Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah Telaah Kritis Regulasi dan Kebijakan terkait Kerja Sama Antardaerah di Era Post-Reformasi Benjamin Abdurahman Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah (LEKAD) www.lekad.org ABSTRAK Kerja sama antardaerah merupakan salah satu inovasi daerah dalam menjawab tantangan globalisasi. Melalui kolaborasi pembangunan antardaerah diharapkan terjadi penguatan komunikasi pembangunan kewilayahan yang mampu menekan kecemburuan pembangunan, ego lokal, dan sektoral yang menjadi implikasi dari penerapan otonomi daerah (otda) pascareformasi di Indonesia. Kekuatan kolaborasi dalam konteks tata kelola pembangunan (governance), termasuk diantaranya adalah kerja sama antardaerah di luar negeri sudah menjadi komponen yang integral dalam pembangunan sejak dua dekade terakhir. Namun di Indonesia, inovasi yang tumbuh berdasarkan kebutuhan bersama ‘dari bawah’ ini tidak didukung oleh regulasi dan kebijakan pusat yang sesuai. Payung regulasi yang ada tidak mampu menguatkan, apalagi menumbuhkembangkan inisiatif pembangunan wilayah yang mengedepankan komitmen bersama para pelaku pembangunan ini. Dalam kurun waktu lebih dari satu dekade pelaksanaan otda hanya beberapa gelintir pembelajaran terbaik dari kerja sama antardaerah yang bisa diamati. Ada apa dengan regulasi dan kebijakan kerja sama daerah selama ini? Produk hukum dan kebijakan pascareformasi memberikan berbagai pembelajaran pembangunan daerah dan sekaligus menyisakan permasalahan yang belum terselesaikan. Melekat dengan pembangunan daerah, timbul berbagai implikasi pelaksanaan otda, seperti kegagalan daerah otonom baru, meruncingnya gesekan ‘kepentingan antardaerah’ (baca: ego daerah), permasalahan ego sektoral, miskoordinasi, hingga mismanagement (salah urus) di daerah. Pada sisi lain, inovasi daerah dalam rangka menyiasati dan meredam berbagai implikasi otonomi daerah melalui berbagai bentuk (aliansi) kerja sama antardaerah kewilayahan secara dramatis ‘terbonsai’ dalam bingkai regulasi dan kebijakan. Kondisi tersebut terjadi karena kelemahan pada konsep dasar yang ambivalen, dan misleading terhadap esensi dari pengembangan serta pembangunan wilayah itu sendiri. Pembangunan wilayah melalui kerja sama antardaerah yang sedianya mampu
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
51
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
menghadirkan keserasian, sinkronisasi, dan harmonisasi kebijakan secara kewilayahan dengan demikian menjadi tumpul. Kata kunci: kerja sama antardaerah, kebijakan, inovasi pembangunan daerah ABSTRACT In the era of globalization a local government has to work together with its neighboring local governments to unite their various capabilities and strengths, otherwise a single or stand alone local government will not be in the state to compete. By uniting their capabilities and strengths through a voluntary cooperation of the neighboring local governments in form Regional Management they can cope better with the global competition on one side, and on the other side this cooperation enhances the communication between them, decreases or even eliminates the development discrepancies among them and the so called local egoism. In the modern countries all over the world the collaborative governance in form of interdistrict cooperation has already been a common practise since more than two decades. Actually some local governments in Indonesia have also started to work together as a Regional Management, but unfortunately there is still some lack of necessary regulations that should come from central government or also in form of national acts. The existing regulations regarding cooperation between local or province governments in form of collaborative governance, especially Regional Management are not sufficient enough in pushing or triggering or motivating the autonomous governments to work together as an regional development alliance. Since the district autonomy that began in the year 2001 there have only been very rare best practices to be viewed. It is time now that we have to take a look again and closer at the policy and regulations regarding the interdistrict cooperation. The result of district autonomy after more than one decade shows also various negative implications like e.g the failure of local development, local and sectoral egoism, miscoordinations, mismanagements. And even if some local governments have initiated a voluntary cooperation between them, they could not execute their plans or programs since they were hindered by the existing regulations or central government's policy. In order the good goals of a cooperation between two or more local governments can really be achieved, some necessary and appropriate regulations and policies have to be made. Key words: cooperation of the inter regional, regulation, inovation of regional development
52
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Fenomena Kerjasama Antardaerah Pelaksanaan desentralisasi dalam tata pemerintahan di Indonesia dimaklumi sebagai pengaruh globalisasi. Di Indonesia pengaruh itu diawali dengan reformasi politik pada 1998 yang bermuara pada pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001. Globalisasi juga membawa perubahan baru, yaitu persaingan yang semakin ketat di segala bidang termasuk persaingan antardaerah. Sebagai konsekuensi logisnya adalah tumbuh kebutuhan daerah untuk melakukan penguatan daya saing secara kewilayahan (regional) dan bukan secara kedaerahan. Hal ini berangkat dari sebuah premis bahwa tidak ada daerah yang semata-mata dapat mengandalkan potensinya sendiri. Keterbatasan sumber daya, potensi, dan letak geografis adalah beberapa faktor yang semakin menguatkan aspek ‘saling ketergantungan’ secara kewilayahan di antara daerah yang bertetangga. Melalui pola jejaring, kerja sama di antara