah berusia lanjut. Meneer Widjinarko adalah saudara seperguruan Sawito. Ia seseorang yang membimbing Sawito. Ia tinggal di kawasan Cipete. Tanahnya sangat luas. Rumah gedong bergaya kolonial terlindung oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
rerimbunan pohon angsana. Berikut ini kutipan yang menggambarkan rasa hormat anggota paguyuban kepada Meneer Widjinarko (58). (58) “Pada hormat banget ya sama Meneer Widjinarko?” kata Jeanne heran mula-mula saat melihat bagaimana bahkan Pak Sinaga dan Pak Djayeng, tokoh yang dituakan di paguyuban juga langsung sungkem saat sang Meneer datang (Suyono, 2014: 207). Meneer Widjinarko terbilang cukup tua dibanding dengan semua anggota paguyuban. Namun, usianya bukan menjadi penghalangnya untuk ikut memikirkan berbagai cara yang bisa dilakukan untuk melawan Soeharto. Ia bersama semua anggota paguyuban bahkan tidak kelelahan berdiskusi hingga pukul 2 pagi. Meneer justru yang paling kuat dan ketegasannya tidak berkurang bersama dengan waktu yang kian pagi. Berikut gambarannya dalam kutipan (59). (59) Acara berlanjut. Di atas kursi Meneer Widjinarko mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mengajak yang hadir beradu mata satu persatu. Ia juga menyodorkan matanya ke Suryo, sang anak ingusan. Ia seakan mengadakan tes kejujuran bahwa di antara bapak-bapak tidak ada penyusup atau mata-mata yang melaporkan pertemuan kepada aparat. Pandangan mata Meneer Widjinarko pada pukul 2 malam tersebut seolah ingin menegaskan bahwa barang siapa yang matanya mengkeret saat ia tatap lebih baik keluar sekarang juga. Sorot mata Meneer Widjinarko pasti mengoyak-ngoyak ulu jantung informan, andai ia ada (Suyono, 2014: 219). Dalam diskusi yang panjang hingga pagi tersebut, Meneer Widjinarko menceritakan menganai perjalanan spiritual dan perjalanan hidup sahabatnya Pak Sawito dalam menentang kekuatan metafisik Soeharto. Dalam pertemuan tersebut juga ia memberikan sebuah petunjuk yang semakin meyakinkan anggota paguyuban untuk tetap berada pada garis oposisi dengan pemerintah. Meneer Widjinarko
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
menjadi orang yang paling penting saat itu. Kutipan (60) berikut ini merupakan inti dari perbincangan mereka yang berlangsung hingga pagi tersebut. (60) “Bapak bilang, ia melihat kekuasaan Soeharto tidak akan berlangsung lama. Ia melihat Soeharto jatuh oleh demo yang kasar (Suyono, 2014: 221).
2.2.2.9 Pak Koentono Pak Koentono merupakan bagian dari paguyuban yang beberapa kali hadir untuk membicarakan banyak hal mengenai filosofi Ganesha. Ia adalah seorang Sukarnois yang pernah aktif terlibat dalam Partai Nasional Indonesia. Pernah beberapa kali masuk tahanan karena aktivitas politiknya. Dalam beberapa pertemuan dengan anggota paguyuban, ia bahkan tidak sungkan untuk membicarakan mengenai kejelekan Soeharto yang waktu itu terbilang cukup berbahaya. Berikut ini kutipan (61) mengenai siapa itu Pak Koentono. (61) Suatu malam misalnya datang seseorang bernama Pak Koentono. Umurnya 60-an. Ia di masa lalu aktif sebagai anggota PNI: Partai Nasional Indonesia. Ia seorang Sukarnois. Ia pernah masuk tahanan karena aktivitas politiknya. Pembawaannya tenang. Pak Koentono, Selasa Kliwon itu mengisahkan pengalamannya yang bagi Jeanne sangat aneh. Pak Koentono membeberkan kisah nyata hidupnya berpuluh-puluh tahun melakukan perjalanan mengurapi arca-arca Ganesha (Suyono, 2014: 148).
2.2.2.10 Pak Burhan dan Pak Begja Pak Burhan adalah salah satu anggota paguyuban. Dalam novel KdDL tidak banyak dikisahkan mengenai siapa Pak Burhan sebenarnya. Pak Burhan juga ikut dalam berbagai aktivitas paguyuban, baik itu kegiatan pertemuan dikusi maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
perjalanan spiritual. Berikut ini kutipan (62) yang menggambarkan kehadiran Pak Burhan dalam suatu pertemuan paguyuban. (62) ….Pak Djayeng menambahi keterangan Pak Radjiman dengan panjang lebar. Ucapannya disambung Pak Burhan: ”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai seorang perwira yang menginspeksi barisan. Tampak betul lelaki yang sudah banyak makan asam garam. Saya percaya yang diucapkannya benar. Saya waktu itu terharu sekali mendengarnya. Ia orang jujur.” (Suyono, 2014: 215). Sama seperti Pak Burhan, Pak Begja juga tidak digambarkan secara jelas latarbelakangnya. Namun, ia juga merupakan bagian dari setiap aktivitas paguyuban. Kehadirannya juga memberikan sumbangan yang berharga bagi paguyuban saat menentukan rute perjalanan spiritual. Berikut ini kutipan (63) yang menggambarkan peran Pak Begja bagi paguyuban. (63) ”Pak Sinaga, apakah kita perlu menapaktilasi rute Pak Sawito menerima wahyu? Saya kira kita perlu. Meski Pak Sawito tidak mungkin menjadi kepala negara, kita perlu mendapatkan petunjukpetunjuk di tempat tersebut mengenai siapa pemimpin-pemimpin masa depan. Kita perlu wahyu tandingan. Di sana kita bisa memohon turunnya wahyu tandingan. Wahyu tandingan siapa saja ratu Adil kelak,Pak Bagja meneluarkan pendapatnya (Suyono, 2014: 251).
2.2.2.11 Abah Moertopo, Bante Poernomo, dan Gus Mutaqqin Abah Moertopo, Bante Poernomo, dang Gus Mutaqqin merupakan tiga guru yang didatangkan oleh Paguyuban Anggoro Kasih untuk mengajari kitab-kitab tentang kematian. Masing-masing dari mereka akan mengajarkan satu kitab. Pengetahuan mereka mengenai kitab-kitab tersebut berasal dari pengalaman mereka ketika masih muda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Abah Moertopo merupakan tokoh tambahan dalam novel KdDL. Ia pernah hidup di Kathmandu, Nepal dan bertemu dengan kaum hippie asal San Fransisco. Selama di Nepal, Abah Moertopo pernah mempelajari berbagai yoga dan berbagai rahasia agama Syiwa dan Mahayana Budhisme. Raut wajah Abah Moertopo memang keindia-indiaan padahal ia tidak sedikitpun memiliki darah Gujarat ataupun Tamil. Berikut kutipan (64) yang menggambarkan seperti apa Abah Moertopo. (64) Raut wajah Abah Moertopo memang tidak keindia-indiaan, apalagi bila kacamatanya dibuka. Padahal menurut dia sama sekali taka da setetes darah Gujarat atau Tamil mengalir di tubuhnya. Asalnya Sragen. Ia kelahiran desa yang masih kawasan purbakala Sangiran. Jeanne agak kaget karena di awal perkenalan, Abah Moertopo menyebut-nyebut kaum bohemian San Fransisco tahun 1970-an. Ia mengaku berkawan dengan para pengikut band Grateful Dead dan Jerry Garcia (Suyono, 2014: 163). Abah Moertopo memiliki jiwa “liar” sama seperti kaum hippie dari San Fransisco. Karakter tersebut yang mendorong Abah Moertopo dengan spontan mengikuti gerombolan kaum hippie yang sdang mencari jalan ke Kathmandu dan rela keluar dari tempat kerjanya di kapal pariwisata. Ia tertarik karena di Kathmandu juga mereka bisa bertemu dengan guru-guru yang dapat mengajarkan perjalanan astral. Keputusannya saat itu yang menyebabkan Abah Moertopo menguasai Kitab Bardo Thodol. Berikut ini kutipan (65) yang menggambarkan sebagian perjalanan Abah Moertopo bertemu dengan kaum hippie. (65) Jeanne ingat acara pertemuan tersebut dimulai dengan Abah Moertopo menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke Kathmandu. Ia ternyata orang kapal. Kerja sebagai bartender di kapal pariwisata. Saat kapalnya menyandar di Pelabuhan New Delhi, ia bertemu dengan rombongan hippie asal San Fransisco. Anak-anak muda berjanggut tebal dan berambut pelintir-pelintir panjang itu sehari-hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
menggelandang dan bermain musik di sepanjang jalan HaightAshbury, pusat bohemian San Fransisco. Abah Moertopo berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka mencari jalan ke Kathmandu. Menurut mereka, Kathmandu lebih eksotis daripada India. Mereka ingin sekali sampai ke Kathmandu karena mereka mendengar di sana ada guru-guru yang mau mengajarkan perjalanan astral. Perjalanan jiwa keluar dari tubuh. Abah Moertopo tertarik. Ia langsung memutuskan keluar kerja dari kapal dan bergabung dengan para hippie itu (Suyono, 2014: 163). Bante Purnomo memiliki latar belakang sebagai pengurus sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Ia memang bukan seorang bante, tetapi orang memanggilnya dengan gelar tersebut karena karena pernah tinggal di wihara. Perawakannya tinggi, wajahnya cerah. Berbekal pengalaman tinggal di wihara tersebut, ia mendapatkan banyak pengetahuan tentang rahasia ajaran Budhis, salah satunya kitab yang ia ajarkan kepada anggota paguyuban, yaitu Kitab Satthapanita.Berikut ini kutipan (66) yang menggambarkan siapa Bante Poernomo. (66) Pada pertemuan itu datang seseorang bernama Pak Poernomo. Orangnya tinggi bersih. Parasnya cerah bagaikan baru saja digurah. Rambutnya disisir ke samping. Umurnya 60-an. Ia mengenakan kemeja putih lengan pendek bagai seorang guru. Ia bukan seorang bante, namun anggota memanggilnya bante karena ia pernah tinggal di sebuah wihara di Sri Lanka. Pak Poernomo memiliki latar belakang pengurus sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Dalam pertemua itu, ia akan membabar kitab Budha Satthapanita (Suyono, 2014: 173). Sebagai seorang pengajar Kitab Budha Satthapanita, Bante Poernomo harus memiliki daya imajinasi yang baik juga dapat menuntun orang untuk berimajinasi. Oleh karena Kitab Budha Satthapanita bertolak dari refleksi pembusukan mayat, maka Bante Poernomo harus dapat menghidupkan imajinasi tentang pembusukan mayat. Kemampuannya tersebut mengakibatkan anggota paguyuban terbawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
imajinasi dan kewalahan mengatasinya. Kutipan (67) berikut menggambarkan bagaimana Pak Sinaga menghentikan tuntunan pengimajinasian tentang proses pembusukan mayat karena tidak mampu lagi melanjutkannya lagi. (67) ”Stop, stop Bante, stop semua…,” akhirnya Pak Sinaga memerintahkan Bante Poernomo menyetop latihan malam itu (Suyono, 201: 176). Gus Mutaqqin merupakan simpatisan paguyuban yang tinggal di lereng Merapi-Merbabu. Ialah yang akan mengurai kitab asli Jawa dari zaman Sultan Agung bernama Kitab Pangrucutan. Ia adalah seorang kiai dengan penampilan klimis. Berikut kutipan (68) yang menggambarkan Gus Mutaqqin. (68) Ia adalah seorang kiai yang katanya memiliki sebuah pesantren kecil di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Orangnya sih menurut Jeanne tidak seperti sosok kiai. Dalam bayangan Jeanne, Gus Mutaqqin orangnya agak sepuh, berpeci, berjanggut. Tapi ternyata wajahnya klimis. Rapi. Ia tampak sebagai seorang petugas pelelangan atau seorang analis kredit. Ia mengenakan hem abu-abu berbalut jas hitam desa yang necis. Walaupun begitu, pengetahunannya tentang kitab Pangrucutan cukup luas (Suyono, 2014: 178-179). Dalam konteks tertentu, Gus Mutaqqin dapat dikatakan polos atau lebih tepatnya lugas. Ketika melakukan praktik kitab Pangrucutan, dibutuhkan seorang volounteer untuk menjadi mayat. Salah satu syaratnya ialah zakar dari orang yang bersedia menjadi mayat tidak boleh dijepit oleh kedua paha, tetapi dihadapkan ke atas. Saat itu yang menjadi mayat adalah Suryo. Terlambat memperbaiki posisi zakarnya, Gus Mutaqqin tidak sungkan merogoh sarung Suryo dan membetulkan sesuai yang diinginkan. Berikut kutipan (69) yang menggambarkan kejadian tersebut. (69) Yang membuat penglihatan Jeanne tak percaya, Saat Suryo bingungdan juga dirinya serta bapak-bapak itu-mengenai apa yang dimaui Gus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Mutaqqin, kiai itu langsung spontan merogoh sarung Suryo dan tampak memegang kemaluan Suryo. Ia membenarkan posisi titit Suryo supaya tidak menggelantung terjepit paha (Suyono, 2014: 180181).
2.2.2.12 Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi merupakan tiga guru Soeharto. Mereka saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Soeharto biasanya banyak berkonsultasi dengan mereka jika akan mengambil keputusan-keputusan penting baik menyangkut kenegaraan, masyarakat, hingga urusan pribadi. Romo Dijat memiliki karakter yang misterius sekaligus sangat berwibawa. Itulah mengapa ia sangat dikagumi oleh Soeharto. Sebagai seseorang yang menekuni aliran kebatinan, Romo Dijat sering melakukan tirakat di pepunden-pepunden leluhur. Soeharto melihat Romo Dijat untuk yang pertama kali saat melakukan ziarah di makam Trowulan. Berikut ini kutipan (70) yang menggambarkan mengenai perangai Romo Dijat. (70) Pada tahun 1961, saat Soeharto belum menjadi presiden, Romo Marto menganjurkannya tirakat di Trowulan. Tatkala Soeharto memasuki sebuah makan di Trowulan, ia melihat seorang lelaku setengah baya tengah melakukan meditasi dan terlihat berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Lelaki itu sangat karismatik. Aura menenangkan keluar dari tubuhnya. Soeharto mendadak merasa tenteram berada di dekat lelaki itu. Seusai melakukan meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto kagum, terkesan, dan penasaran dengan lelaki itu (Suyono, 2014: 227). Romo Marto menjadi guru pertama Soeharto sebelum bertemu dengan Romo Dijat. Sebagai seorang guru, ia tidak berhenti melatih Soeharto agar semakin peka dengan suara hatinya. Model pelatihan yang diberikan oleh Romo Marto pun sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dengan metode latihan aliran kebatinan seperti kungkum ataupun puasa. Telaga Titis di Jogja menjadi salah satu tempat Romo Marto melatih Soeharto. Romo Budi merupakan guru ketiga Soeharto. Memang dalam novel KdDL, tidak banyak disebutkan seperti apa karakter dan perawakan dari Romo Budi. Perannya membantu Soeharto terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga Cendana.
2.2.2.13 Sunuwarsono dan Setyarso Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Sebagai seorang militer, ia sangat ketat mendisiplinkan rumah tangganya, termasuk dalam mendidik Jeanne. Kutiapan (8) di atas menggambarkan seperti apa model kedisiplinan yang ia terapkan ketika membesarkan Jeanne. Sunuwarsono memiliki seorang ajudan yang bernama Setyarso. Tidak heran jika Setyarso menjadi ajudan dari Pak Sunuwarsono. Badannya cukup kekar. Banyak orang bahkan preman di sekitar tempat tinggalnya yang takut padanya. Bersama dengan Pak Sunuwarsono, Setyarso pernah bertugas di TimorTimur untuk menahan amukan pasukan Fretilin. Berikut ini gambaran mengenai Setyarso pada kutipan (71). (71) Setyarso adalah sersan, ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah tentara yang paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat-tempat Jeanne tinggal. Setyarso baru keluar dari hutan-hutan Timor-Timur. Ia lima tahun ditanam di pegunungan untuk mengintai gerak gerilyawan kiri. Rambutnya cepak. Badannya tinggi kekar. Kulitnya cokelat gosong. Otot biseps dan triseps pada lenagan atas dan lengan bawahnya menonjol. Raut mukanya sebenarnya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
tampak ganas. Namun rahangnya keras. Itu yang membuat karakternya tampak tegas. Setyarso tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya. Banyak orang yang salah menyangka usianya mendekati 40 (Suyono, 2014: 68-69). 2.2.2.14 Soedjono Hoemardani Seodjono Hoemardani merupakan sahabat seperguruan Pak Harto. Keduanya ditabiskan sebagai saudara kebatinan oleh Romo Marto. Selama bersama Soeharto, ia menjaga Soeharto dan keluarganya. Gambaran mengenai siapa Soedjono Hoemardani akan disampaikan pada bab III.
2.2.2.15 Phu Tram Phu Tram bukanlah bagian dari paguyuban. Ia adalah orang yang dikenal oleh Jeanne saat berkunjung ke Vietnam. Phu Tram adalah seorang penyelam berpengalaman bersuku bangsa Champa. Sudah sejak lama ia bekerja untuk pemerintahan Vietnam mengumpulkan barang-barang antik yang tenggelam di perairan Vietnam seperti Hon Cau, Hon Dam, Cu Lao Cham, Ca Mau, dan Binh Thuan. Dengan bermodalkan sertifikat resmi penyelam harta karun negara, Phu Tram telah melakukan banyak ekspedisi ke banyak negera untuk mengumpulkan harta karun kapal-kapal yang karam. Berbekal kepeduliannya terhadap arca Prajnaparamita ia mendapat permata yang digunakan untuk membangun kafe Champa; tempat ia dan Jeanne kemudian bertemu. Berikut digambarkan dalam kutipan (72). (72) “Manik-manik ini kujual. Lalu uangnya untuk mendirikan kafe ini, Jeanne,” kata Phu Tram (Suyono, 2014: 107).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Di awal perkenalan Jeanne dengannya, Phu Tram memang sedikit dinilai Jeanne kurang sopan. Sikap ini yang pada awalnya menjadikan Jeanne sedikit kurang nyaman dengan upaya Phu Tram untuk memulai percakapan dengan Jeanne. Sikap kurang sopan tersebut ditunjukkan dalam kutipan (73). (73) Jeanne bertanya-tanya mengapa lelaki di kursi roda itu (Phu Tram) mengemukakan hal yang menjijikan kepadanya. Bahasa Inggrisnya bagus. Namun sungguh kurang sopan santunnya (Suyono, 2014: 35). Di balik sikap Phu Tram yang menurut Jeanne itu kurang sopan, sebenarnya ia adalah pemeluk agama yang taat. Karena ia merupakan keturunan Champa asli, Phu Tram merupakan pemeluk Islam yang taat. Dalam setiap aktivitas, Phu Tram selalu memulai dengan mengucapkan bismillah. Menurutnya, semua aktivitas menyelamnya tidak akan pernah berhasil kalau tidak dimulai dengan doa. Berikut ini kutipan yang menggambarkan sikap agamais Phu Tram dalam kutipan (74) dan (75). (74) “Aku selalu mengucapkan bismillah sebelum mengambil barangbarang di laut itu. (Suyono, 2014: 104)” (75) Phu Tram mengaku selalu berbekal doa. Ia yakin arwah-arwah itu tak akan mengganggunya bila ia tak lancang. Mereka bagaimanapun, tetap makluk Tuhan (Suyono, 2014: 105). Dalam suatu kali pengalaman pertama Phu Tram menemukan Kuil di Dasar Laut, ia menunjukkan sikapnya yang ambisius dan penasaran. Dalam penyelaman yang pertama, ia tidak berhasil untuk memasuki kuil induk. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk melanjutkan di penyelaman yang kedua. Dalam penyelaman yang kedua tersebut, Phu Tram justru tidak menemukan apa yang ia cari. Kegagalan di penyelaman kedua ini tidak memupuskan harapan Phu Tram. Ia kembali melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
penyelaman hingga lima kali. Pada penyelaman tersebut, Phu Tram menemukan kuil itu lagi. Keahlian Phu Tram sepertinya menjadi alasan mengapa ia kemudian menjadi nyaman dengan lingkungan bawah laut. Itulah sebabnya sehingga melakukan eksplorasi bawah laut menjadi hal yang menyenangkan bagi Phu Tram, apalagi dalam misi mencari sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya – Kuil di Dasar Laut. Berikut ini kutipan (76) dan (77) yang menggambarkan karakter Phu Tram yang ambisius dan pantang menyerah. (76) Ia mengatakan dalam dirinya sendiri bahwa ia harus mampu berjalan sampai kuil induk. Ia harus bisa memasuki bagian paling inti dari kuil. Ia telah sampai ke jaba awal. Besok harus mampu menuju jaba tengah, lalu jaba dalam. Yang ia capai baru tanah bhurloka. Ibarat tubuh, masih kaki. Belum sampai dada dan otak. Ia ingin menembus sampai dada dan otak kuil. Bhuwarloka dan swarloka (Suyono, 2014: 116-117). (77) Ia mencoba tak menyerah. Baru ketika sampai kelima kali ia meloncat ke dasar laut, pandangannya menatap kembali stupa itu. Alhamdulillah! Hatinya bersorak gembira. Seperti tak mau kehilangan waktu, ia langsung menyusuri trek stupa tersebut. Kori agung itu tetap berdiri tegak. Baru tiga langkah memasukinya, ia sudah merasa dari bilik-bilik serambi berbagai mata menyorot dia. Ia tak peduli (Suyono, 2014: 117-118). Setelah sekian eksplorasi mencari harta karun dari kapal karam di dasar laut, pemerintah Vietnam melarang agar penyelam tidak boleh menyelamatkan harta-harta yang berasal dari kebudayaan Champa. Hal tersebut terjadi karena suku Champa menjadi musuh Vietnam dan pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa menyaingi kebudayaan mereka. Phu Tram sebagai salah satu penyelam yang berasal dari suku Champa diawasi secara berlebihan agar tidak melanggar peraturan tersebut. Merasa tidak nyaman dengan perlakuan itu, Phu Tram pun memutuskan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
melakukan penyelaman ilegal. Ia pula memiliki ambisi untuk menyelamatkan harta karun suku Champa yang terbenam di dasar laut. Memutuskan untuk melakukan penyelaman ilegal, Phu Tram pun nekat untuk menyelam dengan peralatan seadanya. Ia tidak peduli terhadap resiko buruk yang mungkin akan diterimanya. Ia hanya tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menghambat tekadnya untuk menyelam bebas dan menyelamatkan harta suku Champa. Berikut ini gambaran pada kutipan (78) tentang sikap nekat Phu Tram untuk tetap menyelam. (78) Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabatsahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa (Suyono, 2014: 99). Phu Tram juga memiliki wawasan yang luas tentang situs-situs kebudayaan di Vietnam. Itulah mengapa, Phu Tram memiliki pengaruh yang positif bagi Jeanne untuk mengenal berbagai tempat kebudayaan yang eksotis di Vietnam. Bukan hanya menceritakan, Phu Tram bahkan mengajak Jeanne untuk berkeliling ke beberapa candi. Wawasan Phu Tram tersebut didokumentasikan dalam sebuah daftar candi. Berikut ini tergambar dalam kutipan (79). (79) Silahkan baca. Ini daftar candi di Vietnam yang saya buat.” Jeanne termenung. Ia membolak-balik buku sederhana tersebut. Tertera berbagai candi yang ada di Vietnam. Tiap uraian dilengkapi foto hitam-putih. My Son, Dong Doung, Tra Kieu, Bang An, Chien Dan, Khuong My, Thoc Loc, Huang Thanh, Po Dam, Phu Hai, Po Nagar…. (Suyono, 2014: 41).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
2.2.2.16 Mualim Satu Mualim Satu merupakan sahabat Phu Tram yang hobi mengumpulkan bendabenda spesialis sekaligus ahli terhadap artefak-artefak Champa. Menurut Phu Tram, lelaki ini seolah merasa bertanggung jawab atas segala harta kekayaan Champa di dasar laut. Itulah mengapa ia bekerja sama dengan Phu Tram untuk mencari harta Champa. Phu Tram pun banyak belajar darinya. Di rumah Mualim Satu, banyak terdapat barang-barang Champa yang ditata layaknya pajangan museum. Bendabenda tersebut didapatkan dari perairan Vietnam maupun dari berbagai lokasi punggung bukit Vietnam. Beberapa barang yang diperoleh oleh Phu Tram di dasar laut dijual kepada sahabatnya ini. Mualim Satu merupakan orang yang lebih luwes dan cerdas daripada Phu Tram. Kedatangan Jeanne di rumahnya pun disambut dengan sangat ramah, meskipun baru pertama kalinya mereka bertemu. Keluwesan Mualim tersebut membuat Jeanne tidak sungkan dan keberatan untuk bercerita dan berbagi banyak hal. Pada mulanya, sosok Mualim di dalam pikiran Jeanne adalah pria bertubuh kekar dengan tampak menyeramkan. Bagaimana tidak, dari cerita Phu Tram, sang Mualim bahkan pernah mengisap abu pembakaran layaknya mengisap bubuk-bubuk madat. Berikut ini gambaran mengenai sosok Mualim Satu dan tempat tinggalnya dalam kutipan (80) dan (81). (80) Bersamaan dengan itu, muncul sesosok laki-laki dari dalam, melangkah gesit, melintasi taman menghampiri mereka. Dialah Mualim Satu. Sang penghisap arwah. Laki-laki yang pernah mencimeng abu pembakaran tubuh ayahnya itu ternyata bukanlah seorang pria kekar seperti yang ada dalam bayangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Jeanne. Tampangnya sama sekali tak angker. Ia jangkung. Kurus. Umurnya 60-an. Ia menyongsong mereka (Suyono, 2014: 564). (81) Orangnya ramah. Jauh lebih luwes daripada Phu Tram. Ia menuangkan teh dari poci ke cangkir-cangkir. Ia membuka beberapa stoples camilan dan membujuk Jeanne agar tak sungkan mencicipi kudapan. Jeanne mengedarkan pandangan. Seluruh ruangan berdinding kayu papan-papan cokelat. Ia merasa berada di dalam relung sebuah gua atau di dalam kabin kapal pinisi. Atau di dalam sebuah tong kosong brendi raksasa atau perut ikan. Papan-papan kayu itu adalah sirip-sirip dan duriduri ikan. Entah kenapa, ruangan terasa cembung. Ia tertarik dengan seorang wanita berkerudung yang dipasang dengan pigura indah. Sang Mualim mengenakan sarung. Di satu foto ia mengenakan destar. Di foto lain songok (Suyono, 2014: 565). Kehidupan Mualim ternyata tidak sebaik dan sematang dalam gambaran Jeanne. Ia juga memiliki pengalaman menyedihkan yang banyak merubah kehidupannya. Istri dan kedua anaknya mengalami peritistiwa yang tragis dalam perjalanan liburan ke Kamboja. Kala itu, Pol Pot sedang gencar-gencar menjalankan misinya. Keluarga Mualim tersebut menjadi bagian dari kekejaman yang dilakukan Khemer Merah. Kejadian tersebut sangat memukul Mualim. Ia turut merasa bersalah karena mengizinkan istri dan kedua anaknya berlibur pada masa-masa kondisi Kamboja sedang tidak kondusif tanpa mengantarkan mereka. Berikut ini tergambar dalam kutipan (82) mengenai kekejaman yang diterima istri dan kedua anak Maulim. (82) Istri saya saat tiba di kampungnya ketahuan masih berambut panjang. Ia menolak rambutnya dipotong. Rambutnya katanya dijambak. Kerudungnya diempaskan. Dia diseret di balai desa dan kemudian perutnya ditusuk bayonet. Dua anak saya yang tak bersalah disuruh menggunakan serban, lalu katanya disuruh meneriakkan kata “Allahu Akbar”, kemudain ditembak, padahal mereka masih sangat kecil, tak mengerti apa-apa (Suyono, 2014: 571).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Tidak digambarkan secara jelas apakah kebiasaan madat Mualim terjadi sebagai pelarian dari kesedihannya. Akan tetapi, bisa dianalisis bahwa kesedihannya menjadi alasan Mualim untuk terus menerus mengisap bubuk penenang. Jeanne pun menduga demikian karena dadanya yang sesak mendengar cerita pilu Mualim sejenak tenang setelah mengisap bubuk yang sama. Sebuah sedotan meringankan segalanya. (83) Jeanne sendiri juga merasa sebuah sedotan akan melegakannya. Sebab, setiap kali ia menoleh ke foto wanita berkerudung itu, dadanya sesak. Air matanya mau meleleh. Baru kali ini ia mendengar sejarah sedih muslim Champa. Selama ini hanya penderitaan muslim Palestina yang ia tahu. Sebuah sedotan akan meringankan segalanya (Suyono, 2014: 572). Bubuk tersebut berbentuk serbuk cokelat kekuningan dan disimpan dalam sebuah kotak. Dengan bubuk tersebut Mualim pernah menyaksikan penampakan Kuil di Dasar Laut seperti yang pernah dilihat oleh Phu Tram dan Jeanne. Bedanya, Phu Tram hanya bisa memasuki kuil pertama sedangkan Mualim dan Jeanne telah memasuki kuil kedua. Untuk mencapai kuil ketiga, mereka banyak mengalami tantangan. Oleh karena itu, Mualim Satu percaya bahwa hanya Jeanne saja yang bisa memasuki kuil ketiga dan bisa menjawab rasa penasaran Phu Tram dan Mualim Satu. Bubuk pembayang akan sangat ampuh membantu Jeanne. (84) Aku yakin, bila kamu mengisap bubuk ini, kamu bisa menyaksikan lilin yang aku lihat. Juga mampu masuk lebih jauh daripada aku, sampai ke kuil ketiga. Aku ingin sekali sampai ke kuil ketiga, Jeanne. Sudah berkali-kali kuisap, tapi tetap bayanganku tumpul. Aku sadar, memang aku hanya diperbolehkan sampai ke ruangan kuil kedua. Lalu kudengar dari Phu Tram ada kamu, Jeanne, yang tanpa mengisap apa-apa bisa sampai melongok ke kuil kedua. Alhamdulillah, aku tak menghabiskan bubuk ini. Aku merasa ada orang lain yang tepat untuk menyedot bubuk ini, Jeanne (Suyono, 2014: 576).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
2.2.2.17 Souvvana Souvvana merupakan orang yang dikenal oleh Suryo suatu ketika Suryo sedang beristirahat di sebuah kafe pastri. Lelaki ini telah tiga hari terus menerus mengamati keberadaan Suryo. Tidak disangka oleh Suryo, ternyata lelaki tersebut merupakan orang asli Laos yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap beberapa tradisi kebudayaan Laos. Berikut ini tergambar dalam kutipan (85) mengenai ciri fisik Souvvana. (85) Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip hippie Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair Bengal Amerika bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg rambut dan janggut putih lelaki itu awut-awutan, pakaiannya acak-acakan, dan tampangnya selalu terlihat mabuk. Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang penyelundup, di film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa namanya (Suyono, 20014: 322-323). Pada pertemuan pertama dengan Souvvana, mereka berdua dengan cepat akrab dan saling mempercayai. Tidak sungkan, Souvvana mengajak Suryo untuk bertandang ke tempat tinggalnya untuk menceritakan banyak rahasia yang belum pernah diceritakan Souvvana kepada orang lain bahkan kepada orang sebangsanya. Keterbukaan Souvvana inilah yang membuat Suryo tahu banyak mengenai rahasia patung Prabang bangsa Laos dan berbagai rahasia lainnya. Suryo diberikan oleh Souvvana sebuah Prabang Budha yang melindungi Suryo dari kejaran teluh. Berikut ini tergambar dalam kutipan (86) mengenai sikap kepercayaan Souvvana kepada Suryo. (86) Datang ke rumah saya besok. Jangan dibicarakan di sini. Banyak rahasia yang tidak bisa saya ceritakan di sini.” Janggut putih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pemilik kedai roti itu bergoyang-goyang saat ia menghela napas panjang (Suyono, 2014: 334).
