KERAGUAN UMI Hari merayap ke puncak siang. Terik dan udara lembab menebar ke jantung kota Bogor yang dikenal sebagai kota hujan. Ini khas udara tropis. Kombinasi yang efektif antara temperatur tinggi dan kelembaban tinggi yang membuat orang merasa tidak nyaman dan kegerahan. Memang hari ini agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Walaupun sudah lewat jam 12 siang, belum kelihatan tanda-tanda akan hujan. Tidak ada awan gelap menggantung padahal selama bulan Maret, hujan terus mengguyur. Genangan airnya turun deras ke lembah dan sungai hingga membawa bencana banjir ke Jakarta. Bogor yang curah hujannya mencapai 2500 mm per tahun itu mengalami perubahan. Hujan semakin tidak teratur. Kini, musim hujan dan musim kemarau menjadi semakin tidak jelas perbedaannya. Menginjak tahun-tahun 2000-an perubahan itu semakin terasa. Sejak saat itu udara sejuk dan kabut pagi yang menyelimuti Gunung Gede, Gunung Salak, dan Gunung Pangrango jarang sekali hadir. Kota Bogor yang menjadi tempat tujuan istirahat para pembesar 1
Belanda zaman dulu itu, sekarang sudah jadi pengap dan sesak. Kota melebar ke setiap sudut, seperti amuba tanpa arsitektur yang tertata. Udara cerah dan panas hari ini juga membuat kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang yang gedung-gedungnya beratap hitam dan berdinding kokoh itu kelihatan seperti kegerahan. Cahaya matahari yang keras membentuk bayangan bangunan dan tanaman felicium itu begitu kontras dan tajam, seakan sengaja menyediakan tempat berteduh untuk berlindung dari terpaan panas. Beberapa orang mahasiswa dan satpam kampus terlihat berteduh di bawah pohon felicium yang rindang. Sesekali saja angin semilir datang, seakan enggan berbagi kenyamanan bagi mereka yang kepanasan dan keringatan. Kampus Institut Pertanian Bogor yang mulai dibangun pada tahun 1952 dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno pada tanggal 27 April 1952 itu sangat kokoh. Berdinding tebal, berjendela kaca banyak dan kuat yang berdiri ramping berjejer sepanjang dinding, sehingga cahaya matahari leluasa menyinari ruangan kuliah yang besar-besar itu. Atap sirap yang terbuat dari kayu ulin yang keras dan hitam legam itu sekarang sudah diganti 2
dengan genteng multi-roof berbahan aluminium yang lebih tahan cuaca. Ruangan kuliah di kampus ini dibuat begitu luas, sehingga bisa menampung ratusan mahasiswa. Mungkin sengaja dibangun untuk ruang kuliah umum. Kampus ini termasuk mewah, dilengkapi dengan perpustakaan, laboratorium biologi, taksonomi, fisika, kimia, ilmu tanah, komputer, bahasa dan sebut saja semua yang berhubungan dengan ilmu pertanian. Satu kemewahan yang tak terkira jika dibandingkan dengan kampus sekolah tinggi dan universitas baru lain yang bertebaran di seluruh kota yang akhir-akhir ini berkembang seperti jamur di musim hujan. Lokasi kampus ini juga sangat istimewa. Berdampingan dengan kebun raya yang megah, tempat koleksi bermacam-macam tanaman dari seluruh dunia yang menjadi kebanggaan kota Bogor. Menyusuri jalan Pajajaran ke arah barat, hanya dalam bilangan menit berjalan kaki, akan ditemui Istana Bogor yang indah. IPB memang menempati posisi yang strategis di jantung kota Bogor. Taufiq Ismail mengungkapkan kampus IPB ini dalam sajaknya yang berjudul “Almamater”: Di depan gerbangmu tua, pada hari ini Aku menyilangkan tangan ke dada kiri 3
Tegap tengadah menghadap bangunanmu Tembok hitam dan dinding kusam .... Sayang kampus yang indah itu sekarang berdampingan dengan kesemerawutan pusat perbelanjaan di sekitarnya. Lapangan luas di sekeliling kampus Baranangsiang itu sudah tinggal cerita. Ajie turun dari angkot warna hijau di pertigaan Jalan Pajajaran dan Jalan Rumah Sakit II. Dia menunggu agak lama sampai mendapat kembalian uangnya dari sopir angkot. “Ah, seperti biasa, kembaliannya selalu uang yang lusuh. Pasti banyak penyakitnya,” Ajie mengomel dalam hatinya sambil melangkah ke trotoar. Kampus yang selalu menyambutnya dengan semilir angin, kali ini membawa serbuk kapuk randu yang buahnya sudah kering dan merekah. Kadang-kadang membuat orang bersin kalau serbuknya terhisap hidung. Sebulan lalu Rumah Sakit PMI meminta supaya pohon randu itu ditebang saja karena banyak pasien yang terganggu pernafasannya. Gila, ini permintaan yang keterlaluan. Itu adalah pohon tua yang menjadi ikon kampus Baranangsiang. Bukan saja mahasiswa IPB akan marah, bahkan walikota pun tentu tidak bakalan setuju. 4