subjek pembangunan mulai banyak dilakukan. Di sinilah peran kerjasama antardaerah dalam konteks kewilayahan menjadi strategis. Proses terbentuknya sebuah kewilayahan yang terdiri atas beberapa daerah otonom yang bertetangga berdasarkan kerja sama dengan azas sukarela semacam ini disebut dengan regionalisasi desentralistik (Abdurahman, 2005). Berbagai aliansi pembangunan antardaerah berdasarkan prinsip winwin (saling menguntungkan) seperti ini mulai tumbuh pasca diberlakukannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Inovasi daerah bentuk ini berpeluang menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan disparitas, overlapping fungsi, miskoordinasi, ego lokal dan ego sektoral pada pengembangan wilayah. Namun bagaimanakah pusat menjawab fenomena kerja sama antardaerah yang tumbuh ‘dari bawah’ (bottom up) tersebut? Apakah produk hukum dan kebijakan terkait telah mampu memayungi untuk mendorong, menumbuhkembangkan dan menguatkan inovasi daerah dalam menjawab tantangan globalisasi dan dinamika otonomi daerah? Kelemahan Konsep Dasar Melacak permasalahan mendasar atas tumpulnya kerja sama antardaerah kurang patut kiranya bila tidak menyimak filosofi dan landasan hukum yang mewadahinya. Konsep dasar kerja sama daerah yang menjadi acuan pemikiran regulator dapat dilihat dari berbagai produk hukum yang diundangkan. Kerja sama yang dimaksud di sini diyakini sebagai proses kolaboratif yang melibatkan subjek/pelaku (aktor) sektor publik untuk mencapai target pelayanan dan atau pembangunan yang lebih baik. Sebenarnya, dalam ketentuan perundangan, khususnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kerja sama daerah bukanlah suatu keharusan. Namun, jika hal itu dilakukan maka sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah, harus didasari, salah satunya, adalah prinsip ‘kesamaan kedudukan’. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan menggunakan prinsip equalitas di antara para subjek yang bekerja sama. Oleh karena itu, pola kolaborasi yang berlaku bersifat ‘saling menguntungkan’ dan diikat melalui ‘kesepakatan bersama’ sebagai
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
53
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
ciri khasnya. Jadi, salah satu faktor penting dari regulasi kerja sama tersebut adalah kesamaan kedudukan di antara pihak yang bekerja sama. Dilihat dari perspektif para subjek, maka bentuk kerjasama di atas dapat diartikan berpola equal kolaboratif. Selain itu, karena secara hukum kerja sama semacam ini bukan suatu keharusan maka ciri lain dari kerja sama ini adalah berprinsip sukarela. Secara garis besar hubungan kerja sama dengan pola equal kolaboratif (masing-masing subjek memiliki posisi yang setara) dapat digambarkan sebagai berikut: Skema Konektifitas Pola Kerja Sama Equal Kolaboratif
Benjamin Abdurahman 2014
Subjek A dan B (atau subjek setara lainnya) menjadi subordinat pada masing-masing ruang/sektor, namun koordinator memiliki fungsi moderasi, fasilitasi, dan mediasi serta pembagi peran. Keberadaan subjek lainnya, yakni C, D dan seterusnya, masih dimungkinkan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama. Dalam konteks collaborative governance, sebuah kerja sama akan tumbuh dan berkembang (khususnya secara kuantitatif pelaku) bila manfaatnya terbukti besar (Mandell & Keist, 2009). Pemahaman koordinasi pada pola ini bukan sebagai pimpinan dalam mengambil kebijakan, namun sebagai interface untuk para subjek. Kebijakan strategis yang disampaikan oleh koordinator merupakan hasil konsensus para subjek. Koordinator dapat menjadi bagian atau terpilih dari subjek yang bekerja sama berdasarkan konsensus dan atau dari unsur profesional. Partisipasi dan pemberdayaan para subjek yang bekerja sama menentukan kualitas kerja sama yang dibangun. Kewenangan pengambilan kebijakan oleh koordinator terbatas pada aspek administratif pengelolaan kerja sama/kesekretariatan. Trend dalam satu dekade terakhir perencanaan pembangunan memperlihatkan pemanfaatan pendekatan collaborative governance semakin menjadi pilihan. Sebagai catatan, pendekatan ini memiliki beberapa kunci sukses yang perlu diperhatikan. Beberapa variable penentu keberhasilan, yaitu latarbelakang konflik atau kerja sama, aspek
54
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
manfaat untuk stakeholder dalam melakukan kerja sama, keseimbangan kewenangan dan sumber daya serta kepemimpinan (Ansell C & Gash A, 2006). Apakah model di atas bisa cukup diterapkan pada seluruh kerja sama daerah? Pada beberapa kasus, model pengembangan wilayah justru cenderung dibutuhkan sebuah kerja sama yang bersifat direktif-koordinatif. Pola kerja sama ini dijalankan tidak berlandaskan kesetaraan atau inequal kolaboratif di antara para subjek. Skema Konektifitas Pola Kerja Sama Inequal Kolaboratif
Benjamin Abdurahman 2014
Subjek A, B1, dan B2a memiliki posisi pada hirarki yang berbeda, namun berdasarkan arahan imperatif dari koordinator, maka kolaborasi dilakukan. Hubungan antarsubjek dilakukan melalui mekanisme direktif-koordinatif oleh koordinator yang sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan. Dengan demikian proses pengambilan kebijakan strategis tetap berada pada posisi koordinator. Pola ini bisa diterapkan, misalnya, pada daerah dengan permasalahan disparitas pelayanan dasar di wilayah perbatasan. Disparitas tersebut terjadi karena beberapa faktor, misalnya perbedaan jumlah penduduk yang signifikan dan keterbatasan fasilitas pelayanan dasar. Pada kasus ini dapat dipastikan daerah yang memiliki jumlah penduduk lebih sedikit dan jumlah anggaran yang terbatas membutuhkan dukungan pelayanan dari daerah tetangga untuk menekan disparitas pelayanan dan jarak tempuh ke pusat pelayanan (intra-wilayah). Dalam konteks ini, faktor saling menguntungkan yang akan membawa ‘kesepakatan bersama’ sulit untuk diwujudkan.