2.2.2.18 Phhoung Phhoung adalah seorang pegawai lepas di Museum 1000 Buddha - museum milik pemerintah Kamboja di Siem Reap. Phhoung dikenal Suryo dari seorang temannya, karyawan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta yang memberi banyak proyek pembuatan buku mengenai candi-candi di Jawa. Phhounglah yang menjadi pemandu wisata bagi Suryo selama mengadakan riset di Kamboja. Penampilan Phhoung yang menarik menjadikan Suryo merasa puas didampingi oleh Phhoung. Bukan hanya itu saja, Phhoung bahkan bersedia menjadi quide di luar museum. Berikut ini gambaran mengenai ciri fisik dan sebab ketertarikan Suryo pada Phhoung dalam kutipan (87). (87) Mereka bertemu di Museum 1000 Buddha. Begitu bersua, Suryo segera manangkap kemandirian Phhoung. Perempuan itu berambut pendek, hampir cepak malah, namun sangat feminis auranya. Ia gesit dan cekatan meladeni semua rasa ingin tahu Suryo. Ia fasih benar isi perut Museum 1000 Buddha. Ia menjelaskan kepada Suryo seluruh koleksi museum secara detail. Ia mengatakan, sebelum terjun ke lapangan memang lebih baik memahami dulu isi museum. Yang membuat Suryo senang, perempuan yang selalu menggunakan rok ini menyediakan diri menjadi guide di luar museum (Suyono, 2014: 523-524). Tinggal di Kamboja, Phhoung juga keluarganya pernah mengalami masamasa berat ketika Pol Pot berkuasa. Bapaknya terlibat dalam misi besar Pol Pot sebelum misi tersebut berubah menjadi misi berdarah. Ayah Phhoung bertugas sebagai fotografer para calon korban pembantaian orang-orang Pol Pot. Awal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
keterlibatan tersebut memang murni karena kagum kepada Saloth Sar (nama asli Pol Pot), tetapi ayah Phhoung jadi tak bisa berbuat apa-apa setelah kekejaman Khemer Merah mulai merajalela. Berikut ini dibuktikan dalam penggalan ungkapan Phhoung dalam kutipan (88). (88) “Aku tak suka! Soalnya, Bapakku pernah bekerja di Tuol Sleng (Killing Field), Sur!” (Suyono, 2014: 526).
2.2.2.19 MdDSSG Mahasiswa dan demonstrasi simpatisan Sebastiao Gomes merupakan masyarakat Timor-Timor yang melakukan aksi demostrasi di pemakaman Santa Cruz. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah jenuh dan marah atas kematian rekan mereka Sebastiao Gomes. Gambaran mengenai mereka dan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mereka akan dibahas pada bab III.
2.3
Latar Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial. Ketiga unsur ini walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dipaparkan dalam poin 1.6.1.2, penelitian ini hanya menganalisis latar tempat dan waktu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
2.3.1
Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat yang dianalisis dalam novel KdDL ialah lokasi-lokasi yang dilalui oleh anggota paguyuban dan tokoh-tokoh lain yang melakukan counter-hegemoni. Selain itu, dianalisis tempat-tempat yang dikunjungi oleh Jeanne dan Suryo selama di luar negeri seperti Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey, Bayon, Siem Reap, dan Café Red Piano), Vietnam (Hoi An, Da Nang, My Son, Nha Trang, dan Café Champa) , Laos (Luang Prabang dan Kafe Pastri). Tempattempat di luar negeri juga ikut dianalisis meskipun di lokasi tersebut tidak terjadi counter-hegemoni (secara politis) karena menjadi tempat pelarian. Pelarian tersebut dimaknai oleh peneliti sebagai bentuk perlawanan lain (apolitis)6 yang dilakukanJeanne dan Suryo. Di lokasi tersebut, mereka masih dihantui oleh konsekuensi pernah terlibat dalam perjalanan spiritual paguyuban melawan Soeharto. Tempat-tempat yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu, Timor Timur (Santa Cruz), Jakarta (Glodok, Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Margasatwa Ragunan, dan Kawasan Cipete), Cirebon (Jambe Lima, Jambe Pitu), Ngawi (Alas 6
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha juga untuk mengungkapkan bentuk perlawanan yang apolitis. Bahwa sebuah perlawanan tidak semestinya ada kontradiksi yang nampak kasat mata lewat tindakan perlawanan dan pertantangan. Perlawanan dapat pula dilakukan dengan menjauh/berlari dari permasalahan yang ada untuk menncari jalan keluar dan menghidar dari segala dampak dari permasalahan yang telah dihadapi sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Ketonggo), Perbatasan Kudus-Jepara (Gunung Sapto Renggo), Pulau Situ Panjalu, Padang Lawas, Yogyakarta, Samudra Laut Cina Selatan (Kuil di Dasar Laut), Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey, Bayon, Siem Reap, dan Café Red Piano), Vietnam (Hoi An, Da Nang, My Son, Nha Trang, Café Champa) , Laos (Luang Prabang dan Kafe Pastri).
2.3.1.1 Santa Cruz, Timor-Timur Santa Cruz merupakan salah satu kawasan pemakaman di Timor Timur. Nama tempat ini memang tidak banyak ditemukan di buku sejarah karena memang kejadian di tempat ini sejak masa Orde Baru sengaja disembunyikan oleh pemerintah. Di tempat ini pernah terjadi perlawan keras yang dilakukan oleh simpatisan Sebastiao Gomes. Mereka tidak gentar menghadapi pihak militer yang waktu itu bersenjata. Cukup banyak korban yang berjatuhan di tempat ini saat hari kejadiannya. Berikut ini kutipan (89) dan (90) yang menggambarkan Santa Cruz sebagai tempat berdarah di tahun 1991. (89) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014: 81). (90) Tentara Indonesia datang. Mereka membubarkan secara paksa demonstrasi. Mahasiswa melawan. Tentara Indonesia tanpa ampun memberondongkan peluru. Mahasiswa tunggang langgang, meloncati nisan-nisan kuburan. Namun, tentara kalap,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
peluru mereka menerjang, sampai puluhan korban terkelungkup berdarah di nisan-nisan orang lain. Mereka menjadi mayat di atas mayat yang telah berada lama di bawah tanah (Suyono, 2014: 81).
2.3.1.2 Jakarta
Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta sangat gencar terjadi peristiwa-peritiwa yang menggelisahkan masyarakat. Berikut ini beberapa lokasi di Jakarta yang dianalisis peneliti menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan aparat dan tempat bangkitnya kelompok penentang pemerintah.
A. Glodok, Klender, Matraman Klender merupakan lokasi yang meninggalkan mimpi buruk bagi Jeanne. Ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan berbagai kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung. Toserba Yogya menjadi salah satu bangunan terbakar yang hampir dikunjungi Jeanne sebelum kejadian. Peristiwa saat itu di tempat ini menyisahkan banyak hal mengerikan. Selain itu, terjadi juga di kawasan lain seperti di Matraman juga terjadi hal yang mengerikan. Toko-toko kamera direngsek dan barang-barang mahalnya dijarah massa. Berikut ini kutipan (91) dan (92) yang menggambarkan kengerian peristiwa tersebut. (91) Klender, Jakarta Timur, 1998, Toserba Yogya. Hanya logo merahnya yang masih terlihat jelas terbaca. Seluruh dindingnya gosong. Seberapa banyak mayat yang hangus terbakar masih misterius orang yang hilang mencapai ratusan. Dan korban terbanyak adalah ibu-ibu dan anak-anak yang tengah berbelanja. Mereka hangus bertumpuk-tumpuk, saling lengket. Mereka terjebak api, tersetrum sana-sini. Ibu-ibu dan anak-anak itu menjadi arang. Bau anyir sampai tercium jauh keluar Sore
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
menjadi sangat menakutkan. Malam katanya ada sayup-sayup suara tangisan menyayat dari dalam reruntuhan toserba yang terdengar sampai trotoar (Suyono, 2014: 137). (92) Tanggal 13 Mei 1998. Hari itu Jakarta demikian tak menentu. Penjarahan di mana-mana. Di berbagai showroom, mobil-mobil dikeluarkan oleh amuk massa dan rame-rame disiram bensin. Kaca-kaca toko dipecahkan, televisi-televisinya digondol. Tentara hanya berdiri membiarkan massa yang beringas. Di kawasan Matraman, massa merengsek masuk ke Gedung Fuji Film. Mereka memecahkan kaca, berebutan masuk, menggondol kamera-kamera dan lensa-lensa Canon, Nikon, Yashica, dan handycam-handycam Sony yang termahal. Glodok mengerikan. Salah satu bagian terparah adalah Toserba Yogya di kawasan Klender. Dengan mata kepala sendiri, Jeanne melihat toserba ini dijilat api (Suyono, 2014: 138).
B. Taman Mini Indonesia Indah Taman Mini Indonesia Indah merupakan lokasi yang digunakan oleh paguyuban untuk melaksanakan pertemuan Anggoro Kasih. Anggoro Kasih adalah malam penuh rahmat yang biasanya jatuh di malam Selasa Kliwon. Oleh karena itu, Taman Mini Indonesia Indah menjadi salah satu yang penting bagi paguyuban. Berikut digambarkan dalam kutipan (93). (93) … Para bapak itu anggota paguyuban pertemuan Anggoro Kasih yang sebulan sekali acaranya diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (Suyono, 2014: 144).
C. Jalan Marga Satwa, Ragunan Jalan Marga Satwa, Ragunan merupakan lokasi rumah Pak Danisworo. Di tempat ini juga terjadi sebuah pertemuan yang berkesan karena mempertemukan murid-murid Romo Dijat, Meneer Widjanarko, dan lingkaran Jalan Diponegoro.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Mereka adalah kaloborasi yang kuat untuk menentang kekuatan spiritual Soeharto. Dalam pertemuan di tempat ini, mereka membahas banyak hal penting, termasuk ramalan bahwa Soeharto akan turun oleh demo yang kasar dan juga perencanaan rute perjalanan spiritual anggota paguyuban. Berikut ini tergambar dalam kutipan (94). (94) Jalan Taman Margasatwa, Ragunan. Rumah Pak Danisworo. Sore itu semua anggota paguyuban berkumpul. Mereka kembali lagi seperti sedia kala, tanpa murid-murid Romo Dijat, Meneer Widjanarko, atau lingkaran Jalan Diponegoro. Wajah Pak Djayeng, Pak Burhan, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Koentono, Pak Sinaga. Muka bapak-bapak itu kuyu. Tampak belum tidur. Pak Darsono yang biasanya klimis kini awut-awutan. Bahkan ia mengenakan kemeja yang terlihat ada bekas-bekas tersundut rokok (Suyono, 2014: 246).
D. Kawasan Cipete Kawasan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan merupakan lokasi rumah dari Meneer Widjanarko. Di tempat ini untuk pertama kalinya dipertemukan tiga kelompok yang sebelumnya tak saling mengenal. Pertama, kelompoknya sendiri, pengikut Sawito Kartowibowo. Kedua, paguyuban lingkaran Pak Sinaga, Pak Burhan, Pak Djayeng, dan lain-lain. Ketiga, adalah kelompok bekas murid Romo Dijat dan Romo Marto. Dalam pertemuan di tempat ini, mereka banyak membahas mengenai perjalan spiritual Soeharto. Berikut ini kutipan (95) bukti yang menunjukkan keberadaan rumah Meneer Widjanarko. (95) Rumah sang Meneer Widjanarko di Kawasan Cipete. Tanahnya sangat luas. Rmuah gedong bergaya colonial itu terlindungi oleh rerimbunan pohon angsana (Suyono, 2014: 223).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
2.3.1.3 Yogyakarta Yogyakarta merupakan salah satu tujuan dari perjalan spiritual paguyuban. Tempat di Yogyakarta yang mereka cari adalah sebuah telaga yang bernama Telaga Titis. Dalam bahasa Jawa, kata “titis” adalah „tepat sasaran‟. Tempat tersebut merupakan tempat Soeharto dilatih oleh Romo Marto untuk mengindra dan mencermati gerak-gerik hatinya sendiri. Tempat inilah yang kemudian dituju oleh anggota paguyuban untuk melakukan hal yang sama dengan Soeharto kungkum sepanjang malam. Berikut ini kutipan (96) yang menggambarkan Yogyakarta sebagai salah satu tempat tujuan perjalanan spiritual paguyuban. (96) Siang itu Yogya panas sekali. Kawasan berbukit kapur itu begitu gerah. Badang lengket semua. Begitu duduk, lehernya terseka angin semilir. Tadi ia pikir kawasan ini jauh dari hotel. Ternyata sekitar 40 menit dari Prawirotaman. Jalannya berkelok-kelok melalui Pabrik Gula Madukismo dan kalau tidak salah desa perajin guci-guci Kasongan. Kata sopir yang mengantar tadi, kawasan ini dekat padepokan Bagong Kussudiardja. Mana padepokannya, Jeanne tak tahu (Suyono, 2014: 261).
2.3.1.4 Bhairo Bahal, Padang Lawas Bahiro Bahal merupakan lokasi pemujaan kepercayaan Heruka atau Bhairawa. Letaknya di Padang dekat Medan. Perjalan ke tempat ini dilakukan oleh Pak Sinaga dan beberapa anggota paguyuban termasuk Suryo. Misi perjalan mereka ini ialah untuk berdoa di kawasan Bairo Bahal agar pada masa penumbangan Soeharto, tidak terjadi pertumpahan darah yang banyak. Mereka ke lokasi untuk karena ada hubungan Padang Lawas dengan kepercayaan Heruka dan kepercayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Bhairawa – Bhairawa merupakan perwujudan Syiwa tatkala mengamuk menjadi raksasa. Penganut kepercayaan ini melakukan praktik kanibalisme. Kepercayan Heruka atau Bhairawa ini dipercaya masih bergolak dalam bawah sadar masyarakat kita (lih. Suyono, 2014: 254). Kepercayaan ini bisa saja muncul spontan saat terjadi kerusuhan. Berikut ini kutipan (97) yang menggambarkan Bhairo Bahal. (97) Pak Sinaga lalu menguraikan betapa sampai sekarang masih susah mencapai Bairo Bahal. Daerahnya sangat tandus, tapi sangat luas, berhektar-hektar. Pak Sinaga mengenang, saat ia masih kecil, Bairo Bahal sama sekali belum dijamah arkeolog. Di padang gersang Bairo Bahal, di sana-sini, ia menyaksikan puing-puing candi batu bata. Betapapun candi-candi itu sekarang sudah sedikit-sedikit direkonstruksi, masih banyak yang masih reruntuhan atau bekas-bekas (Suyono, 2014: 255).
2.3.1.5 Jambe Lima dan Jambe Pitu, Cilacap Jamber Lima merupakan lokasi tujuan anggota paguyuban setelah melakukan perjalanan ke Medan dan Yogyakarta. Tujuan kedatangan mereka ke sini sebenarnya untuk melanjutkan perjalanan ke seberang pulang bernama Pulau Biru Majeti. Di tempat tersebut tumbuh bunga wijayakusuma yang dipercaya sebagai simbol kekuasaan Soeharto. Berikut ini kutipan (98) yang menyebutkan Jambe Lima sebagai salah satu persinggahan anggota paguyuban. (98) Tiga puluh menit. Begitu sampai, bapak-bapak itu langsung menyelonjorkan kaki di bawah pohon. Pak Sinaga mengedarkan cangkir-cangkir jahe hangat yang disedu dari termos yang dibawa lelaki penjemput. Jeanne mengedarkan matanya mengitari tempat bernama Jambe Lima atau Cemara Seta ini. Jeanne mencari lima pohon pinang yang katanya menjadi penanda lokasi ini, tapi tak ketemu.Tempat ini kotor sekali. Daun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
yang berjatuhan tak pernah disapu, menumpuk. Ia melihat ada beberapa bilik kecil tak jauh dari mereka (Suyono, 2014: 277). Setelah dari Jambe Lima, anggota paguyuban bertolak ke Jambe Pitu. Letak Jambe Pitu dari Jambe Lima menanjak. Oleh sebab itu mereka dijemput oleh 6 motor khusus untuk diangkut ke Jambe Pitu. Berikut ini gambaran Jambe Pitu di mata Jeanne dalam kutipan (99). (99) Jambe Pitu dalam amatan Jeanne lebih kotor daripada Jambe Lima. Setelah Romo Dijat berpulang, tempat itu menurut Pak Burhan tak terawat. Pak Harto sendiri sudah lama tak lagi pernah datang ke tempat ini (Suyono, 2014: 281).
2.3.1.6 Gunung Sapto Renggo Gunung Sabto Renggo merupakan tujuan perjalanan anggota paguyuban setelah dari Cilacap. Gunung Sapto Renggo terletak di perbatasan Kudus-Jepara. Perjalanan ke tempat ini sebenarnya menapaktilasi perjalanan Pak Sawito untuk menemukan batang kayu hutan langkah yang menurut R.M.Panji Trisirah diberikan oleh Tuhan sebagai bahan tongkat komando. Berikut ini kutipan (100) yang menggambarkan persiapan anggota paguyuban menuju Sapto Renggo. (100) Jeanne melihat, untuk ke Sapto Renggo, persiapan anggota paguyuban lebih sibuk. Di Kudus itu, Gus Mutaqqin menyewa sebuah sebuah tenda hijau sangat besar. Tenda besar yang biasanya digunakan untuk latihan-latihan tentara. Tenda yang biasa menampung lebih dari 20 orang. Tenda itu dibutuhkan lantaran di Sapto Renggo tidak ada bangunan atau bilik sebagaimana di Jambe Pitu, Cilacap. Sapto Renggo memang masih hutan (Suyono, 2014: 289).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
2.3.1.7 Alas Ketonggo, Ngawi Alas Ketonggo menjadi tujuan perjalanan selanjutnya anggota paguyuban. Alas Ketonggo terletak sekitaran lereng Gunung Lawu dekat anak sungai Bengawan Madiun. Menurut cerita, di Alas Ketonggo ini Pak Sawito mendapatkan sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut memang tidak terlihat oleh mata awam. Perjalanan anggota paguyuban menuju ke sana sebenarnya dengan harapan agar mereka juga bisa mendapatkan takhta kerajaan tersebut. Berikut ini merupakan gambaran menganai Alas Ketonggo pada kutipan (101). (101) Alas Ketonggo memang lebih mengerikan daripada Sapto Renggo. Hutannya pekat. Masih sore sudah gelap. Di Alas Ketonggo itu, rombongan dijemput oleh seorang juru kunci bernama Saleh Pandan. Ini mengejutkan Pak Sinaga dan bapakbapak lain karena kedatangan mereka sesungguhnya diam-diam. Saleh Pandan mengatakan 40 hari sebelumnya ia menerima bisakan bahwa akan ada rombongan dari Jakarta datang. Jeanne ingat bagaimana Pak Sinaga dan Pak Djayeng girang bukan kepalang mendengar pernyataan Saleh Pandan tersebut (Suyono, 2014: 292).
2.3.1.8 Situ Panjalu Situ Panjalu merupakan pulau yang pernah dinapaktilasi oleh Pak Radjiman. Di tempat ini pulalah Pak Radjiman hilang dan tidak ditemukan lagi. Kondisi di Situ Panjalu memang menyeramkan. Tidak banyak orang yang bertahan lebih dari seminggu di sana. Berikut ini gambaran mengenai Situ Panjalu dalam kutipan (102). (102) Udara di dalam Situ Panjalu sangat lembab dan dingin. Di situ teradapat ratusan cungkup makam tua. Para peziarah yang berani bermalam di hutan biasanya akan bertapa di cungkup-cungkup. Di dalam hutan masih ada berseliweran harimau, ular, dan babi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
hutan, baik asli maupun jadi-jadian. Suara nafas geram harimau yang mendekati tubuh dan seringainya yang seolah-olah digoreskan ke leher bukan hal yang asing bagi peziarah. Mereka tahu itu harimau jadi-jadian. Mereka yang nyalinya tinggi bisa bertahan berhari-hari. Namun biasanya tak lebih dari seminggu. Mereka berharap di antara waktu itu menemukan jimat di celahcelah cungkup (Suyono, 2014: 363).
2.3.1.9 Laut Cina Selatan Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang biasa dituju oleh Phu Tram untuk melakukan
penyelaman
ilegal.
Penyelaman
ini
dilakukan
sebagai
bentuk
perlawanannya pada pemerintah Vietnam cukup memberi diskriminasi dan pembatasan kepadanya. Dengan menyelam di tempat ini, ia mengumpulkan berbagai benda-benda antik suku Champa secara bebas meskipun tanpa alat yang memadai. Di salah satu titik penyelaman di wilayah Laut Cina Selatan inilah Phu Tram menemukan Kuil di Dasar Laut. Phu Tram akhirnya melakukan beberapa kali penyelaman di tempat tersebut untuk mengetahui lebih jauh mengenai kuil itu. Berikut ini kutipan (103) yang menunjukkan Laut Cina Selatan sebagai salah satu wilayah penyelaman ilegal yang dilakukan oleh Phu Tram. (103) Ia ingat hari nahas itu hari Kamis. Ia kembali ke Samudra Laut Cina Selatan. Tak ada tanda-tanda cuaca buruk. Ia mempersiapkan selang sepanjang hampir 80 meter. Ia mengucapkan bismillah sebelum melompat ke air (Suyono, 2014: 111).