Ajie berhenti sebentar dan ranselnya yang tua dipindahkannya ke bahu kiri, lalu dia meloncat menghindari lobang becek yang tersebar di jalan satu-satunya menuju kampus itu. Tidak seperti biasanya, kali ini dia jalan agak lesu. Tadi dia kesal betul pada sopir angkot. Dia tahu, kalau mereka punya predikat negatif, yaitu suka berebut penumpang, saling berlomba, ngebut, dan belok tanpa melihat kiri-kanan. Dia bisa berhenti untuk siapa saja, kapan saja dan di mana saja, seperti kata iklan Coca-Cola. Mereka tidak peduli pada pengendara lain. Tetapi yang satu ini sudah keterlaluan. Dia seenaknya saja menginjak rem mendadak ketika melihat seorang ibu di pinggir jalan melambaikan tangannya. Rem berdecit dan angkot yang berhenti tiba-tiba itu membuat Ajie terbanting dan kepalanya kejeduk dasbor. Angkot itu hampir saja tertabrak mobil kijang di belakangnya. Ajie ingin memakimaki sopir ugal-ugalan itu, tetapi akhirnya dia mencoba bersabar. Kehidupan sopir angkot memang sangat keras, karena mereka sering kali bekerja dalam keadaan stres, panas berkeringat, di jalan macet, dikejar setoran dan setiap saat bisa ditilang. Tetapi kawannya bercerita lain. Menurutnya, sopir angkot itu ada harapan masuk surga karena membuat penumpangnya selalu istighfar dan menyebut nama Tuhan saking seringnya mereka dilanda ketakutan. 5
Tetapi memang, sejak kemarin dia gundah memikirkan pertanyaan ibunya tentang masa depannya. Dia paham jika ibunya lelah dan stres. Mungkin tidak berbeda dengan sopir angkot itu. Ibunya melihat, Ajie masih saja sekolah, sementara menurut pengamatannya, sekolah tidak menjamin seseorang bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Sudah 15 tahun dia melihat Ajie sekolah dan terus sekolah sejak Sekolah Dasar sampai sekarang dia kuliah di IPB tahun ketiga. Ajie tahu, ibunya yang berjasa dan berkorban itu sangat hati-hati menanyakannya. Takut salah ucap. Dan itu pula yang membuat Ajie merasa sangat berdosa dan tertekan. Menurut Ajie, pertanyaan ibunya adalah pertanyaan yang nyata tentang kehidupan, yang jawabannya lebih sulit dari pertanyaan dalam ujian ilmu apa pun yang pernah dijalaninya selama kuliah di kampus ini. “Hey, ngelamun aja lo. Sampai gak lihat gua yang udah di depan mata,” sapa Lemang sambil tertawa. “Ah sialan lu, gue sampai kaget,” jawabnya. “Kok ada di sini, bukannya mengawal dosen kasih kuliah di kampus Darmaga setiap hari Kamis?” “Kan sudah tadi pagi. Dosennya mau ke luar negeri, jadi jadwalnya dimajukan. Untung 6
aja mahasiswa yang lain gak ada kuliah. Kan jangan mentang-mentang dosen dong, ganti jadwal seenak perutnya, tul gak? Oke, gue terus ya. Si Nin pengen diajarin matematika hari ini. Biasanya dia kasih makan enak ha ha ha ....” kata Lemang sambil berlalu. Ajie cuma mengepalkan tangan tanda setuju dan memberi semangat. Nina Wulandari yang cantik itu anak dosennya yang masih sekolah di SMA. Seminggu sekali dia dibimbing belajar matematika oleh Lemang. Lemang sangat bangga dan menurut Ajie, kawannya tergila-gila jatuh cinta sama muridnya itu. Langkah Ajie sekarang agak lebar setelah lamunannya buyar. Ditatapnya bangunan tua yang kokoh itu. Bangunan itu tetap anggun walaupun sudah tua dimakan waktu. Umurnya sudah lebih dari 50 tahun, tetapi tetap kokoh tidak pernah terdengar ada bocor, retak-retak atau keropos. Hanya saja sekarang keindahannya agak terganggu dengan bertebarannya spanduk berbagai organisasi mahasiswa di dalam kampus. Satpam di pintu masuk menyapa sambil mengangkat tangan dan Ajie membalas salamnya dengan cara yang sama. Satpam itu kenal betul pada mahasiswa yang satu ini, karena seringnya dia pulang malam. Ajie lebih senang mengerjakan pekerjaannya di kampus daripada 7