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
55
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
Apabila kesetaraan hak untuk memperoleh pelayanan dasar bagi setiap warga negara menjadi salah satu tujuan berbangsa dan bernegara, maka ‘otonomi’ (kedaulatan/independensi) dari sebuah fungsi birokrasi (sektor dan daerah) tidak boleh justru menghambat perolehan hak dasar tersebut. Hak dasar masyarakat harus ditegakkan sebagai tujuan demi kepentingan keadilan dan kesejahteraan dimana otonomi daerah dan aktivitas sektor (kementerian/lembaga negara) sebagai alat untuk mencapainya. Dengan demikian, ada kalanya kerja sama yang dijalankan perlu dilakukan dengan pola inequalkolaboratif (tanpa kesetaraan). Artinya, kesetaraan para subjek yang perlu bekerja sama menjadi tidak relevan. Kolaborasi lintas sektor dan pelaku dalam kasus ini menjadi sebuah condicio sine quanon. Karena alasan yang lebih prioritas, maka kerjasama di antara pihak yang terkait menjadi wajib. Pengelolaan lingkungan, seperti penanggulangan banjir, pengelolaan limbah dan emisi, serta berbagai kebutuhan pelayanan dasar lainnya dapat masuk dalam kategori kerja sama ‘wajib’ ini. Sesungguhnya pola kerja sama (baca: hubungan) antardaerah maupun lintas sektor dengan roh inequal-kolaboratif sudah diatur melalui mekanisme struktural, yaitu melalui payung perundang- undangan dan kebijakan pemerintah (a.l. dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007). Secara hirarkis-prosedural seluruh koordinasi dilakukan terkait kewenangan telah dibagi habis (peran dan fungsi) di antara urusan yang ada. Pucuk koordinasi dalam tata pemerintahan di Indonesia terletak pada presiden sebagai kepala negara. Sebagai analogi sederhana bentuk inequal-kolaboratif dapat diamati pada kebijakan yang diperintahkan kepada seorang pimpinan SKPD yang memerintahkan beberapa kasubditnya untuk bekerja sama dalam menuntaskan permasalahan atau untuk melakukan kegiatan tertentu. Dalam hal ini para kasubdit adalah setingkat dan masing-masing memiliki tupoksinya sendiri, namun diarahkan oleh pimpinanannya untuk bekerja sama. Para subjek akan bekerja sama tanpa prinsip kesetaraan, sukarela, ataupun mempertimbangkan aspek saling menguntungkan. Bentuk seperti inilah yang dimaksud dengan inequal-kolaboratif. Para subjek harus bekerja sama melalui mekanisme direktif-koordinatif untuk mencapai target di luar tupoksi regulernya. Dilihat dari management prioritas, maka faktor kesetaraan, saling menguntungkan, dan sukarela menjadi aspek minor dalam hal ini. Pengelolaan kerja sama pada kasus seperti ini dikembalikan pada kendali pengelolaan berstruktur hirarkis dan bukan pada pola jejaring. Prinsip yang sama berlaku pada koordinasi yang bersifat horisontal atau lateral (hubungan ke samping) namun masih dalam pengelolaan berdimensi struktural. Oleh sebab itu, pada skala kemeterian/badan (K/L) negara, keberadaan menteri koordinator menjadi relevan. Bagi K/L yang tidak memiliki koordinator akan merujuk langsung kepada presiden. Berdasarkan gambaran di atas, maka aspek ‘struktur kelembagaan’ dalam rangka kerja sama perlu diperhatikan. Jika pola kolaborasi ditentukan oleh kerja sama yang dilakukan: apakah hirarkis atau jejaring maka penggunaan struktur kelembagaan (baik hirarkis maupun
56
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
jejaring) terkait dengan proses pengambilan keputusan sesuai maksud dan tujuan pengelolaan yang dibangun. Pada dasarnya pemahaman kerja sama inequal dan equal kolaboratif, seperti yang dijelaskan di atas, juga terkait dengan aspek koordinasi dan komunikasi. Artinya bentuk koordinasi pada struktur kelembagaan hirarkis dengan pola kerja sama inequal kolaboratif dipastikan berpola direktif koordinatif. Selanjutnya bentuk komunikasi pada struktur hirarkis, aspek kerja samanya dilakukan melalui prosedur formal. Tabel 1. Karakteristik Kerja Sama Inequal & Equal Kolaboratif Kerja Sama Inequal Kolaboratif
Equal Kolaboratif
Struktur Pengelolaan
Hirarkis
Jejaring
Prinsip Pelaksanaan
Imperatif, Top Down
Sukarela, Mutualistik
Koordinasi
Direktif Koordinatif
Partisipatif-Pemberdayaan
Komunikasi
Normatif dan Tertutup
Cair/Luwes dan Terbuka
Benjamin Abdurahman 2014
Kegiatan koordinasi pada struktur jejaring dengan kerjasama yang dilakukan berdasarkan equal kolaboratif dipastikan memiliki karakteristik partisipatif-pemberdayaan berdasarkan komitmen dari pihak terkait. Kegiatan komunikasi pada struktur jejaring dengan kerja sama equal kolaboratif ini cenderung memiliki karakteristik komunikasi yang cair dan terbuka sehingga tidak terbelenggu pada prosedur formal. Di lain pihak, kerja sama inequal kolaboratif pada dimensi struktural (hirarkis) menggunakan pendekatan koordinasi yang direktif. Dan model komunikasi yang dilakukan bersifat normatif-prosedural dan pada proses pengelolaan tergolong tertutup. Sebuah kolaborasi - bila dilihat dari perspektif orientasi proses, maka akan selalu dikaitkan dengan problem setting, direction setting, dan structuring (Gray; 1989). Produk perundangan dan kebijakan kerja sama daerah saat ini tidak memperhatikan secara seksama tentang konsep inequal dan equal kolaboratif diatas. Kerancuan Penempatan Dimensi Kerja Sama Dalam sistem pemerintahan Indonesia dikenal dengan pola struktural-hirarkis dengan azas demokrasi menjadi pijakan utamanya. Setiap lima tahun, di Indonesia dilakukan pemilihan umum guna menenentukan pemimpin dan arah kebijakan strategis secara nasional. Mekanisme ini merupakan perlombaan untuk perolehan suara mayoritas. Untuk memilih presiden juga melalui mekanisme suara terbanyak dari rakyat melalui pemilihan