2.3.1.10 Kuil di Dasar Laut Kuil di Dasar Laut merupakan sebuah tempat bangunan yang ditemukan oleh Phu Tram dalam beberapa kali penyelaman di Laut Cina Selatan, Mualim Satu dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
pengaruh bubuk pembayang, dan Jeanne dalam mimpi-mimpinyanya. Dalam gambaran mereka, Kuil di Dasar Laut itu begitu indah dan belum pernah melihat kuil yang sebagus itu. Berikut ini penuturan Phu Tram mengenai gambaran Kuil di Dasar Laut sebagaimana ia saksikan saat menyelam. (104) “Aku melihat sosok sebuah kuil di kejauhan. Kuil itu berjenjangjenjang ke atas. Apakah itu fatamorgana? Kuil itu lebih indah dari kuil mana pun yang pernah aku datangi. Jenjang di belakangnya membentuk lapis-lapis perpaduan blenduk-blenduk kubah. Aku sudah ke mana-mana. Ke Kamboja, ke Thailand, Sri Lanka, Laos, Burma, menyusuri candi-candi. Namun, kurasa lebih elok kuil ini, Jeanne.” (Suyono, 2014: 113) Kuil tersebut terdiri dari tiga bagian. Kuil pertama, kedua, dan ketiga. Dalam beberapa kali upaya yang dilakukan mereka bertiga, tidak satu orang pun yang berhasil mencapai kuil ketiga. Itulah mengapa, Mualim Satu meyakini bahwa yang dapat memasuki kuil ketiga hanyalah para pandita yang telah memiliki ilmu tinggi. Dalam upaya memasuki setiap sudut kuil, Mualim Satu biasanya menggunakan bubuk pembayang. Dengan kadar dosis tertentu, Mualim Satu dapat masuk hingga kuil kedua. Meskipun menggunakan dosis yang tinggi, kuil ketiga tetap sukar dicapai. Itulah mengapa, Mualim Satu sangat meyakini hanya Jeanne-lah yang dapat memasuki kuil ketiga. Keyakinannya muncul karena pengalaman Jeanne sebelumnya bisa membayangkan penampakkan kuil satu dan dua tanpa mengkonsumsi bubuk pembayang, apalagi jika Jeanne sampai menggunakannya. Berikut ini kutipan (105) yang menggambarkan pemahaman Mualim Satu mengenai kuil ketiga – kuil yang sukar mereka capai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
(105) “Kuil ketiga itu terlarang bahkan untuk sesama pandita. Para sulinggih yang belum mencapai taraf tertentu tak diperbolehkan masuk. Kuil tersebut tempat para pandita senior melakukan latihan-latihan menerbangkan roh seperti yang pernah mereka lihat di Jawa (Suyono, 2014: 573). Perbincangan mengenai Kuil di Dasar Laut dalam novel ini cukup serius. Meskipun sebenarnya, penampakkan kuil tersebut hanya merupakan fatamorgana dari imajinasi Phu Tram, Jeanne, dan Mualim Satu. Hanya saja ada sedikit keunikan yang terjadi di antara mereka bertiga. Mereka melihat penampakkan kuil dengan bentuk yang sama persis. Mualim menceritakan mengenai apa yang dilihatnya saat terlintas dalam penglihatan membuat Jeanne kaget. Itu karena apa yang disaksikan oleh Mualim persis sama dengan apa yang disaksikan oleh Jeanne. Jika kuil tersebut hanya merupakan hasil dari fantasi mereka masing-masing maka tentu bayangan tentang kuil tersebut akan berbeda-beda. Itulah sebabnya, dapat digambarkan bahwa sebenarnya Kuil di Dasar Laut merupakan representasi sesuatu yang kadar pemahamannya sama di antara Jeanne, Phu Tram, maupun Mualim Satu. Berikut ini gambaran dalam kutipan (106) mengenai kesamaan penampakkan Kuil di Dasar Laut dalam penglihatan Jeanne dan Mualim Satu. (106) Jeanne terkesima. Apa yang dilaluinya juga dilalui oleh Mualim Satu. Bagaimana bisa? Ia mulai percaya bahwa memang kuil itu benar-benar ada. Kuil itu tak hanya ada dalam benak, tapi memang karam di dasar laut. Phu Tram, dirinya, dan Mualim Satu menyaksikan melalui jalan yang berbeda. Dan kini jalan yang mereka tempuh sendiri-sendiri mulai hendak disamakan. Jeanne mulai yakin dengan khasiat bubuk yang diisap Mualim Satu (Suyono, 2014: 575).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Baik Phu Tram, Jeanne, maupun Mualim Satu memiliki pengalaman yang pahit dalam kehidupan mereka. Phu Tram memiliki pengalaman didiskriminasi oleh orang-orang Vietnam dalam setiap upayanya untuk menyelamatkan harta bangsanya. Ia diperlakukan tidak wajar dan nyaris dibunuh suatu ketika saat menyelam oleh orang-orang Vietnam. Kenyataan direpresi oleh pemerintah Vietnam yang membuatnya untuk melakukan perlawanan dengan cara keluar dari kelompok penyelaman negara dan melakukan penyelaman ilegal. Mualim Satu mengalami nasib buruk ditinggal oleh istri dan kedua anaknya secara tidak wajar. Selama hidupnya ia menyesal karena mengizinkan istrinya untuk liburan ke Kamboja hingga mereka terbunuh dengan kejam oleh tangan orang Khemer Merah. Ia melawan kesedihannya dengan madat. Jeanne mengalami nasib buruk karena dikejar oleh teluh sejak melakukan perlawanan terhadap dunia metafisik Soeharto. Nasib rumah tangganya dengan mas Tubagus juga hancur di tengah jalan. Ia “melawan” masalah kehidupannya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Kuil di Dasar Laut - secara khusus kuil lapisan yang ketiga – dapat digambarkan semacam representasi keagungan zat tertinggi yang bisa menjawab berbagai persoalan orang-orang dengan serangkaian tantangan dalam hidup. Untuk mencapainya, diperlukan berbagai upaya yang tidak mudah. Tidak sembarang orang pula yang dapat melihatnya. Kuil lapisan ketiga menjadi kuil teragung. Di sana bersemayam hal yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun sebelum mencapainya. Dalam novel KdDL, penampakan Kuil di Dasar Laut hanya dilihat oleh Jeanne, Mualim Satu, dan Phu Tram, tokoh-tokoh yang memiliki serangkaian persoalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
hidup. Itulah mengapa mencapai kuil ketiga merupakan kerinduan dari mereka. Dengan segala upaya, mereka bertekad untuk mengetahui isi kuil ketiga. (107) Semoga engkau bisa masuk ke kuil ketiga. Semoga engkau bisa mencapai alam tantrayana itu. Kalau bisa masuk, jangan lupa doakan kami, Jeanne (Suyono, 2014: 606).” Untuk mencapai representasi keagungan tertinggi itu memang tidaklah mudah. Banyak hal yang harus ditinggalkan. Bahkan orang-orang yang dicintai. Dalam novel KdDL, digambarkan bagaimana Jeanne dikejutkan dengan kehadiran ayah, suami, dan anaknya bernama Meyra. Mereka jelas menentang Jeanne agar tidak terus berupaya memasuki kuil ketiga. Secara manusiawi, tentunya nasehat orang tua dan larangan orang-orang yang dicintai menjadi hal yang paling sulit untuk diabaikan, demikian juga Jeanne. Namun, kehadiran keluarganya tersebut justru tidak menggetarkan hari Jeanne. Ia tetap menjalankan niatnya yang selama ini terus menggerogoti hatinya. Dengan mengabaikan kehadiran dan nasihat orang-orang terdekatnya, Jeanne tetap memasuki kuil ketiga. Berikut tergambar dalam kutipan (108) dan (109) godaan yang menghambat niat Jeanne memasuki kuil ketiga. (108) “Jeanne, jangan masuk ke kuil Champa itu. Nduk, jangan menjadi pelacur kuil….” Sang Ayah menatap tajam dirinya (Suyono, 2014: 607). (109) “Ya, Itu sebuah sekte dari Syiwa-Budhis yang menganggap jalan pencerahan bisa dilakukan pada saat ini juga. Tak perlu reinkarnasi berkali-kali. Aku percaya bubuk yang diisap atau dihirup oleh pandita yang tubuh dan jiwa mereka telah dipersiapkan memotong kelairan kembali yang berulang-ulang. Bubuk ini disedot menggunakan pipa panjang atau dihirup langsung dari hidung. Aku yakin kuil ketiga yang belum kita lihat itu adalah kuil terinti tempat pendeta melakukan ritual mengisap bubuk semacam ini..(Suyono, 2014: 573).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Sebagaimana digambarkan dalam kutipan (108), Kuil di Dasar Laut merupakan kuil milik bangsa Champa, milik bangsa Phu Tram dan Mualim Satu. Kuil di Dasar Laut menjadi semacam pengingat bahwa pemberontakkan yang dilakukan oleh pasukan Sabil, Demak dibantu oleh Suku Champa, suku yang kononnya bersahabat dekat dengan orang-orang Champa untuk menjatuhkan kerajaan Majapahit. Dapat dikatakan bahwa suku Champa rupanya berpura-pura bersahabat dengan orang-orang Jawa zaman dulu untuk merebut hati orang Jawa sebelum akhirnya menyerang. Itulah mengapa Jeanne sebagai salah satu orang Jawa yang dikenal oleh Mualim Satu dan Phu Tram menjadi satu-satunya yang bisa mencapai kuil ketiga. Untuk melihat peristiwa di masa lalu yang belum banyak diketahui orang hingga saat ini. Di akhir cerita, kuil ketiga ternyata merupakan bangunan kerajaan yang dulu tidak dapat disaksikan oleh Jeanne dengan kasatmata. Inilah yang menghubungkan peran suku Champa dengan kejatuhan kerajaan Majapahit7 di masa lalu. (110)Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun? Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya. Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki 7
Alas Ketonggo ini dikatakan memiliki hubungan dengan kejatuhan kerajaan Majapahit oleh karena di tempat ini, Prabu Brawijaya V – raja terakhir kerajaan Majapahit melepas semua atribut kebesarannya sebelum melanjutkan perjalan ke Gunung Lawu. Atribut kebesaran tersebut kemudian menghilang di tempat itu. Kala itu ia sedang dalam pelarian dari kejaran para pasukan Sabil, Demak (Junaidi, 2015). Atribut kebesaran inilah yang direpresentasikan dalam novel KdDL sebagai takhta kerajaan tak kasatmata yang dicari oleh Pak Sinaga dan kawan-kawan. Di Alas Ketonggo ini pula dikatakan terdapat sebuah pintu gerbang gaib dan kerajaan gaib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi tempat penyimpanan takhta istana (Suyono, 2014: 609). Novel KdDL sebenarnya banyak menggambarkan sebuah perang kekuatan spiritual antara mistikus Soeharto dan anggota paguyuban. Perang tersebut dalam studi ini selanjutnya akan disebut dengan perlawanan metafisik. Bentuk perlawanan ini tidak kasatmata. Tidak banyak orang yang tahu kalau sebenarnya ada sebuah pertempuran sengit di udara yang menggempur satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, perlawanan ini dapat dikatakan sebagai sebuah perlawanan bawah tanah atas benteng metafisik Soeharto. Frasa Kuil di Dasar Laut sebenarnya juga sekaligus dapat dikatakan merujuk pada perjuagan tersebut. Frasa dasar laut memiliki konotasi yang sama dengan bawah tanah. Pada pemaknaan sebelumnya, Kuil di Dasar Laut merepresentasikan sebuah keagungan dan kesempurnaan. Kesempurnaan dan keagungan tersebut menjadi sebuah cita-cita yang juga diharapkan oleh anggota paguyuban atas pemerintahaan dan kondisi sosial-politik Indonesia. Mereka telah mencapai titik kulminasi untuk mendiamkan pengganyanganpengganyangan
yang
dilakukan
oleh
Soeharto.
Sudah
saatnya
mereka
menumbangkannya dan memberikan kesempatan kepada orang lain agar dapat menciptakan sebuah kondisi sosial dan politik Indonesia yang lebih baik atau mungkin mendekati yang sempurna. Kuil di Dasar Laut menjadi sebuah cita-cita sekaligus jiwa dari keseluruhan cerita novel KdDL.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
2.3.1.11 Laos Laos merupakan negara tujuan Suryo dalam perjalanannya melakukan riset pembuatan buku atas biaya Kementrian Pariwisata. Percetakannya mendapat job dari Kementrian membuat buku mengenai candi-candi di Asia Tenggara. Ia mengunjungi beberapa tempat di Laos, salah satunya Luang Prabang. Di Laos ini pula, Suryo bertemu dengan seseorang bernama Souvvana. (111) Cerita patung Budha emas yang penuh diisi oleh roh-roh hutan itu diperoleh Suryo secara tak sengaja dari seorang “bangsawan” Laos. Selama tiga hari berturut-turut, selepas menguntit iringiringan biksu mengemis yang berjalan dari Wat Xieng Thong, Suryo selalu beristirahat di sebuah kafe pastri di Jalan Sakkharine. Pagi sekali, pukul 5 – saat langit masih gelap – kafe itu sudah buka. Kafe dengan cita rasa kolonial Perancis itu menyajikan menu-menu kue croissant dan baguette yang baru keluar dari oven. Suryo suka duduk di situ memesan kaa feh nom hawn atau kopi susu panas dan croissant hangat yang disusupi keju. Pagi sekitar pukul 7, Luang Prabang demikian tenang. Udara pagi segar dan bersih. Suryo menyeruputnya kopinya sembari mengudap makanan manis menyaksikan biksu anakanak di seberang jalan menyapu halaman (Suyono, 2014: 322).
A. Luang Prabang Luang Prabang merupakan salah satu tempat yang dikunjungi oleh Suryo saat di Laos. Di tempat inilah ia mengerti mengenai cerita patung Prabang Budha dari temannya Souvvana. Tempat ini menjadi salah satu tempat di Laos yang melihat perpaduan paham komunisme dan Budha. (112) Di Luang Prabang inilah Suryo sempat berpikir bahwa komunisme dan Buddha sejatinya adalah dua pemikiran yang cocok (Suyono, 2014: 327).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
B. Kafe Pastri Kafe ini merupakan tempat beristirahat Suryo selepas menguntit iring-iringan biksu mengemis yang berjalan dari Wat Xieng Thong. Lokasi kafe ini di jalan Sakkharine, Luang Prabang. Setiap pagi pukul 5, kafe ini sudah buka. Kafe dengan cita rasa kolonial Perancis itu menyajikan menu-menu kue croissant dan baguette yang baru keluar dari oven. Di tempat inilah Suryo bertemu dengan pemiliki kafe yang kemudian dikenal Suryo sebagai Souvvana. Berikut ini digambarkan dalam kutipan (113) mengenai kejadian selama Suryo berada di kafe pastri. (113) Tak dinyana selama tiga hari ia mampir di kafe itu ada seseorang yang terus-menerus mengamati keberadaannya (Suyono, 2014: 322).
2.3.1.12 Kamboja Kamboja merupakan tujuan perjalanan Jeanne setelah ia mengalami masalah rumah tangganya dengan mas Tubagus. Ia sebenarnya ingin bertemu dengan saudarinya bernama Linda di Vietnam. Namun, sebelum bertemu dengan sahabat masa kecilnya itu, ia masih bersantai-santai dengan mengunjungi beberapa tempat di Kamboja, salah satunya Siem Reap.
A. Siem Reap Siem Reap menjadi salah satu tempat yang dikunjungi oleh Jeanne di Kamboja. Di tempat ini juga ia bertemu dengan Suryo mantan kekasihnya setelah sekian tahun berpisah. Kedatangan Suryo ke Siem Reap juga merupakan agenda perjalanannya setelah dari Laos. Di Siem Reap, Suryo menginap di Banyan Leaf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Hotel. Tujuan kedatangan Suryo di Siem Reap sebenarnya untuk mendokumentasikan phalus-phalus purba. Namun, pikirannya berubah setelah melihat paras batu Jayawarman VII. Di Siem Reap, Jeanne mengunjungi situs Angkor Wat yang di dalam sekaligus terdapat beberapa candi. (114) Sepuluh hari ia tinggal di Siem Reap. Ia ingin bermalas-malasan di kota candi ini. Namun keputusannya berleha-leha di Siem Reap ternyata membuat dia berpapasan dengan Suryo, mantan kekasihnya yang aneh sebelum ia menikah dengan Mas Tubagus (Suyono, 2014: 16-17).
B. Angkor Wat Angkor Wat menjadi salah satu tempat rekomended yang perlu dikunjungi orang saat berkunjung di Kamboja. Dalam perjalanannya, Jeanne juga mengunjungi tempat ini. Tempat ini membuat Jeanne kagum sekaligus takut. Ia kembali bertemu dengan jiwa-jiwa para bapak paguyuban. (115) Dan di saat berada di ruang. tengah Angkor, ia terkesima……Kota kawasan candi –candi Siem Riep ini di mana-mana diresapi kisah pencarian amrita (Suyono,2014: 6). (116) Jeanne ketakutan dengan penglihatannya. Adakah bapak-bapak itu disiksa? Dianiaya oleh orang-orang tak dikenal? Kuatkah bapak-bapak itu menahan gebukan dan sayatan? Ataukah bapakbapak itu mati kemudian? Ia langsung meninggalkan Angkor (Suyono, 2014: 10).
C. Pnom Bakheng Pnom Bakheng merupakan sebuah candi besar berbentuk piramida terpancung tempat banyak pengamen-pengamen tak berkaki bersimpuh di setapak keluar-masuk candi. Tempat ini menjadi tujuan kedua Jeanne setelah dari Angkor. Jikalau Angkor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
cocok dikunjungi saat pagi untuk melihat keindahan sunrise, maka Pnom Bakheng cocok dikunjungi saat senja untuk melihat keindahan sunset. (117) Puncak Pnom Bakheng ternyata berupa hamparan datarang batu yang cukup luas (Suyono, 2014: 11).
D. Preah Khan Tempat ini dikunjungi oleh Jeanne di hari ketujuh berada di Siem Reap. Kondisi di tempat ini sangat sepi. Di tempat inilah Jeanne waswas bertemu dengan mantan kekasihnya. Berikut ini gambaran mengenai Preah Khan dalam kutipan (118). (118) Hari itu hari ketujuh di Siem Reap. Ia mengunjungi Preah Khan. Preah Khan sangat sepi. Inilah candi yang membuat perasaan Jeanne waswas kembali dihantui pertemuan dengan Suryo. Masa lalunya yang aneh dengan Suryo menyeruak lagi. Sesungguhnya dulu Preah Khan bukan sekadar candi, tapi sebuah ashram Budhis. Dari prasasti diketahui bangunan ini berdiri tahun 1191. Buku panduan yang dipegang Jeanne menerangkan, situs ini pada zamannya konon dihuni lebih dari 1.000 guru Budha (Suyono, 2014: 17).
E. Banteay Srey Banteay Srey merupakan salah satu candi di Siem Reap. Candi ini sering disebut sebagai candi perempuan. Candi ini bisa disebut kuil paling mungil di kompleks “kota” Angkor Wat. Skalanya bukan apa-apa dibanding candi lain. Betapa pun kecil, candi ini memiliki kekhasan. Gapura-gapura dan dinding-dindingnya dipenuhi ukir-ukiran yang rumit. Pintu masuknya seperti dihampari karpet penuh ornamen. Candi ini merupakan salah satu candi favorit Suryo karena tepat ini pernah disinggahi oleh intelektual kenamaan Perancis bernama Andre Malraux. Tempat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
juga sekaligus menjadi lokasi latihan dan tempat mempersiapkan diri para perempuan pilihan untuk menari bagi raja Jayawarman dulu. (119) Informasi Phhoung membuat Suryo teliti memperhatikan Banteay Srey. Di Banteay Srey, ia berhenti cukup lama di depan sebuah pagar pembatas yang dipasang petugas candi. Pengunjung dilarang masuk ke dua bilik yang berada di tengah candi. Suryo berusaha mengira-ngira apakah hiasan dari bilik itu tempat relief-rilief dewata yang di tahun 1923 pernah dicongkel Andre Malraux. Suryo membayangkan di situlah sesungguhnya para penari berkumpul Malraux tahu Banteay Srey adalah kuil para penari. Dari berbagai penjuru, perempuan-perempuan pilihan akan disatukan di situ. Mereka dilatih menari, dilatih bersolek. Tempat relief dicongkel adalah paling inti (Suyono, 2014: 380).
F. Bayon Bayon juga meruapakan salah satu situs di Siem Reap. Di tempat ini terdapat patung Jayawarman VII. Di dekat sosok Jayawarman, juga terpahat relief-relief wanita penari. Menurut cerita, tempat ini menjadi wilayah para penari menghibur Jayawarman. Di Bayon ada bekas ruangan yang di sebut Hall of Apsara. Ruangan ini dipenuhi dengan pilar-pilar batu yang ditorehkan gambar-gambar apsara. Untuk sampai ke Bayon, Suryo berjalan kaki dari Banteay Srey menyusuri jalanan yang juga pernah ditempuh para penari kuil. (120) Peluh Suryo bercucuran begitu tiba di Bayon. Sudah lama ia tak berjalan kaki sejauh itu. Jantungnya lumayan berdekup cepat. Suryo beristirahat sebentar di kaki Bayon. Matanya agak berkunang-kunang. Begitu kekuatannya pulih, ia naik ke atas Bayon. Hari itu Suryo tak bergerak di depan wajah-wajah Jayawarman VII (Suyono, 2014: 382).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
G. Café Red Piano Café Red Piano merupakan lokasi tempat bertemunya Suryo dan Jeanne setelah sekian tahun berpisah. Pertemuan itu terjadi pagi-pagi sekitar pukul 10.00 saat Suryo sedang menunggu Phhoung. Café Red Piano menjadi saksi dari pertemuan mereka begitu berkesan tetapi masih menjadi image masing-masing. Berikut ini digambarkan dalam kutipan (121). (121) Dengan tubuh masih sedikit demam, Suryo menyesap kopi hangat. Lantai dua Café Red Piano jam 10 pagi itu masih sepi. Ia meneguk pelan-pelan kopi di cangkir. Ia berharap kopi kental tersebut bisa membuat tubuhnya makin mendingan. Phhoung mengatakan bahwa ia agak terlambat datang satu jam. Suryo rela menunggu. Ia butuh Phhoung. Tapi yang tak terduga di Café Red Piano itu ia bertemu dengan Jeanne, mantan pacarnya (Suyono, 2014: 437).
H. Gunung Kulen Gunung Kulen merupakan tempat yang disinggahi oleh Suryo dan Phhoung untuk
membuang
Prabang
Budha
tiruan.
Benda
tersebut
memang
telah
menyelamatkan Suryo dari berbagai ancaman teluh yang selama ini mengejarnya. Gunung Kulen merupakan tempat yang disarankan sebagai lokasi pelepasan Prabang Budha. Gunung Kulen bagi masyarakat Kamboja kuno adalah sebuah gunung kudus. Kulen artinya „leci‟. Berikut kutipan (122) menggambarkan kondisi Gunung Kulen. (122) Suryo belum bisa membayangkan seperti apa Gunung Kulen. Ternyata gunung itu bukan dalam pengertian gunung sebenarnya. Gunung tersebut seperti kawasan perbukitan yang rindang-dengan beberapa air terjun, sungai, dan reruntuhan candi. Sebuah kawasan cagar alam national park seperti kaki Merapi. Lebih terjal jalan menuju Gunung Sapto Renggo di Kudus atau Gunung Selok di Cilacap daripada ke Gunung Kulen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Mobil bisa sampai ke tempat parkir yang landai di atas (Suyono, 2014: 541).
2.3.1.13 Vietnam Vietnam merupakan salah satu negara yang dikunjungi Jeanne selain Kamboja. Di tempat ini, ia mengunjungi beberapa tempat yang mengagumkan seperti Hoi An, Da Nang, situs My Son, dan situs Po Nagar di Nha Trang. Di Vietnam-lah Jeanne bertemu dengan Phu Tram dan Mualim Satu yang membantunya membayangkan Kuil di Dasar Laut.
A. Hoi An Hoi An merupakan kota tua yang berada di Vietnam. Kota ini memiliki sebuah sungai panjang. Umur kota ini sudah lebih dari 500 tahun. Banyak terdapat rumah kuno milik warga yang terbuat dari kayu berdempet-dempet. Masing-masing rumah-rumah tersebut berjejer membentuk ruas jalan yang mengagumkan. Banyak penduduknya yang berprofesi sebagai tukang jahit. Berikut gambaran mengenai Hoi An dalam kutipan (123). (123) Hari pertama berada di Hoi An, Jeanne langsung terpana. Kota tua bekas pelabuhan di Vietnam tengah itu dibelah sebuah sungai panjang. Jeanne kaget ada kota seperti ini di Vietnam. Kota ini baginya kota vintage. Kota yang membaurkan pasar kelontong, distro barang antik, kios jamu, losmen, resotran, rumah-rumah lampion Vietnam, Cina, Jepang, dengan bungalo-bungalo koloni Eropa (Suyono, 2014: 25).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
B. Café Champa Café Champa merupakan salah satu kafe yang berada di Hoi An. Kafe ini terletak di tepi sungai keruh berwarna cokelat. Kafe ini sering menyetel lagu-lagu slow rock tahun 1070-an sehingga Jeanne lumayan betah di tempat ini. Meskipun demikian, beberapa kali ia diganggu oleh seorang lelaki buntung yang kemudian dikenal oleh Jeanne sebagai Phu Tram sekaligus pemilik kafe tersebut. Kutipan (124) berikut menunjukkan keberadaan Jeanne di Café Champa. (124) Dan di sebuah kafé bernama Champa, selagi duduk terpekur menatap mulut sungai itu, ia disapa oleh seorang buntung (Suyono, 2014: 26).
C. Da Nang Da Nang merupakan salah satu tempat perhentian kereta api ketika Jeanne menuju Hoi An. Ia kembali ke tempat ini bersama dengan Phu Tram setelah delapan hari berada di Hoi An. Da Nang merupakan bekas ibu kota pertama Champa bernama Singhapura. Tempat ini terdapat sebuah desa bernama Tra Kieu. Dulu kawasan Istana Champa di duga berada di Tra Kieu. Situs My Son juga terdapat di tempat ini. (125) Memasuki jantung Da Nang, benar, isi kota ini cuma deretan ruko biasa, bengkel-bengkel sepeda motor, supermarketsupermarket, kelas kabupaten, dan, ya, sebuah jalan tol antarkota yang baru saja dibangun (Suyono, 2014: 455).
D. My Son My Son merupakan salah satu situs yang berada di Nha Trang. Pembangunan situs ini diawali oleh raja Badrawarman pada abad ke-4 Masehi sebagai situs hindu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Champa. Kondisi tempat ini rusak seperti bekas lokasi pengeboman. Tampak sisasisa bongkahan candi kecil-kecil yang tergerogoti lumut, rusak, dan terbengkalai. Kawasan ini terbagi menjadi A sampai G. Arkeolog Henri Parmentier yang menamakannya setelah melakukan penggalian tempat ini tahun 1902. (126) Dengan semangat, Phu Tram menyuruh sang sopir agak cepat mendorong kursi rodanya. Jeanne sampai kewalahan mengikuti kursi roda yang meliuk-liuk menyusuri setapak-setapak yang dulu bisa membuat jemaah datang dari berbagai arah (Suyono, 2014: 476).
E. Nha Trang Nha Trang merupakan salah satu tempat di Vietnam yang banyak menyelenggarakan festival. Kota ini juga pernah menjadi salah satu wilayah bangsa Champa yang bernama Kauthara. Kemudian menjadi milik Vietnam setelah terjadi perang yang cukup besar. Kota ini memang kota scuba. Resor tempat istirahat. Nha Trang seolah terbelah menjadi dua. Di ujung satu, kawasan perkotaan padat. Di ujung lain, kawasan perbukitan. Di tempat inilah terdapat situs Po Nagar – ibu dari segala suku Champa yang disamakan dengan Dewi Uma atau Parwati atau Durga. Representasi ibu welas asih. Jeanne ke tempat ini untuk berdoa kepada Po Nagar agar mendapat penglihatan kuil ketiga. Jeanne sekaligus juga berdoa agar Po Nagar memaafkan kelakuan orang Jawa berabad-abad lalu yang mencuri “kemaluan” suaminya. (127) “Di Nha Trang ini banyak festival. Datang kemari lagi akhir April, Jeanne. Dari kaki Po Nagar aka nada ribuan lampion dibawa turun ke sungai, kemudian dilarungkan,” Mualim Satu memberi tahu Jeanne ketika ia bangun (Suyono, 2014: 586).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
2.3.2
Latar Waktu Selain latar tempat, peneliti juga menganalisis latar waktu. Latar waktu
berhubungan
dengan
masalah
“kapan”
terjadinya
peristiwa-peristiwa
yang
diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu yang terdapat di dalam Novel KdDL cukup banyak. Oleh karena itu, peneliti hanya membatasi penelitian pada latar waktu luas terjadinya peristiwaperistiwa besar seperti masa terjadinya pergolakan perlawan terhadap pihak kekuasaan atau masa terjadinya peristiwa yang menimbulkan counter-hegemoni. Latar waktu yang dianalisis peneliti, yaitu tahun 1961, 1991, 1996, 1998.
2.3.2.1 Tahun 1961 Tahun ini merupakan tahun yang cukup menentukan masa depan Soeharto dengan sokongan energi metafisiknya. Di tahun ini, ia bertemu dengan salah satu gurunya yang memiliki banyak pengaruh pada dunia kebatinan Soeharto. Ialah Romo Dijat. Romo Dijat merupakan satu-satunya guru Soeharto yang memperingatkan Soeharto agar turun dari kursi presiden. Ia juga yang rela menapaktilasi banyak situs spiritual untuk meminta roh-roh leluhur mendukung Soeharto kembali naik takhta. Berikut ini gambaran peristiwa pertemua Pak Harto dengan Romo Dijat di tahun ini pada kutipan (128). (128) Pada tahun 1961, saat Soeharto belum menjadi presiden, Romo Marto menganjurkan tirakat di Trowulan. Tatkala Soeharto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
memasuki sebuah makam di Trowulan, ia melihat seoerang lelaki setengah baya tengah melakukan meditasi dan terlihat berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Lelaki itu sangat karismatik. Aura menenangkan keluar dari tubuhnya. Soeharto mendadak merasa tenteram berada di dekat lelaki itu. Seusai melakukan meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto kagum, terkesan, dan penasaran terhadap lelaki itu (Suyono, 2014: 227).
2.3.2.2 Tahun 1991 Di tahun ini, terjadi sebuah peristiwa yang hingga hari ini diperingati oleh masyarakat Timor Timur sebagai Peristiwa 12 November. Dalam peristiwa ini, terjadi sebuah aksi protes dan seruan referendum. Kejadian ini berlangsung di kompleks pemakaman Santa Cruz ibu kota Dili, tepatnya saat penguburan rekan mereka yang bernama Sebastiao Gomes yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya (lih. Wikipedia, 30 Juni 2016). Memang di tahun tersebut, kekuasaan Soeharto masih kuat. Itulah mengapa kejadian pembubaran massa yang berujung pembunuhan oleh tentara Indonesia tidak sampai terpublikasikan. Berikut ini kutipan (129) peristiwa yang terjadi di Santa Cruz pada tahun 1991. (129) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014: 81).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
2.3.2.3 Tahun 1996 Dalam tahun ini, terjadi sekian peristiwa yang besar dan parah. Peristiwa pertama ialah kematian Bu Tien tepatnya pada 28 April 1996. Di tahun ini pula terjadi penyerangan markas PDI di Jalan Diponegoro oleh Soerjadi –Ketua Umum PDI versi Kongres Medan dengan dibantu polisi. Tentara banyak menciduk pendukung Mega dan orang-orang yang mereka curigai. Berikut ini gambaran rangkaian kejadian di tahun 1996 lewat kutipan (130) dan (131). (130) “Ibu Tien meninggal! Mas Suryo diminta Bapak Sinaga langsung ke Kawitan. Ikut menyemayamkan jenazahnya!” Jeanne ingat malam itu 28 April 1996. Besoknya Idul Adha. Malam itu Suryo seperti orang yang tersepak-sepak. Kekasinya itu sempat cuci muka. Jeanne ingat ia duduk terpekur di kasurnya hanya berbelit selimut (Suyono, 2014: 242). (131) Dan kemudian tanggal 27 Juli 1996 terjadilah penyerangan markas PDI Jakarta. Suryo ingat saat itu dirinya tengah berada di tempat kos Matraman,, yang dekat dengan Megaria. Ia lari ke Megaria. Ia melihat di sepanjang Jalan Proklamasi sudah banyak tentara. Di depan bioskop Megaria, truk-truk polisi menutup jalan (Suyono, 2014: 307).
2.3.2.4 Tahun 1998 Lamanya rezim Soeharto berkuasa mengakibatkan terjadinya krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan. Kondisi yang merosot tersebut mengakibatkan semakin banyaknya gelombang demonstrasi. Sejak awal Februari 1998, mulai muncul berbagai aksi demonstrasi mahasiswa yang intinya ialah menuntut suksesi kepemimpinan nasional. Pada bulan Maret 1998 kondisi perpolitikan Indonesia semakin memanas, masyarakat berduyun-duyun menolak hasil pemilu 1997. Aksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
protes tersebut ditanggapi oleh pemerintah dengan sangat keras. Banyak mahasiswa dan aktivis yang diculik dan dibunuh. Banyaknya korban dari kalangan sipil mengakibatkan
amarah
masyarakat
semakin
meningkat.