di rumah. Kampus mempunyai tempat belajar yang enak, lampunya terang dan udaranya nyaman. Ada AC yang menyemburkan hawa sejuk, ada WC yang cukup bagus dan terpelihara, dan ada meja dan kursi yang hampir menjadi langganannya. Temannya menyebut meja itu “Meja Ajie” karena kalau tidak ada pekerjaan lain, dia pasti duduk di sana, belajar di sana dan mengantuk di sana. Kawan-kawannya banyak yang bertanya, mengapa dia selalu dapat angka bagus untuk hampir setiap mata kuliah. Dia adalah mahasiswa yang menjadi tempat bertanya, walaupun bukan yang terpopuler. Dia diperlukan saat menjelang ujian, sehingga walaupun dia melarang kawannya datang ke rumahnya, tetap saja mereka berbondongbondong datang ke sana. “Susah belajar di rumahku. Boro-boro meja belajar, lampu aja cuma 200 watt, total untuk seluruh rumah. Kalian bisa lamuran.1” “Apalagi kalau kalian perlu ke kamar kecil. Kalian harus ke pancuran. Makanya aku selalu belajar di sini,” kata Ajie mengingatkan. Tetapi kawan-kawannya tak peduli. Kawan seangkatannya tahu keadaan rumah Ajie. Rumah setengah bata yang bersih dan apik. Ruang tamunya yang kecil berdinding kawat, 1
Lamuran (Sunda) = penglihatan kabur
8
sehingga angin dan nyamuk bisa masuk dengan leluasa. Halamannya kecil, tetapi ditata baik, penuh dengan tanaman hias dan bermacammacam anggrek. Ajie mempunyai banyak kawan, tetapi kalau cerita soal bersenang-senang, Ajie adalah seseorang yang termasuk kategori menyendiri. Dia tidak pernah tercatat dalam daftar, dan karena selalu absen dalam kegiatan seperti itu akhirnya dia tidak pernah diajak. Pesta dan hura-hura bukan dunianya. Akhir tahun lalu ketika sebagian besar kawannya pergi bersama ke Bali untuk study tour, dia malah bekerja membantu profesor yang mengajar marketing untuk melatih peternak domba di daerah Banten. Bukan karena dia tidak ingin pergi ke Bali, tetapi bagi Ajie biaya perjalanan yang begitu besar itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dia penuhi. Sejuknya AC menerpa mukanya ketika dia memasuki ruangan perpustakaan. Udara di sini sangat nyaman, sejuk, dan kering. Keringat yang membasahi leher bajunya perlahan reda. Kelembaban di ruangan perpustakaan ini diatur dengan baik agar tidak merusak buku dan alat elektronik lain yang disimpan di perpustakaan itu. Sejumlah komputer, disket dan CD yang memuat data dan informasi ditempatkan di lokasi khusus di ujung ruangan, sehingga tidak bercampur dengan rak-rak yang memuat buku9
buku. Ruangan itu baru dibangun satu tahun yang lalu melengkapi perpustakaan yang kini mempunyai fasilitas internet dan informasi digital. Di sanalah biasanya Ajie berkelana di dunia maya mencari informasi dan mempelajari bahan kuliah dan ujiannya. Di kursi kesayangannya di perpustakaan Baranangsiang itu dia merebahkan badannya. Agak lama dia bersandar merasakan sejuknya AC sambil matanya menyapu ruangan dan rak buku yang berjejer dengan rapinya. Dulu ruangan ini agak kumuh dan bukunya yang sudah tua dan agak kumal itu tidak beraturan. Dia ingat cerita pegawai perpustakaan yang sakit paru-paru akibat berada di lingkungan yang berdebu bersama dengan tumpukan kertas tua. Sekarang perpustakaan itu sudah direnovasi dan tersedia komputer yang bisa akses ke internet. Digital library sudah datang, dan dia bisa akses ke buku apa pun yang diperlukan. Kartu indeks yang ditempatkan di laci-laci kecil itu masih ada walaupun sebagian besar sudah tidak lagi terpakai karena sudah diganti dengan indeks elektronik yang tersedia di komputer di samping jejeran rak buku. Tetapi lemari dengan laci-laci kecil yang antik itu masih dipajang di sana. Lemari itu terbuat dari kayu jati tua pada tahun 1962 dan dianggap bersejarah bagi perpustakaan ini. 10