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
57
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
langsung. Berbagai aturan main dituangkan melalui perundang-undangan dan peraturan dalam sistem demokrasi ini. Meskipun dalam sistem demokrasi di Indonesia, prinsip musyawarah untuk mufakat lebih dikedepankan, pada proses pengambilan keputusan legislasi banyak ditunjukkan mekanisme pengambilan keputusan sebagai opsi terakhir melalui jalan voting. Akibatnya tidak mustahil bahwa produk hukum yang diundangkan tidak dapat memenuhi harapan dan kepentingan seluruh pihak. Kemungkinan kekecewaan dari minoritas sangat terbuka lebar. Bagi mereka yang kecewa dan tidak puas dengan kepemimpinan dan kebijakan yang ada dipersilahkan menunggu lima tahun mendatang untuk memberikan suaranya. Melalui proses inilah produk hukum yang disebut peraturan perundangan yang digunakan sebagai dasar dan acuan pengelolaan pembangunan dibuat. Pengelolaan tata pemerintahan dipastikan berada pada dimensi sektor publik atau pada gambar di bawah disebut struktural. Keterbatasan sistem pengelolaan pada dimensi struktural (hirarkis) ini dalam dua dekade terakhir dijawab dengan pemanfaatan pola pengelolaan pada dimensi non-struktural (jejaring) yang mengedepankan konsensus dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu tumbuhkembangnya pendekatan collaborative governance menjadi semakin relefan (periksa Ansell C & Gash A, 2006). Berikut adalah gambaran tentang pembagian dimensi pengelolaan yang perlu diperhatikan berikut pola kolaborasi yang terkait. Dimensi Pengelolaan dan Pola Kerjasama
Benjamin Abdurahman 2014
58
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Pembagian tiga dimensi pengelolaan di atas (Abdurahman, 2012) didasarkan pada pertimbangan proses pengambilan keputusan; Bila proses pengambilan keputusan berlandaskan ex mandato (perintah atau mandat peraturan dan perundangan ‘dari atas’), maka masuk dalam dimensi struktural, sedang pada proses pengambilan keputusan berdasarkan keingingan dari para subjek sendiri (ex mera mutu) dengan latar belakang saling membutuhkan/ ketergantungan, maka termasuk dalam dimensi nonstruktural. Seluruh pelaku usaha yang berorientasi profit masuk dalam dimensi pasar. Masing-masing dimensi memiliki ciri khas pengelolaan tersendiri. Pengelolaan pada dimensi struktural dipastikan memiliki pola kerja sama yang bersifat inequal kolaboratif. Di lain pihak, pada dimensi pengelolaan nonstruktural dan pasar dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai catatan, pembagian terkait tiga dimensi pengelolaan perlu dipahami sebagai induk dimensi pengelolaan. Artinya, bukan berarti kerja sama equal kolaboratif pada dimensi nonstruktural tidak akan ditemukan pola inequal kolaboratif pada bagian dari unsur pengelolaannya. Sebagai contoh, pada sebuah kerja sama antardaerah (dipastikan equal kolaboratif dalam dimensi nonstruktural) membutuhkan kesekretariatan yang dipastikan berpola hirarkis (inequal kolaboratif). Sekretariat kerja sama di sini berfungsi sebagai unsur dari induk pengelolaan berdimensi nonstruktural yang berpola equal kolaboratif, namun unit pengelola/kesekretariatannya dibangun memanfaatkan pola inequal kolaboratif. Jadi, dalam hal ini, kegiatan kerja sama inequal kolaboratif yang ada pada kesekretariatan dibangun untuk mendukung kegiatan kerja sama equal kolaboratif yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah apabila terdapat unsur yang berasal dari dimensi pasar atau nonstruktural terlibat di dalam kerja sama dengan unsur struktural, maka dipastikan mekanisme pengelolaan mengacu pada dimensi pasar atau nonstruktural. Sungguh mustahil apabila unsur yang berasal dari dimensi pasar atau nonstruktural bersedia masuk dalam dimensi struktural dengan segala konsekuensi pengelolaannya. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dalam dimensi pasar berorientasi pada perolehan profit, dan dalam dimensi nonstruktural berlandaskan motivasi perolehan benefit, sedangkan dalam dimensi struktural berorientasi pada keseimbangan antara kepentingan dunia usaha dan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang berkeadialan dan berkelanjutan dalam konteks bernegara (equilibrium antarswasta-masyarakat). Penjelasan ini menggambarkan skema deliniasi pemanfaatan antara inequal dan equal kolaboratif terkait dimensi struktural, nonstruktural, dan pasar.
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
59
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Tabel 2. Pola Kerja Sama Berdasarkan Dimensinya Dimensi: Struktural Kerja Sama:
Dilakukan oleh para subyek secara Inequal Kolaboratif berdasarkan azas demokrasi
Nonstruktural Dilakukan oleh para subyek secara Equal Kolaboratif berdasarkan konsensus, namun dimungkinkan pemanfaatan inequal kolaboratif sebagai subordinat tata kelola kerja sama.