Demonstrasi
yang
dilancarkan semakin deras dan anarkis. Aksi tersebut memang muncul akibat banyak faktor. Tepat pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, di Istana Merdeka berlangsung acara serah terima jabatan presiden. Pada acara itu Presiden Soeharto membacakan pernyataan untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia. Berikut ini gambaran rangkaian kekacauan yang terjadi di tahun 1998 dalam kutipan (132), (133), dan (134). (132) Tanggal 13 Mei 1998. Hari itu Jakarta demikian tak menentu. Penjarahan di mana-mana. Di berbagai showroom, mobil-mobil dikeluarkan oleh amuk massa dan rame-rame disiram bensin. Kaca-kaca took dipecahkan, televisi-televisinya digondol. Tentara hanya berdiri membiarkan massa yang beringas. Di kawasan Matraman, massa merengsek masuk ke Gedung Fuji Film. Mereka memecahkan kaca, berebutan masuk, menggondol kamera-kamera dan lensa-lensa canon, Nikon, Yashica, dan handycam-handycam Sony yang termahal. Glodok mengerikan. Salah satu bagian terparah adalah Toserba Yogya di kawasan Klender. Dengan mata kepala sendiri, Jeanne melihat toserba ini dijilat api (Suyono, 2014: 138). (133) Tiga tahun kemudian, saat di Jakarta – Jeanne dan Linda sudah jarang bertemu – Jeanne baru ngeh apa yang terjadi di Santa Cruz. Waktu itu tahun 1998. Soeharto Jatuh. Saat itu televisi gencar menayangkan detik-detik demo mahasiswa dan protes peralihan kekuasaan. Jeanne, yang di rumah berlangganan parabola, menonton dari sebuah TV Australia, sebuah siaran yang mengungkap kekejian Seoharto selama Orde baru, termasuk peristiwa Santa Cruz (Suyono, 2014: 81). (134) Klender, Jakarta Timur, 1998, Toserba Yogya. Hanya logo merahnya yang masih terlihat jelas terbaca. Seluruh dindingnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
gosong. Seberapa banyak mayat yang hangus terbakar masih misterius (Suyono, 2014: 137).
2.3.2.5 Tahun 2012 Latar waktu tahun 2012 tidak disebutkan secara eksplisit dalam alur penceritaan novel KdDL. Akan tetapi, penyebutan latar tahun 2012 disebutkan dalam sub bagian cerita. Latar waktu ini berlaku selama Jeanne maupun Suryo berada di luar negeri, baik ketika di Vietnam, Kamboja, ataupun Laos.
2.4 Rangkuman Dalam bab ini, secara rinci telah dipaparkan seperti apa struktur cerita novel KdDL. Struktur cerita yang dimaksud berkaitan dengan tokoh dan penokohan serta latar (tempat dan waktu). Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno Joko Suyono adalah teknik dramatik. Dari model penokohan tersebut hadir sekian banyak tokoh yang kemudian dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan sudut pandang penceritaan, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama terdiri dari Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Sawito, Meneer Widjinarko, Pak Koentono, Abah Moertopo, Bante Purnomo, Pak Burhan, Pak Begja, Gus Mutaqqin, Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, Phhoung, Souvvana, Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, dan MdDSSG. Mereka semua merupakan tokoh tambahan yang hadir di sekitar tokoh utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Latar tempat dalam novel KdDL terbilang cukup banyak. Baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan demikian, penelitian dibatasi hanya pada latar tempat yang berkenaan dengan tempat yang dilalui oleh anggota paguyuban, tempat terjadinya kerusuhan masa Orde Baru, dan tepat pelarian Jeanne dan Suryo selepas tidak lagi aktif dalam paguyuban. Latar tempat tersebut, Jakarta (Glodok, Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Marga Satwa Ragunan, dan Kawasan Cipete), Cirebon (Jambe Lima dan Jambe Pitu), Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Yogyakarta (Telaga Titis), Padang Lawas (Bairo Bahal), Ngawi (Alas Ketonggo), Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey, Bayon, Siem Reap, Cafe Red Piano), Vietnam (Hoi An, Café Champa, Da Nang, My Son, dan Nha Trang), Laos (Luang Prabang dan Kafé Pastri), Samudra Laut Cina Selatan, dan Kuil di Dasar Laut. Selain latar tempat, penelitian juga dilakukan pada latar waktu. Terdapat beberapa latar waktu, yaitu tahun 1961 (waktu bertemunya Soeharto dengan guru spiritualnya yang kemudian hari menyokong sisi metafisik Soeharto), tahun 1991 (berkaitan dengan perlawan para simpatisan Sebastiao Gomez terhadap para tentara di Santa Cruz, Timor Timur), tahun 1996 (waktu Romo Dijat mendengarkan nasihat dari roh-roh yang diundang kepada Soeharto, 28 April Ibu Tien meninggal, 27 Juli terjadi penyerangan Markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro), dan tahun 1998 (penjarahan besar-besaran di Jakarta pada 13 Mei dan tahun lengsernya Soeharto). Analisis mengenai latar tempat dan waktu dilakukan guna kepentingan mencocokkan ruang lingkup pergerakan semua tokoh dalam konteks tempat dan waktu tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Berdasarkan hasil analisis bab II ini, sudah mulai terlihat formulasi kaum intelektual yang terbentuk dari tokoh-tokoh di atas. Berdasarkan konsep pemikiran Antonio Gramsci, kaum intelektual dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu kaum intelektual tradisional dan kaum intelektual organik. Intelektual Organik masih dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu Intelektual Hegemonic dan Intelektual CounterHegemonic. Semua kelompok dan simpatisan paguyuban yang diisi oleh Pak Sinaga dan kawan-kawan, Phu Tram dan Mualim Satu, dan MdDSSG terkategori ke dalam Intelektual
Counter-Hegemonic.
Romo
Dijat,
Romo
Marto,
Romo
Budi,
Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani masuk dalam kategori Intelektual Hegemonic Pembahasan mengenai posisi dan peran intelektual akan dibahas lagi secara lebih lengkap pada bab III. Akan hadir beberapa tokoh yang tidak disebutkan di atas. Mereka tidak ikut dianalisis karena tidak terlibat secara aktif dan terlibat dalam pergerakan alur. Mereka hanya menjadi cerita dari para tokoh novel KdDL. Namun, demi kepentingan perumusan bentuk-bentuk perlawanan yang terjadi di dalam penceritaan novel KdDL maka mereka pun turut dihadirkan sebagai bagian dari pihak yang dilawan. Secara singkat hasil penelitian bab I di atas akan dirangkum dalam tabel 1 berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Diagram Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL Jeanne (Tokoh Utama) Sunuwarsono dan Setyarso (Tanpa Keterangan Latar)*
Phu Tram dan Mualim Satu (Laut Cina Selatan** Kuil di Dasar Laut, 2012 dan Vietnam, 2012)
Suryo (Tokoh Utama)
Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Meneer Widjinarko, Pak Koentono, Bante Poernomo, Gus Mutaqqin, Pak Burhan, Pak Begja, di Jakarta, Yogyakarta, Bhairo BahalPadang Lawas***, Jambe Lima dan Jambe Pitu-CIlacap, Gunung Sapto Renggo, Alas KetonggoNgawi, Situ Panjalu**** (1991-1998), Kamboja (2012)
Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi (Tanpa Keterangan Latar) MdDSSG (Santa Cruz-Timor-Timur, 1991) Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono, Soedjono Hoemardani (Tanpa Keterangan Latar)
Souvvana (Laos, 2012) Phhoung (Kamboja, 2012)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Keterangan: * Tidak ada keterangan latar yang dimaksudkan bukan dalam novel KdDL, tetapi dalam analisis struktur cerita pada skripsi ini. ** Latar tempat ini hanya didatangi oleh Phu Tram saja. *** Perjalanan menuju ke lokasi ini hanya dilakukan oleh Pak Sinaga, Pak Koentono, dan Suryo. **** Perjalanan ke tempat ini dilakukan oleh Pak Radjiman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
BAB III ANALISIS FORMASI INTELEKTUAL DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
3.1 Pengantar Pada bab ini, akan dideskripsikan lebih lanjut perihal posisi dan peran tokohtokoh yang telah dianalisis pada bab II ke dalam formasi intelektual sesuai perspektif Gramsci. Kepentingan penelitian ini sebagai prasyarat untuk mengetahui akar permasalahan, motivasi, dan siapa saja yang terlibat dalam counter-hegemoni terhadap penguasa. Dalam tingkat abstraksi, Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Dengan pengertiannya masing-masing, pendekatan secara multi-dimensional menjadikan gambaran kedua kategori tersebut sedikit kompleks. Golongan Intelektual Tradisional ini merasa sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan kualifikasi khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai kelompok otonomis dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11). Intelektual Tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah golongan rohaniwan, manusia literer (jurnalis), filsuf, dan artis. Di dunia modern, edukasi teknologis yang bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang paling primitif dan tak terkualifikasi harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual. Melihat posisinya yang demikian, 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
menurut
Gramsci,
tugas
Intelektual
Tradisional
segera
memutuskan
ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas revolusioner. Kaum intelektual ini harus secara organis menjadi bagian dari kelas buruh mengingat mereka memiliki kualifikasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menantang ideologi penguasa. Dalam melanggengkan kekuasaan, banyak Intelektual Tradisional diasimilasi menjadi Intelektual Organiknya pihak penguasa. Kelas penguasa mengandalkan kaum intelektualnya untuk menjaga kekuasaannya melalui penyebaran nilai-nilai kepada masyarakat. Intelektual Organik akan menjalankan peran mereka untuk menyebar nilai-nilai kelas penguasa untuk menguasai berbagai unsur paling mendasar masyarakat seperti pandangan hidup atau ideologi mereka. Intelektual Organik bukan hanya milik penguasa. Intelektual Organik dapat pula berasal dari kelas tertindas. Intelektual ini adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan kaum tertindas, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungankecenderungan objektif masyarakat. Hal tersebut memiliki makna bahwa kaum Intelektual Organik akan menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai, dan kepercayaankepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas bawah untuk melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut ataupun menumbangkan kekuasaan politik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Sebenarnya ada dua unsur yang kemudian memberi batasan secara tegas bahwa kelompok tertentu dari intelektual adalah organik. Pertama. Mereka menjadi suatu kategori pada waktu sejarah yang sama sebagai suatu kelas baru yang menciptakan dan mengembangkan dirinya, menjadi organ dari sebuah sistem secara utuh dan bertugas menjalankan fungsi mereka masing-masing. Kedua, intelektual ini memberikan kelas sosial homogenitas dan suatu kesadaran akan fungsinya sendiri bukan cuma pada ekonomi, namun juga pada lapangan sosial dan politik (Gramsci dalam Patria, 1999: 160-161). Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan perjuangan menentang kelas dominan (Patria, 1999: 167). Agar revolusi terwujud maka masyarakat seharusnya bertindak. Sebelum mereka bertindak, mereka harus mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan mereka dalam suatu sistem yang sedang dijalani. Gramsci mengakui arti penting faktor struktural, khususnya ekonomi, tetapi ia tidak percaya hanya faktor-faktor inilah yang mengakibatkan masyarakat melakukan perlawanan. Gramsci mengatakan perlu ada ide revolusioner yang mampu menggerakkan massa. Ide revolusioner ini tidak hanya muncul dari masyarakat, tetapi harus ada yang mengembangkan dan menyebarkannya. Inilah peran yang diemban oleh kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya berada di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Persoalan yang terjadi dalam novel KdDL ialah reaksi kesadaran baru masyarakat atas kejenuhan mereka terhadap rezim otoriter Soeharto. Rekasi perlawanan ini dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya menjadi bagian organik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
dari sistem pemerintahan Orde Baru. Mereka muak dan ingin menebus dosa karena telah terlibat dalam lingkungan pemerintahan Soeharto. Di sini, sosok Soeharto merupakan gambaran kelompok penguasa dominan yang telah melakukan banyak tindakan hegemoni terhadap masyarakat melalui Intelektual Organiknya. Dalam sebuah kajian memperlihatkan bahwa kekuasaan Orde Baru yang didukung oleh kaum Intelektual Organiknya memainkan peranan penting dan menentukan dalam politik ingatan tentang Tragedi 1965. Kekuatan kekuasaan itu sangat dominan dalam mengatur apa yang harus diingat dan apa yang perlu dilupakan tentang Tragedi 1965 (Taum, 2015: 263). Soeharto menggunakan intelektual yang direkrut dari berbagai bagian masyarakat, seperti ABRI, birokrat, politisi partai (Golkar), akademisi, maupun kaum spiritualis Jawa. Dengan demikian, Soeharto duduk di kursi jabatannya cukup lama. Dalam penjelasan selanjutnya, akan dideskripsikan mengenai pelibat masing-masing kategori intelektual di atas dan seperti apa posisi dan peran mereka.
3.2 Formasi Intelektual 3.2.1 Intelektual Tradisional Intelektual Tradisional merupakan kategori intelektual yang otonomis dan independen. Mereka tidak masuk dalam ikatan sistem dan mengakui hubungan mereka dengan sistem sosial tertentu. Setelah dilakukan analisis atas tokoh-tokoh dalam novel KdDL, tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Hal tersebut disebabkan dua gejala. Pertama, tokoh-tokoh dalam novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
KdDL tidak semuanya dapat dikatakan sebagai intelektual. Dalam poin 1.6.2.1 telah disampaikan indikator-indikator seseorang kemudian dapat disebut sebagai seorang intelektual atau cendekiawan. Persyaratan tersebut ialah paling tidak tokoh tersebut menjalankan fungsi kepemimpinan tertentu dalam suatu given society, memiliki fungsi „koneksi‟ antara kebutuhan pemeritah atau kelas dominan dengan masyarakatnya atau kelas bawah, dan selanjutnya mereka pun juga harus terlibat dalam mengolah modal sosial, modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model ekonomis. Kedua, kalau pun tokoh-tokoh dalam novel KdDL termasuk dalam kalangan intelektual, mereka telah terkategori dalam golongan Intelektual Organik. Baik itu menjadi bagian organik dari sistem pemerintahan, maupun masyarakatnya.
3.2.2 Intelektual Organik Intelektual Organik menjadi bagian utuh dari pihak penguasa maupun pihak tertindas. Untuk itu, agar tercipta sebuah dikotomi yang lebih tegas maka digunakanlah istilah Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Intelektual Hegemonic memiliki tanggung jawab untuk menjamin pandangan massa sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai yang telah disebar oleh pihak penguasa dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Kategori ini menjadi bagian organik dari pihak penguasa. Sementara itu, Intelektual Couter-Hegemonic mempunyai tugas untuk memisahkan massa dari pengaruh nilai-nilai penguasa dan membangun sebuah pandangan dunia sesuai perspektif sosialis. Kategori ini menjadi bagian dari pihak tertindas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Perlu dijelaskan bahwa yang terkategori sebagai kaum penguasa dalam novel KdDL bukan saja rezim otoriter Soeharto, tetapi juga pemerintahan Laos dan Kamboja. Ini terjadi karena setting dalam novel KdDL bukan saja di Indonesia tetapi juga di beberapa negera lain, seperti Laos dan Kamboja. Dengan demikian, akan dijelaskan pula setiap intelektual yang menjadi bagian organik dari sistem kaum dominan di atas. Tokoh-tokoh yang menjadi bagian organik dari rezim Orde Baru (Intelektual Hegemonic) adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, ABRI (Angkatan Darat) seperti Ayah Jeanne bernama Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, dan semua kalangan spiritual simpatisan Soeharto. Keberadaan mereka dalam lingkungan kekuasaan Soeharto membawa pengaruh yang positif bagi keberlangsungan rezim Orde Baru. Mereka menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial, politik, dan metafisik Soeharto. Untuk itu, Soeharto menjadikan mereka sebagai panutan dan kekuatannya. Tokoh yang menjadi bagian organik dari pemerintahan Kamboja adalah Phhoung. Ia bekerja pada sebuah Museum 1000 Budha dan menjadi bagian dari sistem museum tersebut yang juga adalah dimiliki pemerintah. Di samping itu, tokoh yang menjadi bagian dari bangsa Laos adalah Souvvana. Ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap kebudayaan Laos. Dengan demikian, ia menjadi bagian organik dari bangsa dan pemerintahan Laos. Intelektual Counter-Hegemonic dalam novel KdDL diwakili oleh kelompok Paguyuban Anggoro Kasih dan simpatisannya. Sebagian besar dari antara mereka merupakan sekelompok orang yang tidak lagi menginginkan kekuasaan Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Meskipun demikian, mereka justru tidak menjalankan fungsi untuk menyebar sebuah penyadaran baru kepada anggota masyarakat untuk sama-sama berjuang. Mereka menjadi semacam perwakilan untuk menentang sisi metafisik Soeharto yang notabene tidak banyak diketahui masyarakat. Mereka bergerak secara diam-diam dan siap menanggung risiko dari tindakan perlawanan mereka. Orang-orang yang menjadi anggota dan simpatisan paguyuban ialah Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Koentono, Suryo,
Jeanne, Abah
Moertopo, Bante Purnomo, Meneer Widjinarko, Pak Burhan, Pak Begja, Gus Mutaqqin. Di samping itu, ada juga orang-orang dari luar paguyuban, namun menjadi penyokong semangat paguyuban dan menjadi rujukan paguyuban, yaitu Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono. Di luar anggota, simpatisan, paguyuban, ada pula para mahasiswa dan demonstran simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG) yang melawan keras Soeharto di Timor-Timur. Selain wacana mengenai gerakan counter-hegemoni terhadap rezim Soeharto, dalam penelitian ini juga diangkat gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Vietnam. Gerakan perlawanan ini terjadi akibat ketidakpuasan atas sikap diskriminasi yang berlebihan atas kiprah kaum tertindas. Tokoh-tokoh yang tergolong dalam kelompok ini adalah Phu Tram dan Mualim Satu. Mereka menjadi perwakilan dari suku Champa untuk mempertahankan kebudayaan Champa di bawah represi pemerintahan Vietnam. Guna menjelaskan dasar dari pengelompokkan setiap tokoh dalam setiap kategori di atas, maka berikut ini akan dideskripsikan gambaran lebih lanjut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
mengenai latar belakang setiap tokoh. Latar belakang tersebut yang kemudian menjadi dasar/alasan mereka terkategorikan dalam intelektual tertentu.
3.2.2.1 Intelektual Hegemonic Tokoh-tokoh yang termasuk dalam formasi intelektual ini adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, ABRI (Angkatan Darat), seperti Ayah Jeanne bernama Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani. Berikut gambaran mengenai latar belakang mereka.
3.2.2.1.1 Romo Dijat Romo Dijat merupakan salah satu guru spiritual Soeharto. Sebelum bertemu dengan Soeharto, Romo Dijat adalah seorang pegiat karismatik yang sering melakukan meditasi dan tirakat. Beliau memiliki karisma yang menggugah Soeharto. Itulah mengapa, Soeharto kemudian kagum kepada Romo Dijat dan bertekat menjadikan beliau sebagai gurunya. Dari sudut pandang Gramsci, Romo Dijat merupakan golongan dari kaum Intelektual Tradisional yang dalam hal ini merupakan kaum rohaniwan kebatinan Jawa. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Intelektual Tradisional dapat diasimilasi oleh pihak penguasa untuk menjadi bagian organiknya. Soeharto rela melakukan banyak perjalanan jauh untuk bertemu dengan Romo Dijat. Berikut ini gambaran dalam kutipan (135) mengenai upaya Soeharto untuk bertemu, merekrut, dan belajar pada Romo Dijat. (135) Pada tahun 1963, Soeharto mengunjungi rumah Romo Dijat di rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinamono di Dukuh Gopetan, Desa Gemblengan Kalipotes, Klaten.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Soeharto kaget ternyata yang disebut Romo Dijat itu adalah lelaki misterius yang mempesonanya saat melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di Trowulan. Soeharto merasa Tuhan menuntun dirinya untuk bertemu dengan lelaki yang pernah membuatnya penasaran. Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Romo Dijat. Romo Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak pernah absen mengikuti sarasehan di rumah Romo Dijat di Jalan Sriwijaya, Semarang, setiap selapan pada Selasa Pahing malam. Tak hanya di acara selapan, Soeharto akhirnya sering berkonsultasi di Semarang (Suyono, 2014: 228). Kehadiran Romo Dijat begitu berarti bagi Soeharto. Sebagian besar dari berbagai keputusan politik yang diambil Seoharto turut melibatkan Romo Dijat. Ia merasa ragu dan belum lengkap jika persoalannya belum dikonsultasikan dengan Romo Dijat. Inilah peran Romo Dijat dalam menjaga wibawa politik Soeharto. Dengan demikian, Romo Dijat menjadi bagian organik dari Soeharto. Meskipun ia tidak secara fisik hadir di samping Soeharto berhadapan dengan masyarakat sipil, namun pengaruhnya telah menaikkan kepercayaan masyarakat kepada Soeharto. Berikut ini gambaran dalam kutipan (136) tentang kebiasaan Soeharto untuk berkonsultasi dengan Romo Dijat sebelum mengambil keputusan-keputusan penting. (136) Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah politik dan kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat (Suyono, 2014: 228). Sebagai penganut kebatinan Jawa, Romo Dijat memiliki cara yang unik untuk memberikan setiap nasihat kepada Soeharto. Romo Dijat menjadikan tubuhnya sebagai mediasi untuk diisi oleh roh leluhur. Roh tersebut yang kemudian berkomunikasi dengan Soeharto. Nasihat tersebut kemudian diikuti dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
keyakinan. Berikut gambaran dalam kutipan (137) mengenai cara unik Romo Dijat untuk memberikan petunjuk kepada Soeharto. (137) “Katanya suara berat. Masing-masing leluhur yang masuk ke tubuh Romo Dijat dan Romo Marto karakter suaranya berbedabeda, Jeanne. Katanya, roh leluhur yang memasuki badan Romo Dijat selalu didahului suara terbahak-bahak yang berat…” “Katanya dalam bahasa Jawa halus, yang sering enggak dimengerti. Kamu tahu Jeanne, kata Pak Djayeng, saat Pak Harto mau menduduki Timor Timur, dia berkonsultasi dulu dengan roh leluhur yang masuk ke dalam tubuh Romo Dijat. Setelah roh itu menyetujui, baru ia memerintahkan pasukan berangkat…” (Suyono, 2014: 229) Pengabdian dan rasa hormat Romo Dijat kepada Soeharto benar-benar tulus. Ia bahkan rela melakukan sebuah perjalanan panjang dan serangkaian puasa-mutih untuk tetap mempertahankan Soeharto. Pada suatu waktu, Romo Dijat mendapat petunjuk bahwa Soeharto harus segera mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden. Namun, Soeharto tetap kerasan dengan jabatannya dengan memberikan berbagai alasan. Romo Dijat pun masygul dan menuruti kehendak Soeharto. Untuk itu, Romo Dijat perlu melakukan napak tilas ke pemakaman-pemakaman wali dan tempattempat suci di berbagai belahan Nusantara untuk meminta dukungan dari roh-roh leluhur – padahal napak tilas tersebut harusnya dilakukan sendiri oleh Soeharto. Perjalanan tersebut sekitar setahun lamanya. Romo Dijat begitu lelah melakukan perjalanan tersebut. Pilihan Romo Dijat ini merupakan sikapnya sebagai bagian dari kekuasaan Soeharto. Tidak melalui penyebaran nilai-nilai tetapi melalui jalur spiritual. Soeharto tetap memiliki kekuasaan hingga belasan tahun selanjutnya. Berikut ini kutipan (138) yang menggambarkan pengorbanan Romo Dijat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
(138) Menurut dia, Romo masygul dengan permintaan Soeharto. Ia sesungguhnya enggan menyanggupinya, namun tak ingin Soeharto tersinggung. Romo gundah. Keinginan Soeharto sudah menyalahi hati kecilnya. Namun, alasan Soeharto bahwa ia harus merampungkan program-programnya sebelum ia mundur melunakkan hatinya. Romo kemudian melakukan napak tilas ke pemakaman-pemakaman wali dan tempat-tempat suci di berbagai sudut Nusantara. Perjalanan itu sampai memakan waktu setahun (Suyono, 2014: 235-236). Pada tahun 1984, Romo Dijat akhirnya meninggal. Perjalanan Romo selama setahun telah banyak menguras tenaganya. Kondisi Romo Dijat sebelum meninggal diperparah oleh indikasi Soeharto mengkhianati janjinya untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden di periode selanjutnya. Kematian Romo Dijat cukup memukul Soeharto. Ia merasa kehilangan kekuatannya sendiri. Tidak ada lagi guru yang bisa melindunginya dan diajak konsultasi. Sosok Soeharto yang nampak tegas, sekonyong-konyong menjadi rapuh. Orang-orang pendukungnya, telah pergi meninggalkannya. Berikut ini kutipan (139) dan (140) yang menggambarkan sebab kematian Romo Dijat dan dampaknya bagi Soeharto. (139) “Romo Dijat meninggal tahun 1984. Perjalanan Romo keliling Nusantara menurut saya menyebabkan kesehatan Romo ambruk. Penyakit dalam yang dimiliki Romo kumat. Apalagi di tahun 1983 Romo melihat tanda-tanda Soeharto tak mau menepati janjinya. Soeharto masih mau berambisi tahun-tahun depannya mencalonkan diri lagi dalam pemilu. Romo Dijat sangat kecewa. Saya pribadi melihat kekecewaan itu sangat mempengaruhi keseimbangan dirinya.” (Suyono, 2014: 237). (140) “Di pemakaman saya melihat Pak Harto untuk pertama kalinya menangis,” kata Pak Adityawarman. Ia berusaha menenangkan suasana yang bergejolak (Suyono, 2014: 238).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
3.2.2.1.2 Romo Marto Selain Romo Dijat, Soeharto juga memiliki guru yang lain bernama Romo Marto. Nama lengkap dari Romo Marto adalah Romo Martopangroso. Romo ini dikenal Soeharto di Yogyakarta. Soeharto biasanya bertemu dengan Romo Marto untuk mengkonsultasikan persoalan mengenai kemasyarakatan. Banyak masukan dari Romo Marto yang diikuti oleh Soeharto. Termasuk saran untuk melakukan tirakat di Trowulan yang kemudian mempertemukan untuk pertama kali Soeharto dan Romo Dijat. Itulah mengapa Romo Marto masuk dalam kategori Intelektual Organik karena Soeharto tetap dapat mengambil sebuah keputusan yang baik di balik kebijaksanaan Romo Marto. Romo Dijat dan Romo Marto sering melakukan banyak tirakat dan ziarah di petilasan-petilasan. Dalam dunia kebatinan Jawa, mereka memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki banyak orang. Kemampuan inilah yang kemudian banyak membantu Soeharto dalam mempertimbangkan dan memutuskan banyak perkara. Berikut ini kutipan (141) yang menggambakan kemampuan khusus Romo Marto sehingga Soeharto menjadi tergantung padanya. (141) Mereka seringmengikuti kedua guru tersebut ziarah dan tirakat di petilasan-petilasan. Romo Dijat dan Romo Marto dalam dunia kebatinan Jawa dikenal memiliki kemampuan njarwa atau orang bisa berhubungan dengan roh leluhur. Kedua guru tersebut biasa memanggil arwah-arwah untuk masuk ke dalam tubuh mereka. Mereka adalah medium. Setelah roh itu merasuk ke tubuh, suara mereka akan berubah. Dan orang bisa bertanya-jawab-meminta nasihat atau pesan-pesan kepada roh-roh tersebut (Suyono, 2014: 226).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Sebagai guru dari Soeharto, Romo Marto sering melakukan berbagai latihan dan anjuran untuk mempertebal kepekaan hati dalam melihat sebuah persoalan dan sekaligus menemukan solusinya. Salah satu latihan yang diajarkan oleh Romo Marto ialah dengan menangkap gerak hatinya sendiri sambil kungkum di sebuah telaga bernama Telaga Titis di wilayah Yogyakarta pada malam hari. Berikut kutipan (142) yang menggambarkan model pengajaran yang diberikan oleh Romo Marto kepada Soeharto. (142) Di telaga itu, menurut Suryo, pernah Pak Harto duduk bermenung diri. Umurnya saat itu 300-an akhir. Ia tengah di tantang oleh Romo Marto. Disuruh mengindra mencermati gerak-gerik hatinya sendiri. Jeanne membayangkan Pak Harto di usia muda itu duduk menajamkan hati. Telaga itu disebut Telaga Titis. Ia tahu dalam bahasa Jawa, titis artinya tepat sasaran. Menurut Suryo, di situ Pak Harto dilatih Romo Marto mengasah hati agar bisa meraba masa depan. Menjelang pukul 12 malam, Pak Harto diminta turun ke telaga. Dan berendam berjam-jam sampai parak pagi tiba. Di dalam air itu Pak Harto ditempa untuk memantapkan hatinya agar segala tindakannya tits seperti seorang pemanah mampu mengarahkan anak panahnya ke titik pusat lingkaran, Jeanne membayangkan Pak Harto berhari-hari kungkum di telaga (Suyono, 2014: 262).