Pasar Dilakukan oleh para subyek secara (1) Equal Kolaboratif dan dimungkinkan pemanfaatan inequal kolaboratif sebagai subordinat (2) Inequal Kolaboratif berdasarkan azas pasar
Benjamin Abdurahman 2014
Pada setiap pengelolaan berdimensi struktural maka dipastikan landasan utama pelaksanaan koordinasi, kerja sama dan komunikasi (3K) berpola inequal kolaboratif. Sedianya tidak ada polemik tawar-menawar yang menjadi tumpuan pertimbangan di antara para subjek terkait saat melakukan koordinasi. Aspek 3K dijalankan sesuai prosedur dan standar normatif yang ada. Secara konsepsi bila terdapat masalah maka diputuskan secara top down (hirarkis) karena koordinator memiliki posisi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Pada dimensi struktural masalah koordinasi muncul saat komponen/unit-unit kerja semakin terspesialisasi. Masing-masing komponen/unit memiliki berbagai perbedaan dalam pemanfaatan metode, orientasi waktu, orientasi pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan formalitas struktur kelembagaan. Lazimnya para subjek memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan institusi yang baik. Misalnya, sektor keuangan menghitung skala ekonomi dari besaran investasi, sedangkan sektor ketenagakerjaan lebih memprioritaskan untuk menghitung jumlah tenaga kerja yang terserap. Frontliner pelayanan publik akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Di lain pihak biasanya bidang penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang. Masing-masing sektor dan komponen/unit memiliki pola dan iklim kerjanya sendiri yang
60
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
kadang tidak sesuai dengan sektor/ unit lain. Beberapa perbedaan tersebut sedikit banyak memberi gambaran masalah koordinasi atau miskoordinasi dalam konteks pengelolaan dimensi struktural. Pembagian kewenangan/urusan berimplikasi pada penguatan spesialisasi yang berpotensi mempertajam kesulitan pada aspek 3K. Hal yang menarik juga telah diingatkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh Karl-Erik Sveiby dalam konteks internasional bahwa ‘collaborative climate in the private sector is generally better than in the public sector’. Dengan demikian kerja sama yang terkait sektor publik membutuhkan perhatian yang lebih. Aspek 3K pada setiap dimensi memang bervariasi. Artinya, pemahaman 3K pada masing-masing dimensi pengelolaan dipastikan berbeda. Pada dimensi nonstruktural upaya koordinasi melibatkan bentuk equal kolaboratif dari para subjek berikut karakteristikanya yang melekat. Para subjek terkait kerja sama berbeda dalam memanfaatkan metode, orientasi waktu, orientasi pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan SOP kelembagaan. Namun yang lebih penting untuk dipahami adalah perbedaan terkait faktor kohesifitas1. Faktor kohesif pada inequal kolaboratif adalah garis komando kepada pimpinan sebagai amanat kegiatan (prosedur/regulasi) sedangkan pada equal kolaboratif adalah komitmen yang lahir berdasarkan pertimbangan cost and benefit (nilai manfaat). Bila tata kelola konvensional mengedepankan prosedur (linear planning) sebagai mekanisme kerja, maka dalam tata kelola kontemporer menggunakan strategic planning (multi linear/paralel) sebagai salah satu metode dalam perencanaan (Bryson, 2011). Perlu diingat bahwa dimensi nonstruktural selalu berorientasi pada benefit yang diperoleh dari kegiatan kerja sama yang dimaksud. Negosiasi untuk mencapai konsensus dalam pola equal kolaboratif merupakan proses yang tidak terhindarkan. Proses negosiasi ini kadang membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, beberapa kata kunci seperti moderasi, fasilitasi, advokasi, mediasi, dan mobilisasi pemberdayaan para pelaku menjadi bagian yang melekat pada pola kerja sama equal kolaboratif. Bila aspek regulasi/kebijakan dalam dimensi struktural merupakan pijakan kerja (melakukan kerja sama), maka dalam dimensi nonstruktural dibutuhkan komitmen sebagai pijakan. Membangun komitmen para pelaku kerja sama sebagai legitimasi kegiatan merupakan hal yang mutlak (periksa Gray, 1989 & Kaner, 2006). Komitmen yang biasanya dituangkan dalam kesepakatan/perjanjian bersama ini hanya dapat terrealisasi bila posisi ‘saling menguntungkan’ di antara para subjek dalam konteks equal kolaboratif dapat diwujudkan. Saat ini ambivalensi panduan kebijakan bukan hanya terlihat pada antarproduk peraturan, namun juga kontradiksi antarpasal dalam peraturan itu sendiri. Pada PP. No. 50 Tahun 2007 bisa menjadi salah satu contoh. Di satu sisi, pada PP tersebut terdapat 1
Cohesive atau kohesif secara etimologis adalah menyatukan, memadukan, mengintegrasikan atau membuat kompak. Faktor kohesif yang dimaksud di sini adalah faktor yang membuat 3K dalam sebuah kolaborasi dapat berjalan kompak dan memiliki keterpaduan.