3.2.2.1.3 Romo Budi Romo Budi merupakan satu dari tiga orang guru Pak Harto di atas. Mereka memang seperti triumvirat yang selalu menjaga Pak Harto. Kalau Romo Dijat diajak konsultasi oleh Pak Harto berkaitan dengn persoalan politik dan kenegaraan, Romo Marto berkaitan dengan persoalan kemasyarakat, sedangkan Romo Budi berkaitan dengan urusan pribadi dan rumah tangga. Akan tetapi, bedanya Romo Budi dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
kedua guru yang lain, ia tidak melakukan pemanggilan roh untuk masuk ke dalam tubuhnya. Hal di atas ditunjukkan dalam kutipan (143). (143) “…Menurut Pak Djayeng, kemudian guru Pak Harto bertambah satu lagi, yaitu Romo Budi. Mereka bertiga ini seperti triumvirat yang selalu menjaga Pak Harto. Mereka memiliki keahlian masing-masing. Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah politik dan kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat. Untuk soal kemasyarakatan, ia ingin tahu pendapat Romo Marto. Soal urusan pribadi dan rumah tangga, Romo Budi.” (Suyono, 2014: 228).
3.2.2.1.4 Sunuwarsono Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Ia adalah seorang kolonel Angkatan Darat yang menerapkan secara total disiplin kemiliteran dalam keluarga. Sebagai bagian dari Angkatan Darat, Sunuwarsono juga menjadi bagian dari Intelektual Organiknya Soeharto yang juga berasal dari lingkungan Angkatan Darat ABRI8. (144) Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah seorang kolonel Angkatan Darat (Suyono, 2014: 61).
3.2.2.1.5 Setyarso Setyarso adalah pria bertubuh kekar yang memiliki pangkat sersan. Ia juga menjadi ajudan ayah Jeanne. Keberanian dan sosok kuatnya,ia menjadi tentara yang paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira8
Pada masa kekuasaan Soeharto, ada tiga elemen yang membantu Soeharto untuk menyukseskan kerja Orde Baru. Mereka adalah dari kalangan ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar). Ketiga elemen tersebut memiliki hak istimewa untuk bertemu Soeharto. Mereka menjadi bagian organik dari pemerintahan Orde Baru (Pratama, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah Timor-Timur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri. Dalam hal ini, juga menjadi bagian dari rezim Orde Baru. (145) Setyarso adalah sersan,ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah tentara yang paling ditakuti preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah TimorTimur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri (Suyono, 2014: 68). 3.2.2.1.6 Soedjono Hoemardani Soedjono Hoermadani9 adalah militer asisten pribadi Soeharto. Mereka berdua dibaptis oleh Romo Marto sebagai saudara kebatinan. Romo Dijat pernah berpesan agar Soedjono tetap menjaga keluarga Soeharto. Rumah Soedjono pun sering digunakan sebagai tempat Romo Dijat dan Romo Marto mengundang roh-roh. Mereka berdua kenal sejak Soedjono masih berpangkat kolonel di Semarang. (146) ”…Soedjono ini juga pejabat terkenal. Dia ini tentara sama seperti bapakmu. Dia dulu asisten pribadi Pak Harto. Pak Harto dan Soedjono bersahabat sejak Pak Harto masih berpangkat colonel di Semarang. Mereka berdua itu saudara kebatinan.” (Suyono, 2014: 229-230)
3.2.2.1.7 Phhoung Phhoung bukan menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto, namun ia menjadi bagian dari pemerintahan Kamboja. Dalam deskripsi mengenai Phhoung, ia 9
Soedjono Hoermadani memiliki pangkat mayor jenderal. Ia menjadi staff pribadi Soeharto urusan keuangan dan ekonomi. Selama memegang masa jabatan, ia diberi gelar oleh masyarakat sebagai “menteri urusan mistis” (Radiawati, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
bekerja di sebuah musem bernama Museum 1000 Buddha. Museum ini merupakan milik pemerintahan Vietnam. Oleh karena itu, ia menjadi bagian organik dari pemerintahan Vietnam untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Ia menjadi bagian organik dari museum dan juga negaranya. Sebagai quide dalam museum 1000 Budha, tentunya ia memiliki wawasan yang cukup luas mengenai seluk-beluk museum yang cukup luas dengan berbagai benda kebudayaan di bawahnya. Dengan pengetahuan tersebut, Phhoung dapat memberikan keterangan dan penjelasan kepada setiap pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Tugas ini tentunya menunjukkan bahwa Phhoung menjalankan tugas intelektualnya sebagai penghubung antara masyarakat dengan kebudayaan Kamboja. Kehadiran Phhoung juga memberikan pengaruh yang baik kepada Suryo untuk memahami kebudayaan Kamboja.
3.2.2.1.7 Souvvana Souvvana merupakan pria yang berkenalan dengan Suryo saat Suryo mengunjungi sebuah kafe pastri di Laos. Dalam deskripsi mengenai dirinya di bab II, ia digambarkan sebagai pria yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebudayaan Laos sebagaimana digambarkan dalam kutipan (84). Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip hippie Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair Bengal Amerika bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg rambut dan janggut putih lelaki itu awut-awutan, pakaiannya acak-acakan, dan tampangnya selalu terlihat mabuk. Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang penyelundup, di film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa namanya (Suyono, 20014: 322-323).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Dalam pertemuannya dengan Suryo, ia mengungkapkan banyak hal yang selama ini ia rahasiakan termasuk kenapa kemudian ia dikategorikan oleh peneliti sebagai bagian organik dari bangsa dan kebudayaan Laos. Di Laos, ada sebuah ikon yang berusia lebih dari 2000 tahun dan dipercaya sebagai sebagai simbol kota di Laos. Bangsa Laos menamainya Prabang Budha – Budha kecil yang dibuat di Sri Lanka pada masa pemeritahan raja besar India Ashoka di abad ke-3 sebelum Masehi. Beberapa kali Prabang Budha tersebut mau diambil oleh bangsa lain termasuk saat paham komunis masuk di Laos. Untuk mengatasi agar Prabang Budha tidak dicuri atau diambil oleh tangan yang salah, maka dibuatlah Prabang-Prabang palsu dan kemudian menyembunyikan yang aslinya. Souvvana adalah salah satu orang yang menyimpan Prabang tiruan buatan kakeknya termasuk rahasia akan keberadaan Prabang asli. Souvvana menjadi semacam kunci terakhir yang menjaga pintu rahasia bangsa Laos agar tidak dimasuki oleh orang-orang komunis. Hilangnya Prabang Budha yang asli sama dengan hilangnya identitas bangsa Laos. (147) “Saya menyimpan Prabang-Prabang palsu buatan kakek. Ya, saat perang kakek saya berusaha agar Prabang tak jatuh ke tangan komunis. Ia membuat beberapa Prabang untuk mengelabui orang-orang komunis.” (Suyono, 2014: 334). Souvvana dikategorikan sebagai Intelektual Hegemonic dari bangsa lain karena ia memiliki wawasan yang cukup luas mengenai kebudayaan bangsa Laos. Wawasan tersebut juga sekaligus menjadi identitas dan rahasia keberlangsungan kebudayaan Laos. Ia menjadi orang yang terlibat dalam pengolahan modal simbolik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
dan kebudayaannya agar kerahasiaan bangsanya tidak sampai bocor ke telinga para komunis.
3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemonic Inteletual Counter-Hegemonic diisi oleh tokoh-tokoh yang menjadi anggota dan simpatisan paguyuban seperti Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Koentono, Suryo, Jeanne, Abah Moertopo, Bante Purnomo, Meneer Widjinarko, Pak Burhan, Pak Begja, dan Gus Mutaqqin. Paguyuban tersebut menjadi seperti sebuah kelas sosial yang mengikat semua anggota dan simpatisan ke dalam sistem yang mereka bangun bersama. Dengan demikian, semua anggota dan simpatisan dikategorikan sebagai Intelektual Organik dari paguyuban tersebut. Mereka semua memiliki latar belakang dan wawasan masing-masing untuk saling melengkapi. Di dalam paguyuban inilah, mereka mengembangkan sebuah ideologi guna menantang ideologi yang telah disebarkan oleh semua Intelektual Organik Soeharto. Berikut ini kutipan (148) yang sekilas gambaran mengenai paguyuban dan aktivitas orang-orang di dalamnya. (148) Suryo melihat paguyuban itu sesungguhnya adalah suatu perhimpunan balas dosa. Mereka berkumpul dan melakukan tirakat-tirakat untuk mengakui kekhilafan bersama. Mereka berkelana dari makam ke makam melakukan ziarah. Bertemu dengan para suciwan yang bertapa di gua-gua gunung. Mereka berusaha keras menggalang jaringan kebatinan yang masih memiliki nurani. Dalam sisa umur, mereka ingin bertobat dan melakukan yang terbaik untuk bangsa. Mereka ingin membalas kekeliruan-kekeliruan yang mereka perbuat di awal Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Perjuangan yang mereka jalani banyak terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh Pak Sawito Kartowibowo dan sahabatnya Mr, Soedjono. Selain semua tokoh di atas, ada pula Phu Tram dan Mualim Satu. Kedua tokoh inilah yang melakukan
perlawanan
terhadap
pemerintahan
Vietnam
yang
banyak
mendiskriminasikan kebudayaan bangsa mereka-bangsa Champa. Selain itu ada juga MdDSSG yang menjadi bagian dari masyarakat Timor-Timor dalam menuntut keadilan kepada Orde Baru. Berikut ini gambaran mengenai latar belakang mereka.
3.2.2.2.1 Pak Sinaga Pak Sinaga merupakan pemimpin pergerakan paguyuban dalam aksi menantang lapiran metafisik Soeharto. Sebagaimana yang digambarkan dalam kutipan (42), Pak Sinaga telah dipercaya oleh seluruh anggota paguyuban sejak mereka merencanakan sebuah aksi setelah selama ini hanya melakukan dialog dan diskusi dengan berbagai kalangan mengenai keadaan dan strategi menantang legitimasi Soeharto. Sejak hari itu, Pak Sinaga seperti dipercaya resmi bapak-bapak memimpin gerakan. Pak Sinaga terlihat siap menerima tanggung jawab. Masa-masa diskusi yang panjang dan dan melelahkan telah selesai. Masa-masa aksi sudah saatnya dimulai. Pak Sinaga adalah anggota paguyuban yang paling sepuh. Ia bekas seorang manajer. Ia juga banyak bergaul dengan kalangan tentara. Ia mengetahui banyak tempat petilasan (Suyono, 2014: 247)-Kutipan (42).
3.2.2.2.2 Pak Darsono Pak Darsono merupakan mantan orang kuat di dinas pekerjaan umum. Ia pernah menangani pembangunan waduk di seluruh Jawa. Untuk itu, Pak Darsono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
juga pernah menjadi bagian organik dari pemerintahan Soeharto. Ia memutuskan untuk tergabung dengan paguyuban setelah pensiun dari jabatannya. Di dalam paguyuban, ia dan yang lainnya melakukan rencana melawan Soeharto. Dalam sebuah perjalanan mengambil bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti, Cilacap, Pak Darsono menjadi salah satu orang yang paling berani mengambil tanggung jawab. Kutipan (45) mengambarkan keberanian Pak Darsono untuk melawan Soeharto meskipun mesti menggorbankan nyawanya. “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288)-Kutipan (45).
3.2.2.2.3 Pak Djayeng Pak Djayeng pernah menguasai peti-peti kemas di pelabuhan. Dari profesinya ini, Pak Djayeng masuk dalam sebuah sistem perekonomian besar. Urusan perekonomian tersebut tentunya akan selalu berhubungan dengan berbagai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Ia pun menjadi bagian dari pemerintah yang terikat oleh sebuah sistem yang dibangun. Setelah bergabung di paguyuban, Pak Djayeng juga menjadi salah satu orang yang paling berani. Bersama temannya Pak Darsono, ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
berani menjalani sebuah tanggung jawab yang taruhannya adalah nyawanya sendiri. Keberanian Pak Djayeng dapat dilihat pada kutipan (46). “Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287)-Kutipan (46).
3.2.2.2.4 Pak Sewaka Pak Sewaka merupakan pensiunan ahli radar. Kehadirannya di dalam paguyuban memberikan wawasan yang positif untuk menantang Soeharto. Dialah yang memberikan pandangan bahwa salah satu wahyu yang menyokong kekuatan metafisik Soeharto adalah tusuk konde Bu Tien. Menjelang akhir masa hidupnya pun, ia berburu tusuk konde petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Dengan mendapatkan tusuk konde tersebut, Pak Sewaka percaya bahwa Soeharto dapat dikalahkan dengan mudah.
3.2.2.2.5 Pak Radjiman Pak Radjiman pernah menjadi ahli kartografi yang bekerja di Jawatan Topografi TNI AD. Ia tentunya menjadi bagian organik dari pemerintahan Soeharto saat masih mengemban tanggung jawab tersebut. Perlawanan yang pernah dilakukan oleh Pak Radjiman adalah melakukan napak tilas di Situ Panjalu, lokasi yang belum pernah dikunjungi oleh anggota paguyuban lainnya. Pak Sewaka tewas dalam napak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
tilas tersebut. Kutipan (52) menggambarkan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Pak Radjiman. Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak Radjiman keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia membeli rokok, mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakap-cakap dengan para penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih tapi bersinar-sinar. Ia kemudian membungkus makanan dan diminta diantar kembali ke Situ Panjalu. Namun, setelah seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di dalam hutan Panjalu. Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa peziarah sempat menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong panas bergerak di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar (Suyono, 2014: 363)-Kutipan (52).
3.2.2.2.6 Pak Priyambodo Pak Priyambodo pernah menjadi direktur Departemen Pajak. Dengan demikian, ia pernah menjadi bagian organik dari rezim Orde Baru. Saat bergabung dengan paguyuban, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan perlawanan lapisan metafisik Soeharto. Setelah melakukan perlawanan, banyak anggota paguyuban yang tewas secara tidak wajar akibat teluh yang dilepaskan oleh para spiritual simpatisan Soeharto. Pak Priyambodo justru tidak wafat, tetapi mengalami sakit jiwa.
3.2.2.2.7 Pak Koentono Pak Koentono merupakan seorang Sukarnois yang aktif sebagai anggota Partani Nasional Indoneisa (PNI). Ia pernah masuk tahanan karena aktivitas politiknya. Wawasannya mengenai filosofi Ganesha memberikan banyak wawasan baru bagi anggota paguyuban. Saat membicarakan mengenai Ganesha, Pak Koentono tidak gentar untuk mengeritik dan mengoceh pemerintahan Soeharto. Pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
tersebut tentunya sangat sensitif dan berpengaruh fatal saat itu. Berikut kutipan (149) membuktikan sikap berani Pak Koentono di atas. (149) Awalnya ia heran mengapa saat Pak Koentono membicarakan Ganesha, ia berani sekali mengeritik pemerintah Soeharto. Mengapa bapak-bapak itu membiarkan Pak Koentono mengoceh seenaknya tentang Pak Harto. Bukankah itu berisiko sekali? (Suyono, 2014: 195)
3.2.2.2.8 Suryo Suryo merupakan bagian dari paguyuban. Bergabungnya ke paguyuban memang tanpa niatan sejak awal. Ia sampai masuk ke dalam paguyuban karena sering dimintai oleh Pak Sinaga dan bapak-bapak anggota paguyuban lainnya untuk berurusan dengan benda-benda antik (lih. kutipan 27). Relasinya dengan bapak-bapak tersebut yang kemudian memosisikan Suryo untuk ikut bergabung dalam paguyuban dan menjadi bagian organik dari kelompok tersebut. Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang samurai. Pedang itu sepasang…. Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan. Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20 juta rupiah (Suyono, 2014: 139-140)-Kutipan (27).
3.2.2.2.9 Jeanne Jeanne sebenarnya ikut keciprat kebiasaan Suryo untuk berelasi dengan bapak-bapak paguyubandan akhirnya juga ikut bergabung dengan paguyuban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Sebagai anak tentara, Jeanne telah terbiasa hidup dengan didikan bapaknya yang militer. Dampak dari pendidikan ini bisa jadi kemudian ikut membentuk pandangan Jeanne terhadap Soeharto. Ia menjadi iba bahkan takut saat anggota paguyuban membicarakan tentang Soeharto seperti yang tertuang dalam kutipan (17). Namun, bergabungnya Jeanne dengan anggota paguyuban telah mengikat hatinya di sana. Ia tidak dapat keluar dari kelompok ini meskipun telah teguh niatnya sebelum itu sebagaimana tergambar dalam kutipan (18). Jeanne dan Suryo pun memiliki wawasan arkeologis yang cukup luas. Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban (Suyono, 2014: 230)-Kutipan (17). Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu. Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di sidang paguyuban (Suyono, 2014: 247-248)-Kutipan (18).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
3.2.2.2.10 Abah Moertopo Abah Moertopo merupakan simpatisan paguyuban. Dengan demikian, ia menjadi bagian dari paguyuban juga. Kehadirannya dalam paguyuban memberikan sumbangsi wawasan mengenai kitab Bardo Thodol. Kitab itu semacam bekal bagi jenazah agar dalam kematiannya tak terombang-ambing dalam halusinasi dan mampu menggerakkan dirinya masuk ke dalam Rahim seorang ibu dan dilahirkan kembali. Pengetahuan mengenai Bardo Thodol ini semacam bekal bagi anggota paguyuban untuk siap mati kapan pun saat melakukan penyerangan terhadap sisi metafisik Soeharto. Dalam perjalan ke Jogja untuk menapaktilasi tempat Soeharto melakukan kungkum, Abah Moertopo juga ikut bergabung dalam perjalanan tersebut. (150) Dengan suara yang membuat orang seperti tersirap masuk ke sebuah pelataran punden yang suwung, Abah Moertopo menerangkan bahwa orang yang telah mempelajari Bardo Thodol harus sadar sedari sekarat kematian hanyalah sebuah daur yang beruntun. Bahwa tiap orang telah mengalami ribuan kematian dan kelahiran kembali (Suyono, 2014 165).
3.2.2.2.11 Bante Purnomo Bante Purnomo juga merupakan salah satu simpatisan paguyuban. Kehadirannya di paguyuban memberikan wawasan mengenai kitab Buddha Satthapanita, kitab dari zaman Sultan Agung. Wawasan ini ia peroleh sebab pernah menjadi pengurus di sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Istilah bante sebenarnya muncul karena pengalamannya pernah di wihara tersebut. Kitab Satthapanita adalah kitab teknik meditasi yang bertolak dari refleksi pembusukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
mayat yang pernah dilakukan oleh Buddha. Semua anggota peguyuban dalam pertemuan tersebut diajar agar dapat melepas keterikatan dengan tubuh mereka. (151) Pak Purnomo memiliki latar belakang pengurus sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Dalam pertemuan itu, ia akan membabar kitab Budha Satthapanita (Suyono, 2014: 173).
3.2.2.2.12 Meneer Widjinarko Meneer Widjinarko merupakan salah satu simpatisan paguyuban yang sangat dihormati. Kehadirannya di dalam paguyuban seperti sebagai saksi atas sekian banyak peristiwa yang terjadi di masa lalu dalam cerita mengenai orang-orang yang pernah menantang Soeharto. Meneer merupakan saudara seperguan Sawito, orang yang sangat ditakuti Soeharto. Pertemuannya dengan anggota paguyuban pada suatu malam cukup banyak berkisah mengenai perjalanan Sawito dalam upaya menaklukkan Soeharto. Perbincangannya dengan anggota paguyuban kemudian menentukan arah perjuagan/perlawanan paguyuban atas Soeharto.
3.2.2.2.13 Pak Burhan Pak Burhan adalah salah satu anggota paguyuban. Dalam novel KdDL tidak banyak mengisahkan mengenai siapa Pak Burhan sebenarnya. Meskipun demikian, ia cukup mempunyai wawasan mendalam mengenai siapa Mr. Soedjono, sahabat Pak Sawito.
Dalam persidangan atas kasus Pak Sawito, juga hadir Pak Burhan. Ia
menjadi salah satu saksi dari peristiwa peradilan orang yang dianggap Soeharto sebagai penantang terbesarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
(152) ”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai seorang perwira yang menginspeksi barisan. Tampak betul lelaki yang sudah banyak makan asam garam. Saya percaya yang diucapkannya benar. Saya waktu itu terharu sekali mendengarnya. Ia orang jujur.” (Suyono, 2014: 215).
3.2.2.2.14 Pak Begja Pak Begja memang tidak banyak digambarkan di dalam novel KdDL. Namun, tentunya ia adalah anggota tetap paguyuban. Meskipun demikian, ia memberikan sumbangsi yang sangat bermanfaat bagi paguyuban. Dialah yang mengusulkan agar paguyuban mengikuti rute yang sudah dilalui Pak Sawito untuk mencari wahyu tandingan (lih. kutipan 63) ”Pak Sinaga, apakah kita perlu menapaktilasi rute Pak Sawito menerima wahyu? Saya kira kita perlu. Meski Pak Sawito tidak mungkin menjadi kepala negara, kita perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk di tempat tersebut mengenai siapa pemimpinpemimpin masa depan. Kita perlu wahyu tandingan. Di sana kita bisa memohon turunnya wahyu tandingan. Wahyu tandingan siapa saja ratu Adil kelak,Pak Bagja meneluarkan pendapatnya (Suyono, 2014: 251)-Kutipan (63).
3.2.2.2.15 Gus Mutaqqin Gus Mutaqqin merupakan seorang kiai yang katanya memiliki sebuah pesantren kecil di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Kehadirannya di paguyuban untuk
memberikan wawasan bagi para anggota paguyuban mengenai kitab
Pangrucutan-karangan Sultan Agung. Sama seperti kedua guru paguyuban sebelumnya, Gus Mutaqqin juga memberikan wawasan mengenai kondisi tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
setelah menjadi mayat bagi anggota paguyuban. Dalam perjalanan paguyuban ke Jogja, beliau juga ikut. (153) ”Bapak-bapak, kitab ini karangan Sultan Agung. Kitab ini menguraikan bagaimana jenazah bisa racut,lepas, menghilanglenyap mengecil…Kitab ini mendeskripsikan berbagai kondisi jenazah yang tak normal sampai kondisi yang paling baik sehingga tubuh bisa lenyap, hilang,” Gus Mutaqqin memulai uraian (Suyono, 2014: 179).
3.2.2.2.16 Pak Sawito Kartowibowo Pak Sawito Kartowibowo memang bukanlah anggota paguyuban. Namun, dialah salah satu penyemangat paguyuban untuk terus melakukan perlawanan kepada Soeharto dengan keyakinan dan keberanian. Ia pernah membuat banyak petisi yang mendeskritkan Soeharto. Ketakutan lain Soeharto kepada Pak Sawito karena Pak Sawito merupakan murid dari R.M. Panji Trisirah, guru dari ayah tiri Soeharto (lih. kutipan 55). Pak Sawito menapaktilasi banyak pepunden-pepunden leluhur untuk mencari sisa-sisa wahyu penerus Majapahit. Tempat-tempat napak tilas Pak Sawito lebih banyak daripada Pak Harto seperti yang digambar kan kutipan (54). “Soeharto menjadi tambah ketakutan, apalagi saat mengetahui bahwa Sawito adalah murid dari R.M. Panji Trisirah, putra dari Pakubuwono X di Solo (Suyono, 2014: 210).”-Kutipan (55). Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Majapahit yang dipercayainya belum turun.Wahyu itu satu-satunya kekuatan yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto. Hutan dan gunung yang didatangi Sawito bahkan jauh lebih banyak daripada yang pernah dikunjungi Soeharto semasa muda. Soeharto ketakutan. Pada tahun 1976, atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Sekretaris Negera Sudharmono, Sawito diambil dari rumahnya, disel dengan tuduhan merencanakan penggulingan Soeharto (Suyono, 2014: 208)Kutipan (54).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
3.2.2.2.17 Mr. Soedjono Mr. Soedjono merupakan teman seperjuangan Pak Sawito. Dari sepak terjangnya, Mr. Soedjono memiliki banyak sekali pengalaman dan prestasi yang luar biasa. Ia pernah menepuh sekolah hukum di Universitas Leiden, Belanda. Bahasa Belandanya fasih. Dia menyandang gelar meester in de rechten (Suyono, 2014: 213). Selain itu dia pernah bekerja untuk Jepang dan terlibat dalam perang Asia – Pasifik. Dalam persidangan temannya, Pak Sawito, ia juga hadir dan menjadi saksi. Sekian perjalanan spiritual Pak Sawito, banyak diikuti oleh Mr. Soedjono. Mr. Soedjono menjadi bagian dari perlawanan Pak Sawito menantang Soeharto. (154) ”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai seorang perwira yang mengispeksi barisan. Tampak betul ia lelaki yang sudah banyak makan asam garam. Saya percaya yang diucapkannya benar. Saya waktu itu terharu sekali mendengarkannya. Ia orang jujur.” (Suyono, 2014:215).
3.2.2.2.18 Phu Tram Phu Tram bukan menjadi bagian dari paguyuban. Ia merupakan salah satu suku Champa yang pernah tergabung dalam kelompok penyelam negara yang bertugas mengangkut harta karun yang karam di dasar laut. Pada masa bertugas tersebut, Phu Tram menjadi bagian dari pemerintahan Vietnam. Kemudian hari, ia memutuskan untuk berhenti dan melakukan penyelaman ilegal karena tidak puas dengan sikap pemerintah Vietnam yang mendikriminasinya. Berbekal kemampuan menyelamnya, ia pun tetap mengadakan penyelaman ilegal. Penyelaman ini dipandang sebagai bentuk perlawanan Phu Tram terhadap pemerintah Vietnam. Phu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Tram juga memiliki wawasan arkeologis yang cukup baik. Pengetahuannya tersebutkan didokumentasikan dalam sebuah buku kecil yang cocok dipakai oleh siapa pun untun mengenai situs-situs kebudayaan di Vietnam - sebagian besar merupakan situs kebudayaan suku Champa (lih. kutipan 79). “Silahkan baca. Ini daftar candi di Vietnam yang saya buat.” Jeanne termenung. Ia membolak-balik buku sederhana tersebut. Tertera berbagai candi yang ada di Vietnam. Tiap uraian dilengkapi foto hitam-putih. My Son, Dong Doung, Tra Kieu, Bang An, Chien Dan, Khuong My, Thoc Loc, Huang Thanh, Po Dam, Phu Hai, Po Nagar…. (Suyono, 2014: 41)-Kutipan (79).
3.2.2.2.19 Mualim Satu Mualim Satu adalah sahabat dari Phu Tram. Sebagian besar penyelaman Phu Tram dibiayai oleh Mualim Satu. Mereka berkerja sama karena merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan harta kekayaan suku Champa. Mereka terikat satu sama lain dalam perasaan senasib dan sepenanggungan atas nama masyarakat Champa. Mualim Satu mengumpulkan banyak harta karun suku Champa yang tidak diinginkan oleh pemerintah Vietnam. (155) ”Tidak, Jeanne. Aku tidak bisa menyebut dia demikian. Dia bekas pelaut. Aku memanggilnya Mualim Satu. Namun, dia pelaut yang lain dari pada yang lain. Dia merasa bertanggung jawab atas kekayaan Champa di dasar laut. Ia kemudian mengikuti perburuan mencari dan membeli barang-barang dari kapal karam. Dia bukan penyelam seperti aku. Dia mirip kolektor. Dia ingin menyelamatkan harta Champa yang karam di perairan Vietnam (Suyono, 2014: 507).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
3.2.2.2.20 MdDSSG Mahasiswa dan Demonstran Simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG) merupakan kelompok yang atelah muak dengan kekejaman dan ketidakadilan pemerintah Orde Baru. Tertembak matinya rekan mereka, Sebastiao Gomes menjadi pemicu keluarnya amarah dan ketidakpuasan mereka. Dengan berani, Mereka memprotes secara langsung di depan militer Orde Baru dengan membawa spanduk dan yel-yel referendum.