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
61
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
penegasan yang tertuang pada prinsip- prinsip dasar kerja sama daerah, yaitu a.l. pada Bab II Pasal 2, huruf (d) saling menguntungkan, (e) kesepakatan bersama dan (h) persamaan kedudukan, namun pada sisi lain sebagaimana diatur dalam Bab VI Penyelesaian Perselisihan, terdapat opsi untuk menggunakan keputusan Gubernur selain pola musyawarah yang memang diamanatkan sebagai opsi utamanya. Apabila kerja sama daerah provinsi dengan kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antara daerah kabupaten/kota dengan daerah kabupaten atau daerah kota dari provinsi yang berbeda terjadi perselisihan, dapat diselesaikan melalui opsi Keputusan Menteri, selain utamanya melalui musyawarah. Lalu di manakah prinsip kesetaraan yang semestinya menjadi roh dari kerja sama ini? Jika prinsip kesataraan telah tercederai, maka bagaimana mungkin prinsip-prinsip lain seperti saling menguntungkan dan kesepakatan bersama dapat terwujud? Bila kolaborasi harus mengacu pada aturan dan bentuk-bentuk yang berisi pedoman tentang kolektifitas dalam proses pengambilan keputusan (Stoker, 2004), maka perlu diperhatikan sistem pengorganisasian dari proses pengambilan keputusan tersebut. Hal ini kembali menunjukan kerancuan regulasi dalam membedakan antara kerja sama daerah berpola equal dan inequal kolaboratif. Pasal ini lebih tepat digunakan untuk pola inequal kolaboratif dibandingkan equal kolaboratif. Sesungguhnya untuk pola equal kolaboratif ada dua pilihan untuk menjawab masalah perselisihan, yaitu musyawarah melalui konsensus atau menghentikan kerja sama dengan kembali kepada dimensi struktural, yaitu melakukan kerja sama berpola inequal kolaboratif (pembagian peran dan fungsi) sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh diatas memperlihatkan campur aduk penempatan dimensi pengelolaan kerja sama daerah dalam regulasi yang menjadi acuan pelaksanaan. Ketegasan para subjek untuk memilih pemanfaatan antara pola inequal dan equal kolaboratif menjadi penting. Bila tidak, maka akan terjadi kesimpangsiuran, ketumpangtindihan, dan berbagai kerancuan dalam pelaksanaan kerja sama. Sebagai contoh, kasus yang terjadi pada BKSP JABODETABEKJUR. Kerja sama antardaerah ini lahir sejak sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Tidak dapat dimungkiri bahwa dominasi kepentingan aspek fungsional DKI Jakarta sebagai ibu kota negara masih sangat kental. Produk tata ruang juga telah mengukuhkan perwilayahan Jabodetabekpunjur (plus Puncak dan Cianjur) sebagai kawasan strategis nasional sebagaimana tertuang dalam PP. No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN. Dilihat dari produk perencanaan formal wilayah Jabodetabek(punjur) sudah sarat dengan mekanisme 3K yang menunjukan pengelolaan secara hirarkis-struktural. Artinya, orientasi penyelesaian permasalahan menggunakan dimensi struktural yang kerja samanya berpola inequal kolaboratif. Namun dinamika otda di lapangan berbicara lain, tarik menarik kepentingan yang tercermin pada disharmoni kebijakan pembangunan wilayah tidak terhindarkan. Celah pemanfaatan kerja sama melalui pola equal kolaboratif yang dipayungi melalui PP. No. 50 Tahun 2007 tidak teraplikasi secara utuh dalam konteks JABODETABEKJUR. Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
62
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
yang sedianya dapat menjadi platform untuk mengaplikasikan pola equal kolaboratif terdistorsi dengan Permendagri No. 6 Tahun 2006. Permendagri tersebut secara jelas mengatur pola kerja sama dalam konteks inequal kolaboratif yang masih berada dalam dimensi struktural. Salah satu bukti kuat adalah adanya eselon pada sekretariat BKSP yang menandakan bagian dari hirarki yang struktural. Carut-marut aplikasi inequal dan equal kolaboratif menandai ambiguitas kebijakan tentang pengembangan wilayah yang saat ini masih melekat pada kasus JABODETABEKJUR. Walaupun kedudukan PP. No. 50 Tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan Permendagri No. 6 Tahun 2006, pada kenyataannya Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR masih memegang erat Permendagri tersebut sebagai acuan berdasarkan alasan pragmatis. Pola Struktural Sebagai Menu Andalan Upaya menekan disparitas yang diakibatkan oleh ego-lokal dan sektoral secara klasik banyak dijawab oleh regulator dan pengambil kebijakan dengan memanfaatkan pola pengelolaan pada dimensi struktural. Di Pusat tercermin pada keberadaan para Menteri Koordinator lintas K/L. Di Daerah peran gubernur sebagai wakil pemerintah, misalnya dalam bidang pengawasan produk hukum daerah, dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pembangunan kewilayahan dikenal dengan konsepkonsep seperti KAPET, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan lain sebagainya. Seluruh bentuk kawasan khusus dan pembentukan daerah otonom baru adalah upaya pemanfaatan pola pengelolaan pada dimensi struktural. Memang sangatlah beralasan upaya dari para regulator yang mengedepankan pemecahan masalah melalui pengelolaan pada dimensi struktural. Upaya koordinasi yang bersifat direktif dapat dimaklumi telah menjadi menu andalan. Namun desentralisasi yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan pemerataan kesejahteraan ternyata membawa implikasi berupa semakin tajamnya ‘pengkotak-kotakan’ kewenangan. Ternyata praktek otda juga berimbas pada penguatan ego kedaerahan dan sektoral. Situasi paradoks ini terjadi karena di satu sisi dilakukan penguatan kewenangan sektoral dan daerah (baca: otonomi) dan pada sisi lain dilakukan penguatan koordinasi-direktif yang mengarah pada resentralisasi. Bagaimana menjawab fenomena ini? Perlu dipahami bahwa pada setiap regionalisasi, yang dipastikan juga mengedepankan aspek kerja sama yang bisa berbentuk equal dan inequal kolaboratif, masing-masing dapat dikategorikan dalam jenis hard- dan softform (Axel Priebst, 2001). Dalam dimensi struktural, kerja sama secara inequal kolaboratif dengan jenis hardform dapat diamati pada proses pembentukan dan keberadaan daerah otonom baru. Melalui prosedur dan mekanisme yang telah diamanatkan oleh peraturan dan perundang-undangan, maka daerah otonom baru (penggabungan dari minimal lima kecamatan) dapat terbentuk. Oleh karena itu, pula regionalisasi bentuk ini masuk dalam kategori regionalisasi sentralistik atau struktural (Abdurahman, 2005). Namun, berbagai perwilayahan yang terbentuk melalui dominasi