3.3 Rangkuman Berdasarkan uraian dan deskripsi di atas. Kita telah melihat dengan jelas seperti apa formasi dan peran intelektual dalam novel KdDL. Dalam studi ini, tidak ditemukan tokoh-tokoh yang terkategori ke dalam Intelektual Tradisional. Hal tersebut terjadi karena dua sebab. Pertama, tidak semua tokoh-tokoh dalam novel KdDL dapat disebut sebagai intelektual. Kedua, jika tokoh-tokoh tersebut dapat disebut sebagai intelektual, mereka pasti memenuhi indikator sebagai Intelektual Organik dari suatu sistem. Baik itu sistem pemerintahan, bangsa, maupun paguyuban. Kemudian yang terkategorikan sebagai Intelektual Organik dibagi dalam dua tipe Intelektual Organik, yaitu Intelektual Hegemonic dan Intelektual CounterHegemonic. Tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Hegemonic adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan Soedjono Hoemardani, Phhoung, dan Souvvana. Tokoh-tokoh yang masuk kategori Intelektual Counter-Hegemonic dibagi menjadi dua kelompok lagi berdasarkan objek yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
dilawan. Pertama, rezim otoriter Soeharto dilakukan oleh anggota dan simpatisan paguyuban, Sawito Kartowibowo, Mr. Soedjono, dan MdDSSG. Kedua terhadap pemerintahan Vietnam dilakukan oleh Phu Tram dan Mualim Satu. Pada bab selanjutnya, yaitu bab IV, akan dibahas secara khusus mengenai bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Intelektual Counter-Hegemonic terhadap rezim otoriter Soeharto, maupun pemeritahan Vietnam. Untuk itu, hasil penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan Intelektual Counter-Hegemonic telah memberikan sedikit kemudahan untuk pembahasan bab IV. Secara
garis
besar,
formasi
intelektual
dalam
novel
kdDL dapat
disederhanakan dalam tabel 2 berikut ini: Tabel 1 Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL Intelektual Organik Intelektual Tradisional
Intelektual Hegemonic Rezim Otoriter Soeharto
Pemerintahan Kamboja
Bangsa Laos
Phhoung
Souvvana
Romo Dijat Romo Marto -
Romo Budi Sunuwarsono Setyarso Soedjono Hoemardani
Intelektual CounterHegemonic Kepada Rezim Pemerinta Otoriter -han Soeharto Vietnam Anggotan dan Simpatisan Phu Tram Paguyuban Sawito Kartowibowo Mr. Soedjono MdDSSG
Mualim Satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT 4.1 Pengantar Pembahasan mengenai formasi intelektual pada bab III telah memberikan gambaran mengenai posisi dan peran masing-masing kelompok intelektual tersebut. Mereka berhadapan dengan pemerintah sekaligus masyarakat untuk menjadi penghubung dengan membahasakan nilai-nilai maupun ideologi pemerintah dengan bahasa-bahasa universal untuk dipahami semua kalangan. Berdasarkan hasil penelitian di bab sebelumnya, tidak satu pun tokoh dalam novel KdDL masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Dengan demikian, pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada fungsi dan peran serta Intelektual Organik saja. Berdasarkan poin 3.2.2, Intelektual Organik dapat dikategorikan lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, Intelektual Hegemonic yang berperan untuk menjamin pandangan massa sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai yang telah disebar oleh pihak penguasa dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Kedua, Intelektual Counter-Hegemonic yang memiliki tanggung jawab untuk memisahkan massa dari pengaruh nilai-nilai penguasa dan membangun sebuah pandangan dunia sesuai perspektif sosialis (Taum, 2015: 40). Apabila dikaitkan dengan konteks novel KdDL, yang temasuk dalam golongan Intelektual Hegemonic adalah para simpatisan dan bawahan pemeritahan rezim otoriter Orde Baru, pemerintahan Kamboja, dan
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
bangsa Laos. Mereka bertugas untuk menjaga pandangan massa agar tunduk di bawah nilai-nilai penguasa dan menganggap semua model kepemimpinan penguasa sebagai sebuah status quo. Golongan intelektual ini tidak menghadapi banyak persoalan karena tidak muncul banyak perlawanan yang berarti atas mereka. Sedangkan tokoh yang masuk dalam ketegori Intelektual Counter-Hegemonic adalah anggota dan simpatisan paguyuban, Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono, Phu Tram dan Mualim Satu. Tugas mereka ialah memisahkan pandangan masyarakat dan membangun sebuah kesadaran baru dengan menyerang common sense10 agar tercipta revolusi intelektual. Persoalan yang mereka hadapi ialah cengkraman hegemoni pemerintah Orde Baru juga pemerintahan Vietnam. Rezim Orde Baru, menjadi rezim yang bertahan cukup lama. Lamanya Soeharto berada di tampuk kekuasaan sebenarnya terjadi karena beberapa hal. Sejak awal berkuasa, Soeharto telah meletakkan fondasi jabatan kepresidenannya yang kokoh. Dengan jatuhnya Soekarno, Angkatan Darat bangkit sebagai satu-satunya kekuatan politik yang efektif. Soeharto segera menyusun birokrasi yang mendukung dan responsif atas kebijakannya. Diciptakannya angkatan bersenjata yang loyal dan terintegrasi di bawah komandonya; lembaga legislatif dan yudikatif yang tunduk pada lembaga eksekutif yang dipimpinnya; sistem kepartaian yang disederhanakan dan yang pucuk pimpinannya ditentukan atas dasar loyalitas kepadanya; lembaga 10
Common Sense menjadi seperti kumpulan gagasan yang diterima sebagai sebuah kebenaran (alamiah, wajar, natural) tanpa dipertanyakan secara kritis, tempat ide-ide dianggap sebagai bagian dari tatanan alamiah. Common sense menjadi tempat dibangunnya ideologi dan juga menjadi tempat perlawanan terhadap ideologi tersebut (Taum, 2015: 39).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
kepresidenan yang luar biasa kuatnya; serta pers yang terkendali (Haris, 1996: 2425). Ada kecenderungan bahwa masyarakat Orde Baru berada di bawah kepatuhan selama beberapa dasawarsa. Gejala ini pula yang dihadapi oleh Gramsci saat mempertanyakan belum adanya sebuah revolusi kaum proletar sebagaimana diramalkan oleh Marx. Persoalannya bukan pada satunya berpijak pada perspektif ekonomi dan satunya lagi pada perspektif sosial-politik. Namun, masalahnya ialah tidak adanya sebuah kesadaran baru untuk menantang penguasa meskipun telah sewenang-wenang mengganyang banyak warganya. Indikasi tersebut merupakan gejala yang disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni. Pemerintahan Soeharto telah menjadikan masyarakat tidak dapat berbuat banyak untuk melawannya. Selama berkuasa, Soeharto menerapkan ideologi militerisme. Ketika militer berkuasa, maka negara akan selalu ada dalam keadaan darurat. Pembantaian dan pengganyangan dilakukan bebas dengan alasan menjaga keamanan dan ketertiban. Prinsip militerisme di jalankan secara penuh dalam kehidupan masyarakat sipil11. Semua tindakan kekerasan itu dipandang sebagai sarana sahih (legitimate means) untuk menyelesaikan masalah. Orang-orang yang dipandang „bermasalah‟ itu secara sosiologis dikonstruksi sebagai outsiders dan 11
Militerisme di masa Orde Baru adalah puncak dari ambisi kaum militer yang sejak revolusi 1945 ingin ikut berkuasa. Sejak percobaan kudeta militer tahun 1946; kemudian tahun 1952; lalu sejak darurat militer tahun 1957 yang memperkuat kekuasaan militer di politik dan bisnis, serta lahirnya dwi-fungsi; dan sejak berkuasanya Jenderal Suharto tahun 1966 yang praktis merupakan pemerintahan militer selama 32 tahun. Reformasi militer sejak reformasi tahun 1998 nampaknya masih mendapat banyak tentangan di dalam tubuh militer sendiri, sehingga dapat dikatakan mengalami kemandegan (Setiawan, 2016).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
diberi berbagai stigma seperti pengkhianat pancasila, mata-mata musuh, manikebuis, anti-revolusi, ateis, gabungan anak liar, gerakan pengacau keamanan, penjual kehormatan bangsa, dan lain-lain. Mereka secara „sahih‟ boleh dihabisi oleh negara dan kelompok masyarakat „insiders’.’ Kekerasan sah dilakukan kepada kelompok di luar kita. Kelompok di luar ini kita pandang bukan sebagai makluk manusia yang dilindungi hukum. Hukum tidak berlaku bagi mereka (Taum, 2015: 165). Militer dalam pemerintahan Orde baru menjadi aparatus negara yang represif dengan menggunakan cara-cara kekerasan tanpa memperhitungkan aspek-aspek kemanusiaan. Budaya kekerasan diterima dan bahkan didogmakan sebagai jalan keluar terbaik sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Negara dengan aparatus militernya itu memaksa civil society
untuk mempunyai
penghormatan serta perasaan takut dan dengan menerapkan metode kekerasan yang melahirkan ketakutan yang mencekam. Militer sengaja menciptakan secara sistematis pandangan bahwa negara haruslah ditakuti, tidak hanya sekadar disegani atau dihormati (Taum, 2015: 117). Memang masih banyak problema lain yang terjadi semasa Orde Baru dan cukup banyak jika diurai satu per satu. Akan tetapi, semua peristiwa itu mengarahkan masyarakat kepada suatu kepatuhan. Phu Tram dan Mualim Satu pun mengalami represi dari pemerintahan Vietnam. Khususnya Phu Tram, ia tidak diperbolehkan oleh pemerintah Vietnam untuk mengambil harta karun suku Champa yang ia temukan saat menyelam. Aktivitasnya diawasi dengan ketat oleh anggota keamanan Vietnam. Harta kekayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
suku Champa telah cukup banyak dimiliki oleh Vietnam sehingga pencarian hanya difokuskan pada benda-benda peninggalan Vietnam. Sejarah antara Vietnam dan suku Champa sebenarnya telah lama terjadi. Keduanya seperti menjadi musuh abadi yang telah membunuh banyak orang dan meruntuhkan cukup banyak situ-situs kebudayaan. Suku Champa pada mulanya berdiri sebagai sebuah kerajaan yang menguasai Vietnam Tengah dan Selatan sejak abad ke-7 hingga tahun 1832. Dalam perkembangannya, terjadi peperangan untuk saling memperbutkan wilayah dan juga kebudayaan. Terjadi upaya penguasaan wilayah Champa seperti Indrapura – dekat dengan Da Nang tempat Jeanne mengunjungi situs Po Nagar, Amaravati – sekarang masuk dalam Provinsi Quang Nam, Vijaya – sekarang masuk Provinsi Bình Định, Kauthara – saat ini bernama kota Nha Trang tempat situs Pho Nagar, dan terakhir Panduranga – sekarang Provinsi Ninh Thuận. Vietnam membutuhkan waktu sekitar 9 abad untuk menaklukkan kerajaan Champa (Musa, 2009). Pada masa itu, terjadi tindakan kekerasan terhadap orang Champa yang makin lemah. Banyak warisan kebudayaan kebanggaan Champa seperti Tra Kieu, My Son, Dong Duong, Kawasan Vijaya, Kauthara, dan Panduranga direbut oleh Vietnam, termasuk harta benda dan kebabasan suku Champa. Peristiwa masa lalu tersebut yang membentuk sikap pemerintah Vietnam untuk tidak memberikan kebebasan secara penuh terhadap orang-orang keturunan Champa. Phu Tram mendapat pekerjaan sebagai penyelam negara hanya untuk kepentingan Vietnam. Barang-barang suku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Champa yang ditemukan di dasar laut pun banyak yang diperdagangkan ke luar negeri untuk menambah keuangan negara. Berbagai gejolak yang telah dijelaskan di atas sebenarnya menjadi situasi yang menyebabkan muncul sebuah tindakan perlawanan. Posisi pihak pemerintah memang memiliki kedudukan yang cukup kuat, apalagi dibantu oleh aparatus dan intelektual-intelektual organiknya. Pada pembahasan selanjutnya, akan dideskripsikan bagaimana kemudian muncul berbagai tindakan perlawanan terhadap hegemoni dan kekuasaan pihak pemerintah.
4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni Berikut ini merupakan model perlawanan yang dilakukan oleh berbagai pihak terhadap dua pihak pemerintah yang telah disebutkan di atas. Model perlawanan tersebut terdiri dari perlawanan keras, pasif, humanistik, dan metafisik. Memang novel KdDL cukup banyak membahas mengenai perlawanan metafisik, sehingga ketiga bentuk perlawanan lainnya tidak banyak disebutkan.
4.2.1 Perlawanan Keras Perlawanan Keras berkaitan dengan tindakan perlawanan dengan cara berhadap-hadapan dengan pihak kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan tersebut antara lain dengan mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan tindakan yang jelas-jelas bertantangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟ yang berlaku pada waktu itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
4.2.1.1 Menerbitkan Petisi Perlawanan
dengan
menerbitkan
petisi
ini
dilakukan
oleh
Sawito
Kartowibowo. Keinginan untuk melawan Soeharto melalui petisi ini sebenarnya dilakukan setelah ia mendapatkan wangsit. Konon, menurut wangsit yang diterimanya, Sawito mendapat mandat untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Soeharto agar menyerahkan kekuasaannya secara damai demi menyelamatkan Indonesia. (156) Sepulang melakukan perjalanan dengan Mr. Soedjono, Pak Sawito menulis beberapa petisi. Di antaranya berjudul “Dokumen Menuju Keselamatan”, “Mundur untuk Maju Lebih Sempurna”, dan “Pernyataan Pemberian Maaf kepada Bung Karno”. Isinya menganggap Soeharto gagal total. Kepemimpinan Soeharto harus segera dilimpahkan. Melalui anggota orhiba, ia mengedarkan petisi-petisi tersebut ke pemuka-pemuka masyarakat. Tanpa dinyana, petisi Sawito mendapat sambutan tokoh-tokoh12 (Suyono, 2014: 209). Untuk itu, ia mendekati sejumlah tokoh penting di dunia politik maupun agama, seperti Mohammad Hatta, Hamka (Ketua MUI), Kardinal Yustinus Darmoyuwono (Ketua MAWI), T.B. Simatupang (Ketua PGI), R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo, mantan Kapolri pertama Indonesia yang juga adalah mertua Sawito sendiri, dll., dan meminta dukungan mereka dengan menandatangani lima pernyataan 12
Kasus Sawito membangkitkan banyak pertanyaan. Banyak orang yang heran mengapa banyak tokoh nasional yang dengan naifnya mempercayai Sawito. Menurut orang-orang yang dekat dengan Bung Hatta, Bapak Bangsa dan Proklamator itu kabarnya merasa tertipu oleh Sawito. Begitu pula para penandatangan yang lainnya sehingga mereka kemudian mengeluarkan pernyataan yang isinya mencabut tanda tangan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
yang telah dipersiapkannya terlebih dulu. Sementara semua tokoh itu hanya menandatangani satu pernyataan, Bung Hatta menandatangani tiga di antaranya. Oleh karena hal tersebut, Sawito lalu dianggap melakukan gerakan politik untuk
menggoyahkan
kepemimpinan
Presiden
Soeharto
dan
bahkan
menggulingkannya dari kekuasaannya pada waktu itu, sehingga ia dikenai tuduhan subversif. Akibatnya, Sawito diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara 8 tahun yang belakangan dikurangi menjadi 7 tahun. Dalam kasus ini, Sawito dibela oleh pengacara terkenal Yap Thiam Hien, Abdul Rachman Saleh (yang belakangan menjadi jaksa agung, dan beberapa pengacara lainnya). Petisi-petisi yang diterbitkan oleh Pak Sawito tergolong sebagai bentuk perlawanan yang cukup keras pada masa pemerintahan Orde Baru13. Tulisan-tulisan kritikan ataupun protes dianggap sebagai suatu kejahatan kelas berat. Itu karena tulisan dapat menciptakan propaganda yang efektif bagi masyarakat luas.
4.2.1.2 Aksi Demonstrasi Aksi demonstrasi merupakan perlawanan keras karena berhadap-hadapan langsung dengan pihak yang diprotes. Selama masa Orde Baru, cukup banyak aksi-
13
Berbahasa sebagai bertindak mendapatkan referensi penuh di dalam politik Orde Baru. Yang paling ditakuti Orde Baru,..bukan senjata-dalam hal senjata Orde Baru tidak pernah berkekurangan karena didukung bala-tentara yang terampil dalam memanggul senjata-akan tetapi, kata-kata. Yang paling ditakuti adalah kesusastraan, baik itu prosa maupun puisi (tulisan) (Dhakidae, 2003: 54). Itulah sebabnya sehingga beberapa surat kabar yang memberitakan tentang tindakan tidak terpuji pemerintah pada masa Orde Baru dibredel. Penyair-penyair seperti Wiji Tukul dibunuh karena sajak-sajaknya yang tajam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
demonstrasi yang terjadi. Misalnya, dalam tahun 1972, mahasiswa terus saja melakukan aksi protes dan demonstrasi
menantang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) yang dinilai tidak mendesak. Puncak demonstrasi mahasiswa terjadi pada saat PM Jepang Kakuei Tanaka mengunjungi Indonesia pada tanggal 15 Januari 1974, dan dikenal sebagai Peristiwa Malapetaka 15 Januari (disingkat Peristiwa Malari). Demonstrasi itu disertai dengan pembakaran-pembakaran dan menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Di tahun 1977 juga terjadi sebuah aksi demonstrasi untuk menuntut diadakannya sidang MPR untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto yang berujung pada aksi mogok kuliah mahasiswa ITB (lih. Taum, 2015: 199). Demonstrasi besar-besaran juga mewarnai lengsernya Soeharto di tahun 1998. Salah satu demonstrasi juga yang dilakukan pada masa Orde Baru adalah demonstrasi MdDSSG. Perlawanan itu disebut sebagai perlawanan keras, karena para MdDSSG tersebut berhadapan dan menuntut keadilan kepada pemerintah Orde Baru melalui ABRI - aparat/Intelektual Organik Orde Baru. Aksi yang mereka perjuangkan jelas bertentangan dan menggangu stabilitas umum pada masa itu –paling tidak menurut pendapat aparat keamanan yang ada di Santa Cruz. (157) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014:81). Para mahasiswa dan demonstran tersebut sebenarnya menuntut keadilan atas pembunuhan rekan mereka Sebastiao Gomes sebulan sebelum demonstrasi tersebut. Konflik berkepanjangan dan ketidakadilan serta kekerasan yang terjadi memicu gelombang demonstrasi yang besar kepada pemerintah Orde Baru. Kematian Sebastiao Gomes menjadi batas kesabaran masyarakat untuk tetap tunduk di bawah kekuasaan Orde Baru. Mereka berkumpul dengan membawa spanduk sambil meneriakkan yel-yel referendum. Aksi tersebut memicu amarah aparat keamanan yang kemudian memberondongi para demonstran dengan peluru secara brutal. Berdasarkan data dari Wikipedia tentang Insiden Dili, disebutkan bahwa dari orangorang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru bernama Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
4.2.2 Perlawanan Pasif Perlawanan Pasif merupakan perlawanan dengan cara tidak melaksanakan kehendak mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri sebagai bentuk protes tehadap kekuasaan dan mainstream itu. Dalam penelitian ini, juga ditemukan sebuah bentuk perlawanan apolitis dengan cara pergi dari medan perlawanan ke tempat yang jauh. Berikut ini akan dideskripsikan bentuk-bentuk perlawanan pasif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat Aksi tapak tilas dan tirakat ini dilakukan oleh para anggota paguyuban. Sebenarnyanya bentuk perlawanan ini masuk dalam kategori Perlawanan Metafisik karena melibatkan sisi spiritual dan motivasi mistis. Namun, bentuk perlawanan ini juga masuk sebagai salah satu bentuk Perlawanan Pasif karena mengarah pada upaya untuk menahan nafsu, kelelahan, dan rasa lapar. Tindakan tersebut tentunya membawa dampak negatif pada tubuh. Pada bagian ini hanya akan dibahas bentuk tapak tilas dan tirakat yang dilakukan oleh anggota paguyuban. Salah satu tokoh yang melakukan aksi tapak tilas dan tirakat adalah Pak Radjiman. Ia menapaktilasi sebuah lokasi yang belum pernah dikunjungi oleh anggota paguyuban lain. Lokasi tersebut bernama Situ Panjalu. Tempat ini merupakan sebuah pulau yang memiliki hutan dengan ratusan cungkup makam tua (lih. poin 2.3.1.8). Tempat ini sangat menyeramkan bagi banyak orang. Dianggap sebagai lokasi angker, banyak peziarah yang datang ke tempat ini untuk bertapa selama berhari-hari. Pak Radjiman juga ikut bertapa di tempat ini. Ia bertahan selama seminggu (lih. kutipan 52). Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak Radjiman keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia membeli rokok, mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakapcakap dengan para penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih tapi bersinar-sinar. Ia kemudian membungkus makanan dan diminta diantar kembali ke Situ Panjalu. Namun, setelah seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di dalam hutan Panjalu. Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa peziarah sempat menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong panas bergerak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar (Suyono, 2014: 363)-Kutipan (52). Bertahan selama seminggu berarti duduk dalam posisi samadi dan berpuasa dengan tidak makan dan tidak minum. Aksi ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh banyak orang. Dalam pikiran rasional, dengan tidak makan dan minum selama seminggu berarti mengakibatkan rasa lapar dan haus yang sangat menyiksa. Tidak makan dan minum juga mengakibatkan tubuh lemah dan kekurangan cairan (dehidrasi). Selain itu, Pak Radjiman juga mesti menahan godaan dan ketakutan yang menyelimuti hutan Situ Panjalu. Apalagi hutan ini banyak terdapat harimau, ular, babi hutan baik yang asli maupun yang jadi-jadian. Motivasi Pak Radjiman melakukan tapak tilas dan tirakat ini ialah untuk mendapatkan wahyu ataupun pusaka. Ia melanjutkan misi paguyuban untuk menemukan wahyu tandingan menantang Soeharto. Meskipun sendirian, semangat perlawanan Pak Radjiman masih tetap ada di dalam hatinya.
4.2.2.2 Menantang Maut Menantang maut berarti siap untuk menanggung sekian risiko berat bahkan kehilangan nyawa sekali pun. Dalam novel KdDL, terdapat beberapa tokoh yang melakukan aksi ini. Mereka itu ialah Pak Darsono dan Pak Djayeng serta Phu Tram. Mereka dinilai berani untuk mengambil risiko besar dengan motivasi untuk memperjuangkan suatu keinginan yang besar. Pak Darsono dan Pak Djayeng ialah untuk memotong pengaruh bunga wijayakusuma bagi keberlangsungan kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
Soeharto. Sedangkan Phu Tram, berjuang untuk menyelamatkan benda-benda kebudayaannya di dasar laut. Dalam rangkaian perjalanan spiritual melawan Soeharto, anggota paguyuban pergi ke tempat bernama Jambe Pitu, Cilacap. Perjalanan ini sebenarnya dengan maksud untuk melihat dari jauh Pulau Biru Majeti tempat bunga wijayakusuma tumbuh dan merencanakan perjalanan ke tempat tersebut. Berdasarkan orang-orang yang telah lama tinggal di sana bernama Pak Notodirojo dan Pak Soetomo, Pulau Biru Majeti dilindungi oleh alam dan laut. Siapa pun yang menuju ke sana pasti akan diserang oleh keganasan laut – gelombang di perairan ini memang dikenal cukup besar. Siapa pun pasti akan takut untuk mengemban tugas menyeberang ke Pulau Biru Majeti. Keperkasaan laut dan samudera akan menakutkan bagi siapa pun bahkan pelaut sekali pun. Tugas berat tersebut dengan berani diambil oleh Pak Darsono dan Pak Djayeng. Mereka bahkan bersumpah untuk berusaha sekuat mungkin mendapatkan bunga tersebut. Ketakutan mereka sebenarnya cuma satu, yaitu orang-orang suruhan Soeharto sampai lebih dahulu mengambil bunga tersebut. Pilihan tegas mereka berdua tentunya menantang rasa takut mereka sendiri termasuk kekhawatiran akan keganasan laut yang bisa kapan saja membalikkan perahu mereka dan menelan mereka sekaligus (lih. kutipan 45 dan 46). “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288)-Kutipan (45). “Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287)-Kutipan (46). Seminggu setelah melakukan sumpah mengambil bunga wijayakusuma. Pak Darsono dan Pak Djayeng bertolak ke Pulau Biru Majeti. Gelombang ganas memang menyerang mereka bertubi-tubi. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan gentar sedikit pun. Perjalanan tetap dilakukan hingga kemudian setelah 20 menit melaju, sebuah gelombang besar membalikkan perahu mereka. Pak Darsono dan Pak Djayeng bersusah payah berenang kembali ke pantai meskipun tubuh mereka dihempaskan ke sana kemari oleh ombak besar. Mereka mengalami sesak nafas, sesaat dirawat di Cilacap, namun setelah itu dibawa ke Jogja dan dirawat di RS. Panti Rapih. Kejadian di perjalan pertama ini tidak membuat mereka kapok dan takut. Mereka bahkan lebih semangat dari sebelumnya. Pada perjalanan yang kedua, kondisi laut cukup tenang dan juga cuaca cukup cerah. Pak Sinaga melepas mereka dari atas bukit dan mereka pun kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
melakukan perjalan berbahaya tersebut. Berikut kutipan (158) yang mengambarkan perjalan laut kedua Pak Darsono dan Pak Djayeng. (158) Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas mereka. Mulanya perahu mereka meluncur lancar. Tetapi begitu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran kencang memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang berbeda. Mayat mereka tidak ditemukan. Hanya pecahan perahu yang dilihat penduduk pantai (Suyono, 2014: 306). Aksi menantang maut yang dilakukan Pak Darsono dan Pak Djayeng menjadi sebuah aksi Perlawanan Pasif karena mereka dengan berani melawan/bersaing dengan Soeharto untuk bersaing mendapatkan bunga wijayakusuma. Apabila bunga tersebut jatuh ke tangan Soeharto maka kekuasaannya masih dapat bertahan. Untuk itu, tanpa mempedulikan risiko besar yang menanti di depan, Pak Darsono dan Pak Djayeng bahkan menjalankan aksi yang bisa berdampak maut bagi mereka demi menantang Soeharto. Aksi menantang maut juga sama dilakukan oleh Phu Tram. Bedanya, perlawanan tersebut bukan ditujukan kepada rezim Soeharto, tetapi kepada pemerintahan Vietnam. Sebelum menantang pemerintahan Vietnam secara tidak langsung, Phu Tram bekerja sebagai penyelam dengan sertifikat resmi. Ia sering menyelam di berbagai perairan untuk mengambil barang-barang antik di dasar laut. Namun, profesinya itu seringkali diawasi secara ketat oleh aparat keamanan. Memang telah ada aturan kepada para penyelam agar tidak ikut mengangkut barang-barang peninggalan suku Champa dari dasar laut. Jika ada yang ikut terbawa, maka barang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
tersebut harus dibuang kembali ke laut. Pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa kemudian bangkit lagi dan mengalahkan kebudayaan Vietnam. (159) Jeanne mendengar dari mulut lelaki buntung itu, pemerintah Vietnam tak begitu suka dengan temuan-temuan barang Champa dari dasar laut. Pemerintah Vietnam merasa cukup banyak memiliki barang Champa. Pada masa penjajahan Prancis, banyak arkeolog Prancis yang berminat khusus mengumpulkan artefak Champa. Dan peninggalan mereka kini disimpan di museum. Menurut Phu Tram, pemerintah tak mau lagi menambah koleksi barang Champa (Suyono, 2014: 91). Sebagai satu-satunya penyelam berdarah Champa, tentunya Phu Tram mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan penyelam-penyelam lainnya. Tidak jarang Phu Tram mengalami diskriminasi dari para aparat hegemoni seperti polisi dan Jawatan Kelautan Vietnam. Memang di kapal pengangkut barang-barang antik ada nakhoda, pembersih keramik, koki, dan para penyelam lainnya. Namun, ia merasa dirinya paling banyak diawasi. Diskriminasi itu juga muncul dalam hal pembagian tabung menyelam. Tabung selam milik Phu Tram dibedakan dengan tabung selam milik penyelam lainnya. Bukan hanya sekadar mengalami diskriminasi, Phu Tram juga bahkan pernah mengalami percobaan pembunuhan. Itu terjadi saat ia sedang menyelam. Belum lama ketika mencapai dasar lautan, tabung oksigen Phu Tram mendadak habis, sementara teman-teman penyelam lainnya masih hilir-mudik menggali harta karun. Pada akhirnya, ia sadar bahwa tabung oksigennya ternyata telah dirusak oleh para polisi agar ia mati ketika di dasar laut. Phu Tram pun berhenti dari kegiatan penyelaman setelah peristiwa tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
Setelah kembali pulih, Phu Tram kembali diterima dalam suatu ekspedisi menyelamatkan harta karam di perairan Binh Thuan. Inilah awal dari kekecewaan Phu Tram kepada pemerintahan Vietnam. Dalam misi tersebut Phu Tram dan temanteman penyelamnya menyelamatkan lebih dari 60 ribu keramik di kedalaman 40 meter. Ia kemudian merasa dikhianati karena keramik-keramik hasil pengangkatan tersebut diunduh ke tempat lelang Amerika dan Eropa. Padahal benda-benda tersebut bisa diselamatkan dengan membangun museum khusus dan benda-benda sejarah Asia Tenggara tersebut bisa disimpan dan dirawat dengan baik. Kekecewaan atas perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut menjadikan Phu Tram memutuskan untuk tidak lagi tergabung dalam kelompok penyelaman negara. Ia merasa bahwa dengan mengambil benda kebudayaan Champa untuk pemerintahan Vietnam berarti sama dengan menjual kebudayaannya sendiri. Keluar dari kelompok penyelaman bukan berarti Phu Tram berhenti menyelam. Ia memutuskan untuk tetap menyelam meskipun dengan peralatan yang sangat sederhana (lih. kutipan 78). Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabatsahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa (Suyono, 2014: 99)-Kutipan (65). Berdasarkan kutipan tersebut, peralatan yang digunakan Phu Tram memiliki risiko yang cukup besar atas dirinya. Selang yang digunakannya sebagai satu-satu sumber oksigen bisa saja terlilit karang ataupun bangkai kapal lalu pasokan oksigen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
pun bisa saja berhenti. Kedalaman lokasi penyelaman Phu Tram juga memungkinkan ia tidak memiliki cukup waktu untuk kembali naik ke atas. Dalam kondisi tanpa oksigen, bisa menyebabkan seorang penyelam akan gelisah dan energinya bisa saja habis dalam upaya keras untuk kembali berenang ke atas. Itu pun jika tidak mengalami kram. Risiko tersebut tidak mengkhawatir Phu Tram. Ia tetap berani mengambil risiko yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut nyawanya. Aktivitas penyelaman ilegal Phu Tram sebenarnya dibantu oleh rekan sesama suku Champa bernama Mualim Satu. Dari Mualim Satu-lah Phu Tram banyak belajar sekaligus mendapatkan bantuan dana. Sebagian besar benda-benda suku Champa yang ditemukan oleh Phu Tram di dasar laut di bawa ke rumah Mualim Satu. Di rumah Mualim Satu itulah, semua barang temuan Phu Tram dan penyelam lainnya dikumpulkan dan diamankan. Tindakan mengoleksi benda-benda kebudayaan suku Champa yang dilakukan oleh Phu Tram dan Mualim Satu juga bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Vietnam. Barang-barang yang secara jelas dilarang oleh pemerintahan Vietnam, dikumpulkan oleh Mualim Satu. Rumahnya seolah-olah menjadi sebuah museum yang kemudian hari semakin bertambah banyak dan dapat menyaingi kebudayaan Vietnam. Mengumpulkan barang-barang dari dasar laut tersebut seperti menumbukan kembali kejayaan suku Champa di masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri Kata “melawan” dalam pemahaman umum diartikan sebagai kontradiksi frontal antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lain. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Jeanne dan Suryo. Kepergian mereka ke luar negeri sebenarnya dapat juga diartikan sebagai sebuah perlawanan. Dalam pemahaman Perlawanan Pasif di atas, perlawanan dapat dilakukan dengan tidak melaksanakan kehendak mainstream atau kehendak umum sebagai bentuk protes. Sehingga jelas bahwa perlawanan tidak selalu ada kontak fisik maupun perang gagasan. Apa yang dilakukan oleh Jeanne dan Suryo adalah tindakan yang tidak dimengerti oleh banyak orang sebagai tindakan “melawan”. Itu berarti bahwa mereka tidak melaksanakan sikap dan tindakan mainstream. Jeanne dan Suryo setelah terlepas dari aktivitas paguyuban – tepatnya saat terjadi penyerangan Markas Besar PDI pada 27 Juli 1996, tidak lagi tergabung dalam perlawanan metafisik bersama anggota paguyuban. Mereka masuk dalam kesibukan mereka masing-masing tanpa terikat lagi dengan paguyuban. Jeanne kembali ke Malang dan akhirnya mendapatkan pengganti Suryo, sedangkan Suryo hidup tidak jelas dengan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sampai ia aktif di kegiatankegiatan kharismatik sebuah gereja dan bekerja suatu kantor penerbitan. Kepergian Suryo ke luar negeri atas dasar tugas dari tempat kerjanya atas mandat Kementerian Pariwisata untuk mendokumentasikan foto-foto candi yang ada di Asia Tenggara. Ia ke sana juga sebenarnya untuk melupakan rasa bersalahnya selama ini atas kematian ayahnya. Kepergian Jeanne ke luar negeri juga sebenarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
atas permintaan ibunya karena melihat Jeanne mengalami kekecewaan atas kandanya pernikahan Jeanne dan Mas Tubagus. Untuk itu, ia berencana ke Hoi An untuk mengunjungi sepupunya Linda. Ketakutan tentang teluh dan pengalaman mistik di masa lalunya juga masih melanda perasaan Jeanne. Dengan tetap berada di Indonesia, kegelisahan dan kenangan dengan paguyuban bisa saja masih terbawa. Ketika di luar negeri, Jeanne dan Suryo masih tetap dikejar oleh teluh dari mistikus Soeharto, bahkan hingga masa Reformasi. Keberadaan mereka di luar negeri bukan berarti terhindar dari kenangan menakutkan masa lalu dan teluh. Jeanne saat mengunjungi Angkor masih dihantui oleh bayangan bapak-bapak paguyuban. Saat itu Jeanne sedang masuk ke dalam sebuah kolam kering Angkor. Tiba-tiba ia melihat sebuah kolam air imajiner yang sebelumnya berupa susu berubah menjadi keruh kecokelatan bercampur darah. (160) Dan dari air yang pekat menyembul tujuh kepala orang sepuh. Wajah bapak-bapak yang sekali waktu pernah dikenalnya. Ya, mereka sahabat-sahabat Suryo. Jeanne masih ingat nama bapakbapak itu. Pak Sinaga, Pak Djayeng, Pak Priyambodo, Pak Danisworo, Pak Sewaka, Pak Radjiman. Ia merasa bapak-bapak itu juga mengenalnya (Suyono, 2014: 9). Menyaksikan pemandangan mengerikan itu, Jeanne memutuskan untuk pergi meninggalkan kolam kering Angkor dan melanjutkan perjalanan ke Pnom Bakheng. Berdasarkan latar waktu kejadian di atas, bapak-bapak itu sudah 14 tahun tidak lagi dilihat oleh Jeanne bukan karena mereka menyepi di suatu tempat yang tidak diketahui oleh Jeanne, tetapi karena mereka sudah lama tewas secara tidak wajar oleh teluh mistikus Soeharto. Jeanne pergi meninggalkan Angkor bukan karena menyerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
pada bayangan ketakutannya, tapi ia melawan dengan pergi meninggalkannya. Selama di luar negeri pun Suryo masih dibayangi perasaan bersalah atas sakit jiwa yang diderita oleh ayahnya. Menurutnya, apa yang dialami oleh ayahnya sebenarnya merupakan teluh mistikus Soeharto yang sebenarnya kena kepada dirinya.