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
63
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
pendekatan teknis perencanaan, yaitu kawasan khusus, digolongkan dalam kategori inequal kolaboratif yang bersifat softform. Pada jenis softform - inequal kolaboratif terbentuknya pengelolaan diawali dengan perhitungan dan analisa teknis (fungsional dan sektoral) yang kemudian, setelah melalui proses prosedural-birokratis, ditetapkan secara formal sebagai regulasi. Seluruh proses di atas tetap berada dalam dimensi struktural. Contoh produk regionalisasi sentralistik dengan pengelolaan struktural jenis softform dan tergolong kawasan strategis nasional a.l.: Kawasan Strategis Nasional Pariwisata (KSPN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET). Sesungguhnya pada berbagai perwilayahan regionalisasi struktural kategori softform tersebut terbuka peluang pemanfaatan regionalisasi desentralistik. Alasan utamanya adalah bahwa untuk mengisi produk perwilayahan struktural dibutuhkan komitmen para pelaku pembangunan, khususnya pemda terkait. Komitmen ini bisa terwujud secara kuat melalui pola equal kolaboratif. Oleh karena itu, regionalisasi desentralistik yang dipastikan mengedepankan kerja sama equal kolaboratif menjadi relevan. Namun, lagi-lagi regulasi dan kebijakan Pusat yang tidak kondusif, seperti yang sudah dijelaskan secara konseptual dan dengan contoh kasus JABODETABEKJUR, maka praktek kerja sama equal kolaboratif saat ini menjadi mandul. Pemanfaatan pendekatan dari traditional bureaucratic ke arah postbureaucratic (Barzelay, 1992) dalam pengelolaan pembangunan kewilayahan masih berjalan lambat di Indonesia. Lain halnya dengan pesatnya perkembangan adhocracy2 dalam dimensi struktural yang berorientasi sektor/bidang. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai komisi/lembaga ad hoc di sektor publik (a.l. Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI, Komisi Kepolisian Nasional/Kompolnas dstnya). Pada dimensi struktural dipastikan, hirarki koordinasi terpusat pada pimpinan sebagai koordinator. Itu sebabnya narasi populer menggunakan istilah ‘Pusat’ bila merujuk pada Kementerian/Lembaga Pemerintah sedangkan ‘Daerah’ untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dimensi tata kelola negara jelas berada pada dimensi struktural dengan karakteristikanya yang melekat, seperti hirarkis, prosedural, formal, birokratis, dsbnya. Struktur yang hirarkis dalam tata pemerintahan di manapun, termasuk di Indonesia, menegaskan adanya garis komando yang terpusat, meskipun paradigma desentralisasi menegaskan adanya pembagian urusan yang tertuang dalam UU. No. 32/2004, melalui PP. No. 38/2007, dan petunjuk teknis yang terkait lainnya. Salah satu cara mudah untuk mengidentifikasi dimensi antara bentuk region (dalam konteks subnasional) dengan pengelolaannya yang struktural atau nonstruktural bukan hanya dapat diperoleh melalui aspek hukumnya, namun juga pada pola penganggarannya. 2
Waterman Jr., Robert (1990) menggambarkan adhocracy sebagai segala bentuk organisasi yang melintasi garis-garis birokrasi yang normal untuk menangkap peluang, memecahkan masalah, dan mendapatkan hasil nyata.
64
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Manakala sumber penganggaran pengelolaan sebuah region berasal dari Pusat, maka dapat dipastikan bahwa pengelolaan berada pada dimensi struktural. Bila sumber penganggaran berasal dari para subjek yang bekerja sama dan memperlihatkan ownership yang kuat berdasarkan kesetaraan para subjek terkait, maka bisa dipastikan bahwa region tersebut berada pada dimensi pengelolaan nonstruktural. Penutup Konsep integratif kerja sama daerah dengan pola inequal dan equal kolaboratif seperti yang dibahas di atas tidak terdapat pada produk regulasi saat ini, khususnya pada PP. No. 50 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah tersebut hanya fokus pada kerja sama daerah yang bersifat equal kolaboratif dan tidak menyentuh pola inequal kolaboratif. Kelemahan konseptual ini membuat regulasi yang ada berpotensi menjadi misleading. Akibatnya, regulasi yang ada tidak mampu memayungi keberadaan kerja sama antardaerah yang ada saat ini, apalagi untuk mendorong tumbuh kembangnya inisiasi baru. Banyak aliansi pembangunan antardaerah yang pernah berjalan efektif sebelum lahirnya peraturan pemerintah dan petunjuk teknis pelaksanaan terkait kerja sama daerah tersebut kini mengalami stagnasi. Contohnya BARLINGMASCAKEB (Kerja sama antardaerah terkait Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen; terbentuk pada tahun 2003), SAMPAN (Sapta Mitra Pantura yang meliputi wilayah eks-Karesidenan Pekalongan; terbentuk pada tahun 2004) di Jawa Tengah, dan masih banyak kerja sama antardaerah lainnya dalam beberapa tahun terakhir seolah berjalan di tempat. Pembelajaran BARLINGMASCAKEB di Jawa Tengah Saat tahun-tahun awal pelaksanaan kerja sama BARLINGMASCAKEB di Jawa Tengah telah berhasil melaksanakan berbagai terobosan strategis pembangunan kewilayahan, seperti pelaksanaan pasar lelang agro Barlingmascakeb sejak tahun 2003-2008. Melalui kegiatan periodik pasar lelang ini telah mampu mengangkat kesejahteraan para petani gula kelapa. Perlu diketahui bahwa petani penderes tergolong petani termiskin di wilayah ini. Indikator keberhasilan tampak jelas dengan terjadinya peningkatan harga jual gula kelapa yang semula IDR 2600/kg menjadi IDR 6000/kg, dimana setiap pasar lelang rata-rata mencapai total penjualan 200 Ton (sumber: Regional manager pertama Barlingmascakeb, Dr. Restyarto Efiawan). Selain perolehan harga komoditi yang lebih baik, kegiatan pasar lelang komoditi menjadi instrumen benchmarking di wilayah ini. Melalui berbagai kegiatan BARLINGMASCAKEB yang dikelola oleh seorang regional manager profesional menghasilkan benefit berupa investasi publik dan swasta hingga milyaran rupiah setiap tahunnya bila dibandingkan dengan outcome (berdasarkan kontribusi iuran sebesar 100 juta) dari pemda terkait. Platform BARLINGMASCAKEB juga menciptakan komunikasi pembangunan antar pelaku di sektor publik yang mampu
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
65
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Benjamin Abdurahman
mewujudkan perencanaan dan pembangunan kewilayahan yang sebelumnya tidak dapat terselesaikan, seperti realisasi jembatan penghubung diperbatasan antara kabupaten Banjarnegara dan Kebumen, membuka akses penerbangan Cilacap-Jakarta, paket pariwisata dan lain sebagainya. Seiring perjalanan pelaksanaan inovasi daerah melalui aliansi pembangunan antardaerah seperti yang terjadi di Jawa Tengah ini muncul beberapa kendala, khususnya terkait aspek penganggaran. Acuan peraturan terkait mekanisme penganggaran yang ditujukan kepada badan kerjasama baru ditemui dalam pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada tahun 2011, yaitu melalui Permendagri No. 37 Tahun 2010. Alokasi anggaran untuk kerja sama disini diarahkan kepada mekanisme hibah. Namun tarik ulur (perubahan) ketentuan tentang hibah itu sendiri berjalan dinamis dalam beberapa tahun terakhir ini. Akibatnya, banyak daerah enggan meneruskan atau membangun kerja sama antardaerah, terutama dalam bentuk badan kerja sama. Inkonsistensi dan lemahnya legalitas pada mekanisme penganggaran masih membuat daerah sulit bergerak. Situasi paradoks kembali terjadi, dimana disatu sisi pusat mendorong daerah untuk dapat menekan ego lokal dan sektoral melalui kerja sama, namun disisi lain payung regulasi pada aspek penganggaran masih menunjukan jalan buntu. Ambivalensi diantara peraturan/perundangan dan kebijakan seperti inilah yang membuat inovasi daerah untuk melakukan penguatan daya saing secara kewilayahan menjadi tumpul. Akibatnya sinergitas antardaerah dan lintas sektor serta harmonisasi yang sedianya dapat terwujud melalui berbagai kerja sama antardaerah kewilayahan tidak berjalan secara optimal. Tanpa acuan payung hukum dan ketegasan konsep yang jelas, khususnya mengenai tata kelola dan penganggaran, maka kerja sama antardaerah akan tetap berjalan ditempat. Dengan demikian – selama belum ada perubahan regulasi dan kebijakan yang tepat - jangan ada lagi pihak yang heran, atau bahkan menyalahkan daerah bila kerja sama tidak berjalan efektif.
Daftar Pusataka Abdurahman, Benjamin (2005), Regional Management & Regional Marketing - Pemahaman Dasar, IAP Jateng, 2005. Free download: www.lekad.org (2012) ‘Penguatan Kelembagaan dalam Kerja Sama di Kawasan Perkotaan” Jurnal Pembangunan Daerah,Vol. XVIII./Edisi 02/2012 Ansell C & Gash A. (2006). ‘Collaborative Governance in Theory and Practice’. Working paper research in progress. Berkeley: Department of Political Science. University of California.
66
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
Benjamin Abdurahman
Kelemahan Regulasi dan Kebijakan Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah
Barzelay, Michael. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley: University of California Press. Hal.191 Bryson, John. 2011. Strategic Planning for Public and Non-Profit Organizations, 4 ed. San Francisco: Jossey-Bass. Gray B. 1989. Collaborating: Finding common ground for multiparty problems. San Francisco: Jossey Bass Publishers. Kaner S. 2006. Five transformational leaders discuss what they’ve learned. In S Schuman (ed.) Creating a culture of collaboration. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Hal.1–40. Karl-Erik Sveiby, Roland Simons, (2002) "Collaborative climate and effectiveness of knowledge work – an empirical study", Journal of Knowledge Management, Vol. 6 Iss: 5, Mandell MP & Keast R. 2009. A new look at leadership in collaborative networks: Process catalysts. In Public Sector Leadership: International challenges and perspectives (eds) JA Raffle, P Leisink, AE Middlebrook (eds) Edward Elgar Pub Cheltenham UK. Hal.163–178. Priebst, A. 2001. ‘Die Gestaltung der Stadtregion – eine Zukunftsaufgabe’, Sonderdruck aus: Bayerische Akademi der Schoenen Kuenste (Hrsg.): Jahrbuch 15, Muenchen. Stoker, Gerry, 2004. ‘Designing institutions for governance in complex environments: Normative rational choice and cultural institutional theories explored and contrasted’. Economic and Social Research Council Fellowship Paper No. 1. Waterman Jr., Robert (1990). Adhocracy: The Power to Change. Knoxville, TN: Whittle Direct Books. Peraturan Perundangan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2011.
JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 2 | TAHUN 2014
67