4.2.3 Perlawanan Humanistik Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan tindakan mainstream sudah dipandang tepat atau belum. Perlawanan ini dilakukan oleh Romo Dijat.
4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa Negosiasi dengan penguasa berarti melibatkan orang yang dilawan untuk mencapai kesepakatan tertentu. Dengan kehadiran penguasa atau pihak yang dilawan bukan berarti intensitas perlawanan tersebut menjadi berkurang atau bahkan tidak membawa pengaruh apa-apa. Negosiasi berarti melakukan proses tawar-menawar untuk mencapai kesepatakan tertentu. Entah itu meloloskan keinginan kelas penguasa ataupun orang yang melawan. Itu berarti terjadi perang gagasan untuk memenangkan kepentingan para penegosiasi melalui cara musyawarah dan tawar-menawar. Dalam konteks novel KdDL, Romo Dijat merupakan orang yang melakukan negosiasi kepada Soeharto.
Kepentingan Romo Dijat saat itu adalah untuk
menawarkan Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kekuasaannya. Alasan Romo Dijat saat itu ialah tawaran tersebut merupakan petunjuk yang ia terima dari para leluhur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Kepentingan Soeharto saat itu ialah meminta Romo Dijat agar tetap mendukungnya kembali berkuasa (lih. kutipan 6). Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun 1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh leluhur bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara roh itu. Ia memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya menjadi presiden lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar bersiarah dari petilasan ke petilasan leluhur lain untuk meminta restu. Bila perlu, sampai leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,” kata Pak Sungkono, diikuti anggukan dari rombongan Yogya (Suyono, 2014: 235)-Kutipan (6). Dalam proses negosiasi tersebut, Romo Dijat tidak memenangkan proses negosiasi. Proses negosiasi tersebut bisa saja berdampak sangat menguntungkan para oposisi Orde Baru jika seandainya Soeharto benar-benar melaksanakan petunjuk Romo Dijat. Dalam kasus ini, meskipun Romo Dijat merupakan bagian organik dari Soeharto. Namun, saat negosiasi dia menjadi senada dengan perjuagan para Intelektual Counter-Hegemoni, meskipun maksud negosiasi tersebut sebenarnya untuk menjaga Soeharto agar tidak berada di luar kendali dan semakin sewenangwenang.
4.2.4 Perlawanan Metafisik Perlawanan Metafisik merupakan perlawanan tidak kasatmata yang dilakukan melalui cara-cara spiritual kebatinan (gaib) oleh para mistikus atau pegiat kebatinan. Perlawanan ini dilakukan oleh dua pihak. Pihak pertama ialah anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih. Kedua, Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
rekannya. Dalam novel KdDL, pembahasan mengenai jenis perlawanan ini cukup banyak dan runtut. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto telah menimbukan banyak penantangan dan protes. Cukup banyak aksi demostrasi kasar dan penyebaran petisipetisi seperti yang dilakukan oleh Pak Sawito mulai banyak bermuculan. Gerakan tersebut tentu dengan cepat direspon oleh para aparat pemerintah. Banyak terjadi gesekan fisik di banyak tempat. (161) Saya lihat di sana-sini mulai ada gerakan buruh. Gerakan mahasiswa juga makin membesar. Sekuat-kuatnya gerakan mahasiswa menurut saya masih bakalan tak menggoyahkan Pak Harto. Jutaan orang berkumpul di lapangan Monas dikerahkan menuju istana, menurut saya, malah akan mengundang pertempuran dengan para loyalis Pak Harto. Katakanlah ada anggota MPR yang mengundurkan diri, membiokot, lalu ada divisi-divisi kepolisian dan tentara yang membelot, pasti itu menimbulkan counter dari orang-orang Pak Harto (Suyono, 2014: 248-249). Namun, menyerang secara fisik saja sepertinya tidak mungkin. Legitimasi Soeharto juga ditopang oleh dunia kebatinan. Loyalisnya bukan hanya dari birokrasi, kalangan ABRI, dan partai politik saja, tetapi juga dari para mistikus kebatinan. Untuk itu, perlu sebuah aksi perlawanan terhadap dunia batin Pak Harto. Melalui cara inilah, Pak Sawito maupun anggota paguyuban yakin bisa menjatuhkan Soeharto. Dengan memutuskan untuk melawan secara metafisik, maka aksi mereka dilakukan secara diam-diam dengan menapaktilasi pepunden-pepunden yang pernah dikunjungi Pak Harto untuk mencari wahyu tandingan dan menggeser kekuatan wahyu yang menopang Pak Harto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
(162) Bapak-bapak, semua gerakan di atas adalah gerakan permukaan. Gerakan itu tidak akan berhasil bila tidak didukung gerakan spiritual. Itulah peran kita. Kita semua berkumpul di sini karena tahu bahwa kita akan melakukan perjalanan berat. Kita akan melakukan perjalanan ziarah dari pepunden ke pepunden, memohon kepada para leluhur untuk memuluskan lengsernya Pak Harto. Kita melakukan gerilya kebatinan. Pak Haro tak gentar dengan demonstrasi-demonstrasi. Segala macam demonstrasi sesungguhnya mudah dihancurkan. Tapi dia takut dengan gerakan semacam ini. Apalagi kalau kita bersatu dengan murid-murid Romo Dijat, lingkaran Jalan Diponegoro, dan teman-teman Pak Sawito Kartowibowo. Tanpa gerakan kita ini, menurut saya, gerakan-gerakan massa akan gagal dan bisa menjadi boomerang. Bapak-bapak siap?” (Suyono, 2014: 249). (163) Bapak-bapak tersebut memantau dan mendukung segala aksi yang menginginkan Soeharto meletakkan jabatan. Mereka menempatkan diri dalam barisan besar gelombang perlawanan terhadap Soeharto, namun mereka ingin melakukan dengan cara sendiri. Mereka berkeyakinan, selamanya Soeharto tidak tumbang apabila hanya dilawan secara fisik. Tentara di belakang lelaki asal Kemusuk itu sangat kuat. Mustahil buruh, mahasiswa, ataupun kelompok-kelompok diskusi pensiunan jenderal bisa menggulingkannya. Bapak-bapak itu melihat semua perlawanan fisik bisa berhasil apabila sendi-sendi metafisik yang mengukuhkan Soeharto sebagai Raja Jawa bisa dirongrong atau disabotase (Suyono, 2014: 353-354).
4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik Dalam novel KdDL, Perlawanan Metafisik dilakukan dengan cara melaksanakan perjalanan spiritual. Cara ini dilakukan pertama kali oleh Pak Sawito dan rekannya, Mr. Seodjono. Jejak Pak Sawito tersebut kemudian diikuti oleh anggota Paguyuban Anggoro Kasih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
4.2.4.1.1 Perjalanan Spiritual Pak Sawito Seperti yang digambarkan dalam poin 2.2.2.7, Pak Sawito menjadi orang yang paling ditakuti oleh Soeharto. Ketakutan Soeharto karena dua hal. Pertama, Pak Sawito merupakan murid dari R.M. Panji Trisirah, orang yang menjadi sahabat dan guru dari ayah tiri Soeharto, T.H. Sumoharmoyo. Kedua, Pak Sawito juga sering melakukan Perjalanan Spiritual ke tempat yang biasa didatangi oleh Pak Harto, bahkan lebih banyak dari Pak Harto. Dari kebiasaan tapak tilas itulah, Pak Sawito mendapatkan wangsit untuk menggeser Soeharto. Ketika menapaktilasi banyak tempat, Pak Sawito ditemani oleh Mr. Soedjono sahabatnya. Dari mulut Mr. Soedjono-lah, keluar banyak kesaksian tentang keajaiban perjalanan sahabatnya. Saat ditangkap karena dituduh bersikap subversif terhadap pemerintah, Pak Sawito dibela oleh Mr. Soedjono yang bersaksi dengan berani di depan pengadilan. Saat itu, banyak pihak yang tidak percaya dengan wangsit yang dikatakan oleh Pak Sawito. Orang-orang menganggap bahwa Pak Sawito terlalu naïf dan gila. Pembelaan Mr. Soedjono dapat meyakinkan banyak orang. Jika Pak Sawito memang gila, tentunya seorang Mr. Soedjono yang memiliki riwayat intelektual dan pengalaman kerja yang mengagumkan tentu tidak ikut larut dalam kegilaan Pak Sawito (lih. poin 3.2.2.2.17). Pak Sawito mendapat wisik pertama kali saat di Mancingan. Tempat ini merupakan lokasi semadi Panembahan Senopati saat akan mendirikan Kerajaan Mataram. Di tempat ini, saat tirakat, Pak sawito dapat melihat sosok Ki Ageng Arisboyo, tokoh pelarian zaman Majapahit, tatkala Islam masuk menguasai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Majapahit. Saat itu, juga hadir Meneer, namun Meneer tidak dapat melihat sosok tersebut. (164) ”Tidak. Hanya mata Pak Sawito yang melihat. Mata saya pun belum sanggup. Ki Arisboyo menurut Pak Sawito badannya kekar, berwibawa, mengenakan pakaian hitam-hitam seperti warok Ponorogo.” (Suyono, 2014: 216) Ki Arisboyo menitahkan Pak Sawito untuk pergi ke Masjid Demak. Ketika sampai di sana, Pak Sawito segera mencari makam Syek Siti Jenar dan sholat sunnah dua kali. Setelah itu, ia melanjutkan perjalan ke Kudus dan dari Kudus ke puncak Gunung Rahwatu bernama Puncak Songolikur. Berikut kutipan (165) menunjukkan mengapa Gunung Rahwatu menjadi salah satu tempat yang dituju Pak Sawito. (165) ”Gunung Rahwatu itu perlu didatangi karena di sana banyak petilasan. Orang Jawa percaya Sunan Kalijaga saat masih menjadi berandal Lokajoyo pernah bertapa di situ. Bahkan tokoh pewayangan seperti Abiyasa, Pandu, dan Bambang Sakri sesungguhnya dari India pernah beberapa kali singgah di situ. Lereng-lereng Gunung Rahwatu penuh sap-sap pertapaan. Paling puncak adalah tempat pertapaan Sang Hyang Wenang. Penduduk percaya Sukarno pernah bertapa di puncak itu. R.M. Panji Trisirah, mertua Pak Sawito, 30 tahun sebelumnya pernah bertapa di situ. Beliau menemukan keris Pulang Geni. Keris itulah yang oleh Pak Sawito dari Kudus dibawa. Dan setelah sampai di sana ditancapkan di dekat sebuah pohon beringin tua. Di situlah saat bermeditasi, Sawito mendengarkan bisikan gaib…” (Suyono, 2014: 218) Pak Sawito memang sejak awal dipercaya akan memegang kekuasaan sebagai Raja Jawa. Bisikan gaib yang ia terima di atas sebenarnya berisi pesan bahwa ia akan memegang tampuk kekuasaan sebagai Raja Jawa. Sebelum ia dinobatkan, posisi Raja Jawa dipegang oleh Pak Harto. Dengan demikian, dipercaya apabila posisi Raja Jawa tersebut dapat direbut dari Pak Harto, maka Pak Sawito dengan mudah dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
menggesernya. Menjadi Raja Jawa berarti seluruh Nusantara sejak itu secara batiniah sah di bawah kekuasaan Pak Sawito. Proses penobatan Pak Sawito dilakukan dua kali. Pertama, pada tanggal 10 September 1972. Kedua, pada 16 September1972. Syarat penahbisan tersebut ialah harus dihadiri oleh titisan Prabu Brawijaya I hingga V. Prosesi penobatan yang pertama gagal karena dilangsungkan tanpa kehadiran R.M. Panji Trisirah. Oleh karena itu, prosesi ditunda 6 hari kemudian. Pada prosesi kedua inilah hadir semua titisan Prabu Brawijaya I hingga V. (166) Penobatan Sawito akhirnya diulang. Dipilih tanggal 16 September 1972. Lokasinya di tempat yang sama, rumah Mr. Soedjono di Ciawi. Kali ini yang hadir lengkap. Di halaman belakang rumah Mr. Soedjono, di bawah pohon cemara, ditata kursi-kursi berderet. Di depan deretan kursi itu ada dua kursi penobatan. Sawito dan istrinya, Nuning Srinugrahaningsih, duduk di kursi penahbisan. Di deretan kursi, duduk berjejer titisan para Brawijaya. Mulai dari Panji Trisirah yang merupakan inkarnasi Brawijaya I, kemudian Albert Van Gennep sebagai Brawijaya II dan Francien, istri Van Gennep, titisan Tri Buana Tungga Dewi, yang kemudian dikenal sebagai Brawijaya III. Lalu ada Profesor Suyono Hadinoto, mantan Duta Besar Argentina, sebagai Brawijaya IV. Seterusnya Mr. Sudjono sebagai Brawijaya V dengan istrinya. Dan kemudian mantan Kapolri, Raden Said Soekanto, yang sesungguhnya adalah tokoh Freemasonry dan pemimpin Loji Indonesia Purwa Daksina. Ia dianggap sebagai titisan Amangkurat. Semua lalu berpegangan tangan, mempersatukan tenaga. Setelah energi mereka tersalurkan, muncullah Jalono (Suyono, 2014: 366). Ternyata dalam prosesi waktu itu, Jalono tidak memberikan mahkota Majapahit kepada Pak Sawito. Diduga, Pak Sawito masih kurang melakukan tirakat. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Pak Harto. Ia ketakutan sekali, sehingga Pak Harto menangkap dan memenjarakan Pak Sawito. Jabatan Raja Jawa gagal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
direbut oleh Pak Sawito dari Soeharto. Itulah sebabnya, dalam Perjalanan Spiritual yang dilakukan sendiri oleh Meneer, ia sering tirakat di makam Panji Trisirah, gurunya. Meneer ingin meminta petunjuk untuk bertemu Jalono. Mahkota itu masih ada di tangan Jalono. Pak Sawito mengalamai kegagalan dalam niat spiritualnya tersebut. Kehadiran Paguyuban Anggoro Kasih yang kemudian melanjutkan perjalanan Pak Sawito untuk mencari wahyu tandingan itu. Meneer pun turut memberi masukan bagi aksi metafisik paguyuban.
4.2.4.1.2 Perjalanan Spiritual Paguyuban Anggoro Kasih Paguyuban Anggoro Kasih menjadi kelompok orang-orang usia lanjut yang ingin melakukan balas dosa atas kesalahan mereka di masa lalu. Mereka kecewa pernah mendiamkan pengganyangan-pengganyangan yang dilakukan oleh Soeharto. Mereka kecewa karena saat berkuasa, Soeharto banyak melakukan kekeliruan. Aksi balas dosa tersebut dilakukan dengan cara melawan legitimasi Soeharto. Paguyuban akhirnya melaksanakan aksi perlawanan metafisik. Pak Sinaga pun mengambil alih sebagai komando perjalanan gerilya kebatinan tersebut. Mereka pun mulai merencanakan rute-rute perjalanan yang harus dilalui. Berdasarkan keputusan anggota paguyuban, ada tiga rute yang akan dilalui mereka. Pertama, rute yang pernah dilalui oleh Pak Sawito Kartowibowo saat mencari wahyu tandingan melawan Soeharto. Kedua, rute yang pernah dilalui oleh Pak Harto. Ketiga, menuju Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Medan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
Perjalanan menuju ke Padang Lawas dilakukan oleh Pak Sinaga, Pak Koentono, dan Suryo. Tempat yang akan mereka pergi adalah Bhairo Bahal. Tempat tersebut merupakan lokasi pemujaan kepercayaan Heruka (lih. kutipan 97). Maksud kedatangan mereka ke tempat tersebut ialah untuk memohon kepada leluhur-leluhur di sana agar tidak terjadi pertumpahan darah saat masa transisi kekuasaan Soeharto. Mereka takut terjadi pertumpahan darah dan penjarahan hebat seperti peristiwa Muso Madiun atau peristiwa pembantaian bengis di tahun 1966. Pak Sinaga lalu menguraikan betapa sampai sekarang masih susah mencapai Bairo Bahal. Daerahnya sangat tandus, tapi sangat luas, berhektar-hektar. Pak Sinaga mengenang, saat ia masih kecil, Bairo Bahal sama sekali belum dijamah arkeolog. Di padang gersang Bairo Bahal, di sana-sini, ia menyaksikan puing-puing candi batu bata. Betapapun candi-candi itu sekarang sudah sedikit-sedikit direkonstruksi, masih banyak yang masih reruntuhan atau bekas-bekas (Suyono, 2014: 255)-Kutipan (97). Hubungan antara kepercayaan Heruka dengan ketakutan akan pertumpahan darah sebenarnya terletak pada model ritual-ritual Heruka yang selalu menggunakan manusia sebagai sesaji-sesaji. Para penganut agama Heruka percaya bahwa dengan melakukan meditasi di kuburan dan memakan daging manusia, serta meminum darah merupakan jalan singkat atau metode cepat untuk mencapai tingkatan tinggi spiritualitas. Model kepercayaan ini juga tumbuh subur di Jawa dan berkembang hingga saat ini. Berikut kutipan (167) yang mencontohkan kebiasaan kepecayaan Heruka yang dipraktikkan saat pembantaian warga PKI di tahun 1966. (167) ”Saudara-saudara,tanpa kita sadari,agama Bhairo Bahal meresap sampai jauh ke zaman kita. Saudara-saudara ingat bukan di Jawa Timur, tatkala geger tahun 1966, banyak anggota BTI dan organisasi-organisasi pemuda onderbouw PKI diburu oleh massa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
dan pendekar-pendekar pesantren. Mereka ditangkapi dan para pemimpinnya sering digorok oleh masyarakat. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ada pendekar yang meraup darah anggota PKI itu dan meminumnya. Itu dikatakan agar roh gentayangan anggota PKI tidak mengejar-ngejarnya. Tapi saya melihat, perbuatan mereguk dan meminum darah itu sebenarnya sisa-sisa dari tradisi ritual agama Heruka, Padang Lawas. Agama Heruka dan Bhairawa itu masih bergolak dalam alam bawah sadar masyarakat kita. Dan yang bahaya, itu bisa muncul spontan saat terjadi kerusuhan…,” (Suyono, 2014: 254). Anggota paguyuban percaya, dengan memandikan arca Heruka dan Bhairawa dan meruwat, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Bila tidak, leluhur-leluhur penganutnya masih akan bergentayangan meminta korban. Pak Sinaga akan berdoa di tempat itu agar jatuhnya Pak Harto tidak akan menimbulkan kekacauan panjang. Selain arca Heruka, ada pula arca Bhairawa. Arca Bhaiwara ternyata bukan saja ada di Bhairo Bahal, tetapi juga ada di Museum Nasional dan di Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden. Pak Koentono menugasi Suryo untuk mengurusi arca Bhairawa di Museum Nasional dan teman Pak Koentono bernama Van Mollen yang mengurusi arca Bhairawa di Belanda. Arca Bhairawa tersebut nanti akan diberikan sesajen pada bagian kakinya dan mengurapi seluruh bagian tubuhnya hingga wajahnya. Setelah melakukan perjalanan ke Bhairo Bahal, paguyuban melanjutkan perjalanan ke Jogja. Tempat yang dituju di Jogja adalah Telaga Titis, tempat Soeharto dilatih oleh Romo Marto (lih. poin 2.3.1.3). Perjalanan ke tempat ini dilakukan oleh Pak Sinaga, Jeanne, Suryo, Pak Djayeng, Pak Darsono, Pak Priyambodo, Pak Danisworo, Pak Radjiman, Pak Sewaka, Abah Moertono, Bante Purnomo, Gus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
Mutaqqin, dan Pak Burhan. Di tempat ini mereka juga melakukan kungkum, seperti yang pernah dilakukan oleh Soeharto. Harapan dari aksi ini adalah agar ketika Pak Harto turun nanti, tidak terjadi huru-hara. Setelah dari Jogja, rombongan melanjutkan perjalanan ke pertapaan Jambe Pitu, Cilacap. Perjalanan tersebut dimulai pada pukul 12 malam. Jambe Pitu merupakan lokasi yang biasa dikunjungi Pak Harto untuk menerima wisik dan menguatkan batin. Pada perjalanan kali ini, mereka ditemani oleh murid Romo Dijat. Di tempat ini, mereka bisa melihat Pulau Biru Majeti. Pulau ini ditumbuhi bunga wijayakusuma. Dalam upaya mengambil bunga ke pulau tersebutlah Pak Darsono dan Pak Djayeng tewas diterjang gelombang laut. Perjalanan ke Jambe Pitu memang sebenarnya untuk membahas mengenai bunga wijayakusuma. Dari Jogja, anggota paguyuban melanjutkan perjalanan ke perbatasan KudusJepara, tepatnya di Gunung Sapto Renggo. Tempat ini dipercaya oleh anggota paguyuban sebagai lokasi Pak Sawito memperoleh wangsit berhubungan dengan susunan kabinet dan pembantu-pembantu presiden. Saat tiba di sana, anggota paguyuban langsung menanam sejumlah obor berbentuk lingkaran dan mereka duduk di samping obor-obor tersebut. Mereka bermeditasi sambil berharap bahwa akan mendapatkan tongkat pemberian Tuhan, sama seperti yang pernah diberikan oleh R.M. Panji Trisirah kepada Pak Sawito. Tongkat tersebut dipakai oleh Pak Sawito sebagai tongkat komando. Di tengah meditasi, beberapa bapak paguyuban mencoba mencari tongkat tersebut di rerumputan sekitar tempat mereka bersemadi. Mereka akhirnya betul-betul mendapatkan tongkat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
(168) Obor-obor kecil kemudian ditancapkan membentuk lingkaran. Mereka semua duduk di samping obor-obor. Anggota rombongan memperoleh informasi bahwa tatkala Pak Sawito selesai mendapat cahaya itu, R.M. Panji Trisirah yang mendapingi Pak Sawito menemukan sebatang kayu hutan langka. R.M. Panji Trisirah percaya kayu tersebut disediakan Tuhan sebagai bahan tongkat komando bagi Sawito (Suyono, 2014: 289-290). Menemukan tongkat tersebut bukan berarti Perjalanan Spiritual tersebut berakhir. Anggota paguyuban masih melanjutkan perjalan ke Alas Ketonggo. Kalau di Gunung Sapto Renggo, anggota paguyuban mencari tongkat komando, maka perjalanan ke Alas Ketonggo tersebut untuk mencari tahta Kerajaan Majapahit yang pernah ditinggal oleh Prabu Brawijaya V (lih. kutipan 110). Dalam upaya mencari tahta di Alas Ketonggo ini, anggota paguyuban tidak berhasil mendapatkan apa yang mereka cari. Rangkaian perjalanan ke Alas Ketonggo ini juga merupakan rute perjalanan yang juga pernah dilakukan oleh Pak Sawito sebelumnya. Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun? Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya. Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi tempat penyimpanan takhta istana (Suyono, 2014: 609)-Kutipan (110). Pada 27 Juli 1996, tepat pada saat peristiwa Sabtu Kelabu, Pak Sinaga menganjurkan kepada semua anggota paguyuban agar memencar. Ia menyadari bahwa aktivitas metafisik mereka mulai tercium oleh mistikus Soeharto. Lagi pula kondisi Jakarta saat itu sedang tidak aman. Pak Sinaga khawatir jika anggota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
paguyuban yang lain tertangkap oleh aparat. Sejak saat itu aktivitas paguyuban berhenti. Beberapa bapak-bapak melanjutkan perjalanan spiritual sendiri-sendiri. Pak Sinaga melanjutkan perjalanan spiritual sendiri ke Desa Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Perjalanan ke tempat ini adalah untuk mencari sisa-sisa pusaka keluarga Pak Sawito. Setelah dari desa tersebut, Pak Sinaga melanjutkan perjalan ke Candi Sawetar, Desa Kanigoro. Di situlah Pak Sinaga dibunuh oleh juru makam jadi-jadian (lih. kutipan 43). Pak Djayeng dan Pak Darsono sebelumnya juga sudah melaksanakan sumpah mereka mengambil bunga wijayakusuma yang kemudian merenggut nyawa mereka. Pak Sewaka melanjutkan perjalanan ke petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Ia memang sejak awal percaya bahwa Soeharto juga disokong oleh wahyu Bu Tien. Wahyu tersebut terdapat pada tusuk konde Bu Tien. Semenjak kematian Bu Tien, tusuk konde tersebut menghilang. Pak Sawito ke Banglampir untuk mencari tusuk konde tersebut. Sedangkan Pak Radjiman melanjutkan perjalan ke Situ Panjalu untuk menemukan pusaka di kuncup-kuncup kuburan (lih. poin 4.2.2.1). Meneer Widjinarko pun tetap melakukan perjalanan mandiri. Ia berupaya untuk bertemu dengan Jalono, sosok gaib, sosok yang dipercaya memegang mahkota kerajaan Majapahit. Upaya Meneer tersebut juga gagal. Perjalanan tersebut merenggut nyawa Meneer Widjinarko. Meneer meninggal tanpa memberi informasi kepada siapa sebenarnya mahkota Majapahit tersebut akan diberikan. “Pak Sinaga ditusuk di Blitar. Pak Sinaga mengunjungi Desa Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Pak Sinaga berusaha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
mencari pusaka-pusaka yang masih disimpan oleh keluarga Pak Sawito, tapi agaknya diikuti…” Suryo syok. “Ia ditikam juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, di Desa Konigoro (Suyono, 2014: 308-309).”-Kutipan (43). (169) Meneer Widjinarko kemudian berulang kali nyekar Trowulan. Ia melakukan tirakat di pepunden-pepunden hutan pakis tempat kompleks pemakaman kuno. Ia manekung di Candi Waringin Lawang sampai Gua Anggar Besi. November 1997, dikabarkan Meneer Widjinarko melakukan tirakat di Siti Inggil, tempat yang dipercaya sebagai makam Raden Wijaya. Mendadak napasnya tersenggal-senggal. Dari mulutnya keluar buih-buih. Juru kunci melarikannya ke Rumah Sakit Mojokerto. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Di sela-sela infus yang menancap di hidungnya, suster mendengar sepatah-patah ia menceritakan Jalono datang (Suyono, 2014: 367-368). Paguyuban Anggoro Kasih dan aktivitasnya perlahan hilang seiring dengan tewasnya satu per satu anggota paguyuban. Jeanne dan Suryo juga masih mengalami teror dari teluh para mistikus Soeharto bahkan hingga zaman Reformasi. Soeharto memang pada akhirnya jatuh karena sedikit demi sedikit wahyu yang menopangnya terkikis habis oleh sisa-sisa perlawanan metafisik atasnya. Orang-orang kepercayaan Soeharto pun satu-persatu pergi meninggalkannya karena pemimpin rezim tersebut semakin sewenang-wenang. Ia akhirnya jatuh atas nama aksi fisik mahasiswa dan demonstran yang keras. Tidak banyak yang tahu bahwa perlawanan metafisik paguyuban dan Pak Sawito juga berperan menggeser Pak Harto dari tahtanya. Kejatuhan Soeharto bukan berarti menghilangkan bayang-bayang Pak Harto. Teluh yang masih mengejar Jeanne dan Suryo sebenarnya menggambarkan bahwa musuh Orde Baru tersebut masih hidup hingga saat ini. Ia masih mengisi berbagai posisi dan kepemimpinan di jajaran-jajaran kursi pemerintahan. Kemiskinan yang di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
atasi di masa Orde Baru muncul di masa kini. Kebijakan Soeharto di masanya seperti bom waktu. Reformasi menanggung hutang dan kerusakan alam yang disebabkan oleh Orde Baru.
4.3 Rangkuman Bab IV secara khusus membahas mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat di dalam novel KdDL. Perlawanan tersebut dilakukan oleh Intelektual Counter-Hegemonic. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai batas kesabaran untuk mendiamkan kesewenang-wenangan pemerintah. Objek dari perlawanan tersebut adalah pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan Vietnam. Pemerintahan Orde Baru telah menjadi pemerintahan kuat sekaligus represif kepada
masyarakat
Indonesia
melalui
aparat
militernya.
Banyak
terjadi
pengganyangan-pengganyangan yang tidak berperikemanusaian. Suhu perpolitikan dan perekonomian pun tidak stabil. Banyak pihak akhirnya kecewa lalu melakukan aksi protes bahkan upaya menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Pemerintahan Vietnam dilawan karena melakukan diskriminasi dan represi melalui aparatnya kepada suku dan kebudayaan Champa. Phu Tram sebagai salah satu tokoh yang mengalami perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut merasa kecewa. Ia pernah nyaris terbunuh karena tabung oksigennya dirusak polisi Vietnam. Dengan demikian, muncullah berbagai perlawanan kepada dua pemerintahan tersebut. Dalam bab ini, perlawanan dibagi menjadi empat bentuk perlawanan. Pertama, Perlawanan Keras. Perlawanan ini dilakukan oleh Pak Sawito dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
MdDSSG. MdDSSG melawan dengan cara demonstrasi untuk memprotes kekejaman tentara yang membunuh rekan mereka Sebatiao Gomes sebulan sebelum menggelar aksi demonstrasi. Pak Sawito melakukan perlawanan kepada Soeharto dengan cara menerbitkan petisi protes atas model kepemimpinan Pak Harto. Akibat penerbitan petisi tersebut, Pak Sawito ditangkap oleh aparat dengan alasan melakukan tindakan subversi kepada pemerintah. Kedua, Perlawanan Pasif. Perlawanan pasif ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui tapak tilas, menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri. Perlawanan Pasif dengan cara tapak tilas dilakukan oleh anggota paguyuban, tetapi dalam contoh di atas, diwakili oleh Pak Radjiman. Perlawanan yang ia lakukan dengan cara tapak tilas - secara logis bisa berdampak buruk bagi tubuh. Dengan tapak tilas, Pak Radjiman percaya bisa memperoleh pusaka untuk melawan Soeharto. Perlawanan Pasif dengan menantang maut dilakukan oleh Phu Tram dan Pak Darsono serta Pak Djayeng. Mereka berani mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk mendapat suatu hal sebagai cara untuk melawan pemerintah. Risiko maut tidak menggetarkan hati mereka. Perlawanan Pasif dengan cara mencari ketenangan di luar negeri dilakukan oleh Jeanne dan Suryo. Perlawanan mereka ini merupakan perlawanan di luar kebiasaan pada umumnya. Jika arti kata “melawan” berarti ada sebuah kontradiksi, mereka justru menantang kontradiksi tersebut melalui cara tidak berhadapan dengan sebuah pertantangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
Ketiga, Perlawanan Humanistik. Perlawanan ini dilakukan melalui cara negosiasi dengan penguasa. Romo Dijat merupakan tokoh yang melakukan negosiasi dengan Soeharto. Negosiasi tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Soeharto. Keempat, Perlawanan Metafisik. Perlawanan ini dilakukan melalui sebuah perjalanan spiritual. Perjalan tersebut dilakukan oleh Pak Sawito dan Mr. Soedjono, serta para anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih. Perjalanan Spiritual yang dilakukan oleh Pak Sawito dan Mr. Soedjono ialah untuk mencari wangsit tentang kelanjutan gelar Raja Jawa yang diramalkan jatuh ke tangan Pak Sawito. Sedangkan Perjalanan Spiritual yang dilakukan oleh anggota paguyuban ialah untuk melanjutkan pencarian Pak Sawito yang gagal dan memohon kepada leluhur-leluhur agar proses pelengseran Soeharto tidak terjadi huru-hara dan pertumpahan darah. Berbagai aksi perlawanan di atas berhasil menggeser Soeharto dari kursi kekuasaannya, meskipun tahta dan mahkota Kerajaan Mahapahit tidak didapatkan oleh Pak Sawito maupun anggota dan simpatisan paguyuban. Pak Harto memang sudah turun jabatan, tetapi teluh yang ia lepaskan sudah telanjur menjalar ke manamana. Menembus masa dan generasi. Teluh tersebut bisa saja diinterpretasikan sebagai kegagalan maupun pengambilan kebijakan yang salah oleh Pak Harto dan pengaruhnya masih dirasakan hingga masa Reformasi ini. Berikut ini merupakan tabel 3 yang berisi rangkuman bentuk-bentuk counterhegemoni yang terdapat dalam novel KdDL.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
Tabel 2 Rangkuman Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel KdDL Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni Perlawanan Keras Menerbitkan Petisi
Pak Sawito Kartowibowo
Aksi Demonstrasi
MdDSSG
Perlawanan Pasif Tapak Tilas dan Tirakat
Pak Radjiman
Menantang Maut
Pak Darsono, Pak Djayeng, dan Phu Tram
Mencari Ketenangan di Luar Negeri
Jeanne dan Suryo
Perlawanan Humanistik
Perlawanan Metafisik
Negosiasi dengan Penguasa
Perjalanan Spiritual
Romo Dijat
Anggota dan Simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengangkat judul “Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci”. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu teori Struktural dan teori Hegemoni Antonio Gramsci. Analisis struktur cerita dalam novel KdDL dilakukan terlebih dahulu untuk memahami sekaligus memberi gambaran secara singkat mengenai tokoh dan penokohan serta latar tempat dan latar waktu. Gambaran mengenai tokoh dan penokohan digunakan oleh peneliti untuk mendukung pembahasan mengenai masalah formasi intelektual di bab selanjutnya. Penelitian mengenai latar tempat dan waktu digunakan untuk mendukung bahasan formasi intelektual dan bentuk-bentuk counterhegemoni. Analisis mengenai struktur cerita dalam novel KdDL menunjukkan bahwa novel ini memiliki tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu yang cukup kompleks. Ada sekian banyak tokoh yang bertalian satu sama lain dalam konteks tempat dan waktu, dari Jakarta, Yogyakarta, Cilacap, Ngawi, Padang Lawas, hingga keluar negeri dalam periode 1961 hingga tahun 2012. Untuk itu, penelitian hanya dibatasi pada tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu yang mendukung pembahasan-pembahasan selanjutnya.
196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Berdasarkan hasil analisis struktur cerita, ditemukan beberapa tokoh yang laik dikategorikan dalam formasi intelekual. Formasi tersebut terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual Organik masih diurai lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Pengkategorian tokohtokoh di atas ke dalam formasi intelektual tertentu berdasar berbagai indikator, baik yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci maupun Daniel Dhakidae. Pembahasan mengenai formasi intelektual di atas sebenarnya sudah masuk ke dalam konteks pemikiran Antonio Gramsci. Kaum intelektual itulah yang kemudian membawa pengaruh ke dalam masyarakat melalui fungsi konektornya untuk membahasakan nilai-nilai maupun ideologi pemerintah/kelas dominan menjadi bahasa universal. Merekalah yang berperan untuk mempertahankan
status quo
pemerintah dengan menjaga intensitas hegemoni yang sedang berlangsung, ataupun memisahkan masyarakat dari hegemoni pemerintah dengan menciptakan sebuah kesadaran baru dan ideologi tandingan. Kesadaran masyarakat akan posisi dan keberadaan mereka di tengah situasi yang sebenarnya salah yang kemudian menimbulkan perlawanan atau dalam istilah Antonio Gramsci disebut dengan counter-hegemoni. Setelah disaring melalui indikator formasi intelektual, tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Tokoh yang disebut sebagai intelektual, semuanya tergolong sebagai Intelektual Organik, baik itu Intelektual Hegemonic maupun Intelektual Counter-Hegemonic.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan Soedjono Hoemardanai disebut sebagai Intelektual Hegemonic karena mereka merupakan bagian organik dari rezim otoriter Soeharto. Keberadaan mereka memberikan sumbangsih yang bermanfaat untuk melanggengkan kekuasaan Pak Harto, baik sebagai tembok metafisik, maupun sebagai barisan kekuatan militer. Selain itu, ada pula tokoh menjadi bagian organik dari pemerintahan Kamboja, yaitu Phhoung dan bagian organik dari bangsa dan kebudayaan Laos, yaitu Souvvana. Pada dasarnya, fungsi tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Hegemonic di atas karena menjalankan fungsi mereka untuk menjaga agar ideologi dan nilai-nilai dari pemerintah tetap diterima oleh masyarakat umum. Anggota dan simpatisan paguyuban, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono disebut sebagai Intelektual Counter-Hegemonic. Merekalah yang melakukan perlawanan kepada Soeharto dan barisan-barisan intelektualnya. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto lalu kemudian menyesal dan ingin menebus dosa mereka. Anggota paguyuban bahkan sudah menyiapkan diri untuk mati dengan mempelajari Kitab Bardo Thodol, Kitab Satthapanita, dan Kitab Pangrucutan. Mereka siap mati kapan pun dalam misi tersebut. Di samping itu ada pula Phu Tram dan Mualim Satu. Pihak yang mereka lawan adalah pemerintahan Vietnam. Mereka tidak nyaman karena aktivitas mereka dibatasi oleh pemerintahan Vietnam. Sebagai orang berdarah Champa, mereka sering kali menerima perlakukan diskriminasi dan bahkan percobaan pembunuhan. Pada dasarnya, semua tokoh yang masuk dalam kategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
Intelektual Counter-Hegemonic adalah tokoh yang melakukan berbagai macam perlawanan kepada pemerintah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka. Banyak konsekuensi yang dihadapi mereka bahkan risiko maut. Namun, semua tokoh diceritakan tidak gentar sedikit pun dan tetap melakukan perlawanan mereka. Beberapa tewas dalam misi tersebut. Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan Intelektual Counter-Hegemonic pun bermacam-macam, baik itu perlawanan Keras, Pasif, Humanistik, maupun Metafisik. Beragam bentuk perlawanan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menumbangkan pemerintahan maupun mempertahankan kelangsungan kebudayaan. Tentunya, semua perlawanan tersebut memiliki risikonya masing-masing. Perlawanan Keras dalam novel KdDL dilakukan oleh MdDSSG. Mereka berhadapan langsung dengan aparat pemerintah Orde Baru untuk menuntut keadilan atas tindakan penembakan yang dilakukan oleh militer terhadap teman mereka, Sebastiao Gomes sebulan sebelum melangsungkan demonstrasi. Risiko yang dihadapi oleh para demonstran tersebut ialah penembakan brutal aparat militer yang berujung pada muculnya banyak korban luka dan jiwa. Selain itu, juga ada beberapa demonstran yang hilang dalam aksi tersebut. Perlawanan Pasif dilakukan dengan berbagai cara. Pak Darsono dan Pak Djayeng serta Phu Tram melakukan perlawanan dengan cara menantang maut. Aksi ini memiliki risiko kematian. Namun, hasrat mereka mengalahkan ketakutan itu sendiri. Anggota paguyuban yang dalam hal ini diwakili oleh Pak Radjiman melakukan perlawanan dengan cara tapak tilas dan tirakat. Dengan cara perlawanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
ini, ia siap menanggung risiko kelaparan dan kelelahan yang sangat luar biasa. Pak Radjiman juga diselimuti oleh risiko bahaya dalam hutan Situ Panjalu. Sedangkan Jeanne dan Suryo, melakukan perlawanan apolitis. Mereka melawan dengan meninggalkan situasi kontradiktif atau dengan kata lain melawan kontradiktif itu sendiri. Perlawanan Humanistik dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui negosiasi dengan pemerintah dan menerbitkan petisi protes. Perlawanan dengan cara negosasi dilakukan oleh Romo Dijat. Ia menawarkan agar Soeharto tidak lagi mencalonkan diri di pemilu yang ketiga. Ia mengatakan bahwa tawaran tersebut merupakan petunjuk dari para leluhur yang selama ini menopangnya. Dalam proses negosiasi tersebut Romo Dijat tidak dapat membujuk Soeharto. Pak Harto masih tetapi berambisi untuk tetap berkuasa. Perlawanan dengan menerbitkan petisi dilakukan oleh Pak Sawito. Ia melakukan itu setelah mendapat wangsit untuk menggeser kekuasaan Soeharto. Petisi tersebut ditandatangani oleh banyak tokoh nasional. Meskipun mendapat banyak dukungan, Pak Sawito akhirnya ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Perlawanan yang terakhir ialah Perlawanan Metafisik. Perlawanan ini dilakukan dalam bentuk perjalanan spiritual untuk mencari wahyu tandingan Soeharto. Perjalanan spiritual dilakukan oleh Pak Sawito. Tujuan perjalanan tersebut ialah untuk mencari petunjuk mengenai pewaris tahta dan mahkota Kerajaan Majapahit setelah Soeharto. Ia memang telah lama diramalkan akan menjadi Raja Jawa. Usaha Pak Sawito pada akhirnya tidak berhasil. Tahta dan mahkkota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Mahapahit tidak ia dapatkan. Perjalanan pun dilanjutkan oleh anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih. Maksud perjalanan mereka lebih dari sekadar mencari tahu mengenai siapa sebenarnya pewaris tahta Majapahit. Akan tetapi, mereka pula berdoa di Arca Heruka dan Bhairawa Padang Lawas untuk mengantisipasi agar dalam upaya pelengseran Soeharto yang sudah mulai banyak dilakukan mahasiswa tidak berujung pada huru-hara dan pertumpahan darah. Upaya paguyuban juga tidak berhasil mendapatkan tahta dan mahkota Majapahit untuk menggeser kedudukan Soeharto. Dari semua bentuk perlawanan di atas, di tahun 1998 akhirnya Soeharto juga turun dari jabatan. Itulah yang menjadi cita-cita dari paguyuban karena Soeharto sudah cukup lama berkuasa. Dengan demikian, perlawanan yang dilakukan di atas tidak sia-sia. Phu Tram dan Mualim Satu pun masih tetap melangsungkan upaya penyelamatan kebudayaan mereka. Cita-cita mereka untuk mengetahui bentuk Kuil di Dasar Laut lapisan ketiga pun turut dibantu oleh Jeanne. Ternyata kuil ketiga di dasar laut yang selama ini ingin diketahui oleh Phu Tram, Mualim Satu dan Jeanne adalah Kerajaan Majapahit yang dulu pernah berjaya di bumi Nusantara. Tahtanya pernah gagal diperoleh oleh oleh anggota paguyuban sekian tahun yang lalu dalam rangkaian perjalanan spiritual mereka. Tidak ada yang dapat memperolehnya hingga saat ini. Perjuangan memperoleh tahta tersebut bisa dimaknai sebagai perjuangan mengejar kemerdekaan dan kemenangan yang sesungguhnya. Kuil di Dasar Laut bisa dimaknai sebagai gambaran impian Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
Impian tersebut masih tetap diperjuangkan hingga saat ini melalui usaha dan kerja keras semua pihak untuk membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Perlawanan di atas ternyata tidak dapat mengatasi konsekuensinya sendiri. Pada saat terjadi kontak metafisik, para mistikus Soeharto telah melepas cukup banyak teluh untuk menyerang banyak orang. Bapak-bapak paguyuban tewas secara tidak wajar akibat teluh tersebut. Dapat dikatakan bahwa Soeharto memang telah turun dari kursi kekuasaannya, tetapi teluh-nya telanjur melayang ke udara. Bahkan masih meneror Jeanne dan Suryo di luar negeri saat Reformasi sudah berjalan 14 tahun lamanya. Teluh Pak Harto telah menembus masa dan generasi. Teluh tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kegagalan maupun pengambilan kebijakan yang salah pada masa Soeharto. Dampaknya seperti sebuah bom waktu yang meneror masyarakat Reformasi. Utang negara dan kerusakan lingkungan dari perusahaan tambang yang diizinkan pada masa Soeharto membebani pemerintahan selanjutnya. Masyarakat juga turut mengalami dampak buruk. Kemiskinan dan kebodohan historis akibat propaganda Orde Baru masih tetap menguasai alam pemikiran dan kondisi fisik bangsa Indonesia kini. Ungkapan “Piye penak zamanku tow?” hanya menjadi ungkapan ironi sekaligus tantangan bagi pemerintah saat ini agar memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya melalui cara-cara yang tidak merugikan bangsa Indonesia di masa sekarang maupun masa depan. Perlawanan masih akan terus berlangsung, hingga bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan sejatinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
5.2 Saran Novel Kuil di Dasar Laut mangangkat cerita tentang kesewenang-wenangan penguasa yang akhirnya dilawan oleh sejumlah orang. Cukup banyak data yang mengagumkan dan lengkap dalam novel ini. Novel KdDL juga bisa dikatakan sebagai sebuah novel sejarah karena sebagian besar data mengenai tokoh dan penokohan, latar tempat dan waktu serta sosial sesuai dengan kenyataan sejarah. Namun, karena ini bukan buku Sejarah maka fakta sejarah tersebut masih disisipi oleh imajinasiimajinasi Seno. Dalam studi ini, peneliti kurang memperhatikan aspek sosial dan kebudayaan yang tumbuh dalam novel KdDL. Untuk itu, penulis menyarankan agar jika ada peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini, bisa membahas lebih banyak aspek sosial dan budaya tersebut dengan pendekatan budaya dan kebatinan Jawa. Bagaimana akar kemunculan gerakan kebatinan di tanah Jawa, seberapa besar pengaruh gerakan kebatinan di bumi Nusantara, dan sebagainya bisa menjadi pokok permasalahan yang dibahas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
Daftar Pustaka Dhakidae, Daniel. 2013. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Endraswara, Suwardi. 2013. Sosiologi Sastra Studi, Teori, dan Intepretasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Escarpit, Robert.2008. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai PostModernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haris, Syamsuddin (Eds). 1996. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Jabrohim. 2015. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Lorens, Bagus. 1991. Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Merriam Webster. 1993. Merriam Webster’s Collegiate Dictionary Tenth Edition. USA: Merriam-Webster, Inc. Nanang, Martono. 2014. Sosiologi Pendidikan Micahel Foucault Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan Seksualitas. Depok: PT. Raja Grafindo Persada. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Patria, Nezar dan Andi Arief.1999. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Sugono, Dendy (Eds). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistimatika Analisis Struktur Fisik. Bandung: Penerbit Angkasa. Susetya, Wawan. 2007. Kontroversi Ajaran Kebatinan. Tanggerang: Penerbit Narasi. Suyono, Seno Joko. 2014. Kuil di Dasar Laut. Yogyakarta: Lamalera. Taum, Yoseph Yapi. 2015. Sastra dan Politik Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Teeuw. A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Utomo, Teguh Wahyu. 2013. Prison Notebooks Catatan-catatan dari Penjara Antonio Gramsci (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yody, Wilfridus P.N., 2003. “Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat: Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara”. Dalam Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali, Tahun I, No. 02 Juni 2003, hlm. 110-126.
Sumber Daring:
Junaidi. 2015. “Sebelum Menghilang, Prabu Brawijaya V Tanggalkan Baju di Alas Ketonggo?”. Stable URL: http://www.jurnaltimes.com/2015/10/sebelummenghilang-prabu-brawijaya-v.html. Diakses: 18 Juni pkl 01.12 WIB. Musa, Mohamad Zain Bin. 2009. “Kerajaan Champa – Hubungannya dengan Vietnam”. Stable URL: http://www.kesturi.net/?p=910. Diakases: 30 Juni 2016 pkl 23.04 WIB. Pratama, Sandy Indra. 2014. “Jalan Tol Golkar di Jalur A-B-G”. Stable URL:www.cnnindonesia.com/politik/20141020140023-32-6981/jalan-tolgolkar-di-jalur-a-b-g/. Diakses: 18 Juni 2016 pkl 00.12 WIB. Radiawati, Ririn. 2015. “Kisah 'Dukun yang Jadi Menteri Urusan Mistis' di Erra Soeharto”. Stable URL: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-dukunyang-jadi-menteri-urusan-mistis-di-era-soeharto.html. Diakses: 18 Juni 2016 pkl 00.16 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
Setiawan, Bonnie. 2016. “Militerisme dan Histeria Anti-Komunis”. Stable URL: http://indoprogress.com/2016/06/militerisme-dan-histeria-anti-komunis/. Diakses: 29 Juni 2016 pkl 01.25 WIB Wikipedia. “Cendekiawan”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan. Diakses: 22 Juni 2016 pkl 14.05WIB. Wikipedia. “Insiden Dili”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_Dili. Diakses: 30 Juni 2016 pkl. 16.51 WIB. Wikipedia. “Kerajaan Champa”. Stable URL: : https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Champa. Diakses pada 30 Juni 2016, pkl 23.00 WIB. Wikipedia. “Metafisika”, Stable URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika. Diakses: 18 April 2016 pkl 18.00 WIB. Wikipedia. “Sawito Kartowibowo”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Sawito_Kartowibowo. Diakses pada tanggal 20 Juni 2016 pkl 13.29 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
Lampiran Sinopsis Novel KdDL Novel ini diceritakan dengan alur campuran rentetan pengalaman yang dialami oleh Suryo dan Jeanne sebagai tokoh utama, tepatnya 17 tahun setelah mereka lepas dari paguyuban kebatinan Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut menantang dan melawan legitimasi Soeharto melalui jalan matafisik. Mereka bahkan diikuti oleh halusinasi dan trauma dari pengalaman perlawanan metafisik hingga ke luar negeri. Di Vietnam, Jeanne berkenalan dengan dengan seorang mantan penyelam berkaki buntung bernama Phu Tram. Bersama kenalan baru inilah, Jeanne dibawa ke berbagai situs kebudayaan Vietnam. Phu Tram juga menceritakan banyak cerita pilu kekejaman bangsa Vietnam atas suku Champa yang mengingatkan Jeanne pada kejahatan genosida yang pernah terjadi di Indonesia. Di Kamboja, Suryo bertemu dengan Phhoung yang juga mengenalkan Suryo pada berbagai situs kebudayaan Kamboja. Di Laos, Suryo juga ditemani oleh Souvvana, pria asli Laos yang kemudian membocorkan rahasia kebudayaannya. Kisah demi kisah terjalin dengan rapi selama di luar negeri, mulai dari kisah menyusuri berbagai candi, mulai dari Siem Reap (Kamboja), Luang Prabang (Laos), sampai Da Nang (Vietnam). Sekian kejadian janggal yang terjadi selama berada di luar negeri yang dialami Jeanne dan Suryo ternyata memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah Bangsa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
Jeanne dan Suryo sebenarnya telah mengikuti sebuah paguyuban kebatinan Jawa bernama Paguyuban Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut pernah melakukan perlawanan kepada Soeharto dengan cara metafisik. Mereka melakukan banyak perjalanan spitual di berbagai pepunden di beberapa wilayah di Pulau Jawa maupun Sumatera. Perlawanan mereka tersebut bubar setelah terjadi penyerangan markas PDI di Jalan Diponegoro di tahun 1996. Semenjak itu, sebagian besar anggota paguyuban tewas secara misterius. Diduga, kematian tersebut diakibatkan oleh teluh yang dilepas oleh para mistikus simpatisan Soeharto. Jeanne dan Suryo masih tetap diburu oleh teluh tersebut. Makin beringasnya teluh yang mengejar-ngejar mereka juga berdampak pada rusaknya hubungan asmara Jeanne dan Suryo. Mereka berdua sebelumnya adalah sepasang kekasih . Jeanne meninggalkan Suryo dengan semua kenangan mereka. Jeanne menikah lagi dengan mas Tubagus. Sementara itu, Suryo masih tetap berlanglang buana dengan terus dihantui oleh rasa bersalah atas kematian ayahnya. Mereka berdua bertemu lagi secara tidak sengaja saat di Café Red Piano, Kamboja. Selama berada di Vietnam, selain bertemu dengan Phu Tram, ia juga bertemu dengan Mualim Satu. Pertemuan Jeanne dengan kedua orang keturunan Champa inilah yang melibatkannya dalam membongkar misteri Kuil di Dasar Laut. Berbagai usaha dilakukan oleh Jeanne untuk mencapai kuil ketiga. Namun, usaha kerasnya itu selalu berujung pada kegagalan. Setelah meminta restu pada Po Nagar; ibu dari segala ibu Champa dan menyesap madat yang ditinggal Mualim Satu dan Phu Tram, misteri tentang kuil ketiga itu pun terungkap. Ternyata, kuil ketiga tersebut adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
lokasi yang pernah dikunjungi oleh Jeanne saat melakukan perjalanan spiritual dengan anggota paguyuban belasan tahun yang lalu.